BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN
Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai kesimpulan yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian, diskusi mengenai hasil penelitian berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan pada bab sebelumnya dan saran yang sekiranya dapat membantu untuk membangun penelitian selanjutnya.
5.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisi regresi linear yang diperoleh dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa F (1,198) = 11.363, p = 0,001 < 0,05, diketahui nilai signifikansi dari hasil analisis regresi linear sederhana adalah 0,001 < 0,05, maka Ho ditolak sehingga Ha diterima. Artinya keterampilan komunikasi memiliki peranan dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah pada emerging adults di Jakarta. Selain itu, diketahui bahwa keterampilan komunikasi dapat memprediksi persepsi kesiapan menikah secara positif (Beta = 0, 233 < 0,05). Artinya, semakin tinggi keterampilan komunikasi, maka semakin tinggi pula nilai dari persepsi kesiapan menikah. Kemudian besarnya kontribusi peranan keterampilan komunikasi dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah diketahui R square sebesar 0,54. R square = 0,54 x 100% = 5,4% artinya variabel keterampilan komunikasi hanya menyumbang sebesar 5,4%. Sisanya sebesar 94,6% ditentukan oleh variabel lainnya yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.
5.2 Diskusi Hasil analisis regresi sederhana pada peranan keterampilan komunikasi dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah terhadap 200 responden dengan rentang usia 22-29 tahun diketahui keterampilan komunikasi mampu memprediksikan persepsi kesiapan menikah sehingga hipotesis diterima. Berdasarkan hasil yang diperoleh uji regresi sederhana, keterampilan komunikasi memiliki hubungan yang positif dengan persepsi kesiapan menikah. Artinya jika keterampilan komunikasi meningkat maka persepsi kesiapan menikah akan meningkat begitu juga sebaliknya jika keterampilan komunikasi menurun maka kesiapan menikah akan menurun.
Namun, kekuatan peranan keterampilan komunikasi dalam mempredisksi persepsi kesiapan menikah, diketahui memiliki kekuatan prediksi yang lemah. Melalui perhitungan norma kelompok dengan software SPSS versi 22 pada penelitian ini, diperoleh hasil bahwa responden dengan kategori keterampilan komunikasi yang rendah adalah sebanyak 51%, sedangkan kategori keterampilan komunikasi dalam tingkat yang tinggi adalah 49%. Hal ini menunjukkan bahwa kategori keterampilan komunikasi lebih banyak dalam tingkat yang rendah. Selain itu, diperoleh hasil penghitungan software SPSS versi 22 dengan kategori persepsi kesiapan menikah yang rendah adalah 54%. Kemudian, persepsi kesiapan menikah dengan kategori yang tinggi adalah 46%. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa skor persepsi kesiapan menikah lebih banyak skor dengan kategori yang rendah. Penyebab rendahnya keterampilan komunikasi memiliki kekuatan yang lemah dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah ialah karena adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi keterampilan komunikasi dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah yaitu significant other dan tipe kepribadian introvert dan ekstrovert. Dimana dari faktor significant other merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi persepsi kesiapan menikah. Berdasarkan penelitian Holman dan Li (1997) individu akan lebih merasa siap untuk menikah jika individu tersebut mendapatkan dukungan dari peran orang tua dan teman, sehingga individu tersebut dapat merasa lebih yakin terhadap pasangannya bahwa pasangannya adalah pilihan yang tepat bagi dirinya. Hal ini sejalan dengan penelitian Maria (2007, dalam Krisnatuti & Oktaviani, 2010) bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi terjadinya persepsi individu merasa siap untuk menikah adalah persetujuan dari teman sebaya dan orang tua, kedua faktor tersebut sangat menentukan rasa siap untuk menjalani pernikahan. Proses individu sehingga akhirnya merasa dirinya siap adalah melalui dukungan dari orang tua dan teman. Bentuk dukungan dari orang tua dan teman dapat diwujudkan dalam tahap berdikusi. Hal ini berarti jika individu memiliki keterampilan komunikasi yang baik saat berdiskusi dalam bertukar pikiran dan pandangan dengan orang tua dan teman akan membantu inidvidu semakin memiliki persepsi kesiapan menikah (Holman & Li, 1997). Kemampuan berdiskusi tersebut dapat menghasilkan persepsi internal dalam hal memandang konsep pernikahan dan nilai-nilai tentang pernikahan dari informasi yang diperoleh sebelumnya (Putrini, 2002, dalam Krisnatuti & Oktaviani,
