BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan. Selain itu, bab ini juga berisikan saran, baik saran metodologis maupun saran praktis untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
5.1 Simpulan Berdasarkan pada analisa yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara sikap terhadap pernikahan dan pengetahuan tentang pasangan pada emerging adult di Jakarta. Berdasarkan hasil yang sudah ditemukan, maka hipotesis alternatif diterima dan hipotesis null ditolak. Sehingga, semakin positif sikap terhadap pernikahan pada emerging adult maka akan semakin tinggi pula pengetahuan tentang pasangannya, dan sebaliknya semakin tinggi pengetahuan tentang pasangan, semakin positif sikap terhadap pernikahan. Hal ini berarti semakin tinggi keyakinan individu bahwa pernikahannya akan sukses dan bahagia, semakin tinggi pula kemampuan atau keterampilannya dalam mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pasangannya, seperti mengetahui tanggal lahir, makanan kesukaan, harapan dan cita-cita pasangannya. Begitupun sebaliknya, semakin tinggi kemampuan individu dalam memperoleh pengetahuan mengenai pasangannya semakin tinggi pula keyakinan individu bahwa pernikahannya akan sukses dan bahagia. Selanjutnya, berdasarkan gambaran umum persebaran skor total sikap terhadap pernikahan dan pengetahuan tentang pasangan, didapatkan hasil bahwa mayoritas memiliki total skor di atas rata-rata untuk sikap terhadap pernikahan. Artinya, sebagian besar partisipan dalam penelitian ini memiliki keyakinan bahwa pernikahannya kelak akan sukses dan bahagia. Sementara itu, pada pengetahuan tentang pasangan, mayoritas partisipan memiliki total skor di bawah rata-rata. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas partisipan memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam mendeskripsikan pasangannya secara tepat dibanding kelompok yang memiliki skor pengetahuan tentang pasangan di atas skor rata-rata.
53
54
5.2 Diskusi Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara sikap terhadap pernikahan dan pengetahuan tentang pasangan pada emerging adult di Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara sikap terhadap pernikahan dan pengetahuan tentang pasangan pada emerging adult di Jakarta. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hipotesis yang telah peneliti buat sebelumnya yaitu terdapat hubungan positif yang signifikan antara kedua variabel. Artinya adalah semakin positif sikap terhadap pernikahan pada diri individu, maka akan semakin tinggi pula pengetahuan tentang pasangannya, dan sebaliknya. Hal ini sejalan dengan penelitian Johnson (2009) bahwa sikap terhadap pernikahan memiliki hubungan dengan relationship skills seseorang. Sikap terhadap pernikahan yang berisikan kepercayaan mengenai pernikahan adalah hal yang nantinya akan membuat seseorang memiliki keterampilan untuk mempertahankan pernikahan yang sukses. Dalam penelitian ini, salah satu keterampilan tersebut adalah pengetahuan tentang pasangan. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Crissey (2005, dalam Willoughby, 2009) yang menyatakan bahwa sikap terhadap pernikahan merupakan variabel kunci dalam memahami perilaku berpacaran pada remaja dan dewasa muda. Konsep mengenai pernikahan memiliki kaitan dengan perilaku di dalam hubungan romantis. Dalam penelitian ini, perilaku tersebut adalah keterampilan pengetahuan tentang pasangan. Menurut Riggio dan Weiser (2008, dalam Park, 2012) individu yang memiliki sikap positif terhadap pernikahan melihat pernikahannya saat ini dan masa depan akan bahagia dan sukses, sementara individu dengan sikap negatif terhadap pernikahan memiliki ekspektasi yang kurang positif terhadap pernikahan. Adanya sikap terhadap pernikahan pada seseorang ini akan mempengaruhi pola perilakunya dalam hubungan romantis. Lebih lanjut, Riggio dan Weiser (2008) menyatakan bahwa sikap positif terhadap pernikahan adalah hal yang mengarahkan perilaku seseorang dalam berhubungan dengan pasangannya. Hal ini terlihat dari tindakan individu dalam berjuang untuk mempertahankan hubungan dengan cara menghindari perpecahan dan memelihara kualitas hubungannya. Individu dengan sikap positif terhadap pernikahan cenderung lebih banyak berkorban dan berusaha untuk bisa mewujudkan cita-cita dan harapan bersama pasangannya. Salah satu wujud usaha tersebut adalah dengan
