ANALISIS PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH DI KOTA BOGOR
OLEH DIO HAKKI H14103068
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN DIO HAKKI. Analisis Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah di Kota Bogor (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM). Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD adalah potensi sumber penerimaan utama dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan pada ketentuan bahwa daerah otonom berhak mengatur dan membiayai rumah tangganya sendiri sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebutkan bahwa PAD terdiri dari 1) pajak daerah, 2) retribusi daerah, 3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan 4) lain-lain PAD yang sah. Keberhasilan pemerintah daerah dalam upaya membangun ekonomi di wilayahnya tergantung pada kemampuan aparaturnya untuk dapat memobilisasi potensi yang ada pada masyarakatnya melalui optimalisasi peningkatan PAD. Penerimaan PAD Kota Bogor selama periode 1996/1997-2005 terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan, tetapi persentase kontribusinya terhadap APBD hanya sekitar 15 persen yang masih jauh lebih kecil dibandingkan dana perimbangan yang mencapai sekitar 80 persen. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis perkembangan penerimaan dan komponen PAD Kota Bogor selama tahun 2001-2005, sejauh mana kontribusinya sebagai sumber utama penerimaan keuangan daerah untuk dapat mengukur kemampuan keuangan Kota Bogor dalam membiayai pembangunan daerahnya, dan (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bogor tahun 1995-2005 dan mengetahui pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap perkembangan penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bogor. Untuk melihat perkembangan penerimaan dan komponen PAD sejauh mana kontribusinya sebagai sumber utama penerimaan keuangan daerah untuk dapat mengukur kemampuan keuangan Kota Bogor dalam membiayai pembangunan daerahnya dilakukan analisis depkriptif, sedangkan untuk meneliti hubungan dari peubahpeubah yang berpengaruh terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bogor, menggunakan analisis peubah ganda (multivariate analysis) yang kemudian diolah menggunakan metode analisis komponen utama (Principle Component Analysis/PCA) dengan menggunakan software Minitab 14. Dari analisis tersebut akan diperoleh gambaran tentang kontribusi faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi daerah serta pengaruh kebijakan otonomi daerah di Kota Bogor. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa selama tahun 2001-2005, kontribusi PAD terhadap penerimaan APBD Kota Bogor cenderung terus meningkat dari 11,51 persen pada tahun 2001 menjadi 15,83 persen pada tahun 2005. Sedangkan komponen PAD yang memberikan kontribusi dominan yaitu rata-rata diatas 40 persen adalah pajak daerah. Retribusi daerah merupakan komponen penyumbang terbesar kedua, diikuti lain-lain PAD yang sah dan laba
perusahaan daerah. Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan menggunakan metode PCA, ditunjukan bahwa penerimaan pajak daerah memiliki korelasi negatif terhadap variabel tingkat inflasi dengan loading score sebesar -0,876. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat inflasi berbanding terbalik terhadap penerimaan pajak daerah Kota Bogor yang berarti apabila tingkat inflasi mengalami peningkatan, maka penerimaan pajak daerah akan menurun. Hal ini dapat ditanggulangi dengan dengan cara membuat kebijakan baru atau mengoptimalkan kebijakan yang telah ada untuk mengimbangi tingkat inflasi yang sifatnya fluktuatif. Penerimaan retribusi daerah berkorelasi positif dengan variabel tingkat inflasi dan uji kendaraan bermotor dengan loading score masingmasing sebesar 0,506 dan 0,566, dan penerimaan retribusi daerah berkorelasi negatif dengan variabel jumlah pengunjung objek wisata di Kota Bogor dengan loading score sebesar -0,666. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil beberapa saran. Pertama, kontribusi PAD terhadap sisi penerimaan APBD tidak menunjukkan angka yang signifikan. Hal ini diharapkan dapat menjadi perhatian bagi pemerintah daerah Kota Bogor untuk segera mengatasi permasalahan ini, karena kebijakan otonomi daerah menuntut kreativitas dan inovasi pemerintah daerah dalam mengoptimalkan potensi sumber-sumber pembiayaan pembangunan daerahnya secara mandiri. Kedua, target penerimaan pajak dan retribusi daerah harus dapat dijadikan potensi sumber utama dengan cara meningkatkan dan mengoptimalkannya sesuai dengan potensi-potensi yang ada agar dapat meningkatkan persentase PAD terhadap sisi penerimaan APBD Kota Bogor. Saran terakhir, ketersediaan data dari instansi-instansi terkait yang ada di Kota Bogor seperti Dispenda, Kantor Arsip, dan Bappeda sangatlah minim terutama data yang lebih dari 5 tahun terakhir, oleh karena itu diharapkan jadi masukan bagi instansi terkait untuk mengelola dan mendokumentasikan data dengan lebih baik dan lengkap, karena hal tersebut sangat penting untuk penelitian-penelitian demi peningkatan pembangunan daerah Kota Bogor.
ANALISIS PENERIMAAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH DI KOTA BOGOR
Oleh DIO HAKKI H14103068
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Dio Hakki
Nomor Registrasi Pokok
: H14103068
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah di Kota Bogor
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 131 846 871
Mengetahui, Kepala Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan: 30 Januari 2008
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2008
Dio Hakki H14103068
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Dio Hakki lahir pada tanggal 18 September 1984 di Bogor. Penulis adalah anak terakhir dari tiga bersaudara, dari pasangan Feizal Sabar dan Henny Nuryani. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Polisi 4 Bogor, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis untuk dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir penulis agar dapat menjadi sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai salah satu mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah di Kota Bogor”. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dan PAD merupakan indikator kemampuan keuangan suatu daerah dalam membiayai pembangunan di daerahnya tersebut dengan pajak dan retribusi sebagai komponen yang memiliki kontribusi yang besar terhadap PAD. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini. Adapun skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian, semangat dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu, ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. M.P. Hutagaol, Ph.D dan Widyastutik, M.Si. selaku dosen penguji utama dan komisi pendidikan, yang telah memberi saran-saran dan ilmu yang bermanfaat. 3. Kedua orang tua penulis yaitu Ir. H. Feizal Sabar, M.Sc. dan Hj. Henny Nuryani serta kakak-kakakku atas kasih sayang, kesabaran, dan dorongan serta doa yang tiada henti-hentinya.
4. Seluruh teman-teman yang telah memberikan bantuan, dorongan, dan doa dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini. 5. Untuk seluruh dosen dan anggota tata usaha Departemen Ilmu Ekonomi yang telah membantu dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini. 6. Untuk Ibu Sri, Bapak Suhandi, Bapak Yana, Bapak Ibrahim, Bapak Didi, Mas Dani, Mas Fikri, dan seluruh staf Dispenda, Kantor Arsip, Bappeda, dan BPS Kota Bogor yang telah meluangkan waktu untuk memberikan izin dalam pencarian data bagi pennyelesaian skripsi ini. 7. Untuk Desriza Gustina yang telah memberikan dorongan kepada penulis dengan penuh kesabaran, perhatian dan doa yang diberikan selama ini, beserta keluarganya. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi perbaikan penulis. Semoga hasil dari skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bogor, Januari 2008
Dio Hakki H14103068
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR.................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................
xi
I.
PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah.....................................................................
3
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................
4
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................
4
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................
6
2.1. Otonomi Daerah dan Desentralisasi.............................................
6
2.2. Sumber-Sumber Penerimaan Daerah ...........................................
7
2.3. Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah ....................................
9
2.3.1. Pajak Daerah ...................................................................
10
2.3.2. Retribusi Daerah ..............................................................
12
2.3.3. Bagian Laba Perusahaan Daerah ......................................
14
2.3.4. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah...................
15
2.4. Hasil Penelitian Terdahulu ..........................................................
16
2.5. Kerangka Pemikiran ....................................................................
17
2.6. Hipotesis .....................................................................................
19
III. METODE PENELITIAN.....................................................................
20
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................
20
3.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................
20
3.3. Metode Analisis ..........................................................................
21
3.3.1. Metode Deskriptif............................................................
21
3.3.2. Analisis Peubah Ganda ....................................................
21
3.3.2.1. Analisis Komponen Utama..................................
22
IV. GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR ..............................................
26
4.1. Kondisi Geografis Kota Bogor ....................................................
26
4.2. Pertumbuhan Penduduk...............................................................
27
4.3. Tinjauan Perekonomian...............................................................
28
4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor .................
28
4.3.2. Pendapatan Perkapita Kota Bogor....................................
29
4.3.3. Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor................................
31
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
32
5.1. Struktur Penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bogor......................................................................
32
5.2
Perkembangan Komponen Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor..
34
5.2.1. Pajak Daerah Kota Bogor ................................................
36
5.2.2. Retribusi Daerah Kota Bogor...........................................
38
5.2.3. Bagian Laba Perusahaan Daerah Kota Bogor ...................
40
5.2.4. Lain-Lain PAD Yang Sah Kota Bogor .............................
41
5.3. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pajak dan Retribusi Daerah Kota Bogor Berdasarkan Analisis Peubah Ganda.............
43
5.3.1. Analisis Komponen Utama Penerimaan Pajak Daerah......
44
5.3.2. Analisis Komponen Utama Penerimaan Retribusi Daerah
48
5.4. Implikasi Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bogor Berdasarkan Hasil Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pajak dan Retribusi Daerah Kota Bogor ......................................................
52
5.4.1. Implikasi Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bogor untuk Perkembangan Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor......
52
5.4.2. Implikasi Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bogor untuk Perkembangan Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor
53
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
55
6.1. Kesimpulan .................................................................................
55
6.2. Saran...........................................................................................
56
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
58
LAMPIRAN ..............................................................................................
60
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Realisasi PAD Kota Bogor Tahun 2001-2005 ...................................
2
2.1. Variabel-variabel yang Digunakan dalam Analisis Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor..................................................................
12
2.2. Variabel-variabel yang Digunakan dalam Analisis Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor ............................................................
14
4.1. Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Bogor Tahun 2000-2005 .............
27
4.2. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor Tahun 2001-2005 ......
29
4.3. Pendapatan Perkapita Kota Bogor Tahun 2001-2005.........................
30
4.4. Target dan Realisasi PAD Kota Bogor Tahun 2001-2005 ..................
31
5.1. Perkembangan Sisi Penerimaan APBD Kota Bogor Tahun 2001-2005..............................................................................
33
5.2. Penerimaan Komponen PAD Kota Bogor Tahun 2001-2005 .............
35
5.3. Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor Tahun 2001-2005 ...
37
5.4. Realisasi Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor Tahun 2001-2005..............................................................................
39
5.5. Realisasi Penerimaan Bagian Laba Usaha Daerah Kota Bogor Tahun 2001-2005..............................................................................
41
5.6. Realisasi Penerimaan Lain-Lain PAD Yang Sah Kota Bogor Tahun 2001-2005..............................................................................
42
5.7. Variabel-variabel yang Digunakan Pada Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah Berdasarkan Masing-masing Kategori Variabel......
44
5.8. Eigenanalysis of the Correlation Matrix Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor..................................................................
47
5.9. Nilai Loading Pada PC1 dan PC2 Analisis Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor..................................................................
48
5.10. Eigenanalysis of the Correlation Matrix Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor ............................................................
51
5.11. Nilai Loading Pada PC1, PC2, dan PC3 Analisis Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor .........................................
51
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian .........................................................
18
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1. 2. 3.
4.
5.
6.
7. 8.
Halaman
Data Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pajak Daerah Kota Bogor Tahun 1995-2005...........................................................
61
Data Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Retribusi Daerah Kota Bogor Tahun 1995-2005...........................................................
62
Hasil Pengolahan Analisis Komponen Utama Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor Tahun 1995-2005..............................................................................
63
Plot Scree Graph Analisis Komponen Utama Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor Tahun 1995-2005..............................................................................
63
Hasil Pengolahan Analisis Komponen Utama Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor Tahun 1995-2005..............................................................................
64
Plot Scree Graph Analisis Komponen Utama Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor Tahun 1995-2005..............................................................................
