BAB 4
HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Mikroemulsi merupakan emulsi yang stabil secara termodinamika dengan ukuran globul pada rentang 10 nm – 200 nm (Prince, 1977). Mikroemulsi dapat dibedakan dari emulsi biasa pada sifatnya yang transparan, viskositas rendah, dan pada dasarnya stabil secara termodinamika (Swarbrick, 1995). Pada penelitian ini, surfaktan yang digunakan adalah Tween 80. Tween 80 merupakan surfaktan nonionik yang dikenal secara luas penggunaannya untuk sediaan topikal dan dikenal sebagai turunan polioksietilen yang tidak toksik dan tidak mengiritasi kulit. Gugus hidrofilik pada senyawa ini adalah polieter yang juga dikenal sebagai gugus polioksietilen yang merupakan polimer etilen oksida. Golongan surfaktan nonionik dapat meminimalisir terjadinya gangguan keseimbangan pada sistem mikroemulsi karena sifatnya yang tidak memiliki muatan dapat mencegah terjadinya fluktuasi muatan pada sistem mikroemulsi. Untuk membentuk sistem mikroemulsi minyak dalam air dibutuhkan surfaktan yang memiliki rentang HLB 9-20, dan Tween 80 cocok digunakan karena memiliki HLB 15 (Rowe, 2003). Minyak yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak zaitun. Minyak zaitun dikenal luas pemakaiannya untuk penggunaan topikal karena selain dapat melembutkan kulit (moisturizer), minyak ini juga mengandung polifenol. Polifenol merupakan kelas antioksidan
yang
mengandung
flavonoid
dan
katekin.
Antioksidan
membantu
memperlambat proses penuaan. Selain itu senyawa fenol juga memiliki aktivitas antijamur dan anti bakteri, sehingga cocok untuk penggunaan topikal 2 . Hal inilah yang mendasari penggunaan minyak zaitun dalam formulasi mikroemulsi ini. Kosurfaktan yang sering digunakan dalam mikroemulsi adalah alkohol rantai pendek dan dalam penelitian ini digunakan etanol 95% sebagai kosurfaktan karena selain dapat membantu kelarutan ketokonazol dalam sediaan, etanol juga dapat berfungsi sebagai peningkat penetrasi obat (penetrant enhancer). Selain itu juga digunakan gliserin yang
2
http://www.oliveoilsource.com/oliveoildr-skin.htm
24
25 dapat juga berfungsi sebagai kosurfaktan yang membantu menstabilkan sistem mikroemulsi yang telah terbentuk (Subramanian, 2005). Karakterisasi bahan merupakan langkah yang penting dalam formulasi untuk menjamin bahwa zat yang digunakan memiliki karakteristik yang sesuai dengan persyaratan monografinya. Ketokonazol yang digunakan dalam penelitian ini telah dikarakterisasi dan hasil karakterisasi menghasilkan data yang sesuai dengan monografi pada Farmakope Indonesia IV yaitu bahwa ketokonazol merupakan serbuk putih atau hampir putih yang tidak larut dalam air, larut dalam metanol, dan agak sukar larut dalam etanol, dan dari uji titik lebur diperoleh bahwa titik lebur ketokonazol yang digunakan dalam penelitian ini berada pada rentang 148oC – 151oC. Selain ketokonazol, dilakukan juga identifikasi terhadap minyak zaitun yang digunakan. Hasil identifikasi tersebut adalah bilangan penyabunan 2,85, bilangan asam 0,35, bilangan iodium 133, dan indeks bias adalah 1,4521. Optimasi setiap tahapan dalam formulasi perlu dilakukan untuk memperoleh formula yang paling baik. Pertama-tama