ANALISIS PERBEDAAN FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI PENANGGULANGAN STRES KERJA : STUDI KASUS DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR
YANI INAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ANALISIS PERBEDAAN FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI PENANGGULANGAN STRES KERJA : STUDI KASUS DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR
YANI INAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Perbedaan Faktor Demografi dalam Strategi Penanggulangan Stres Kerja : Studi Kasus Dinas Kesehatan Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor,
Februari 2011
Yani Inayani NRP H 251070081
ABSTRACT YANI INAYANI. An Analysis of the Demographic Differences Factors in Job Stress Coping Strategies (A Case Study of The Bogor Health Department). Under direction of AIDA VITAYALA HUBEIS and AJI HERMAWAN. ABSTRACT Stress can be influenced by several factors including demographic factors such as gender, age and education level. Based on Epstein research (1986), one method that can be used to cope with stress is a Constructive Thinking. Several studies conducted in overseas have shown positive response towards the implementation of Constructive Thinking methods for reducing stress in the workplace. However, whether this theory can also be adopted in Indonesia, especially to cope with stress among the government employees? On that basis, the aim of this study are as follows: (1) To enquire the constructive thinking level of employee at Bogor Health Department (2). To analyze the differences in demographic factors (gender, age and education level) in a stress reduction strategy at Bogor Health Department.. Based on ANOVA (analysis of variance), the result showed that there were no differences of how stress was coped based both sex and age of the employee either as Global Constructive Thinking or six sub-scales from Constructive Thinking Inventory, only to education level factor i.e. Personal Superstitious Thinking and Naive Optimism that shown significantly different. Beside that, there were significantly different result obtained between male n female employees with the bachelor degree for the Categorical Thinking scale, betwen male n female employees with the bachelor degree range from 21 to 32 years old for Global Constructive Thinking and range 45 to 56 years old for Behavioral Coping and Categorical Thinking scales.The other hand, there were significantly different result obtain between male n female employees with non degree range from 33 to 44 years olds for Naive Optimism Scale. Keywords: job stress, demographic factors, coping stress strategy, constructive thinking theory, constructive thinking inventory, analysis of the difference (ANOVA)
RINGKASAN YANI INAYANI. Analisis Perbedaan Faktor Demografi dalam Strategi Penanggulangan Stres Kerja: Studi Kasus Dinas Kesehatan Kota Bogor. Dibimbing oleh AIDA VITAYALA HUBEIS dan AJI HERMAWAN. Pembangunan nasional yang makin meluas dan kompleks dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih memerlukan peningkatan kemampuan di bidang perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan dalam manajemen pembangunan. Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan tulang punggung pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Peran tersebut harus dijalankan dengan efisien, efektif, bersih dan berwibawa. Hal ini dikarenakan penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya. Dinas Kesehatan Kota Bogor, adalah salah satu instansi pemerintah yang berperan memberikan pelayanan kesehatan kepada publik. Dalam rangka memberikan yang maksimal dan profesional untuk kepentingan dan kebutuhan pelayanan kesehatan publik seringkali memicu timbulnya stres dalam pekerjaan. Dalam lingkungan kerja Dinas Kesehatan Kota Bogor, setiap pegawai dituntut untuk dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan jabatan dan perbedaan tingkat pendidikan, hal ini seringkali memicu terjadinya demotivasi pada diri pegawai dalam melakukan pekerjaan, karena jika pembagian pekerjaan tidak sesuai dengan jabatan dan perbedaan tingkat pendidikanya dapat berakibat pada timbulnya stres kerja. Faktor perbedaan usia pegawai akan menyebabkan perbedaan dalam cara berkomunikasi dan kecepatan beradaptasi terhadap pemanfaatan teknologi, sementara itu perbedaan jenis kelamin juga cukup berpengaruh terhadap respon tindakan yang dilakukan pegawai untuk menghadapi stres kerja. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa seringkali pegawai perempuan lebih sering menghadapi stres kerja karena perannya di tempat kerja dan di rumah. Peran ganda yang harus dijalani baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai pegawai seringkali memicu timbulnya stres kerja. Untuk mengatasi hal tersebut, Dinas Kesehatan Kota Bogor harus menyadari dan memahami bahwa penyebab stres dalam pekerjaan harus juga disertai dengan pemahaman terhadap penanggulangannya. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengatasi stres kerja. Metode-metode ini biasa disebut sebagai coping stress strategy atau metode coping. Metode ini banyak digunakan pada penelitian-penelitian tentang psikologi manusia. Salah satu metode coping stress yang dapat digunakan adalah metode Constructive Thinking. Metode Constructive Thinking ini pertama kali diperkenalkan oleh Epstein (1986). Constuctive Thinking adalah suatu metode untuk berpikiran konstruktif yang dapat membantu individu menanggulangi permasalahan stres kerja. Metode ini didasarkan pada respon individu terhadap suatu permasalahan atau tekanan yang dihadapi. Epstein menyatakan bahwa kemampuan dalam mengontrol emosi dan pikiran sangat mempengaruhi kemampuan dalam mengontrol tingkat stres individu. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah penelitian ini: 1) Bagaimanakah tingkat Constructive Thinking pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor? 2) Apakah terdapat perbedaan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan
pendidikan) dalam strategi menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Bogor. Pengumpulan data penelitian dilakukan pada Bulan Mei 2010, sedangkan pengolahan dan interpretasi data dilakukan pada Bulan Agustus – Oktober 2010. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan Nonprobability Sampling yaitu Quota Sampling. Quota Sampling merupakan metode penetapan sampel dengan menentukan quota terlebih dahulu pada masing-masing kelompok. Survei dilakukan pada seluruh pegawai berdasarkan data internal Dinas Kesehatan Kota Bogor. Untuk mengukur tingkat Constructive Thinking digunakan Constructive Thinking Inventory yang diukur melalui 108 pernyataan yang terdiri dari 1(satu) skala global dan 6(enam) sub-skala yaitu behavioral coping, emotional coping, personal superstitious thinking, categorical thinking, esoteric thinking dan naïve optimis. Sedangkan untuk menguji adanya perbedaan digunakan Analysis of Variance (ANOVA) yang dasar pengambilan keputusannya adalah : - Jika Fhitung < Ftabel atau probabilitasnya > 0,1, maka H0 diterima - Jika Fhitung > Ftabel atau probabilitasnya < 0,1, maka H0 ditolak Hasil penelitian menunjukkan karakteristik responden dibedakan berdasarkan faktor demografi yaitu berjenis kelamin wanita (68,9%), pria (31,1%) dengan rentang usia 21 – 32 tahun (22,3%); 33 – 34 tahun (42,5%); 45 – 56 tahun (34,8%) dan > 56 tahun (0,4%), sedangkan untuk tingkat pendidikan Sarjana (33,7%) dan Non Sarjana (66,3%). Berdasarkan hasil perhitungan rataan dari Constructive Thinking Inventory (CTI) maka dapat disimpulkan tingkat Constructive Thinking pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor secara keseluruhan sudah memiliki kempampuan berpikir konstruktif, hal tersebut dapat dilihat dari: a) berdasarkan perbedaan jenis kelamin, pegawai laki-laki dan perempuan cenderung mampu berpikir konstruktif, dan memiliki sikap antusias, terbuka, netral dan cenderung optimis unrealistik; b) berdasarkan perbedaan usia, pegawai dari berbagai tingkatan usia cenderung mampu berpikir konstruktif dan antusias. Pegawai berusia 21-56 tahun lebih berpikir terbuka dan fleksibel namun terkadang terlalu bersikap optimis yang tidak realistis. Pegawai berusia di atas 56 tahun berpikir lebih ofensif dan netral; dan c) berdasarkan perbedaan tingkat pendidikan, pegawai lulusan sarjana maupun non sarjana cenderung mampu berpikir konstruktif dan memiliki sikap antusias, terbuka, netral dan terkadang bertindak optimis unrealistis. Berdasarkan analisis ANOVA maka didapatkan hasil analisis perbedaan faktor demografi dalam menanggulangi stres kerja, sebagai berikut : a) tidak terdapat perbedaan nyata yang signifikan berdasarkan perbedaan jenis kelamin baik secara Global Constructive Thinking maupun terhadap 6 (enam) sub-skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI), artinya baik pegawai pria maupun wanita memiliki cara yang tidak berbeda nyata dalam berpikir konstruktif dalam menanggulangi stres kerja; b) tidak terdapat perbedaan nyata yang signifikan berdasarkan perbedaan tingkat usia baik secara Global Constructive Thinking maupun terhadap enam sub-skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI), artinya baik pegawai berusia tua maupun muda memiliki cara yang tidak berbeda nyata dalam berpikir konstruktif dalam menanggulangi stres kerja; c) berdasarkan perbedaan tingkat pendidikan secara Global Constructive Thinking dan 4 (empat)
sub-skala Behavioral Coping, Emotional Coping, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking dari Constructive Thinking Inventory (CTI) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, akan tetapi terdapat dua sub-skala lainnya yaitu Personal Supertitious Thinking dan Naive Optimism menunjukkan hasil yang berbeda nyata, dimana pegawai sarjana lebih cenderung bersikap optimis yang realistis dan cenderung bersikap defensif dibandingkan pegawai non sarjana dalam menanggulangi stres kerja; d) terdapat perbedaan nyata yang signifikan antara pegawai pria dan wanita sarjana, yaitu pada sub-skala Categorical Thinking, dimana pegawai pria sarjana lebih bersikap fleksibel dibandingkan pegawai wanita yang sarjana dalam menanggulangi stres kerja; e) terdapat perbedaan nyata yang disignifikan antara pegawai pria dan wanita sarjana pada rentang usia 21-32 tahun, yaitu pada skala Global Constructive Thinking, dimana pegawai pria sarjana lebih berpikir konstruktif dibandingkan pegawai wanita sarjana pada usia tersebut dalam menanggulangi stres kerja; f) terdapat perbedaan nyata yang signifikan antara pegawai pria dan wanita sarjana pada rentang usia 45-56 tahun, khususnya pada dua sub-skala, yaitu Behavioral Coping dan Categorical Thinking, dimana pegawai pria sarjana pada rentang usia 45-56 lebih bersikap antusias dan fleksibel dibandingkan pegawai wanita sarjana pada usia tersebut dalam menanggulangi stres kerja; g) terdapat perbedaan nyata yang signifikan antara pegawai pria dan wanita non sarjana pada rentang usia 33-44 tahun, yaitu pada sub-skala Naive Optimism, pegawai wanita non sarjana dengan rentang usia 33-44 tahun lebih bersikap optimis dibandingkan pegawai pria non sarjana dalam menanggulangi stres kerja. Pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor perlu mempertahakan berpikiran konstruktif dan memiliki sikap antusias, terbuka, ofensif, fleksibel, berpikiran logis, optimis sehingga terus bersemangat dalam menyelesaikan pekerjaannya dan lebih realistis dalam menentukan hasil akhir yang diinginkan. Pihak manajemen dapat mempertahankan asas persamaan hak antara pegawai pria dan wanita dalam menempati suatu posisi jabatan dalam pekerjaan sehingga tidak menimbulkan kesenjangan. Perlunya mempertimbangkan kesesuaian perbedaan tingkat pendidikan dengan posisi dan pekerjaan yang diberikan, Adanya perbedaan tingkat usia akan menimbulkan permasalahan tersendiri bagi manajemen, sehingga diharapkan pihak manajemen mempertahankan dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi antar lintas generasi yang selama ini telah berhasil diterapkan sehingga pegawai dapat menerjemahkan tugas yang diberikan dengan baik. Diklat pengembangan diri dan kepemimpinan serta pelatihan-pelatihan lain yang sifatnya membantu pegawai memiliki kemampuan yang lebih baik perlu rutin diselenggarakan. Diklat kepemimpinan akan membentuk pegawai untuk bertindak pro-aktif dalam mencari pemecahan persoalan, sehingga cenderung terhindar dari stres di tempat kerja akibat tidak mampu mencari solusi permasalahan dan tekanan yang didapatkannya. Adanya keterbasan peneliti dalam penelitian ini, perlu kiranya dilakukan kajian lebih lanjut dalam upaya penanggulangan stres kerja berdasarkan metode Constructive Thinking.
Kata kunci : stres kerja, faktor demografi, strateg coping stres, teori berpikir konstruktif, constructive thinking inventory, analysis of the difference (ANOVA)
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS PERBEDAAN FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI PENANGGULANGAN STRES KERJA: STUDI KASUS DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR
YANI INAYANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Manajemen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi : Prof.Dr.Ir. Sjafri Mangkuprawira
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis
: Analisis Perbedaan Faktor Demografi dalam Strategi Penanggulangan Stres Kerja: Studi Kasus Dinas Kesehatan Kota Bogor
Nama Mahasiswa
: Yani Inayani
Nomor Pokok
: H 251070081
Mayor
: Ilmu Manajemen
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis Ketua
Dr.Ir. Aji Hermawan, MM. Anggota
Diketahui,
Mayor Ilmu Manajemen Koordinator,
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Abdul Kohar I, M.Sc. Tanggal Ujian : 21 Februari 2011
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNYA sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Selama penelitian dan penyusunan tesis, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis dan Bapak Dr. Ir. Aji Hermawan, MM selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas arahan, kesabaran dan ilmu yang diberikan kepada penulis. 2. Bapak Prof.Dr.Ir. Sjafri Mangkuprawira sebagai Penguji Luar Komisi. 3. Bapak Dr.Ir. Abdul Kohar I, M.Sc sebagai Ketua Program Mayor Ilmu Manajemen Pascasarjana. 4. Bapak Dr.Ir.Mamun Sarma,MS.MEC sebagai Sekretaris Program Mayor Ilmu Manajemen Pascasarjana 5. Pihak-pihak di Dinas Kesehatan Kota Bogor terutama kepada Ibu Sarti, Ibu Heni, Bapak Sakli dan Bapak Aceng yang membantu penulis selama pengumpulan data 6. Kedua orang tua (Alm) yang tercinta atas kepercayaan dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi ini. 7. Suami (Yulianto) dan Anak-anak (Ezar, Fachreza, Hanifah, Selma, Syarif dan Zulhen) atas dukungan yang luar biasa, doa dan kasih sayangnya. 8. Kakakku Heni Hidayani dan keluarga atas dukungan yang luar biasa, doa dan kasih sayangnya 9. Teman-teman Mayor Ilmu Manajemen 2007 : Hino, Rima, Hanifah, Dian, Henry dan John atas kebersamaannya selama perkuliahan 10. Rani Purwita, Lusiana, Erna, Secilia, Bram Setyadji, Dr.Agus Purnomo, Galang, M.Nur Slamet, Akhmad Sholeh dan Munawwarah Sunusi yang memberikan dukungan dan canda tawanya Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2011 Yani Inayani
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 Agustus 1965 sebagai anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Muktari Asmadi (Alm) dan Sri Maonah (Alm). Tahun 1977 penulis lulus dari Pendidikan Sekolah Dasar dilaksanakan di SD Negeri Silih Asuh I Cirebon, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 2 Cirebon, lulus pada tahun 1981. Tahun 1984 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Cirebon. Pendidikan sarjana ditempuh di STIE Gotong Royong (MKGR) Jakarta pada Program Studi Ekonomi dan Manajemen , lulus tahun 2006. Pada tahun 2007 penulis diterima di Ilmu Manajemen, Sekolah Pascasarjana IPB. Pengalaman kerja penulis diawali sebagai pegawai Depot Logistik, Jawa Barat (DOLOG JABAR), Bandung, dari Tahun 1984 s/d Tahun 1988; Pegawai Konsorsium Hutama Karya–Yala Persada–Jaya Konstruksi, Jakarta dari Tahun 1988 s/d 1989 pada Proyek Pembangunan Jalan Layang Cawang – Tanjung Priok; Pegawai PT. Encona Engineering Inc., Jakarta dari Tahun 1989 s/d 1990; Terakhir penulis bekerja sebagai Pegawai PT. Bank Bukopin, Tbk Pusat, Jakarta dari Tahun 1990 s/d 2004 dan pegawai PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Bogor dari 2005 s/d pensiun dini pada Desember 2007.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................
xxiii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xxv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
xxvii
1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ...................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...........................................................
1 1 3 4 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1 Definisi Stres ................................................................................ 2.1.1 Sumber-Sumber Penyebab Terjadinya Stres Kerja ........... 2.1.2 Strategi Coping .................................................................. 2.1.3 Manajemen Stres ............................................................... 2.1.4 Identifikasi Stres dan Pemodelan Manajemen Stres ......... 2.2 Teori Pemikiran Konstruktif (Constructive Thinking Theory) .... 2.3 Konsep Constructive Thinking Inventory ..................................... 2.4 Hubungan Stres dan Pekerjaan ..................................................... 2.5 Dampak dari faktor Demografi terhadap Stres Kerja .................. 2.5.1 Perbedaan Jenis Kelamin dalam Menanggulangi Stres Kerja .................................................................................. 2.5.2 Perbedaan Usia dalam Menanggulangi Stres Kerja ........... 2.5.3 Perbedaan Tingkat Pendidikan dalam Menanggulangi Stres Kerja .........................................................................
7 7 9 10 10 12 13 16 17 19
3 METODOLOGI ................................................................................ 3.1 Kerangka Pemikiran ................................................................... 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 3.3 Jenis Data dan Sumbernya .......................................................... 3.4 Teknik Pengambilan Sampel ....................................................... 3.5 Metode Pengumpulan Data ......................................................... 3.5.1 Uji Validitas ...................................................................... 3.5.2 Uji Reliabilitas.................................................................... 3.6 Hipotesis ...................................................................................... 3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ......................................... 3.7.1 Analisis Deskriptif ............................................................. 3.7.2 Uji ANOVA ...................................................................... 3.7.3 Metode Rataan Skor ...........................................................
25 25 27 27 27 29 29 29 30 31 32 33 35
xxi
19 21 22
3.7.4 Definisi Operasional Skala Global dan 6 (enam) Sub-skala dari Constructive Thinking Inventory .................................
37
4 GAMBARAN UMUM DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR .. 4.1 Sejarah Singkat ............................................................................ 4.2 Visi, Misi, Kebijakan dan Program ............................................. 4.2.1 Visi .................................................................................... 4.2.2 Misi ................................................................................... 4.2.3 Kebijakan dan Program ..................................................... 4.3 Sarana dan Prasarana ................................................................... 4.4 Pengembangan Karir Pegawai .....................................................
41 41 44 44 45 46 46 47
5 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 5.1 Hasil Uji Validitas dan Realibilitas Kuesioner ............................ 5.2 Karakteristik Pegawai ................................................................. 5.2.1 Jenis Kelamin ..................................................................... 5.2.2 Usia ..................................................................................... 5.2.3 Tingkat Pendidikan .............................................................. 5.3 Analisis Perbedaan Faktor Demografi ......................................... 5.3.1 Analisis Perbedaan Jenis Kelamin terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) .............................. 5.3.2 Analisis Perbedaan Usia terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) ................................................... 5.3.3 Analisis Perbedaan Tingkat Pendidikan terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) .............................. 5.3.4 Analisis Perbedaan jenis kelamin pegawai Sarjana dan Non Sarjana terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) ................................................................................. 5.3.5 Analisis Perbedaan Jenis Kelamin pegawai Sarjana dan Non Sarjana terdasarkan Usia terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) ................................................... 5.4 Implikasi Manajerial ....................................................................
49 49 50 51 52 53 54 55 64 73
81
83 95
6 SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 6.1 Simpulan ...................................................................................... 6.2 Saran ............................................................................................
99 99 101
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
103
LAMPIRAN ..........................................................................................
109
xxii
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Penyebab stres kerja ............................................................................ 9
2.
Penanggulangan stres secara individual dan organisasi ...................... 12
3.
Model Pengukuran Identifikasi dan Manajemen Stres (Coping Strategy) ................................................................................. 13
4.
Jenis dan sumber data penelitian .......................................................... 27
5.
Jumlah Populasi pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor ..................... 28
6.
Jumlah sampel penelitian ..................................................................... 28
7.
Skala Likert pendapat responden ......................................................... 32
8.
Pengamatan pada desain randomisasi lengkap ................................... 33
9.
Tabel ANOVA .................................................................................... 35
10.
Klasifikasi Rentang Kriteria skala pengukuran dari CTI dan maknanya ............................................................................................. 36
11.
Sarana Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bogor ............................... 47
12.
Kategori Pangkat PNS Dinas Kesehatan Kota Bogor ......................... 48
13.
Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner ....................................... 50
14.
Jumlah pegawai berdasarkan jenis kelamin ........................................ 51
15.
Jumlah pegawai berdasarkan kelompok usia ...................................... 52
16.
Jumlah pegawai berdasarkan tingkat pendidikan ................................ 53
17.
Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin ...... 56
18.
Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Jenis Kelamin ................................................................................................ 58
19.
Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin .................................. 60
20.
Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Usia ...................... 65
21.
Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Usia ..... 66
22.
Hasil ANOVA untuk perbedaan usia ................................................... 69
23.
Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Tingkat Pendidikan ............................................................................................ 74
24.
Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Tingkat Pendidikan ............................................................................................ 75
xxiii
25.
Hasil ANOVA untuk perbedaan Tingkat Pendidikan ......................... 78
26.
Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin pegawai Sarjana dan Non Sarjana ......................................................... 81
27.
Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin berdasarkan pegawai Sarjana dan Non Sarjana .......................................... ........................... 83
28.
Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin rentang Usia 21-32 tahun ..................................................................... 85
29.
Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 21-32 tahun .......................................... 85
30.
Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 21-32 tahun .................................................................... 86
31.
Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 45-56 tahun ........................................ 88
32.
Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI pegawai pria dan wanita Sarjana rentang Usia 45-56 tahun ........... ........................................... 89
33.
Hasil ANOVA perbedaan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 45-56 tahun ................................................................................. 91
34.
Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin pegawai pria dan wanita Non Sarjana rentang Usia 33-44 tahun ... 92
35.
Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI pegawai pria dan wanita Non Sarjana rentang usia 33-44 tahun ...............................................
36.
93
Hasil ANOVA perbedaan Jenis Kelamin pada pegawai Non Sarjana rentang Usia 33-44 tahun ....................................................................
xxiv
94
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Siklus Stres (Phillips, 1995) ................................................................
2.
Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................ 26
3.
Struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Bogor ............................... 42
xxv
8
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Kuesioner Penelitian ........................................................................... 109
2.
Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Behavioral Coping ................................................................................................. 116
3.
Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Emotional Coping ................................................................................................. 117
4.
Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Personal Superstitious Thinking ........................................................................ 118
5.
Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Categorical Thinking .............................................................................................. 119
6.
Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Esoteric Thinking .............................................................................................. 120
7.
Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Naive Optimism ............................................................................................. 121
8.
Hasil uji ANOVA untuk Skala Global Constructive Thinking (GCT) ................................................................................................. 122
9.
Hasil uji ANOVA untuk Jenis Kelamin .............................................. 124
10.
Hasil uji ANOVA untuk Tingkat Pendidikan ................................... 125
11.
Hasil uji ANOVA untuk Usia ............................................................. 126
12.
Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Sarjana . ............... 128
13.
Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Non Sarjana ......... 129
14.
Hasil uji ANOVA pegawai pria dan wanita Sarjana rentang 21 – 32 tahun ........................................................................................ 130
15.
Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Sarjana rentang usia 33 – 44 tahun ................................................................................. 131
16.
Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Sarjana rentang usia 45 – 56 tahun ................................................................................ 132
17.
Hasil uji ANOVA antara laki pegawai pria dan wanita sarjana rentang usia >56 tahun ........................................................................ 133
xxvii
18.
Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Non Sarjana rentang usia 21 – 32 tahun .................................................................... 134
19.
Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Non Sarjana rentang usia 33 – 44 tahun ................................................................... 135
20.
Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita non sarjana rentang usia 45 – 56 tahun .................................................................................. 136
xxviii
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pembangunan nasional yang makin meluas dan kompleks dengan penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih memerlukan peningkatan kemampuan di bidang perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan dalam manajemen pembangunan. Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan tulang punggung pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Peran tersebut harus dijalankan dengan efisien, efektif, bersih dan berwibawa. Hal ini dikarenakan penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya. Dinas Kesehatan Kota Bogor, adalah salah satu instansi pemerintah yang berperan memberikan pelayanan kesehatan kepada publik. Melalui Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor. 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4262) dan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2004, tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 4 Seri D) mengharuskan Pemerintah Daerah Kota Bogor, khususnya pada Dinas Kesehatan Kota Bogor untuk terus berupaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya. Hal ini perlu dilakukan karena sumberdaya manusia yang berkualitas merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam memberikan pelayanan khususnya di bidang kesehatan masyarakat. Selain itu, sumberdaya manusia yang berkualitas diharapkan dapat mendukung aktivitas organisasi seluruh unit satuan kerja pada Dinas Kesehatan Kota Bogor dalam
rangka memberikan pelayanan yang
maksimal dan profesional untuk kepentingan dan kebutuhan pelayanan kesehatan publik. Secara umum, masyarakat sering memandang bahwa menjadi pegawai negeri adalah pekerjaan yang paling menyenangkan. Beban pekerjaannya tidak berat dan terlihat santai dalam melakukan pekerjaannya. Dalam beberapa kasus hal ini memang tidak dapat dipungkiri, namun demikian pada kenyataannya, pegawai negeri mengalami juga stres dalam pekerjaannya, sebagaimana yang terjadi pada Dinas Kesehatan Kota Bogor.
Dinas Kesehatan Kota Bogor telah berupaya memberikan pelayanan yang maksimal dan profesional, akan tetapi dalam upaya yang selama ini dilakukan oleh seluruh jajarannya seringkali memicu timbulnya stres dalam pekerjaan. Stres dalam pekerjaan yang ditimbulkannya disebabkan oleh beberapa faktor , yaitu timbul dari pribadi pegawai itu sendiri, karena pemberian pekerjaan yang terlalu berlebihan ataupun terlalu sedikit, adanya konflik ditempat kerja, kondisi di tempat kerja dan hubungan antar personal terutama terkait perbedaan faktor demografi yang ada, yaitu perbedaan jenis kelamin, rentang usia dan tingkat pendidikan . Dalam lingkungan kerja Dinas Kesehatan Kota Bogor, setiap pegawai dituntut untuk dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan jabatan dan perbedaan tingkat pendidikan. Hal ini seringkali memicu terjadinya demotivasi pada diri pegawai dalam melakukan pekerjaan, karena jika pembagian pekerjaan tidak sesuai dengan jabatan dan perbedaan tingkat pendidikanya dapat berakibat pada timbulnya stres kerja. Faktor perbedaan usia pegawai akan menyebabkan perbedaan dalam cara berkomunikasi dan kecepatan beradaptasi terhadap pemanfaatan teknologi. Begitu pula yang terjadi pada Dinas Kesehatan Kota Bogor, pegawai dengan usia lebih tua memiliki kecenderungan untuk tidak memanfaatkan kecanggihan teknologi dengan maksimal, seperti dalam hal menggunakan perangkat lunak komputer, sehingga hal tersebut merupakan ancaman bagi pegawai yang berusia tua, akan tetapi bagi pegawai berusia muda adanya perubahan teknologi memiliki tantangan yang menyenangkan karena akan mempermudah dalam melakukan pekerjaannya. Disamping itu, perbedaan jenis kelamin juga cukup berpengaruh terhadap respon tindakan yang dilakukan pegawai untuk menghadapi stres kerja. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa seringkali pegawai wanita lebih sering menghadapi stres kerja karena perannya di tempat kerja dan di rumah. Peran ganda yang harus dijalani baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai pegawai seringkali memicu timbulnya stres kerja. Pada umumnya, pegawai dapat mudah merasa stres ketika menghadapi satu masalah dalam pekerjaannya, sebaliknya ada yang mampu mengatasinya dengan baik. Stres juga memiliki dampak yang saling bertolak belakang, di satu sisi stres
2
yang masih dalam tingkat kewajaran dapat menjadi pendorong bagi pegawai dalam melakukan pekerjaannya, di sisi lain tingkat stres yang tinggi dapat menjadi suatu masalah yang harus segera diatasi oleh pegawai dan organisasi. Sebab dapat menurunkan produktivitas pegawai dan memberikan dampak negatif bagi organisasi. Untuk mengatasi hal tersebut,
Dinas Kesehatan Kota Bogor
harus
menyadari dan memahami bahwa penyebab stres dalam pekerjaan harus juga disertai dengan pemahaman terhadap penanggulangannya. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengatasi stres kerja. Metode-metode ini biasa disebut sebagai coping stress strategy atau metode coping. Metode ini banyak digunakan pada penelitian-penelitian tentang psikologi manusia. Salah satu metode coping stress yang dapat digunakan adalah metode Constructive Thinking. Metode Constructive Thinking ini pertama kali diperkenalkan oleh Epstein (1986). Constuctive Thinking adalah suatu metode untuk berpikiran konstruktif yang dapat membantu menanggulangi permasalahan stres kerja. Metode ini didasarkan pada respon individu terhadap suatu permasalahan atau tekanan yang dihadapi. Epstein menyatakan bahwa kemampuan dalam mengontrol emosi dan pikiran sangat mempengaruhi kemampuan dalam mengontrol tingkat stres individu. Beberapa penelitian yang telah banyak dilakukan di luar negeri telah menunjukkan respon yang positif terhadap implementasi metode Constructive Thinking untuk mengurangi stres kerja. Namun demikian apakah teori ini juga dapat diadopsi di Indonesia terutama untuk mengatasi stres kerja di kalangan pegawai negeri? Hal ini menarik untuk dipelajari terutama kaitannya dengan beberapa faktor demografi seperti perbedaan jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan.
1.2
Perumusan Masalah Dari uraian kondisi permasalahan yang terjadi di Dinas Kesehatan Kota
Bogor, maka berdasarkan pra studi dan wawancara dengan pegawai, terlihat bahwa perlunya mengetahui tingkat pola pikir konstruktif dan perbedaan cara penanggulangan stres kerja berdasarkan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan
3
tingkat pendidikan) pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor, sehingga dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah tingkat Constructive Thinking pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor?
2.
Apakah terdapat perbedaan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan pendidikan) dalam strategi penanggulangan stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor?
1.3
Tujuan Penelitian Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan,
yaitu : 1.
Mengetahui sejauh mana tingkat Constructive Thinking
pegawai Dinas
Kesehatan Kota Bogor. 2.
Menganalisis perbedaan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan pendidikan) dalam strategi penanggulangan stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor.
1.4
Manfaat Penelitian Bagi Dinas Kesehatan Kota Bogor, hasil dari penelitian ini diharapkan akan
dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk dapat mengambil satu kebijakan yang sesuai dalam mengatasi stres pekerjaan yang terjadi pada pegawai dengan pola pikir yang konstruktif sehingga dapat menghasilkan sikap pegawai sebagaimana yang diharapkan oleh tujuan organisasi. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sarana untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB sesuai kondisi di lapangan.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Objek penelitian ini dibatasi hanya untuk mengetahui sejauh mana tingkat
Constructive Thinking pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor dan menganalisis perbedaan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan) dalam strategi penanggulangan stres kerja pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Hasil
4
penelitian tidak sampai pada kesimpulan mencari penyebab atau faktor dari penyebab stres kerja di Dinas Kesehatan Kota Bogor, tetapi lebih ditekankan pada sejauh mana pegawai mampu menanggulangi stres dengan menerapkan metode Constructive Thinking.
5
6
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Stres Mendefinisikan dan mengidentifikasi stres adalah langkah pertama dalam
memahami konsekuensi dari stres kerja. Stres itu sendiri memiliki arti yang berbeda pada tiap individu tergantung pada bagaimana individu tersebut merespon masalah yang dihadapi baik berkaitan dengan beban kerja maupun lingkungan kerja. Banyak definisi dari stres yang berkaitan dengan ilmu kesehatan mental dan fisik. Menurut Bruno (1991) stres adalah suatu tingkat kesedihan dari suatu individu. Selye (1956, 1976) mendefinisikan stres sebagai penjumlahan dari seluruh perubahan tidak spesifik yang disebabkan oleh fungsi atau kerusakan. Dari sisi kesehatan, hal ini terkait dengan respon tubuh terhadap perubahan psikologi yang berhubungan dengan sindrom “perlawanan” (Selye, 1976). Menurut Bowes et al (1999) stres adalah tekanan dari luar maupun dalam yang menyebabkan tubuh merespon dengan mengaktifkan suatu sistem yang rumit untuk menghasilkan hormon dan neurotransmitter yang membantu jantung dan otak bekerja untuk menanggapinya. Herbert (1997) mendefinisikan stres sebagai suatu permintaan baik secara fisik maupun mental yang keluar dari norma sewajarnya, stres tersebut biasanya memberikan tanda perbedaan antara apa yang seharusnya optimal dan apa yang sudah ada. Mason (2001) mendefinisikan stres sebagai reaksi dari tubuh terhadap pengaruh yang negatif. Penelitiannya menunjukan bahwa stres dapat berarti negatif atau positif, contohnya : kesenangan, tantangan, perceraian dan tanggung jawab pekerjaan. Miller (1998) mendefinisikan stres sebagai perasaan sedih terhadap suatu trauma hidup dan akumulasi dari kejadian di masa lalu. Mereka membagi stres menjadi 2(dua) konstruk : event stress dan added stress. Event stress adalah reaksi yang berhubungan langsung dengan suatu kejadian, sementara added stress adalah permasalahan yang dihadapi seiring dengan kejadian utama yang dapat menyebabkan stres. Bowes et al (1999) memperingatkan bahwa dalam jangka panjang, stres dapat menyebabkan tubuh bereaksi seperti karet gelang. Setelah renggang akibat
stres, tubuh tidak dapat kembali ke keadaan semula dengan cepat. Semakin lama mengalami stres, akan semakin berbahaya kerusakannya. Kerusakan ini dapat berupa kemarahan, sakit jantung, tidak berfungsinya kekebalan tubuh, depresi, dan gejala penyakit tubuh lainnya. Phillips (1995) menggambarkan 4 (empat) jenis stres dalam sebuah matriks 2 x 2 (Gambar 1). Empat jenis stres tersebut adalah: stres sehat, stres tidak produktif, sedikit stres dan situasi stres tidak sehat (healthy stress, unproductive stress, too little stress and unhealthy stress situations).
Gambar 1 Siklus stres (Phillips, 1995) Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa stres merupakan kondisi yang timbul akibat akumulasi ketidakseimbangan pada tubuh karena kejadian atau pengalamanan di masa lalu yang dapat berpengaruh pada tindakan individu saat ini maupun masa yang akan datang. Kondisi tubuh yang tidak seimbang dapat berpengaruh pada kondisi fisik maupun mental dan akan sangat berbahaya jika dibiarkan berkepanjangan.