65
Hasil Pengolahan Analisis Korelasi Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor Terhadap Variabel-variabel Bebasnya Tahun 1995-2005 ........
66
Hasil Pengolahan Analisis Korelasi Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor Terhadap Variabel-variabel Bebasnya Tahun 1995-2005
67
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi. Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan untuk dapat lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam jumlah besar. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah dalam
rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan PAD-nya untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan APBD-nya. Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun komponen-komponen PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan daerah, dan lain-lain PAD yang sah. Realisasi penerimaan PAD Kota Bogor selama periode 2001-2005 terus mengalami peningkatan yaitu dari Rp. 26,79 miliar pada tahun 2001 meningkat menjadi Rp. 66,71 miliar pada tahun 2005. Lebih tepatnya perkembangan realisasi penerimaan PAD Kota Bogor dapat kita lihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Realisasi PAD Kota Bogor Tahun 2001-2005 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
Realisasi (rupiah) 26.787.465.000,00 31.173.873.000,00 41.454.149.673,00 50.137.562.775,34 66.707.298.215,20
Sumber : BPS Kota Bogor (2002-2006), diolah
Pada Tabel 1.1. dapat kita lihat bahwa penerimaan PAD Kota Bogor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi daerah yang ada di Kota Bogor dapat memberikan kontribusi yang maksimal dari tahun ke tahun sehingga pemanfaatannya dapat semakin dioptimalkan.
1.2.
Perumusan Masalah Permasalahan yang dihadapi oleh daerah pada umumnya berkaitan dengan
masalah penggalian sumber-sumber PAD dimana komponen-komponen PAD belum memberikan kontribusi yang signifikan secara keseluruhan. Dalam mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, komponen-komponen PAD tersebut harus dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan ini diperlihatkan dengan banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh : (1) Masih kurangnya porsi pendapatan daerah yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan sebagian besar pendapatan daerah masih berasal dari sumbangan atau subsidi pemerintah pusat. (2) Sumbangan pajak dan retribusi darah serta komponen lainnya yang masih relatif rendah. (3) Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah, yang mengakibatkan pemungutan komponen-komponen PAD cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar karena rendahnya sistem teknologi informasi. (4) Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah, yang dapat menyebabkan kebocoran yang sangat berarti bagi daerah (Saragih, 2003). Berdasarkan keadaan tersebut maka timbul pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan dalam permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah perkembangan penerimaan dan komponen PAD Kota Bogor selama tahun 2001-2005, sejauh mana kontribusinya sebagai sumber utama
penerimaan keuangan daerah untuk dapat mengukur kemampuan keuangan Kota Bogor dalam membiayai pembangunan daerahnya? (2) Apakah faktor-faktor utama yang mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi daerah selama tahun 1995-2005 di Kota Bogor dan bagaimanakan pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bogor?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini mempunyai
tujuan sebagai berikut: (1) Menganalisis perkembangan penerimaan dan komponen PAD Kota Bogor selama tahun 2001-2005, sejauh mana kontribusinya sebagai sumber utama penerimaan keuangan daerah untuk dapat mengukur kemampuan keuangan Kota Bogor dalam membiayai pembangunan daerahnya. (2) Menganalisis faktor-faktor utama yang mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bogor tahun 1995-2005 dan mengetahui pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap perkembangan penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bogor.
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan secara luas khususnya dalam
aspek yang terkait dengan penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bogor baik bagi diri sendiri maupun untuk orang lain dan lembaga tertentu yang terkait.
Bagi diri sendiri merupakan pendalaman pengetahuan yang dapat diaplikasikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari dan apabila telah bekerja di dalam suatu lembaga tertentu. Sementara manfaat yang dapat diambil oleh pihak lain yang terkait antara lain : (1) Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi para pengambil keputusan dalam upaya peningkatan penerimaan PAD demi peningkatan pembangunan daerah. (2) Membuka wacana bagi pembaca tentang pentingnya peran masyarakat untuk mendukung optimalisasi penerimaan pajak dan retribusi daerah dalam rangka peningkatan pembangunan di daerahnya. (3) Memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai input bagi penelitian lain yang terkait dengan hasil penelitian ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 butir
5, yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 butir 7, menyebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sitem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini berarti pengelolaan daerah lebih dititikberatkan kepada kabupaten/kota. Mengenai sistem hubungan pusat dan daerah, berdasarkan undang-undang yang berlaku dapat dirangkum dalam tiga prinsip, yaitu: 1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. 2. Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. 3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan (Elmi, 2002).
Prinsip pemberian otonomi kepada pemerintah daerah pada dasarnya adalah untuk membantu pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pada masa sekarang ini titik berat ekonomi daerah diberikan kepada daerah tingkat II yaitu pemerintah kabupaten/kota. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi utama pemerintah daerah sebagai penyedia pelayanan kepada masyarakat dan pelaksana pembangunan disamping sebagai pembina kestabilan politik, sosial, ekonomi dan kesatuan bangsa. Dengan adanya desentralisasi daerah, pemerintah daerah mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: 1. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah dapat lebih mengetahui keinginan masyarakatnya. 2. Dengan desentralisasi diharapkan pembuatan keputusan dapat lebih efektif. 3. Daerah akan dapat melakukan pendekatan dengan cara yang berbeda-beda dalam menggali potensi di daerahnya masing-masing.
2.2.
Sumber-Sumber Penerimaan Daerah Saragih (2003) menyatakan bahwa penyelenggaraan tugas daerah dalam
rangka desentralisasi dibiayai atas beban APBD. Pada sisi penerimaan dalam APBD termuat beberapa sumber penerimaan pemerintah daerah yaitu: Sisa Anggaran Tahun Lalu, Bagian Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Pinjaman Daerah, dan Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah. Sisa anggaran tahun lalu adalah penerimaan daerah dari sisa perhitungan anggaran tahun lalu yang telah dituangkan dalam APBD namun tidak
direalisasikan dengan baik karena penghematan dari belanja atau adanya pos pengeluaran belanja yang tidak dilaksanakan. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
untuk
mendanai
kebutuhan
daerah
dalam
rangka
pelaksanaan
desentralisasi. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU No. 33 Tahun 2004, dana perimbangan terdiri atas sebagai berikut: 1) Dana bagi hasil dari: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) perorangan, dan penerimaan dari sumber daya alam. 2) Dana alokasi umum (DAU) atau sering disebut juga dengan block grant yang besarnya didasarkan atas formula. 3) Dana alokasi khusus (DAK). DAK identik dengan special grant yang ditentukan berdasarkan pendekatan kebutuhan yang sifatnya insidental dan mempunyai fungsi yang sangat khusus, namun prosesnya tetap dari bawah (bottom-up). UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menetapkan bahwa pinjaman daerah adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang dicatat dan dikelola dalam APBD. Pinjaman daerah dapat bersumber dari dalam dan luar negeri.
PAD merupakan sumber pendapatan daerah yang dijadikan sebagai barometer bagi potensi perekonomian suatu daerah, sekaligus pencerminan efektivitas dan efisiensi aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan pekerjaannya. Pemerintah daerah memerlukan sumber-sumber pembiayaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, tetapi mengingat tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada daerah maka daerah diwajibkan untuk menggali semua sumber keuangannya sendiri seoptimal mungkin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.3.
Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah PAD merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber
ekonomi asli daerah, potensi PAD adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan PAD. Untuk mengetahui potensi sumber-sumber PAD dibutuhkan pengetahuan tentang analisis perkembangan beberapa variabel yang dapat dikendalikan (yaitu variabel-variabel ekonomi) yang dapat mempengaruhi kekuatan sumber-sumber penerimaan PAD. Beberapa variabel yang perlu dianalisis untuk mengetahui potensi sumbersumber PAD adalah: (1) Kondisi awal suatu daerah; (2) Peningkatan cakupan atau ektensifikasi dan intensifikasi penerimaan PAD; (3) Perkembangan PDRB per kapita riil; (4) Pertumbuhan penduduk; (5) Tingkat inflasi; (6) Penyesuaian tarif; (7) Pembangunan baru; dan (8) Sumber pendapatan baru. Saragih (2003) menyatakan bahwa dari tahun ke tahun kebijakan mengenai PAD di setiap daerah propinsi, kabupaten, dan kota relatif tidak banyak
berubah. Artinya, sumber utama PAD komponennya hanya terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba dari BUMD, dan lain-lain PAD yang sah. Setelah desentralisasi digulirkan oleh pemerintah pusat, maka pemerintah daerah berlomba-lomba menciptakan ”kreativitas baru” untuk mengembangkan dan meningkatkan jumlah penerimaan PAD di masing-masing daerah. Selama PAD benar-benar tidak memberatkan atau membebani masyarakat lokal, investor lokal, maupun investor asing maka dapat dikatakan bahwa daerah dengan PAD yang meningkat setiap tahun mengindikasikan daerah tersebut mampu membangun secara mandiri tanpa tergantung dana pusat.
2.3.1. Pajak Daerah Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Dari definisi di atas jelas bahwa pajak daerah merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan kepada setiap orang (wajib pajak) tanpa kecuali, dan ditegaskan pula bahwa hasil dari pajak daerah ini diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah (Prakosa, 2003). Jenis-jenis pajak daerah menurut UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah. Pendapatan pajak daerah dibagi menjadi dua menurut wilayahnya, yaitu pendapatan pajak yang berasal dari propinsi dan pendapatan pajak yang berasal dari kabupaten/kota, dan dibedakan menjadi sebagai berikut: 1. Pajak Propinsi Pajak propinsi adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat propinsi, pajak yang masih berlaku sampai saat ini adalah: a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Kendaraan di Atas Air. b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. 2. Pajak Kabupaten/Kota Pajak Kabupaten/Kota adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat II yakni pemerintah daerah kabupaten/kota. Jenisjenis pajak kabupaten/kota adalah: a. Pajak Hotel. b. Pajak Restoran. c. Pajak Hiburan. d. Pajak Reklame. e. Pajak Penerangan Jalan. f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C. g. Pajak Parkir.
