ANALISIS KETERKAITAN STRUKTUR PENGANGGARAN DENGAN TIPOLOGI PERMASALAHAN DAERAH UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH
OLEH :
ZUL AMRI NRP : P.15500038.E
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ANALISIS KETERKAITAN STRUKTUR PENGANGGARAN DENGAN TIPOLOGI PERMASALAHAN DAERAH UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH
ZUL AMRI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK
ZUL AMRI: Analisis Keterkaitan Struktur Penganggaran dengan Tipologi Permasalahan Daerah Untuk Optimalisasi Kinerja Pembangunan Daerah. Dibimbing oleh H.R. SUNSUN SAEFULHAKIM sebagai Ketua dan H. AFFENDI ANWAR sebagai Anggota. Krisis keuangan yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 memberikan dampak negatif pada kondisi ekonomi secara keseluruhan. Berlarut- larutnya krisis ini dipicu oleh antara lain lemahnya kinerja aparatur pemerintah dan banyaknya kebijakan yang tidak tepat sasaran, misalnya terjadinya misallocation dalam penganggaran daerah. Fenomena ini menimbulkan pemikiran bahwa dibutuhkan suatu penelitian atau kajian dengan pendekatan perencanaan pembangunan khususnya perencanaan dalam penganggaran daerah yang berbasis pada tipologi permasalahan daerah untuk mengoptimalkan kinerja pembangunan daerah. Tujuan penelitian adalah: (1) mengidentifikasi profil kinerja pembangunan daerah; (2) mengukur tingkat kesenjangan antar wilayah; (3) mengkaji keterkaitan antara beberapa indikator yang berpengaruh terhadap kinerja pembangunan. Analisis dilakukan dengan: tabulasi, Kuosien Lokasi, Indeks Williamson, korelasi dan regresi. Penelitian ini menemukan adanya ketimpangan dalam pembangunan antar kabupaten/kota, di mana ketimpangan di Provinsi Banten lebih besar dibandingkan dengan di Provinsi Jawa Barat. Secara keseluruhan ada keterkaitan antara kinerja pembangunan dengan struktur anggaran dan tipologi permasalahan daerah. Kata kunci: anggaran, ketimpangan, tipologi, pembangunan regional
iii
ABSTRACT
ZUL AMRI: Relationship Among Budget Structure and Tipology of Regional problems for Optimazing Regional Development Perfor mance. Academic Advisor Team: H.R. SUNSUN SAEFULHAKIM as leader and H. AFFENDI ANWAR as member. The financial crisis beginning in medio 1997 that led to economic turbulence has exerted a negative impact on the economic condition. This condition made development performance became quite low and instable. The misallocation of budget also influenced regional development performance. This fenomena create idea that needs a study about relationship between budget structure and tipology of regional problems for optimizing regional development performance. The purpose of the research are (1) to identify profile of development performances; (2) to measure disparity development among regencies/municipalities in the provinces of West Java and Banten; (3) to measure the correlation among budget structure, tipology problems and development performance; (4) to find principal indicators of development performance. These research use the analytical tool such as: (1) Tabulation Analysis; (2) Location Quotient; (3) Williamson's Index; (4) Correlation and (5) Natural Logarithmic Regression. The result of this research indicates that (1) The structure of economics among regencies/municipalities have led sectors in West Java and Banten. Some regencies/municipalities led in manufacture industries, such as Bekasi (82.87 percent), Bogor (49.27 percent), Purwakarta (44.80 percent), Cilegon (61.84 percent), and Tangerang (56.28 percent). Some regencies/municipalities give large contribution in agriculture sectors such as Subang (42.89 percent), Garut (40.96 percent), Cirebon (37.47 percent), Lebak (40.35 percent), and Pandeglang (36.13 percent); (2) There are lack of development among regencies/municipalities. Williamson's Indices for West Java and Banten are 0.4158 and 0.5846. The figures indicate that disparity of development in Banten is higher than that in West Java; (3) The correlation between growth of Gross Domestic Regional Product (GDRP) and illiteracy rate shows negative coefficient (- 0.8) with P- Value 0.000; (4) In the whole are relationship among performance of development, structure of budget and tipology of regional problems. The regression coefficient of allocation of education budget is 0.419. Meanwhile the regression coefficient rate of illiteracy is - 0.580. This model have P- Value, Multiple R and R Square respectively 0.000, 0.913 and 0.834. All of the result of the research conclude that (1) The Improving of the matching among the budget patern and tipology regional problems will optimize regional development performance (2) The available of competence human resources will speed the regional development performance.(3) The Larger contribution of education budget will increase the regional development performance. Key words: budget, disparity, tipology, regional development
iv
Judul Tesis
: Analisis Keterkaitan Struktur Penganggaran dengan Tipologi Permasalahan Daerah untuk Optimalisasi Kinerja Pembangunan Daerah
Nama Mahasisiwa
: Zul Amri
NRP
: P15500038E
Program Studi
: Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr. Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Affendi Anwar, MSc Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Isang Gonarsyah, MSc.
Prof. Dr.Ir. Sjafrida Manuwoto, MSc
Tanggal Ujian: 1 Februari 2006
Tanggal Lulus:
vii
Kata Pengantar
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., karena dengan rahmat dan hidayah-Nya tesis yang berjudul Analisis Keterkaitan Struktur Penganggaran
Berbasis Tipologi Permasalahan Daerah Untuk Optimalisasi
Kinerja Pembangunan Daerah dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan yang diperlukan guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pasacasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam penyusunan Tesis ini penulis banyak mendapat bantuan, dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak, terutama dari Komisi Pembimbing yaitu: 1. Bapak Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, MAgr
selaku Ketua Komisi
Pembimbing. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Affendi Anwar, MSc dan Bapak Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, MSc. Masing- masing selaku anggota Komisi Pembimbing. 3. Kedua orang tua, istri dan kedua anakku serta saudara-saudaraku yang telah banyak memberikan dukungan do’a, perhatian, pengertian dan dorongan moral dan material yang tidak terhingga. 4. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Atas bimbingan, arahan dan bantuannya kepada penulis selama ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya. Mudah- mudahan semua ini menjadi amal ibadah dan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, Amin. Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima Kasih Bogor, Januari 2006 Penulis
Riwayat Hidup
Penulis dilahirkan di Timbulun, Nagari Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 23 Februari 1962 sebagai anak ke empat dari enam bersaudara dari pasangan Rapilis Said
dan Marianis. Penulis sudah
berkeluarga dengan istri Sarwini dan dikaruniai sepasang anak, Syifa Aulia (9 th) dan Muhammad Hasbi.(4 th). Pendidikan dasar sampai menengah penulis tempuh di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Pendidikan sarjana muda, penulis tempuh di Akademi Ilmu Statistik Jakarta, lulus tahun 1986. Pada tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana ekonomi (Strata 1) pada Universitas Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf Badan Pusat Statistik (BPS) sejak bulan Oktober tahun 1986 sampai 1998. Pada tahun 1998 penulis dipercaya pimpinan BPS sebagai Kepala Sub Bagian Neraca Sektor Riil, Biro Neraca Konsumsi. Pada tanggal 1 Maret 2001 penulis dipercaya menjadi Kepala Seksi Neraca Luar Negeri di Direktorat Neraca Konsumsi. Selanjutnya pada 6 Nopember 2003 penulis dipercaya lagi menjadi Kepala Seksi Konsolidasi Neraca Triwulanan pada Direktorat Neraca Produksi. Pada tanggal 9 September 2004 penulis dipercaya menjadi Kepala Seksi Neraca Perdagangan pada Direktorat Neraca Produksi. Terakhir pada tanggal 18 Januari 2006 penulis dipromosikan menjadi Kepala Bidang Neraca Wilayah dan Analisis BPS Provinsi Kepulauan Riau.
Bogor, Januari 2006 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBARAN PENGESAHAN ...............................................................................
vi
DAFTAR ISI .............................................................................................................
x
DAFTAR TABEL
..............................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................
xv
I. PENDAHULUAN .................................................................................................
1
1.1 Latar belakang...............................................................................................
1
1.2 Perumusan masalah ......................................................................................
3
1.3 Tujuan penelitian ..........................................................................................
4
1.4 Kegunaan penelitian .....................................................................................
4
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................
6
2.1 Pertumbuhan ekonomi dan perubahan strukturnya .......................................
6
2.2 Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).........................................
6
2.3. Pendapatan asli daerah (PAD).........................................................................
10
2.3.1. Pajak daerah .......................................................................................
10
2.3.2. Retribusi daerah .................................................................................
10
2.3.3. Laba perusahaan ..................................................................................
11
2.3.4. Penerimaan lain- lain ...........................................................................
12
2.3.5. Bagi hasil pajak dan bukan pajak .......................................................
12
2.3.6. Sumbangan dan bantuan .....................................................................
12
2.4. Pengeluaran APBD .....................................................................................
14
2.4.1. Belanja rutin ......................................................................................
14
2.4.2. Belanja pembangunan .......................................................................
14
2.5. Konsep indeks pembangunan manusia (IPM) ............................................
15
x
2.5.1. Indeks kemiskinan manusia (IKM) ....................................................
15
2.5.2. Beberapa konsep atau istilah dalam IPM dan IKM ...........................
16
2.6. Otonomi daerah dan desentralisasi ..............................................................
17
2.7. Kewenangan wajib dan standar minimal .....................................................
19
2.8. Implementasi kebijakan keuangan daerah ...................................................
19
2.8.1. Dana perimbangan .............................................................................
20
2.8.2. Pengelolaan keuangan daerah ............................................................
20
2.9. Konsep pembangunan berkelanjutan dan good governance .........................
20
2.7.1 Pembangunan berkelanjutan ...............................................................
20
2.7.2 Good governance ...............................................................................
23
III. METODOLOGI PENELITIAN .....................................................................
24
3.1 Kerangka metodologi ..................................................................................
24
3.2 Analisis tabulasi .................. ......................................................................
25
3.3 Analisis pengembangan sektor prioritas ....................................................
25
3.4 Analisis tingkat ketimpangan wilayah ........................................................
26
3.5 Analisis keterkaitan.....................................................................................
28
IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT DAN BANTEN .........
29
4.1 Jawa Barat ...................................................................................................
29
4.1.1 Sekilas Jawa Barat ..............................................................................
29
4.1.2 Repetada Jawa Barat............................................................................
31
4.1.3 Visi Jawa Barat ...................................................................................
32
4.1.4 Indikator makro Jawa Barat ...............................................................
33
4.2 Banten
...................................................................................................
35
4.2.1 Sejarah singkat Banten........................................................................
35
4.2.2 Kondisi geografis dan iklim Banten ..................................................
37
4.2.3 Gambaran umum penduduk Banten ..................................................
40
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
45
xi
5.1 Struktur penerimaan dan pengeluaran AP BD kabupaten dan kota ..........
45
5.1.1 Struktur penerimaan APBD kab/kota Jawa Barat dan Banten..........
45
5.1.2 Struktur pengeluaran APBD kab/kota Jawa Barat dan Banten .......
45
5.2 Keragaan perekonomian...........................................................................
49
5.2.1 Keragaan perekonomian kab/kota Jawa Barat .................................
49
5.2.2 Keragaan perekonomian Kab/Kota Banten .....................................
59
5.2.3 Pendapatan perkapita kab/kota Jawa Barat dan Banten ...................
63
5.2.4 Analisis sektor unggulan .......................... .......................................
64
5.2.5 Ketimpangan wilayah ................................... ..................................
64
5.3 Tipologi permasalahan daerah ..................................................................
65
5.4 Keterkaitan antara kinerja pembangunan, struktur penganggaran dan tipologi permasalahaan daerah ...............................................................
68
5.5 Pembangunan Berkela njutan dan Good Governance. ................................
71
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
79
8.1 Kesimpulan …………………………………….….……….......................
79
8.2 Saran ............................................................................................ ............
82
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
84
LAMPIRAN
…………………………………………………… …………. 88-160
xii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Indikator makro pencapaian visi dan misi Jawa Barat sampai dengan tahun 2005
34
Tabel 2.
Jumlah kecamatan da n desa/kelurahan menurut kabupaten/kota di Banten
40
Tabel 3.
Jumlah dan persentase penduduk miskin menurut daerah dan jenis kelamin di Banten tahun 2001-2002
43
Tabel 4.
Realisasi penerimaan pemerintah daerah kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998-2000 (ribu rupiah)
46
Tabel 5.
Struktur realisasi penerimaan pemerintah daerah kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998-2000 (ribu rupiah)
47
Tabel 6.
Realisasi pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998-2000 (ribu rupiah)
48
Tabel 7.
Struktur realisasi pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998-2000 (ribu rupiah)
49
Tabel 8.
Struktur dan pertumbuhan ekonomi beberapa sektor dominan kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat tahun 2002 (persen)
50
Tabel 9.
Struktur dan pertumbuhan ekonomi beberapa sektor dominan kabupaten/kota di Propinsi Banten tahun 2002 (persen)
60
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Perencanaan pembangunan menurut tingkatan administrasi pemerintah di Indonesia
8
Gambar 2.
Jenis dan jenjang perencanaan pembangunan
9
Gambar 3.
Skema pengambilan keputusan dana alokasi umum (DAU)
13
Gambar 4.
Pembangunan regional dalam perspektif linkage development dan reform antara rural dan urban
22
Gambar 5.
Pola keterkaitan kinerja pembangunan
24
Gambar 6.
Pendapatan perkapita kabupaten/kota di Jawa Barat dan Banten tahun 1998 (ribu rupiah)
64
Gambar 7.
Angka buta huruf orang dewasa orang dewasa dan balita kurang gizi kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1999 (persen)
66
Gambar 8.
Plot garis regresi variable LnYr dengan LnDidik
69
Gambar 9.
Plot garis regresi variable LnYr dengan LnBH
70
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Bogor atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 20002003 (persen)
88
Lampiran 2.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Bogor atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
89
Lampiran 3.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Sukabumi atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
90
Lampiran 4.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Sukabumi atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 20002003 (persen)
91
Lampiran 5.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Cianjur atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
92
Lampiran 6.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Cianjur atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
93
Lampiran 7.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Bandung atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
94
Lampiran 8.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Bandung atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
95
Lampiran 9.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Garut atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 20002003 (persen)
96
Lampiran 10.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Garut atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
97
xv
Lampiran 11.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Tasikmalaya atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
98
Lampiran 12.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Tasikmalaya atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 20002003 (persen)
99
Lampiran 13.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Ciamis atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
100
Lampiran 14.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Ciamis atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
101
Lampiran 15.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Kuningan atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
102
Lampiran 16.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Kuningan atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 20002003 (persen)
103
Lampiran 17.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Cirebon atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
104
Lampiran 18.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Cirebon atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
105
Lampiran 19.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Majalengka atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
106
Lampiran 20.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Majalengka atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 20002003 (persen)
107
Lampiran 21.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Sumedang atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
108
xvi
Lampiran 22.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Sumedang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 20002003 (persen)
109
Lampiran 23.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Indramayu atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
110
Lampiran 24.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Indramayu atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 20002003 (persen)
111
Lampiran 25.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Subang atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
112
Lampiran 26.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Subang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
113
Lampiran 27.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Purwakarta atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
114
Lampiran 28.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Purwakarta atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 20002003 (persen)
115
Lampiran 29.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Karawang atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
116
Lampiran 30.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Karawang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 20002003 (persen)
117
Lampiran 31.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Bekasi atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
118
xvii
Lampiran 32.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Bekasi atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
119
Lampiran 33.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Bogor atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
120
Lampiran 34.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Bogor atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
121
Lampiran 35.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Sukabumi atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 20002003 (persen)
122
Lampiran 36.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Sukabumi atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
123
Lampiran 37.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Bandung atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 20002003 (persen)
124
Lampiran 38
Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Bandung atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
125
Lampiran 39.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Cirebon atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 20002003 (persen)
126
Lampiran 40.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Cirebon atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
127
Lampiran 41.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Bekasi atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
128
Lampiran 42.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Bekasi atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
129
xviii
Lampiran 43.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Depok atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
130
Lampiran 44.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Depok atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
131
Lampiran 45.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Cimahi atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
132
Lampiran 46.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Cimahi atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
133
Lampiran 47.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Tasikmalaya atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
134
Lampiran 48.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Tasikmalaya atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
135
Lampiran 49.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Banjar atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
136
Lampiran 50.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Banjar atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2000-2003 (persen)
137
Lampiran 51.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Pandeglang atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2002 (persen)
138
Lampiran 52.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Pandeglang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 20012002 (persen)
139
Lampiran 53.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Lebak atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 20002002 (persen)
140
xix
Lampiran 54.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Lebak atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2001-2002 (persen)
141
Lampiran 55.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Tangerang atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2002 (persen)
142
Lampiran 56.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Tangerang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 20012003(persen)
143
Lampiran 57.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kabupaten Serang atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2002 (persen)
144
Lampiran 58.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kabupaten Serang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2001-2002 (persen)
145
Lampiran 59.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Tangerang atas dasar harga berlaku menur ut lapangan usaha tahun 20002002 (persen)
146
Lampiran 60.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Tangerang atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2001-2002 (persen)
147
Lampiran 61.
Distribusi persentase produk domestik bruto Kota Cile gon atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2000-2002 (persen)
148
Lampiran 62.
Pertumbuhan produk domestik bruto Kota Cilegon atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2001-2002 (persen)
149
Lampiran 63.
Indeks pembangunan ma nusia (IPM) menurut kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1996 dan 1999
150
Lampiran 64.
Indeks kemiskinan manusia (IKM) menurut kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1996 dan 1999
151
Lampiran 65.
Kondisi kesehatan menurut kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1996 dan 1999
152
xx
Lampiran 66.
Partisipasi sekolah menurut kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1996 dan 1999
153
Lampiran 67.
Kondisi perumahan menurut kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1996 dan 1999
154
Lampiran 68.
Kinerja perekonomian menurut kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998
155
Lampiran 69.
Jarak antar ibukota di Jawa Barat dan Banten (km)
156
Lampiran 70.
Koefisien ”jarak” antar ibukota di Jawa Barat dan Banten
157
Lampiran 71.
Logaritma natural variable kinerja pembangunan, matriks kontiguitas, rasio anggaran pendidikan dan tingkat buta huruf tahun 2001
158
Lampiran 72.
Output pengolahan keterkaitan kinerja pembangunan
159
xxi
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan wilayah sebagai bagian yang integral dari pembangunan nasional pada hakikatnya dilaksanakan dalam rangka pendayagunaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya kapital dan sumber daya buatan secara menye luruh, terencana, rasional, optimal, bertanggungjawab, yang sesuai dengan kemampuannya, sehingga diharapkan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat secara berkelanjutan. Terjadinya krisis ekonomi pada semua sektor semenjak pertengahan tahun 1997, di mana ketika itu nilai mata uang rupiah terus terpuruk, daya beli (purchasing power) masyarakat melemah. Dampak krisis yang sampai saat ini masih dirasakan sudah menyentuh ke semua sektor (multidimensi). Berlarut- larutnya krisis ini dipicu oleh antara lain lemahnya kinerja aparatur pemerintah dan banyaknya kebijakan yang tidak tepat sasaran, misalnya terjadinya misalocation dalam penganggaran daerah. Pada gilirannya menjadikan kinerja pembangunan tidak optimal.
Fenomena ini
menimbulkan pemikiran bahwa dibut uhkan suatu penelitian atau kajian dengan pendekatan analisis keterkaitan antara struktur penganggaran daerah dengan tipologi permasalahan daerah untuk optimalisasi kinerja pembangunan daerah. Otonomi daerah memberi kesempatan kepada masing-masing daerah untuk lebih menampilkan karakteristik dan potensi lokal. Misalnya penciptaan tata ruang pengolahan sumber daya
alam serta aktualisasi sumber daya manusia. Seperti
diketahui sumber daya yang dimiliki tiap-tiap daerah bervariasi dan terbatas (nonrenewable). Beberapa daerah memiliki surplus yang besar dalam sumber daya alam misalnya minyak bumi, batu bara, kayu dan hasil laut tetapi terbatas dalam sumber daya manusia dan modal. Sementara daerah lain surplus dalam tenaga kerja tetapi terbatas dalam sumber daya alam. Perbedaan karakter yang ada pada tiap-tiap daerah menuntut adanya suatu manajemen pembangunan sumber daya yang mampu melihat
keunggulan
dan
kemampuan
suatu
daerah
yang
pada
gilirannya
menjadikannya sebagai asset pembangunan atau produk unggulan. Dari sisi lain
diharapkan mampu menjadikan kekurangannya untuk berinovasi dan berkreasi serta menjalin kerja sama dengan daerah lain. Namun yang sering terjadi kebijakan pembangunan belum sepenuhnya berbasis pada tipologi wilayah dan standar pelayanan minimal yang merupakan indikator kinerja pembangunan. Hal ini mempunyai implikasi kepada kebijakan pembangunan yang kurang tepat sasaran (efektif) dan efisien serta hasil yang kurang optimal. Sesuai dengan itu maka pembangunan wilayah diarahkan untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup serta lestarinya pemanfaatan sumber daya yang lain. Semenjak bergulirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, arah perencanaan pembangunan sudah lebih condong ke daerah. Bahkan implementasi UU tersebut cenderung disikapi secara berlebihan oleh tokoh dan birokrat daerah untuk memperoleh kewenangan yang lebih besar lagi. Dampak euforia terhadap otonomi daerah ini, banyak daerah yang menyikapi dengan menggali sumber-sumber penerimaan asli daerah (PAD) untuk memperkuat APBD-nya
tanpa
mempertimbangkan
prinsip-prinsip
demokrasi,
partisipasi
masyarakat, azas pemerataan dan keadilan, akuntabilitas serta potensi dan keberagaman daerah. Peningkatan PAD dengan cara menaikkan pajak dan retribusi semata sangat berpotensi menimbulkan kerawanan sosial terutama masyarakat miskin. Sedangkan pemanfaatan(eksploitasi) sumber daya alam secara berlebihan akan menimbulkan dampak pada daya dukung alam dan kelestarian lingkungan. Untuk lebih membumi dan bisa mengakomodasi berberbagai kepentingan, UndangUndang No.22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 derevisi menjadi masing- masing Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Anwar (2000) pada era otonomi daerah, penyesuaian proses pembangunan harus lebih mengedepankan pentingnya pembangunan berbasis wilayah ketimbang pendekatan sektoral. Dalam pembangunan yang berbasis wilayah
2
sangat mengutamakan keharmonisan dan keterpaduan antar sektor, antar spasial dan antar pelaku pembangunan baik didalam wilayah tersebut maupun antar daerah. Jawa Barat dan Banten sebagai daerah penyangga ibu kota didukung oleh sekitar 28 kabupaten/kota memerlukan dukungan infra-struktur termasuk fasilitas sosial dan ekonomi yang memadai, supaya masyarakat dapat melakukan berbagai kegiatan secara mudah. Di sisi lain juga diperlukan peningkatan kinerja pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan publik. Seiring derap otonomi, harapan terhadap aparatur pemerintah daerahpun semakin tinggi. Seorang kepala daerah tidak hanya harus pintar mengelola pemerintahan, tetapi juga harus cerdik mencari peluang dan mengambil keputusan. Dengan kata lain dibutuhkan aparatur pemerintah daerah yang mempunyai kapasitas sumber daya manusia yang mempunyai vision, value and courage ( Tanri Abeng, Media Otonomi, September 2004). Peningkatan kinerja aparatur pemerintahan daerah pada gilirannya sangat tergantung pada kemampuan sumber daya yang dimilki, antara lain adalah kemampuan APBD. Aparat pemerintah yang profesional selalu berorientasi pada pelayanan yang optimal. Pelayanan yang cepat dan bertanggung jawab akan mempercepat pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan memberikan percepatan pada penerimaan PAD. Selanjutnya dengan aparat yang profesional akan memiliki etos kerja dan terhindar dari KKN. Seperti telah disebutkan di atas dengan diundangkannya UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, terjadi pergeseran otoritas dalam menggali sumber-sumber pendapatan, dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sehingga daerah tidak terlalu bergantung pada subsidi pemerintah pusat dalam
memperkuat APBDnya.
Dengan demikian daerah harus mampu
memaksimalkan dan mengefektifkan penerimaan dan pengeluarannya.
