Bab V Simpulan, Diskusi, Saran 3.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh bahwa gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional tidak memengaruhi secara signifikan terhadap stres kerja pada pegawai di Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, dimana hasil signifikasi antara gaya kepemimpinan transaksional terhadap stres kerja sebesar 0,459 dan hasil signifikansi antara gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja sebesar 0,202. Untuk hasil perhitungan stres kerja pada penelitian ini, diketahui bahwa skor yang didapatkan berada pada kategori tinggi dengan presentase 35,3%. Dapat disimpulkan dari hasil uraian ini bahwa hipotesis nol (H0) diterima dan hipotesis alternatif (Ha) ditolak, yang berarti tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja.
3.2 Diskusi Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja. Dilihat dari skor mean gaya kepemimpinan, gaya kepemimpinan transformasional lebih sering digunakan oleh pemimpin di Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta dengan skor kisaran 3. Pemimpin berusaha meningkatkan dan memperluas kebutuhan pengikut atau bawahan dan meningkatkan perubahan yang dramatis dari individu-individu, kelompok-kelompok, dan organisasiorganisasi. Kepemimpinan transformasional adalah suatu proses dimana pemimpin dengan pengikut atau bawahan secara bersama-sama sampai kepada moralitas dan motivasi pada tingkat yang lebih tinggi. Jika dilihat dari budaya kerja pegawai di instansi pemerintahan, pegawai Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta merupakan pegawai yang memberikan pelayanan terhadap pegawai lainnya di lingkungan Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Tugas pokok dan fungsi pegawai tertera pada tupoksi yang
53
pegawai dan pemimpin sudah ketahui, dan untuk waktu yang cenderung lama bahkan mungkin seterusnya tidak akan ada perubahan dalam tugas pokok dan fungsi para pegawai di setiap sub bagian. Pegawai di instansi pemerintahan berbeda dengan pegawai di perusahaan swasta yang mana pada perusahaan swasta diperlukan kinerja yang sangat maksimal dan motivasi lebih dari apa yang diharapkan perusahaan demi tercapainya income yang besar bagi perusahaan. Maka akan dipahami mengapa gaya kepemimpinan transformasional yang cenderung lebih sering dilakukan memberikan pengaruh terhadap stres kerja pegawai lebih besar, karena pegawai di instansi pemerintahan cenderung akan melakukan pekerjaan yang hanya tertera di tugas pokok dan fungsinya dalam memberikan pelayanan. Penelitian ini menghasilkan skor gaya kepemimpinan transaksional dibawah gaya kepemimpinan transformasional. Skor gaya kepemimpinan transakional ialah kisaran skor 2 dimana artinya gaya tersebut kadang-kadang dilakukan. Sejalan dengan penelitian Agustina (2009), kepemimpinan transaksional cocok diterapkan pada organisasi yang tidak dihadapkan pada perubahan-perubahan baik dari dalam organisasi (perubahan diri orang-orang yang bekerja dalam organisasi) maupun dari luar organisasi (persaingan bisnis yang semakin ketat). Ini artinya, gaya kepemimpinan transaksional lebih cocok bila diterapkan oleh para pemimpin di instansi pemerintahan, dimana instansi pemerintahan
khususnya
public
servicers
tidak
mendapatkan
tekanan
untuk
meningkatkan income atau bonafit organisasi. Selain itu, pegawai di instansi pemerintahan mendapatkan upah dan tunjangan sesuai dengan pangkat masing-masing dan bukan berdasarkan kinerja yang dihasilkan untuk organisasi. Dengan adanya kesepakatan gaji dan tugas pokok yang sudah ditetapkan untuk masing-masing pegawai, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pegawai lebih cocok dengan diterapkannya gaya kepemimpinan transaksional dibanding kepemimpinan transformasional. Hasil penelitian ini menemukan 35,3% responden mengalami stres dengan kategori tinggi, 21% responden dengan kategori sangat tinggi, 17,6 dengan kategori cukup tinggi, dan 25,5% dengan kategori rendah. Penelitian ini membuktikan bahwa stres dengan kategori tinggi ini memang dialami oleh pegawai, namun ternyata bukan gaya
54
