BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab ini akan dijabarkan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi mengenai hasil-hasil yang didapat dalam penelitian, serta beberapa saran oleh penulis untuk dapat digunakan sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya di masa mendatang. Sehingga segala kekurangan yang ada dalam penelitian ini dapat terlengkapi.
5.1 Simpulan Penelitian ini melibatkan 124 partisipan emerging adult yang sudah memiliki rencana muntuk menikah di Jakarta. Berdasarkan hasil uji olah data dengan uji korelasi, maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini hope memiliki korelasi dengan 6 dimensi kesiapan menikah, yaitu komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, latar belakang keluarga dan relasi dengan keluarga besar, agama, serta minat dan pemanfaatan waktu luang, hal tersebut berlaku sebaliknya. Sedangkan, hope tidak memiliki hubungan dengan 1 dimensi kesiapan menikah, yaitu perubahan pada pasangan dan pola hidup. Kemudian, tujuan menikah terbanyak partisipan penelitian ialah ibadah dengan presentase 36.4% dengan jumlah 59 dari total keseluruhan 162 tujuan menikah yang didapat dari 124 partisipan. Tujuan menikah yang didapat oleh penulis lebih dari jumlah partisipan karena beberapa partisipan memiliki jawaban tujuan menikah mereka tidak hanya satu.
5.2 Diskusi Ketika hope memiliki korelasi dengan kesiapan menikah, maka implikasi dalam dunia pernikahan seperti yang dikatakan oleh Worthington, Jr., Ripley, Hook, Miller & Crawford (2007), bahwa hope dapat membawa kedamaian dengan mebangun pernikahan yang kuat dan harmonis. Tanpa hope, maka tujuan bersama dalam hubungan tidak dapat dicapai dan akan terjadi penurunan kepuasan menikah (Westerop, 2002). Berdasarkan ilustrasi Snyder (1994), dengan memiliki hope maka individu dengan pasangannya akan berkomitmen untuk mempertahankan dan menjaga hubungan secara bersama. Lalu, jika pasangan memutuskan untuk berkomitmen jangka panjang maka hal tersebut merupakan
2
kepercayaan bahwa tujuan mereka sesuai satu sama lain dan mereka akan secara aktif mengejar tujuan tersebut. Individu yang memiliki hope yang tinggi, cenderung lebih memiliki gaya pengasuhan yang lebih baik, karena dengan memiliki hope yang tinggi dapat menghadapi stressor dengan lebih baik (Kumar, Mandeep, & Hooda, 2012). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara hope dengan dimensi anak dan pengasuhan. Selain itu, berdasarkan penelitian terdapat hubungan antara hope dengan komunikasi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Umphrey & Sherblom (2014), bahwa hope memiliki korelasi dengan kemampuan individu untuk melakukan komunikasi secara efektif dengan orang lain. Komunikasi yang efektif mencakup kompetensi komunikasi, kompetensi sosial, kemampuan sosial, dan social ability. Kemampuan ini membuat individu memiliki komunikasi yang lebih baik. Definisi komunikasi tersebut senada dengan definisi dimensi komunikasi yang diungkapkan oleh Wiryasti (2004) dimana definisi komunikasi adalah kemampuan untuk mengekspresikan ide atau perasaannya dan mendengarkan pesan, dengan bersikap terbuka, empati, dan mendengarkan secara aktif dan penuh perhatian dengan pasangan. Hope memiliki korelasi dengan aspek keuangan dalam kesiapan menikah. Mengacu pada definisi aspek keuangan yang diungkapkan oleh Wiryasti (2004), bahwa motivasi atau agency adalah dorongan untuk memnuhi kebutuhan atau keperluan rumah tangga dan pathway atau strategi ialah dengan mengatur atau mengendalikan keuangan dalam rumah tangga. Menurut hasil penelitian ini, juga didapatkan hubungan antara hope dengan dimensi agama. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa semakin tinggi hope dalam diri individu maka individu akan semakin menerapkan nilai-nilai religiusitas dalam hubungan individu dengan pasangannya. Hasil tersebut sejalan dengan hasil peneilitian Snyder (1994) yang mengatakan bahwa apabila individu memiliki tingkat hope yang tinggi, maka ia akan memegang teguh nilai-nilai agama di dalam kehidupannya. Selain itu, terdapat pula hubungan antara hope dengan aspek latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar. Mengacu pada definisi aspek latar belakang pasangan dan