1.2. Perumusan Masalah Kenyataan lapang bisa dilihat/dir asakan bahwa adanya ruang yang masih kosong yang membutuhkan upaya untuk diisi dengan me sinergikan sumberdaya sehingga tercapai tingkat kinerja pembangunan daerah yang optimal. Untuk mengoptimalkan kinerja pembangunan daerah tersebut, maka perlu diperhatikan dan dikemukakan beberapa permasalahan, yaitu:
3
1. Bagaimana struktur perekonomian dan sektor apa saja yang dominan dan di kabupaten kota mana saja terdapat sentral- sentral sektoral dan berapa besar pertumbuhannya di propinsi Jawa Barat dan Banten ? 2. Rendahnya besaran pendapatan perkapita dan adanya ketimpangan pembangunan. 3. Bagaimana struktur alokasi penganggaran khususnya pengeluaran dua sektor pilar pembangunan, yaitu: pendidikan dan kesehatan? 4. Apakah sudah match antara tipologi permasalahan daerah dengan alokasi penganggaran daerah? 5. Apa penyebab utama tidak optimalnya kinerja pembangunan daerah tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi profil “kinerja pembangunan daerah” baik ditinjau dari struktur perekonomian, pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita kabupaten/kota. 2. Mengukur tingkat kesenjangan antar wilayah. 3. Mengukur keterkaitan struktur alokasi penganggaran khususnya sektor pilar pembangunan yaitu pendidikan dengan variabel tipologi permasalahan daerah antara lain variabel tingkat buta huruf. 4. Mengukur keterkaitan indikator kinerja pembangunan dengan variabel struktur alokasi penganggaran dan variabel tipologi permasalahan daerah. 5. Mengetahui indikator yang sangat mempengaruhi kinerja pembangunan.
1.4. Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi arahan dan dasar pertimbangan: 1. Pada perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah pada tahun-tahun mendatang. 2. Untuk pemerintah daerah dalam perumusan kebijaksanaan pembangunan daerah khususnya
dalam
mengoptimalkan
perekonomian wilayah.
4
kinerja
pembangunan
dan
kinerja
3. Dalam perumusan kebijakan dan penyusunan program pembinaan pembangunan yang berkelanjutan serta dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. 4. Informasi untuk studi dan penelitian yang akan datang khususnya tentang kajian pembangunan wilayah. dan analisis fiskal.
.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Perubahan Strukturnya Kuznet dalam Todaro (1999) memilah menjadi enam bentuk karakteristik yang tercermin dalam pertumbuhan. Keenam karakteristik tersebut adalah sebagai berikut: a. Tingginya tingkat perkembangan output perkapita dan populasi. b. Tingginya peningkatan faktor produktivitas terutama produktivitas tenaga kerja. c. Tingginya tingkat transformasi sosial ekonomi. d. Tingginya tingkat transformasi sosial dan ideologi. e. Kecenderungan negara- negara yang perekonomian yang sudah maju untuk mengembangkan ke segala pelosok dunia guna untuk memperoleh pasaran dan bahan baku. f. Pertumbuhan ekonomi ini hanya terbatas pada sepertiga populasi dunia.
Dari sisi transformasi struktur ekonomi, berdasarkan catatan sejarah pertumb uhan ekonomi
negara-negara
maju,
pertumbuhan
ekonominya
menunjukkan
karakteristik penting yaitu tingginya perubahan struktural dan sektoral.Misalnya adanya perubahan secara bertahap dari kegiatan pertanian ke kegiatan non pertanian.
2.2. Anggaran pendapatan dan belanja daerah Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintahan di Indonesia menganut azas dekonsentrasi, desentralisasi, dan azas pembantuan (medebewind). Oleh sebab itu sistem anggaran di Indonesia merefleksikan pelaksanaan azas-azas pemerintahan tersebut. Sehingga setiap tahun anggaran, perencanaan dan penganggaran dilakukan melalui pendekatan dan mekanisme
perencanaan pembangunan dari atas ke bawah (top-down planning) dan dari bawah ke atas (bottom-up planning). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, tahun anggaran daerah sama dengan tahun anggaran negara. Setiap tahunnya, selambat-lambatnya tiga bulan setelah ditetapkannya APBN oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), APBD ditetapan melalui perda oleh DPRD. APBD yang sudah ditetapkan itu dilaksanakan setelah disahkan oleh pejabat yang berwenang. Untuk APBD Propinsi, pejabat yang mengesahkan perda adalah Menteri Dalam Negeri (Mendagri), sedangkan APBD Kabupaten/Kota disahkan oleh gubernur. Sebagai implementasi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, semenjak tahun 2000 tahun anggaran sudah mengikuti tahun kalender, walaupun untuk tahun 2000 ini tahun anggaran hanya berlangsung sembilan bulan. Pada tahun 2003 Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada undang-Undang ini menetapkan hal- hal baru secara fundamental yang dipandang cukup baik antara lain mengenai keleluasaan yang lebih besar pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam menyiapkan rencana kerja dan anggaran. Kemudian juga ditetapkan mengenai adanya kerangka pengeluaran jangka menengah, dan pengintegrasian anggaran rutin dan pembangunan (Diamar 2003).
7
TAPMPR No. X/MPR/1998
PRESIDEN
APBN
SEKTOR
APBD TK I
APBD TKII
PEMBANGUNAN DAERAH
Gambar 1. Perencanaan pembangunan menurut tingkatan administrasi pemerintahan di Indonesia
Sumber: Tinjauan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi 1999/2000, Bappenas 1999.
8
UUD 45
GBHN 1999
REPETA APBN
PROPENAS
PROPEDA PROPINSI
DEPT/LPND
APBD PROPINSI
PROPEDA
APBD
KAB/KOTA
KAB/KOTA
PEM BANGUNAN NASIONAL DAN PEMBANGUNAN DAERAH
Gambar 2. Jenis dan jenjang perencanaan pembangunan
Sumber: Deddy Supriady Bratakusumah
9
2.3. Pendapatan asli daerah (PAD) Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999, pendapatan asli daerah (PAD) propinsi terdiri atas : (i)
hasil pajak daerah
(ii)
hasil retribusi daerah
(iii)
hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan
(iv)
lain- lain pendapatan asli daerah yang sah.
Rincian PAD dalam UU no.25 Tahun 1999 ini sama seperti Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) yang diatur dalam UU no. 5 Tahun 1974
2.3.1. Pajak daerah Pelaksanaan pajak daerah diatur oleh UU No. 18 Tahun 1997 mengenai pajak daerah dan retribusi daerah. Hampir di setiap daerah, pajak daerah memberikan kontribusi yang dominan dibanding komponen-komponen Pendapatan Asli Daerah lainnya. Dalam peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 18 ini, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 10 Tahun 1998 yang memuat jenis pajak dan retribusi yang dicabut dan tidak dapat dipungut lagi oleh pemerintah baik daerah Propinsi maupun daerah Kabupaten/Kota. Pajak yang tidak dapat dipungut lagi oleh propinsi adalah sebagai berikut: (i)
Pajak atas ijin menangkap ikan di perairan umum di wilayahnya.
(ii)
Pajak alat angkutan air.
(iii)
Bea balik nama angkutan air.
2.3.2. Retribusi daerah Sesuai dengan Undang-Undang yang baru, retribusi daerah propinsi secara umum hanya terdiri dari tiga macam yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu. Retribusi jasa umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemakmuran dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Retribusi jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Retribusi perizinan
10
tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka memberikan izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 10 Tahun 1998, jumlah retribusi propinsi yang dicabut mencapai 16 item retribusi. Ke 16 jenis retribusi tersebut adalah: (i)
pengusahaan tambak ikan di tepi pantai
(ii)
ijin pengambilan pasir, kerikil dan batu kapur
(iii)
pengambilan dan pembakaran batu gamping
(iv)
pengelolaan bahan galian golongan C
(v)
pengujian mutu hasil perikanan
(vi)
leges
(vii)
dispensasi kelas jalan
(viii)
tempat pelelangan ikan
(ix)
penyelenggaraan benih ikan dan udang
(x)
pertambangan rakyat untuk galian emas
(xi)
perizinan pariwisata
(xii)
hasil hutan dan laut
(xiii)
air bawah tanah
(xiv)
sertifkat prakualifikasi
(xv)
pungutan atas dokumen lelang
(xvi)
penimbunan dan penyimpangan bahan bakar
2. 3.3. Laba perusahaan Jika negara memiliki badan usaha milik negara, maka daerah pun punya badan usaha milik daerah (BUMD). BUMD bergerak di berbagai bidang usaha seperti perbankan (BPD), air bersih, dan sebagainya. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1962 mengenai perusahaan daerah ditujukan untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah khususnya dan pembangunan ekonomi umumnya.
11
2.3.4. Penerimaan lain-lain Penerimaan lain- lain adalah penerimaan pemerintah daerah di luar yang telah diuraikan di atas seperti penerimaan dari sewa rumah dinas milik daerah dan penjualan barang milik daerah.
2.3.5. Bagi hasil pajak dan bukan pajak Yang dimaksud dengan bagi pajak dan bukan pajak adalah bagian pajak dan bukan pajak pusat yang dibagihasilkan kepada daerah, baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota. Bagi hasil terdiri atas dua jenis yaitu bagi hasil pajak dari pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bukan pajak yang mencakup iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) dan iuran hasil hutan (IHH). Berdasarkan SK Menteri Keuangan No.83 Tahun 1994, sejak tahun 1995 bagian penerimaan pusat dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota. Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999, bagi hasil pajak dan bukan pajak akan menjadi bagian terpenting dari dana perimbangan pusat dan daerah.
2.3.6. Sumbangan dan bantuan Sumbangan dan bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota untuk membantu membiayai belanja pegawai daerah dan pegawai pusat yang diperbantukan dan untuk pembangunan daerah yang bersangkutan. Sebagian besar sumbangan adalah dalam bentuk Subsidi Daerah Otonomi (SDO) yang merupakan perimbangan keuangan pemerintah pusat atas pembiayaan gaji dan tunjangan lainnya termasuk bagi pegawai negeri sipil di daerah. Subsidi lainnya antara lain untuk biaya operasional rumah sakit daerah, biaya pra jabatan dan subsidi pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah.
12
PEMERINTAH DAERAH/DPRD PROP.,KAB/KOTA, BPS DAERAH
PEMERINTAH PUSAT DEPKEU,BI,DEPT. & LPND (BPS)
DEPKEU (RAPBN)
DPR RI
PANJA II ANGGARAN
DITJEN PKPD, DEPDIKNAS, KEMPRASWIL, DEPKES, BPS
DITJEN ANGGARAN, PAJAK, BEA CUKAI, BAPPENAS
DANA PERIMBANGAN: DAU,DAK, DLL.
PANJA I ANGGARAN
RAPBN: * PENDAPATAN * PENGELUARAN
PLENO
PEMERINTAH & PARIPURNA DPR
UU APBN Gambar 3. Skema pengambilan keputusan dana alokasi umum (DAU) Sumber: Rosidi, A., Data Dasar dan Formulasi Penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU) tahun 2003.
13
2.4. Pengeluaran APBD 2.4.1. Belanja rutin Belanja rutin adalah pengeluaran untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah yang bersifat administrasi kegiatan pemerintah daerah yang bersifat administrasi dan pelayanan pemerintahan umum. Belanja rutin dalam APBD dapat juga didefinisikan sebagai
pengeluaran
pemerintah
daerah
dalam
rangka
menjalankan
fungsi
pemerintahannya. Secara umum belanja rutin: a. Belanja pegawai b. Belanja barang c. Biaya pemeliharaan d. Biaya perjalanan dinas e. Belanja lain- lain f.
Angsuran pinjaman/hutang dan bunga
g. Ganjaran/subsidi/sumbangan kepada daerah bawahan h. Pensiun/bantuan dan onderstand i.
Bantuan keuangan
j.
Pengeluaran rutin yang tidak termasuk bagian lainnya
k. Pengeluaran tak tersangka
2.4.2. Belanja pembangunan Belanja Pembangunan adalah pengeluaran untuk membiayai pembangunan dalam kerangka peningkatan kinerja ekonomi sektoral. Belanja Pembangunan dapat dirinci menurut sektor sebagai berikut: a. Industri b. Pertanian dan kehutanan c. Sumber daya air dan irigasi d. Tenaga kerja e. Perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan dan koperasi f.
Transportasi, meteorologi dan geofisika
g. Pertambangan dan energi h. Parawisata, pos dan telekomunikasi
14
i.
Pembangunan daerah
j.
Lingkungan hidup dan tata ruang
k. Pendidikan, kebudayaan nasional, pemuda dan olah raga l.
Kependudukan dan keluarga berencana
2.5. Konsep indeks pembangunan manusia (IPM) IPM disusun dari tiga komponen: lamanya hidup, diukur dengan harapan hidup pada saat lahir; tingkat pendidikan, diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa ( dengan bobot dua pertiga) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot sepertiga); dan tingkat kehidupan yang layak, diukur dengan pengeluaran perkapita yang telah disesuaikan (PPP Rupiah).
2.5.1. Indeks kemiskinan manusia (IKM) IKM merupakan kombinasi dari berbagai dimensi kemiskinan manusia yang danggap sebagai indicator inti dari ukuran keterbelakangan (deprivasi) manusia. Indeks ini disusun dari tiga in dikator: penduduk yang diperkirakan tidak berumur panjang, ketertinggalan
dalam pendidikan dan keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar.
Indikator yang pertama diukur dengan peluang dengan suatu populasi untuk tidak bertahan hidup sampai umur 40 tahun. Indikator kedua diukur dengan angka buta huruf penduduk usia dewasa (15 tahun ke atas). Adapun indil\kator ketiaga, keterbatsan akses terhadap pelayanan dasar terdiri dari variable berikut ini: 1. Persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih, yang didefinisikan sebagai persentase rumah tangga yang tidak menggunakan air PAM, air pompa atau air sumur yang letaknya lebih dari 10 meter dari septic-tank. 2. Persentase penduduk yang tidak memiliki akses ke sarana kesehatan, yang didefinisikan sebagai persentase populasi yang tinggal di tempat yang jaraknya 5 km atau lebih dari sarana kesehatan. 3. Persentase anak berumur lima tahun ke bawah (Balita) dengan status gizi kurang, yang didefinisikan sebagai persentase Balita yang tergolong dalam golongan status gizi rendah dan menengah.
15
2.5.2. Beberapa konsep atau istilah dalam IPM atau IKM Akses terhadap air bersih: persentase rumah tangga yang menggunakan air minum yang berasal dari air mineral, air leding/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung Akses terhadap fasilitas kesehatan: persentase rumah tangga yang tinggal pada jarak kurang dari 5 kilometer dari fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas, dokter, juru rawat, bidan yang terlatih, paramedic, dan sebagainya. Akses terhadap sanitasi: persentase rumah tangga yang memiliki kamar mandi sendiri atau dapat menggunakan fasilitas kamar mandi umum. Anak di bawah lima tahun (Balita) yang kekurangan gizi: merujuk pada anak dengan berat badan kurang (menderita kurang gizi tingkat sedang dan parah). Kekurangan gizi sedang merujuk pada persentase anak berusia di bawah lima tahun yang memiliki berat badan di bawah dua standar deviasi dari median berat badan anak berusia tersebut. Kekurangan gizi parah merujuk pada persentase anak berusia di bawah lima tahun yang berada di bawah tiga standar deviasi dari median berat badan anak berusia tersebut. Angka buta huruf (dewasa): proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang tidak dapat membaca dan menulis dalam huruf Latin atau lainnya. Dihitung dengan cara 100 dikurang dengan angka melek huruf (dewasa). Angka harapan hidup pada waktu lahir: perkiraan lama hidup rata-rata penduduk dengan asumsi tidak ada perubahan pola morbiditas. Angka kematian bayi (IMR): jumlah bayi yang meninggal sebelum mencapai usia satu tahun per 1000 kelahiran hidup. Angka melek huruf (dewasa): proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis dalam huruf Latin atau lainnya. Angka morbiditas: proporsi dari keseluruhan penduduk yang menderita akibat masalah kesehatan hingga menggangu aktivitas sehari- hari selama satu bulan terakhir. Pertumbuhan ekonomi: perubahan relatif nilai riil produk domestik bruto dalam suatu periode tertentu. Produk domestik bruto: jumlah nilai tambah bruto(total output dari barang dan jasa ) yang diproduksi oleh semua sector ekonomi di suatu negara selama periode waktu tertentu.
16
Produk domestik bruto atas dasar harga berlaku: merujuk pada produk domestik bruto berdasarkan nilai uang yang berlaku pada tahun tertentu. Produk domestik bruto atas dasar harga konstan: merujuk pada produk domestik bruto berdasarkan nilai uang pada tahun yang dipergunakan sebagai tahun dasar. Produk domestik bruto per kapita: nilai produk domestik bruto dibagi dengan penduduk pada tengah tahun.
2.6. Otonomi daerah dan desentralisasi Meskipun telah berlangsung hampir tiga tahun sejak 2001 yang lalu, proses otonomi daerah berikut desentralisasi fiskalnya kenyataan di lapang belum menunjukkan hasil yang maksimal. Bahkan Undang-Undang yang mendasari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal itu dirasakan masih banyak kekurangan dan kelemahannya.. Misalnya yang berkaitan dengan formulasi dan penghitungan dana perimbangan, pinjaman daerah dan penyusunan struktur anggaran daerah. Dengan Undang-Undang yang belum sempurna itu mustahil terwujud otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
yang ideal. Sebagaimana diketahui, pengelolaan
keuangan daerah yang diatur dalam Undang-Undang No.25 /1999 disesuaikan dengan Undang-Undang No.17/2003 tentang keuangan negara, Undang-Undang No.1 /2004 tentang perbendaharaan negara serta Tap MPR No.IV/MPR/2000 tentang rekomendasi kebijakan. Berdasarkan beberapa hal di atas maka pemerintah saaat ini sedang menyusun usulan perubahan
Undang-Undang No.25/1999 yang bertujuan untuk meningkatkan
akuntabilitas publik dan pelayanan publik di tingkat local dan sesuai dengan asas demokrasi. Salah satu perubahan penting dalam revisi Undang-Undang No.25/1999 adalah mengenai dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokiasi Umum (DAU). Menurut Anwar (2001), semua keputusan kebijakan yang menyangkut desentralisasi fiskal harus berhubungan dengan empat isu yaitu: 1. efisiensi ekonomi, 2. ketidakmerataan antar wilayah, 3. ketidakstabilan makro ekonomi akibat pelaksanaan desentralisasi fiskal, dan 4. kompetisi regional.
17
Efisiensi ekonomi yang didefinisikan sebagai peningkatan nilai dalam ukuran uang dari penegluaran pemerintah untuk diterima oleh pembayar pajak, sedangkan nilai outputnya menjadi bertambah besar dari pemanfaatan sejumlah sumber daya tertentu. Kedua aspek dari efisiensi ekonomi tersebut dikenal sebagai “Consumer efficiency dan producer efficiency”. Dalam definisi yang terakhir ini peningkatan output dapat berarti juga dalam memperbaiki kualitas dari output. Perbaikan atau peningkatan efisiensi pada gilirannya tergantung dari perencanaan yang baik dari enam faktor yaitu: 1. penentuan belanja pengeluaran, 2. penentuan sumber-sumber pendapatan, 3. transfer fiskal, 4.manajemen fiscal dan penentuan anggaran, 5. struktur hokum, 6. lembaga serta peran masyarakat. Ketidakmerataan antar wilayah-wilayah kemungkinan akan dapat memberikan dampak yang baik dengan dilakukannya desentralisasi fiskal dengan syarat apabila pada tindakan pengamanannya dapat dilakukan sehingga akan mencegah terjadinya kesenjangan yang semakin melebar. Dalam hubungan ini sebenarnya beberapa kewenangan juridiksi daerah dan local akan mampu menjaga dari tindakan tidak fair dari pihak lain. Jika kesenjangan regional menjadi bertambah tajam dengan terjadinya desentralisasi fiskal yang menuju ke arah keadaan yang tidak dapat ditolerir atau ke tingkat disparitas
yang tidak diinginkan, maka hal ini merupakan satu hasil dengan
konsekuensi yang negatif dari akibat desentralisasi. Stabilitas makro ekonomi dapat terancam oleh desentralisasi fiscal bila dalam pelaksanaannya menjadi terdesak serta di rancang secara gegabah dan terburu-buru, sehingga dapat mengarah pada timbulnya konsekuensi yang negatif. Oleh karena itu adanya pemantauan dan anlisis yang berkelanjutan dapat memberikan umpan balik yang diperlukan. Kompetisi regional merupakan akibat dari terjadinya proses alamiah yang menyangkut batas juridiksi yang berkait erat dengan perbaikan ke arah peningkatan banyak hal dengan daya tarik yang tercipta untuk menarik lebih banyak sumber daya swasta dan investasi serta proyek-proyek pemerintah dalam rangka alokasi sumber daya publik. Oleh karena itu kompetisi regional dapat mengarah kepada hasil positif, dengan berjalannya waktu yang memaksa pemerintah local untuk bekerja lebih efisien.
18
2.7. Kewenangan wajib dan standar pelayanan minimal Mengacu pada ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU 22 Tahun 1999, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri, dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Kemudian dalam penjelasan ditegaskan bahwa untuk menghindari terjadinya kekosongan penyelenggaraan pelayanan mendasar kepada masyarakat, daerah kabupaten dan daerah kota wajib melaksanakan kewenangan dalam bidang tertentu sesuai dengan kondisi daerahnya. Selanjutnya dalam ketentuan pasal 2 ayat (4) huruf (b) PP Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai daerah Otonom, penetapan pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimal dalam bidang yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam pengelolaan keuangan daerah ketentuan PP Nomor 105 Tahun 2000 jo Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, APBD disusun dengan pendekatan kinerja, yaitu suatu system anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.(Jurnal Otonomi Daerah Vol.III No.1 Agustus 2003)
2.8. Implementasi kebijakan keuangan daerah Wujud penting dari pelaksanaan desentralisasi fiscal adalah pemberian sumbersumber penerimaan daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing- masing. Kewenangan daerah untuk menarik pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 yang ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2001. Berdasarkan Undang-Undang dan PP ini, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut di hampir semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dapat dilaksanakan.
19
2.8.1. Dana perimbangan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 sudah mengatur tentang bagian daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan, yang mengacu pada pendekatan potensi daerah. Bentuk system bagi tersebut sangat berpotensi mempertajam ketimpangan horizontal yang dialami antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam secara signifikan, misalnya: minyak bumi dan gas alam, pertambangan dan kehutanan. Demikian juga dengan potensi penerimaan daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, BPHTB, dan PPh perseorangan.
2.8.2. Pengelolaan keuangan daerah Imp lementasi prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah sudah diatur dalam PP 105 tahun 2000 sebagai penjabaran lebih lanjut dari UU Nomor 25 Tahun 1999, telah mengatur secara jelas mengenai pengelolaan keuangan daerah yaitu: a. Perencanaan: penganggaran berdasarkan pendekatan kinerja. b. Pelaksanaan: penatausahaan berdasarkan standar akuntansi keuangan pemerintah daerah. c. Pertanggungjawaban keuangan kepala daerah terdiri dari Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca.
2.9. Konsep pembangunan berkelanjutan dan good governance 2.9.1. Pembangunan berkelanjutan Pakar lingkungan, Gordon Conway (2000) memberikan beberapa indikator tentang pembangunan berkelanjutan antara lain: (i)
Produktivitas (diukur dengan mengunakan terminologi hasil atau pendapatan bersih),
(ii)
Stabilitas dari hasil atau pendapatan bersih,
(iii)
Keberlanjutan dari hasil atau pendapatan bersih, dan
(iv)
Pemerataan dalam terminologi distribusi pendapatan.
Diseminasi pembanguan berkelanjutan ini menjadi sangat penting karena pemerintah selama ini masih kurang memperhatikan implementasi pembangunan berkelanjutan.
20
Misalnya dalam penghitungan Produk Domestik Bruto, pemerintah masih memakai metode konvensional atau kalaupun ada masih dalam bentuk studi. Secara umum konsep pembangunan berkelanjutan sudah mulai dipakai oleh World Commision on Environment and Development (The Brundtland Commision Report of Our Future) tahun 1987.
.
21
Yes Struktur Keterkaitan Tumbuh
Linkage Developme nt
Pola Keterkaitan
No
Asymmetric
Symmetric
Proses Involutif
Linkages Reform
Proses Eksploratif
Pembangunan Tidak Berimbang yan g Saling Melemakan dan Tidak Berkelanjutan
Pembangunan Berimbang, Saling Memperkuat dan Berkelanjutan
Gambar 4. Pembangunan regional dalam perspektif linkage development & reform antara rural dan urban Sumber: Materi Kuliah Perencanaan Pembangunan Regional oleh Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, MAgr.
22
2.9.2. Good governance Walaupun istilah good governance saat ini sudah semakin mengemuka dan sudah menjadi syarat penting penyelenggaraan pemerintahan, harus pula diakui bahwa istilah dan konsep good governance merupakan hal baru bagi bangsa Indonesia. Bahkan untuk menemukan padanan katanya dalam Bahasa Indonesia pun cukup sulit. Memberikan definisi yang baku untuk istilah tersebut juga bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Meskipun demikian, secara umum good governance dapat dipahami sebagai tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang didukung oleh tiga pilar utama yakni lembaga lembaga penyelenggara pemerintah (public governance), pihak swasta/dunia usaha (corporate governance), dan masyarakat sipil (civil society) di mana hubungan di antara ketiganya dan aturan main yang ada di dalamnya harus lahir dari kesepakatan melalui cara-cara yang demokratis.