8
2.1.1
Sumber-Sumber Penyebab Terjadinya Stres Kerja Menurut Parkinson (1995) berbagai masalah yang menimbulkan stres
dapat muncul setiap saat di tempat kerja dan sudah merupakan hal yang umum. Dalam lingkungan kerja tidak mungkin diciptakan suatu kondisi yang mutlak mencegah perbedaan pendapat diantara pegawainya. Sebagai contoh, dua orang pegawai yang bekerja berdampingan, dapat berbeda pendapat mengenai prisip hidup, pendapat politik maupun agama. Hal ini pasti menimbulkan stres dan tentu saja jika pada frekuensi dan jumlah yang tidak dapat ditoleransikan lagi akan berdampak negatif. Faktor-faktor lainnya dapat berupa beban kerja yang terlalu banyak, pekerjaan terlalu sedikit, hubungan atasan dan bawahan kurang serasi, peranan tidak jelas dan sebagainya. Istilah penyebab stres digunakan untuk semua pengalaman fisik atau mental yang tidak menyenangkan tersebut. Beberapa penyebab stres kerja, menurut Hurrel et al. (1998), Losyk (2005), Robbins (2003) dan Robbins dan Judge (2008) ditunjukan dalam Tabel 1. Tabel 1 Penyebab stres kerja No.
Penyebab Stres Kerja
1.
Faktor-faktor yang intrinsik di dalam penugasan, peran dalam organisasi, hubungan antar pribadi di tempat kerja, pengembangan karir, struktur dan iklim organisasi Kualitas supervisi, beban kerja yang berlebihan tekanan dan desakan waktu, konflik peran, perubahan kemajuan teknologi, hubungan dengan rekan kerja, kondsi fisik lingkungan kerja dan tidak adanya peluang dan kesempatan Faktor lingkungan (ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, dan perubahan teknologi), faktor organisasi (tuntutan tugas, tuntutan sarana, tuntutan antarpribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi, dan tahap perkembangan organisasil), faktor individu (masalah keluarga, masalah ekonomi, dan kepribadian) Faktor-faktor lingkungan (ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, dan perubahan teknologi), faktorfaktor organisasional (tuntutan tugas, tuntutan peran, dan tuntutan antarpersonal), faktor-faktor personal ( persoalan keluarga, persoalan ekonomi, dan kepribadian)
2.
3.
4.
Sumber Hurrel et al. (1998)
Losyk (2005)
Robbins (2003)
Robbins dan Judge (2008)
. Penyebab stres kerja yang dapat disimpulkan dari beberapa penelitian diatas dapat berasal dari dalam maupun dari luar individu. Faktor dari dalam berupa faktor-faktor personal seperti: kepribadian, persoalan ekonomi, konflik peran dan hubungan interpersonal. Sementara faktor dari luar berupa faktor
9
lingkungan seperti: ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, perubahan teknologi, kondisi lingkungan kerja, iklim organisasi dan masih banyak lagi.
2.1.2
Strategi Coping Herbert (1997) mendefinisikan coping sebagai suatu proses mengenali,
mengevaluasi dan beradaptasi terhadap stres. Davison dan Neale (2001) mendefinisikan konsep coping sebagai suatu proses bagaimana individu mencoba untuk menghadapi permasalahan atau emosi yang dihasilkan akibat permasalahan tersebut. Strategi coping dapat dikategorikan pada 2 (dua) dimensi, yaitu: fokus pada permasalahan (problem-focused coping) dan fokus pada emosi (emotionfocused coping). Problem-focused lebih kepada tindakan apa yang harus dilakukan untuk memecahkan permasalahan sementara emotion-focused lebih melihat pada bagaimana usaha individu untuk mengurangi emosi negatifnya terhadap stres (Lazarus dan Folkman, 1984) Strategi yang sering dianggap lebih efektif adalah dengan menggunakan problem-focused coping, dimana strategi ini bertujuan untuk menghilangkan pemicu stres, bukan hanya memodifikasi efek negatif stres seperti dalam emotionfocused (Lazarus & Folkman, 1984; Endler & Parker, 1990). Sumber mengatasi stres didapat dari dukungan sosial keluarga, atasan di tempat kerja, dan rekan kerja, sehingga memiliki potensi untuk memperbaiki beberapa efek negatif dari stres (Patterson, 2003;. Thompson et al, 2005). Berdasarkan uraian tersebut maka strategi coping lebih fokus pada mencari solusi permasalahan melalui mekanisme kendali emosi. Emosi yang terkendali diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan timbulnya stres terutama stres di tempat kerja.
2.1.3
Manajemen Stres Untuk menjamin kelangsungan hidup organisasi dengan meningkatkan
produktivitas organisasi, maka organisasi sangat perlu untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif sehingga mampu memberikan kepuasan kerja pada setiap anggota organisasi. Oleh karena itu organisasi harus berusaha untuk
10
mengelola setiap kegiatan dengan baik, yaitu meminimumkan lingkungan kerja yang menimbulkan stres kerja melalui program-program berikut (Ivancevich and Matesson, 1997). 1) Memaksimalkan kecocokan antara individu dan lingkungan (Maximizing person-Envinronment
Fit),
yaitu
merupakan
pendekatan
yang
menfokuskan pada dua dimensi memajukan penghargaan secara formal maupun informal untuk menyelaraskan dengan kebutuhan individu dan memajukan keterampilan, kemampuan dan pengalaman yang dimiliki pegawai selaras dengan permintaan dan keperluan pegawai. 2) Program pencegahan dan pengelolaan stres organisasi (Organizational stres and management program), yaitu meliputi (a) employee assistance program (EAPs) merupakan program yang didesain untuk memperlebar jangkauan penanganan masalah yang berhubungan dengan stres, pekerjaan dan hal lain di luar perkerjaan termasuk masalah perilaku, emosi, keluarga, perkawinan dan berbagai masalah pribadi, dan (b) health promotions program, yaitu program yang difokuskan pada masalah kesehatan fisik dan mental pegawai. 3) Pendekatan individu terhadap pencegahan dan pengelolaan stres (Individual approach to stres prevention and management),
yaitu
merupakan teknik atau pendekatan yang biasa dilakukan melalui program yang meliputi (a) congnitive technique yaitu respon seseorang terhadap pemicu stres yang ada melalui proses kognitif. Asumsi yang mendasari teknik ini adalah pemikiran individu, dalam bentuk ekspektasi, kepercayaan dan asumsi yang semuanya merupakan
label seseorang
dalam merespon situasi, (b) relaxation training yaitu berupa latihan pernafasan, relaksasi otot-otot sehingga meningkatkan kesehatan fisiologi maupun psikologi, dan (c) biofeedback yaitu teknik yang digunakan untuk mengkontrol proses yang terjadi dalam tubuh seseorang. Menurut Sudarmono dan Sudita (2000) cara mengatasi stress kerja dapat dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan individu dan organisasi. Bagi individu pentingnya dilakukan penanggulangan stres karena stres mempengaruhi kehidupan, kesehatan, produktivitas dan penghasilan. Sedangkan bagi organisasi
11
bukan karena alasan kemanusiaan tetapi juga karena pengaruhnya terhadap prestasi dan efektifitas organisasi secara keseluruhan. Perbedaan penanggulangan stres antara pendekatan individu dan pendekatan organisasi tidak dibedakan secara tegas. Pengurangan stres dapat dilakukan pada tingkat individu, organisasi maupun keduanya. Secara keseluruhan penanggulangan stres secara individual dan organisasi disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Penanggulangan stres secara individual dan organisasi Secara Individual 1. 2. 3. 4.
Meningkatkan keimanan Melakukan meditasi dan pernafasan Melakukan kegiatan olah raga Dukungan sosial dari teman-teman dan keluarga 5. Melakukan rileksasi 6. Menghindari kebiasaan rutin yang membosankan
Secara Organisasi 1. Melakuan perbaikan iklim organisasi 2. Melakukan perbaikan terhadap lingkungan fisik 3. Menyediakan sarana olah raga 4. Melakukan analisis dan kejelasan tugas 5. Mengubah struktur dan proses organisasi 6. Meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan 7. Melakukan restrukturisasi tugas 8. Menerapkan konsep manajemen berbasis sasaran
Sumber : Sudarmono dan Sudita (2000)
Berdasarkan uraian tersebut maka manajemen stres lebih ditekankan pada pengelolaan emosi dengan melakukan pekerjaan atau tindakan yang bermanfaat bagi individu tersebut. Selain itu manajemen stres juga ditekankan pada perbaikan fisik dan mental individu baik dari dalam maupun luar. Kombinasi perbaikan kondisi tersebut akan semakin menjauhkan individu dari gejala timbulnya stres
2.1.4
Identifikasi Stres dan Pemodelan Manajemen Stres Identifikasi stres dan pemodelan manajemen stres yang tepat dan sesuai
terus dikembangkan oleh para peneliti dalam upaya penanggulangan stres baik pada individu maupun kelompok. Ada beberapa tinjauan literatur yang berkaitan dengan identifikasi stres dan aplikasi pemodelan manajemen stres yang dapat digunakan dalam upaya mendefinisikan dan menjelaskan hubungan sebab-akibat antara penyebab stres pada individu maupun kelompok, baik yang berasal dari psikologis ataupun lingkungan. Dari beberapa penelitian yang telah dikembangkan oleh peneliti-peneliti terdahulu didapatkan diantaranya 10 (sepuluh) model pengukuran yang berhasil dalam mengembangkan model coping strategy, salah satunya model pengukuran
12
dari Epstein (1986) yaitu Constructive Thinking Inventory(CTI) yang digunakan dalam penelitian saat ini, lebih lengkap beberapa model pengukuran yang ada terangkum dalam Tabel 3 berikut. Tabel 3 Model Pengukuran Identifikasi dan Manajemen Stres (Coping Strategy) Peneliti
Tahun
Model
Derogatis
1986
Derogatis Stress Profile
Noland
1986
PERSONALYSIS
Adams
1989
Understanding and Managing Stress
Faulkner and Anderson
1993
Stress Indicator and Health Planner (SIPH)
Bar-On
1997
BarOn Emotional Quotient Inventory (EQ-i)
Nelson, Schmidt and Nelson
1985
Stress Analysis System (SAS)
Peterson
1987
Stress Management Questionnaire (SMQ)
Crosby, Scherer and Crosby
1985
People Performance Profile (PPP)
Kindler
1993
Epstein
1986
Personal Stress Assessment Inventory (PSAI) Constructive Thinking Inventory (CTI)
Keterangan Menguji dan menggambarkan tingkat stres dalam 3 bagian Mengukur perbedaan karakteristik personal individu Kumpulan tes yang menguji tingkat stres dan hubungannya dengan kesehatan Mengidentifikasi masalah kesehatan sekaligus merencanakan perbaikan kesehatan dan produktifitas Mengidentifikasi tingkat kecerdasan emosi individu Mengidentifikasi potensi penyebab stres dan kemampuan mengenali gejala stres Mengidentifikasi bagaimana individu merespon stressor dan mengatasinya Mengukur bagaimana karyawan mempersepsikan perusahaan, tim dan dirinya Mengidentifikasi individu yang mendapatkan keuntungan dalam pelatihan manajemen stres Mengukur karakteristik pikiran dari suatu sistem pengalaman
Secara garis besar seluruh penelitian tersebut difokuskan pada dua hal, pertama: mencari tahu atau mengidentifikasi potensi penyebab stres dan kedua: mencari solusi dalam menanggulangi stres. Penanggulangan stres berupa mengukur sejauh mana tingkat kecerdasan emosi atau karakteristik apa yang harus dimiliki individu dalam menghadapi stres.
2.2
Teori Pemikiran Konstruktif (Constructive Thinking Theory). Constructive Thinking Theory telah dipelajari pada beberapa penelitian
dengan jenis populasi yang berbeda. Beberapa penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara kemampuan berpikir konstruktif dengan kesehatan fisik maupun mental (Epstein, 1992; Epstein dan Katz, 1992; Hoyer, et al., 1998; Katz dan Epstein, 1991; Park, et al., 1997; Scheuer dan Epstein, 1997).
13
Penelitian lain juga mengungkapkan adanya hubungan antara kemampuan berpikir konstruktif dengan sosialisasi di tempat kerja (Epstein, 1990, 1991; Epstein dan Meier, 1989; Katz dan Epstein, 1991). Epstein mengembangkan Constructive Thinking Theory (CT) sejak tahun 1986. Epstein mendefinisikan Constructive Thinking sebagai kemampuan untuk memecahkan permasalahan sehari-hari dengan meminimalkan tingkat stres atau suatu tingkatan dimana seseorang mampu berpikir secara otomatis dalam memecahkan suatu masalah. Epstein menemukan bahwa ada 2 (dua) bentuk kecerdasan : kecerdasan rasional, diukur melalui uji kecerdasan dan kecerdasan pengalaman, termasuk kecerdasan secara praktis dan emosi. Kecerdasan pengalaman bekerja dengan cepat, efisien dan mendukung tindakan dari sudut pandang menyeluruh. Sementara kecerdasan rasional bekerja melalui proses analisis dan terencana. Sebagai contoh keputusan seorang pemimpin berhubungan dengan kecerdasan pengalaman, sedangkan dalam memecahkan persoalan matematika memerlukan kecerdasan rasional. Penelitian Epstein (1990) menyatakan ada 2 (dua) dimensi dari pikiran yaitu isi dan proses. Isi lebih pada komponen yang spesifik dari kenyataan (contoh: individu akan mudah dipercaya atau tidak). Proses menyangkut bagaimana suatu sistem bekerja. Epstein menggambarkan 2 (dua) dimensi ini sebagai berikut: sebuah pernyataan seperti “Ketika saya gagal dalam ujian, saya merasa benar-benar gagal dan saya tidak akan pernah mencoba lagi”, ini adalah respon yang negatif baik secara isi maupun proses. Isinya menyatakan perasaan pesimis, sementara prosesnya terlalu mengeneralisasi keadaan. Jika responnya seperti “Ketika saya mampu mengerjakan ujian, saya merasa sukses dan saya akan sukses di setiap ujian”, isinya positif namun prosesnya juga terlalu mengeneralisasi keadaan. Sedangkan respon yang konstruktif untuk pernyataan tersebut adalah “Ketika saya gagal pada sebuah ujian, saya menyadari bahwa ini hanya terjadi pada ujian ini dan saya akan belajar dari pengalaman ini untuk tidak kecewa”. Katz dan Epstein (1991) melakukan penelitian tentang bagaimana seorang pemikir konstruktif bereaksi terhadap stres dan perasaan khawatir. Hasilnya adalah seseorang yang tidak berpikiran konstruktif akan mengalami tingkatan
14
stres yang lebih tinggi dibandingkan yang berpikiran konstruktif. Ini menjadi bukti adanya perbedaan reaksi antara pemikir konstruktif dan tidak terhadap suatu obyek atau kejadian yang sama (menunjukkan isi dan proses yang positif). Manzo (1998) mengembangkan definisi pemikiran konstruktif yang di dalamnya mencakup pemikiran kritis dan proses intelektual yang kreatif, Constructive Thinking diilustrasikan sebagai sebuah komposisi dan alat dari pemecahan solusi yang di dalamnya dapat melengkapi kebutuhan yang diperlukan untuk pemecahan solusi permasalahan yang terjadi. Menurut Epstein (1998) individu yang memiliki kontrol terhadap stressor akan bereaksi berbeda. Stres akan dialami oleh mereka yang tidak berpikir konstruktif dan biasanya berpengaruh terhadap hubungannya dengan sesama rekan dan cenderung bermasalah di tempat kerja. Ada 3 (tiga) alasan utama mengapa pemikir konstruktif yang baik mengalami stres lebih ringan dibandingkan dengan pemikir non konstruktif : 1. Individu tersebut lebih efektif menggunakan strategi coping dalam menghadapi keadaan stres. 2. Individu tersebut menginterpretasikan keadaan stres dengan cara yang berbeda, yaitu menganggap kejadian itu sebagai tantangan dibandingkan dengan sebuah ancaman. Mereka menganggap situasi buruk itu sebagai sebuah keadaan sementara bukan permanen dan tidak bereaksi negatif terhadap hal itu. 3. Individu tersebut berlatih untuk menghadapi stres dalam kehidupan seharihari sehingga terbiasa berada dalam situasi sulit baik di tempat kerja maupun di rumah. Secara keseluruhan hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa seorang pemikir konstruktif akan lebih berpengalaman dalam menghadapi stres sehingga dapat tetap bekerja dengan baik dan menganggap situasi sulit sebagai sebuah tantangan. Epstein (1998) menyatakan lebih lanjut bahwa di tempat kerja, pemikir konstruktif yang baik akan menggunakan komunikasi yang jelas untuk memecahkan masalah mereka tanpa menunjukkan kemarahan, kebencian, kekecewaan ataupun putus asa, sehingga kondisi tersebut dapat mengurangi tekanan yang terjadi dan terhindar dari stres kerja.
15
Sementara itu hasil penelitian lanjutan dari Epstein (1998) menunjukkan bahwa pemikir konstruktif yang buruk atau disebut pemikir destruktif memiliki tingkat stress yang lebih tinggi. Pemikir destruktif memilki perasaan cemas dan khawatir yang berlebihan baik sebelum dan sesudah melakukan suatu pekerjaan ataupun
tindakan,
mereka
cenderung
menghindari
kegagalan
daripada
menerimanya sebagai tantangan. Berdasarkan uraian itu, pemikiran konstruktif erat kaitannya dengan cara individu dalam menanggulangi stres. Individu yang mampu mengembangkan pemikiran konstruktif akan cenderung mampu mengontrol emosi sehingga terhindar dari stres.
2.3
Konsep Constructive Thinking Inventory Epstein mengembangkan pemodelan Constructive Thinking Inventory
(CTI) sejak tahun 1986. Model ini digunakan untuk mengidentifikasi stres dan mendapatkan strategi manajemen stres (coping strategy) yang didasarkan pada teori berpikir konstruktif Epstein. Constructive Thinking Inventory didasarkan pada teori Cognitive-Experiential Self Dr Epstein. Menurut teori ini, seseorang memiliki dua sistem adaptif yang mendasar yaitu sebuah "sistem pengalaman" yang secara otomatis belajar dari pengalaman hidup, dan "rasional/sistem intelektual" yang berdasarkan penalaran. Constructive Thinking Inventory ini akan mengukur kemampuan individu untuk memecahkan masalah sehari-hari dengan meminimalkan kondisi stres yang dialaminya dengan kata lain mengukur sejauh mana individu dapat berpikir konstruktif atau destruktif dalam memecahkan masalah. Constructive Thinking diukur dengan menggunakan 1 (satu) Global Constructive Thinking (GCT) scale dan 6 (enam) sub-scales yaitu Behavioral Coping (BC), Emotional Coping (EC), Personal Superstitious Thinking (PST), Categorical Thinking (CaT), Esoteric Thinking (ET) dan Naive Optimism (NaO) dari Constructive Thinking Inventory (CTI). Untuk menguji faktor-faktor tersebut, Epstein (1986) menggunakan kuesioner yang berisi 108 (seratus delapan) pernyataan yang membutuhkan jawaban dari individu/responden berdasarkan pada skala Likert dengan 5 (lima)
16
pilihan sikap alternatif yaitu "sangat tidak setuju" hingga "sangat setuju". Constructive Thinking Inventory (CTI) ini dimaksudkan untuk mendapatkan skor individu/responden pada enam sub-skala dan skala global secara keseluruhan. Dari nilai ini, didapatkan hasil tingkat berpikir responden yang mengarah pada identifikasi coping strategi yang diharapkan. Constructive Thinking Inventory yang dikembangkan Epstein (1986) selain digunakan untuk mengukur pemikiran konstruktif dan destruktif dari seseorang atau kelompok, digunakan juga untuk memprediksi berbagai kemampuan yang diinginkan, termasuk kinerja kerja, keterampilan sosial, emosional dan kesejahteraan fisik. Constructive Thinking Inventory telah banyak digunakan oleh banyak peneliti lainnya untuk mengukur kemampuan lain yang dikembangkan sesuai kebutuhan dari seseorang ataupun kelompok. Berdasarkan uraian tersebut Constructive Thinking Inventory merupakan kumpulan pernyataan untuk menguji sejauh mana individu telah berpikiran konstruktif. Pernyataan-pernyataan dalam kuesioner tersebut akan menunjukkan kearah mana individu tersebut cenderung berpikir atau bertindak dalam merespon kondisi yang terjadi di sekitarnya.
2.4
Hubungan Stres dan Pekerjaan Minirth et al. (1997) mengkategorikan stres manjadi 2(dua) jenis, baik dan
buruk. Stres yang baik berhubungan dengan kejadian yang membahagiakan atau kepuasan sedangkan stres yang buruk berakibat pada suatu tindakan yang negatif. Cooper (2001) menyatakan bahwa stres juga diperlukan dalam kehidupan sehari-hari agar individu selalu belajar dan berkembang. Dalam organisasi stres membantu pegawai menjadi efektif dan memiliki kemampuan dalam mengatasi permasalahan pekerjaan. Menurut penelitian Atkinson (2000), beberapa aspek dalam pekerjaan dapat menyebabkan stres jika tidak ditangani dengan baik, termasuk diantaranya di bidang pekerjaan (jam kerja, kurangnya kontrol dan beban kerja), gaya kepemimpinan (kurangnya komunikasi dan partisipasi pekerja dalam pengambilan keputusan) dan hubungan personal (tidak ada dukungan dari atasan, gap dengan atasan). Meningkatnya stres kerja
juga berhubungan dengan peran pekerja
17
(konflik pekerjaan), karir (terbatasnya pengembangan karir) dan kondisi lingkungan (kondisi lingkungan yang berbahaya) seringkali terjadi di banyak organisasi. Moses (1998) mengungkapkan bahwa suatu pendekatan untuk mengelola stres harus terkonsentrasi pada individu. Penelitiannya menunjukkan bahwa stres kerja merupakan hasil dari berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi dan demografi yang dialami oleh individu di tempat kerja. Stres kerja adalah bentuk stres yang diakibatkan oleh suatu pekerjaannya, yang ditandai oleh perubahan dalam diri orang tersebut yang menyebabkan penyimpangan perilaku dari fungsi yang normal (Soewondo, 1993). Stres tidak sendirinya harus buruk, walaupun stres lazimnya dibahas dalam konteks negatif, stres juga memiliki nilai positif. Stres yang terlalu berat dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan, akibatnya pada pegawai berkembang berbagai macam jenis gejala stres yang dapat menganggu kinerjanya. Sementara itu dalam penelitian Yulianti (2000) dikemukakan bahwa stres kerja dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, respon dan stimulus-respon. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitik beratkan pada lingkungan. Losyk (2005) mengatakan bahwa stres kerja terjadi ketika seseorang tidak dapat memenuhi tuntutan atau kebutuhan dari pekerjaannya, dimana terlalu banyak yang harus dilakukan, kurangnya waktu dan kurangnya tenaga kerja untuk menuntaskan pekerjaanya. Stres ditempat kerja merupakan ancaman yang serius, baik bagi keamanan pegawai, maupun bagi kelangsungan organisasi (Hurrel et al, 1998) dimana setiap individu yang bekerja dalam suatu organisasi mengalami tekanan dalam upayanya membentuk identitasnya sesuai dengan harapan-harapan yang normatif. Harapanharapan tersebut berkaitan dengan peran dalam organisasi, yakni peran yang diinginkan oleh individu sendiri, peran yang diinginkan oleh orang lain bagi individu tersebut, serta peran yang dituntut dari individu dalam kaitannya dengan pekerjaan di dalam organisasi. Ivancevich dan Matesson (1997) merumuskan stres kerja sebagai suatu tanggapan penyesuaian yang dilatarbelakangi oleh perbedaan individu atau proses psikologis yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan dari luar lingkungan,
18
situasi dan peristiwa yang menimbulkan kondisi fisik yang berlebihan pada seseorang. Sementara menurut Newman dan Beehr (1979) stres kerja ditinjau dari sudut interaksi antara individu dan lingkungan, kondisi dimana terdapat interaksi antara individu dan pekerjaannya dan dikarakterisasikan oleh perubahan di dalam diri individu yang memaksa untuk menyimpang. Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa stres kerja sangat erat kaitannya dengan kondisi pekerjaan yang dilakukan baik oleh individu maupun kelompok. Kondisi tersebut lebih ditekankan pada interaksi antar sesama pegawai, anggota kelompok, atasan dan bawahan, juga beban kerja yang diberikan. 2.5
Dampak dari faktor Demografi terhadap Stres Kerja Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara faktor demografi dengan stres kerja. Dalam penelitian ini faktor demografi yang diteliti adalah perbedaan jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan. Berikut akan dijabarkan beberapa hasil penelitian atau teori yang berhasil ditemukan berkaitan dengan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan pendidikan) dengan stres kerja. Teori-teori yang dijabarkan tersebut akan menjadi dasar dalam menganalisa perbedaan karakteristik demografi dalam rangka menanggulangi stres kerja. 2.5.1
Perbedaan Jenis Kelamin dalam Menanggulangi Stres Kerja Perbedaan jenis kelamin dapat sangat berdampak pada penelitian yang
berbasis peran, seperti yang banyak dibuktikan oleh banyak penelitian dengan banyak perilaku peran atau yang lebih dikenal “gender”. Penelitian yang terus dilakukan membuktikan adanya hasil pengukuran varian yang disebabkan oleh perbedaan gender (Goleman, 1998; Liem dan Teo, 1996; Burke, 1996). Sementara itu menurut Anisman dan Merali (1999) bahwa interaksi kelenjar fisik dapat menyebabkan perbedaan reaksi gender yang seringkali dapat terlihat dalam gangguan perilaku seperti salah satu contohnya adalah gangguan suasana hati (mood disorders), reaksi yang timbul akan berbeda antara laki-laki dan perempuan, hal tersebut sangat berdampak pada perilaku mereka di tempat kerja. Peneliti lain yaitu Schwartz (1992) menemukan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah lebih berpontesi membawa konflik stres ke tempat bekerja
19
setiap harinya, kecenderungan ini tidak hanya berasal dari bagaimana cara pandang perempuan terhadap pekerjaan itu melainkan pada bagaimana budaya masyarakat memandang perempuan yang bekerja. Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Lim dan Teo (1996) menemukan adanya perbedaan dan persamaan dalam respon stres kerja dan strategi penanggulangan stres kerja antara laki-laki dan perempuan, dimana pegawai perempuan sangat signifikan mempunyai skor stres yang tinggi akibat faktor intrisik pada pekerjaan mereka yaitu peran manajerial yang diterimanya dibandingkan pada pegawai laki-laki, sedangkan kebutuhan pergi dari rumah untuk bekerja antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan. Sementara itu perbedaan lain yang terlihat adalah cara dalam menanggulangi stres (coping strategy) dimana pegawai perempuan cenderung menggunakan emosi mereka dengan mencari dukungan sosial dan berbicara kepada orang lain yang dipercayanya tentang kesulitan mereka, sedangkan pegawai laki-laki mengatasi stres mereka secara logis dan tidak emosional. Dalam studi lanjutannya, Lim dan Teo (1996) menemukan perbedaan kehidupan profesional akademik yaitu pada jaringan kerja dan pengembangan karir antara laki-laki dan perempuan, dimana untuk laki-laki kesempatan mendapatkan jaringan kerja yang lebih luas dan pengembangan karir lebih diutamakan daripada pegawai perempuan. Sejalan dengan penelitian Lim dan Teo, Schwartz (1992) menemukan bahwa pegawai perempuan selalu mendapatkan posisi yang tidak aman dalam pekerjaan baik dalam memperluas jaringan kerja maupun kesempatan mengembangkan karir. Penelitian Wang dan Paten (2001) menemukan bahwa penyebab stres kerja berbeda berdasarkan gender. Pada perempuan, stres lebih disebabkan oleh keadaan fisik, sedangkan laki-laki pada keadaan psikologi. Sejalan dengan Wang dan Paten, penelitian Goleman (1998) menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama dapat meningkatkan kecerdasan emosi, perempuan cenderung lebih kuat pada kemampuan berempati dan hubungan sosial, sedangkan laki-laki pada aturan dan hukum. Perbedaan pandangan antara pria dan wanita menyebabkan perbedaan dalam cara menanggulagi stres. Umumnya wanita mengalami stres lebih
20
disebabkan karena faktor fisik karena wanita memiliki peran ganda dalam keluarga, sedangkan pada pria didominasi oleh faktor psikologi dimana pria merupakan tulang punggung keluarga. 2.5.2
Perbedaan Usia dalam Menanggulangi Stres Kerja Park et al. (1997) menemukan bahwa usia berhubungan dengan tingkatan
pemahaman terhadap pemikiran konstruktif. Timbulnya hubungan ini disebabkan oleh tingkat harapan hidup yang semakin meningkat dari generasi ke generasi sehingga membuat individu belajar lebih banyak cara menghadapi stres. Epstein (1998) mengungkapkan bahwa Constructive Thinking berkembang sejalan dengan bertambahnya usia. Perkembangan ini berhubungan dengan proses maturity yang dialami individu, semakin bertambah usia, individu akan semakin bijaksana dalam menghadapi persoalan. Namun demikian hal ini tidak dapat digeneralisasi
pada
setiap
individu
kecuali
individu
tersebut
mampu
memanfaatkan proses ini dengan baik. Siebert (1996) menemukan bahwa ada hubungan langsung antara stres dengan usia pekerja. Sebagai contoh, perubahan sistem komputerisasi pada suatu perusahaan dapat menyebabkan stres bagi pekerja berusia tua dan justru kesenangan bagi pekerja berusia muda. Berbeda jika terjadi permasalahan yang cukup sulit, pekerja berusia tua akan cenderung lebih berpengalaman menghadapinya dan pekerja berusia muda dapat mengalami stres. Anisman
dan
Merali
(1999),
menyatakan
bahwa
bertambahnya
pengalaman hidup yang dialami individu seiring dengan bertambahnya usia, membuat individu tersebut mampu mengidentifikasi dan menghadapi berbagai macam stressor. Lebih lanjut penelitian Kogan (2001) membuktikan bahwa manajer perusahaan seringkali merekrut karyawan dari generasi yang berbeda karena percaya bahwa hal ini dapat menjadi aset bagi perusahaan. Namun demikian pada beberapa kasus juga membuktikan bahwa perusahaan kesulitan dalam menangani karyawan dengan perbedaan usia yang cukup besar karena memiliki perbedaan dalam kebutuhan, motivasi dan cara berpikir, karena perbedaan yang cukup besar ini dapat memicu timbulnya stres kerja. Perbedaan generasi menyebabkan perbedaan pemahaman terhadap kemajuan teknologi maupun kemampuan berkomunikasi. Hal ini sering menjadi
21
pemicu timbulnya stres di kalangan pegawai berbeda usia. Selain itu perbedaan cara pandang terhadap suatu masalah dan perbedaan kebutuhan juga dapat menjadi pemicu timbulnya stres kerja pada pegawai di berbagai tingkatan usia. 2.5.3
Perbedaan Tingkat Pendidikan dalam Menanggulangi Stres Kerja Individu yang memperoleh pendidikan lebih tingi cenderung memperoleh
kemampuan lebih baik dalam mengontrol emosi (Mirowsky dan Ross, 1989). Kemampuan ini dapat membantu individu dalam mengatasi stres yang dialami di tempat kerja. Ketika mendapatkan permasalahan di tempat kerja, individu dengan tingkat pendidikan lebih tinggi lebih mampu dalam mencari solusi permasalahan. Mone (2000) mengungkapkan bahwa pendidikan formal memberikan bekal yang berguna bagi individu agar mampu berkompetisi di dunia pekerjaan dengan baik. Pekerja yang memiliki kompetensi lebih tinggi akan cepat beradaptasi dengan pekerjaan sehingga terhindar dari stres di tempat kerja. Berdasarkan penelitian Bergeijik dan Mensink (1997), karyawan dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memperoleh kesempatan lebih besar untuk mendapatkan promosi pada jenis pekerjaan spesifik dibandingkan pekerja dengan tingkat pendidikan dibawahnya. Selain itu pekerja dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih sulit memahami pekerjaan tertentu dan membutuhkan bantuan atasan. Hal ini dapat menimbulkan stres baik bagi pekerja tersebut maupun atasannya. Park et al. (1997) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dapat memahami srategi coping untuk mengatasi stres dengan lebih baik. Pemahaman akan strategi coping yang lebih baik akan membantu individu mencari solusi dalam menghadapi permasalahan atau tekanan di tempat kerja. Tobias (1999) menyatakan bahwa setiap individu memiliki gaya belajar yang berbeda. Gaya ini didasarkan pada persepsi individu dan kemampuan ordering. Individu dapat mempersepsikan sesuatu dengan dua cara : sesuatu yang konkrit (terlihat seperti apa adanya) atau sesuatu yang abstrak (tidak selalu terlihat seperti apa adanya). Cara individu dalam menggunakan informasi yang mereka persepsikan disebut “ordering”. Ordering terjadi dalam 2 (dua) cara : sequential (mengikuti aturan secara berurutan) atau random (acak). Dengan menggunakan
22
matriks 2 x 2, maka diperoleh 4 (empat) gaya belajar dominan, yaitu : (1) Concrete Sequential (CS), (2) Abstract Sequential (AS), (3) Abstract Random (AS) dan Concrete Random (CR). Dengan
menemukan
gaya
belajar
dominan
dari
pekerja
dapat
meningkatkan produktifitas dalam suatu tim untuk mencapai tujuan organisasi. Atasan dan bawahan yang saling mengerti gaya pembelajarannya masing-masing akan berkontribusi secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Pekerja pada kondisi ini dapat mengidentifikasi penyebab stres dan mengatasinya dengan cara yang lebih produktif, sehingga pada saat pekerja mengalami stres akan lebih mudah mengatasinya dengan pola-pola pembelajaran yang telah mereka miliki. Perbedaan latar belakang pendidikan seringkali menyebabkan terdapatnya perbedaan dalam cara berpikir dan penanganan masalah. Selain itu juga masih ditemukan pembedaan dalam hal kesempatan untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu. Hal ini dapat menjadi potensi pemicu stres kerja, sehingga terdapat perbedaan pandangan antara pegawai di berbagai tingkatan pendidikan dalam menanggulangi stres kerja.