kepemimpinan transaksional dan transformasional yang memberikan pengaruh secara signifikan. Dasar dari penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Robbins (dalam Vitasari, 2010) yang mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan salah satu pemicu arah dalam perkembangan perusahaan atau organisasi dimana gaya kepemimpinan seseorang dalam mengelola organisasi mempunyai pengaruh terhadap stres kerja. Hasil penelitian ini bertentangan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Robbins (dalam Vitasari, 2010) dimana penelitian ini tidak dapat membuktikan bahwa gaya kepemimpinan mempunyai pengaruh terhadap stres kerja. Namun jika dilihat lagi, pernyataan hasil penelitian tersebut hanya menyebutkan gaya kepemimpinan saja dan tidak secara spesifik menyebutkan gaya kepemimpinan seperti apa yang memberikan pengaruh lebih besar terhadap stres kerja. Karena seperti yang kita ketahui, gaya kepemimpinan tidak hanya memiliki satu atau dua jenis, tetapi beragam gaya kepemimpinan yang sudah dipelajari dan diteliti oleh para tokoh, diantaranya gaya kepemimpinan direktif, gaya kepemimpinan supportif, dan banyak gaya kepemimpinan lainnya. Ditambah lagi dengan adanya perbedaan responden, iklim kerja dan karakteristik pegawai di Indonesia tidak bisa disamakan dengan kondisi di luar negeri, sehingga pernyataan tokoh tersebut tidak dapat diikuti secara keseluruhan karena adanya perbedaan budaya kerja antara pegawai di berbagai negara. Dalam artian, apabila berdasarkan dasar pernyataan hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan adanya pengaruh gaya kepemimpinan terhadap stres kerja, tidak berarti penelitian yang dilakukan kemudian hari harus mendapatkan hasil dan kesimpulan yang serupa dengan apa yang sudah dikemukakan oleh tokoh/peneliti sebelumnya. Perbedaan responden dapat menjadi salah satu pemicu perbedaan hasil penelitian. Analisis tambahan dilakukan untuk melihat skor aspek-aspek dari setiap variabel pada setiap sub bagian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dalam setiap sub bagian, aspek mana yang lebih sering dilakukan untuk variabel gaya kepemimpinan dan aspek mana yang lebih sering dirasakan untuk variabel stres kerja Analisis tambahan berikutnya dilakukan untuk mencari besarnya tingkat stres kerja berdasarkan data demografis yaitu usia, jenis kelamin, dan pendidkan terakhir.
55
Berdasarkan usia, menurut Gibson (dalam Rachmaningrum, 1999) individu yang lebih tua cenderung lebih muda mengalami stres dibanding yang lebih muda. Hal ini karena faktor fisiologis yang telah mengalami kemunduran visual, kemampuan berpikir, mengingat, dan mendengar. Namun dalam penelitian ini, stres yang dialami oleh dewasa muda (20-40 tahun) lebih besar dibanding stres yang dialami dewasa madya (41-55 tahun) hal ini mungkin dikarenakan kemampuan individu pada dewasa madya di Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta dalam mengatasi stres lebih baik. Berdasarkan jenis kelamin, wanita cenderung lebih rentan terhadap stres kerja dibanding pria karena secara fisiologis yang unik yang dapat memicu timbulnya stres, wanita mengalami perubahan hormon setiap bulan pada saat mengalami menstruasi; kemudian selama sembilan bulan saat mengandung, dilanjutkan dengan menyusui; dan pada masa-masa menjelang menopause. Tekanan yang dialami pada masa-masa tersebut akan memudahkan timbulnya stres pada wanita yang mengakibatkan stres saat bekerja. (Shreve dan Lone, dalam Rachmaningrum, 1999). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini dimana wanita menempati kategori stres tinggi, sementara pria di kategori stres cukup tinggi. Berdasarkan tingkat pendidikan, Betz dan Fitzgerald (dalam Rachmaningrum, 1999) menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi respon fisiologis yang muncul dari stres. Tingkat pendidikan yang tinggi cenderung menyebabkan pola pikir dan pandangan hidup lebih baik. Individu dengan tingkat pendidikan tinggi akan mengalami perubahan pola piker yang lebih maju, sehingga dalam memandang masalah tidak hanya dari satu sisi saja melainkan dari berbagai sudut pandang. Hal ini tentu saja dapat meminimalisir tingkat stres ndividu. Hal ini juga sesuai dengan penelitian ini, dimana urutan stres dari sangat tinggi sampai rendah dialami oleh SMA dengan sangat tinggi, Diploma tinggi, S1 cukup tinggi, dan S2 rendah.
