Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer, Tremblay, Trimble, 2006: xvi)
5.1. Kesimpulan Dari hasil studi yang dilakukan di Kabupaten Klaten, penulis menyimpulkan bahwa proses politik dan mekanisme perwakilan politik masih belum berhasil mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan perempuan di kabupaten tersebut. Hak-hak politik perempuan secara umum masih terpinggirkan dalam agenda-agenda politik yang dibicarakan di DPRD Kabupaten Klaten. Kebutuhan dan kepentingan perempuan masih dinilai sebagai sesuatu yang bersifat perempuan dan domestik dibandingkan sebagai sesuatu yang bersifat publik dan politis. Wakil rakyat yang secara langsung mempunyai konstituen utama kaum perempuan memang memperjuangkan isu-isu yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan perempuan. Isu-isu tersebut adalah kebutuhan ekonomi keluarga, persoalan pendidikan, lapangan pekerjaan, dan pelayanan kesehatan serat kebutuhan dasar lainnya. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan yang diperjuangkan di dalam lembaga parlemen lebih bersifat konvensional, instant, dan menjadi semacam “pemadam kebakaran”. Tidak ada cukup upaya untuk merumuskan kebijakan-kebijakan publik yang benar-benar membidik akar persoalan, yaitu perbaikan kapasitas individual perempuan melalui pendidikan dan penyadaran politik. Adanya bias pemahaman akan kebutuhan dan kepentingan perempuan antara wakil rakyat dan konstituen yang diwakili
83
cenderung memperlambat atau bahkan menghambat pemenuhan pelibatan perempuan dalam proses-proses politik di tengah relasi dominan kuasa patriarki yang masih bercokol dalam bentuk nilai-nilai sosio-kultural dan relijius di dalam masyarakat. Politik merupakan proses interaksi sosial yang mempertemukan kebutuhan dan kepentingan para pihak yang berinteraksi. Titik-temu dalam proses interaksi itu dipengaruhi dan ditentukan oleh relasi kuasa di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Relasi kuasa yang timpang akan memunculkan dominasi kelompok yang satu atas kelompok lainnya. Dominasi laki-laki di dalam proses-proses politik berakibat tersisihnya kebutuhan dan kepentingan perempuan di dalam setiap proses pengambilan keputusan politik. Karena itu upaya untuk mendesakkan kepentingan dan kebutuhan perempuan ke dalam proses politik merupakan hal yang penting. Kendati sudah dilakukan sejak lama, upaya untuk menyetarakan hak-hak politik perempuan di Indonesia masih jauh dari keberhasilan. Tindakan afirmatif untuk menghadirkan lebih banyak wakil perempuan di parlemen melalui kebijakan kuota ternyata tidak serta-merta menyelesaikan persoalan. Selain hanya berhasil menaikkan sedikit persentase komposisi perempuan di parlemen, kebijakan kuota tidak cukup mampu menjamin terwakilinya kepentingan dan kebutuhan perempuan di dalam proses politik. Peran dan partisipasi perempuan merupakan prasyarat mutlak bagi proses demokrasi. Pada prinsipnya perempuan merupakan pelaku politik yang paling memahami kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri. Sebagai warga negara, mereka seharusnya berhak terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan publik, khususnya yang berhubungan langsung dengan kepentingan mereka.
