BAB 5
SIMPULAN, DISKUSI, SARAN
Bab terakhir ini berisi kesimpulan hasil penelitian dan diskusi mengenai hasil yang diperoleh dalam penelitian, pembahasan tentang keterbatasan penelitian serta saran yang dapat diberikan untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangankekurangan penelitian ini apabila dilakukan lagi di masa mendatang. 5.1.
Simpulan Dari hasil penelitian terhadap 170 subjek yang merupakan mahasiswa tingkat akhir di Universitas Bina Nusantara dan 147 subjek yang merupakan mahasiswa tingkat akhir di universitas swasta lain di Jakarta, diperoleh hasil yang dapat ditarik menjadi beberapa kesimpulan berikut: 1.
Dari total 170 mahasiswa tingkat akhir di Universitas Bina Nusantara, mayoritas memiliki intercultural sensitivity yang berada pada tahap Acceptance. Sedangkan jumlah mahasiswa yang paling sedikit ada pada tahap Defense.
2.
Mayoritas mahasiswa di Universitas Bina Nusantara yang berada pada tahap Acceptance berjenis kelamin pria, berusia 21 tahun, serta sebanyak memiliki pengalaman ke luar Indonesia.
3.
Mayoritas mahasiswa di Universitas Bina Nusantara yang berada pada tahap Defense berjenis kelamin pria, berusia 21 tahun serta pernah memiliki pengalaman ke luar Indonesia.
4.
Dari total 147 subjek mahasiswa tingkat akhir di universitas swasta lain di Jakarta, mayoritas memiliki intercultural sensitivity yang berada pada tahap Defense. Sementara jumlah mahasiswa paling sedikit ada pada tahap Acceptance.
5.
Mayoritas mahasiswa di universitas swasta lain yang berada pada tahap Defense adalah pria, berusia 21 tahun, serta tidak pernah memiliki pengalaman ke luar Indonesia.
2 6.
Mayoritas mahasiswa di universitas swasta lain yang berada pada tahap Acceptance adalah wanita, berusia 21 tahun, serta pernah memiliki pengalaman ke luar Indonesia.
7.
Dari total seluruh subjek dari semua universitas yang terlibat dalam penelitian, mayoritas sebanyak 71 mahasiswa ada pada tahap Defense, disusul dengan 67 mahasiswa di tahap Acceptance dan 66 mahasiswa di tahap Minimization. Dari beberapa hasil di atas, kesimpulan umum yang penting untuk
ditarik adalah bahwa mayoritas mahasiswa tingkat akhir di Universitas Bina Nusantara memiliki intercultural sensitivity yang berada pada tahap Acceptance, tahap dimana seseorang dapat menerima fakta bahwa budaya asing berbeda namun tetap sederajat dengan budaya Indonesia sehingga mereka mampu menghargai, menghormati dan mengapresiasi nilai-nilai, keyakinan dan pola perilaku yang dimiliki oleh budaya asing. Sementara mayoritas mahasiswa tingkat akhir di universitas swasta lain berada pada tahap Defense, yaitu tahap dimana seseorang masih memiliki keyakinan yang dipertahankan bahwa budaya Indonesia adalah budaya yang paling baik dan benar di seluruh dunia, sehingga pandangan terhadap budaya asing masih bersifat merendahkan dan negatif.
5.2.
Diskusi Hasil berdasarkan
penelitian
tentang
teori DMIS
gambaran
yang dikemukakan
intercultural oleh
sensitivity
Bennett (2004)
menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa tingkat akhir di Universitas Bina Nusantara
ada
pada
tahap
perkembangan
Acceptance.
Hasil
ini
mengindikasikan bahwa mayoritas mahasiswa Universitas Bina Nusantara sudah mengembangkan kualitas intercultural sensitivity hingga mencapai tahap dimana ia mampu menerima fakta bahwa pada hakikatnya budaya Indonesia berbeda dengan budaya asing namun tetap sederajat satu sama lain. Penerimaan terhadap perbedaan ini membuat mereka mampu menghargai, menghormati serta mengapresiasi nilai-nilai, keyakinan dan pola perilaku milik budaya asing.
