Analisis penerimaan pendapatan asli daerah (pad) kabupaten karanganyar sebelum dan Pada era otonomi daerah
Skipsi Disusun untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
Wahyu Warastuti NIM
F 0102072
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2006
ABSTRAK ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KABUPATEN KARANGANYAR SEBELUM DAN PADA ERA OTONOMI DAERAH WAHYU WARASTUTI F0102072 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar, yaitu dengan membandingkan penerimaan PAD sebelum diberlakukannya Otonomi Daerah (mengambil data dari tahun anggaran 1995/1996 sampai dengan tahun 2000) dan pada era pelaksanaan Otonomi Daerah (data tahun 2001 sampai dengan tahun 2005). Data yang dibutuhkan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik dan instansiinstansi yang terkait seperti Dinas Pendapatan dan Sekretaris Daerah Bagian Anggaran. Hipotesis penelitian ini antara lain mengukur efisiensi, efektivitas, elastisitas PAD dan matrik potensi PAD. Penelitian ini juga menganalisis kontribusi PAD terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan dalam keuangan daerah Kabupaten Karanganyar dengan melihat seberapa besar kontribusi PAD terhadap APBD, serta menganalisis prospek penerimaan PAD lima tahun ke depan. Selain itu, penelitian ini juga menghitung perbedaan penerimaan PAD antara sebelum dan pada saat Otonomi Daerah dilaksanakan. Penelitian ini merupakan survey atas data sekunder yang mengambil lokasi di Kabupaten Karanganyar dengan menggunakan data-data yang telah diolah dan dikumpulkan oleh suatu instansi pemerintah tertentu, dari tahun anggaran 1995/1996 sampai tahun 2005 dan data dari sumber-sumber lain yang terkait yang relevan. Data yang dikumpulkan akan diolah menggunakan beberapa rasio seperti rasio efisiensi, efektivitas, elastisitas, matrik potensi PAD dan rasio kontibusi PAD terhadap penerimaan APBD. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa kinerja PAD Kabupaten Karanganyar dapat dilihat dari berbagai rasio yang diuji. PAD Kabupaten Karanganyar baik sebelum Otonomi Daerah maupun pada era Otonomi Daerah sudah dilaksanakan secara efektif dan efisien, elastisitas PAD terhadap PDRBnya pun bersifat elastis. Namun kontribusi PAD terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar masih kecil, sehingga ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat masih cukup besar. Pertumbuhan PAD selama tahun penelitian yaitu dari tahun anggaran 1996/1997-2005 menunjukkan pertumbuhan yang positif, serta prospek penerimaan PAD 5 tahun kedepan juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang sudah berjalan selama kurang lebih 5 tahun ternyata belum mampu meningkatkan potensi penerimaan PAD, walaupun penerimaan PAD terus mengalami peningkatan setiap tahun namun ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat masih tinggi. Hal ini bisa dilihat dari besarnya Dana Perimbangan yang terdapat dalam APBD Kabupaten Karanganyar. Oleh karena itu, upaya peningkatan penerimaan PAD harus terus dilakukan dengan berbagai cara baik intensifikasi maupun ektensifikasi. Kata Kunci: efisiensi, efektivitas, elastisitas, matrik potensi dan kontribusi.
MOTTO
Hidup tidak selalunya indah.. Langit tak selalu cerah... ....Setitis derita melanda, segunung karuniaNYA.... (Saujana) Berusahalah untuk menemukan hikmah dari setiap musibah... Yakinlah,, bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya. (Q.S Al Baqoroh:286)
Dan Ketahuilah,, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Q.S Al-Insyiroh:6) In tansurullaaha yanshurkum wayutsabbit aqdaamakum.. (Q.S Muhammad:7)
PERSEMBAHAN
Sang Maha SegalaNya.. “Yaa Muqollabil qulub, tsabita qulubina ‘ala diinik”
Kupersembahkan karya ini teruntuk: Ibu &
Bapak tercinta
Atas cinta-kasih yang tiada pernah usang & tergantikan Keluargaku tercinta dan terindu nun jauh di Banjarbaru: Mas Wahyu, Mba’ Yuli, Mas Dany Naurah Asilatin Najla’ &
Thoriq Muhammad Aziz chayank
Betapa mahalnya harga sbuah kebersamaan Kalian adalah anugerah terindah yang pernah kumiliki KATA PENGANTAR
Segala Puji Syukur hanyalah untuk Dzat Yang Maha Sempurna Allah Azza Wa Jalla’ yang atas izinNya-lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Otonomi Daerah dilaksanakan sejak 1 Januari 2001, walaupun sudah berjalan 5 tahun, namun penulis masih tertarik mengambil tema tentang Otonomi Daerah sehingga menulis skripsi yang berjudul ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SEBELUM DAN SAAT ERA OTONOMI DAERAH. Tentunya skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan dan kekurangan penulis dalam mengembangkan topik yang penulis teliti. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi pembaca yang ingin mengadakan penelitian serupa. Saran dan kritik sangat penulis harapkan. Dan penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini: 1. Dra. Salamah Wahyuni, SU selaku Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak-Ibu Dosen Fakultas Ekonomi UNS yang memberi bekal berharga bagi kami, ilmu yang sangat bermanfaat. 3. Dra. Nunung Sri Mulyani selaku dosen pembimbing, atas segala kesabaran, ketulusan dan pengorbanannya. Terima Kasih banyak. 4. Bapak-Ibu karyawan-karyawati FE UNS, atas pelayanan yang tulus.
5. Bapak Widodo,SE dan seluruh jajaran pegawai Dinas Pendapatan Kabupaten Karanganyar, maturnuwun sanget. 6. Bapak Jayus dan seluruh jajaran pegawai Sekretaris Daerah Bagian Keuangan/ Anggaran Kabupaten Karanganyar. Maaf dah sering ngrepotin, Terima Kasih. 7. Seluruh jajaran pegawai BPS Kabupaten Karanganyar. 8. Keluarga Besar trah Eyang Wiryo Pawiro dan trah Eyang Marto Saeran. Matur nuwun donga pangestunipun. 9. Keluarga Besar BPPI FE UNS. Jazakumullah Khoiron Katsiron. Ditunggu Reuni Akbarnya,, Pengurus BPPI smua,, Teruskan perjuangan ini! 10. Keluarga besar KEI FE UNS. Pengurus maupun Sahabat KEI,, Jadilah Mujahid/mujahidah Ekonomi Islam sejati. 11. Keluarga Besar EP FE UNS . Be Better!! EP Gitu loch.. 12. Pak Doddy, Pak Asep, Pak Tri, Pak Riyanto, Mas Yahya, Mas Yuli, 2 Mas Eko, Mas Moko, Mas Endro, Mba Yati, Mba Anik, Mba Hesti, Mba Fera, Mba Chandra dan seluruh staf BTN KCS Solo, Terima kasih atas pengalaman yang berharga. Semoga Sukses! Mas Yuli yang paling sabar, Smoga snantiasa diberi kemudahan, moga cepet dikasih momongan;) Mas Yahya,, jangan sering2 stress ya..Enjoy aja!! Ntar cepet tua lho.. Serta semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih.
Surakarta, Penulis
Juni 2006
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK...................................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................
iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN.........................................
iv
KATA PENGANTAR.................................................................................
v
DAFTAR ISI...............................................................................................
vii
DAFTAR TABEL.......................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
xiii
Bab I.
II.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...............................................................
1
B. Perumusan Masalah.....................................................................
14
C. Tujuan Penelitian.........................................................................
15
D. Manfaat Penelitian.......................................................................
15
TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori............................................................................
17
1. Pembangunan Ekonomi........................................................
17
2. Otonomi Daerah dan Tujuannya..........................................
19
3. Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah...............
27
III.
IV.
4. Pemerintahan Daerah...........................................................
28
5. Pendapatan Daerah dan Aspek-aspeknya.............................
33
6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah...........................
46
B. Hasil Penelitian Sebelumnya.......................................................
51
C. Kerangka Teoritis........................................................................
53
D. Hipotesis Penelitian................................................................... .
57
METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian.........................................................
58
B. Jenis dan Sumber Data..............................................................
58
C. Definisi Operasional Variabel...................................................
59
D. Teknik dan Model Analisis Data...............................................
61
1. Analisis Deskriptif..............................................................
61
2. Analisis Kuantitatif.............................................................
61
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Obyek Penelitian..........................................
74
1. Keadaan Geografis...............................................................
74
2. Keadaaan Penduduk.............................................................
75
3. Pertumbuhan Ekonomi.........................................................
76
4. Produk Domestik Regional Bruto........................................
77
5. Pendapatan Per Kapita.........................................................
80
B. Hasil Analisis.............................................................................
81
1. Analisis Deskriptif................................................................
81
1. Pendapatan Asli Daerah.................................................
81
2. Penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah....................
84
V.
2. Analisis Kuantitatif...............................................................
87
a. Hipotesis 1......................................................................
87
1) Efisiensi PAD...........................................................
87
2) Efektivitas PAD.......................................................
89
3) Elastisitas PAD........................................................
91
4) Matrik Potensi PAD.................................................
94
b. Hipotesis 2: Kontribusi PAD terhadap APBD...............
98
c. Hipotesis 3.....................................................................
100
1) Pertumbuhan PAD...................................................
100
2) Prospek dan Pertumbuhan PAD..............................
102
d. Hipotesis 4: Uji Beda Dua Means.................................
103
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan................................................................................
105
B. Saran..........................................................................................
108
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Matrik Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) ................................ 66 Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kabupaten Karanganyar menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan Tahun 2004 ............................................ 75 Tabel 4.2 Luas Wilayah, Distribusi, Kepadatan dan Pertumbuhan dirinci menurut Kecamatan di Kabupaten Karanganyar Tahun 2004........................................................................................ 76 Tabel 4.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Karanganyar Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1996/1997-2000 dalam persen. ............................................................................................... 76 Tabel 4.4 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Karanganyar Sebelum Otonomi Daerah Tahun 2001-2005 dalam persen ........... 77 Tabel 4.5 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 Kabupaten Karanganyar Tahun 1996/1997-2004 ................................................................................ 77 Tabel 4.6 Kontribusi Sektor-Sektor Ekonomi terhadap Pembentukan PDRB di Kabupaten Karanganyar Sebelum Otda Tahun 1996/1997-2000 (dalam persen)........................................................ 78 Tabel 4.7 Kontribusi Sektor-Sektor Ekonomi terhadap Pembentukan PDRB di Kabupaten Karanganyar Saat Otda Tahun 20012005 (dalam persen) .......................................................................... 79 Tabel 4.8 Rata-Rata Pendapatan Per Kapita Penduduk Kabupaten Karanganyar Tahun 1996/1997-2004................................................ 80 Tabel 4.9 Realisasi Penerimaan Pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar Tahun 1996/1997-2005 ............................. 82 Tabel 4.10 Target dan Realisasi Pajak Daerah Kabupaten Karanganyar Sebelum Otda (1996/1997-2000) dan Pada Saat Otda (2001-2005) ....................................................................................... 83 Tabel 4.11 Target dan Realisasi Retribusi Daerah Kabupaten Karanganyar Sebelum Otda (1996/1997-2000) dan Pada Saat Otda (2001-2005) ...................................................................... 84
Tabel 4.12 Realisasi Penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Sebelum Otda ............................................ 85 Tabel 4.13 Realisasi Penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Saat Otda ................................................... 86 Tabel 4.14 Efisiensi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Otda (Tahun 1996/1997-2005)................................................................... 88 Tabel 4.15 Efektivitas Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Otda (Tahun 1996/1997-2005)................................................................... 90 Tabel 4.16 Rata-Rata Efektivitas PAD Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Pelaksanaan Otda (1996/19972005).................................................................................................. 91 Tabel 4.17 Elastisitas Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Otda (Tahun 1996/1997-2005)................................................................... 92 Tabel 4.18 Kontribusi PAD terhadap Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Otda (Tahun 1996/1997-2005) .................................................. 99 Tabel 4.19 Pertumbuhan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Otda (Tahun 1996/1997-2005)................................................................. 101 Tabel 4.20 Perhitungan Trend PAD Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Pelaksanaan Otda (1996/1997-2005)....................... 102 Tabel 4.21 Prospek Penerimaan PAD Kabupaten Karanganyar 5 Tahun Mendatang....................................................................................... 103 Tabel 5.1 Tabel Kesimpulan Analisis Penerimaan PAD Kabupaten Karanganyar Sebelum Otonomi Daerah (1996/1997-2000) dan Pada Era Otonomi Daerah (2001-2005)..........................
105
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran.....................................................
56
Gambar 3.1 Kurva Distribusi Normal Efisiensi...........................................
62
Gambar 3.2 Kurva Distribusi Normal Efektivitas.......................................
63
Gambar 3.3 Kurva Distribusi Normal Elastisitas........................................
65
Gambar 3.4 Kurva Distribusi Normal Kontribusi.......................................
68
Gambar 3.5 Kurva Distribusi Normal Pertumbuhan...................................
70
Gambar 3.6 Kurva Distribusi Normal ........................................................
72
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 1996/1997.
Lampiran 2
Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 1997/1998.
Lampiran 3
Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 1998/1999.
Lampiran 4
Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 1999/2000.
Lampiran 5
Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2000.
Lampiran 6
Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2001.
Lampiran 7
Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2002.
Lampiran 8
Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2003.
Lampiran 9
Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2004
Lampiran 10
Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2005.
Lampiran 11
Matrik Potensi Pajak Daerah Sebelum Otonomi Daerah.
Lampiran 12
Matrik Potensi Pajak Daerah Saat Era Otonomi Daerah.
Lampiran 13
Matrik Potensi Retribusi Daerah Sebelum Otonomi Daerah.
Lampiran 14
Matrik Potensi Retribusi Daerah Saat Era Otonomi Daerah.
Lampiran 15
Surat Ijin Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan nasional tidak bisa lepas dari pembangunan yang dilaksanakan di daerah-daerah yang ada di seluruh Indonesia. Sejak Kemerdekaan Republik Indonesia merdeka sampai dengan keruntuhan Orde Baru, pembangunan yang dilaksanakan atas dasar Otonomi Daerah belum terlaksana sebagaimana mestinya. Hal ini karena pelaksanaan pemerintahan yang terpusat, sehingga kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri belum dimiliki oleh pemerintah daerah. Padahal sejak tahun 1974 telah ada UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dimana didalamnya mengatur tentang pelaksanaan Desentralisasi. Berdasarkan konsepnya, penerapan desentralisasi pada masa lalu menitikberatkan pada peranan dan tanggungjawab pemerintah daerah kepada pemerintah pusat untuk menjalankan pembangunan nasional. Sehingga pemerintah daerah cenderung memegang ketaatan penuh terhadap instruksi pemerintah pusat daripada memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerahnya. Hal tersebut terjadi karena tujuan pelaksanaan otonomi daerah pada masa itu adalah untuk meningkatkan koordinasi dan integrasi nesional untuk memantapkan stabilitas dan pembangunan nasional. Di Era Reformasi, untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang mandiri maka Pemerintah Pusat mengambil kebijakan desentralisasi atau yang
biasa dikenal dengan Otonomi Daerah. Untuk mendukung legalitas kebijakan Otonomi Daerah pemerintah menetapkan 2 (dua) Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Momentum reformasi adalah saat yang tepat bagi realisasi Otonomi Daerah, dan merupakan kesempatan menentukan pilihan yang tepat mengenai bentuk pemerintahan di daerah serta mengupayakan pengembangan potensi sumber daya daerah agar dapat terangkat dalam era globalisasi. Berdasarkan undang-undang tersebut, pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi Otonomi Daerah dijabarkan dalam Penjelasan Umum UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999: Misi utama dari kedua undang-undang tersebut bukan hanya pada keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya Keuangan Daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyelenggaraan pemerintah pada umumnya dan proses pengelolaan Keuangan Daerah pada khususnya. Dari kedua Undang-Undang tersebut diatur tentang titik berat Otonomi Daerah yaitu terletak pada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dengan pertimbangan bahwa Pemerintah Daerah dan Kota yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat. Sehingga diharapkan aspirasi masyarakat di Daerah atau Kota dapat tersampaikan dan terpenuhi.
Penyerahan urusan-urusan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah atau Kota dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan Daerah atau Kota yang bersangkutan. Dengan demikian, isi Otonomi itu berbeda antara daerah/kota yang satu dengan lainnya. Selain titik berat diatas, otonomi juga memberikan dampak yang besar terhadap peran pemerintah daerah. Karena dengan otonomi maka pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam mengatur rumah tangganya sendiri dalam otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Selain itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Otonomi nyata merupakan keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang hidup dan berkembang di daerah. Sedang otonomi yang bertanggungjawab maksudnya ialah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekwensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Mardiasmo (2002) kebijakan pemberian otonomi daerah dan desentralisasi
merupakan langkah strategis Pemerintah Pusat dalam
mengatasi permasalahan lokal bangsa Indonesia yang berupa kemiskinan, pemerataan distribusi pendapatan yang tidak merata, dan masalah peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah. Selain hal itu, otonomi daerah dan desentralisasi juga ditujukan dalam rangka menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah. Dengan ditetapkan kedua undang-undang diatas, Pemerintah Daerah kabupaten/kota dituntut untuk lebih proaktif dan kreatif dalam membangun daerahnya masing-masing. Selain itu, Otonomi Daerah merupakan sebuah peluang dan tantangan baru bagi pemerintah kabupaten/kota untuk membangun daerahnya secara optimal setelah peran pemerintah pusat mulai berkurang. Masyarakat diharapkan juga lebih aspiratif dalam memberikan kontribusinya dalam pembangunan di daerahnya masing-masing. Pemerintah harus mempunyai kesiapan untuk melaksanakan kedua undang-undang tersebut. Otonomi Daerah merupakan jalan terbaik dalam rangka mendorong pembangunan daerah menggantikan konsep pembangunan terpusat yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai penyebab lambannya pembangunan daerah dan membesarnya ketimpangan antar daerah. Otonomi Daerah berarti adanya keleluasaan dan wewenang bagi daerah untuk mengembangkan potensi penerimaan daerah pada satu sisi dan keleluasaan untuk menyusun daftar prioritas pembangunan disisi lainnya, yang mana hal itu akan dapat mendorong percepatan pembangunan daerah.
Menurut UU No. 22 Tahun 1999, tujuan dari Otonomi Daerah diarahkan untuk meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Sedangkan menurut UU No. 25 Tahun 1999, penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah diharapkan mampu untuk meningkatkan efektifitas dan
efisiensi
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pelayanan
kepada
masyarakat. Salah satu pertimbangan yang ada dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang menyangkut masalah penyelenggaraan Otonomi daerah, yaitu perlunya penekanan pada pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi, serta penggalian potensi dan keanekaragaman daerah. Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah. Sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Dengan demikian, peran Pemerintah Pusat masih diperlukan dalam kerangka pengawasan jalannya Otonomi Daerah di daerah. Hanya saja bentuk campur tangan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah jauh berkurang karena kewenangan keuangan dan pengelolaan sepenuhnya berada di tangan Pemerintah Daerah.