dilakukan penentuan jumlah surfaktan-kosurfaktan yang diperlukan untuk dapat membentuk sistem mikroemulsi. Penentuan jumlah Tween 80 dan etanol 95% diawali dengan penentuan perbandingan keduanya dalam sediaan mikroemulsi. Dari percobaan yang telah dilakukan terlihat bahwa sediaan mikroemulsi yang jernih dengan penggunaan Tween 80 paling sedikit adalah dengan perbandingan Tween 80 dan etanol 95% 4 : 1 (dapat dilihat pada Tabel 4.1). Tabel 4.1 Penentuan Perbandingan Tween 80-etanol 95% Tween 80 : etanol 95%
Mikroemulsi yang dihasilkan
1:1
Putih susu
2:1
Putih susu
3:1
Putih kekuningan
4:1
Jernih
5:1
Jernih
6:1
Jernih
Setelah dilakukan penentuan perbandingan Tween 80 dan etanol dalam sediaan, kemudian dilakukan penentuan jumlah keduanya dalam sediaan. Dari penentuan yang telah dilakukan tersebut terdapat 3 formula yang menghasilkan sediaan mikroemulsi yang jernih yaitu
26 Formula II, Formula III, dan Formula IV, dapat dilihat pada Tabel 4.2. Namun, formula yang selanjutnya dipilih untuk dikembangkan adalah Formula II karena kandungan surfaktan yang terdapat dalam formula tersebut paling sedikit diantara 3 formula yang lain, yaitu Tween 80 sebanyak 40% dan etanol 95% sebanyak 10% (total 50%). Pemilihan kandungan surfaktan yang paling sedikit dilakukan untuk meminimalisir terjadinya iritasi pada kulit. Tabel 4.2 Penentuan Jumlah Tween 80 dan Etanol 95% dalam Formula Bahan baku
Formula (F)
(b/b)
I
II
III
IV
V
Minyak zaitun
6,00 %
6,00 %
6,00 %
6,00 %
6,00 %
Tween 80
36,00 %
40,00 %
44,00 %
48,00 %
52,00 %
Etanol 95%
9,00 %
10,00 %
11,00 %
12,00 %
13,00 %
Gliserin
32,66 %
29,33 %
26,00 %
22,67 %
19,33 %
Aquadest
16,33 %
14,67 %
13,00 %
11,33 %
9,67 %
keruh
jernih
jernih
jernih
keruh
Hasil
Setelah ditemukan jumlah surfaktan-kosurfaktan yang tepat, kemudian dilakukan penentuan terhadap jumlah minyak yang akan digunakan dalam pembuatan mikroemulsi. Tabel 4.3 Penentuan Jumlah Minyak Zaitun dalam Formula Bahan baku (b/b)
Formula (F) II
VI
VII
Minyak zaitun
6,00 %
7,00 %
10,00 %
Tween 80
40,00 %
40,00 %
40,00 %
Etanol 95%
10,00 %
10,00 %
10,00 %
Gliserin
29,33 %
28,67 %
26,67 %
Aquadest
14,67 %
14,33 %
13,33 %
jernih
keruh
keruh
Hasil
Dengan jumlah surfaktan dan kosurfaktan sebanyak 50% dalam formula terlihat bahwa jumlah minyak yang dapat diakomodasi adalah 6%, sedangkan bila menggunakan minyak 7% dan 10% dihasilkan mikroemulsi yang keruh. Kemudian dilakukan penentuan lanjutan
27 terhadap jumlah emulgator yang terdapat dalam formula yaitu dengan menurunkan jumlah Tween 80 dari 40% hingga batas minimalnya. Tabel 4.4 Penurunan Jumlah Emulgator dari Formula II Bahan baku
Formula (F)
(b/b)
II
IIA
IIB
IIC
Minyak zaitun
6,00 %
6,00 %
6,00 %
6,00 %
Tween 80
40,00 %
39,00 %
38,00 %
37,00 %
Etanol 95%
10,00 %
9,75 %
9,50 %
9,25 %
Gliserin
29,33 %
30,17 %
31,00 %
31,83 %
Aquadest
14,67 %
15,08 %
15,50 %
15,92 %
jernih
jernih
jernih
keruh
Hasil
