STRATEGI MENINGKATKAN KAPASITAS FISKAL (PAJAK DAERAH) DI PEMERINTAH DAERAH KOTA BOGOR ( STUDI KASUS DISPENDA KOTA BOGOR )
YANI KURNIASIH
PROGRAM MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Meningkatkan Kapasitas Fiskal (Pajak Daerah) di Pemerintah Daerah Kota Bogor (Studi Kasus Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Ramadhan 1432 H/Agustus 2011
Yani Kurniasih NIM. H252090035
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisis perkembangan kapasitas fiskal (pajak daerah) di Pemerintah Daerah Kota Bogor, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas fiskal dan identifikasi potensi pengembangan sumbersumber kapasitas fiskal, melakukan analisis efisiensi terhadap penerimaan kapasitas fiskal
serta memberikan rekomendasi program dalam rangka
meningkatkan kapasitas fiskal di Pemerintah Daerah Kota Bogor. Data yang digunakan data sekunder deret waktu. Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif menggunakan regresi berganda. Untuk mendapatkan strategi yang tepat dalam rangka meningkatkan kapasitas fiskal di Pemerintah Daerah Kota Bogor menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Kata Kunci : Kapasitas Fiskal, Pajak Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Analisis Efisiensi.
RINGKASAN YANI KURNIASIH, Strategi Meningkatkan Kapasitas Fiskal (Pajak Daerah) di Pemerintah Daerah Kota Bogor (Studi Kasus Dispenda Kota Bogor). Dibimbing MUHAMMAD FIRDAUS sebagai ketua dan SUTARA oleh HENDRAKUSUMAATMADJA sebagai anggota komisi pembimbing. Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah
merupakan
fenomena
politis
yang
menjadikan
penyelenggaraan
pemerintahan yang sentralistik birokratis ke arah desentralistik partisipatoris. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota. Perubahan masyarakat,
ini
dimaksudkan
menumbuhkan
untuk
meningkatkan
semangat
efektivitas
demokratisasi
dan
pelayanan pelaksanaan
pembangunan daerah secara berkelanjutan dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah. Sesuai asas money follows function, penyerahan kewenangan daerah juga disertai dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah pusat. Sumber-sumber pembiayaan tersebut akan dimanifestasikan lewat struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kuat, akan menjadi sumber pembiayaan dan mencerminkan kondisi riil daerah. Jika struktur PAD sudah kuat, maka daerah tersebut dikatakan memiliki kemampuan pembiayaan yang juga kuat dan transfer dari pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) hanya bersifat pendukung bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Desentralisasi fiskal adalah salah satu kebijakan Pemerintah Pusat yang mempunyai prinsip dan tujuan, antara lain untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antar daerah (horizontal fiscal imbalance), meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah;
meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional, tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil; mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Lingkup kajian ini mencakup kajian terhadap sektor-sektor sumber kapasitas fiskal, yang sangat significant dampaknya terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor dan secara umum terhadap perekonomian di Kota Bogor. Populasi penelitian ini adalah PAD Kota Bogor dan pajak daerah yang dikelola secara langsung oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor dengan data runtun waktu (time series) selama 10 tahun, yaitu tahun 20042010. Secara garis besar metode analisis yang digunakan dalam kajian ini terbagi atas dua bagian yakni analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif merupakan penelitian terkait dengan kapasitas fiskal di Pemerintah Daerah Kota Bogor, dengan difokuskan pada pengelolaan 6 (enam) jenis pajak daerah oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor. Tujuannya adalah untuk menganalisis perkembangan pajak daerah di Pemerintah Daerah Kota Bogor dan mengidentifikasi faktor internal, eksternal yang mempengaruhi pengembangan pajak daerah tersebut. Analisis kuantitatif menggunakan rasio untuk menjawab efektivitas pengelolaan keuangan daerah. Perancangan strategi menggunakan analisis SWOT dan tahap akhir mapping yakni output strategi untuk meningkatkan pajak daerah di Pemerintah Daerah Kota Bogor. Perkembangan kapasitas fiskal, khususnya pajak daerah di Pemerintah Daerah Kota Bogor setelah desentralisasi fiskal menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini didukung dengan adanya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yaitu dengan penambahan potensi pajak daerah untuk kota/kabupaten baik berupa penambahan jenis pajak baru maupun penambahan objek pajak, yang merupakan peluang bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskalnya. Namun hal ini harus didukung dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis untuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STRATEGI MENINGKATKAN KAPASITAS FISKAL (PAJAK DAERAH) DI PEMERINTAH DAERAH KOTA BOGOR (STUDI KASUS DISPENDA KOTA BOGOR)
YANI KURNIASIH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec.
Judul Tesis :
Nama NIM
: :
Strategi Meningkatkan Kapasitas Fiskal (Pajak Daerah) di Pemerintah Daerah Kota Bogor (Studi Kasus Dispenda Kota Bogor) Yani Kurniasih H252090035
Disetujui Komisi Pembimbing
Muhammad Firdaus, SP., M.Si.,Phd Ketua
Ir. Sutara Hendrakusumaatmadja, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Manajemen Pembagunan Daerah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 19 September 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Tiada pernah terputus rasa syukur ini kehadirat Engkau, Wahai Sang Maha pemilik hidup, Allah SWT yang telah melimpahkan kasih dan sayang-Nya sehingga di bulan suci yang penuh barakah ini (Ramadhan 1432 H) saya dapat menyelesaikan kajian pembangunan daerah ini. I believe the power of pray and the miracle of Ramadhan. Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Dr. Muhammad Firdaus, SP., M.Si. yang telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam penyelesaian tesis ini. Bapak Ir. Sutara Hendrakusumaatmadja, M.Sc. yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tugas akhir ini. Terima kasih tak lupa saya sampaikan kepada Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. sebagai ketua program studi, Ir. Lukman M. Baga, MAEc. sebagai Plt. Ketua Program Studi, (yang selalu memberikan motivasi bagi para mahasiswanya, Man Jadda Wa Jadda), Dr. Aris Munandar, Dr. Dedi Budiman Hakim, Mas Robby Falatehan, kepada semua dosen Magister Manajemen Pembangunan Daerah yang tidak tersebutkan satu persatu pada tulisan ini, teristimewa kepada rekan-rekanku di MPD 11, yang telah memberikan warna indah dalam hidupku, Mas Dodi Rahdiana, MP., Risno Muhammad, MP.(Candidate), Pak Khairunnas, MP., Pak Akbar, MP., Mas Aryo, MP.(Candidate), Pak Sutopo, Mas Baihaky, Mas David, Bang Fasco, Pak Hasanudin, Bang Hendrico, Pak Khotimi, juga kepada rekan-rekan di MPD 12 dan para staf Sekretariat Manajemen Pembangunan Daerah. Kepada rekan-rekan kerjaku (terima kasih atas pembelajaran berharga tentang arti hidup, arti persahabatan dan kesetiaan), atas dukungan, motivasi, pengertiannya dan kesempatan yang diberikan kepada saya, untuk menimba ilmu di bidang pembangunan daerah di IPB kampus tercinta. Penulis sampaikan penghormatan tertinggi dan rasa cinta kepada kedua orangtua (Mama dan Bapak) atas do’a dan dukungannya yang tidak pernah putus, Ibu tercinta di Sumedang, suami terkasih, anak-anakku tersayang (Abang Alvien dan Ade Iqbal), saudaraku terkasih teteh (Teh Yuyun), adik-adikku (Om Dani dan Om Adi), Le’ Lily, Mba Yuli dan seluruh keluarga di Jakarta, di Sumedang dan di Madura, terima kasih atas do’anya. “Terkadang hidup begitu melelahkan, merampas jejak hati, menggoyahkan sendi, merapuhkan iman. Hanya cinta kepada Allah SWT yang senantiasa membuat kita bisa bertahan. Cukuplah Allah SWT yang memelihara ketekunan kita, karena perhatian manusia kadang menghanyutkan keikhlasan kita. Semoga Allah SWT menjadikan kita pribadi yang bermakna, pribadi yang saat berbaur ia mampu menyemangati saudaranya dalam ketaatan dan saat sendiri ia mampu menguatkan dirinya diatas kesabaran.” Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, penulis menyadari masih sedikitnya ilmu yang dikuasai. Semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi dalam kajian pembangunan daerah, khususnya bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor. Bogor, Ramadhan 1432 H / 2011 Yani Kurniasih
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Yani Kurniasih, dilahirkan di Jakarta pada 27 Januari 1977 dari ayah H. Maman dan Ibu Hj. Nunung Nahraeni, merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar di SDN Rawa Badak 13 Pagi Jakarta, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 151 Jakarta, Tahun 1995 setelah lulus dari SMU 72 Jakarta, melanjutkan ke Fakultas Teknik Jurusan Teknik Informatika di Universitas Bina Nusantara Jakarta dan lulus pada tahun 1999. Setelah melewati berbagai pengalaman kerja di berbagai perusahaan, antara lain PT. Satelindo (Satelit Palapa Indonesia) Jakarta dan RS. Mitra Keluarga Bekasi, pada tahun 2005 penulis memutuskan untuk ikut tes masuk pegawai negeri sipil di Kota Bogor dan lulus menjadi PNS di Pemerintah Daerah Kota Bogor, ditempatkan di Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kota Bogor, kemudian di mutasi ke Bagian Telematika Dinas Informasi, Pariwisata, Budaya dan Telematika Kota Bogor. Pada tahun 2007 penulis mendapatkan amanat untuk menjadi Kasi Sosial di Kelurahan Curug Mekar dan pada tahun 2009 dimutasi menjadi Kasi Kemasyarakatan di Kelurahan Curug sampai sekarang. Tahun 2010 penulis melanjutkan mengambil Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan biaya sendiri. Menikah pada 23 September 2000 dengan Moh. Hasyim, SE. yang sangat dicintai dan telah diamanatkan dua orang jagoan tersayang, terkasih yaitu Achmad Alvien Nurhidayatullah dan Muhammad Iqbal Nurhidayatullah.
Bogor, Ramadhan 1432 H / 2011
Yani Kurniasih
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ......................................................................................................... i DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah .............................................................................. 9 1.3. Tujuan Kajian ....................................................................................... 11 1.4. Manfaat Kajian ..................................................................................... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Desentralisasi Fiskal ............................................................................. 13 2.1.1. Pendapatan Asli Daerah .............................................................. 16 2.1.1.1. Pajak Daerah ................................................................. 17 2.1.1.2. Retribusi Daerah ........................................................... 35 2.1.2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) .............................................. 40 2.1.3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ........... 41 2.1.4. Pajak Penghasilan Perseorangan (PPh) ....................................... 43 2.1.5. Pajak Sumber Daya Alam (SDA) ............................................... 43 2.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ........................... 45 2.3. Analisis Efektivitas .............................................................................. 46 2.4. Analisis Matriks Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal (IFE-EFE).... 47 2.5. Analisis SWOT .................................................................................... 50 2.6. Kemiskinan ........................................................................................... 51 2.7. Hasil Kajian Terdahulu ........................................................................ 52 III. METODOLOGI KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 55 3.2. Lokasi dan Waktu Kajian ..................................................................... 56 3.3. Metode Penelitian ................................................................................ 57 3.3.1. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 57
3.3.2. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 57 3.3.3. Teknik Pengambilan Sampel ...................................................... 59 3.3.4. Metode Perancangan Program .................................................... 59 3.3.4.1. Rasio Efektivitas ........................................................... 60 3.3.4.2. Analisis Matriks Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal (IFE-EFE) ...................................................... 60 3.3.4.3. Analisis SWOT .............................................................. 61 IV. GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 4.1. Kondisi Wilayah ................................................................................... 63 4.2. Keadaan Penduduk ............................................................................... 63 4.3. Kondisi Perekonomian ......................................................................... 67 4.4. Lembaga Pengelola Pendapatan Daerah .............................................. 69 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ................................... 74 5.1.1. Perkembangan Pajak Daerah ....................................................... 76 5.1.2. Perkembangan Retribusi Daerah ................................................. 79 5.1.3. Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap PAD ... 83 5.2. Analisis Efektivitas Pengelolaan Pajak Daerah ..................................... 84 5.3. Produk Hukum Pengelolaan Pajak dan Retribusi di Kota Bogor ......... 86 5.4. Kemiskinan di Kota Bogor ................................................................... 88 VI. PERUMUSAN STRATEGI 6.1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal ................................................ 90 6.1.1. Analisis Faktor Internal ............................................................. 90 6.1.2. Analisis Faktor Eksternal .......................................................... 94 6.2. Analisis IFE dan EFE ......................................................................... 101 6.2.1. Analisis IFE ............................................................................... 101 6.2.2. Analisis EFE .............................................................................. 104 6.3. Matriks IE ........................................................................................... 105 6.4. Matriks SWOT .................................................................................... 105 VII. PERANCANGAN PROGRAM 7.1. Strategi S O .......................................................................................... 107
7.2. Strategi W O ................................................................................................. 111 7.3. Strategi S T ................................................................................................... 111 7.4. Strategi W T ................................................................................................. 112 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan ......................................................................................... 114 8.2. Saran .................................................................................................. 115 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perkembangan Realisasi Pendapatan Asli Daerah dibandingkan dengan Total Pendapatan Tahun 2004-2008 ................................................ 5
2.
Perkembangan Realisasi Pendapatan dari Dana Alokasi Umum Tahun 2004-2008 ......................................................................................... 6
3.
Pajak Daerah Provinsi ................................................................................. 34
4.
Pajak Daerah Kabupaten / Kota .................................................................. 34
5.
Local Taxing Power .................................................................................... 35
6.
Kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ............................................ 36
7.
Jumlah Wajib Pajak di Wilayah Kota Bogor .............................................. 38
8.
Data yang diteliti dan sumber data .............................................................. 57
9.
Interaksi SWOT ........................................................................................... 59
10. Jumlah Penduduk Kota Bogor per Kecamatan Menurut Jenis Kelamin Tahun 2006 ............................................................ 63 11. Perkembangan Jumlah KK Miskin di Kota Bogor ...................................... 71 12. Rasio PAD terhadap Total Pendapatan Tahun 2004-2008 .......................... 74 13. Target dan Realisasi PAD Tahun 2004-2008 .............................................. 75 14. Perkembangan Rencana dan Realisasi PAD Kota Bogor Tahun 2004-2008 ......................................................................................... 76 15. Perkembangan Raihan Pajak Daerah Kota Bogor Tahun 2004-2007 (Juta Rupiah) .................................................................. 77 16. Perkembangan Raihan Pajak Daerah Kota Bogor Tahun 2008-2010 (Juta Rupiah) .................................................................. 78 17. Pertumbuhan dan Kontribusi Pajak Daerah Tahun 20005-2010 ................. 79 18. Perkembangan Retribusi Daerah Tahun 2004-2009 .................................... 80 19. Rasio Realisasi Pajak Daerah Terhadap PAD Tahun 2004-2008 ................. 83 20. Rasio Realisasi Retribusi Daerah Terhadap PAD Tahun 2004-2008 ........... 83
21. Efektivitas Pajak Daerah Tahun 2004-2010 ................................................ 84 22. Faktor Kritis Internal Pengelolaan Pajak Daerah Kota Bogor .................... 99 23. Faktor Kritis Eksternal Pengelolaan Pajak Daerah Kota Bogor ................. 100 24. Hasil Analisis Matriks SWOT dalam Perumusan Alternatif Strategi Peningkatan Kapasitas Fiskal (Pajak Daerah) di Pemda Kota Bogor ........ 102 25. Strategi dan Program Peningkatan Penerimaan dari Sektor Pajak Daerah ……………………………………………………………… 111
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor (1994-2006) ...................................... 3
2.
Perbandingan DAU dan PAD Kota Bogor (2001-2009) ............................. 3
3.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bogor (1994-2006) ...............................
4.
PDRB Kota Bogor (2000-2008) .................................................................. 7
5.
Bagi Hasil Kota Bogor Tahun 2008 ............................................................
6.
Pembagian Hak BPHTB antara Pusat dan Daerah ...................................... 39
7.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ................................... 42
8.
Matriks I E .................................................................................................. 48
9.
Proses Perumusan Strategi SWOT .............................................................. 50
4
9
10. Kerangka Pikir Penelitian ............................................................................ 55 11. Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Bogor Tahun 2000-2006 ............... 64 12. Realisasi PAD Kota Bogor Tahun 2004-2008 ............................................. 75 13. Perkembangan Retribusi Daerah Tahun 2004-2008 .................................... 80 14. Diagram Tingkat Efektivitas Pajak Daerah Tahun 2005-2010 ..................... 84 15. Strategi Peningkatan Penerimaan Daerah di Pemda Kota Bogor ………… 110
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah
merupakan
fenomena
politis
yang
menjadikan
penyelenggaraan
pemerintahan yang sentralistik birokratis ke arah desentralistik partisipatoris. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota. Perubahan masyarakat,
ini
dimaksudkan
menumbuhkan
untuk
meningkatkan
semangat
efektivitas
demokratisasi
dan
pelayanan pelaksanaan
pembangunan daerah secara berkelanjutan dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah. Lahirnya Undang-Undang tersebut memberikan implikasi positif bagi dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat “given” dan “uniform” (selalu menerima dan seragam) dari pemerintah pusat, namun justru pemerintah daerah yang mesti mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan sosiokultural masyarakat setempat. Undang-Undang ini juga membuka jalan bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) di satu pihak dan pemberdayaan ekonomi rakyat di pihak lain. Karena dengan otonomi, pemerintahan kabupaten/kota memiliki kewenangan yang memadai untuk mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat (ekonomi rakyat). Jika selama ini program-program pemberdayaan ekonomi rakyat (IDT, misalnya) didesain dari pusat, daerah tidak memiliki kewenangan untuk “berkreasi”, sekaranglah saatnya pemerintah daerah kabupaten/kota menunjukkan kemampuannya. Tantangan, bahwa daerah mampu mendesain dan melaksanakan program yang sesuai dengan kondisi lokal patut disikapi dengan kepercayaan diri
dan tanggung jawab penuh.1 Tujuan utama desentralisasi, daerah semakin mandiri dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya. Keberhasilan otonomi daerah adalah terjadinya peningkatan dalam hal pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sesuai asas money follows function, penyerahan kewenangan daerah juga disertai dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah pusat. Sumber-sumber pembiayaan tersebut akan dimanifestasikan lewat struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kuat, akan menjadi sumber pembiayaan dan mencerminkan kondisi riil daerah. Jika struktur PAD sudah kuat, maka daerah tersebut dikatakan memiliki kemampuan pembiayaan yang juga kuat dan transfer dari pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) hanya bersifat pendukung bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, maka pemerintah pusat memberikan dana subsidi kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN, terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Tujuan dari dana perimbangan adalah untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Sebesar 26 persen dari APBN merupakan sumber dana bagi DAU yang sistem pembagiannya sebesar 10 persen untuk provinsi dan 90 persen untuk kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Namun
tujuan
tersebut
belum
menunjukkan
tanda-tanda
yang
menggembirakan. Yang terjadi dewasa ini justru sebaliknya yaitu daerah makin bergantung terhadap alokasi transfer dari Pemerintah Pusat terutama DAU. Banyak penelitian terdahulu1, menunjukkan suatu fakta yang memprihatinkan yaitu hampir di semua daerah di Indonesia rasio DAU terhadap Total Pendapatan Daerah melebihi angka 50 persen, dengan kata lain tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat masih tinggi dan belum mandiri.
1. Herry Subagyo, “Pengembangan Ekonomi Rakyat di Era Otonomi Daerah”, Artikel Th. I No. 11 - Januari 2003
Sumber : Pendapatan Asli Daerah 1994-2006, DJPK Kemenkeu
Gambar 1. Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor (1994-2006) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor (Gambar 1) dari tahun 2000 menunjukkan peningkatan yang signifikan namun tidak diiringi dengan peningkatan rasio kemandiriannya. Rasio PAD terhadap APBD Kota Bogor sangat rendah yaitu rata-rata dari tahun 2001-2005 sebesar 13 persen, ini berarti pemerintah masih sangat tergantung terhadap dana bantuan dari pemerintah pusat.
Sumber : BPKAD Kota Bogor, 2010
Gambar 2. Perbandingan DAU dan PAD Kota Bogor (2001-2009)
Kemandirian suatu daerah dapat dilihat dari kapasitas fiskal yang dimiliki daerah tersebut, semakin besar kontribusi kapasitas fiskal terhadap penerimaan daerah maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam membiayai seluruh urusan. Tetapi jika persentase kapasitasnya relatif kecil, daerah tersebut sangat tergantung kepada dana perimbangan (Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil), artinya pemerintah daerah mengalami ketergantungan sangat tinggi terhadap dana dari pemerintah pusat. Oleh sebab itu perlu adanya inventarisasi potensi yang ada, dimana potensi tersebut merupakan sumber penerimaan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor, dari sisi pertumbuhan ekonomi Pemerintah Daerah Kota Bogor masih memperlihatkan adanya kecenderungan pertumbuhan ekonomi masih lambat, ini bisa dilihat pada Gambar 3, sehingga dapat dikatakan bahwa belum terlihat adanya keberhasilan desentralisasi fiskal dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, bahkan bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi saat sebelum desentralisasi fiskal lebih tinggi daripada setelah desentralisasi fiskal.
Sumber : BPS Kota Bogor
Gambar 3. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bogor (1994-2006) Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor
tahun 2009 berada pada
kisaran 6,02 persen, capaian ini lebih baik dari laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 yang mencapai 5,98 persen. Pertumbuhan ekonomi Kota Bogor juga
tergambar pada pertumbuhan angka PDRB atas dasar harga yang berlaku di tahun 2009 yang mencapai Rp 12,294 triliyun. Pada Tabel 1 dibawah ini dapat dilihat bahwa tingkat pertumbuhan PAD lebih besar dari tingkat pertumbuhan pendapatan namun demikian proporsi PAD terhadap total pendapatan relatif masih kecil dengan rata-rata sebesar 13,62 persen, hal ini menggambarkan bahwa tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah pada dana perimbangan masih tinggi. Tabel 1. Perkembangan Realisasi Pendapatan Asli Daerah dibandingkan dengan Total Pendapatan Tahun 2004-2008
Tahun
Realisasi PAD ( Juta )
2004 50,644 2005 66,707 2006 69,300 2007 79,819 2008 97,768 Rata-rata Realisasi Per Tahun
Pertumbuhan Realisasi PAD Pendapatan (%) ( Juta ) 31,72 3,89 15,18 22,49
18,32
384,595 421,439 536,012 635,463 718,083
Proporsi Pertumbuhan PAD Pendapatan terhadap (%) Pendapatan 13,17 13,17 15,83 9,58 12,93 27,19 12,56 18,55 13,62 13,00 13,62
17,08
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Kota Bogor Tahun 2004 s/d 2008
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa sumber pendapatan yang dominan bagi APBD Kota Bogor adalah berasal dari pendapatan transfer, baik dana perimbangan dari pusat maupun dari propinsi yaitu mencapai 82,88 persen dari total pendapatan. Sumber terbesar berasal dari Dana Alokasi Umum yang cenderung setiap tahunnya mengalami peningkatan. Demikian pula halnya dengan pendapatan yang berasal dari Dana Bagi Hasil pajak sejak tahun 2004-2008 terus mengalami peningkatan. Namun demikian, penggalian potensi penerimaan dari PAD tetap perlu ditingkatkan melalui penggalian pajak daerah dan retribusi daerah sehingga ketergantungan terhadap dana perimbangan dari Pusat tidak terlalu besar. Berdasarkan perkembangan Dana Alokasi Umum (DAU) Kota Bogor selama kurun waktu lima tahun, yang terlihat pada Tabel 2, besaran Dana Alokasi Umum yang diterima oleh Pemerintah Kota Bogor mengalami
peningkatan, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan fiskal Kota Bogor belum dapat dikategorikan mampu atau mandiri. Tabel 2. Perkembangan Realisasi Pendapatan dari Dana Alokasi Umum Tahun 2004-2008 Tahun
Realisasi ( Rp. )
Pertumbuhan ( Persen )
2004
205.937.147.000
-
2005
214.806.000.000
4,31
2006
302.515.000.000
40,83
2007
359.576.513.600
18,86
2008
397.366.563.000
10,51
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Kota Bogor Tahun 2004-2008
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa pengelolaan keuangan daerah dituangkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang terdiri atas struktur pendapatan, struktur belanja dan struktur pembiayaan daerah, yang dilaksanakan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pendanaan keuangan Pemerintah Daerah Kota Bogor tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor 2010-2014 yang berisi gambaran kemampuan pengelolaan keuangan daerah untuk melaksanakan pembangunan Kota Bogor untuk kurun waktu lima tahun ke depan, RPJMD ini menjadi dasar dalam penetapan kerangka penganggaran untuk pembangunan tahunan. Berdasarkan potensi tersebut sehingga dibuat target setiap tahunnya dan ini merupakan perkiraan yang terukur dan rasional dari sumber-sumber
penerimaan yang harus dicapai pada akhir tahun anggaran. Besarnya potensi sumber-sumber penerimaan pendapatan asli daerah dapat dilihat dari tingkat kemajuan ekonomi daerah (PDRB). Perhitungan PDRB setiap tahunnya memberikan gambaran perekonomian daerah baik secara makro maupun secara sektoral. Angka PDRB dapat digunakan sebagai indikator ekonomi yang bermanfaat untuk melihat pertumbuhan ekonomi daerah, struktur perekonomian daerah, tingkat kesejahteraan rakyat serta tingkat Inflasi dan Deflasi.