55
mengetahui cara bersenang-senang dengan pasangan, mengetahui preferensi dari pasangan, dan peduli dengan cita-cita atau harapan pasangan (Epstein, 2005). Sementara itu, individu dengan kurangnya sikap positif terhadap pernikahan atau dengan kata lain individu dengan sikap negatif terhadap pernikahan memiliki komitmen yang sedikit dan cenderung untuk mengabaikan konflik, dimana kedua hal tersebut berkaitan dengan kurangnya keinginan untuk mempertahankan sebuah hubungan (Riggio & Weiser, 2008). Hal tersebut dikarenakan individu dengan sikap negatif terhadap pernikahan memiliki keyakinan bahwa dalam pernikahan merupakan hal siasia sehingga tidak perlu banyak berkorban di dalam pernikahan (Braaten & Rosen, 1998). Dengan kata lain, sikap negatif terhadap pernikahan merupakan hal yang akan membuat individu menarik diri dari sebuah hubungan romantis karena adanya keraguraguan dan ketakutan terhadap hubungan romantis, dimana hal tersebut akan mengurangi keterampilannya untuk mengetahui lebih jauh hal-hal tentang pasangannya. Dari hasil penelitian Riggio dan Weiser (2008) didapatkan hasil bahwa sikap terhadap pernikahan dapat mempengaruhi kualitas hubungan romantis. Hasil tersebut juga didukung oleh pernyataan Esmaeilpour, Mahdavi, dan Khajeh (2009), bahwa kepercayaan terhadap pernikahan dan hubungan romatis akan berdampak pada kepuasaan dalam hubungan dan pernikahan. Hal tersebut dapat terjadi karena sikap terhadap pernikahan merupakan pandangan global mengenai keputusan untuk menikah, perasaan yang ditimbulkan terhadap pernikahan, kepuasan dalam hubungan pernikahan, dan kelanggengan pernikahan (Klein, 2005). Jika dihubungkan dengan hasil penelitian ini, yaitu terdapat hubungan antara sikap terhadap pernikahan dan pengetahuan tentang pasangan, maka peneliti berasumsi sebelum adanya kepuasan dalam hubungan dan pernikahan, ada hal lain yang harus dilewati terlebih dahulu yaitu memiliki keterampilan pengetahuan tentang pasangan. Menurut Epstein (2013), Pengetahuan tentang pasangan merupakan salah satu prediktor yang paling berpengaruh dalam memprediksi kestabilan dan kepuasan suatu hubungan. Hal tersebut dikarenakan kompetensi pengetahuan tentang pasangan diduga lebih mudah dipelajari dan dikuasai oleh orang-orang dibanding dengan kompetensi-kompetensi yang lain. Semakin sering kompetensi pengetahuan tentang pasangan ini dilatih maka akan semakin memberikan pengaruh baik dalam hubungan karena kompetensi ini relatif mudah dan pertukaran informasinya lebih mudah. Pernyataan tersebut sekaligus melengkapi saran dalam jurnal
56
Riggio dan Weiser (2008) mengenai pengaruh sikap terhadap pernikahan terhadap kualitas hubungan. Jurnal tersebut menyarankan untuk meneliti perilaku dalam hubungan romantis yang berhubungan dengan sikap terhadap pernikahan dan dapat berkontribusi terhadap kualitas suatu hubungan. Dari hasil penelitian ini, perilaku dalam hubungan romantis tersebut adalah pengetahuan tentang pasangan. Adanya hubungan positif dan signifikan antara kedua variabel dapat terjadi dikarenakan banyaknya partisipan yang berasal dari keluarga utuh. Sebanyak 213 orang (85,2%) menyatakan bahwa orang tua mereka berstatus menikah. Hal ini sejalan dengan penelitian Riggio dan Weiser (2008) bahwa keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pernikahan. Kondisi keluarga seperti, kebahagiaan, intensitas konflik, dan interaksi orang tua sehari-hari akan mempengaruhi pandangan anak dalam melihat suatu pernikahan. Tinggi