BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 2. 1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak dan pandangan para ahli dalam bidang tersebut memberikan berbagai definisi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya definisi tersebut mempunyai tujuan yang sama. Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Kententuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) bahwa Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Soemitro (dalam Mardiasmo, 2011:1) bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Smeeths (dalam Bohari, 2012:23) menyatakan bahwa Pajak adalah prestasi pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual, maksudnya adalah membiayai pengeluaran pemerintah.
9
10
Muljono (2010:1) menyatakan bahwa Pajak adalah suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari pada kekayaan kepada Negara disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan hukuman, tetapi sesuai menurut peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung dan digunakan untuk memelihara kesejahteraan umum. Menurut Andriani, (dalam Brotodihardjo buku Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menyatakan bahwa Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara menyelenggarakan pemerintahan. Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1.
luran dan rakyat kepada Negara, yang berhak memungut pajak hanyalah negara. luran tersebut berupa uang (bukan barang).
2.
Berdasarkan Undang-Undang, Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
3.
Tanpa jasa timbal (kontra prestasi) dan Negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat di tunjukkan adanya kontra prestasi individual oleh pemerintah.
4.
Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
11
2.1.2 Fungsi Pajak Secara umum dapat dikatakan fungsi pajak sebagai pemasukan bagi kas negara. Dapat diartikan bahwa pajak sebagai sumber utama pendanaan negara yang diatur berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Selain itu pajak juga berfungsi untuk mengelola penganggaran negara. Suandy (2010:12) menyatakan bahwa fungsi pajak ada dua yaitu: 1.
Fungsi Budgetair (Financial). Disebut juga fungsi utama pajak atau fungsi fiscal adalah suatu fungsi dimana pajak digunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.
2.
Fungsi Regulerend (Mengatur). Yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di bidang ekonomi, social, maupun politik dengan tujuan tertentu.
Menurut Mardiasmo (2011:1) ada dua fungsi pajak, yaitu: 1.
Fungsi Penerimaan (Budgetair). Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2.
Fungsi Mengatur (Reguleren). Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi Contoh: a.
pajak
yang
tinggi
dikenakan
terhadap
minuman
keras
untuk
mengurangi konsumsi minuman keras b.
pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif
12
c.
tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.
2.1.3 Jenis – Jenis Pajak Agus dan Trisnawati (2013:7) menggolongkan pajak menjadi 3 macam, yaitu menurut golongannya, sifatnya dan lembaga pemungutnya. 1.
Menurut Golongannya a.
Pajak langsung adalah pajak yang bebannya tidak dapat dilimpahkan oleh pihak lain dan menjadi beban langsung Wajib Pajak (WP) yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh)
b.
Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
2.
Menurut Sifatnya a.
Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan
b.
Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya,
tanpa
memperhatikan
keadaan
dari
Wajib
Pajak.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Pajak Bangunan (PBB), dan Bea Materai (BM)
13
3.
Menurut Lembaga Pemungutnya a.
Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah dan digunakan
untuk
membiayai
rumah
tangga
pemerintah
pusat.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Materai (BM) b.
Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah daerah dan digunakan
untuk
membiayai
rumah
tangga
pemerintah
daerah
Contoh: Pajak Hiburan, Pajak Hotel dan Restoran, dan Pajak Kendaraan Bermotor
2.1.4 Tarif Pajak Ada 4 macam tarif yang dikemukakan Mardiasmo (2011:9) sebagai berikut: 1.
Tarif sebanding/proporsional, yaitu tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh: untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.
2.
Tarif tetap, tarif berupa jumlah (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak yang terutang tetap. Contoh: besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp 3.000,00.
14
3.
Tarif progresif, persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
4.
Tarif degresif, persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
2.1.5 Asas Pemungutan Pajak Ada 3 asas pemungutan pajak ( Purwono, 2010: 13) : 1.
Asas Domisili Pajak dibebankan pada pihak yang tinggal dan berada di wilayah suatu negara tanpa memperhatikan sumber atau asal objek pajak yang diperoleh atau diterima Wajib Pajak.
2.
Asas Sumber Pembebanan pajak oleh negara hanya terhadap objek pajak yang bersumber atau berasal dari wilayah teritorialnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
3.