Berdasarkan kelengkapan dan kemampuan variabel serta menggabungkan berbagai literatur dan pengamatan untuk menjelaskan keragaman karakteristik faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak daerah, maka variabel dasar yang digunakan dalam analisis penerimaan pajak daerah Kota bogor dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Variabel-variabel yang Digunakan dalam Analisis Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Variabel JHT: jumlah hotel (proxy pajak hotel) JRS: jumlah restoran (proxy pajak restoran) JPR: jumlah perusahaan (proxy pajak hiburan dan reklame) JKB: jumlah kendaraan bermotor (proxy pajak parkir) JRT: jumlah rumah tangga (proxy pajak penerangan jalan) JPB: jumlah penduduk Kota Bogor INF: tingkat inflasi PPK: pendapatan perkapita DUMMY: 0=sebelum otonomi; 1=pada masa otonomi
Satuan unit unit unit unit rt jiwa persen Rp. miliar -
2.3.2. Retribusi Daerah Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Saragih (2003) menyatakan bahwa perbedaan antara pajak daerah dan retribusi daerah tidak hanya didasarkan atas objeknya, tetapi juga perbedaan atas pendekatan tarif. Oleh sebab itu tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan
tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan. Semakin banyak jenis pelayanan publik dan meningkatnya mutu pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah terhadap masyarakatnya, maka kecenderungan perolehan dana retribusi semakin besar. Namun, banyaknya jenis retribusi yang dikenakan kepada masyarakat jelas merupakan beban bagi masyarakat lokal. Oleh sebab itu, kebijakan retribusi daerah sering menimbulkan kontroversial di daerah, baik sebelum maupun pada masa otonomi daerah diberlakukan. Karena terkadang pemerintah daerah memungut retribusi tanpa ada imbalan langsung yang dirasakan oleh masyarakat. Objek atau jenis retribusi daerah menurut UU No. 34 Tahun 2000 serta prinsip atau kriteria penentuan tarifnya adalah sebagai berikut: 1) Retribusi jasa umum dengan kriteria penentuan tarif kebijakan daerah yang bersangkutan,
besarnya
biaya
penyediaan
jasa
yang
bersangkutan,
kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan. 2) Retribusi jasa usaha dengan kriteria penentuan tarifnya yaitu tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. 3) Retribusi perizinan tertentu dengan kriteria penentuan tarifnya yaitu tujuan untuk menutup sebagian/seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Berdasarkan kelengkapan dan kemampuan variabel serta menggabungkan berbagai literatur dan pengamatan untuk menjelaskan keragaman karakteristik
faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi daerah, maka variabel dasar yang digunakan dalam analisis penerimaan retribusi daerah Kota bogor dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Variabel-variabel yang Digunakan dalam Analisis Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Variabel PJL: panjang jalan JRT: jumlah rumah tangga JAS: jumlah penerbitan akta sipil JRP: jumlah rumah sakit dan puskesmas JMT: kematian IMB: izin mendirikan bangunan UKB: uji kendaraan bermotor JKB: jumlah kendaraan bermotor JKU: jumlah kendaraan umum POW: jumlah pengunjung objek wisata JPR: jumlah perusahaan JPB: jumlah penduduk Kota Bogor INF: tingkat inflasi PPK: pendapatan perkapita DUMMY: 0=sebelum otonomi; 1=pada masa otonomi
Satuan km rt lembar unit jiwa unit unit unit unit juta jiwa unit jiwa persen Rp. milliar -
2.3.3. Bagian Laba Perusahaan Daerah Kedudukan, fungsi, dan tujuan pendirian suatu perusahaan daerah diatur dalam UU tentang Perusahaan Daerah dan masih berlaku sampai saat ini. Posisi perusahaan daerah atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di era otonomi sebenarnya sangat penting dan strategis sebagai salah satu institusi milik daerah dalam meningkatkan penerimaan PAD. Saragih (2003) menyatakan bahwa pembinaan dan pengembangan perusahaan daerah merupakan wewenang dari kepala daerah atas restu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Memang dalam tahap awal otonomi, tidak banyak yang dapat diharapkan dengan kehadiran BUMD untuk menambah kas
daerah, selama BUMD tersebut rugi terus. Kendati kekayaan BUMD terpisah dari kekayaan daerah dalam APBD, tetapi bisa saja pemerintah daerah sewenangwenang melakukan ekspansi usaha BUMD dengan menggunakan dana APBD. Hal inilah yang dapat menyebabkan kebangkrutan keuangan daerah, termasuk krisis anggaran daerah. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan BUMD harus terpisah dan dilakukan secara profesional sebagaimana perusahaan swasta lainnya.
2.3.4. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah. Lain-lain PAD yang sah adalah pendapatan yang berasal dari dinas-dinas daerah serta pendapatan-pendapatan lainnya yang diperoleh secara sah oleh pemerintah daerah. Dinas-dinas sebagai unsur pelaksana pemerintah daerah, sekalipun tugas dan fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat tanpa menghitung keuntungan ataupun kerugian, tetapi dalam batasbatas tertentu dapat didayagunakan dan bertindak sebagai organisasi ekonomi yang memberikan pelayanan jasa dengan imbalan sehingga dapat menambah PAD. Yang termasuk dalam kategori lain-lain PAD yang sah di Kota Bogor adalah: 1) Hasil Penjualan Aset Daerah Yang Tidak Dipisahkan, 2) Penjualan Kendaraan Bermotor, 3) Penjualan Barang Milik Daerah Lainnya, 4) Jasa Giro, dan 5) Pendapatan lain-lain.
2.4.
Hasil Penelitian Terdahulu Anggawen (2006) meneliti tentang disparitas kontribusi pajak dan retribusi
daerah dalam kaitannya dengan perkembangan wilayah di kabupaten dan kota Bogor. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa untuk tetap menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan di kota Bogor, perlu ditunjang dengan pembiayaan yang cukup melalui sumber penerimaan daerah yang terdiri dari PAD dan pendapatan dari pemerintah pusat serta lain-lain pendapatan yang sah. Terjadinya pemusatan setiap jenis pajak pada suatu wilayah kecamatan, analisis korelasi antara hirarki wilayah dengan pajak dan penduduk menunjukan bahwa di Kota Bogor hanya terjadi korelasi antara hirarki wilayah atau ketersediaan infrastruktur dengan pajak hotel dan retribusi pasar. Penerimaan pajak dan retribusi yang belum maksimal serta pembangunan yang tidak merata menyebabkan rendahnya keterkaitan antara pajak dan hirarki wilayah. Hasil penelitian Helmi (2003) tentang hubungan antara belanja pemerintah dan penerimaan daerah di Propinsi Riau, menunjukan bahwa pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan dari orde baru ke orde reformasi tetapi baru dalam tahap aturan, sedangkan pada pengelolaan tatanan operasionalnya masih belum banyak mengalami perubahan. Tolok ukur kinerja perlu ditingkatkan dengan terlebih dahulu memperbaiki indikator kinerja keuangan berupa rasio-rasio keuangan daerah. Analisisnya menggunakan model ekonometrika didapat bahwa belanja pemerintah bidang pertanian, PAD, dan pajak berpengaruh terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pendapatan pajak dan PAD berpengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan
PDRB dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE), begitu juga pendapatan pajak dari sektor pertanian. Penelitian Yanti (2004) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi PAD Kota Bogor, menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap penerimaan PAD Kota Bogor adalah pendapatan per kapita, dummy pemberlakuan otonomi daerah, jumlah perusahaan, jumlah kamar hotel, jumlah kendaraan bermotor, jumlah izin mendirikan bangunan, dan laba perusahaan daerah.
2.5.
Kerangka Pemikiran Pemberlakuan otonomi daerah yang dilandasi oleh UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya termasuk pemberian kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan daerahnya sendiri. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk meningkatkan penerimaan daerah dalam rangka untuk membiayai jalannya roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan di daerahnya. Salah satu sumber penerimaan daerah yang merefleksikan kualitas ekonomi daerah adalah PAD. PAD merupakan penerimaan daerah dari berbagai komponen seperti pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan daerah, dan lain-lain PAD yang sah. Potensi PAD dan komponen PAD dapat diketahui dengan menganalisis kontribusi
penerimaan PAD terhadap total penerimaan daerah dan kontribusi komponen PAD terhadap penerimaan PAD yang dilakukan dengan analisis secara deskriptif.
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Berdasarkan Gambar 1.1. penelitian ini juga akan mencoba meneliti hubungan dari peubah-peubah yang berpengaruh terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bogor dengan menggunakan analisis peubah ganda
(multivariate analysis) yang kemudian diolah dengan menggunakan metode analisis komponen utama (principle component analysis). Dari analisis tersebut akan diperoleh gambaran tentang kontribusi faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi daerah serta pengaruh kebijakan otonomi daerah di Kota Bogor.
2.6.
Hipotesis Berdasarkan permasalahan dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan
sebelumnya, untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi daerah penulis mengajukan hipotesis bahwa faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh positif terhadap penerimaan pajak daerah adalah variabel jumlah hotel, jumlah restoran, jumlah perusahaan, jumlah kendaraan bermotor, jumlah rumah tangga, jumlah penduduk Kota Bogor, dan pendapatan perkapita. Sedangkan faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh negatif terhadap penerimaan pajak daerah adalah variabel tingkat inflasi dan dummy otonomi daerah. Faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh positif terhadap penerimaan retribusi daerah adalah variabel panjang jalan, jumlah rumah tangga, jumlah penerbitan akta sipil, jumlah rumah sakit dan puskesmas, jumlah kematian, uji kendaraan bermotor, jumlah kendaraan bermotor, jumlah kendaraan umum, jumlah pengunjung objek wisata, jumlah perusahaan, jumlah penduduk Kota Bogor, dan pendapatan perkapita. Sedangkan faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh negatif terhadap penerimaan retribusi daerah adalah variabel izin mendirikan bangunan, tingkat inflasi dan dummy otonomi daerah.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, dengan pertimbangan bahwa Kota
Bogor merupakan salah satu kota penyangga ibukota Jakarta dengan tingkat penerimaan PAD yang memiliki potensi cukup tinggi. Waktu pengumpulan dan pengolahan data dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan Juli 2007.
3.2.
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data time series.
Data yang dikumpulkan berupa data perkembangan pendapatan daerah, Pendapatan Perkapita (PPK), realisasi nilai penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pajak Daerah (PJK), Retribusi Daerah (RTR), Laba Perusahaan Daerah (LPD), dan Lain-Lain PAD yang sah, Jumlah Hotel (JHT), Jumlah Restoran (JRT), Jumlah Kendaraan Bermotor (JKB), Jumlah Kendaraan Umum (JKU), Uji Kendaraan Bermotor (UKB), Panjang Jalan (PJL), Jumlah Penerbitan Akta Sipil (JAS), Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas (JRP), Jumlah Kematian (JMT), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Jumlah Pengunjung Objek Wisata (POW), Jumlah Perusahaan (JPR), Jumlah Rumah Tangga (JRT), Jumlah Penduduk Kota Bogor (JPB), dan Tingkat Inflasi (INF). Data-data di atas diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bogor, dan instansi terkait lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Referensi studi kepustakaan melalui
jurnal, artikel, bahan-bahan lain dari Perpustakaan LSI, dan internet yang masih relevan dengan penelitian ini.
3.3.
Metode Analisis
3.3.1. Metode Deskriptif Melihat dan membandingkan kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah dan kontribusi komponen PAD terhadap penerimaan PAD dari waktu ke waktu dalam suatu series data dalam beberapa tahun yaitu dari tahun 2001-2005, dengan melihat indeks perkembangannya baik dari segi besaran maupun persentasenya. Untuk mengestimasi besarnya kontribusi penerimaan PAD terhadap total penerimaan daerah dapat digunakan formula sebagai berikut: Penerimaan PAD
× 100%
Kontribusi PAD =
(3.1)
Total Penerimaan Daerah
Analisis ini juga dapat digunakan untuk melihat kontribusi komponen PAD terhadap penerimaan PAD.
3.3.2. Analisis Peubah Ganda (Multivariate Analysis) Metode ini digunakan karena terdapat data yang memiliki variabel yang banyak
(multivariate)
untuk
mengukur
karakteristik
faktor-faktor
yang
mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bogor termasuk variabel dummy yang dimasukkan untuk mengetahui pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap perkembangan pembangunan di Kota Bogor.