atau rendahnya konflik pada orang tua dan status pernikahan orang tua menghasilkan sikap negatif ataupun positif terhadap pernikahan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Larson et al (1998) menyatakan bahwa dewasa muda yang berasal dari keluarga yang tidak berkonflik memiliki sikap yang lebih positif terhadap pernikahan dibanding anak-anak yang berasal dari keluarga yang berkonflik. Sementara itu, anak-anak dari orang tua bercerai memiliki sikap perkawinan yang lebih negatif daripada anak-anak dari keluarga utuh. Selain itu, kualitas perkawinan orang tua telah ditemukan memiliki hubungan dengan banyak jenis sikap relasional pada orang dewasa muda, termasuk sikap terhadap pernikahan (Amato & Booth, dalam Willoughby, 2010). Lebih lanjut, Shurts dan Myers (2012) mengungkapkan bahwa individu mengembangkan sikap berdasarkan pemodelan dalam pesan yang diterima dari keluarga asal mereka. Pemodelan dalam keluarga, terutama pemodelan orang tua di dalam pernikahan akan mempengaruhi sikap anak terhadap pernikahan itu sendiri. Synder, Velasques, dan Clarck (dalam DeGenova, 2008) yang menyatakan bahwa sikap terhadap pernikahan dan peran yang ada dalam pernikahan seseorang berhubungan erat dengan sikap terhadap pernikahan dan peran-peran dalam pernikahan orang tuanya. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap positif terhadap pernikahan pada penelitian ini didapat karena banyaknya partisipan yang berasal dari keluarga utuh dan sikap inilah yang menghasilkan hubungan positif dengan
57
pengetahuan tentang pasangan. Untuk lebih memperdalam hasil penelitian, peneliti membuat analisa tambahan untuk melihat keterkaitan antara usia dan sikap terhadap pernikahan. Dari hasil analisa didapat bahwa untuk usia 22-25 tahun dengan jumlah partisipan sebanyak 117 orang, sebagian besar memiliki sikap terhadap pernikahan yang tinggi. Hal tersebut berarti bahwa pada fase exploring (22-25 tahun), mayoritas memiliki sikap positif yang lebih tinggi mengenai pernikahan dibanding fase launching (19-21 tahun) dan fase landing (26-29 tahun). Hal itu dapat terjadi karena pada usia 22-25 tahun merupakan usia yang sudah mementingkan pernikahan sebagai salah satu tujuan hidup mereka sehingga sikap terhadap pernikahan sudah terbentuk dan cenderung stabil, baik positif maupun negatif (Carol et al, 2007). Sementara menurut Arnett (2013), dalam percintaan, ini merupakan fase untuk lebih serius dalam hubungan. Usia 22-25 tahun atau dalam fase exploring lebih mencari pada intimasi dan keabadian. Mereka sekarang mencari belahan jiwa dimana orang spesial tersebut terlihat tepat dan membuat prospek pernikahan yang bahagia dan menyenangkan. Adanya pemikiran bahwa pernikahan adalah hal penting dan keinginan untuk memiliki hubungan yang serius serta keinginan untuk memiliki pernikahan yang bahagia dan menyenangkan inilah yang membuat sikap terhadap pernikahan pada fase exploring lebih tinggi dibanding fase-fase usia yang lain. Selanjutnya, pada penelitian ini, peneliti juga membuat keterkaitan antara usia dan pengetahuan tentang pasangan. Dari hasil analisa diketahui bahwa semua fase usia, baik launching, exploring, dan landing memiliki pengetahuan tentang pasangan yang berada pada kategori rendah. Hasil tersebut memperlihatkan walaupun pada masa emerging adult seseorang identik dengan memiliki hubungan intim dan mengeksplorasi diri dan pasangan (Arnett, 2013), dari hasil analisa tambahan pada penelitian ini terlihat bahwa ternyata emerging adult belum begitu memiliki pengetahuan yang dalam mengenai pasangannya. Menurut Fincham, Stanley, dan Rhoades (2010), emerging adulthood adalah masa dimana seseorang baru mulai belajar hal-hal mengenai hubungan romantis. Dari pernyataan tersebut, peneliti berasumsi bahwa pada masa ini seseorang baru mulai memiliki hubungan romantis dengan pasangannya sehingga kemampuan yang dimiliki dalam mengetahui berbagai hal mengenai pasangannya belum begitu baik. Hal tersebutlah yang menyebabkan pengetahuan tentang pasangan terkait usia dalam penelitian ini memperlihatkan lebih banyak partisipan yang memiliki
