BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Simpulan .
Perkara perceraian bukan merupakan sebuah babak akhir bagi pasangan
suami istri yang memutuskan untuk bercerai, melainkan merupakan sebuah babak baru bagi persoalan berikutnya, salah satunya adalah tentang hak asuh anak. Perkara hak asuh anak merupakan sebuah hal yang kompleks. Kompleksitas tersebut dimulai dari konsekuensi negatif yang mungkin dialami oleh anak pasca perceraian, faktor-faktor yang mempengaruhi diri hakim dalam pengambilan keputusan tentang hak asuh anak, hingga aspek legal / aturanaturan hukum yang digunakan hakim untuk menangani persoalan hak asuh anak. Penelitian ini berfokus pada keputusan hakim tentang hak asuh anak pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) yang dievaluasi berdasarkan perspektif legal norm. Melalui perspektif ini, kualitas keputusan hakim tentang hak asuh anak dinilai dari seberapa jauh hakim mengandalkan aspek legal / aturan-aturan hukum yang relevan dan menaati doktrin-doktrin hukum yang berlaku. Apabila dalam membuat keputusan hakim menggunakan aturan hukum yang relevan dan mentaati doktrin hukum yang berlaku, maka kualitas keputusan hakim dinilai baik. Sebaliknya, jika keputusan hakim dilandasi oleh aturan hukum yang kurang relevan dan tidak mentaati doktrin-doktrin hukum yang berlaku, maka kualitas keputusan hakim dinilai buruk. Keberadaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA) sebagai aturan legal / hukum yang membahas persoalan hak asuh anak menjadi persoalan tersendiri. Kedua aturan hukum ini memiliki konsep yang secara substansial berbenturan.
2
KHI menganut tender years yang cenderung menganggap ibu adalah pihak yang paling berhak mendapatkan hak asuh anak. Sementara, UUPA memegang prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child). UUPA sebagai aturan yang terkini, lebih khusus, dan lebih tinggi derajat hukumnya dibandingkan KHI semestinya digunakan hakim sebagai rujukan hukum dalam mengambil keputusan tentang hak asuh anak. Namun, ada dugaan hakim masih mengandalkan KHI dalam mengambil keputusan. Evaluasi keputusan hakim berdasarkan legal norm bermuara pada usaha peneliti untuk mengidentifikasi seberapa sering hakim mencantumkan UUPA sebagai dasar hukum dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak setelah tahun 2002 (pasca lahirnya UUPA) dan melihat apakah keputusan hakim tentang hak asuh anak masih mencantumkan KHI sebagai rujukan hukum pasca lahirnya UUPA. Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif dengan menggunakan metode content analysis. Untuk mengevaluasi keputusan hakim, peneliti menggunakan subjek yang ‘tidak hidup’, yakni keputusan hakim. Melalui keputusan hakim, peneliti dapat menyelami kondisi psikologis hakim dalam membuat keputusan yudisial (psychological of judicial decision making). Asumsinya, keputusan hakim merupakan produk kognisi dan perilaku hakim yang
dieksternalisasikan
dan
di
eksplisitkan.
Sehingga,
ketika
peneliti
mencermati keputusan yang dihasilkan hakim, sesungguhnya peneliti sedang membaca kognisi dan pola perilaku hakim. Hasil pengukuran menemukan, banyak di dalam keputusan hakim masih tercantum KHI sebagai landasan hukum dalam pengambilan keputusan. Dari 100 sampel penelitian, ditemukan 69% keputusan hakim mencantumkan KHI. Ditambah lagi, 11% keputusan hakim mencantumkan KHI dan UUPA. Secara total, terdapat 80% keputusan hakim yang mencantumkan KHI.
3
Disisi lain, keputusan hakim yang mencantumkan UUPA hanya 4%. Artinya, dari 100 sampel keputusan hakim, hanya ditemukan 4 keputusan hakim yang mencantumkan UUPA. Sisanya, ditemukan 16% keputusan hakim sama sekali tidak mencantumkan UUPA maupun KHI. Dari minimnya penggunaan UUPA sebagai landasan hukum yang relevan dalam penetapan hak asuh anak (hanya 4% dari seluruh sampel penelitian), peneliti menarik kesimpulan bahwa kualitas keputusan hakim dapat dikatakan buruk, setidaknya dari tiga sisi. Pertama, dari sisi doktrin hukum, keputusan hakim tidak mematuhi doktrin lex posteriori derogate lege priori, lex superiori derogate lege priori, dan lex specialis derogate lege general dimana hakim masih sangat minim menggunakan UUPA. Kedua, dari sisi kode etik dan pedoman perilaku hakim, hakim terindikasi tidak memperluas pengetahuannya terkait penetapan pengasuhan anak karena keputusan hakim cenderung simplistis. Hal ini dapat dicerminkan dari tidak adanya upaya hakim untuk mencermati lebih lanjut mengenai kompetensi orang tua dalam mengasuh anak, apalagi melibatkan amicus curiae. Ketiga, dari sisi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang
Kekuasaan
Kehakiman,
mayoritas
hakim
tidak
mempertimbangkan informasi yang relevan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan tentang hak asuh anak. Hal tersebut tercermin dari total 80% keputusan hakim masih mencantumkan KHI. Padahal, secara substansi, aturan hukum yang relevan untuk menangani hak asuh anak bukan KHI, melainkan UUPA 5.2 Diskusi Ilmu psikologi hadir karena kompleksitas yang terdapat dalam diri manusia.