84
Sementara tindakan istimewa untuk menghadirkan lebih banyak perempuan di ranah politik belum terlaksana secara optimal. Memang sejak wacana kuota 30% didengungkan jumlah representasi perempuan yang duduk di kursi legislatif dan eksekutif mengalami peningkatan. Hal ini tentu saja perlu mendapatkan apresiasi bahwa semakin banyak perempuan yang menempati posisi strategis dalam proses-proses politik. Akan tetapi hal ini tetap perlu dikritisi bahwa sampai saat ini makin meningkatnya kehadiran perempuan di parlemen masih belum dibarengi dengan meningkatnya kesadaran politik tentang pemenuhan kebutuhan dan kepentingan perempuan dalam proses-proses politik yang melahirkan kebijakan politik. Persoalan minimnya keterwakilan perempuan dalam politik semakin menguat ketika para wakil rakyat lebih membawa agenda-agenda politik partai dibandingkan agenda-agenda politik konstituennya. Agenda politik partai masih menjadi penjuru bagi wakil rakyat dalam menjalankan program untuk rakyat ditunjukkan dengan belum terintegrasikannya program-program yang berkaitan dengan isu perempuan di dalam program kerja antar fraksi. Implikasi penting dari hal ini tentu saja sebuah kebijakan dan program kerja yang temporer dan cenderung pragmatis sifatnya dibandingkan sebuah kebijakan dan program kerja yang berkelanjutan tanpa terhambat oleh sekat-sekat institusi politik yang bekerja untuknya. Minimnya intensitas relasi antara wakil rakyat dan konstituen menyebabkan munculnya perbedaan persepsi dalam merumuskan kebutuhan dan kepentingannya yang pada akhirnya semakin memperkuat dikotomi antara politik formal dan politik informal. Wakil rakyat lebih cenderung mengedepankan politik formal melalui jalur-jalur resmi kekuasaan yang mempunyai aturan dan tatanan yang bersifat tegas, permanen dan
85
birokratis. Sementara konstituen cenderung menjalankan politik informal keseharian yang bersifat lentur dan permisif. Hal ini mengakibatkan kurang maksimalnya pemenuhan kebutuhan dan kepentingan antara wakil rakyat dan konstituen karena perbedaan persepsi yang sangat kuat. Kehadiran pihak ketiga, dalam hal ini para aktivis LSM sedikit banyak mampu berperan sebagai intermediary agent antara kelompok politik dan kelompok masyarakat. Para aktivis melalui program kerja institusi berupaya untuk melihat secara lebih detil kebutuhan dan kepentingan perempuan yang menjadi dampingannya. Proses-proses kerja yang dilakukan oleh para aktivis pada umumnya lebih bersifat partisipatoris dengan mengikutsertakan dampingannya untuk aktif terlibat sejak dari perumusan persoalan, pencarian alternatif solusi, pelaksanaan hingga pada evaluasi kerja. Dalam proses pemenuhan kebutuhan dan kepentingan perempuan, para aktivis LSM menggunakan pola gerakan yang terlihat lebih leluasa dibandingkan aktivis partai, salah satu alasannya adalah intensitas relasi yang lebih sering sehingga mampu mengungkap lebih banyak persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan. Pola relasi yang terbangun cenderung setara dibandingkan dengan aktivis partai. Akan tetapi meskipun aktivis LSM secara substansi mampu memberikan pemahaman dan penyadaran kritis mengenai kesetaraan hak politik bagi semua warga, khususnya perempuan, mereka masih sering terjebak pada pola pendampingan konvensional, yaitu pendekatan terhadap kelompok perempuan, bukan ke semua kalangan, dan isu-isu domestik. Upaya pendekatan ke semua kalangan sering dilakukan tetapi belum maksimal sehingga terkesan upaya pendidikan kritis dan penyadaran hak politik akan pentingnya
86
pemenuhan kebutuhan dan kepentingan perempuan belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Baik aktivis partai maupun aktivis LSM menghadapi kendala yang mirip berkaitan dengan implementasi program kerja, yaitu kendala prinsip dasar organisasi dan partai. Aktivis partai terjebak pada instruksi garis besar partai, yang membuat mereka sulit untuk mengeksplorasi program sesuai dengan kebutuhan konstituen. Sementara aktivis LSM cenderung terjebak pada aturan yang diterapkan oleh donor yang menjadi pendukung program mereka. Kendala yang lain adalah adanya tahun anggaran dan target capaian secara kuantitas yang membatasi keberlanjutan program kerja mereka. Hal ini pada akhirnya memberi kesan bahwa proses-proses penyadaran untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan perempuan yang harus terhenti pada saat tertentu lebih sebagai sebuah mobilisasi massa daripada sebuah proses pemberdayaan secara substantif. Pendidikan dan penyadaran politik perempuan yang dilakukan oleh aktivis LSM relatif berhasil menumbuhkan kesadaran perempuan akan pentingnya aksi kolektif untuk memecahkan persoalan bersama. Dalam batas tertentu, program-program pemberdayaan perempuan itu berhasil membawa ‘politik’ ke dalam lingkungan sosial perempuan. Bagi sebagian perempuan, yaitu mereka yang berkesempatan memperoleh pendidikan dan penyadaran politik, politik tidak lagi semata-mata dipahami sebagai persoalan yang berkaitan dengan urusan kenegaraan, akan tetapi menjadi cara kolektif untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi sehari-hari. Akan tetapi, pemahaman ini masih jauh dari pengertian ‘new politics’ atau ‘new social movement’ karena masih lemahnya karakter partisipatif dari kolektivitas gerakan perempuan yang ada.
87
Dari perspektif representasi, kesadaran kolektif perempuan itu juga belum bisa mendorong tumbuhnya representasi substantif. Kendala kultural dan struktural masih mengikat perempuan untuk terus berada di dalam keterbatasan representasi deskriptif di tataran politik formal (melalui kehadiran anggota perempuan di parlemen) dan representasi simbolik pada tataran politik non-fomal (melalui peran laki-laki kepala rumah tangga di dalam forum-forum pertemuan warga).