Sebagaimana penjelasan dalam kedua Undang-Undang diatas maka pelaksanaan Otonomi Daerah ditandai dengan adanya desentralisasi kewenangan
(power
sharing)
dan
desentralisasi
keuangan
(fiscal
decentralization) yang dilaksanakan secara penuh sejak 1 Januari 2001. Pelaksanaan Otonomi Daerah dapat diwujudkan dengan adanya pemberian kewenangan yang luas, nyata serta bertanggungjawab kepada Pemerintah Daerah secara proporsional yang dilengkapi dengan berbagai petunjuk mengenai peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta aspek Perimbangan antara Pusat dan Daerah. Seiring dengan perkembangan kebutuhan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kedua undang-undang tersebut disempurnakan dan diganti dengan undang-undang yang baru, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Masih kecilnya kontribusi Pendapatan Asli Derah (PAD) sebagai barometer tingkat kemandirian daerah dalam menjalankan amanat Otonomi Daerah,
sesuai
mengharuskan
dengan
Undang-Undang
Pemerintah
Daerah
secara
Nomor terus
32
Tahun
menerus
2004,
berupaya
meningkatkan PAD sebagai sumber utama pendapatan daerah, secara wajar dan dapat dipertanggungjawabkan dengan memperhatikan kondisi masyarakat yang menjadi subyek PAD. Otonomi
Daerah
menuntut
adanya hubungan
harmonis
antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut Davey (1982) dalam Sri Kaniyati (2001) dikatakan terjalin hubungan antara keduanya apabila:
a. Adanya pembagian wewenang yang rasional antara tingkat-tingkat pemerintahan mengenai peningkatan sumber-sumber pendapatan dan penggunaannya. b. Pemerintah Daerah memiliki sumber-sumber dana yang cukup, sehingga dapat menjalankan tugas atau fungsi dengan baik (penyediaan dana untuk menutup kebutuhan rutin dan pembangunan). c. Pembagian yang adil antara pembelanjaan daerah yang satu dengan yang lain. d. Pemerintah Daerah dalam mengusahakan pendapatan melalui Pajak dan Retribusi Daerah sesuai dengan pembagian yang adil terhadap keseluruhan beban pengeluaran pemerintah. Implementasi pelaksanaan Otonomi Daerah akan dapat berhasil jika memperhatikan 5 (lima ) kondisi strategis berikut: (i) Self Regulatoring Power, yaitu kemampuan mengatur dan melaksanakan Otonomi Daerah demi kepentingan masyarakat di daerahnya; (ii) Self Modifying Power, berupa kemampuan menyesuaikan terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai dengan kondisi daerah, termasuk terobosan inovatif ke arah kemajuan dalam menyikapi potensi daerah; (iii) Creating Local Political Support, dalam arti penyelenggaraan pemerintah daerah yang mempunyai legitimasi kuat dari masyarakatnya baik dari Kepala Daerah eksukutif maupun DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif; (iv) Managing Financial Resource, dalam arti mampu mengembangkan kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan dan keuangan guna pembiayaan aktivitas pemerintahan pembangunan dan pelayanan masyarakat, serta (v) Developing
Brain Power, dalam arti membangun Sumber Daya Manusia yang handal dan selalu bertumpu pada kapabilitas penyelesaian masalah (Rasyid dan Paragoan dalam Mulyanto, 2003:3). Selain kondisi strategis diatas, keberhasilan Otonomi Daerah menurut Yosef Riwukaho (1998: 129) ditentukan oleh 4 (empat) faktor berikut: (i) faktor sumber daya manusia sebagai subyek penggerak; (ii) faktor keuangan yang merupakan indikasi “derajat kemandirian suatu pemerintah daerah” untuk mengatur, membiayai dan rumah tangganya sendiri; (iii) faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung ; serta (iv) faktor organisasi dan manajemen. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan penyelenggaraan Otonomi Daerah, seperti yang dikemukakan Syamsi dalam Erlita Dewi (2003) sebagai berikut : faktor-faktor tersebut adalah : kemampuan struktural organisasinya,
kemampuan
aparatur
daerah,
kemampuan
mendorong
partisipasi masyarakat dan kemampuan keuangan daerah, diantara faktorfaktor tersebut, faktor keuangan merupakan faktor penting untuk mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Dikatakan demikian,
karena
pelaksanaan
otonomi
daerah
yang
nyata
dan
bertanggungjawab harus didukung dengan tersedianya dana guna pembiayaan pembangunan. Maka daerah otonom diharapkan mempunyai pendapatan sendiri untuk membiayai penyelenggaraan urusan rumah tangganya, hal ini sejalan dengan pendapat Pamudji yang menyatakan bahwa pemerintahan daerah tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan, faktor
keuangan inilah merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Menurut Mardiasmo (2002), dalam upaya pemberdayaan pemerintahan daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah adalah sebagai berikut: 1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik/masyarakat. 2. Misi pengelolaan keuangan daerah harus jelas. 3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran instansi yang terkait dalam pengelolaan keuangan daerah. 4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan
uang
daerah
berdasarkan
kaidah
mekanisme
pasar,
transparansi dan akuntabilitas. 5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan pihak-pihak yang terkait. 6. Ketentuan-ketentuan yang diperlukan seperti bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi-tahunan. 7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional. 8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, dan akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran dan transparansi anggaran kepada publik. 9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparatur pemerintah daerah. 10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah.
Dengan beberapa tuntutan diatas, pemerintah daerah memegang peran penting dalam pelaksanaan desentralisasi yang merupakan strategi baru. Dengan desentralisasi tersebut diharapkan akan mampu menghasilkan pemerintah daerah yang efisien, efektif, akuntabel, transparan dan responsif secara berkisinambungan. Sebagai wujud dari implementasi Otonomi Daerah yang lain adalah penerapan desentralisasi fiskal yang menimbulkan permasalahan dalam pembagian keuangan antara pusat dan daerah (Machfud Sidik, 2000). Hal ini berarti pemberian bantuan dari pemerintah pusat yang menjadi sumber utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mulai berkurang dan yang menjadi sumber utamanya adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang ideal adalah apabila setiap tingkat pemerintah dapat independen di bidang keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing. Adapun kewenangan yang dimiliki daerah otonom antara lain (Mulyanto, 2003): a. Kewenangan dalam mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya
dan
bertanggungjawab
untuk
memelihara
kelestarian
lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. b. Kewenangan di wilayah laut, meliputi: (i) Eksplorasi; (ii) Pengaturan kepentingan administratif; (iii) Pengaturan tata ruang; (iv) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya
oleh
Pemerintah;
dan
(v)
Bantuan
penegakan keamanan dan kedaulatan Negara. Kewenangan daerah
kabupaten dan kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah propinsi. c. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota, sebagaimana yang dimuat dalam UU No. 22/1999, meliputi 10 bidang yaitu: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Terkait dengan masalah kewenangan ini, Pasal 84 UU No. 22/1999 juga telah menyebutkan bahwa daerah dapat memiliki BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan proses pembentukannya diatur dengan Peraturan Daerah. Perubahan
yang
luas
dan
mendasar
merupakan
implementasi
pelaksanaan Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan demikian, akan terjadi perbedaan dalam tata keuangan daerah. Hal ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada tiap-tiap Pemerintah Daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah agar dapat membiayai pembangunan secara adil dan proporsional. Keberhasilan tiap daerah akan ditentukan oleh manajemen masing-masing Pemerintah Daerah dalam mengatur keuangan daerahnya. Reformasi keuangan daerah ini juga terkait dengan perubahan sumbersumber pembiayaan pemerintah daerah yang meliputi perubahan sumbersumber penerimaan keuangan daerah. Dimensi reformasi keuangan daerah tersebut adalah: (1) Perubahan kewenangan daerah dalam pemanfaatan dana perimbangan keuangan; (2) Perubahan prinsip pengelolaan anggaran
keuangan daerah; (3) Perubahan prinsip penggunaan dana pinjaman daerah dan defisit spending; (4) Perubahan strategi pembiayaan. Penerimaan Pemerintah Daerah dapat diketahui secara rinci dari keadaan keuangan daerah. Karakteristik umum keuangan daerah sebagai berikut (Harrord R. Alderfer , 1964 dalam Dhinaryati, 2003): 1. Sangat minimnya porsi pendapatan derah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum di daerah. 2. Sebagian besar pendapatan daerah berasal dari sumbangan atau subsidi Pemerintah Pusat. 3. Kontribusi Pajak Daerah dan komponen PAD lainnya terhadap penerimaan daerah total sangat kecil karena hampir semua pajak di daerah telah dijadikan Pajak Pusat yang dipungut oleh Pemerintah Pusat. 4. Terdapat kontrol yang luas oleh Pemerintah Pusat terhadap keuangan daerah. Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber penerimaan daerah yang dimilikinya sesuai dengan aspirasi masyarakat. Pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan sumber penerimaan daerah agar tidak mengalami defisit keuangan. Hal inilah yang melatarbelakangi upaya Pemerintah Daerah untuk terus menggali potensi daerah yang ada terutama dengan menggenjot penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu aspek penting bagi suatu daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Permasalahan yang biasa muncul terletak pada asumsi dan
pemahaman yang salah yaitu pelaksanaan otonomi daerah identik dengan upaya peningkatan PAD melalui peningkatan tarif-tarif, khususnya untuk pos pajak daerah dan retribusi daerah. Apabila konsep ini tertanam di benak masyarakat maka asumsi yang ada di masyarakat bahwa hakikat pelaksanaan otonomi daaerah sebagai upaya peningkatan PAD dengan menggali potensi daerah yang berarti akan membebankan tarif-tarif itu pada masyarakat. Penggalian potensi PAD tanpa harus menambah beban masyarakat menjadi prioritas utama bagi pemerintah kabupaten/kota. Dengan begitu partisipasi aktif masyarakat diharapkan akan mampu mewujudkan upaya peningkatan PAD. Selanjutnya, penelitian ini akan meninjau penerimaan PAD dengan melakukan penilaian terhadap efisiensi,efektivitas, elastisitas, matrik potensi dan kontribusi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran
Pendapatan dan Belanja (APBD) Kabupaten Karanganyar yang sudah melaksanakan Otonomi Daerah sejak UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 ditetapkan. Untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupatan Karanganyar penulis
memilih waktu sebelum dan pada era
Otonomi Daerah dilaksanakan agar dapat diketahui dengan jelas perbandingan antara kedua era tersebut. Selain itu, akan di analisis prospek penerimaan PAD selama lima tahun ke depan untuk mengetahui perkembangan dan pertumbuhan PAD lima tahun mendatang. Untuk pemilihan lokasi penelitian yaitu Kabupaten Karanganyar, karena Kabupaten Karanganyar merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari kawasan pembangunan SUBOSUKAWONOSRATEN yang mempunyai
pengelolaan keuangan daerah dan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup baik. Selain itu, Kabupaten Karanganyar merupakan daerah yang bisa dijangkau oleh peneliti bila dibanding daerah lainnya baik dari segi dana, waktu, tenaga dan sebagainya. Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini akan mengkaji ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KABUPATEN
KARANGANYAR
SEBELUM
DAN
PADA
ERA
OTONOMI DAERAH.
B. Perumusan Masalah Sehubungan dengan uraian diatas, maka terdapat berbagai permasalahan yang ada, namun permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana evaluasi penerimaan PAD dalam pelaksanaan Otonomi Daerah jika dikaitkan dengan Efisiensi, Efektivitas, Elastisitas dan Matrik Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Karanganyar sebelum dan pada era Otonomi Daerah dan pengujiannya secara statistik? 2. Seberapa besar kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja
Daerah
(APBD)
Kabupaten
Karanganyar sebelum dan pada era Otonomi Daerah serta pengujian secara statistik? 3. Bagaimana tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar sebelum dan era Otonomi Daerah dengan analisis pertumbuhan dan uji secara statisitik serta bagaimana prospek pertumbuhan penerimaan PAD 5 tahun mendatang?
4. Bagaimanakah perbandingan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) antara sebelum dan pada era Otonomi Daerah?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan yang diteliti, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menghitung efisiensi, efektivitas, dan elastisitas PAD
Kabupaten
Karanganyar sebelum dan pada era Otonomi Daerah. 2. Untuk mengukur kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten
Karanganyar sebelum dan pada era Otonomi Daerah. 3. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar baik pada masa sebelum dan pada era Otonomi Daerah serta prospek pertumbuhan penerimaan PAD 5 tahun mendatang. 4. Untuk membandingkan tingkat penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebelum dan pada era Otonomi Daerah di Kabupaten Karanganyar.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai melalui Analisis Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sebelum dan
Pada Era Otonomi Daerah Kabupaten
Karanganyar, yaitu: 1. Digunakan untuk mengevaluasi sejauh mana keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Karanganyar.
2. Digunakan untuk mengevaluasi penerimaan PAD dilihat dari berbagai rasio seperti: Efisiensi, Efektivitas, Elastisitas, Matrik Potensi dan rasio Kontribusi
penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten
Karanganyar sebelum dan pada era Otonomi Daerah. 3. Digunakan untuk memperluas wawasan pemikiran mengenai ekonomi perencanaan regional, khususnya jika dikaitkan dengan penyusunan dan kebijakan pembangunan daerah. 4. Digunakan sebagai bahan masukan bagi perumus kebijakan (Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar) dalam rangka penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga tercipta pemerintahan yang Good Governance. 5. Digunakan sebagai bahan acuan bagi penelitian selanjutnya yang ingin mengembangkan lebih dalam lagi tentang keuangan daerah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Pembangunan Ekonomi a. Pengertian Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses perbaikan yang bersifat dinamis dan berkesinambungan dari suatu masyarakat atau sistem sosial yang membawa perubahan dan peningkatan keadaan dari yang sederhana ke tingkat yang lebih maju (Mudrajad Kuncoro, 1997:37). Sedangkan
Todaro
(2000)
memberi
pengertian
bahwa
pembangunan adalah suatu proses yang multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan yang mendasar dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan nasional seperti adanya percepatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan nasional, pengurangan kesenjangan sosial dan pemberantasan kemiskinan absolut. Pembangunan ekonomi adalah proses yang akan berdampak terjadinya kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam
jangka panjang
yang disertai
oleh
kelembagaan yang ada (Lincolin Arsyad, 1996:16).
perbaikan
sistem
b. Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam suatu pemerintahan, sudah selayaknya Pemerintah Daerah membuat perencanaan matang baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan perencanaan tersebut diharapkan untuk dapat memperbaiki penggunaan sumber daya publik yang tersedia di daerah yang bersangkutan dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam
menciptakan
nilai
sumber
daya
swasta
secara
bertanggungjawab. Perencanaan Ekonomi Daerah setidaknya membawa tiga implikasi pokok (Lincolin Arsyad, 1999:133): 1) Perencanaan
pembagunan
ekonomi
daerah
yang
realistis
memerlukan pemahaman tentang hubungan antar daerah dengan lingkungan nasional secara nasional (vertikal dan horisontal) dimana daerah tersebut merupakan bagian darinya, keterkaitan secara mendasar antar keduanya dan konsukuensi akhir dari interaksi tersebut. 2) Perencanaan yang baik secara nasional belum tentu baik untuk digunakan di daerah dan sebaliknya. 3) Perbedaan
perangkat
kelembagaan
yang
tersedia
untuk
pembangunan daerah dan pusat, selain itu derajat pengambilan kebijakan yang sangat berbeda. Oleh karena itu, perencanaan daerah yang efektif harus bisa membedakan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang dapat dilakukan dengan menggunakan sumber daya yang dimilikinya agar diperoleh manfaat maksimal.
c. Pembangunan Daerah di Era Otonomi Daerah Pembangunan Ekonomi Daerah merupakan suatu proses dimana Pemerintah Daerah dan masyarakat secara bersama-sama mengelola sumber daya yang ada di daerah tersebut dan membentuk suatu pola kemitraan dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan aktivitas ekonomi dalam wilayah tersebut (Lincolin Arsyad, 1999:108) Dengan
Otonomi
Daerah
memungkinkan
daerah
untuk
mendapatkan keleluasaan dan kewenangan pemerintahan mulai dari perencanaan, evaluasinya
pelaksanaan, secara
pengawasan,
nyata
dan
pengendalian
bertanggungjawab.
hingga Dengan
pembangunan ekonomi yang efisien dan efektif daerah ini diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di daerah menuju kemandirian daerah dan kemajuan daerah.
2. Otonomi Daerah dan Tujuannya a. Otonomi Daerah Otonomi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti aturan. Sedang menurut istilah otonomi adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus
rumah
tangganya
sendiri
sesuai
dengan
kemampuannya. Amran Muslimin mengatakan otonomi itu termasuk salah satu dari asas-asas pemerintahan negara, dimana pemerintah suatu negara dalam pelaksanaan kepentingan umum untuk mencapai
tujuan. Disamping itu, Ateng Syafruddin mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atas kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kemerdekaan terbatas atau kemandirian itu merupakan wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Berdasarkan Pasal 1 UU No. 32/2004, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud Daerah Otonom berdasarkan Pasal 1 UU No. 34/2004 selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat
setempat
menurut
prakarsa
sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Sistem Otonomi Daerah Peninjauan dan telaah tentang Otonomi Daerah terus dilakukan oleh para ahli, sehingga teridentifikasi empat sistem pembentuk Otonomi Daerah (Josef Riwu Kaho dalam Rina Ika Sari, 2001): 1) Sistem Residu (Teori Sisa) Menurut Josef Riwu kaho (1997) karakteristik sistem residu ini yaitu telah ditentukannya tugas-tugas yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga Pemerintah Daerah. Sistem ini dianut oleh beberapa
negara-negara di Kawasan Eropa seperti Perancis, Belgia, Belanda dan sebagainya. Sistem ini mempunyai keunggulan dan kelemahan. Adapun kelebihannya adalah bahwa Pemerintah Daerah tidak perlu menunggu perintah dari Pemerintah Pusat apabila timbul permasalahan yang dihadapi daerah. Pemerintah Daerah dapat dengan sigap dan cepat mengambil keputusan mengenai persoalan yang dihadapi ataupun dalam menentukan kebijakan baru sesuai kebutuhan daerah. Sedangkan kelemahannya adalah kondisi obyektif dari masing-masing daerah yang tidak bisa disamaratakan. Bagi daerah yang mempunyai kemampuan lebih, bisa terjadi tugas-tugas yang diberikan terlalu sempit dibandingkan potensi yang dimiliki daerah itu. Sebaliknya, bagi daerah yang kemampuannya terbatas akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persoalan yang sama. 2) Sistem Formal Karakteristik sistem ini yaitu adanya pembagian tugas berdasarkan pertimbangan efisiensi. Dalam sistem formal ini, urusan rumah tangga daerah tidak secara apriori ditetapkan dengan undang-undang. Daerah diperbolehkan mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asalkan tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya. Sehingga ada pembagian tugas dan kewenangan. Urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya, tidak dapat diatur dan diurus lagi oleh daerah. Dengan perkataan lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya. 3) Sistem Material Dalam sistem ini, tugas Pemerintah daerah ditetapkan satu per satu secara limitatif atau rinci. Tugas/urusan di luar garis yang telah ditentukan merupakan urusan Pemerintah Pusat. Sistem ini banyak diterapkan oleh negara-negara Anglo Saxon, terutama Inggris dan Amerika Serikat. Indonesia pernah menerapkan sistem material ini pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan Staatblad Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950. Dalam sistem ini, setiap perubahan tugas dan wewenang daerah, baik yang bersifat pengurangan maupun penambahan harus dilakukan melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Sistem ini dianggap kurang fleksibel karena memungkinkan suatu urusan menjadi terbengkalai disebabkan Pemerintah Daerah harus menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Padahal pada saat Pemerintah Daerah menunggu proses penyerahan secara resmi, Pemerintah Pusat sudah tidak menangani atau melepaskan urusan tersebut.