23
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Metodologis Kerangka metodologis penelitian, bahwa ada tiga komponen utama yang saling terkait (lihat gambar 4. di bawah): 1. komponen kinerja pembangunan, 2. tipologi permasalahan daerah dan 3. struktur penganggaran daerah. Dalam kinerja pembangunan ada variabel/indikator sebagai reprensentasi optimalnya performa pembangunan antara lain: pertumbuhan produk ekonomi/produk domestik regional bruto. Sedangkan komponen tipologi permasalahan daerah direpresentasikan oleh variabel pokok yang merupakan pilar pembangunan yaitu variabel pendidikan. Dalam penelitian ini indikator pendidikan direpresentasikan oleh variabel tingkat buta huruf dari kabupaten/kota.
Kinerja Pembangunan: Pertumbuhan Ekon.
Tipologi permasalahan Daerah: Tingkat Buta Huruf
Struktur Penganggaran Daerah: Rasio Pengeluaran Pendidikan APBD
Gambar 5. Pola keterkaitan kinerja pembangunan
Untuk mempresentasikan indikator kesehatan ditunjukkan oleh variabel balita kurang gizi di tingkat kabupaten/kota. Komponen berikutnya dari pola keterkaitan kinerja pembangunan tersebut adalah komponen struktur penganggaran daerah, terutama yang berkaitan dengan struktur pengeluaran untuk bidang pendidikan. Pada komponen ini melihat bagaimana rasio pengeluaran di bidang pendidikan dibandingkan dengan total pengeluaran pembangunan. Variabel ini sangat penting dalam upaya pemerintah untuk mendorong kemajuan di bidang pendidikan terutama untuk menurunkan tingkat buta huruf
dan
meningkatkan
kesehatan
masyarakat
yang
pada
gilirannya
akan
mengoptimalkan kinerja pembangunan.
3.2. Analisis Tabulasi Untuk menganalisis struktur dan pertumbuhan perekonomian, struktur penerimaan dan pengeluaran APBD kabupaten/kota digunakan analisis tabulasi dan analisis deskriptif. Analisis deskriptif untuk struktur perekonomian dapat menguraikan kontribusi sektor dalam kabupaten/kota sehingga dapat dilihat sektor mana saja yang mempunyai peran yang dominan di kabupaten/kota tersebut. Demikian juga analisis deskriptif/struktur untuk melihat kontribusi penerimaan dan pengeluaran APBD kabupaten/kota terhadap total penerimaan dan pengeluaran dari seluruh kabupaten/kota dalam propinsi.
3.3. Analisis Pengembangan Sektor Prioritas Untuk mengamati dan mengkaji sektor-sektor apa saja yang menjadi prioritas untuk dikembangkan, digunakan Kuosien Lokasi (LQ= location quotient). Pada hakikatnya, metode ini menampilkan perbandingan relatif antara kemampuan suatu sektor di wilayah yang diamati dengan kemampuan sektor yang sama pada wilayah yang lebih besar. Misalnya kemampuan sektor industri di tingkat wilayah kabupaten di bandingkan dengan kemampuan sektor yang sama untuk wilayah propinsi. Rumus LQ adalah sebagai berikut:
LQ ij =
x ij / x j Xi / X
……………………… (1)
Keterangan:
25
LQij = kuosien lokasi untuk sektor i di kabupaten/kota xij = output sektor i di kabupaten/kota xj = total output kabupaten/kota Xi = output sektor i propinsi X = total output propinsi
Kriteria yang dipakai dalam menentukan model LQ adalah sebagai berikut:
a. Jika LQ > 1, maka sektor dari wilayah tersebut selain dapat memenuhi kebutuhan wilayah tersebut, juga dapat melakukan ekspor untuk meme nuhi wilayah lain. b. Jika LQ = 1, maka output dari sektor tersebut hanya cukup memenuhi kebutuhan wilayah sendiri. c. Jika LQ < 1, maka sektor tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan wilayahnya, sehingga harus dan cenderung melakukan impor dari wilayah lain.
3.4. Analisis Tingkat Ketimpangan Wilayah Untuk mengukur ketimpangan antar wilayah/daerah biasanya digunakan Indeks Williamson (IWS). Kriteria pengukurannya, jika semakin tinggi indeksnya, maka kesenjangan antar wilayah semakin besar. Sebaliknya, jika semakin kecil indeksnya, maka kesenjangan semakin kecil. Namun ada kelemahan mendasar dari indeks ini, yaitu mengabaikan pertumbuhan yang diakibatkan oleh adanya keterkaitan antar wilayah. Rumus indeks Williamson adalah sebagai berikut:
Vw =
∑ (y i =1
i
−y
)
2
fi n
y
keterangan: Vw= Indeks Williamson yi = pendapatan perkapita kabupaten ke-i y = pendapatan perkapita propinsi
fi = jumlah penduduk kabupaten ke- i
26
…………….…. (2)
3.5. Analisis Keterkaitan Untuk memperoleh gambaran keterkaitan faktor alokasi penganggaran dan tipologi permasalahan daerah dan keterkaitan variabel kinerja pembangunan dengan kedua faktor tersebut maka digunakan analisis korelasi dan regresi. Untuk mendapatkan korelasi antar variabel baik faktor alokasi penganggaran dan tip ologi permasalahan daerah dan keterkaitan variable kinerja pembangunan dengan variable
tersebut,
digunakan analisis koefisien korelasi Pearson atau disebut juga koefisien korelasi sampel (Walpole 1982). Adapun rumus ukuran korelasi ini adalah sebagai berikut:
r=
n n n n ∑ x i y i − ∑ x i ∑ y i i =1 i =1 i =1 ….........(3) 2 2 n n n n∑ xi2 − ∑ xi n∑ y i2 − ∑ yi i =1 i =1 i =1
Keterangan:
xi = variabel kinerja pembangunan/pertumbuhan ekonomi yi = variabel tipologi permasalahan daerah dan variabel alokasi pengeluaran anggaran untuk pendidikan
Di samping menggunakan analisis korelasi, model utama dalam penelitian ini untuk memperoleh gambaran keterkaitan kinerja pembangunan dengan variable alokasi penganggaran dan variable tipologi permasalahan daerah digunakan Spatial Auto Regression Model (S AR) dalam bentuk regresi logaritma natural (Ln). Persamaan model regresinya sebagai berikut:
27
LnYr = ß0 + ß1 WLnYr + ? ßi Ln X ri +
er
.................. (4)
Keterangan: LnYr = variabel kinerja pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dengan skala logaritma natural LnXi = variabel struktur penganggaran untuk pengeluaran pendidikan variabel tipologi permasalahan daerah untuk tingkat buta huruf dengan skala logaritma natural W = matriks kontiguitas berdasarkan jarak
3.6. Cakupan Wilayah Penelitian, Data dan Sumber Data Kajian/penelitian ini mempunyai cakupan wilayah Jawa Barat dan Banten. Data dan informasi yang digunakan berupa data sekunder yang meliputi: a. Data Produk Domestik Regional Bruto kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat dan Banten bersumber dari Kantor BPS Jawa Barat dan Banten. b. Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota di Jawa Barat dan Banten bersumber dari Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Banten. c. Data Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Kemiskinan Manusia kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat dan Banten bersumber dari BPS Pusat. d. Data jarak antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat dan Banten bersumber dari Daerah Dalam Angka (BPS Kabupaten/Kota).
28
IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT DAN PROPINSI BANTEN
4.1. Jawa Barat 4.1.1. Sekilas Jawa Barat Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan Propinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Propins i Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No.11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat. Selama lebih kurang 50 tahun sejak pembentukannya, wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Barat baru bertambah 5 wilayah, yakni Kabupaten Subang (1968), Kota Tangerang (1993), Kota Bekasi (1996), Kota Cilegon dan Kota Depok (1999). Padahal dalam kurun waktu tersebut telah banyak perubahan baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, maupun kemasyarakatan. Dalam kurun waktu 1994 –1999 secara kuantitatif jumlah wilayah pembantu gubernur tetap 5, kabupaten tetap 20, kota bertambah dari 5 pada tahun 1994 menjadi 8 pada tahun 1999. Kota administratif berkurang dari 6 menjadi 4, karena kotif Cilegon dan Depok pada tahun 1999 berubah status menjadi kota otonom. Dengan ditetapkannya UU No.23 Tahun 2000, wilayah administrasi pembantu gubernur wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Propinsi Banten. Dengan demikian saat ini Jawa Barat terdiri dari 16 Daerah Kabupaten, 6 Daerah Kota, 447 Kecamatan, 5.347 Desa dan 399 Kelurahan. Jawa Barat merupakan salah satu Propinsi di Indonesia yang memiliki alam dan pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain menyangkut Sumber Daya Air, Sumber Daya Alam dan Pemanfaatan Lahan, Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Pesisir dan Laut serta Sumber Daya Perekonomian. •
Geografi
Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50' - 7°50' LS dan 104°48' - 104°48 BT dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa bagian barat dan DKI Jakarta di utara,
sebelah timur
berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia di Selatan dan Selat Sunda di barat. Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 Pulau di Samudera Indonesia, 4 Pulau di Laut Jawa, 14 Pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat Sunda), luas wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha. Kondisi geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah berdatar renda h, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung- gunung ada di kawasan tengah. •
Topografi Ciri utama daratan Jawa Barat adalah bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak aktif) yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi. Daratan dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut, wilayah lereng bukit yang landai di tengah ketinggian 100 – 1.500 m dpl, wilayah dataran luas di utara ketinggian 0 – 10 m dpl, dan wilayah aliran sungai.
•
Iklim Iklim di Jawa Barat adalah tropis, dengan suhu 9 Pangrango dan 34
0
0
C di Puncak Gunung
C di Pantai Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun,
namun di beberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun. •
Populasi Berdasarkan hasil Sensusnas tahun 1999 jumlah penduduk Jawa Barat setelah Banten terpisah berjumlah 34.555.622 jiwa. Pada tahun 2000 berdasarkan sensus penduduk meningkat menjadi 35.500.611 jiwa, dengan kepadatan penduduk
30
sebesar 1.022 jiwa per Km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk selama dasawasra 1990 – 2000 mencapai angka 2,17 persen. •
Sosial Budaya - Masyarakat Jawa Barat di kenal sebagai masyarakat yang agamis, dengan kekayaan warisan budaya dan nilai- nilai luhur tradisional, serta memiliki prilaku sosial yang berfalsafah pada silih asih, silih asah, silih asuh, yang secara harfiah berarti saling mengasihi, saling memberi pengetahuan dan saling mengasuh diantara warga masyarakat. - Tatanan kehidupannya lebih mengedepankan keharmonisan seperti tergambar pada pepatah; Herang Caina beunang laukna yang berarti menyelesikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru atau prinsip saling menguntungkan. - Masyarakat Jawa Barat memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai- nilai kebajikan. Hal ini terekspresikan pada pepatah ulah unggut kalinduan, ulah gedag kaanginan; yang berarti konsisten dan konsekuen terhadap kebenaran serta menyerasian antara hati nurani dan rasionalitas, seperti terkandung dalam pepatah sing katepi ku ati sing kahontal ku akal, yang berarti sebelum bertindak tetapkan dulu dalam hati dan pikiran secara seksama. - Jawa Barat di lihat dari aspek sumber daya manusia memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia dan sebagai Propinsi yang mempunyai proporsi penduduk dengan tingkat pendidikan, jumlah lulusan strata 1, strata 2 dan strata 3, terbanyak dibandingkan dengan propinsi lain.
Sumber : Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No 01 tahun 2001 tentang Rencana Strategis Propinsi Jawa Barat
4.1.2. Repetada Jawa Barat Berdasarkan landasan operasional GBHN Tahun 1999-2004 (Tap MPR RI No.IV/MPR/1999), bahwa Program Pembangunan Lima Tahunan (PROPENAS) perlu dirinci dalam Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA), yang memuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta ditetapkan oleh Presiden bersama -sama
31
Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang RI No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, tiap-tiap lembaga tinggi Negara, departemen dan lembaga pemerintah non departemen perlu menyusun Rencana Strategis (Renstra). Sedangkan bagi Pemerintah Daerah perlu menyusun
Program
Pembangunan
Daerah
(PROPEDA)
yang
mengacu
pada
PROPENAS dan mengacu pula pada PP No.108 Tahun 2000 tentang Tata cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah yang memberi arahan untuk dibuatnya RENSTRA atau dokumen perencanaan lainnya. Propeda tersebut disahkan oleh DPRD dan Kepala Daerah.
Selanjutnya
dokumen
tersebut
dijadikan
tolok
ukur
dalam
menila i
pertanggungjawaban Kepala Daerah yang disampaikan kepada DPRD. Menindaklanjuti perundang- undangan tersebut, dan untuk mengarahkan seluruh potensi dan dimensi pembangunan di Jawa Barat, maka telah ditetapkan Perda Prov.Jabar No. 1 Tahun 2001 tentang Renstra Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2005 yang mengacu pada PROPEDA. Selanjutnya, Renstra tersebut dapat dijadikan bahan rujukan oleh Perangkat Daerah dalam menyusun rencana strategis masing- masing. Sebagai tindaklanjut disusunnya dokumen-dokumen tersebut, maka disusunlah Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETEDA) Provinsi Jawa Barat yang untuk sekarang telah mencapai tahak ke-2 (Tahun 2002). Repeteda ini merupakan tindaklanjuit dari PROPEDA dan RENSTRA dan untuk REPETADA Tahun 2002 telah disahkan dengan Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 050/Kep.1019-Bapeda/2001. Keseluruhan isinya mengakomodasikan kegiatan tahunan Restra Dinas/Badan/Lembaga (DIBALE) dan juga
telah
mengakomodasikan
hasil
kesepakatan
antara
Gubernur
bersama
Bupati/walikota se-Jawa Barat pada Forum Koordinasi dan konsultasi Pembangunan Tahun 2001.
4.1.3. Visi Jawa Barat Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan melalui pembaharuan mekanisme perencanaan pembangunan daerah dengan melibatkan semua komponen masyarakat dalam setiap tahapan pelaksanaan. Pelibatan potensi masyarakat tersebut antara lain ditempuh melalui berbagai dialog, seperti Dialog Sunda 2010, Dialog
32
Jawa Barat 2010, Dialog Rencana Regional Makro, Dialog Rencana Tata Ruang Wilayah, Dialog Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, dan Dialog Delapan Kawasan Andalan yang diikuti oleh unsur masyarakat, pakar Penguruan Tinggi, dan Birokrat yang me miliki kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat. Di samping itu dilaksanakan pula forum koordinasi pembangunan sebagai formulasi baru RAKORBANG dengan nuansa dan semangat yang baru, serta diawali dari motivasi untuk lebih menyerap aspirasi Kabupaten/Kota dan masyarakat. Setelah mengalami proses yang panjang dan telaahan yang mendalam dari berbagai pihak terkait dalam dialog-dialog interaktif,maka diformulasikan visi Jawa Barat yaitu: JAWA BARAT DENGAN IMAN DAN TAKWA SEBAGAI PROPINSI TERMAJU DI INDONESIA DAN MITRA TERDEPAN IBU KOTA NEGARA TAHUN 2010 Pada penetapan visi tersebut didasarkan kepada beberapa pengertian yaitu untuk mencapai cita-cita Bangsa Indonesia,seluruh lapisan masyarakat Jawa Barat terutama Penyelenggara Negara, para Elit Politik,para Cendekiawan dan Pemuka Masyarakat, harus bersatu dan bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat. Jawa Barat sudah selayaknya berupaya menjadi Propinsi ternaju di Indonesia mengingat banyaknya potensi baik berskala daerah maupun berskala nasional. Seperti; potensi industri strategis, potensi perguruan tinggi, dukungan sumber daya alam, faktor iklim dan budaya gotong royong dan ditunjang oleh kehidupan masyarakat yang agamis. Pengertian 'termaju' memberi implikasi munculnya ketergantungan propinsipropinsi lain kepada Jawa Barat. Sedangkan ketergantungan Propinsi Jawa Barat kepada propinsi lain diusahakan sekecil mungkin. Propinsi Jawa Barat selama ini dijadikan sebagai penyangga Ibu Kota Negara dengan segala konsekuensinya harus bergeser dan menjadi 'mitra ' terdepan yang dilandasi dengan asas kesetaraan dan kesepahaman dalam arti tidak lagi terekploitasi segala potensinya. 4.1.4. Indikator Makro Untuk menggambarkan visi menjadi sesuatu yang kongkrit dan dapat diukur, perlu adanya indik ator yang digunakan sebagai acuan. Indikator ini terdiri dari: indikator
33
ekonomi makro dan sosial makro yang dijabarkan dalam tiga belas item yang semuanya bermuara pada indikator Indek Pengembangan Manusia (IPM) Indikator IMP tersebut diarahkan untuk mencapai kategori maju pada skala yang telah ditetapkan oleh UNDP, yang dicirikan dengan pencapaian IPM sebesar 80. Kondisi inilah yang merupakan indikator pencapai visi Jawa Barat Dengan Iman Dan Takwa Sebagai Propinsi Di Indonesia Dan Mitra Terdepan Ibu Kota Negara Tahun 2010. Pencapaian indikator makro tidak hanya merupakan kinerja pemerintah daerah pemerintah propinsi Jawa Barat saja. Melainkan merupakan kinerja bersama antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten dan Kota, masyarakat serta pihak swasta. Hal ini terkait dengan paradigma baru Pemerintah Daerah sebagaimana diamanatkan Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 dan PP 25 Tahun 2000.
Tabel 1. Indikator Makro Pencapaian Visi dan Misi Jawa Barat Sampai dengan tahun 2005 NO
INDIKATOR MAKRO
1
Indeks Pembangunan
2
Jumlah Penduduk
3
Laju Pertumbuhan Penduduk
4
Jumlah Penduduk Miskin
5
PDRB (Berlaku)
6
Satuan
2003
2004
2005
0-100
72.37
73.53
74.56
Juta Jiwa
37.9
38.8
39.6 2.16
persen
2.29
2.22
Juta Jiwa
9.28
9.25
9.21
Trilyun Rupiah
181.7
199.6
219.4
Inflasi (Propenas)
Persen
6
6
6
7
Laju Pertumbuhan Ekonomi (Konstan 93)
Persen
4.60
4.62
4.65
8
PDRB/Kapita (Berlaku)
Juta Rupiah
4.78
5.14
5.53
9
Investasi (1)(Berlaku)
Trilyun Rupiah
54.0
63.5
74.7
10 Laju Investasi (Konstan 93)
persen
12
12
12
Konsumsi Pemerintah (G) 11 (Berlaku)
Trilyun Rupiah
12.9
14.1
15.2
12 Proporsi Jumlah Penduduk
Juta Jiwa
15.43
16.09
16.79
13 Jumlah Penduduk Bekerja
persen
40.64
41.46
42.34
Juta Jiwa
0.722
0.6 15
0.525
Jumlah Pengangguran 14 Terbuka
Sumber : Perda Propinsi Jawa Barat No. 1 tahun 2001 tentang Rencana Strategis Tahun 2001-2005
34
Keterangan: 1. Keseluruhan Data dan Proyeksi adalah Propinsi Jawa Barat tanpa Propinsi Banten 2. Data IPM 2000 merupakan hasil proyeksi antara data IPM BPS tahun 1999 3. Data Jumlah Penduduk dan LPP 2000 dari SP/BPS 2000 4. Jumlah Penduduk Miskin 2000 merupakan hasil proyeksi antara data PDRB BPS tahun 1999 5. Data PDRB 2000 merupakan hasil proyeksi antara PDRB BPS tahun 1999 6. Data Investasi 2000 nerupakan hasil proyeksi antara Data Investasi BPS dari Data Output Jabar 1999 7. Data Konsumsi Pemerintah 2000 merupakan hasil proyeksi antara Data Konsumsi Pemerintah dari Input Output Jabar 1999 (BPS) 8. Data Jumlah Penduduk Bekerja 2000 bersumber dari SAKERDA 2000 (BPS) 9. Data Jumlah Pengangguran Terbuka 2000 bersumber dari SAKERDA 2000 (BPS) 10. Perkiraan/proyeksi 2001 dan 2005 untuk ketiga belas indikator menggunakan metoda statistik Autoregresi 11. Harga konstan 1993 oada LPE dan LP Investasi merupakan Harga Kesepakatan Nasiona l untuk Laju Pertumbuhan 12. Inflasi menggunakan proyeksi Propenas 13. Indikator Makro ini merupakan indikator pencapaian visi dan misi Jabar oleh seluruh stakeholder (Sumber : Perda Propinsi Jawa Barat No. 1 tahun 2001 tentang Rencana Strategis Tahun 2001-2005) 4.2. Propinsi Banten 4.2.1. Sejarah Singkat Banten Banten sebagai nama suatu wilayah sudah dikenal dan diperkenalkan sejak abad ke –14. Mula- mula Banten merupakan pelabuhan yang sangat ramai disinggahi kapal dan dikunjungi pedagang dari berbagai wilaya h hingga orang Eropa yang kemudian menjajah bangsa ini. Pada tahun 1330 orang sudah mengenal sebuah negara yang saat itu disebut Panten, yang kemudian wilayah ini dikuasai oleh Majapahit di bawah Mahapatih Gajah 35
Mada dan Raja Hayam Wuruk. Pada masa- masa itu Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Demak merupakan dua kekuatan terbesar di Nusantara. Tahun 1524-1525 para pedagang Islam berdatangan ke Banten dan saat itulah dimulai penyebaran agama Islam di Banten. Sekitar dua abad kemudian berdiri Kadipaten Banten di Surasowan pada 8 Oktober 1526. Pada tahun 1552-1570 Maulana Hasanudin Panembahan Surasowan menjadi Sultan banten pertama. Sejak itu dimulailah pemerintahan kesultanan di Banten yang diakhiri oleh Sultan Muhammad Rafi’uddin (1813-1820) merupakan sultan ke dua puluh setelah sultan dan rakyat masa sebelumnya berperang melawan penjajah. Namun demikian perjuangan rakyat Banten terus berlanjut hingga detik terakhir kaki penjajah berada di bumi Banten. Setelah memasuki masa kemerdekaan muncul keinginan rakyat Banten untuk membentuk sebuah propinsi. Niatan tersebut pertama kali mencuat di tahun 1953 yang kemudian pada 1963 terbentuk Panitia Propinsi Banten di Pendopo Kabupaten Serang. Dalam pertemuan antara Panitia Propinsi Banten dengan DPR-GR sepakat untuk memperjuangkan terbentuknya Propinsi Banten. Pada tanggal 25 Oktober 1970 Sidang Pleno Musyawarah Besar Banten mengesahkan Presidium Panitia Pusat Propinsi Banten. Namun ternyata perjuangan untuk membentuk Propinsi Banten dan terpisah dari Jawa Barat tidaklah mudah dan cepat. Selama masa Orde Baru keinginan tersebut belum bisa direalisasikan. Pada Orde Reformasi perjuangan masyarakat banten semakin gigih karena mulai terasa semilirnya angin demokrasi dan isu tentang otonomi daerah. Pada 18 Juli 1999 diadakan Dek larasi Rakyat Banten di Alun-alun Serang yang kemudian Badan Pekerja Komite Panitia Propinsi Banten menyusun Pedoman Dasar serta Rencana Kerja dan Rekomendasi Komite Pembentukan Propinsi Banten (PPB). Sejak itu mulai terbentuk Sub-sub Komite PPB di berbaga i wilayah di Banten untuk memperkokoh dukungan terbentuknya Propinsi Banten. Setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan akhirnya pada 4 Oktober 2000 Rapat Paripurna DPR-RI mengesahkan RUU Propinsi Banten menjadi Undang-Unang No.23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Banten. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 2000 Presiden Abdurrahman Wahid mengesahkan UU No. 23 Tahun 2000 tentang PPB. Sebulan setelah itu pada 18
36
November 2000 dilakukan peresmian Propinsi Banten dan pelantikan Pejabat Gubernur H. H akamudin Djamal untuk menjalankan pemerintah propinsi sementara waktu sebelum terpilihnya Gubernur banten defenitif. Pada tahun 2002 DPRD Banten memilih Dr. Ir. H. Djoko Munandar, MEng dan Hj. Atut Chosiyah sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten pertama. (Sumber: Buku Sekapur Sirih Perjalanan Panjang dan Kronologis Terbentuknya Propinsi Banten 1953-2000 oleh Drs. E. Iwa Tuskana Supandri.) 4.2.2. Kondisi Geografis dan Iklim Melalui Undang-Undang No. 23 tahun 2000, status Keresidenan Banten Propinsi Jawa Barat berubah menjadi Propinsi Banten. Wilayah Propinsi banten mempunyai luas 8 800,83 km2 , terdiri dari empat kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang, Lebak, Serang, Tangerang dan dua Kota yaitu Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Wilayah Propinsi Banten berada pada batas astronomis 10501’11” - 106 0 7’12” BT dan 50 7’50” - 70 1’1” LS, mempunyai posisi strategis pada lintas perdagangan internasional dan nasional. Propinsi Banten mempunyai batas wilayah: a. Sebelah utara dengan Laut Jawa b. Sebelah timur dengan Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat c. Sebelah selatan dengan Samudera Hindia d. Sebelah barat dengan Selat Sunda.