Formula II yang diperoleh dari optimasi sebelumnya dikembangkan lagi menjadi Formula IIA, Formula IIB, dan Formula IIC dengan jumlah surfaktan yang semakin menurun. Dari hasil optimasi terlihat ada dua formula yang menghasilkan sediaan mikroemulsi yang jernih yaitu Formula IIA dengan kandungan Tween 80 sebanyak 39% dan Formula IIB dengan kandungan Tween 80 sebanyak 38%. Tween 80 yang digunakan adalah dalam jumlah yang cukup besar, namun penggunaan Tween 80 sebanyak 38% masih diperbolehkan (Subramanian, 2005). Pada formula yang diperoleh dari hasil optimasi kemudian akan ditambahkan ketokonazol sebagai zat aktif. Ketokonazol merupakan senyawa hidrofobik yang tidak larut dalam air sehingga pemilihan ketokonazol cocok untuk dijadikan model zat aktif dalam formulasi mikroemulsi topikal ini. Dalam pembuatan sediaan mikroemulsi, ketokonazol dilarutkan terlebih dahulu di dalam etanol untuk dapat memaksimalkan kelarutannya dalam sediaan. Sebelum metode ini dipilih, ketokonazol telah dicoba dilarutkan terlebih dahulu dalam etanol, gliserin, minyak zaitun, dan Tween 80. Namun, ketokonazol hanya dapat larut pada etanol. Oleh karena itu dipilih cara untuk melarutkan ketokonazol terlebih dahulu di dalam etanol. Jumlah ketokonazol yang ditambahkan ke dalam formula basis mikroemulsi disesuaikan dengan data kelarutannya dalam sejumlah etanol yang digunakan.
28 Menurut literatur, data kelarutan ketokonazol dalam etanol adalah 1 gram ketokonazol larut dalam 30-100 ml etanol. Dari hasil percobaan uji kelarutan ketokonazol dalam etanol, diperoleh hasil 400 mg ketokonazol larut dalam 9,5 g etanol 95% (9,5 g etanol 95% setara dengan 11,87 ml etanol 95% Æ BJ etanol = 0,8). Dapat disimpulkan bahwa kelarutan ketokonazol dalam etanol berdasarkan percobaan adalah 1 : 30,48. Pada sediaan yang beredar di pasaran, konsentrasi ketokonazol dalam sediaan umumnya adalah 1%. Dilihat dari kelarutan dalam etanol dan jumlah etanol yang digunakan dalam sediaan, jumlah ketokonazol yang dapat dilarutkan dalam sejumlah etanol yang digunakan adalah 0,4%. Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan konsentrasi lazim ketokonazol yang beredar di pasaran (1%). Beberapa hal telah dilakukan dalam penelitian ini untuk meningkatkan jumlah ketokonazol dalam sediaan yaitu dengan cara menambahkan ketokonazol ke dalam sistem mikroemulsi yang telah terbentuk. Namun, hal ini tidak dapat meningkatkan kelarutan ketokonazol dalam sistem, karena ternyata setelah diaduk ketokonazol yang ditambahkan tidak larut sempurna dalam sistem yang telah dibuat. Dari hal ini disimpulkan bahwa ketokonazol memiliki kelarutan maksimal pada etanol 95%, sehingga dalam pembuatannya ketokonazol dilarutkan terlebih dahulu dalam etanol 95%. Evaluasi sediaan yang dilakukan meliputi evaluasi pH, viskositas, evaluasi stabilita sediaan yaitu freeze-thaw, dan penentuan ukuran globul mikroemulsi. Formula yang dipilih untuk dievaluasi adalah Formula II dan Formula IIB, dan masing-masing dibandingkan terhadap basisnya. Tabel 4.5 Formula yang dievaluasi Bahan baku (b/b)
Formula (F) Basis II
II
Basis IIB
IIB
-
0,40 %
-
0,40 %
Minyak zaitun
6,00 %
6,00 %
6,00 %
6,00 %
Tween 80
40,00 %
40,00 %
38,00 %
38,00 %
Etanol 95%
10,00 %
10,00 %
9,50 %
9,50 %
Gliserin
29,33 %
29,33 %
31,00 %
31,00 %
Aquadest
14,67 %
14,67 %
15,50 %
15,50 %
Ketokonazol
Hasil pengukuran pH menunjukkan bahwa pH sediaan tetap stabil dari setiap pengukuran. pH yang diperoleh pada pengukuran berada pada rentang 6,9 – 7,2. Nilai yang diperoleh ini
