BAB 4
KONSEP DESAIN
4.1 Landasan Teori 4.1.1 Teori Komunikasi John Fiske (2007) menuliskan dalam bukunya, bahwa komunikasi bukanlah semata proses pengiriman pesan, namun adalah pembangkitan makna. Komunikasi terjadi apabila para pelakunya: “Membangkitkan makna yang disampaikan oleh pesan”. Lebih jauh dijelaskan bahwa komunikasi bisa berlangsung, apabila pesan disampaikan dalam bentuk pertandaan. Semakin banyak para pelaku komunikasi berbagi pemaknaan yang sama atas suatu tanda, maka semakin efektiflah komunikasi yang terjadi.
4.1.2 Semiotik Benny H. Hoed (2008) menuliskan dalam bukunya, bahwa Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Semua yang ada dalam kehidupan, dipandang ilmu ini sebagai tanda. Charles Sanders Peirce, seorang filsuf asal Amerika mengatakan bahwa tanda adalah “sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain”. Artinya tanda adalah semua hal yang memiliki makna. Ferdinand de Saussure (guru besar ilmu bahasa di Universitas Jenewa, yang sering disebut sebagai Bapak Strukturalisme) mengajarkan bahwa tanda merupakan
15
16 sesuatu yang mewakili makna; atau, untuk menggunakan istilah de Saussure tanda terdiri dari penanda dan petanda. Penanda adalah citra tanda (berada di dalam realita) yang dipersepsi manusia—tulisan di atas kertas atau suara di udara; petanda adalah konsep ideal (berada di dalam pikiran) yang diwakili oleh petanda.
4.1.3 Makna dan Strukturalisme De Saussure mengajarkan bahwa, seseorang akan membangkitkan makna atas suatu tanda apabila: orang itu membandingkan tanda (petanda dan penanda) tersebut dengan tanda lain di dalam suatu struktur. Jadi kunci untuk membangkitkan makna adalah memahami relasi struktural suatu tanda dengan tanda-tanda lain. Lalu bagaimanakah caranya seseorang memahami relasi struktural antara tanda-tanda tersebut? De Saussure merumuskan bahwa suatu struktur terbentuk dari kumpulan tanda-tanda yang telah melalui dua cara, yakni sintagmatik dan paradigmatik.
4.1.4 Sintagmatik dan Paradigmatik Sebuah paradigma merupakan kumpulan tanda-tanda, yang dari kumpulan itulah, subjek akan memilih satu tanda sebagai salah satu unit pembentuk struktur. Setiap seseorang melakukan komunikasi, ia harus memilih tanda dari sebuah paradigma (kumpulan tanda-tanda). Pilihan itulah yang disebut pilihan paradigmatik. Sebagian makna yang seseorang mengerti atas suatu tanda, ditentukan oleh makna dari tanda yang tidak ia pilih. Pendek kata, dimana ada pilihan disitu ada makna, dan makna dari tanda yang dipilih sebagiannya ditentukan dari makna atas tanda yang tidak dipilih.