Dalam metode ini korelasi antar variabel sangat diperhitungkan, sehingga dengan memperhitungkan korelasi antar variabel tersebut, variabel yang jumlahnya banyak akan dikelompokkan ulang menjadi beberapa variabel dengan jumlah yang lebih sedikit. Pemampatan variabel ini dilakukan sesuai dengan prinsip parsimoni dalam statistik yang menyatakan bahwa apabila jumlah variabel makin sedikit, maka model semakin baik (Iriawan dan Astuti, 2006). 3.3.2.1 Analisis Komponen Utama (Principle Component Analysis) Untuk menampilkan data pada objek-objek yang mempunyai beberapa peubah (dimensi) maka perlu dilakukan transformasi melalui analisis komponen utama (Principle Component Analysis/PCA) dengan menggunakan data-data yang telah diolah dari berbagai sumber yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan menggabungkan berbagai literatur dan pengamatan serta kelengkapan dan kemampuan variabel dalam menjelaskan keragaman karakteristik, metode ini menggunakan 9 peubah sosial ekonomi yang dijadikan pada analisis faktor-faktor yang mempengaruhi Pajak Daerah Kota Bogor tahun 1995-2005 dan 15 peubah sosial ekonomi yang dijadikan pada analisis faktor-faktor yang mempengaruhi Retribusi Daerah Kota Bogor tahun 1995-2005. Variabel–variabel sosial ekonomi yang merupakan variabel dasar yang digunakan dalam analisis ini akan diseleksi berdasarkan kelengkapan dan kemampuan variabel dalam menjelaskan keragaman karakteristik faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi daerah. Proses analisis ini akan menghasilkan beberapa “Faktor Utama” penciri utama keragaman perkembangan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi
daerah tersebut. Analisis multivariate dilakukan dengan menggunakan alat bantu program Minitab 14. Analisis Komponen Utama merupakan teknik analisis multivariabel (menggunakan banyak variabel) yang dilakukan untuk tujuan ortogonalisasi dan penyederhanaan variabel. Analisis ini merupakan teknik statistik yang mentransformasikan secara linier satu set variabel ke dalam variabel baru dengan ukuran lebih kecil namun representatif dan tidak saling berkorelasi (ortogonal). PCA sering digunakan sebagai analisis antara maupun analisis akhir, sebagai analisis antara PCA bermanfaat untuk menghilangkan multikolinearitas atau untuk mereduksi variabel yang berukuran besar ke dalam variabel baru yang berukuran sederhana, dan untuk analisis akhir PCA umumnya digunakan untuk mengelompokkan variabel-variabel penting dari suatu bundel variabel besar untuk menduga suatu fenomena, sekaligus memahami struktur dan melihat hubungan antar variabel. Pada dasarnya PCA adalah analisis yang mentransformasikan data sejumlah p ke dalam struktur data baru sejumlah k dengan jumlah k < p. Perhitungan dengan PCA memerlukan beberapa pertimbangan, yang sekaligus menggambarkan adanya kendala dan tujuan yang ingin dicapai dari hasil analisis PCA. Di dalam PCA akan dihitung vektor pembobot yang secara matematis ditujukan untuk memaksimumkan keragaman dari kelompok variabel baru (yang sebenarnya merupakan fungsi linier peubah asal atau memaksimumkan jumlah kuadrat korelasi antar PCA dengan variabel asal (Juliani, 2005). Persamaan Umumnya adalah: Y1 = a11X1 + a12X2 + …… + a1pXp = a1X…………
(3.2)
dimana persamaan tersebut diperoleh dari matriks berikut:
X adalah variabel asal, a adalah vektor pembobot, dan Y adalah komponen utama. Hasil analisis komponen-komponen utama antara lain nilai akar (eigen value), proporsi dan kumulatif akar ciri, nilai pembobot (eigen vector) atau sering disebut sebagai PC loading, loading serta component scores. Vektor pembobot merupakan parameter yang menggambarkan peran (hubungan) setiap variabel dengan komponen utama ke – i. Sedangkan loading menggambarkan besarnya korelasi antara variabel asal dengan komponen ke – i. Nilai loading diperoleh dengan persamaan : ri = ai
1…………
(3.3)
dimana ri menggambarkan besarnya korelasi antara variabel asal dengan komponen utama k – i, a merupakan nilai pembobot utama k – i, dan
1
adalah
ciri komponen ke – i. Dalam menginterpretasikan hasil PCA terdapat kriteria yang membantu menentukan berapa banyak komponen yang diinterpretasikan. Nilai akar ciri lebih besar sama dengan satu, bila komponen yang memiliki akar ciri kurang dari satu memberikan informasi yang lebih sedikit dibandingkan variabel asal yang distandarisasi dengan nilai keragaman satu. Dengan cara ini, komponen yang berpadanan dengan akar ciri kurang dari satu tidak digunakan. Kriteria lain yang
diinterpretasikan adalah komponen yang memiliki akar ciri lebih dari 0,7 dimana di dalam suatu populasi yang dibatasi akar ciri lebih besar sama dengan satu jika yang diamati adalah suatu sampel kemungkinan besar sampel yang mempunyai akar ciri lebih kecil dari satu karena sampling error. Penggunaan plot scree graph juga dapat membantu dalam menentukan berapa banyak hasil komponen utama yang akan digunakan.
IV. GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR
4.1.
Kondisi Geografis Kota Bogor Kota Bogor terletak diantara 1060 43’30” BT - 1060 51’00” BT dan
60 30’30” LS – 60 41’00” LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibukota + 60 km. Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118,50 km2 dan mengalir beberapa sungai yang permukaan airnya jauh dibawah permukaan, yaitu: Sungai Ciliwung, Cisadane, Cipakancilan, Cidepit, Ciparigi, dan Cibalok. Oleh karena adanya kondisi tersebut maka Kota Bogor relatif aman dari bahaya banjir. Adapun batas-batas Kota Bogor, antara lain: 1. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor; 2. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor; 3. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede, dan Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor; 4. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Berdasarkan UU No. 16 Tahun 1950 Kota Bogor ditetapkan menjadi kota besar dan kota praja yang terbagi dalam 5 wilayah kecamatan, 22 kelurahan, 5 kecamatan, dan 1 perwakilan kecamatan. Kemudian berdasarkan PP No. 44
Tahun 1992, perwakilan Kecamatan Tanah Sareal ditingkatkan statusnya menjadi kecamatan, sehingga kini terdapat 6 kecamatan dan 68 kelurahan (BPS, 2006).
4.2.
Pertumbuhan Penduduk Pembangunan ekonomi tidak akan berjalan secara berkesinambungan
apabila tidak didukung oleh penduduk yang memiliki kemampuan dan semangat kerja yang tinggi untuk dapat mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia di suatu daerah. Besar kecilnya jumlah penduduk dapat menjadi penentu bagi suatu daerah dalam upaya memacu pembangunan ekonomi secara maksimal atau bisa juga mendatangkan masalah yang serius apabila tidak disertai dengan peningkatan kualitas yang memadai sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Perkembangan penduduk Kota Bogor terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Kota Bogor adalah 714.711 jiwa dan berkembang hingga 855.085 jiwa pada tahun 2005. Perkembangan dan laju pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2000-2005 disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Bogor Tahun 2000 - 2005 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Jumlah Penduduk (jiwa) 714.711 760.329 789.423 820.707 831.571 855.085
Sumber : BPS Kota Bogor (2001-2006), diolah
Pertumbuhan (persen) 6,38 3,83 3,96 1,32 2,83
4.3.
Tinjauan Perekonomian PDRB merupakan alat yang digunakan dalam mengkaji dan mengevaluasi
perekonomian serta dapat memberikan gambaran keadaan ekonomi di suatu daerah tertentu. PDRB dihitung dalam dua cara, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan. PDRB berdasarkan harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga tiap tahun dan menunjukkan pendapatan yang mungkin dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah. PDRB atas dasar harga konstan adalah nilai tambah barang dan jasa dengan menggunakan harga pada suatu tahun tertentu (tahun dasar) dan dapat digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral dari tahun ke tahun.
4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor PDRB menunjukkan kemampuan produksi atau kinerja ekonomi suatu daerah. Perkembangan PDRB Kota Bogor selama tahun 2001-2005 berdasarkan harga berlaku maupun berdasarkan harga konstan mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya. Perolehan PDRB berdasarkan harga berlaku meningkat dari Rp. 2,95 trilyun pada tahun 2001 menjadi Rp. 4,95 trilyun pada tahun 2005. Selama tahun 2001-2005 pertumbuhan PDRB berdasarkan harga berlaku mengalami kenaikan cukup signifikan yang terjadi pada tahun 2005 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 22,24 persen. Lebih jelas mengenai pertumbuhan PDRB di Kota Bogor pada tahun 2001-2005 dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor Tahun 2001 - 2005 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan Tingkat PDRB (jutaan rupiah) Pert (%) PDRB (jutaan rupiah) Pert (%) Inflasi 2.954.164,95 2.823.430,21 11,5 3.282.218,41 11,10 2.986.837,37 5,79 11,8 3.645.650,79 11,07 3.168.185,54 6,07 6,8 4.051.722,59 11,14 3.361.438,93 6,10 6,1 4.952.695,62 22,24 3.566.993,05 6,12 7,0
Sumber : BPS Kota Bogor (2002-2006), diolah
Peningkatan PDRB yang terjadi berdasarkan tahun berlaku belumlah menggambarkan peningkatan kinerja perekonomian Kota Bogor secara riil, karena dalam kasus ini masih terkandung faktor inflasi yang sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat secara umum sehingga belum mencerminkan laju pertumbuhan ekonomi. Untuk melihat kinerja perekonomian secara aktual dapat diamati dari perkembangan PDRB atas dasar harga konstan yang dapat dilihat juga pada tabel 4.2. Selama tahun 2001-2005 perolehan PDRB berdasarkan harga konstan juga mengalami peningkatan yaitu dari Rp. 2,82 trilyun pada tahun 2001 menjadi Rp. 3,57 trilyun pada tahun 2005 dan pertumbuhan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2005 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 6,12 persen.
4.3.2. Pendapatan Perkapita Kota Bogor Indikasi kesejahteraan masyarakat secara makro dapat dilihat dari pendapatan perkapita yaitu nilai PDRB dibagi jumlah penduduk pertengahan tahun. Hal tersebut menunjukan distribusi pendapatan rata-rata yang diterima oleh
setiap satu orang penduduk di suatu daerah tertentu. Semakin tinggi pendapatan perkapita berarti tingkat kesejahteraan penduduk semakin baik, demikian juga sebaliknya. Perkembangan pendapatan perkapita Kota Bogor pada tahun 20012005 disajikan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Pendapatan Perkapita Kota Bogor Tahun 2001-2005 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
Pendapatan Perkapita Harga Berlaku (juta rupiah) Harga Konstan (juta rupiah) 3,92 3,70 4,23 3,85 4,58 4,00 4,46 4,16 5,51 4,33
Sumber : BPS Kota Bogor (2002-2006), diolah
Secara umum pendapatan perkapita baik berdasarkan harga berlaku maupun berdasarkan harga konstan selama tahun 2001-2005 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali pendapatan perkapita berdasarkan harga berlaku mengalami penurunan yang terjadi pada tahun 2004 sebesar Rp. 0,12 juta dari Rp. 4,58 juta pada tahun 2003 menjadi Rp. 4,46 juta pada tahun 2004. Namun keadaan tersebut belum mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Bogor secara umum karena sama halnya seperti pada PDRB harga berlaku bahwa dalam pendapatan perkapita berdasarkan harga berlaku masih terkandung faktor inflasi. Untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Bogor secara riil dapat dilihat dari perolehan pendapatan perkapita berdasarkan harga konstan, dimana pertumbuhannya relatif terus meningkat dari tahun ke tahunnya yaitu dari Rp. 3,70 juta pada tahun 2001 menjadi Rp. 4,33 juta pada tahun 2005.