23
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Kerangka Pemikiran Dalam lingkungan kerja, setiap pegawai dituntut untuk melaksanakan
pekerjaan sesuai dengan tugas dan fungsi yang dipegang dan harus mampu beradaptasi dengan lingkungan organisasi serta rekan kerja. Stres kerja itu sendiri seringkali dipicu oleh beberapa faktor yaitu timbul dari pribadi pegawai itu sendiri, karena pemberian pekerjaan yang terlalu berlebihan atau terlalu sedikit, adanya konflik ditempat kerja, kondisi di tempat kerja dan hubungan antar personal terutama terkait perbedaan faktor demografi yang ada sehingga membawa konsekuensi berbeda pada masing-masing pegawai. Faktor demografi yang seringkali dapat memicu timbulnya stres kerja diantaranya perbedaan faktor jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan, dimana pegawai pria dan wanita memiliki perbedaan dalam cara menanggulangi stres kerja yang dialami. Perbedaan-perbedaan tersebut harus dipahami oleh organisasi dengan mencari strategi
yang tepat dalam cara penanggulangannya (coping
strategy), sehingga dapat menentukan sikap dan karakteristik masing-masing pegawai dalam mengatasi stres kerja. Dalam penelitian pada Dinas Kesehatan Kota Bogor, strategi yang digunakan dalam menanggulangi stres kerja pegawai adalah metode Constructive Thinking (CT) yang dikembangkan oleh Epstein sejak tahun 1986. Metode Constructive Thinking dalam menanggulangi stres kerja pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor sangat menarik untuk diaplikasikan karena metode ini menggunakan 2 (dua) uji yaitu uji berdasarkan pengalaman empiris dan uji berdasarkan kecerdasan rasional untuk mengukur kemampuan pegawai dalam menanggulangi tekanan yang dihadapi dalam pekerjaannya. Dibandingkan beberapa metoda pengukuran coping strategi yang banyak digunakakan, metode Constructive Thinking dari Epstein (1986) lebih mudah dipahami karena didasarkan pada pengalaman empiris individu dalam menanggulangi stres. Metode Constructive Thinking ini akan mengukur kemampuan individu untuk memecahkan masalah sehari-hari dengan meminimalkan kondisi stres yang dialaminya atau sejauh mana individu dapat berpikir secara otomatis dalam
memecahkan masalah. Constructive Thinking diukur dengan menggunakan 1(satu) Global Constructive Thinking (GCT) scale dan 6 (enam) sub-scales yaitu Behavioral Coping (BC), Emotional Coping (EC), Personal Superstitious Thinking (PST), Categorical Thinking (CaT), Esoteric Thinking (ET) dan Naive Optimism (NaO) dari Constructive Thinking Inventory (CTI). Dengan menggunakan 108 (seratus delapan) pernyataan kuesioner dari Constructive Thinking Inventory, hasil rataan yang didapat menunjukkan tingkat coping yang dimiliki oleh pegawai dan melihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan dari jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan dalam menanggulangi stres kerja pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Rumusan kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian
26
3.2
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Bogor. Pengumpulan data
penelitian dilakukan pada Bulan Mei 2010, sedangkan pengolahan dan interpretasi data dilakukan pada Bulan Agustus – Oktober 2010. 3.3
Jenis Data dan Sumbernya Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil jawaban kuesioner yang diisi oleh Pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Sementara data sekunder diperoleh melalui literatur yang terkait dengan penelitian. Jenis data sekunder yang dikumpulkan antara lain visi, misi, tujuan, tupoksi, gambaran umum Dinas Kesehatan Kota Bogor yang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan sumber data penelitian Jenis Data
Sumber Data
Karakteristik gender, usia dan tingkat pendidikan Penerapan metode pemikiran konstruktif Visi, misi dan tujuan organisasi Sejarah/gambaran umum perusahaan Tupoksi Tingkat Jabatan
3.4
Primer Primer Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder
Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan
Nonprobability Sampling. Oleh karena itu, Nonprobability Sampling yang dipilih adalah Quota Sampling. Quota Sampling merupakan metode penetapan sampel dengan menentukan quota terlebih dahulu pada masing-masing kelompok, dimana sebelum quota masing-masing kelompok terpenuhi maka survei penelitian belum dianggap selesai (Istijanto, 2005). Survei dilakukan untuk memperoleh quota yang dibutuhkan pada seluruh pegawai berdasarkan data internal Dinas Kesehatan Kota Bogor. Data pegawai terlebih dahulu dipilah berdasarkan pegawai pria dan wanita serta unit kerjanya, setelah itu kuesioner disebarkan pada seluruh pegawai, jika quota yang dibutuhkan sebagai sampel telah terpenuhi, maka survei penelitian dianggap selesai sehingga jumlah yang didapatkan tersebut digunakan sebagai
27
sampel yang akan diuji.
Data jumlah pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor
disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah Populasi pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor No. 1. 2. 3. 4.
7. 8.
Unit Kerja Kepala Dinas Sekretariat Dinas Kesehatan Kota Bogor Bidang Pelayanan Kesehatan (YANKES) Bidang Pembinaan Kesehatan Keluarga (KESGA) Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P3KL) Bidang Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat (PKM) Bagian Perencanaan UPTD PUSKESMAS
9.
UPTD LABKESDA
5. 6.
JUMLAH Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor (2009)
Pria 1 16 6 2
Wanita 11 16 12
Jumlah 1 27 22 14
8
11
19
3 3 107
9 409
12 3 516
4
9
13
150
477
627
Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus Slovin (1960) dalam Saleh (1986) berikut ini: …………………………………..…………………………….(1) Dimana : n = jumlah sampel N = jumlah populasi e = nilai kritis/batas ketelitian (standard error) yang diinginkan (persentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel = 5%) Sehingga menurut rumus Slovin di atas didapatkan minimal
yang dibutuhkan sebanyak
jumlah sampel
244 orang. Namun dari penyebaran
kuesioner yang dilakukan jumlah total kuesioner yang kembali dan diisi secara lengkap adalah sebanyak 273 orang. Jumlah ini dianggap telah mewakili total keseluruhan populasi yang diuji, karena melebihi jumlah responden minimal yang ditetapkan berdasarkan rumus Slovin tersebut diatas.
Uraian jumlah sampel
penelitan ini disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah sampel penelitian Jenis Kelamin Pria Wanita Total
Jumlah Populasi 150 477 627
Jumlah Sampel 85 188 273
28
Persentase Populasi (%) 23,92 76,08 100
Persentase Sampel (%) 31,1 68,9 100
3.5.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data didapatkan dari hasil penyebaran kuesioner dengan
responden pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Untuk melakukan validasi kuesioner yang dibagikan kepada para responden dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Pengujian ini dilakukan agar kuesioner yang digunakan akurat dan layak untuk disebarkan kepada responden. 3.5.1
Uji Validitas Instrumen yang valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk
mengukur apa yang hendak diukur. Sedangkan hasil penelitian yang valid adalah bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan korelasi produk momen (moment product correlation, pearson correlation) dengan bantuan SPSS. Korelasi product moment digunakan memberikan penilaian terhadap validitas kuesioner yaitu antara skor setiap butir pertanyaan dengan skor total, sehingga sering disebut sebagai inter item-total correlation.
Rumus korelasi product
moment yang digunakan adalah:
..........................................................................(2) Dimana: xij = skor responden ke-j pada butir pertanyaan i xi = rata-rata skor butir pertanyaan i tj = total skor seluruh pertanyaan untuk responden ke-j t = rata-rata total skor ri = korelasi antara butir pertanyaan ke-i dengan total skor 3.5.2
Uji Reliabilitas Setelah uji validitas, maka kuesioner yang digunakan diuji relibilitasnya
untuk menunjukkan konsistensi suatu alat ukur yang digunakan dalam penelitian.
29
Kuesioner yang reliabel adalah kuesioner yang apabila dicobakan secara berulangulang terhadap kelompok yang sama akan menghasilkan data yang sama. Pengujian reliabilitas pada penelitian ini menggunakan teknik Alpha Cronbach. Adapun rumus yang digunakan adalah : ri =
k si2 1 2 ..........................................................................................(3) k 1 st
Nilai varian total dan varian item dapat diketahui dengan menggunakan rumus : st2
xt2 xi n n2
si2
Jk i Jk s 2 n n
2
dimana : ri k ∑Si2 St2 Jki Jks n x
= = = = = = = =
............................................................................................(4) ................................................................................................(5)
reliabilitas instrumen jumlah butir pertanyaan jumlah varian item varian total jumlah kuadrat seluruh skor item jumlah kuadrat subyek jumlah responden nilai skor yang dipilih
Rumus uji validitas dan reliabilitas tersebut diatas berupa rumus manual, akan tetapi dalam penelitian ini uji diolah dengan menggunakan program komputer Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 13. Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas, didapat hasil bahwa 108 (seratus delapan) pernyataan kuesioner dinyatakan valid dan reliabel. Untuk hasil perhitungan lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2. 3.6
Hipotesis Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian ini
yaitu untuk mengetahui tingkat Constructive Thinking dan menganalisis perbedaan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan pendidikan) dalam strategi penanggulangan stres kerja pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor, maka dibangun 3 (tiga) hipotesis berkaitan dengan hal tersebut, yaitu :
30
1. Perbedaan Jenis Kelamin. H01 :
Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil dari Constructive
Thinking
Inventory
(CTI)
dalam
strategi
menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. HA1 :
Terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil dari Constructive Thinking Inventory (CTI) dalam strategi menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor.
2.
Perbedaan Usia. H02 :
Tidak terdapat perbedaan usia terhadap
hasil
dari Constructive
Thinking Inventory (CTI) dalam strategi menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. HA2 :
Terdapat perbedaan usia terhadap hasil dari Constructive Thinking Inventory (CTI) dalam strategi menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor.
3.
Perbedaan Tingkat Pendidikan. H03 :
Tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan terhadap Constructive
Thinking
Inventory
(CTI)
hasil dari
dalam
strategi
menanggulangi stres kerja pada Dinas Kesehatan Kota Bogor. HA3
: Terdapat perbedaan tingkat pendidikan terhadap Constructive
Thinking
Inventory
(CTI)
hasil
dalam
dari strategi
menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. 3.7
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data primer yang telah diperoleh melalui kuesioner yang distribusikan
kepada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor kemudian diolah dan ditabulasikan dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 13. Untuk mengukur persepsi, responden diminta menjawab 108 (seratus delapan) pernyataan dari Constructive Thinking Inventory (CTI).
31
Dengan menggunakan Skala Likert, yaitu suatu skala yang pengukurannya memuat pernyataan mengenai pendapat, sikap, perasaan, keyakinan dan perilaku individu terhadap suatu fenomena sosial (Istijanto, 2005), setiap jawaban pernyataan yang digunakan dalam penelitian ini diberikan bobot tertentu, bobot tertentu pada setiap jawaban pernyataan dinilai dengan angka 1-5, berturut-turut angka 1 ke angka 5 menyatakan sangat tidak setuju (1) hingga sangat setuju (5), 5 (lima) pilihan sikap alternatif tersebut ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Skala Likert pendapat responden Pendapat Responden Sangat Tidak Setuju ( 1 ) Tidak Setuju ( 2 ) Ragu-ragu ( 3 ) Setuju ( 4 ) Sangat Setuju ( 5 )
Skor Skala Likert 1 2 3 4 5
Penggunaan 5 (lima) skala pemilihan dimaksudkan agar responden tidak terlalu banyak pilihan yang membedakan kategori karena apabila perbedaan nilai kategori sangat tipis akan membingungkan responden dalam menentukan pilihan (Istijanto, 2005). Selanjutnya dilakukan proses editing untuk memeriksa apakah data yang diperoleh sudah lengkap atau kurang. Data diberikan kode sesuai dengan nomor jawaban yang diisi responden dengan tujuan untuk memudahkan dalam melakukan pemasukan data ke program komputer. Agar data yang diperoleh bebas dari kesalahan maka dilakukan juga pembersihan data (cleaning data). Untuk mengukur analisis perbedaan faktor demografi dalam strategi menanggulangi stres kerja digunakan uji Analysis of Variance (ANOVA). Sedangkan untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemikiran konstruktif pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor digunakan metode rataan skor, dimana metoda inti untuk mengetahui klasifikasi rentang kriteria pemikiran pegawai terhadap hasil dari Constructive Thinking Inventory (CTI). 3.7.1
Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan
karakteristik pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Karakteristik pegawai yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan berdasarkan jenis kelamin, usia dan
32
tingkat pendidikan. Untuk menganalisis karakteristik pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor, data yang diperoleh ditabulasikan dengan program Excell dan program SPSS. Hasil perhitungan data disajikan dalam bentuk tabel.
3.7.2
Uji ANOVA Perbedaan faktor demografi dalam strategi penanggulangan stres dapat
dihitung dan diuji dengan menggunakan analisis varians. Analysis of Variance (ANOVA) digunakan untuk menguji apakah rata-rata dari beberapa sampel berbeda nyata atau tidak (Pratisto, 2004). Responden akan diberikan pernyataanpernyataan yang terdapat pada Constructive Thinking Inventory (CTI) mengenai persepsi terhadap kondisi stres. Hasil pengamatan uji disajikan dalam bentuk tabel sebagai Tabel 8 berikut : Tabel 8 Pengamatan pada desain randomisasi lengkap
Total Observasi Mean Sumber: Nazir (1999)
X11 X21 . . Xi1 . Nni1 T1 n1 X1
Perlakuan X12 X22 . . Xi2 . Xn22 T2 n2 X2
X1j X2j . . Xij . Xnjj T3 n3 X3
X1k X2k . . Xik . Xnkk Tk nk Xk
Menurut Nazir (1999), jika sebuah sampel dikenakan k buah perlakuan dan jumlah anggota masing-masing adalah n1, n2 dan n3 maka salah satu pengamatan adalah Xij. Xij adalah pengamatan ke-i dari sampel j. Hipotesis yang digunakan dalam analisis variance ini adalah: Ho
: u1 = u2 = … = uk, tidak ada perbedaan antara rataan dari populasi
Ha
: u1 u2 … uk, terdapat perbedaan antara populasi
Dasar pengambilan keputusan yang digunakan adalah : -
Jika Fhitung < Ftabel atau probabilitasnya > 0,1, maka Ho diterima
-
Jika Fhitung > Ftabel atau probabilitasnya < 0,1, maka Ho ditolak Level signifikansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05.
Selanjutnya, dibuat Tabel ANOVA dengan terlebih dahulu melakukan perhitungan sebagai berikut: 33
a. Menghitung correction factor:
CF
(T j ) 2
......................................................................................(6)
n
dimana: CF = correction factor Tj = total nilai pengamatan (nilai variabel) n = anggota sampel b. Menghitung sumsquare total:
SST ( X ij ) 2 CF ......................................................................(7) dimana: SST = sumsquare total Xij = nilai pengamatan i dari sampel j c. Menghitung sumsquare antar perlakuan: (T j ) 2 (T ) 2 (T1 ) 2 (T2 ) 2 SS P k CF n1 n2 nj nk
SS P
(T j ) 2 nj
(T j ) 2 nj
CF
CF ......................................................................(8)
dimana: Tj = total nilai sampel j nj = besar sampel j SSP = sumsquare antar perlakuan d. Menghitung sumsquare error
SSE SST SSP ...............................................................................(9) dimana: SSE = sumsquare error e. Menentukan degree of freedom:
DFP k 1 .....................................................................................(10) DFT n 1 ......................................................................................(11) DFE DFT DFP ..........................................................................(12) dimana: DFP = degree of freedom antar perlakuan DFT = degree of freedom total DFE = degree of freedom error
34
f. Menghitung mean square:
MS P
SS P ....................................................................................(13) DFP
MS E
SS E ....................................................................................(14) DFE
dimana: MSP = meansquare antar perlakuan MSE = meansquare error g. Menghitung harga F:
F
MSp ........................................................................................(15) MSe
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, dibuat tabel ANOVA seperti pada Tabel 9. Tabel 9 Tabel ANOVA Sumber variasi
SS
df
Antar perlakuan
SSP
k-1
Dalam perlakuan (error)
SSE
(n-k) – (k-1)
Total
SST
N–k
MS
F
SS P k 1 SS E (n k ) (k 1)
MS P MS E
sig
Sumber: Nazir (1999)
3.7.3
Metode Rataan Skor Metode rataan skor menurut Umar (2001) digunakan untuk mengetahui
persepsi masing-masing tipe responden
terhadap pernyataan-pernyataan yang
diberikan dalam kuesioner. Yang dimaksud dengan persepsi adalah merupakan proses kognitif terhadap rangsangan atau stimuli yang diterima dari organisasi atau lingkungannya, dievaluasi dan ditafsirkan realitasnya, sehingga menghasilkan suatu reaksi atau sikap dan dari sikap atau reaksi tersebut mempengaruhi rangsangan atau stimuli yang diterimanya kembali. Selanjutnya hasil dari rataan skor tersebut diterjemahkan kedalam rentang kriteria pada masing-masing faktor/variabel yang diamati. Perhitungan
dari rataan skor hingga pada menerjemahkan klasifikasi
rentang kriteria dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
35
1.
Mengelompokkan frekuensi jawaban berdasarkan bobot skala kuesioner
2.
Melakukan penghitungan skor dengan rumus : Skor = ∑ (frekuensi jawaban X bobot skala) .......................................... (16)
3.
Mencari nilai rataan skor yang didapatkan dengan rumus : Nilai rataan skor (RS) = (Skor / Jumlah responden) ...............................(17)
4.
Menerjemahkan
rataan
skor
persepsi
kedalam klasifikasi rentang
kriteria dengan menggunakan rumus, sebagai berikut :
................................................................................(18) Dimana : Rk N n k
= = = =
Rentang Kriteria Skala Jawaban Terbesar Skala Jawaban Terkecil Jumlah Kelas
Dalam penelitian ini, nilai n adalah 1, nilai N adalah 5 dan nilai k adalah jumlah kelas, maka rentang kriterianya adalah: RK = (5 – 1) / 5 = 0,8 Klasifikasi rentang kriteria dalam penelitian ini disajikan secara lengkap pada Tabel 10. Tabel 10 Klasifikasi Rentang Krteria skala pengukuran dari CTI dan maknanya Skala Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
Rentang Kriteria dan Maknanya 1.00 – 1.80 sangat destruktif sangat tidak antusias sangat sensitif sangat defensif
1.81 – 2.60
2.61 – 3.40
3.41 – 4.20
destruktif
netral
konstruktif
tidak antusias
netral
antusias
sensitif
netral
terbuka
defensif
netral
ofensif
sangat kaku
kaku
netral
fleksibel
percaya hal gaib
netral
berpikir logis
optimis realistis
netral
optimis unrealistis
sangat percaya hal gaib sangat optimis realistis
36
4.21 – 5.00 sangat konstruktif sangat antusias sangat terbuka sangat ofensif sangat fleksibel sangat berpikir logis sangat optimis unrealistis
3.7.4
Definisi Operasional Skala Global dan 6 (enam) Sub-skala dari Constructive Thinking Inventory Constructive Thinking Inventory dari Epstein (1996) adalah pemodelan
yang digunakan untuk mengidentifikasi stres dan mendapatkan strategi manajemen stres (coping strategy) yang didasarkan pada teori berpikir konstruktif (Constructive Thinking). Untuk mengujinya Epstein (1986) menggunakan 1(satu) Global
Constructive Thinking Scale dan 6 (enam)
sub-scales (behavioral
coping, emotional coping, personal superstitious thinking, categorical thinking, esoteric thinking dan naive optimism) dengan 108 (seratus delapan) pernyataan kuesioner, definisi operasional skala global dan 6 (enam) sub-skala diuraikan sebagai berikut : 1. Global Constructive Thinking (GCT) Global Constructive Thinking (GCT) merupakan pernyataan kategori utama yang mencakup pernyataan-pernyataan dari 6 (enam) sub-skala kecuali skala Naive Optimism (NaO) yang dapat mengindikasikan gaya konstruktif
maupun
destruktif
dimana
memiliki
pemikiran
potensi
dalam
penanggulangan stres (coping strategies). Responden yang memiliki nilai Global Constructive Thinking (GCT) scale tinggi merupakan individu yang dapat berpikiran fleksibel, optimis, cepat beradaptasi dengan permasalahan yang terjadi dan mampu menerima perbedaan diantara rekan kerja. Dalam beberapa situasi sulit, individu tersebut dapat mengontrol emosinya dengan baik dan biasanya dapat memberikan manfaat terhadap orang lain atau rekan kerja. Global Constructive Thinking (GCT) memiliki 29 (dua puluh sembilan) pernyataan. 2. Behavioral Coping (BC) Sub-skala Behavioral Coping (BC) merupakan kategori turunan dan dibagi menjadi 3 (tiga) sub kategori, yaitu : berpikir positif, berorientasi pada tindakan dan kesadaran diri.
Responden yang memiliki nilai tinggi pada
kategori ini memiliki sikap optimis, antusias dan enerjik. Mereka cenderung lebih terbuka dan cepat mengambil tindakan terhadap rencana yang telah dibuat. Behavioral Coping (BC) memiliki 14 (empat belas) pernyataan.
37
3. Emotional Coping (EC) Sub-skala Emotional Coping (EC) merupakan kategori turunan dan dibagi menjadi 4 (empat) sub kategori, yaitu : penerimaan diri, tidak cepat mengeneralisasi, tidak sensitif dan tidak memikirkan kegagalan di masa lalu. Responden dengan nilai tinggi pada kategori ini memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi stres, tidak sensitif terhadap kesalahan atau penolakan dari orang lain dan tidak terlalu memikirkan kegagalan. Emotional Coping (EC) memiliki 25 (dua puluh lima) pernyataan. 4. Personal Superstitious Thinking (PST) Sub-skala Personal Superstitious Thinking (PST) merupakan katergori turunan dimana pernyataan pada kategori ini berupa latihan pikiran pada diri individu, seperti pernyataan bahwa jika sesuatu yang baik terjadi pasti akan diikuti oleh sesuatu yang buruk. Responden dengan nilai tinggi pada kategori ini cenderung bersifat ofensif terhadap ancaman ataupun perubahan dan melihat permasalahan sebagai sebuah tantangan. Personal Superstitious Thinking (PST) memiliki 7 (tujuh) pernyataan. 5. Categorical Thinking (CaT) Sub-skala Categorical Thinking (CaT) merupakan kategori turunan dan dibagi menjadi 3 (tiga) sub kategori, yaitu: berpikiran yang terpola, ketidakpercayaan terhadap orang lain dan tidak toleran. Responden yang memiliki nilai tinggi pada kategori ini cenderung sangat fleksibel sehingga tidak melihat dunia dalam bentuk hitam dan putih saja, akan tetapi dari berbagai sisi. Dari sisi positif individu dapat melakukan tindakan dengan fleksibel, namun dari sisi negatif individu cenderung berpikiran sederhana sehingga dapat merugikan. Categorical Thinking (CaT) memiliki 16 (enam belas) pernyataan. 6. Esoteric Thinking (ET) Sub-skala Esoteric Thinking (ET) merupakan kategori turunan dan dibagi menjadi 2 (dua) sub kategori, yaitu : kepercayaan terhadap sesuatu yang tidak biasa dan pemikiran formal. Kategori ini menunjukkan tingkatan dimana responden mempercayai sesuatu yang tidak biasa atau fenomena yang masih dipertanyakan secara keilmuan seperti : hantu, kutukan, dan hal-hal lain yang diluar nalar. Responden dengan nilai tinggi menunjukkan individu yang telah
38
berpikiran secara logika dan kritis. Esoteric Thinking (ET) memiliki 13 (tiga belas) pernyataan. 7. Naive Optimism (NaO) Subskala Naïve Optimism (NaO) merupakan sub kategori turunan dan dibagi menjadi 3 (tiga) sub kategori, yaitu: optimis berlebihan, pemikir stereotip dan pemikir Pollyanna-ish. Kategori ini mengindikasikan tingkatan dimana responden berpikir optimis yang tidak realistis. Dari sisi positif, individu akan cenderung memiliki semangat tinggi dan disukai banyak orang, namun di sisi negatif adalah ketidak-inginan individu untuk menghadapi kegagalan atau kenyataan yang tidak menyenangkan. Naïve Optimism (NaO) memiliki 15 (lima belas) pernyataan.
39
40
4 GAMBARAN UMUM DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR
4.1.
Sejarah Singkat Dinas Kesehatan Kota Bogor merupakan unsur perangkat daerah yang
memiliki peranan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dibidang pelayanan kesehatan masyarakat. Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada masyarakat telah melalui banyak tahapan yang cukup signifikan, hal ini terlihat dari sejarah perjalanan sejak berdirinya hingga saat ini. Pada tahun 1945 pertama kalinya dibentuk Dinas Kesehatan Rakyat (DKR) yang berlokasi di Jalan Merdeka Kota Bogor yang pada saat ini digunakan sebagai kantor Korem Surya Kencana. Tahun 1950 Dinas Kesehatan Rakyat (DKR) berubah nama menjadi Jawatan Kesehatan Kota Praja Bogor dan berubah lokasi di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. Selanjutnya pada tahun 1963 Jawatan Kesehatan Kota Praja Bogor berubah nama kembali menjadi Dinas Kesehatan Kota Praja Bogor yang berlokasi di Jalan Kesehatan Kota Bogor. Dari tahun 1965 sampai dengan tahun 1995 Dinas Kesehatan Kota Praja Bogor berubah nama kembali menjadi Dinas Kesehatan Kota DT II Bogor, sampai akhirnya mulai tahun 1995 Dinas Kesehatan Kota DT II Bogor berubah nama menjadi Dinas Kesehatan Kota Bogor (DKK) hingga saat ini dan berlokasi di Jalan Kesehatan No.3 Bogor. Struktur Organisasi Dinas Kesehatan (SODK) telah mengalami perubahan beberapa kali yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan tugas serta fungsi organisasi. Struktur Organisasi Dinas Kesehatan, sebelum otonomi daerah, ditetapkan dengan Perda Nomor 4 Tahun 1977 (Lembaran Daerah Kotamadya DT II Bogor dengan Nomor 12 Tahun 1977 Seri D) tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kesehatan Kotamadya DT II Bogor. Perubahan cukup penting dari struktur organisasi sebelum diberlakukannya otonomi daerah dengan setelah otonomi daerah yang mengacu pada PP Nomor 8 Tahun 2003, diantaranya adalah perubahan eselonisasi pejabat struktural dimana eselon Kepala Dinas berubah dari eselon III A menjadi II A serta dihapuskannya eselon V sehingga eselon terbawah hanya sampai eselon IV. Kemudian status Puskesmas dari Unit Pelaksana Fungsional menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), dihapuskannya
Kantor Cabang Dinas Kesehatan di tingkat kecamatan juga bertambahnya beberapa seksi dan perubahan nomenklatur pada beberapa seksi. Setelah era otonomi daerah Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kota Bogor telah mengalami dua kali perubahan melalui Perda Nomor 10 Tahun 2000 dan Perda Nomor 11 Tahun 2002. Berikut ini disampaikan bagan Struktur Organisasi Tata Kerja Dinas Kesehatan Kota Bogor yang terakhir berdasarkan Perda Nomor 13 Tahun 2004 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Struktur organisasi Dinas Kesehatan kota Bogor Dinas Kesehatan Kota Bogor dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang bertanggungjawab langsung kepada Walikota Bogor, Dinas Kesehatan Kota Bogor membawahi bagian-bagian yang terbagi sebagai berikut: 1. Sekretaris, terbagi dalam 3 (tiga) sub bagian yaitu: a. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian, b. Sub Bagian Keuangan, dan c. Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan. 2. Bidang, terbagi dalam 4(empat) bidang yaitu: a. Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat, membawahi beberapa seksiseksi, yaitu: (1) Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan, (2) Seksi Pembangunan dan Pengadaan Sarana Kesehatan Masyarakat dan Seksi Perbekalan Kesehatan dan POM. b. Bidang Kesehatan Keluarga, membawahi beberapa seksi-seksi yaitu (1) Seksi Kesehatan Remaja dan Lansia, (2) Seksi Kesehatan Ibu dan Anak dan (3) Seksi Gizi Masyarakat. c. Bidang Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat, membawahi beberapa seksi-seksi, yaitu (1) Seksi Promosi Kesehatan, (2) Seksi Peran Serta Masyarakat dan (3) Seksi Pembiayaan. d.
Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit dan Kesehatan Lingkungan, membawahi seksi-seksi, yaitu (1) Seksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular, (2) Seksi Pencegahan dan
42
Pengendalian Penyakit Tidak Menular dan (3) Seksi Kesehatan Lingkungan. 3. UPTD Puskemas terdiri dari 24 (dua puluh empat) Puskesmas yang tersebar di setiap wilayah kota Bogor 4. UPTD Labkesda (Laboratorium Kesehatan Daerah) Berdasarkan latar belakang Dinas Kesehatan Kota Bogor dapat dilihat beberapa kebijakan setelah otonomi daerah yang berpengaruh terhadap sektor kesehatan masyarakat, antara lain: 1. Pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah belum didukung dengan ketersediaan sumberdaya manusia yang memadai sehingga pelaksanaan beberapa kewenangan masih mengalami hambatan. 2. Urusan kepegawaian yang sudah dilimpahkan ke daerah membawa konsekuensi terhadap pola pengaturan distribusi tenaga kesehatan strategis yang berakibat kepada tidak meratanya penyebaran tenaga kerja. Di satu pihak ada daerah yang kelebihan tenaga kerja tetapi di lain pihak terdapat daerah yang mengalami kekurangan tenaga kerja. Demikian pula dalam hal pengembangan karir pegawai dimana setelah otonomi daerah terjadi hambatan dalam pengembangan karir tenaga kesehatan. Untuk
menghadapi
tantangan
tersebut
sektor
kesehatan
dituntut
melakukan berbagai terobosan dan inovasi dalam penyusunan program sehingga dapat mengantisipasi kecenderungan masalah-masalah kesehatan di masa yang akan datang. Hal tersebut menimbulkan konsekuensi pada aspek anggaran dimana program-program yang bersifat pengembangan (inovatif) membutuhkan anggaran yang cukup besar, sementara anggaran kesehatan di Kota Bogor masih relatif kecil sehingga masih membutuhkan tambahan anggaran dari sumber-sumber lain. Anggaran kesehatan yang memadai diharapkan dapat membiayai berbagai rencana program/kegiatan yang merupakan terobosan untuk menjawab tantangan permasalahan
kesehatan
sebagaimana
tertuang
dalam
Rencana
Kerja
Pembangunan Kesehatan Kota Bogor. Berdasarkan analisis situasi dalam Rencana Strategis maka prioritas program Dinas Kesehatan Kota Bogor diharapkan dapat melaksanakan pencapaian Visi dan Misi Kesehatan. Pencapaian Visi dan Misi
43
tersebut pada akhirnya merupakan perwujudan cita-cita untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Kota Bogor. 4.2.
Visi, Misi, Kebijakan dan Program
4.2.1
Visi Dinas Kesehatan Kota Bogor memiliki visi yaitu sebagai penggerak utama
pembangunan berwawasan kesehatan menuju Kota Bogor Sehat. Tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal bukan semata-mata hasil kerja Dinas Kesehatan akan tetapi merupakan hasil kerja seluruh sektor yang didukung oleh peranserta seluruh masyarakat. Oleh sebab itu Dinas Kesehatan
harus dapat
menggerakkan seluruh sektor dan seluruh masyarakat agar berperan aktif dalam pembangunan yang berwawasan kesehatan sehingga cita-cita Bogor sebagai Kota Sehat dapat tercapai. Gambaran masyarakat Kota Bogor di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat yang ditandai oleh situasi penduduknya yang hidup dalam lingkungan yang sehat dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggitingginnya. Gambaran keadaan masyarakat Kota Bogor di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan tersebut dirumuskan menjadi visi Dinas Kesehatan Kota Bogor yaitu “BOGOR KOTA SEHAT’. 4.2.2
Misi Untuk dapat mewujudkan visi tersebut, ditetapkan 4 (empat) misi
pembangunan kesehatan Kota Bogor sebagai berikut: (1) menggerakkan pembangunan Kota Bogor berwawasan kesehatan, (2) mendorong kemandirian masyarakat Kota Bogor untuk hidup sehat, (3) memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan di Kota Bogor, dan (4) memelihara dan meningkatkan kesehatan perseorangan, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya.. Bogor Kota Sehat, lingkungan yang diharapkan adalah yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat yaitu lingkungan yang memadai, perumahan dan permukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan. Perilaku masyarakat Bogor Kota Sehat yang diharapkan adalah bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya
44
penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif dalam gerakan masyarakat. Selanjutnya kemampuan masyarakat yang diharapkan pada masa depan adalah mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu tanpa adanya hambatan, baik yang bersifat ekonomi maupun non ekonomi. Pelayanan kesehatan yang bermutu yang dimaksudkan di sini adalah pelayanan kesehatan yang memuaskan pemakai jasa pelayanan kesehatan serta yang diselenggarakan sesuai dengan standar dan etika profesil. Diharapkan dengan terwujudnya lingkungan dan perilaku hidup sehat serta meningkatnya kemampuan masyarakat maka derajat kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat dapat ditingkatkan secara optimal.
4.2.3
Kebijakan dan Program Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang akan
dijadikan acuan dalam setiap program dan kegiatan. Berkaitan dengan visi, misi tujuan dan sasaran, berikut telah ditetapkan 16 kebijakan oleh Dinas esehatan Kota Bogor untuk satu sasaran sebagai berikut: (1) kebijakan yang melibatkan masyarakat
seluas
mungkin
dalam
forum
kota
sehat,
(2)
kebijakan
menyebarluaskan informasi tentang kota sehat kepada masyarakat, (3) kebijakan mendorong terbitnya peraturan daerah mengenai pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian pembangunan berwawasan sehat, (4) kebijakan memasyarakatkan perilaku hidup bersih dan sehat, (5) kebijakan mendorong peran serta masyarakat melalui
upaya
kesehatan
bersumberdaya
masyarakat,
(6)
kebijakan
memasyarakatkan jaminan perlindungan kesehatan masyarakat di Kota Bogor, (7) kebijakan menyelenggarakan pelayanan bermutu, merata dan terjangkau dengan sasaran tersedianya sarana prasarana dan perbekalan kesehatan di pelayanan kesehatan dasar, (8) kebijakan menyelenggarakan pelayanan kesehatan rujukan yang efektif, (9) kebijakan menciptakan peluang seluas mungkin bagi tenaga kesehatan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan, (10) kebijakan mendorong tersedianya standar pelayanan kesehatan yang baku, (11) kebijakan menerapkan standar bagi petugas kesehatan seoptimal mungkin, (12) kebijakan mewujudkan pelayanan kesehatan yang bemutu melalui penyelenggaraan akreditasi sarana
45
pelayanan kesehatan, (13) kebijakan mengoptimalkan peningkatan status gizi masyarakat, (14) kebijakan mewujudkan upaya pengamatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit yang efektif, (15) Kebijakan melindungi kesehatan masyarakat dari dampak negatif pencemaran lingkungan dan (16) kebijakan mencegah kesakitan pada kelompok ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, neonatal dan bayi dalam rangka penurunan angka kematian ibu dan bayi. 4.3.
Sarana dan Prasarana Dinas Kesehatan Kota (DKK) Bogor telah berupaya seoptimal mungkin
mengadakan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai baik dalam pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan di Kota Bogor dari segi kuantitas dan kualitasnya bagi masyarakat. Namun demikian masih ditemukan beberapa permasalahan terkait dengan sarana dan prasana pelayanan tersebut. Sarana kesehatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Sarana Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bogor No
Jenis Sarana Kesehatan
1
RS Umum
2
RS Khusus a. RS Jiwa
3
Pemilik
KECAMATAN Jumlah
Pemerintah
Swasta
2
5
7
Bogor Tengah
Bogor Utara
1
3
1
Bogor Selatan
Bogor Barat
Bogor Timur
1
1
0 1
1
b. RS Bersalin
1
1
c. RS Ibu & Anak
1
1
Puskesmas a. Pusk Tanpa Perawatan b. Pusk DTP c. Pusk Pembantu Praktek Praktek Perorangan
Tanah Sareal
1 1 1
17
17
4
3
2
2
5
1
7
7
1
2
1
2
0
1
27
27
4
5
5
6
3
4
a. Dr. Umum
256
256
45
63
45
15
54
34
b. Dr. Spesialis
69
69
5
34
7
1
15
7
c. Drg
108
108
35
22
13
12
18
8
d. Bidan
132
132
40
7
25
18
30
12
5
Balai Pengobatan
135
135
31
19
18
23
22
22
6
Rumah Bersalin
10
10
2
2
3
1
1
1
7
Apotik
114
114
14
31
18
12
13
26
8
Laboratorium
16
16
1
1
7
2
3
2
4
46
4.4.