4) Sistem Otonomi Riil Dalam sistem ini, faktor yang nyata atau riil kebutuhan dan kemampuan daerah yang dijadikan landasan dalam pembagian urusan, tugas dan kewenangan kepada Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat juga melihat pertumbuhan yang terjadi di daerah sehingga dapat diketahui perkembangan jalannya pemerintahan di daerah. Hal ini memungkinkan adanya pelimpahan wewenang yang selama ini menjadi kewenangan Pemerintah Pusat untuk dijalankan Pemerintah Daerah sesuai dengan kapabilitasnya. Demikian pula sebaliknya, suatu saat tugas yang menjadi wewenang Pemerintah Daerah bisa diserahkan kembali kepada Pemerintah Pusat. Sistem inilah yang diterapkan di Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 yang disempurnakan dengan PenPres Nomor 5 Tahun 1960 kemudian disempurnakan lagi dangan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. c. Tujuan Otonomi Daerah Tujuan Otonomi Daerah dibedakan dari dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dari kepentingan Pemerintah Pusat tujuan utamanya adalah pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik, dan mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah. Sementara,
bila dilihat dari kepentingan Pemerintah Daerah ada tiga tujuan, yaitu (Smith, 1985 dalam Abdul Halim, 2004:23): 1) Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality, artinya melalui Otonomi Daerah diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal atau daerah. 2) Untuk menciptakan local accountability, artinya dengan Otonomi Daerah
akan
meningkatkan
kemampuan
daerah
dalam
memperhatikan hak-hak masyarakat. 3) Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan Otonomi Daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah
yang
muncul
sekaligus
meningkatkan
akselerasi
pembangunan sosial dan ekonomi daerah. Tujuan ini juga hampir sama dengan yang termaktub dalam UU No. 22/1999 yaitu Otonomi Daerah diarahkan untuk memacu pemerataan
pembangunan
dan
hasil-hasilnya
sehingga
dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu secara nyata, dinamis dan bertanggungjawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk kordinasi tingkat lokal. Sedangkan menurut Jimi Moh. Ibrahim (1990) dalam Rina Ika Sari (2001) tujuan Otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah
yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Mardiasmo (2005:59) memaparkan tujuan Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi
masyarakat
(publik)
untuk
berpartisipasi
dalam
proses
pembangunan. Kesemua tujuan itu tentunya menuntut Pemerintah Daerah untuk menyiapkan sumber daya atau potensi daerah, terutama Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal yang akan berperan sebagai motor penggerak jalannya pemerintahan daerah. Oleh karena itu, penting bagi Pemerintah Daerah untuk menyiapkan SDM yang mampu menjalankan peran penting ini dengan berbagai bentuk pelatihan. d. Prinsip Otonomi Daerah Pada hakikatnya prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Menurut penjelasan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah: 1) Penyelenggaraan
Otonomi
Daerah
dilaksanakan
dengan
memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah. 2) Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. 3) Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota, sedang Otonomi Propinsi merupakan otonomi yang terbatas. 4) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar daerah. 5) Pelaksanaan
Otonomi
Daerah
harus
lebih
meningkatkan
kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Kota tidak ada lagi wilayah administrasi, demikian pula di wilayah-wilayah khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, yang berlaku adalah ketentuan peraturan Daerah Otonom. 6) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan Legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, pengawas,
maupun
fungsi
anggaran
atas
penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. 7) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah
kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan
dan
mempertanggungjawabkan
kepada
yang
menugaskannya.
3. Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah timbul karena adanya pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan oleh badan-badan yang disusun secara bertingkat. Hal ini didorong oleh kebutuhan nyata ketatanegaraan dan administrasi negara, karena tugas-tugas pemerintah yang semakin banyak dan menjangkau daerah yang luas kemungkinan kecil akan diselesaikan dengan baik apabila hanya dipusatkan ditangan satu tingkat pemerintahan saja. Pembentukan undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintahan Daerah yang diatur dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing- masing tingkat pemerintahan. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat
dan
Pemerintah Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan
dengan
memperhatikan
Perimbangan
keuangan
potensi, kondisi, dilaksanakan
dan
sejalan
kebutuhan dengan
daerah.
pembagian
kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, pengaturan perimbangan keuangannya bukan hanya mencakup aspek Pendapatan Daerah tetapi juga mengatur aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya.
4. Pemerintahan Daerah Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan Pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia tahun 1945. Asas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu: a. Asas Dekonsentrasi Yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Asas Dekonsentrasi Merupakan pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah.
c. Asas Tugas Pembantuan Yaitu penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Terdapat enam elemen utama yang membentuk pemerintahan daerah, yaitu (Made Suwandi, 2000): a. Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. b. Adanya kelembagaan yang merupakan wadah dari otonomi yang diserahkan kepada daerah. c. Adanya personil, yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah yang bersangkutan. d. Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan Otonomi Daerah. e. Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakilwakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah. f. Adanya manajemen urusan otonomi, yaitu penyelenggaraan otonomi daerah agar dapat berjalan secara efisien, efektif, ekonomis, dan akuntabel. Tujuan utama dari penataan tersebut adalah untuk memberdayakan Pemerintah Daerah agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya
secara ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel. Ekonomis adalah bagaimana Pemerintah Daerah mampu menjalankan urusan otonominya dengan berbagai pertimbangan ekonomis yaitu memilih dari berbagai alternatif yang terbaik dari sudut total pembiayaan. Tujuan ekonomis ini akan
menghilangkan
kesan
pemborosan
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan daerah, baik dalam kegiatan rutin maupun pembangunan dari setiap urusan. Hal ini akan menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah bersikap kompetitif dalam upaya memberikan nilai tertinggi bagi setiap rupiah uang rakyat yang dipergunakan. Efektif mengandung arti bahwa dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya Pemerintah Daerah dapat mencapai sasaran yang direncanakan, di mana sasaran dan tujuan yang ingin dicapai oleh Pemerintah Daerah harus terukur dan ada standar yang jelas. Tujuan dalam konteks efektif ini adalah meningkatkan kepekaan Pemerintah Daerah dalam menentukan tujuan atau sasaran dari setiap urusan otonomi yang dilaksanakannya. Kejelasan sasaran tersebut akan menunjukkan sejauh mana Pemerintah Daerah dapat menangkap aspirasi dan mengimplementasikan tuntutan dan dukungan masyarakat daerah yang bersangkutan. Efisien mengandung arti bahwa output yang dihasilkan dari setiap penyelenggaraan urusan otonomi tercapai dengan sumber daya yang minimal. Tujuannya adalah menciptakan citra bahwa Pemerintah Daerah akan selalu hemat dalam mempergunakan sumber daya baik yang berupa pegawai, uang, peralatan dan tata kerja dalam menjalankan tugas pokoknya.
Akuntabel mengutamakan
mengandung kepentingan
makna
bahwa
warganya
Pemerintah
Daerah
dengan
jalan
mempertanggungjawabkan pelaksanaan otonominya kepada masyarakat melalui wakil-wakil rakyat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendidikan politik masyarakat lokal yang pada gilirannya secara menyeluruh menyumbangkan pendidikan politik secara nasional. Menurut Lincolin Arsyad (1999:170) sedikitnya terdapat empat peran serta Pemerintah Daerah terhadap pembangunan daerahnya: a. Wirausaha (Enterpeneur) Sebagai wirausaha, Pemerintah Daerah bertanggungjawab dalam menjalankan dan mengembangkan usaha bisnis, dalam hal ini yaitu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Aset-aset yang dimiliki BUMD dikelola dengan lebih baik secara ekonomis dan menguntungkan. b. Kordinator Pemerintah Daerah sebagai kordinator dapat menetapkan kebijakan atau mengusulkan strategi dalam pembangunan di daerahnya. Dalam peranannya ini Pemerintah Daerah dapat melibatkan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dunia usaha dan masyarakat dalam penyusunan sasaran, perencanaan dan strategi dalam pembangunan daerah. c. Fasilitator Pemerintah Daerah dapat mempercepat pembangunan melalui perbaikan lingkungan perilaku atau budaya masyarakat di daerahnya. Hal ini akan mempercepat proses pembangunan dan prosedur perencanaan serta pengaturan penetapan daerah yang lebih baik.
d. Stimulator Sebagai
stimulator
Pemerintah
Daerah
memberikan
stimulasi/rangsangan dalam penciptaan dan pengembangan usaha melalui
tindakan-tindakan
khusus
yang
akan
mempengeruhi
perusahaan-perusahaan untuk masuk dan berinvestasi di daerah tersebut. Berdasarkan kedua undang-undang tentang otonomi daerah, maka pemerintah daerah kabupaten/kota diberi kewenangan yang utuh dan bulat untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat ini, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya. Salah satunya berkaitan dengan pergeseran orientasi pemerintah, dari command and control menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik. Orientasi ini akan menjadi dasar bagi pelaksanaan peran pemerintah diatas, yaitu sebagai strimulator, fasilitator, kordinator, dan enterpreneur (wirausaha) dalam proses pembangunan. Dalam era Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalitas aparaturnya. Hal ini sangat penting untuk mengantisipasi perubahan-perubahan faktor eksternal yang akan terjadi. Untuk itu, Pemerintah Daerah perlu memperbaiki mekanisme rekruitmen pegawai, meninjau kembali metode pendidikan dan pelatihan pegawai, memperbaiki reward and punishment system, meningkatkan gaji dan kesejahteraan pegawai.
5. Pendapatan Daerah dan Aspek-aspeknya a. Sumber-Sumber Penerimaan Daerah Berdasarkan ketentuan pasal 79 Undang-Undang No.22 Tahun 1999 junto pasal 3 Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 menyatakan bahwa sumber pendapatan dan penerimaan daerah bersumber dari: 1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) PAD terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan , serta lain-lain PAD yang sah. Peningkatan penerimaan PAD merupakan upaya pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi fiskal. Dengan peningkatan PAD ini ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat dapat berkurang, sehingga meningkatkan otonomi dan keleluasaan daerah (local discretion). Langkah penting yang harus dilakukan Pemerintah Daerah adalah menghitung potensi riil PAD yang dimiliki daerah. Untuk itu diperlukan metode penghitungan potensi PAD yang sistematis dan rasional. 2) Dana Perimbangan Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 25 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 14 Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Sumber-sumber dana yang berasal dari pos Dana Perimbangan, antara lain: a) Bagian Hasil Daerah Bagian Hasil Daerah dapat berasal dari Penerimaan pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) dan penerimaan dari sumber daya alam. b) Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka palaksanaan desentralisasi. DAU digunakan
Untuk menjaga pemerataan antar daerah
yang besarnya minimal 25% dari penerimaan Dalam Negeri dalam APBN dengan perimbangan 10% untuk Propinsi dan 90% untuk Kabupaten/Kota. Penentuan besarnya DAU untuk masing-masing daerah dilakukan dengan memperhatikan: (1) kebutuhan daerah yang tercermin dari jumlah penduduk, luas wilayahnya, keadaan geografis, dan tingkat pendapatan masyarakat dan (2) potensi ekonomi daerah yang tercermin dari potensi penerimaan daerah seperti potensi industri, SDA, SDM, dan PDRB. c) Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus
tertentu. Kebutuhan khusus
yang dimaksud menggunakan
kriteria: (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus Dana Alokasi Umum; dan/atau (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. DAK dialokasikan untuk membantu pembiayaan kebutuhan tertentu, yaitu yang merupakan program nasional, atau merupakan kegiatan/program yang tidak terdapat di daerah lain. Dana ini termasuk yang berasal dari dana reboisasi sebesar 40% untuk daerah. Program yang dibiayai dengan Dana Alokasi Khusus harus disertai dengan dana pendamping yang bersumber dari APBD. 3) Pinjaman Daerah Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Daerah dapat melakukan pinjaman
dari
sumber dalam negeri maupun luar negeri untuk membiayai anggarannya. Pinjaman dalam negeri dapat bersumber dari Pemerintah Pusat, Lembaga Keuangan Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank, masyarakat, dan sumber lainnya. 4) Sumber Lain Pendapatan Daerah yang Sah Lain-lain penerimaan daerah yang sah, antara lain bersumber dari: hibah, dana darurat dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pengelolaan Pendapatan Daerah Pendapatan Daerah merupakan sumber utama penerimaan daerah kabupaten/kota setempat, oleh karena itu diperlukan beberapa kriteria standar penilaian sumber penerimaan tersebut, yaitu: 1) Kriteria bagi hasilnya harus mencukupi Yaitu mengoptimalkan penerimaan sehingga bisa
mencukupi
keperluan pemerintah daerah. 2) Kriteria adil dan pemerataan Kriteria ini dapat dilihat dari beberapa dimensi, yaitu: a) tegak lurus (tingkat atau besar pendapatan); b) mendatar (sumber pungutan dikenakan); c) geografis (menyangkut lokasi dimana pungutan
itu
dikenakan).
Kriteria
ini
mempertimbangkan
kemanfaatan penerimaan yang diterima dan memperhatikan kemampuan membayar seseorang terhadap suatu pungutan. 3) Kriteria kemampuan administrasi Kriteria ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing daerah kabupaten/kota dalam mengelola penerimaan daerah. Untuk
penerimaan
Pajak
dan
Retribusi
Daerah
masih
menggunakan perangkat-perangkat yang sederhana. 4) Kriteria pengaruh pajak terhadap ekonomi Yang perlu diperhatikan adalah efek terhadap alokasi sumber penerimaan, sebab ada beberapa pungutan yang dapat mengurangi kemampuan berproduksi dan investasi, ada pula yang mendorong
kegiatan produksi dan investasi. Segi efisiensinya adalah pungutan yang mendorong kegiatan ekonomi. Selain kriteria diatas, ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai Pajak dan Retribusi Daerah sebagai komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Modul PUOD, 1998:16-17 yaitu: 1) Hasil (Yield) Yaitu memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya dengan bebagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan besarnya hasil pajak/retribusi tersebut. 2) Keadilan (Equity) Yaitu adanya prinsip adil baik secara vertikal maupun horisontal dari pungutan yang ditetapkan. Adil secara horisontal yaitu beban pajak harus sama antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama, sedangkan adil secara vertikal yaitu beban pajak harus lebih banyak ditanggung oleh kelompok yang memiliki sumber daya yang lebih besar. 3) Efisiensi Ekonomi Pajak/Retribusi Daerah harus dapat mendorong adanya efisiensi dan efektivitas dalam kehidupan ekonomi. 4) Kemampuan melaksanakan (Ability to implement) Yaitu kemampuan pemerintah daerah untuk melaksanakan program-program dalam pemungutan Pajak/Retribusi Daerah.
5) Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (Suitability as local revenue source) c. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari daerah itu sendiri dengan memberdayakan potensi daerah yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PAD terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan , serta lain-lain PAD yang sah. Peningkatan penerimaan PAD merupakan alat untuk meningkat kan Pendapatan Asli Masyarakat (PAM). Terkait dengan hal ini, maka pemerintah daerah kabupaten/kota harus saling membantu untuk mengembangkan berbagai cara dan pendekatan supaya dapat meningkatkan
kemampuan
dan
kapasitas
daerahnya
sehingga
meningkatkan aktivitas perekonomian daerahnya. Hal ini didasarkan pada pengertian bahwa pembangunan daerah, peningkatan PAD dan pada akhirnya peningkatan PAM tidak terlepas dari konteks pembangunan ekonomi daerah tersebut. Beberapa program yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota untuk mencapai tujuan di atas (Mulyanto, 2003) antara lain: 1) Menyiapkan berbagai bentuk dan produk berupa Peraturan Daerah (Perda) guna merangsang aktivitas ekonomi di daerahnya, baik yang dilakukan oleh masyarakat setempat maupun mengundang pelaku ekonomi atau investor dari luar daerahnya.
2) Membentuk dan membangun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai alat untuk meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah, dan juga sebagai sarana untuk mendorong peningkatan PAD di daerahnya. 3) Memanfaatkan setiap peluang untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara optimal termasuk upaya
menjalin
kerjasama
dengan
pihak
lain
seperti
badan/lembaga usaha melalui penyertaan modal/aset daerah. 4) Sosialisasi program peningkatan aktivitas ekonomi daerah dalam rangka peningkatan PAD pada khususnya dan peningkatan PAM pada umumnya melalui berbagai bentuk pelatihan dan diskusi yang relevan dan mendukung sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang terdiri dari: a). Hasil Pajak Daerah Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah (Pasal 1 UU No.
34 Tahun 2000). Menurut Kaho pajak daerah adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk Public Investment. Penentuan tarif dan tata cara pemungutan pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) sesuai perundangundangan yang berlaku. Sedangkan Davey (1982) dalam Erlita Dewi (2003) mengemukakan pendapatnya tentang pajak daerah yaitu : 1) Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan peraturan daerah sendiri. 2) Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tapi pendapatan tarifnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah. 3) Pajak yang dipungut atau ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. 4) Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat tetapi pungutannya kepada, dibagi hasilkan dengan atau dibebani pungutan tambahan (opsen) oleh Pemerintah Daerah. Untuk sumber penerimaan Pajak Daerah Kabupaten Karanganyar diperoleh dari: i)
Pajak Hotel
ii)
Pajak Restoran
iii)
Pajak Hiburan
iv)
Pajak Reklame
v)
Pajak Penerangan Jalan
vi)
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Gol. C
vii)
Pajak Parkir
b). Hasil Retribusi Daerah Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Sebagaimana pajak daerah, penentuan tarif dan tata cara pemungutan retribusi daerah juga ditetapkan berdasarkan Perda yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Rochmat Sumitra mengatakan bahwa retribusi adalah pembayaran kepada negara yang dilakukan kepada mereka yang menggunakan jasa-jasa negara, artinya retribusi daerah sebagai pembayaran atas pemakain jasa atau kerena mendapat pekerjaan usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau jasa yang diberikan oleh daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, setiap pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah senantiasa berdasarkan pelayanan dan jasa yang diberikan kepada masyarakat, sehingga keluasaan retribusi daerah terletak pada yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Jadi retribusi sangat berhubungan erat dengan jasa layanan yang diberikan pemerintah kepada yang membutuhkan. Apabila pemerintah meningkatkan tarif retribusi maka harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan.
Pembayaran retribusi oleh masyarakat menurut Davey (1982) dalam Sri Kaniyati (2002) adalah : 1) Dasar untuk mengenakan retribusi biasanya harus didasarkan pada biaya total (total cost) dari pada pelayanan-pelayanan yang disediakan 2) Dalam beberapa hal retribusi biasanya harus didasarkan pada kesinambungan harga jasa suatu pelayanan, yaitu atas dasar mencari keuntungan. Disamping itu menurut Kaho, ada beberapa ciri-ciri retribusi yaitu : 1) Retibusi dipungut oleh negara. 2) Dalam pungutan terdapat pemaksaan secara ekonomis. 3) Adanya kontraprestasi yang secara langsung dapat ditunjuk. 4) Retribusi yang dikenakan kepada setiap orang/badan yang menggunakan/mengenyam jasa-jasa yang disediakan oleh negara. Obyek Retribusi Daerah sendiri terdiri atas tiga golongan seperti yang disebutkan dalam pasal 18 Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 sebagai pengganti Undang-Undang 18 Tahun 1997 yaitu: 1) Jasa Umum, yaitu jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah
untuk
tujuan
kepentingan
atau
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan usaha.