17 Berarti untuk melakukan pemilihan, suatu tanda harus dianggap berbeda dari tanda lain. Suatu tanda memiliki perbedaan, dalam artian suatu tanda memiliki perbedaan pada penanda atau petandanya dengan penanda atau petanda yang dimiliki tanda lain. Perbedaan satu penanda/petanda dari penanda/petanda lainnya dinamakan SIFAT DISTINGTIF dari tanda. Namun tanda-tanda hanya bisa dikumpulkan secara paradigmatik, apabila masing-masing tanda tersebut juga memiliki kesamaan umum. Dari sini dapat dikatakan: di dalam suatu paradigma, terdapat kumpulan tanda-tanda yang secara umum sama, namun masih dapat dibedakan satu dan lainnya, untuk bisa dipilih satu saja sebagai unit pembentuk struktur. Secara sederhana hal ini dapat dicontohkan dengan paradigma "huruf-huruf abjad". Tanda "O" masuk kedalam paradigma "huruf abjad", karena ia memiliki kesamaan umum dengan tanda lain di dalam paradigma tersebut, misalnya dengan tanda "A", "J", "S", "X" dan seterusnya. Namun tanda "O" dapat dimaknai sebagai "huruf O", dikarenakan kita mengerti bahwa tanda tersebut bukan "huruf A", atau huruf-huruf lain di dalam paradigmanya. Dapat pula dikatakan, tanda "O" memiliki sifat distingtif yang telah kita ketahui. Dari contoh ini dapat dikatakan bahwa tulisan tangan yang jelek sulit untuk dimaknai karena ia mengaburkan sifat distingtif dari tulisannya. Sebuah desain tipografi yang dimaksudkan untuk bisa dimaknai dengan tepat huruf-hurufnya, berarti harus memfokuskan pada sifat distingtif hurufhurufnya. Begitu suatu tanda dipilih dari sebuah paradigma, seseorang akan memadukan tanda tersebut dengan tanda-tanda lain, sehingga suatu struktur akan
18 lengkap untuk dimaknai. Paduan ini dinamakan sebagai SINTAGMA. Apabila relasi paradigmatik menekankan pada sifat distingtif diantara tanda-tanda, relasi sintagmatik menekankan pada URUTAN penanda-penanda di dalam relasi strukturalnya. Aspek penting sintagma adalah aturan atau konvensi yang mengurutkan
penanda-penanda
tersebut.
Urutan
yang
berbeda
akan
menyebabkan pemaknaan berbeda pula. Dalam bahasa, sintagma kita sebut sebagai tata bahasa (gramatika) atau tata kalimat (sintaksis); dalam musik kita menyebutnya sebagai melodi; dalam ilmu DKV kita menyebutnya sebagai hirarki.
4.1.5 Makna Denotasi - Konotasi Analisa semiotik terhadap relasi sintagmatik dan paradigmatik di antara tanda-tanda dapat dilakukan pada semua hal di dunia seperti sistem busana, menu makanan, lukisan, musik, iklan, apa pun. Semua hal berada di dalam relasi pertandaan sintagmatik dan paradigmatik. Namun, teori strukturalisme de Saussure tentang tanda hanyalah memfokuskan tentang cara kerja tanda. De Saussure tertarik pada bagaimana subjek membentuk tanda dan bagaimana tanda tersebut dimaknai, yaitu melalui relasi strukturalnya dengan tanda-tanda lain. Namun dia kurang tertarik pada kenyataan bahwa tanda yang sama dapat dimaknai secara berbeda, tergantung dari aturan yang disepakati oleh kebudayaan sang subjek komunikan. Roland Barthes adalah yang pertama kali menyusun konsep untuk menganalisa pertandaan lebih dalam pada kebudayaan. Berikut akan diuraikan salah satu konsep yang dikembangkan oleh Barthes, yakni konsep denotasi - konotasi. Menurut Roland Barthes pemaknaan sebenarnya memiliki tahapan-tahapan.