2010). Berdiskusi merupakan salah satu hal yang telah dijelaskan oleh penelitian Holman & Li (1997) yaitu ada di dalam interactional process, dimana individu yang memiliki keterampilan komunikasi yang baik serta mendapatkan dukungan dari orang tua dan teman, maka akan semakin menghasilkan persepsi kesiapan menikah yang tinggi. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berdiskusi dapat membantu individu dalam mencapai kesepakatan atas dukungan atau informasiinformasi yang di dapat dari orang tua dan teman. Sehingga, hal tersebut dapat mempengaruhi individu secara langsung untuk merasa lebih siap untuk menikah. Selain itu, faktor lain turut mempengaruhi keterampilan komunikasi dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah adalah tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Unsur tipe kepribadian introvert dan ekstrovert dalam keterampilan komunikasi merupakan unsur yang tidak dapat dilepaskan dalam diri individu. Dimana tipe kepribadian ekstrovert dan introvert memainkan peran penting dalam keterampilan komunikasi (DeGenova, 2008). Menurut Carl Jung (Miller & Perlman, 2008) mengatakan pertemuan dua tipe kepribadian ekstrovert dan introvert pada keterampilan komunikasi dalam proses berinteraksi akan menghasilkan perbedaan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Opt dan Loffredo (2000) menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan keterampilan komunikasi yang dimiliki oleh individu yang dilihat berdasarkan tipe kepribadian introvert dan ekstrovert. Dikatakan dalam penelitian tersebut seseorang yang memiliki preferensi kepribadian introvert memperoleh nilai yang lebih tinggi dalam hal keengganan atau ketakutan seorang individu dalam berbicara dibandingkan dengan seseorang yang memiliki preferensi kepribadian ekstrovert. Sehingga, berdasarkan dari hasil penelitian tersebut memperkuat peneliti bahwa adanya kaitan antara tipe kepribadian dengan keterampilan komunikasi. Selanjutnya, skor peranan keterampilan komunikasi dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah terkait dengan responden pada penelitian ini yaitu emerging adults pada rentang usia 22 sampai dengan 29 tahun yang berstatus bertunangan diperoleh hasil ialah termasuk ke dalam kategori yang rendah. Selain itu, berdasarkan hasil uji percentiles menunjukkan bahwa frekuensi terbanyak pada keterampilan komunikasi dan persepsi kesiapan menikah berada dalam kategori rendah. Hasil tersebut merupakan temuan yang menarik bahwa responden yang sudah bertunangan seharusnya sudah memiliki kemampuan dalam keterampilan komunikasi dan persepsi
kesiapan menikah. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa peranan keterampilan komunikasi dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah pada responden emerging adults yang sudah bertunangan tidak terlalu besar. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Stanley, Rhoades & Fincham, 2011 (dalam Fincham & Cui, 2013) walaupun emerging adults sudah menetapkan keinginannya untuk merasa siap menikah, pada kenyataannya hubungan yang tengah dijalani oleh emerging adults masih tergolong memiliki keterampilan komunikasi yang buruk, agresi, kepuasan dan kualitas hubungan yang rendah, sehingga mereka masih membutuhkan keterampilan komunikasi yang tinggi dalam menjalani hubungan dan memilih pasangan. Selain itu, penyebab rendahnya keterampilan komunikasi pada emerging adults ialah karena emerging adults belum memiliki kemampuan dalam hal bagaimana cara mendengar yang baik dan kemampuan penyelesaian masalah (Rhoades, Stanley, & Markman, 2009 dalam Fincham & Cui, 2013). Hal ini didukung oleh penelitian Bagder (2005) yang menunjukkan bahwa 98% dari emerging adults belum memiliki kemampuan
dalam
keterampilan
komunikasi,
belum
dapat
mengekspresikan
perasaannya, belum mengetahui bagaimana cara mendengarkan orang lain dengan cara memahami, dan belum memiliki kemampuan membahas masalah pribadi ketika berhadapan dengan perbedaan. Selain itu, di dalam penelitiannya yang terdiri 254 subjek emerging adults, mengenai persepsi kesiapan menikah, Badger (2005) menunjukan bahwa sebagian besar emerging adults masih mengidentifikasi pernikahan sebagai tujuan hidup yang penting. Sehingga, walaupun belum memiliki keterampilan komunikasi yang memadai namun mereka tetap memiliki perasaan siap untuk mengambil langkah menuju pernikahan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan pada emerging adults adalah belum bisa memandang keterampilan komunikasi sebagai salah satu hal yang penting untuk dimiliki dalam hal menuju suatu pernikahan. Kemudian, diketahui bahwa keterampilan komunikasi dapat mempengaruhi persepsi kesiapan menikah melalui faktor significant other dan quality communication and level agreement. Sehingga, peneliti berasumsi karena hal itulah peranan keterampilan komunikasi di dalam penelitian ini dapat tergolong lemah atau kecil.