Sedangkan ekosistem wilayah Banten pada dasarnya terdiri dari: a. lingkungan Pantai Utara yang merupakan ekosistem sawah irigasi teknis dan setengah teknis, kawasan pemukiman dan industri.
37
b. Kawasan banten Bagian tengah berupa irigasi terbatas dan kebun campur, sebagian berupa pemukiman pedesaan.Ketersedian air cukup dengan kuantitas yang stabil. c. Kawasan banten sekitar Gunung Halim-Kendeng hingga Malingping, Leuwi Damar, Bayah berupa pegunungan yang relatif sulit untuk diakses, namun menyimpan potensi sumber daya alam. d. Banten Bagian Barat (Saketi, DAS Cidano dan lereng kompleks Gunung KarangAseupan dan Pulosari sampai Pantai DAS Ciliman-Pandeglang dan Serang bagian Barat) kaya akan potensi air, merupakn kawasan pertanian yang masih perlu ditingkatkan (intensifikasi). e. Ujungkulon sebagi Taman Nsional Konservasi Badak Jawa (Rhinisondaicus). f.
DAS Cibaliung – Malimping, merupakan cekungan yang kaya air tetapi belum dimanfaatkan secara efektif dan produktif. Iklim wilayah Banten sangat dipengaruhi oleh Angin Monson (Monson Trade)
dan Gelombang La Nina dan El Nino. Saat musim penghujan (November-Maret) cuaca didominasi oleh angin barat ( dari Sumatera, Lautan Hindia sebelah selatan India) yang bergabung dengan angin dari Asia yang melewati Laut Cina Selatan. Pada musim kemarau (Juni-agustus), cuaca didominasi oleh angin timur yang menyebabkan wlayah Banten mengalami kekeringan yang keras terutama di wilayah bagian pantai utara, terlebih lagi bila berlangsung El Nino. Temperatur di daerah pantai dan perbukitan berkisar antara 22 0 C dan 320C, sedangkan suhu di pegunungan dengan ketinggian antara 400-1350 m dpl mencapai antara 18 0 C-290C. Seperti dijelaskan pada sejarah ringkas di atas, di mana melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan, tepatnya pada 4 Oktober 2000 Rapat Paripurna DPR RI mengesahkan RUU Propinsi Banten menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Banten. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 2000
38
Presiden Abdurrahman Wahid (saat itu) mengesahkan UU Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Banten tersebut. Banten menjadi propinsi bukanlah dilatarbelakangi perasaan emosional semata tetapi lahir dari proses pemikiran yang rasional dengan tujuan yang jelas dan suci. Tujuan tersebut telah melatarbelakangi pendiriannya yang intinya terdapat empat point penting, yaitu: 1. Latar belakang Politik . Secara histories, Banten merupakan suatu komunitas politik yang jelas dan independen. 2. Latar belakang Sosial. Secara sosiologis, masyarakat banten menjadi masyarakat tersisih meski di Banten-nya sendiri. 3. Latar Belakang Budaya. Struktur pootik dan social tidak mengakomodasi budaya Banten, kecuali pada kelas tidak penting. 4. Latar Belakang Ekonomi. Isu ketertinggalan masyarakat Banten dalam sector ekonomi menjadi pengetahuan umum bahkan secara tidak seimbang nampak perbedaan antara Jawa Barat bagian timur dan Jawa Barat bagian barat (Banten).
Latar Belakang tersebut bermuara pada kemajuan dan kesejahteraan yang didambakan masyarakatnya sebagaimana slogan perjuangannya “ Pencapaian Banten menjadi propinsi adalah alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Karena kesejahteraan masyarakat itu hanya bias dicapai dengan menjadikan Banten sebagai Propinsi, …” Secara garis besar kondisi geografi Banten kaitannya dengan ekosistem, setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu sawah, ladang dan pesisir pantai. Daerah persawahan yang subur umumnya terletak di wilayah banten Selatan tepatnya di Pandeglang, Lebak, dan sebagian Serang adalah wilayah pertanian (persawahan, perkebunan, ladang dan sekaligus beberapa daerah dikelilingi garis pantai yang indah). Kawasan Banten Utara seperti Cilegon, sebagian Serang, tangerang dan kota Ta ngerang kini tumbuh menjadi kawasan industri, perdagangan dan sector jasa-jasa. Sedangkan daerah pesisir Pantai Utara di samping masyarakatnya hidup dalam budaya perladangan juga mengadopsi budaya pantai yang akrab dengan kehidupan nelayan. 39
Saat ini Banten mencakup 4 kabupaten dan 2 kota dengan sebaran wilayah administrasi di bawahnya terdiri dari 124 kecamatan dan 1 481 desa/kelurahan seperti yang disajikan pada table di bawah. Keragaman potensi sumber daya alam, kekayaan daerah dan sumber daya manusianya itulah yang saat ini dibangun dengan harapan terwujud kemerataan dan kesejajaran dengan wilayah lain yang lebih dahulu maju.
Tabel 2. Jumlah kecamatan dan desa/kelurahan menurut kabupaten/kota di Banten Kabupaten/Kota Jumlah Kecamatan Jumlah Desa/Kelurahan (1) (2) (3) 01. Pandeglang 26 335 02. Lebak 19 300 03. Tangerang 26 328 04. Serang 32 371 05. Kota Tangerang 13 104 06. Kota Cilegon 8 43 Banten 124 1 481 Sumber: Diolah Daerah Dalam Angka Prpinsi Banten 4.2.3. Gambaran Umum Penduduk Banten Suatu kesepakatan yang kerap kali dikumandangkan dan mengalir deras menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah bahwa dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, semua jenis program pembangunan harus diintegrasikan dan dibawa ke dalam suatu tujuan pembangunan, yaitu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup penduduk. Dalam konteks ini pembangunan manusia yang tercermin dari tersedianya berbagai kebutuhan publik secara luas (pangan, pendidikan dasar, air bersih dan sehat, perumahan yang layak dan sehat serta aksesnya, kepelayanan kesehatan dan sebagainya), akan secara langsung memperkuat fondasi pembangunan kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan manusia juga akan menjadi dasar yang kuat bagi pelaksanaan reformasi institusi- institusi ekonomi secara berkelanjutan. Karena itu, informasi penduduk dengan berbagai karakteristik, kecenderungan dan deferensiasinya menjadi penting. Penduduk sebagaimana data lainnya, sangat diperlukan dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan, terutama setelah adanya pergeseran paradigma pembangunan yang tidak hanya bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi
40
semata tetapi upaya meningkatkan kualitas SDM telah menjadi tumpuan dan tujuan pembangunan itu sendiri. Aspek kependudukan yang antara lain mencakup jumlah, komposisi dan distribusi penduduk merupakan determinan yang harus diperhatikan dalam proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi tetapi dapat pula menjadi beban seandainya penduduk tersebut berkualitas rendah. Oleh karena itu untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional maupun daerah, pemerintah dalam menangani permasalahan penduduk tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk tetapi menintikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Penduduk Banten berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) 2000 berjumlah 8 096 809 jiwa, dengan komposisi 4 078 728 (50,37 persen) laki- laki dan 4 018 081 (49,63 persen) perempuan. Jumlah dan komposisi penduduk selain dipengaruhi oleh factor kelahiran dan kematian juga dipengaruhi oleh perpindahan penduduk walupun seringkali mobilitas atau perpindahan penduduk menyebabkan ketidakseimbangan pada komposisi penduduknya. Indikator yang dapat menunjukkan komposisi penduduk menurut jenis kelamin pada suatu waktu tertentu adalah dengan melihat rasio jenis kelamin. Rasio jenis kelamin memperlihatkan banyaknya penduduk laki- laki per 100 penduduk perempuan di mana besarnya sekitar 102 (tahun 2000). Laju pertumbuhan penduduk dalam satu dekade terakhir (1990-2000) mencapai sebesar 3,21 persen, angka yang menggambarkan masih relatif tinggi. Pada tahun 2002 jumlah penduduk Banten telah meningkat menjadi 8 529 799 jiwa yang terdiri dari 4 342 714 (50,91 persen) laki- laki dan 4 187 085 (49,09 persen) perempuan dengan laju pertumbuhan penduduk antara tahun 2000-2002 sebesar 3,24 persen. Rasio jenis kelamin dalam dua tahun terakhir nampak meningkat menjadi 104. Parameter lainnya yaitu rata-rata anggota rumahtangga sebesar 3,93 per rumah tangga dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 969 jiwa per kilometer persegi di mana sebagian besar penduduknya bertempat tinggal di perdesaan. Perhatian terhadap struktur penduduk menurut umur memperlihatkan pola piramida yang ekspansif di mana kelompok umur muda lebih dominan di banding penduduk usia tua. Tidak kurang dari 32,95 persen penduduk berusia antara 0-14 tahun dan 64,68 persen yang tergolong penduduk usia antara 0-14 tahun dan 64,68 persen yang tergolong penduduk usia produktif (15-64 tahun) dan sisanya 2,38 persen penduduk usia
41
tua( 65 tahun ke atas). Selanjutnya dari informasi kelompok umur di atas, pada tahun 2002 angka beban ketergantungan sebesar 54,62 persen, yang memberikan makna bahwa setiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan menanggung sebanyak 55 penduduk usia tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun). Permasalahan pembangunan bidang social kependudukan akan lebih bermakna apabila dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat yang kurang berdaya (miskin). Terlepas dari adanya perbedaan perkiraan
yang dihitung oleh
instansi/lembaga lain tentang insiden kemiskinan, menurut perkiraan BPS jumlah penduduk miskin di Banten khususnya sejak tragedy krisis (pertengahan tahun 1997) yang sampai sekarang masih terasa dan belum bisa dipulihkan dengan tuntas, secara pasti mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Kalau pada tahun 1996 (setahun menjelang ke krisis) terdapat sekitar 9,55 persen, maka tahun 1999 meningkat secara dramatis menjadi 19,66 persen. Namun mulai tahun 2000 yang juga titik awal lahirnya Propinsi Banten untuk lebih membangun kemandirian dan menggali potensi sumber dayanya, dengan meyakinkan insiden kemiskinan dapat ditekan menjadi 14,93 persen (tahun 2000) walaupun masih meningkat lagi menjadi 17,24 persen (tahun 2001) tetapi pada tahun 2002 menurun cukup drastis menjadi 9,22 persen. Untuk keluar dari berbagai kesulitan terbukti bukanlah perkara yang mudah. Lebih dari lima tahun krisis ekonomi berlangsung, namun belum ada tanda-tanda menyakinkan bahwa krisis akan segera berakhir. Bagi masyarakat miskin, hidup identik dengan kengerian. Kekerasan juga telah menjadi tidak hanya kekerasan fisik tetapi juga dalam bentuk pamer kemewahan di tengah hidup mayoritas masyarakat yang susah, itulah sebagai bentuk terror nyata dan bisa dikategorikan sebagai kekerasan psikologis. Di banding kekerasan fisik, kekerasan jenis ini jauh lebih menyayat nurani bahkan dapat melahirkan masyarakat apatis. Kekhawatiran lain pada kondisi ini akan muncul apa yang disebut dengan syndrome of recovery fatigue atau sindrom kelelahan pemulihan. Jika diamati angka kemiskinan pada table 4.3. akan terlihat bahwa kantongkantong kemiskinan sebagian besar berada di daerah pedesaan yang jumlahnya hampir dua kali dibadingkan dengan penduduk miskin yang berada di kota. Penduduk miskin di desa terdapat sekitar 853,32 ribu (22,35 persen) pada tahun 2001 dan 480,85 ribu (12,64
42
persen) pada tahun 2002. Sementara di kota pada tahun 2001 terdapat 570,68 ribu (12,56 persen) dan 305,84 ribu (6,47 persen) tahun 2002.
Tabel 3. Jumlah dan persentase penduduk miskin menurut daerah dan jenis kelamin di Banten, tahun 2001-2002
Daerah/Jenis Kelamin (1)
2001 Jumlah(000) (2)
2002 Jumlah(000) (4)
(%) (3)
(%) (5)
Kota
570,68
12,56
305,84
6,47
Desa
853,32
22,35
480,85
12,64
Total
1 424,00
17,24
786,69
9,22
Laki- laki
721,67
17,06
401,11
9,30
Perempuan
702,33
17,44
385,59
9,21
1 424,00
17,24
786,69
9,22
Total Sumber: BPS
Berbeda dengan
pola
umum di Indonesia dan daerah lainnya, di mana insiden
kemiskinan lebih banyak menimpa kaum perempuan sementara untuk kasus Propinsi Banten disparitas kemiskinan menurut jender(jenis kelamin) tidak begitu nampak bahkan dari sisi jumlah, kemiskinan yang dialami laki- laki relatif lebih besar dibanding perempuan. Jumlah penduduk miskin laki- laki pada tahun 2001 sebesar 721,67 ribu jiwa dan perempuan 702,33 ribu dengan rasio perempuan terhadap laki- laki sebesar 0,97 artinya setiap 100 penduduk laki- laki miskin terdapat 97 perempuan miskin. Demikian pula kecenderungan pada tahun 2002 penduduk miskin la ki- laki terdapat 401,11 ribu dan perempuan 385,59 ribu dengan rasio sebesar 0,96. Dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang merupakan paradigma baru dalam penyelenggaran pemerintah dengan memberikan otoritas yang lebih besar kepada daerah, upaya-upaya untuk mengatasi kemiskinan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat miskin lebih menjadi tanggungjawab daerah yang cukup besar. Sehingga pada akhirnya
43
permasalahan-permasalahan kemiskinan yang muncul akan banyak direspon, diputuskan dan dilaksanakan secara cepat dan efektif oleh Pemerintah Daerah, tanpa harus menunggu dan dan banyak tergantung pada instruksi dari Pemerintah Pusat. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pemerintah telah dan sedang melaksanakan sekitar 15 (lima belas) program penanggulangan kemiskinan, termasuk program jaring pengaman sosial (JPS).
Instrumen-instrumen yang akan digunakan oleh pemerintah
pusat adalah regulasi berupa pedoman teknis tentang standar pelayanan minimal; bantuan-bantuan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin.
44
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Struktur Penerimaan dan Pengeluaran APBD Kabupaten dan Kota Jawa Barat dan Banten 5.1.1. Struktur Penerimaan APBD Kabupaten dan Kota Jawa Barat dan Banten Pada tabel 5.1. dapat dilihat besaran nilai realisasi penerimaan pemerintah daerah kabupaten/kota propinsi Jawa Barat termasuk Banten (gabungan) tahun 1998 sampai dengan tahun 2000. Sedangkan pada tabel 5.2. dapat dilihat struktur realisasi penerimaan pemerintah daerah dalam persentase. Dari tabel 5.2. di bawah terlihat bahwa kontribusi terbesar dalam realisasi penerimaan APBD gabungan Jawa Barat dan Banten disumbang oleh kabupaten Bandung, kabupaten Bogor dan kota Bandung, masing- masing rataratanya bertururt-turut 10,26 persen, 7,99 persen dan 7,36 persen. Jika dilihat secara parsial untuk kabupaten/kota propinsi Banten saja dibandingkan dengan terhadap gabungan propinsi Jawa Barat dan Banten ditempati kabupaten Tangerang dengan kontribusi sebesar 4,91 persen. Sedangkan peringkat berikutnya adalah kabupaten Serang dengan kontribusi sebesar 4,10 persen terhadap gabungan kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat dan Banten. Kalau dilihat dari sisi penyumbang terkecil terhadap penerimaan total kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten, maka kota Cirebon merupakan pemberi kontribusi terkecil dengan hanya sebesar 1,52 persen. Hal ini terjadi karena terkait dengan luas wilayahnya yang tidak begitu luas, jumlah penduduk yang sedikit dan faktor lainnya. Jika digabung antara kabupaten Cirebon dan kota Cirebon (5,45 pe rsen), kontribusinya masih jauh di bawah kontribusi kabupaten Bandung (10,26 persen
5.1.2. Struktur Pengeluaran APBD Kabupaten dan Kota Jawa Barat dan Banten Tabel 5.3. di bawah menampilkan besaran nilai realisasi pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/kota propinsi Jawa Barat termasuk Banten (gabungan) tahun 1998 sampai dengan tahun 2000. Sedangkan pada tabel 5.4. menampilkan struktur realisasi pengeluaran pemerintah daerah dalam persentase. Sejalan dengan irama struktur penerimaan,
dari tabel 5.4. juga
terlihat bahwa kontribusi terbesar dalam realisasi
pengeluran APBD gabungan Jawa Barat dan Banten juga disumbang oleh kabupaten
Bandung, kabupaten Bogor dan kota Bandung, masing- masing rata-ratanya berturutturut 10,71 persen, 8,19 persen dan 7,28 persen. Jika dilihat secara parsial untuk kabupaten/kota propinsi Banten saja dibandingkan dengan terhadap gabungan propinsi Jawa Barat dan Banten ditempati kabupaten Tangerang dengan kontribusi sebesar 4,40 persen.
Tabel 4. Realisasi penerimaan pemerintah daerah kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998-2000 (ribu rupiah)
Kabupaten/Kota
01. Pandeglang 02. Lebak 03. Bogor 04. Sukabumi 05. Cianjur 06. Bandung 07. Garut 08. Tasikmalaya 09. Ciamis 10. Kuningan 11. Cirebon 12. Majalengka 13. Sumedang 14. Indramayu 15. Subang 16. Purwakarta 17. Karawang 18. Bekasi 19. Tangerang 20. Serang 71. Bogor 72. Sukabumi 73. Bandung 74. Cirebon 75. Tangerang 76. Bekasi Jumlah
1998
1999
2000
72,779,361 66,481,508 231,948,125 110,244,127 113,505,365 313,478,259 115,262,053 120,168,765 110,540,900 73,343,614 119,975,603 87,200,071 101,141,877 112,233,203 88,379,577 58,833,935 128,139,073 117,728,335 141,322,571 124,801,478 77,218,666 35,898,468 215,242,394 42,406,074 106,673,754 61,069,714
103,880,013 88,676,349 320,846,249 159,412,632 153,722,622 364,767,476 164,672,982 167,608,431 146,310,539 103,367,306 159,677,943 111,970,635 133,977,053 132,975,467 136,249,618 81,044,271 169,032,078 142,724,428 155,448,444 167,861,818 88,489,295 47,769,361 296,184,847 60,901,106 147,333,716 110,928,860
131,427,856 116,595,546 412,740,445 211,122,042 166,615,767 566,139,109 212,785,031 231,991,503 202,407,679 122,508,241 190,227,062 146,702,750 151,387,564 156,633,681 165,694,285 105,534,724 214,708,883 190,622,650 311,080,593 197,834,788 109,837,554 68,286,333 377,697,309 81,491,461 204,089,482 181,921,564
2,946,016,866
3,915,833,537
5,228,083,901
Sumber: Diolah dari APBD kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten
46
Tabel. 5. Struktur realisasi penerimaan pemerintah daerah kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998-2000 (persen)
Kabupaten/Kota
1998
1999
2000
Rata-rata
01. Pandeglang 02. Lebak 03. Bogor 04. Sukabumi 05. Cianjur 06. Bandung 07. Garut 08. Tasikmalaya 09. Ciamis 10. Kuningan 11. Cirebon 12. Majalengka 13. Sumedang 14. Indramayu 15. Subang 16. Purwakarta 17. Karawang 18. Bekasi 19. Tangerang 20. Serang 71. Bogor 72. Sukabumi 73. Bandung 74. Cirebon 75. Tangerang 76. Bekasi
2,47 2,26 7,87 3,74 3,85 10,64 3,91 4,08 3,75 2,49 4,07 2,96 3,43 3,81 3,00 2,00 4,35 4,00 4,80 4,24 2,62 1,22 7,31 1,44 3,62 2,07
2,65 2,26 8,19 4,07 3,93 9,32 4,21 4,28 3,74 2,64 4,08 2,86 3,42 3,40 3,48 2,07 4,32 3,64 3,97 4,29 2,26 1,22 7,56 1,56 3,76 2,83
2,51 2,23 7,89 4,04 3,19 10,83 4,07 4,44 3,87 2,34 3,64 2,81 2,90 3,00 3,17 2,02 4,11 3,65 5,95 3,78 2,10 1,31 7,22 1,56 3,90 3,48
2,55 2,25 7,99 3,95 3,66 10,26 4,06 4,27 3,79 2,49 3,93 2,88 3,25 3,40 3,22 2,03 4,26 3,76 4,91 4,10 2,33 1,25 7,36 1,52 3,76 2,80
Jumlah
100,00
100,00
100,00
100,00
Sumber:Diolah dari APBD kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten
Sedangkan peringkat berikutnya adalah kabupaten Serang dengan kontribusi sebesar 4,05 persen terhadap gabunga n kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat dan Banten. Kalau dilihat dari sisi penyumbang terkecil terhadap pengeluaran total kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten, maka kota Cirebon merupakan pemberi 47
kontribusi terkecil dengan hanya sebesar 1,51 persen. Hal ini terjadi juga terkait dengan luas wilayahnya yang tidak begitu luas,
jumlah penduduk yang sedikit dan faktor
lainnya. Jika digabung antara kabupaten Cirebon dan kota Cirebon (5,45 persen), kontribusinya masih jauh di bawah kontribusi kabupaten Bandung (10,26 persen
Tabel 6. Realisasi pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998-2000 (ribu rupiah) Kabupaten/Kota
01. Pand eglang 02. Lebak 03. Bogor 04. Sukabumi 05. Cianjur 06. Bandung 07. Garut 08. Tasikmalaya 09. Ciamis 10. Kuningan 11. Cirebon 12. Majalengka 13. Sumedang 14. Indramayu 15. Subang 16. Purwakarta 17. Karawang 18. Bekasi 19. Tangerang 20. Serang 71. Bogor 72. Sukabumi 73. Bandung 74. Cirebon 75. Tangerang 76. Bekasi
Jumlah
1998
1999
2000
70,627,057 62,931,528 219,459,329 105,807,247 110,168,316 304,623,328 112,854,013 120,060,384 109,515,218 71,914,940 116,473,903 85,010,070 97,090,948 112,081,334 85,656,881 56,270,522 119,829,350 106,543,582 124,832,000 113,482,775 69,434,842 34,724,591 193,734,037 40,797,742 96,397,266 55,951,335
103,548,080 83,722,499 309,598,028 151,776,011 151,715,164 358,723,492 162,950,129 164,760,956 144,689,912 101,546,466 157,764,285 110,842,676 130,939,728 131,522,896 135,403,025 78,842,282 160,241,496 127,394,377 143,010,672 157,921,209 82,620,262 45,172,432 279,894,099 57,370,857 129,838,583 88,444,238
125,709,789 115,240,786 410,264,621 189,406,575 176,164,965 564,557,692 207,664,448 137,776,557 196,535,552 119,286,479 181,841,351 141,168,519 146,280,102 154,814,454 165,695,284 101,323,605 202,951,622 162,843,305 237,666,740 187,948,240 103,770,097 54,764,231 359,873,842 74,689,343 174,502,259 146,201,311
2,796,272,535
3,750,253,849
4,838,941,767
Sumber:Diolah dari APBD kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten
48
Tabel. 7. Struktur realisasi pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1998-2000 (persen)
Kabupaten/Kota
1998
1999
2000
Rata-rata
01. Pandeglang 02. Lebak 03. Bogor 04. Sukabumi 05. Cianjur 06. Bandung 07. Garut 08. Tasikmalaya 09. Ciamis 10. Kuningan 11. Cirebon 12. Majalengka 13. Sumedang 14. Indramayu 15. Subang 16. Purwakarta 17. Karawang 18. Bekasi 19. Tangerang 20. Serang 71. Bogor 72. Sukabumi 73. Bandung 74. Cirebon 75. Tangerang 76. Bekasi
2.53 2.25 7.85 3.78 3.94 10.89 4.04 4.29 3.92 2.57 4.17 3.04 3.47 4.01 3.06 2.01 4.29 3.81 4.46 4.06 2.48 1.24 6.93 1.46 3.45 2.00
2.76 2.23 8.26 4.05 4.05 9.57 4.35 4.39 3.86 2.71 4.21 2.96 3.49 3.51 3.61 2.10 4.27 3.40 3.81 4.21 2.20 1.20 7.46 1.53 3.46 2.36
2.60 2.38 8.48 3.91 3.64 11.67 4.29 2.85 4.06 2.47 3.76 2.92 3.02 3.20 3.42 2.09 4.19 3.37 4.91 3.88 2.14 1.13 7.44 1.54 3.61 3.02
2.63 2.29 8.19 3.92 3.88 10.71 4.22 3.84 3.95 2.58 4.04 2.97 3.33 3.57 3.37 2.07 4.25 3.52 4.40 4.05 2.28 1.19 7.28 1.51 3.51 2.46
Jumlah
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber:Diolah dari APBD kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten
5.2. Keragaan Perekonomian 5.2.1. Keragaan Perekonomian Kabupaten dan Kota Jawa Barat Struktur perekonomian antar kabupaten/kota di Jawa Barat cukup bervariasi, misalnya untuk kabupaten Bekasi, Bogor dan Purwakarta mempunyai peranan yang sangat signifikan pada sektor industri pengolahan. Pada tahun 2002, peranannya berturut-
49
turut sebesar 82,87 persen, 49,27 persen dan 44,72 persen. Sedangkan untuk kabupaten Indramayu dinominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian, dimana perannya sebesar 45,15 persen seluruh kegiatan perekonomian di daerah tersebut. Kabupaten Subang, Garut, dan Cirebon mempunyai peran yang menonjol di sektor pertanian, perannya berturut-turut sebesar 42,80 persen, 40,96 persen dan 37,47 persen.
