BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu sumber penerimaan terbesar bagi negara adalah pendapatan dari sektor pajak. Pajak merupakan salah satu pungutan oleh negara yang pembayarannya bersifat wajib untuk objek-objek tertentu. Dasar hukum penerapan pungutan pajak di Indonesia adalah berdasarkan ketentuan hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 huruf a yang menyebutkan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang.” Penarikan pajak bersifat memaksa di antaranya karena pajak merupakan faktor yang penting bagi upaya pemerataan pembangunan oleh negara. Kondisi demikian terjadi karena dengan pajak pembangunan yang merata dapat didanai. Pajak dan pembangunan memiliki keterkaitan yang sangat erat. Pembangunan merupakan proses yang harus didukung dengan tersedianya dana dan dalam hal ini pajak merupakan salah satu sumber dana bagi negara yang dapat digunakan untuk membiayai proses pembangunan. Hal tersebut sesuai dengan fungsi pajak, yaitu fungsi budgeter di mana pajak dipergunakan sebagai instrumen untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Selain fungsi budgeter, pajak juga memiliki fungsi reguler di mana pajak dapat digunakan sebagai instrumen untuk mencapai berbagai tujuan di luar bidang keuangan negara. Penerimaan dari sektor pajak dapat digunakan
1
2
untuk memenuhi pengeluaran negara. Semakin besar proporsi penerimaan pajak, semakin besar pula stabilitas penerimaan negara dan semakin tinggi pula kemandirian negara dalam membiayai pengeluaran-pengeluarannya.1 Salah satu pajak yang yang diperoleh Negara adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Bagi siapa saja yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajib menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak. BPHTB diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000. Undang-undang tersebut mengatur objek baru yang sebelumnya tidak diatur dalam undangundang sebelumnya yaitu tentang waris, penggabungan usaha, dan pemekaran usaha. Penambahan beberapa objek pajak yang baru pada ketentuan UndangUndang BPHTB dalam hal ini menunjukkan bahwa negara melalui pajak berusaha untuk mengoptimalkan pemasukan negara dari sektor pajak. Hal ini juga menunjukkan upaya negara untuk lebih meningkatkan pemerataan ekonomi serta pembangunan bagi seluruh masyarakat. BPHTB juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal tersebut diatur secara terinci dalam bagian ketujuhbelas pasal 85-93. Menurut ketentuan tersebut, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak atas tanahnya. BPHTB dikenakan bukan hanya pada saat terjadinya jual beli tanah, 1
Miyasto, Seri Keadilan Fiskal dan Moneter Nomor 10, 1993, Filosofi PBB dalam Konteks Keadilan dan Pembiayaan Pembangunan, Pengkajian Perpajakan dan Keuangan, PT. Bina Pariwara, Jakarta, hlm. 25.
3
tetapi juga terhadap setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan (tukar menukar, hibah, waris, pemasukan tanah ke dalam perseroan, dan lain-lain). Perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat terjadi karena adanya peralihan hak yang meliputi peristiwa hukum atau perbuatan hukum tertentu yang terjadi antara orang atau badan hukum sebagai subjek hukum yang oleh undang-undang dan peraturan hukum diberi kewenangan untuk memiliki hak atas tanah dan bangunan, dan menurut hukum peralihan hak terjadi karena dua hal yaitu hak beralih dan hak dialihkan. 2 Berdasarkan Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dapat diketahui bahwa objek pajak BPHTB sendiri meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru. Salah satu proses pemindahan hak atau pengalihan kepemilikan tanah dan/atau bangunan adalah melalui waris. Tanah dan/atau bangunan yang dikenai pajak adalah tanah dan/atau bangunan yang merupakan pengalihan kepemilikan, di antaranya
yaitu tanah dan/atau bangunan warisan.
Pembayaran BPHTB oleh pembeli, dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dalam jual beli tanah adalah harga transaksi. Hal ini berbeda misalnya dengan tukar menukar, hibah atau warisan, yang dasar NPOP menggunakan nilai pasar (Nilai Jual Objek Pajak/NJOP). Terdapat dua hal yang dapat mengakibatkan adanya perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yaitu pemindahan hak dan pemberian hak baru. Kedua hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 2
Mariot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori dan Praktek, Grafindo, Jakarta, hlm. 61.