Pengembangan Karir Pegawai Berdasarkan struktur organisasi yang terdapat dalam Peraturan Daerah
Nomor 13 Tahun 2004, diketahui bahwa seluruh jabatan di Dinas Kesehatan Kota Bogor bersifat struktural dan fungsional. Dalam hal ini, kenaikan pangkat reguler seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dilaksanakan setiap 4 (empat) tahun sekali. Berdasarkan PP Nomor 13 Tahun 2002, kenaikan pangkat PNS yang bekerja di lingkungan Pemerintahan Kota atau Kabupaten dipertimbangkan oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Pada Pemerintah Kota Bogor Baperjakat diketuai oleh Sekda dengan anggota Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Kepala Badan Pengawasan Daerah (Bawasda), Kepala Bidang Pengembangan Kepegawaian (merangkap Sektretaris), dan pimpinan instansi terkait. Masa tugas Baperjakat selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat lagi berdasarkan keputusan Walikota. Pertimbangan yang dilakukan oleh Baperjakat didasarkan pada penilaian pimpinan instansi terhadap disiplin kerja PNS yang bersangkutan. Setelah dinilai cukup layak maka PNS yang bersangkutan diharuskan melengkapi berkas-berkas kenaikan pangkat atau Nota Pertimbangan Teknis yang terdiri dari Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3), SK CPNS, SK PNS, SK Jabatan, ijazah pendidikan formal, daftar diklat struktural, riwayat hidup, kartu pegawai dan surat pengantar dari instansi tempat bekerja, kelengkapan berkas tersebut diperikasa kembali oleh Badan Kepegawaian Negara. Kenaikan pangkat atau golongaan ke I/b sampai dengan III/d ditetapkan berdasarkan keputusan Walikota, golongan IV/a dan IV/b berdasarkan keputusan Gubernur dan golongan IV/c dan IV/e berdasarkan keputusan Sekretaris Negara. Pangkat atau golongan merupakan salahsatu syarat penting yang menentukan kelayakan seorang PNS untuk menempati suatu jabatan tertentu pada instansi terkait. Kategori pangkat atau golongan PNS terhadap jabatan dan eselon pada Dinas Kesehatan Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Kategori Pangkat PNS Dinas Kesehatan Kota Bogor Pangkat / Golongan Terendah
Tertinggi
III/b
III/c
Jabatan Ka.Subag TU UPTD
47
Eselon IV B
III/c
III/d
Ka.Subag/Ka.Sie/Ka. UPTD
IV A
III/d
IV/a
Ka.Bidang
III B
IV/a
IV/b
Sekretaris
III A
IV/b
IV/c
Ka.Dinas
II B
Sumber: data internal DKK Bogor
48
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Sebelum dilakukan penyebaran kuesioner atau pengambilan data primer,
maka kuesioner diuji validitas dan reliabilitas nya, uji validitas diperlukan untuk melihat apakah butir-butir pernyataan pada kuesioner sudah tepat menguji apa yang menjadi tujuan penelitian; sedangkan uji reabilitas untuk melihat sejauh mana kekonsistenan jawaban pegawai terhadap pernyataan-pernyataan tersebut apabila kuesioner diberikan pada waktu yang berbeda. Kuesioner dibagikan kepada 30 (tiga puluh) orang pegawai, kemudian dihitung nilai validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas dilakukan terhadap seluruh butir pernyataan, sementara uji reabilitas dilakukan untuk 1(satu) skala global (Global Constructive Thinking) dan 6 (enam) sub-skala pengukuran, yaitu Behavioral Coping, Emotional Coping, Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naïve Optimism. Pada uji pertama, masih diperoleh beberapa butir pernyataan yang tidak valid, penyebabnya adalah beberapa pernyataan yang kurang jelas dipahami oleh pegawai, sehingga jawabannya tidak sesuai dengan persepsi pegawai. Kemudian dilakukan penggantian tata bahasa pada pernyataan-pernyataan tersebut dan kuesioner kembali dibagikan kepada 30 (tigapuluh) orang pegawai sebelumnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa butir-butir pernyataan yang telah diperbaiki dianggap valid dan reliabel (Tabel 13) karena berada diatas nilai batas pengujian validitas dan reliabilitas. Selanjutnya kuesioner akan dibagikan kepada pegawai diluar 30 (tiga puluh) pegawai yang telah melakukan pengujian validitasreliabilitas. Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa rentang nilai validitas untuk masingmasing butir pernyataan pada enam sub-skala pengukuran berada di atas nilai 0,1334 yang merupakan batas nilai koefisien korelasi dengan selang kepercayaan 90% (Saleh, 1986). Uji validitas dilakukan terhadap seluruh butir pernyataan kuesioner, sebagai contoh pada pernyataan sub-skala Behavioral Coping terdapat 14 pernyataan (Lampiran 2). Pernyataan 12/BC12 bernilai 0,249, merupakan nilai terendah diantara pernyataan-pernyataan lain dalam sub-skala Behavioral Coping,
sementara pernyataan BC7 memiliki nilai tertinggi yaitu 0,779, maka dapat dikatakan bahwa seluruh pernyataan Behavioral Coping memiliki rentang nilai dari 0,249 sampai 0,779 (Lampiran 2). Rentang nilai tersebut memiliki nilai diatas 0,1334 sehingga dianggap seluruh pernyataan valid. Hal itu juga berlaku seluruh pernyataan pada sub-skala yang lain seperti Emotional Coping, Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naïve Optimism.
Berdasarkan hasil ini maka seluruh butir-butir pernyataan dalam
kuesioner dinyatakan valid, hasil uji disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil uji Validitas dan Reliabilitas kuesioner
1 2 3 4 5 6
Rentang Nilai Validitas 0,249 – 0,779 0,321 – 0,779 0,336 – 0,726 0,209 – 0,632 0,319 – 0,906 0,144 – 0,828
Pernyataan
No.
Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
Nilai Reliabilitas 0,883 0,940 0,802 0,741 0,928 0,723
Hasil uji rebilitas menunjukkan nilai alpha cronbach di atas 0,723 (Tabel 13). Nilai ini lebih besar dari nilai yang direkomendasikan oleh beberapa literatur yaitu > 0,7 (Agresti and Finlay, 1997), sehingga seluruh pernyataan dianggap sudah reliabel.
5.2
Karakteristik Pegawai Sebelum masuk pada analisis mengenai perbedaan faktor demografi dalam
strategi penanggulangan stres kerja dan mengetahui bagaimana tingkat Constructive Thinking pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor, perlu diketahui uraian karakteristik pegawai dalam penelitian ini yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin, usia dan pendidikan. Tiga karakteristik tersebut diambil dari sekian banyak karakteristik berdasarkan faktor demografi pegawai karena didasarkan pada penelitian sebelumnya mengenai Constructive Thinking (CT) yang dilakukan Kephart (2003). Kephart mencoba melakukan investigasi dampak dari jenis kelamin dan perbedaan karakteristik lainnya dalam menanggulangi stres di tempat kerja. Karakteristik atau faktor demografi yang
50
digunakan dalam penelitian tersebut adalah jenis kelamin, pendapatan, ras, pendidikan dan usia. Berdasarkan hasil penelitian Kephart (2003) maka faktor demografi yang cocok untuk diterapkan pada penelitian ini hanya jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan. Masing-masing faktor atau karakteristik tersebut memiliki jumlah yang bervariasi di Dinas Kesehatan Kota Bogor. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 273 pegawai. Jumlah tersebut adalah jumlah total kuesioner yang kembali dan diisi secara lengkap. Jumlah ini dianggap telah mewakili total keseluruhan populasi yang diuji, karena melebihi jumlah pegawai minimal yang ditetapkan berdasarkan rumus Slovin dengan margin error 5% sebanyak 244 pegawai. 5.2.1
Jenis Kelamin Berdasarkan perhitungan melalui software SPSS, maka diperoleh
gambaran jumlah pegawai berdasarkan jenis kelamin. Sampel didominasi oleh pegawai berjenis kelamin wanita, yaitu sebesar 68,9% atau 188 orang, sesuai dengan aturan pada rumus Slovin yang digunakan, yaitu minimal total pegawai wanita yang mewakili jumlah populasi adalah 186 orang, sementara pegawai pria sebesar 31,1% atau lebih banyak 27 orang dari target minimal jumlah pegawai sebesar 58 orang. Jumlah yang melebihi target berdasarkan rumus Slovin lebih baik karena semakin mendekati jumlah populasi. Tabel 14 Jumlah pegawai berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Pria Wanita Total
Jumlah Populasi 150 477 627
Jumlah Sampel 85 188 273
Persentase Populasi (%) 23,92 76,08 100
Persentase Sampel (%) 31,1 68,9 100
Jika diamati dari jumlah populasi berdasarkan jenis kelamin di Dinas Kesehatan Kota Bogor, maka mayoritas pegawai adalah wanita yaitu sebesar 76,08%. Hal ini cukup beralasan karena Dinas Kesehatan Kota Bogor bergerak di bidang jasa pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Karakter wanita yang dianggap lebih sabar dan luwes dalam bekerja sangat sesuai untuk memberikan
51
pelayanan terutama di bidang kesehatan. Terbukti dengan mayoritas pekerja kesehatan seperti perawat dan bidan didominasi oleh kaum wanita. Hal ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan penelitian ini. Peran ganda yang dimiliki oleh wanita memiliki kecenderungan sebagai faktor penyebab stres. Jika di Dinas Kesehatan Kota Bogor mayoritas pegawainya adalah wanita maka menarik untuk diketahui apakah terdapat perbedaan dalam menanggulangi stres antara pegawai pria dan wanita. 5.2.2
Usia Tingkat usia didasarkan pada kriteria penelitian Kephart (2003) yang
membagi ke dalam empat kelompok usia, yaitu rentang usia 21-32 tahun; 33-44 tahun; 45-56 tahun dan >56 dimana kelompok tersebut menunjukkan kematangan cara berpikir dan emosi. Berdasarkan kriteria penelitian Kephart tersebut, maka pegawai dalam penelitian ini terdiri atas kelompok usia 21 – 32 tahun sebesar 22,3% atau 61 orang, kelompok usia 33 – 44 tahun sebesar 42,5% atau sebanyak 116 orang, kelompok usia 45 – 56 tahun yaitu sebesar 34,8% atau sebanyak 95 orang sedangkan kelompok usia diatas 56 tahun hanya sebesar 0,4% atau hanya berjumlah 1 orang. Mayoritas pegawai didominasi oleh kelompok usia 33 – 44 tahun yaitu sejumlah 116 pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor sebagian besar berusia matang dan hanya sedikit yang memasuki masa pensiun. Jika dipisahkan berdasarkan jenis kelamin maka secara keseluruhan kelompok usia didominasi oleh wanita. Tabel 15 Jumlah pegawai berdasarkan Kelompok Usia Kelompok Usia
Jumlah
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun >56 tahun Total
61 116 95 1 273
Presentase (%) 22,3 42,5 34,8 0,4 100
Pria
Wanita
18 29 36 -
43 87 57 1
Banyak faktor yang menentukan tingkat kematangan berpikir manusia dan usia adalah salah satu faktor penentunya. Semakin dewasa manusia maka diharapkan semakin matang dalam mengambil keputusan atau menghadapi
52
permasalahan hidup. Sampel pegawai yang diambil di Dinas Kesehatan Kota Bogor menunjukkan bahwa 77,7% (100% - 22,3%) pegawai berusia diatas 32 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa seharusnya mayoritas pegawai memiliki kemampuan dalam menghadapi stres di tempat kerja karena faktor kematangan dalam berpikir. Maka penelitian ini menjadi menarik untuk melihat adakah perbedaan cara penanggulangan stres berdasarkan tingkatan usia. Pada kelompok usia 21 – 32 tahun, usia pegawai yang termuda adalah 24 tahun, sehingga kelompok responden tersebut dapat dipisahkan berdasarkan kriteria tingkat pendidikan sarjana dan non sarjana. Seperti diketahui bahwa kelompok lulusan sarjana biasanya berusia paling rendah 23 tahun. 5.2.3
Tingkat Pendidikan Selain jenis kelamin dan usia, pegawai juga dibagi menurut tingkat
pendidikan yaitu sarjana dan non-sarjana. Sarjana mencakup pendidikan S1 dan S2, sementara non-sarjana adalah lulusan D2, D3 dan SLTA. Dari total 273 pegawai, sebanyak 66,3% adalah non-sarjana sisanya sebesar 33,7% adalah sarjana, keadaan ini antara lain disebabkan oleh pada awal perekrutan pegawai masih menerima lulusan SLTA, khusus di bidang kesehatan, seperti farmasi dan administrasi rumah sakit minimal lulusan D3. Namun demikian saat ini, perekrutan pegawai lebih diutamakan lulusan S1. Jika dibedakan berdasarkan jenis kelamin maka pegawai wanita tetap mendominasi, hal ini berkaitan dengan karakter wanita yang lebih luwes dan sabar dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dibandingkan dengan pria sehingga sangat tepat tugas pegawai wanita dalam pelayanan kesehatan kepada publik. Tabel 16 Jumlah pegawai berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
Jumlah
Sarjana Non-sarjana Total
92 181 273
Presentase (%) 33,7 66,3 100
Pria
Wanita
22 63
70 118
Berdasarkan tingkat pendidikan maka mayoritas sampel adalah pegawai bergelar non-sarjana. Kondisi ini juga dapat disebabkan karena sebagian besar pegawai bertugas di unit-unit Puskesmas dengan populasi sebesar 516 orang
53
(Tabel 5) dari total 627 pegawai. Maka wajar jika sebagian besar pegawai bergelar non-sarjana karena keterampilan yang dibutuhkan di Puskesmas mayoritas hanyalah keterampilan administrasi dan pelayanan kesehatan setingkat perawat atau bidan. Lulusan sarjana hanya dibutuhkan untuk dokter dan kepala Puskesmas dengan jumlah yang lebih sedikit daripada pegawai administrasi dan perawat. Baik dokter maupun perawat setiap hari harus berhadapan dengan bermacammacam tipe pasien. Hal ini dapat menjadi pemicu timbulnya stres kerja. Oleh sebab itu sangat menarik untuk mengamati apakah terdapat perbedaan cara penanggulangan stres kerja pada pegawai bergelar sarjana maupun non-sarjana.
5.3
Analisis Perbedaan Faktor Demografi Untuk menjawab tujuan pertama yaitu mengetahui tingkat berpikir
konstruktif pada pegawai dapat dilihat pada hasil rataan dari Uji ANOVA yang kemudian hasilnya diterjemahkan kedalam klasifikasi rentang nilai skala sehingga dapat diketahui kecenderungan sikap pegawai pria dan wanita berdasarkan masing-masing pengukuran skala, berpikir konstruktif atau destruktif, sedangkan untuk menjawab tujuan dua dari penelitian ini yaitu menganalisis perbedaan faktor demografi dalam strategi penanggulangan stres kerja pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor maka faktor demografi dipisahkan menjadi 3(tiga) yaitu: jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan. Dengan menggunakan
metode
Analysis of Variance (ANOVA) dapat diketahui adakah perbedaan jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan pegawai dalam menanggulangi stres kerja. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari nilai probabilitas (p), dimana p > 0,1 maka hipotesis nol (H0) diterima, nilai p tersebut menunjukkan nilai alpha sebesar 10% atau tingkat signifikansi 90%. Artinya hipotesis tersebut dapat diterima dengan tingkat kesalahan 10%. Pada uji pertama faktor jenis kelamin pegawai dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu pria dan wanita demikian pula dengan faktor tingkat pendidikan, dibagi menjadi sarjana dan non-sarjana. Untuk uji ANOVA dengan 2 (dua) kategori digunakan uji-t. Sedangkan faktor usia yang dibagi menjadi 4 (empat) kategori dengan masing-masing rentang usia sebesar 12 tahun, digunakan uji-F. Uji kedua, faktor jenis kelamin pegawai dibagi untuk tingkat pendidikan sarjana dan non sarjana, kemudian uji ketiga faktor jenis kelamin pegawai dibagi
54
untuk tingkat sarjana dan non sarjana berdasarkan rentang usia.
Garis besar
analisis perbedaan faktor demografi tersebut diperlihatkan pada kerangka pemikiran (Gambar 2). Kerangka pemikiran menunjukkan bahwa analisis yang dilakukan adalah untuk melihat apakah terdapat perbedaan dalam mengatasi stres kerja berdasarkan perbedaan jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan. Persepsi pegawai tehadap cara menanggulangi stres diketahui melalui daftar pernyataan pada kuesioner yang dikembangkan oleh Epstein (1986). Epstein membagi seluruh pernyataan kuesioner ke dalam satu skala global yaitu Global Constructive Thinking dimana pernyataan di dalamnya merupakan pernyataan-pernyataan yang diambil dari 6 (enam) sub-skala yaitu: Behavioral Coping, Emotional Coping, Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naïve Optimism. Dalam analisis ini, masing-masing faktor demografi akan dilihat perbedaannya terhadap satu skala global dan enam sub-skala yang ada. Sebagai contoh pada sub-skala Behavioral Coping, apakah terdapat perbedaan jenis kelamin dalam merespon pernyataan-pernyataan tentang kecepatan beradaptasi. Apakah benar dugaan bahwa pegawai pria lebih cepat beradaptasi dalam cara menanggulangi stres kerja dibandingkan dengan pegawai wanita dan sebagainya. Pertanyaan ini akan dijawab dengan melakukan uji ANOVA. 5.3.1
Analisis Perbedaan Jenis Kelamin terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI)
A. Hasil Rataan Skor Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat perbedaan terhadap cara pria dan wanita dalam menanggulangi stres. Seperti pada hasil penelitian Wang dan Paten (2001)
yang menemukan bahwa penyebab stres kerja berbeda
berdasarkan jenis kelamin. Pada wanita, stres lebih disebabkan oleh keadaan fisik, sedangkan pria pada keadaan psikologis. Stres yang dialami wanita lebih cenderung karena banyaknya pekerjaan yang harus ditanggung. Pada wanita bekerja, selain harus menyelesaikan tugas-tugas di kantor, juga dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan di rumah seperti mengurusi anak dan suami. Beban ini yang menyebabkan terjadinya kelelahan fisik sehingga kondisi stres terjadi pada wanita.
55
Pada pria terjadi hal yang berbeda, tuntutan sebagai kepala keluarga untuk menyediakan kebutuhan bagi anak dan istri membuat pria seringkali terbebani pikirannya. Ditambah tuntutan pekerjaan yang semakin berat dan kondisi persaingan kerja membuat pria seringkali berada pada situasi stres. Pada Tabel 17 disajikan hasil rataan jawaban pegawai pria dan wanita berdasarkan uji ANOVA. Hasil perhitungan rataan menunjukkan bahwa rata-rata jawaban pegawai pria dan wanita cenderung sama. Seperti pada sub-skala Behavioral Coping memiliki nilai rataan 3,95 untuk pegawai pria, sedangkan wanita 3,96 (Tabel 17). Keduanya memiliki nilai yang tidak jauh berbeda atau cenderung sama. Demikian pula dengan hasil pada sub-skala Emotional Coping, untuk pegawai pria bernilai 3,41 dan 3,46 untuk pegawai wanita. Hasil yang serupa juga diperoleh untuk subskala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naïve Optimism. Tabel 17 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis kelamin Sub-Skala Global Constructive Thinking
Behavoral Coping Emotional Coping Personal Superstitious Thinking Categorical Thinking Esoteric Thinking Naïve Optimism
Jenis Kelamin Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita
N
Mean
85 188 85 188 85 188 85 188
3,4284 3,4547 3,9512 3,9680 3,4118 3,4696 3,0501 3,0954
Std Deviation ,18732 ,18942 ,24346 ,32940 ,30767 ,34407 ,48769 ,54652
85 188 85 188 85 188
3,0300 2,9424 3,0605 2,9771 3,6418 3,6264
,50510 ,45568 ,57479 ,48445 ,36960 ,37471
Std. Error Mean ,02032 ,01381 ,02641 ,02402 ,03337 ,02509 ,05290 ,03986 ,05479 ,03323 ,06234 ,03533 ,04009 ,02733
Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std Deviation = nilai simpangan; Std. Error Mean = galat rataan
Hasil ini menunjukkan bahwa baik pegawai pria maupun wanita cenderung memiliki persepsi yang sama terhadap cara berpikir konstruktif untuk menanggulangi stres di Dinas Kesehatan Kota Bogor. Namun demikian hasil ini tidak dapat menjelaskan ke arah mana kecenderungan cara berpikir konstruktif tersebut berdasarkan skala-skala yang terdapat dalam Constructive Thinking Inventory (CTI). Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan perhitungan rataan berdasarkan rumus klasifikasi rentang kriteria. 56
B. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria Skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI) Untuk mengetahui kecenderungan sikap pegawai dalam berpikir konstruktif, maka berdasarkan jenis kelamin pegawai, jawaban-jawaban pada kuesioner dirata-ratakan dan dimasukkan dalam klasifikasi rentang kriteria masing-masing skala. Dengan demikian akan diketahui bagaimana kecenderungan sikap pegawai pria dan wanita berdasarkan masing-masing pengukuran skala. Berdasarkan skala global dan enam sub-skala yang ada dari Constructive Thinking Inventory (CTI) maka dapat dilihat hasil klasifikasi rentang kriteria skala dari CTI dan maknanya seperti pada Tabel 10. Tabel 10 menunjukkan klasifikasi rentang nilai dibagi menjadi lima kriteria dengan masing-masing memiliki makna sesuai dengan skalanya. Sebagai contoh nilai rataan pegawai pria pada skala Global Constructive Thinking adalah 3,43, maka masuk ke dalam klasifikasi rentang kriteria konstruktif. Artinya kecenderungan pegawai pria di Dinas Kesehatan Kota Bogor sudah berpikiran konstruktif. Rentang kriteria tersebut merupakan dasar dalam penilaian kecenderungan perilaku pegawai berdasarkan faktor demografi yang diuji yaitu: jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan. Tabel 18 memperlihatkan hasil klasifikasi rentang kriteria dari Constructive Thinking Inventory (CTI) berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Berdasarkan hasil klasifikasi rentang kriteria tersebut, maka dapat diketahui bahwa baik pegawai pria maupun wanita memiliki kecenderungan persepsi yang hampir sama, akan tetapi secara hasil uji statistik selisih nilai berapapun tetap menunjukka perbedaan terhadap cara berpikir konstruktif dalam menanggulangi stres pada pegawai pria dan wanita. Pada skala Global Constructive Thinking, pegawai pria memiliki nilai rataan sebesar 3,43 dan masuk kedalam klasifikasi rentang kriteria sudah berpikir konstruktif. Demikian pula dengan pegawai wanita dengan nilai rataan sebesar 3,45, juga masuk dalam klasifikasi rentang kriteria mampu berpikir konstruktif. Pada skala pengukuran ini secara uji statistik, pegawai wanita lebih mampu berpikir konstruktif daripada pegawai pria, hal tersebut terlihat dari selisih hasil rataan yaitu sebesar 0,02 sehingga pegawai wanita dapat dikategorikan lebih mampu mengatasi stres yang terjadi di tempat
57
kerja dibandingkan pegawai pria. Kemampuan berpikir konstruktif mutlak diperlukan dalam menanggulangi stres yang terjadi. Tabel 18 Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Jenis Kelamin Skala Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET)
3,43 3,95 3,41 3,05 3,03 3,06
Naïve Optimism (NaO)
3,64
Rentang Nilai dan Makna Pria Wanita konstruktif 3,45 konstruktif antusias 3,96 antusias terbuka 3,47 terbuka netral 3,09 netral netral 2,94 netral netral 2,98 netral optimis optimis 3,63 unrealistis unrealistis
Pada skala Behavioral Coping, baik pegawai pria maupun wanita memiliki hasil rataan yang sangat dekat, yaitu masing-masing 3,95 dan 3,96, artinya keduanya masuk dalam klasifikasi rentang kriteria sikap antusias dalam pekerjaan. Sedangkan hasil uji statistik menunjukkan selisih nilai rataan sebesar 0.01 lebih tinggi pada pegawai wanita, sehingga dapat dikategorikan bahwa pegawai wanita lebih bersikap antusias daripada pegawai pria, hal tersebut sangat mendukung pegawai dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Dengan rasa antusias yang tinggi maka pegawai dapat terhindar dari stres di tempat kerja. Rataan nilai sebesar masing-masing 3,41 dan 3,47, dimiliki oleh pegawai pria dan wanita pada skala Emotional Coping. Nilai tersebut masuk pada klasifikasi rentang kriteria terbuka. Selisih nilai rataan secara uji statistik menunjukkan nilai sebesar 0,06 lebih tinggi pada pegawai wanita, sehingga pegawai wanita lebih bersikap terbuka daripada pegawai pria artinya lebih bersedia menerima kritikan atau tidak mudah tersinggung karena celaan dari rekan kerja maupun atasan. Sikap terbuka tersebut akan membantu pegawai untuk tidak mudah mengalami stres di tempat kerja. Pada skala Personal Superstitious Thinking, pegawai pria dan wanita di Dinas Kesehatan Kota Bogor masuk pada klasifikasi rentang kriteria yang sama yaitu netral, artinya pegawai tersebut cenderung tidak bersikap defensif maupun ofensif dalam menghadapi permasalahan di tempat kerja. Sikap netral disini berarti menerima keadaan akan tetapi tidak cenderung pasrah menerimanya. Pegawai dengan sikap demikian cenderung tenang-tenang saja apabila 58
menghadapi kendala di tempat kerja. Tidak proaktif untuk mencari pemecahan permasalahan tetapi tidak pasrah juga terhadap keadaan jadi lebih bersikap netral. Akan tetapi secara hasil uji statistik selisih hasil rataan yang didapat menunjukkan bahwa pegawai wanita memiliki nilai yang lebih tinggi daripada pegawai pria yaitu sebesar 0,04, sehingga dapat dikategorikan pegawai wanita lebih bersikap ofensif daripada pegawai pria. Pada skala Categorical Thinking, rataan nilai yang diperoleh oleh pegawai pria dan wanita memiliki nilai 3,03 dan 2,94. Nilai ini berada pada klasifikasi rentang kriteria yang sama yaitu menunjukkan sikap netral bila menghadapi suatu permasalahan. Sikap netral ini juga menunjukkan pegawai yang terkesan fleksibel tetapi kadang-kadang bersikap kaku dalam melakukan pekerjaan ataupun mengambil keputusan. Selanjutnya jika dilihat dari hasil uji statistik didapatkan selisih nilai sebesar 0,09 lebih tinggi pegawai pria, artinya pegawai pria lebih dapat bersikap fleksibel dibandingkan pegawai wanita. Sub skala Esoteric Thinking salah satunya mengukur sejauh mana pegawai percaya akan hal-hal di luar kewajaran. Hasil rataan nilai adalah 3,06 untuk pegawai pria dan 2,98 untuk pegawai wanita. Ini menunjukkan bahwa keduanya masuk pada klasifikasi rentang kriteria berpikiran netral, tidak percaya akan hal-hal gaib atau di luar kewajaran tetapi juga seringkali tidak berpikir logis. Selisih nilai dari hasil uji statistik menunjukkan nilai sebesar 0,08 lebih tinggi pegawai pria daripada pegawai wanita, artinya pegawai pria lebih berpikir logis dibandingkan pegawai wanita yang kecenderungan emosinya lebih tinggi. Hasil dari perhitungan
rataan untuk sub-skala ke enam yaitu Naïve
Optimism menunjukkan nilai 3,64 untuk pegawai pria dan 3,63 untuk pegawai wanita. Nilai ini masuk pada klasifikasi rentang kriteria sikap optimis unrealistis. Selisih hasil uji statistik sebesar 0,01 menunjukkan pegawai pria lebih bersikap optimis unrealistis akan
tetapi cenderung optimis dalam melihat sebuah
permasalahan namun terlalu mengeneralisasi keadaan dibandingkan pada pegawai wanita. Sikap ini lebih dapat berpotensi menjadi penyebab stres pada pegawai pria. C. Hasil Perhitungan ANOVA
59
Tabel 19 menunjukkan hasil perhitungan ANOVA berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Skala Global Constructive Thinking memiliki t-value sebesar 1,066, derajat kebebasan (df) 271 dan nilai probabilitas (p) 0,287. Nilai t-value merupakan nilai mutlak sehingga tidak terpengaruh oleh nilai negatif maupun positif. Nilai tersebut harus berada dibawah nilai t-tabel yaitu sebesar 1,96 agar diterima pada tingkat signifikansi 90%. Demikian pula dengan nilai p harus berada dibawah 0,1 yang artinya nilai probabilitas atau kemungkinan terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil skala Global Constructive Thinking dari Constructive Thinking Inventory (CTI) dalam strategi penanggulangan stres kerja berada pada kisaran 0 – 90% (Tabel 19). Sementara keseluruhan skala memiliki derajat kebebasan yang sama yaitu sebesar 271. Khusus untuk uji-t, derajat kebebasan memiliki rumus jumlah sampel dikurangi 2 atau N-2. Sub-skala Behavioral Coping memiliki t-value sebesar -0,422 dan p sebesar 0,673. Kedua nilai tersebut masuk pada kriteria yang ditetapkan, sehingga hipotesis nol dapat diterima. Dengan kata lain, tidak terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil pernyataan sikap optimis, antusias dan enerjik (sub-skala Behavioral Coping) yang merupakan salah satu strategi menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Tabel 19 Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin Hasil Skala
t-value ≥ 1,96 -1.066 -0.422 -1.327 -0.655 1.421 1.240 0.109
Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
df
p
271 271 271 271 271 271 271
0.287 0.673 0.186 0.513 0.157 0.216 0.913
Hipotesis Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0
Keterangan: t-value = nilai uji-t; df = derajat kebebasan; p = nilai kemungkinan
Pada sub-skala Emotional Coping juga diperoleh t-value sebesar -1,327 dan probabilitas sebesar 0,186. Hasil ini menunjukkan penerimaan terhadap hipotesis nol, artinya tidak terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil pernyataan kemampuan untuk tidak mudah tersinggung apabila mendapat kritikan
60
atau celaan (sub-skala Emotional Coping) sehingga pegawai pria dan wanita mampu menanggulangi stres kerja di Dinas Kesehatan Kota Bogor. T-value sebesar -0,655 dan probabilitas sebesar 0,513, diperoleh untuk sub-skala Personal Superstitious Thinking. Pernyataan-pernyataan pada sub-skala ini mengukur kecenderungan pegawai untuk bersifat defensif terhadap suatu permasalahan. Hasil perhitungan ANOVA untuk sub-skala tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil sub-skala Personal Superstitious Thinking dalam strategi penanggulangan stres kerja pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Sedangkan sub-skala Categorical Thinking memiliki t-value sebesar 1,421 dan nilai p sebesar 0,157. Kedua nilai tersebut memenuhi kriteria yang ditetapkan sehingga hipotesis nol diterima. Artinya tidak terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap
hasil
pernyataan
sikap
fleksibilitas
ketika
menghadapi
suatu
permasalahan (sub-skala Categorical Thinking) dalam strategi menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Pada sub-skala Esoteric Thinking, hipotesis nol yang diajukan juga diterima karena nilai dari t-value dan probabilitasnya memenuhi kriteria yang diharuskan. Masing-masing bernilai 1,240 dan 0,216. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil pernyataan sikap kecenderungan berpikir logis (sub-skala Esoteric Thinking) dalam strategi penanggulangan stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Sub-skala terakhir yaitu Naïve Optimism juga memiliki nilai t-value dan probabilitas yang masuk pada kriteria penerimaan hipotesis nol, yaitu masingmasing bernilai 0,109 dan 0,913. Artinya tidak terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil pernyataan sikap optimisme (sub-skala Naïve Optimism) dalam strategi penanggulangan stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Secara keseluruhan, nilai p untuk skala Global Constructive Thinking dan 6 (enam)
sub-skala
(Behavioral
Coping,
Emotional
Coping,
Personal
Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naive Optimism) pada pernyataan kuesioner bernilai diatas 0,1, sehingga H0 diterima. Hipotesis nol menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata berdasarkan jenis kelamin terhadap hasil dari Constructive Thinking Inventory (CTI) dalam strategi
61
menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Artinya baik pegawai pria maupun wanita memiliki kecenderungan yang sama dalam merespon strategi menghadapi stres di tempat kerja. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Wang dan Paten (2001) yang menyatakan bahwa pria dan wanita dalam menghadapi penyebab stres
cenderung berbeda dalam cara
menanggulanginya. Wanita lebih cenderung mengalami konflik dan stres dibanding pria (Austin, 2000), terutama menyangkut peran ganda yang dimiliki wanita, baik di tempat bekerja maupun di rumah. Namun demikian hasil dari penelitian ini tidak berbeda nyata berdasarkan jenis kelamin dalam cara penanggulangan stres baik pada pegawai pria maupun wanita, dengan demikian hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Epstein (1986) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan atau perbedaan jenis kelamin dalam menanggulangi stres kerja. Kenyataan ini juga didukung oleh fakta bahwa jika tidak banyak pekerjaan yang dilakukan maka tidak banyak beban pekerjaan yang ditimbulkan, sehingga menghilangkan faktor dominan penyebab stres. Tidak terdapatnya perbedaan antara pegawai pria dan wanita dalam merespon hasil dari strategi penanggulangan stres kerja berdasarkan metode Constructive Thinking mengindikasikan bahwa berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata yang signifikan dalam menanggulangi stres kerja pada pegawai pria dan wanita, hal ini disebabkan: 1.
Populasi yang homogen (PNS) sehingga kurangnya competitiveness diantara pegawai baik pria maupun wanita di Dinas Kesehatan Kota Bogor, hal ini sangat berbeda dengan pegawai swasta yang selalu dituntut untuk bekerja berdasarkan target yang ditetapkan, sehingga apabila tidak menunjukkan kinerja yang baik akan berpengaruh pada kompensasi, penilaian pegawai bahkan harus berhadapan dengan situasi kehilangan pekerjaan.