Sumber : BPKAD Kota Bogor, 2010
Gambar 4. PDRB Kota Bogor (2000 - 2008)
Peningkatan makro pembangunan juga tergambar dari total investasi di Kota Bogor tahun 2009 yang mencapai Rp.869,51 miliar atau naik sebesar Rp.1,09 miliar dari investasi di tahun 2008 yang hanya mencapai Rp.868,42 miliar, sedangkan inflasi berhasil ditekan pada tingkat 6 persen dari inflasi tahun 2008 yang mencapai 14,20 persen. Pembangunan pada dasarnya ditujukan agar tercipta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang lebih baik. Pembangunan ekonomi yang selama ini dilakukan, lebih difokuskan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan perluasan lapangan kerja. Idealnya ketiga hal tersebut dicapai secara bersamaan, namun menguatnya indikator makro pembangunan belum diikuti oleh pemerataan pendapatan dan
perluasan kesempatan kerja atau penurunan angka pengangguran. Sampai akhir tahun 2009 angka pengangguran di Kota Bogor masih berada di kisaran 15 persen atau naik 1,36 persen dari tahun 2008 yang mencapai 13,64 persen.2 Berdasarkan
beberapa
indikator
tersebut
diatas,
terlihat
bahwa
desentralisasi fiskal yang telah berjalan selama 10 tahun yang dimulai tahun 2000 di Kota Bogor masih belum dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara nyata khususnya pada sektor riil, sehingga perlu dibuat sebuah kajian “Bagaimana Strategi meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah Kota Bogor?”
1.2 Perumusan Masalah Anggaran pembiayaan pembangunan yang bersumber dari APBD seharusnya memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pertumbuhan Pendapatan
Domestik
Regional
Bruto
(PDRB),
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan kemandirian pemerintah daerah melalui peningkatan sumber-sumber kapasitas fiskalnya. Selama lima tahun (2001-2005) PDRB Kota Bogor mencapai rata-rata Rp.3,18 Trilyun atau rata-rata per kapita sebesar Rp. 3.888.071 per tahun. PDRB sektor primer makin menurun dari tahun ke tahun dengan kontribusi terhadap PDRB Kota Bogor rata-rata 0,37 persen, sedangkan sektor sekunder kontribusinya mencapai 38,67 persen dan sektor tersier sebesar 61,09 persen. Data Bagi Hasil Kota Bogor Tahun 2008 menunjukkan bahwa Kota Bogor masih mengandalkan bantuan dari Pemerintah Pusat dalam bentuk dana perimbangan (DAU) sebesar 57 persen untuk penyelenggaraan pemerintahannya, karena kontribusi PAD terhadap APBD Kota Bogor baru mencapai angka 13,39 persen dan rasio PAD terhadap APBD Kota Bogor rata-rata pada tahun 2001-2005 sebesar 13 persen. Jika dilihat dari tolak ukur kemampuan daerah, dimana rasio PAD terhadap APBD berada pada kisaran 10,01-20 persen menunjukkan tingkat kemandirian daerah tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahannya kurang. Artinya daerah tersebut masih sangat tergantung pada dana bantuan dari pemerintah pusat.
2. Data dalam website Kota Bogor, www.kotabogor.go.id
Sumber : Dinas PKAD Kota Bogor, 2009
Gambar 5. Bagi Hasil Kota Bogor Tahun 2008 Keberhasilan suatu pemerintahan akan diukur dari kinerjanya. Kinerja ini dapat dilihat dalam arti penampilan atau aksi dan dalam bentuk hasil (output) dan hasil akhir (outcome) yang dicapai. Hasil yang dinilai tidak hanya dikaitkan dengan input waktu namun juga dengan input biaya yang dikeluarkan. Namun apakah kemudian penerimaan daerah secara efektif telah ditransformasikan menjadi pengeluaran yang berdampak nyata terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, oleh karena itu dalam pengukuran kinerja tidak hanya digunakan indikator efektivitas tetapi juga efisiensi, maka pertanyaan pertama kajian ini adalah “Bagaimana perkembangan dan efektivitas kapasitas fiskal (Pajak Daerah) Pemerintah Daerah Kota Bogor setelah desentralisasi fiskal ?”. Untuk dapat memformulasikan kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor maka perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan penerimaan PAD untuk meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor, maka tujuan pertanyaan kedua kajian ini adalah untuk “Mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan sumber-sumber kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor“. Gambaran hubungan desentralisasi, pertumbuhan ekonomi dan proses perubahan struktur ekonomi dibutuhkan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor dalam merencanakan pembangunan daerah untuk menentukan prioritas,
khususnya dalam era desentralisasi saat ini dimana pemerintah daerah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menentukan arah kebijakan pembangunan. Dari hasil analisis tersebut, akan diperoleh suatu model yang berguna dalam penentuan strategi peningkatan pertumbuhan ekonomi, yang mampu memberikan daya ungkit untuk pengembangan potensi sumber-sumber kapasitas fiskal di Kota Bogor, sehingga rumusan permasalahan ketiga kajian ini adalah ”Strategi apa yang dapat diformulasikan untuk meningkatkan kapasitas fiskal di Kota Bogor ?”.
1.3 Tujuan Kajian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan utama dari kajian ini adalah merumuskan strategi untuk meningkatkan kapasitas fiskal di Pemerintah Daerah Kota Bogor khususnya pajak daerah oleh Dinas Pendapatan Daerah penda Kota. Untuk menjawab tujuan utama tersebut maka tujuan khusus dari kajian ini adalah : a. Menganalisis perkembangan dan efektivitas kapasitas fiskal, khususnya pajak daerah di Pemerintah Daerah Kota Bogor setelah desentralisasi fiskal b. Mengidentifikasi
faktor
internal
dan
eksternal
yang
mempengaruhi
pengembangan sumber-sumber kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor (pajak daerah) c. Memformulasikan kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal (pajak daerah) Pemerintah Daerah Kota Bogor
1.4 Manfaat Kajian Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari kajian ini adalah : 1. Menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor dalam penanganan masalah, penentuan kebijakan, dan pelaksanaan program pembangunan terkait dengan usaha-usaha peningkatan pendapatan daerah. 2. Mendukung teori ilmiah atau akademik bahwa pendekatan pertumbuhan ekonomi Kota Bogor dapat dijadikan dasar sebagai salah satu pendekatan dalam usaha peningkatan pembangunan ekonomi daerah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal adalah salah satu kebijakan Pemerintah Pusat yang mempunyai prinsip dan tujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antar daerah (horizontal fiscal imbalance), meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah; meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional, tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil; mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Disamping itu, untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepada daerah diberikan kewenangan memungut pajak daerah dan retribusi daerah (local taxing power). Kebijakan transfer ke daerah, terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Adapun Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana transfer ke daerah Dua hal utama yang menjadi bahasan sehubungan dengan adanya otonomi daerah yakni kebutuhan fiskal (fiskal needs) dan kapasitas fiskal (fiskal capacity) yang keduanya dapat dikaitkan dalam upaya mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menjadi isu persaingan ekonomi antar daerah. Selisih dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal disebut fiskal gap. Kapasitas Fiskal (fiscal capacity) merupakan suatu komponen yang masuk dalam formula penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU), dimana pengalokasiannya didasarkan formula dengan konsep Kesenjangan Fiskal (fiscal gap) yang merupakan selisih antara Kebutuhan Fiskal (Fiscal Need) dengan Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity). Besarnya transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar Celah Fiskal dan Alokasi Dasar.
Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
• Kebutuhan Fiskal adalah kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi dasar umum, dengan komponen pengukuran jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto Perkapita dan Indeks Pembangunan Manusia • Kapasitas Fiskal adalah sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Bagi Hasil. Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam (SDA), dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas : a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) c. Pajak Penghasilan (PPh) perseorangan Mengenai kapasitas fiskal ini, satu dampak yang perlu diingat dengan penggunaan pendapatan aktual daerah sebagai ukuran kapasitas fiskal akan berdampak kurang baik, karena akan menyebabkan transfer dari pusat ke daerah banyak dipengaruhi oleh upaya perpajakan (tax effort) daerah. Hal ini akan menimbulkan opini negatif bahwa daerah tidak perlu bersusah payah menghimpun pendapatan (under-collect), agar bisa memperoleh transfer yang banyak dari pusat. Semakin gencar daerah menghimpun penerimaan pajak, maka akan semakin tinggi ukuran kapasitas fiskalnya dan semakin kecil transfer yang akan diterimanya. Mengutip Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.02/2006 tentang Peta Kapasitas Fiskal Dalam Rangka Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah Dalam Rangka Hibah, yang dimaksud dengan kapasitas fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) dikurangi dengan belanja pegawai serta dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin.
Dalam Penghitungan kapasitas fiskal dan indeks kapasitas fiskal yang dikeluarkan Kementrian Keuangan Republik Indonesia menggunakan formula : KF = ( PAD + BH + DAU + LP ) – BP Jumlah penduduk miskin dimana : KF
= Kapasitas Fiskal
PAD
= Pendapatan Asli Daerah
BH
= Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA)
DAU
= Dana Alokasi Umum
LP
= Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah kecuali Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu
BP
= Belanja Pegawai
• Jumlah penduduk miskin didasarkan pada data BPS tahun terakhir • Penghitungan kapasitas fiskal menggunakan Data Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran terakhir • Penghitungan Indeks Kapasitas Fiskal Daerah Kabupaten/Kota dengan menghitung kapasitas fiskal masing-masing daerah kabupaten/kota dibagi dengan rata-rata kapasitas fiskal seluruh daerah kabupaten/kota Penghitungan kapasitas fiskal didasarkan pada data realisasi APBD tahun anggaran sebelumnya, sedangkan penghitungan indeks kapasitas fiskal provinsi dilakukan dengan menghitung kapasitas fiskal masing-masing provinsi dibagi dengan rata-rata kapasitas fiskal seluruh provinsi. Demikian pula penghitungan indeks kapasitas fiskal kabupaten/kota dilakukan dengan menghitung kapasitas fiskal masing-masing kabupaten/kota dibagi dengan rata-rata kapasitas fiskal seluruh kabupaten/kota. Berdasarkan indeks tersebut, daerah dikelompokkan dalam empat kategori yaitu daerah kategori kapasitas fiskal sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Sedangkan penetapan kategori kapasitas fiskal bagi daerah pemekaran yang belum memiliki APBD sendiri, mengikuti kategori kapasitas fiskal daerah induk. Daerah dengan indeks kapasitas fiskal lebih dari atau sama dengan 2 (dua) merupakan daerah yang termasuk kategori berkapasitas fiskal
sangat tinggi. Daerah yang memiliki indeks kapasitas fiskal 1-2, termasuk daerah dengan kategori kapasitas fiskal tinggi. Untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) tidak hanya menyangkut peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas fiskal pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Oleh karena itu tidak perlu dibuat dikotomi antara PAD dengan dana perimbangan. Namun juga perlu dipahami bahwa peningkatan kapasitas fiskal bukan berarti anggaran yang besar jumlahnya. Anggaran yang besar namun tidak dikelola dengan baik (tidak memenuhi prinsip value for money) justru akan menimbulkan masalah, misalnya dengan terjadinya kebocoran anggaran. Yang terpenting adalah optimalisasi anggaran karena peran pemerintah daerah nantinya bersifat sebagai fasilitator dan motivator dalam menggerakkan pembangunan di daerah (Osborne and Gaebler, 1993).
2.1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan refleksi dari 4 (empat) jenis pungutan yaitu : 1. Hasil pajak daerah, 2. Hasil retribusi daerah 3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan 4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah Tolak ukur kemampuan daerah dilihat dari Rasio PAD terhadap total APBD sebagai berikut : 1. Rasio PAD terhadap APBD 0,00 - 10,00 persen ( sangat kurang ) 2. Rasio PAD terhadap APBD 10,01 - 20,00 persen ( kurang ) 3. Rasio PAD terhadap APBD 20,01 - 30,00 persen ( sedang ) 4. Rasio PAD terhadap APBD 30,01 - 40,00 persen ( cukup ) 5. Rasio PAD terhadap APBD 40,01 - 50,00 persen ( baik ) 6. Rasio PAD terhadap APBD di atas 50,00 persen ( sangat baik )
2.1.1.1. Pajak Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah telah memberikan batasan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku
dan
digunakan
untuk
membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Definisi Pajak Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah : •
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
•
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH., pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut : Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
•
Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional agar pemerintah dapat melaksanakan tugastugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar sesuatu dapat dianggap sebagai pajak yaitu : a. Bersifat pajak dan bukan retribusi b. Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan c. Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum d. Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi dan atau obyek pajak pusat e. Potensinya memadai serta tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif f. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan
Unsur pajak Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut : 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang." 2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor. 3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. 4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundag-undangan. 5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur/regulatif).
Jenis Pajak Ditinjau dari segi lembaga pemungut pajak, maka dapat dibagi menjadi dua jenis pajak yaitu : 1. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari : •
Pajak Penghasilan Diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008
•
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 42 Tahun 2009
•
Bea Materai UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
2. Pajak Daerah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis pajak daerah : •
Jenis Pajak Provinsi terdiri dari : a. Pajak Kendaraan Bermotor b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor d. Pajak Air Permukaan e. Pajak Rokok
•
Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas : a. Pajak Hotel b. Pajak Restoran c. Pajak Hiburan d. Pajak Reklame e. Pajak Penerangan Jalan f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan g. Pajak Parkir h. Pajak Air Tanah i. Pajak Sarang Burung Walet j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Fungsi pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak
merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan termasuk didalamnya untuk pembangunan di daerah (dalam bentuk dana perimbangan). Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu : •
Fungsi Anggaran (budgetair) Sebagai sumber pendapatan negara dan juga pendapatan daerah, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara maupun daerah. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin dan melaksanakan pembangunan membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
•
Fungsi Mengatur (regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak.
•
Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah pusat memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
•
Fungsi Redistribusi Pendapatan Pajak yang sudah dipungut akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga
dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi angka kemiskinan.
Syarat pemungutan pajak Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu : •
Pemungutan pajak harus adil Seperti halnya produk hukum, pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya, antara lain dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak, pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak dan sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran
•
Pengaturan pajak harus berdasarkan Undang-Undang Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang".
•
Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.
•
Pemungutan pajak harus efisien Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak
tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu. •
Sistem pemungutan pajak harus sederhana Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak.
Asas pemungutan pajak menurut pendapat para ahli Untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli yang mengemukakan tentang asas pemungutan pajak, antara lain : 1. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut : •
Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan) : pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
•
Asas Certainty (asas kepastian hukum) : semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
•
Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan) : pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
•
Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan
sehemat
mungkin,
jangan
sampai
terjadi
pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
biaya
2. Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah : •
Asas daya pikul : besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
•
Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
•
Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
•
Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
•
Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecilkecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak. Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
3. Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pajak sebagai berikut : •
Asas politik finansial : pajak yang dipungut negara jumlahnya mencukupi sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.
•
Asas ekonomi : penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya : pajak pendapatan dan pajak untuk barang mewah.
•
Asas keadilan : pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
•
Asas administrasi : menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.
•
Asas yuridis : segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang, agar pemerintah daerah dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan pemerintah daerah tersebut,
tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asasasas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan untuk pengenaan pajak.
Dalam penulisan ilmiah ini, penulis hanya akan menjabarkan dan menganalisis keefektifan pengelolaan pajak daerah yang dikelola langsung oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor sebagai pendapatan asli daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena itu pemerintah daerah senantiasa mendorong peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari pungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Salah satu upaya pemerintah untuk mendorong penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah adalah melalui penyempurnaan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan (Kemenkeu, 2010).
Sistem Pemungutan Pajak Daerah Sistem pemungutan pajak daerah menerapkan dua sistem yaitu Self Assesment dan Official Assesment. Wajib pajak diberikan kebebasan untuk memilih salah satu dari kedua sistem tersebut. Self Assesment merupakan sistem dimana wajib pajak menghitung dan menetapkan sendiri besarnya pajak terutang melalui media Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), sedangkan Official Assesment adalah perhitungan dan penetapan pajak dilakukan oleh pejabat Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor berdasarkan laporan dari wajib pajak, yang dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) dan ditandatangani oleh pejabat Dinas Pendapatan Daerah. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah telah memberikan batasan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang
seimbang, dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Dari batasan tersebut Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor melakukan pungutan terhadap enam jenis pajak, dari hasil pemungutan pajak tersebut diharapkan dapat membiayai tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kota Bogor dalam
rangka mencapai
masyarakat adil dan makmur. Keenam jenis pajak tersebut adalah : 1. Pajak penerangan jalan Umum Dasar Hukum : •
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor Nomor 19 Tahun 1998 Tentang Pajak Penerangan Jalan.
•
Surat Gubernur Jawa Barat Nomor 973/1513/Huk tanggal 18 Juni 2001 perihal Tarif Pajak Penerangan Jalan.
Definisi : - Pajak Penerangan jalan adalah pungutan daerah atas penggunaan tenaga listrik. - Obyek pajak penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik. - Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tenaga listrik. - Wajib pajak penerangan jalan adalah orang pribadi atau badan yang menjadi pelanggan listrik dan atau pengguna tenaga listrik. Dasar pengenaan pajak dan tarif : Pengenaan
pajak
didasarkan
pada
Nilai
Jual
Tenaga
Listrik.
Tarif pajak ditetapkan dari dasar pengenaan pajak sebagai berikut : 1. Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN bukan untuk industri sebesar 5 persen 2. Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN untuk industri sebesar 5 persen 3. Penggunaan tenaga listrik yang berasal bukan PLN, bukan untuk industri sebesar 3 persen 4. Penggunaan tenaga listrik yang berasal bukan PLN untuk industri sebesar 4 persen
2. Pajak Hotel Dasar Hukum : Pajak Hotel di Kota Bogor diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pajak Hotel. Definisi : Hotel merupakan bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan hotel Obyek Pajak adalah setiap pelayanan yang disediakan hotel dengan pembayaran, termasuk : 1. Fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek antara lain gubuk pariwisata (cottage), motel, wisma pariwisata, pesanggrahan (hostel), hotel melati dan rumah penginapan termasuk rumah kos dengan jumlah kamar 10 (sepuluh) atau lebih yang menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan 2. Pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tinggal jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan antara lain telepon, Faksimil, teleks, fotocopy, pelayanan cuci, seterika, taksi dan pengangkutan lainnya yang disediakan atau dikelola hotel 3. Fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu hotel bukan untuk umum antara lain pusat kebugaran (fitnes center), kolam renang, tenis, golf, karaoke yang disediakan atau dikelola hotel. 4. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel. Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang melaksanakan pembayaran kepada hotel. Wajib Pajak adalah pengusaha hotel. Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak : Dasar pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel. Tarif Pajak ditetapkan sebesar 10 (sepuluh) persen. Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif yang sudah ditetapkan (10 persen) dengan dasar pengenaan pajak (jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel). Dalam
hal ini wajib pajak harus menambahkan pajak hotel untuk pembayaran pelayanan dengan mengenakan tarif 10 persen dan apabila tidak menambahkan pajak maka jumlah pembayaran sudah termasuk pajak. 3. Pajak Restoran Dasar Hukum : Pajak Restoran Dikota Bogor diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pajak Restoran. Definisi : Restoran/Rumah Makan adalah tempat menyantap makanan dan atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau catering. Pajak restoran adalah pajak yang dikenakan atas pelayanan di restoran/rumah makan (tempat menyantap makanan dan atau minuman yang disediakan dengan dipungut
bayaran,
tidak
termasuk
usaha
jasa
boga/catering).
Obyek pajak restoran adalah setiap pelayanan yang disediakan restoran/rumah makan dengan pembayarannya meliputi penjualan makanan dan atau minuman direstoran/rumah makan termasuk penyediaan penjualan makanan/minuman yang diantar/dibawa pulang. Untuk obyek pajak seperti warung makan, tenda dan sejenisnya yang sudah tertata dan menetap dipungut dengan tarif harian. Subyek pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada restoran/rumah makan. Wajib pajak restoran adalah pengusaha restoran/rumah makan. Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak : Dasar Pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran/rumah
makan.
Tarif
Pajak
ditetapkan
10
(sepuluh)
persen.
Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif yang telah ditetapkan (10 persen) dengan dasar pengenaan pajak (jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran/rumah makan).
4. Pajak Parkir Dasar Hukum : Pajak parkir di Kota Bogor diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2004 tentang pajak parkir. Definisi : Pajak parkir adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pibadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang atas penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan, baik yang disediakan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Obyek pajak parkir adalah penyelenggaraan tempat khusus parkir (di luar badan jalan) baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai tempat usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran, termasuk gedung parkir, lingkungan parkir, pelataran parkir, garasi yang disewakan dan jenis parkir kendaraan lainnya. Subyek pajak parkir adalah orang pribadi atau badan selaku penyelenggara perparkiran Dasar pengenaan dan tarif pajak : Dasar pengenaan pajak parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir. Tarif pajak ditetapkan sebesar 20 (dua puluh) persen. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak (jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir). Perhitungan besarnya pajak berdasarkan klasifikasi tempat parkir, jenis kendaraan dan frekuensi pemakaian tempat parkir. Klasifikasi tempat parkir terdiri atas : 1. Gedung Parkir 2. Lingkungan Parkir 3. Pelataran Parkir
4. Garasi yang disewakan 5. Jenis tempat parkir kendaraan lainnya. Jenis Kendaraan terdiri atas : 1. Kendaraan bermotor truk gandengan/trailer/kontainer 2. Kendaraan bermotor bus/truk 3. Kendaraan bermotor angkutan barang sejenis boks 4. Kendaraan bermotor angkutan roda 4 seperti sedan, mini bus, pick up 5. Kendaraan bermotor roda 2 seperti sepeda motor dan sejenisnya. Frekuensi Pemakaian tempat parkir terdiri atas: 1. Satuan jam 2. Satuan hari 3. Satuan bulan 5. Pajak Reklame Dasar Hukum : Pajak reklame di Kota Bogor diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2006 tentang pajak reklame. Definisi : Pajak reklame adalah pajak yang dipungut atas setiap penyelenggaraan reklame. Obyek pajak reklame adalah semua penyelenggaraan reklame yang meliputi : 1.
Reklame bando
2.
Reklame megatron, videotron, Large Electronic Display (LED), Video Wall dan Dynamics Wall
3.
Reklame papan (billboard)
4.
Reklame baliho
5.
Reklame kain
6.
Reklame poster atau tempelan/stiker
7.
Reklame selebaran atau brosur
8.
Reklame berjalan
9.