Asas Kebangsaan Status
Kewarganegaraan
seseorang
menentukan
pembebanan
pajak
terhadapnya. Perlakuan perpajakan antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing itu berbeda. Dari ketiga asas pemungutan pajak diatas, terdapat perbedaan prinsipil dari ketiga asas terebut. Pada asas domisili dan asas kebangsaan, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili
15
(dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas kebangsaan). Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasan adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara tersebut atau tidak.
2.1.6 Syarat Pemungutan Pajak Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka menurut Mardiasmo (2011:2) pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1.
Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan). Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan. Undang – Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang – undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing – masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada pertimbangan Pajak.
2.
Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang – Undang (syarat yuridis). Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik Negara maupun warganya.
3.
Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi). Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
16
4.
Pemungutan pajak harus efisien (syarat financial). Sesuai dengan budgeteir, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5.
Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Sistem pemungutan sederhana akan memudahkan dalam mendorong masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh Undang – Undang Perpajakan yang baru.
2.1.7 Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak ada 3 (Purwono, 2010), yaitu: 1.
Official Assesment System. Melalui sistem ini besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak ditentukan oleh fiskus. Sistem pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi sejak reformasi perpajakan tahun 1984.
2.
Self Assesment System. Dalam sistem ini wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung sendiri, membayar sendiri, serta melaporkan sendiri pajak yang terhutang yang seharusnya dibayar.
3.
Withholding System. Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut pajak yang terhutang. Dalam hal ini pihak ketiga yang dimaksud adalah pihak lain selain pemerintah dan wajib pajak.
17
2.1.8 Hambatan Pemungutan Pajak Menurut
Mardiasmo
(2011:8)
hambatan
terhadap
pajak
dapat
dikelompokkan menjadi: 1.
Perlawanan pasif. Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain.
2.
a.
Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
b.
Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat
c.
Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
Perlawanan aktif. Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain:
a.
Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.
b.
Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undangundang (menggelapkan pajak).
2.1.9 Timbul dan Hapusnya Utang Pajak Pengertian utang pajak menurut Pasal 1 angka 8 (UU Penagihan Pajak) adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Resmi (2013:12) menyatakan bahwa saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang sangat penting karena berkaitan dengan:
18
1.
Pembayaran pajak
2.
Memasukkan surat keberatan
3.
Menentukan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa
4.
Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan lain-lain
5.
Menentukan besarnya denda maupun sanksi administrasi lainnya
Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak (saat pengakuan adanya utang pajak), yaitu ajaran materiil dan ajaran formil. a.
Ajaran Materiil. Ajaran materiil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya Undang-Undang Perpajakan. Dalam ajaran ini seseorang akan secara aktif menentukan apakah dirinya dikenakan pajak atau tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Ajaran ini konsisten dengan penerapan self assesment system.
b.
Ajaran Formil. Ajaran formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah). Untuk menentukan apakah seseorang dikenakan pajak atau tidak, berupa jumlah pajak yang harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya dapat diketahui dalam surat ketetapan tersebut. Ajaran ini konsisten dengan penerapan official assesment system.
Hapusnya utang pajak dapat disebabkan beberapa hal: 1) Pembayaran 2) Kompensasi
19
3) Daluwarsa 4) Pembebasan dan penghapusan
2.1.10 Efektivitas Menurut Siagian, efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan jumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya. Menurut Abdurahmat, efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Menurut Hidayat, efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya. Hal terpenting yang perlu dicatat bahwa efektivitas tidak menyatakan tentang berapa besar biaya yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut, efektivitas hanya melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Formula untuk mengukur efektivitas yang terkait dengan perpajakan adalah perbandingan antara realisasi penerimaan pajak dengan potensi pajak.
20
2.1.11 Penagihan Pajak 1.
Pengertian Penagihan Pajak Pelaksanaan penagihan pajak yang tegas, konsisten dan konsekuen diharapkan akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam membayarkan hutang pajaknya. Hal ini merupakan posisi strategis dalam meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak sehingga tindakan penagihan pajak tersebut dapat menyelamatkan penerimaan pajak yang tertunda. Kegiatan penagihan pajak merupakan ujung tombak dalam menyelamatkan penerimaan Negara yang tertunda, oleh sebab itu seksi penagihan merupakan seksi produksi yang paling dibanggakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam pelaksanaannya penagihan pajak haruslah dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga mempunyai kekuatan hukum baik bagi wajib pajak maupun aparatur pajaknya.