Tabel 8. Struktur dan pertumbuhan ekonomi bebe rapa sektor dominan kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat tahun 2002 (persen) Pertanian Kab/Kota
1. Kab. Subang 2. Kab. Garut 3. Kab, Cirebon 4. Kab.Bekasi 5. Kab.Bogor 6. Purwakarta 7. Indramayu
Struktur
Pertumbuhan
42.80 40.96 37.47 2.32 11.46 10.95 15.72
2.21 3.89 1.64 0.25 1.72 3.76 0.20
Pertambangan/ Penggalian Struktur Pertumbuhan
0.94 0.16 0.46 0.33 1.55 0.31 45.15
1.64 0.44 4.45 0.73 -2.71 3.56 3.64
Industri Pengolahan Struktur
Pertumbuhan
5.19 9.36 10.76 82.87 49.27 44.72 22.48
1.42 5.08 6.82 5.18 4.40 2.01 6.73
Sumber: Diolah dari Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2002
Dari data pada lampiran dapat dilihat struktur perekonomian secara rinci. Pada lampiran 1. bisa dilihat untuk tahun 2000, kabupaten Bogor mempunyai peran yang sangat signifikan pada sektor industri pengolahan, yaitu sebesar 49,30 persen atau hampir separoh dari kegiatan perekonomian di kabupaten Bogor tersebut. Tahun-tahun berikutnya juga masih berada pada kisaran angka tersebut, sebesar 48,50 persen untuk tahun 2001, kemudian naik sedikit pada tahun 2002 menjadi 49,27 persen. Pada tahun 2003 terjadi penurunan menjadi 47,97 persen. Selain sektor industri pengolahan, kabupaten Bogor juga unggul di sektor ”perdagangan, hotel dan restoran” dan sektor pertanian. Pada tahun 2000 peran sektor perdagangan, hotel dan restoran tercatat sebesar 15,27 persen diikuti oleh sektor pertanian sebesar 12,20 persen. Pada tahun-tahun berikutnya polanya hampir sama, yaitu 15,25 persen untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran dan 12,10 persen untuk sektor pertanian untuk tahun 2001. Pada tahun 2002, peran sektor”perdagangan, hotel dan restoran” dan pertanian mengalami perlambatan
50
masing-masing memberikan kontribusi sebesar 15,21 persen dan 11,46 persen. Pada tahun 2003, sektor perdagangan, hotel dan restoran menguat, yaitu memberikan kontribusi sebesar 15,37 persen. Sedangkan sektor pertanian mengalami perlambatan, yang hanya memberikan kontribusi sebesar 11,30 persen. Dilihat dari laju pertumbuhan ekonominya (lampiran 2), kabupaten Bogor mempunyai pertumbuhan yang cukup moderat. Pada tahun 2000, ekonomi kabupaten Bogor tumbuh sebesar 2,20 persen. Pada tahun 2001, laju pertumbuhannya meningkat menjadi 3,61 persen dan mencapai puncaknya pada tahun 2002, yaitu sebesar 4,46 persen. Pada tahun 2003 laju pertumbuhannya agak melemah menjadi 2,89 persen. Secara sektoral dapat dilihat sektor-sektor yang menjadi pendorong pertumbuhan tersebut, yaitu sektor ”listrik, gas dan air bersih” dan subsektor komunikasi, masingmasing tumbuh sebesar 17,52 persen dan 10,81 persen untuk tahun 2000. Pada tahun 2001 dan 2002 yang menjadi pendorong tumbuhnya perekonomian kabupaten Bogor masih sektor dan sub sektor tersebut. Pada tahun tahun 2003, di samping melambatnya pertumbuhannya juga dikarenakan melambatnya pertumbuhan sektoralnya. Pada lampiran 3 dan 4 mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Sukabumi. Kabupaten Sukabumi mempunyai peran yang cukup signifikan pada sektor pertanian. Kemudian diikuti oleh sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor pertanian di kabupaten ini mempunyai peran sebesar 38,05 persen, sektor perdagangan sebesar 17,48 persen dan sektor industri pengolahan sebesar 16,07 persen untuk tahun 2000. Selanjutnya pada tahun 2001 pola perannya masih sama dengan pola tahun 2000, yaitu sektor pertanian mempunyai kontribusi sebesar 37,60 persen diikuti sektor ”perdagangan, hotel dan restoran” dan sektor industri pengolahan masing- masing sebesar 16,62 persen dan 16,42 persen. Pada tahun 2002 dan 2003, kontribusi sektor pertanian masing- masing sebesar 37,78 persen dan 37,83 persen. Sedangkan untuk sektor industri pengolahan pada tahun 2003 masingmasing memberikan kontribusi sebesar 17,03 dan 17,19 persen. Ditinjau dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupaten Sukabumi mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten Bogor. Pada tahun 2000, ekonomi kabupaten Sukabumi tumbuh cukup signifikan yaitu sebesar 12,48 persen. Pada tahun 2001, laju pertumbuhannya melambat menjadi tumbuh hanya 6,48 persen. Tahun-
51
tahun berikutnya juga terjadi perlambatan laju pertumbuhannya. Pada tahun 2002, laju pertumbuhannya sebesar 5,67 persen dan tahun 2003 melambat lagi menjadi hanya tumbuh sebsar 4,02 persen. Secara sektoral juga dapat dilihat sektor-sektor yang menjadi pendorong laju pertumbuhan, yaitu sektor industri pengolahan yang tumbuh sangat luar biasa untuk tahun 2000, yaitu sebesar 97,93 persen. Kemudian diikuti oleh sektor ”listrik, gas dan air bersih” dan subsektor komunikasi, masing- masing tumbuh sebesar 17,51 persen dan 14,27 persen untuk tahun 2000. Pada tahun 2001, 2002 dan 2003 yang menjadi pendorong tumbuhnya perekonomian kabupaten Sukabumi masih dinominasi oleh sektor industri pengolahan, sektor pertanian dan sub sektor komunikasi. Kalau dilihat dari tahun ke tahun, laju pertumbuhan sektor industri pengolahan di kabuapten Sukabumi mengalami pasang naik dan pasang surut atau fluktuatif. Pada tahun 2001 tercatat pertumbuhannya sebesar 7,33 persen, kemudian pada tahun 2002 mengalami peningkatan menjadi 8,29 persen dan pada tahun 2003 mengalami perlambatan menjadi 5,12 persen. Pada lampiran 5 dan 6 mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Cianjur. Kabupaten Cianjur mempunyai peran yang cukup signifikan pada sektor pertanian terutama dikenal dengan berasnya. Kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan resto ran; dan sektor jasa-jasa. Sektor pertanian di kabupaten ini selama kurun waktu 2000 sampai 2003 mempunyai peran rata-rata sekitar 47 persen atau kontribusinya hampir separoh dari seluruh kegiatan perekonomiannya. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran mempunyai peran sekitar 22 persen selama kurun waktu tersebut. Sedangkan sektor jasa-jasa memberikan kontribusi rata-rata sebesar 11 persen selama kurun waktu tahun 2000 sampai dengan 2003. Jika dilihat dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupaten Cianjur mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten Bogor. Selama kurun waktu 2000 sampai 2003, pertumbuhannya berkisar antara 3,23 persen sampai dengan 3,70 persen atau rata-rata sekitar 3,5 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 3,70 persen. Sedang laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 3,23 persen.
Sektor yang memacu tumbuhnya perekonomian
kabupaten Cianjur ini terutama dipacu oleh sektor pertanian. Pada periode tahun 2000 sampai 2003, laju pertumbuhan pertanian di kabupaten Cianjur berkisar antara 3,20
52
persen sampai dengan 4,08 persen. Laju pertumbuhan sektor pertanian tertinggi terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 4,08 persen. Sedangkan laju pertumbuhan sektor pertanian terendah terjadi pada tahun 2000. Sektor lainnya yang ikut mendorong tumbuhnya perekonomian kabupaten Cianjur adalah sub sektor komunikasi. Pada periode tahun 2000 sampai 2003, laju pertumbuhan sub sektor komunikasi berkisar antara 5,83 persen sampai dengan 7,83 persen atau rata-rata sekitar 7 persen. Laju pertumbuhan tertinggi dari subsektor komunikasi terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 7,83 persen. Sedang terendah terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 5,83 persen. Selanjutnya dari lampiran 9 dan 10 mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Garut. Perekonomian kabupaten Garut dinominasi oleh dua sektor utama, yaitu sektor pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor pertanian di kabupaten ini selama kurun waktu 2000 sampai 2003 memberikan kontribusi berkisar antara 40,60 persen sampai dengan 41,54 persen atau rata-rata sekitar 41 persen atau kontribusinya hampir separoh dari seluruh kegiatan perekonomiannya. Kontribusi tertinggi terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 41,54 persen. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran mempunyai peran rata-rata sekitar 30,35 persen selama kurun waktu tersebut. Kalau dilihat dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupaten Garut mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten-kabupaten di Jawa Barat. Selama kurun waktu 2000 sampai 2003, pertumbuhannya berkisar antara 2,74 persen sampai dengan 3,89 persen atau rata-rata sekitar 3,5 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 3,89 persen. Sedang laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 2,74 persen. Sektor yang memacu tumbuhnya perekonomian kabupaten Garut ini terutama dipacu oleh sub sektor perbankan. Pada periode tahun 2000 sampai 2003, laju pertumbuhan sub sektor perbankan di kabupaten Garut berkisar antara 16,38 persen sampai dengan 19,37 persen. Laju pertumbuhan sub sektor perbankan tertinggi terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 19,37 persen. Sedangkan laju pertumbuhan sektor perbankan terendah terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 16,38 persen. Sektor lainnya yang ikut mendorong tumbuhnya perekonomian kabupate n Garut adalah sub sektor komunikasi. Pada periode tahun 2000 sampai 2003, laju pertumbuhan sub sektor komunikasi berkisar antara 10,55 persen sampai dengan
53
10,91 persen atau rata-rata sekitar 10,75 persen. Laju pertumbuhan tertinggi dari subsektor komunikasi terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 10,91 persen. Sedang terendah terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 10,55 persen. Pada lampiran 11 dan 12 berikutnya mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Tasikmalaya. Ada tiga sektor yang berperan dalam membangun perekonomian kabupaten Tasikmalaya, yaitu sektor pertanian; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor jasa-jasa. Sektor pertanian di kabupaten ini selama kurun waktu 2000 sampai 2003 memberikan kontribusi berkisar antara 38,11 persen sampai dengan 41,37 persen atau rata-rata sekitar 39 persen. Kontribusi tertinggi terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 41,37 persen. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran mempunyai peran rata-rata sekitar 26 persen selama kurun waktu tersebut. Jika dilihat dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupaten Tasikmalaya juga mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten-kabupaten di Jawa Barat. Selama kurun waktu 2001 sampai 2003, pertumbuhannya berkisar antara 2,95 persen sampai dengan 3,23 persen atau rata-rata sekitar 3 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 3,23 persen. Sedang laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 2,95 persen.
Sektor yang memacu
tumbuhnya perekonomian kabupaten Tasikmalaya ini terutama dipacu oleh sektor pebankan. Laju pertumbuhan sub sektor perbankan tertinggi terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 143,07 persen. Sedangkan laju pertumbuhan sektor perbankan terendah terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 2,89 persen. Selanjutnya dari lampiran 13 dan 14 mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Ciamis. Perekonomian kabupaten Ciamis dinominasi oleh tiga sektor utama, yaitu sektor pertanian; sektor perdagangan, hotel dan resto ran; dan sektor jasa-jasa. Sektor pertanian di kabupaten ini selama kurun waktu 2000 sampai 2003 memberikan kontribusi berkisar antara 29,72 persen sampai dengan 37,57 persen atau kontribusinya lebih sepertiga dari seluruh kegiatan perekonomiannya. Kontrib usi tertinggi terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 37,57 persen. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran mempunyai peran rata-rata sekitar 24 persen selama kurun waktu tersebut. Sedangkan sektor jasa-jasa memberikan kontribusi berkisar 10 persen sampai dengan 13 persen.
54
Jika dilihat dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupaten Ciamis mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten-kabupaten di Jawa Barat. Selama kurun waktu 2001 sampai 2003, pertumbuhannya berkisar antara 3,44 persen sampai dengan 3,57 persen atau rata-rata sekitar 3,5 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 3,57 persen. Sedang laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 3,44 persen. Sektor yang memacu tumbuhnya perekonomian kabupaten Ciamis ini terutama dipacu oleh sub sektor angkutan rel. Pada periode tahun 2001 sampai 2003, laju pertumbuhan sub sektor angkutan rel di kabupaten Ciamis berkisar antara 18,38 persen sampai dengan 109,27 persen. Laju pertumbuhan sub sektor angkutan rel tertinggi terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 109,27 persen. Sedangkan laju pertumbuhan sektor angkutan rel terendah terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 18,38 persen. Sektor lainnya yang ikut mendorong tumbuhnya perekonomian kabupaten Ciamis adalah sektor pertambangn dan penggalian. Pada periode tahun 2001 sampai 2003, laju pertumbuhan sektor ini berkisar antara 2,41 persen sampai dengan 23,18 persen.. Laju pertumbuhan tertinggi dari sektor ini terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 23,18 persen. Sedang terendah terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 2,41 persen. Lampiran 15 dan 16 berikutnya mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Kuningan. Struktur perekonomian kabupaten Kuningan digerakkan oleh tiga sektor utama, yaitu sektor pertanian; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor jasa-jasa. Sektor pertanian di kabupaten ini selama kurun waktu 2000 sampai 2003 memberikan kontribusi rata-rata sekitar 40,50 persen atau mendekati separoh dari seluruh kegiatan perekonomiannya. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran mempunyai peran rata-rata sekitar 26 persen selama kurun waktu tersebut. Sedangkan sektor jasa-jasa memberikan kontribusi rata-rata 16 persen. Kalau dilihat dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupaten Kuningan mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten-kabupaten di Jawa Barat. Selama kurun waktu 2001 sampai 2003, pertumbuhannya rata-rata sekitar 4 persen. Sektor yang memacu tumbuhnya perekonomian kabupaten Kuningan ini terutama dipacu oleh sektor pertambangan dan penggalian dan sektor industri pengolahan. Pada periode tahun 2001 sampai 2003, laju pertumbuhan sektor ini di kabupaten Kuningan berkisar antara 10,55 persen sampai dengan 17,96 persen. Laju pertumbuhan tertinggi
55
terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 17,96 persen. Sedangkan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 10,55 persen. Sektor lainnya yang ikut andil dalam mendorong tumbuhnya perekonomian kabupaten Kuningan adalah subsektor perbankan. Pada periode tahun 2001 sampai 2003, laju pertumbuhan sub sektor ini berkisar antara 62,87 persen sampai dengan 80,83 persen.. Laju pertumbuhan tertinggi dari sektor ini terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 80,83 persen. Sedang terendah terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 62,87 persen. Lampiran 17 dan 18 berikutnya mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Cirebon. Struktur perekonomian kabupaten Cirebon juga digerakkan oleh empat sektor utama, yaitu sektor pertanian; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor industri pengolahan; dan sektor jasa-jasa. Sektor pertanian di kabupaten ini selama kurun waktu 2000 sampai 2003 memberikan kontribusi rata-rata sekitar 37 persen atau lebih sepertiga dari seluruh kegiatan perekonomiannya. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi rata-rata sekitar 21 persen selama kurun waktu tersebut. Sedangkan sektor jasa-jasa dan sektor industri pengolahan memberikan kontribusi rata-rata 11 persen. Jika dilihat dari laju pertumbuhan ekonominya, Kabupaten Cirebon mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten-kabupaten di Jawa Barat. Selama kurun waktu 2000 sampai 2003, laju pertumbuhannya berkisar antara 3,14 persen sampai dengan 12,17 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 12,17 persen yang didorong oleh tingginya laju sektor pertanian tahun tersebut yang mencapai 39,69 persen. Sedangkan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 3,14 persen yang merupakan tren perlambatan laju pertumbuhan yang sudah dimulai dari tahun 2001. Secara keseluruhan sektor yang memacu tumbuhnya perekonomian kabupaten Cirebon terutama dipacu oleh susektor perbankan dan sub sektor komunikasi. Pada periode tahun 2000 sampai 2003, laju pertumbuhan sub sektor perbankan di kabupaten Cirebon berkisar antara 3,18 persen sampai dengan 33,10 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 33,10 persen. Sedangkan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 3,18 persen. Sektor lainnya yang ikut andil dalam mendorong tumbuhnya perekonomian kabupaten Cirebon adalah subsektor komunikasi. Pada periode tahun 2000 sampai 2003, laju
56
pertumbuhan sub sektor ini berkisar antara 7,80 persen sampai dengan 15,87 persen.. Laju pertumbuhan tertinggi dari sektor ini terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 15,87 persen. Sedang terendah terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 7,80 persen. Selanjutnya la mpiran 19 dan 20 mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Majalengka. Ada empat sektor yang sangat berperan dalam membangun perekonomian kabupaten Majalengka. Sektor-sektor tersebut adalah sektor pertanian; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor jasa-jasa; dan sektor industri pengolahan. Sektor pertanian di kabupaten ini selama kurun waktu 2000 sampai 2003 memberikan kontribusi rata-rata sekitar 34 persen atau lebih sepertiga dari seluruh kegiatan perekonomiannya. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi rata-rata sekitar 20 persen selama kurun waktu tersebut. Sedangkan sektor jasa-jasa dan sektor industri pengolahan masing- masing memberikan kontribusi rata-rata 15 persen dan 13,50 persen. Kalau diperhatikan dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupaten Majalengka mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten-kabupaten di Jawa Barat. Selama kurun waktu 2000 sampai 2003, laju pertumbuhannya berkisar antara 3,07 persen sampai dengan 4,96 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 4,96 persen. Sedangkan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 2,95 persen. Secara keseluruhan sektor yang memacu tumbuhnya perekonomian kabupaten Majalengka terutama dipacu oleh sektor angkutan dan komunikasi. Pada periode tahun 2000 sampai 2003, laju pertumbuhan sektor ini di kabupaten Majalengka berkisar antara 5,52 persen sampai dengan 7,19 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2000. Sedangkan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2002. Selanjutnya lampiran 21 dan 22 mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Sumedang. Perekonomian kabupaten Sumedang dinominasi oleh tiga sektor utama, yaitu sektor pertanian; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor industri pengolahan. Sektor pertanian di kabupaten ini selama kurun waktu 2000 sampai 2003 memberikan kontribusi berkisar antara 32,65 persen sampai dengan 35,16 persen atau kontribusinya lebih sepertiga dari seluruh kegiatan perekonomiannya. Kontribusi tertinggi terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 35,16 persen. Untuk sektor perdagangan,
57
hotel dan restoran mempunyai peran rata-rata sekitar hampir 27 persen selama kurun waktu tersebut. Sedangkan sektor industri pengolahan memberikan kontribusi rata-rata hampir 17 persen. Jika dilihat dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupaten Sumedang mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten-kabupaten di Jawa Barat. Selama kurun waktu 2000 sampai 2003, pertumbuhannya berkisar antara 3,32 persen sampai dengan 4,08 persen atau rata-rata sekitar 3,7 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 4,08 persen. Sedang laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 3,32 persen. Sektor yang memacu tumbuhnya perekonomian kabupate n Sumedang ini terutama dipacu oleh sub sektor komunikasi dan sektor pertambangan dan penggalian.. Pada periode tahun 2000 sampai 2003, laju pertumbuhan sub sektor komunikasi di kabupaten Sumedang rata-rata sekitar 10 persen. Lampiran 23 dan 24 berikutnya mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Indramayu. Struktur perekonomian kabupaten Indramayu agak berbeda dengan kabupaten dan kota di propinsi Jawa Barat karena kabupaten ini dikenal dengan pertambangan minyak. Sehingga kontribusi sektor pertambangan merupakan yang terbesar dibandingkan sektor lainnnya. Sektor pertambangan memberikan kontribusi rata-rata sekitar 46 persen pada periode tahun 2000 sampai dengan 2003. Di samping sektor pertambangan, perekonomian Indramayu juga dibangun oleh sektor pertanian dan industri pengolahan. Sektor pertanian di kabupaten ini selama kurun waktu 2000 sampai 2003 memberikan kontribusi rata-rata sekitar 15,50 persen. Sedangkan sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar kedua dengan rata-rata sekitar hampir 22 persen. Jika dilihat dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupaten Indramayu mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten-kabupaten di Jawa Barat. Selama kurun waktu 2000 sampai 2003, pertumbuhannya berkisar antara 0,40 persen sampai dengan 4,34 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2003 dan terendah terjadi pada tahun 2000. Secara keseluruhan, sektor yang memacu tumbuhnya perekonomian kabupaten Indramayu ini terutama dipacu oleh sektor pertambangan penggalian; sektor pertanian dan sektor industri pengolahan.
58
Pada lampiran 25 dan 26 berikutnya mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Subang. Ada tiga sektor utama yang membangun perekonomian kabupaten Subang, yaitu sektor pertanian; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor jasa-jasa. Sektor pertanian di kabupaten ini selama kurun waktu 2000 sampai 2003 memberikan kontribusi rata-rata sekitar 43 persen atau lebih sepertiga dari seluruh kegiatan perekonomiannya. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi rata-rata sekitar 29 persen selama kurun waktu tersebut. Sedangkan sektor jasa-jasa memberikan kontribusi rata-rata 12 persen. Jika dilihat dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupaten Subang mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten-kabupaten di Jawa Barat. Selama kurun waktu 2000 sampai 2003, pertumbuhannya berkisar antara minus 1,00 persen sampai dengan 4,55 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2003 dan terendah terjadi pada tahun 2000. Secara keseluruhan, sektor yang memacu tumbuhnya perekonomian kabupaten Subang ini terutama dipacu oleh sektor pertambangan penggalian; sub sektor komunkasi dan sektor listrik, gas dan air bersih. Untuk melihat kinerja pembangunan kabupaten/kota Jawa Barat lainnya secara detail bisa dilihat pada lampiran selanjutnya .
5.2.2. Keragaan Perekonomian Kabupaten dan Kota Banten Seperti yang terjadi di Jawa Barat, s truktur perekonomian antar kabupaten/kota di Banten juga cukup bervariasi, misalnya untuk kota Cilegon dan kabupaten Tangerang mempunyai peranan yang sangat signifikan pada sektor industri pengolahan. Pada tahun 2002, kontribusinya masing- masing sebesar 61,84 persen dan 56,28 persen. Sedangkan untuk kabupaten Lebak dan Pandeglang dinominasi oleh sektor pertanian dengan peran berturut-turut sebesar 40,35 persen dan 36,13 persen.