Reklame udara
10. Reklame suara 11. Reklame film atau slide
12. Reklame peragaan (permanen/tidak permanen) 13. Reklame rombong Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan atau melakukan pemesanan reklame. Wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame. Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif : Pengenaan pajak didasarkan pada Nilai Sewa Reklame (NSR) yang dihitung dengan memperhatikan lokasi penempatan, jalur jalan, ketinggian, sudut pandang posisi, jenis, jangka waktu penyelenggaraan dan ukuran media dengan rumusan : NSR = NJOPR + NSPR Tarif pajak ditetapkan sebesar 25 persen dari nilai sewa reklame dan untuk reklame produk rokok dikenakan tambahan pajak sebesar 25 persen dari pokok pajak. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. 6. Pajak Hiburan Dasar Hukum : Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 3 Tahun 2007 tentang pajak hiburan. Definisi : Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolahraga. Pajak Hiburan adalah pungutan daerah atas setiap penyelenggaraan hiburan. Obyek pajak hiburan yaitu penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran yang meliputi :
a. Pertunjukan : 1. Pertunjukan film bioskop, di studio mini dan tempat lainnya yang memungut bayaran 2. Pertunjukan kesenian, berupa pertunjukan musik, tari, drama, teater, komedi, kabaret dan sejenisnya, serta kesenian tradisional 3. Pertunjukan atraksi, sirkus, sulap atau sejenisnya 4. Pertunjukan berupa pameran atau kontes 5. Pertunjukan/pertandingan olahraga 6. Pertunjukan lainnya yang penontonnya di pungut bayaran. b. Permainan 1. Permainan bilyar 2. Permainan seluncuran, permainan di air, permainan es atau salju, rumah es/salju, dunia fantasi atau sejenisnya 3. Permainan lainnya yang pemainnya dipungut bayaran c. Permainan ketangkasan 1. Ketangkasan manual seperti lempar bola, flying fox, permainan di areal out bond, tembak jitu/sasaran, lempar gelang dan sejenisnya 2. Ketangkasan mekanik seperti gokart, outbond, motor cross, kereta wisata, kereta gantung atau sejenisnya 3. Ketangkasan elektronik merupakan permainan yang menggunakan tenaga listrik dan dengan sistem digital atau komputerisasi seperti dingdong, play station, vidio game, arcade game, computer game atau sejenisnya 4. Ketangkasan di air bukan alami seperti arung jeram, water adventure, water world dan sejenisnya 5. Ketangkasan di es atau salju bukan alami, sepeti ice skating, snow world atau sejenisnya 6. Ketangkasan lainnya yang pesertanya dipungut bayaran d. Keramaian 1. Pasar malam, bazaar atau sejenisnya 2. Keramaian lainnya yang memungut bayaran kepada penonton/pengunjung yang memasuki kawasan keramaian dimaksud
3. Panti pijat, refleksi, pijat sehat atau sejenisnya, dikecualikan panti pijat tuna netra 4. Mandi uap, sehat pakai air (SPA), bodycare atau sejenisnya 5. Klub malam, pub, ruang musik (music room), atau sejenisnya 6. Karaoke, balai gita (singing hall) atau sejenisnya. Tidak termasuk obyek pajak adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat atau kegiatan keagamaan. Subyek pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menonton dan atau menikmati hiburan. Wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan. Dasar pengenaan pajak dan tarif : Dasar pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan atau menikmati hiburan. Tarif Pajak Hiburan diatur sebagai berikut : Pertunjukan : 1. Pertunjukan film a) di bioskop 1. HTM di atas Rp. 35.000,- sebesar 15 persen 2. HTM Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 35.000,- sebesar 10 persen 3. HTM di bawah Rp. 10.000,- sebesar 5 persen b) Studio mini, pertunjukan film di studio/tempat khusus, atau sejenisnya sebesar 10 persen 1. Pertunjukan kesenian 2. Pertunjukan seni kontemporer seperti konser, tari, drama, teater, komedi, kabaret dan sejenisnya sebesar 10 persen 3. Pertunjukan tradisional sebesar 2 persen 4. Pertunjukan atraksi, sirkus, sulap atau sejenisnya sebesar 10 persen 5. Pertunjukan berupa pameran, kontes atau sejenisnya sebesar 10 persen 6. Pertunjukan/pertandingan olahraga sebesar 10 persen
Permainan 1. Permainan bilyar sebesar 10 persen 2. Permainan seluncuran, permainan di air, permainan es atau salju, rumah es/salju, dunia fantasi atau sejenisnya sebesar 10 persen Permainan ketangkasan 1. Ketangkasan manual seperti lempar bola, flying fox, permainan di areal outbond, tembak jitu/sasaran, lempar gelang dan sejenisnya sebesar 10 persen 2. Ketangkasan mekanik seperti gokart, outbond, motor cross, kereta wisata, kereta gantung, atau sejenisnya sebesar 10 persen 3. Ketangkasan elektronik merupakan permainan yang menggunakan tenaga listrik dan dengan sistem digital atau komputerisasi seperti dingdong, play station, vidio game, arcade game, computer game atau sejenisnya sebesar 20 persen 4. Ketangkasan di air bukan alami seperti arung jeram, water adventure, water world dan sejenisnya sebesar 10 persen 5. Ketangkasan di es atau salju bukan alami, sepeti ice skating, snow world atau sejenisnya sebesar 10 persen Keramaian seperti pasar malam, bazaar atau sejenisnya sebesar 10 persen Panti pijat, refleksi, pijat sehat atau sejenisnya, dikecualikan panti pijat tuna netra sebesar 20 persen Mandi uap, sehat pakai air (SPA), bodycare atau sejenisnya sebesar 25 persen Klub malam, pub, ruang musik (music room) atau sejenisnya sebesar 35 persen. Karaoke, balai gita (singing hall) atau sejenisnya sebesar 20 persen
2.1.1.2. Retribusi Daerah Retribusi daerah sebagaimana pengertian yang dituangkan dalam UndangUndang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan. Selanjutnya mengenai retribusi ini Pemerintah Kota Bogor mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang pajak daerah yang diimplementasikan kedalam peraturan daerah dan Keputusan Walikota. Retribusi daerah di Kota Bogor dikelola oleh dinas teknis yang mempunyai kewenangan dalam melaksanakan pungutan yang berhubungan dengan bidang tugasnya. Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 jenis retribusi dapat dibedakan menjadi : 1. Retribusi jasa umum yang merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah kepada masyarakat atas pelayanan yang diberikan. Pelayanan yang digolongkan sebagai jasa usaha tersebut memerlukan pengendalian dalam konsumsinya dan biaya penyediaan layanan tersebut cukup besar sehingga layak dibebankan kepada masyarakat, misalnya retribusi pelayanan kesehatan, persampahan, akta catatan sipil dan KTP. 2. Retribusi jasa usaha merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah berkaitan dengan penyediaan layanan yang belum memadai disediakan oleh swasta dan atau penyewaan asset/kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan, misalnya retribusi pasar grosir, terminal, rumah potong hewan. 3. Retribusi perizinan tertentu, pungutan yang dikenakan sebagai pembayaran atas pemberian izin untuk melakukan kegiatan tertentu yang perlu dikendalikan oleh daerah, misalnya IMB dan izin pengambilan hasil hutan. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan membangun hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang lebih ideal, kebijakan perpajakan dan retribusi daerah diarahkan untuk lebih memberikan kepastian hukum, penguatan local taxing power, peningkatan efektivitas pengawasan dan perbaikan pengelolaan pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Januari 2010, sebagai suatu langkah strategis dan fundamental dalam membangun hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang lebih ideal. Undang-Undang PDRD ini diharapkan dapat menyempurnakan sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, memberikan kewenangan yang
lebih luas kepada daerah di bidang perpajakan, meningkatkan efektivitas pengawasan serta memperbaiki pengelolaan pendapatan dari beberapa jenis pajak daerah dan retribusi daerah, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta penciptaan iklim investasi yang kondusif. Dalam struktur APBD baru dengan pendekatan kinerja, jenis PAD yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dirinci pada Tabel 3 dan Tabel 4 dibawah ini : Tabel 3. Pajak Daerah Provinsi UU Nomor 34 / 2000
UU Nomor 28 / 2009
1. Pajak Kendaraan Bermotor 2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 3. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor 4. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan
1. Pajak Kendaraan Bermotor 2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 3. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor 4. Pajak air permukaan 5. Pajak rokok
Sumber : Direktorat PDRD, Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu (2011)
Tabel 4. Pajak Daerah Kabupaten/Kota UU Nomor 34 / 2000 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Parkir Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
UU Nomor 28 / 2009 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Parkir Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan 8. Pajak Air tanah 9. Pajak Sarang Burung Walet 10. PBB Pedesaan & Perkotaan 11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Sumber : Direktorat PDRD, Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu (2011)
Tabel 5. Local Taxing Power Pajak Kabupaten / Kota
UU 34 / 2000
UU 28 / 2009
1. Pajak Hotel
10 persen
10 persen
2. Pajak Restoran
10 persen
10 persen
3. Pajak Hiburan
35 persen
75 persen
4. Pajak Reklame
25 persen
25 persen
5. Pajak Penerangan Jalan
10 persen
10 persen
20 persen
25 persen
7. Pajak Parkir
20 persen
30 persen
8. Pajak Air Tanah
20 persen
20 persen
9. Pajak Sarang Burung Walet
-
10 persen
10. BPHTB
-
5 persen
11. PBB Pedesaan & Perkotaan
-
0,3 persen
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Sumber : Direktorat PDRD, Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu (2011)
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara Undang-Undang Pajak Daerah yang lama dan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru, antara lain dibatasinya jenis pajak daerah yang dapat dipungut oleh daerah (Closed List), ditingkatkannya pengawasan atas pemungutan pajak daerah serta dipertegasnya pengelolaan pendapatan dari pajak daerah. Sebagai kompensasinya, kepada daerah diberikan kewenangan yang lebih besar di bidang perpajakan dalam rangka penguatan Local Taxing Power yaitu dengan kenaikan tarif maksimum, perluasan objek pajak, penambahan jenis pajak, diskresi penetapan tarif dan pengalihan sebagian pajak pusat menjadi pajak daerah, seperti yang dijabarkan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah No 1
Tujuan Memperbaiki kewenangan pemungutan
Strategi Menetapkan Jenis Pungutan Pajak
2
Penguatan Local Taxing Power
Memperluas Basis Pungutan dan Diskresi Penetapan Tarif
3
Meningkatkan Efektivitas Pengawasan
Mengubah Sistem Pengawasan
4
Memperbaiki Sistem Pengelolaan
Meningkatkan Kualitas Penggunaan Hasil Pajak Daerah
Kebijakan Closed List Daerah hanya memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam UU No.28 Tahun 2009 1. Memperluas Objek (Pajak Hotel, Pajak Restoran) 2. Menambah Jenis (Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Rokok, BPHTB, PBB Pedesaan dan Perkotaan) 3. Menaikkan Tarif Maksimum (Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Hiburan) 4. Diskresi Penetapan Tarif (Daerah bebas menetapkan tarif dalam batas minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam UndangUndang) 1. Pengawasan Preventif dan Korektif - Raperda terlebih dahulu dievaluasi - Perda disesuaikan dengan hasil evaluasi - Perda yang telah ditetapkan disampaikan ke pemerintah - Perda yang bertentangan dengan UU dibatalkan 2. Sanksi - Administratif (Prosedur) : Penundaan DAU dan/atau DBH PPh - Substansif : Pemotongan DAU dan/atau DBH PPh 1. Memperbaiki Bagi Hasil Pajak Provinsi ke Kab/Kota 2. Mempertegas Earmarking - 10 persen PKB untuk memperbaiki jalan - 50 persen Pajak Rokok untuk pelayanan kesehatan - Sebagian PPJ untuk penerangan jalan 3. Memperbaiki Sistem Insentif Pemungutan
Sumber : Direktorat PDRD, Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu (2011)
2.1.2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Salah satu kebijakan pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah menetapkan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menjadi pajak kabupaten/kota. Kedua jenis pajak tersebut layak untuk ditetapkan menjadi pajak daerah karena memenuhi kriteria suatu pajak daerah, antara lain ditinjau dari aspek lokalitas (immobile) serta hubungan antara pembayar pajak dan yang menikmati manfaat pajak (the tax benefit-link and local accountability) dan best practice di berbagai negara. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Tarif PBB maksimum 0,3 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Kewenangan penetapan tarif PBB akan dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota setelah 31 Desember 2013. Didalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 1985, Pajak Bumi dan Bangunan mencakup sektor Pedesaan, Perkotaan, Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan. Setelah perubahan kebijakan PDRD maka Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) ditetapkan sebagai pajak daerah. Kebijakan terkait dengan PBB-P2 ditetapkan oleh pemerintah daerah, daerah dapat tidak memungut pajak daerah apabila potensi tidak memadai dan disesuaikan dengan kebijakan daerah, seluruh penerimaan dari sektor PBB-P2 menjadi Pendapatan Asli Daerah, daerah bertanggungjawab sepenuhnya atas pemungutan PBB-P2 baik secara legal, teknik operasional dan pemanfaatannya serta masyarakat daerah dapat terlibat dalam proses perumusan kebijakan PBB-P2 dan dapat mengontrol penggunaan penerimaannya. Jumlah wajib pajak yang ada di Kota Bogor, terdiri dari 6 (enam) Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 7 :
Tabel 7. Jumlah Wajib Pajak di Wilayah Kota Bogor No
Kecamatan
Luas
Jumlah
( Ha )
WP PBB
Pokok Ketetapan
1
Bogor Tengah
840
21.248
11.655.106.531
2
Tanah Sareal
1.999
47.877
9.270.225.232
3
Bogor Utara
1.849
41.176
10.732.187.108
4
Bogor Barat
3.074
47.267
8.023.272.399
5
Bogor Timur
1.007
21.905
11.655.106.531
6
Bogor Selatan
3.081
48.336
12.327.310.548
11.850
227.809
61.490.404.342
Jumlah Sumber : KPP Pratama Bogor, 2009
2.1.3. Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan (BPHTB) Mengutip Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Pembagian Hak Bagi Hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebelum tahun 2011, terlihat pada Gambar 6.
BPHTB
20 persen
80 persen
Pemerintah Pusat
Pemerintah Kota / Kabupaten
Seluruh Pemerintah Kota / Kab.
Pemerintah Provinsi
Pemerintah Kota / Kabupaten
UU No.21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2000
Gambar 6. Pembagian Hak BPHTB antara Pusat dan Daerah Sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terhitung tanggal 1 Januari 2011, pengelolaan BPHTB dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota, maka kebijakan BPHTB ditetapkan oleh daerah dan menjadi peluang bagi pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), daerah bertanggungjawab sepenuhnya atas pemungutan BPHTB baik legalitasnya, tata cara pemungutan (prosedur) dan pemanfaatannya serta masyarakat daerah dapat mengontrol penggunaan penerimaan BPHTB. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, besaran nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak untuk pajak BPHTB dikenakan paling rendah sebesar Rp.60 juta, khusus waris/hibah wasiat paling rendah Rp.300 juta. Aturan itu dimaksudkan untuk menyesuaikan perubahan ketentuan batas maksimal harga rumah yang diperbolehkan untuk dibeli melalui KPR bersubsidi. Sesuai pasal 5 UU BPHTB,
tarif BPHTB merupakan tarif tunggal, dengan tarif tertinggi yaitu 5 persen dan ditetapkan dalam peraturan daerah. Penentuan tarif tunggal ini dimaksudkan untuk kesederhanaan dan kemudahan perhitungan.
2.1.4. Pajak Penghasilan Perseorangan (PPh) Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 06/KMK.04/2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 115 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan pembagian hasil penerimaan pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri dan pajak penghasilan pasal 21 antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21, dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan imbangan sebagai berikut : •
80 persen untuk pemerintah pusat
•
20 persen untuk pemerintah daerah tempat wajib pajak terdaftar
Bagian penerimaan pemerintah daerah dibagi antara daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dengan imbangan sebagai berikut: •
40 persen untuk daerah propinsi,
•
60 persen untuk daerah kabupaten/kota.
Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
2.1.5. Pajak Sumber Daya Alam (SDA) Bagian daerah yang diterima pemerintah daerah berasal dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum dan sektor perikanan, dimana pembagiannya 20 persen untuk pemerintah pusat dan 80 persen untuk daerah. Rincian bagian daerah ditetapkan sebagai berikut : •
Sektor kehutanan Penerimaan iuran Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sebesar 80 persen dibagi dengan rincian provinsi 16 persen, kabupaten/kota penghasil 64 persen.
Penerimaan Provisi sumber daya hutan sebesar 80 persen dibagi sebagai berikut :
•
-
Provinsi 16 persen
-
Kabupaten / Kota penghasil 32 persen
-
Kabupaten / Kota lain 32 persen
Sektor Pertambangan Umum Penerimaan iuran tetap (Land Rent) sebesar 80 persen dibagi dengan rincian provinsi 16 persen, kabupaten/kota penghasil 64 persen Penerimaan iuran eksplorasi sebesar 80 persen dibagi sebagai berikut :
•
-
Provinsi 16 persen
-
Kabupaten / Kota penghasil 32 persen
-
Kabupaten / Kota lain 32 persen
Sektor Perikanan Pungutan dari sektor perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota. Bagian pendapatan pemerintah pusat untuk pertambangan minyak bumi adalah 85 persen, sedangkan bagian untuk daerah adalah 15 persen, yang dibagi sebagai berikut :
•
-
Provinsi 3 persen
-
Kabupaten / Kota penghasil 6 persen
-
Kabupaten / Kota lain 6 persen
Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Alam Bagian pendapatan pemerintah pusat untuk pertambangan gas alam adalah sebesar 70 persen, sedangkan bagian untuk daerah adalah 30 persen, yang dibagi sebagai berikut : -
Provinsi 6 persen
-
Kabupaten / Kota penghasil 12 persen
-
Kabupaten / Kota lain 12 persen
2.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bentuk APBD berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 menjelaskan bahwa APBD adalah Rencana Keuangan Pemerintah Daerah yang harus disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dengan DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD )
Pendapatan Daerah
Belanja Daerah
Pembiayaan Daerah
PAD 1. Pajak Daerah 2. Retribusi Daerah 3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan 4. Lain-lain PAD yang sah Dana Perimbangan 1. Dana Bagi Hasil 2. Dana Alokasi Umum 3. Dana Alokasi khusus Lain-lain pendapatan daerah yang sah 1. Hibah tak mengikat 2. Dana darurat dari pemerintah 3. Dana bagi hasil pajak dari provinsi 4. Dana Penyesuaian & Dana Otonomi Khusus 5. Bantuan keuangan dari provinsi
Belanja Tidak Langsung 1. Belanja Pegawai 2. Bunga 3. Subsidi 4. Hibah 5. Bantuan Sosial 6. Belanja Bagi Hasil 7. Bantuan Keuangan 8. Belanja tak terduga Belanja Langsung 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang dan Jasa 3. Belanja Modal
Pembiayaan 1. SILPA 2. Pencairan dana cadangan 3. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan 4. Penerimaan pinjaman daerah 5. Penerimaan kembali pemberian pinjaman 6. Penerimaan piutang daerah Pengeluaran 1. Pembentukan dana cadangan 2. Investasi Pemda 3. Pembayaran pokok utang 4. Pemberian pinjaman daerah
Gambar 7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
2.3. Analisis Efektivitas Efektivitas pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu masalah yang sangat esensial dalam otonomi daerah. Amanat penyelenggaraan negara yang bersih serta bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme seperti yang tertuang dalam TAP MPR RI No.XI/MPR/1999 dan dalam Undang-Undang Nomor 28/1999 serta dalam Inpres Nomor 7/1999 yang mementingkan aspek good governance dan akuntabilitas.3 Prinsip-prinsip yang
mendasari
pengelolaan
keuangan daerah adalah transparansi, akuntabilitas dan value for money. Untuk mengukur kinerja dari pemerintah daerah, maka indikatornya adalah ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Value for money menerapkan tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu efisiensi, efektivitas dan ekonomi. Beberapa pengertian efektivitas menurut beberapa ahli diantaranya : •
Komarudin (1994), Efektivitas adalah merupakan suatu keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan atau kegagalan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
•
Hidayat (1986), Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya.
•
Tunggal (2003) mengutip definisi efisiensi, efektivitas dan ekonomisasi dari Gerald Vinten sebagai berikut : Economy-doing things cheap Efficiency-doing things right Effectiveness-doing the right things
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah pencapaian sasaran yang berkaitan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Efektivitas pengelolaan keuangan daerah merupakan hal yang sangat penting untuk dievaluasi, karena efektivitas menggambarkan
3. LAN dan BPKP, ”Akuntabilitas dan Good Governance”, Maret 2000
pengelolaan anggaran di daerah yang bersangkutan. Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target atau tujuan kepentingan publik (hasil guna), menunjukkan perbandingan antara output dan outcome yaitu tingkat ketercapaian hasil akhir setelah output diperoleh. Efisiensi berarti penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna), merupakan perbandingan antara sumberdaya yang digunakan (input) dengan output. Dimensi efektivitas melihat sejauh mana output yang dihasilkan dapat memenuhi sasaran dan tujuan manajemen. Penerapan otonomi daerah difasilitasi oleh Pemerintah Pusat dengan meningkatkan alokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan ke daerah dalam bentuk dana perimbangan (DAU atau DAK), maka konsekuensi dari penyaluran dana yang semakin besar pemerintah daerah dituntut memiliki kemampuan manajemen keuangan daerah secara profesional. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat melakukan reformasi dibidang keuangan negara. Reformasi dibidang keuangan tersebut mencakup semua aspek manajemen keuangan, termasuk perencanaan, implementasi dan pertanggungjawaban. Kondisi tersebut mensyaratkan manajemen keuangan yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Reformasi di tingkat pusat dan daerah diharapkan dapat memperkuat fundamental desentralisasi di Indonesia. Bila dilihat dari porsi belanja daerah tahun 2010, ternyata daerah mengalokasikan anggaran pegawai 44,57 persen, sedangkan belanja modal hanya 21,7 persen. Terdapat 289 kabupaten dan kota yang memiliki belanja pegawai mendominasi 50 persen atau lebih dari total belanja Pemdanya, bahkan 11 diantaranya belanja pegawai menghabiskan 70 persen dari total belanjanya. Tentu saja ruang Pemda untuk menggerakkan ekonomi melalui kegiatan produktif seperti infrastruktur dan peningkatan fasilitas publik semakin berkurang. Kemampuan fiskal yang rendah karena daerah belum bisa mengoptimalkan anggaran yang mengakibatkan kesulitan keuangan. Bahkan ada pula daerah yang mengalami defisit anggaran besar karena salah kelola. Pengelolaan keuangan daerah masih ada kelemahan dalam perencanaan dan penyusunan laporan keuangan.
Laporan
keuangan
hingga
saat
ini
baru
merupakan
pertanggungjawaban bagi pejabat daerah dan belum menjadi dasar dalam
pengambilan keputusan. Akibatnya informasi dalam laporan keuangan kurang akuntabel dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan yang handal. Akuntabilitas belanja pemerintah daerah sangat minim, karena tidak adanya aturan pembatasan belanja pegawai di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah juga tidak adanya sanksi berat bagi pemerintah daerah yang melanggar. Menurut Dr. H. Marzuki Alie, dalam tulisannya Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah, ada beberapa kendala dalam mencapai pengelolaan keuangan daerah yang efektif. Pertama, kurangnya efektivitas penyusunan APBD dikarenakan sulitnya mencapai kesepakatan pembahasan dengan DPRD dan hambatan teknis dalam proses penyusunan APBD, karena kompleksitas proses penganggaran berbasis kinerja. Kedua, kurangnya efektivitas pengeluaran APBD. Pengeluaran APBD mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah daerah. Efektivitas pengeluaran APBD akan berpengaruh langsung terhadap efektivitas pelayanan publik, yang pada gilirannya akan menentukan keberhasilan pembangunan daerah. Ketiga, kurangnya akuntabilitas Laporan Keuangan Daerah. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan 524 pemerintah daerah di seluruh Indonesia tahun 2010, hanya 14 persen yang mendapatkan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kesimpulan dari opini diatas adalah, pertama penggunaan anggaran yang tepat bisa menjadi efek pengganda (multiplier effect) yang menciptakan siklus pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk itu, pemerintah perlu menerapkan batas maksimal belanja pegawai dan atau batas minimal belanja modal oleh pemerintah daerah. Dalam revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hal tersebut perlu diakomodir. Kedua, disamping itu, dimungkinkan daerah pemekaran
disatukan
kembali
dengan
daerah
induknya apabila
dalam
perjalanannya mengalami masalah dalam pengelolaan keuangan. Ketiga, sejumlah indikator harus menjadi perhatian pemerintah terkait dengan PNS, mulai dari jumlah anggaran yang dialokasikan untuk belanja pegawai, pemenuhan pelayanan
dasar kepada masyarakat dan rasio ideal jumlah PNS dengan jumlah masyarakat yang dilayani. Analisis Efektivitas Pengelolaan Pajak Daerah Efektivitas = Realisasi Penerimaan Pajak x 100 persen Target Penerimaan Pajak Asumsi yang digunakan dalam analisis ini dalam menentukan besarnya potensi digunakan pendekatan angka rencana atau target yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah telah melalui perhitungan Target Penerimaan Pajak. Ukuran efektivitas digunakan untuk menggambarkan kesesuaian rencana dan realisasi. Dari pengertian efektivitas tersebut disimpulkan bahwa efektivitas bertujuan untuk mengukur rasio keberhasilan, semakin besar rasio maka semakin efektif, standar minimal rasio keberhasilan adalah 100 persen atau 1 (satu) dimana realisasi sama dengan target yang telah ditentukan. Rasio dibawah standar minimal keberhasilan dapat dikatakan tidak efektf. Selama ini belum ada ukuran baku mengenai kategori efektifitas, ukuran efektifitas biasanya dinyatakan secara kualitatif dalam bentuk pernyataan saja (judgement). Tingkat efektivitas dapat digolongkan kedalam beberapa kategori yaitu : 1. Hasil perbandingan tingkat pencapaian diatas 100 persen berarti sangat efektif. 2. Hasil perbandingan tingkat pencapaian 100 persen berarti efektif. 3. Hasil perbandingan tingkat pencapaian dibawah 100 persen berarti tidak efektif.
2.4. Analisis Matriks Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal (IFE - EFE) Matriks evaluasi faktor internal dan eksternal (Internal Faktor EvaluationIFE Matrix dan External Faktor Evaluation-EFE Matrix) merupakan alat bantu dalam merangkum dan mengevaluasi informasi eksternal yang meliputi informasi ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, pemerintah, hukum, teknologi dan persaingan. Tahapan pencocokan dan pemanduan penting dilakukan untuk melengkapi nilai bobot dan nilai rating kedua faktor strategis. Pembobotan ditempatkan pada kolom kedua matriks IFE dan matriks EFE, sedangkan rating ditempatkan pada kolom ketiga matriks IFE dan matriks EFE.
Matriks IFE Tahapan Pembuatan Matriks IFE : •
Buat daftar CSF (Critical Success Factor) untuk aspek internal berkaitan dengan kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses)
•
Tentukan rating dari setiap CSF, berkisar antara 1-4, dimana :
1 = sangat lemah, 2 = lemah, 3 = kuat, 4 = sangat kuat
•
Tentukan bobot dari setiap CSF
•
Hitung skor setiap CSF dengan mengalikan bobot dengan rating
•
Jumlahkan semua skor untuk memperoleh skor total, nilai skor berkisar antara 1 sampai dengan 4
Matriks IFE Key External Factors
Rating
Bobot
Skor
Kekuatan ( Strengths )
Kelemahan ( Weaknesses )
Total
Matriks EFE Tahapan Pembuatan Matriks EFE : •
Buat daftar CSF (Critical Success Factor) untuk aspek eksternal berkaitan dengan kesempatan (opportunities) dan ancaman (threats)
•
Tentukan skala (rating) dari setiap CSF, berkisar antara 1-4, dimana :
1 = dibawah rata-rata, 2 = rata-rata, 3 = diatas rata-rata, 4 = sangat bagus
•
Tentukan bobot dari setiap CSF
•
Hitung skor setiap CSF dengan mengalikan bobot dengan rating
•
Jumlahkan semua skor untuk memperoleh skor total, nilai skor berkisar antara 1 sampai dengan 4
Matriks EFE Key External Factors
Rating
Bobot
Skor
Peluang ( Opportunities )
Ancaman ( Threats )
Total
Tahap Pencocokan Matriks IE (Internal Eksternal) Matriks IE (Internal-Eksternal) memposisikan organisasi ke dalam matriks dengan EFE (baris) dan IFE (kolom) dalam sembilan sel yang diilustrasikan pada Gambar 8 dengan 3 (tiga) ukuran yaitu kuat, sedang dan lemah. Total Nilai EFI yang diberi bobot Kuat 3,0 - 4,0
Total Nilai EFE yang diberi bobot
4,0 Tinggi 3,0 - 4,0
Sedang 2,0 - 2,99 3,0
Lemah 1,0 - 1,99 2,0
1,0
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
3,0 Sedang 2,0 - 2,99
2,0 Rendah 1,0 - 1,99
1,0
Gambar 8. Matriks I E
Matriks IE dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yang mempunyai dampak strategi berbeda. Pertama, divisi yang masuk dalam sel I, II dan IV dapat disebut tumbuh dan bina. Strategi yang cocok adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk) atau strategi integratif, yaitu integrasi ke depan, integrasi ke belakang dan integrasi horisontal. Kedua, divisi yang masuk dalam sel III, V atau VII terbaik dapat dikelola dengan strategi pertahankan dan pelihara, dimana strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk merupakan dua strategi yang terbanyak dilakukan untuk tipe divisi ini. Ketiga, divisi yang masuk dalam sel VI, VIII atau IX adalah panen atau divestasi
2.5. Analisis SWOT Untuk perancangan strategi meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor khususnya dari sektor pajak daerah, menggunakan analisis SWOT. Analisis ini terdiri dari dua faktor strategis yakni internal berisi kekuatan dan kelemahan serta faktor eksternal berisi peluang dan ancaman. Ada beberapa keuntungan dari penggunaan analisa SWOT antara lain analisa SWOT tak hanya dapat membuat ekstrapolasi masa depan, tapi justru dapat dipakai untuk membuat masa depan, bersifat multiguna dan sederhana serta analisa SWOT cocok dengan teknik lain dalam perancangan strategi (Delphi, Brainstorming, time series, regression dan AHP / Analitical Hierarchi Process).