4.3.3. Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor PAD sangat strategis dalam menyukseskan proses desentralisasi dan sudah seharusnya pemerintah daerah mengembangkan dan mengefektifkan kinerja para aparaturnya. Dana PAD harus dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah karena dana ini diperoleh dari potensi-potensi yang ada di suatu daerah dan juga merupakan komponen penting dalam APBD dimana pemanfaatannya yang sangat berguna bagi pembangunan daerah seperti pembiayaan untuk sektor pendidikan, pelayanan kesehatan, infrastruktur fisik kota dan kabupaten, dan lain-lain. Tabel 4.4. Target dan Realisasi PAD Kota Bogor Tahun 2001-2005 Rincian Target (miliar Rp) Realisasi (miliar Rp) Tingkat Pencapaian (%)
2001 25,89 26,79 103,48
2002 30,76 31,17 101,33
2003 39,49 41,45 104,96
2004 49,43 50,64 102,45
2005 58,51 66,71 114,01
Sumber : Dispenda Kota Bogor (2001-2005), diolah
Berdasarkan Tabel 4.4. selama tahun 2001-2005 realisasi PAD Kota Bogor selalu mengalami peningkatan, mulai dari Rp. 26,79 miliar pada tahun 2001 hingga Rp. 66,71 miliar pada tahun 2005. Realisasi PAD Kota Bogor tahun 2001-2005 pada setiap tahunnya selalu memenuhi target, hal tersebut dapat dilihat dari rasio realisasi PAD terhadap target PAD tiap tahunnya yang selalu mencapai lebih dari 100 persen. Hal tersebut dapat memberikan indikasi bahwa kinerja pemerintah daerah Kota Bogor telah berjalan secara efektif apabila hanya dilihat dari segi pencapaian target.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Struktur Sisi Penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bogor Dilihat dari strukturnya, sisi penerimaan APBD Kota Bogor terdiri dari
lima komponen utama yaitu bagian sisa lebih perhitungan tahun lalu, PAD, bagian dana perimbangan, pinjaman pemerintah daerah dan lain-lain penerimaan. Berdasarkan periode anggaran 2001-2005 seperti ditunjukan pada Tabel 5.1. bahwa struktur pendapatan daerah Kota Bogor didominasi oleh bagian dana perimbangan yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yaitu sebesar Rp. 197,12 miliar pada tahun 2001 hingga Rp 345,00 miliar pada tahun 2005. Pendapatan daerah Kota Bogor juga mendapat kontribusi yang signifikan tiap tahunnya dari komponen terbesar kedua yaitu PAD yang jika dikaitkan dalam upaya kemandirian dalam era otonomi daerah, maka sebenarnya komponen inilah yang merefleksikan kemampuan suatu daerah dalam upaya membangun daerahnya dengan cara menggali seluruh sumberdaya yang ada di dalamya untuk mengoptimalkan pembangunan tanpa ketergantungan yang terlalu besar dari pemerintah pusat. Kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah Kota Bogor dari tahun 20012005 relatif meningkat dari 11,51 persen pada tahun 2001 hingga 15,83 persen pada tahun 2005 walaupun sempat terjadi penurunan kontribusinya pada tahun 2002 yang hanya mampu menyumbangkan kontribusinya sebesar 10,77 persen. Tetapi secara nominal kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah Kota Bogor
terus meningkat tiap tahunnnya dan kontribusi tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar Rp. 66,71 miliar.
Tabel 5.1. Perkembangan Sisi Penerimaan APBD Kota Bogor Tahun 2001-2005 (miliar rupiah)
Bagian Sisa Lebih Perhitungan Tahun Lalu PAD Bagian Dana Perimbangan Pinjaman Pemerintah Daerah Lain-Lain Penerimaan Total
2001
2002
2003
2004
2005
4,52 (1,94) 26,79 (11,51) 197,12 (84,67) 4,38 (1,88) 0 (0,00) 232,81 (100)
26,56 (9,17) 31,17 (10,77) 210,99 (72,89) 0 (0,00) 20,75 (7,17) 289,47 (100)
21,20 (5,84) 41,45 (11,41) 286,00 (78,74) 0 (0,00) 14,56 (4,01) 363,21 (100)
14,10 (3,54) 50,64 (12,70) 323,01 (81,03) 0 (0,00) 10,86 (2,73) 398,61 (100)
0 (0,00) 66,71 (15,83) 345,00 (81,86) 0 (0,00) 9,73 (2,31) 421,44 (100)
Sumber : BPS Kota Bogor (2002-2006), diolah Keterangan : Angka dalam kurung (…) menunjukan persentase
Berdasarkan Tabel 5.1 bagian dana perimbangan merupakan komponen yang paling mendominasi pendapatan daerah Kota Bogor yang selalu memberikan kontribusinya lebih dari 70 persen. Hal tersebut sebenarnya tidak sejalan dengan tujuan otonomi daerah yang tidak mencerminkan kemandirian pemerintah daerah dalam menggali potensi sumber-sumber penerimaan di daerahnya. PAD yang memberikan kontribusi hanya dibawah 20 persen merupakan hasil dari kinerja pemerintah daerah Kota Bogor dalam menggali potensi sumbersumber penerimaan di daerahnya. Oleh karena itu, dengan selalu meningkatnya kontribusi PAD terhadap sisi penerimaan APBD di Kota Bogor ini tiap tahunnya jika dikaitkan dengan tujuan otonomi daerah, hal tersebut memberikan indikasi yang baik bagi perekonomian Kota Bogor untuk hal kemandirian dalam
pengelolaan dananya sendiri demi pembangunan di daerahnya. Mengenai komponen lainnya yaitu bagian sisa lebih perhitungan tahun lalu dan lain-lain penerimaan cenderung fluktuatif, bahkan sejak tahun 2002 komponen pinjaman pemerintah daerah sudah tidak memberikan kontribusinya terhadap pendapatan daerah Kota Bogor. Keadaan diatas memperlihatkan bahwa keadaan perekonomian di Kota Bogor ini dapat dikatakan cukup kondusif karena setiap tahunnya sisi penerimaan APBD Kota Bogor terus meningkat, sehingga hal ini juga memberikan indikasi yang baik bagi pengelolaan perekonomian Kota Bogor secara keseluruhan walaupun dalam keadaan kontribusi dana perimbangan yang masih tinggi.
5.2.
Perkembangan Komponen Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor Dalam era otonomi daerah, upaya untuk mengoptimalkan PAD didukung
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam undangundang tersebut memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di daerahnya. Secara garis besar komponen utama PAD dapat dibedakan menjadi empat, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan daerah, dan lain-lain PAD yang sah. Selama tahun 2001-2005, pajak daerah merupakan komponen yang memberikan kontibusi cukup dominan terhadap PAD Kota Bogor dan retribusi daerah di Kota Bogor memberikan kontribusi terbesar kedua yang tidak jauh berbeda dengan pajak daerah. Pada tahun 2003-2004 kontribusi retribusi daerah terhadap PAD Kota Bogor sempat melebihi kontribusi pajak daerah, tetapi pada
tahun 2005 pajak daerah kembali mendominasi kontribusinya terhadap PAD sebesar 40,29 persen dibandingkan retribusi daerah yang hanya memberikan kontribusinya sebesar 35,90 persen terhadap PAD di Kota Bogor. Untuk lebih jelasnya tentang penerimaan komponen PAD Kota Bogor tahun 2001-2005 disajikan di Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Penerimaan Komponen PAD Kota Bogor Tahun 2001-2005 (miliar rupiah)
Pajak Daerah Retribusi Daerah Bagian Laba Usaha Daerah Lain-Lain PAD Yang Sah Total
2001
2002
2003
2004
2005
12,67 (47,30) 11,22 (41,88) 1,53 (5,71) 1,37 (5,11) 26,79 (100)
14,64 (46,97) 12,82 (41,13) 1,77 (5,68) 1,94 (6,22) 31,17 (100)
17,88 (43,14) 18,74 (45,21) 0,98 (2,36) 3,85 (9,29) 41,45 (100)
20,96 (41,39) 22,56 (44,55) 0,72 (1,42) 6,40 (12,64) 50,64 (100)
27,30 (40,92) 23,95 (35,90) 3,65 (5,47) 11,81 (17,71) 66,71 (100)
Sumber : BPS Kota Bogor (2002-2006), diolah Keterangan : Angka dalam kurung (…) menunjukan persentase
Dari Tabel 5.2 juga dapat dilihat bahwa komponen penyumbang ketiga terbesar dari penerimaan PAD kota Bogor yaitu lain-lain PAD yang sah dengan kontribusinya yang selalu meningkat tiap tahunnya sebesar 5,11 persen pada tahun 2001 hingga 17,71 persen pada tahun 2005. Sedangkan komponen terakhir yang memberikan kontribusinya secara fluktuatif yaitu bagian laba perusahaan daerah dimana terjadi penurunan yang cukup mencolok pada tahun 2003 dan 2004 yang dikarenakan komponen tertentu dari bagian laba perusahaan daerah, tetapi hal tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap penerimaan PAD karena diimbangi oleh kontribusi komponen lainnya. Hal ini dapat kita lihat dari total nominal
penerimaan PAD Kota Bogor yang selalu meningkat setiap tahunnya dari Rp. 26,79 miliar pada tahun 2001 hingga Rp. 66,71 miliar pada tahun 2005.
5.2.1. Pajak Daerah Kota Bogor Pajak daerah merupakan komponen yang cukup dominan dalam perolehan PAD Kota Bogor selama tahun 2001-2005. Dengan disahkannya UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian dirubah dengan UU No. 34 Tahun 2000, dimana terus terjadi peningkatan penerimaan secara nominal yang cukup signifikan karena dimungkinkan bagi setiap daerah kabupaten/kota untuk menetapkan jenis pajak baru seperti pajak parkir di Kota Bogor yang mulai diberlakukan tahun 2005. Pada Tabel 5.3 dapat kita lihat bahwa dari tujuh jenis pajak daerah yang berlaku untuk setiap kabupaten/kota, Kota Bogor hanya memberlakukan 6 jenis pajak saja dimana pajak parkir baru mulai diberlakukan mulai tahun 2005 dan pajak pengambilan bahan galian golongan c tidak diberlakukan karena di Kota Bogor tidak terdapat potensi bahan galian golongan c. Komponen penerimaan pajak daerah di Kota Bogor yang paling dominan adalah pajak hotel dan restoran yang mulai tahun 2003 pajak tersebut dipisahkan menjadi pajak hotel dan pajak restoran. Untuk melakukan perbandingan maka pajak hotel dan restoran tetap digabungkan sehingga dapat kita lihat bahwa kontribusi nominal pajak ini terus meningkat dari tahun ke tahun mulai dari Rp. 6,57 miliar pada tahun 2001 hingga Rp. 11,74 miliar pada tahun 2005, dan persentase kontribusi pajak hotel dan restoran pun selalu lebih besar dari kontribusi komponen-komponen lainnnya.
Tabel 5.3. Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor Tahun 2001-2005 (miliar rupiah) 2001
2002
6,57 (51,85)
6,90 (47,13)
1,00 (7,89) 0,60 (4,74) 4,50 (35,52)
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C Pajak Parkir
Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan
Total
2003
2004
2005
1,23 (8,40) 0,60 (4,10) 5,91 (40,37)
1,49 (8,33) 6,54 (36,58) 1,33 (7,44) 1,88 (10,51) 6,64 (37,14)
1,79 (8,54) 7,04 (33,59) 1,42 (6,77) 3,47 (16,56) 7,24 (34,54)
2,25 (8,24) 9,49 (34,76) 1,46 (5,35) 4,70 (17,22) 8,64 (31,65)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
12,67 (100)
14,64 (100)
17,88 (100)
20,96 (100)
0,76 (2,78) 27,30 (100)
Sumber : Dispenda Kota Bogor (2001-2005), diolah Keterangan : Angka dalam kurung (…) menunjukan persentase
Komponen terbesar kedua yang pergerakan kontribusinya cukup stabil yaitu pajak penerangan jalan dimana nominal kontribusi pajak ini selalu meningkat setiap tahunnya yaitu mulai dari Rp. 4,5 miliar pada tahun 2001 hingga Rp. 8,64 miliar pada tahun 2005 walaupun persentase kontribusinya terhadap total penerimaan pajak daerah tidak meningkat tetapi selalu berkisar antara 30 hingga 41 persen setiap tahunnya. Komponen ketiga yang memberikan kontribusi terhadap total penerimaan pajak daerah di Kota Bogor tahun 2001-2005 apabila dilihat dari persentase kontribusinya yaitu pajak reklame yang memiliki perkembangan persentase kontribusi yang sangat signifikan yaitu sebesar 4,74 persen pada tahun 2001 dan meningkat hingga 17,22 persen pada tahun 2005 yang
dapat mengindikasikan bahwa komponen ini sangat berpotensi sebagai sumber penerimaan yang harus terus digali secara optimal oleh pemerintah daerah Kota Bogor. Mengenai pajak hiburan dapat kita lihat bahwa kontribusinya relatif stabil karena
tidak
menunjukkan
perkembangan
mencolok
yang
persentase
kontribusinya naik turun sekitar 5 hingga 8 persen setiap tahunnya, sedangkan untuk pajak parkir kita belum dapat mendeskripsikan bagaimana kontribusinya bagi total penerimaan pajak daerah di Kota Bogor karena baru mulai diberlakukan pada tahun 2005.