59
Tabel 9. Struktur dan pertumbuhan ekonomi beberapa sektor dominan kabupaten/kota di Propinsi Banten tahun 2002 (persen) Pertanian Kab/Kota Banten 1. Kab.Lebak 2. Pandeglang 3. Kota Cilegon 4.Kab.Tangerang
Struktur
Pertumbuhan
40.35 36.13 2.99 9.56
1.87 3.14 1.09 4.49
Pertambangan/ Penggalian Struktur Pertumbuhan
1.19 0.11 0.09 0.09
Industri Pengolahan Struktur
6.79 2.96 5.62 9.71
9.24 11.99 61.84 56.28
Pertumbuhan
4.23 5.29 7.26 2.68
Sumber: Diolah dari Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Propinsi Banten tahun 2002
Pada lampiran 51 dan 52 dapat dilihat struktur perekonomian secara rinci. Untuk kabupaten Pandeglang, perannya sangat signifikan pada sektor pertanian, hal ini ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap PDRB dengan rata-rata sekitar 37 persen tiap tahunnya untuk tahun 2000 sampai dengan 2002. Sektor lainnya yang juga cukup signifikan dalam kontribusinya terhadap perekonomian kabupaten Pandeglang adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor jasa-jasa dan sektor industri pengolahan, yaitu masing-masing rata-rata sebesar 23 persen, 13 persen dan 12 persen. Dilihat dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupa ten Pandeglang selama kurun waktu tahun 2000 sampai dengan 2002 berkisar antara 4,75 persen sampai dengan 7,21 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2000 dimana perekonomiannya tumbuh sebesar 7,21 persen. Sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 4,75 persen. Secara keseluruhan sektor yang memacu pertumbuhannya adalah sub sektor perbankan yang tumbuh sebesar 228,99 persen untuk tahun 2000, kemudian untuk tahun 2001, tumbuh sebesar 22,62 persen dan tahun 2003 meningkat lagi menjadi 146,22 persen. Pada lampiran 53 dan 54 selanjutnya mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Lebak. Ada tiga sektor yang sangat berperan dalam membangun perekonomian kabupaten Lebak. Sektor-sektor tersebut adalah sekto r pertanian; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor jasa-jasa. Sektor pertanian di kabupaten ini selama kurun waktu 2000 sampai 2002 memberikan kontribusi rata-rata sekitar 41 persen atau lebih sepertiga dari seluruh kegiatan perekonomiannya. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi rata-rata hampir 23 persen 60
selama kurun waktu tersebut. Sedangkan sektor jasa-jasa memberikan kontribusi rata-rata sekitar 12,50 persen. Kalau diperhatikan dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupaten Lebak mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten-kabupaten di banten. Selama kurun waktu 2000 sampai 2002, laju pertumbuhannya berkisar antara 3,37 persen sampai dengan 7,78 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 7,78 persen. Sedangkan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 3,37 persen. Secara keseluruhan sektor yang memacu tumbuhnya perekonomian kabupaten Lebak terutama dipacu oleh sektor perbankan. Pada lampiran 55 dan 56 selanjutnya mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Tangerang. Perekonomian kabupaten Tangerang dinominasi oleh tiga
sektor utama, yaitu sektor industri yangmempunyai sangat
sigifikan; sektor perdagangan, hotel dan restora n; dan sektor pertanian. Sektor industri pengolahan di kabupaten ini selama kurun waktu 2000 sampai 2002 memberikan kontribusi yang sangat tinggi, yaitu rata-rata sebesar 57 persen atau lebih separoh dari kegiatan perekonomiannya. Selanjutnya diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor pertanian, masing- masing memeberikan kontribusi sebesar rata-rata 12 persen dan 9,7 persen. Kalau diperhatikan dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupaten Tangerang mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten-kabupaten di Banten. Selama kurun waktu 2000 sampai 2002, pertumbuhannya berkisar antara 4,03 persen sampai dengan 5,08 persen atau rata-rata sekitar 4,5 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 5,08 persen. Sedang laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 4,03 persen.
Sektor yang memacu
tumbuhnya perekonomian kabupaten Tangerang ini terutama dipacu oleh sub sektor keuangan, persewaan, & jasa perusahaan. Lampiran 57 dan 58 berikutnya mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Serang. Kalau dilihat dari struktur perekonomiannya, kabupaten Serang hampir sama dengan kabupaten Tangerang di mana dinominasi oleh tiga sektor utama, yaitu sektor industri yang mempunyai peran sangat sigifikan; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor pertanian. Sektor industri pengolahan di kabupaten ini
61
selama kurun waktu 2000 sampai 2002 memberikan kontribusi yang cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 51 persen atau lebih separoh dari kegiatan perekonomiannya. Selanjutnya diikuti oleh sektor pertanian, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran; masing-masing memeberikan kontribusi sebesar rata-rata hampir 15 persen dan 10,35 persen. Kalau diperhatikan dari laju pertumbuhan ekonominya, kabupaten Serang mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten-kabupaten di Banten. Selama kurun waktu 2000 sampai 2002, pertumbuhannya berkisar antara 3,10 persen sampai dengan 5,05 persen atau rata-rata sekitar 4,5 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 5,05 persen. Sedang laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 3,10 persen.
Sektor yang memacu
tumbuhnya perekonomian kabupaten Serang ini terutama dipacu oleh sub sektor komunikasi. Pada lampiran 59 dan 60 selanjutnya mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kota Tangerang. Kalau dilihat dari struktur perekonomiannya, kota Tangerang juga
hampir sama dengan kabupaten Tangerang di mana struktur
perekonomiannya dinominasi oleh dua sektor utama, yaitu sektor industri yang mempunyai peran sangat sigifikan; dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor industri pengolahan di kabupaten ini selama kurun waktu 2000 sampai 2002 memberikan kontribusi yang cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 58,7 persen atau lebih separoh dari kegiatan perekonomiannya. Selanjutnya diikuti oleh
sektor perdagangan, hotel dan
restoran; yang memberikan kontribusi sebesar rata-rata lebih dari 25 persen. Kalau diperhatikan dari laju pertumbuhan ekonominya, kota Tangerang mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten-kabupaten di Banten. Selama kurun waktu 2000 sampai 2002, pertumbuhannya berkisar antara 3,95 persen sampai dengan 4,63 persen atau rata-rata sekitar 4,4 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 4,63 persen. Sedangkan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 3,95 persen.
Sektor yang memacu
tumbuhnya perekonomian kota Tangerang ini terutama dipacu oleh sub sektor komunikasi.
62
Lampiran 61 dan 62 berikutnya mengetengahkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi kota Cilegon. Kalau dilihat dari struktur perekonomiannya, kota Cilegon juga hampir sama dengan kota Tangerang di mana struktur perekonomiannya dinominasi oleh dua sektor utama, yaitu sektor industri pengolahan yang mempunyai peran sangat sigifikan; dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor industri pengolahan di kota ini selama kurun waktu 2000 sampai 2002 memberikan kontribusi yang cuk up tinggi, yaitu rata-rata sebesar 63 persen atau lebih separoh dari kegiatan perekonomiannya. Selanjutnya diikuti oleh
sektor perdagangan, hotel dan restoran; yang memberikan
kontribusi sebesar rata-rata lebih dari 11 persen. Kalau diperhatikan dari laju pertumbuhan ekonominya, kota Cilegon mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten/kota di Banten. Selama kurun waktu 2000 sampai 2002, pertumbuhannya berkisar antara 6,00 persen sampai dengan 8,76 persen atau rata-rata sekitar 7,5 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 8,76 persen. Sedangkan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 6,00 persen. Sektor yang memacu tumbuhnya perekonomian kota Cilegon ini terutama dipacu oleh sektor listrik, gas dan air bersih.
5.2.3. Pendapatan riil perkapita kabupaten/kota di Jawa Barat dan Banten Pada lampiran 68, tercatat kabupaten/kota yang mempunyai pendapatan riil perkapita dengan migas tertinggi tahun 1998 di Jawa Barat adalah Kabupaten Indramayu dengan nilai sebesar Rp.3 249,0 ribu. Jika pendapatan perkapita Kabupaten Indramayu tanpa migas sebenarnya hanya sebesar Rp 1 005,0 ribu, jauh di bawah kabupaten/kota lainnya di Jawa Barat dan Banten, misalnya Bekasi yang mencapai Rp. 2500,0 rib u. Sedangkan kabupaten/kota dengan nilai pendapatan perkapita terendah di Jawa Barat adalah Kabupaten Cirebon dengan nilai sebesar Rp. Rp. 789,0 ribu. Sebaliknya Kota Cirebon mempunyai pendapatan riil perkapita yang cukup tinggi yaitu, Rp. 3 064,0 ribu. Di Propinsi Banten, pendapatan riil perkapita tertinggi terdapat di Kota Tangerang, yaitu sebesar Rp. 4 106,0 ribu, sedangkan untuk Kabupaten Tangerang hanya sebesar Rp. 1 384,0 ribu.
63
4.500,0 4.000,0 3.500,0 3.000,0 2.500,0
Y/Kapita dengan migas Y/Kapita tanpa migas
2.000,0 1.500,0 1.000,0 500,0
01 .P an de gla n 02 g .L eb 03 ak 04 .Bog .S o uk r ab u 05 mi .C 06 ianju r .B an du ng 08 07. .T as Garu ikm t ala y 09 a . 10 Ciam .K un is ing 11 an . 12 Cir . M eb aja on 13 leng .S ka um 14 eda .In n dra g m a 15 yu 16 . Su . P ban urw g 17 akar .K t ara a wa ng 18 19 . Be k .T an asi ge ra 20 ng .S era n 71 g . 72 Bog .S o uk r a 73 bum i .B an du 74 ng .C 75 . T irebo an n ge ran g
-
Kabupaten/kota
Gambar 6. Pendapatan perkapita kabupaten/kota di Jawa Barat dan Banten tahun 1998 (ribuan rupiah) Sumber: Diolah dari Lampiran 68
5.2.4. Analisis Sektor Unggulan di Kabupaten/Kota Sejalan dengan temuan pada kajian struktur pada produk domestik regional bruto, hasil hitungan Kuosien Lokasi juga menunjukkan bahwa di kabupaten/kota tertentu sangat dominan di sektor tertentu. Misalnya untuk kabupaten Indramayu di Propinsi Jawa Barat sangat dominan di sektor pertambangan dan penggalian, hal ini juga ditunjukkan oleh nilai LQ yang sangat besar yaitu, 6,38. Demikian juga halnya, dimana hasil temuan dengan analisa struktur untuk kabupaten Subang, Garut dan Cirebon sangat dominan pada sektor pertanian, nilai LQnya juga menunjukkan nilai yang cukup signifikan, yaitu berturut-turut sebesar 1,6048, 1,2475 dan 0,8305. Pada kajia n struktur untuk sektor industri pengolahan juga menunjukkan hal yang sama, dimana untuk kabupaten Bekasi dan Bogor memiliki kontribusi yang besar, juga sejalan dengan nilai LQnya masingmasing sebesar 0,8954 dan 0,7919.
5.2.5. Ketimpangan Wilayah Adanya variasi dalam pendapatan perkapita dari kabupaten/kota baik di Jawa Barat maupun di propinsi Banten merupakan indikasi awal bahwa terjadinya
64
ketimpangan antar wilayah. Dari besaran PDRB riil perkapita pada tabel lampiran Kinerja perekonomian
menurut kabupaten/kota
tahun 1998 propinsi Jawa Barat
termasuk Banten dapat dilihat bahwa PDRB perkapita tertinggi terdapat pada kota Tangerang, yaitu sebesar Rp.4 106 ribu. Jika dibandingkan dengan Kabupaten Lebak (propinsi yang sama) di mana PDRB perkapitanya hanya Rp. 816 ribu, maka ketimpangan antar dua kabupaten/kota tersebut sangat menganga. Jika dilihat dari antar kabupaten/kota dalam Propinsi Jawa Barat ketimpangan tidak terlalu besar. Dari hasil penghitungan Indeks Williamson kabupaten/kota di masing-masing propinsi diperoleh Indeks Williamson untuk kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat sebesar 0.4158 dan di propinsi Banten sebesar 0.5846. Dari hasil ini dapat disimpulkan kesenjangan antar wilayah kabupaten/kota di propinsi Banten lebih besar dibanding kesenjangan antar wilayah kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat.
5.3. Tipologi Permasalahan Daerah Dalam bahasan tipologi daerah ini, penulis berpijak pada ketersediaan data yang penulis peroleh. Sehingga bahasannya antara kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat dan Banten menjadi satu kesatuan. Bahasannya juga mengacu pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemiskinan Manusia (IKM), Indeks Pembangunan Jender (IPJ), Indeks Pemberdayaan Jender (IDJ), Kondisi kesehatan, Partisipasi sekolah, dan Kondisi perumahan. Pada IPM terdapat variabel : 1. Harapan hidup dalam tahun, 2. Angka melek huruf dalam persen, 3. Rata-rata lama sekolah dalam tahun, 4. Pengeluaran riil perkapita yang disesuaikan dalam ribu rupiah Dari data pada lampiran dapat dilihat bahwa, pada tahun 1996, kabupaten kota yang mempunyai harapan hidup tertinggi adalah kota Bandung dengan angka harapan hidupnya sebesar 66,8 tahun, sedangkan untuk propinsi Jawa Barat yang masih termasuk
65
45,0 40,0 35,0 30,0 25,0
Tingkat Buta Huruf Balita Kurang Gizi
20,0 15,0 10,0 5,0
01 .P an de gla 02 ng .L e 04 03. bak . S Bo uk go a 05 bum r 06 . Cia i . B nj an ur 08 d . T 07 ung as . G ikm a a ru 0 la t 10 9. C ya . K ia un m i 12 11. inga s . M Cir n e 13 ajal bon . S en 14 um gka . In ed dra ang m 16 15. ayu . P Su u b 17 rwa ang . K ka ara rta w 19 18. ang . T Be an ka g s 20 eran i .S g er 72 71. ang . S Bo u 73 kab gor . B um a 7 nd i 75 4. C ung . T ire an bo g n 76 eran .B g ek as i
-
Gambar 7. Angka buta huruf orang de wasa dan balita kurang gizi kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1999 (%) Sumber: Diolah dari Lampiran 64
Banten adalah sebesar 62,9 tahun. Sedang harapan hidup terendah terdapat di kabupaten Garut, yaitu sebesar 58 tahun. Pada tahun 1999 terdapat peningkatan harapan hidup, dimana untuk tingkat propinsi Jawa Barat yang masih termasuk Banten adalah 64,3 tahun. Sedangkan harapan hidup tertinggi masih terdapat di kota Bandung dengan angka sebesar 68,2 tahun. Untuk variabel Angka melek huruf, pada tahun 1996, kabupaten/kota yang memiliki persentase tertinggi adalah kota Sukabumi dengan persentase sebesar 99,0 persen. Sedangkan persentase terendah untuk tahun 1996 terjadi di kabupaten Indramayu dengan persentase sebesar 67,0 persen. Pada tahun 1996 angka melek huruf untuk tingkat propinsi Jawa Barat termasuk Banten sebesar 89,7 persen. Pada tahun 1999 angka melek huruf di propinsi Jawa Barat termasuk Banten meningkat menjadi 92,1 persen. Pada tingkat kabupaten/kota, angka tertinggi terdapat di kota Bandung dengan persentase sebesar 98,3 persen. Untuk angka terendah masih terdapat di kabupaten Indramayu, dengan persentase sebesar 66,7 persen.
66
Untuk variabel Rata-rata lama sekolah sangat erat hubungannya dengan variabel melek huruf, ini terlihat di mana kabupaten Indramayu yang mempunyai angka terkecil untuk Angka melek huruf juga mempunyai Rata-rata lama sekolah yang rendah, yaitu 3,8 tahun untuk tahun 1996 dan 3,9 tahun untuk tahun 1997. Sebaliknya kabupaten/kota yang mempunyai angka melek huruf lebih besar juga terkait denga n rata-rata lamanya sekolah. Angka tertinggi untuk lamanya sekolah terdapat di kota Bandung baik tahun 1996 maupun tahun 1999, yaitu masing- masing 9,6 tahun. Angka tersebut berbanding lurus dengan angka melek huruf. Untuk variabel pengeluaran riil perkapita, kabupaten/kota terbesar pengeluaran riil perkapitanya terjadi di kota Cirebon, yaitu sebesar Rp.608,3 ribu untuk tahun 1996. Sedangkan yang terkecil terdapat di kabupaten Lebak sebesar Rp.546,3 ribu untuk tahun 1996. Pada tahun 1999 terjadi pergeseran di antara kabupaten/kota untuk varibel pengeluaran riil perkapita, di mana kabupaten Subang memilik angka tertinggi, yaitu sebesar Rp.591 ribu. Sedangkan yang terrendah terdapat kabupaten Pandeglang. Untuk IPM, kabupaten/kota yang mempunyai nilai indeks tertinggi adalah kota Bandung dengan 74,3 untuk tahun 1996 dan 70,7 untuk tahun 1999. IPM terendah terdapat di kabupaten Indramayu, yaitu berturut-turut sebesar 63,4 dan 60,9 untuk tahun 1996 dan 1999. Semakin tinggi IPM maka semakin tinggi tingkat pembangunan manusianya. Pada IKM terdapat variabel : 1. Penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun dalam persen, 2. Angka buta huruf usia dewasa dalam persen, 3. Penduduk tanpa akses terhadap air bersih dalam persen, 4. Penduduk tanpa akses terhadap sarana kesehatan dalam persen 5. Balita kurang gizi dalam persen. Pada tabel lampiran dapat dilihat variabel persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun di kabupaten/kota propinsi Jawa Barat termasuk Banten. Data tersedia untuk tahun 1998. Yang paling tinggi persentase penduduk yang diperkirakan tidak mencapai usia 40 tahun terdapat di kabupaten Garut, yaitu sebesar 26,9 persen. Sedangkan yang terkecil terdapat di kota Bandung. Rata-rata nilai propinsi adalah sebesar 18,2 persen. Untuk variabel angka buta huruf, kabupaten Indramayu merupakan kabupaten yang paling tinggi tingkat buta hurufnya, yaitu sebesar 33,3 persen. Sedang yang paling kecil
67
terdapat di kota Bandung, yaitu sebesar 1,7 persen. Untuk rata-rata propinsinya adalah sebesar 7,8 persen. Selanjutnya variabel penduduk tanpa akses terhadap air bersih, terbesar adalah terdapat di kabupaten Tasikmalaya dengan persentase sebesar 80.0 persen. Sedangkan yang terendah terdapat di kota Bandung. Nilai untuk propinsi adalah sebesar 62,1 persen. Untuk variabel penduduk tanpa akses terhadap sarana kesehatan, tertinggi terdapat di kabupaten Cianjur dengan persentase sebesar 55,9 persen. Persentase terendah terdapat di kota Sukabumi, kota Cirebon dan kota Bekasi dengan persentase masing-masing 0.0 persen. Sedangkan untuk angka persentase penduduk tanpa akses kesehatan propinsi Jawa Barat (termasuk Banten) adalah sebesar 22,4 persen. Berikutnya variabel balita kurang gizi. Persentase terbesar untuk balita kurang gizi terdapat di kabupaten Pandeglang (Banten), dengan persentase sebesar 39,6 persen. Sedangkan persentase terkecil terdapat di kota Sukabumi dengan persentase sebesar 10,9 persen. .
5.4. Keterkaitan antara Kinerja Pembangunan, Struktur Penganggaran dan Tipologi Permasalahan Daerah Dari hasil olah dengan menggunakan beberapa software statistik diperoleh korelasi antara kinerja pembangunan daerah yang diwakili oleh variabel pertumbuhan ekonomi riil kabupaten/kota dengan tipologi permasahan daerah yang diwakili oleh variabel tingkat buta huruf orang dewasa kabupaten/kota. Besar korelasi antara dua variabel tersebut cukup kuat, yaitu -0.817 dengan P-Value 0.000, yang bermakana ada hubungan negatif, di mana untuk meningkatkan kinerja pembangunan harus menurunkan tingkat buta huruf. Korelasi pertumbuhan ekonomi yang merupakan cerminan dari kinerja pembangunan kabupaten/kota dengan rasio alokasi dana pengeluaran untuk pendidikan dalam APBD kab/kota adalah sebesar 0,726 persen dengan P-Value 0.000. Hal ini berarti ada hubungan yang positif antara kedua variabel tersebut, dimana untuk meningkatkan kinerja pembangunan harus disupport oleh dana untuk pendidikan yang memadai. Analisis regresi menggambarkan adanya keterkaitan antara kinerja pembangunan dengan struktur penganggaran daerah dan tipologi permasalahan daerah. Persamaan regresi logaritma natural linearnya sebagai berikut:
68
LnYr = ß0 + ß1 WLnYr + ? ßi Ln Xi +
er
Setelah proses pengolahan data, diperoleh persamaan umumnya sebagai berikut:
LnYr = 2.230 - 0.09WLnY r + 0.419 Ln X1 – 0.58 Ln X2 dengan Multiple R = 0.913439 R2 = 0.834370 dan P-Value = 0.000000. Dari nilai- nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat signifikansi dari model ini cukup tinggi, dimana P-Value < 5%. Gambar 8. di bawah menunjukkan fitted line plot antara varibel kinerja pembangunan dengan rasio anggaran untuk pendidikan dengan persamaan umum regresinya adalah LnYr = -0,1573 + 1,132 LnDidik dengan R-Sqnya sebesar 52.7 %
Fitted Line Plot
Tingkat Pertumbuhan (Yr) Skala LogNatural
LnYr = - 0.1573 + 1.132 LnDidik 3
S R-Sq R-Sq(adj)
0.510135 52.7% 50.7%
2
1
0
-1 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 Persentase A lokasi A nggaran Pendidikan Skala Logaritma Natural
Gambar 8. Hubungan Kinerja Pembangunan dan Alokasi Anggaran Pendidikan Skala Logaritma Natural Sumber: Diolah dari Lampiran 71
69
Pada Gambar 9. menunjukkan fitted line plot antara varibel kinerja pembangunan dan variabel tingkat buta huruf dengan persamaan umum regresinya adalah LnYr = 2,850 0,8928 LnBH dengan R-Sqnya sebesar 66.89%
Fitted Line Plot
Tingkat Pertumbuhan Skala Log Natural
LnYr = 2.850 - 0.8928 LnBH 3
S R-Sq R-Sq(adj)
0.427373 66.8% 65.4%
2
1
0
-1 0.5
1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 Tingkat Buta Huruf (BH) Skala Logaritma Natural
Gambar 9. Hubungan Kinerja Pembangunan dan Tingkat Buta Huruf Skala Logaritma Natural Sumber: Diolah dari Lampiran 71
Kinerja pembangunan dipengaruhi oleh rasio pengeluaran pendidikan dalam APBD kabupaten/kota dengan koefisien sebesar 0.419. Sedangkan variabel tingkat buta huruf berpengaruh negatif terhadap kinerja pembangunan dengan koefisien negatif 0.58. Angka–angka ini bermakna tingkat buta huruf akan melemahkan kinerja pembangunan.
70
Sehingga tindakan yang harus dilakukan adalah memperbaiki taraf kehidupan dengan memperhatikan pendidikan secara terpadu.
5.5. Implementasi Pembangunan Berkelanjutan dan Good Governance Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Banten merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan wilayah Indonesia. Sehingga pola dan program pembangunan nasional akan selalu diikuti dan diimplementasikan di propinsi ini. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 Bab 14 disebutkan bahwa salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumber daya manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif. Permasalahan pokok mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan dan good governance adalah reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan. Demikian pula, masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara merupakan cerminan dari kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan.
Banyaknya permasalahan birokrasi tersebut di atas, belum sepenuhnya teratasi baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi internal, berbagai faktor seperti demokrasi, desentralisasi dan internal birokrasi itu sendiri,
masih berdampak pada tingkat
kompleksitas permasalahan dan dalam upaya mencari solusi lima tahun ke depan. Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi juga
71
akan kuat berpengaruh terhadap pencarian alternatif-alternatif kebijakan dalam bidang aparatur negara. Dari sisi internal, faktor demokratisasi dan desentralisasi telah membawa dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait dengan, makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik; meningkatnya tuntutan penerapan prinsip -prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum; meningkatnya
tuntutan
dalam
pelimpahan
tanggung
jawab,
kewenangan
dan
pengambilan keputusan. Demikian pula, secara khusus dari sisi internal birokrasi itu sendiri, berbagai permasalahan masih banyak yang dihadapi. Permasalahan tersebut antara lain adalah: pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan dan masih banyaknya praktek KKN; rendahnya kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan yang belum memadai; rendahnya efisiensi dan efektifitas kerja; rendahnya kualitas pelayanan umum; rendahnya kesejahteraan PNS; dan banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
Dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi (eGovernment) merupakan tantangan tersendiri dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, baik dan berwibawa. Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan faktor lingkunga n politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi dengan cepat; makin derasnya arus informasi dari manca negara yang dapat menimbulkan infiltrasi budaya dan terjadinya kesenjangan informasi dalam masyarakat (digital divide). Perubahan-perubahan ini, membutuhkan aparatur negara yang memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang handal untuk melakukan antisipasi, menggali potensi dan cara baru dalam menghadapi tuntutan perubahan. Di samping itu, aparatur negara harus mampu meningkatkan daya saing, dan menjaga keutuhan bangsa dan wilayah negara. Untuk itu, dibutuhkan suatu upaya yang lebih komprehensif dan terintegrasi dalam mendorong peningkatan kinerja birokrasi aparatur negara dalam
72
menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel yang merupakan amanah reformasi dan tuntutan seluruh rakyat Indonesia. Sasaran utama yang ingin dicapai dalam tahun 2004–2009 adalah terciptanya tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat memberikan pelayanan yang prima kepada seluruh masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, secara khusus sasaran yang ingin dicapai adalah: 1. Berkurangnya secara nyata praktek korupsi di birokrasi, dan dimulai dari tataran (jajaran) pejabat yang paling atas; 2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih, efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel; 3. Terhapusnya aturan, peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat; 4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik; 5. Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah, dan tidak bertentangan peraturan dan perundangan di atasnya.