Analisis Eksternal Ekonomi, Sosial, Politik Peraturan (Regulasi) Trend global Teknologi baru
Analisis Internal Teknologi yang dimiliki Sumber daya alam Sumber daya manusia Infrastruktur Dsb.
Opportunity & Threat Identifikasi peluang dan ancaman
Strength & Weakness Identifikasi kekuatan dan kelemahan (Competencies)
Penyesuaian kompetensi dengan peluang dan ancaman
Strategi
Sumber : Mardiasmo (2002)
Gambar 9. Proses Perumusan Strategi SWOT
2.6. Kemiskinan Kegiatan pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara garis besar kemiskinan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu kemiskinan struktural (kemiskinan buatan/man made poverty) dan kemiskinan alamiah. Baik langsung maupun tidak langsung kemiskinan kategori ini umumnya disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup tidak hanya tatanan organisasi tetapi juga mencakup masalah aturan yang diterapkan. Kemiskinan alamiah lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan sumberdaya alam.
2.7. Hasil Kajian Terdahulu Mohammad
Riduansyah
(2003)
melakukan
kajian
dengan
judul
”Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD )
Guna
Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pemerintah Daerah Kota Bogor)”.4 Dalam Daerah
(PAD)
pembiayaan
kajian
merupakan
rutin
tersebut sumber
Penerimaan
Pendapatan
penerimaan yang
Asli
signifikan bagi
dan pembangunan di suatu daerah otonom. Jumlah
penerimaan komponen pajak daerah dan retribusi daerah sangat dipengaruhi oleh banyaknya jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang diterapkan serta disesuaikan dengan peraturan yang berlaku yang terkait dengan penerimaan kedua komponen tersebut. Kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap perolehan PAD Pemerintah Kota Bogor dalam kurun waktu Tahun Anggaran (TA) 1993/1994-2000 cukup signifikan dengan rata-rata kontribusi sebesar 27,78 persen per tahun. Kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap total perolehan penerimaan Pemda Bogor tercermin dalam APBD-nya, dikaitkan dengan kemampuannya untuk melaksanakan otonomi daerah terlihat cukup baik. Komponen pajak daerah dalam kurun waktu TA 1993/1994-2000 rata-rata pertahunnya memberikan kontribusi sebesar 7,81 persen per tahun dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 22,89 persen pertahunnya. Sedangkan pendapatan yang berasal dari komponen retribusi daerah, pada kurun waktu yang sama, memberikan kontribusi rata-rata pertahunnya sebesar 15,61 persen dengan rata-rata pertumbuhan pertahunnya sebesar 5,08 persen per tahun. Untuk meningkatkan kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap total penerimaan PAD dan sekaligus memperbesar kontribusinya terhadap APBD Pemerintah Daerah Kota Bogor perlu dilakukan beberapa langkah diantaranya perlu dilakukan peningkatan intensifikasi pemungutan jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah, kemudian dilakukan ekstensifikasi dengan jalan memberlakukan jenis pajak dan retribusi baru sesuai dengan kondisi dan potensi yang ada. 4. Diterbitkan dalam Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Volume 7 Nomor 2, Desember 2003
Sukiptiyah (2000) “Analisis Dampak Praktek Penghindaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap Pendapatan Pemerintah Daerah (Kasus : Pemerintah Kota Bogor)”5. Tujuan penelitian untuk mengetahui besar hilangnya pendapatan daerah dari pos penerimaan BPHTB akibut Adanya praktek manipulasi
Nilai
Perolehan
Objek
Pajak-Akta
Jual
Bali
(NPOP-AJB)
menggunakan angka dari Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dan potensi penerimaan BPHTB dikurangi realisasi penerimaan BPHTB merupakan besarnya kehilangan penerimaan keuangan dari pos penerimaan BPHTB akibat praktek manipulasi NPOP-AJB serta mendapatkan informasi tentang faktor utama yang menyebabkan penghindaran pembayaran BPHTB dan mencari solusinya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa praktek penghindaran BPHTB telah terjadi di Pemerintah Kota Bogor. Adanya praktek penghindaran BPHTB, Pemerintah Kota Bogor kehilangan penerimaan keuangan dari pos bagi hasil pajak, hal terjadi karena adanya perbedaan yang cukup besar antara NPOP harga pasar dengan NJOP-PBB, yang ditunjukkan oleh nilai rata-rata rasio antara NPOP harga pasar terhadap NJOP-PBB sebesar 2,36. Kecilnya probability manipulasi NPOP-AJB dapat diketahui oleh pejabat Kantor Pelayanan Pajak dan Bangunan, yang dibuktikan bahwa 92 persen responden tidak takut melakukan manipulasi NPOP-AJB, dimana 24 persen responden beralasan karena lemahnya administrasi perpajakan dan 28 persen beralasan kemungkinan untuk terlacak sangat kecil, sisanya 48 persen responden beralasan seandainya ketahuan sanksinya masih bisa dinego/damai, kurangnya upaya penyidikan terhadap praktek penghindaran pajak dan lemahnya "Law Inforcement", dimana belum diterapkannya sanksi yang tegas bagi wajib pajak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah Nomor 481 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Pengalihan hak atas Tanah dan Bangunan, dan Biaya administrasi pembuatan akta jual beli tanah/bangunan tarifnya didasarkan pada persentase NPOP AJB. Hasil survei menunjukkan bahwa nilai rata-rata rasio antara NPOP harga pasar terhadap NPOP AJB sebesar 1,86 dan rata-rata persentase NPOP dilaporkan hanya 59,45 persen artinya jika Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan mampu
5. Diterbitkan dalam www.digilib.ui.ac.id
mengupayakan maka potensi/kapasitas BPHTB Pemerintah Kota Bogor adalah jauh lebih besar dari realisasi yang ada sekarang. Sejauh ini efisiensi dan efektivitas pengelolaan BPHTB sudah sangat baik, yang ditunjukkan oleh tingkat efisiensi sebesar 0,16 persen dan tingkat efektivitas sebesar 167,50 persen. Sementara itu effort-nya baru mencapai 75,94 persen, hal ini menunjukkan bahwa target yang ditetapkan jauh lebih kecil dari kapasitas pajak. Langkah proaktif yang dapat dilakukan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan untuk mengantisipasi/memperkecil praktek penghindaran BPHTB adalah : (i) merevisi NJOP-PBB agar perbedaan NJOP-PBB dengan NPOP sesuai harga pasar tidak terlalu besar; (ii) merevisi besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOP-TKP) sampai batas terkecil yang masih diperbolehkan dalam undang-undang dan (iii) Perlunya upaya penyidikan terhadap adanya isue praktek penghindaran pajak dengan lebih intensif.
BAB III METODE KAJIAN
3.1 Kerangka Pemikiran Kerangka yang digunakan untuk mengukur efektivitas pengelolaan penerimaan daerah dari sumber-sumber kapasitas fiskal. Kapasitas fiskal dalam kajian ini dibatasi hanya pada enam jenis pajak daerah yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor yaitu pajak penerangan jalan, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame dan pajak parkir. Pos penerimaan tersebut akan digunakan untuk mengestimasi dan mengetahui seberapa besar kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kota Bogor. Mangara, dalam penelitiannya mengatakan PDRB ini bisa digunakan sebagai indikator pendapatan daerah. Dalam menentukan suatu prioritas pembangunan juga diperlukan pengetahuan tentang perubahan struktur ekonomi dari tahun ke tahun dan juga sektor mana yang berkontribusi besar pada PDRB (competitive advantage), sehingga alokasi dana untuk mendorong perekonomian dapat dialokasikan sesuai struktur ekonomi.
Visi dan Misi Kota Bogor ( RPJP ) : “ Kota Jasa Yang Nyaman dengan Masyarakat Yang Madani dan Pemerintahan Amanah “
Permasalahan Kapasitas Fiskal di Kota Bogor : Ketergantungan pada DAU yang tinggi Indeks Kapasitas Fiskal yang rendah Kemandirian dalam pembuatan kebijakan dengan kendala keterbatasan sumberdaya
Identifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan sumber-sumber kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor
Perkembangan dan efektivitas kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor setelah desentralisasi fiskal
Tahap Input Matriks IFE dan Matriks EFE
Analisa Efektivitas
Tahap Pencocokan Matriks SWOT
Alternatif Strategi untuk meningkatkan kapasitas fiskal di Pemerintah Daerah Kota Bogor
Gambar 10. Kerangka Pikir Penelitian
3.2. Lokasi & Waktu Kajian Penelitian ini dilakukan di Pemerintah Daerah Kota Bogor, dengan mengambil studi kasus di Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor yang merupakan unsur pelaksana teknis otonomi daerah di bidang pendapatan daerah. Waktu kajian dimulai pada bulan Maret - Mei 2011 (3 bulan).
3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup kajian ini mencakup kajian terhadap sektor-sektor sumber kapasitas fiskal, yang sangat significant dampaknya terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor dan secara umum terhadap perekonomian di Kota Bogor. Populasi penelitian ini adalah PAD Kota Bogor dan pajak daerah yang dikelola secara langsung oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor dengan data runtun waktu (time series) selama 10 tahun, yaitu tahun 20042010.
3.3.2. Metode Pengumpulan Data Dalam kajian ini penulis menggunakan dua macam data menurut klasifikasi jenis dan sumbernya yaitu : •
Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari para responden penelitian dengan teknik wawancara tidak terstruktur dan menggunakan kuesioner, untuk mendapatkan faktor internal dan faktor ekternal yang berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas fiskal di Kota Bogor, khususnya terhadap peningkatan 6 (enam) jenis pajak yang dikelola langsung oleh Dispenda Kota Bogor, yaitu pajak penerangan jalan umum, pajak hotel, pajak restoran, pajak parkir, pajak reklame dan pajak hiburan.
•
Data Sekunder, data yang diperoleh tidak secara langsung, bersumber dari studi kepustakaan, data kedinasan maupun dari publikasi instansi yang bertanggungjawab terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota antara lain seperti publikasi Pemerintah Daerah Kota Bogor yang menjadi obyek penelitian, publikasi Kementrian Keuangan RI, publikasi BPS dan publikasi lainnya. Dasar kapasitas fiskal yang digunakan adalah Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 129/PMK.02/2005 dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 73/PMK.02/2006 serta
Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
153/PMK.07/2007, yang dapat memberikan gambaran kondisi wilayah penelitian, potensi daerah dan kebijakan yang telah dilakukan pemda.
Tabel 8. Data yang diteliti dan sumber data No
Tujuan
1
Menganalisis perkembangan
Data Jenis Data Sekunder
Metode Sumber
1. Laporan Rencana &
dan efektivitas kapasitas
Realisasi PAD (Dispenda
fiskal (Pajak Daerah)
Kota Bogor, 2004-2010)
Pemerintah Daerah Kota
Analisis Statistik Deskriptif
2. Laporan Rencana &
Bogor setelah desentralisasi
Realisasi Potensi Pajak
fiskal
Bumi dan Bangunan (Dispenda Kota Bogor, 2004-2010) 3. Renstra Kota Bogor 20052010 (Bapeda Kota Bogor) 4. RPJMD Kota Bogor 20102014 (Bapeda Kota Bogor) 5. Renstra Dinas Pendapatan Kota Bogor (Dispenda Kota Bogor 2010-2014)
2
Mengidentifikasi faktor
Data Primer
1. Dispenda Kota Bogor
internal dan eksternal yang
2. Bapeda Kota Bogor
mempengaruhi
3. Bagian Anggaran DPRD
pengembangan sumber-
Matriks IE
Kota Bogor
sumber kapasitas fiskal
4. Mantan Ketua Kadin Kota
(Pajak Daerah) Pemda Kota
Bogor
Bogor
5. Profesional di PD Kota Bogor
3
Memformulasikan
Data Sekunder
1. Dispenda Kota Bogor
kebijakan yang dapat
2. Bapeda Kota Bogor
dilakukan untuk
3. Bagian Anggaran DPRD
meningkatkan kapasitas
Analisis SWOT
Kota Bogor
fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor
3.3.3. Teknik Pengambilan Sampel Pemilihan sampel dalam kajian ini dilakukan dengan metode purposive sampling, responden dipilih secara sengaja yaitu 8 orang profesional yang terdiri dari dua orang di Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor, Komisi B (Anggaran) DPRD Kota Bogor dan Anggota DPRD Kota Bogor serta dua orang di Badan
Perencanaan Pembangunan (Bapeda) Kota Bogor, mantan Ketua Kadin Kota Bogor dan profesional di Perusahaan Daerah Kota Bogor, yang memiliki kompetensi terhadap bidang yang dikaji. Pemilihan sampel tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan keterbatasan dana dan waktu yang tersedia.
3.3.4. Metode Perancangan Program Secara garis besar metode analisis yang digunakan dalam kajian ini terbagi atas dua bagian yakni analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif merupakan penelitian terkait dengan kapasitas fiskal di Pemerintah Daerah Kota Bogor, dengan difokuskan pada pengelolaan enam jenis pajak daerah oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor. Tujuannya adalah untuk menganalisis perkembangan
pajak
daerah
di
Pemerintah
Daerah
Kota
Bogor
dan
mengidentifikasi faktor internal, eksternal yang mempengaruhi pengembangan pajak daerah tersebut. Analisis kuantitatif menggunakan rasio untuk menjawab efektivitas pengelolaan keuangan daerah, khususnya terhadap pengelolaan pajak daerah di Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor. Perancangan strategi menggunakan analisis SWOT dan tahap akhir mapping yakni output strategi untuk meningkatkan pajak daerah di Pemerintah Daerah Kota Bogor.
3.3.4.1. Rasio Efektivitas Alat analisis ini digunakan untuk mengetahui pencapaian target, berkaitan dengan peningkatan kapasitas fiskal di Kota Bogor, khususnya 6 (enam) jenis pajak daerah diantaranya yang berkaitan dengan peraihan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Bogor. Rasio ini untuk membandingkan antara rencana dan realisasi, dari perbandingan tersebut akan terlihat anggaran yang mendekati target dan yang jauh dari target, sehingga pemerintah daerah dapat mengetahui kelemahannya serta mengantisipasinya di perencanaan pada tahun mendatang
3.3.4.2. Analisis Matriks Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal (IFE-EFE) Matriks evaluasi faktor internal dan eksternal (Internal Faktor EvaluationIFE Matrix dan External Faktor Evaluation-EFE Matrix) merupakan alat bantu dalam merangkum dan mengevaluasi informasi eksternal yang meliputi informasi
ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, pemerintah, hukum, teknologi dan persaingan.
3.3.4.3. Analisis SWOT Analisis Matriks Kekuatan - Kelemahan - Ancaman - Peluang (SWOT) Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) (Freddy Rangkuti, 198). Menurut Nining I. Soesilo, unsur-unsur SWOT meliputi strength (S) yang mengacu pada keunggulan kompetitif dan kompetisi lainnya, weakness (W) merupakan hambatan yang membatasi pilihan-pilihan pada pengembangan
strategi,
opportunities
(O)
menggambarkan
menguntungkan atau peluang yang membatasi penghalang
kondisi
dan threats (T)
berhubungan dengan kondisi yang dapat menghalangi atau ancaman dalam mencapai tujuan. Salah satu alasan perlunya dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor internal dan eksternal dengan menggunakan matriks IFE dan EFE adalah penentuan analisis SWOT dilakukan setelah mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Tabel 9. Interaksi SWOT IFAS EFAS
O (Opportunities)
T (Threats)
S (Strengths)
W (Weakness)
Strategi S O Dengan kekuatan meraih peluang
Strategi W O Mengatasi kelemahan untuk menangkap peluang yang sesuai
Strategi S T Dengan kekuatan menghadapi tantangan
Strategi W T Mengatasi kelemahan untuk mengalahkan ancaman
Sumber : Manajemen Strategik di Sektor Publik, Nining I. Soesilo
Membuat strategi adalah mengawinkan elemen internal dengan eksternal sehingga didapatkan empat alternatif strategi (Nining I. Soesilo : Bagian II 5-7) sebagai berikut : • Strategi SO ( kekuatan - peluang – strength - opportunities )
Strategi ini yang paling murah karena dengan bekal yang paling sedikit dapat didorong kekuatan yang sudah ada untuk maju (mengandalkan keunggulan komparatif). Strategi ini mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang disebut juga strategi agresif. • Strategi ST ( kekuatan - ancaman – strength - threats ) Strategi ini yang agak lebih mahal karena dengan bekal yang paling sedikit dapat diatasi ancaman yang sudah ada untuk maju sehingga harus dilakukan mobilisasi dengan dua pilihan yaitu : - melawan ancaman, memelihara status qou (tak bergeming) - merubah ancaman jadi kesempatan atau merubah status quo Strategi ini disebut juga diversifikasi. • Strategi WO ( kelemahan - peluang – weakness - opportunities ) Adalah strategi investasi atau divestasi yang agak lebih sulit karena orientasinya adalah memihak pada kondisi yang paling lemah, tetapi dimanfaatkan untuk menangkap peluang, disebut juga strategi dengan orientasi putar balik. • Strategi WT ( kelemahan - ancaman – weakness - threats ) Strategi yang paling sulit karena orientasinya adalah memihak pada kondisi yang paling lemah atau paling terancam sehingga yang dilakukan adalah mengontrol kerusakan agar tidak menjadi lebih parah, dengan meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman (defensif).
BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR
4.1. Kondisi Wilayah Kota Bogor (Kota Buitenzorg yang artinya “Kota tanpa kesibukan”) terletak diantara 106 derajat 43’30”BT 106 derajat 51’00”BT dan 30’30”LS - 6 derajat 41’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibukota kurang lebih 60 kilometer, dengan
luas wilayah 11.850 ha, merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan ketinggian yang bervariasi antara 0 sampai dengan > 350 m diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng berkisar 0-2 persen (datar) seluas 1.763,94 ha, 2-15 persen (landai) seluas 8.091,27 ha, 15-25 persen (agak curam) seluas 1.109,89 ha, 25-40 persen (curam) seluas 764,96 ha dan > 40 persen (sangat curam) seluas 119,94 ha. Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 tahun1950 Kota Bogor ditetapkan menjadi Kota Besar dan Kota Praja yang terbagi dalam 2 wilayah Kecamatan 22
kelurahan, 5 kecamatan dan 1 perwakilan kecamatan. Terakhir berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1992, perwakilan kecamatan Tanah Sareal ditingkatkan statusnya menjadi kecamatan, kini terdapat 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Lokasi Kota Bogor yang dekat dengan ibukota negara dan kedudukannya diantara jalur tujuan Puncak-Cianjur merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Adanya Kebun Raya yang di dalamnya terdapat Istana Bogor merupakan tujuan wisata yang
menarik.
4.2. Keadaan Penduduk Tren jumlah penduduk Kota Bogor terus bertambah dari waktu ke waktu.
Tahun 1961, saat sensus pertama kali diselenggarakan, jumlah penduduk Kota Bogor mencapai 154,1 ribu jiwa. Angka tersebut terus naik, dan sempat terjadi
lonjakan penduduk pada tahun 1990-2000 ketika wilayah Kota Bogor bertambah 46 kelurahan dari Kabupaten Bogor berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 1995. Jumlah
penduduk Kota Bogor terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga
menimbulkan tingkat kepadatan yang makin besar pula. Laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor selama 12 tahun (1995-2007) adalah sebesar 2,82 persen, dengan laju pertumbuhan tertinggi terdapat di Kecamatan Bogor Utara yang
mencapai 4,30 persen. Sementara, di Kecamatan Bogor Tengah, terjadi pertumbuhan terendah sebesar 0,39 persen. Dalam periode 1999-2006, pertumbuhan
penduduk
Kota
Bogor
memperlihatkan
fluktuasi
dengan
pertumbuhan terendah sebesar 0,38 persen (1996-1997) dan pertumbuhan tertinggi sebesar 6,38 persen (2000-2001). Pada tahun 2001 jumlah penduduk Kota Bogor sekitar 760.329 jiwa,
kemudian pada tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006 jumlah penduduk Kota Bogor menjadi 789.423,820.707,831.751,855.184 dan 855.085 jiwa. Akan tetapi secara persentase laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor tidak begitu stabil.
Pertumbuhan penduduk Kota Bogor antara tahun 2000-2001 sebesar 1.83 persen, akan tetapi perkembangan penduduk Kota Bogor pada tahun 2001-2002 menjadi 1.79 persen, selanjutnya pertumbuhan penduduk Kota Bogor pada tahun 20022003 relatif sama dengan tahun sebelumnya yakni 1.76 persen dan kemudian pertumbuhannya naik pada tahun 2003-2004 yakni menjadi 3.41 persen, tahun 2004-2005 1.71 persen dan perkembangan pada tahun 2005-2006 meningkat kembali menjadi 2.02 persen, maka dapat disimpulkan bahwa perubahan penduduk Kota Bogor tidaklah stabil nilainya. Perbedaan laju perkembangan penduduk ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor alamiah (kelahiran dan kematian) serta migrasi masuk dan keluar.
Tabel 10. Jumlah Penduduk Kota Bogor Per Kecamatan Menurut Jenis Kelamin Tahun 2006 Kecamatan
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
Bogor Selatan
77.254
73.881
151.135
Bogor Timur
38.307
38.958
77.265
Bogor Utara
64.148
61.710
125.858
Bogor Barat
86.496
84.148
170.644
Bogor Tengah
46.235
46.620
92.855
Tanah Sareal
67.006
65.487
132.493
379.446
370.804
750.250
Jumlah Sumber : BPS Kota Bogor
Keberagaman menjadi salah satu khas penduduk Kota Bogor, baik dari sisi budaya maupun potensi ekonomi. Kedekatan dengan Jakarta turut memberikan
warna kehidupan masyarakat Kota Bogor. Kepadatan penduduk per km2 sebesar 7.017 jiwa dan sex ratio penduduk Kota Bogor adalah 104 yang artinya 104 penduduk laki-laki berbanding dengan 100 penduduk perempuan. Kecamatan Bogor Barat merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu 195.808 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Bogor
Timur yaitu 89.237 jiwa. Untuk Kecamatan Bogor Tengah merupakan kecamatan terpadat dengan jumlah penduduk 13.047 jiwa/km2, hal ini disebabkan karena pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi banyak berada di kecamatan ini. Sedangkan kecamatan yang paling rendah kepadatannya adalah Bogor Barat dan Bogor Selatan. Di dua kecamatan inilah yang masih berpotensi tinggi
terjadinya migrasi penduduk masuk ke Kota Bogor.
Sumber : BPS, 2006
Gambar 11. Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Bogor Tahun 2000 - 2006 Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2009 sebanyak 981.000 jiwa dan di tahun 2010 diprediksi akan menjadi lebih dari satu juta jiwa dengan asumsi
rata-rata pertumbuhan dua persen per tahun. Hasil sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Kota Bogor mencapai 949.066 jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar 2,39 persen, diantaranya 484.648 laki-laki dan 464.418 perempuan dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,8 persen, Kota Bogor memiliki sumberdaya manusia yang cukup besar dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu modal pembangunan.
4.3. Kondisi Perekonomian Untuk mengetahui perkembangan perekonomian di Kota Bogor, salah satu indikatornya adalah diukur dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Pertumbuhan ekonomi Kota Bogor dapat dikelompokkan menjadi tiga periode yang berbeda, yaitu : 1993-1998, 2000-2004, 2002-2006. Hal ini mengingat adanya perbedaan harga konstan dari data PDRB yang diperoleh. •
Pada periode 1993-1998, ekonomi Kota Bogor mengalami pertumbuhan sebesar 6,42 persen yang didukung oleh sektor-sektor yang tumbuh tinggi seperti industri pengolahan (18,38 persen) serta listrik, gas dan air bersih (9,19 persen)
•
Dalam periode 2000-2004, pertumbuhan ekonomi Kota Bogor mencapai 5,91 persen. Pertumbuhan ini didukung sektor-sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan tinggi seperti industri pengolahan (6,53 persen), listrik, gas dan air bersih (6,94 persen), pengangkutan dan komunikasi (7,18 persen), keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (9,58 persen).