Menurut
Kurniawan
(2011:111)
Penagihan
Pajak
adalah
serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan
seketika
mengusulkan
dan
pencegahan,
sekaligus,
memberitahukan
melaksanakan
penyitaan,
Surat
Paksa,
melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita (Pasal 1 angka 9 UU No. 19/2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa). 2.
Dasar Penagihan Pajak Dasar penagihan pajak diatur dalam Pasal 18 ayat (1) KUP yaitu:
21
a.
Surat Tagihan Pajak (STP). Adalah surat yang diterbitkan untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
b.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan
pembayaran
pokok
pajak,
besarnya
sanksi
administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar. c.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT). Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
d.
Surat Keputusan Pembetulan. Adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
e.
Surat Keputusan Keberatan. Adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
f.
Putusan Banding. Adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
3.
Penagihan Pajak dengan Surat Teguran Menurut Suhartono dan Ilyas (KUP) Penerbitan Surat Teguran, Surat Peringatan, atau Surat Lain yang sejenis merupakan awal tindakan penagihan pajak sehingga hal tersebut menjadi pedoman tindakan penagihan pajak berikutnya yaitu penyampaian Surat Paksa dan sebagainya. Sesuai Pasal 8
22
Ayat (2) UU PPSP, Surat Teguran / Surat Peringatan atau Surat Lain yang sejenis diterbitkan apabila penganggung pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Pasal 1 angka 10 UU PPSP menyebutkan bahwa Surat Teguran, Surat Peringatan atau Surat Lain yang sejenis adalah Surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.Dalam buku KUP pelaksanaan penagihan pajak dilakukan dengan menerbitkan Surat Teguran oleh Dirjen Pajak. Keputusan Dirjen Pajak yang menyetujui penanggung pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak mengakibatkan tidak adanya upaya penagihan pajak kecuali penanggung pajak tidak menepati keputusan tersebut. Penerbitan Surat Teguran harus dilakukan dengan mempertimbangkan upaya hukum Wajib Pajak karena upaya hukum keberatan dan banding atas utang pajak mulai tahun pajak 2008 menyebabkan tertangguhnya jatuh tempo dengan syarat Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya atas SKPKB/SKPKBT dalam pembahasan akhir, adalah sebagai berikut: a.
Apabila Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang terutang dalam pembahasan akhir dan ternyata tidak mengajukan permohonan keberatan atas ketetapan hasil pemeriksaan tersebut, Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan. Tujuan menunggu jatuh tempo pengajuan
keberatan
3(tiga)
bulan
sejak
diterbitkannya
23
SKPKB/SKPKBT karena dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak mempunyai hak mengajukan permohonan keberatan. b.
Apabila Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang terutang dalam pembahasan akhir dan tidak mengajukan upaya permohonan banding atas keputusan keberatan SKPKB/SKPKBT, surat teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding. Tujuan menunggu jatuh tempo pengajuan keberatan 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan atas keberatan SKPKB/SKPKBT karena dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak masih mempunyai hak mengajukan permohonan banding.
c.
Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak mengajukan: 1) Permohonan keberatan atas SKPKB/SKPKBT, Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo berdasarkan Keputusan Keberatan (jatuh tempo keputusan keberatan adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan keputusan tersebut). 2) Permohonan banding atas Keputusan Keberatan sehubungan dengan SKPKB/SKPKBT, Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo berdasarkan putusan banding (jatuh tempo putusan banding adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan putusan tersebut).
24
d.
Dalam hal Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan (1 bulan setelah tanggal penerbitan SKPKB/SKPKBT).
e.
Dalam
hal
Wajib
Pajak
mencabut
pengajuan
keberatan
atas
SKPKB/SKPKBT, Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut. Surat Teguran dalam rangka penagihan pajak atas utang Pajak Bumi dan Bangunan dan atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana tercantum dalam STP PBB, SKBKB, SKBKBT, atau Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah disampaikan kepada Wajib Pajak setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo. 4.
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Surat paksa sesuai Pasal 1 huruf 21 UU KUP dan Pasal 1 huruf 12 UU Penagihan Pajak menyatakan bahwa “surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak”. Surat paksa berkepala kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Agar tercapai efektivitas dan efisiensi penagihan pajak yang didasari dengan surat paksa, maka surat paksa mempunyai kekuatan hukum eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Menurut Fidel (2010:47) UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) yaitu :
25
a.