19 DENOTASI dan KONOTASI sering kali dihubungkan dengan penjelasan mengenai tahap pemaknaan atau representasi tanda. Tahapan pertama dari pemaknaan adalah yang disebut sebagai DENOTASI. Pada tahap ini seorang subjek memahami suatu tanda, terdiri dari: suatu penanda (bentuk); yang merujuk pada: suatu petanda (makna). Denotasi cenderung untuk dimaknai sebagai makna sesunguhnya / utama dari suatu tanda. Oleh karena itu denotasi diterima sebagai makna yang hadir secara "natural". Tahapan ini adalah pertandaan yang menjadi fokus teori de Saussure. Menurut Barthes pemaknaan tidak berhenti di tahap tersebut. Dengan artian, de Saussure tidak sungguh-sungguh memperhitungkan faktor kultural dan subjektifitas dalam pemaknaan. Pemaknaan dapat berkembang ke tahapan selanjutnya, yaitu tahapan yang disebut sebagai konotasi. Konotasi adalah pemaknaan yang sudah melibatkan peran kultur juga subjektifitas seseorang terhadap pemaknaan suatu tanda. Di dalam konotasi, suatu tanda sudah berasosiasi dengan berbagai faktor seperti ideologi, emosi, perasaan, dan lain-lain. Pada awal 70-an, Roland Barthes memfokuskan pemikirannya pada hal-hal ini. Di saat menganalisa mengenai denotasi-denotasi yang dipercaya oleh suatu kebudayaan sebagai makna yang paling objektif, Barthes menemukan bahwa denotasi adalah bukan makna yang utama, melainkan hanya berpura-pura seperti itu. Denotasi tak lain adalah subjektifitas yang diutamakan. Singkatnya, konotasi menciptakan ilusi sebagai denotasi, ilusi bahwa antara penanda dan petanda adalah identik. Dari perspektif ini, denotasi tidaklah lebih "natural", dari konotasinya. Melainkan denotasi adalah proses "naturalisasi" pemaknaan. Apa yang dilakukan
20 proses "naturalisasi" ini adalah menyembunyikan peran ideologis juga subjektifitas dari suatu tanda, sehingga suatu penanda dianggap selalu merujuk pada petanda tanpa interfensi apapun (objektif). Perspektif ini mengarahkan para ahli semiotik untuk meyakini bahwa di dunia ini tidak ada makna yang hadir begitu saja. Pemikiran seperti ini digolongkan sebagai Pascastrukturalisme. Semua adalah konotasi, denotasi hanyalah berasal dari konsensus khalayak umum. Makna denotatif adalah konotasi yang telah disetujui oleh masyarakat suatu kebudayaan. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda pada tahapan pertama (denotasi). Penanda pada tanda denotasi merupakan tanda konotasi. Barthes menegaskan bahwa pada tanda visual, perbedaan antara denotasi dan konotasi menjadi jelas. Contohnya, pada suatu gambar pemandangan jalan, gambar tersebut memiliki denotasi: "gambar tentang pemandangan jalan". Sedangkan konotasinya adalah bagian yang manusiawi (berhubungan dengan perasaan) dari pemaknaan gambar tersebut, yaitu mencakup pemaknaan atas penanda-penanda yang ada di dalam gambar tersebut, seperti warnanya, teksturnya, komposisinya, sudut pandangnya, mutu kertasnya, dan sebagainya. Jelasnya adalah, pewarnaan, pengaturan komposisi, dan lainnya, dapat memberikan rasa (konotasi) yang berbeda pada setiap subjek. Walaupun setiap subjek akan memaknai gambar tersebut sebagai gambar tentang pemandangan jalan (denotasi). Dapat disimpulkan bahwa Denotasi adalah apa yang dimaknai dari suatu tanda, konotasi adalah bagaimana memaknai tanda tersebut. Kalau konotasi adalah tentang bagaimana memaknai suatu tanda, berarti dapat disimpulkan bahwa konotasi tergantung dari bagaimana seorang subjek
21 memandang struktur suatu tanda. Pemahaman yang berbeda atas relasi sintagmatik dan paradigmatik suatu tanda dapat mendorong terjadinya konotasi. Namun, karena konotasi bekerja pada level subjektif, seringkali seseorang tidak menyadarinya. Oleh karena itu lebih mudah bagi kita untuk membaca nilai-nilai konotatif sebagai fakta denotatif. Dapat dikatakan, denotasi akan sering kali memojokkan realita dari subjek lain, yang memahami tanda dengan konotasi yang berbeda.
4.1.6 Dekonstruksi Salah satu tujuan utama analisis semiotika adalah, memberi kemampuan untuk menyadari kerangka kerja pemaknaan, agar seseorang tidak terjebak dari kesalahan
membaca
tanda
denotatif.