•
Pada periode 2002-2006, perekonomian Kota Bogor tumbuh sebesar 6,08 persen. Pertumbuhan ekonomi pada periode ini ditopang oleh sektor-sektor ekonomi yang tumbuh tinggi seperti industri pengolahan (6,38 persen), listrik, gas dan air bersih (6,94 persen), pengangkutan dan komunikasi (6,99 persen), keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (9,91 persen) Dalam kurun waktu 1993-2006, kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor atas dasar harga berlaku
yang memperlihatkan kecenderungan terus meningkat adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran per tahunnya mencapai kisaran 28,75-41,08 persen terhadap PDRB. Sektor industri pengolahan menempati posisi kedua kontribusinya terhadap PDRB Kota Bogor dengan rata-rata kontribusi per tahun 20,74-24,13 persen. Sektor pengangkutan dan komunikasi memperlihatkan kontribusi yang stabil, sedangkan sektor lainnya cenderung menurun. Dalam kurun waktu tersebut,
kontribusi sektor industri meningkat dari 20,74 persen pada tahun 1993 menjadi 24,13 persen pada tahun 2006. Sedangkan kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah sebesar 28,75 persen, pada tahun 1993 kemudian menjadi 41,08 persen. Perkembangan perekonomian Kota Bogor tahun 2002 menunjukan
pertumbuhan sebesar 5,78 persen meningkat menjadi 6,07 persen tahun 2003. Pertumbuhan yang cukup baik ini merupakan modal yang baik untuk pemulihan ekonomi Kota Bogor. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor
tahun 2002 berdasarkan harga berlaku Rp.3,2 Trilyun pada tahun 2003 meningkat menjadi Rp.3,6 Trilyun dengan pendapatan perkapita Rp.4.227.462,01 pada tahun 2002 menjadi Rp.4.605.734,59 pada tahun 2003. Pada tahun 2006 PDRB harga konstan sebesar Rp.1.209.642,71, harga berlaku Rp.2.954.164,95. Tahun 2007 harga konstan sebesar Rp.1.279.881,96 harga berlaku sebesar Rp.3.282.218,41
meningkat 6,07 persen menjadi sebesar Rp.1.357.633,57 tahun 2003 berdasarkan harga konstan, sedangkan harga berlaku sebesar Rp.3.645.650,79 meningkat 11,07 persen. Dilihat dari perekonomiannya, laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor seiring dengan laju pertumbuhan Provinsi Jawa Barat secara keseluruhan, sektor yang memberikan sumbangan terbesar bagi kenaikan kinerja perekonomian di
Kota Bogor, yaitu : 1.
Perdagangan, Hotel & Restoran
2.
Industri Pengolahan
3.
Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan
4.
Pengangkutan & Komunikasi
5.
Jasa-jasa
Sektor ekonomi yang kompetitif di Kota Bogor, adalah sektor : 1.
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
2.
Jasa-jasa
3.
Pertambangan & Penggalian (khususnya sektor penggalian) Struktur perekonomian Kota Bogor dalam kurun waktu 2007-2008
didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri
pengolahan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sektor tersier merupakan sektor yang paling besar kontribusinya terhadap PDRB disusul sektor
sekunder dan sektor primer. Kegiatan perekonomian di Kota Bogor memberikan indikator-indikator yang positif dan Kota Bogor dapat mengadakan spesialisasi kegiatan perekonomiannya pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, yang dapat meningkatkan pendapatan asli daerah.
4.4. Prioritas Pembangunan Daerah Berdasarkan analisis lingkungan strategis, terdapat beberapa isu strategis yang perlu mendapat prioritas untuk ditanggulangi dalam 5 (lima) tahun kedepan. Isu-isu strategis ini berkaitan dengan permasalahan perkotaan meliputi masalah transportasi
dan
kemacetan
lalu
lintas
kota,
Pedagang
Kaki
Lima
(PKL) kebersihan kota dan lingkungan hidup dan kemiskinan yang masih melanda sebagian warga Kota Bogor. 4.4.1. Masalah Transportasi Penanganan yang menjadi prioritas pertama untuk segera ditanggulangi adalah permasalahan transportasi khususnya di dalam kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu lintas di Kota Bogor terjadi kedalam beberapa permasalahan antara lain : 1) Tingginya jumlah angkutan kota sebanyak 3.506 unit ditambah angkutan kota dari Kabupaten sebanyak 6.895 unit dan angkutan antar kota/antar propinsi sebanyak 900 unit; 2) Terkonsentrasinya kegiatan jasa, perdagangan, terminal, obyek wisata dan lain-lain di pusat kota; 3) Terdapatnya sepuluh pintu masuk yang menuju ke jantung kota; 4) Pola jaringan yang bersifat radial; 5) Pola jaringan trayek yang tumpang tindih antara angkutan kota dan lintasan trayek yang cukup pendek; 6) Keberadaan PKL yang memanfaatkan badan jalan; 7) Kurang tegasnya penegakan hukum oleh aparatur, sehingga menyebabkan kurangnya disiplin pengemudi dan pengguna jalan; 8) Adanya ruas-ruas jalan yang bottle neck dan ruas-ruas jalan yang sulit dilebarkan; 9) Beroperasinya rel ganda kereta api yang mengakibatkan tingginya (rata-rata 8 menit) frekuensi kereta api, sehingga diperlukan jembatan layang; 10) Terbatasnya sarana dan prasarana transportasi; 11) Aturan, mekanisme, dan prosedur pemberian izin trayek tidak sesuai dengan kebutuhan; 12) Belum adanya keterpaduan sistem manajemen transportasi regional (Bubulak, Laladon, Darmaga, Jalan Sholeh Iskandar dan Simpang Pomad). Kesemua permasalahan tersebut mengakibatkan kemacetan lalu lintas yang tersebar di 31 titik kemacetan di Kota Bogor dengan titik kemacetan yang terparah di sekitar keliling luar Kebun Raya (Pertigaan eks Pasar Ramayana, Pasar Bogor, Tugu Kujang, Depan Istana Bogor - semuanya pertigaan), sekitar Terminal Baranangsiang, Pasar Gembrong (Sukasari), Kawasan Jembatan Merah, Pasar Mawar dan Pasar Anyar, Merdeka-Salmun dan Jalan Sholeh Iskandar. Penyebab kemacetan pada titik-titik terparah tersebut umumnya karena pelanggaran aturan berlalu lintas oleh angkot dan PKL yang menggunakan badan jalan.
4.4.2. Masalah Pedagang Kaki Lima (PKL) Penanganan prioritas yang kedua adalah permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL). Seperti di kota lainnya pertumbuhan sektor ini di kota Bogor semakin mendapati momennya setelah terjadinya krisis ekonomi
mulai
pertengahan tahun 1997. Hasil pendataan oleh pemerintah daerah, pada tahun 1996 tercatat pedagang kaki lima dititik-titik pusat keramaian berjumlah 2.140 pedagang, kemudian pada akhir tahun 1999 berdasarkan hasil survei pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) Kota Bogor jumlahnya hampir tiga kali lipat menjadi 6.340 pedagang. Pada akhir tahun 2002 berdasarkan hasil pendataan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor jumlah PKL meningkat lagi menjadi 10.350 Pedagang, yang tersebar di 51 titik PKL, dimana 82 persen dari para pedagang tersebut berasal dari luar Kota Bogor. Tahun 2004 terdapat 50 lokasi PKL dengan jumlah pedagang sekitar 12.000 PKL. Pedagang Kaki Lima (PKL) disatu sisi sebagai sektor informal harus diberi hak yang sama dengan pelaku ekonomi lainnya namun di sisi lain keberadaan PKL yang tersebar di pusat kota menjadi gangguan kepada kegiatan lainnya dikarenakan pada umumnya menggunakan ruang publik (fasilitas umum/hak publik seperti trotoar dan badan jalan). Disamping itu juga disebabkan belum adanya ketentuan yang mengatur PKL, belum ada konsistensi dan ketegasan dalam penertiban PKL oleh petugas, belum ada kajian tentang PKL, belum adanya persepsi bahwa PKL merupakan masyarakat kecil Bogor yang secara ekonomis potensial belum ada ruang untuk pedagang kecil dan PKL dan belum ada keterpaduan antara pedagang besar dengan pedagang kecil atau PKL. Disisi lain perkembangannya sulit dikendalikan sesuai dengan perencanaan dan penataan kota. Kota terkesan menjadi semerawut dan kumuh serta keberadaan mereka
mengganggu kenyamanan masyarakat lainnya. Beragamnya latar
belakang pendidikan, kultur sosial dan budaya mereka serta ketidakpeduliannya aturan dan pada saat petugas tata tertib beroperasi PKL menghilang dan pada saat petugas tata tertib pergi PKL pun datang dan marak lagi. Pedagang Kaki Lima (PKL) yang ada di Kota Bogor secara umum digolongkan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu PKL yang bersifat musiman, PKL perpanjangan tangan bandar atau
tergantung kiriman barang (order) dan PKL lama. PKL di sekitar pasar, khususnya Pasar Anyar dan Pasar Bogor merupakan PKL “pasar tumpah“. Model penanganan dengan penertiban PKL ini bagi pemerintah sendiri sebenarnya sangat mahal harganya. Tetapi posisi Pemerintah Daerah memang sangat dilematis. Di satu sisi Pemerintah Kota adalah regulator yang berfungsi menegakkan peraturan daerah yang dibuat bersama DPRD (rakyat). Didalam kasus ini, sesuai Perda No. 1 Tahun 1990 tentang Kebersihan, Keindahan dan Ketertiban (K3) keberadaan PKL ternyata melanggar aturan itu, tetapi disisi lain dalam penegakan peraturan daerah secara normatif pemerintah tidak dapat mengesampingkan faktor sosiologi, seperti perilaku masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan
dasar,
artinya
penegakan
hukum
yang
dilaksanakan
harus
memperhatikan segi sosiologis. Secara umum aktivitas PKL ini memiliki sisi positif dan negatif. Sebagai wadah kegiatan ekonomi yang digeluti oleh banyak orang, kegiatan pedagang kaki lima merupakan salah satu potensi ekonomi rakyat yang memiliki fungsi positif seperti sumbangan terhadap penyerapan tenaga kerja, memberi kontribusi pendapatan bagi masyarakat yang pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan dan ikut berkontribusi dalam mendorong pemerataan ekonomi lokal. Sisi positif lainnya adalah memberikan harga lebih rendah kepada masyarakat kelas menengah ke bawah dalam hal pengadaan barang dan jasa yang tidak terjangkau atau terlayani oleh sektor ekonomi formal. Untuk itu diperlukan adanya peraturan daerah tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan perlu ada revisi perda lain yang berkaitan dengan PKL.
4.4.3. Masalah Kebersihan Penanganan prioritas yang ketiga adalah permasalahan kebersihan yang mengakibatkan terganggunya kebersihan dan keindahan kota. Permasalahan sampah yang terjadi adalah akibat dari timbulan sampah yang belum sepenuhnya dapat terangkut/ dimusnahkan di TPA (baru terangkut sekitar 68 persen dari jumlah produksi sampah/hari atau sebanyak 1.457 m3/hari dari 2.124 m3 timbunan sampah perharinya). Hal ini disebabkan :
1. Ketersediaan armada angkutan baik dilihat dari kuantitas (52 dump truck, 17 amroll) dengan kondisi yang masih baik 52 persen, 46 persen kurang baik dan 2 persen rusak berat) serta keterbatasan kemampuan alat berat di TPA yang hanya didukung oleh 2 unit buldozer (1 unit dalam kondisi baik dan 1 unit rusak), 1 unit truck loader (kurang baik), 1 unit wheel loader (baik) dan 1 unit excavator (baik), padahal untuk mengelola sampah sebanyak 1.457 m3/hari idealnya 5 unit alat berat tersebut mempunyai kemampuan yang sama baiknya. 2. Keterbatasan tenaga operasional petugas kebersihan (pengumpul, penyapu, petugas angkut dan TPA) hanya ada 578 orang bila dibandingkan dengan kebutuhan 2 orang/penduduk. 3. Tidak adanya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan membayar retribusi. 4. Keterbatasan dalam penyediaan sarana pewadahan (tong/bak sampah) dan pengumpulan (gerobak) ke seluruh wilayah. 5. Belum memasyarakatnya budaya pengurangan sampah sejak dari sumbernya dan pengelompokkan sampah organik dan anorganik. 6. Keberadaan TPA Galuga yang statusnya sangat tergantung kepada Pemerintah Kabupaten Bogor setelah tahun 2005 nanti.
4.4.4. Masalah Kemiskinan Penanganan prioritas yang keempat adalah permasalahan kemiskinan. Kriteria miskin berdasarkan BKKBN meliputi 1) Tidak bisa makan 2 kali sehari atau tidak mampu makan protein hewani satu kali dalam seminggu; 2) Tidak mempunyai penghasilan tetap minimal sebesar Rp.150.000,00/kapita/bulan; 3) Tidak mampu menyekolahkan anak usia 7-15 tahun; 4) Tidak mampu berobat dan KB ke Puskesmas; dan 5) Kondisi rumah berlantai tanah 75 persen dari luas rumah. Faktor penyebab kemiskinan adalah gabungan faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal diantaranya adalah kebijakan pembangunan yang keliru dan juga adanya korupsi yang mengakibatkan berkurangnya alokasi anggaran kegiatan pembangunan. Faktor internal penyebab kemiskinan antara lain keterbatasan wawasan, kurangnya keterampilan, kesehatan yang buruk dan etos kerja yang rendah.
Akar masalah kemiskinan di Kota Bogor disebabkan oleh beberapa hal antara lain orang miskin tidak mampu menjangkau pasar kerja (serapan tenaga kerja yang rendah), terbatasnya lapangan kerja baru (rendahnya investasi padat karya dan promosi investasi di Kota Bogor belum optimal), alokasi APBD untuk penanganan tenaga kerja orang miskin belum optimal, kurang terampilnya masyarakat dalam mengelola asset produktif, kurangnya pengembangan SDM masyarakat miskin, biaya pendidikan yang terus meningkat, pelayanan kesehatan masih terlalu mengandalkan dana pemerintah, belum efektifnya pengelolaan Zakat, Infak, Shodaqoh (ZIS) dan krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Perkembangan jumlah keluarga miskin yang ada di Kota Bogor dan sebaran kemiskinan per kecamatan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut : Tabel 11. Perkembangan Jumlah KK Miskin di Kota Bogor Tahun
Jumlah KK Miskin
Persentase
Penurunan/Peningkatan (%)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
31.657 28.703 20.956 17.947 21.914 39.162 41.398
19,50 17,57 12,37 10,27 14,83 23,05 21,30
- 0.83 - 1.93 - 5.20 - 2.10 4.56 8.22 - 1.75
Sumber : BPS Kota Bogor, 2006
4.4.5. Penanganan masalah mendasar Selain isu-isu tersebut diatas yang menjadi prioritas pembangunan, juga terdapat permasalahan yang perlu penanganan berkaitan dengan kewenanganan wajib yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor, antara lain sebagai berikut : 1. Belum meratanya informasi rencana tata ruang bagi masyarakat dalam melakukan investasi dan pembangunan, sehingga tidak terkendalinya perkembangan fisik baik dari segi tata ruang dan tata bangunan.
2. Cukup besarnya proporsi tanah yang belum memiliki sertifikat dikarenakan biaya administrasi sertifikat tanah masih memberatkan sebagian besar penduduk, juga prosedur persertifikatan masih menyulitkan masyarakat. 3. Masih rendahnya tekanan publik terhadap pemanfaatan sumber daya alam sungai yang disebabkan tidak tegasnya penegakan hukum dan rendahnya kesadaran masyarakat. 4. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, yang mengakibatkan kerusakan sumber daya alam serta beban pencemaran akibat limbah cair dan sampah rumah tangga. 5. Walaupun masyarakat telah menyelenggarakan sebagian jasa prasarana lingkungan seperti pembangunan jalan, jembatan dan lainnya, namun masih diperlukan peran pemerintah daerah dalam menyediakan prasarana khususnya yang bersifat keperintisan guna mendorong berkembangnya perekonomian dan membuka keterisolasian wilayah yang bersangkutan. 6. Permasalahan dibidang pendidikan masih banyak anak usia sekolah dasar yang rawan putus sekolah dan belum tertanganinya anak putus sekolah. Pada kelompok usia pendidikan SMP dan SMA faktor ekonomi keluarga merupakan penyebab yang paling menonjol sehingga banyak diantaranya yang memilih bekerja dibanding melanjutkan sekolah ke yang lebih tinggi. Sedangkan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, guru memegang peranan yang sangat menentukan. Oleh karena itu untuk meningkatkan akademik dan profesionalisme guru perlu ditingkatkan. 7. Dibandingkan dengan sekolah umum, madrasah relatif tertinggal baik dari segi mutu, manajemen maupun kelembagaan. Rendahnya kualitas pendidikan di madrasah umumnya disebabkan oleh kurangnya sarana prasarana dan minimnya fasilitas pendukung serta mutu tenaga kependidikan. 8. Di bidang kesehatan, walaupun persebaran sarana kesehatan khususnya puskesmas sebagai pelayanan kesehatan dasar secara fisik telah dikatakan merata, namun demikian belum sepenuhnya dengan peningkatan mutu pelayanan dan keterjangkauan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan dalam
upaya
kesehatan
masih
kurang
mengutamakan
pendekatan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan penyakit.
9. Di bidang kependudukan, yaitu kondisi kependudukan belum optimal antara lain besarnya jumlah penduduk secara absolut dan tingkat kesejahteraan keluarga relatif rendahnya produktivitas, sehingga keluarga sebagai wahana pertama untuk meningkatkan kualitas penduduk akan berpengaruh pada peningkatan kualitas penduduk. 10. Walaupun untuk menunda memiliki anak dan menjarangkan jumlah anak cukup tinggi di kalangan masyarakat, namun hanya berkisar tentang alat dan obat kontrasepsi belum kepada peningkatan kualitas kesehatan reproduksi. 11. Jumlah angkatan kerja yang sangat besar belum diimbangi dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Disisi lain terdapat ketidakseimbangan antara angkatan kerja dengan pasar kerja, sehingga jumlah pengangguran cukup tinggi. Disamping itu masih terdapatnya hubungan antara pekerja dan pengusaha yang belum harmonis sehingga dapat menimbulkan gejolak ketenagakerjaan.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan faktor penting bagi kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah, guna mendukung belanja daerah yang tertuang pada APBD Kota Bogor. Untuk melihat kontribusi PAD terhadap APBD, pada Tabel 12 menunjukkan rasio realisasi PAD terhadap APBD Kota Bogor selama tahun anggaran 2004 sampai dengan tahun 2008. Walaupun PAD setiap tahun mengalami kenaikan namun dari segi rasio terhadap pendapatan, keadaannya fluktatif. Kontribusi PAD terhadap total pendapatan berfluktuasi setiap tahunnya, kontribusi terbesar yaitu sebesar 15,83 persen pada tahun 2005 dan tahun 2008 sebesar 13,62 persen, jika dirata-ratakan maka kontribusi PAD antara tahun 2004-2008 sebesar 13,62 persen. Hal ini menunjukan bahwa APBD Kota Bogor masih sangat didominasi oleh bantuan dana dari pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan dan penerimaan lainnya. Tabel 12. Rasio PAD terhadap Total Pendapatan (Tahun 2004 - 2008) 1.
No.
Tahun
Pendapatan
PAD
Persentase
1
2004
384.595.662.865,34
50.644.041.397,34
13,17 persen
2
2005
421.439.928.204,20
66.707.298.215,20
15,83 persen
3
2006
536.012.125.796,00
69.300.010.034,00
12,93 persen
4
2007
635.463.458.463,00
79.819.169.545,00
12,56 persen
5
2008
717.827.713.062,00
97.768.134.519,00
13,62 persen
Rata - rata Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Bogor
13,62 persen
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Bogor
Gambar 12. Realisasi PAD Kota Bogor Tahun 2004-2008 Salah satu indikator kinerja optimalisasi penerimaan daerah adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perkembangan target Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor selama kurun waktu lima tahun (2004-2008) terlihat pada Tabel 13 dengan rata-rata pertumbuhan per tahun mengalami kenaikan sebesar 14,36 persen. Tabel 13. Target dan Realisasi PAD Tahun 2004-2008 No.
Tahun
Target
Realisasi
Persentase
1
2004
49.431.543.974,64
50.644.041.397,34
102,45
2
2005
63.830.553.398,00
66.707.298.215,20
104,51
3
2006
63.353.915.442,00
69.300.010.034,00
109,39
4
2007
71.687.047.669,00
79.819.169.545,00
111,34
5
2008
83.098.271.499,00
97.768.134.591,00
117,65
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Bogor
Realisasi PAD dari tahun 2004-2008 selalu dapat mencapai target bahkan melebihi target yang telah direncanakan, realisasi pada tahun 2004 mencapai 102,45 persen, tahun 2005 tercapai realisasi sebesar 104,51 persen, tahun 2006 pencapaian realisasinya sebesar 109,39 persen, tahun 2007 realisasi sebesar
111,34 persen dan tahun 2008 realisasinya mencapai 117,65 persen, sebagaimana terlihat pada Tabel 14. Tabel 14. Perkembangan Rencana dan Realisasi PAD Kota Bogor Tahun 2004-2008 Target
Pencapaian PAD terhadap Pertumbuhan Target ( persen) ( persen )
Realisasi
Tahun
PAD ( Rp.)
Pertumbuhan ( persen)
PAD ( Rp.)
2004
49.431.543.975
-
50.644.041.397
-
102,45
2005
63.830.553.398
29,129
66.707.298.215
31,72
105,25
2006
63.353.915.442
- 0,747
69.300.010.034
3,89
109,39
2007
71.687.047.669
13,153
79.819.169.545
15,18
111,34
2008
83.098.271.499
15,918
97.768.134.591
22,49
117,65
18,32
109,22
Rata-rata per Tahun
14,36
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Kota Bogor Tahun 2004-2008
5.1.1. Perkembangan Pajak Daerah Secara keseluruhan penerimaan pajak daerah di Kota Bogor dari tahun anggaran 2004 sampai dengan 2008 mengalami peningkatan yang signifikan. Pajak daerah selama kurun waktu tahun 2004-2008 memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan PAD Kota Bogor dengan rata-rata kontribusi sebesar 44,60 persen. Pajak daerah yang paling banyak memberikan kontribusi adalah pajak restoran dan pajak penerangan jalan, sedangkan pajak daerah yang potensial untuk ditingkatkan dan dikembangkan adalah pajak reklame. Dalam periode 2004-2010, penerimaan pajak daerah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, pajak restoran memberikan kontribusi terbesar, dengan rata-rata Rp.13,6 milyar, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 22,43 persen per tahun, pajak penerangan jalan sebesar Rp.11,4 milyar, tingkat pertumbuhan 14,32 persen, pajak reklame sebesar Rp.6,8 milyar, tingkat pertumbuhan sebesar 16,86 persen, pajak hotel sebesar Rp.4,2 milyar, tingkat pertumbuhan mencapai 29,38 persen, pajak hiburan Rp.3,4 milyar dengan tingkat pertumbuhan rata-rata
tertinggi yaitu sebesar 40,60 persen dan pajak parkir sebesar Rp.1,7 milyar, tingkat pertumbuhan rata-rata (2005-2010) adalah 31,62 persen. Peraihan pajak dari pelaksanaan pemungutan pajak oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor tahun 2004-2010 rata-rata terjadi peningkatan setiap tahunnya, pajak hotel dan restoran merupakan salah satu sumber pajak daerah yang potensial, artinya hasil pajak cukup besar sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhannya diperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Perkembangan peraihan pajak daerah Kota Bogor tahun 2004-2010 dapat dilihat pada Tabel 15 dan Tabel 16. Tabel 15. Perkembangan Raihan Pajak Daerah Kota Bogor Tahun 2004 - 2007 ( Juta Rupiah ) Jenis Pajak Daerah
2004
2005
2006
2007
Pajak Hotel
1.789,62
2.251,55
3.028,42
3.299,16
Pajak Restoran
7.044,15
9.484,77
10.709,11
11.898,27
Pajak Hiburan
1.416,17
1.459,62
1.299,69
1.738,60
Pajak Penerangan Jalan
7.242,91
8.639,61
10.517,97
11.383,51
-
754,25
866,15
1.516,16
3.470,14
4.699,50
5.817,03
7.669,28
Pajak Parkir Pajak Reklame
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Kota Bogor Tahun 2004-2010
Tabel 16. Perkembangan Raihan Pajak Daerah Kota Bogor Tahun 2008 - 2010 ( Juta Rupiah ) Jenis Pajak Daerah Pajak Hotel
2008
2009
2010
4.285,73
6.219,68
8.207,83
Pajak Restoran
14.188,92
18.798,19
23.342,42
Pajak Hiburan
3.172,62
6.908,53
8.116,67
12.493,05
13.525,25
16.050,15
1.688,77
2.316,04
2.772,36
10.016,29
8.260,25
8.015,33
Pajak Penerangan Jalan Pajak Parkir Pajak Reklame
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Kota Bogor Tahun 2004-2010
Dengan semakin meningkatnya penerimaan perpajakan, maka peranan perpajakan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah menjadi semakin penting. Hal ini dapat ditunjukkan dari besarnya kontribusi penerimaan pajak terhadap pendapatan daerah pada periode 2005-2010 rata-rata mencapai 18,23 persen dengan tingkat pertumbuhan rata-rata mencapai 25 persen. Selanjutnya apabila dilihat dari komponen penyumbangnya, dalam periode 2004-2010, pajak penerangan jalan umum berhasil memberikan kontribusi sebesar 31,16 persen, pajak hotel 10,70 persen, pajak restoran 36,16 persen, pajak parkir 4,49 persen, pajak reklame 18,29 persen dan pajak hiburan 8,55 persen.
Dengan rincian
pertumbuhan untuk pajak penerangan jalan umum rata-rata 14 persen, pajak hotel 29 persen, pajak restoran 22 persen, pajak parkir 26 persen, pajak reklame 17 persen dan pajak hiburan 41 persen (Tabel 17).