58
pengetahuan tentang pasangan yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata kelompok. Namun, jika dikaitkan dengan lamanya waktu menjalani hubungan pacaran yang ada pada data demografis, didapat hal menarik, yaitu secara keseluruhan partisipan dalam penelitian ini memiliki hubungan yang sudah lebih dari 6 bulan. Hasil analisa menyatakan bahwa lamanya menjalani hubungan, baik dari waktu 6 bulan – 1 tahun, 1 – 3 tahun, ataupun lama menjalani pacaran lebih dari 3 tahun, semua berada dalam kategori rendah dalam pengetahuan tentang pasangannya. Sedangkan, Menurut Putranto (2012), waktu 6 bulan dikatakan sudah cukup untuk memiliki pengetahuan mengenai pasangannya, baik mengenal karakteristik kepribadian masing-masing maupun latar belakang dan karakter keluarga pasangannya. Sehingga, pernyataan tersebut tidak sesuai dengan hasil analisa tambahan mengenai keterkaitan antara lama menjalani hubungan pacaran dan pengetahuan tentang pasangan pada penelitian ini. Adanya ketidaksesuain tersebut belum bisa peneliti jabarkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini, sehingga bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk lebih memperdalam mengenai keterkaitan antara lama menjalani hubungan pacaran dan pengetahuan tentang pasangan pada emerging adult. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Braaten dan Rosen (1999) mengenai sikap terhadap pernikahan dan juga menggunakan alat ukur yang sama yaitu Marital Attitude Scale, penelitian ini memilki nilai koefisien korelasi yang lebih tinggi yaitu sebesar 0,864. Hal tersebut mungkin dapat terjadi karena adanya pengalihan dan pengadaptasian bahasa yang lebih sesuai dengan sampel pada penelitian ini dan adanya penambahan jumlah item. Penambahan item tersebut peneliti buat berdasarkan hasil survey online mengenai sikap terhadap pernikahan. Survey online tersebut dilakukan dengan memberikan pertanyaan terbuka mengenai pandangan emerging adult terhadap pernikahan. Peneliti juga menanyakan mengenai apa saja keuntungan dan kerugian dari sebuah pernikahan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut peneliti ajukan kepada 30 orang emerging adult usia 18-29 tahun yang telah memiliki pasangan di Jakarta. Adapun kelebihan penelitian ini dibanding penelitian sebelumnya di Indonesia mengenai sikap terhadap pernikahan adalah lebih banyaknya partisipan dalam penelitian ini, karena pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fotineri (2013), partisipan hanya berjumlah kurang dari 100 orang. Dari hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa
59
sikap terhadap pernikahan memiliki korelasi positif dan signifikan dengan kesiapan menikah. Selain itu, penelitian ini juga dapat memberikan informasi kepada pembaca bahwa sikap terhadap pernikahan memiliki hubungan dengan pengetahuan tentang pasangan, dimana semakin positif sikap seseorang maka akan semakin tinggi pula pengetahuan tentang pasangannya, begitupun sebaliknya. Selain memiliki kelebihan, penelitian ini juga memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, kurang menyebarnya partisipan pada lima wilayah di Jakarta, karena persebaran data lebih banyak di daerah Jakarta Selatan yaitu sebesar 53,2% dan persebaran data pada usia kurang merata, terutama pada usia 26 sampai 29 tahun. Kedua, alat ukur Marital Attitude Scale yang digunakan dalam penelitian dibuat tahun 1998, sehingga bahasa yang digunakan masih terlalu baku dan agak sukar dimengerti. Ketiga, terlalu sempitnya waktu yang digunakan untuk pengambilan data penelitian. Keempat, kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbentuk kuesioner online, sehingga peneliti merasa kurang mengontrol keseriusan partisipan ketika mengisi kuesioner.