2. Keamanan kerja (job security) di Dinas Kesehatan Kota Bogor, artinya kenyataan bahwa pegawai negeri sipil (PNS) merupakan pekerjaan dengan tingkat keterjaminan tinggi, membuat pegawai pria dan wanita berada pada kondisi yang nyaman. Kondisi kerja yang nyaman membuat
62
lingkungan kerja menjadi lebih stabil, sehingga tingkat stres menjadi rendah, akibatnya baik pegawai pria maupun wanita tidak memiliki perbedaan dalam menanggulangi stres. 3. Perlakuan yang sama terhadap pegawai pria dan wanita dalam hal pekerjaan. Tidak adanya pembatasan jenis kelamin dalam menduduki jabatan tertentu di Dinas Kesehatan Kota Bogor. Adanya peluang yang sama pada pegawai pria dan wanita untuk pengembangan karirnya. Kondisi ini meminimalisasi timbulnya stres di kalangan pegawai yang diakibatkan tidak tersalurkannya keinginan untuk pencapaian prestasi dengan menduduki suatu jabatan. Penentuan pegawai yang dapat menduduki jabatan tertentu ditentukan berdasarkan kinerja dan prestasi yang berhasil diraih, hal ini menghilangkan timbulnya konflik antara pegawai pria dan wanita. 4. Atasan selalu mengutamakan musyawarah apabila menemui persoalan yang membutuhkan pemecahan. Kebebasan pada pegawai pria dan wanita dalam mengemukakan pendapat lebih diutamakan sehingga pegawai lebih mampu
mengekspresikan
kritik
dan
saran
dalam
menjalankan
pekerjaannya. Kenyataan ini mampu meminimalkan timbulnya stres akibat keluhan yang tidak tersalurkan, sehingga baik pegawai pria maupun wanita dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik karena selalu dapat berdiskusi dengan atasan apabila menemui hambatan. 5. Untuk meminimalkan timbulnya stres di kalangan pegawai, penempatan pegawai baik pria dan wanita baik pada kantor pusat maupun puskesmaspuskesmas berdasarkan tempat tinggal pegawainya. Seperti diketahui bahwa kemacetan akan menyebabkan bertambahnya waktu tempuh yang harus digunakan pegawai untuk berangkat maupun pulang dari kantor. Bertambahnya waktu tempuh akan mengakibatkan berkurangnya waktu yang dibutuhkan di tempat kerja maupun setelah pulang bekerja. Tepatnya penempatan
pegawai
yang
dilakukan
oleh
bagian
kepegawaian
menyebabkan terutama pada pegawai wanita tidak harus berangkat lebih pagi dan dapat pulang tepat waktu sehingga mampu memaksimalkan perannya sebagai wanita bekerja dan sebagai ibu rumah tangga. Kondisi-
63
kondisi tersebut diatas yang menyebabkan tidak adanya perbedaan dalam menanggulangi stres antara pegawai pria dan wanita. 5.3.2
Analisis Perbedaan Usia terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) Setelah mengetahui bahwa tidak ada perbedaan antara pria dan wanita
dalam menanggulangi stres kerja di Dinas Kesehatan Kota Bogor maka penelitian selanjutnya adalah melihat kaitan stres dengan tingkatan usia pegawai. Mengutip hasil penelitian Siebert (1999) yang menemukan bahwa ada perbedaan atau hubungan langsung antara stres dan usia pekerja. Sebagai contoh adalah perubahan sistem komputerisasi pada suatu perusahaan dapat menyebabkan stres bagi pegawai berusia tua dan justru menyenangkan bagi pegawai berusia muda. Kebingungan sering terjadi akibat kurangnya pemahaman pegawai berusia tua terhadap perintah atau bahasa komputer. Bagi pegawai berusia muda yang hidup di era teknologi menganggap penggunaan komputer sebagai hal biasa dan ketergantungan terhadap media ini sangat tinggi, sehingga kondisi tanpa kecanggihan teknologi justru dianggap menyulitkan dalam menyelesaikan pekerjaan. Berbeda kondisinya jika terjadi permasalahan yang cukup sulit, pekerja berusia tua akan cenderung lebih berpengalaman menghadapinya, sehingga dianggap lebih bijaksana dalam menghadapi situasi tersebut. Sementara itu pekerja berusia muda cenderung lebih tergesa-gesa dan ingin cepat beres, sehingga justru seringkali membuat kondisi semakin parah dan memicu terjadinya stres. Mengacu pada kenyataan tersebut maka menarik untuk mengamati adakah perbedaan antara pegawai berusia tua dan muda dalam mengatasi stres di Dinas Kesehatan Kota Bogor. A. Hasil Rataan Skor Tabel 20 menunjukkan nilai rataan (mean) dan simpangan baku (standar deviation) dari hasil perhitungan jawaban pegawai terhadap kuesioner dari Constructive Thinking Inventory (CTI). Pada sub-skala Behavioral Coping, rataan jawaban pegawai berada pada nilai 3,94 – 4 untuk seluruh tingkatan usia. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh pegawai memiliki kecenderungan sikap yang sama dalam berpikir konstruktif. Demikian pula dengan sub-skala Emotional Coping,
64
jawaban pegawai berkisar antara 3,33 – 3,51. Kisaran nilai tersebut tidak berbeda jauh, sehingga menunjukkan kesamaan dalam sikap terkait pernyataan-pernyaaan pada kuesioner. Hasil serupa juga diperoleh untuk empat sub-skala sisanya yaitu Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naïve Optimism. Untuk menjelaskan bagaimana kecenderungan sikap pegawai berdasarkan tingkatan usia, Tabel 20 menunjukkan pengelompokan klasifikasi rentang kriteria skala global dan 6 (enam) sub-skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI). Tabel 20 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Usia Sub-Skala
Tingkat Usia
N
Mean
Std Deviation
Std. Error Mean ,02329 ,01667 ,02117 ,09821 ,01143
Global Constructive Thinking
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
3,4782 3,4474 3,4238 3,4713 3,4465
,18186 ,17958 ,20417 ,17010 ,18882
Behavoral Coping
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
4,0080 3,9463 3,9525 4,0000 3,9628
,27954 ,29347 ,33709 ,18520 ,30490
,03579 ,02725 ,03495 ,10693 ,01845
Emotional Coping
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
3,4302 3,4152 3,5148 3,3333 3,4516
,30643 ,30297 ,38277 ,10066 ,33368
,03923 ,02813 ,03969 ,05812 ,02020
Personal Superstitious Thinking
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
3,0295 3,0786 3,1230 3,9433 3,0813
,56189 ,53954 ,49533 ,53715 ,52843
,07194 ,05010 ,05136 ,31013 ,03198
Categorical Thinking
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
3,9839 3,9537 3,9727 3,2067 2,9697
,43686 ,41598 ,54478 ,96023 ,47244
,05593 ,03862 ,05649 ,55439 ,02859
Esoteric Thinking
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
2,9795 2,9866 3,0297 3,2967 3,0031
,51957 ,46608 ,57282 ,38188 ,51466
,06652 ,04327 ,05940 ,22048 ,03115
Naïve Optimism
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
3,6152 3,6895 3,5988 3,3333 3,6381
,40025 ,38091 ,33703 ,33501 ,37246
,05125 ,03537 ,03495 ,19342 ,02251
Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std Deviation = nilai simpangan; Std. Error Mean = galat rataan
65
B. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria skala dari Consturctive Thinking Inventory (CTI) Berdasarkan tingkatan usia dapat diketahui bagaimana kondisi penerapan cara berpikir kostruktif diantara pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Setelah sebelumnya menganalisa bagaimana hasil rataan skor dan diperoleh bahwa kecenderungan pegawai memiliki jawaban yang serupa maka untuk mengetahui bagaimana kecenderungan pemikiran konstruktif tersebut berdasarkan skala-skala dalam Constructive Thinking Inventory dilakukan perhitungan rataan masingmasing dan diterjemahkan kedalama klasifikasi rentang kriteria skala, hasil klasifikasi rentang kriteria skala disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Usia Skala
Rentang Nilai dan Arti 33-44 45-56
21-32
Global Constructive 3,48 konstruktif Thinking (GCT) Behavioral Coping 4,00 antusias (BC) Emotional Coping 3,43 terbuka (EC) Personal 3,03 Superstitious netral Thinking (PST) Categorical 3,98 fleksibel Thinking (CaT) Esoteric Thinking 2,98 netral (ET) Naïve Optimism optimis 3,61 (NaO) unrealistis CTI = Constructive Thinking Inventory
>56
3,45
konstruktif
3,42
konstruktif
3,47
konstruktif
3,95
antusias
3,95
antusias
4,00
antusias
3,41
terbuka
3,51
terbuka
3,33
netral
3,08
netral
3,12
netral
3,94
ofensif
3,95
fleksibel
3,97
fleksibel
3,20
netral
2,99
netral
3,03
netral
3,30
netral
3,69
optimis unrealistis
3,60
optimis unrealistis
3,33
netral
Tabel 21 menunjukkan hasil rataan masing-masing skala
yang
diterjemahkan dalam klasifikasi rentang kriteria skala dari Constructive Thinking Inventory berdasarkan tingkatan usia. Pada skala Global Constructive Thinking seluruh tingkatan usia berada pada klasifikasi rentang kriteria yang sama yaitu menunjukkan kemampuan dalam berpikir konstruktif. Pegawai berusia muda maupun tua sama-sama memiliki kemampuan dalam mengatasi stres di tempat kerja karena telah memiliki pikiran yang konstruktif. Hal ini sangat baik, namun perlu jika dilihat dari hasil uji statistik tentunya terdapat selisih perbedaan angka, hal ini ditunjukkan pada rentang usia 21 – 32 yang memiliki nilai paling tinggi,
66
sehingga dapat dikategorikan bahwa pegawai berusia 21 – 32 tahun yang berpikir paling konstruktif dibandingkan rentang usia diatasnya, hal ini sangat beralasan karena pada rentang usia tersebut pegawai masih memiliki semangat dan pemikiran-pemikiran yang positif bagi pekerjaanya. Pada sub-skala Behavioral Coping, pegawai dari seluruh rentang usia memiliki rataan nilai yang sama.
Nilai tersebut masuk ke dalam klasifikasi
rentang kriteria antusias, artinya selalu bersemangat dalam melakukan pekerjaan dan berpikiran positif terhadap segala hal. Sub-skala tersebut tidak hanya menunjukkan sikap antusias saja melainkan juga sikap untuk selalu berpikir positif. Akan tetapi hasil uji statistik menujukkan perbedaan nilai, sehingga jelas bahwa pegawai lebih antusias pada usia 21 – 32 tahun dan kemudian kembali antusia pada rentang usia diatas 56 tahun, artinya baik pegawai yang lebih tua maupun muda memiliki kemampuan tersebut. Hasil sama juga diperoleh pada sub-skala pengukuran Emotional Coping, pegawai berusia 21-56 tahun memiliki rataan nilai yang masuk pada klasifikasi rentang kriteria terbuka, artinya tidak mudah tersinggung apabila menghadapi kritikan atau celaan dari sesama rekan kerja maupun atasan. Nilai uji statistik menunjukkan bahwa pegawai pada rentang usia 45 - 56 tahun memiliki sikap yang sangat terbuka. Hal ini mengindikasikan bahwa pada usia tersebut pegawai sudah memiliki pengalaman kerja yang cukup sehingga sangat terbuka terhadap permasalahan dan situasi dalam pekerjaan. Sikap ini penting untuk menghindari perselisihan yang dapat memicu stres akibat dari ketidak-terimaan karena diperlakukan tidak benar. Pegawai yang memiliki
kemampuan tersebut akan
dapat mengelola emosi dengan baik sehingga dapat mengatasi tekanan yang dihadapinya. Sementara pegawai pada rentang usia diatas 56 tahun menunjukkan klasifikasi rentang kriteria netral, artinya pada usia tersebut pegawai lebih tenang dalam melakukan pekerjaannya karena lebih kepada persiapan menjelang masa pensiun. Pada sub-skala Personal Superstitious Thinking, pegawai berusia 21-56 tahun memiliki rata-rata jawaban yang serupa yaitu berada pada kriteria netral. Pada rentang kriteria tersebut, baik pegawai yang berusia tua maupun muda tidak berusaha mencari solusi dari permasalahan dan cenderung hanya bersifat netral.
67
Akan tetapi dari hasil uji statistik kenyataannya menunjukkan hasil nilai yang berbeda, dimana pada pegawai berusia diatas 56 tahun lebih memiliki sikap ofensif terhadap permasalahan yang dihadapinya dibandingkan dengan rentang usia dibawahnya. Hasil
perhitungan
rataan
pada
sub-skala
Categorical
Thinking
menunjukkan perbedaan sikap antara pegawai dengan rentang usia 21-56 tahun dengan pegawai berusia di atas 56 tahun. Pegawai berusia 21-56 tahun cenderung bersikap fleksibel artinya tidak melihat sesuatu dengan kacamata hitam dan putih. Sementara pegawai berusia di atas 56 tahun cenderung lebih netral. Pada sub-skala Esoteric Thinking, pegawai berusia diatas 56 tahun masuk dalam klasifikasi rentang kriteria yang memiliki kemampuan berpikiran logis dibandingkan pegawai usia, tidak cepat terpengaruh sesuatu yang di luar akal sehat namun kadang tidak logis juga. Hal ini dikarenan pada usia tersebut sudah memiliki pengalaman kerja yang banyak, sehingga memiliki pemikiran lebih ke depan, dengan demikian pegawai tersebut lebih percaya pada kemampuan sendiri dan dapat menyelesaikan pekerjaan yang diberikan tetapi tanpa percaya akan halha diluar kewajaran. Pada sub-skala terakhir yaitu Naïve Optimism, pegawai dengan rentang usia 21-56 tahun cenderung lebih optimis yang berlebihan dan tidak realistis dibandingkan dengan pegawai berusia di atas 56 tahun. Sikap optimis unrealistis dapat berarti bersedia untuk menerima tanggung jawab lebih besar karena merasa memiliki keterampilan yang dibutuhkan namun terlalu berlebihan sehingga terkadang berpkir tidak realistis. Sementara itu bagi pegawai berusia di atas 56 tahun sudah merasa nyaman dengan kondisi yang diperoleh saat ini dan cenderung lebih bersikap netral. Sikap optimis apabila berlebihan dapat menjadi pendorong terjadinya stres apalagi jika dibarengi dengan pikiran yang tidak realistis. C. Hasil Perhitungan ANOVA Tabel 22 merupakan hasil perhitungan berdasarkan metode ANOVA yang menunjukkan bahwa nilai signifikansi (p) yang diperoleh baik untuk skala Global Constructive Thinking maupun enam sub-skala lainnya berada di atas 0,1, dengan hasil ini maka hipotesis nol diterima, artinya tidak terdapat perbedaan nyata yang 68
signifikan berdasarkan usia terhadap hasil enam sub-skala dan skala global dari Constructive Thinking Inventory (CTI) dalam strategi menanggulangi stres kerja pada pegawai di Dinas Kesehatan Kota Bogor. Pegawai berusia tua maupun muda memiliki sikap yang tidak berbeda dalam menanggulangi stres kerja yang dialami. Tabel 22 Hasil ANOVA untuk perbedaan Usia Skala
F 1.041 0.609 1.800 0.455 0.313 0.488 1.844
Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
Hasil df 272 272 272 272 272 272 272
p 0.375 0.610 0.148 0.714 0.816 0.691 0.140
Hipotesis Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0
Keterangan: F = nilai uji-F; df = derajat kebebasan; p = nilai kemungkinan
Pada skala Global Constructive Thinking, nilai probabilitasnya sebesar 0,375 berada diatas batas nilai signifikan 0,1. Hasil ini menunjukkan bahwa seluruh pegawai dari berbagai tingkatan usia sama-sama mampu berpikiran konstruktif sehingga mampu beradaptasi dengan kondisi stres kerja yang dialami. Pegawai tersebut mampu menerima perbedaan yang ada terutama perbedaan usia dan dapat mengontrol emosi sebaik mungkin. Sedangkan pada sub-skala Behavioral Coping, nilai p sebesar 0,610 juga masuk dalam kriteria signifikansi 90%. Hasil ini mengindikasikan bahwa pegawai berusia tua maupun muda, memiliki sikap yang antusias dan enerjik sehingga sama-sama mampu menanggulangi stres di tempat kerja. Hasil yang diperoleh pada sub-skala Emotional Coping, nilai p sebesar 0,148 masuk dalam kriteria berada pada batas nilai diatas signifikasi 0,1, sehinga terima H0 artinya tidak terdapat perbedaan nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan usia tidak ada kaitannya dengan kemampuan adaptasi pegawai dalam menghadapi stres kerja. Selain itu hal tersebut juga menunjukkan bahwa kemampuan pegawai untuk tidak mudah tersinggung (tidak sensitif) dan tidak memikirkan kegagalan masa lalu tidak didasarkan pada pertambahan usia. Semakin tua tidak berarti semakin mampu untuk melupakan kegagalan yang pernah dialami.
69
Pada sub-skala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking juga menunjukkan hasil yang sama, nilai p masing-asing subskala tersebut berada diatas nilai 0,1 yaitu sebesar 0,714; 0,816 dan 0,691 yang berarti menerima hipotesis nol. Hasil ini menggambarkan bahwa sikap defensif pegawai dalam menghadapi suatu masalah (Personal Superstitious Thinking), kecenderungan untuk berpikir kaku (Categorical Thinking) serta kecenderungan untuk berpikir logis (Esoteric Thinking), tidak berbeda antara pegawai dari seluruh tingkatan usia. Hal yang sama juga terjadi pada pengukuran berdasarkan sub-skala Naïve Optimism, nailai p sebesar 0,140 berada diatas nilai 0,1, sehingga hipotesis nol diterima. Keadaan ini menggambarkan bahwa sikap optimis dan kecenderungan selalu bersemangat dalam menyelesaikan pekerjaan yang diberikan (Naïve Optimism), tidak berbeda untuk seluruh pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor dari berbagai tingkatan usia. Kondisi ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Siebert (1996) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan nyata dalam cara menanggulangi stres kerja
seiring bertambahnya usia. Demikian pula dengan pernyataan Epstein
(1998) yang mengungkapkan bahwa cara pegawai dalam menanggulangi stres kerja berkembang sejalan dengan bertambahnya usia. Perkembangan ini berhubungan dengan proses maturity yang dialami pegawai, semakin bertambah usia, pegawai akan semakin bijaksana dalam menghadapi persoalan. Namun demikian, hasil penelitan pada Dinas Kesehatan Kota Bogor menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat perberdaan nyata yang signifikan dalam menanggulangi stres kerja seiring dengan tingkatan usia pegawai, hal ini tidak dapat digeneralisasi bahwa menanggulangi stres kerja berkembang sejalan dengan bertambahnya usia pada setiap pegawai,
kecuali pegawai
tersebut mampu
memanfaatkan proses ini dengan baik. Kenyataan yang didapat tidak sejalan dengan hasil penelitian Siebert (1999) yang menemukan juga
bahwa ada
hubungan langsung antara stres dan usia pekerja Kenyataan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara pegawai berusia tua dan muda dalam menanggulangi stres di Dinas Kesehatan Kota Bogor dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
70
1. Seluruh pegawai di Dinas Kesehatan Kota Bogor merupakan pegawai negeri dengan tingkat keterjaminan kerja yang tinggi (high job security). Kondisi ini merupakan kenyamanan bagi seluruh pegawai, akibatnya tingkat stres kerja yang dialami tidak terlalu tinggi. Kanfer dan Hulin (1985) menyatakan suatu teori bahwa terdapat korelasi/hubungan langsung antara depresi dan kondisi saat kehilangan pekerjaan di usia senja. Teori tersebut tidak terbukti pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor, karena baik pegawai berusia tua maupun muda tidak khawatir kehilangan pekerjaan atau tergantikan dengan pegawai yang lebih muda usianya karena sebagai PNS sudah ada peraturan yang telah ditetapkan untuk masing-masing porsi pekerjaan baik bagi tingkat usia tua maupun muda. Apabila faktor pemicu stres tersebut dapat diminimalkan maka wajar jika tidak terdapat perbedaan antara pegawai berusia tua dan muda dalam menanggulangi stres. 2. Tidak banyak pekerjaan yang membutuhkan tingkat keterampilan tinggi untuk menyelesaikannya, akibatnya baik pegawai usia muda maupun tua mampu mengerjakannya dengan baik, sehingga tidak memicu timbulnya stres akibat ketidakmampuan dalam menyelesaikan pekerjaan. Jenis pekerjaan yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Bogor tidak banyak berhubungan dengan peralatan dengan tingkat komputerisasi yang tinggi dan lebih ditekankan pada jasa pelayanan administrasi dan kesehatan. Hal ini menyebabkan semua pekerjaan dapat dilakukan oleh pegawai dari berbagai tingkatan usia. Karena hubungan antar pribadi yang cukup baik di
Dinas Kesehatan Kota Bogor dapat meminimalkan perubahan
kemajuan teknologi yang terjadi diantara pegawai berusia tua mupun muda sehingga dapat dengan mudah saling memahami dan tidak menimbulkan stress dalam pekerjaan yang dilakukan. Kondisi ini yang semakin menguatkan kenyataan bahwa tidak terdapat perbedaan antara pegawai berusia tua maupun muda dalam menanggulangi stres. 3. Komunikasi yang cukup baik antara atasan dan bawahan lintas generasi di Dinas Kesehatan Kota Bogor juga mendukung kenyataan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam cara menangulangi stres berdasarkan tingkatan
71
usia. Ketidakmampuan atasan dalam cara mengkomunikasikan suatu pekerjaan kepada pegawai berbeda generasi (pegawai berusia tua dan muda) sering menjadi pemicu terjadinya salah pengertian yang berakibat pada stres yang dialami bawahan. Hal ini seiring dengan pernyataan Kennedy (1998) bahwa komunikasi antar generasi berarti membawa pesan dengan cara yang berbeda sehingga setiap pendengar mampu mengerti apa yang disampaikan dengan baik. Ini adalah keterampilan yang harus dimiliki setiap manajer agar mampu berkomunikasi secara efektif dengan pendengar berbeda usia dan meminimalkan isu stres kerja yang dapat ditimbulkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa baik pegawai dengan jabatan lebih tinggi maupun bawahan dengan beda generasi pada Dinas Kesehatan Kota Bogor terbukti memiliki kemampuan komunikasi yang baik, sehingga seluruh perintah yang diberikan dapat diterima dengan jelas oleh bawahan yang berbeda generasi, akibatnya efek stres yang timbul karena ketidakjelasan komunikasi dalam pekerjaan dapat diminimalkan. 4. Minimnya kondisi persaingan yang terjadi pada Dinas Kesehatan Kota Bogor karena tingkat keterjaminan kerja yang tinggi (high job security) sehingga tidak memicu timbulnya stres kerja diantara pegawai. Bagi PNS, pengisian posisi jabatan tertentu lebih banyak ditentukan oleh masa kerja, akibatnya pegawai berusia muda lebih santai dalam melakukan pekerjaan karena keyakinan bahwa suatu saat nanti pasti akan menduduki jabatan tertentu apabila masa kerjanya sudah lebih lama. Sebaliknya pegawai berusia tua juga tidak merasa terancam dengan kehadiran pegawai yang lebih muda, sehingga tidak memicu timbulnya stres. Pegawai berusia tua dan muda mengalami kondisi persaingan rendah yang tidak memicu timbulnya stres sehingga wajar jika tidak terdapat perbedaan faktor usia dalam menanggulangi stres. Pada pola kepegawaian di pemerintahan, usia menjadi salah satu faktor penentu untuk mencapai jabatan tertentu. Faktor usia dan pengalaman sering dijadikan pedoman bagi penilaian pegawai yang bersangkutan untuk memegang tanggung jawab yang lebih berat seperti memimpin sebuah departemen atau divisi, walaupun pada kenyataanya seringkali tidak demikian. Pada kasus ini
72
terbukti bahwa faktor usia di dinas pemerintahan khususnya pada Dinas Kesehatan Kota Bogor sangat lekat kaitannya dengan pengalaman. Masa kerja yang lebih lama memberikan peluang lebih besar bagi pegawai untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. 5.3.3
Analisis Perbedaan Tingkat Pendidikan terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) Mirowsky dan Ross (1989) mengungkapkan bahwa pegawai yang
memperoleh pendidikan lebih tingi cenderung memperoleh kemampuan lebih baik dalam mengontrol emosi. Kemampuan ini dapat membantu pegawai dalam mengatasi stres yang dialami di tempat kerja. Ketika mendapatkan permasalahan di tempat kerja, pegawai dengan tingkat pendidikan lebih tinggi lebih mampu dalam mencari solusi permasalahan. Berdasarkan hal itu maka perlu dilakukan analisis mengenai apakah terdapat perbedaan dalam menganggulangi stres berdasakan tingkat pendidikan di Dinas Kesehatan Kota Bogor khususnya bagi pegawai bergelar sarjana dan non-sarjana. A. Hasil Rataan Skor Tabel 23 menunjukkan nilai rataan dan standar deviasi untuk seluruh subskala pengukuran, terlihat bahwa pada sub-skala Personal Superstitious Thinking dan Naïve Optimism terdapat perbedaan nilai rataan antara pegawai bergelar sarjana dan non-sarjana. Pada sub-skala Personal Superstitious Thinking, nilai rataan pengukuran sarjana 2,97 sedangkan non-sarjana 3,13, terdapat perbedaan nilai sebesar 0,14. Perbedaan nilai tersebut diduga dapat menyebabkan perbedaan pada hasil ANOVA. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh sub-skala NaO, nilai pengukuran sarjana 3,56 sedangkan non-sarjana 3,67 terdapat perbedaan nilai rataan sebesar 0,11. Sementara pada sub-skala lain, perbedaan nilai hanya berkisar antara 0,02 – 0,09. Hasil rataan skor yang ditunjukkan pada Tabel 23, menunjukkan jawaban yang mengarah ke nilai 4 untuk skala Behavioral Coping, Emotional Coping dan Naïve
Optimism,
sementara
sub-skala
Personal
Superstitious
Thinking,
Categorical Thinking dan Esoteric Thinking, mengarah ke nilai 3. Kecenderungan ini sangat beralasan karena pada sub-skala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking, terdiri dari pernyataan-pernyaaan 73
yang cenderung negatif, sehingga jawaban pegawai lebih mengarah pada penolakan atau skala pengukuran yang lebih kecil. Namun demikian hasil tersebut harus dikonfirmasi melalui hasil rataan skor berdasarkan penggolongan sikap dalam Constructive Thinking Inventory, sehingga diperoleh kecenderungan sikap pegawai yang lebih akurat. Tabel 23 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Tingkat Pendidikan Sub-Skala Global Constructive Thinking Behavoral Coping Emotional Coping Personal Superstitious Thinking Categorical Thinking Esoteric Thinking Naïve Optimism
Tingkat Pendidikan Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana
N
Mean 92 181 92 181 92 181 92 181 92 181 92 181 92 181
3,4314 3,4542 3,9782 3,9550 3,4230 3,4661 2,9760 3,1348 2,9387 2,9855 3,0645 2,9719 3,5653 3,6751
Std.Dev ,19240 ,18704 ,31382 ,30084 ,35393 ,32295 ,51968 ,52619 ,46687 ,47575 ,55893 ,48930 ,36061 ,37390
Std. Error Mean ,02006 ,01390 ,03272 ,02236 ,03690 ,02400 ,05418 ,03911 ,04867 ,03536 ,05827 ,03637 ,03760 ,02779
Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std Deviation = nilai simpangan; Std. Error Mean = galat rataan
B. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari Constructive Thinking Inventory (CTI) Tabel 24 menunjukkan hasil klasifikasi rentang kriteria skala dari Constructive Thinking Inventory untuk skala global dan 6 (enam) sub-skala berdasarkan perbedaan tingkat pendidikan. Pada skala Global Constructive Thinking, pegawai lulusan sarjana dan non-sarjana memiliki rataan nilai yang sama dan masuk pada klasifikasi rentang kriteria konstruktif. Artinya pegawai dengan gelar sarjana maupun non sarjana di Dinas Kesehatan Kota Bogor telah mampu berpikiran konstruktif. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan nilai 0,02 lebih besar pada pegawai non sarjana, hal ini dapat dikategorikan bahwa pegawai non sarjana lebih berpikiran konstruktif daripada pegawai sarjana. Artinya pegawai non sarjana cenderung mampu mengendalikan emosi dengan baik dan dapat menghindari stres kerja. Kondisi ini sangat penting terutama dalam mengatasi stres yang terjadi di tempat kerja.
74
Berdasarkan sub-skala Behavioral Coping, diperoleh nilai 3,98 untuk pegawai bergelar sarjana dan 3,95 untuk non sarjana. Keduanya sama-sama menunjukkan klasifikasi rentang kriteria bersikap antusias, namun hasil uji statistis menunjukkan selisih nilai 0,03 lebih pegawai sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai sarjana memiliki sikap antusias lebih baik daripada pegawai non sarjana. Sikap ini diperlukan terutama untuk tetap menjaga semangat dalam bekerja, rasa antusias terhadap pekerjaan diperlukan agar pegawai tidak cepat bosan dan tertekan dalam mengerjakan tugas yang diberikan. Kebosanan dan perasaan tertekan dapat memicu timbulnya stres di tempat kerja. Sikap antusiasme yang tinggi akan membantu pegawai terhindar dari stres kerja. Tabel 24 Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Tingkat Pendidikan Skala Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET)
3,43 3,98 3,42 2,98 2,93 3,06
Naïve Optimism (NaO)
3,56
Rentang Nilai dan Arti Sarjana Non Sarjana konstruktif 3,45 konstruktif antusias 3,95 antusias terbuka 3,47 terbuka netral 3,13 netral netral 2,98 netral netral 2,97 netral optimis optimis 3,67 unrealistis unrealistis
Untuk sub-skala Emotional Coping, baik pegawai bergelar sarjana maupun non-sarjana masuk pada klasifikasi rentang kriteria berpikir terbuka, artinya keduanya tidak mudah tersinggung apabila menghadapi penolakan atau kritikan. Akan tetapi hasil uji statistik menunjukkan selisih perbedaan nilai sebesar 0,05, lebih tinggi pada pegawai non sarjana, hal ini mengindikasikan bahwa pegawai non sarjana lebih bersikap terbuka daripada pegawai sarjana. Pegawai non sarjana lebih terbuka dalam menerima masukan dan kritikan terkaiat kemajuan dalam pekerjaannya. Dengan memiliki sikap seperti ini maka pegawai tersebut mampu mengaplikasikan salah satu strategi penanggulangan stres kerja dengan baik. Pada sub-skala Personal Superstitious Thinking, pegawai sarjana maupun non sarjana sama-sama masuk pada klasifikasi rentang kriteria bersikap netral. Sikap ini menunjukkan sikap kurang pro-aktif memecahkan suatu permasalahan di tempat kerja dan cenderung menunggu atau bahkan lepas tangan terhadap 75
beban pekerjaan yang diterima. Pada kenyataannya, hasil uji statistik menunjukkan nilai yang berbeda dengan selisih sebesar 0,15 lebih tinggi pada pegawai non sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai non sarjana lebih menerima permasalahan sebagai tantangan demi kemajuan pekerjaannya dibandingkan dengan pegawai sarjana. Rataan nilai 2,93 dan 2,98 untuk pegawai bergelar sarjana dan non sarjana diperoleh melalui pengukuran terhadap sub-skala Categorical Thinking. Sub-skala tersebut mengukur sejauh mana pegawai mampu menghadapi suatu permasalahan dan hasilnya menunjukkan bahwa keduanya masuk dalam klasifikasi rentang kriteria berpikiran netral atau kurang fleksibel tetapi tidak terlalu kaku. Kaku dalam arti kurang mampu berpikir di luar konteks untuk menemukan suatu solusi permasalahan. Keduannya cenderung melakukan pendekatan permasalahan dengan cara yang sama dan kurang improvisasi. Akan tetapi hasil uji statistis menunjukkan perbedaan nilai lebih tinggi pada pegawai non sarjana yaitu sebesar 0,05, hal ini menunjukkan bahwa pegawai non sarjana lebih bersikap fleksibel daripada pegawai sarjana. Pada sub-skala Esoteric Thinking, seluruh pegawai yang bergelar sarjana maupun non-sarjana memiliki nilai rataan 3,06 dan 2,97. Nilai ini digolongkan pada klasifikasi rentang kriteria netral. Artinya keduanya sangat percaya akan sesuatu yang dapat dijelaskan dengan akal sehat walaupun juga kadang percaya hal-hal gaib. Sikap percaya akan kemampuan yang dimiliki akan membuat pegawai lebih semangat dalam menghadapi pekerjaan dan tidak menghalalkan segala cara untuk memperoleh sesuatu. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan nilai uji lebih tinggi pada pegawai sarjana, yaitu selisih sebesar 0,09. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi lebih dapat berpikir logis sehingga tidak percaya akan hal-hal diluar kewajaran dibandingkan pegawai non sarjana. Sub-skala Naïve Optimism berhubungan dengan tingkatan optimisme pegawai dalam mengerjakan sesuatu. Pegawai bergelar sarjana dan non-sarjana sama-sama memiliki klasifikasi rentang kriteria kecenderungan bersikap optimis unrealistis, yaitu nilai sebesar 3,56 pada pegawai sarjana dan 3,67 pada pegawai non sarjana. Kecenderungan sikap ini dimungkinkan jika pegawai terpaksa
76
menerima suatu pekerjaan yang di luar kemampuannya namun tetap bersemangat untuk menyelesaikannya, akibatnya jika pekerjaan tidak selesai cenderung mencari penyelesaian dengan cara-cara yang tidak realistis, sehingga jika hasil kerja tidak sesuai yang diharapkan dapat memicu timbulnya stres kerja. Hasil uji statistik menunjukkan nilai uji lebih besar pada pegawai non sarjana dengan selisih perbedaan nilai sebesar 0,11. Artinya pegawai non sarjana lebih dapat bersikap optimis realistis dibandingkan pegawai sarjana. C. Hasil Perhitungan ANOVA Tabel 25 menunjukkan bahwa pada skala global (Global Constructive Thinking) dan 4 (empat) sub-skala (Behavioral Coping, Emotional Coping, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking) nilai probabilitas (p) berada diatas 0,1 yang berarti terima hipotesis nol atau tidak terdapat perbedaan nyata yang signifikan pada tingkat pendidikan terhadap skala Global Constructive Thinking dan 4 (empat) sub-skala Behavioral Coping, Emotional Coping, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking dalam strategi menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Nilai mutlak t-value untuk skala-skala tersebut juga berada dibawah 1,96 yang merupakan batas atas tingkat signifikansi 90%, sehingga masuk pada kriteria terima hipotesis nol. Berbeda dengan hasil perhitungan ANOVA terhadap skala global dan 4 (empat) sub-skala diatas, maka didapatkan dua sub-skala yang memperoleh nilai p dibawah 0,1, yaitu Personal Superstitious Thinking dan Naïve Optimism dengan nilai masing-masing 0,019 dan 0,021, serta memiliki nilai mutlak t-value berada diatas 1,96. Hasil ini masuk dalam kriteria tolak hipotesis nol. Dengan nilai tersebut artinya terdapat perbedaan nyata yang signifikan dalam menanggulangi stres berdasarkan tingkat pendidikan pada pernyataan yang menunjukkan sikap defensif Personal Superstitious Thinking (PST) dan pernyataan optimisme Naïve Optimism (NaO), sebagaimana dapat dilihat hasilnya pada Tabel 25.