4
Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah. Salah satu beralihnya hak dalam hal ini adalah melalui waris. Warisan berkenaan dengan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu meninggal dunia yang beralih kepada orang lain yang masih hidup.3 Terdapat tiga unsur yang berkaitan dengan warisan, yaitu seorang peninggal warisan (erflater) yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan, seorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan yang ditinggal, serta harta kekayaan atau harta warisan (nalatenschap) sebagai wujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli warisnya. 4 Pewarisan yang dimaksud dalam hal ini merupakan pewarisan hak atas tanah dan/atau bangunan. Secara yuridis, yang diwariskan adalah haknya.5 Hal tersebut diatur dalam hukum sebab waris merupakan hal yang terjadi akibat adanya peristiwa hukum, yaitu peristiwa meninggalnya pemegang hak atas tanah dan/atau bangunan yang terdahulu, sehingga peralihan haknya terjadi melalui pewarisan. Pewarisan hak merupakan proses berpindahnya hak atas tanah dan/atau bangunan karena pemegang hak sebelumnya telah meninggal. Pemindahan hak tidak terjadi karena perbuatan hukum seperti jual beli, tukarmenukar, atau lelang, namun terjadi karena adanya peristiwa hukum yaitu meninggalnya pemilik hak atas tanah dan/bangunan yang terdahulu. Waris atau warisan sebagai objek pajak adalah sesuatu yang baru diatur dalam perundang-undangan pajak yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 2
3
Boedi Abdullah, 2011, Pengantar Hukum Keluarga, CV Pustaka Setia, Bandung, hlm. 290. Prodjodikoro dalam Boedi Abdullah, op.cit, hlm. 290. 5 Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 397. 4
5
ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB. Sebelumnya warisan telah diatur sebagai subjek pajak, yaitu warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan pihak yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dilaksanakan. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan berhenti menjadi objek pajak pada saat warisan itu dibagi. Warisan baru menjadi objek pajak apabila warisan yang belum dibagi tersebut telah mengeluarkan penghasilan. Warisan sebagai objek pajak tidak ada penjelasan secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, akan tetapi dapat diartikan bahwa warisan yang dimaksud dalam hal ini adalah segala harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia berupa tanah dan atau bangunan. Warisan tersebut dapat timbul apabila proses pewarisan dari pewaris yaitu orang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kepada orang lain, dalam hal ini ahli waris, yaitu orang yang mengantikan pewaris di dalam kedudukannya terhadap warisan, baik untuk seluruhnya atau sebagian.
6
Pembayaran BPHTB waris dibayar pada saat warisan terbuka atau dalam arti harafiahnya, pada saat terjadinya peralihan hak atas tanah dimaksud. Berkaitan dengan saat peralihan hak atas tanah ini, apabila mengacu pada hukum waris, maka saat beralihnya hak atas tanah tersebut adalah pada saat Pewaris meninggal dunia. Berdasarkan hal tersebut, maka perhitungan BPHTB seharusnya menggunakan perhitungan pada tahun Pewaris tersebut meninggal dunia. Permasalahannya, tidak seluruh hak atas tanah warisan tersebut akan secara langsung dibalik nama oleh ahli waris, atau juga karena masyarakat banyak yang tidak mengerti bahwa dalam setiap pewarisan diharuskan membayarkan BPHTB waris, maka biasanya pajak waris dibayarkan pada saat bersamaan dengan penjualan tanah dan bangunan warisan tersebut kepada pihak lain, atau pada saat perpanjangan maupun peningkatan status hak atas tanah dimaksud. Baru pada saat itulah ahli waris membayar BPHTB warisnya. Proses balik nama waris tidak bisa dilakukan apabila BPHTB waris tersebut tidak dibayarkan terlebih dahulu. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa tidak seluruh hak atas tanah tersebut langsung dibalik nama pada saat Pewaris meninggal dunia. Hal ini justru menimbulkan masalah sebab perhitungan pajak yang digunakan adalah pajak yang berlaku pada saat itu. Hal inilah yang mengakibatkan banyak ahli waris yang tidak segera melakukan balik nama atas tanah warisannya tersebut mengingat pajak yang tidak sedikit harus dikeluarkan ahli waris. Bahkan ada pula yang tidak sanggup membayar pajak BPHTB waris sehingga mengurungkan untuk membalik nama.
7
Selain berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan lain terkait BPHTB juga dapat dilihat pada implementasi BPHTB setelah pemberlakuan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa pemungutan BPHTB lahir atas dasar ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB yang telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB. Undang-Undang tersebut memberikan kewenangan pada Direktorat Jenderal Pajak untuk memungut BPHTB dari masyarakat, sehingga BPHTB dalam hal ini termasuk salah satu bentuk pajak nasional. Tahun 2009, diundangkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan peraturan tersebut, BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah yang pemungutannya diserahkan kepada Pemerintah Kota atau Kabupaten. Peralihan BPHTB dari pajak nasional menjadi pajak daerah tentu tidak terlepas dari permasalahan dalam implementasinya. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk mengkaji secara lebih mendalam mengenai implementasi BPHTB setelah pemungutannya dilimpahkan pada Pemerintah Kota atau Kabupaten sesuai ketentuan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan permasalahan di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang implementasi pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan untuk tanah dan bangunan yang diperoleh melalui warisan setelah
8
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis menyusun rumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Warisan Tanah dan/atau Bangunan di Kota Yogyakarta pasca dikeluarkannya Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ? 2. Apakah faktor penghambat dalam implementasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Warisan Tanah dan/atau Bangunan di Kota Yogyakarta ?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif Tujuan objektif dari penelitian ini adalah dapat mengetahui dan menganalisis mengenai: a. Implementasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Warisan Tanah dan/atau Bangunan di Kota Yogyakarta. b. Faktor pendukung dan hambatan yang terjadi pada implementasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Warisan Tanah dan/atau Bangunan di Kota Yogyakarta.