5.3 Saran Pada bagian ini akan dijelaskan terkait saran mengenai metodologis penelitian dan saran praktis bagi peneliti yang akan melanjutkan penelitian ini maupun yang akan melakukan penelitian serupa.
5.3.1 Saran Metodologis Berikut adalah saran teoritis dari penelitian ini. 1. Penelitian ini melibatkan 250 partisipan dari lima wilayah di Jakarta. Akan lebih baik apabila penelitian ini lebih merata dalam persebaran data dan melibatkan lebih banyak partisipan dari berbagai macam Universitas dan kantor-kantor, maupun lembaga-lembaga formal maupun informal agar lebih representatif pada populasi. 2. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti dapat memilih berbagai variabel yang berkaitan dengan sikap terhadap pernikahan dan pengetahuan tentang pasangan serta tidak hanya melihat hubungan antara variabel tetapi juga melihat pengaruhnya. Peneliti menyarankan untuk melihat hubungan antara sikap
60
terhadap pernikahan dan pengetahuan tentang pasangan dalam memprediksi kepuasan dalam hubungan. 3. Peneliti menyarankan adanya penelitian yang membahas lebih dalam mengenai topik sikap terhadap pernikahan terutama sikap positif terhadap pernikahan dan jenis relationship skills lainnya, seperti resolusi konflik dan komunikasi. 4. Penelitian selanjutnya juga disarankan dapat menggali informasi lebih dalam berkaitan dengan topik pengetahuan tentang pasangan dengan melakukan wawancara guna keperluan penambahan item alat ukur pengetahuan tentang pasangan. 5. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk membahas lebih dalam mengenai keterkaitan antara usia dan sikap terhadap pernikahan, keterkaitan antara usia dan pengetahuan tentang pasangan, dan keterkatitan antara lama menjalani hubungan pacaran dan pengetahuan tentang pasangan.
5.3.2 Saran Praktis Berikut adalah saran praktis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. 1. Bagi para psikolog, konselor pranikah, dan relationship educators diharapkan memperhatikan sikap terhadap pernikahan pada individu yang akan memasuki jenjang pernikahan. Hal tersebut dikarenakan sikap terhadap pernikahan memiliki hubungan dengan relationship skills, khususnya pada keterampilan seseorang dalam mengetahui berbagai hal mengenai pasangannya. 2. Bagi konselor di BKKBN atau pihak-pihak yang terkait dalam usaha mengurangi pernikahan dini, ada baiknya memberikan penyuluhan mengenai sikap terhadap pernikahan. Pihak-pihak tersebut diharapkan dapat menekankan sikap positif terhadap pernikahan, khususnya pada emerging adult yang sedang berada pada masa membentuk sikap terhadap pernikahan. 3. Bagi konselor di BKKBN dan lembaga yang terkait, peneliti menyarankan untuk memberikan pelatihan relationship skills kepada emerging adult karena dari hasil penelitian ini relationship skill pengetahuan tentang pasangan memiliki hubungan positif dengan sikap terhadap pernikahan.