3
relasi dengan keluarga besar yang diungkapkan oleh Wiryasti (2004), bila dikaitkan dengan hope maka agency atau motivasi ditinjau dari aspek ini adalah dorongan untuk dapat diterima di keluarga besar pasangan. Lalu, pathway atau strategi adalah dengan mengevaluasi, mengidentifikasi, serta adaptasi nilai-nilai keluarga besar pasangan. Selanjutnya, hope memiliki korelasi dengan aspek minat dan pemanfaat waktu luang. Dimana jika ditinjau melalui definisi aspek ini menurut Wiryasti (2004), maka apabila dikaitkan dengan hope adalah agency dalam aspek ini adalah dorongan individu untuk memahami dan menghargai minat pasangan. Pathway atau strategi dengan toleransi terhadap minat dan pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan pasangan. Berdasarkan hasil penelitian ini, tidak ada hubungan antara hope dengan aspek perubahan pada pasangan dan pola hidup. Salah satu alasan yang dapat menjelaskan tidak adanya hubungan antara hope dengan perubahan pada pasangan dan pola hidup ialah jika dilihat berdasarkan definisi aspek perubahan pada pasangan dan pola hidup yang dikemukakan oleh Wiryasti (2004), dimensi perubahan pada pasangan dan pola hidup tersebut cenderung lebih melihat kemampuan seseorang dalam menerima dan beradaptasi dengan perubahan pola hidup dan pasangan dalam pernikahnnya kelak. Sedangkan hope merupakan kumpulan kognitif motivasi dan strategi seseorang untuk bergerak mencapai tujuannya, hal ini membuat kedua dimensi ini merupakan hal yang berbeda dan tidak terkait. Kelebihan penelitian ini adalah mendapatkan nilai reliabilitas yang lebih baik dibanding dengan nilai reliabilitas awal saat alat ukur kesiapan menikah dimodifikasi oleh Wiryasti (2004). Sedangkan kelemahan dalam penelitian ini adalah terbatasnya waktu pengambilan data dan persebaran data yang kurang terkontrol karena kuisioner disebarkan secara online, serta tidak mengontrol goal antar pasangan.
5.3 Saran 5.3.1 Saran Metodologis Ditinjau dari kesimpulan dan diskusi, penulis memiliki saran untuk peniliti berikutnya bahwa penelitian ini dapat di bawa pada arah penilitian yang lebih luas lagi yaitu peranan atau arah penelitian lainnya. Selain itu, penulis juga memberikan saran untuk lebih mengadaptasi alat ukur The Adult Dispositional (Trait) Hope Scale dengan lingkungan
4
masyarakat Indonesia, serta meneliti secara pasangan sehingga dapat mengontrol goal mereka secra bersama-sama. Selain itu, karena waktu pengambilan data yang dirasa penulis kurang, maka diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat menyediakan waktu lebih lama untuk pengambilan data.
5.3.2 Saran Praktis Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa saran yang diajukan peneliti: 1. Untuk penyelenggara program Suscantin Diharapkan dengan membaca penelitian ini, penyelenggaran program SUSCATIN (Kursus Calon Pengantin) yang terdapat di KUA dapat membahas mengenai dorongan dan strategi individu dengan pasangan dalam hal komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang. Mengingat korelasi tertinnggi dengan aspek latar belakang dan relasi dengan keluarga besar, maka diharapkan penyelenggara program dapat menekankan pentingnya dorongan untuk diterima di keluarga besar pasangan dan mengetahui strategi dengan mengevaluasi, mengidentifikasi, serta adaptasi nilai-nilai keluarga besar pasangan. latar belakang keluarga pasangan dan relasi calon pengantin dengan keluarga besar pasangan.
2. Individu emerging adult yang memiliki rencana untuk menikah Individu emerging adult yang hendak menikah, dapat membaca penelitian ini guna mengevaluasi diri sehingga dapat meningkatkan hope mereka. Bagi individu yang memiliki nilai hope yang rendah, dapat meningkatkan hope dengan pelatihan (Worgan, 2013).
5