3 Kondisi yang ada di Universitas Bina Nusantara ini dapat dikaji dengan
menggunakan
pendapat
Bennett
(2004)
tentang
hakikat
perkembangan intercultural sensitivity. Menurut Bennett, semua manusia awalnya lahir dan disosialisasikan menjadi orang-orang dengan intercultural sensitivity yang bersifat ethnocentric (Tahap Denial, Defense dan Minimization). Orang dengan intercultural sensitivity yang bersifat ethnocentric akan membuat penilaian terhadap sesuatu dengan berorientasi pada nilai-nilai dan keyakinan yang berasal dari budaya miliknya sendiri. Namun apabila orang tersebut kemudian menghabiskan waktunya dalam sosialisasi
multikultural,
maka
kemungkinan
besar
akan
terjadi
perkembangan kualitas intercultural sensitivity ke arah yang lebih bersifat ethnorelative (Tahap Acceptance dan Adaptation), dimana seseorang merasa nyaman dengan standar dari berbagai budaya sehingga ia mampu menyesuaikan penilaian dan perilakunya agar sesuai dengan konteks budaya lain (Hammer dkk, 2003). Sebagai suatu institusi pendidikan umum swasta, Universitas Bina Nusantara dapat dikatakan memiliki lingkungan yang bersifat multikultural dan mendukung perkembangan intercultural sensitivity mahasiswanya agar bergerak ke tahap yang bersifat ethnorelative, yaitu tahap Acceptance dan Adaptation. Faktor pertama yang membuat lingkungan Universitas Bina Nusantara menjadi bersifat multikultural adalah keterbukaan dalam menerima semua calon mahasiswa yang hendak masuk dan mengecap pendidikan di dalamnya. Tidak ada batasan dari segi kewarganegaraan, latar belakang budaya ataupun agama yang ditetapkan Universitas Bina Nusantara bagi calon mahasiswa yang hendak mendaftar. Keterbukaan terhadap mahasiswa dari latar belakang budaya manapun membuat Universitas Bina Nusantara menjadi tempat pertemuan mahasiswa dari berbagai budaya, baik lokal maupun asing. Faktor kedua yang membuat lingkungan Universitas Bina Nusantara menjadi bersifat multikultural adalah karena relatif seringnya aktivitasaktivitas yang mengusung tema keragaman budaya diselenggarakan dalam lingkungan Universitas Bina Nusantara. Beberapa contoh aktivitas tersebut antara lain penyelenggaraan “Pekan Keanekaragaman Budaya Dunia” pada
4 Mei 2012, “Japanese Culture Week” pada Januari 2014 dan “Korean Culture Week” pada Januari 2014. Aktivitas-aktivitas yang mengusung tema beragam kebudayaan asing ini merupakan aktivitas yang diselenggarakan secara terbuka sehingga dapat diakses oleh semua mahasiswa di Universitas Bina Nusantara. Penyelenggaraan aktivitas-aktivitas semacam ini secara reguler membuat mahasiswa Universitas Bina Nusantara semakin sering menjalin kontak dengan unsur-unsur dari beragam budaya asing. Faktor ketiga yang membuat lingkungan Universitas Bina Nusantara menjadi semakin bersifat multikultural adalah karena pengaruh dari komponen lingkungan fisik di kawasan gedung perkuliahan. Berdasarkan hasil observasi peneliti terhadap gedung Universitas Bina Nusantara, ditemukan tempat-tempat persinggahan atau gazebo yang dibuat menyerupai bentuk bangunan khas dari berbagai budaya asing, seperti Jepang dan China. Adanya gazebo-gazebo tersebut membuat lingkungan Binus semakin kaya dengan muatan-muatan dari unsur budaya asing. sehingga kontak antara mahasiswa dengan unsur-unsur dari berbagai budaya asing juga tidak dapat dihindarkan. Dengan mengacu pada penjelasan Bennett (2004) tentang pengaruh sosialisasi
dalam
lingkungan
multikultural
terhadap