29 dapat disebabkan karena pH Tween 80 itu sendiri yang berada pada rentang 6,0 – 8,0 (Rowe, 3003). Tabel 4.6 Data Pengukuran pH Formula II dan Formula IIB Dibandingkan terhadap Basis Hari
pH
ke-
F basis II
F II
F basis IIB
F IIB
1
6,91
7,09 ± 0,05
7,10
7,17 ± 0,07
4
7,12
7,15 ± 0,05
6,98
7,10 ± 0,14
7
7,10
7,09 ± 0,04
7,10
7,13 ± 0,05
10
7,02
7,05 ± 0,06
7,05
7,11 ± 0,11
13
7,22
7,20 ± 0,09
7,14
7,08 ± 0,08
16
6,96
7,08 ± 0,12
7,08
7,03 ± 0,10
Keterangan : nilai pH pada F II dan F IIB adalah hasil rata-rata dari 3 bets sediaan; nilai pH F basis II dan F basis IIB adalah nilai dari 1 bets sediaan
8 7 6 pH
5 4 3 2 1 0
3
6
9
12
15
18
waktu (hari)
Gambar 4.1 Grafik profil pH Formula II dibandingkan dengan basisnya. (■) Formula II; (♦) Formula basis
30
8 7 6 pH
5 4 3 2 1 0
3
6
9
12
15
18
waktu (hari)
Gambar 4.2 Grafik profil pH Formula IIB dibandingkan dengan basisnya. (■) Formula IIB; (♦) Formula basis
8 7
pH
6 5 4 3 2 1 0
5
10
15
20
waktu (hari)
Gambar 4.3 Grafik profil perbandingan pH Formula II dengan Formula IIB. (■) Formula II; (♦) Formula IIB Dari hasil pengukuran viskositas, terlihat bahwa viskositas sediaan yang semakin meningkat dari tiap kali pengukuran. Meningkatnya viskositas dari sediaan mikroemulsi diduga disebabkan karena etanol 95% yang terkandung dalam sediaan lama kelamaan menguap pada proses penyimpanan sehingga sediaan menjadi semakin kental. Selain itu, wadah yang digunakan adalah pot plastik yang permeabel terhadap lembab.
31 Tabel 4.7 Data Pengukuran Viskositas F II dan F IIB Dibandingkan Terhadap Basis Hari
Viskositas (cP)
ke-
F basis II
F II
F basis IIB
F IIB
1
347,50
356,30 ± 31,20
340,00
473,00 ± 23,30
4
570,00
552,00 ± 51,20
486,00
537,50 ± 56,60
7
765,00
645,60 ± 20,70
562,00
618,00 ± 16,60
10
895,00
822,00 ± 136,30
758,00
817,00 ± 19,60
13
1085,00
995,00 ± 16,10
801,00
880,00 ± 31,30
16
1262,00
1188,30 ± 43,10
1225,00
1146,00 ± 45,20
Keterangan : nilai viskositas pada F II dan F IIB adalah hasil rata-rata dari 3 bets sediaan; nilai pH F basis II dan F basis IIB adalah nilai dari 1 bets sediaan
1400
v isk o sitas (cP)
1200 1000 800 600 400 200 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
waktu (hari)
Gambar 4.4 Grafik profil viskositas Formula II dibandingkan dengan basisnya. (■) Formula II; (♦) Formula basis
32
1400
v isk o sitas (cP)
1200 1000 800 600 400 200 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
waktu (hari)
Gambar 4.5 Grafik profil viskositas Formula IIB dibandingkan dengan basisnya. (■) Formula IIB; (♦) Formula basis
1400
viskositas (cP)
1200 1000 800 600 400 200 0 0
5
10
15
20
waktu (hari)
Gambar 4.6 Grafik profil perbandingan viskositas Formula II dengan Formula IIB (■) Formula II; (♦) Formula IIB Untuk mengetahui kestabilan sediaan dalam penyimpanan pada suhu yang berbeda dan ekstrim, dilakukan evaluasi freeze-thaw. Pada evaluasi ini, sediaan disimpan dalam oven dan kulkas selama minimal 6 siklus. Satu siklus terdiri dari 48 jam pada kulkas 4oC dan 48 jam kemudian pada oven 40oC (Lieberman, 1988). Selama penyimpanan ini, sediaan harus stabil tanpa menimbulkan terjadinya pemisahan fasa yang dapat diamati secara visual.
