14
BAB 4
HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN
Konfirmasi bakteri C. violaceum dan B. cereus dilakukan dengan pewarnaan Gram, identifikasi morfologi sel bakteri, sekuensing PCR 16s rDNA dan uji kualitatif aktivitas dalam media berkitin. Hasil perwarnaan Gram C. violaceum menunjukkan sel bakteri berwarna merah dengan bentuk sel oval (coccusbacilli) dan hal ini sesuai dengan pernyataan dari pustaka3. Hasil pewarnaan Gram B. cereus menunjukkan bahwa sel berwarna ungu dan bentuk batang dan hal ini sesuai dengan pernyataan dari pustaka4 (Gambar 4.1)
(1)
(2)
Gambar 4.1 Hasil pewarnaan Gram (1) C. violaceum; (2) B. cereus
Sebelum melakukan PCR 16s rDNA, kromosom bakteri yang digunakan sebagai cetakan pada PCR 16s rDNA diisolasi menggunakan kit reagen WIZARD (Promega). Hasil isolasi kromosom menunjukkan pita kromosom C. violaceum lebih tebal dan lebih jelas dibandingkan kromosom B. cereus (Gambar 4.2). B. cereus merupakan bakteri Gram positif yang memiliki dinding sel lebih tebal dibandingkan dengan dinding sel C. violaceum yang merupakan bakteri Gram negatif. Proses penghancuran dinding sel B. cereus diduga tidak sempurna sehingga tidak semua kromosom dapat terlepas dan diisolasi. Hal ini yang menyebabkan pita kromosom B. cereus lebih tipis dibandingkan pita
3
http://web.umr.edu/~microbio/BIO221_2000/Chromobacterium_violaceum.html (24 Mei 2007) 4 http://medinfo.ufl.edu/year2/mmid/bms5300/bugs/gramstan.html (21 Maret 2007)
15 kromosom C.violaceum. Kromosom ini selanjutnya dijadikan cetakan pada proses PCR, baik untuk mengamplifikasi gen 16s rDNA maupun fragmen gen kitinase.
(1)
(2)
Gambar 4.2 Hasil isolasi kromosom (1) C. violaceum; (2) B. cereus.
PCR 16s rDNA adalah metode untuk mengamplifikasi gen pengkode 16s ribosomal RNA yang dimiliki oleh semua bakteri. Gen ini memiliki urutan nukleotida tertentu yang sama pada ujung gennya dan memiliki daerah unik pada bagian tengah gen untuk setiap bakteri. Urutan nukleotida yang sama tersebut dapat dikenali oleh sepasang primer 16s rDNA BactF1 dan primer UniB1 yang merupakan awal dari proses amplifikasi gen tersebut (Gambar 4.3). Produk PCR kemudian ditentukan urutan nukleotidanya kemudian dianalisis dengan program BLAST untuk diketahui spesies bakteri yang digunakan
UniB1 1
1500
BactF1 Gambar 4.3
Organisasi gen 16s rDNA dan lokasi penempelan primer. Daerah kuning menunjukkan daerah dengan urutan nukleotida yang terlestari dan daerah biru menunjukkan daerah dengan urutan nukleotida yang unik. Panah menunjukkan tempat penempelan masing – masing primer arah polimerisasi. Angka satu menunjukkan nukleotida pertama dan angka 1600 menunjukkan nukleotida ke-1600.
Gen 16s rDNA C. violaceum telah berhasil diamplifikasi menggunakan kondisi dan komposisi sebelumnya. Ukuran produk PCR 16s rDNA yang diperoleh adalah 1512 pb dan mendekati ukuran gen 16s rDNA C. violaceum yaitu pada kisaran 1400 – 1500 pb
16 tergantung dari jenis galurnya (Gambar 4.4). Gen 16s rDNA dari B. cereus tidak dapat teramplifikasi walaupun sudah dilakukan berbagai optimasi komposisi dan kondisi PCR. Hal ini mungkin terjadi karena kualitas cetakan yang tidak baik. Kromosom hasil isolasi mungkin terkontaminasi oleh senyawa – senyawa yang dapat mengganggu proses PCR, baik yang berasal dari reagen proses isolasi kromosom maupun komponen sel bakteri yang tidak tercuci dengan baik.