perkembangan
intercultural sensitivity, peneliti menyimpulkan bahwa kondisi lingkungan Universitas Bina Nusantara yang bersifat multikultural, menjadi salah satu penyebab mengapa intercultural sensitivity mayoritas mahasiswanya sudah berkembang hingga ke tahap Acceptance. Peneliti menemukan setidaknya tiga faktor yang menyebabkan lingkungan Universitas Bina Nusantara menjadi bersifat multikultural, yaitu: (1) keterbukaan pihak universitas terhadap mahasiswa dari latar belakang budaya lokal dan asing apapun, (2) sering diselenggarakannya aktivitas-aktivitas dengan tema keragaman budaya, dan (3) lingkungan fisik kawasan gedung perkuliahan yang berisi unsur-unsur dari kebudayaan asing. Selain karena sifat multikultural lingkungan di Universitas Bina Nusantara, menurut penelitian yang dilakukan oleh Margarethe, Hannes dan Wiesinger (2012) serta Bradshaw dan Biggs (2007), sebuah institusi
5 pendidikan juga dapat mendorong perkembangan intercultural sensitivity mahasiswanya melalui pemberian mata kuliah atau pendidikan khusus tentang keragaman budaya. Berdasarkan data yang dihimpun lewat kuesioner dan wawancara yang dilakukan terhadap subjek penelitian, diketahui bahwa di Universitas Bina Nusantara terdapat mata kuliah yang berisi tentang isu diversity/keragaman budaya yaitu mata kuliah “Character Building: Interpersonal Relationship”. Mata kuliah ini merupakan mata kuliah wajib bagi semua mahasiswa semester 4 di jurusan apapun. Di dalamnya diajarkan strategi untuk mengembangkan kemampuan interpersonal, termasuk dalam konteks hubungan interpersonal lintas budaya. Adanya mata kuliah wajib yang khusus mengajarkan tentang keragaman budaya inilah yang diyakini peneliti menjadi faktor lain yang mendukung perkembangan intercultural sensitivity mayoritas mahasiswa Binus hingga ke tahap Acceptance. Selain karena pengaruh lingkungan yang bersifat multikultural serta adanya mata kuliah wajib tentang keragaman budaya, faktor lain yang dapat menjelaskan mengapa mayoritas mahasiswa Universitas Bina Nusantara ada pada tahap Acceptance adalah karena mayoritas mahasiswa dengan intercultural sensitivity pada tahap tersebut pernah memiliki pengalaman ke luar Indonesia. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Baños (2006) dan McMurray (2007) yang menemukan bahwa pengalaman ke luar negeri dapat berpengaruh
terhadap
peningkatan
kualitas
intercultural
sensitivity
seseorang. Pengalaman ke luar negeri dapat berpengaruh terhadap perkembangan intercultural sensitivity karena ketika seseorang pergi ke luar negara asalnya, maka ia akan mengalami kontak dengan nilai-nilai, keyakinan serta pola perilaku berbeda milik budaya asing. Hal ini memaksa cara pandangnya terhadap dunia berubah sehingga naik ke tahap perkembangan intercultural sensitivity yang bersifat lebih ethnorelative. Adanya pengalaman ke luar Indonesia inilah yang diyakini peneliti menjadi penyebab lain mengapa mayoritas mahasiswa di Universitas Bina Nusantara mengembangkan intercultural sensitivity hingga ada di tahap Acceptance. Hasil yang cukup kontras didapatkan dari subjek penelitian yang merupakan mahasiswa tingkat akhir di universitas swasta lain di Jakarta. Mayoritas mahasiswa di universitas swasta lain berada pada tahap Defense,