33 Ketika sediaan disimpan pada suhu rendah (kulkas 4oC), terlihat bahwa sediaan mengalami perubahan fisik yaitu sediaan menjadi berwarna putih susu dan menjadi lebih kental, bahkan menjadi memadat. Hal ini dapat disebabkan karena fase minyak cenderung membeku pada suhu rendah. Akibatnya partikel-partikel cenderung bergabung membentuk suatu ikatan antar partikel yang lebih rapat yang mengakibatkan sediaan menjadi berwarna putih susu karena strukturnya menjadi lebih rapat dan teratur. Selain itu, laju alir menjadi berkurang dan viskositas pun bertambah. Akan tetapi bila sediaan disimpan kembali pada suhu kamar, penampilan sediaan kembali seperti semula yaitu jernih dan transparan, dan viskositasnya kembali normal. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi yang terjadi adalah reversibel (Jufri, 2004). Tabel 4.8 Tabel Pengamatan Kestabilan Sediaan dengan metode freeze-thaw F basis F II(i)
FII(ii)
FII(iii)
II
F basis
F IIB(i)
F IIB(ii)
FIIB(iii)
IIB
Siklus 1
s
s
s
s
s
s
s
s
Siklus 2
s
s
s
s
s
s
s
s
Siklus 3
s
s
s
s
s
s
s
s
Siklus 4
s
s
s
s
s
s
s
s
Siklus 5
s
s
s
s
s
s
s
s
Siklus 6
s
s
s
s
s
s
s
s
Keterangan : (i) = bets 1; (ii) = bets; (iii) = bets 3; s = stabil Evaluasi lain yang dilakukan adalah penentuan ukuran globul dengan menggunakan alat Zetasizer Nano. Prinsip alat ini adalah mengukur ukuran globul yang terdapat dalam sampel dengan menggunakan sebaran cahaya yang dilewatkan pada sampel (light scattering). Cahaya yang lewat pada sampel dibiaskan oleh globul minyak yang terdapat dalam sampel dan gerak Brown yang terjadi pada globul menyebabkan diameter globul tersebut dapat terukur. Dari pengukuran globul yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa ukuran globul minyak yang terdapat dalam sampel Formula IIB berada pada rentang 6,50 – 21,04 nm, sedangkan ukuran globul terbanyak berada pada ukuran 10,1 nm. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa ukuran globul mikroemulsi berada pada rentang 10 nm – 200 nm (Prince, 1977). Dari grafik distribusi ukuran partikel yang diperoleh, terlihat bahwa ukuran
34 globul yang diperoleh berada pada rentang normal sehingga diharapkan mikroemulsi tetap stabil dalam penyimpanan. Perincian lebih jelas mengenai ukuran globul yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.9. Tabel 4.9 Distribusi Ukuran Globul Mikroemulsi Ukuran globul (nm)
% Volume
6,50
2,67
7,53
11,56
8,72
22,12
10,10
25,48
11,70
20,28
13,54
11,75
15,69
4,80
18,17
1,21
21,04
0,13
30 25
volume (%)
20 15 10 5 0 6.5
7.53
8.72
10.1
11.7
13.54
15.69
18.17
ukuran globul (nm)
Gambar 4.7 Grafik Distribusi Ukuran Globul Mikroemulsi
21.04