9
2. Tujuan Subjektif Penelitian ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar MKn (Magister Kenotariatan) di program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini, diharapkan terdapat manfaat yang dapat diambil. Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Diharapkan penelitian ini dapat
memberikan manfaat
bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Warisan Tanah dan/atau Bangunan. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat, pemerintah mengenai pelaksanaan dari pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Warisan Tanah dan/atau Bangunan.
E. Keaslian Penelitian Setelah penulis melakukan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil penelitian pada perpustakaan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, serta
10
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, penulis menemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Kajian pada penelitian ini sepanjang pengetahuan penulis belum pernah diteliti oleh peneliti lain sebelumnya. Beberapa penelitian terdahulu terdapat perbedaan dengan
penelitian
ini
sehingga
keaslian
dari
penelitian
ini
dapat
dipertanggungjawabkan. Penelitian terdahulu yang memiliki kaitan dengan penelitian ini antara lain yaitu: 1. Penelitian Tesis yang dilakukan oleh Temmy Murdiatmo dari Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang. 6 Pada tahun 2007 Temmy Murdiatmo melakukan penelitian dengan judul “Pelaksanaan Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Warisan Tanah dan/atau Bangunan di Kota Malang.” Penelitian tersebut mengkaji soal pelaksanaan pengenaan BPHTB atas warisan tanah dan/atau bangunan di Kota Malang, termasuk pula hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaannya. Penelitian tersebut menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Berdasarkan hasil dari penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pengenaan BPHTB untuk objek pajak warisan di Kota Malang masih ditemui beberapa kesalahan. Kesalahan tersebut khususnya terkait dengan pemungutan pajak dan perhitungan besarnya pajak yang terutang oleh pejabat yang diberi wewenang, dalam hal ini adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT. Pada penelitian tersebut, pelaksanaan pengenaan BPHTB didasarkan pada 6
Temmy Murdiatmo, 2007, Pelaksanaan Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan atas Warisan Tanah dan/atau Bangunan di Kota Malang, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang.
11
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000. Oleh sebab itu, perbedaan yang terdapat dalam penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan penelitian adalah terkait peraturan yang mendasarinya. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dilakukan setelah ada pelimpahan wewenang pelaksanaan pengenaan BPHTB ke pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, sedangkan penelitian Temmy Murdiatmo kajiannya dilakukan pada pelaksanaan pengenaan BPHTB ketika masih ditangani oleh pemerintah pusat. 2. Penelitian Tesis dari Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang dilakukan oleh Tini Rusdihatie pada tahun 2011.7 Penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) melalui Hibah Wasiat di Jakarta Pusat” tersebut fokus pada permasalahan pelaksanaan pemungutan BPHTB atas perolehan hak berdasarkan hibah wasiat di wilayah Jakarta Pusat. Selain itu, pada penelitian tersebut dikaji pula mengenai berbagai kendala yang timbul dan penyelesaian yang dilakukan pada pelaksanaannya. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pelaksanaan pemungutan BPHTB dilalui dalam beberapa tahapan, yaitu tahap saat pajak terutang, tahap perhitungan besarnya bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang harus dibayar, serta cara perhitungannya. Kesimpulan atas hasil penelitian tersebut adalah dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB terdapat beberapa 7
Tini Rusdihatie, 2011, Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Melalui Hibah Wasiat di Jakarta Pusat, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12
kendala, yaitu ketidaktahuan wajib pajak tentang BPHTB dan yang berhubungan dengan perhitungan terhadap hibah wasiat yang diterima secara bersamaan oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus derajat ke atas atau satu derajat lurus ke bawah dengan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus ke samping. Penelitian tersebut dilakukan setelah Undang-Undang PDRD berlaku sehingga kajian yang dilakukan sudah didasarkan pada pelaksanaan pengenaan BPHTB oleh pemerintah daerah, seperti yang dilakukan dalam penelitian ini. Perbedaannya yaitu pada penelitian tersebut fokus kajiannya adalah terkait perolehan hak atas hibah wasiat sedangkan yang dilakukan oleh peneliti adalah terkait perolehan hak atas warisan tanah dan/atau bangunan. Berdasarkan dua hasil penelitian sebelumnya yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan utama dari penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis lakukan. Perbedaan tersebut terkait dengan tiga hal, yaitu permasalahan hukum yang dikaji, lokasi penelitian, serta penggunaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah sebagai dasar hukumnya. Permasalahan hukum yang penulis angkat adalah mengenai implementasi BPHTB atas warisan tanah dan/atau bangunan dengan lokasi penelitian di Yogyakarta dan dilakukan pada tahun 2013, atau setelah kewenangan pemungutan BPHTB dilimpahkan ke pemerintah daerah.