2) Jasa Usaha, adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial, karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor usaha/swasta. 3) Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang
dimaksudkan
untuk
pembinaan,
pengaturan,
pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Sedangkan sumber penerimaan Retribusi Daerah Kabupaten Karanganyar diperoleh dari: i)
Retribusi Pelayanan Kesehatan
ii)
Retribusi Kebersihan
iii)
Retribusi Penggantian Cetak KTP
iv)
Retribusi Cetak Akte Catatan Sipil
v)
Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
vi)
Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum
vii)
Retribusi Pasar
viii)
Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
ix)
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
x)
Retribusi Jasa Usaha Terminal
xi)
Retribusi Jasa Usaha Tempat Khusus Parkir
xii)
Retribusi Jasa Usaha Penyedotan Kakus
xiii)
Retribusi Jasa Usaha Rumah Potong Hewan
xiv)
Retribusi Jasa Usaha Tempat Rekreasi dan Olah Raga
xv)
Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan
xvi)
Retribusi Ijin Gangguan
xvii)
Retribusi Ijin Trayek
xviii)
Retribusi Ijiin Peruntukan Penggunaan Tanah
xix)
Retribusi Ijin Lembaga Pelatihan Kerja
xx)
Retribusi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja
xxi)
Retribusi Ijin Usaha Perdagangan
xxii)
Retribusi Ijin Usaha Industri
xxiii)
Retribusi Tanda Daftar Gudang
xxiv)
Retribusi Tanda Daftar Perusahaan
xxv)
Retribusi Ijin Penggilingan Padi
xxvi)
Retribusi Ijin Usaha Jasa Konstruksi
xxvii)
Retribusi Ijin sarana Kesehatasn Swasta
xxviii)
Retribusi Pemeriksaan Kualitas Lingkungan Lab. DKK
xxix)
Retribusi Pelayanan Administrasi
Retribusi bagi daerah merupakan sumber penerimaan yang penting dalam komponen PAD, bahkan di beberapa jenis penerimaan ini memberikan hasil yang lebih besar dibandingkan pajak. c). Hasil Perusahaan Milik Daerah Penerimaan ini berasal dari laba Perusahaan Air minum (PDAM), Perusahaan Daerah Bank Pasar, Perusahaan Daerah Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Perusahaan Daerah Bank Kredit Desa (BKD) dan berasal dari laba Perusahaan Daerah Apotik Sukowati. d). Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Penerimaan ini antara lain bersumber dari laba peneyertaan modal pada koperasi dan bagian laba atas perkuatan modal pada usaha kecil. e). Sumber-Sumber Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Lain-lain PAD yang sah antara lain bersumber dari hasil penjualan aset tetap daerah, jasa giro, sumbangan pihak ketiga, penerimaan bunga deposito, dan lain sebagainya. Untuk penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah biasanya memberikan pemasukan terbesar terhadap penerimaan PAD. Antara kedua jenis penerimaan ini mempunyai persamaan maupun perbedaan. Persamaannya yaitu terletak pada balas jasa yang diberikan pada wajib bayar (pajak/retribusi) pungutan tersebut. Pada pungutan Pajak, si wajib pajak tidak secara langsung mendapatkan balas jasa/imbalan dari pemerintah, karena biasanya bentuk imbalannya berupa penambahan sarana prasarana. Sedang pada retribusi bagi wajib bayar secara langsung memperoleh balas jasa dari adanya pungutan yang dikenakan padanya. Persamaan antara kedua jenis pungutan baik Pajak maupun Retribusi Daerah antara lain sebagai berikut: 1) Retribusi dan Pajak sama-sama berfungsi budgetair terhadap penerimaan Pemerintah Daerah, sehingga tanpa memperhatikan
ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh kedua jenis pungutan tersebut maka keduanya merupakan bagian dari penerimaan untuk mengisi keuangan atau kas daerah. 2) Seperti halnya pajak, bagi Pemerintah Daerah retribusi juga berfungsi sebagai pengatur, sehingga penetapan retribusi sedapat mungkin mempunyai arah yang dikehendaki. 3) Sebagai pungutan terhadap masyarakat, baik retribusi maupun pajak mempunyai dasar hukum pemungutannya, sehingga wajib bayar dapat dikenakan sanksi apabila tidak membayar pungutan dari pihak berwenang menurut ketentuan yang berlaku.
6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan penjelasan Pasal 1 PP N0. 105 Tahun 2000 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Dengan demikian, pemungutan semua Penerimaan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Semua Pengeluaran Daerah yang membebani Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD, sehingga APBD menjadi dasar bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan Keuangan Daerah.
Dalam rangka pelaksanaan anggaran daerah PAD merupakan komponen yang diharapkan memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah. Penggunaan anggaran daerah khususnya dalam pengelolaan keuangan daerah ini pada hakekatnya merupakan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang meliputi tiga kegiatan berikut: (i) Penyusunan Rancangan APBD; (ii) Pengesahan APBD dan (iii) Pelaksanaan APBD. Pemerintah daerah merupakan pelaku pokok terpenting dalam upaya pengembangan potensi ekonomi daerah. Dengan demikian pemerintah daerah diberi kebebasan untuk menentukan prioritas pembangunan daerah selama tetap memperhatikan keseimbangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dengan demikian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi keanekaragaman daerah. Atas dasar tersebut, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hendaknya mengacu pada norma dan prinsip anggaran sebagai berikut: a. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintah yang baik, bersih dan bertanggungjawab. Hal ini karena anggaran daerah merupakan sarana
evaluasi atas pencapaian kinerja dan tanggungjawab pemerintah menyejahterakan
masyarakat,
maka
APBD
haruslah
dapat
memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Selain itu, penggunaan dana yang diperoleh harus dapat dipertanggungjawabkan. b. Disiplin Anggaran Anggaran yang disusun harus berlandaskan asas efisiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemilahan antara belanja rutin dan pembangunan harus diklasifikasikan secara jelas agar tidak terjadi pemborosan dan kebocoran dana. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan di setiap pos merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. c. Keadilan Anggaran Pembiayaan pemerintah daerah harus dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk itu, pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil dan merata agar dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa adanya diskriminasi dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat.
d. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran, maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang diprogramkan. e. Format Anggaran Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran defisit (deficit budget format). Selisih antara pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. Apabila terjadi surplus, daerah dapat membentuk dana cadangan, sedangkan bila terjadi defisit maka dapat ditutupi melalui sumber pembiayaan pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Melalui reformasi anggaran, diharapkan terjadi perubahan struktur anggaran dan perubahan proses penyusunan APBD. Perubahan struktur anggaran dilakukan untuk mengubah struktur anggaran tradisional yang bersifat line item dan inkrementalisme sehingga dapat menciptakan transparansi dan meningkatkan akuntabilitas publik. Dengan struktur anggaran yang baru, akan tampak secara jelas besarnya surplus dan defisit anggaran serta strategi pembiayaan apabila terjadi defisit fiskal sehingga publik lebih mudah melakukan analisis, evaluasi, dan pengawasan atas pelaksanaan dan pengelolaan APBD.
Reformasi anggaran juga berkaitan dengan perubahan proses penyusunan APBD menjadi lebih partisipatif. APBD dalam era otonomi daerah berdasarkan PP No. 105 Tahun 2000 disusun dengan pendekatan kinerja, artinya sistem anggaran yang mengutamakan pencapaian hasil kinerja atau luaran (output) dari perencanaan alokasi biaya yang telah ditetapkan. Dengan demikian, diharapkan penyusunan dan pengalokasian anggaran dapat lebih disesuaikan dengan skala prioritas dan preferensi daerah yang bersangkutan. Penerapan anggaran kinerja secara normatif ditetapkan melalui Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, namun pada kenyataannya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Dalam beberapa hal, penerapan sistem anggaran kinerja telah memberikan celah bagi masyarakat untuk melihat proses penyusunan anggaran, namun daerah masih tetap bergantung pada pusat dalam penyusunannya. Di sisi lain, penentuan skala prioritas dalam penyusunan anggaran belum tampak secara jelas. Anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientasi pada kepentingan masyarakat. APBD juga seharusnya dapat menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap unit kerja Pemerintah Daerah. Dalam anggaran kinerja, unit kerja pemerintah daerah diharuskan untuk mengidentifikasi secara spesifik output dan hasil (outcome) yang akan dicapai dari program. Pada
praktiknya, hal ini mungkin sudah dilakukan oleh setiap unit kerja dewasa ini. Anggaran kinerja juga memungkinkan pengalokasian anggaran bagi program-program yang secara signifikan terkait dengan pencapaian visi dan misi daerah. Penggunaan anggarannya bisa saja dipusatkan pada satu unit kerja sebagai leading sector, tetapi dalam pelaksanaan program, aparat dari unit kerja lain yang terkait bisa saja diperbantukan pada leading sector tersebut. Dengan demikian, diharapkan anggaran kinerja juga berperan dalam merasionalisasikan
birokrasi
Pemerintah
Daerah
sehingga jumlah
aparaturnya dapat disesuaikan dengan beban kerja dari setiap program. Upaya ini dapat membantu mengatasi kemungkinan defisit anggaran sehingga pertimbangan pengalokasian anggaran benar-benar didasarkan pada value for money, bukan sekadar bagi-bagi anggaran bagi setiap unit kerja jika memang programnya tidak terlampau signifikan dengan skala prioritas (Dede Marliana, 2005)
B. Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian Sebelumnya dilakukan oleh Drs. Thamrin Simanjuntak (1999) dalam Abdul Halim (2001) dengan penelitiannya yang berjudul Analisis Potensi PAD Kabupaten Simalungun Sumatra Utara. Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa setiap daerah mempunyai wewenang untuk menggali sumber keuangannya sendiri dengan melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)nya.
Dalam rangka peningkatan PAD perlu dihitung dengan indikator keuangan yang terdiri dari: Daya Pajak, Efektivitas, Efisiensi dan Elastisitas. Sedangkan untuk menganalisa potensi sumber-sumber PAD perlu juga diketahui beberapa variabel yang tidak dapat dikendalikan seperti: kondisi awal daerah, peningkatan cakupan, perkembangan PDRB perkapita riil, pertumbuhan penduduk, tingkat inflasi, penyesuaian tarif, pembangunan baru, sumber pendapatan baru dan perubahan peraturan. Dan perhitungan potensi PAD dapat dilakukan dengan menganalisa potensi tersebut baik dari segi makro maupun mikro. Ramdan Ruhadi Dedy (2000) dalam Abdul Halim (2001) juga mengadakan penelitian serupa dengan judul Upaya Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Diperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan PAD yang baik adalah pengelolaan PAD yang mampu meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan. Upaya intensifikasi pendapatan daerah dapat dilaksanakan melalui
berbagai
kegiatan
yang
mencakup
aspek
kelembagaan,
ketatalaksanaan dan personal. Sedangkan upaya ekstensifikasi masih dimungkinkan sepanjang tidak bertentangan dengan kebijaksanaan pokok nasional dari Undang-Undang No. 34 Tahun 2000. Penelitian tentang peranan PAD dilakukan oleh Raksaka Mahi (2005). Dari penelitiannya dapat diketahui bahwa dengan peningkatan PAD seharusnya mampu mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan dana dari Pemerintah Pusat. Sedangkan besarnya penerimaaan PAD
yang diperoleh tergantung dari kemampuan manajemen pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah. Dyah Arsih Purwanti (2003) mengadakan Studi mengenai Potensi, Efisiensi dan Efektivitas Pajak Hotel dan Restoran dalam Upaya Peningkatan PAD Karanganyar 2003. Diperoleh kesimpulan bahwa pemungutan pajak hotel dan restoran belum mencapai tingkat efisiensi sebagaimana yang diharapkan karena pemungutan Pajak Hotel dan Restoran yang belum optimal. Dan tingkat efektivitas dari kedua potensi Pajak Hotel dan Restoran juga kurang efektif karena pemerintah daerah setempat belum mengetahui secara pasti potensi yang ada. Sedangkan Titik Wijayanti (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pemungutan Retribusi Daerah Kabupaten Sukoharjo Periode 1994/1995-1999/2000 menyimpulkan bahwa pemungutan Retribusi Daerah selama tahun penelitian di Kabupaten Sukoharjo sudah efektif dan efisien. Namun, perkembangan upaya Retribusi Daerah menunjukkan kecenderungan perubahan setiap tahun yang bersifat negatif. Dan elastisitas perubahan penerimaan Retribusi Daerah terhadap PAD secara kseseluruhan bersifat inelastis.
C. Kerangka Teoritis Untuk memudahkan menguraikan permasalahan yang akan diteliti maka diperlukan suatu kerangka pemikiran yang tersusun rapi dan terarah dengan kerangka pembahasan yang sistematis.
Pelaksanaan Otonomi Daerah merupakan amanat yang terkandung dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Berdasarkan Kedua Undang-Undang tersebut pemerintah mulai mengimplementasikan Otonomi Daerah sejak 1 Januari 2001. Beberapa peraturan pendukung disiapkan untuk menyempurnakan aturan yang jelas dan terarah tentang Otonomi Daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sarana untuk mengukur kemampuan daerah dalam membiayai aktivitas ekonomi daerah yang bersangkutan. Pemerintah Daerah diharapkan mampu untuk menggali potensi yang ada di daerahnya masing-masing dan meningkatkan penerimaan PAD tanpa mengurangi kualitas pelayanan dan tanpa eksploitasi yang berlebihan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 diketahui sumber-sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah berasal dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Perusahaan Daerah, Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan Sumber penerimaan PAD lain yang sah. Untuk mengukur kinerja PAD dilakukan penilaian terhadap potensi PAD dengan berbagai indikator keuangan seperti: efisiensi, efektivitas, elastisitas, matrik potensi dan kontribusinya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Efisiensi merupakan perbandingan antara input yang digunakan dengan output yang dihasilkan, dalam hal efisiensi PAD maka efisiensi ini
menghitung perbandingan antara biaya pemungutan PAD dan hasil penerimaan PAD yang diperoleh. Efektivitas PAD merupakan rasio antara realisasi penerimaan PAD dengan target yang diharapkan, sehingga efektivitas PAD mengukur sejauh mana kemampuan pemerintah daerah merealisasikan target penerimaan PAD yang telah direncanakan. Sedangkan elastisitas PAD merupakan ukuran derajat kepekaan terhadap suatu perubahan dari salah satu komponen
yang
mempengaruhinya.
Elastisitas
PAD
dihitung
dari
perbandingan antara perubahan penerimaan PAD dengan perubahan Produk Domestik Regional Bruto sebagai salah satu komponen yang berpengaruh terhadap penerimaan PAD. Dan tidak ketinggalan pula untuk mengukur potensi penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah dengan menggunakan Matrik Potensi PAD dengan mengetahui pertumbuhan dan proporsi ayat Pajak Dan Retribusi Daerah terlebih dahulu kemudian diklasifikasikan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan. Dari beberapa penilaian tersebut
dapat
diketahui apakah penerimaan PAD yang diperoleh sudah optimal ataukah belum. Berdasarkan penerimaan PAD maka akan dapat diketahui tingkat ketergantungan daerah tersebut terhadap bantuan dari Pemerintah Pusat. Penerimaan PAD yang tinggi akan mencerminkan kemandirian daerah dalam memenuhi kebutuhan keuangan daerahnya. Dengan kemampuan mengelola keuangan daerah yang baik maka akan dapat menjalankan pembangunan daerah dengan baik pula.
Dasar Hukum: - Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. - Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah diganti dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004.
Sumber-Sumber Penerimaan PAD: 1. Pajak Daerah 2. Retribusi Daerah 3. Hasil Perusahaan Daerah 4. Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan 5. Sumber penerimaan lain yang sah
Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Efisiensi PAD
Elastisitas PAD
Matrik Potensi PAD
Efektivitas PAD
Kontribusi PAD terhadap APBD
Penerimaan PAD Optimal
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran
D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, maka hipotesis yang dalam penelitian ini adalah: 1. Kabupaten Karanganyar diduga mempunyai tingkat efisiensi, efektivitas, elastisitas dan Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi baik sebelum maupun pada saat era Otonomi Daerah yang diuji secara statistik. 2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) diduga memberikan kontribusi yang besar terhadap Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Karanganyar yang diuji secara statistik. 3. Tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar dari tahun ke tahun diduga mengalami peningkatan dan prospek pertumbuhan penerimaan PAD selama 5 tahun ke depan juga meningkat. 4. Diduga tidak ada perbedaan berarti antara tingkat penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebelum dan pada saat Otonomi Daerah di Kabupaten Karanganyar.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan survey atas data sekunder yang mengambil lokasi di Kabupaten Karanganyar dengan menggunakan data-data yang telah diolah dan dikumpulkan oleh suatu instansi pemerintah tertentu, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pendapatan Daerah dan Sekretaris Daerah Bagian Anggaran/Keuangan. Data yang digunakan meliputi data Karanganyar Dalam Angka dari tahun anggara 1996/1997 sampai tahun 2005, data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku dan harga konstan Kabupaten Karanganyar periode tahun anggaran 1996/1997 sampai dengan tahun 2005, data Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari tahun anggaran 1996/1997 sampai tahun 2005 dan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 1996/1997 sampai tahun 2005 dan data dari sumber-sumber lain yang terkait dan relevan.
B. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data sekunder yang telah diolah dan diperoleh dari berbagai sumber yang diambil dari badan/instansi pemerintah Kabupaten Karanganyar seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Bagian Anggaran Sekretaris Daerah dan Dinas Pendapatan Daerah.
C. Definisi Operasional Variabel Ada beberapa indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat keuangan daerah. Definisi operasional masing-masing variabel adalah sebagai berikut: 1. Pajak Daerah Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai pemerintah daerah dan pembangunan daerah yang dinyatakan dengan satuan rupiah. 2. Retribusi Daerah Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembiayaan atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan yang dinyatakan dengan satuan rupiah. 3. Target Pajak/Retribusi Daerah Target Pajak/Retribusi Daerah adalah angka yang ditentukan oleh pemerintah daerah sebagai angka yang harus dicapai oleh Pajak/Retribusi Daerah pada suatu tahun anggaran tertentu yang dinyatakan dengan satuan rupiah. 4. Realisasi Pajak/Retribusi Daerah Realisasi Pajak/Retribusi Daerah adalah angka yang didapat setelah dilakukan
pemungutan
Pajak/Retribusi
Daerah
terhadap
wajib
Pajak/Retribusi Daerah selama tahun anggaran tertentu yang dinyatakan dengan satuan rupiah. 5. Biaya Pemungutan/Insentif Biaya Pemungutan PAD merupakan pengeluaran yang dikeluarkan oleh Dinas Pendapatan Daerah untuk merealisasikan PAD yang dihitung dalam satuan rupiah. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 903/2429/SJ perihal Pedoman
Penyususunan
APBD
Tahun
Anggaran
2006
Dan
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2005, biaya pemungutan
hanya
dibebankan
pada
pendapatan
pajak
daerah.
Sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah Pasal 76 ayat 1 yang telah menegaskan bahwa dalam rangka kegiatan pemungutan Pajak Daerah dapat diberikan biaya pemungutan paling tinggi sebesar 5 %. 6. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai dari seluruh produksi barang dan jasa yang dihasilkan dari berbagai aktivitas ekonomi dari suatu daerah sendiri dalam suatu kurun waktu satu tahun yang dihitung dalam satuan rupiah. 7. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang berasal dari sumber-sumber pendapatan daerah yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah dan lain-lain PAD yang sah yang dinyatakan dengan satuan rupiah.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah yang berlaku yang dinyatakan dengan satuan rupiah. D. Teknik dan Model Analisis Data 1. Analisis Deskriptif Dengan menggunakan analisis deskriptif diharapkan akan memberikan gambaran dan informasi yang jelas tentang variabel-variabel yang digunakan dalam menganalisis kinerja penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 2. Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif digunakan untuk mengkaji penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar.Untuk tujuan tersebut digunakan beberapa hipotesis seperti yang telah diuraikan diatas dengan menggunakan beberapa alat analisis berikut: 1) Hipotesis 1 Hipotesis 1 menguji kinerja Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menggunakan
berbagai rasio, adapun formula yang digunakan
adalah sebagai berikut: a) Efisiensi = Biaya Pemungutan PAD X 100 % Hasil Penerimaan PAD Secara statistik diuji dengan uji beda dua means (Djarwanto PS, 1993:211):
(i) Hipotesis Ho : m1 = m2 Jika tidak terdapat perbedaan tingkat efisiensi sebelum dan pada era Otonomi Daerah Hipotesis H1 : m1 ¹ m2 Jika terdapat perbedaan berarti mengenai tingkat efisiensi sebelum dan pada era Otonomi Daerah. (ii) Menentukan level of Significance (a) = 0,05 dan t (a/2;n-1) (iii) Kriteria Pengujian H0 ditolak
H0 ditolak
H0 diterima
-t(a/2;n-1)
t(a/2;n-1)
Gambar 3.1 Kurva Distribusi Normal Efisiensi Jika –ttabel £ thitung £ ttabel, berarti Ho diterima dan H1 ditolak juga sebaliknya jika thitung > ttabel atau thitung < -ttabel maka Ho ditolak dan H1 diterima. (iv) Perhitungan nilai t
`D = S D n SD =
S (D - `D)2 n–1
maka t =
`D___ SD / Ön
Dimana: `D
= mean dari harga D1 / harga setiap pasang nilai
SD = deviasi standar dari harga-harga D1 / harga perbedaan setiap pasang nilai n
= banyaknya pasangan nilai
(v) Kesimpulan Apakah H0 diterima dan H
1
ditolak ataukah sebaliknya Ho
ditolak dan H1 diterima.