Tabel 17. Pertumbuhan dan Kontribusi Pajak Daerah Tahun 2005-2010 Rata-rata Jenis Pajak Daerah
Pertumbuhan
Kontribusi terhadap PAD
(persen)
(persen)
Pajak Penerangan Jalan
14
31,16
Pajak Hotel
29
10,70
Pajak Restoran
22
36,16
Pajak Parkir
26
4,49
Pajak Reklame
17
18,29
Pajak Hiburan
41
8,55
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Kota Bogor (diolah)
5.1.2. Perkembangan Retribusi Daerah Jika kita telaah lebih lanjut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tampak terlalu restriktif karena tidak menyerahkan alat pajak utama ke daerah. Implikasi dari sistem perpajakan yang restriktif seperti ini adalah terbatasnya sumber penerimaan yang memaksa pemerintah daerah mencari alternatif-alternatif sumber penerimaan di luar pajak, yaitu dengan meningkatkan retribusi daerah. Bagi pemerintah kabupaten/kota meningkatkan retribusi daerah adalah cara yang paling mudah untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun perlu pula diperhatikan dampak apa yang akan timbul dengan adanya retribusi tersebut terhadap perekonomian daerah, karena seharusnya yang menjadi fokus pemerintah daerah adalah bagaimana meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam hal ini pertumbuhan ekonomi daerah dan bukan PAD. Retribusi daerah di Kota Bogor dikelola oleh dinas teknis yang mempunyai kewenangan dalam melaksanakan pungutan yang berhubungan dengan bidang tugasnya. Retribusi daerah dari tahun ke tahun seperti terlihat pada Tabel 18 selalu dapat melampaui target yang ditetapkan, angka pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 115,41 persen, kemudian di tahun 2006 sebesar 113,76 persen, tahun 2007 sebesar 109,26 persen, tahun 2005 sebesar 100,65 persen dan yang terendah terjadi pada tahun 2004 adalah 97,37 persen.
Tabel 18. Perkembangan Retribusi Daerah Tahun 2004-2009 Tahun Anggaran
Target ( Rp. )
Realisasi ( Rp. )
2004
23,168,213,764.00
22,557,864,854.00
2005
24,814,348,620.00
24,976,369,192.00
2006
23,952,490,366.00
27,249,498,654.00
2007
25,919,360,647.00
28,319,552,936.00
2008
29,574,760,305.00
34,132,995,152.00
2009
32,659,468,294.00
56,027,944,313.00
Sumber : Bidang Administrasi Pembukuan dan Pelaporan, Dispenda Kota Bogor
Pada Gambar 13 menunjukkan bahwa antara target dan realisasi pendapatan dari retribusi terjadi kesenjangan yang sangat tinggi, hal ini bisa dipandang positif ataupun negatif, positifnya angka realisasi yang tinggi menunjukkan kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang memiliki wewenang untuk mengelola retribusi cukup baik, namun bisa juga berarti negatif karena hal itu menunjukkan bahwa target yang direncanakan terlalu underestimate dan kurang memperhitungkan rencana target dengan baik.
Gambar 13. Perkembangan Retribusi Daerah (2004-2008)
Untuk pengelolaan retribusi, maka kewenangannya diserahkan ke Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terlibat secara langsung, antara lain : •
Dinas Kesehatan Retribusi Pelayanan Kesehatan - Retribusi Umum - PHB / PT. Askes - Retribusi Laboratorium - Retribusi Radiologi - Retribusi Persalinan/UGD/KB - Retribusi BP Gigi - Retribusi Kir - Retribusi Sarana Kesehatan
•
Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air - Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah ( Alat Berat ) - Retribusi Izin Jalan Masuk/Galian
•
Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang - Retribusi Pelayanan Sampah - Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran - Retribusi Penggunaan Jaringan Pipa Limbah Cair - Retribusi Penyedotan Kakus - Retribusi Pelayanan Pemakaman - Retribusi Izin Usaha Jasa dan Konstruksi
•
Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan - Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum - Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor - Retribusi Terminal - Retribusi Tempat Khusus Parkir - Retribusi Angkutan Barang - Retribusi Izin Trayek
•
Dinas Kependudukan & Pencatatan Sipil - Retribusi KTP - Retribusi Kipem / SKTS - Retribusi Pelayanan Penggantian Akte Catatan Sipil
•
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu & Penanaman Modal - Retribusi Izin Mendirikan Bangunan - Retribusi Izin Gangguan - Izin Bidang Perdagangan (SIUP) - Tanda Daftar Bidang Perdagangan (TDP) - Retribusi Izin Galian / Jalan Masuk / Reklame (PPTR) - Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IL)
•
Dinas Pertanian - Retribusi Rumah Potong Hewan - Retribusi Pemeriksaan Pemotongan Ayam - Retribusi Tempat Penampungan - Retribusi Pemeriksaan Pengeluaran Hewan
•
Bapeda - Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Lahan (IPPT)
•
Dinas Perindustrian & Perdagangan - Retribusi Pasar
5.1.3. Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap PAD Berdasarkan data pada Tabel 20, dapat dilihat kemampuan pajak daerah dalam memberikan kontribusi terhadap PAD Kota Bogor dari tahun 2004 sampai tahun 2008. Pajak daerah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PAD Kota Bogor, terbesar kontribusinya pada tahun 2008 yaitu sebesar 47,04 persen, tahun 2007 sebesar 46,99 persen dan tahun 2006 sebesar 46,52 persen. Jika dirataratakan kontribusi pajak daerah terhadap PAD di Kota Bogor antara tahun 20042008 sebesar 44,57 persen. Retribusi daerah juga turut memberikan kontribusi terhadap PAD Kota Bogor, dimana pada tahun 2004 sebesar 44,54 persen dari
PAD, tahun 2006 mencapai angka 40,57 persen dan tahun 2005 sebesar 37,46 persen, seperti tercantum dalam Tabel 19 dibawah ini. Tabel 19. Rasio Realisasi Pajak Daerah Terhadap PAD Tahun 2004-2008 No.
Tahun
PAD
Pajak Daerah
Persentase
1
2004
50.644.041.397,34
20.962.984.280,00
41,39
2
2005
66.707.298.215,20
27.289.315.698,00
40,91
3
2006
69.300.010.034,00
32.238.371.776,00
46,52
4
2007
79.819.169.545,00
37.504.974.251,00
46,99
5
2008
97.768.134.519,00
45.988.776.968,00
47,04
Rata - rata
44,57
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Bogor
Tabel 20. Rasio Realisasi Retribusi Daerah Terhadap PAD Tahun 2004-2008 Tahun Anggaran
Realisasi Retribusi ( Rp. )
Realisasi PAD ( Rp. )
Kontribusi ( persen )
2004
22,557,864,854.00
50,644,378,397.00
44.54
2005
24,976,369,192.00
66,677,343,215.20
37.46
2006
27,249,498,654.00
67,174,587,720.00
40.57
2007
28,319,552,936.00
79,681,810,774.00
35.54
2008
34,132,995,152.00
97,483,046,688.00
35.01
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Bogor
5.2. Analisis Efektivitas Pengelolaan Pajak Daerah Efektivitas merupakan hubungan antara realisasi penerimaan pajak terhadap target penerimaan pajak yang memungkinkan, apakah besarnya pajak yang diperoleh sesuai dengan target yang ada. Berdasarkan data pajak daerah yang dikelola langsung oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor, maka dapat dilihat pada Tabel 21 Efektivitas Pajak Daerah tahun 2004-2010. Efektivitas pajak penerangan jalan pencapaian tertinggi pada tahun 2006 yaitu sebesar 116,87
persen, efektivitas pajak hotel tertinggi mencapai 130,94 persen dan terendah di tahun 2004 yaitu 108,46 persen, pajak restoran tahun 2009 mencapai 141,87 persen, terendah pada 2007 dengan capaian 100,65 persen, pajak parkir di tahun 2009 dengan 111,05 persen dan terendah 100,07 persen pada tahun 2010, pajak reklame tertinggi pada tahun 2008 yaitu 130,93 persen dan tahun 2005 hanya mencapai 93,06 persen dan dari pajak hiburan mencapai raihan tertinggi 141,01 persen di tahun 2008 dan terendah 85,23 persen di tahun 2006. Apabila hasil perhitungan efektivitas pajak menghasilkan angka mendekati 100 persen, maka pajak daerah semakin efektif. Dan untuk melihat efektivitasnya dengan membandingkan efektivitas tahun bersangkutan dengan efektivitas tahun sebelumnya. Dari hasil perhitungan, diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 21. Efektivitas Pajak Daerah (2004-2010) No
Pajak Daerah
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
108,20
108,47
102,01
106,66
116,87
107,76
100,00
2
Pajak Penerangan Jalan Pajak Hotel
108,46
114,88
110,73
110,25
129,87
130,94
114,33
3
Pajak Restoran
102,83
117,10
107,09
100,65
111,29
141,87
113,38
4
Pajak Parkir
0,00
100,35
101,83
101,69
101,40
111,05
100,07
5
Pajak Reklame
109,30
93,06
102,87
108,20
130,93
100,12
102,57
6 Pajak Hiburan 101,15 100,66 Sumber : Dispenda Kota Bogor (data diolah)
85,23
113,44
141,01
120,15
104,66
1
Gambar 14. Diagram Tingkat Efektivitas Pajak Daerah (2005-2010)
Gambaran ini mengindikasikan bahwa penerimaan pajak daerah di Kota Bogor masih memiliki potensi yang belum tergali dan dapat ditingkatkan, karena penetapan target belum berdasarkan pada perhitungan potensi yang sebenarnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mardiasmo dkk. (2000) yang menyatakan “bahwa di sisi penerimaan, kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerahnya secara berkesinambungan masih lemah”. Bahkan masalah yang sering muncul adalah rendahnya kemampuan pemerintah daerah untuk menghasilkan prediksi penerimaan daerah yang akurat, sehingga belum dapat dipungut secara optimal. Keadaan ini juga disebabkan antara lain karena pemerintah daerah kurang memperhatikan potensi yang ada dalam menetapkan rencana penerimaan sehingga terdapat kesenjangan antara potensi pajak dengan hasil pungutan, target yang ditetapkan lebih kecil dari potensi pajak yang ada. Belum efektifnya penerimaan pajak juga disebabkan mekanisme pemungutan yang belum terlaksana dengan optimal, rendahnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya dan faktor lain yang mempengaruhi efektivitas penerimaan pajak hotel dan restoran. Sejalan dengan kenyataan tersebut, maka instansi yang sangat terlibat dalam proses pencapaian target penerimaan potensi pajak yang ada di Kota Bogor adalah Dinas Pendapatan Daerah. Oleh karena itu Dinas Pendapatan Daerah di tuntut untuk mengoptimalkan daya dukung yang ada, dalam artian pencapaian target penerimaan dari sektor pajak itu yang berasal dari internal instansi Dinas Pendapatan Daerah ataupun strategi penerimaan pajak daerah untuk lebih ditingkatkan sehingga terjadi penekanan terhadap penerimaan pajak daerah yang terkait dalam mengoptimalkan penerimaannya. Pencapaian target penerimaan dari sektor pajak ini sangat dipengaruhi oleh kinerja dari Dinas Pendapatan Daerah, sehingga selisih antara target penerimaan dan realisasi tidak terjadi perbedaan signifikan dari pencapaian target penerimaan pajak daerah yang diterima.
BAB VI
PERUMUSAN STRATEGI 6.1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal 6.1.1. Analisis Faktor Internal Dari hasil wawancara dan pengamatan, maka penulis menyimpulkan ada beberapa faktor yang terkait dalam rangka peningkatan pajak daerah di Kota Bogor. Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor internal yang berupa kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness) dan faktor eksternal meliputi peluang (Opportunity) dan ancaman (Threat). Beberapa faktor internal yang berperan terhadap peningkatan pajak daerah di Kota Bogor, faktor kekuatan antara lain adalah adanya kewenangan yang jelas dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Organisasi Perangkat Daerah, adanya Standar Operational Prosedur (SOP) untuk kegiatan administrasi pajak daerah, telah dilakukannya pengembangan wawasan bagi para aparatur pengelola pajak daerah (SDM) di lingkup Dinas Pendapatan Daerah, Dispenda telah melaksanakan sosialisasi peraturan perundang-undangan Keuangan Daerah/Pajak Daerah kepada para Wajib Pajak/Wajib Retribusi, Dispenda telah dilakukannya penertiban, pemeliharaan dan pengendalian reklame dan melakukan pembuatan serta pemeliharaan Papan Himbauan Pajak Daerah, untuk meningkatkan kualitas SDM di Dispenda telah dilakukan pelatihan auditor pajak. Faktor kelemahan meliputi proses monitoring dan evaluasi masih belum optimal, indikator kinerja Dinas Pendapatan Daerah belum mencerminkan pencapaian
tujuan
organisasi
secara
keseluruhan,
koordinasi
dengan
Dinas/Badan/Instansi terkait masih lemah, belum adanya kesepahaman dengan key stakeholders mengenai arah pengelolaan pajak, internal kontrol di Dinas Pendapatan Daerah lemah, pemanfaatan teknologi informasi dalam bentuk web untuk informasi mengenai pajak daerah dan belum adanya SDM di Dinas Pendapatan Daerah yang memiliki kompetensi khusus sebagai penyidik pajak dan juru sita.
Kekuatan ( Strength )
1. Infrastruktur Sistem Dalam masalah pelaporan administrasi pajak daerah digunakan aplikasi “Simpatda” (Sistem Pendapatan Daerah), yang merupakan program pelaporan pendapatan daerah yang dikeluarkan oleh Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2. Kewenangan Dinas Pendapatan Daerah mempunyai kewenangan di bidang pendapatan daerah sesuai dengan amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dimana Kota Bogor telah melaksanakannya mulai Januari 2009 dengan mengacu pada Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2008 sebagai penjabaran Peraturan Pemerintah diatas dan direvisi dengan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, maka Dinas Pendapatan Daerah memiliki kewenangan sebagai koordinator di bidang pengelolaan keuangan daerah. 3. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia untuk operator cukup baik dan memadai, pimpinan terbuka terhadap teknologi informasi, suasana kerja yang kondusif dan adanya sumber daya manusia yang mengerti aplikasi umum berbasis internet/LAN. Untuk lebih meningkatkan meningkatkan profesionalisme dan kualitas aparatur lembaga di bidang pendapatan daerah, dilakukan dengan meningkatkan kuantitas diklat aparatur pengelolaan administrasi keuangan daerah, bimbingan teknis aparatur pemungut pajak daerah dan pelatihan auditor pajak. Indikator kinerja peningkatan kualitas sumber daya aparatur antara lain meningkatnya kualitas sumber daya aparatur dalam teknis pemungutan pajak daerah dan meningkatnya kualitas sumber daya aparatur dalam penerapan perundang-undangan pengelolaan keuangan daerah dan pajak daerah.
4. Sistem Pengawasan
Dalam rangka pengawasan pajak terhadap para Wajib Pajak, Dispenda telah melakukan penertiban, pemeliharaan dan pengendalian reklame dan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak/retribusi maka Dispenda telah melakukan pembuatan dan pemeliharaan Papan Himbauan pajak daerah. 5. Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam memenuhi kewajiban pajak maka perlu sosialisasi peraturan perundang-undangan dan program-program pemerintah daerah terkait pajak daerah. Sosialisasi ini juga dilaksanakan terhadap menyamakan
persepsi
dinas/badan/lembaga terkait yang bertujuan untuk dalam
meningkatkan
pendapatan
daerah
melalui
komunikasi yang lebih intensif, terciptanya pemahaman yang sama di seluruh dinas/badan/lembaga dalam meningkatkan pendapatan daerah, meningkatkan kesadaran masyarakat/dunia usaha dalam pembayaran pajak/retribusi daerah dan terpahaminya
peraturan
perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan
pajak/retribusi daerah.
Kelemahan ( Weakness ) 2. Proses Monitoring dan Evaluasi Proses monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan pajak daerah masih kurang efisien dan simple, pemantauan harian atas penatausahaan keuangan belum dilaksanakan secara maksimal dan pelaporan keuangan dari SKPD terkait baik laporan bulanan, triwulanan semesteran, maupun tahunan masih berjalan tersendat-sendat. 3. Indikator Kinerja (Target keberhasilan) Dinas Target keberhasilan kinerja dinas belum mencerminkan pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. Indikator kinerja Dispenda dalam rangka pengembangan pengelolaan keuangan daerah antara lain tercapainya target pendapatan daerah, meningkatnya potensi pendapatan daerah khususnya potensi pajak daerah, pengembangan potensi pajak baru sesuai dengan perkembangan
peraturan perpajakan yang baru dan terciptanya sistem pembayaran pajak yang aplikatif baik bagi aparat maupun bagi wajib pajak. 4. Internal Kontrol di Dinas Pendapatan Daerah dan koordinasi dengan dinas terkait Sistem internal kontrol perpajakan daerah mesti diperbaiki karena menyebabkan banyak potensi pajak dan retribusi daerah tidak tergali. Pemerintah daerah harus dapat menjamin bahwa semua potensi penerimaan telah terkumpul dan
tercatat
ke
dalam
sistem
akuntansi
pemerintah
daerah
(revenue
administration). Pemerintah daerah perlu memiliki sistem pengendalian intern yang memadai untuk menjamin ditaatinya prosedur dan kebijakan manajemen yang telah ditetapkan. Pemerintah daerah perlu meneliti adakah penerimaan yang tidak disetor ke dalam kas pemerintah daerah dan disalahgunakan oleh petugas di lapangan (checking system). Sistem perpajakan di Indonesia menganut self-assesment system, maka pemerintah daerah bersifat pasif, karena itu perlu dilakukan upaya intensifikasi pajak daerah, penyuluhan dan pengawasan pajak perlu ditingkatkan, misalnya bekerjasama dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat untuk melakukan pengawasan pajak dan sistem reward, yaitu memberikan penghargaan kepada masyarakat yang taat membayar pajak. Penggunaan aplikasi khusus untuk penyuluhan berbasis internet masih kurang, merubah budaya worksheet based menjadi application database based, sistem belum terhubung online ke semua SKPD, aplikasi online khusus EDP keuangan dengan bank persepsi belum ada, pertukaran data keuangan dengan bank persepsi berjalan secara manual, beberapa sub sistem masih dilakukan secara manual, sistem belum didukung keamanan yang mumpuni dan berlapis, belum mendukung verifikasi online dan digital signature, belum semua aplikasi terintegrasi dengan SKPD terkait dan infrastuktur LAN dan internet di setiap kecamatan dan kelurahan belum digunakan secara optimal.
5. Kesepahaman antar keystakeholder mengenai arah pengelolaan pajak
Untuk lebih mengoptimalkan program intensifikasi pajak, maka perlu adanya kesepahaman diantara para keystakeholder yang terkait dengan pajak daerah, yaitu Dinas Pendapatan Daerah dan DPRD Kota Bogor sebagai lembaga legislator. Kesepahaman ini sangat diperlukan dalam menentukan target pajak dari tiap sektor dan juga untuk penentuan besaran pajak yang akan dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. 6. Belum adanya SDM khusus sebagai penyidik pajak dan juru sita Dinas Pendapatan Daerah sampai saat ini belum memiliki pegawai yang memiliki kompetensi khusus sebagai penyidik pajak dan juru sita pajak. Hal ini sangat diperlukan karena mengingat pajak bumi dan bangunan (PBB) kewenangan pengelolaannya akan diserahkan kepada pemerintah daerah paling lambat tanggal 1 Januari 2014, karena itu pemerintah daerah diharapkan dapat mempersiapkan sumber daya manusianya, yaitu bekerjasama dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kota Bogor dan Badan Kepegawaian Daerah Kota Bogor.
7. Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam bentuk web Selama ini pemanfaatan Teknologi Informasi dalam bentuk website masih kurang optimal penggunaannya. Dengan pemanfaatan web maka diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pajak dan retribusi daerah, serta pemanfaatan dari dana pajak dan retribusi daerah tersebut bagi pembangunan di Kota Bogor.
6.1.2. Analisis Faktor Eksternal Peluang ( Opportunity ) 1.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini memberikan
kesempatan kepada pemerintah daerah untuk memungut 11 jenis pajak (Closed List) bertujuan untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam bidang perpajakan dan retribusi, untuk penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat, juga diharapkan dapat memberikan kepastian bagi
dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. 2.
Raperda Ketentuan Umum Tata Cara Pajak Daerah Keberadaan raperda ini, sangat diharapkan akan mendorong peningkatan
jumlah pajak daerah sebagai sumber penerimaan utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor. Karena melalui perda ini, akan menjadi payung hukum untuk melakukan tindakan-tindakan tegas yang mungkin dianggap perlu dalam rangka memastikan jumlah realisasi penerimaan pajak daerah sama dengan potensi penerimaan pajak daerah. Juga dalam rangka memastikan para wajib pajak Kota Bogor memenuhi kewajibannya membayar pajak yang semua penerimaanya akan digunakan kembali untuk melakukan berbagai upaya kesejahteraan masyarakat Kota Bogor. 3.
Kebijakan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Pemerintah Kota Bogor memiliki komitmen yang tinggi dalam upayanya
untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dalam bentuk program intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah, dengan membentuk Tim Intensifikasi Pajak Daerah yang diketuai langsung oleh Sekretaris Daerah Kota Bogor. 4.
Banyaknya peluang sumber daya pajak daerah dari sektor jasa, seperti hotel, restoran dan tempat-tempat hiburan Posisi Kota Bogor yang strategis dan didukung oleh faktor alamnya maka
Kota Bogor menjadi tempat tujuan wisata. Hal ini mendukung semakin banyaknya hotel, restoran dan tempat-tempat hiburan di Kota Bogor, yang berarti akan berdampak terhadap peningkatan pajak dan retribusi daerah.
5.
Adanya SOP (Standar Operasi dan Prosedur) administrasi pajak daerah
Dalam kegiatan administrasi dan formulir yang dipergunakan dalam Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah, mengacu pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999 tentang Standar Operational Prosedur Administrasi Pajak Daerah. Adanya SOP ini sebagai acuan yang jelas dalam kegiatan : a. Pendaftaran dan pendataan Pendaftaran : • Pendaftaran wajib pajak dilakukan terhadap calon wajib pajak yang berdomisili didalam maupun diluar wilayah Kota Bogor, yang obyek pajaknya berada di wilayah Kota Bogor. • Untuk
melakukan
pendaftaran, petugas
Dinas
Pendapatan Daerah
menyampaikan formulir pendaftaran kepada calon Wajib Pajak untuk diisi secara jelas, benar dan lengkap. • Setelah formulir pendaftaran diisi oleh calon wajib pajak, dikirim atau disampaikan kepada petugas Dinas Pendapatan Daerah untuk kemudian dicatat dalam Daftar Induk Wajib Pajak berdasarkan nomor urut yang digunakan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD). Pendataan Wajib Pajak : • Paling Lambat 10 (Sepuluh) hari setelah berakhirnya masa pajak, wajib pajak harus menyampaikan SPTPD atau laporan Data Omzet/Volume Produksi/data teknis kepada petugas Dinas Pendapatan Daerah. • Dokumen tersebut diisi secara jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya. b. Penetapan • Untuk Wajib Pajak sistem Self Assesment, perhitungan dan penetapan pajak dilakukan sendiri. • Untuk wajib pajak sistem Official Assesment, perhitungan dan penetapan dilakukan oleh pejabat Dinas Pendapatan Daerah atas dasar laporan data omzet/volume produksi/data teknis yang disampaikan oleh wajib pajak dituangkan
dalam
Surat
Ketetapan
Pajak
Daerah
ditandatangani oleh Pejabat Dinas Pendapatan Daerah.
(SKPD)
yang
• Untuk wajib pajak Self Assesment, yang berdasarkan pemeriksaan atau keterangan informasi lainnya, ternyata jumlah pajak terhutang dalam SPTPD kurang dari jumlah yang sebenarnya, maka pejabat Dinas Pendapatan Daerah akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB). c. Kegiatan Penyetoran d. Angsuran dan Penundaan Pembayaran e. Pembukuan dan Pelaporan f. Keberatan dan Banding • Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas ketetapan pajak daerah. • Keberatan diajukan kepada Walikota atau Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor secara tertulis dalam bahasa Indonesia paling lama 3 (Tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Ketetapan Pajak. • Dalam jangka waktu paling lama 12 (Dua Belas) bulan sejak diterimanya permohonan, Walikota atau Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor memberi keputusan setelah dilakukan pemeriksaan dan atau penelitian. • Jika dalam jangka waktu tersebut Walikota atau Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor tidak memberi keputusan maka permohonan keberatan dianggap dikabulkan. • Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban wajib pajak untuk membayar kewajibannya. • Apabila wajib pajak tidak menerima Keputusan Walikota atau Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor, wajib pajak dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah diterimanya keputusan keberatan. • Pengajuan banding tidak menunda kewajiban wajib pajak untuk membayar pajak. g. Penagihan h. Kegiatan Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administrasi
• Berdasarkan permohonan wajib pajak, Walikota atau Kepala Dinas Pendapat Daerah dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak. • Permohonan diajukan oleh Wajib Pajak kepada Walikota atau Kepala Dinas Pendapatan Daerah secara tertulis, jelas dan lengkap disertai alasanalasannya. • Permohonan tersebut dikabulkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan keterangan lain menunjukan bahwa permohonan tersebut layak dipenuhi. Sanksi Administrasi : • Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang di bayar dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 (dua) persen sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) Bulan dihitung sejak sampai terutangnya pajak. • Apabila SPTPD (Surat Pemberitahun Pajak Daerah) tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dan telah ditegur secara tertulis, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 (dua) persen sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. • Apabila kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan dan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25 (dua puluh lima) persen dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 (dua) persen sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. • SKPDKBT (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan) diterbitkan apabila ditemukan data baru atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang akan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 persen dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
• SKPDN (Surat Ketetapan Pajak daerah Nihil) diterbitkan apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. • Apabila kewajiban membayar pajak terutang dalam SKPDKB dan SKPDKBT tidak atau tidak sepenuhnya dibayar dalam jangka waktu yang telah di tentukan, ditagih dengan menerbitkan STPD ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2 (dua) persen sebulan. Sanksi Pidana : • Wajib pajak yang karena kealpaannya mengisi SPTPD secara tidak benar dan atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terhutang. • Wajib Pajak yang dengan sengaja megisi SPTPD secara tidak benar dan atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar dapat dipidana dengan pidanan kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terhutang. i. Pengembalian Kelebihan Pembayaran. Dinas Pendapatan Daerah juga telah didukung aplikasi/database yang terintegrasi dan terpusat, keamanan sistem cukup sederhana, sistem semi Online, Infrastruktur LAN, internet dan PC cukup memadai, tersedianya sistem informasi manajemen dengan bentuk kebijakannya antara lain dengan merumuskan penetapan pengelolaan pajak pusat, pajak daerah dan retribusi daerah.