77
Tabel 25 Hasil ANOVA untuk perbedaan Tingkat Pendidikan Hasil Skala
Hipotesis t-value df p ≥ 1,96 Global Constructive Thinking (GCT) -0.942 271 0.347 Terima H0 Behavioral Coping (BC) Terima H0 0.593 271 0.554 Emotional Coping (EC) Terima H0 -1.007 271 0.315 Personal Superstitious Thinking (PST) Tolak H0 -2.367 271 0.019 Categorical Thinking (CaT) Terima H0 -0.773 271 0.440 Esoteric Thinking (ET) Terima H0 1.407 271 0.160 Naïve Optimism (NaO) Tolak H0 -2.320 271 0.021 Keterangan: t-value = nilai uji-t; df = derajat kebebasan; p = nilai kemungkinan
Hasil perhitungan pada skala Global Constructive Thinking dan 4 (empat) sub-skala diatas menunjukkan bahwa perbedaan tingkat pendidikan tidak ada kaitannya dengan sikap pegawai dalam berpikir konstruktif. Setiap pegawai dari berbagai jenjang pendidikan memiliki kemampuan yang sama dalam menerima perbedaan di tempat kerja dan sanggup mengontrol emosi saat menghadapi suatu permasalahan. Sifat-sifat tersebut tidak meningkat seiring dengan naiknya tingkat pendidikan yang dimiliki pegawai. Hasil analisis ANOVA pada empat sub-skala juga tidak menunjukkan perbedaan berdasarkan tingkat pendidikan. Sub skala tersebut adalah sikap antusias dan enerjik (Behavioral Coping), tidak mudah tersinggung atau tidak sensitif (Emotional Coping), bersikap kaku atau fleksibel (Categorical Thinking) dan kemampuan berpikir logis (Esoteric Thinking). Hal ini membuktikan bahwa berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, pegawai sarjana maupun non-sarjana tidak memiliki perbedaan dalam cara berpikirnya. Pada sub-skala Behavioral Coping, hasil signifikan yang diperoleh yaitu nilai p sebesar 0,554 menunjukkan bahwa sikap antusias dan enerjik dalam menghadapi tantangan tidak berkembang sejalan dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Pegawai bergelar sarjana maupun non-sarjana dapat memiliki sikap optimis, antusias dan enerjik dalam rangka menanggulangi stres kerja. Sama halnya dengan perhitungan pada sub-skala Categorical Thinking dan Esoteric Thinking dengan nilai probabilitas masing-masing sebesar 0,44 dan 0,16 menunjukkan bahwa perbedaan tingkat pendidikan tidak memiliki kaitan dengan sikap tidak percaya, tidak toleran (kaku) dan kecenderungan mempercayai
78
fenomena yang tidak logis dari setiap pegawai. Perbedaan tingkat pendidikan tidak menjadi halangan bagi setiap pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor untuk mengembangkan sikap dalam menanggulangi stres di tempat kerja. Pada sub-skala Emotional Coping, hasil ini menunjukkan bahwa pegawai yang bergelar sarjana maupun non-sarjana memiliki kemampuan yang tidak berbeda terhadap cara mereka dalam beradaptasi menghadapi stres kerja. Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan Mone (2000) yang mengungkapkan bahwa pendidikan formal memberikan bekal yang berguna bagi pegawai agar mampu berkompetisi di dunia pekerjaan dengan baik. Pekerja yang memiliki kompetensi lebih tinggi akan cepat beradaptasi dengan pekerjaan sehingga terhindar dari stres di tempat kerja. Berlatarbelakang dari pernyataan Mone (2000) tersebut, pernyataan tolak H0 pada kategori Personal Superstitious Thinking mengindikasikan cara pandang yang berbeda antara pegawai bergelar sarjana dan non-sarjana terhadap kecenderungan pikiran yang negatif. Sebagai contoh pernyataan kecenderungan pegawai untuk bertindak defensif dalam melihat sebuah permasalahan dibandingkan melihatnya sebagai sebuah tantangan. Bagi pegawai yang memperoleh pendidikan sarjana, kemampuan manajerial menjadi salah satu pokok bahan pengajaran, sehingga lulusan bergelar sarjana lebih mampu menghadapi permasalahan di tempat kerja dengan baik dan cenderung melihatnya sebagai sebuah tantangan yang harus diselesaikan. Sementara pegawai lulusan D2, D3 atau bahkan SLTA yang memiliki kemampuan lebih baik dalam menyelesaikan tugas
administratif
cenderung
bersifat
defensif
dalam
melihat
sebuah
permasalahan. Berdasarkan hasil rataan dari uji statistik dalam penelitian ini didapatkan perbedaan nilai lebih besar pada pegawai non sarjana, hal ini mengindikasikan bahwa pegawai non sarjana lebih bersikap ofensif dibandingkan dengan pegawai sarjana, karena merasa memiliki latar belakang pendidikan yang belum maksimal sehingga pegawai non sarjana lebih bersikap ofensif terhadap masukan dan permasalahan yang ada dan dijadikannya sebagai sebuah tantangan yang harus dikejarnya demi kemajuan dalam pekerjaannya. Sementara pada pegawai sarjana, karena merasa sudah memiliki latar belakang pendidikan yang lebih baik, maka
79
setiap kali ada permasalahan atau perubahan dalam pekerjaannya dianggap sebuah ancaman yang akan merubah kondisi yang sudah dianggapnya baik. Dari hasil uji diatas dapat disimpulkan bahwa tidak selalu tepat apabila dikatakan bahwa pegawai yang berlatar belakang sarjana dapat menghasilkan pemikiran yang positif dan bersikap lebih baik daripada pegawai yang berlatar belakang non sarjana. Sub-skala pengukuran lain yang menunjukkan perbedaan nyata yang signifikan
adalah
Naïve
Optimism,
dimana
sub-skala
pengukuran
ini
mengindikasikan tingkatan dimana pegawai berpikir optimis yang tidak realistis. Pernyataan tolak H0 pada kategori ini menunjukkan ada perbedaan dalam cara menghadapi stres antara pegawai bergelar sarjana dan non-sarjana khususnya dalam berpikir optimis menghadapi suatu permasalahan. Sejalan dengan penjelasan pada kategori Personal Superstitious Thinking, maka cara pandang pegawai bergelar sarjana dalam menghadapi masalah sebagai sebuah ancaman sering membuat pegawai yang bersangkutan merasa optimis yang berlebihan dan cenderung tidak realistis. Sisi baiknya, pegawai tersebut akan cenderung memiliki semangat tinggi dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan, sedangkan sisi buruknya akan lebih mudah stres ketika menghadapi kegagalan atau kenyataan yang tidak menyenangkan. Sementara pegawai bergelar non-sarjana tidak mudah stres karena memang
permasalahan
yang
ada
dijadikan
tantangan
demi
kemajuan
pekerjaannya sehingga terhindar dari kemungkinan kegagalan yang menjadi penyebab stres. Perbedaan hasil pengukuran ANOVA untuk sub skala Personal Superstitious Thinking dan Naïve Optimism dengan hasil rataan skor pada klasifikasi rentang kriteria cukup beralasan. Perbedaan tersebut disebabkan karena faktor pengukuran dalam metode statistika sangat memperhitungkan perbedaan nilai sekecil apapun. Dengan perhitungan rataan yang berbeda maka hasil perhitungan ANOVA menunjukkan perbedaan juga. Jadi meskipun masuk pada rentang kriteria yang sama, tetap memiliki perbedaan berdasarkan perhitungan uji statistik ANOVA.
80
5.3.4
Analisis Perbedaan Jenis Kelamin Pegawai Sarjana dan Non Sarjana terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI)
A. Hasil Rataan Skor Pada pembahasan ini akan dianalisa lebih dalam apakah terdapat perbedaan jenis kelamin pada pegawai bergelar sarjana dan non sarjana di Dinas Kesehatan Kota Bogor terhadap hasil dari perhitungan Constructive Thinking Inventory (CTI). Tabel 26 menunjukkan nilai rataan dan standar deviasi yang diperoleh pada perhitungan ANOVA. Hasilnya menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak ada perbedaan nilai rataan, baik pada pegawai pria dan wanita bergelar sarjana maupun pegawai pria dan wanita bergelar non sarjana. Ini mengindikasikan bahwa secara rata-rata tidak ada perbedaan persepsi terkait dengan sejauh mana pegawai di Dinas Kesehatan Kota Bogor telah berpikiran konstruktif. Hasil perhitungan rataan belum menunjukkan secara rinci perbedaan yang terjadi terkait dengan persepsi mengenai metode Constructive Thinking Inventory (CTI) di Dinas Kesehatan Kota Bogor, namun kesimpulan sementara yang diperoleh adalah kecenderungan jawaban pegawai yang berbeda jenis kelamin tersebut berkisar di nilai 3 atau nilai tengah yang menyatakan cenderung netral, . perhitungan ANOVA disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin pegawai Sarjana dan Non Sarjana
Sub-Skala
Jenis Kelamin
Sarjana N
Mean
Std.Dev
Non Sarjana N
Mean
Pria 22 3,3824 ,23817 63 3,4444 70 3,4655 ,24032 118 3,4594 Wanita Pria 22 3,8929 ,26059 63 3,9399 Behavoral Coping 70 4,0378 ,40675 118 3,9516 Wanita Pria 22 3,2891 ,28524 63 3,3829 Emotional Coping 70 3,3394 ,19605 118 3,4281 Wanita Pria Personal Superstitious 22 2,8561 ,50473 63 2,9788 Thinking 70 2,8857 ,49355 118 2,9732 Wanita Pria 22 ,34632 63 2,8581 2,9176 Categorical Thinking 70 ,25530 118 2,8347 2,7848 Wanita Pria 22 2,9129 ,33578 63 2,9524 Esoteric Thinking 70 2,8976 ,29528 118 2,9386 Wanita Pria 22 3,6061 ,36043 63 3,5619 Naïve Optimism 70 3,5229 ,35597 118 3,6407 Wanita Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std.Dev = nilai simpangan Global Constructive Thinking
81
Std.Dev ,16527 ,19816 ,20007 ,32430 ,23694 ,23443 ,43942 ,41572 ,28690 ,27133 ,25166 ,26586 ,28904 ,33476
B. Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin berdasarkan pegawai Sarjana dan Non Sarjana Tabel 27 menunjukkan hasil ANOVA untuk perbedaan jenis kelamin berdasarkan tingkat pendidikan. Berdasarkan perhitungan ANOVA pada pegawai pria dan wanita bergelar sarjana didapat hasil nilai p dibawah 0,1 pada sub-skala Categorical Thinking sehingga tolak hipotesis nol, artinya terdapat perbedaan nyata yang signifikan. Hasil tersebut didukung dengan hasil rataan dimana diperoleh hasil nilai rataan lebih besar pada pegawai pria bergelar sarjana yaitu sebesar 2,91 sementara
pegawai wanita sebesar 2,78, meskipun nilai rataan
masuk dalam klasifikasi rentang kriteria netral, akan tetapi secara hasil uji statistik didapatkan selisih nilai sebesar 0,13 lebih tinggi pada pegawai pria bergelar sarjana. Hasil ini menunjukkan bahwa pegawai pria bergelar
sarjana lebih
berpikir fleksibel baik dalam melakukan pekerjaan maupun dalam mengambil keputusan dibandingkan pegawai wanita bergelar sarjana yang emosinya lebih mempengaruhi dalam melakukan pekerjaan maupun dalam pengambilan keputusan, Hasil ini sejalan dengan pernyataan dari Mirowsky dan Ross (1989) yang mengungkapkan bahwa individu yang memperoleh pendidikan lebih tinggi cenderung memperoleh kemampuan lebih baik dalam mengontrol emosi. Artinya pegawai bergelar sarjana baik pria dan wanita lebih memiliki kemampuan mengontrol emosinya sehingga dapat membantu pegawai tersebut dalam mengatasi stres yang dialami di tempat kerja, ketika mendapatkan permasalahan di tempat kerja, individu dengan tingkat pendidikan lebih tinggi lebih mampu dalam mencari solusi permasalahan yang dihadapinya. Sementara itu hasil ANOVA pada pegawai pria dan wanita bergelar non sarjana ditemukan hasil yang tidak berbeda nyata, hal ini didukung dengan hasil p diatas 0,1 atau dengan kata lain terima hipotesis nol untuk seluruh skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI). Dengan demikian, pegawai pria dan wanita bergelar non sarjana memiliki persepsi yang cenderung sama mengenai hasil dari penilaian cara berpikir konstruktif dan dalam penanggulangan stres kerja di Dinas Kesehatan Kota Bogor.
82
Tabel 27 Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin berdasarkan pegawai Sarjana dan Non Sarjana Sarjana
Non Sarjana
tvalue ≥ 1,96
p
Hipotesis
t-value ≥ 1,96
p
Hipotesis
-1.417
0.160
Terima H0
-0.511
0.610
Terima H0
-1.569
0.120
Terima H0
-0.260
0.795
Terima H0
-0.936
0.352
Terima H0
-1.233
0.219
Terima H0
-0.245
0.807
Terima H0
0.086
0.932
Terima H0
1.946
0.055
Tolak H0
0.541
0.589
Terima H0
0.205
0.838
Terima H0
0.339
0.735
Terima H0
Naïve Optimism (NaO) 0.953 0.343 Terima H0 Keterangan: t-value = nilai uji-t; p = nilai kemungkinan
-1.579
0.116
Terima H0
Skala Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET)
5.3.5
Analisis Perbedaan Jenis Kelamin Pegawai Sarjana dan Non Sarjana berdasarkan Usia terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) Setelah diketahui bahwa terdapat perbedaan nyata yang signifikan antara
pegawai pria dan wanita bergelar sarjana dalam mempersepsikan hasil dari Constructive Thinking Inventory (CTI), maka selanjutnya dilakukan perhitungan lebih rinci dengan membagi jenis kelamin berdasarkan kelompok usia dan tingkat pendidikan. Dengan perhitungan ini diharapkan terdapat perbedaan persepsi antara pegawai pria dan wanita berdasarkan rentang usia dan tingkat pendidikannya. Dari hasil uji ANOVA didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan nyata yang signifikan, yaitu : 1) antara pegawai pria dan wanita untuk tingkat pendidikan sarjana pada rentang usia 21-32 tahun, khususnya pada skala Global Costructive Thinking; 2) antara pegawai pria dan wanita untuk tingkat pendidikan sarjana pada rentang usia 45-56 tahun, khususnya pada dua sub-skala, yaitu Behavioral Coping dan Categorical Thinking; dan 3) antara pegawai pria dan wanita untuk tingkat pendidikan non sarjana pada rentang usia 33-44 tahun, khususnya pada sub-skala Naive Optimism. Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 28-36, akan tetapi hasil perhitungan keseluruhan secara lengkap dapat dilihat pada bagian lampiran (14 -20).
83
A. Analisis Perbedaan Jenis Kelamin Pegawai Sarjana rentang Usia 21-32 terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) 1.
Hasil Rataan Skor Tabel 28 menunjukkan nilai rataan dan standar deviasi yang diperoleh pada
perhitungan ANOVA. Hasilnya menunjukkan bahwa pada skala Global Contructive Thinking, sub skala Emotional Coping dan Naive Optimism nilai rataan cenderung ke nilai 3,5. Sementara pada sub skala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking memiliki rataan yang cenderung ke nilai 3 atau cenderung netral. Hasil rataan lebih besar diperoleh pada sub skala Behavioral Coping yang cenderung ke nilai 4. Perbedaan nilai rataan tersebut tetap mengarah pada kecenderungan berpikir konstruktif untuk pegawai sarjana berumur 21-32 tahun. Pada skala Behavioral Coping diperoleh nilai yang lebih besar dari sub skala yang lain, ini menunjukkan bahwa pegawai sarjana pria dan wanita yang berusia antara 21-32 tahun lebih dominan dalam berpikiran positif, memiliki sikap antusias dan enerjik dalam mengerjakan tugas yang dibebankan dibandingan pegawai sarjana pria dan wanita pada rentang usia diatasnya. Kondisi ini akan mendorong pegawai untuk mampu mengatasi stres kerja karena selalu bertindak antusias dan memiliki energi positif dalam bekerja. Seperti telah dibahas pada bagian demografi responden bahwa meskipun rentang usia lulusan sarjana antara 21-32 tahun, namun tidak ada responden yang berusia dibawah 24 tahun. Hal ini untuk menghindari persepsi bahwa rentang kriteria yang digunakan kurang tepat karena umumnya responden lulusan sarjana (fresh graduate) berusia rata-rata 23 tahun. Hasil rataan ini
belum dapat
menjelaskan bagaimana sikap pegawai sarjana pria dan wanita pada rentang usia 21 -32 tahun. Hasil rataan dan standar deviasi ANOVA disajikan pada Tabel 28 berikut:
84
Tabel 28 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis pegawai Sarjana rentang Usia 21-32 tahun Sub-Skala
Tingkat N Mean Std Pendidikan Deviation Sarjana Usia(21-32) Global Constructive 2 3,6725 ,21991 Pria Thinking 17 3,4564 ,15967 Wanita Behavoral Coping 2 4,1425 ,10112 Pria 17 4,0798 ,22429 Wanita Emotional Coping 2 3,5400 ,53740 Pria 17 3,3294 ,18949 Wanita Personal 2 3,1665 ,94257 Pria Superstitious Thinking Wanita 17 2,6765 ,46945 Categorical Thinking Pria 2 2,9065 ,04455 17 2,7721 ,19757 Wanita Esoteric Thinking 2 2,9165 ,23547 Pria 17 2,8101 ,20083 Wanita Naïve Optimism 2 3,4000 ,47093 Pria 17 3,4000 ,32914 Wanita Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std.Dev = nilai simpangan
2.
Kelamin Std. Error Mean
,15550 ,03873 ,07150 ,05440 ,38000 ,04596 ,66650 ,11386 ,03150 ,04792 ,16650 ,04871 ,33300 ,07983
Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria berdasarkan skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI) Hasil rataan pada Tabel 28 belum dapat menjelaskan bagaimana
kecenderungan sikap pegawai pria dan wanita pada tingkat pendidikan sarjana dengan rentang usia 21-32 tahun dalam berpikiran konstruktif, sikap tersebut baru dapat diketahui dengan melakukan perhitungan rataan berdasarkan hasil klasifikasi rentang rentang kriteria skala global dan sub-skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI). Hasil rataan berdasarkan Constructive Thinking Inventory (CTI) pegawai pria dan wanita sarjana dengan rentang usia 21-32 tahun disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 21-32 tahun. Skala Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
Rentang Nilai dan Arti Pria Sarjana Wanita Sarjana (Usia 21-32 tahun) (Usia 21-32 tahun) 3,67 3,45 konstruktif konstruktif 4,14 4,07 antusias antusias 3,54 3,32 terbuka netral 3,16 2,67 netral netral 2,90 2,77 netral netral 2,91 2,81 netral netral 3,40 3,40 netral netral
CTI = Constructive Thinking Inventory
85
Tabel 29 menunjukkan klasifikasi rentang nilai masing-masing skala dalam perhitungan Constructive Thinking Inventory (CTI) pegawai pria dan wanita sarjana dengan rentang usia 21-32 tahun. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada sub skala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naive Optimism, jawaban pegawai cenderung masuk pada rentang kriteria netral. Artinya kondisi cara berpikir konstruktif di Dinas Kesehatan Kota Bogor yang menunjukkan pikiran defensif, fleksibel, logis dan optimis dipersepsikan rata-rata oleh pegawai. Sementara secara keseluruhan pegawai pria dan wanita sarjana dengan rentang usia 21-32 tahun sudah mengarah ke cara berpikir konstruktif terutama pada sub skala Behavioral Coping yang menunjukkan minat atau antusiasme yang tinggi. 3.
Hasil Perhitungan ANOVA Tabel 30 menunjukkan hasil ANOVA bahwa terdapat perbedaan nyata yang
signifikan terhadap hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) antara pegawai pria dan wanita
sarjana dengan rentang usia 21 -32 tahun, khususnya skala
Global Constructive Thinking
dimana didapatkan nilai p dibawah 0,1 yaitu
sebesar 0,096 sehingga tolak hipotesis nol artinya baik pegawai pria dan wanita sarjana dengan rentang usia 21-32 tahun memiliki kemampuan berpikir konstruktif yang berbeda, sedangkan pada keenam sub-skala lainnya tidak ditemukan perbedaan nyata, hal tersebut dilihat dari nilai p diatas 0,1 artinya terima hipotesis nol. Tabel 30 Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 21-32 tahun Hasil Skala
t-value ≥ 1,96 1.765 0.383 1.250 1.286 0.937 0.701 0.000
Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
df
p
17 17 17 17 17 17 17
0.096 0.707 0.228 0.216 0.362 0.493 1.000
Keterangan: t-value = nilai uji-t; df = derajat kebebasan; p = nilai kemungkinan
86
Hipotesis Tolak H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0
Jika diperhatikan pada hasil perhitungan klasifikasi rentang kriteria sebelumnya (Tabel 29), baik pegawai laki-laki dan wanita sarjana berusia 21-32 tahun masuk pada rentang kriteria berpikir konstruktif, namun memiliki nilai yang berbeda, khususnya pada Global Constructive Thinking scale dimana hasil uji statistik menunjukkan selisih nilai perbedaaan lebih besar pada pegawai pria yang sarjana dengan rentang usia 21 – 32 tahun yaitu sebesar 0,22, artinya pada usia tersebut pegawai pria sarjana memiliki cara berpikir yang lebih konstruktif daripada pegawai wanita sarjana, hal ini disebabkan pada usia tersebut pegawai pria sarjana masih memiliki semangat tinggi dalam mengejar karir masa depannya Selain itu pemikiran konstruktif juga ditunjukkan dengan sikap optimis dan mampu menerima perbedaan pendapat dengan rekan kerja. Berbeda dengan pegawai wanita yang kadang cenderung lebih memilih teman kerja dan lebih menunjukkan sikap kurang suka apabila terjadi perbedaan pendapat dengan rekan kerja. B. Analisis Perbedaan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 45-56 terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) Setelah diketahui terdapat perbedaan nyata berdasarkan jenis kelamin pada pegawai sarjana dengan rentang usia 21-32 khususnya skala Global Contructive Thinking, maka didapatkan hasil yang berbeda nyata secara signifikan pada pegawai sarjana dengan rentang usia 45-56 tahun. Namun sebelumya perlu dikaji terlebih dahulu bagaimana hasil rataan skor dan klasifikasi rentang kriteria dari pegawai tersebut. 1.
Hasil Rataan Skor Tabel 31 menunjukkan nilai rataan dan standar deviasi yang diperoleh pada
perhitungan ANOVA. Hasilnya menunjukkan bahwa pada skala Global Contructive Thinking, Behavioral Coping, Emotional Coping , dan Naive Optimism memiliki nilai rataan diatas 3, sementara pada sub skala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking memiliki nilai rataan cenderung ke nilai 3. Hasil ini memperlihatkan bahwa pegawai lakilaki dan wanita sarjana berusia 45-56 tahun, pada sub-skala yang mengukur kemampuan dalam berpikir defensif, fleksibel dan logis lebih cenderung berada di
87
tengah-tengah atau berpikiran lebih netral. Sementara pada sikap yang menunjukkan antusiasme, keterbukan dan optimis, nilainya rata-rata lebih tinggi pada pegawai pria sarjana. Namun demikian hasil rataan ini
belum dapat
menjelaskan bagaimana sikap pegawai sarjana pria dan wanita pada rentang usia 45 – 56 tahun. Hasil rataan dan standar deviasi ANOVA disajikan pada Tabel 31 berikut: Tabel 31 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 45-56 tahun Tingkat Pendidikan Std Std. Error Sub-Skala N Mean Sarjana usia Deviation Mean (45-56) Pria Global Constructive 92 3,3526 ,21624 ,07208 Thinking 21 3,4745 ,38257 ,08348 Wanita Pria 92 3,7539 ,30746 ,10249 Behavoral Coping 21 3,3966 ,20389 ,04449 Wanita Pria 92 3,2400 ,25298 ,08433 Emotional Coping 21 3,3257 ,19931 ,04349 Wanita Pria Personal 92 2,7963 ,29777 ,09926 Superstitious Thinking Wanita 21 2,9444 ,51190 ,11170 Pria 92 3,0697 ,43594 ,14531 Categorical Thinking 21 2,7649 ,24914 ,05437 Wanita Pria 92 2,8611 ,15030 ,05010 Esoteric Thinking 21 2,8769 ,15728 ,03432 Wanita Pria 92 3,5780 ,25602 ,08534 Naïve Optimism 21 3,5270 ,38233 ,08343 Wanita Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std.Dev = nilai simpangan
2.
Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria berdasarkan skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI) Tabel 32 menunjukkan klasifikasi rentang nilai masing-masing skala dari
Constructive Thinking Inventory (CTI) pegawai pria dan wanita sarjana dengan rentang usia 45-56 tahun. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada sub skala Emotional Coping, Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking jawaban pegawai cenderung masuk klasifikasi rentang kriteria netral. Artinya kondisi cara berpikir konstruktif di Dinas Kesehatan Kota Bogor yang menunjukkan pikiran terbuka, defensif, kaku, dan percaya pada hal gaib dipersepsikan rata-rata oleh pegawai pria dan wanita sarjana pada rentang usia 45 – 56 tahun, akan tetapi berdasarkan hasil uji statistik selisih nilai sekecil berapapun merupakan perbedaan, selisish nilai sebesar 0,12 pada skala Global Constructive Thinking lebih tinggi pada pegawai wanita sarjana usia 45 – 56
88
tahun, artinya pegawai wanita sarjana pada usia tersebut lebih berpikir konstruktif daripada pegawai pria sarjana. Sementara itu selisih nilai sebesar
0,36; 0,3 dan
0,05 berturut-turut pada sub-skala Behavioral Coping, Categorical Thinking dan Naive Optimism. didapatkan hasil lebih tinggi pada pegawai pria sarjana, artinya pegawai pria sarjana tersebut lebih bersikap antusias, fleksibel dan optimis daripada pegawai wanita sarjana pada usia tersebut. Sedangkan pada sub-skala Emosional Coping,
Personal Superstitious Thinking dan Esoteric Thinking
berturut didapatkan selisih perbedaan nilai masing-masing sebesar 0,08; 0,15 dan 0,01 lebih tinggi pada pegawai wanita sarjana usia 45 – 56 tahun, artinya pegawai wanita sarjana lebih bersikap terbuka, ofensif dan berpikir logis dibandingkan pegawai pria sarjana pada usia tersebut. Tabel 32 Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI pegawai pria dan wanita Sarjana rentang Usia 45-56 tahun Skala Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
3.
Rentang Nilai dan Arti Pria Sarjana Wanita (Usia 45-56) tahun (Usia 45-56) tahun 3,35 3,47 netral konstruktif 3,75 3,39 antusias netral 3,24 3,32 netral netral 2,79 2,94 netral netral 3,06 2,76 netral netral 2,86 2,87 netral netral optimis optimis 3,57 3,52 unrealistis unrealis
Hasil Perhitungan ANOVA Tabel 33 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata yang signifikan
mengenai hasil pengukuran dari Constructive Thinking Inventory (CTI) pada pegawai laki-laki dan wanita bergelar sarjana dengan rentang usia 45-56 tahun khususnya pada sub-skala Behavioral Coping dan Categorical Thinking. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pegawai sarjana pada rentang usia 45-56 masih menunjukkan sikap berpikiran positif, antusias, enerjik dan cepat mengambil tindakan terhadap rencana yang telah dibuat (sub-skala Behavioral Coping), sedangkan sub-skala Categorical Thinking menunjukkan cara berpikiran yang terpola dan bersikap fleksibel, hasil ini dapat dilihat pada hasil klasifikasi
89
rentang kriteria sehingga kondisi tersebut dapat menekan tingkat emosi yang berlebihan yang dapat memicu timbulnya stres kerja. Pada sub-skala Behavioral Coping dan Categorical Thinking, hasil rataan skor masuk pada klasifikasi rentang kriteria secara keseluruhan bersikap netral, akan tetapi hasil uji statistik menunjukkan bahwa selisih perbedaan sekecil apapun tetap merupakan perbedaan, sehingga hasil nilai sesungguhnya pada kedua subskala yaitu selisih nilai sebesar 0, 36 dan 0,3 tersebut menunjukkan bahwa pegawai pria sarjana pada usia 45 – 56 tahun lebih bersikap antusias dan fleksibel daripada pegawai wanita sarjana pada rentang usia
Kenyataan ini dapat
mengurangi penyebab stres kerja. Individu yang berpikiran terlalu antusias dan fleksibel dapat mengontrol emosinya sehingga dapat menekan masalah pekerjaan yang dapat memicu timbulnya stres. Hasil penelitain ini bertolak belakang dengan hasil penelitian sebelumnya, dimana Reddy dan Ramamurthy (1991) yang menganalisis pengaruh usia pada pengalaman stres seseorang menyatakan bahwa kelompok usia 41-60 tahun mengalami stres lebih tinggi dari kelompok usia dibawahnya. Sementara hasil penelitian ini menujukkan bahwa pegawai pada rentang usia 45 -56 masih bersikap antusias dan fleksibel, sehingga dapat menekan tingkat stres. Sementara itu
pada skala global dan empat sub-skala lain (Emotional
Coping, Personal Superstitious Thinking, Esoteric Thinking dan Naive Optimism), tidak terdapat perbedaan nyata pada pegawai pria dan wanita sarjana dengan rentang usia 45 -56 tahun dalam penanggulangan stres kerja, artinya baik pegawai pria dan wanita sarjana keduanya memiliki cara yang sama. Hasil rataan skor memperlihatkan bahwa pegawai pria maupun wanita berada pada rentang kriteria yang menunjukkan hasil rata-rata lebih pada klasifikasi rentang kriteria netral. Hasil ANOVA disajikan pada Tabel 33.
90
Tabel 33 Hasil ANOVA perbedaan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 45-56 tahun Hasil Skala
t-value ≥ 1,96 -1.089 -2.558 -0.996 -0.806 2.436 -0.256 0.365
Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
df
p
28 28 28 28 28 28 28
0.285 0.016 0.328 0.427 0.021 0.800 0.718
Hipotesis Terima H0 Tolak H0 Terima H0 Terima H0 Tolak H0 Terima H0 Terima H0
Keterangan: t-value = nilai uji-t; df = derajat kebebasan; p = nilai kemungkinan
C. Analisis Perbedaan Jenis Kelamin Pegawai Non Sarjana rentang usia 33-44 terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) Setelah diketahui terdapat perbedaan nyata berdasarkan jenis kelamin pada pegawai sarjana dengan rentang usia 21-32 dan 45-56 tahun, maka didapatkan perbedaan nyata yang signifikan pada pegawai non sarjana dengan rentang usia 33-44, khususnya pada sub-skala Naive Optimism. Berikut dijabarkan analisa hasilnya dimulai dengan hasil rataan skor, klasifikasi rentang kriteria hasil uji ANOVA. 1.
Hasil Rataan Skor Tabel 34 menunjukkan nilai rataan dan standar deviasi yang diperoleh pada
perhitungan ANOVA. Pada skala global Global Contructive Thinking, sub skala Behavioral Coping, Emotional Coping dan Naive Optimism, nilai rataan berada diatas nilai 3 yang menjadi pedoman nilai netral. Sementara untuk sub skala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking cenderung mengarah ke nilai 3. Dengan hasil tersebut maka pegawai laki-laki dan wanita non sarjana berusia 33-44 tahun cenderung berpikir lebih netral pada pengukuran yang menyangkut
sikap
defensif,
cara
berpikir
yang
terpola
atau
sikap
ketidakpercayaan pada orang lain dan cara berpikir logis. Nilai tertinggi diperoleh pada sub skala Behavioral Coping yang menunjukkan bahwa pegawai laki-laki dan wanita non sarjana berusia 33-44 tahun cenderung dapat berpikir positif dan terbuka sehingga cepat mengambil tindakan terhadap rencana yang dibuat. Akan
91
tetapi hasil rataan tersebut belum dapat menjelaskan bagaimana sikap pegawai non sarjana pria dan wanita pada rentang usia 33 – 44 tahun. Hasil rataan dan standar deviasi ANOVA disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin pegawai Non Sarjana rentang usia 33-44 tahun Tingkat Std Pendidikan N Mean Deviation Non Sarjana 18 3,4234 ,13000 Pria Global Constructive 56 3,4616 ,19701 Thinking Wanita 18 3,9246 ,19824 Pria Behavoral Coping 56 3,9605 ,31825 Wanita 18 3,3156 ,25846 Pria Emotional Coping 56 3,4257 ,24138 Wanita 18 2,8241 ,31557 Pria Personal 56 2,9315 ,37575 Superstitious Thinking Wanita 18 2,9167 ,33349 Pria Categorical Thinking 56 2,8750 ,29242 Wanita 18 2,9167 ,19386 Pria Esoteric Thinking 56 2,9315 ,24777 Wanita 18 3,5074 ,26973 Pria Naïve Optimism 56 3,6702 ,31229 Wanita Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std.Dev = nilai simpangan Sub-Skala
2.
Std. Error Mean ,03064 ,02633 ,04673 ,04253 ,06092 ,03226 ,07438 ,05021 ,07860 ,03908 ,04569. ,03311 ,06358 ,04173
Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria berdasarkan skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI) Tabel 35 menunjukkan klasifikasi rentang nilai masing-masing skala dari
Constructive Thinking Inventory (CTI) pegawai pria dan wanita non sarjana dengan rentang usia 33 – 44 tahun. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada sub skala Emotional Coping, Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, dan Esoteric Thinking jawaban pegawai cenderung masuk klasifikasi rentang kriteria netral. Artinya kondisi cara berpikir konstruktif di Dinas Kesehatan Kota Bogor yang menunjukkan pikiran terbuka, ofensif, fleksibel, dan berpikir logis dipersepsikan rata-rata oleh pegawai pria dan wanita non sarjana pada rentang usia 33 – 44 tahun, akan tetapi berdasarkan hasil uji statistik selisih nilai sekecil berapapun merupakan perbedaan, selisih nilai sebesar 0,11; 0,11; dan 0, 02 masing-masing pada sub-skala Emotional Coping, Personal Superstitious Thinking, dan Esoteric Thinking menunjukkan selisih nilai pada pegawai wanita non sarjana, hal ini mengindikasikan bahwa pegawai wanita non sarjana lebih memiliki sikap terbuka, ofensif dan berpikir logis dibandingkan pegawai pria non
92
sarjana pada usia tersebut, pada sub-skala Categorical Thinking didapat selisih nilai sebesar 0,04 lebih tinggi pada pegawai pria non sarjana, artinya pegawai pria non sarjana memiliki sikap lebih fleksibel daripada pegawai wanita non sarjana pada usia tersebut. Sementara itu sub-skala
Behavioral Coping dan
Naive
Optimism masing-masing memiliki selisih nilai sebesar 0,04 dan 0.17 lebih tinggi pada pegawai wanita non sarjana usia 33 – 44 tahun, hal ini mengindikasikan bahwa pegawai wanita non sarjana lebih dapat bersikap antusias dan optimis dari pada pegawai pria non sarjana dalam melakukan pekerjaan dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sedangkan skala Global Constructive Thinking lebih tinggi pada pegawai wanita non sarjana usia 33 – 44 dengan selisih nilai statistik sebesar 0,04 tahun, artinya pegawai wanita non sarjana pada usia tersebut lebih berpikir konstruktif daripada pegawai pria non sarjana Sikap tersebut akan membantu pegawai untuk mengatasi stres kerja, terutama dengan kecenderungan pekerjaan yang monoton, perlu dijaga sikap antusiasme terhadap pekerjaan. Apalagi di Dinas Kesehatan Kota Bogor, pekerjaan yang dilakukan cenderung bertemu dengan banyak pasien, maka sangat perlu untuk menjaga tingkat optimis agar pegawai terus mampu melayani pasien dengan baik. Hasil pengukuran yang menunjukkan bahwa sikap optimis itu telah tinggi akan sangat membantu pihak manajemen untuk memikirkan cara terbaik untuk terus mempertahankan kondisi tersebut sehingga kinerja pelayanan dapat terjaga dengan baik. Tabel 35 Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI pegawai pria dan wanita Non Sarjana rentang Usia 33-44 tahun Skala Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET)
3,42
Naïve Optimism (NaO)
3,50
3,92 3,31 2,82 2,91 2,91
93
Rentang Nilai dan Arti Pria Wanita 3,46 konstruktif konstruktif 3,96 antusias antusias 3,42 netral terbuka 2,93 netral netral 2,87 netral netral 2,93 netral netral optimis optimis 3,67 unrealistis unrealistis
3.