Derrida
adalah guru
besar
filsafat
berkebangsaan Prancis. Ia membangun teori dekonstruksi dengan kritik terhadap strukturalisme de Saussure. Seperti telah dijelaskan, de Saussure mengemukakan bahwa pemaknaan dapat terjadi karena setiap tanda berelasi dengan tanda lain di dalam suatu struktur. Namun bagi Derrida pemaknaan bukan sekedar ditimbulkan dari relasi struktural. Relasi tanda-tanda tidaklah statis atau stabil mengikuti waktu dan ruang. Dalam kenyataanya seorang bisa memahami suatu tanda, karena ia "menunda" terjadinya relasi struktural antara penanda dengan petandanya. Dari sini Derrida mendorong untuk melakukan penundaan pemaknaan tersebut secara sadar sebagai suatu tindakan berpikir kritis, sehingga makna baru atau berbeda akan selalu tercipta. Proses kritis ini dinamakan sebagai dekonstruksi. Proses ini akan menghasilkan relasi baru antara penanda dengan petandanya. Relasi baru tersebut diistilahkan Derrida sebagai differance. Differance memperlihatkan
22 bahwa pemaknaan tanda adalah sesuatu yang kompleks. Ia mengakui bahwa konsep strukturalisme de Saussure merupakan dasar bagi eksistensi suatu tanda, tetapi selanjutnya tanda itu harus dimaknai dalam waktu dan ruang yang berbeda-beda, sehingga seseorang akan menyadari subjektifitasnya sekaligus subjektifitas pihak lain, di dalam pemaknaan yang dinamis. Lebih lanjut Derrida mengemukakan adanya keutamaan pada bahasa Tulisan (Tulisan disini tidak hanya diartikan sebagai tulisan tangan, namun semua tanda yang menggunakan mediasi. Karya DKV dapat digolongkan kedalam bahasa Tulisan karena menggunakan media sebagai ruang tempat tandanya hadir. Ucapan manusia tidak termasuk golongan ini, karena tidak menggunakan media). Derrida mengutamakan bahasa Tulisan, karena bahasa tersebut dapat bertahan mengikuti perbedaan waktu dan ruang. Suara orang pidato tentu lebih cepat hilang dibandingkan cetakan berita di kertas koran. Foto yang besar pada papan reklame tentu lebih mudah dimaknai dibandingkan teriakan samar dari ujung jalan. Keutamaan ini menunjukkan peran yang lebih besar, yang diberikan bahasa Tulisan dalam proses penundaan makna atau pembentukan differance. Derrida mengungkapkan bahwa dekonstruksi adalah strategi intelektual untuk mengkritik apapun yang sudah mapan. Berangkat dari misi Pencerahan yang mencetuskan modernisme, dan bertolak belakang dari strukturalisme, Derrida dengan teori dekonstruksi-nya, membongkar makna denotasi yang selama ini dianggap objektif. Namun yang sangat penting untuk diingat adalah, dekonstruksi hanya membongkar sesuatu yang sudah dianggap mapan, dengan harapan agar kebenarannya akan selalu dinamis. Apakah penundaan pemaknaan yang
23 berlarut-larut pada papan petunjuk di jalan bebas hambatan perlu dilakukan? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Karya DKV yang menyediakan kesempatan untuk didekonstruksi, akan tertunda untuk dimaknai. Ia akan mendorong pemaknaan konotatif, sehingga perasaan seorang komunikan (target pembaca) akan tersentuh. Sekaligus mempertahankan kesadaran sang komunikan tentang subjektifitas pihak lainnya.
4.1.7 Teori Depth of Processing William Lidwell, Kristina Holden, dan Jill Butler (2003) menuliskan dalam buku mereka, bahwa terdapat suatu fenomena dalam pikiran manusia, dimana suatu informasi yang didapatkan (makna dalam komunikasi) oleh manusia, akan lebih mudah untuk diingat kembali [recall], apabila informasi tersebut didapatkan melalui: “Proses pencarian yang mendalam atau aktifitas yang tinggi, dibandingkan dengan informasi yang lebih mudah untuk didapatkan”. Fenomena yang terjadi pada pikiran manusia ini terjadi sebagai akibat dari metode yang dilakukan manusia dalam memproses informasi. Diketahui manusia menggunakan 2 metode dalam memproses informasi, yaitu yang disebut sebagai Maintenance Rehearsal, Elaborative Rehearsal, jelasnya adalah seperti berikut: a. Maintenance Rehearsal: Adalah metode yang dilakukan manusia dalam memproses informasi melalui cara mengulang-ngulang informasi yang ada di pikirannya.