b) Efektivitas = Realisasi Target
X 100 %
Secara statistik diuji dengan uji beda dua means (Djarwanto PS, 1993:211): (i) Hipotesis Ho : m1 = m2 Jika tidak terdapat perbedaan tingkat efektivitas sebelum dan pada era Otonomi Daerah Hipotesis H1 : m1 ¹ m2 Jika terdapat perbedaan berarti mengenai tingkat efektivitas sebelum dan pada era Otonomi Daerah. (ii) Menentukan level of Significance (a) = 0,05 dan t (a/2;n-1) (iii) Kriteria Pengujian
H0 ditolak
-t(a/2;n-1)
H0 ditolak H0 diterima
t(a/2;n-1)
Gambar 3.2 Kurva Distribusi Normal Efektivitas
Jika –ttabel £ thitung £ ttabel, berarti Ho diterima dan H1 ditolak juga sebaliknya jika thitung > ttabel atau thitung < -ttabel maka Ho ditolak dan H1 diterima. (iv) Perhitungan nilai t
`D = S D n SD =
S (D - `D)2 n–1
maka t =
`D___ SD / Ön
Dimana: `D
= mean dari harga D1 / harga setiap pasang nilai
SD = deviasi standar dari harga-harga D1 / harga perbedaan setiap pasang nilai n
= banyaknya pasangan nilai
(v) Kesimpulan Apakah H0 diterima dan H
1
ditolak ataukah sebaliknya Ho
ditolak dan H1 diterima.
c) Elastisitas = % Penerimaan PAD % PDRB Secara statistik diuji dengan uji beda dua means (Djarwanto PS, 1993:211): (i) Hipotesis Ho : m1 = m2 Jika tidak terdapat perbedaan tingkat elastisitas sebelum dan pada era Otonomi Daerah
Hipotesis H1 : m1 ¹ m2 Jika terdapat perbedaan berarti mengenai tingkat elastisitas sebelum dan pada era Otonomi Daerah. (ii) Menentukan level of Significance (a) = 0,05 dan t (a/2;n-1) (iii) Kriteria Pengujian H0 ditolak
H0 ditolak
H0 diterima
-t(a/2;n-1)
t(a/2;n-1)
Gambar 3.3 Kurva Distribusi Normal Elastisitas Jika –ttabel £ thitung £ ttabel, berarti Ho diterima dan H1 ditolak juga sebaliknya jika thitung > ttabel atau thitung < -ttabel maka Ho ditolak dan H1 diterima. (iv) Perhitungan nilai t
`D = S D n S (D - `D)2 n–1
SD =
maka t =
`D___ SD / Ön
Dimana: `D
= mean dari harga D1 / harga setiap pasang nilai
SD = deviasi standar dari harga-harga D1 / harga perbedaan setiap pasang nilai n
= banyaknya pasangan nilai
(v) Kesimpulan Apakah H0 diterima dan H
1
ditolak ataukah sebaliknya Ho
ditolak dan H1 diterima.
d) Matrik Potensi PAD Untuk melihat potensi PAD dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat dilihat pada matrik potensi PAD dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai berikut : Tabel 3.1 Matrik Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Proporsi
X1 >1 rata 2
X1 <1 rata 2
DX 1 >1 DX total
Prima
Berkembang
DX 1 <1 DX total
Potensial
Terbelakang
Pertumbuhan
Catatan: X1 : Nilai Pajak dan Retribusi Daerah X : Jumlah Total Pajak dan Retribusi Daerah D : Pertumbuhan Sumber: Wihana kirana dalam Dirjen PUOD. (1997/1999). Modul Manajemen Madya: Penataran Manajemen Sektor Ekonomi Strategis. Yogyakarta: P3EB-UGM, hal 29.
Hasil perhitungan Matrik Potensi PAD akan dikelompokkan berdasarkan kategori sebagai berikut: 1) Prima,
yaitu
apabila
Pajak/Retribusi
Daerah
tersebut
mempunyai rasio tingkat pertumbuhan terhadap pertumbuhan total Pajak/Retribusi Daerah dan rasio proporsi nilai
Pajak/Retribusi Daerah terhadap rata-ratanya yang lebih besar dari satu. 2) Berkembang, yaitu apabila Pajak/Retribusi Daerah mempunyai rasio tingkat pertumbuhan terhadap total Pajak/Retribusi Daerah lebih besar dari satu dan mempunyaio proporsi nilai Pajak/Retribusi Daerah terhadap rata-ratanya kurang dari satu. 3) Potensial, yaitu manakala Pajak/Retribusi Daerah tersebut mempunyai rasio tingkat pertumbuhan terhadap pertumbuhan total Pajak/Retribusi Daerah yang kurang dari satu dan memiliki rasio proporsi nilai Pajak/Retribusi Daerah terhadap rata-ratanya yang lebih besar dari satu. 4) Terbelakang apabila Pajak/Retribusi Daerah mempunyai rasio tingkat
pertumbuhan
terhadap
pertumbuhan
total
Pajak/Retribusi Daerah dan proporsi nilai Pajak/Retribusi Daerah terhadap rata-ratanya kurang dari satu atau bernilai negatif.
2) Hipotesis 2 Hipotesis 2 yaitu menguji kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan menggunakan formula berikut: Rasio kontribusi PAD terhadap APBD = %PAD x 100% % APBD Diuji secara statistik dengan menggunakan uji beda dua means (Djarwanto PS, 1993:211):
(i) Hipotesis Ho : m1 = m2 Jika tidak terdapat perbedaan tingkat kontribusi PAD sebelum dan pada era Otonomi Daerah Hipotesis H1 : m1 ¹ m2 Jika terdapat perbedaan berarti mengenai tingkat kontribusi PAD sebelum dan pada era Otonomi Daerah. (ii) Menentukan level of Significance (a) = 0,05 dan t (a/2;n-1) (iii) Kriteria Pengujian H0 ditolak
H0 ditolak
H0 diterima
-t(a/2;n-1)
t(a/2;n-1)
Gambar 3.4 Kurva Distribusi Normal Kontribusi Jika –ttabel £ thitung £ ttabel, berarti Ho diterima dan H1 ditolak juga sebaliknya jika thitung > ttabel atau thitung < -ttabel maka Ho ditolak dan H1 diterima. (iv) Perhitungan nilai t
`D = S D n S (D - `D)2 n–1
SD =
maka t =
`D___ SD / Ön
Dimana: `D
= mean dari harga D1 / harga setiap pasang nilai
SD = deviasi standar dari harga-harga D1 / harga perbedaan setiap pasang nilai n
= banyaknya pasangan nilai
(v) Kesimpulan Apakah H0 diterima dan H
1
ditolak ataukah sebaliknya Ho
ditolak dan H1 diterima.
3) Hipotesis 3 Sedangkan untuk menguji hipotesis 3 yaitu menghitung pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap tahun digunakan formula berikut : G =Xit – Xit-1 X 100 % Xit-1 Dimana, G
= Growth (Pertumbuhan)
Xit = data PAD pada tahun ke-i Xit-1 = data PAD pada tahun sebelumnya Secara statistik diuji dengan menggunakan uji beda dua means (Djarwanto PS, 1993:211): (i) Hipotesis Ho : m1 = m2 Jika tidak terdapat perbedaan tingkat pertumbuhan PAD sebelum dan pada era Otonomi Daerah Hipotesis H1 : m1 ¹ m2 Jika terdapat perbedaan berarti mengenai tingkat pertumbuhan PAD sebelum dan pada era Otonomi Daerah. (ii) Menentukan level of Significance (a) = 0,05 dan t (a/2;n-1)
(iii) Kriteria Pengujian H0 ditolak
H0 ditolak
H0 diterima
-t(a/2;n-1)
t(a/2;n-1)
Gambar 3.5 Kurva Distribusi Normal Pertumbuhan Jika –ttabel £ thitung £ ttabel, berarti Ho diterima dan H1 ditolak juga sebaliknya jika thitung > ttabel atau thitung < -ttabel maka Ho ditolak dan H1 diterima. (iv) Perhitungan nilai t
`D = S D n S (D - `D)2 n–1
SD =
maka t =
`D___ SD / Ön
Dimana: `D
= mean dari harga D1 / harga setiap pasang nilai
SD = deviasi standar dari harga-harga D1 / harga perbedaan setiap pasang nilai n
= banyaknya pasangan nilai
(v) Kesimpulan Apakah H0 diterima dan H ditolak dan H1 diterima.
1
ditolak ataukah sebaliknya Ho
Sedangkan untuk menghitung prospek penerimaan PAD 5 tahun mendatang dengan menggunakan analisis trend linier dengan metode least square: Y=a+bX Dimana: Y = Jumlah Penerimaan PAD a = Jumlah PAD b = Koefisien Trend Linier X = Besarnya perubahan variabel Y yang terjadi pada setiap perubahan unit perubahan variabel X.
4) Hipotesis 4 Hipotesis ini menguji apakah ada perbedaan yang berarti antara tingkat penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebelum Otonomi Daerah dan pada saat Otonomi Daerah dilaksanakan. Untuk dapat mengetahuinya digunakan analisis Uji Hipotesis Beda Dua Means (Djarwanto PS, 1993:211) (i) Hipotesis Ho : m1 = m2 Jika tidak terdapat perbedaan tingkat penerimaan PAD sebelum dan pada era Otonomi Daerah. Hipotesis H1 : m1 ¹ m2 Jika terdapat perbedaan berarti mengenai tingkat penerimaan PAD sebelum dan pada era Otonomi Daerah. (ii) Menentukan level of Significance (a) = 0,05 dan t (a/2;n-1)
(iii) Kriteria Pengujian H0 ditolak
H0 ditolak
H0 diterima
-t(a/2;n-1)
t(a/2;n-1)
Gambar 3.6 Kurva Distribusi Normal Jika –ttabel £ thitung £ ttabel, berarti Ho diterima dan H1 ditolak juga sebaliknya jika thitung > ttabel atau thitung < -ttabel maka Ho ditolak dan H1 diterima. (iv) Perhitungan nilai t
`D = S D n S (D - `D)2 n–1
SD =
maka t =
`D___ SD / Ön
Dimana: `D SD
= mean dari harga D1 / harga setiap pasang nilai = deviasi standar dari harga-harga D1 / harga perbedaan setiap pasang nilai
n
= banyaknya pasangan nilai
v) Kesimpulan Apakah H0 diterima dan H 1 ditolak ataukah sebaliknya Ho ditolak dan H1 diterima.
Dengan beberapa alat uji tersebut diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan yang diuraikan dalam penelitian ini, termasuk dalam memberikan jawaban terhadap hipotesis yang telah dirumuskan.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian Kabupaten Karanganyar merupakan bagian dari Eks-Karisidenan Surakarta atau yang sekarang lebih dikenal sebagai kawasan pembangunan SUBOSUKAWONOSRATEN. Nama ini merupakan istilah singkatan dari 1 kota dan 6 kabupaten di kawasan tersebut, Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali,
Kabupaten
Sukoharjo,
Kabupaten
Karanganyar,
Kabupaten
Wonogiri, Kabupaten Sragen dan Kabupaten Klaten. Berikut gambaran singkat tentang Kabupaten Karanganyar: 1. Keadaan Geografis Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang terletak di ketinggian rata-rata 511 meter di atas permukaan laut yang beriklim tropis dengan temperatur 22° – 31° Celcius dengan luas wilayah 77.378,6374 Ha. Wilayah Kabupaten Karanganyar berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Timur di sebelah timur, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri, berbatasan dengan Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali di sebelah barat, serta berbatasan dengan Kabupaten Sragen di sebelah utara. Berdasarkan
pembagian
wilayah
administrasi,
Kabupaten
Karanganyar terdiri dari 17 Kecamatan yang meliputi 15 kalurahan dan 162 desa. Klasifikasi desa pada tahun 2004 terdiri dari 14 desa/kalurahan
swadaya,
125
desa/kalurahan
swakarya
dan
38
desa/kalurahan
swasembada. 2. Keadaan Penduduk Jumlah penduduk di Kabupaten Karanganyar berdasarkan regristrasi tahun 2004 sebanyak 830.640 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 410.985 orang dan 419.655 orang penduduk perempuan. Dibandingkan tahun sebelumnya laju pertumbuhan penduduk mengalami pertumbuhan sebesar 0,90 %. Dengan kepadatan penduduk mencapai 1.073 jiwa/km2. Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kabupaten Karanganyar menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan Tahun 2004 N Jumlah Penduduk Kecamatan Jumlah O Laki-Laki Perempuan 1. Jatipuro 18.772 18.781 37.553 2. Jatiyoso 20.154 19.718 39.872 3. Jumapolo 23.076 23.182 46.258 4. Jumantono 23.441 23.874 47.315 5. Matesih 22.168 22.312 44.480 6. Tawangmangu 21.791 22.591 44.382 7. Ngargoyoso 17.095 17.389 34.484 8. Karangpandan 20.367 21.176 41.543 9. Karanganyar 34.918 37.194 72.112 10. Tasikmadu 26.905 27.396 54.301 11. Jaten 33.556 34.544 68.100 12. Colomadu 26.761 27.036 53.797 13. Gondangrejo 31.537 32.047 63.584 14. Kebakkramat 28.215 28.743 56.958 15. Mojogedang 31.016 31.228 62.242 16 Kerjo 17.871 18.788 36.659 17. Jenawi 13.342 13.658 27.000 Jumlah 410.985 419.655 830.640 Sumber: BPS
Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Karanganyar sebanyak 72.112 orang, selanjutnya di susul Kecamatan Jaten dan Kecamatan Mojogedang diperingkat kedua dan ketiga. Sedangkan jumlah
penduduk paling sedikit terdapat di Kecamatan Jenawi yang hanya berjumlah 27.000 orang. Tabel 4.2 Luas Wilayah, Distribusi, Kepadatan dan Pertumbuhan dirinci menurut Kecamatan di Kabupaten Karanganyar Tahun 2004 No
Kecamatan
1. Jatipuro 2. Jatiyoso 3. Jumapolo 4. Jumantono 5. Matesih 6. Tawangmangu 7. Ngargoyoso 8. Karangpandan 9. Karanganyar 10. Tasikmadu 11. Jaten 12. Colomadu 13. Gondangrejo 14. Kebakkramat 15. Mojogedang 16. Kerjo 17. Jenawi Jumlah Tahun 2004 Sumber: BPS
Luas Wilayah (Km2)
Distribusi Penduduk
Kepadatan Penduduk
Pertumbuhan Penduduk
40,36 67,16 55,67 53,55 26,27 70,03 65,34 34,11 43,03 27,60 25,50 15,64 58,60 36,46 53,31 46,82 56,08 773,78
4,52 4,80 5,57 5,70 5,35 5,34 4,15 5,00 8,68 6,54 8,20 6,48 7,65 6,86 7,49 4,41 3,25 100,00
930 594 831 884 1.693 634 528 1.218 1.676 1.967 2.665 3.440 1.119 1.562 1.168 783 481 1.073
0,34 0,59 0,56 0,79 0,25 0,57 0,55 1,31 0,91 0,85 1,38 2,66 0,47 1,15 1,18 0,35 0,47 0,90
3. Pertumbuhan Ekonomi Tabel 4.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Karanganyar Sebelum Otonomi Daerah tahun 1996/1997-2000 dalam persen Laju Pertumbuhan Riil
1996/1997
1997/1998
1998/1999
1999/2000
2000
7,97
3,77
-11,65
2,90
4,51
Sumber: BPS
Kondisi
ekonomi Kabupaten Karanganyar sebelum Otonomi
Daerah berfluktuasi, pada tahun 1998/1999 mengalami pertumbuhan negatif karena krisis ekonomi yang menimpa Indonesia. Kondisi krisis moneter itu membuat kondisi ekonomi Indonesia terpuruk dan
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Karanganyar juga terpuruk hingga -11,65 %. Tabel 4.4 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Karanganyar Saat Era Otonomi Daerah tahun 2001-2004 dalam persen Laju Pertumbuhan Riil
2001
2002
2003
2004
1,40
3,19
3,32
4,03
Sumber: BPS
Secara umum kondisi perekonomian Kabupaten Karanganyar 5 tahun terakhir masih berada di bawah pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah, baik laju pertumbuhan ekonomi atas dasar harga konstan maupun atas dasar harga berlaku. Selama lima tahun terakhir (2000-2004) laju pertumbuhan ekonomi mengalami pertumbuhan positif. Hal ini dapat dijadikan tolok ukur bahwa kinerja pembangunan perekonomian di Kabupaten Karanganyar setelah ditetapkan Otonomi Daerah semakin baik. 4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tabel 4.5 PDRB Atas Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 Kabupaten Karanganyar Tahun 1996-2004 Tahun 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 2004 Sumber: BPS
PDRB Adhb Jumlah Laju Per(Juta Rp) tumbuhan(%) 1.403.071,14 10,64 1.550.662,62 10,52 2.170.222,89 39,95 2.312.932,52 6,57 2.541.783,09 9,84 2.812.235,12 10,64 3.161.318,40 12,41 3.518.710,69 11,15 3.930.470,48 11,86
PDRB Adhk Jumlah Laju Per(Juta Rp) tumbuhan(%) 1.120.801,61 7,97 1.255.719,50 3,77 1.113.939,92 -11,29 1.141.544,82 2,48 1.193.085,08 4,51 1.210.084,63 1,42 1.248.686,47 3,19 1.290.163,05 3,32 1.342.109,36 4,03
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan ekonominya mengalami pertumbuhan positif, kecuali pada pertumbuhan tahun 1997/1998 ke tahun 1999/2000 yang mempunyai laju pertumbuhan
Atas Dasar Harga Konstan yang negatif karena krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997. Laju pertumbuhan PDRB tertinggi berdasarkan harga berlaku terjadi pada tahun 1997/1998 yang mencapai 39,95 %. Sedangkan berdasarkan harga konstan yaitu sebesar 12,04 % pada tahun 1997/1998, perolehan ini mampu melampaui laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah yang hanya 3,93 %. Pada tahun anggaran 1998/1999 laju pertumbuhan ekonomi berdasarkan harga berlaku mencapai keadaan terendah dan perekonomian terpuruk pada tingkat -11,29 %. Tabel 4.6 Kontribusi Sektor-Sektor Ekonomi terhadap Pembentukan PDRB di Kabupaten Karanganyar Sebelum Otda Tahun 1996/1997-2000 (dalam Persen) N Tahun Sektor Ekonomi 1996/ 1997/ 1998/ 1999/ RataO 2000 1997 19,63
1998 17,84
1999 18,82
2000 19,88
19,55
rata 19,14
1,12
1,16
1,23
1,25
1,19
1,19
40,40
41,34
37,56
37,14
38,13
38,91
Listrik, Gas dan Air Minum
1,46
1,43
1,53
1,59
1,64
1,53
Bangunan
2,64
2,69
2,28
2,34
2,36
2,46
15,74
16,49
17,94
17,57
17,47
17,04
2,60
2,58
2,86
2,81
2,76
2,72
3,56
3,33
3,49
3,42
3,35
3,43
18,85
13,14
14,29
14,00
13,55
14,77
100
100
100
100
100
100
1.
Pertanian
2.
Pertambangan dan Penggalian
3.
Industri Pengolahan
4. 5. 6. 7. 8. 9.
Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Jasa-Jasa
Jumlah Sumber: BPS
Sebelum era Otonomi Daerah dari tahun ke tahun, sektor Industri Pengolahan memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB di Kabupaten Karanganyar dengan kontribusi 38,91 %. Kemudian disusul
dengan sektor Pertanian ditempat kedua dan penyumbang terbesar ketiga adalah sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan kontribusi sebesar 19,14 % dan 17,04 %. Sedangkan sektor Pertambangan dan Penggalian memberikan kontribusi terkecil dengan rata-rata 1,22 % per tahun. Tabel 4.7 Kontribusi Sektor-Sektor Ekonomi terhadap Pembentukan PDRB di Kabupaten Karanganyar Era Otda Tahun 20012004 (dalam Persen) N O
Tahun
Sektor-Sektor Ekonomi
Rata-
2001
2002
2003
2004
rata
20,16
19,38
19,82
19,86
19,81
1,24
1,22
1,22
1,21
1,22
37,41
37,67
37,38
37,67
37,53
1.
Pertanian
2.
Pertambangan dan Penggalian
3.
Industri Pengolahan
4.
Listrik, Gas dan Air Minum
1,72
1,86
1,88
2,09
1,89
5.
Bangunan
2,43
2,43
2,44
2,43
2,43
17,52
17,60
17,35
17,06
17,38
6.
Perdagangan, Hotel dan Restoran
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
2,22
2,77
2,78
2,85
2,66
8.
Keuangan, Persewaan dan Jasa
3,34
3,31
3,58
3,58
3,45
9.