Hasil Perhitungan ANOVA Tabel 36 menunjukkan hasil ANOVA dimana terdapat perbedaan nyata
yang signifikan terhadap hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) antara pegawai pria dan wanita bergelar non sarjana dengan rentang usia 33-44 tahun, khususnya skala Naive Optimism dimana didapatkan nilai p dibawah 0,1 yaitu sebesar 0,051 sehingga tolak hipotesis nol. Hasil ini mengandung arti bahwa pegawai pria dan wanita bergelar non sarjana dengan rentang usia 33-44 tahun memiliki perbedaan pandangan tentang cara mereka menghadapi suatu permasalahan. Nilai yang lebih tinggi diperoleh oleh pegawai wanita (Tabel 35) yang menunjukkan bahwa wanita non sarjana dengan rentang usia 33-44 tahun cenderung lebih berpikir optimis namun mengarah ke hal yang tidak realistis. Tabel 36 Hasil ANOVA perbedaan Jenis Kelamin pada pegawai Non Sarjana dengan rentang Usia 33-44 tahun Hasil Skala
t-value ≥ 1,96 -0.774 -0.450 -1.656 -1.094 0.508 -0.233 -1.985
Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
df
p
72 72 72 72 72 72 72
0.442 0.654 0.102 0.277 0.613 0.817 0.051
Hipotesis Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Tolak H0
Keterangan: t-value = nilai uji-t; df = derajat kebebasan; p = nilai kemungkinan
Dari sisi positif, pegawai wanita tersebut akan cenderung memiliki semangat tinggi dan disukai banyak orang, namun sisi negatifnya adalah ketidakinginan pegawai tersebut untuk menghadapi kegagalan atau kenyataan yang tidak menyenangkan. Pada rentang usia tersebut wanita memang cenderung lebih berpikir optimis terutama dalam menghadapi permasalahan hidup, namun juga sering tidak realistis. Sikap tersebut dikarenakan wanita cenderung lebih mengutamakan
menggunakan
perasaan
dibandingkan
pria
yang
lebih
mengutamakan akal sehat. Pemikiran wanita lebih cenderung dikuasai hati dan perasaan, hal ini yang menyebabkan seringkali tidak realistis. Selain itu akan berefek negatif jika wanita berselisih pendapat terutama dengan rekan sekerja yang menyebabkannya cenderung tidak tahan menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga berpotensi timbulnya stres kerja. Hasil tersebut jika
94
terjadi sisi positif akan bertolak belakang dengan penelitian Beena dan Poduval, (1992) sedangkan jika terjadi sisi negatif hasil tersebut didukung oleh hasil penelitian Beena dan Poduval (1992) yang mengatakan bahwa wanita akan mengalami stres yang lebih tinggi daripada pria dikarena perubahan pekerjaan dan tanggung jawab yang lebih besar. Perbedaan hasil yang diperoleh melalui pengukuran rentang nilai dan ANOVA disebabkan perbedaan dalam pengukuran statistik. Pada rentang nilai dimaksudkan untuk melihat kecenderungan responden dalam berpikir konstruktif sehingga dapat diketahui responden masuk pada klasifikasi rentang kriteria seperti apa. Namun jika responden masuk pada rentang nilai yang sama tidak berarti memiliki kecenderungan yang sama dalam berpikir, perbedaan nilai sedikit saja dapat mempengaruhi hasil perhitungan ANOVA, karena secara statistik, perbedaan nilai sekecil apapun dapat berakibat perbedaan hasil yang diperoleh.
5.4
Implikasi Manajerial Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui tingkat pemikiran
konstruktif pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor secara keseluruhan menunjukkan kemampuan berpikir yang sudah konstruktif dan bersikap antusias, terbuka, ofensif, fleksibel, berpikir logis dan optimis baik berdasarkan perbedaan jenis kelamin, usia maupun tingkat pendidikan sehingga dari hasil tersebut dapat memiliki beberapa implikasi yang dapat diterapkan oleh pihak manajemen Dinas Kesehatan Kota Bogor. Hal ini dimaksudkan agar pihak manajeman tetap mempertahankan bahkan meningkatkan kemampuan bersikap dan berpikir konstruktif tersebut pada pegawai, sehingga tetap memiliki motivasi yang tinggi dalam bekerja, terhindar dari stres kerja dan berkorelasi dengan peningkatan produktifitas kerja. Hasil lain, secara umum masih terdapat perbedaan pandangan antara pegawai pria dan wanita dalam berpikiran konstruktif. Hal ini sangat wajar terjadi seperti diulas pada beberapa penelitian yang telah dilakukan. Hal ini akan sangat berpengaruh pada kondisi kerja jika berkaitan dengan konflik kepentingan penempatan jabatan tertentu. Pihak manajemen khususnya pimpinan harus tetap mempertahankan asas persamaan hak antara pegawai pria dan wanita dalam
95
menempati suatu jabatan tertentu. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kecemburuan yang dapat memicu stres kerja. Pegawai pria dan wanita memiliki hak yang sama untuk dipilih dalam menempati posisi tertentu. Keputusan atasan dalam penempatan itu harus diprioritaskan dengan penilaian secara objektif yaitu memperhitungkan hasil kerja dan loyalitas terhadap institusi. Perbedaan tingkat pendidikan juga menyebabkan terdapat perbedaan persepsi mengenai cara berpikiran konstruktif di kalangan pegawai DKK Bogor. Menyingkapi hal itu maka pihak atasan atau manajemen Dinas Kesehatan Kota Bogor perlu mempertimbangkan kesesuaian tingkat pendidikan dengan posisi yang ditawarkan dalam merekrut pegawai baru. Hal ini akan berpengaruh pada kesiapan pegawai baru dalam menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. Latar belakang pendidikan yang sesuai akan membantu pegawai baru dalam menanggung beban pekerjaan yang diberikan. Semakin cepat pegawai baru dalam beradaptasi dengan pekerjaan dan lingkungan kerja, maka stres kerja dapat dihindari seminimal mungkin. Selain itu terdapat perbedaan persepsi juga berdasarkan tingkatan usia terhadap cara berpikiran konstruktif. Hal ini berkitan dengan cara komunikasi antara atasan dan bawahan di Dinas Kesehatan Kota Bogor. Perbedaan usia cenderung mempengaruhi cara komunikasi atasan terhadap pegawai berusia tua dan muda. Pihak pimpinan perlu membedakan cara komunikasi terutama dalam memberikan tugas terhadap pegawai berbeda usia. Perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tugas atau pekerjaan yang diberikan dapat disebabkan oleh perbedaan kemampuan dalam menggunakan peralatan teknologi yang semakin berkembang, seperti penggunaan software pada komputer. Untuk pegawai berusia muda akan lebih terbiasa dengan perkembangan teknologi tersebut, sebaliknya pada pegawai berusia lebih tua, pihak pimpinan harus lebih bersabar dalam menjabarkan
perintah
yang
berhubungan
dengan
penggunaan
alat-alat
berteknologi canggih. Kesabaran ini diperlukan untuk menghindari terjadinya kesenjangan sikap diantara kedua kelompok pegawai tersebut. Jika hal ini dapat diterapkan oleh pihak pimpinan di Dinas Kesehatan Kota Bogor, maka kondisi stres akibat terjadinya kesenjangan tersebut dapat dihindari. Selain itu pihak pimpinan juga dapat menanamkan sikap selalu berpikiran positif pada
96
bawahannya terkait dengan pekerjaan yang dibebankan. Khususnya pegawai berusia tua akan lebih percaya diri dalam mengerjakan tugas-tugas yang menggunakan peralatan dengan teknologi yang lebih tinggi jika sebelumnya dilakukan sosialisasi pada perubahan teknologi tersebut
97
98
6
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan 1. Berdasarkan hasil perhitungan rataan pada Constructive Thinking Inventory (CTI), maka dapat disimpulkan tingkat Constructive Thinking pada pegawai Dinas
Kesehatan
Kota
Bogor
secara
keseluruhan
sudah
memiliki
kempampuan berpikir konstruktif, hal tersebut dapat dilihat dari : a) berdasarkan perbedaan jenis kelamin, pegawai laki-laki dan perempuan cenderung mampu berpikir konstruktif dan memiliki sikap antusias, terbuka, netral dan cenderung optimis unrealistik; b) berdasarkan perbedaan usia, pegawai dari berbagai tingkatan usia cenderung mampu berpikir konstruktif dan antusias. Pegawai berusia 21-56 tahun lebih berpikir terbuka dan fleksibel namun terkadang terlalu bersikap optimis yang tidak realistis. Pegawai berusia di atas 56 tahun berpikir lebih ofensif dan netral; dan c) berdasarkan perbedaan tingkat pendidikan, pegawai lulusan sarjana maupun non sarjana cenderung mampu berpikir konstruktif dan memiliki sikap antusias, terbuka, netral dan terkadang bertindak optimis unrealistis.
2. Berdasarkan analisis ANOVA pada Dinas Kesehatan Kota Bogor maka dapat disimpulkan hasil analisis perbedaan faktor demografi dalam menanggulangi stres kerja, sebagai berikut : a.
tidak terdapat perbedaan nyata yang signifikan berdasarkan perbedaan jenis kelamin
baik secara Global Constructive Thinking maupun
terhadap 6 (enam) sub-skala (Behavioral Coping, Emotional Coping, Personal Supertitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naive Optimism) dari
Constructive Thinking Inventory (CTI),
artinya baik pegawai pria maupun wanita memiliki cara yang tidak berbeda nyata dalam berpikir konstruktif dan menanggulangi stres kerja. b. tidak terdapat perbedaan nyata yang signifikan berdasarkan perbedaan tingkat usia baik secara Global Constructive Thinking maupun terhadap 6 (enam) sub-skala (Behavioral Coping, Emotional Coping, Personal Supertitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking
dan
Naive Optimism) dari Constructive Thinking Inventory (CTI), artinya baik pegawai berusia tua maupun muda memiliki cara yang tidak berbeda nyata dalam berpikir konstruktif dan menanggulangi stres kerja. c.
berdasarkan perbedaan tingkat pendidikan secara Global Constructive Thinking
dan
4 (empat) sub-skala (Behavioral Coping, Emotional
Coping,, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking) dari Constructive Thinking Inventory (CTI) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, akan tetapi terdapat dua sub-skala lainnya yaitu Personal Supertitious Thinking dan Naive Optimism menunjukkan hasil yang berbeda nyata, dimana pegawai sarjana lebih cenderung bersikap optimis yang realistis dan cenderung bersikap defensif dibandingkan pegawai non sarjana dalam menanggulangi stres kerja. d. terdapat perbedaan nyata yang signifikan antara pegawai pria dan wanita pada tingkat pendidikan sarjana, yaitu pada
sub-skala
Categorical
Thinking, dimana pegawai pria sarjana lebih bersikap fleksibel dibandingkan pegawai wanita yang sarjana dalam menanggulangi stres kerja. e.
terdapat perbedaan nyata yang disignifikan antara pegawai pria dan wanita untuk tingkat pendidikan sarjana pada rentang usia 21-32 tahun, yaitu pada skala Global Constructive Thinking, dimana pegawai pria sarjana lebih berpikir konstruktif dibandingkan pegawai wanita sarjana pada usia tersebut dalam menanggulangi stres kerja
f. terdapat perbedaan nyata yang signifikan antara pegawai pria dan wanita untuk tingkat pendidikan sarjana pada rentang usia 45-56 tahun, khususnya pada dua sub-skala, yaitu Behavioral Coping dan Categorical Thinking, dimana pegawai pria sarjana pada rentang usia 45-56 lebih bersikap antusias dan fleksibel dibandingkan pegawai wanita sarjana pada usia tersebut dalam menanggulangi stres kerja. g. terdapat perbedaan nyata yang signifikan antara pegawai pria dan wanita untuk tingkat pendidikan non sarjana pada rentang usia 33-44 tahun, yaitu pada sub-skala Naive Optimism, pegawai wanita non sarjana
100
dengan rentang usia 33-44 tahun lebih bersikap optimis dibandingkan pegawai pria non sarjana dalam menanggulangi stres kerja.
6.2
Saran 1. Pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor sudah menunjukkan sikap dalam berpikiran konstruktif, kondisi tersebut perlu dipertahankan. Untuk itu perlu pendampingan dari atasan terutama dalam penyelesaian tugastugas yang tergolong membutuhkan masukan dan saran atasan. Hal ini membuat pegawai tidak merasa dilepas begitu saja, sehingga pegawai tetap mempertahankan sikap antusias, terbuka, ofensif, fleksibel, berpikiran logis, optimis dan bersemangat dalam menyelesaikan pekerjaan dan lebih realistis dalam menentukan hasil akhir yang diinginkan. 2. Masih terdapatnya perbedaan pandangan dalam berpikir konstruktif baik berdasarkan perbedaan jenis kelamin, usia dan tingkatan pendidikan, sehingga diharapkan pihak manajemen dapat mempertahankan asas persamaan hak antara pegawai pria dan wanita dalam menempati suatu posisi
jabatan
dalam
pekerjaan
sehingga
tidak
menimbulkan
kesenjangan. Perlunya mempertimbangkan kesesuaian perbedaan tingkat pendidikan dengan posisi dan pekerjaan yang diberikan, karena latar belakang pendidikan yang sesuai akan membantu pegawai dalam beradaptasi menyesuaikan diri dengan diterimanya.
posisi dan pekerjaan yang
Adanya perbedaan tingkat usia akan menimbulkan
permasalahan tersendiri bagi manajemen, sehingga diharapkan pihak manajemen
mempertahankan
dan
meningkatkan
kemampuan
berkomunikasi antar lintas generasi yang selama ini telah berhasil diterapka sehingga pegawai dapat menerjemahkan tugas yang dibeikan dengan baik. 3. Diklat pengembangan diri dan kepemimpinan serta pelatihan-pelatihan lain yang sifatnya membantu pegawai memiliki kemampuan yang lebih baik perlu rutin diselenggarakan. Diklat kepemimpinan akan membentuk pegawai untuk bertindak pro-aktif dalam mencari pemecahan persoalan,
101
sehingga cenderung terhindar dari stres di tempat kerja akibat tidak mampu mencari solusi permasalahan dan tekanan yang didapatkannya. 4. Adanya keterbasan peneliti dalam penelitian ini, perlu kiranya dilakukan kajian lebih lanjut dalam upaya penanggulangan stres kerja berdasarkan metode Constructive Thinking.
102
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J. 1989. Understanding and Managing Stress. San Diego, CA: Pfeiffer and Co International Publishers. Agresti, A. and B. Finlay. 1997. Statistical Methods for the Social Sciences, 3rd Edition. Prentice Hall, New Jersey.USA. Anisman, H. and Z. Merali. 1999. Understanding Stress: Characteristics and Caveats. Alcohol Research & Health. 23, 4, 241-249. Atkinson, W. 2000. When stress won’t go away. HR Magazine. 45, 12, 104-110. ________ 2001. Managing Stress. Electrical World. 214, 6, 41-42. Austin, C. 2000. What’s Holding You Back? New York: Basic Books. Bar-On, R. 1997. BarOn Emotional Quotient Inventory (EQ-i). 14 Mental Measurement Yearbook. Pacific Palisades, CA: The Center for Management Effectiveness. Bergeijik, P.V. and N. Mensink. 1997. Measuring globalization. Journal of World Trade. 31, 3, 159-168. Bowes, Sperry L. and Tata J. 1999. A multi-perspective framework of sexual harassment. Reviewing two decades of research. In: GN Powell (Ed), Handbook of Gender andWork (pp.263-280). Thousand Oaks, Canada. Bruno, F. 1991. The Family Mental Health Encyclopedia. New York: John Wiley & Sons, Inc. Burke, P. 1996. Gender shock: Exploding the myths of male and female. New York: Anchor Book. Beena, C. and Poduval, P.R., 1992, Gender difference in work of executives. Psy. Stu., 37(2&3):109-113. Cooper, C. 2001. I can’t cope any more. The Guardian, November 5, 2. Crosby, B., J. Scherer and G. Crosby. 1985. People Performance Profile. 10 Mental Measurement Yearbook. San Diego, CA: University Associates.
Davison, G. and J. Neale. 2001. Abnormal Psychology (8th Ed.). New York: john Wiley & Sons, Inc. Derogatis, L. 1986. Derogatis Stress Profile. 13 Mental Measurement Yearbook. Towson MD: Clinical Psychometric Research Inc. Epstein, S. 1986. Constructive Thinking Inventory. 13 Mental Measurement Yearbook. Towson, MD: Clinical Psychometric Research Inc. ________1990. Cognitive-experiential self-theory. In L. Pervin (ed.). handbook of personality: Theory and reseearch. 165-192. Ney York: Guilford Press. ________1991. Constructive thinking and mental and physical well-being. Anxiety, Stress & Coping: An International journal. 10, 3, 385-409. ________1992. Coping ability, negative self-evaluation, and overgeneralization: Experiment and theory. Journal of Personality & Social Psychology. 62, 5, 826-836. ________1993. Manual for Constructive Thinking Inventory. Amherst, MA: University of Massachusetts at Amherst. ________1998. Constructive Thinking: The key to emotional intelligence. Westport, CT: Preager Publisher. ________ and L. Katz. 1992. Coping ability, stress, productive load, and symptoms. Journal of Personality and Social Psychology. 62, 5, 813-825. ________ and P. Meier. 1989. Constructive Thinking: A broad coping variable with specific components. Journal of Personality and Social Psychology, 52, 2, 332-350. Endler, N. S., & Parker, J. D. A. (1990). Multidimensional assessment of coping: A critical evaluation. Journal of Personality and SocialPsychology,58(5), 844-854 Folkman, S., & Lazarus, R. S. (1980). An analysis of coping in middle aged community sample.Journal of Health and Social Behavior, 21, 219-239 Faulkner, G. and T. Anderson. 1993. Stress Indicator and Health Planner. 13 Mental Measurement Yearbook. Sumas, WA: Consulting Resource Group International Inc. 104
Goleman, D. 1998. Working with Emotional Intelligence. New York: Bantam Books. Herbert, J. 1997. Stress, the brain, and mental illness. Business Manajement Journal. 5, 369-377. Hoyer, J., M. Averbeckb, T. Heidenreicha, U. Stangiera, K. Pöhlmannb and G. Rössler. 1998. The constructive thinking inventory: factorial structure in healthy individuals and patients with chronic skin diseases. European Journal of Psychological Assessment. 14, 3, 226-233. Hurrel, J.J., L.R. Murphy and S.L. Cooper. 1998. Occupational Stress, Issues and Development in Research. Taylor and Francis, New York. Istijanto. 2005. Riset Sumber Daya Manusia : Cara Praktis mendeteksi Indikatorindikator kerja karyawan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ivancevich, J. and M. Matesson. 1997. Organizational Behaviour and Management. 4th ed. Chicago, USA. Katz, L. and Epstein, S. 1991. Constructive thinking and coping with laboratoryinduced stress. Journal of personality and Social Psychology. 61, 5, 789800. Kennedy, M. 1998. Boomers vs busters. Healthcare Executive, 13. pp.6-10. Kephart, P.A. 2003. Job stress : An investigation of the impact of gender and other workplace diversity issues on the causes, cost, consequences and constructive coping strategy of job stress. Thesis. Nova Southeastern University. Kindler, H. 1993. Personal Stress Assessment Inventory. 14 Mental Measurements Yearbook. Pacific Palisades, CA: The Center for Management Effectiveness. Kogan, M. 2001. Bridging the gap across the generation divide in the federal workplace. Governmaent Executive. 33, 12, 16-21. Lazarus, R. and S. Folkman. 1984. Stress, coping and appraisal. New York: Springer Publishing.
105
Lim, V. and T. Teo. 1996. Gender differences in occupational stress and coping strategies among IT personnel. Women in Management Review. 11, 1, 20. Losyk, Bob. 2005. Kendalikan Stress Anda! Cara Mengatasi Stress dan Sukses di Tempat Kerja, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. Manzo, A. 1998. Teaching for creative outcomes, why we don’t, how we all can. The Clearing House. 71, 5, 287-290. Mason, L. 2001. Guide to Stress Reduction. Barkeley, CA: Celestial Arts. Miller, N. 1998. Stressful life events, social support, and the distress of widowed and divorced woman. Journal of Family Issues. 19, 2, 181-204. Minirth, F., P. Meier, D. Hawkins, C. Thurman and R. Flournoy. 1997. Beating Burnout. New York: Inspirational Press. Mirowsky, J. and C. Ross. 1989. Social Causes of Psychological Distress. New York: Aldine de Gruyter. Mone, M. 2000. An empirical look at social comparisons and education levels: Do they influence how hard we work? Western Academy of management 2000. Kona, Hawaii. Moses, B. 1998. Career Intelligence: The 12 new rules for work and success. San Fransisco, CA: Berrett-Koehler Books. Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Nelson, P., K. Schmidt and N. Nelson. 1985. Stress Analysis System. 10 Mental Measurement Yearbook. San Fransisco, CA: Interdatum Inc. Newman, J.E. and T.A. Beehr. 1979. Personal and Organizational Strategies for Handling Job Stress: A Review of research and opinion. Personel Psychology, Raw Hill. Noland, J. 1986. PERSONALYSISTM. 12 Mental Measurement Yearbook. Houston, TX: Manatech Management Technologies Inc. Parkinson, F. 1995. Listening and Helping in the Workplace. The Guernsey Press, Co.Ltd. Great Britain, England
106
Patterson, G. T. (2003). Examining the effects of coping and social support on work and life stress among police officers. Journal of Criminal Justice, 31, 215-226 Park, C.L., P.J. Moore, R.A. Turner and N.E. Adler. 1997. The roles of constructive thinking and optimism in psychological and bahavioral adjustment during pregnancy. Journal of Personality & Social Psychology. 73, 3, 584-592. Peterson, L. 1987. Stress Management Questionnaire. 12 Mental Measurements Yearbook. Clearwater, FL: H and H Publishing Co. Inc. Phillips, B. 1995. Controlling your emotions before they control you. Eugene, OR: Harvest House Publishers. Pratisto, A. 2004. Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12. Elex Media Komputindo, Jakarta. Robbins, S.P. 2003. Perilaku Organisasi Jilid 2, PT. Indeks, Jakarta. Robbins, S.P. dan Timothy A. Judge. 2008. Keduabelas. Salemba Empat, Jakarta.
Perilaku Organisasi. Edisi
Reddy, V.S. and Ramamurthy, P.V., 1991, The relation between stress experience on the jobage,personality and general ability. Psy. Stu., 36(2): 87-95. Saleh, S. 1986. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial, PT, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Scheuer, E. and S. Epstein. 1997. Constructive thinking, reactiona to a laboratory stressor, and symptoms in everyday life. Anxiety, Stress, and Coping. 10, 269-303. Schwartz, F. 1992. Breaking with tradition: Women and work, the new facts of life. New York: Warner Books. Selye, H. 1956. The Stress of Life. New York: McGraw Hill Book Co. ________1976. Stress without distress. Philadelphia: JB Lippincott Co. Siebert, Al. 1996. The Survivor Personality. A Perigee Book, New York.
107
Soewondo, S. 1993. Stres Kerja Pada Karyawan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Hal 1-29, Jakarta Sudarmono, I.G. dan I.N. Sudita. 2000. Perilaku Keorganisasian. BPFE, Yogyakarta. Tobias, C. 1999. The Way We Work. Nashville, TN: Broadman & Holman Publishers. Thompson, B. M., Kirk, A., & Brown, D. F. (2005). Work based support, emotional exhaustion, and spillover of work stress to the family environment: A study of police women. Stress and Health, Umar, H, 2003, Evaluasi Kinerja Perusahaan, Teknik Evaluasi Bisnis dan Kinerja Perusahaan Secara Komprehensif, Kuantitatif dan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Wang, J. and S. Paten. 2001. Perceived work stress and major depression in the Canadian employed population, 20-49 years old. Journal of Occupational Health Psychology. 6, 4, 283-289. Yulianti, P. 2000. Pengaruh Sumber-sumber Stress Kerja terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Dan Tenaga Edukatif Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas, Surabaya. Tesis Tidak diterbitkan, : Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Airlangga.
108
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN ANALISIS PERBEDAAN FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI PENANGGULANGAN STRES KERJA (Studi Kasus : Dinas Kesehatan Kota Bogor) Kuesioner ini merupakan instrumen penelitian dalam rangka penulisan tugas akhir program Magister yang dilakukan oleh : Nama/NRP Mayor/Fakultas Universitas
: Yani Inayani / H 251070081 : Ilmu Manajemen / Fakultas Ekonomi dan Manajemen : Institut Pertanian Bogor
Peneliti meminta kesediaan Anda meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner ini secara lengkap dan benar. Informasi yang diterima dari kuesioner ini bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan akademik. Terima kasih atas bantuan dan kerjasama Anda
I. IDENTITAS RESPONDEN Mohon Bapak/Ibu/Anda memberi tanda (x) pada jawaban berikut ini : 1. Jenis kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan 2. Umur / usia : ……. Tahun 3. Golongan Kepangkatan : a. Golongan IV b. Golonga III c. Golongan II d. Golongan I 4. Jabatan Struktural : a. Eselon II b. Eselon III c. Eselon IV d. Non Eselon 5. Pengalaman/masa kerja (selama bertugas di Dinas Kesehatan Kota Bogor) : ....... Tahun 6. Tingkat Pendidikan : a. Sarjana b. Non Sarjana
109
II. KUESIONER
Keterangan : 1= 2= 3= 4= 5=
No. 1 2
3
4 5
6 7 8
9
10
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju
Pernyataan Saya percaya bahwa hampir semua orang pada dasarnya baik hati. Kadang-kadang jika saya berpikir sesuatu yang buruk akan terjadi, maka akan terjadi. Ketika saya memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan karena tenggat waktu, saya malah menghabiskan waktu mengkhawatirkannya dan bukan mengerjakannya. Saya percaya bahwa beberapa orang memiliki kemampuan untuk membaca pikiran orang lain. Ketika sesuatu yang baik terjadi pada saya, saya percaya kemungkinan besar akan diimbangi dengan sesuatu yang buruk. Jika saya mengerjakan tes dengan baik, saya menyadari itu hanya sebuah tes dan itu tidak membuat saya merasa memiliki kemampuan untuk mengerjakannya. Saya percaya ada orang yang dapat memproyeksikan pikiran mereka ke dalam pikiran orang lain. Saya cenderung mengelompokkan orang yang baik atau melawan saya. Ketika melakukan tugas-tugas yang tidak menyenangkan, saya tetap melakukan yang terbaik dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan atau menarik. Saya merasa bahwa jika orang-orang memperlakukan anda dengan buruk, anda harus memperlakukan mereka dengan cara yang sama. 110
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
11
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
30 31
Ketika saya telah belajar bahwa seseorang yang saya cintai mencintai saya, itu membuat saya merasa seperti orang luar biasa dan saya dapat menyelesaikan apa pun yang saya inginkan. Jika sesuatu yang baik terjadi pada saya, saya cenderung menganggap itu adalah keberuntungan. Ketika saya mempunyai pengalaman yang sangat menakutkan, pikiran itu akan menghantui saya beberapa kali. Saya tidak membiarkan hal-hal kecil mengganggu saya. Bagi saya, ramalan Astrologi tidak akan pernah menjelaskan apa-apa. Saya melihat tantangan bukan sebagai sesuatu yang menakutkan, melainkan sebuah peluang untuk menguji diri dan belajar. Saya pikir setiap orang harus mencintai orang tua mereka. Saya senantiasa memikirkan kegagalan-kegagalan saya. Apa yang orang lain pikirkan tentang saya tidak mengganggu saya sama sekali. Saya percaya jika berpikiran buruk tentang seseorang, hal itu dapat mempengaruhi perilaku orang tersebut. Saya menghabiskan lebih banyak waktu untuk memikirkan kegagalan saya dibandingkan dengan mengingat kesuksesan saya. Saya kadang-kadang merasa kesal terhadap orang-orang yang menyatakan pandangan yang tidak masuk akal. Saya percaya bahwa selalu lebih baik untuk mrngambil keputusan sepihak daripada berkompromi. Jika seseorang yang saya kenal diterima pada saat wawancara pekerjaan yang penting, saya percaya bahwa ia akan selalu bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Saya sangat sensitif terhadap penolakan. Saya belajar untuk tidak berharap terlalu besar, karena apa yang saya harapkan biasanya tidak terjadi. Kebanyakan burung dapat berjalan lebih cepat daripada terbang. Saya percaya bahwa bulan atau bintang dapat mempengaruhi pikiran orang. Jika saya mengatakan sesuatu yang bodoh ketika berbicara dalam sebuah kelompok, saya tidak merasa khawatir akan hal itu. Ketika dihadapkan pada sejumlah besar pekerjaan, saya selalu merasa tidak pernah bisa menyelesaikannya dan merasa ingin menyerah. Ketika sesuatu yang buruk terjadi, saya merasa bahwa akan lebih banyak hal-hal buruk yang mengikuti. 111
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
32 33 34 35 36 37
38 39 40 41
42
43 44 45 46 47 48 49 50 51
Sedikit indikasi ketidaksetujuan membuat saya kesal. Saya tidak pernah belajar membaca keadaan. Hal yang sangat menyedihkan bagi saya untuk berusaha keras dan jatuh, sehingga saya jarang mengerjakan sesuatu sepenuh hati. Saya percaya bahwa kebanyakan orang hanya tertarik pada diri mereka sendiri. Saya sangat khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan tentang saya. Ketika saya menyadari telah membuat kesalahan, saya biasanya segera mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Jika saya gagal pada suatu tes yang penting, saya merasa seperti gagal total dan tidak akan pernah berhasil dalam kehidupan. Saya percaya jika saya bekerja cukup keras untuk sesuatu, itu akan terjadi. Saya percaya pada kesan pertama. Ketika berhadapan dengan tugas yang sulit, saya akan memikirkan hal-hal yang memotivasi untuk membantu saya melakukan yang terbaik. Saya percaya bahwa orang-orang yang memakai kacamata biasanya dapat melihat lebih baik tanpa kacamata. Saya percaya bahwa beberapa orang dapat membuat saya sadar akan kehadiran mereka hanya dengan berpikir tentang saya. Pikiran saya sering melayang ke peristiwa yang tidak menyenangkan di masa lalu. Saya termasuk orang yang cepat mengambil tindakan dan bukan hanya berpikir atau mengeluh tentang situasi yang terjadi. Hanya ada dua kemungkinan jawaban untuk setiap pertanyaan, benar atau salah. Saya percaya hal-hal yang baik dalam kebanyakan situasi, untuk menekankan sisi positif dari hal-hal itu. Jika seseorang yang saya kenal lulus pada suatu tes penting, saya merasa bahwa dia akan sukses dalam kehidupan. Saya tidak khawatir pada hal-hal yang tidak bisa saya lakukan. Saya mencuci tangan sebelum makan setidaknya sekali dalam satu bulan terakhir. Jika saya mengerjakan sesuatu yang tidak menyenangkan, saya mencoba untuk berbuat yang terbaik dengan berpikir dari sisi positifnya.