24 b. Elaborative Rehearsal: Adalah metode lain yang dilakukan manusia dalam memproses informasi, melalui cara penggunaan analisa lebih mendalam informasi yang ada. Umumnya Metode Elaborative Rehearsal mengakibatkan manusia dapat melakukan pengingatan informasi 1.5 kali lebih banyak dibandingkan melalui Metode Maintenance Rehearsal.
4.1.8 Metode Storytelling William Lidwell, Kristina Holden, dan Jill Butler (2003) menuliskan dalam buku mereka, storytelling adalah metode untuk berkomunikasi dengan menciptakan: suatu nuansa, gambaran, atau emosi berbentuk kisah [story], yang membantu proses pemaknaan akan sebuah pesan. Metode ini digunakan untuk: (1) Menarik perhatian pembaca terhadap suatu desain; (2) Memicu suatu respon emosional; (3) Menciptakan suatu interaksi yang kaya. Sehingga pembaca desain dapat lebih banyak menyerap makna atas pesan yang disampaikan. Apabila metode ini dilakukan secara intensif, pembaca akan merasakan suatu emosi yang spesifik dalam pikirannya di dalam penghayatan pesan, emosi yang unik bagi setiap individu, fenomena ini adalah kelebihan dari metode komunikasi storytelling. Dra. Ruth Sih Kinanti di dalam diklatnya, menuliskan bahwa terdapat dua tipe pembaca: (1) Matur; dan (2) Imatur. Harus dimengerti bahwa pembedaan ini, bukanlah dilakukan berdasarkan umur, namun didasarkan kepada taraf kemampuan pembaca dalam melakukan pemahaman, penilaian, dan selera.
25 Bahwa menurut fungsi Metode Storytelling diatas, yaitu agar pembaca desain dapat memahami makna atas pesan yang disampaikan, maka penuturan pesan haruslah membangkitkan suatu emosi yang unik bagi pembaca desain tersebut. Oleh sebab itu, metode ini harus dilakukan seintensif mungkin. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya tentang tingkatan pemaknaan tanda (pesan), suatu emosi akan dapat dibangkitkan melalui pemaknaan konotatif. Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, pemaknaan konotatif atas suatu karya DKV dapat dilakukan apabila karya tersebut memberikan kesempatan bagi pembacanya untuk melakukan dekonstruksi terhadap pesan-pesan / tanda-tanda tersebut.
4.1.10 Hirarki Kebutuhan [Hierarchy of Needs] William Lidwell, Kristina Holden, dan Jill Butler (2003) menuliskan dalam buku mereka bahwa, demi keberhasilan suatu karya desain dalam berkomunikasi secara visual, desain tersebut haruslah memenuhi kebutuhan paling mendasar dari target pembacanya terlebih dahulu, baru kemudian beranjak untuk memenuhi kebutuhan pada tingkat berikutnya. Desain yang buruk, akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan targetnya, tanpa berangkat dari tingkatan yang paling dasar terlebih dahulu. Dekonstruksi seperti telah dijelaskan, hanyalah mendinamisasi pemaknaan pada sesuatu yang sudah mapan, atau berada pada hirarki kebutuhan yang tinggi. Berikut bagan dari 5 tingkatan hirarki kebutuhan:
26
Gambar 4.1 Hirarki Kebutuhan
Berikut penjelasan masing-masing tingkatan dari dasar ke puncak: •
Functionality Level / Tingkat Fungsionalitas. Berhubungan dengan pemenuhan syarat desain yang paling dasar, yaitu fungsionalitas. Contohnya dalam kasus perancangan halaman suatu buku, tingkat paling dasar ini dapat di lihat pada saat kehadiran suatu bodytext dimaknai semestinya sebagai bodytext (bukannya tekstur atau garis-garis horizontal, misalnya).