Jasa-Jasa
13,40
13,76
13,55
13,26
13,49
100
100
100
100
100
Jumlah Sumber: BPS
Perubahan-perubahan yang terjadi di sektor-sektor ekonomi daerah akan sangat berpengaruh terhadap struktur perekonomian di daerah tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa pembentuk PDRB terdiri dari 9 sektor ekonomi seperti yang tercermin dalam tabel 4.7 di atas. Setiap perubahan di tiap sektor akan berpengaruh secara signifikan terhadap nilai PDRB, yang mana hal ini juga akan berpengaruh terhadap pola kebijakan pembangunan yang akan diambil di daerah tersebut. Dari tahun ke tahun, sektor Industri Pengolahan memberikan kontribusi
terbesar
terhadap
pembentukan
PDRB
di
Kabupaten
Karanganyar. Kemudian disusul dengan sektor Pertanian ditempat kedua dan penyumbang terbesar ketiga adalah sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran. Sedangkan sektor Pertambangan dan Penggalian memberikan kontribusi terkecil dengan rata-rata 1,22 % per tahun. Dari pendataan BPS Kabupaten Karanganyar mata pencaharian penduduk yang dominan adalah sektor pertanian, sebesar 34,29 % kemudian disusul sektor industri sebesar 22,40% dan sektor perdagangan sebesar 20,90 %. Hal ini sesuai dengan semboyan dalam mensukseskan pembangunan di Kabupaten Karanganyar yaitu INTAN PARI (Industri, Pertanian dan Pariwisata). 5. Pendapatan Per Kapita Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar selama 5 tahun terakhir telah berupaya keras untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerahnya. Hal ini dapat dilihat dari indikator pendapatan per kapita penduduknya yang menunjukkan hasil positif setiap tahunnya. Tabel 4.8 Rata-Rata Pendapatan Per Kapita Penduduk Kabupaten Karanganyar Tahun 1996/1997-2004 Tahun 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 2004 Sumber: BPS
Pendapatan per Kapita (Rp) ADHB ADHK 1.857.897,44 1.602.388,12 1.799.385,42 1.450.264,59 2.502.708,69 1.120.712,22 2.637.954,12 1.295.122,06 2.865.943,56 1.338.738,86 3.129.857,47 1.340.519,76 3.464.293,24 1.359.786,34 3.799.550,22 1.389.743,23 4.147.736,96 1.407.044,12
Pertumbuhan (%) ADHB ADHK 12,34 6,66 9,11 2,46 9,09 -12,38 5,40 1,92 8,64 3,37 9,21 0,13 10,69 1,44 9,86 2,20 9,16 1,24
Rata-rata pendapatan perkapita atas dasar harga berlaku tertinggi dicapai pada tahun 2004 sebesar Rp. 4.147.736,96 sedangkan yang
terendah Rp. 1.799.385,42 pada tahun 1997/1998. Berdasarkan harga konstan, rata-rata pendapatan perkapita tertinggi dicapai pada tahun anggaran 1996/1997 sebesar Rp. 1.602.388,12 sedang yang terendah pada tahun 1998/1999 senilai Rp. 1.120.712,22. Namun
demikian
pendapatan
perkapita
masyarakat
belum
menunjukkan tingkat pendapatan penduduk yang sebenarnya, karena produktivitas yang dihasilkan di Kabupaten Karanganyar sebagian dimiliki oleh penduduk di luar kabupaten, sehingga hasil yang diperoleh khususnya pendapatan perkapita, belum sepenuhnya dinikmati oleh penduduk Kabupaten Karanganyar.
B. HASIL ANALISIS Sebelum menganalisis hipotesis yang telah dirumuskan, maka perlu dilakukan analisis deskripsi dari masing-masing variabel yang diambil. 1. Analisis Deskriptif a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan yang diperoleh dari daerah itu sendiri dengan memberdayakan potensi daerah yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sumber penerimaan PAD berasal dari pos Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD, Penerimaan Dinas dan Penerimaan Lain PAD yang sah. Namun, sejak tahun 1999/2000 Penerimaan Dinas dihapuskan.
Pos Pajak Daerah merupakan pos PAD yang memberikan kontribusi cukup besar. Rata-rata penerimaan Pajak Daerah dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang berarti, dari sebelum otda sampai era otda berlangsung selama kurang lebih lima tahun. Tabel 4.9
Realisasi Penerimaan Pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar Tahun 1996/1997 – 2005 (dalam rupiah)
Tahun
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
BagianLaba BUMD
Penerimaan Dinas
Penerimaan Lain
Total PAD
1996/1997
1.929.825.427
3.351.826.676
262.462.689
213.333.915
273.494.382
6.030.943.089
1997/1998
2.604.707.138
3.813.520.428
274.114.493
187.780.090
206.818.421
7.086.940.570
1998/1999
2.925.848.317
4.317.473.759
214.307.472
136.070.010
427.552.469
8.021.252.027
1999/2000
3.794.517.754
4.629.793.446
353.295.266
-
640.743.870
9.418.350.336
2000
3.913.032.823
4.271.521.117
645.000.000
-
265.729.224
9.095.283.164
2001
5.499.092.957
7.888.088.985
1.011.956.770
-
2.146.897.762
16.545.956.474
2002
8.613.155.352
10.100.729.611
1.325.046.577
-
2.458.875.527
22.497.807.067
2003
10.107.809.661
9.518.351.073
1.814.559.609
-
3.558.617.029
24.999.337.372
2004
11.572.405.687
10.590.885.522
2.147.956.546
-
5.173.825.171
29.485.072.926
2005
13.158.093.041
11.175.915.881
4.442.162.170
-
5.526.393.809
34.302.564.901
Sumber: Data Sekunder Dinas Pendapatan Diolah
Pos Retribusi Daerah juga sangat besar kontribusinya terhadap penerimaan PAD baik pada saat sebelum era otda maupun pada era otda. Dari tahun ke tahun mengalami pertumbuhan yang positif, kecuali yang dialami tahun 2003, yang mengalami penurunan penerimaan Retribusi Daerah dari tahun sebelumnya. Penerimaan dari pos Bagian Laba BUMD perlu lebih ditingkatkan lagi, karena mempunyai potensi yang besar untuk menyokong PAD. Sedangkan penerimaan dari dinas mulai tahun 1999/2000 dihapuskan. Penerimaan lain PAD Kabupaten Karanganyar bersumber dari penjualan hasil milik daerah, jasa giro, penjualan dokumen lelang,
penerimaan
dari
bimbingan
pengawasan
kesejahteraan
buruh,
penerimaan bunga deposito, sumbangan pihak ketiga dan lain-lain penerimaan yang sah. Pengelolaan PAD yang baik adalah pengelolaan PAD yang mampu meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan seiring dengan perkembangan perekonomian dan tanpa memperburuk alokasi faktor produksi lainnya. Tabel 4.10
Target dan Realisasi Pajak Daerah Kabupaten Karang anyar Sebelum OTDA (1996/1997-2000) dan Pada Era OTDA (2001-2005) Tahun Target (Rp) Realisasi (Rp)
1996/1997
1.822.335.000
1.929.825.427
1997/1998
2.544.085.000
2.604.707.138
1998/1999
2.642.150.000
2.925.848.317
1999/2000
3.449.000.000
3.794.517.754
2000
3.537.500.000
3.913.032.823
2.799.014.000
3.033.586.291,8
2001
5.285.000.000
5.499.092.957
2002
7.099.000.000
8.613.155.352
2003
9.234.000.000
10.107.809.661
2004
10.775.000.000
11.572.405.687
2005
12.551.000.000
13.158.093.041
8.988.800.000
9.790.111.339,6
Rata-rata Sebelum OTDA
Rata-rata Pada Era OTDA
Sumber: Data Sekunder Dinas Pendapatan Diolah
Penerimaan Pajak Daerah dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Hal ini mencerminkan keseriusan Pemerintah Kabupaten Karanganyar untuk menggali potensi PAD melalui pos Pajak Daerah.
Rata-rata penerimaan Pajak Daerah sebelum otda sebesar Rp 3.033.586.291,8 dan mengalami kenaikan hampir 3 kali lipat pada era otda yaitu sebesar Rp 9.790.111.339,6. Begitu pula penerimaan Retribusi Daerah (Tabel 4.11) yang mengalami peningkatan cukup besar penerimaannya dari sebelum otda ke era otda. Dari tahun ke tahun penerimaan Retribusi Daerah juga mengalami peningkatan berarti. Rata-rata penerimaan Retribusi Daerah sebelum otda sebesar 3.390.827.085,2 dan penerimaan saat era otda yaitu sebesar Rp 9.854.794.214,4. Tabel 4.11 Target dan Realisasi Retribusi Daerah Kabupaten Karanganyar Sebelum OTDA (1996/1997-2000) dan Pada Saat OTDA (2001-2005) Target (Rp) Realisasi (Rp) Tahun 1996/1997
3.303.061.000
3.351.826.676
1997/1998
3.772.061.000
3.813.520.428
1998/1999
4.649.192.500
4.317.473.759
1999/2000
4.304.157.500
4.629.793.446
2000
4.125.165.000
4.271.521.117
3.436.187.400
3.390.827.085,2
2001
7.747.155.000
7.888.088.985
2002
9.290.430.000
10.100.729.611
2003
10.028.612.000
9.518.351.073
2004
10.384.893.000
10.590.885.522
2005
11.161.001.800
11.175.915.881
7.738.418.360
9.854.794.214,4
Rata-rata Sebelum OTDA
Rata-rata Pada Saat OTDA
Sumber: Data Sekunder Dinas Pendapatan Diolah
b. Penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah Sumber penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah dapat berasal dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu, Bagian Pendapatan Asli Daerah, Bagian Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak, Bagian Sumbangan Dan Bantuan, Bagian Penerimaan Pembangunan serta Lain-Lain Penerimaan Yang Sah. Sebelum era otda penerimaan pendapatan daerah berasal dari sisa lebih anggaran tahun lalu, bagian PAD, bagian hasil pajak/bukan pajak, sumbangan dan bantuan, penerimaan pembangunan serta bagian pendapatan perimbangan. Tabel 4.12 Realisasi Penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Sebelum OTDA dalam rupiah Pos Penerimaan
1996/1997
1997/1998
1998/1999
1999/2000
2000
1.651.946.250
1.116.178.350
1.265.150.938
2.704.584.372
2.764.910.000
6.030.943.089
7.086.940.570
8.021.252.027
9.418.350.336
9.095.283.164
4.414.217.871
4.768.967.094
-
-
-
18.767.576.327
25.988.560.002
-
-
-
390.097.941
720.890.603
-
-
-
-
-
57.437.767.468
78.200.387.080
71.938.376.684
Sisa Lebih Anggaran Tahun Lalu Bagian PAD Bagian Bagi Hasil Pajak/ Bukan Pajak Bagian Sumbangan dan Bantuan Bagian Penerimaan Pembangunan Bagian Pendapatan Imbangan
Catatan: Pada tahun anggaran 1998/1999 Penerimaan dari Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak, Bagian Sumbangan dan Bantuan serta Bagian Penerimaan Pembangunan dijadikan satu pos menjadi pos Bagian Pendapatan Imbangan yang berasal dari Pemberian dan atau Instansi yang lebih tinggi. Sumber: Data Sekunder Sekretaris Daerah Bagian Anggaran Diolah
Penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah terbesar diperoleh dari Bagian Dana Perimbangan, hal itu membuktikan bahwa peran PAD belum memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan daerah. Hal itu semakin diperkuat dengan penerimaan PAD yang juga masih dibawah penerimaan Bagian Sumbangan dan Bantuan. Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa penerimaan di tiap pos penerimaan Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Saat era otda komponen pendapatan daerah berbeda dengan saat sebelum otda. Penerimaan dari bagian sumbangan dan bantuan dihilangkan. Komponen yang lain merupakan penggabungan dari penyusun komponen sebelumnya. Tabel 4.13 Realisasi Penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Pada Era OTDA (dalam rupiah) Pos Penerimaan
2001
2002
2003
2004
2005
6.292.021.661
14.793.332.604
22.915.290.423
28.280.459.228
49.630.283.279
16.545.956.474
22.497.807.067
24.999.337.372
29.485.262.926
34.302.564.901
225.000.171.127
244.043.807.205
311.752.686.853
274.301.287.379
324.512.566.000
-
-
-
-
-
5.647.837.565
7.457.034.000
20.273.874.000
19.345.903.000
14.818.000.000
Sisa Lebih Anggaran Tahun Lalu Bagian PAD Bagian Dana Perimbangan Bagian Pinjaman Daerah Lain-lain Pendapatan Yang Sah
Sumber: Data Sekunder Sekretaris Daerah Bagian Anggaran Diolah.
Setelah Otonomi Daerah bagian penerimaan PAD belum mampu menjadi komponen penyumbang terbesar terhadap pendapatan daerah. Hal ini dapat terlihat dari kontribusi PAD masih jauh dibawah Dana Perimbangan. Realita ini menunjukkan bahwa ketergantungan Pemerintah Daerah kepada bantuan Pemerintah Pusat masih tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Karanganyar belum dapat terlaksana dengan baik, karena salah satu indikator keberhasilan otda adalah pencapaian PAD yang mampu memberikan kontribusi tinggi terhadap APBD.
2. Analisis Kuantitatif Berdasarkan hipotesis penelitian, maka dilakukan analisis secara kuantitatif terhadap data-data yang diperoleh dengan menggunakan beberapa kinerja Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai berikut: a. Hipotesis 1 1) Efisiensi PAD Efisiensi PAD mengukur seberapa besar perbandingan antara biaya pemungutan yang dikeluarkan dengan penerimaan yang diperoleh. Berdasarkan PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah besarnya biaya pemungutan Pajak Daerah paling tinggi sebesar 5 %. Dan untuk memanfaatkan secara optimal pendapatan daerah dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana pelayanan kepada masyarakat, maka biaya pemungutan hanya dibebankan pada
pendapatan Pajak Daerah, sedangkan penerimaan pendapatan lain tidak dipungut biaya. PAD dikatakan efisien apabila rasionya lebih kecil dari satu (efisiensi<1) dan sebaliknya, apabila rasionya lebih besar dari satu (efisiensi>1) maka PAD dikatakan tidak efisien. Dari tabel 4.14 di bawah dapat diketahui bahwa secara keseluruhan baik pada saat sebelum Otonomi Daerah ditetapkan maupun pada saat pelaksanaan Otonomi Daerah penerimaan PAD sudah efisien, hal ini bisa dilihat dari rasio efisiensi yang kurang dari satu. Apabila dibandingkan efisiensi antara sebelum OTDA dan pada saat era OTDA maka dapat diketahui bahwa pada era pelaksanaan OTDA penerimaan PAD tidak lebih efisien dibanding sebelum OTDA ditetapkan. Dimana rata-rata tingkat efisiensi pada saat sebelum OTDA sebesar 0,019 sedangkan rata-rata efisiensi pada saat pelaksanaan OTDA lebih besar yaitu senilai 0,021. Jadi dapat dikatakan sebelum OTDA lebih efisien daripada saat era OTDA.
Tabel 4.14 Efisiensi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Pelaksanaan OTDA (1996/1997-2005) Tahun
Hasil Penerimaan PAD
Biaya Pemungutan PAD
Efisiensi
1996/1997
6.030.943.089
96.491.271,5
0,0160
1997/1998
7.086.940.570
130.235.356,90
0,0184
1998/1999
8.021.252.027
146.292.415.,5
0,0182
1999/2000
9.418.350.336
189.725.887,70
0,0201
2000 Rata-rata
9.095.283.164
195.651.641,15
0,0215 0,0188
sebelum otda 2001
16.545.956.474
758.396.572,95
0,0458
2002
22.497.807.067
274.954.647,85
0,0122
2003
24.999.337.372
430.657.767,60
0,0172
2004
29.485.262.926
505.390.483,05
0,0171
2005 Rata-rata
34.302.564.901
578.620.284,35
0,0169
saat otda
0,0218
Sumber: Data Sekunder Yang Diolah.
Secara statistik dengan menggunakan uji beda dua means diperoleh hasil bahwa efisiensi antara era sebelum dan pada era otda tidak ada perbedaan berarti, hal ini dapat diketahui dari hasil perhitungan nilai -ttabel £ thitung £ ttabel , yaitu -2,776 £ -0,2 £ 2,776, sehingga hasil penelitian menerima H0.
2) Efektivitas PAD Efektivitas PAD mengukur kemampuan Pemerintah Daerah dalam mencapai tujuan dan sasaran sesuai yang direncanakan, jadi dengan menghitung efektivitas PAD dapat mengetahui kemampuan Pemerintah Daerah untuk memperoleh PAD sesuai target yang ditentukan. Semakin besar kontribusi terhadap pencapaian tujuan atau sasaran yang ditentukan dapat dikatakan efektif. Semakin tinggi rasio efektivitas, menggambarkan kemampuan keuangan daerah yang semakin baik. Kemampuan Daerah dalam mencapai sasaran dapat dikatakan efektif apabila rasio antara realisasi penerimaan PAD dan target penerimaan PAD minimal sebesar 1 atau seratus persen (100%), sehingga semakin besar rasio efektivitasnya menggambarkan semakin baik kemampuan daerahnya. Dari analisis efektivitas PAD pada tabel 4.15 di bawah dapat diketahui bahwa baik sebelum ditetapkan Otonomi Daerah maupun pada era pelaksanaan Otonomi Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar dikatakan efektif dalam penerimaan PAD. Hal ini dapat dilihat dari rasio efektivitasnya yang lebih dari 100 % pada semua tahun penelitian. Efektifitas sebelum otda (1996/1997-2000) tertinggi dicapai pada tahun anggaran 1999/2000 dengan efektivitas sebesar 109,62 %. Sedangkan pada era otda (2001-2005) efektivitas tertinggi sebesar 111,98 % yang dicapai pada tahun 2002. Rata-rata
efektivitas sebelum ditetapkan Otonomi Daerah senilai 104,85 % dan rata-rata efektivitas saat era otda sebesar 107,97 %. Tabel 4.15
Efektivitas Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Era OTDA (1996/1997-2005) Realisasi Target Efektivitas Tahun Penerimaan Penerimaan PAD (%) PAD
1996/1997
5.806.606.000
6.030.943.089
103,86%
1997/1998
7.072.996.000
7.086.940.570
100,20%
1998/1999
7.900.673.500
8.021.252.027
101,53%
1999/2000
8.591.907.500
9.418.350.336
109,62%
2000
8.563.165.000
9.095.283.164
106,21%
Rata-rata Sebelum otda
104,85%
2001
15.542.155.000
16.545.956.474
106,46%
2002
20.090.930.000
22.497.807.067
111,98%
2003
23.665.569.000
24.999.337.372
105,64%
2004
27.490.696.000
29.485.262.926
107,26%
2005
31.618.494.000
34.302.564.901
108,49%
Rata-rata Saat otda
107,97%
Sumber: Data Sekunder Dinas Pendapatan Diolah.
Secara statistik dengan uji beda dua means dapat disimpulkan bahwa efektivitas antara sebelum otda dan pada era otda tidak dapat perbedaan berarti, hal ini dapat dilihat dari nilai -ttabel £ thitung £ ttabel , yaitu -2,776 £ -1,604 £ 2,776, sehingga menerima H0. Apabila dikelompokkan berdasarkan pos PAD (tabel 4.16) maka sebelum OTDA Bagian Laba BUMD mempunyai rata-rata
efektivitas PAD tertinggi yaitu 115,99 % dan terendah yaitu pos Penerimaan dari Dinas yang belum dapat dikatakan efektif, karena rata-rata efektivitasnya hanya 91,59 % kurang dari 100 %. Sedangkan setelah ditetapkannya OTDA dapat diketahui bahwa pos Penerimaan Lain-Lain PAD yang sah mempunyai ratarata efektivitas tertinggi yaitu sebesar 131,14 %. Penerimaan ini antara lain bersumber dari penerimaan jasa giro, penerimaan bunga deposito, penerimaan hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan dan penerimaan daerah yang lain. Rata-rata efektivitas terendah yaitu pada pos Retribusi Daerah yang hanya mencapai 101,36 %. Tabel 4.16 Rata-Rata Efektivitas PAD Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Era Pelaksanaan OTDA (1996/1997-2005) POS PAD
SEBELUM OTDA
PADA ERA OTDA
PAJAK DAERAH
101,26 %
108,91 %
RETRIBUSI DAERAH
101,14 %
101,36 %
BAG LABA BUMD
115,99 %
102,60 %
PENERIMAAN DINAS
91,59 %
-
LAIN PAD YG SAH
107,23 %
131,14 %
Catatan: Penerimaan dari Dinas setelah tahun anggaran 1998/1999 dihapuskan dari pos penerimaan PAD. Sumber: Data Sekunder Dinas Pendapatan Diolah.