5.2.2. Retribusi Daerah Kota Bogor Penerimaan retribusi daerah Kota Bogor berasal dari berbagai jenis retribusi yang dikelola oleh berbagai dinas-dinas yang ada di Kota Bogor. Karena terlalu banyaknya jenis komponen retribusi yang ada, maka dalam penelitian ini diambil lima jenis komponen retribusi yang dinilai dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi total penerimaan retribusi di Kota Bogor dan sisa komponen yang tidak terlalu berpengaruh signifikan digabungkan dalam komponen retribusi lain-lain. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 5.4. Berdasarkan Tabel 5.4 komponen retribusi yang memberikan kontribusi terbesar terhadap realisasi total penerimaan retribusi daerah di Kota Bogor tahun 2001-2005 adalah retribusi perparkiran, uji kendaraan, terminal, izin trayek, izin jalan masuk dan angkutan yang dikelola oleh Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Bogor dengan nominal kontribusinya yang selalu meningkat mulai dari Rp. 3,48 miliar pada tahun 2001 hingga Rp. 5,77 miliar pada tahun
2005. Untuk persentase kontribusinya terlihat stabil yaitu rata-rata selalu diatas 22 persen tiap tahunnya dengan pencapaian persentase tertingginya pada tahun 2001 sebesar 31,02 persen.
Tabel 5.4. Realisasi Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor Tahun 2001-2005 (miliar rupiah)
Retribusi Persampahan dan Kebersihan Retribusi Perparkiran, Uji Kendaraan, Terminal, Izin Trayek, Izin Jalan Masuk dan Angkutan. Retribusi Pelayanan Kesehatan Retribusi Pasar Retribusi Izin Mendirikan Bangunan Retribusi Lain-Lain Total
2001
2002
2003
2004
2005
1,78 (15,86)
1,83 (14,27)
1,91 (10,19)
2,00 (8,87)
2,24 (9,35)
3,48 (31,02)
3,87 (30,19)
4,92 (26,25)
5,09 (22,56)
5,77 (24,09)
0,98 (8,73) 1,57 (13,99) 1,31 (11,68) 2,10 (18,72) 11,22 (100)
1,59 (12,40) 1,64 (12,80) 1,13 (8,81) 2,76 (21,53) 12,82 (100)
1,82 (9,71) 1,85 (9,87) 4,85 (25,88) 3,39 (18,10) 18,74 (100)
2,04 (9,04) 1,86 (8,24) 7,49 (33,20) 4,08 (18,09) 22,56 (100)
2,45 (10,23) 1,98 (8,27) 7,66 (31,98) 3,85 (16,08) 23,95 (100)
Sumber : Dispenda Kota Bogor (2001-2005), diolah Keterangan : Angka dalam kurung (…) menunjukan persentase
Komponen penyumbang terbesar kedua adalah retribusi izin mendirikan bangunan yang dikelola oleh Dinas Pemukiman dan retribusi ini mampu melampaui kontribusi retribusi perparkiran, uji kendaraan, terminal, izin trayek, izin jalan masuk dan angkutan pada tahun 2004 dan 2005. Hal tersebut diduga akibat faktor-faktor yang tidak berpengaruh secara jangka panjang karena dipengaruhi oleh keterbatasan wilayah Kota Bogor dibandingkan dengan pengembangan sarana transportasi yang dapat dikembangkan lebih jauh lagi untuk
jangka panjang karena adanya sistem dan teknologi yang selalu berkembang. Retribusi izin mendirikan bangunan pada awalnya tidak terlalu memberikan kontribusi yang signifikan pada tahun 2001 yang persentase konribusinya hanya sebesar 11,68 persen dan kemudian menurun pada tahun 2002 hingga 8,81 persen. Kemudian retribusi ini baru mulai berkembang pada tahun 2003 hingga 2005 yang memberikan nominal kontribusinya sebesar Rp. 7,66 miliar dengan tingkat persentase sebesar 31,98 persen. Sisa komponen penerimaan retribusi daerah Kota Bogor yaitu retribusi persampahan dan kebersihan, retribusi pelayanan kesehatan dan retribusi pasar yang memberikan kontribusi yang relatif stabil terhadap total penerimaan retribusi daerah di Kota Bogor yang persentase kontribusinya berkisar antara 8 hingga 16 persen setiap tahunnya.
5.2.3. Bagian Laba Perusahan Daerah Kota Bogor Kota Bogor memiliki tiga perusahaan daerah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat yang terdiri dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), PD. Bank Pasar, dan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Perkembangan realisasi penerimaan bagian laba perusahaan daerah Kota Bogor tahun 2001-2005 disajikan pada Tabel 5.5. Berdasarkan Tabel 5.5 penyumbang tertinggi laba perusahaan daerah selama tahun 2001-2005 adalah PDAM dengan kontribusinya yang selalu diatas 70 persen. Kontribusi nominal terbesar PDAM kota bogor terjadi pada tahun 2005 sebesar Rp. 2,62 miliar dengan persentase kontribusinya terhadap realisasi penerimaan laba perusahaan daerah di Kota Bogor sebesar 71,78 persen.
Sedangkan kontribusi persentase terbesarnya terjadi pada tahun 2001 sebesar 81,05 persen yang disebabkan kontribusi komponen lain yang kurang begitu baik.
Tabel 5.5. Realisasi Penerimaan Bagian Laba Perusahaan Daerah Kota Bogor Tahun 2001-2005 (miliar rupiah) Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) PD. Bank Pasar Bank Pembangunan Daerah (BPD) Total
2001
2002
2003
2004
2005
1,24 (81,05) 0,09 (5,88) 0,20 (13,07) 1,53 (100)
1,40 (79,10) 0,12 (6,78) 0,25 (14,12) 1,77 (100)
1,47 (74,24) 0,18 (9,09) 0,33 (16,67) 1,98 (100)
1,98 (72,79) 0,21 (7,72) 0,53 (19,49) 2,72 (100)
2,62 (71,78) 0,23 (6,30) 0,80 (21,92) 3,65 (100)
Sumber : Dispenda Kota Bogor (2001-2005), diolah Keterangan : Angka dalam kurung (…) menunjukan persentase
Untuk komponen penerimaan laba perusahaan daerah dari PD. Bank Pasar dan BPD secara nominal dapat dilihat perkembangannya mengalami peningkatan setiap tahunnya dari tahun 2001 hingga 2005 secara stabil, sehingga hal ini mengindikasikan bahwa kinerja PD. Bank Pasar dan BPD cukup baik walaupun dengan keadaan pendapatan laba yang dihasilkan tidak begitu besar. Oleh karena itu kedua perusahaan daerah ini diharapkan untuk mampu terus meningkatkan laba perusahaan daerahnya seoptimal mungkin.
5.2.4. Lain-Lain PAD Yang Sah Kota Bogor Lain-lain PAD yang sah adalah pendapatan yang berasal dari dinas-dinas daerah serta pendapatan-pendapatan lainnya yang diperoleh secara sah oleh pemerintah daerah, seperti hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, penjualan kendaraan bermotor, penjualan barang milik daerah lainnya, jasa giro,
dan pendapatan lain-lain. Lain-lain PAD yang sah merupakan penyumbang terbesar ketiga bagi penerimaan PAD Kota Bogor setelah pajak daerah dan retribusi daerah. Perkembangan relisasi penerimaan lain-lain PAD yang sah Kota Bogor tahun 2001-2005 disajikan pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6. Realisasi Penerimaan Lain-Lain PAD Yang Sah Kota Bogor Tahun 2001-2005 (miliar rupiah) 2001 Hasil Penjualan Aset Daerah Yang Tidak Dipisahkan Penjualan Kendaraan Bermotor Penjualan Barang Milik Daerah Lainnya Jasa Giro Pendapatan Lain-Lain Total
2002
2003
2004
2005
0,65 (47,45)
0,09 (4,64)
2,43 (63,12)
2,17 (33,91)
6,14 (51,99)
0 (0,00) 0 (0,00) 0,60 (43,79) 0,12 (8,76) 1,37 (100)
0 (0,00) 0 (0,00) 1,18 (60,82) 0,67 (34,54) 1,94 (100)
0,32 (8,31) 0,25 (6,49) 0 (0,00) 0,85 (22,08) 3,85 (100)
0,03 (0,47) 2,13 (33,28) 0 (0,00) 2,07 (32,34) 6,40 (100)
0 (0,00) 0,11 (0,93) 0 (0,00) 5,56 (47,08) 11,81 (100)
Sumber : Dispenda Kota Bogor (2001-2005), diolah Keterangan : Angka dalam kurung (…) menunjukan persentase
Berdasarkan Tabel 5.6 terlihat bahwa dari tahun 2001-2005 komponen yang memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi lain-lain PAD yang sah adalah hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan. Hanya pada tahun 2002 komponen ini tidak dapat memberikan kontribusinya dengan persentase kontribusinya yag sangat kecil sebesar 4,64 persen. Tetapi untuk tahun-tahun lainnya komponen ini memberikan dapat kontribusinya terhadap penerimaan lainlain PAD yang sah dengan baik. Komponen kedua setelah hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan yang mampu memberikan kontribusi yang cukup stabil tiap tahunnya
yaitu pendapatan lain-lain yang dapat dilihat dari nominal kontribusinya yang selalu meningkat setiap tahunnya mulai dari Rp. 0,12 miliar pada tahun 2001 hingga Rp. 5,56 miliar pada tahun 2005. Mengenai komponen lainnya seperti penjualan kendaraan bermotor, penjualan barang milik daerah lainnya, dan jasa giro dapat dilihat pada Tabel 5.6. dapat dikatakan tidak terlalu berpengaruh secara signifikan
karena
komponen-komponen
ini
tidak
mampu
memberikan
kontribusinya secara stabil dan kontinu dari tahun ke tahun, walaupun pada tahuntahun tertentu dapat memberikan kontribusinya dengan persentase cukup tinggi seperti yang diberikan jasa giro mencapai 43,79 persen pada tahun 2001 dan 60,82 pada tahun 2002 serta penjualan barang milik daerah lainnya pada tahun 2004 yang mampu memberikan persentase kontribusinya hingga 33,28 persen terhadap penerimaan lain-lain PAD yang sah di Kota Bogor, tetapi pada tahun-tahun lain komponen tersebut tidak dapat memberikan kontribusinya dengan baik.
5.3.
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pajak dan Retribusi Daerah Kota Bogor Berdasarkan Analisis Peubah Ganda Berdasarkan fungsi penerimaan PAD yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya bahwa penerimaan PAD merupakan kontribusi dari masing-masing komponen PAD. Pada bagian ini akan dianalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pajak dan retribusi daerah, serta pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bogor. Analisis penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bogor dikelompokkan menjadi tiga kategori yang terdiri dari jenis-jenis pajak dan retribusi yang dipungut, variabel lain yang dinilai memiliki dampak secara umum,
dan variabel dummy untuk mengetahui pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah. Pajak daerah menggunakan sembilan variabel berdasarkan tiga kategori dan untuk retribusi daerah digunakan 15 (lima belas) variabel berdasarkan tiga kategori yang dapat dilihat pada tabel yang dapat dilihat pada Tabel 5.7. Tabel 5.7. Variabel-variabel yang Digunakan Pada Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah Berdasarkan Masing-masing Kategori Variabel Variabel Pajak Daerah
Variabel Retribusi Daerah
jumlah hotel jumlah restoran jumlah perusahaan jumlah kendaraan bermotor jumlah rumah tangga
panjang jalan jumlah rumah tangga jumlah penerbitan akta sipil jumlah rumah sakit dan puskesmas jumlah kematian izin membangun bangunan uji kendaraan bermotor jumlah kendaraan bermotor jumlah kendaraan umum jumlah pengunjung objek wisata jumlah perusahaan
Kategori Variabel
Berdasarkan jenis pungutan
Berdasarkan pengaruh secara umum terhadap variabel tak bebas Pengaruh kebijakan otonomi
jumlah penduduk Kota Bogor tingkat inflasi pendapatan perkapita dummy
Sumber: Tabel 2.1. dan 2.2. hlm 12 dan 14, diolah
5.3.1. Analisis Komponen Utama Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor Semua variabel-variabel yang digunakan dalam menganalisis penerimaan pajak daerah berdasarkan kontribusi terhadap masing-masing pajak yang berlaku, variabel yang mempunyai pengaruh secara umum terhadap variabel tak bebas, dan variabel dummy yang digunakan untuk mengetahui pengaruh kebijakan otonomi daerah.