3.3 Saran 3.3.1
Saran Teoritis 1. Penelitian dengan judul ini tergolong sedikit, karena lebih banyak penelitian yang fokus hanya pada satu gaya kepemimpinan saja, misalnya gaya 56
transaksional saja. Selain itu lebih banyak penelitian yang mengakitkan antara gaya kepemimpinan dengan kinerja pegawai. Dengan hasil penelitian ini yang tidak menemukan pengaruh antara variabel gaya kepemimpinan dengan variabel stres kerja, penelitian selanjutnya bisa mengidentifikasi faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap stres kerja atau juga mengkaitkan antara gaya kepemimpinan dengan stres kerja dan faktor lainnya misalnya kepuasan pegawai atas gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh atasan mereka. 2. Penelitian ini rentan dengan faking good dari pegawai yang tidak ingin terlihat stres dalam melaksanakan tugasnya dan juga fake dalam menilai bagaimana pemimpinnya bertindak dalam memimpin mereka. Apalagi untuk responden di instansi pemerintahan dalam penelitian ini yang mana setiap sub bagian hanya berisi tidak lebih dari 20 orang. Dari pengamatan peneliti, repsonden khawatir apabila jawaban yang mereka berikan dalam kuesioner penelitian akan diberikan feedbacknya kepada atasan mereka dan dengan jumlah anggota sub bagian yang cukup sedikit akan jelas terlihat jawaban mereka. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan lebih memperhatikan kontrol terhadap responden demi menghilangkan faking good berlebih dari responden. 3. Penelitian ini melibatkan responden yang cukup sedikit, hanya 51 dari 60 responden yang diharapkan. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar memperluas populasi responden agar lebih bermanfaat bagi pegawai lainnnya.
3.3.2
Saran Praktis 1. Berdasarkan hasil skor stres kerja, pegawai di Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta mengalami tingkat stres yang tinggi. Dengan adanya analisis per aspek variabel stres kerja, masing-masing pemimpin di sub bagian sekretariat dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk melakukan intervensi demi mengurangi tingkat stres kerja yang dialami oleh pegawai. Misalnya, di Sub Bagian Kepegawaian aspek role ambiguity menempati skor tertinggi dibanding aspek lainnya. Disinii pegawai merasa bingung dan tidak memiliki 57
arah yang jelas akan tugas, tujuan, dan peran mereka. Maka pemimpin Sub Bagian Kepegawaian dapat memperjelas bagaimana peran masing-masing pegawai dan apa saja tugas pokok yang harus mereka kerjakan. 2. Berdasarkan hasil penelitian ini, pemimpin dapat mengevaluasi bagaimana gaya kepemimpinannya dengan cara membandingkan teori yang dijabarkan dalam penelitian ini dengan bagaimana pemimpin bertindak sehari-hari. Dari hasil evaluasi pemimpin dapat melakukan perbaikan gaya kepemimpinan, karena dengan pendekatan dan gaya kepemimpinan yang sesuai diterapkan oleh pemimpin kepada bawahan, maka bawahan akan memberikan kepercayaan lebih kepada pemimpin dan setiap arahan dari pemimpin demi tercapainya tujuan organisasi dapat terlaksana dengan baik. 3. Pemimpin baiknya lebih sering berkomunikasi dengan bawahan dan melakukan umpan balik (feedback) serta diskusi dengan bawahan agar dapat mencapai titik tengah yang menguntungkan antara pemimpin dan bawahan dimana pemimpin akan mengetahui gaya kepemimpinan seperti apa yang diharapkan oleh bawahan, dan bawahan akan merasa nyaman dengan gaya kepemimpinan tersebut sehingga mengurangi tingkat stres kerja pegawai.
58