Dalam penelitian ini, rencana yang telah disusun dengan pelaksanaan yang terjadi tidak terlepas dari keterbatasan-keterbatasan yang menjadikan adanya kekurangan didalamnya. Peneliti menyadari bahwa masih terdapat kekurangan yaitu keterbatasan dalam hal jumlah sampel yang masih relatif sedikit jika dibandingkan dengan populasi. Selain itu, peneliti, cukup sulit menemukan sampel penelitian yang sesuai dengan kriteria yaitu bertunangan. Dalam hal perizinan pada pihak gereja untuk tempat pengambilan sampel juga tidak mudah, dan pengambilan data yang melibatkan pasangan, peneliti kurang dapat memberikan kontrol kepada individu untuk tidak mengerjakan kuesioner dengan cara berdiskusi bersama pasangannya. Hal ini dikarenakan, penulis menyebarkan kuesioner melalui sosial media. Selanjutnya, dalam penyebaran kuesioner melalui booklet, peneliti tidak dapat melihat bagi pasangan yang mengisi secara bersamaan dikarenakan booklet tersebut hanya diberikan izin oleh gereja Katolik, gereja Kristen dan KUA di wilayah Jakarta untuk di tinggalkan, untuk pihak gereja peneliti tidak diizinkan untuk masuk dan menemui para peserta kursus pranikah karena kegiatan tersebut bersifat sakral. Sehingga tidak diketahui jumlah pasangan yang mengerjakan kuesioner secara bersama-sama dengan pasangan dan mendiskusikan jawaban apa yang sebaiknya mereka berikan pada kuesioner.
5.3 Saran 5.3.1 Saran Metodologis 1. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan agar memperluas penelitian dengan menambah jumlah responden yang berada di Jakarta agar hasilnya lebih representatif. 2. Untuk memperdalam hasil penelitian, sebaiknya pada studi selanjutnya melakukan wawancara kepada responden. 3. Untuk penelitian selanjutnya yang ingin meneliti persepsi kesiapan menikah, dapat meneliti lingkup yang lebih luas dengan mengikut sertakan dimensi significant others dan sociodemographic. 4. Untuk
penelitian
selanjutnya
yang
ingin
meneliti
keterampilan
komunikasi alangkah baiknya turut memperhatikan tipe kepribadian introvert dan ekstrovert.
5. Untuk penelitian selanjutnya, responden dalam penelitian ini sebaiknya adalah pasangan bukan individu seperti pada penelitian ini agar dapat dibandingkan antara pria dan wanita.
5.3.2 Saran Praktis 1. Bagi para emerging adults yang telah bertunangan disarankan untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan keterampilan komunikasi seperti bagaimana cara mendengarkan, berbagi pikiran dan perasaan serta menahan diri dari mengkritik. Sehingga, dengan mengembangkan dan meningkatkan ketrampilan komunikasi, individu dengan pasangan dapat mengarah kepada pembentukan dan pembinaan hubungan romantis jangka panjang yang lebih baik. 2. Melihat pentingnya keterampilan komunikasi dan persepsi kesiapan menikah bagi kesuksessan untuk melanjutkan hubungan ke arah pernikahan, serta ditemukannya bahwa keterampilan komunikasi dapat memprediksi persepsi kesiapan menikah secara signifikan dalam arah yang positif maka dapat dijadikan landasan bagi pembuatan materi dan dasar pelatihan dalam program pranikah yang diadakan oleh Kantor Urusan Agama, gereja-gereja ataupun penyelenggara bimbingan pranikah lainnya.