5.2. Rekomendasi Sedikitnya ada empat strategi dan aksi yang bisa diambil yang perlu dilakukan untuk meningkatkan peran dan partisipasi perempuan dalam proses politik. Pertama, strategi dan aksi politik terhadap negara. Di dalam negara ini tercakup lembaga-lembaga negara, parlemen dan partai politik. Lembaga-lembaga negara dalam hal ini adalah pemerintah dan birokrasi merupakan institusi pemegang kekuasaan untuk mendorong partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik. Upaya melalui parlemen sedikitnya melalui empat bidang perubahan yang berdampak pada partisipasi perempuan. Bidang perubahan tersebut adalah (a) Institusional/Prosedural: membuat parlemen lebih ‘ramah perempuan’ melalui langkah-langkah yang memajukan kepedulian gender yang lebih besar; (b) Representasi: Menjamin keberlanjutan dan peningkatan akses perempuan ke parlemen, dengan mendorong calon-calon perempuan, merevisi undang-undang
pemilu,
Dampak/pengaruh
memajukan
terhadap
keluaran
legislasi
yang
(Output):
berperspektif
“Feminisasi”
gender;
legislasi
(c)
dengan
memastikan bahwa ia sudah memperhitungkan kebutuhan dan kepentingan perempuan; dan (d) Diskursus: Mengubah bahasa parlementer sehingga perspektif perempuan
88
menjadi suatu hal yang wajar dan mendorong perubahan sikap terhadap persepsi mengenai kebutuhan dan kepentingan perempuan bukan lagi semata-mata persoalan yang berkaitan dengan tubuh dan/atau persoalan domestik konvensional. Kedua, strategi dan aksi terhadap masyarakat. Masyarakat meliputi keluarga, komunitas, lembaga pendidikan dan keagamaan, organisasi sosial, kelompok budaya. Strategi dan aksi yang perlu dilakukan adalah melalui penyadaran dan sosialisasi tentang pentingnya partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik.1 Ketiga, membuat jaringan aktivis perempuan yang masuk dalam struktur baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Jaringan yang sudah saat ini misalnya Kaukus Politik Perempuan Indonesia [KPPI]. Organisasi ini mewadahi aktivis perempuan dari berbagai partai politik [tetapi mereka tidak mewakili partai dan masing-masing telah melepas baju kepartaiannya] dan berjuang untuk meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik. Sebagai anggota partai mereka mempunyai peluang untuk melakukan lobi dan negosiasi dengan partai politik masing-masing untuk meningkatkan partisipasi dan representasi perempuan di dalam politik. Keempat, konsolidasi gerakan perempuan di Indonesia. Selama ini gerakan perempuan cenderung mengalami fragmentasi di kalangan aktivis perempuan berdasarkan aliran-aliran yang mempengaruhi pola gerakan mereka. Hal ini membuat gerakan perempuan menjadi tidak solid dan nampak terpecah-pecah berdasarkan kepentingan dan orientasi gerakan para aktivisnya. Selain itu gerakan perempuan di Indonesia terkesan eksklusif dibandingkan dengan gerakan-gerakan pro demokrasi dari sektor lain. Sudah saatnya gerakan perempuan menentukan strategi dan aksi bersama tanpa memandang aliran maupun mazhab yang melatarbelakangi gerakan masing-masing 1
Nur Iman Subono; Yayasan Jurnal Perempuan: 2003
89
aktivis maupun lembaga. Setelah konsolidasi internal gerakan perempuan, agenda selanjutnya adalah bergabung dengan gerakan pro-demokrasi yang lebih luas. Para aktivis perempuan harus memperluas gerakan dan hubungan mereka dengan kelompokkelompok pro-demokrasi yang bergerak di sektor lain. Strategi ini akan mampu memperluas gerakan dan isu tentang partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik dan diharapkan mampu membantu mempercepat penyebaran proses penyadaran di kalangan masyarakat. Pada akhirnya keadilan dan kesetaraan gender harus menjadi salah satu agenda utama demokratisasi dan menjadi prioritas kebijakan maupun aksi. Demokrasi mensyaratkan perempuan tidak boleh lagi menjadi silent majority yang tidak mempunyai wewenang bahkan terhadap dirinya sendiri. Demokrasi tidak mungkin tercapai jika perempuan tidak memperoleh kesempatan dan akses yang setara dengan laki-laki, khususnya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan dan kebutuhan perempuan sendiri.
***
90