BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
5.1 Simpulan
Pelaksanaan praktik khitan perempuan sering kali disandingkan dengan budaya dan agama tertentu, khususnya agama Islam. Tanpa bukti-bukti empiris, bukanlah tidak mungkin agama dijadikan alasan untuk melegitimasi praktik khitan perempuan. Pembenaran praktik khitan perempuan dengan dalil agama menjadi kontras dengan perspektif internasional yang memandang praktik khitan perempuan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kecenderungan dunia internasional yang mengesampingkan pertimbangan agama dalam mengambil tindakan atas praktik khitan perempuan dapat menyebabkan benturan antara nilai sakral keagamaan dan pertimbangan pragmatis (kemanfaatan) praktik khitan perempuan. Atas dasar itu, penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi mengenai sikap tokoh agama terhadap praktik khitan perempuan berdasarkan denominasi dalam agama Islam. Tokoh agama Islam merupakan figur yang dipandang lebih ahli dalam dalil agama Islam dan memiliki kekuatan legitimasi untuk memengaruhi pola pikir masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan mixed method research, penelitian ini bertujuan untuk 1) menginformasikan gambaran sikap tokoh agama terhadap praktik khitan perempuan berdasarkan denominasi dalam agama Islam, 2) mengidentifikasi kesesuaian antara sikap dan perilaku tokoh agama dalam menerapkan praktik khitan perempuan, serta 3) mengidentifikasi unsur pembentuk sikap yang paling memengaruhi perilaku individu dalam menerapkan praktik khitan perempuan. Penelitian ini menjadikan tiga kelompok dalam Agama Islam sebagai populasinya, yaitu pengurus Lembaga Bahtsul Masail Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama, pengurus Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan pengurus Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia bagian Ibadah. Hasil pengukuran sikap 19 partisipan dari Lembaga Bahtsul Masail Pengurus
Besar
Nahdlatul
Ulama
terhadap
praktik
khitan
perempuan
menunjukkan sebanyak 17 (89,5%) partisipan menerima praktik khitan perempuan dan 2 (10,5%) partisipan menolak praktik khitan perempuan. Sikap individual tersebut tampak selaras dengan sikap resmi organisasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bahwa hukum praktik khitan perempuan adalah sunnah selama dilakukan sesuai dengan ajaran agama Islam yaitu menghilangkan sebagian kecil dari kulit ari yang menutupi klitoris. Hasil pengukuran sikap 14 partisipan dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan
Pusat
Muhammadiyah
terhadap
praktik
khitan
perempuan
menunjukkan sebanyak 1 (7,1%) partisipan menerima praktik khitan perempuan dan 13 (92,9%) partisipan menolak praktik khitan perempuan. Sikap individual tersebut tampak selaras dengan sikap resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang tidak menganjurkan praktik khitan perempuan. Hasil pengukuran sikap 11 partisipan dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia bagian Ibadah terhadap praktik khitan perempuan menunjukkan sebanyak 10 (90,9%) partisipan menerima praktik khitan perempuan dan 1 (9,1%) partisipan menolak praktik khitan perempuan. Sikap individual tersebut tampak selaras dengan sikap resmi Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia bagian Ibadah bahwa praktik khitan perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan selama sesuai dengan cara khitan yang tepat seperti yang tercantum dalam fatwa MUI mengenai praktik khitan perempuan.
Terkait kesesuaian antara sikap dan perilaku tokoh agama dalam menerapkan praktik khitan perempuan, baik partisipan 1 dan partisipan 2 dari Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, partisipan 3 dan partisipan 4 dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, maupun partisipan 5 dan partisipan 6 dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia bagian Ibadah menunjukkan kesesuaian antara sikap dan perilaku mereka dalam menerapkan praktik khitan perempuan. Artinya, hasil pengukuran sikap partisipan melalui TEASoC dapat memrediksi perilaku partisipan. Partisipan 1, partisipan 2, partisipan 5, dan partisipan 6 memiliki sikap menerima praktik khitan perempuan yang sejalan dengan perilaku mereka menerapkan praktik khitan perempuan. Partisipan 3 dan partisipan 4 memiliki sikap menolak praktik khitan perempuan yang sejalan dengan perilaku mereka tidak menerapkan praktik khitan perempuan. Di samping menggunakan metode wawancara, guna mengidentifikasi unsur pembentuk sikap yang paling memengaruhi perilaku individu dalam menerapkan praktik khitan perempuan, peneliti menggunakan metode Q-Sort. QSort yang dikenakan pada partisipan 1, partisipan 2, partisipan 3, partisipan 4, partisipan 5, dan partisipan 6 menunjukkan ajaran agama sebagai unsur pembentuk sikap yang paling memengaruhi perilaku individu dalam menerapkan praktik khitan perempuan.
5.2 Diskusi
Penelitian ini bersifat ulayat dan memiliki irisan pada disiplin psikologi, sosiologi, dan agama. Eksisnya unsur nilai keagamaan jelas tidak bisa dikaji dengan paradigma positivisme yang justru menihilkan nilai dengan memberikan hasil yang signifikan secara statistik tetapi belum tentu signifikan secara
individual (Gross, 2009). Atas dasar itu, peneliti menggunakan pendekatan New Paradigm Research yang menawarkan pendekatan terintegrasi yang bersifat objektif
-melalui
tinjauan
statistik-
sekaligus
subjektif
-melalui
metode
wawancara-. Melalui metode kuesioner, wawancara, dan Q-Sort, peneliti memberikan ruang bagi partisipan untuk memberikan informasi dari sudut pandang emic. Menurut Pike dalam Gross (2009), sudut pandang emic mempelajari perilaku individu dari pelaku yang mempraktikkan isu penelitian. Sudut pandang yang bertolak belakang dengan sudut pandang emic dalam mempelajari perilaku adalah sudut pandang etic yang mempelajari perilaku dari luar sistem kelompok yang dikaji. Terkait isu mengenai praktik khitan perempuan, dengan sudut pandang emic, partisipan sebagai pelaku dalam praktik khitan perempuan dapat memberikan jawaban yang informatif dan menampilkan keunikan pribadi setiap partisipan dibanding melalui sudut pandang etic. Penelitian ini turut menampilkan kekhasan psikologi feminisme, dalam Gross (2009), yang memberikan ruang luas bagi pembaca khususnya kaum perempuan untuk memberikan pemaknaan pribadi terhadap praktik khitan perempuan.
5.3 Saran
Selama proses penelitian berlangsung, peneliti merasakan manfaat dengan menggunakan pendekatan New Paradigm Research. Dalam Gross (2009), New Paradigm Research menawarkan pendekatan terintegrasi yang bersifat objektif -melalui tinjauan statistik- sekaligus subjektif -melalui metode
wawancara-. Sampel penelitian tidak hanya ditinjau secara statistik tetapi juga dintegrasikan dengan metode yang mengusung keunikan sebagai individu. Hasil penelitian ini menyajikan bukti empiris yang didukung penghitungan statistik, serta diperkaya dengan upaya mendalami keunikan informasi dari setiap individu dengan menggunakan metode wawancara dan Q-Sort. Terlebih lagi, penelitian-penelitian yang melibatkan isu-isu personal seperti halnya praktik khitan perempuan hanya dapat dipahami oleh individu yang bersangkutan. Penggunaan metode yang lebih variatif membuat penelitian ini maupun penelitian pada masa yang akan datang terasa lebih menarik dibanding sebatas mengandung informasi statistik.
-“It is preferable to be deeply interesting than accurately boring”(Gross, 2009)