1
2
10000 pb 7000 pb 5000 pb 3000 pb 2000 pb
1512 pb 1000 pb
Gambar 4.4 Elektrogram produk PCR 16s rDNA. (1) produk PCR; (2) marka DNA 1 Kb
Produk PCR ini kemudian ditentukan urutan nuklotidanya menggunakan metode enzimatis. Pada metode ini jumlah maksimum nukeotida yang dapat dibaca 1 arah adalah sekitar 800 pb, sementara ukuran produk PCR adalah 1512 pb. Oleh karena itu perlu dilakukan pembacaan 2 arah, yaitu arah forward dan reverse. Genbank (http://www.NCBI.nih.nlm.gov) memiliki koleksi urutan nukleotida gen 16s rDNA dari berbagai bakteri. Dengan analisa BLAST, urutan nukleotida produk PCR dicari kesamaannya dengan koleksi bakteri dari GenBank tersebut sehingga dapat dikonfirmasi apakah benar spesies bakteri yang digunakan adalah C. violaceum. Hasil penentuan urutan nukleotida menggunakan primer reverse (primer UniB1) menunjukkan kesamaan 91 % dengan gen pengkode ribosomal RNA C. violaceum ATCC 12472, sementara penentuan
17 urutan nukleotida menggunakan primer forward (primer BactF1) tidak menunjukkan kesamaan dengan data apapun pada GenBank. Uji aktivitas kitinase pada media tersuspensi kitin bertujuan untuk melihat aktivitas kitinase yang dihasilkan oleh kedua bakteri secara kualitatif. Metode ini bertujuan untuk memperlihatkan apakah kedua bakteri memiliki kemampuan untuk mendegradasi kitin yang tersuplementasi dalam media pertumbuhan dan membandingkan bakteri yang memiliki aktivitas lebih baik. Hasil menunjukkan bahwa C. violaceum menghasilkan daerah bening lebih besar daripada daerah bening yang dihasilkan oleh B. Cereus. E. coli JM 109 yang digunakan sebagai kontrol negatif tidak menghasilkan daerah bening dan mendukung bahwa bakteri tidak menghasilkan kitinse (Gambar 4.5). Hal ini menunjukkan bahwa kitinase dari C. violaceum memiliki aktivitas yang lebih besar dibandingkan kitinase dari B. cereus.
3
2
1
Gambar 4.5 Hasil uji kualitatif aktivitas kitinase pada media NA mengandung suspensi kitin koloid. Daerah 1 menunjukkan koloni E. coli JM 109, daerah 2 B. cereus; daerah 3 C. violaceum Dari hasil penelusuran pustaka mengenai perkembangan terakhir penelitian kitinase, gen pengkode kitinase dari B. cereus telah berhasil dikloning pada vektor ekspresi dan telah berhasil diekspresikan (Huang et. al., 2005). Kitinase dari C. violaceum menghasilkan paling tidak 6 enzim yang diduga sebagai kitinase berdasarkan kemampuan enzim – enzim tersebut dalam mendegradasi substrat sintetik yaitu 4-MU-GlcNac, [4-MU-(GlcNac)2] dan [4-MU-(GlcNac)3]. Ke-6 enzim tersebut diduga merupakan endokitinase, eksokitinase dan ß-1,4-N-asetilglukosaminidase (Chernin et. al., 1998). Berdasarkan hasil uji kualitatif aktivitas kitinase pada media NA yang mengandung suspensi kitin dan hasil penelusuran pustaka yang menyatakan belum pernah dikloning dan dipelajari kitinase dari C. violaceum
18 pada tingkat molekular, maka kitinase yang akan dilanjutkan untuk dikloning adalah kitinase dari C. violaceum jenis ß-1,4-N-asetilglukosaminidase5. Sebelum dilakukan kloning, amplifikasi fragmen gen pengkode kitinase perlu dilakukan. Pada penelitian sebelumnya perancangan primer yang mengenali daerah fragmen gen pengkode kitinase telah dilakukan untuk amplifikasi fragmen tersebut. Urutan nukleotida pengkode untuk gen kitinase dimulai pada urutan nukleotida 1 hingga urutan ke 2681, sedangkan fragmen gen kitinase yang dikenali oleh primer ChiFwd adalah urutan ke -322 sampai dengan -302 dan urutan yang dikenali oleh primer ChiRev adalah urutan 570 sampai dengan 590. Maka daerah yang akan diamplifikasi merupakan daerah yang mengkode 197 asam amino pertama kitinase dan 321 pb daerah hilir dari gen pengkode kitinase (Gambar 4.6). ChiRev
ChiFwd - 302 +1
Gambar 4.6
+ 570
+ 2681
Lokasi penempelan primer dan daerah amplifikasi pada gen pengkode kitinase. Posisi +1 adalah awal dari ATG.