Dalam
proses
analisis
dilakukan
seleksi
variabel
berdasarkan
pertimbangan kelengkapan data dan kemampuan variabel tersebut terhadap total penerimaan pajak daerah. Seleksi variabel atau peubah dilakukan melalui teknik analisis komponen utama dengan mengelompokkan peubah-peubah penting untuk melakukan pendugaan, sekaligus memahami struktur dan melihat hubungan antar variabel di wilayah studi. Proses analisis komponen utama terhadap penerimaan pajak daerah di Kota Bogor menghasilkan dua komponen utama yang merupakan kombinasi linier dengan peubah aslinya yang bersifat saling bebas. Ke-dua komponen utama ini mampu menjelaskan keragaman data sebesar 90,6 persen yang merupakan nilai kumulatif akar ciri (eigenvalue) yang disesuaikan dengan kriteria penentuan jumlah komponen utama yang dapat digunakan. Angka ini menunjukkan suatu deskripsi cukup baik karena nilai akar ciri tersebut berada di atas 70 persen. Hal yang digunakan untuk mengetahui variabel mana yang memiliki kontribusi yang tinggi dapat dilihat pada nilai loading yang besar dengan mengabaikan tanda positif dan negatif, karena tanda tersebut merupakan tanda korelasi yang bersifat positif atau negatif terhadap komponen utamanya. Adapun arti dari korelasi positif adalah komponen utama berbanding lurus dengan variabel penjelas. Sedangkan arti dari korelasi negatif adalah komponen utama berbanding terbalik dengan variabel penjelas. Dalam penelitian ini menggunakan rule of thumb sebesar 0,5 yang berarti bahwa variabel yang mempunyai korelasi signifikan memiliki loading score > 0,5. Jadi, dari ke-dua komponen utama tersebut dapat diambil suatu analisis bahwa:
1. Pada komponen utama 1 (PC1) tidak memiliki variabel yang berkorelasi secara signifikan terhadap penerimaan pajak daerah di Kota Bogor karena variansi loading score tiap variabel rendah dan tidak ada yang melebihi angka 0,5, sehingga kontribusi tiap variabel tidak terlalu jauh berbeda sehingga tidak ada variabel yang dominan. 2. Komponen utama 2 (PC2) berkorelasi negatif dengan tingkat inflasi terhadap penerimaan pajak daerah dengan nilai loading sebesar -0,876. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat inflasi berbanding terbalik terhadap penerimaan pajak daerah Kota Bogor yang berarti apabila tingkat inflasi mengalami peningkatan, maka penerimaan pajak daerah akan menurun. Hal ini harus ditanggulangi dengan cara membuat kebijakan baru atau mengoptimalkan kebijakan yang telah ada untuk mengimbangi tingkat inflasi yang sifatnya fluktuatif. Sehingga kinerja pemerintah daerah dapat terlihat dari cara penanggulangan masalah inflasi ini. 3. Pada hasil analisis ini, variabel dummy tidak memperlihatkan nilai pembobot yang signifikan terhadap PC1 dan PC2. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan otonomi daerah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan pajak di Kota Bogor. Hal ini dimungkinkan karena potensipotensi pajak daerah yang ada di Kota Bogor belum sepenuhnya diolah oleh pemerintah daerah karena masih banyaknya kendala teknis dan non-teknis pada masalah sistem pemungutan pajak daerah di Kota Bogor pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Di Indonesia sendiri menganut sistem self assestment method dimana para wajib pajak secara sadar diri harus
menyetorkan kewajiban pajaknya kepada kantor pajak. Begitu pula dengan sistem pemungutan pajak daerah di Kota Bogor yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang pajak daerah serta peraturan-peraturan daerah untuk masing-masing pajak daerah yang menyebutkan bahwa setiap wajib pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (STPD) dengan melampirkan nota, cash register, serta laporan hasil penjualan dan pemakaian nota
penjualan.
Sedangkan apabila
kita melihat
kualitas teknologi,
kelembagaan, dan pengawasan yang ada di Indonesia maupun daerah, metode tersebut sebenarnya kurang efektif. Tetapi di sisi lain, apabila kita menggunakan official assestment method dimana pemerintah yang memiliki kewenangan dalam pemungutan dan penentuan besar pajak terutang, keterbatasan dana menjadi kendala karena metode ini membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga diasumsikan biaya pungut tidak sebanding dengan hasil pungutan. Selengkapnya hasil analisis ini dapat dilihat dari hasil pengolahan eigenanalysis of correlation matrix pada Tabel 5.8 dan nilai loading pada PC1 dan PC2 pada Tabel 5.9.
Tabel 5.8. Eigenanalysis of the Correlation Matrix Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor Eigenvalue
7,146
1,011
Proportion
0,794
0,112
Cumulative
0,794
0,906
sumber: lampiran 3, diolah
Tabel 5.9. Nilai Loading Pada PC1 dan PC2 Analisis Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor Variabel Jumlah Hotel Jumlah Restoran Jumlah Perusahaan Jumlah Kendaraan Bermotor Jumlah Rumah Tangga Jumlah Penduduk Bogor Tingkat Inflasi Pendapatan Perkapita dummy
PC1
PC2 -0,266 -0,360 -0,364 -0,364 -0,371 -0,368 0,149 -0,349 -0,343
-0,462 -0,006 -0,082 0,056 0,002 -0,057 -0,876 0,076 -0,007
sumber: lampiran 3, diolah
5.3.2
Analisis Komponen Utama Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor Semua variabel-variabel yang digunakan dalam menganalisis penerimaan
retribusi daerah berdasarkan kontribusi terhadap pengelompokan dari masingmasing retribusi yang berlaku, variabel yang mempunyai pengaruh secara umum terhadap variabel tak bebas, dan variabel dummy yang digunakan untuk mengetahui pengaruh kebijakan otonomi daerah. Dalam proses analisis dilakukan seleksi variabel berdasarkan pertimbangan kelengkapan data dan kemampuan variabel tersebut terhadap total penerimaan retribusi daerah. Jenis pungutan retribusi di Kota Bogor terdiri dari 31 jenis dan setelah dikategorikan berdasarkan karakteristiknya, sehingga didapatkan 15 variabel penjelas. Setelah itu seleksi variabel
dilakukan
melalui
teknik
analisis
komponen
utama
dengan
mengelompokkan peubah-peubah penting untuk melakukan pendugaan, sekaligus memahami struktur dan melihat hubungan antar variabel di wilayah studi. Proses analisis komponen utama terhadap penerimaan retribusi daerah di Kota Bogor menghasilkan tiga komponen utama yang merupakan kombinasi
linier dengan peubah aslinya yang bersifat saling bebas. Ke-tiga komponen utama ini mampu menjelaskan keragaman data sebesar 87,8 persen yang merupakan nilai kumulatif akar ciri (eigenvalue) yang disesuaikan dengan kriteria penentuan jumlah komponen utama yang dapat digunakan. Angka ini juga menunjukkan suatu deskripsi cukup baik karena nilai akar ciri tersebut berada di atas 70 persen. Hal yang digunakan untuk mengetahui variabel mana yang memiliki kontribusi yang tinggi dapat dilihat pada nilai loading yang besar dengan mengabaikan tanda positif dan negatif, karena tanda tersebut merupakan tanda korelasi yang bersifat positif atau negatif terhadap komponen utamanya. Adapun arti dari korelasi positif adalah komponen utama berbanding lurus dengan variabel penjelas. Sedangkan arti dari korelasi negatif adalah bahwa komponen utama berbanding terbalik dengan variabel penjelas. Dalam penelitian ini menggunakan rule of thumb sebesar 0,5 yang berarti bahwa variabel yang mempunyai korelasi signifikan memiliki loading score > 0,5. Jadi, dari ke-tiga komponen utama tersebut dapat diambil suatu analisis bahwa: 1. Pada komponen utama 1 (PC1) tidak memiliki variabel yang berkorelasi secara signifikan terhadap penerimaan retribusi daerah di Kota Bogor karena tidak ada loading score yang melebihi batas yang telah ditentukan, sehingga masing-masing variabel memiliki kontribusi yang tidak terlalu jauh berbeda dan tidak ada yang berkontribusi secara dominan. 2. Komponen utama 2 (PC2) berkorelasi positif dengan tingkat inflasi terhadap penerimaan retribusi daerah dengan nilai loading sebesar 0,506. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat inflasi berbanding lurus terhadap penerimaan
retribusi daerah Kota Bogor yang berarti apabila tingkat inflasi mengalami peningkatan, maka penerimaan retribusi daerah akan meningkat dan begitu juga sebaliknya. Hal ini memperlihatkan bahwa retribusi tidak dipengaruhi oleh tingkat inflasi yang tinggi, karena ada beberapa retribusi yang tidak dipengaruhi inflasi seperti retribusi pelayanan kesehatan dan retribusi kebersihan yang memiliki tingkat kepentingan tinggi. Oleh karena itu, naik turunnya angka inflasi tidak memiliki pengaruh negatif terhadap penerimaan retribusi daerah. 3. Komponen utama 3 (PC3) berkorelasi positif dengan uji kendaraan bermotor terhadap penerimaan retribusi daerah dengan nilai loading sebesar 0,566 dan berkorelasi negatif dengan jumlah pengunjung objek wisata terhadap penerimaan retribusi daerah dengan nilai loading sebesar -0,666. Uji kendaraan bermotor berbanding lurus dengan penerimaan retribusi daerah karena apabila kendaraan telah lulus uji, maka dampak terhadap lingkungan secara umum akan memiliki dampak yang sangat positif dan akan menekan biaya retribusi lain yang terkait dengan lingkungan umum. Sehingga apabila semakin banyak kendaraan yang lulus uji, maka akan berdampak signifikan terhadap penerimaan retribusi daerah. Berdasarkan hasil analisis, jumlah pengunjung objek wisata yang berbanding terbalik terhadap penerimaan retribusi daerah, hal ini diduga diakibatkan oleh masalah pengelolaan, pengawasan, dan pelaporan data. 4. Pada hasil analisis ini, variabel dummy tidak memperlihatkan nilai pembobot yang signifikan terhadap PC1, PC2, dan PC3. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa kebijakan otonomi daerah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan retribusi di Kota Bogor. Hal ini dimungkinkan karena jenis-jenis retribusi daerah baik masa sebelum dan pada masa otonomi daerah tidak terlalu berbeda jauh dan tergantung dari kebijakan masing-masing daerah. Sehingga kebijakan otonomi daerah tidak berpengaruh nyata terhadap penerimaan retribusi daerah di Kota Bogor. Hasil selengkapnya dari analisis penerimaan retribusi daerah dapat dilihat dari pengolahan eigenanalysis of correlation matrix pada Tabel 5.10 dan nilai loading pada PC1, PC2, dan PC3 pada Tabel 5.11. Tabel 5.10. Eigenanalysis of the Correlation Matrix Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor Eigenvalue Proportion Cumulative
9,4040 0,627 0,627
2,5150 0,168 0,795
1,2563 0,084 0,878
sumber: lampiran 5, diolah
Tabel 5.11. Nilai Loading Pada PC1, PC2, dan PC3 Analisis Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor Variabel Panjang jalan Jumlah Rumah Tangga Jumlah Penerbitan Akta Sipil Jumlah Rumah Sakit & Puskesmas Jumlah Kematian Izin Membangun Bangunan Uji Kendaraan Bermotor Jumlah Kendaraan Bermotor Jumlah Kendaraan Umum Pengunjung Objek Wisata Jumlah Perusahaan Jumlah Penduduk Bogor Tingkat Inflasi Pendapatan Perkapita dummy sumber: lampiran 5, diolah
PC1 -0,240 -0,323 -0,244 -0,239 -0,280 0,187 -0,093 -0,310 -0,311 0,069 -0,320 -0,320 0,105 -0,310 -0,299
PC2 0,400 -0,068 0,213 0,218 -0,242 -0,294 -0,423 -0,108 -0,073 -0,366 -0,010 -0,047 0,506 0,012 -0,093
PC3 -0,051 0,001 0,074 -0,334 0,020 0,129 0,566 -0,014 -0,006 -0,666 0,005 0,135 0,251 -0,117 0,059
5.4.