6 yaitu tahap dimana seseorang masih memiliki keyakinan yang dipertahankan bahwa budaya Indonesia adalah budaya yang paling baik dan benar di seluruh dunia, sehingga pandangan dan penilaian terhadap budaya asing masih bersifat merendahkan dan negatif. Untuk menjelaskan penyebab mengapa mayoritas mahasiswa di universitas swasta lain memiliki intercultural sensitivity yang berada pada tahap Defense, peneliti menganalisa beberapa faktor yang diduga dapat berpengaruh terhadap perkembangan intercultural sensitivity mahasiswa di universitas swasta lain di Jakarta. Berdasarkan data yang dihimpun dari kuesioner penelitian serta wawancara dengan subjek penelitian, peneliti menemukan bahwa berbeda dengan Universitas Bina Nusantara, tiga universitas swasta lain di Jakarta yang menjadi sampel penelitian ini, yaitu Unika Atmajaya, Universitas AlAzhar dan Ukrida, tidak memiliki mata kuliah wajib yang berkaitan dengan isu diversity/keragaman budaya. Adapun lewat wawancara yang dilakukan peneliti dengan subjek penelitian, diketahui bahwa di Unika Atmajaya terdapat mata kuliah “Multikulturalisme”. Namun mata kuliah ini tidak bersifat wajib, sehingga hanya mahasiswa-mahasiswa tertentu saja yang mendapatkan mata kuliah tersebut. Sementara di dua universitas swasta lain yang telibat dalam penelitian ini, yaitu Universitas Al-Azhar dan Ukrida, tidak ada mata kuliah tentang keragaman budaya yang secara khusus diwajibkan oleh pihak universitas kepada mahasiswanya. Dengan mengacu pada hasil penelitian Margarethe dkk (2012) serta Bradshaw dan Biggs (2007) tentang pengaruh pendidikan tentang keragaman budaya terhadap perkembangan intercultural sensitivity, maka peneliti menduga bahwa ketidakadaan mata kuliah wajib tentang keragaman budaya menjadi salah satu faktor penyebab mengapa mayoritas mahasiswa di universitas swasta lain di Jakarta yang menjadi sampel penelitian ini masih memiliki intercultural sensitivity yang ada pada tahap Defense. Untuk
menggali
lebih
lanjut
penyebab
mengapa
mayoritas
mahasiswa universitas swasta lain ada pada tahap Defense, maka peneliti melakukan wawancara kepada tiga orang subjek yang teridentifikasi ada pada tahap tersebut. Peneliti mendapatkan informasi bahwa di masing-
7 masing universitas tersebut sangat jarang ditemui mahasiswa yang berasal dari budaya asing, dan hampir tidak pernah diadakan aktivitas atau pagelaran khusus dengan tema keragaman budaya. Selain itu, berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti ketika berkunjung ke gedung tiga universitas tersebut, tidak tampak adanya bangunan, simbol, atau komponenkomponen lingkungan fisik yang secara khusus memiliki muatan budaya asing, seperti yang dimiliki oleh Universitas Bina Nusantara. Temuantemuan di atas mengindikasikan bahwa lingkungan di Universitas Al-Azhar, Unika Atmajaya dan Ukrida kurang kental dengan muatan unsur-unsur budaya asing. Sehingga dengan mengacu pada penjelasan Bennett (2004) tentang peran lingkungan multikultural terhadap perkembangan intercultural sensitivity, peneliti menyimpulkan bahwa kondisi lingkungan yang kurang bersifat multikultural inilah salah satu faktor mengapa mayoritas mahasiswa di universitas swasta lain di Jakarta masih ada pada tahap Defense. Faktor lain yang berpotensi menjadi penyebab mengapa mayoritas mahasiswa universitas swasta lain di Jakarta ada pada tahap Defense adalah karena mayoritas mahasiswanya tidak pernah memiliki pengalaman ke luar Indonesia. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Baños (2006) dan McMurray (2007) tentang pengaruh pengalaman ke luar negeri terhadap peningkatan
kualitas
intercultural
sensitivity
seseorang.