112
1 1
2 2
3 3
4 5 4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
63
64 65 66 67 68 69 70 71 72 73
Jika saya lulus pada suatu tes penting, saya merasa seperti orang yang akan sukses dalam kehidupan selanjutnya. Saya percaya hantu. Saya merasa seperti gagal total jika tidak mencapai tujuan yang saya tetapkan sebelumnya. Ada dua jenis orang di dunia ini, pemenang dan pecundang. Jika saya diterima pada saat wawancara untuk suatu pekerjaan penting, saya berpikir bahwa saya akan selalu bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Jika saya melakukan pekerjaan yang tidak sempurna, saya merasa gagal. Ketika saya mengerjakan tes, saya biasanya akan berpikir mendapatkan hasil buruk daripada yang benarbenar saya kerjakan. Ketika sesuatu yang baik terjadi pada saya, saya merasa bahwa akan lebih banyak hal baik cenderung mengikuti. Saya mentolerir kesalahan-kesalahan saya dan merasa bahwa itu adalah bagian penting proses pembelajaran. Ketika hal-hal yang tidak menyenangkan terjadi pada saya, saya tidak terlalu memikirkannya. Kebanyakan orang menganggap saya sebagai orang yang toleran dan pemaaf. Jika saya ditolak pada saat wawancara pekerjaan yang penting, saya akan merasa sangat rendah diri dan berpikir bahwa saya tidak akan pernah bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Ketika mengerjakan sesuatu yang buruk, selama saya telah melakukan yang terbaik, itu tidak mengganggu saya sama sekali. Saya cenderung untuk memasukkan kedalam hati pengalaman tentang sesuatu. Saya memiliki minimal satu keberuntungan. Saya belum pernah melihat orang bermata biru. Saya tidak merasa harus mengerjakan sesuatu dengan sangat baik dalam rangka untuk menganggap diri saya orang yang berharga. Orang harus berusaha untuk tampak bahagia, tidak peduli apa yang mereka rasakan. Saya menghindari tantangan karena terlalu menyakitkan ketika gagal. Satu-satunya orang saya percayai adalah diri saya sendiri. Saya tidak merasa tergganggu ketika orang-orang mengetahui kekurangan saya dan memberi saya saran. Saya sangat sensitif apabila diolok-olok. 113
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1 1
2 2
3 3
4 5 4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
74 75 76 77
78 79 80 81 82
83 84 85 86 87
88
89 90 91 92 93
Meskipun kadang-kadang wanita memakai celana panjang, mereka tidak memakainya sesering pria. Saya percaya bahwa jika berbicara tentang kesuksesan yang saya cari akan menyebabkan hal itu dapat terjadi. Setiap kali hal-hal baik terjadi, saya merasa bahwa saya pantas mendapatkannya. Saya berpikir bahwa banyak cara yang salah, tetapi hanya satu cara yang benar untuk melakukan hampir semua hal. Saya menghabiskan banyak waktu untuk berpikir tentang kesalahan-kesalahan saya meskipun tidak ada yang bisa saya lakukan untuk memperbaikinya. Saya ingin sukses, tetapi tidak ingin mengalami kegagalan sebagai sebuah tragedi. Saat saya merasa sakit atau lelah, saya meraa ingin tidur lebih awal. Adalah hal bodoh untuk mempercayai orang sepenuhnya, jika dilakukan maka anda akan terluka. Ketika saya memiliki banyak hal penting untuk dilakukan, saya membuat rencana dan berpedoman pada rencana itu. Ketika seseorang yang saya cintai telah menolak saya, itu membuat saya merasa tidak mampu dan saya tidak akan pernah bisa mencapai apa-apa. Jika anda tidak makan, anda bisa mati. Saya cenderung untuk membicarakan hal-hal yang menyenangkan daripada kejadian yang tidak menyenangkan di masa lalu. Saya percaya akan tanda-tanda baik dan buruk di masa depan. Saya merasa tidak terganggu sedikit pun ketika orang menghina saya tanpa alasan. Ketika seseorang yang saya kenal dicintai oleh orang yang mereka cintai, saya merasa bahwa mereka adalah orang luar biasa dan dapat mencapai apa pun yang mereka inginkan. Saya begitu tertekan ketika menyadari bahwa saya melakukan sesuatu yang buruk. Saya mencoba untuk menerima orang sebagaimana adanya tanpa menghakimi mereka. Ketika hal-hal yang tidak menyenangkan terjadi, saya tidak membiarkannya mematikan pikiran saya. Jika saya gagal pada sebuah ujian, saya sadar itu hanya sebuah tes dan tidak akan membuat saya merasa tidak kompeten. Saya percaya seorang penjahat, akan selalu menjadi penjahat. 114
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104
105 106 107 108
Saya percaya ada orang yang dapat melihat masa depan. Saya percaya bahwa siapa pun yang tidak malas selalu dapat menemukan pekerjaan. Saya merasa sulit untuk mengubah pikiran saya setelah saya membuat keputusan. Saya tidak percaya pada takhayul. Saya tidak merasa tertekan atas kesalahan orang lain, tetapi mencoba mengatasinya dengan cara yang kontruktif Ketika dihadapkan dengan situasi yang menantang, saya mencoba membayangkan hasil yang terbaik dan menghindari memikirkan apa yang mungkin salah. Saya percaya bahwa jika saya melakukan sesuatu yang baik, maka hal baik akan terjadi pada saya. Saya percaya adanya piring terbang. Saya mencoba melakukan yang terbaik pada setiap pekerjaan saya. Saya telah belajar dari pengalaman pahit bahwa kebanyakan orang tidak dapat dipercaya. Ketika saya dihadapkan pada situasi baru, saya cenderung memikirkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Ketika dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan, saya biasanya akan memikirkan tindakan untuk menanganinya. Dua tambah dua sama dengan empat. Pada dasarnya ada dua jenis orang di dunia ini, baik dan buruk. Ketika sesuatu yang tidak menguntungkan terjadi, itu mengingatkan saya pada semua hal yang salah dalam hidup saya, yang menambah ketidakbahagiaan saya.
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
1
2
3
4 5
Saran dan komentar anda untuk perbaikan dan peningkatan Dinas Kesehatan Kota Bogor dalam pelayanan kepada publik khususnya di bidang kesehatan : ........................................................................................................................................... ........................................................................................................................................... ........................................................................................................................................... ........................................................................................................................................... ...........................................................................................................................................
115
Lampiran 2. Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Behavioral Coping(BC) BC Reliability Statistics Cronbach's Alpha .883
N of Items 14 Item-Total Statistics
BC1
Scale Mean if Item Deleted 52.40
Scale Variance if Item Deleted 31.421
Corrected Item-Total Correlation .475
Cronbach's Alpha if Item Deleted .879
BC2
52.53
31.016
.674
.871
BC3
52.43
31.151
.416
.883
BC4
52.47
29.982
.752
.866
BC5
52.80
27.821
.553
.882
BC6
52.23
29.151
.647
.870
BC7
52.30
30.700
.695
.869
BC8
52.33
31.057
.667
.871
BC9
52.20
30.234
.779
.866
BC10
52.23
30.668
.587
.873
BC11
52.43
31.220
.670
.871
BC12
52.60
32.938
.249
.889
BC13
52.47
32.051
.565
.876
BC14
52.20
32.097
.414
.881
116
Lampiran 3.
Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Emotional Coping (EC)
EC Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.940
25 Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
EC1
96.53
102.189
.394
.941
EC2
96.23
100.116
.722
.936
EC3
96.30
100.700
.636
.937
EC4
96.27
101.789
.591
.937
EC5
96.63
100.240
.779
.935
EC6
96.60
100.800
.766
.936
EC7
96.60
103.007
.321
.942
EC8
96.47
102.947
.650
.937
EC9
96.80
100.441
.480
.940
EC10
96.57
101.840
.708
.936
EC11
96.73
98.064
.804
.934
EC12
96.80
100.234
.659
.936
EC13
96.70
100.769
.670
.936
EC14
96.80
101.683
.429
.940
EC15
96.50
99.155
.712
.936
EC16
96.37
99.137
.680
.936
EC17
96.33
98.644
.700
.936
EC18
96.47
99.016
.647
.937
EC19
96.47
100.671
.624
.937
EC20
96.23
98.806
.761
.935
EC21
96.17
101.247
.673
.936
EC22
96.70
99.183
.735
.935
EC23
96.70
102.838
.491
.939
EC24
96.63
103.275
.495
.939
EC25
96.20
102.855
.368
.941
117
Lampiran 4. Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Personal Superstitious Thinking (PST) PST Reliability Statistics Cronbach's Alpha .802
N of Items 6
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
PST1
15.70
3.734
.336
.484
PST2
16.13
4.257
.357
.362
PST3
15.87
2.947
.618
.767
PST4
17.33
3.609
.707
.746
PST5
17.03
3.344
.726
.740
PST6
16.43
3.151
.670
.694
a The value is negative due to a negative average covariance among items. This violates reliability model assumptions. You may want to check item codings.
118
Lampiran 5. Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Categorical Thinking (CaT) CaT Reliability Statistics Cronbach's Alpha(a) .741
N of Items 16
a The value is negative due to a negative average covariance among items. This violates reliability model assumptions. You may want to check item codings. Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
CaT1
38.43
8.392
.328
.338
CaT2
40.57
7.771
.312
.418
CaT3
41.03
6.516
.632
.321
CaT4
40.23
9.633
.419
.445
CaT5
39.47
6.671
.231
.463
CaT6
40.07
6.133
.397
.336
CaT7
40.40
9.214
.573
.365
CaT8
39.77
4.461
.568
.722
CaT9
38.67
7.333
.209
.448
CaT10
39.47
11.637
.616
.364
CaT11
40.53
9.016
.285
.467
CaT12
40.33
5.954
.594
.414
CaT13
39.27
9.995
.412
.243
CaT14
40.47
8.395
.400
.341
CaT15
38.87
8.395
.240
.043
CaT16
39.43 6.737 .394 .435 a The value is negative due to a negative average covariance among items. This violates reliability model assumptions. You may want to check item codings.
119
Lampiran 6.
Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Esoteric Thinking (EC)
ET Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.928
12 Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
ET1
38.00
83.655
.319
.935
ET2
38.50
70.259
.881
.914
ET3
38.87
66.809
.764
.923
ET4
38.33
75.264
.661
.924
ET5
38.90
71.541
.886
.914
ET6
38.03
86.171
.351
.933
ET7
38.93
69.099
.906
.913
ET8
38.43
77.357
.598
.926
ET9
38.90
71.817
.818
.917
ET10
37.97
86.171
.448
.932
ET11
38.73
73.444
.881
.915
ET12
38.77
75.151
.850
.917
120
Lampiran 7. Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk sub-skala Naive Optimism (NaO) NaO Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.723
15 Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
NaO1
51.17
16.971
.154
.677
NaO2
51.60
16.110
.144
.621
NaO3
50.80
15.476
.261
.607
NaO4
53.07
11.651
.717
.502
NaO5
51.40
14.317
.828
.563
NaO6
51.50
14.603
.469
.582
NaO7
52.83
12.833
.447
.563
NaO8
52.67
14.782
.670
.659
NaO9
52.43
13.082
.585
.546
NaO10
51.47
13.913
.741
.554
NaO11
52.00
16.414
.679
.669
NaO12
51.53
16.602
.536
.626
NaO13
52.20
17.752
.256
.711
NaO14
51.33
14.851
.506
.584
NaO15
51.47
13.430
.760
.541
121
Lampiran 8. Hasil uji ANOVA untuk skala Global Constructive Thinking (GCT) Group Statistics
GCT
JK Laki-laki Perempuan
N 85
Mean 3.4284
Std. Deviation .18732
Std. Error Mean .02032
188
3.4547
.18942
.01381
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
GC T
Equal variances assumed Equal variances not assumed
t-test for Equality of Means Std. Sig. Mean Error (2Differen Differenc tailed) ce e Lower
F
Sig.
t
df
Lowe r
Uppe r
Lowe r
Upper
.004
.951
1.066
271
.287
-.02630
1.070
163.888
.286
-.02630
Upper
Lower
95% Confidence Interval of the Difference Upper
Lower
.02467
.07487
.02228
.02457
.07481
.02221
Group Statistics
GCT
Pend Sarjana Non Sarjana
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
92
3.4314
.19240
.02006
181
3.4542
.18704
.01390
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
GCT
Equal variances assumed Equal variances not assumed
t-test for Equality of Means Sig. (2Mean Std. Error tailed) Difference Difference Lower
F
Sig.
t
df
Lower
Upper
Lower
Upper
.009
.925
-.942
271
.347
-.02277
-.933
178.588
.352
-.02277
122
Upper
Lower
95% Confidence Interval of the Difference Upper
Lower
.02418
.07038
.02483
.02441
.07093
.02539
Lanjutan Lampiran 8
Descriptives GCT
N Lower Bound
Mean Upper Bound
Std. Deviation Lower Bound
Std. Error Upper Bound
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Minimum Lower Bound
Maximum Upper Bound
21-32 tahun
61
3.4782
.18186
.02329
3.4317
3.5248
3.00
3.90
33-44 tahun
116
3.4474
.17958
.01667
3.4144
3.4804
2.93
3.79
45-55 tahun
93
3.4238
.20417
.02117
3.3818
3.4659
2.66
4.03
3
3.4713
.17010
.09821
3.0487
3.8938
3.28
3.59
273
3.4465
.18882
.01143
3.4240
3.4690
2.66
4.03
>55 tahun Total
ANOVA GCT Sum of Squares Between Groups
Sig. df
Mean Square
.111
3
.037
Within Groups
9.586
269
.036
Total
9.697
272
123
F 1.041
.375
Lampiran 9. Hasil uji ANOVA untuk Jenis Kelamin Group Statistics
BC EC PT CAT ET NAO
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
N 85 188 85 188 85 188 85 188 85 188 85 188
Mean 3,9512 3,9680 3,4118 3,4696 3,0501 3,0954 3,0300 2,9424 3,0605 2,9771 3,6418 3,6364
Std. Dev iat ion ,24346 ,32940 ,30767 ,34407 ,48769 ,54652 ,50510 ,45568 ,57479 ,48445 ,36960 ,37471
Std. Error Mean ,02641 ,02402 ,03337 ,02509 ,05290 ,03986 ,05479 ,03323 ,06234 ,03533 ,04009 ,02733
Independent Samples Test Lev ene's Test f or Equality of Variances
F BC
EC
PT
CAT
ET
NAO
Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed
Sig.
6,775
,030
1,058
1,432
1,274
,229
,010
,862
,305
,233
,260
,632
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Dif f erence
Std. Error Dif f erence
95% Confidence Interv al of the Dif f erence Lower Upper
-,422
271
,673
-,01686
,03991
-,09543
,06172
-,472
214,559
,637
-,01686
,03570
-,08722
,05351
-1,327
271
,186
-,05781
,04355
-,14355
,02793
-1,385
180,000
,168
-,05781
,04175
-,14020
,02458
-,655
271
,513
-,04525
,06914
-,18138
,09087
-,683
180,354
,495
-,04525
,06623
-,17595
,08544
1,421
271
,157
,08755
,06164
-,03379
,20890
1,366
148,182
,174
,08755
,06408
-,03907
,21418
1,240
271
,216
,08334
,06720
-,04896
,21565
1,163
140,129
,247
,08334
,07166
-,05833
,22502
,109
271
,913
,00533
,04877
-,09069
,10135
,110
164,274
,913
,00533
,04852
-,09047
,10113
124
Lampiran 10. Hasil uji ANOVA untuk Tingkat Pendidikan Group Statisti cs
BC EC PT CAT ET NAO
Tingkat Pendidikan Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana
N
Mean 3,9782 3,9550 3,4230 3,4661 2,9760 3,1348 2,9387 2,9855 3,0645 2,9719 3,5653 3,6751
92 181 92 181 92 181 92 181 92 181 92 181
St d. Dev iation ,31382 ,30084 ,35393 ,32295 ,51968 ,52619 ,46687 ,47575 ,55893 ,48930 ,36061 ,37390
St d. Error Mean ,03272 ,02236 ,03690 ,02400 ,05418 ,03911 ,04867 ,03536 ,05827 ,03637 ,03760 ,02779
Independent Samples Test Levene's Test f or Equality of Variances
F BC
EC
PT
CAT
ET
NAO
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig. ,423
1,900
,147
,169
1,288
,242
,516
,169
,702
,681
,257
,623
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Dif f erence
Std. Error Dif f erence
95% Confidence Interv al of the Dif f erence Lower Upper
,593
271
,554
,02318
,03909
-,05377
,10013
,585
176,406
,559
,02318
,03963
-,05503
,10139
-1,007
271
,315
-,04303
,04272
-,12715
,04108
-,978
169,015
,330
-,04303
,04402
-,12993
,04387
-2,367
271
,019
-,15883
,06710
-,29092
-,02673
-2,377
185,135
,018
-,15883
,06682
-,29066
-,02700
-,773
271
,440
-,04677
,06054
-,16596
,07241
-,777
186,192
,438
-,04677
,06016
-,16546
,07192
1,407
271
,160
,09258
,06578
-,03693
,22208
1,348
163,186
,180
,09258
,06869
-,04306
,22822
-2,320
271
,021
-,10976
,04731
-,20290
-,01662
-2,348
189,081
,020
-,10976
,04675
-,20198
-,01753
125
Lampiran 11. Hasil uji ANOVA untuk Usia
Descriptives
N BC
EC
PT
CAT
ET
NAO
21 - 32 tahun 33 - 44 tahun 45 - 55 tahun > 55 tahun Total 21 - 32 tahun 33 - 44 tahun 45 - 55 tahun > 55 tahun Total 21 - 32 tahun 33 - 44 tahun 45 - 55 tahun > 55 tahun Total 21 - 32 tahun 33 - 44 tahun 45 - 55 tahun > 55 tahun Total 21 - 32 tahun 33 - 44 tahun 45 - 55 tahun > 55 tahun Total 21 - 32 tahun 33 - 44 tahun 45 - 55 tahun > 55 tahun Total
61 116 93 3 273 61 116 93 3 273 61 116 93 3 273 61 116 93 3 273 61 116 93 3 273 61 116 93 3 273
Mean 4,0080 3,9463 3,9525 4,0000 3,9628 3,4302 3,4152 3,5148 3,3333 3,4516 3,0295 3,0786 3,1230 2,9433 3,0813 2,9839 2,9537 2,9727 3,2067 2,9697 2,9795 2,9866 3,0297 3,2967 3,0031 3,6152 3,6895 3,5988 3,3333 3,6381
Std. Dev iation ,27954 ,29347 ,33709 ,18520 ,30490 ,30643 ,30297 ,38277 ,10066 ,33368 ,56189 ,53954 ,49533 ,53715 ,52843 ,43686 ,41598 ,54478 ,96023 ,47244 ,51957 ,46608 ,57282 ,38188 ,51466 ,40025 ,38091 ,33703 ,33501 ,37246
Std. Error ,03579 ,02725 ,03495 ,10693 ,01845 ,03923 ,02813 ,03969 ,05812 ,02020 ,07194 ,05010 ,05136 ,31013 ,03198 ,05593 ,03862 ,05649 ,55439 ,02859 ,06652 ,04327 ,05940 ,22048 ,03115 ,05125 ,03537 ,03495 ,19342 ,02254
126
95% Confidence Interv al for Mean Lower Bound Upper Bound 3,9364 4,0796 3,8923 4,0003 3,8831 4,0219 3,5399 4,4601 3,9265 3,9991 3,3517 3,5086 3,3595 3,4709 3,4360 3,5937 3,0833 3,5834 3,4118 3,4913 2,8856 3,1734 2,9794 3,1778 3,0210 3,2250 1,6090 4,2777 3,0183 3,1442 2,8721 3,0958 2,8772 3,0302 2,8605 3,0849 ,8213 5,5920 2,9134 3,0260 2,8464 3,1126 2,9008 3,0723 2,9117 3,1476 2,3480 4,2453 2,9418 3,0644 3,5127 3,7178 3,6194 3,7595 3,5294 3,6682 2,5011 4,1656 3,5937 3,6825
Minimum 3,50 2,93 3,00 3,86 2,93 2,80 2,80 2,80 3,24 2,80 1,83 2,00 2,33 2,33 1,83 2,25 2,25 2,19 2,56 2,19 2,00 2,00 2,00 2,88 2,00 2,93 2,80 2,87 3,00 2,80
Maximum 5,00 4,64 5,00 4,21 5,00 4,56 4,92 5,00 3,44 5,00 5,00 5,00 4,67 3,33 5,00 4,81 4,63 5,00 4,31 5,00 4,38 4,88 5,00 3,63 5,00 5,00 5,00 4,80 3,67 5,00
Lanjutan Lampiran 11
ANOVA
BC
EC
PT
CAT
ET
NAO
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares ,170 25,115 25,285 ,596 29,689 30,285 ,383 75,569 75,953 ,211 60,499 60,710 ,390 71,657 72,047 ,760 36,972 37,733
df 3 269 272 3 269 272 3 269 272 3 269 272 3 269 272 3 269 272
127
Mean Square ,057 ,093
F ,609
Sig. ,610
,199 ,110
1,800
,148
,128 ,281
,455
,714
,070 ,225
,313
,816
,130 ,266
,488
,691
,253 ,137
1,844
,140
Lampiran 12. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Sarjana Gro up Statistics
GCT BC EC PST ET CAT NAO
JK Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
N
Mean 3.3824 3.4655 3.8929 4.0378 3.2891 3.3394 2.8561 2.8857 2.9129 2.8976 2.9176 2.7848 3.6061 3.5229
22 70 22 70 22 70 22 70 22 70 22 70 22 70
Std. Dev iat ion .23817 .24032 .26059 .40675 .28524 .19605 .50473 .49355 .33578 .29528 .34632 .25530 .36043 .35597
Std. Error Mean .05078 .02872 .05556 .04862 .06081 .02343 .10761 .05899 .07159 .03529 .07384 .03051 .07684 .04255
Independent Samples Test Levene's Test f or Equality of Variances
F GCT
BC
EC
PST
ET
CAT
NAO
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig. .920
.642
3.505
.041
.281
2.866
.014
.340
.425
.064
.839
.597
.094
.906
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Dif f erence
Std. Error Dif f erence
95% Confidence Interv al of the Dif f erence Lower Upper
-1.417
90
.160
-.08307
.05862
-.19953
.03338
-1.424
35.484
.163
-.08307
.05834
-.20145
.03531
-1.569
90
.120
-.14490
.09233
-.32832
.03852
-1.963
55.558
.055
-.14490
.07382
-.29281
.00302
-.936
90
.352
-.05034
.05380
-.15722
.05655
-.772
27.514
.446
-.05034
.06517
-.18394
.08327
-.245
90
.807
-.02965
.12128
-.27059
.21128
-.242
34.568
.810
-.02965
.12272
-.27889
.21959
.205
90
.838
.01526
.07460
-.13295
.16347
.191
31.875
.850
.01526
.07982
-.14734
.17786
1.946
90
.055
.13279
.06824
-.00278
.26837
1.662
28.532
.107
.13279
.07989
-.03072
.29631
.953
90
.343
.08320
.08726
-.09016
.25656
.947
34.852
.350
.08320
.08784
-.09514
.26155
128
Lampiran 13. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Non Sarjana Gro up Statistics
GCT BC EC PST ET CAT NAO
JK Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
N
Mean 3.4444 3.4594 3.9399 3.9516 3.3829 3.4281 2.9788 2.9732 2.9524 2.9386 2.8581 2.8347 3.5619 3.6407
63 118 63 118 63 118 63 118 63 118 63 118 63 118
Std. Dev iat ion .16527 .19816 .20007 .32430 .23694 .23443 .43942 .41572 .25166 .26586 .28690 .27133 .28904 .33476
Std. Error Mean .02082 .01824 .02521 .02985 .02985 .02158 .05536 .03827 .03171 .02447 .03615 .02498 .03642 .03082
Independent Samples Test Levene's Test f or Equality of Variances
F GCT
BC
EC
PST
ET
CAT
NAO
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig.
2.778
7.996
.005
.000
.002
.107
.839
.097
.005
.945
.988
.964
.744
.361
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Dif f erence
Std. Error Dif f erence
95% Confidence Interv al of the Dif f erence Lower Upper
-.511
179
.610
-.01494
.02924
-.07264
.04277
-.540
147.616
.590
-.01494
.02768
-.06964
.03977
-.260
179
.795
-.01166
.04485
-.10016
.07683
-.299
175.228
.766
-.01166
.03907
-.08878
.06545
-1.233
179
.219
-.04528
.03672
-.11773
.02717
-1.229
125.566
.221
-.04528
.03684
-.11818
.02762
.086
179
.932
.00567
.06617
-.12491
.13625
.084
120.795
.933
.00567
.06730
-.12757
.13892
.339
179
.735
.01382
.04073
-.06655
.09419
.345
132.896
.731
.01382
.04005
-.06540
.09305
.541
179
.589
.02339
.04319
-.06185
.10862
.532
120.760
.595
.02339
.04394
-.06360
.11037
-1.579
179
.116
-.07877
.04988
-.17720
.01965
-1.651
143.580
.101
-.07877
.04771
-.17307
.01552
129
Lampiran 14. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Sarjana rentang usia 21-32 tahun Gro up Statistics
GCT BC EC PST ET CAT NAO
JK Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
N 2 17 2 17 2 17 2 17 2 17 2 17 2 17
Mean 3.6725 3.4564 4.1425 4.0798 3.5400 3.3294 3.1665 2.6765 2.9165 2.8101 2.9065 2.7721 3.4000 3.4000
Std. Dev iat ion .21991 .15967 .10112 .22429 .53740 .18949 .94257 .46945 .23547 .20083 .04455 .19757 .47093 .32914
Std. Error Mean .15550 .03873 .07150 .05440 .38000 .04596 .66650 .11386 .16650 .04871 .03150 .04792 .33300 .07983
Independent Samples Test Lev ene's Test f or Equality of Variances
F GCT
BC
EC
PST
ET
CAT
NAO
Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed
Sig. .294
1.563
13.354
2.197
.000
1.633
.185
.594
.228
.002
.157
.989
.219
.673
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Dif f erence
Std. Error Dif f erence
95% Confidence Interv al of the Dif f erence Lower Upper
1.765
17
.096
.21611
.12247
-.04228
.47450
1.349
1.128
.387
.21611
.16025
-1.34866
1.78088
.383
17
.707
.06267
.16369
-.28269
.40803
.698
2.442
.546
.06267
.08984
-.26404
.38938
1.250
17
.228
.21059
.16846
-.14483
.56600
.550
1.029
.678
.21059
.38277
-4.33614
4.75732
1.286
17
.216
.49003
.38094
-.31369
1.29375
.725
1.059
.595
.49003
.67616
-7.04631
8.02637
.701
17
.493
.10638
.15178
-.21384
.42660
.613
1.178
.637
.10638
.17348
-1.44770
1.66046
.937
17
.362
.13444
.14351
-.16834
.43722
2.344
8.229
.046
.13444
.05734
.00284
.26604
.000
17
1.000
.00000
.25351
-.53486
.53486
.000
1.118
1.000
.00000
.34243
-3.40265
3.40265
130
Lampiran 15. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Sarjana rentang usia 33-44 tahun Gro up Statistics
GCT BC EC PST ET CAT NAO
JK Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
N
Mean 3.3763 3.4605 3.9611 3.9493 3.2836 3.3484 2.8485 2.9462 2.9546 2.9567 2.7957 2.8125 3.6669 3.5828
11 31 11 31 11 31 11 31 11 31 11 31 11 31
Std. Dev iat ion .23922 .14509 .17602 .29806 .27565 .20349 .59360 .47994 .45701 .23566 .25014 .29137 .43003 .35107
Std. Error Mean .07213 .02606 .05307 .05353 .08311 .03655 .17898 .08620 .13779 .04232 .07542 .05233 .12966 .06305
Independent Samples Test Levene's Test f or Equality of Variances
F GCT
BC
EC
PST
ET
CAT
NAO
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig.
3.640
2.357
1.726
.753
8.059
.079
.732
.064
.133
.196
.391
.007
.780
.397
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Dif f erence
Std. Error Dif f erence
95% Confidence Interv al of the Dif f erence Lower Upper
-1.384
40
.174
-.08424
.06088
-.20729
.03881
-1.098
12.709
.292
-.08424
.07669
-.25030
.08183
.123
40
.903
.01178
.09571
-.18166
.20522
.156
30.260
.877
.01178
.07538
-.14211
.16568
-.825
40
.414
-.06475
.07852
-.22344
.09394
-.713
14.066
.487
-.06475
.09079
-.25940
.12990
-.546
40
.588
-.09778
.17924
-.46005
.26448
-.492
14.910
.630
-.09778
.19865
-.52142
.32586
-.019
40
.985
-.00208
.10752
-.21939
.21523
-.014
11.941
.989
-.00208
.14415
-.31632
.31217
-.170
40
.866
-.01677
.09884
-.21653
.18299
-.183
20.373
.857
-.01677
.09180
-.20803
.17449
.644
40
.523
.08411
.13069
-.18002
.34824
.583
15.009
.568
.08411
.14418
-.22318
.39140
131
Lampiran 16. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Sarjana rentang usia 45-56 tahun Gro up Statistics
GCT BC EC PST ET CAT NAO
JK Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
N
Mean 3.3256 3.4745 3.7539 3.9966 3.2400 3.3257 2.7963 2.9444 2.8611 2.8769 3.0697 2.7649 3.5780 3.5270
9 21 9 21 9 21 9 21 9 21 9 21 9 21
Std. Error Mean .07208 .08348 .10249 .04449 .08433 .04349 .09926 .11170 .05010 .03432 .14531 .05437 .08534 .08343
Std. Dev iat ion .21624 .38257 .30746 .20389 .25298 .19931 .29777 .51190 .15030 .15728 .43594 .24914 .25602 .38233
Independent Samples Test Levene's Test f or Equality of Variances
F GCT
BC
EC
PST
ET
CAT
NAO
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig. .205
1.912
.046
6.940
.036
8.085
1.753
.654
.178
.831
.014
.851
.008
.196
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Dif f erence
Std. Error Dif f erence
95% Confidence Interv al of the Dif f erence Lower Upper
-1.089
28
.285
-.14899
.13680
-.42922
.13123
-1.351
25.503
.189
-.14899
.11030
-.37592
.07794
-2.558
28
.016
-.24271
.09487
-.43704
-.04838
-2.172
11.141
.052
-.24271
.11173
-.48824
.00282
-.996
28
.328
-.08571
.08606
-.26200
.09057
-.903
12.469
.383
-.08571
.09488
-.29159
.12016
-.806
28
.427
-.14811
.18366
-.52432
.22810
-.991
25.034
.331
-.14811
.14943
-.45585
.15963
-.256
28
.800
-.01581
.06188
-.14257
.11094
-.260
15.872
.798
-.01581
.06073
-.14464
.11301
2.436
28
.021
.30479
.12512
.04848
.56109
1.964
10.316
.077
.30479
.15515
-.03948
.64905
.365
28
.718
.05102
.13981
-.23537
.33740
.427
22.412
.673
.05102
.11935
-.19623
.29826
132
Lampiran 17. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Sarjana usia >56 tahun UMUR
JK
GCT
BC
EC
PST
ET
CAT
NAO
> 56
Wanita
3.586
4.214
3.520
3.333
2.857
2.563
3.667
133
Lampiran 18. Hasil uji ANOVA antara pegawai pira dan wanita Non Sarjana rentang usia 21-32 tahun Gro up Statistics
GCT BC EC PST ET CAT NAO
JK Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
N
Mean 3.4698 3.4828 3.9643 3.9890 3.3600 3.4431 2.9479 3.0321 2.9792 2.9872 2.9570 2.8726 3.6292 3.6744
16 26 16 26 16 26 16 26 16 26 16 26 16 26
Std. Dev iat ion .19379 .18761 .24744 .34327 .29248 .25068 .50449 .45709 .22669 .28934 .34059 .25278 .34596 .36628
Std. Error Mean .04845 .03679 .06186 .06732 .07312 .04916 .12612 .08964 .05667 .05674 .08515 .04958 .08649 .07183
Independent Samples Test Lev ene's Test f or Equality of Variances
F GCT
BC
EC
PST
ET
CAT
NAO
Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed
Sig. .001
1.091
1.154
.304
.650
1.846
.026
.981
.303
.289
.584
.425
.182
.873
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Dif f erence
Std. Error Dif f erence
95% Confidence Interv al of the Dif f erence Lower Upper
-.214
40
.831
-.01293
.06036
-.13491
.10905
-.213
31.087
.833
-.01293
.06083
-.13699
.11113
-.250
40
.804
-.02473
.09876
-.22433
.17487
-.270
38.863
.788
-.02473
.09143
-.20967
.16022
-.979
40
.334
-.08308
.08488
-.25462
.08846
-.943
28.172
.354
-.08308
.08811
-.26351
.09736
-.557
40
.581
-.08413
.15106
-.38944
.22117
-.544
29.471
.591
-.08413
.15474
-.40038
.23211
-.094
40
.925
-.00801
.08502
-.17984
.16382
-.100
37.524
.921
-.00801
.08020
-.17043
.15441
.920
40
.363
.08444
.09178
-.10106
.26993
.857
25.159
.400
.08444
.09853
-.11842
.28729
-.396
40
.694
-.04519
.11400
-.27560
.18522
-.402
33.319
.690
-.04519
.11243
-.27385
.18346
134
Lampiran 19. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Non Sarjana rentang usia 33-44 tahun Group Statistics
GCT BC EC PST ET CAT NAO
JK Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
N
Mean 3.4234 3.4618 3.9246 3.9605 3.3156 3.4257 2.8241 2.9315 2.9167 2.9315 2.9167 2.8750 3.5074 3.6702
18 56 18 56 18 56 18 56 18 56 18 56 18 56
Std. Dev iat ion .13000 .19701 .19824 .31825 .25846 .24138 .31557 .37575 .19386 .24777 .33349 .29242 .26973 .31229
Std. Error Mean .03064 .02633 .04673 .04253 .06092 .03226 .07438 .05021 .04569 .03311 .07860 .03908 .06358 .04173
Independent Samples Test Lev ene's Test f or Equality of Variances
F GCT
BC
EC
PST
ET
CAT
NAO
Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed Equal v ariances assumed Equal v ariances not assumed
Sig.
5.319
2.102
.073
3.887
.670
.493
.104
.024
.151
.788
.052
.416
.485
.747
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Dif f erence
Std. Error Dif f erence
95% Confidence Interv al of the Dif f erence Lower Upper
-.774
72
.442
-.03845
.04970
-.13752
.06061
-.952
43.960
.346
-.03845
.04040
-.11987
.04297
-.450
72
.654
-.03586
.07976
-.19485
.12314
-.568
46.887
.573
-.03586
.06318
-.16297
.09126
-1.656
72
.102
-.11016
.06652
-.24277
.02245
-1.598
27.207
.122
-.11016
.06893
-.25155
.03123
-1.094
72
.277
-.10747
.09820
-.30324
.08829
-1.198
33.852
.239
-.10747
.08974
-.28988
.07493
-.233
72
.817
-.01488
.06399
-.14243
.11267
-.264
36.434
.793
-.01488
.05643
-.12928
.09951
.508
72
.613
.04167
.08199
-.12179
.20512
.475
25.951
.639
.04167
.08778
-.13879
.22212
-1.985
72
.051
-.16283
.08204
-.32637
.00071
-2.141
32.917
.040
-.16283
.07605
-.31757
-.00810
135
Lampiran 20. Hasil uji ANOVA antara pegawai pria dan wanita Non Sarjana rentang usia 45-56 tahun Gro up Statistics
GCT BC EC PST ET CAT NAO
JK Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
N
Mean 3.4435 3.4387 3.9360 3.9107 3.4372 3.4211 3.0920 2.9954 2.9598 2.9144 2.7672 2.7448 3.5586 3.5704
29 36 29 36 29 36 29 36 29 36 29 36 29 36
Std. Dev iat ion .17161 .21042 .17739 .32459 .17790 .21688 .44895 .44808 .29766 .27852 .19038 .23260 .26869 .34381
Std. Error Mean .03187 .03507 .03294 .05410 .03304 .03615 .08337 .07468 .05527 .04642 .03535 .03877 .04989 .05730
Independent Samples Test Levene's Test f or Equality of Variances
F GCT
BC
EC
PST
ET
CAT
NAO
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig. .472
6.677
2.954
.612
.470
2.026
3.796
.494
.012
.091
.437
.496
.160
.056
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Dif f erence
Std. Error Dif f erence
95% Confidence Interv al of the Dif f erence Lower Upper
.100
63
.921
.00482
.04844
-.09197
.10162
.102
62.984
.919
.00482
.04738
-.08987
.09951
.376
63
.708
.02525
.06719
-.10903
.15952
.399
56.121
.692
.02525
.06334
-.10163
.15212
.322
63
.748
.01613
.05003
-.08384
.11610
.329
62.971
.743
.01613
.04897
-.08173
.11399
.863
63
.391
.09658
.11190
-.12703
.32020
.863
60.038
.392
.09658
.11193
-.12730
.32047
.634
63
.528
.04542
.07166
-.09778
.18862
.629
58.246
.532
.04542
.07218
-.09905
.18989
.419
63
.677
.02245
.05361
-.08469
.12958
.428
62.977
.670
.02245
.05247
-.08239
.12729
-.151
63
.881
-.01175
.07802
-.16765
.14415
-.155
62.955
.878
-.01175
.07598
-.16359
.14009
136
137
138
24
25