27 •
Reliability Level / Tingkat Keterpercayaan. Berhubungan dengan stabilitas dan konsistensi dari fungsi di bagian dasar. Contohnya dalam kasus perancangan halaman suatu buku, kehadiran bodytext akan konsisten, di maknai sebagai bodytext, pada setiap halaman dari buku itu.
•
Usability Level / Tingkat Kebergunaan. Berhubungan dengan semudah / setoleran apakah suatu desain berkomunikasi. Contohnya dalam kasus perancangan halaman suatu buku, tingkat keterbacaan suatu bodytext ada pada tingkatan ini.
•
Proficiency Level / Tingkat Kecakapan. Berhubungan dengan kemampuan desain untuk mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu lebih baik dari biasanya. Contohnya dalam kasus perancangan halaman suatu buku, bodytext didesain sedemikian rupa agar pembacaan teks menjadi lebih cepat / lebih lambat dari biasanya.
•
Creativity Level / Tingkat Kreatifitas. Berhubungan dengan kemampuan desain untuk mendorong terjadinya interaksi yang inovatif antara desain dan penggunanya. Dikatakan bahwa desain di tingkatan ini memiliki nilai efektifitas komunikasi paling tinggi. Oleh karena itu dekonstruksi hanya pantas dilakukan pada suatu karya desain yang telah mencapai tingkatan ini. Contohnya dalam kasus perancangan halaman suatu buku, desain bodytext mampu untuk menggugah perasaan pembacanya.
28 4.1.11 Readability William Lidwell, Kristina Holden, dan Jill Butler (2003) menuliskan dalam buku mereka bahwa, readability adalah prinsip desain yang berhubungan dengan tingkatan pengertian yang akan didapatkan atas pembacaan suatu paragraf / prosa, berdasarkan atas kompleksitas dan jumlah kata-kata dan kalimat-kalimat per paragrafnya.
4.1.12 Legibility William Lidwell, Kristina Holden, dan Jill Butler (2003) menuliskan dalam buku mereka bahwa, legibility adalah prinsip desain yang berhubungan dengan tingkatan keterbacaan suatu teks, yang berdasakan kepada ukuran hurufnya, pemilihan typefacenya, kontras warnanya, panjang paragrafnya, dan spasi antar hurufnya [leading].
4.2 Strategi Kreatif 4.2.1 Tema Buku Ilmu DKV
4.2.2 Strategi Komunikasi 4.2.2.1 Fakta Kunci Ada beberapa fakta yang dapat diambil dari data-data dan landasan teori yang sudah dijelaskan diatas. Fakta-fakta ini adalah berguna sebagai: kekuatan /
29 pendukung maupun kelemahan / penghambat dalam keefektifan komunikasi oleh target pembaca, yaitu antara lain : a. Terbatasnya jumlah pustaka Desain Komunikasi Visual berbahasa Indonesia yang beredar di pasaran. b. Buku, menurut prinsip pemasaran, harus unik agar konsumen dapat mengevaluasi, memilah diantara buku-buku yang lain, kemudian tertarik untuk membeli. c. Desain Komunikasi Visual, selayaknya suatu disiplin ilmu, memiliki ihwal teori (konseptual) & praktek (teknikal) yang harus dipahami secara komprehensif. d. Kegunaan teori konseptual adalah untuk membantu desainer memahami potensi pekerjaannya sekaligus karyanya. e. Adapun pustaka Desain Komunikasi Visual berbahasa Indonesia di pasaran, lebih banyak memfokuskan pembahasan kepada ihwal praktek (teknikal) saja. f. Keunikan, sebagai fakta pada poin (b), dapat ditekankan pada: Pembahasan Buku yang memfokuskan aspek teori konseptual, yang mana sesuai dengan keadaan dan kebutuhan target pembaca, adalah paling relevan dengan fakta yang ada. g. Namun, pembahasan mengenai aspek teori konseptual lebih sulit untuk dipahami target pembaca, daripada pembahasan mengenai aspek praktis (teknikal). h. Untuk mengatasi kesulitan ini, maka target pembaca harus dapat menghayati secara emosional aspek teori konseptual yang di bahas oleh buku, yang mana strategi komunikasi visual yang cocok untuk fakta ini adalah storytelling dan dekonstruksi.