Ancaman ( Threats ) 1.
Peraturan pendukung untuk pemungutan pajak daerah Seiring dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009,
maka Pemerintah Daerah Kota Bogor perlu merevisi peraturan daerah yang terkait dengan pajak dan retribusi daerah atau mencabut peraturan daerah yang bertentangan dengan undang-undang pajak daerah tersebut. DPRD Kota Bogor telah menetapkan ada 5 (lima) peraturan daerah yang berkaitan dengan pajak
daerah dan retribusi daerah yang telah dicabut seutuhnya dan 2 (dua) peraturan daerah yang beberapa pasalnya dicabut sebagian, diantaranya adalah : 1. Peraturan daerah Nomor 20 tahun 1994 tentang retribusi pemanfaatan ruang 2. Peraturan daerah Nomor 5 tahun 2001 tentang retribusi pemeriksaan susu murni 3. Peraturan daerah Nomor 6 tahun 2001 tentang retribusi pemeriksaan pemotongan dan pemasaran daging ayam 4. Peraturan daerah Nomor 13 tahun 2002 tentang retribusi izin usaha jasa konstruksi 5. Peraturan daerah Nomor 7 tahun 2008 tentang retribusi perizinan dan pendaftaran di bidang perdagangan 6. Pasal 1, pasal 3, pasal 5 ayat (2) dalam peraturan daerah Nomor 4 tahun 2006 tentang retribusi penyelenggaraan kesehatan 7. Pasal 1, pasal 3, pasal 5 huruf a angka 3,4,5, pasal 5 huruf b angka 2, huruf c angka 2; pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 14 (1), pasal 16 (1) angka 2 dalam peraturan daerah Nomor 6 tahun 2008 tentang retribusi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 2.
Adanya fluktuasi bulanan dalam perolehan pajak daerah Ketidakpastian dalam dunia usaha berimbas terhadap perolehan pajak
daerah yang dikelola oleh Dispenda Kota Bogor, seperti pajak hotel, pajak restoran dan pajak hiburan. 3.
Isu-isu regional dan internasional yang turut berpengaruh terhadap perekonomian di Kota Bogor Isu-isu regional dan internasional turut berdampak pula terhadap perolehan
pajak daerah di Kota Bogor, misalnya isu flu burung turut berdampak terhadap perolehan omzet Restoran/Rumah Makan yang ada di Kota Bogor, demikian pula dengan adanya kenaikan pajak terhadap Film Import berdampak terhadap bioskop-bioskop dan terjadi pengurangan pajak hiburan di Kota Bogor.
4.
Kompleksitas perizinan investasi di Kota Bogor Masalah perizinan sampai saat ini masih menjadi faktor penting yang
dapat menunjang para investor untuk berinvestasi. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah Kota Bogor telah menerapkan perizinan terpadu satu atap dengan dibentuknya Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Penanaman Modal (BPPT-PM), yang diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengurus perizinan-perizinan di Kota Bogor. 5.
Kebijakan Pelarangan Iklan Rokok di Kota Bogor, Pada awal Mei 2010, berkenaan dengan hari tanpa tembakau sedunia,
Pemerintah Kota Bogor bersama DPRD Kota Bogor telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 tahun 2009 tentang KTR (Kawasan Tanpa Rokok). Kebijakan ini diambil karena setiap warga negara wajib dilindungi secara hukum dari asap rokok orang lain dan setiap pekerja pun berhak atas lingkungan yang bebas dari asap rokok orang lain ditempat kerjanya, mengingat hal tersebut maka perlu adanya peraturan yang mengikat secara hukum yang dapat memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan udara bersih dan bebas dari asap rokok. Perda ini diharapkan akan memacu semangat untuk bekerja lebih keras, lebih cerdas dan lebih ikhlas dalam upaya mewujudkan Kota Bogor sebagai “Kota Bebas Asap Rokok pada Tahun 2010”. Imbas pemberlakuan peraturan tersebut, Pemerintah Kota Bogor memberlakukan kebijakan antara lain tidak menerima izin pemasangan iklan rokok, perpanjangan izin iklan rokok atau memberi izin kegiatan publik yang disponsori perusahaan rokok. Sejalan dengan diterbitkannya peraturan tersebut maka Pemerintah Kota Bogor harus kehilangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari pajak iklan rokok, karena berkeyakinan bahwa dampak negatif rokok lebih besar dibandingkan dampak positifnya, diharapkan dengan pembatasan iklan-iklan rokok di ruang publik akan menghambat atau bahkan menurunkan tingkat pertumbuhan perokok pemula di Kota Bogor. Sejak tahun 2008 sampai tahun 2010 telah terjadi penurunan jumlah reklame produk rokok di berbagai ruas jalan di Kota Bogor. Tahun 2008, masih ada sekitar 372 unit reklame rokok, maka pada tahun 2010 jumlah reklame rokok tinggal 77 unit.
Reklame yang masih ada merupakan reklame yang masa berlakunya belum berakhir. Penurunan jumlah reklame berkorelasi dengan penurunan jumlah penerimaan pajak dari reklame rokok. Tahun 2008 jumlah penerimaan pajak reklame dari rokok telah mencapai Rp 3,002 milyar maka pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi Rp 1,528 milyar. Namun hal tersebut dapat di substitusi dengan reklame operator telepon yang sedang marak saat ini.
6.2. Analisis IFE dan EFE 6.2.1. Analisis IFE Dari hasil pengamatan faktor internal, maka diperoleh hasil bahwa yang menjadi kekuatan Dispenda dalam pengelolaan pajak daerah adalah Pemanfaatan Teknologi Informasi "Simpatda" dengan skor 0,263, kewenangan Dispenda dalam bidang pendapatan daerah dengan skor 0,258, Dispenda telah melakukan bimbingan teknis aparatur pemungut pajak daerah skornya adalah 0,254 serta pelayanan pembayaran PBB dan BPHTB telah dapat dilakukan secara online skornya adalah 0,228. Sedangkan hasil analisa faktor kelemahannya, yang pertama adalah proses monitoring dan evaluasi dengan skor 0,237, kedua indikator kinerja Dispenda belum mencerminkan pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan skornya adalah 0,235, ketiga koordinasi dengan Dinas/Badan dan Instansi terkait dengan skor 0,231 dan internal kontrol di Dispenda lemah skornya adalah 0,231. Tabel 22 menampilkan hasil bobot dan rating dari faktorfaktor internal.
Tabel 22. Faktor Kritis Internal Pengelolaan Pajak Daerah Kota Bogor No
Faktor Kritis Internal
Bobot
Rating
Skor
A
Kekuatan
1
Dispenda memiliki kewenangan di bidang pendapatan daerah
0,071
3,63
0,258
2
Pemanfaatan Teknologi Informasi "Simpatda"
0,070
3,75
0,263
3
Dispenda telah melakukan bimbingan teknis aparatur pemungut pajak daerah
0,070
3,63
0,254
0,065
3,50
0,228
0,062
3,50
0,217
0,061
3,13
0,191
0,065
2,88
0,187
0,063
3,25
0,205
4 5 6 7 8
Pembayaran PBB dan BPHTB telah dapat dilakukan secara online Dispenda telah melakukan penertiban, pemeliharaan dan pengendalian reklame Dispenda telah melakukan pembuatan dan pemeliharaan papan himbauan pajak daerah Dispenda telah melakukan pelatihan auditor pajak Dispenda telah melaksanakan sosialisasi peraturan perundangan kapada para WP
B
Kelemahan
1
Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam bentuk web
0,068
2,50
0,170
2
Belum adanya SDM khusus sebagai penyidik pajak dan juru sita
0,067
3,00
0,201
3
Belum adanya kesepahaman dengan key stakeholders mengenai arah pengelolaan pajak
0,064
3,38
0,216
4
Internal Kontrol di Dispenda lemah
0,071
3,25
0,231
5
Proses monitoring dan evaluasi
0,070
3,38
0,237
0,067
3,50
0,235
0,066
3,50
0,231
1,000
50
3,322
6 7
Indikator kinerja Dispenda belum mencerminkan pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan Koordinasi dengan Dinas/Badan dan Instansi terkait
Jumlah
i. Analisis EFE Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pengelolaan pajak daerah di Kota Bogor adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan skor 0,348, Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 9 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pajak Daerah skornya adalah 0,311, selanjutnya adalah banyaknya peluang sumber daya pajak daerah dari sektor jasa dengan skor 0,308 serta komitmen Pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD skornya adalah 0,305 (Tabel 23). Tabel 23. Faktor Kritis Eksternal Pengelolaan Pajak Daerah Kota Bogor No A 1 2 3
Faktor Kritis Eksternal Peluang Pemberlakuan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Rancangan Peraturan Daerah Kota Bogor tentang Ketentuan Umum Tata Cara Pajak Daerah Komitmen Pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD
Bobot
Rating
Skor
0,087
4
0,348
0,083
3,75
0,311
0,084
3,63
0,305
4
Ekspektasi yang tinggi dari stakeholders terhadap Dispenda
0,078
3,88
0,303
5
Banyaknya peluang sumber daya pajak daerah dari sektor jasa
0,082
3,75
0,308
6
Adanya SOP administrasi pajak daerah
0,080
3,63
0,290
B
Ancaman
1
Adanya fluktuasi bulanan dalam perolehan pajak daerah
0,084
3,75
0,315
2
Kompleksitas perizinan investasi di Kota Bogor
0,090
3,13
0,282
3
Peraturan pendukung untuk pemungutan pajak daerah
0,086
3,75
0,323
Peraturan Daerah No.12/2009 tentang Pelarangan Iklan Rokok Dampak kemajuan IT, berkembangnya ecommerce Isu-isu regional dan internasional terhadap perekonomian di Kota Bogor
0,083
3,13
0,260
0,080
3,13
0,250
0,083
3,63
0,301
Jumlah
1,000
43,16
3,595
4 5 6
6.3. Matriks IE Faktor kritis internal pengelolaan pajak daerah skornya adalah 3,322 dan faktor kritis eksternal skornya adalah 3,595 sehingga dalam matriks IE berada pada kuadran atau sel I, maka strategi yang tepat yang dapat dilakukan adalah strategi tumbuh dan bina, sehingga strategi yang cocok adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk) atau strategi integratif (integrasi ke depan, integrasi ke belakang dan integrasi horisontal).
6.4. Matriks SWOT Hasil Analisis Matriks SWOT dalam Perumusan Alternatif Strategi Peningkatan Pendapatan Daerah dari Sektor Pajak Daerah di Kota Bogor dengan memperhatikan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) serta faktor eksternal (peluang dan ancaman) maka dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Hasil Analisis Matriks SWOT dalam Perumusan Alternatif Strategi Peningkatan Kapasitas Fiskal (Pajak Daerah) di Pemda Kota Bogor Faktor Internal
Faktor Eksternal Peluang ( O ) 1. Pemberlakuan UU No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 2. Raperda tentang Ketentuan Umum Tata Cara Pajak Daerah 3. Komitmen pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD 4. Ekspektasi yang tinggi dari stakeholders terhadap dispenda 5. Banyaknya peluang sumber daya pajak daerah dari sektor jasa 6. Adanya SOP administrasi pajak daerah Ancaman ( T ) 1.Adanya fluktuasi bulanan dalam perolehan pajak daerah 2.Kompleksitas perizinan di Kota Bogor 3.Proses pembuatan peraturan pendukung untuk pemungutan pajak daerah 4.Peraturan Daerah Nomor 12/2009 tentang pelarangan iklan rokok di Kota Bogor 5.Kemajuan bidang teknologi informasi 6.Isu-isu regional dan internasional terhadap perekonomian di Kota Bogor
Kekuatan (S) 1. Dispenda memiliki kewenangan di bidang pendapatan daerah 2. Pemanfaatan teknologi informasi “Simpatda” 3. Dispenda telah melakukan bimbingan teknis aparatur pemungut pajak 4. Pembayaran PBB dan BPHTB telah dapat dilakukan secara online 5. Dispenda telah melakukan penertiban, pemeliharaan dan pengendalian reklame 6. Dispenda telah melakukan pembuatan dan pemeliharaan papan himbauan pajak daerah 7. Dispenda telah melakukan pelatihan auditor pajak 8. Dispenda telah melaksanakan sosialisasi peraturan perundangan kepada para WP Strategi SO 1. Mengoptimalkan program intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak/retribusi dari WP/WR yang sudah ada (S1,S3,S5,S6,S7,S8,O1,O3,O5)
Kelemahan (W) 1. Pemanfaatan teknologi informasi dalam bentuk web 2. Belum adanya SDM khusus sebagai penyidik pajak dan juru sita 3. Belum adanya kesepahaman dengan keystakeholders mengenai arah pengelolaan pajak 4. Internal Kontrol di Dispenda lemah 5. Proses monitoring dan evaluasi 6. Indikator kinerja Dispenda belum mencerminkan pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan 7. Koordinasi dengan dinas/badan dan instansi terkait
Strategi ST 1. Meningkatkan pengawasan dan evaluasi kepada para WP (S1,S5,S6,T1) 2. Pembuatan Peraturan Daerah sebagai payung hukum yang jelas dan berkekuatan hukum (S1,S8,T3)
Strategi WT
Strategi WO 1. Mempersiapkan SDM yang memiliki kompetensi khusus di bidang perpajakan (penyidik pajak dan juru sita pajak), berkoordinasi dengan KPP Pratama, Inspektorat Kota Bogor dan Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kota Bogor (W2,O2,O3) 2. Meningkatkan koordinasi internal antar dinas terkait (W6,W7, O3,O4,O5)
1. Memberikan kemudahan pelaksanaan pengurusan pajak dan perizinan usaha, berkoordinasi dengan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Penanaman Modal (BPPTPM) (W7,T2)
BAB VII PERANCANGAN PROGRAM
Mardiasmo dan Makhfatih (2000) mengatakan bahwa potensi penerimaan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Untuk melihat potensi penerimaan daerah dibutuhkan pengetahuan tentang perkembangan beberapa variabel-variabel yang dapat dikendalikan (yaitu variabel-variabel kebijakan dan kelembagaan) dan yang tidak dapat dikendalikan (yaitu variabel-variabel ekonomi yang dapat mempengaruhi kekuatan sumber-sumber penerimaan daerah). Dalam bab ini akan dirumuskan alternatif strategi peningkatan penerimaan daerah dari pajak dan retribusi daerah yang di dapatkan dari analisis faktor internal dan eksternal.
Strategi dan Program Peningkatan Penerimaan Daerah dari sektor pajak 7.1. Strategi SO Mengoptimalkan Program Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pajak Daerah Dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pajak daerah, dengan melakukan program intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah. Kegiatan intensifikasi dimaksudkan adalah upaya menghitung potensi seakurat mungkin, sehingga target yang dibuat mendekati potensi yang ada. Sedangkan ekstensifikasi adalah menggali sumber-sumber penerimaan baru baik pajak maupun retribusi yaitu dengan menjaring wajib pajak/retribusi baru. Intensifikasi pajak secara umum dapat dilakukan dengan memperbaiki pengelolaan internal organisasi pemungut pajak sehingga diharapkan akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemungutan pajak daerah. Program intensifikasi pajak dapat dilakukan dengan beberapa cara : 1. Analisis potensi pajak Relatif rendahnya kontribusi pajak daerah salah satunya karena belum tergalinya potensi riil pajak daerah. Tidak tergalinya potensi riil ini dikarenakan tidak diketahuinya potensi pajak daerah, yang menyebabkan kesalahan dalam penetapan target pajak ditetapkan dengan hanya melihat data historis dan menggunakan metode peramalan trend untuk menetapkan target
akan datang. Namun sesungguhnya potensi pajak daerah yang ada mungkin lebih dari target yang ditetapkan. Hal ini terjadi karena dalam melakukan perhitungan potensi riil pajak dilakukan dengan pendekatan lapangan langsung. Perhitungan yang lebih terinci di lapangan akan menggambarkan berapa besar potensi sesungguhnya pajak yang dapat diperoleh. Adanya data mengenai potensi riil pajak akan membantu pemerintah daerah dalam menetapkan target penerimaan yang lebih riil, sehingga efektivitas pemungutan pajak dapat diketahui. Kegiatan penggalian potensi perpajakan ini dilakukan melalui pembuatan mapping, profiling dan benchmarking Wajib Pajak (WP) penentu penerimaan dan penggalian secara sektoral, khususnya pada sektor-sektor yang sedang booming di Kota Bogor, yaitu sektor jasa, dalam hal ini hotel, restoran dan hiburan. 2. Penambahan sarana bagi pemungutan pajak daerah 3. Penambahan personil pengumpul pajak daerah Dalam melakukan intensifikasi pemerintah daerah harus menambah personil dan melakukan penertiban administrasi. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan menunjukkan bahwa petugas pengumpul pajak masih relative sedikit dibandingkan dengan cakupan wilayah tugasnya. Dengan penambahan personil ini diharapkan akan menambah efektivitas pemungutan pajak daerah. 4. Sosialisasi dan pemberian penyuluhan kepada masyarakat mengenai ketentuan pajak daerah Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjalankan kewajiban sebagai wajib pajak, mengharuskan pemerintah daerah dalam hal ini Dispenda Kota Bogor untuk melakukan sosialisasi pajak dengan penyuluhan kepada wajib pajak serta memberikan insentif kepada wajib pajak, bila memungkinkan dengan pemberian reward untuk pembayar pajak terbaik diberikan hadiah 1 persen dari hasil pungutan pajak. 5. Peningkatan pengawasan terhadap pelaksanaan pemungutan pajak daerah Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara da dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak fiskus serta meningkatkan pelayanan pembayaran pajak. Untuk mencegah kebocoran dan manipulasi
dalam pembayaran pajak dapat dilakukan cross check dengan laporan pajak mereka secara insidentil dan melakukan verifikasi di lapangan. 6. Peningkatan pengawasan dan pengendalian, baik pengendalian teknis pelaksanaan pemungutan pajak dengan sasaran menyempurnakan system dan prosedur pemungutan pajak, pelayanan yang cepat dan cermat kepada WP maupun pengendalian penatausahaan yang ditujukan pada kegiatan para pelaksana administrasi. Untuk mendukung fungsi pemerintahan diatas, maka merujuk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional, perlu disusun dokumen perencanaan lima tahunan dalam bentuk perencanaan strategis yang dalam hal ini dibuat untuk kurun waktu 2010- 2014 yang memuat visi, misi, tujuan, strategis, program sesuai dengan tujuan dan fungsinya, secara lebih spesifik dan terukur serta dilengkapi dengan sasaran yang hendak dicapai. Merujuk pada Visi dan Misi Kota Bogor, maka Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor memiliki Visi : Lembaga Yang Amanah Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Dari Visi Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor memiliki makna bahwa : 1. Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor sebagai salah satu dinas/lembaga pada Pemerintah Kota Bogor diharapkan mampu memegang kepercayaan (amanah) dan tanggungjawab yang diberikan oleh Walikota dan masyarakat, hal ini tercermin dalam Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 3 Tanggal 24 Agustus 2010 tentang Organisasi Perangkat Daerah. 2. Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor sebagai penghimpun dan koordinator dalam pemungutan pajak/retribusi daerah serta pendapatan lainnya yang sah, penyusunan dan pengelolaan keuangan daerah, maka Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor harus mampu melayani dan bekerja secara profesional, di sisi lain sebagai perencana dan penggali Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka peningkatan pendapatan daerah, harus mampu meningkatkan pendapatan daerah serta menggali potensi dari sektor jasa yang ada di Kota Bogor, sebagai upaya mewujudkan Kota Bogor sebagai kota jasa dengan penyelenggaraan pelayanan kepada wajib pajak dengan cepat, mudah dan transparan.
Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mencapai visi. Misi dari Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor antara lain adalah : Misi I
: Meningkatkan
profesionalisme
aparatur
lembaga
di
bidang
pendapatan daerah. Misi ini mengandung makna bahwa pelaksanaan tugas pokok dan fungsi harus di dukung oleh kualitas sumber daya aparatur yang mampu dan menguasai bidang pendapatan daerah, serta jujur dan bertanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaan. Misi II : Meningkatkan koordinasi guna peningkatan pendapatan dari sektor jasa serta mendorong partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam memenuhi kewajiban pajak. Misi ini mengandung makna bahwa sebagai koordinator pendapatan daerah, maka Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor harus mampu melakukan koordinasi baik dengan instansi terkait maupun dengan dunia usaha, selain itu harus mampu menggali potensi wajib pajak di sektor jasa melalui penyelengaraan pelayanan yang cepat, mudah dan transparan. Misi III : Mengembangkan sistem manajemen pengelolaan keuangan daerah dalam rangka terciptanya akuntabilitas keuangan daerah. Misi ini mengandung makna bahwa Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor yang mempunyai kewenangan di bidang pengelolaan keuangan daerah di arahkan untuk mengembangkan sistem pengelolaan keuangan daerah yang menganut azas berimbang dan transparan, sehingga tercipta akuntabilitas keuangan daerah. Dalam periode 2010-2014, kebijakan umum perpajakan di Kota Bogor yang dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor lebih diarahkan untuk perluasan basis pajak, peningkatan pelayanan, pengurangan beban pajak, pemberian fasilitas pajak pada dunia usaha tanpa mengganggu pencapaian target penerimaan perpajakan. Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Pusat terus melakukan langkah-langkah pembaharuan serta penyempurnaan kebijakan dan administrasi perpajakan (tax policy and administration reform). Hal ini harus mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah, dikarenakan peranan penerimaan
perpajakan dewasa ini menjadi begitu penting dalam menopang keberlangsungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 7.2. Strategi WO • Mempersiapkan SDM yang memiliki kompetensi khusus di bidang perpajakan, berkoordinasi dengan KPP Pratama, Inspektorat Kota Bogor dan BKPP • Meningkatkan koordinasi internal antar dinas terkait Untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang perpajakan, maka Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Kota Bogor (BKPP) perlu membuat kualifikasi khusus dalam seleksi penerimaan CPNS di Kota Bogor, sehingga bisa menjaring pegawai yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang perpajakan, juga dalam penempatan sumber daya manusia di Pemerintahan
Kota
Bogor
harus
disesuaikan
dengan
latar
belakang
pendidikannya. Selain itu dapat mengadakan kerjasama dengan KPP Pratama Kota Bogor untuk mengadakan pelatihan-pelatihan perpajakan bagi para karyawan Dispenda Kota Bogor. Dalam rangka pengawasan reguler antar Dinas yang mengelola pajak dan retribusi, maka perlu lebih ditingkatkan koordinasi internal antar dinas tersebut, dibawah pengawasan dari Inspektorat Kota Bogor.
7.3. Strategi ST • Meningkatkan pengawasan dan evaluasi kepada para Wajib Pajak • Pembuatan peraturan daerah yang jelas dan berkekuatan hukum Pengawasan dan evaluasi kepada para Wajib Pajak (WP) harus dilakukan secara kontinu dan melakukan tindakan tegas terhadap para WP yang melanggar ketentuan peraturan daerah tentang pajak daerah. Hal ini perlu adanya kerjasama dengan Kantor Kesatuan Bangsa (Kesbang) Kota Bogor sebagai SKPD yang menaungi
kegiatan-kegiatan
yang
dilakukan
oleh
masyarakat
atau
organisasi/lembaga di Kota Bogor dan juga bekerjasama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bogor. Untuk melakukan suatu kebijakan maka harus ada acuan peraturan daerah yang jelas dan berkekuatan hukum, karena itu perlu adanya kajian yang mendalam terhadap peraturan daerah yang berkaitan
dengan pajak dan retribusi daerah, dengan melibatkan lembaga legislatif yaitu DPRD Kota Bogor.