3) Elastisitas PAD Rasio ini digunakan untuk mengetahui tingkat kepekaan perubahan suatu jenis penerimaan PAD jika terjadi perubahan pada jumlah PDRB. Apabila tingkat elastisnya kurang dari satu (e<1),
maka dikatakan inelastis, dan sebaliknya akan dikatakan elastis jika tingkat elastisitasnya lebih dai satu (e>1). Berdasarkan PDRB harga berlaku pada era sebelum Otonomi Daerah rasio elastisitas pada tahun anggaran 1998/1999 dan tahun 2000 bersifat inelastis (e<1). Sedangkan elastisitas tertinggi ditunjukkan pada tahun 1999/2000. Pada era Otonomi Daerah rasio elastisitas yang bersifat inelastis terjadi pada tahun 2003 yaitu senilai 0,872. Sedangkan rasio elastisitas tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 4,092. Sedangkan atas dasar PDRB harga konstan elastisitas sebelum OTDA pada tahun anggaran 1998/1999 dan 2000 bersifat inelastis. Pada era OTDA (tahun 2001-2004) elastisitasnya bersifat elastis semua. Tabel
Tahun
PAD
1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000
6.030.943.089 7.086.940.570 8.021.252.027 9.418.350.336 9.095.283.164
2001 2002 2003 2004 2005
16.545.956.474 22.497.807.067 24.999.337.372 29.485.262.926 34.302.564.901
4.17
Elastisitas Penerimaan PAD Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Pelaksanaan OTDA (1996/1997-2005)
PDRB HB
PDRB HK
Growth PAD
1.403.071,14 1.120.801,61 14,42% 1.550.662,62 1.255.719,50 17,51% 2.170.222,89 1.113.939,92 13,18% 2.312.932,51 1.141.544,82 17,42% 3.231.726,10 1.193.085,08 -3,43% Rata-rata Elastisitas Sebelum Otda 3.380.870,31 1.210.084,63 81,92% 3.678.175,87 1.248.686,47 35,97% 4.147.090,65 1.290.163,05 11,12% 4.700.695,62 0.342.109,36 17,94% 16,34% Rata-rata Elastisitas pada Era Otda
Sumber: Data Sekunder BPS Dinas Pendapatan Diolah.
Growth PDRB HB
Growth PDRB HK
10,64% 10,52% 39,95% 6,58% 39,72%
7,97 12,04 -11,29 2,48 4,51
4,62% 8,79% 12,75% 13,35% -
1,42 3,19 3,32 4,03 -
Elastisitas ADHB
ADHK
1,356 1,664 0,330 2,647 (0,086) 1,182 17,31 4,092 0,872 1,344 6,009
1,809 1,455 (1,168) 7,028 (0,760) 1,673 57,493 11,276 3,347 4,457 19,143
Dari analisis rasio elastisitas berdasarkan PDRB Harga Berlaku sebelum OTDA dan pada saat pelaksanaan OTDA (tabel 4.17 di atas) dapat diketahui bahwa pada kedua era tersebut elastisitas PAD bersifat elastis, karena rasionya lebih dari satu (e>1). Sebelum Otonomi Daerah rata-rata rasio elastisitasnya sebesar 1,182 dan pada saat Otonomi Daerah rata-rata rasio yaitu sebesar 6,009. Makna dari elastistitas 1,182 adalah apabila terjadi perubahan PDRB sebesar 1 % akan mengakibatkan perubahan positif PAD sebesar 1,182%. Sedangkan pada tingkat elastisitas 6,009
maka setiap
perubahan PDRB sebesar 1 % mengakibatkan peningkatan PAD sebesar 6,009 %. Sedangkan berdasarkan PDRB Harga Konstan, rata-rata elastisitas sebelum OTDA dan pada Era OTDA bersifat elastis yaitu sebesar 1,673 dan 19,143 dimana rasionya lebih dari 1 (e>1). Elastisitasitas yang bersifat elastis 1,67 dan 19,14 berarti setiap 1% perubahan PDRB mengakibatkan perubahan yang bersifat positif terhadap PAD sebesar 1,673 % dan 19,143 %. Secara statistik elastisitas berdasarkan harga berlaku antara sebelum otda dan pada era otda tidak terdapat perbedaan berarti, hal ini diketahui dari nilai -ttabel £ thitung £ ttabel, yaitu -2,776£-0,614£ 2,776, sehingga menerima H0. Sedangkan berdasarkan harga konstan, elastisitas sebelum dan pada era otda juga tidak terdapat perbedaan berarti nilai -ttabel £ thitung
£ ttabel , yaitu -2,776 £ -1,279 £ 2,776, sehingga hasil penelitian elastisitas menerima H0. 4) Matrik Potensi PAD Dari perhitungan matrik potensi PAD yang diwakili oleh pos Pajak dan Retribusi Daerah, maka akan dapat diketahui klasifikasi pos PAD tersebut. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk menilai kemampuan pos Pajak dan Retribusi Daerah terkait dengan pertumbuhan dan proporsinya. Berdasarkan analisis dengan matrik potensi terhadap pos Pajak Daerah diperoleh klasifikasi sebagai berikut: a) Kategori Prima Penerimaan
Pajak
Daerah
Kabupaten
Karanganyar
sebelum otda yang termasuk dalam kategori prima hanya Pajak Hotel dan Restoran. Sedangkan saat era otda tidak ada ayat Pajak Daerah yang tergolong prima, hal ini dikarenakan tidak ada proporsi dan pertumbuhannya yang lebih dari satu. b) Kategori Potensial Sebelum Otonomi Daerah ayat Pajak yang berkategori potensial yaitu: Pajak Potong Hewan, Pajak Pembangunan I, Pajak Radio, Pajak Bangsa Asing, Pajak Pertunjukan, Pajak Anjing, Pajak Kentator, Pajak Penerangan Jalan Umum, Pajak Pengeras Suara, Pajak Golongan C. Sedangkan saat Otonomi Daerah beberapa Pajak yang ada dikategorikan sebagai pajak potensial antara lain: Pajak
Pertunjukan, Pajak Penerangan Jalan Umum, Pajak Golongan C, Pajak ABT dan Pajak Parkir. Beberapa ayat Pajak yang dipungut di era sebelum Otonomi Daerah dihapuskan, seperti Pajak Potong Hewan, Pajak Pembangunan I,
Pajak Radio, Pajak Bangsa Asing, Pajak
Anjing, Pajak Kentator, Pajak Pendaftaran Perusahaan dan Pajak Pengeras Suara. c) Kategori Berkembang Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten Karanganyar baik sebelum otda maupun saat era otda tidak ada yang tergolong berkembang, hal ini dikarenakan tidak ada Pajak yang mempunyai proporsi kurang dari satu dan pertumbuhannya yang lebih dari satu. d) Kategori Terbelakang Sebelum Otonomi Daerah Pajak yang dikategorikan terbelakang hanya Pajak Reklame dan Pajak Pendaftaran Perusahaan. Sedangkan saat era Otonomi Daerah Pajak Reklame dan Pajak Hotel dan Restoran termasuk dalam kategori terbelakang. Untuk penerimaan Retribusi Daerah terdapat beberapa ayat Retribusi yang dihilangkan dari tahun sebelumnya, ada beberapa yang digabungkan dan ada pula beberapa yang dipisahkan, sehingga terdapat perbedaan komponen ayat Retribusi Daerah antara sebelum otda dan saat era otda. Misalkan, ayat Retribusi Leges, Uang
Penambangan, IPAIR, Uang Pemeriksaan Pembantaian, Pendaftaran Perusahaan Angkutan, Tebasan Hasil Bumi, dan lain-lain yang pada saat era otda sudah dihilangkan. Retribusi RSU dan Puskesmas saat sebelum otda terpisah kemudian saat era otda digabungkan menjadi Retribusi Pelayanan Kesehatan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk efisiensi dan efektivitas penerimaan PAD dari pos Retribusi Daerah. Berdasarkan
analisis matrik potensi ayat Retribusi Daerah
dapat dikategorikan sebagai berikut: a) Kategori Prima Berdasarkan matrik potensi yang dilakukan terhadap Retribusi Daerah Kabupaten Karanganyar baik sebelum otda maupun saat era otda tidak ada yang tergolong prima, hal ini dikarenakan tidak ada proporsi dan pertumbuhannya yang lebih dari satu. b) Kategori Potensial Sebagian besar ayat Retribusi Daerah baik sebelum maupun saat era otda mempunyai kategori potensial. Retribusi Daerah sebelum otda yang termasuk dalam kategori potensial yaitu:
Retribusi
Leges,
Uang
Dispensi
Jalan,
Uang
Penambangan, ijin Mendirikan Bangunan, Uang Pengujian Kentator, Retribusi Terminal, Pelayanan Kesehatan, Pasar, Penerimaan Puskesmas, Rice Mills, Pendaftaran Perusahaan Angkutan,
Pendaftaran
Kelahiran,
Pemeriksaan
Calon
Pengantin, IPAIR, Izin Tempat Pemakaman, Penyeberangan Jalan di Atas Air dan Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah. Sedangkan saat era otda Retribusi yang tergolong potensial adalah: Pelayanan Kebersihan, Parkir Di tepi Jalan Umum, Retribusi Pasar, Pengujian Kendaraan Bermotor, Jasa Usaha Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Terminal, Penyedotan Kakus, Rumah Potong Hewan, Penyeberangan Jalan di air, Izin Penggunaan
tanah,
Izin
Trayek,
Pemeriksaan
Kualitas
Lingkungan Laboratorium DKK, Ijin Usaha Industri dan Retribusi Pelayanan Administrasi. c) Kategori Berkembang Penerimaan Retribusi Daerah Kabupaten Karanganyar sebelum otda yang termasuk dalam kategori berkembang adalah Retribusi Tebasan Hasil Bumi. Sedangkan saat era otda tidak ada yang tergolong berkembang, hal ini dikarenakan tidak ada ayat Retribusi yang mempunyai proporsi kurang dari satu dan pertumbuhannya yang lebih dari satu. d) Kategori Terbelakang Yang tergolong Retribusi kategori terbelakang sebelum era otda antara lain: Retribusi Uang
Parkir Kendaraan, Uang
Pemeriksaan Pembantaian, Tempat Rekreasi dan Olahraga, Kebersihan, Ijin HO dan Retribusi Biaya Cetak KTP. Sedangkan saat era otda yang termasuk dalam kategori terbelakang yaitu: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Biaya Cetak
KTP dan Kartu Keluarga, Tempat Rekreasi dan Olah Raga, IMB, Izin Gangguan, Ijin Sarana Kesehatan dan Umum, Surat Ijin Usaha Perdagangan, Tanda Daftar Gudang, Tanda Daftar Perusahaan, Ijin Usaha Jasa Konstruksi dan Retribusi Ijin Penggilingan Padi. Alternatif kebijakan atau upaya yang dapat diambil atau diterapkan dalam usaha peningkatan setiap klasifikasi yang tersebut diatas akan berbeda-beda. Untuk jenis Pajak/Retribusi Daerah yang mempunyai kategori prima, maka kebijakan yang telah diterapkan pada tahun-tahun sebelumnya dapat tetap digunakan dengan mempertahankan tingkat pertumbuhan dan proporsinya. Jika potensial, maka upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengintensifkan pemungutan dari sumber penerimaan yang ada sehingga terjadi perubahan penerimaan. Untuk jenis Pajak/Retribusi Daerah dengan kategori berkembang perlu diupayakan peningkatan dengan menggali sumber penerimaan baru dengan tingkat pertumbuhan seperti pada tahun sebelumnya. Sedangkan untuk jenis Pajak/Retribusi
Daerah
yang
berkategori
terbelakang
perlu
diupayakan peningkatan penerimaan dengan menggali sumbersumber penerimaan baru dan meningkatkan penerimaan yang ada dari tahun sebelumnya. b. Hipotesis 2: Kontribusi PAD terhadap Penerimaan APBD Rasio kontribusi PAD terhadap APBD ini menunjukkan seberapa besar peranan penerimaan dari pos PAD dalam menyokong
Anggaran
Pendapatan
pembangunan
daerahnya.
Daerah Semakin
untuk besar
membiayai rasio
aktivitas
kontribusinya,
sumbangan PAD terhadap Pendapatan Daerah semakin besar dan menunjukkan kemampuan daerah dalam menggali potensi yang ada dengan penerimaan PAD yang tinggi. Hal ini juga akan menopang kemandirian daerah itu dalam keuangan daerahnya. Tabel 4.18
Kontribusi PAD terhadap Penerimaan APBD Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Pelaksanaan OTDA (1996/1997-2005) Jumlah Penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah
Jumlah Penerimaan PAD
Rasio KONTRIBUSI PAD(%)
1996/1997
31,254,821,329
6,030,943,089
19.30%
1997/1998
39,681,536,619
7,086,940,570
17.86%
1998/1999
66,766,181,128
8,021,252,027
12.01%
1999/2000
90,323,040,505
9,418,350,336
10.43%
9,095,283,164 83,832,297,421 Rata-rata Sebelum OTDA
10.85% 14.09%
Tahun
2000
2001
253,490,644,735
16,545,956,474
6.53%
2002
289,482,690,633
22,497,807,067
7.77%
2003
357,223,479,552
24,999,337,372
7.00%
2004
373,132,453,105
29,485,262,926
7.90%
391,630,896,577 34,302,564,901 Rata-rata Saat OTDA
8.76% 7.59%
2005
Sumber: Data Sekunder Dinas Pendapatan Diolah
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa era sebelum Otonomi Daerah PAD memberikan kontribusi yang lebih besar hampir 2 kali lipat dari pada era dilaksanakannya Otonomi Daerah. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi PAD terhadap Pendapatan Daerah era
pelaksanaan Otonomi Daerah yang hanya sebesar 7,59 %, yang kalah jauh dibandingkan sebelum Otonomi Daerah yang mencapai 14,09 %. Apabila diuji secara statistik dapat diketahui bahwa ada perbedaan yang berarti antara kontribusi penerimaan PAD terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar, karena prosentasenya berbeda jauh. Hal ini dibuktikan dengan nilai thitung > ttabel , yaitu 3,069 > 2,776, sehingga H0 ditolak. Walaupun demikian, penerimaan PAD masih memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap Pendapatan Daerah.
c. Hipotesis 3 1) Pertumbuhan PAD Sebelum dan Pada Era Otonomi Daerah Dalam menilai kinerja keuangan daerah, Pemerintah Daerah dituntut
untuk
menggali
potensi
riil
daerah
itu
dengan
menunjukkan penerimaan dari pos PAD yang tinggi. Dengan semakin meningkatnya pembiayaaan Pemerintah Daerah untuk pembangunan sarana dan prasarana, maka penerimaan PAD seharusnya juga senantiasa mengalami peningkatan sehingga kemandirian dan otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab dapat dilaksanakan dengan baik. Dari tahun ke tahun pertumbuhan penerimaan PAD bersifat fluktuatif, bahkan pada tahun 2000 mengalami penerimaan yang menurun dari tahun sebelumnya sehingga pertumbuhannya negatif. Walaupun pertumbuhannya tidak memperlihatkan trend
yang terus naik, namun penerimaan PAD dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan kecuali pada tahun 2000. Pertumbuhan PAD tertinggi ditunjukkan pada tahun pergantian era sebelum OTDA ke era OTDA yaitu tahun 2000 ke tahun 2001 dengan angka pertumbuhan mencapai 0,82. Tabel 4.19 Pertumbuhan Penerimaan PAD Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Era Pelaksanaan OTDA (1996/1997-2005) Tahun PAD Pertumbuhan 1996/1997 6.030.943.089 0,14 1997/1998 7.086.940.570 0,18 1998/1999 8.021.252.027 0,13 1999/2000 9.418.350.336 0,17 2000 9.095.283.164 (0,03) Rata-Rata Sebelum 7.930.553.837 0,09 OTDA 2001 16.545.956.474 0,82 2002 22.497.807.067 0,36 2003 24.999.337.372 0,11 2004 29.485.262.926 0,18 2005 34.302.564.901 0,16 Rata-rata Saat 25.566.185.748 0,33 OTDA Sumber: Data Sekunder Dinas Pendapatan Diolah
Rata-rata pertumbuhan sebelum Otonomi Daerah sebesar 0,09 sedangkan rata-rata pertumbuhan pada saat pelaksanaan Otonomi daerah mencapai 0,33. Dengan demikian, Pemerintah Daerah telah menujukkan peningkatan penerimaan PAD dari era sebelum Otonomi Daerah dan era pelaksananaan Otonomi Daerah. Secara statistik pertumbuhan PAD antara sebelum otda dan pada era otda tidak terdapat perbedaan berarti, hal ini diketahui dari nilai -ttabel £ thitung £ ttabel, yaitu -2,776£ -1,657 £ 2,776, sehingga menerima H0.
2) Prospek dan Pertumbuhan Penerimaan PAD 5 Tahun Mendatang Untuk mengetahui prospek penerimaan PAD 5 tahun mendatang digunakan analisis trend linier dengan metode least square: Y=a +bX Dimana: Y = Jumlah Penerimaan PAD a = Jumlah PAD b = Koefisien Trend Linier X = Besarnya perubahan variabel Y yang terjadi pada setiap perubahan unit perubahan variabel X. Tabel 4.20
Perhitungan Trend PAD Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Era OTDA (1996/1997-2005)
Tahun
X
Y
X*Y
X2
1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Jumlah
(9) (7) (5) (3) (1) 1 3 5 7 9 0
6.030.943.089 7.086.940.570 8.021.252.027 9.418.350.336 9.095.283.164 16.545.956.474 22.497.807.067 24.999.337.372 29.485.262.926 34.302.564.901 167.483.697.926
-54.278.487.801 -49.608.583.990 -40.106.260.135 -28.255.051.008 -9.095.283.164 16.545.956.474 67.493.421.201 124.996.686.860 206.396.840.482 308.723.084.109 542.812.323.028
81 49 25 9 1 1 9 25 49 81 330
Sumber: Data Sekunder Dinas Pendapatan Diolah
Hasil perhitungan metode least square: a = S Y = 167.483.697.926 = 16.748.369.792,60 N 10 b = S X*Y = 542.812.323.028 = 1.644.885.827,36 SX 330
Dari hasil perhitungan trend tersebut dapat diperoleh persamaan regresi linier: Y = 16.748.369.792,60 + 1.644.885.827,36 X Berdasarkan persamaan trend regresi linier diatas, maka dapat diketahui rata-rata perkembangan PAD Kabupaten Karanganyar menunjukkan ke arah positif, hal ini ditunjukkan dengan besaran koefisien intersep (b) sebesar 1.644.885.827,36. Dari analisis diatas dapat diketahui prospek penerimaan PAD Kabupaten
Karanganyar
selama
5
tahun
mendatang
serta
pertumbuhannya. Tabel 4.21 Prospek Penerimaan PAD Kabupaten Karanganyar 5 tahun mendatang Tahun X Y (Penerimaan PAD) Pertumbuhan 2006 2007 2008 2009 2010
11 13 15 17 19
34.842.113.893,53 38.131.885.548,25 41.421.657.202,96 44.711.428.857,68 48.001.200.512,39
1,57 9,44 8,63 7,94 7,36
Sumber: Perhitungan Trend Data Sekunder Dinas Pendapatan Diolah.