30 4.2.2.2 Target Pembaca •
•
Demografi Sex
: Laki - laki dan Perempuan.
Usia
: 19 - 30 tahun.
Pekerjaan
: Masyarakat umum
Kelas Sosial
: B, B+, A.
Geografi Tempat tinggal: Perkotaan.
•
Psikografi Berpikiran maju, mempunyai kehendak untuk maju, senang apabila hidupnya mengalami kemajuan; Peduli ilmu pengetahuan dan seni, oleh karena itu tertarik dan terbuka akan pengetahuan dan pengalaman baru; Kritis, berani, dan tidak pernah puas; Peduli pendidikan dan keadaan lingkungan, baik alam ataupun sosial, sehingga kepeduliannya tersebut diwujudkan salah satunya dengan gemar membaca.
4.2.2.3 Isu yang akan dikomunikasikan Pembahasan Buku yang memfokuskan aspek teori konseptual ilmu Desain Komunikasi Visual, yang apabila dipandang dari segi pemasaran aspek tersebut memiliki keunikan, sekaligus aspek tersebut sesuai dengan kebutuhan target pembaca, yaitu suatu pembahasan yang dapat membantu pemahamannya terhadap potensi yang dimilikinya.
31
4.2.2.4 Keyword Teoritis, Storytelling, Dekonstruksi, Kritis
4.2.2.5 Positioning / Unique Selling Proposition Buku yang mampu memperkaya kepustakaan Desain Komunikasi Visual, dengan materi pembahasannya yang kontemporer, unik, dan relatif kontroversial, sekaligus krusial, dan didesain agar melakukan komunikasi visual yang sesuai dengan khalayak pembaca yang ditargetkan.
4.2.2.6 Tagline “Aku membaca maka aku ada.”
4.2.2.6 Pendekatan Emosional / Rasional Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan emosional sekaligus rasional, maksudnya adalah menyampaikan pesan bersifat emosional dengan tujuan agar target pembaca bisa mengerti makna atas pesan secara rasional.
32
4.3 Strategi Desain 4.3.1 Tone & Manner a. Teoritis Pembahasan yang teoritis berguna untuk membantu target pembaca untuk memahami potensi dari ilmu DKV. b. Storytelling Seperti telah dijelaskan metode storytelling berguna sebagai pembangkit emosi pembaca, sehingga komunikasi akan terjadi secara optimal. c. Dekonstruksi Komunikasi visual di desain sedemikian rupa agar target pembaca dari buku ini mampu melakukan dekonstruksi agar pemaknaan mengenai ilmu DKV menjadi lebih kritis. d. Kritis Seperti telah dijelaskan sikap kritis perlu untuk terus dilakukan guna kemajuan dari ilmu DKV.
4.3.2 Strategi Verbal Gaya bahasa yang akan digunakan adalah bahasa formal dan puitis, namun tetap mudah dicerna dan sesuai dengan materi pembahasan sekaligus dengan karakter target pembaca. Gaya bahasa ini di pilih agar keseluruhan komunikasi dapat berlangsung efektif.
33 4.3.3 Strategi Visual Elemen-elemen
desain
diatur
sedemikian
rupa
dengan
sangat
mempertimbangkan karakter target pembaca, sesuai dengan focus group interview yang telah dilakukan. •
Spesifikasi typography yang digunakan adalah serif, sans serif, dan hand rendering, tergantung pada fungsi dimana typography tersebut direncanakan.
•
Lay-out, warna, dan hirarki visual diaransemen agar tetap sederhana, informatif, tapi tetap mencerminkan dinamika dan suasana konten.
•
Ilustrasi melakukan pendekatan yang sering terlihat pada karya-karya Pop Art, Expressionist, dan Surrealist, yang mana cukup sesuai dengan selera target pembaca.