7.4. Strategi WT Memberikan
kemudahan
pelaksanaan
pengurusan
perizinan
usaha,
berkoordinasi dengan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Penanaman Modal (BPPT-PM) Salah
satu
tujuan
pemerintahan
daerah
adalah
untuk
melayani
masyarakatnya, salah satunya dengan memberikan kemudahan dalam proses perizinan usaha, maka Pemerintah Kota Bogor telah menetapkan bahwa untuk pelayanan perizinan dilaksanakan satu atap dan terpadu, yaitu dengan dibentuknya Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Penanaman Modal, yang telah mencakup kurang lebih 62 (enam puluh dua) perizinan. Beberapa langkah pembenahan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor antara lain : • program intensifikasi, melalui kegiatan : (i) mapping bertujuan untuk mendapatkan gambaran umum potensi perpajakan dan keunggulan fiskal di wilayah masing-masing kantor/unit kerja yang digunakan sebagai petunjuk dan sarana analisis dalam rangka penggalian potensi penerimaan, pelayanan, dan pengawasan (ii) profiling wajib pajak bertujuan untuk menyajikan informasi fiskal Wajib Pajak (WP) secara individu, mengukur tingkat risiko dan kepatuhan WP, mengenal WP yang terdaftar di unit kerjanya, memonitor perkembangan usaha WP, dan melakukan pengawasan, penggalian potensi dan pelayanan yang lebih baik. Kegiatan profiling difokuskan pada pemantapan profile WP. (iii) benchmarking (iv) aktivasi wajib pajak nonfiler (v)
pemantauan kepatuhan WP orang pribadi potensial
(vi) pemanfaatan data pihak ketiga (vii) Optimalisasi Pemanfaatan Data Perpajakan (OPDP) adalah uji silang (datamatching) laporan satu Wajib Pajak dengan seluruh Wajib Pajak lainnya. Uji silang ini mencakup seluruh jenis pajak yang meliputi data
SPT, faktur pajak, bukti potong PPh, daftar pemegang saham, jumlah harta dan data pembayaran pajak, sehingga dapat diketahui keseluruhan potensi WP (uji potensi pajak daerah). Penggalian potensi WP tersebut dilakukan dengan himbauan, konseling dan pemeriksaan. • program
ekstensifikasi
yang
merupakan
perluasan
basis
perpajakan
(penambahan WP) dengan beberapa cara yaitu persiapan untuk penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2010 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, mulai pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB dan pajak air tanah yang berlaku efektif pada tahun 2011 dan melaksanakan revisi tarif Pajak Penerangan Jalan yang masih dalam proses pembahasan di DPRD Kota Bogor. • modernisasi pelayanan pajak merupakan wujud pelaksanaan good governance, dilakukan dengan strategi pelayanan prima, sekaligus pengawasan intensif kepada Wajib Pajak (WP). Program modernisasi ini antara lain dilaksanakan melalui: (i)
reformasi struktur organisasi berdasarkan fungsi
(ii) business
process
yang
berorientasi
pada
pemanfaatan
teknologi
komunikasi dan informasi (iii) pembentukan data processing center (iv) pengembangan sumber daya manusia (v)
pelaksanaan good governance
(vi) perbaikan kelembagaan yang mengarah pada konsep one stop service
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan terhadap strategi peningkatan kapasitas fiskal (pajak daerah) di Pemerintah Daerah Kota Bogor, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Perkembangan kapasitas fiskal, khususnya pajak daerah di Pemerintah Daerah Kota Bogor setelah desentralisasi fiskal menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini didukung dengan adanya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yaitu dengan penambahan potensi pajak daerah untuk kota/kabupaten baik berupa penambahan jenis pajak baru maupun penambahan objek pajak, yang merupakan peluang bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskalnya. Namun hal ini harus didukung dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis untuk Undang-Undang Nomor 28 tahun 2010. 2. Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor internal dan eksternal (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) yang mempengaruhi pengembangan sumber-sumber kapasitas fiskal (pajak daerah) Kota Bogor, maka faktor-faktor penentu keberhasilan pengelolaan pajak yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor adalah peningkatan professionalisme sumber daya manusia (SDM) para petugas di bidang pendapatan, pengelolaan keuangan daerah, adanya optimalisasi sistem pengelolaan keuangan daerah untuk menghasilkan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel, pemberdayaan SDM dan optimalisasi koordinasi internal untuk memupuk kepercayaan masyarakat dan dunia usaha, optimalisasi penggunaan sarana, prasarana dan dana untuk meningkatkan
pendapatan
daerah
melalui
intensifikasi
pemungutan
pajak/retribusi daerah dari Wajib Pajak/Wajib Retribusi yang sudah ada serta adanya kewenangan yang dimiliki untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui ekstensifikasi pemungutan pajak/ retribusi daerah Pajak/Wajib Retribusi baru.
terhadap Wajib
3. Untuk meningkatkan kapasitas fiskal (pajak daerah) Pemerintah Daerah Kota Bogor maka terdapat 4 (empat) strategi yaitu mengoptimalkan Program Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pajak Daerah, mempersiapkan SDM yang memiliki kompetensi khusus di bidang perpajakan berkoordinasi dengan KPP Pratama, Inspektorat Kota Bogor dan BKPP, meningkatkan koordinasi internal antar dinas terkait, meningkatkan pengawasan dan evaluasi kepada para Wajib Pajak, pembuatan peraturan daerah yang jelas dan berkekuatan hukum, memberikan
kemudahan
pelaksanaan
pengurusan
perizinan
usaha
berkoordinasi dengan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Penanaman Modal (BPPT-PM) 4. Upaya meningkatkan pendapatan dari sisi pajak dapat dilakukan dengan cara ekstensifikasi pajak melalui memperluas objek pajak dan melakukan perbaikan internal institusi pengelola pajak (Dispenda Kota Bogor) melalui intensifikasi, sehingga diharapkan akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemungutan pajak daerah. 5. Dengan peningkatan pendapatan daerah maka diharapkan dapat menjadi modal yang kuat untuk pembangunan di daerah dan meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Pembangunan daerah akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakatnya,
karena
tujuan
utama
pembangunan
adalah mencapai
kesejahteraan masyarakat, yang berarti pula akan memberikan kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat dan yang terutama adalah dapat mengurangi angka kemiskinan di Kota Bogor.
8.2. Saran Untuk meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pajak daerah maka Pemerintah Kota Bogor perlu melaksanakan koordinasi baik dengan pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah kota/kabupaten lain mengenai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2010 tersebut. Dan dalam rangka meningkatkan pelayanan bagi para Wajib Pajak dan program modernisasi maka perlu pembentukan kantor modern, dengan penerapan teknologi informasi terkini dalam proses pelayanan perpajakan seperti : online payment, e-SPT, e-filling,
e-registration, kampanye sadar dan peduli pajak serta pengembangan bank data dan Single Identity Number. Secara garis besar program modernisasi perpajakan bertujuan untuk mencapai empat sasaran yaitu : • optimalisasi penerimaan yang berkeadilan, meliputi perluasan tax base dan stimulus fiskal • peningkatan kepatuhan sukarela melalui pemberian layanan prima dan penegakan hukum secara konsisten • efisiensi administrasi berupa penerapan sistem dan administrasi handal serta pemanfaatan teknologi tepat guna • terbentuknya citra yang baik dan tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi khususnya kepada Dispenda Kota Bogor sebagai SKPD yang memiliki wewenang di bidang pemungutan pajak daerah, melalui kapasitas sumber daya manusia yang profesional, budaya organisasi yang kondusif serta pelaksanaan good governance. Perlunya membangun suatu paradigma pembangunan yang memihak kepada
penduduk
miskin.
Otonomi
daerah
diarahkan
terutama
untuk
menanggulangi kemiskinan lokal karena dengan hilangnya kemiskinan, maka akan berkembang aspirasi demokrasi yang lebih besar dan lebih dewasa sehingga hasil pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat dalam rangka mencapai Visi Kota Bogor membentuk masyarakat madani dan pemerintahan amanah. Upaya meningkatan pendapatan dari sisi pajak dan retribusi usaha kepari Upaya meningkatan pendapatan dari sisi pajak dan retribusi usaha kepariwisataan dapat dilakukan dengancara ekstensifikasi pajak melalui memperluas objek pajak dan melakukan perbaikan internal institusi pengelola pajak danretribusi darah melalui intensifikasi. Intensifikasi pajak dan retribusi secara umum adalah memperbaiki pengelolaan internal orgaisasi pemungut retribusi sehingga diharapkan akan meningkatkan efisienso dan efektifitas pemungutan retribusi daerah. Secara umum busi usaha kepariwisataan di Kota Palu dapat DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2000-2009. Kota Bogor Dalam Angka. Bogor : BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000-2009. PDRB Menurut Kota-Kota di Indonesia Jakarta : BPS. Profil Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Bogor. 2009 De Langen, W.J. 1954. De Grondbeginselen van het Ned. Belasttingrecht, Jilid I. Belanda. Haris, Syamsudin. 2007. Desentralisasi & Otonomi Daerah : Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta : LIPI Press. Komarudin, 1994. Ensiklopedia Manajemen, Edisi Ke-1. Jakarta : Bumi Aksara Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi & Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta : Erlangga. Rangkuti, Freddy. 2011. SWOT Balanced Scorecard, Teknik Menyusun Strategi Korporat yang Efektif plus Cara Mengelola Kinerja dan Resiko. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sidik, Machfud. 1999. Implementasi UU No.25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat & Daerah. Jakarta. Siregar, Hermanto. 2010. Metode Analisis Kebijakan Pembangunan Daerah. Bahan Kuliah Sep568. Bogor : MPD-SPs IPB. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi. Padang : Baduose Media. Smith, Adam. 2000. An inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (The Wealth of Nations). New York : The Modern Library. Soesilo, Nining I. 2002. Manajemen Strategik di Sektor Publik (Pendekatan Praktis) Buku II. Depok : Magister Perencanaan & Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Soleh, Chabib & Heru Rochmansjah. 2010. Pengelolaan Keuangan dan Aset Daera, Sebuah Pendekatan Struktural Menuju Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik. Bandung : Gaza Publishing. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah beserta penjelasannya. Bandung : Citra Umbara. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Wagner, Adolph. 1939. Speech on the Social Question (abridged), in Donald O. Wagner, ed. Social Reformers. Adam Smith to John Dewey. New York : Macmillan. Widodo, Tri. 2006. Perencanaan Pembangunan : Aplikasi Komputer (Era Otonomi Daerah). Yogyakarta : UPP STIM YKPN Yogyakarta
Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 129/PMK.02/2005 Tentang Peta Kapasitas Fiskal dalam rangka penerusan pinjaman luar negeri pemerintah kepada daerah dalam bentuk hibah Kumpulan Peraturan Daerah Pemerintah Kota Bogor. 2009. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Bogor Modul Sosialisasi Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB Menjadi Pajak Daerah, Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2011 Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 73/PMK.02/2006 Tentang Peta Kapasitas Fiskal dalam rangka penerusan pinjaman luar negeri pemerintah kepada daerah dalam bentuk hibah Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 153/PMK.07/2007 Tentang Peta Kapasitas Fiskal dalam rangka penerusan pinjaman luar negeri pemerintah kepada daerah dalam bentuk hibah Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 174/PMK.07/2009 Tentang Peta Kapasitas Fiskal dalam rangka penerusan pinjaman luar negeri pemerintah kepada daerah dalam bentuk hibah
STRATEGI DAN PROGRAM PENINGKATAN PENERIMAAN DARI SEKTOR PAJAK DAERAH No.
1
Strategi Strategi Peningkatan Penerimaan Pajak Daerah
Program Program Peningkatan Penerimaan Pajak Daerah
Program Sosialisasi dan Penguatan di Masyarakat
2 Penambahan Sarana Pemungutan Pajak Daerah
1.020.000.000
3 Penambahan Personil Pengumpul Pajak Daerah
300.000.000
50.000.000
Dispenda Kota Bogor, KPP Pratama, Bapeda Kota Bogor, Kecamatan, Kelurahan, Konsultan, Para Wajib Pajak
Dispenda Kota Bogor, Inspektorat Kota Bogor, SatPol PP, Kecamatan dan Kelurahan Dispenda Kota Bogor, Satpol PP, Kecamatan dan Kelurahan
1 Analisis Potensi Pajak
1 Sosialisasi dan pemberian penyuluhan kepada masyarakat mengenai ketentuan pajak daerah 2 Peningkatan pengawasan terhadap pelaksana pemungut pajak daerah 3 Peningkatan pengawasan dan pengendalian
2
3
Mempersiapkan SDM yang memiliki kompetensi khusus di bidang perpajakan Meningkatkan koordinasi internal antar dinas terkait
Program Pendidikan dan Pelatihan di Bidang Perpajakan
Program peningkatan kerjasama antar dinas terkait
Tahun Pelaksanaan 1 2 3 4
Anggaran ( Rupiah ) 400.000.000
Kegiatan
Peningkatan keterampilan teknis SDM di bidang perpajakan 1 Sosialisasi ketentuan perpajakan dengan dinas terkait 2 Penguatan peran dinas terkait sektor pajak daerah
111
Dispenda Kota Bogor, Bapeda Kota Bogor, DPRD Kota Bogor, Konsultan Dispenda Kota Bogor, Bapeda Kota Bogor Dispenda Kota Bogor, BKPP Setdakot Bogor
125.000.000
125.000.000
70.000.000
50.000.000
150.000.000
Tim Pelaksana
Dispenda Kota Bogor, KPP Pratama, BKPP Setdakot Bogor, Konsultan, Kecamatan dan Kelurahan Dispenda Kota Bogor, BPPTPM, Dinas Pengelola Retribusi Daerah, Kecamatan, Kelurahan Dispenda Kota Bogor, BPPTPM, Dinas Pengelola Retribusi Daerah
STRATEGI DAN PROGRAM PENINGKATAN PENERIMAAN DARI SEKTOR PAJAK DAERAH No. 4
5
Strategi Meningkatkan pengawasan dan evaluasi kepada para Wajib Pajak
Memudahkan pelaksanaan pengurusan perizinan usaha
Program Program peningkatan pengawasan dan evaluasi
Anggaran ( Rupiah )
Kegiatan
1 Penguatan personil lapangan
50.000.000
2 Menambah personil lapangan Program Sosialisasi Izin Usaha
Tahun Pelaksanaan 1 2 3 4
2 Memberikan informasi yang valid tentang peraturan/ketentuan pajak daerah kepada para Wajib Pajak
112
225.000.000
50.000.000
Dispenda Kota Bogor, Satpol PP, Kecamatan dan Kelurahan Dispenda Kota Bogor, BKPP Setdakot Bogor, Kecamatan dan Kelurahan Dispenda Kota Bogor, BPPTPM, DPRD Kota Bogor, KPP Pratama, Bapeda Kota Bogor, Konsultan
60.000.000
1 Mempersiapkan sistem yang terintegrasi dengan pelayanan perizinan usaha
Tim Pelaksana
Dispenda Kota Bogor, BPPTPM, DPRD Kota Bogor, KPP Pratama, Konsultan, Para Wajib Pajak
dilakukan dengan beberapa cara:
1. Analisis Potensi Pajak Dan Retribusi Usaha Kepariwisataan Daerah
Relatif rendahnya kontribusi pajak dan retribusi kepariwisataan di Kota Palu salah satunya adalah karena belum tergalinya potensi riil pajak dan retribusi usaha kepariwisataan. Tidak tergalinya potensi rill ini dikaenakan oleh tidak diketahuinya potenusaha kepariwisataan. Ketidak tahuan potensi riil pajak dan retribusi ini menyebabkan kesalahan dalam penetapan target capaian yang diharapkan pada tahun akan datang. Selama ini target pajak dan retribusi ditetapkan dengan hanya melihat data historis dan menggunakan metode peramalan trend untuk menetapkan target akan datang. Namun sesungguhnya potensi pajak dan retribusi rill yang ada mungkin lebih dari taget yang ditetapkan.
Hal ini terjadi karena dalam melakukan perhitungan potensi rill pajak dan
retribusi,
dilakukan
dengan
pendekatan
lapangan
langsung.
Perhitungan yang lebih terinci di lapangan akan menggambarkan berapa besar potensi sesungguhnya pajak dan retribusi yang dapat diperoleh dari pajak dan retribusi.
Dengan mengetahui melakukan analisis potensi pajak dan retribusi usaha kepariwisataan, pemerintah dapat mengathui seseungguhnya berapa besar pajak yang sesungguhnya yang dapat diperoleh daru usaha kepariwisataan, dan berapa besar retribusi sesungguhnya yang dapat dicapai pemerintah dari perizinan usaha kepariwisataan.
Adanya data mengenai potensi rill dari pajak dan retribusi usaha kepariwisataan, pemerintah akan dapat menetapkan target penerimaan yang lebih riil, sehingga efektifitas pemungutan pajak dan retribusi dapat diketahui. Eefektifitas pemungutan pajak dan retribusi sesunguhnya di ukur dari perbandingan antara potensi pajak dengan hasil pencapaian pajak dan retribusi yang di ukur pada satuan waktu tertentu, yang biasanya adalah setahun. Berdasarkan hal tersebut hal pertama dilakukan adalah mengupayakan perhitungan potensi rill pajak dan retribusi usaha kepariwisataan melalui sebuah kajian yang mendalam mengenai analisis potensi pajak dan retribusi usaha kepariwisataan di Kota Palu.
2. Penambahan Sarana Bagi Pemungutan Pajak Dan Retribusi Daerah 3. Penambahan Personel Pengumpul Pajak dan Retribusi
Dalam
melakukan
intensifikasi
pemerintah
daearah
harus
menambah personel dan melakukan penertiban administrasi pada pospos retribusi. Saat ini berdasarkan hasil observasi menujukkan bahwa petugas pengumpul retrbusi masih relatif sedikit, dbandingkan dengan cakupan wilayah yang dijalani. Kebutuhan tambahan personel dalam
pemungutan pajak dan retribusi ini juga diharapkan dapat menambah efektitas pemunguntan, karena dari hasil observasi dilapangan hanya 5 persen saja masyarakat yang datang sendiri membayar retribusinya.
Kondisi
ini
tentunya
perlu
ditindak
lanjuti
dengan
lebih
mengintensifkan pemungutan melalui jemput bola di lapangan. Proses ini tentunya membutuhkan personel yang lebih banyak lagi, mengingat cakupan Kota Palu yang terdiri dari empat kecamatan relatif luas untuk di dilakukan pemungutan dengan sistem jemput bola atau door-to-door. Penambahan personel ini nantinya diharapkan akan meningkakan jumlah pembayar pajak dan retribusinya, serta memberikan kemudaha layanan bagi wajib pajak dan retribsi dalam menjalankan kewajibannya.
4. Sosialisasi dan pemberian penyuluhan yang memadai kepada masyarakat mengenai ketentuan pajak dan retribusi daerah Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjalanka kewajiban sebagai wajib pajak dan retribusi, mengharuskan pemerintah daerah perlu melakukan sosialisasi kepada masarakat. Hl ini juga telah dinyatakan dalam perda mengenai pajak dan retribusi, bahwa merupakan tugas pemerintah daerah untuk melakukan sosialisai pajak dan retribusi. Sosialisasi ini dapat dilakukan melalui meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat khususnya wajib pajak /wajib pungut, serta memberikan insentif baik kepada wajib pajak dan retribusi bila memungkinkan kepada pengusaha kepariwisataan pembayar pajak terbaik diberikan hadiah 1% dari hasil pungutan pajak. Kepada wajib pajak hotel, bill hotelnya diundi dan kepada pemenang diberikan hadiah.
5. Peningkatan Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Pemungutan Pajak Dan Retribusi Daerah Hal
ini
dapat
pemeriksaan
ditingkatkan
secara
yaitu
dadakan
antara lain
dan
berkala,
dengan
melakukan
memperbaiki
proses
pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah Untuk menutup atau mencegah kebocoran dan manipulasi dalam pembayaran pajak hotel antara lain dilakukan upaya; mengirim petugas/pegawai ke hotel, restoran dan tempat hiburan pada malam-malam hari libur untuk memantau jumlah tamu yang menginap dan makan untuk di cross cechk dengan laporan pajak mereka; secara insidentil melakukan pemeriksaan buku penerimaan hotel; sekali setahun melakukan verifikasi, bekerjasama dengan BPKP perwakilan; memintakan laporan tingkat hunian hotel dari instansi terkait seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu; melakukan audit internal terhadap realisasi penerimaan pajak hotel
6. Peningkatan pengawasan dan pengendalian antara lain :
1. Pengawasan dan pengendalian teknis, menitik beratkan pada pelaksanaan pemungutan dengan sasaran menyempurnakan sistem
dan
prosedur pemungutan dan
pembayaran serta
peningkatan pelayanan yang cepat dan cermat kepada WP, antara lain dengan cara penyediaan blanko setoran dan penyediaan petugas untuk membantu pengisian media setoran dan sebagainya.
2. Pengawasan dan pengendalian penatausahaan, yang lebih ditujukan
pada
kegiatan
para
pelaksana
dan
ketertiban
administrasi, seperti mewajibkan kepada Kasubdin Pendaftaran dan
Pendataan
untuk
selalu
melaporkan
dan
memantau
perkembangan udaha wajib pajak kepariwisataan. Mewajibkan kepada Kasubdin Pembukuan untuk setiap bulannya melaporkan kepada pimpinan realisasi penerimaan pajak, tunggakan, dan tagihan
wisataan dapat dilakukan dengancara ekstensifikasi pajak melalui memperluas objek pajak dan melakukan perbaikan internal institusi pengelola pajak danretribusi darah melalui intensifikasi. Intensifikasi pajak dan retribusi secara umum adalah memperbaiki pengelolaan internal orgaisasi pemungut retribusi sehingga diharapkan akan meningkatkan efisienso dan efektifitas pemungutan retribusi daerah. Secara umum program intensifikasi pajak dan retribusi usaha kepariwisataan di Kota Palu dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Analisis Potensi Pajak Dan Retribusi Usaha Kepariwisataan Daerah
Relatif rendahnya kontribusi pajak dan retribusi kepariwisataan di Kota Palu salah satunya adalah karena belum tergalinya potensi riil pajak dan retribusi usaha kepariwisataan. Tidak tergalinya potensi rill ini dikaenakan oleh tidak diketahuinya potenusaha kepariwisataan. Ketidak tahuan potensi riil pajak dan retribusi ini menyebabkan kesalahan dalam
penetapan target capaian yang diharapkan pada tahun akan datang. Selama ini target pajak dan retribusi ditetapkan dengan hanya melihat data historis dan menggunakan metode peramalan trend untuk menetapkan target akan datang. Namun sesungguhnya potensi pajak dan retribusi rill yang ada mungkin lebih dari taget yang ditetapkan.
Hal ini terjadi karena dalam melakukan perhitungan potensi rill pajak dan
retribusi,
dilakukan
dengan
pendekatan
lapangan
langsung.
Perhitungan yang lebih terinci di lapangan akan menggambarkan berapa besar potensi sesungguhnya pajak dan retribusi yang dapat diperoleh dari pajak dan retribusi.
Dengan mengetahui melakukan analisis potensi pajak dan retribusi usaha kepariwisataan, pemerintah dapat mengathui seseungguhnya berapa besar pajak yang sesungguhnya yang dapat diperoleh daru usaha kepariwisataan, dan berapa besar retribusi sesungguhnya yang dapat dicapai pemerintah dari perizinan usaha kepariwisataan.
Adanya data mengenai potensi rill dari pajak dan retribusi usaha kepariwisataan, pemerintah akan dapat menetapkan target penerimaan yang lebih riil, sehingga efektifitas pemungutan pajak dan retribusi dapat diketahui. Eefektifitas pemungutan pajak dan retribusi sesunguhnya di ukur dari perbandingan antara potensi pajak dengan hasil pencapaian pajak dan retribusi yang di ukur pada satuan waktu tertentu, yang biasanya adalah setahun. Berdasarkan hal tersebut hal pertama dilakukan adalah mengupayakan perhitungan potensi rill pajak dan retribusi usaha kepariwisataan melalui sebuah
kajian yang mendalam mengenai analisis potensi pajak dan retribusi usaha kepariwisataan di Kota Palu.
2. Penambahan Sarana Bagi Pemungutan Pajak Dan Retribusi Daerah 3. Penambahan Personel Pengumpul Pajak dan Retribusi
Dalam
melakukan
intensifikasi
pemerintah
daearah
harus
menambah personel dan melakukan penertiban administrasi pada pospos retribusi. Saat ini berdasarkan hasil observasi menujukkan bahwa petugas pengumpul retrbusi masih relatif sedikit, dbandingkan dengan cakupan wilayah yang dijalani. Kebutuhan tambahan personel dalam pemungutan pajak dan retribusi ini juga diharapkan dapat menambah efektitas pemunguntan, karena dari hasil observasi dilapangan hanya 5 persen saja masyarakat yang datang sendiri membayar retribusinya.
Kondisi
ini
tentunya
perlu
ditindak
lanjuti
dengan
lebih
mengintensifkan pemungutan melalui jemput bola di lapangan. Proses ini tentunya membutuhkan personel yang lebih banyak lagi, mengingat cakupan Kota Palu yang terdiri dari empat kecamatan relatif luas untuk di dilakukan pemungutan dengan sistem jemput bola atau door-to-door. Penambahan personel ini nantinya diharapkan akan meningkakan jumlah pembayar pajak dan retribusinya, serta memberikan kemudaha layanan bagi wajib pajak dan retribsi dalam menjalankan kewajibannya.
4. Sosialisasi dan pemberian penyuluhan yang memadai kepada masyarakat mengenai ketentuan pajak dan retribusi daerah
Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjalanka kewajiban sebagai wajib pajak dan retribusi, mengharuskan pemerintah daerah perlu melakukan sosialisasi kepada masarakat. Hl ini juga telah dinyatakan dalam perda mengenai pajak dan retribusi, bahwa merupakan tugas pemerintah daerah untuk melakukan sosialisai pajak dan retribusi. Sosialisasi ini dapat dilakukan melalui meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat khususnya wajib pajak /wajib pungut, serta memberikan insentif baik kepada wajib pajak dan retribusi bila memungkinkan kepada pengusaha kepariwisataan pembayar pajak terbaik diberikan hadiah 1% dari hasil pungutan pajak. Kepada wajib pajak hotel, bill hotelnya diundi dan kepada pemenang diberikan hadiah.
5. Peningkatan Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Pemungutan Pajak Dan Retribusi Daerah Hal
ini
dapat
pemeriksaan
ditingkatkan
secara
yaitu
dadakan
antara lain
dan
berkala,
dengan
melakukan
memperbaiki
proses
pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah Untuk menutup atau mencegah kebocoran dan manipulasi dalam pembayaran pajak hotel antara lain dilakukan upaya; mengirim petugas/pegawai ke hotel, restoran dan tempat hiburan pada malam-malam hari libur untuk memantau jumlah tamu yang menginap dan makan untuk di cross cechk dengan laporan pajak mereka; secara insidentil melakukan pemeriksaan buku penerimaan hotel; sekali setahun melakukan verifikasi, bekerjasama dengan BPKP perwakilan;
memintakan laporan tingkat hunian hotel dari instansi terkait seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu; melakukan audit internal terhadap realisasi penerimaan pajak hotel
6. Peningkatan pengawasan dan pengendalian antara lain :
1. Pengawasan dan pengendalian teknis, menitik beratkan pada pelaksanaan pemungutan dengan sasaran menyempurnakan sistem
dan
prosedur pemungutan dan
pembayaran serta
peningkatan pelayanan yang cepat dan cermat kepada WP, antara lain dengan cara penyediaan blanko setoran dan penyediaan petugas untuk membantu pengisian media setoran dan sebagainya.
2. Pengawasan dan pengendalian penatausahaan, yang lebih ditujukan
pada
kegiatan
para
pelaksana
dan
ketertiban
administrasi, seperti mewajibkan kepada Kasubdin Pendaftaran dan
Pendataan
untuk
selalu
melaporkan
dan
memantau
perkembangan udaha wajib pajak kepariwisataan. Mewajibkan kepada Kasubdin Pembukuan untuk setiap bulannya melaporkan kepada pimpinan realisasi penerimaan pajak, tunggakan, dan tagihan