Implikasi Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bogor Berdasarkan Hasil Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pajak dan Retribusi Daerah Kota Bogor Berdasarkan interpretasi hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pajak dan retribusi daerah kota bogor yang telah dijelaskan sebelumnya, pada bagian ini akan dibahas mengenai implikasinya terhadap kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bogor. Untuk perkembangan penerimaan pajak daerah, yaitu berupa kebijakan untuk menekan pengaruh kuat variabel tingkat inflasi, sedangkan untuk perkembangan penerimaan retribusi daerah berupa kebijakan yang berhubungan dengan variabel tingkat inflasi, variabel uji kendaraan bermotor, dan variabel jumlah pengunjung objek wisata.
5.4.1. Implikasi Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bogor Perkembangan Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor
untuk
Faktor utama yang mempengaruhi penerimaan pajak daerah Kota Bogor berdasarkan hasil analisis yaitu tingkat inflasi yang berkorelasi negatif atau berbanding terbalik terhadap penerimaan pajak daerah Kota Bogor. Berarti apabila tingkat inflasi mengalami peningkatan, maka penerimaan pajak daerah akan menurun. Tingkat inflasi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal tingkat inflasi merupakan faktor-faktor yang dapat ditanggulangi dibawah kemampuan pemerintah daerah seperti masalah kestabilan harga bahan-bahan pokok di daerah, sedangkan faktor eksternal tingkat inflasi merupakan faktor-faktor yang timbul dari masalah-masalah yang diluar kemampuan pemerintah daerah dalam penanggulangannya, seperti kondisi
moneter regional/internasional, perdagangan luar negeri, harga bahan bakar minyak, dan sebagainya. Peran pemerintah daerah dapat dilakukan
dengan mengeluarkan
kebijakan-kebijakan serta kerja sama dengan pihak-pihak yang terkait dengan melakukan terobosan dalam mengatasi masalah kenaikan harga bahan-bahan pokok, karena kenaikan tersebut secara langsung akan mempengaruhi income sektor riil masyarakat sehingga inflasi bisa mengganggu proses perkembangan perekonomian yang sedang dilaksanakan. Terobosan yang dapat dilakukan pemerintah daerah yaitu bersama-sama dunia usaha menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat di daerah mengingat pentingnya menjaga tingkat inflasi yang rendah agar terjangkau oleh daya beli masyarakat. Apabila upaya diatas dapat dipenuhi oleh pemerintah daerah Kota Bogor, diharapkan terobosan dan kebijakannya tersebut dapat mengimbangi korelasi negatif variabel tingkat inflasi yang cenderung lebih banyak diakibatkan oleh faktor-faktor eksternal yang penanggulangannya diluar kemampuan pemerintah daerah.
5.4.2. Implikasi Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bogor Perkembangan Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor
untuk
Penerimaan Retribusi Daerah dipengaruhi oleh tiga faktor utama yang terdiri dari tingkat inflasi dan uji kendaraan bermotor yang berkorelasi positif atau berbanding lurus terhadap perkembangan penerimaan retribusi daerah, serta dipengaruhi faktor jumlah pengunjung objek wisata yang berkorelasi negatif atau berbanding terbalik terhadap perkembangan penerimaan retribusi daerah Kota Bogor. Apabila tingkat inflasi dan jumlah uji kendaraan bermotor meningkat,
maka penerimaan retribusi daerah di Kota Bogor juga akan meningkat, dan begitu juga sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh faktor-faktor tersebut tidak memiliki masalah yang merugikan perkembangan penerimaan retribusi daerah di Kota Bogor, sehingga implikasi kebijakannya dapat dilakukan dengan optimalisasi kebijakan yang sudah ada, terutama upaya peningkatan jumlah pengujian kendaraan bermotor yang memiliki dampak positif yang banyak selain hanya untuk peningkatan penerimaan retribusi daerah di Kota Bogor. Faktor jumlah pengunjung objek wisata yang berkorelasi negatif dengan penerimaan retribusi daerah dimana apabila mengalami peningkatan maka penerimaan retribusi daerah akan menurun, dan begitu pula sebaliknya. Keadaan tersebut sebetulnya kurang relevan, sehingga hal ini diduga cenderung lebih diakibatkan oleh masalah pengelolaan data dan pengawasan dilapangan serta pelaporan data kepada pihak yang terkait. Implikasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah mengenai pendugaan korelasi jumlah pengunjung objek wisata terhadap penerimaan retribusi daerah di Kota Bogor yaitu dengan mengeluarkan kebijakan yang lebih berkaitan dengan masalah pengelolaan data baik mulai dari masalah teknologi, sistem pelaporan, dan terutama masalah pengawasan dilapangan. Halhal tersebut dapat mempengaruhi perhitungan penerimaan retribusi pada khususnya dan perhitungan PAD pada umumnya, sehingga diasumsikan keadaan tersebut dapat merugikan daerah.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi PAD dan komponen PAD Kota Bogor dan analisis komponen utama penerimaan pajak dan retribusi daerah sebelum dan pada masa otonomi daerah di Kota Bogor, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam periode anggaran 2001-2005 struktur sisi penerimaan APBD Kota Bogor lebih didominasi oleh bagian dana perimbangan, padahal hal tersebut tidak mencerminkan kemandirian suatu daerah dalam pembangunannya pada masa otonomi daerah sekarang ini. Oleh karena itu pemerintah daerah Kota Bogor diharapkan untuk mampu mengoptimalkan sisi penerimaan APBD dari komponen PAD Kota Bogor yang merupakan potensi utama sumber penerimaan daerah yang potensinya harus terus digali dengan pajak daerah dan retribusi daerah sebagai komponen yang mendominasi penerimaan PAD di Kota Bogor. 2. Penerimaan pajak daerah di Kota Bogor sangat dipengaruhi oleh variabel tingkat inflasi. Tingkat inflasi berbanding terbalik terhadap penerimaan pajak daerah Kota Bogor yang berarti apabila tingkat inflasi mengalami peningkatan, maka penerimaan pajak daerah akan menurun. Hal ini dapat ditanggulangi
dengan
dengan
cara
membuat
kebijakan
baru
atau
mengoptimalkan kebijakan yang telah ada untuk mengimbangi tingkat inflasi
yang sifatnya fluktuatif. Penerimaan retribusi daerah Kota Bogor dipengaruhi oleh variabel tingkat inflasi, uji kendaraan bermotor, dan jumlah pengunjung objek wisata. Penerimaan retribusi daerah Kota Bogor berbanding lurus dengan tingat inflasi dan uji kendaraan bermotor, sedangkan jumlah pengunjung objek wisata berbanding terbalik. Tingkat inflasi berbanding lurus terhadap penerimaan retribusi daerah Kota Bogor mengindikasikan bahwa naik turunnya angka inflasi tidak memiliki pengaruh negatif terhadap penerimaan retribusi daerah, mengenai uji kendaraan bermotor memiliki dampak positif yang dapat menekan biaya retribusi lain yang terkait dengan lingkungan umum. Sehingga apabila semakin banyak kendaraan yang lulus uji, maka akan berdampak signifikan terhadap penerimaan retribusi daerah. Jumlah pengunjung objek wisata berbanding terbalik terhadap penerimaan retribusi daerah sehingga berdampak negatif terhadap penerimaan retribusi daerah, hal ini diduga akibat permasalahan pengelolaan, pengawasan, dan pelaporan data dari lapangan. Pada penelitian ini, nilai variabel dummy tidak memperlihatkan angka yang signifikan terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan otonomi daerah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bogor.
6.2.
Saran
1. Kontribusi PAD terhadap sisi penerimaan APBD tidak menunjukkan angka yang signifikan. Hal ini diharapkan dapat menjadi perhatian bagi pemerintah
daerah Kota Bogor untuk segera mengatasi permasalahan ini, karena kebijakan otonomi daerah menuntut kreativitas dan inovasi pemerintah daerah dalam mengoptimalkan potensi sumber-sumber pembiayaan pembangunan daerahnya secara mandiri. 2. Target penerimaan pajak dan retribusi daerah harus dapat dijadikan potensi sumber utama dengan cara meningkatkan dan mengoptimalkannya sesuai dengan potensi-potensi yang ada agar dapat meningkatkan persentase PAD terhadap sisi penerimaan APBD Kota Bogor. 3. Minimnya data terutama yang lebih dari 5 tahun pada instansi yang terkait, misalnya Dispenda, Kantor Arsip, dan Bappeda diharapkan dapat menjadi masukan untuk dapat mengelola dan mendokumentasikan data dengan labih baik dan lengkap, karena mengingat pentingnya peran data bagi suatu penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Anggawen, F. 2006. Disparitas Kontribusi Pajak dan Retribusi Daerah Dalam Kaitannya Dengan Perkembangan Wilayah di Kabupaten dan Kota Bogor [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 1996-2006. Kota Bogor Dalam Angka Tahun 1995/19962006. BPS Kota Bogor, Bogor. Badan
Pusat Statistik. 1996-2006. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 1995/1996-2006. BPS Jakarta, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 1996-2006. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 1995/1996-2006. BPS Jakarta, Jakarta. Elmi, B. 2002. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Kaitannya Dengan Hutang Luar Negeri Pemerintah Daerah Otonom. UII Press, Yogyakarta. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga, Jakarta. Helmi, A. 2003. Hubungan Antara Belanja dan Penerimaan Daerah: Analisis Menggunakan Data Keuangan Daerah Provinsi Riau [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Iriawan, N. dan S.P. Astuti. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Penerbit Andi, Yogyakarta. Juliani. 2005. Optimasi Upaya Penangkapan Udang di Perairan Delta Mahakam dan Sekitarnya. www.damandiri.or.id/file/julianiipbbab4.pdf. Laboratorium Komputasi Departemen Ilmu Ekonomi FEUI. 2005. Basic Econometrics. Depok. Manurung, J.J. 2005. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Alex Media Komputindo, Jakarta. Nachrowi, N. D. dan H. Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Pasaribu, S., D. Hartono, dan T. Irawan. 2005. Pedoman Penulisan Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pemerintah Kota Bogor. 2006. http://www.kotabogor.go.id. Prakosa, K. B. 2003. Pajak dan Hiburan Daerah. UII Press, Yogyakarta. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Republik Indonesia. 2000. Undang-Undang No. 34 tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Saragih, J. P. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi. Ghalia Indonesia, Indonesia. Sartono, B., F. M. Affendi, U. D. Syafitri, I. M. Sumertajaya, Y. Angraeni. 2003. Modul Teori Analisis Peubah Ganda. Departemen Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sidik, M. 2006. Optimalisasi Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. http://djpkpd.go.id/ publikasi/apbd/pajak-retribusi. Walpole, R. 1995. Pengantar Statistik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yanti, Z.Y. 2004. Analisis Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lampiran