Optimasi PCR dengan mevariasi konsentrasi MgCl2 tidak mempengaruhi kinerja PCR, sehingga dipilih konsentrasi MgCL2 yang paling rendah yaitu 2,5 µM. Konsentrasi MgCl2 yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kesalahan pembacaan sehingga produk PCR yang diharapkan dapat mengalami mutasi atau delesi. Isolasi kromosom C. violaceum dilakukan dua kali, sehingga didapat dua kromosom yang digunakan sebagai cetakan, yaitu kromosom cetakan 1 dan cetakan 2. Elektrogram menunjukkan keberadaan pita tebal DNA berukuran 904 pasang basa (Gambar 4.7) yang mendekati ukuran teoritis fragmen gen yang dikenali oleh kedua primer yaitu 913 pb. Pita DNA berukuran 904 pb tersebut diduga merupakan fragmen gen yang diinginkan. 5
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/viewer.fcgi?db=nucleotide&val=26517598 (18 Januari 2007)
19
1
2
3
4
5
6
7
4000 pb
2000 pb
1000 pb
904 pb
500 pb 100 pb
Gambar 4.7 Elektrogram produk PCR kitinase. (1) marka DNA 100 bp; (2) produk PCR cetakan 1; (3) kontrol negatif PCR; (4-7) produk PCR cetakan 2 Produk PCR kemudian diligasi ke dalam pGEM-T. Produk PCR menggunakan Taq polimerase menambahkan 1 nukleotida A pada ujung 3’. Ujung 3’ ini mengenali nukleotida T pada ujung 5’ pada pGEM-T. Ikatan hidrogen antara basa A dan T ini yang meligasikan produk PCR dengan pGEM-T. Ligasi dilakukan dengan 2 perbandingan plasmid pGEM-T terhadap produk PCR, yaitu perbandingan 1:3 dan 1:6. Seleksi biru putih dilakukan untuk menguji keberhasilan ligasi dan transformasi. Pada kontrol positif ligasi (plasmid pGEM-T disisipi suatu DNA sisipan dengan perbandingan tertentu yang sudah disediakan dalam kit reagen ligasi dari Promega) tumbuh koloni putih dan koloni biru. Keberadaan koloni biru terjadi karena daerah lac Z pada plasmid pGEMT tidak tersisipi DNA sisipan, sehingga -galaktosidase dapat diekspresikan, menguraikan X-Gal substrat ß-galaktosidase yang disuplementasikan dalam media pertumbuhan dan menghasilkan koloni berwarna biru. Sebaliknya koloni putih terjadi karena daerah Lac Z pada plasmid pGEM-T tersisipi DNA sisipan, sehingga
-galaktosidase tidak dapat
diekspresikan, X-gal substrat ß-galaktosidase tidak terurai sehingga koloni berwarna putih. Tumbuhnya 2 jenis koloni ini pada kontrol positif menunjukkan ada plasmid yang tersisipi dan tidak tersisipi DNA sisipan. Keberadaan koloni putih yang menunjukkan adanya plasmid yang tersisipi DNA sisipan menunjukkan bahwa proses ligasi telah berhasil
20 dilakukan. Pada kontrol negatif yang mengandung DNA sisipan tidak tumbuh koloni putih, yang menunjukkan tidak terjadi kontaminasi selama proses ligasi berlangsung. Jumlah koloni ligasi A yang tumbuh lebih banyak daripada koloni ligasi B. Hal ini mungkin karena jumlah produk PCR lebih banyak sehingga kemungkinan pGEM-T tersisipi produk PCR lebih tinggi Koloni dari sampel A (perbandingan ligasi 1:3) dan B (perbandingan ligasi 1:6) disubkultur dan diisolasi plasmidnya