Mayoritas
mahasiswa yang berada pada tahap Defense adalah mereka yang tidak pernah memiliki pengalaman ke luar Indonesia dan tidak memiliki pengalaman kontak langsung dengan budaya asing di luar Indonesia. Tidak adanya pengalaman ke luar Indonesia ini dapat menjadi penyebab lain mengapa mayoritas mahasiswa di universitas swasta lain di Jakarta masih memiliki intercultural sensitivity yang berada pada tahap Defense. Diskusi lain yang turut perlu dilakukan adalah dengan melihat gambaran total penyebaran subjek di tahap-tahap seperti Denial dan Minimization. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap Denial adalah tahap yang dimiliki oleh subjek dengan jumlah yang paling sedikit. Peneliti menenggarai bahwa kondisi ini tidak mengejutkan, mengingat meskipun terdapat sebagian subjek penelitian yang berasal dari lingkungan universitas yang bersifat cenderung monokultural, namun pada hakikatnya subjek
8 penelitian ini adalah mereka yang tinggal di Jakarta. Jakarta sebagai sebuah kota tempat peleburan berbagai produk dan bahkan gaya hidup dari budaya asing, tentu mengakibatkan dampak yang secara tidak langsung turut dirasakan dan mempengaruhi tingkat intercultural sensitivity para mahasiswa yang menetap di dalamnya sehingga mayoritas tidak stagnan pada tahap Denial, melainkan berhasil mengembangkan kualitas intercultural sensitivity mereka ke tahap yang lebih bersifat ethnorelative. Selain diskusi tentang penyebaran mayoritas mahasiswa berdasarkan tahap perkembangan intercultural sensitivity, diskusi juga dilakukan untuk membahas hasil perbandingan skor intercultural sensitivity tahap Defense dan Acceptance antara mahasiswa di Universitas Bina Nusantara dan universitas swasta lain di Jakarta. Hasil uji komparatif menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada skor di tahap Defense dan Acceptance antara mahasiswa di Universitas Bina Nusantara dan universitas swasta lain di Jakarta. Apabila dibandingkan, mahasiswa universitas swasta lain memiliki tingkat Defense yang lebih tinggi daripada mahasiswa di Universitas Bina Nusantara yang sama-sama berada pada tahap Defense. Kondisi ini sangat mungkin terjadi mengingat banyaknya faktor-faktor dari lingkungan yang membuat tingkat Defense mahasiswa-mahasiswa di universitas swasta lain semakin diperkuat. Salah satu contoh faktor yang dimaksud adalah tidak adanya pendidikan tentang keragaman budaya yang diberikan oleh pihak universitas. Sementara
hasil
analisa
terhadap
tahap
Acceptance
justru
menunjukkan bahwa mahasiswa Universitas Bina Nusantara memiliki tingkat Acceptance yang secara signifikan lebih tinggi daripada mahasiswa di universitas swasta lain yang sama-sama berada pada tahap Acceptance. Sama halnya dengan yang terjadi pada tahap Defense, kondisi ini dapat terjadi karena banyaknya faktor dari lingkungan yang memperkuat tingkat Acceptance
mahasiswa-mahasiswa
di
Universitas
Bina
Nusantara.
Contohnya adalah sifat lingkungan Universitas Bina Nusantara yang sangat multikultural dari berbagai aspek.
9 5.3.
Saran Dalam rangka meningkatkan, mengembangkan dan memperbaiki kekurangan-kekurangan dari penelitian ini, berikut adalah saran-saran yang dapat diberikan peneliti kepada penelitian serupa yang mungkin dilakukan di masa mendatang. 1.
Agar semakin efektif dari segi waktu dan bermanfaat dari segi hasil, alat ukur intercultural sensitivity yang menggunakan dasar teori DMIS Bennett (2004) hendaknya dibuat dengan format yang berbeda. Alat ukur intercultural sensitivity dapat dibuat agar menghasilkan skor tunggal intercultural sensitivity, dan bukan 5 skor terpisah di tiap tahap perkembangan intercultural sensitivity. Skor tunggal ini diharapkan kemudian dapat langsung diinterpretasi menjadi kesimpulan tahap perkembangan intercultural sensitivity, tanpa perlu melalui proses konversi menjadi skor standar (z-score) seperti yang dilakukan dalam penelitian ini.
2.
Dalam penelitian selanjutnya, hendaknya menggunakan sampel dari lebih banyak universitas swasta lain di Jakarta. Sehingga dapat memberikan
hasil
yang
lebih
representatif
terhadap
populasi
mahasiswa di berbagai universitas swasta di Jakarta yang tergolong banyak. 3.
Dalam penelitian selanjutnya, dapat dilakukan pengujian terhadap intercultural sensitivity dan berbagai variabel spesifik lain yang ditenggarai
berpengaruh
terhadap
perkembangan
intercultural
sensitivity. Contohnya, jumlah bahasa asing yang dikuasai dan partisipasi dalam aktivitas dengan konten keragaman budaya. Hasil dari pengujian yang lebih spesifik ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi institusi-institusi pendidikan dalam rangka pengembangan kurikulum yang memfasilitas peningkatan intercultural sensitivity mahasiswanya.