Arah
kebijakan
dalam
upaya
untuk
mencapai
sasaran
pembangunan
penyelenggaraan negara dalam mewujudkan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, maka kebijakan penyelengaraan negara 2004–2009 diarahkan untuk: 1.
Menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenanga n dalam bentuk praktik -praktik KKN dengan cara: a.
Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan pada semua kegiatan;
b.
Pemberian sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku KKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c.
Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan sinergi pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat;
73
d.
Peningkatan budaya kerja aparatur yang bermoral, profesional, produktif dan bertanggung jawab;
e.
Percepatan
pelaksanaan
tindak
lanjut
hasil-hasil
pengawasan
dan
pemeriksaan; f.
Peningkatan pemberdayaan penyelenggara negara, dunia usaha dan masyarakat dalam pemberantasan KKN.
2.
Meningkatkan kualitas penyelengaraan administrasi negara melalui: a.
Penataan kembali fungsi- fungsi kelembagaan pemerintahan agar dapat berfungsi secara lebih memadai, efektif, dengan struktur lebih proporsional, ramping, luwes dan responsif;
b.
Peningkatan efektivitas dan efisiensi ketatalaksanaan dan prosedur pada semua tingkat dan lini pemeritahan;
c.
Penataan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur agar lebih profesional sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat;
d.
Peningkatan kesejahteraan pegawai dan pemberlakuan sistem karier berdasarkan prestasi;
e.
Optimalisasi
pengembangan
dan
pemanfaatan
e-Government,
dan
dokumen/arsip negara dalam pengelolaan tugas dan fungsi pemerintahan.
3.
Meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dengan: a.
Peningkatan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan dasar, pelayanan umum dan pelayanan unggulan;
b.
Peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat mencukupi kebutuhan dirinya, berpartisipasi
dalam
proses
pembangunan
dan
mengawasi
jalannya
pemerintahan; c.
Peningkatan tranparansi, partisipasi dan mutu pelayanan melalui peningkatan akses dan sebaran informasi.
74
Program-program pembangunan antara lain: pertama, menerapakan program kepemerintahan yang baik. Program ini bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, profesional,
responsif,
dan
bertanggungjawab
dalam
menyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1.
Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan pelaksanaan prinsip-prinsip penyelenggaraan kepemerintahan yang baik;
2.
Menerapkan nilai- nilai etika aparatur guna membangun budaya kerja yang mendukung produktifitas kerja yang tinggi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan negara khususnya dalam rangka pemberian pelayanan umum kepada masyarakat.
Program kedua yang harus dilaksanakan adalah program peningkatan pengawasan dan akuntabilitas negara.
Program ini bertujuan untuk menyempurnakan dan
mengefektifkan sistem pengawasan dan audit serta sistem akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan aparatur negara yang bersih, akuntabel, dan bebas KKN.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1.
Meningkatkan intensitas dan kualitas pelaksanaan pengawasan dan audit internal, eksternal, dan pengawasan masyarakat;
2.
Menata dan menyempurnakan kebijakan sistem, struktur kelembagaan dan prosedur pengawasan yang independen, efektif, efisien, transparan dan terakunkan;
3.
Meningkatkan tindak lanjut temuan pengawasan secara hukum;
4.
Meningkatkan koordinasi pengawasan yang lebih komprehensif;
5.
Mengembangkan penerapan pengawasan berbasis kinerja;
6.
Mengembangkan tenaga pemeriksa yang profesional;
7.
Mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja dan mendorong peningkatan implementasinya pada seluruh instansi;
8.
Mengembangkan dan meningkatkan sistem informasi APFP dan perbaikan kua litas informasi hasil pengawasan; dan
75
9.
Melakukan evaluasi berkala atas kinerja dan temuan hasil pengawasan.
Program ketiga adalah program penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan. Program ini bertujuan untuk menata dan menyempurnakan sistem
organisasi dan
manajemen pemerintahan pusat, pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/ kota agar lebih proporsional, efisien dan efektif.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Menyempurnakan sistem kelembagaan yang efektif, ramping, fleksibel berdasarkan prinsip -prinsip good governance; 2. Menyempurnakan sistem administrasi negara untuk menjaga keutuhan NKRI dan mempercepat proses desentralisasi; 3. Menyempurnakan struktur jabatan negara dan jabatan negeri; 4. Menyempurnakan tata laksana dan hubungan kerja antar lembaga di pusat dan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota; 5. Menciptakan sistem administrasi pendukung dan kearsipan yang efektif dan efisien; dan 6. Menyelamatkan dan melestarikan dokumen/arsip negara.
Program keempat adalah program pengelolaan sumber daya manusia aparatur. Program ini bertujuan untuk meningkatkan sistem pengelolaan dan kapasitas sumber daya
manusia
aparatur
sesuai
dengan
kebutuhan
dalam
melaksanakan
tugas
kepemerintahan dan pembangunan. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Menata kembali sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan akan jumlah dan kompetensi, serta perbaikan distribusi PNS; 2. Menyempurnakan sistem manajemen pengelolaan sumber daya manusia aparatur terutama pada sistem karier dan remunerasi; 3. Meningkatkan kompetensi sumber daya manusia aparatur dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya; 4. Menyempurnakan sistem dan kualitas penyelenggaraan diklat PNS;
76
5. Menyiapkan dan menyempurnakan berbagai peraturan dan kebijakan manajemen kepegawaian; dan 6. Mengembangkan profesionalisme pegawai negeri melalui penyempurnaan aturan etika dan mekanisme penegakan hukum disiplin.
Program kelima adalah program penningkatan kualitas pelayanan publik. Program ini bertujuan untuk mengembangkan manajemen pelayanan publik yang bermutu, transparan, akuntabel, mudah, murah, cepat, patut dan adil kepada seluruh masyarakat guna menujang kepentingan masyarakat dan dunia usaha, serta mendorong partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha. 2. Mendorong pelaksanaan prinsip-prinsip good governance dalam setiap proses pemberian pelayanan publik khususnya dalam rangka mendukung penerimaan keuanga n negara seperti perpajakan, kepabeanan, dan penanaman modal; 3. Meningkatkan upaya untuk menghilangkan hambatan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik melalui deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi; 4. Meningkatkan penerapan sistem merit dalam pelayanan; 5. Memantapkan koordinasi pembinaan pelayanan publik dan pengembangan kualitas aparat pelayanan publik; 6. Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan publik; 7. Mengintensifkan penanganan pengaduan masyarakat; 8. Mengembangkan partisipasi masyarakat di wilayah kabupaten dan kota dalam perumusan program dan kebijakan layanan publik melalui mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan komunitas penduduk di masing- masing wilayah; dan 9. Mengembangkan mekanisme pelaporan berkala capaian kinerja penyelenggaraan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota kepada publik.
77
Program keenam adalah program peningkatan sarana dan prasarana aparatur negara. Program ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan administrasi pemerintahan secara lebih efisien dan efektif serta terpadu. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung pelayanan; dan 2. Meningkatkan fasilitas pelayanan umum dan operasional termasuk pengadaan, perbaik an dan perawatan gedung dan peralatan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan negara.
Program selanjutnya adalah program penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan keperintahan. Program ini bertujuan untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas pimpinan
dan
fungsi
manajemen
dalam
penyelenggaraan
kenegaraan
dan
kepemerintahan. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Menyediakan fasilitas kebutuhan kerja pimpinan; 2. Mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi kantor kenegaraan dan kepemerintahan seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja perjalanan, belanja modal, dan belanja lainnya; 3. Menyelenggarakan koordinasi dan konsultasi rencana dan program kerja kementerian dan lembaga; 4. Mengembangkan sistem, prosedur dan standarisasi administrasi pendukung pelayanan; dan 5. Meningkatkan fungsi manajemen yang efisien dan efektif.
78
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:: 1. Kontribusi terbesar dalam realisasi penerimaan APBD gabungan Jawa Barat dan Banten disumbang oleh Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor dan Kota Bandung, masing- masing rata-ratanya bertururt-turut 10,26 persen, 7,99 persen dan 7,36 persen. Jika dilihat secara parsial untuk kabupaten/kota Propinsi Banten saja dibandingkan terhadap gabungan Propinsi Jawa Barat dan Banten ditempati Kabupaten Tangerang dengan kontribusi sebesar 4,91 persen. Sedangkan peringkat berikutnya adalah Kabupaten Serang dengan kontribusi sebesar 4,10 persen terhadap gabungan kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat dan Banten. Kalau dilihat dari sisi penyumbang terkecil terhadap penerimaan total kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten, maka kota Cirebon merupakan pemberi kontribusi terkecil dengan hanya sebesar 1,52 persen. 2. Seirama dengan struktur pengeluaran, kontribusi terbesar dalam rea lisasi pengeluran APBD gabungan Jawa Barat dan Banten juga disumbang oleh kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor dan Kota Bandung, masing- masing rataratanya berturut-turut 10,71 persen, 8,19 persen dan 7,28 persen. Jika dilihat secara parsial untuk kabupaten/kota Propinsi Banten saja dibandingkan dengan gabungan Propinsi Jawa Barat dan Banten ditempati kabupaten Tangerang dengan kontribusi sebesar 4,40 persen. Sedangkan peringkat berikutnya adalah Kabupaten Serang dengan kontribusi sebesar 4,05 persen terhadap gabungan kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat dan Banten. Kalau dilihat dari sisi penyumbang terkecil terhadap pengeluaran total kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat dan Banten, maka Kota Cirebon merupakan pemberi kontribusi terkecil dengan hanya sebesar 1,51 persen 3. Hasil penghitungan Indeks Williamson untuk melihat ketimpangan wilayah kabupaten/kota di masing- masing propinsi, diperoleh Indeks Williamson untuk
kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat sebesar 0.4158 dan di Propinsi Banten sebesar 0.5846. Dari hasil ini dapat disimpulkan kesenjangan antar wilayah kabupaten/kota di Propinsi Banten lebih besar dibanding kesenjangan antar wilayah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat. 4. Tipologi wilayah yang menampilkan IPM dan IKM. Untuk IPM, kabupaten/kota yang mempunyai nilai indeks tertinggi adalah Kota Bandung dengan nilai 74,3 untuk tahun 1996 dan 70,7 untuk tahun 1999. IPM terendah terdapat di kabupaten Indramayu, yaitu berturut-turut sebesar 63,4 dan 60,9 untuk tahun 1996 dan 1999. Sedangkan untuk IKM yang menunjukkan tingkat kemiskinan, tertinggi terdapat di Kabupaten Cianjur dengan nilai 35,3 persen. Sedangkan terendah tingkat kemiskinannya adalah Kota Cirebon dengan indeks sebesar 12,6. Untuk variabel Angka melek huruf, pada tahun 1996, kabupaten/kota yang memiliki persentase tertinggi adalah Kota Sukabumi dengan persentase sebesar 99,0 persen. Sedangkan persentase terendah untuk tahun 1996 terjadi di Kabupaten Indramayu dengan persentase sebesar 67,0 persen. Pada tahun 1996 angka melek huruf untuk tingkat propinsi Jawa Barat termasuk Banten sebesar 89,7 persen. Pada tahun 1999 angka melek huruf di Propinsi Jawa Barat termasuk Banten meningkat menjadi 92,1 persen. Pada tingkat kabupaten/kota tahun 1999 ini, angka tertinggi terdapat di Kota Bandung dengan persentase sebesar 98,3 persen. Untuk angka terendah masih terdapat di Kabupaten Indramayu, dengan persentase sebesar 66,7 persen. 5. Kinerja pembangunan Jawa Barat dan Banten untuk tahun 2000 sampai 2003, secara umum perekonomiannya sudah mulai recovery, hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi wilayah, rata-ratanya berkisar antara 2 persen sampai 4 persen.
Struktur perekonomian antar kabupaten/kota di Jawa Barat cukup
bervariasi, misalnya untuk Kabupaten Bekasi, Bogor dan Purwakarta mempunyai peranan yang sangat signifikan pada sektor industri pengolahan. Pada tahun 2002, peranannya berturut-turut sebesar 82,87 persen, 49,27 persen dan 44,72 persen. Sedangkan untuk Kabupaten Indramayu dinominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian, dimana perannya sebesar 45,15 persen seluruh kegiatan perekonomian di daerah tersebut. Kabupaten Subang, Garut, dan Cirebon
80
mempunyai peran yang menonjol di sektor pertanian, perannya berturut-turut sebesar 42,80 persen, 40,96 persen dan 37,47 persen. Seperti yang terjadi di Jawa Barat, struktur perekonomian antar kabupaten/kota di Banten juga cukup bervariasi, misalnya untuk Kota Cilegon dan Kabupaten Tangerang mempunyai peranan yang sangat signifikan pada sektor industri pengolahan. Pada tahun 2002, kontribusinya masing- masing sebesar 61,84 persen dan 56,28 persen. Sedangkan untuk kabupaten Lebak dan Pandeglang dinominasi oleh sektor pertanian dengan peran berturut-turut sebesar 40,35 persen dan 36,13 persen 6. Sejalan dengan temuan pada kajian struktur pada produk domestik regional bruto, hasil hitungan Kuosien Lokasi juga menunjukkan bahwa di kabupaten/kota tertentu sangat dominan di sektor tertentu. Misalnya untuk kabupaten Indramayu di propinsi Jawa Barat sangat dominan di sektor pertambangan dan penggalian, hal ini juga ditunjukkan oleh nilai LQ yang sangat besar yaitu, 6,38. Demikian juga halnya, dimana hasil temuan dengan analisa struktur untuk Kabupaten Subang, Garut dan Cirebon sangat dominan pada sektor [pertanian, nilai LQnya juga menunjukkan nilai yang cukup signifikan, yaitu berturut-turut sebesar 1,6048, 1,2475 dan 0,8305. Pada kajian struktur untuk sektor industri pengolahan juga menunjukkan hal yang sama, dimana untuk Kabupaten Bekasi dan Bogor memiliki kontribusi yang besar, juga sejalan dengan nilai LQnya masing-masing sebesar 0,8954 dan 0,7919. 7. Ada keterkaitan antara kinerja pembangunan daerah yang diwakili oleh variabel pertumbuhan ekonomi riil kabupaten/kota dengan tipologi permasahan daerah yang diwakili oleh variabel tingkat buta huruf orang dewasa kabupaten/kota. Besar korelasi antara dua variabel tersebut cukup kuat, yaitu -0.817 dengan PValue 0.000 yang menunjukkan tingkat signifikansi sangat tinggi (P-Value,5%). Korelasi pertumbuhan ekonomi yang merupakan cerminan dari kinerja pembangunan kabupaten/kota dengan rasio alokasi dana pengeluaran untuk pendidikan dalam APBD kab/kota adalah sebesar 0,726 dengan P-Value 0.000, juga mempunyai tingkat signifikansi sangat tinggi (P-Value<5%).. 8. Analisis regresi menggambarkan adanya keterkaitan antara kinerja pembangunan dengan struktur penganggaran daerah dan tipologi permasalahan daerah. Kinerja
81
pembangunan dipengaruhi oleh rasio pengeluaran pendidikan dalam APBD kabupaten/kota dengan koefisien sebesar 0,419. Variabel tingkat buta huruf berpengaruh negative yang sangat kuat terhadap kinerja pembangunan dengan koefisien negatif 0,580. Model ini sangat layak digunakan, karena mempunyai tingkat signifikan yang sangat tinggi dengan P-Value 0.000000 jauh dibawah 5%. Model ini juga memberikan Multiple R sebesar 0.913439 dan R-Square yang cukup signifikan yaitu sebesar 0.834370. 9. Implementasi pembangunan berkelanjutan dan good governance di Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Banten merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan wilayah Indonesia secara keseluruhan. Sehingga pola dan program pembangunan nasional akan selalu diikuti dan diimplementasikan di propinsi ini. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 Bab 14 disebutkan bahwa salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
6.2. Saran Temuan penelitian memberikan referensi bahwa untuk mengoptimalkan kinerja pembangunan, ada dua hal yang perlu diperhatika n: 1. Kesesuaian alo kasi anggaran dengan tipologi permasalahan daerah. Kenyataan lapang
sering
menunjukkan
bahwa
adanya
ketidaksesuaian
dalam
pengalokasian anggaran. Misalnya di suatu daerah kabupaten/kota mempunyai tingkat buta huruf yang sangat tinggi tetapi besaran pengalokasian anggaran untuk pendidikannya sangat minim. 2.
Human investment, antara lain: a. Memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat
82
Untuk memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat memerlukan kerja ekstara keras karena pekerjaan ini lebih banyak bersifat sosial, yang membutuhkan ketulusan dan keikhlasan. b. Mensosialisasikan sadar pendidikan Sama seperti poin kesehatan, mensosialisaikan sadar pendidikan juga merupakan upaya berkelanjutan (kontinu) untuk mencapai target yang diharapkan. c. meningkatkan kemampuan sumber daya manusia Untuk mendukung dua poin penting tersebut, baik kesesuaian alokasi anggaran maupun human investment perlu penguatan: a. basis informasi, dan data b. riset lanjutan antara lain tentang kinerja aparatur pemerintah.
83
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, A., Exit Strategy dan Kemandirian Kebijakan Fiskal Indonesia. Tulisan dalam “Buku Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi”. Editor: Heru Subiyantoro, PhD dan Dr. Singgih Riphat, APU. Penerbit Buku Kompas. Jakarta 2004. ___________, Reformasi Kebijakan Fiskal Mendorong Stabilitas dan Pertumbuhan Ekonomi. Makalah Dalam Debat Ekonomi ISEI, Jakarta September 2004. Alisjahbana, A.S., Desentralisasi Kebijakan Fiskal dan Tuntutan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Makalah disampaikan pada Orasi Ilmiah Peringatan Dies ke 41 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung 24 Oktober 1998. Ananda, C.F., Otonomi Daerah Setelah 3 Tahun. Makalah Dalam Debat Ekonomi ISEI, Jakarta September 2004. Anwar, A., Kebijak sanaan Desentralisasi Fiskal Suatu Kerangka Pemikiran Bagi Salah Satu Aspek Penting Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Makalah Seminar Umum di Universitas Ibnu Khaldun Bogor tanggal 22 Februari 2001. ___________, Kumpulan Paper Mata Kuliah Ekonomi Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Hidup. Intitut Pertanian Bogor, 2000/2001. ___________, Perspektif Otonomi dan Federasi Dalam Pembangunan Indonesia Di Masa Depan, Makalah Semiloka Nasional Pembangunan Wilayah Dalam Perspektif Otonomi Daerah dan Wacana Federasi. Jakarta 2000. Anwar, A. dan Rustiadi, E., Alternatif Sistem Perencanaan Pembangunan Bagi Indonesia di Masa Depan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ekonomi Politik Baru Pasca Amandemen UUD 1945 Jakarta 2 Juli 2003. Aziz, I.J., Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Editor Marsudi Djojodipuro. Penerbit FEUI. Jakarta 1994. Badan Pusat Statistik, Buletin Statistik Bulanan Indikator Ekonomi, Maret 2003. ___________, Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output, Jakarta, 2003.
___________, Pedoman Praktis Penghitungan PDRB Kabupaten/ Kotamadya, Buku 1 dan Buku 2, Jakarta, 2000. ___________, Pendapatan Nasional Indonesia 1999-2002, Jakarta, 2003. ___________, Tabel Input-Output Indonesia 2000 Jilid I, II dan III, Jakarta, 2003. ___________, Teknik Penyusunan Tabel Input-Output, Jakarta, 2003 BPS, Bappenas dan UNDP., Laporan Pembangunan Manusia 2001 Menuju Konsensus Baru Demokrasi dan Pembangunan Manusia di Indonesia. Jakarta 2001. BPS Propinsi Banten., Indeks Pembangunan Manusia Banten 2002, Banten 2003 ___________., Banten dalam Angka 2003, Banten 2004 Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Vol: V No. 10, Oktober 2003. Bappenas, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tingkat I 1998/1999 Seluruh Propinsi Daerah Tingkat I: Tinjauan Umum, Jakarta 1998. ___________, Public Good Governance Sebuah Paparan Singkat. Jakarta. ___________, Proses Perencanaan Pembangunan Nasional: Perencanaan Menurut Proses/Hirarki Penyusunan. Jakarta. Bratakusumah, D.S., Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ekonomi Politik Baru Pasca Amandemen UUD 1945 Jakarta 2 Juli 2003. Depdagri, Jurnal Otonomi Daerah, Vol.III No.1, Agustus 2003, Jakarta 2003. ___________, Jurnal Otonomi Daerah, Vol.III No.3, Desember 2003, Jakarta 2003. Djojosubroto, D.I., Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia. Tulisan dalam “Buku Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi”. Editor: Heru Subiyantoro, PhD dan Dr. Singgih Riphat, APU. Penerbit Buku Kompas. Jakarta 2004. Elmi, Bachrul, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 2002.
85
Haryanto, A., Aspek Hukum dalam Penetapan Kebijakan Keuangan Negara. Tulisan dalam “Buku Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi”. Editor: Heru Subiyantoro, PhD dan Dr. Singgih Riphat, APU. Penerbit Buku Kompas. Jakarta 2004 Heriawan, R. et.al., Analisa Efektivitas PAD DKI Jakarta, Bappeda DKI Jakarta, Jakarta Desember 2001. Joewono, D., , Mobilitas Penduduk Dalam Wilayah Aglomerasi Perkotaan Kota DKI Jakarta. Thesis Magister Sains. Institut Pertanian Bogor. Bogor 2003. Lipsey, Richard G. et al., Pengantar Makroekonomi, Alih Bahasa oleh Agus Maulana dan Kirbrandoko, Edisi Ke Sembilan, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1992. Mangiri, Komet, Perencanaan Terpadu Pembangunan Ekonomi Daerah Otonom (Pendekatan Model Input-Output), BPS-CSS, Jakarta, 2000. Media Otonomi, Rame-rame Melawan Resentralisasi,Tahun III -No.22, Januari 2004 __________, Perimbangan Keuangan Dalam Perspektif, Edisi no.2 Tahun I, September 2004. Goeltom, M.S., Prospek Ekonomi 2004-2006 dan Tantangan Kebijakan Makro Ekonomi Pemerintahan Baru. Makalah Dalam Debat Ekonomi ISEI, Jakarta September 2004. Nadkarni, M.V., Sustainable Development: Concept and Issues with Special Reference to Agriculture in Regional Planning and Sustainable Development . Kanishika Publisher, Distributor, New Delhi 2000. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No.1. Tahun 2001 Tentang Rencana Strategis Tahun 2001-2005. Pusat Penelitian Kompas, Profil Daerah Kabupaten Kota, Jilid I, Penerbit Kompas, Jakarta, Desember 2001. ___________, Profil Daerah Kabupaten Kota, Jilid II, Penerbit Kompas, Jakarta, Januari 2003. ___________, Profil Daerah Kabupaten Kota, Jilid III, Penerbit Kompas, Jakarta, September 2003. Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2004, Jakarta 2003.
86
___________, Peraturan Presiden Republik Indonesia No.7 tahun 2005 Tentang rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Jakarta 2005. Rosidi, Ali.. Data Dasar dan Formulasi Penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU) Tahun 2003. Makalah disampaikan dalam Sosialisasi Kegiatan BPS Tahun 2003, Jakarta 18 Maret 2003. Saefulhakim, H.R.S., Materi Kuliah Sistem Informasi Wilayah, Program Pascasarjana Ilmu Perencanaan Pembangunan dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor 2001/2002. Seda, F., Kebijakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Berimbang dan Dinamis. Tulisan dalam “Buku Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi”. Editor: Heru Subiyantoro, PhD dan Dr. Singgih Riphat, APU. Penerbit Buku Kompas. Jakarta 2004. Siddik, M., A Policy Agenda For Indonesia. Tulisan dalam “Buku Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi”. Editor: Heru Subiyantoro, PhD dan Dr. Singgih Riphat, APU. Penerbit Buku Kompas. Jakarta 2004. Siddik, M. et al., Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Penerbit Buku Kompas. Jakarta November 2002. Supandri, I.T., Sekapur Sirih Perjalanan Panjang dan Kronologis Terbentuknya Propinsi Banten 1953-2000. Suzeta, H.P., Undang-Undang Keuangan Negara , Tugas DPR dan Perencanaan Pembangunan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ekonomi Politik Baru Pasca Amandemen UUD 1945 Jakarta 2 Juli 2003. Todaro, Michael P., Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Keenam, Alih Bahasa Drs. Haris Munandar, MA., Penerbit Erlangga, Jakarta, 1999 Walpole, RE., Pengantar Statistika, Edisi Ke-3 PT Gramdia Pustaka Jakarta 1982..