Perbedaan
latar
belakang,
pengalaman
pribadi,
nilai-nilai,
kepercayaan, profesi dan sebagainya menjadikan setiap manusia unik. Itu sebabnya, setiap manusia memiliki perbedaan dan keunikannya tersendiri, dan
4
sudah barang tentu memuat kompleksitasnya masing-masing. Selama ada manusia dengan sejuta kompleksitasnya, maka selama itulah ilmu psikologi hadir disisinya ibarat sebuah rel yang selalu beriringan. Ranah hukum, khususnya persidangan adalah salah satu cakupan dari ilmu psikologi, persisnya psikologi forensik. Orang-orang yang berada di ranah hukum, seperti tersangka kejahatan, saksi mata, korban, maupun penegak hukum itu sendiri merupakan subjek yang menarik untuk diteliti. Meskipun psikologi forensik dapat digolongkan cabang psikologi yang baru seumur jagung dibandingkan cabang-cabang psikologi lainnya, bagaimanapun, selalu ada celah bagi ilmu psikologi untuk ‘membaca’ perilaku maupun kondisi mental orangorang yang berada di ranah hukum. Menggali perilaku dan kondisi mental pihakpihak yang berada di dalam ranah hukum (misalnya saja hakim), memungkinkan kita mengevaluasi sejauh mana hakim memiliki kinerja yang baik dan menjalankan perannya sebagai penegak hukum. Itu sebabnya, sebuah hal yang menarik apabila bisa menyelami psikologis mereka. Hakim sebagai wakil Tuhan di dunia yang menjalankan peran penegak keadilan, memikul tanggung jawab yang besar dalam menegakkan keadilan yang seadil-adilnya. Apabila keputusan yang dihasilkan hakim tidak mengandung unsur keadilan yang seadil-adilnya, maka niscaya penegakan hukum yang adil tidak akan pernah terlaksana. Untuk memastikan hakim menjalankan tugasnya dengan baik, adanya evaluasi mengenai perilaku hakim merupakan hal yang penting dan sudah semestinya dilakukan. Evaluasi perilaku hakim bukan hanya sekedar penting dilakukan untuk memastikan sejauh mana hakim bekerja dengan baik, tetapi juga sebagai langkah improvisasi kinerja hakim yang lebih baik. Seiring peningkatan kinerja hakim yang ditandai dari meningkatnya pengetahuan dan keterampilan hakim terkait segala aspek hukum, akan membesarkan peluang tegaknya keadilan yang seadil-adilnya dan mengecilkan
5
resiko munculnya keputusan-keputusan hakim yang kontraproduktif bagi para pihak yang berkasus hukum. 5.3 Saran Penelitian
ini
bersifat
studi
kearsipan
(archival
study)
dengan
menggunakan metode content analysis. Melalui cara ini, peneliti dapat mengkaji sebuah isi informasi tanpa perlu bertemu dengan subjek penelitian karena data yang digunakan adalah data tidak langsung / data kearsipan (archival data) Dengan kata lain, peneliti mengumpulkan informasi dengan cara menela’ah data kearsipan yang merupakan hasil produk yang dibuat oleh subjek penelitian kemudian menganalisisnya; dalam hal ini, peneliti ‘menyelami’ kondisi psikologis hakim melalui keputusan yang hakim hasilkan. Melalui keputusan tersebut, peneliti dapat mengevaluasi perilaku hakim. Dengan melakukan penelitian yang bersifat studi kearsipan, peneliti menemukan bahwa penelitian ini tidak mendorong peneliti untuk mengumpulkan data dengan cara bertemu langsung dengan subjek penelitian, membuat kuisioner, melakukan tahap expert judgement, menguji reabililitas dan validitas, dan sebagainya, melainkan mendorong peneliti untuk langsung berfokus pada tahap-tahap yang diutarakan Shaughnessy, Zechmeister, dan Zechmeister (2009), yaitu mengidentifikasi sumber data yang relevan, menyeleksi sampel dan melakukan koding untuk memformulasikan data. Pada akhirnya, dengan cara tersebut, peneliti dapat merasakaan beberapa manfaat seperti menghemat waktu, biaya dan tenaga. Atas dasar itu, peneliti merekomendasikan penelitianpenelitian sejenis selanjutnya juga dapat menggunakan content analysis. Sekilas, metode content analysis terlihat sederhana, tetapi pada prakteknya metode ini cocok digunakan untuk penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kasus hukum, seperti yang dikatakan oleh Hall & Wright (dalam Raharjo 2010), pada permukaan content analysis tampak sederhana, bahkan tak berarti.
6
Namun, content analysis merupakan metode yang sangat baik dalam membaca kasus-kasus hukum. Dengan keunggulan tersebut, metode ini membawa ilmu pengetahuan sosial untuk memahami kasus hukum. Pada akhirnya, metode ini dapat menciptakan sebuah bentuk legal tersendiri dari sebuah empirisme.