menggunakan kit reagen Qiaprep. Setelah plasmid rekombinan disubkultur, kemudian dikarakterisasi dengan analisa migrasi, analisa restriksi dan analisa PCR. Analisa migrasi dilakukan dengan membandingkan jarak migrasi pGEM-T rekombinan dengan plasmid pGEM-T tanpa DNA sisipan. Dari letak pitanya (Gambar 4.8), terlihat bahwa plasmid rekombinan koloni putih sampel A dan B bergerak lebih lambat daripada plasmid pGEM-T tanpa DNA sisipan. Migrasi yang lebih lambat menunjukkan bahwa plasmid rekombinan lebih berat, artinya bahwa plasmid dari koloni putih telah disisipi oleh DNA sisipan. Banyaknya pita tidak menunjukkan terdapat berbagai ukuran DNA sisipan, melainkan terdapat berbagai konformasi pGEM-T yang berbeda kecepatan migrasinya dalam gel agarosa.
1
Gambar 4.8
2
3
4
1
2
3
4
Elektrogram analisa migrasi plasmid rekombinan. (1) plasmid transforman A; (2) plasmid transforman B; (3) marka DNA 100 pb; (4) plasmid pGEMT tanpa DNA sisipan.
Plasmid koloni putih dipotong menggunakan enzim restriksi NdeI untuk ditentukan ukurannya. Urutan nukleotida yang dikenali oleh NdeI terdapat pada plasmid pGEM-T. Jika plasmid ini dapat terpotong, maka plasmid pGEM-T rekombinan menjadi linier dan
21 plasmid linier hanya memiliki 1 konformasi, sehingga jarak migrasi pada elektrogram hanya dipengaruhi oleh berat molekulnya. Hasil elektrogram menunjukkan pita tebal dengan ukuran 4066 pb, sementara pGEM-T tanpa DNA sisipan memiliki ukuran 3000 pb (Gambar 4.9). Maka DNA sisipan berukuran 4066-3000 = 1066 pb. Jumlah ini mendekati ukuran fragmen gen kitinase yang diinginkan secara teoritis yaitu 913 pb. Plasmid rekombinan yang direstriksi hanya plasmid rekombinan transforman B karena analisa migrasi plasmid rekombinan transforman A dan B tidak menunjukkan perbedaan dan jumlah transforman B lebih banyak daripada transforman A sehingga jika perlu pengulangan masih tersedia cadangan transforman B yang lebih banyak dibandingkan transforman A.
1
10000 pb 7000 pb 5000 pb 4000 pb
2
3
4066 pb
3000 pb 2000 pb
1000 pb
Gambar 4.9
Elektrogram analisa pemotongan enzim restriksi. (1) marka DNA 1 kb; (2) pGEM-T rekombinan dipotong NdeI (3) pGEM-T rekombinan tanpa restriksi.
PCR dilakukan dengan plasmid rekombinan sebagai cetakan pada proses amplifikasi. Keberadaan pita DNA berukuran 915 pb pada elektrogram menunjukkan fragmen gen kitinase yang dikenali oleh primer ChiFwd dan ChiRev telah tersisipi dalam pGEM-T rekombinan (Gambar 4.10).
22 1
2
3
4
4000 pb
2000 pb
1000 pb 800 pb
915 pb
500 pb 300 pb 100 pb
Gambar 4.10
Elektrogram analisa PCR pGEM-T rekombinan. (1) marka DNA 100 pb; (2) kontrol positif PCR dari kromosom C. violaceum sebagai cetakan; (3 dan 4) produk PCR dari pGEM-T rekombinan sebagai cetakan.
Untuk meyakinkan urutan DNA yang telah terkloning dilakukan pembacaan urutan nukleotida menggunakan alat pembaca otomatis. Proses pembacaan urutan nukleotida masih dilakukan, sehingga tidak dapat ditampilkan saat ini.