Dari hasil analisis prospek penerimaan PAD 5 tahun mendatang diperkirakan bahwa penerimaan PAD terus mengalami peningkatan dan pertumbuhan setiap tahunnya positif dengan pertumbuhan tertinggi sebesar 9,44 % dan pertumbuhan terendah 1,57 %. d. Hipotesis 4: Uji Analisis Beda Dua Mean Penerimaan PAD sebelum dan Pada Era Otonomi Daerah Penerimaaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Karanganyar dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan yang mengalami peningkatan. Akan tetapi, untuk mengetahui rata-rata penerimaan
PAD sebelum OTDA dan pada saat pelaksanaan OTDA dapat di analisis dengan menggunakan uji analisis Beda Dua Mean. Dari analisis ini akan diketahui apakah ada perbedaan berarti penerimaan PAD antara era sebelum OTDA dan pada saat pelaksanaan OTDA. Berdasarkan analisis Uji Beda Dua Mean yang dilakukan diperoleh hasil bahwa nilai thitung yaitu sebesar -6,92. Maka H0 ditolak karena thitung
-6,92 < -ttabel -2,776. Maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan berarti antara penerimaan PAD sebelum Otonomi Daerah dan pada era Otonomi Daerah.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada Bab terakhir, akan disajikan ringkasan dari uraian penelitian yang telah dilakukan. Selain kesimpulan, penulis akan mengajukan beberapa saran untuk masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar terkait dengan kebijakan dalam penggalian potensi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada saat sebelum Otonomi Daerah (1996/1997) dan pada era Otonomi Daerah (2001-2005). A. Kesimpulan Dari hasil analisis pembahasan dan uji hipotesis yang telah dilakukan terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar, baik pada saat sebelum melaksanakan Otonomi Daerah (OTDA) maupun pada saat diberlakukannya Otonomi Daerah dapat diperoleh berbagai kesimpulan sebagai berikut: Tabel 5.1
Tabel Kesimpulan Analisis Penerimaan PAD Kabupaten Karanganyar Sebelum Otonomi Daerah (1996/1997-2000) dan Pada Era Otonomi Daerah (2001-2005) Evaluasi Satuan/Kriteria Sebelum Pada Era Penerimaan Penilaian Otonomi Daerah Otonomi Daerah PAD Efisiensi Efisien, e<1 e=0,0188 Efisien e=0,0218 Efisien Efektivitas Elastisitas
Efektif, e>1 ADHB
Elastis, e>1
ADHK
e=4,85
Efektif e=7,97
e=1,182
Elastis
e=1,673
e=6,009
Efektif Elastis
e=19,143
Kontribusi
Prosentase
14,09 %
7,59 %
Pertumbuhan
Prosentase
9%
33 %
Penerimaan PAD
Rupiah
7.943.153.837,2
25.566.185.748,0
Sumber : Data Dinas Pendapatan diolah
1. Evaluasi penerimaan PAD Kabupaten Karanganyar dapat dilihat dari penilaian rasio-rasio efisiensi, efektivitas, elastisitas dan matrik potensi PAD serta melihat kontribusinya terhadap Anggaran Pendapatan Daerah. a. Pada tahun penelitan sebelum Otonomi Daerah (1996/1997-2000) rata-rata efisiensinya sebesar 1,88 %, lebih baik dari pada saat pelaksanaan Otonomi Daerah (2001-2005) dimana tingkat rata-rata efisiensinya sebesar 2,18 %. Jadi dapat disimpulkan bahwa efisiensi penerimaan PAD sebelum OTDA lebih baik dari pada saat OTDA. Sehingga dapat dikatakan pada saat OTDA, Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar belum mampu meningkatkan efisiensinya dengan biaya pemungutan yang sama untuk meningkatkan penerimaan PAD. b. Rata-rata efektivitas PAD Kabupaten Karanganyar pada saat sebelum OTDA lebih rendah dari pada saat sudah ditetapkan OTDA. Sebelum OTDA rata-rata efektivitas PAD hanya sebesar 104,85 %, sedangkan pada saat OTDA mencapai 107,97 %. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah diberlakukannya OTDA Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar mampu meningkatkan efektivitas penerimaan PAD. c. Dari hasil penelitian diperoleh rata-rata elastisitas PAD ADHB sebelum OTDA yaitu hanya sebesar 1,182 lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata elastisitas PAD setelah OTDA ditetapkan yang mencapai 6,009. Sedangkan elastisitas PAD ADHK
sebelum OTDA hanya sebesar 1,673 yang sangat kecil dibandingkan pada era OTDA yang mencapai 19,43. d. Dari hasil perhitungan matrik potensi PAD terhadap Pajak dan Retribusi Daerah baik sebelum maupun saat Otonomi Daerah dapat diketahui bahwa sebagian besar ayat Pajak dan Retribusi Daerah di Kategori potensial, dan sisanya termasuk dalam kategori terbelakang. Tidak ada Pajak Daerah yang termasuk dalam kategori berkembang baik sebelum otda maupun pada era otda, dan hanya Retribusi Tebasan Hasil Bumi yang termasuk dalam kategori berkembang saat sebelum otda ditetapkan, sementara pada era otda tidak ada ayat Retribusi Daerah yang tergolong dalam kategori berkembang. Sedangkan yang tergolong dalam kategori prima yaitu Pajak Hotel dan Restoran Sebelum Otonomi Daerah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan Otonomi Daerah belum mampu menggeser beberapa ayat Pajak/Retribusi Daerah ketingkat pertumbuhan maupun proporsi yang lebih baik. 2. Kontribusi PAD terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan pada saat sebelum OTDA sebesar 14,09 %, dua kali lebih besar dari pada saat pelaksanaan OTDA yang hanya 7,59 %. Jadi disimpulkan bahwa pelaksanaan OTDA belum mampu meningkatkan potensi penerimaan PAD karena kontribusi yang diberikan terhadap Pendapatan Daerah masih sangat kecil. Hal ini dikarenakan tingginya bagian perimbangan dari Pemerintah Pusat.
3. Pertumbuhan PAD selama 10 tahun penelitian (1996/1997-2005) mengalami pertumbuhan positif kecuali tahun 2000 yang mengalami pertumbuhan negatif, hal ini dikarenakan proses transformasi dari era sebelum OTDA ke era pelaksanaan OTDA. Prospek penerimaan PAD selama 5 tahun mendatang juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat dan pertumbuhan yang positif. 4. Berdasarkan analisis Hipotesis Uji Beda Dua mean dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang berarti antara penerimaan sebelum dan saat era Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan penerimaan PAD saat era Otonomi Daerah cukup tinggi. Secara Umum dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah masih belum memberikan perubahan berarti dari era sebelumnya. Hal ini dapat terlihat dari kinerja PAD yang masih belum memberikan kontribusi besar
terhadap
Pendapatan
Daerah,
atau
dapat
dikatakan
bahwa
ketergantungan Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar masih tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya kesiapan Pemerintah Darah Kabupaten Karanganyar dalam menghadapi era Otonomi Daerah.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dan dalam rangka meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Karanganyar, maka penulis merekomendasikan beberapa langkah strategis dalam upaya intensifikasi dan ekstensifikasi PAD Kabupaten Karanganyar. Saran tersebut antara lain:
1. Membuat peraturan-peraturan pendukung seperti Peraturan Daerah (Perda) yang dapat menopang Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Perda ini sangat diperlukan dalam rangka mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Karanganyar, karena Perda akan dibuat berdasarkan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah tersebut. 2. Mengoptimalkan potensi daerah dengan menggali potensi-potensi yang selama ini belum/kurang diberdayakan sehingga peluang baru untuk sumber penerimaan baru dapat dicari, asalkan tidak mengekploitasi masyarakat dengan sosialisasi yang cukup. Hal ini juga bisa dilakukan dengan mengoptimalkan peran BUMD yang masih sangat potensial untuk dikembangkan untuk meningkatkan penerimaan daerah. 3. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Pengelola PAD dengan mengadakan seminar, pelatihan dan training, seperti seminar tentang GCG (Good Corporate Governance), training Pengeloaan Keuangan Daerah maupun training ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Pelatihan ini juga akan berguna untuk mengurangi pelanggaran dan penyelewengan dalam pengelolaan PAD. Untuk memenuhi kebutuhan SDM yang berkualitas dapat dilakukan dengan seleksi yang ketat dalam perekrutan pegawai baru sesuai dengan kapabilitasnya. 4. Mengevaluasi penerimaan PAD setiap tahunnya agar dapat diketahui perkembangan PAD pada tahun itu dan untuk merencanakan langkahlangkah stratejik untuk meningkatkan penerimaan PAD ke depannya.
5. Mengembangkan strategi kemampuan keuangan daerah yang baru, misalkan melalui perintisan bentuk kerjasama baru baik dengan pemerintah maupun dengan badan swasta (domestik maupun asing) sehingga dapat menjadi alternatif sumber PAD yang lebih prospektif dan dinamis variatif. Kerjasama ekonomi tersebut bisa jadi mengarah pada bentuk kontrak-kontrak usaha bersama yang saling menguntungkan. Dalam rangka mewujudkan tujuan Otonomi Daerah dan mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah yang efektif, diperlukan kelembagaan yang demokratis, efisiensi pengelolaan sumber daya, aparatur yang berkualitas, potensi ekonomi daerah yang dapat digerakkan sebagai sumber pendapatan daerah, dan pemberian insentif fiskal/non fiskal guna menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi para pelaku ekonomi (BUMN, BUMD, Koperasi, dan Swasta) serta pengaturan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang adil dan proporsional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. 2001. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Revisi. Yogyakarta: AMP YKPN. Abdullah, Piter; Armida S. Alisjahbana; Nury Effendi; dan Boediono. 2002. Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. Edisi pertama, cetakan pertama. Yogyakarta: BPFE UGM. Anita Widyaningrum. 2004. Analisis Realisasi dan Prospek Pendapatan Asli Daerah Surakarta. Skripsi Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi UNS. Tidak dipublikasikan. BAPPEDA-BPS Kabupaten Karanganyar. (Beberapa Terbitan). Karanganyar Dalam Angka. Karanganyar: BAPPEDA-BPS Kabupaten Karanganyar. BAPPEDA-BPS Kabupaten Karanganyar. (Beberapa Terbitan). Pendapatan Regional Domestik Bruto Karanganyar. Karanganyar: BAPPEDA-BPS Kabupaten Karanganyar. Dhinaryati. 2003. Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah Kota Surakarta. Skripsi Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi UNS. Tidak dipublikasikan. Djarwanto, P S. 1998. Statistik Induktif. Edisi Keempat. Yogyakarta: BPFEUniversitas Gajah Mada. Dyah Arsih Purwanti. 2003. Studi mengenai Potensi, Efisiensi dan Efektitivitas Pajak Hotel dan Restoran dalam Upaya Peningkatan PAD Karanganyar Tahun 2003. Skripsi Mahasiswa Fakultas Ekonomi UNS. Tidak dipublikasikan. Erlita Dewi. 2003. Identifikasi Sumber Pendapatan Asli Daerah dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. Skripsi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Uneversitas Sumatera Utara. Made Suwandi. 2000. Isu-isu Strategis Penataan Otonomi Daerah. (Disampaikan dalam Lokakarya Agenda pemukiman dan Pengembangan Wilayah Indonesia 2000-2005) Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Mubyarto. 2001. Prospek Otonomi Daerah dan perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi. Yogayakarta: BPFE UGM. Mudrajad Kuncoro. 2000. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan Kebijakan. Jakarta: LP3ES. Mulyanto. 2003. Identifikasi dan Analisis Sektor Ekonomi Unggulan di Kawasan Subosukawonosraten Propinsi Jawa Tengah. Usul Penelitian Dosen Muda. Surakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. M. Suparmoko. 1992. Keuangan Daerah dalam Teori dan Praktek. Edisi Keempat, Cetakan Ketiga. Yogyakarta:PFE UGM. Raksaka Mahi. 2005. Peran Pendapatan Asli Darah di Era Otonomi. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Volume VI. Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. ________________. Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ________________. Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839). . Undang-Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848). . Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437). . Undang-Undang No. 34/2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 No. 246, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4048). Rina Ika Sari. 2004. Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah Ditinjau dari Aspek Keuangan Daerah. Skripsi Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi UNS. Tidak dipublikasikan. Riwu Kaho, Yosef. 1985. Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
_______________. 1991. Otonomi Daerah dan Titik Beratnya di Letakkan Pada Daerah Tingkat II. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Karanganyar. APBD Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 1996/1997 sampai dengan Tahun 2005. Titik Wijayanti. 2004. Analisis Efektifitas dan Efisiensi Pemungutan Retribusi Daerah Kabupaten Sukoharjo Periode 1994/1995 – 1999/2000. Skripsi Mahasiswa Ekonomi Pembanunan UNS. Tidak dipublikasikan. Todaro, M. P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh. Jakarta: Erlangga. Yunastiti Purwaningsih. 2003. Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Surakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Yuswandi A Tumenggung dan Ahmad Kamil. 2001. Pemanfaatan Data Spasial Sosial Ekonomi dalam rangka Mendukung Otonomi Daerah.
Lampiran 11 Ayat Pajak Pjk Potong Hewan Pjk Pembangunan I Pjk Radio Pjk Bangsa Asing Pjk Pertunjukan Pjk Reklame Pjk Anjing Pjk Kentator Pjk PJU Pjk Pendaftaran Perush Pjk Pengeras Suara Pjk Galian Gol. C Pjk ABT/APT Pjk Hotel dan Restoran
1996 Potensial Potensial Potensial Potensial Terbelakang Terbelakang Potensial Potensial Potensial Terbelakang Prima Terbelakang Terbelakang -
1997 Potensial Potensial Potensial Potensial Terbelakang Terbelakang Potensial Potensial Terbelakang Potensial Potensial Terbelakang -
1998 Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang Potensial Potensial -
1999
2000
Potensial Potensial Potensial Potensial Potensial Potensial -
Potensial Potensial Potensial Potensial Potensial Prima
Rerata Potensial Potensial Potensial Potensial Terbelakang Terbelakang Potensial Potensial Potensial Terbelakang Potensial Potensial Potensial Prima
Lampiran 12 Ayat Pajak Pjk Hotel dan Resto ran Pjk Pertunjukan Pjk Reklame PjkPenerangan Jalan Umum Pjk Galian Gol. C Pjk ABT/APT Pjk Parkir
2001
2002
2003
2004
2005
Rerata
Terbelakang
Terbelakang
Terbelakang
Terbelakang
Potensial
Terbelakang
Terbelakang Terbelakang
Terbelakang Terbelakang
Potensial Terbelakang
Potensial Potensial
Potensial Potensial
Potensial Terbelakang
Terbelakang
Terbelakang
Potensial
Potensial
Potensial
Potensial
Terbelakang Potensial -
Terbelakang Potensial Terbelakang
Potensial Potensial Terbelakang
Potensial Potensial Potensial
Potensial Potensial Potensial
Potensial Potensial Potensial
Lampiran 13 Ayat Retribusi R. Leges R. Uang Dispensasi Jalan R. Uang Parkir Kendaraan R. Uang Penambangan R. Uang Pemeriksaan Pembantaian R. Ijin Mendirikan Bangunan R. Uang Pengujian Kentator R. Terminal R. Pelayanan Kesehatan R. Tempat Rekreasi dan Olah Raga R. Pasar R. Ricemills R. Pendaftaran Perush. Angkutan R. Pendaftaran Kelahiran R. Pemeriksaan Calon Pengantin R. Tebasan Hasil Bumi R. Kebersihan R. Cetak Kartu Keluarga Dan KTP R. Ijin HO R. IPAIR R. Ijin Tempat Pemakaman R. Penyebrangan Jalan di Atas Air R. Pemakaian Kekayaan Daerah
1999
2000
Potensial Potensial Potensial Potensial Terbelakang
1996
Potensial Potensial Potensial Potensial Terbelakang
1997
Terbelakang Terbelakang Potensial Terbelakang
1998
Terbelakang Terbelakang
Terbelakang Potensial
Rerata Potensial Potensial Terbelakang Potensial Terbelakang
Potensial
Potensial
Terbelakang
Terbelakang
Potensial
Potensial
Potensial Potensial Terbelakang Terbelakang
Potensial Potensial Terbelakang Terbelakang
Potensial Potensial Terbelakang
Potensial Potensial Terbelakang
Terbelakang Potensial Potensial
Potensial Potensial Potensial Terbelakang
Terbelakang Potensial Potensial
Terbelakang Potensial Potensial
Potensial Terbelakang -
Potensial -
Potensial -
Potensial Potensial Potensial
Potensial Potensial
Potensial Potensial
Terbelakang Terbelakang
-
-
Potensial Potensial
Berkembang Potensial Terbelakang
Berkembang Potensial Terbelakang
Terbelakang Terbelakang Potensial
Terbelakang Terbelakang
Terbelakang Terbelakang
Berkembang Terbelakang Terbelakang
Terbelakang Potensial Terbelakang -
Terbelakang Potensial Terbelakang -
Potensial Potensial -
Terbelakang Potensial Terbelakang
Potensial Potensial Potensial Potensial
Terbelakang Potensial Potensial Potensial
-
-
-
Terbelakang
Potensial
Potensial
Lampiran 14 Ayat Retribusi
2001
2002
2003
2004
2005
R. Pelayanan Kesehatan R. Pelayanan Persampahan R. Cetak KTP dan Kartu Keluarga R. Pemakaman R. Parkir di Tepi Jalan Umum R. Pasar R. Pengujian Kendaraan Bermotor R. Pamakaian Kekayaan Daerah R. Terminal R. Tempat Khusus Parkir R. Penyedotan Kakus R. Rumah Potong Hewan R. Tempat Rekreasi dan Olah Raga R. Penyebrangan Jalan di Atas Air R. Ijin Penggunaan Tanah R. Ijin Mendirikan Bangunan R. Ijin Gangguan R. Ijin Trayek R. Pemeriksaan Lab. Lingk dan DKK R. Ijin Sarana Kesehatan dan Umum R. Surat Ijin Usaha Perdagangan R. Ijin Usaha Industri R. Tanda Daftar Gudang R. Tanda Daftar Perusahaan R. Ijin Usaha Jasa Konstruksi R. Ijin Penggilingan Padi R. Pelayanan Administrasi
Terbelakang
Terbelakang
Terbelakang
Potensial
Potensial
Terbelakang
Rerata
Terbelakang
Terbelakang
Potensial
Potensial
Potensial
Potensial
Terbelakang
Potensial
Terbelakang
Terbelakang
Potensial
Terbelakang
Terbelakang Terbelakang
Terbelakang Terbelakang
Potensial Potensial
Terbelakang Potensial
Potensial Potensial
Terbelakang Potensial
Terbelakang Terbelakang
Potensial Potensial
Terbelakang Potensial
Potensial Potensial
Potensial Potensial
Potensial Potensial
Terbelakang
Terbelakang
Potensial
Potensial
Potensial
Potensial
Terbelakang Terbelakang
Terbelakang Terbelakang
Potensial Terbelakang
Potensial Potensial
Potensial Potensial
Potensial Potensial
Terbelakang Terbelakang
Potensial Potensial
Potensial Potensial
Potensial Potensial
Potensial Terbelakang
Potensial Potensial
Terbelakang
Terbelakang
Terbelakang
Potensial
Potensial
Terbelakang
Terbelakang
Potensial
Potensial
-
-
Potensial
Terbelakang
Potensial
Potensial
Potensial
Terbelakang
Potensial
Terbelakang
Terbelakang
Terbelakang
Potensial
Potensial
Terbelakang
Terbelakang Terbelakang -
Terbelakang Terbelakang
Terbelakang Potensial Potensial
Potensial Potensial Potensial
Potensial Potensial Potensial
Terbelakang Potensial Potensial
-
Terbelakang
Terbelakang
Terbelakang
Potensial
Terbelakang
-
-
Terbelakang
Terbelakang
Potensial
Terbelakang
-
-
Terbelakang Potensial
Potensial Terbelakang
Potensial Terbelakang
Potensial Terbelakang
-
-
Terbelakang
Terbelakang
Potensial
Terbelakang
-
-
Potensial
Terbelakang
Terbelakang
Terbelakang
-
-
Potensial
Terbelakang
Terbelakang
Terbelakang
-
-
Terbelakang
Potensial
Potensial
Potensial