Falsafah UU PPSP No.19/2000 1) Menampung perkembangan sistem hukum nasional perlunya dipertegaskan perolehan hak karena waris dan hibah wasiat yang merupakan objek pajak. 2) Mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. 3) Adanya kepastian hukum dan menegakkan keadilan
b.
Tujuan perubahan UU PPSP No.19/2000 1) Banyaknya tunggakan pajak dari waktu ke waktu menunjukkan jumlah yang semakin besar, untuk itu perlu dilaksanakan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. 2) Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam peningkatan penerimaan pajak. 3) Penagihan
pajak
yang
dilaksanakan
secara
konsisten
dan
berkesinambungan merupakan wujud lawan enfercoment untuk meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologis bagi Wajib Pajak. 4) Memberikan perlindungan hukum, baik kepada penanggung pajak maupun kepada pihak ketiga berupa hak untuk mengajukan gugatan. c.
Hal-hal yang menjadi perhatian pada UU PPSP No.19/2000 1) Mempertegas
proses
pelaksanaan
penagihan
pajak
dengan
menambahkan ketentuan Penerbitan Surat Teguran, Surat Peringatan dan Surat Lain yang sejenisnya sebelum Surat Paksa dilaksanakan.
26
2) Mempertegas jangka waktu pelaksanaan penagihan aktif. 3) Mempertegas pengertian penanggung pajak yang meliputi komisaris, pemegang saham, pemilik modal. 4) Menaikkan nilai peralatan usaha yang dikecualikan dari penyitaan dalam rangka menjaga kelangsungan usaha penanggung pajak. 5) Menambah jenis barang yang penjualannya dikecualikan dari lelang. 6) Mempertegas besarnya biaya penagihan pajak, yang didasarkan atas prosentase tertentu dari hasil penjualan. 7) Mempertegas bahwa pengajuan keberatan atau permohonan banding oleh Wajib Pajak tidak menunda pembayaran dan pelaksanaan penagihan pajak. 8) Memberi kemudahan pelaksanaan lelang dengan cara memberi batasan nilai barang yang diumumkan tidak melalui media massa dalam rangka efisiensi. 9) Memperjelas hak penanggung pajak untuk memperoleh ganti rugi dan permulihan nama baik dalam hal gugatannya dikabulkan. 10) Mempertegas pemberian sanksi pidana kepada pihak yang sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pelaksanaan penagihan pajak.
27
2.1.12 Daluwarsa Penagihan 1.
Pengertian Daluwarsa UU KUP juga mengatur mengenai jangka waktu bagi Dirjen Pajak untuk melakukan penagihan pajak. Apabila sudah melampaui jangka waktu yang ditentukan maka hak untuk melakukan penagihan pajak tersebut menjadi daluwarsa. Pasal 22 UU KUP menyebutkan bahwa hak untuk melakukan penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah malampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan: a.
Surat Tagihan Pajak
b.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
c.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
d.
Surat Keputusan Pembetulan
e.
Surat Keputusan Keberatan
f.
Putusan Banding
g.
Putusan Peninjauan Kembali
Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau peninjauan kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
28
2.
Tertangguhnya Daluwarsa Penagihan Pajak Menurut Pasal 22 UU KUP, daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila: a.
Diterbitkan Surat Paksa
b.
Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung
c.
Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
d.
Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
Daluwarsa penagihan pajak menjadi tertangguhkan dan dihitung 5 (lima) tahun sejak tanggal penerbitan atau pelaksanaan kegiatan tersebut di atas.
2.2 Rerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang dan tinjauan teoretis yang diperoleh dari kajian teori yang dijadikan rujukan penelitian, maka dapat disusun rerangka pemikiran sebagai berikut:
29
Pembangunan Nasional
Penerimaan Negara
Luar Negeri
Dalam Negeri
Pajak (Meningkatkan Penerimaan Pajak)
Penagihan Pajak dengan Surat Teguran
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Efektif atau Tidak Efektif dalam Meningkatkan Penerimaan Piutang Pajak
Gambar 1 Rerangka Pemikiran
Wawancara KPP Pratama Surabaya Rungkut