87
LAMPIRAN 2. PERTUMBUHAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN BOGOR ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 1993 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
0,14
2,10
1,72
-0,07
2,88
-3,54
-1,04
b. Tanaman Perkebunan
0,12
1,16
2,20
-89,75 8,80
a. Tanaman Bahan Makanan
-0,37
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
0,36
1,29
8,41
d. Kehutanan
4,86
4,12
3,11
2,20
e. Perikanan
0,11
0,99
-3,66
-2,59
4,31
2,74
-2,71
0,50
b. Pertambangan tanpa Migas
3,21
3,37
-4,47
8,12
c. Penggalian
4,75
2,49
-2,02
-2,44
0,73
2,17
4,40
2,87
0,73
2,17
4,40
2,87
17,52
19,28
7,86
2,60
18,16
19,79
7,97
2,58
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi
3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
0,51
3,24
4,03
3,14
5. BANGUNAN
2,36
2,80
3,98
3,56
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
2,25
2,98
3,91
2,65
a. Perdagangan Besar & Eceran
2,93
3,44
4,50
3,05
b. Hotel
3,06
3,88
0,59
0,40
c. Restoran
1,19
2,24
3,20
2,17
6,09
7,26
7,88
5,24
a. Pengangkutan
4,90
5,97
6,87
4,56
1. Angkutan Rel
-4,11
2,44
5,20
3,44
5,26
6,22
7,44
4,92
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi
3,59
4,87
3,89
2,58
10,81
12,10
11,45
7,57
1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN
5,76
6,27
7,02
5,93
-2,20
4,73
5,04
4,25
3,41
3,85
8,53
7,03
d. Sewa Bangunan
6,54
6,68
7,40
6,24
e. Jasa Perusahaan
1,21
3,45
4,28
3,61
2,67
4,06
5,80
5,40
2,89
5,61
8,12
8,36
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
2,48
2,69
3,72
2,62
1. Sosial Kemasyarakatan
2,00
4,35
5,83
6,38
2. Hiburan & Rekreasi
4,81
3,27
2,82
5,67
3. Perorangan & Rumahtangga
2,55
2,23
3,15
1,47
PDRB DENGAN MIGAS
2,20
3,61
4,46
2,89
PDRB TANPA MIGAS
2,20
3,61
4,46
2,89
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 4. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN SUKABUMI ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 1993 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
3,95
8,51
7,90
4,43
1,36
8,68
0,33
2,93
11,17
3,12
3,40
3,97
2,36
14,70
45,22
8,85
d. Kehutanan
10,45
1,59
0,37
2,35
e. Perikanan
14,30
9,16
2,39
4,86
5,78
3,67
1,22
3,12
9,82
2,71
3,69
1,26
-15,06
-17,47
-77,93
0,89
4,94
4,08
1,04
3,63
97,93
7,33
8,29
5,12
97,93
7,33
8,29
5,12
17,51
14,17
5,12
5,04
19,28
15,40
5,29
5,19
a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
3,86
3,29
3,46
3,54
5. BANGUNAN
7,63
10,62
11,01
5,02
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
2,17
3,02
2,55
2,26
a. Perdagangan Besar & Eceran
2,29
2,11
2,15
2,11
b. Hotel
2,32
2,78
2,37
0,45
c. Restoran
1,96
4,66
3,25
2,55
4,38
6,81
4,54
4,30
a. Pengangkutan
3,85
6,27
4,29
3,74
1. Angkutan Rel
1,36
2,30
2,63
1,35
2. Angkutan Jalan Raya
3,93
6,58
4,42
3,89
2,95
2,94
2,81
1,98
14,27
15,86
8,29
12,73
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN3,44
5,81
2,96
2,79
a. Bank
2,93
47,79
7,72
5,31
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
3,03
2,79
2,81
1,70
d. Sewa Bangunan
3,63
5,47
2,97
3,06
e. Jasa Perusahaan
2,29
6,07
2,61
1,02
2,44
5,08
3,22
4,14
2,57
5,31
3,27
4,07
c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
2,19
4,64
3,13
4,26
1. Sosial Kemasyarakatan
1,94
1,94
5,04
3,53
2. Hiburan & Rekreasi
8,48
7,96
2,29
1,59
3. Perorangan & Rumahtangga
2,10
4,96
2,88
4,42
PDRB DENGAN MIGAS
12,48
6,48
5,67
4,02
PDRB TANPA MIGAS
12,50
6,52
5,69
4,05
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
91
LAMPIRAN 6. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN CIANJUR ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 1993 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
3,20
3,97
4,08
3,62
a. Tanaman Bahan Makanan
3,26
4,15
4,26
3,69
b. Tanaman Perkebunan
3,77
4,40
4,59
4,43
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
1,81
2,22
2,24
2,39
d. Kehutanan
2,09
2,51
2,42
2,43
e. Perikanan
2,94
2,20
2,26
2,35
4,94
4,27
4,40
4,56
4,94
4,27
4,40
4,56
0,87
3,26
3,30
3,40
0,87
3,26
3,30
3,40
2,81
3,32
3,66
4,04
2,42
2,94
3,25
3,61
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
7,63
7,85
8,33
8,68
5. BANGUNAN
2,20
2,16
2,13
2,16
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
3,44
3,62
3,68
3,43
a. Perdagangan Besar & Eceran
3,64
3,84
3,89
3,51
b. Hotel
4,77
5,38
5,97
6,03
c. Restoran
2,90
2,98
3,05
3,02
4,85
3,56
3,78
4,11
a. Pengangkutan
4,73
3,18
3,32
3,62
1. Angkutan Rel
5,63
2,26
2,37
2,15
2. Angkutan Jalan Raya
4,76
2,94
3,06
3,38
4,38
5,62
5,83
6,02
5,83
6,65
7,46
7,83
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN3,04
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 3,08
3,14
2,92
a. Bank
2,35
1,86
1,75
1,91
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
6,47
6,80
6,88
6,98
d. Sewa Bangunan
3,13
3,21
3,28
2,96
e. Jasa Perusahaan
1,92
1,89
1,86
1,97
2,98
3,00
3,08
3,09
2,08
2,12
2,15
2,18
c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
4,33
4,30
4,43
4,39
1. Sosial Kemasyarakatan
2,65
1,18
1,21
1,31
2. Hiburan & Rekreasi
3,62
5,82
7,24
7,21
3. Perorangan & Rumahtangga
4,71
4,93
5,03
4,94
PDRB DENGAN MIGAS
3,23
3,60
3,70
3,46
PDRB TANPA MIGAS
3,23
3,60
3,70
3,46
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 8. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN BANDUNG ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
0,51
0,44
4,10
2,57
-0,70
0,11
3,72
2,07
b. Tanaman Perkebunan
2,58
1,52
4,91
3,67
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
2,02
0,26
4,88
2,82
d. Kehutanan
10,72
0,20
6,76
6,72
e. Perikanan
5,47
2,13
3,17
4,21
1,44
5,46
6,21
4,18
-0,38
6,53
4,92
2,83
a. Tanaman Bahan Makanan
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN
4,79
3,59
8,55
6,53
-13,12
5,40
4,74
4,62
-13,12
5,40
4,74
4,62
-12,25
15,27
5,47
3,26
-12,22
15,33
5,31
3,27
a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
-14,14
9,95
21,21
2,14
5. BANGUNAN
-24,21
13,38
6,16
6,72
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
-13,69
5,27
4,95
6,22
a. Perdagangan Besar & Eceran
-15,21
5,15
5,04
6,21
b. Hotel
-4,63
13,84
4,58
5,76
c. Restoran
-9,39
5,37
4,72
6,27
-2,54
5,07
5,83
5,52
a. Pengangkutan
-4,86
5,09
5,75
5,36
1. Angkutan Rel
-8,81
6,86
4,09
4,62
2. Angkutan Jalan Raya
-3,28
5,02
5,89
5,31
-16,86
5,57
4,65
5,92
8,85
4,95
6,18
6,18
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN -8,97
1,77
5,05
6,59
-64,17
38,27
35,45
24,46
-8,20
1,44
7,78
5,53
d. Sewa Bangunan
-9,95
1,70
5,48
7,81
e. Jasa Perusahaan
-3,84
1,71
2,62
1,77
-4,27
1,02
5,93
9,41
-0,17
1,52
6,98
14,21
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
-8,17
0,49
4,82
4,28
-4,74
1,03
4,26
4,72
0,82
8,27
5,07
3,84
3. Perorangan & Rumahtangga
-9,27
0,20
4,99
4,16
PDRB DENGAN MIGAS
-10,70
5,04
4,95
5,07
PDRB TANPA MIGAS
-10,76
5,03
4,95
5,09
1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan & Rekreasi
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 10. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN GARUT ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
3,83
3,71
3,89
3,93
a. Tanaman Bahan Makanan
4,01
3,88
4,00
4,04
b. Tanaman Perkebunan
2,05
2,02
2,69
2,71
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
5,48
5,26
5,46
5,49
d. Kehutanan
2,06
2,20
3,78
3,83
e. Perikanan
2,37
2,14
2,26
2,29
0,37
0,78
0,44
0,49
0,37
0,78
0,44
0,49
1,68
3,96
5,08
5,11
1,68
3,96
5,08
5,11
5,43
3,66
4,59
4,56
5,71
3,48
4,51
4,47
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
3,23
5,10
5,21
5,27
5. BANGUNAN
1,12
0,31
0,38
0,00
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
4,57
3,45
3,97
0,00
a. Perdagangan Besar & Eceran
5,72
4,17
4,74
0,00
b. Hotel
2,41
2,48
2,55
0,00
c. Restoran
1,08
1,14
1,44
0,00
6,69
3,89
4,76
5,31
a. Pengangkutan
6,21
2,99
3,90
4,47
1. Angkutan Rel
1,50
1,98
3,44
4,27
2. Angkutan Jalan Raya
6,61
3,29
3,36
4,45
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi
4,61
0,93
8,52
4,71
10,55
10,77
10,88
10,91
1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN5,94
4,52
4,67
4,76
16,38
18,87
19,12
19,37
9,44
11,57
11,69
7,54
d. Sewa Bangunan
6,24
4,20
4,24
4,28
e. Jasa Perusahaan
2,18
2,40
2,55
2,59
3,50
2,82
2,95
2,96
3,97
3,57
3,62
3,62
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
2,77
1,65
1,88
1,90
1. Sosial Kemasyarakatan
2,32
2,11
2,74
2,79
2. Hiburan & Rekreasi
3,09
1,03
1,26
1,32
3. Perorangan & Rumahtangga
2,84
1,58
1,74
1,76
PDRB DENGAN MIGAS
3,89
3,42
3,79
2,74
PDRB TANPA MIGAS
3,89
3,42
3,79
2,74
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 12. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN TASIKMALAYA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN
2000
2001
2002
2003
-11,19
1,97
0,30
3,25
-3,98
0,14
-0,53
2,93
3,47
3,53
21,39
1,79
-34,95
6,12
0,23
3,71
4,17
6,52
-15,51
2,70
-18,93
9,41
-8,41
8,35
6,10
6,63
0,39
10,59
51,68
44,84
-47,96
-0,46
6,01
6,52
0,57
10,61
-53,20
1,12
7,22
3,18
-53,20
1,12
7,22
3,18
-41,45
-1,71
10,86
4,77
-39,00
-1,37
10,85
4,86
a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
-70,58
-10,28
11,10
2,44
5. BANGUNAN
-65,30
2,15
2,47
2,63
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
-40,76
3,28
5,96
4,52
a. Perdagangan Besar & Eceran
-35,21
3,91
6,92
5,33
b. Hotel
-96,78
-4,70
13,05
0,61
c. Restoran
-51,99
1,38
2,99
1,93
-58,15
6,94
3,37
2,59
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI a. Pengangkutan
-58,99
7,49
2,79
2,19
1. Angkutan Rel
-86,85
20,12
4,07
2,37
2. Angkutan Jalan Raya
-58,40
8,56
2,14
2,31
-54,52
-0,33
7,05
1,41
-53,59
4,28
6,26
4,50
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN -66,92
1,69
7,64
1,41
a. Bank
-96,09
21,66
143,07
2,89
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
-58,93
2,30
40,04
4,07
d. Sewa Bangunan
-59,32
1,34
2,78
0,66
e. Jasa Perusahaan
-71,09
0,73
1,42
4,03
-35,00
4,83
2,80
2,03
-29,31
6,80
1,40
2,24
c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
-44,05
0,88
5,79
1,60
1. Sosial Kemasyarakatan
-62,05
3,04
7,85
3,57
2. Hiburan & Rekreasi
-62,88
-28,08
6,11
0,41
3. Perorangan & Rumahtangga
-41,04
1,02
5,59
1,41
PDRB DENGAN MIGAS
-37,87
2,95
3,12
3,23
PDRB TANPA MIGAS
-37,87
2,95
3,12
3,23
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 14. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN CIAMIS ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
-4,46
-0,24
-5,65
1,58
a. Tanaman Bahan Makanan
-3,35
0,64
-0,06
1,28
b. Tanaman Perkebunan
-3,57
-2,62
-20,55
0,48
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
-9,70
4,68
-16,96
3,33
3,76
-38,93
49,97
-19,77
d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN
-0,22
-2,92
-21,41
24,65
-3,49
23,18
2,41
14,26
a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian
-3,49
23,18
2,41
14,26
-13,72
1,09
5,26
2,08
-13,72
1,09
5,26
2,08
-10,82
2,38
3,68
2,74
-8,09
2,81
3,45
2,61
-33,90
-2,61
6,49
4,33
0,76
0,36
4,93
3,42
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
-6,80
1,62
9,56
6,53
a. Perdagangan Besar & Eceran
-8,39
2,46
12,06
8,21
b. Hotel
-6,46
11,60
35,72
5,93
c. Restoran
-2,52
-1,17
1,04
1,67
-6,70
7,26
16,21
4,61
a. Pengangkutan
-5,68
7,19
17,10
4,51
1. Angkutan Rel
-81,10
109,27
18,38
44,74
-5,28
6,99
18,34
4,27
3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih 5. BANGUNAN
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan
-8,08
8,89
4,48
6,79
-19,00
8,24
3,92
6,26
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN3,34
b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
13,48
8,76
0,39
159,09
28,56
38,71
-5,85
7,37
3,49
-6,54
10,12
c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan
-6,74
0,91
4,31
1,60
e. Jasa Perusahaan
-6,10
76,31
-1,91
3,14
-10,13
11,62
4,52
4,30
-10,71
16,48
1,40
2,96
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan & Rekreasi
-9,25
4,41
9,71
6,36
-8,45
19,17
35,48
23,48 21,82
1,78
33,01
32,78
3. Perorangan & Rumahtangga
-9,50
2,08
5,38
2,67
PDRB DENGAN MIGAS
-6,02
3,44
3,50
3,57
PDRB TANPA MIGAS
-6,02
3,44
3,50
3,57
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 16. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN KUNINGAN ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan
2000
2001
2002
2003
248,95
1,33
1,63
1.019,94
1,27
1,58
2,86 3,01
13,73
1,60
1,96
2,42
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
12,20
1,39
1,62
2,31
d. Kehutanan
11,40
5,94
7,06
7,32
e. Perikanan
12,93
1,16
1,22
1,88
2,27
17,96
11,48
10,55
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN
2,27
17,96
11,48
10,55
0,00
11,92
10,39
8,27
0,00
11,92
10,39
8,27
a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik
48,27
6,75
8,04
6,68
49,82
3,80
4,43
3,97
b. Gas c. Air Bersih
38,60
26,69
28,07
18,90
5. BANGUNAN
1,91
1,46
1,62
0,15
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
3,04
1,90
0,82
3,14
-25,36
3,75
2,77
6,21
b. Hotel
-0,06
4,69
3,44
3,28
c. Restoran
48,07
0,38
-0,84
0,51
2,41
6,93
7,83
7,29
2,35
6,84
7,79
7,21
2,26
6,56
7,57
6,92
3,00
8,74
9,28
9,19
4,03
9,42
8,96
9,39
a. Perdagangan Besar & Eceran
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI a. Pengangkutan 1. Angkutan Rel 2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 24,85 a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
11,42
13,93
15,55
-130,34
79,60
80,83
62,87
1,46
8,62
9,07
4,44
c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan
2,65
9,27
10,38
12,33
e. Jasa Perusahaan
17,42
7,48
8,14
10,78
2,22
8,80
9,57
5,84
2,17
8,09
8,92
3,76
10,63
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
2,35
10,49
11,10
1. Sosial Kemasyarakatan
3,02
9,17
9,78
9,08
2. Hiburan & Rekreasi
1,99
8,48
9,51
10,60
3. Perorangan & Rumahtangga
2,11
11,11
11,69
11,21
PDRB DENGAN MIGAS
41,38
3,78
3,99
4,27
PDRB TANPA MIGAS
41,38
3,78
3,99
4,27
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 18. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN CIREBON ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 12000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
39,69
7,81
1,64
-2,06
10,19
9,13
-1,12
-4,26
1.120,25
4,90
4,27
-0,57
37,62
5,12
6,84
1,26
d. Kehutanan
5,09
4,78
6,09
4,88
e. Perikanan
6,97
9,00
7,44
3,08
4,76
4,56
4,45
5,58
4,76
4,56
4,45
5,58
4,18
3,94
6,82
4,92
4,18
3,94
6,82
4,92
6,28
8,97
8,20
6,26
6,10
8,58
7,97
6,32
a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
11,97
21,01
14,38
4,66
5. BANGUNAN
3,77
1,62
4,89
6,56
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
2,55
2,82
4,76
7,16
a. Perdagangan Besar & Eceran
2,14
3,08
4,73
7,78
b. Hotel
4,99
10,46
5,56
3,04
c. Restoran
3,12
2,40
4,79
6,29
2,90
4,33
5,33
6,18
a. Pengangkutan
2,56
3,69
5,19
5,63
1. Angkutan Rel
3,61
4,36
6,76
4,79
2. Angkutan Jalan Raya
2,70
3,74
5,51
5,49
0,48
2,95
0,35
7,87
10,40
17,25
7,80
15,87
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN4,55
4,08
4,78
5,72
a. Bank
8,11
23,89
33,10
3,18
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
5,89
0,78
4,01
7,26
d. Sewa Bangunan
4,96
4,95
4,71
5,33
e. Jasa Perusahaan
2,21
1,89
4,53
6,60
2,88
3,77
4,38
2,01
1,28
1,37
2,14
0,70
c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
5,16
7,05
7,27
3,62
1. Sosial Kemasyarakatan
1,93
0,72
2,78
7,78
2. Hiburan & Rekreasi
3,20
0,01
2,12
8,35
3. Perorangan & Rumahtangga
5,96
8,71
8,37
2,66
PDRB DENGAN MIGAS
12,17
4,88
4,12
3,14
PDRB TANPA MIGAS
12,17
4,88
4,12
3,14
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 20. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN MAJALENGKA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
3,88
3,45
-2,89
-1,38
3,86
2,91
-4,43
-2,69
b. Tanaman Perkebunan
-5,19
3,44
3,64
6,59
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
10,23
11,18
11,66
9,86
d. Kehutanan
8,01
6,91
9,33
6,14
e. Perikanan
6,47
5,12
5,56
-1,55
a. Tanaman Bahan Makanan
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi
6,04
8,90
12,14
7,73
19,45
19,36
16,34
6,19
4,25
7,30
11,43
8,00
5,29
7,63
5,63
5,10
5,29
7,63
5,63
5,10
4,28
9,68
10,00
6,03
4,60
10,48
9,27
5,82
b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
0,71
0,35
19,35
8,47
5. BANGUNAN
5,56
3,29
8,33
4,15
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
3,64
5,30
6,73
5,37
a. Perdagangan Besar & Eceran
5,63
5,87
7,65
5,55
b. Hotel
1,76
4,60
4,04
4,46
c. Restoran
0,81
4,46
5,39
5,10
7,19
5,52
6,44
6,88
5,96
6,62
7,27
5,38
6,11
7,03
7,70
5,60
4,51
2,79
3,12
3,14
9,60
3,45
4,84
9,86
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI a. Pengangkutan 1. Angkutan Rel 2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN5,89
3,14
4,03
4,24
15,71
9,20
4,16
6,60
2,52
9,88
5,10
4,25
d. Sewa Bangunan
6,07
2,58
4,19
4,20
e. Jasa Perusahaan
1,68
2,45
2,45
3,40
3,44
5,69
2,98
3,83
3,79
6,94
3,13
3,85
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
2,51
2,32
2,55
3,79
1. Sosial Kemasyarakatan
2,15
3,23
2,40
3,84
2. Hiburan & Rekreasi
3,95
4,55
6,00
4,69
3. Perorangan & Rumahtangga
2,54
2,10
2,50
3,75
PDRB DENGAN MIGAS
4,38
4,96
2,95
3,07
PDRB TANPA MIGAS
4,34
4,92
2,91
3,06
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 22. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN SUMEDANG ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
3,52
-0,22
3,86
0,79
1,67
-3,19
4,59
-1,49
10,23
11,88
3,68
11,07
7,66
10,86
5,26
5,58
d. Kehutanan
11,88
3,54
6,11
7,17
e. Perikanan
20,84
0,04
-23,97
11,85
0,60
14,50
8,66
9,01
0,60
14,50
8,66
9,01
4,13
3,79
3,67
4,46
4,13
3,79
3,67
4,46
a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik
14,96
8,89
6,18
7,35
16,69
9,53
6,86
8,08
b. Gas c. Air Bersih
2,14
3,50
0,14
0,33
5. BANGUNAN
3,23
3,95
5,27
5,19
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
3,38
4,19
3,39
4,19
a. Perdagangan Besar & Eceran
2,96
3,89
2,96
3,91
b. Hotel
5,28
9,38
6,10
5,78
c. Restoran
4,73
5,12
4,74
5,02
6,56
5,43
6,56
6,07
5,81
4,93
5,61
5,29
5,91
4,99
5,72
5,32
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI a. Pengangkutan 1. Angkutan Rel 2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi
4,21
3,95
3,73
4,68
10,72
8,09
11,46
9,87
1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN8,82
6,63
4,67
7,67
12,58
11,74
12,89
18,27
3,94
4,31
3,78
5,95
d. Sewa Bangunan
8,88
6,41
4,13
6,95
e. Jasa Perusahaan
3,44
4,36
2,50
3,20
3,18
6,15
2,89
4,71
3,58
8,05
3,29
5,39
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
2,44
2,60
2,08
3,35
1. Sosial Kemasyarakatan
2,64
3,10
2,15
3,48
2. Hiburan & Rekreasi
4,68
-0,13
1,85
2,77
3. Perorangan & Rumahtangga
1,46
2,26
2,01
3,22
PDRB DENGAN MIGAS
4,08
3,32
3,84
3,69
PDRB TANPA MIGAS
4,08
3,32
3,84
3,69
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 24. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN INDRAMAYU ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
2,30
3,42
0,20
-0,35
a. Tanaman Bahan Makanan
2,41
3,29
-4,59
-0,56
b. Tanaman Perkebunan
1,51
0,33
-7,75
-0,09
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
6,83
3,42
-5,65
0,21
d. Kehutanan
-1,03
10,78
-5,25
0,02
e. Perikanan
0,45
3,25
22,96
0,09
-4,20
1,63
3,64
-0,06
-4,19
1,57
3,60
-0,06
-5,49
19,58
12,11
0,08
3,89
-7,18
6,73
1,10
4,22
-7,61
7,22
1,04
0,51
-2,54
1,79
1,71
5,21
1,65
3,45
3,85
6,48
1,28
3,12
4,02 2,58
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
-4,25
4,74
6,04
5. BANGUNAN
2,19
8,64
35,24
0,28
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
5,25
6,34
7,21
13,70
a. Perdagangan Besar & Eceran
5,99
6,15
8,26
13,15
-0,26
4,88
0,61
24,83
1,06
7,46
1,08
17,14
8,80
4,12
7,01
12,22
a. Pengangkutan
7,19
3,62
6,78
14,29
1. Angkutan Rel
2,82
0,99
0,43
0,70
2. Angkutan Jalan Raya
7,42
3,72
7,27
15,08
b. Hotel c. Restoran 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan
4,46
2,42
0,42
3,58
18,34
6,79
8,25
1,56
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 19,95
b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
4,10
2,24
11,30
147,74
7,05
6,57
12,59
8,30
7,49
6,14
2,39
c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan
9,22
2,78
-0,17
13,40
e. Jasa Perusahaan
6,89
5,48
8,95
2,24
1,98
2,98
2,16
6,57
0,43
2,99
3,33
1,64
12,25
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
3,77
2,96
0,84
1. Sosial Kemasyarakatan
3,46
4,80
0,76
1,51
2. Hiburan & Rekreasi
6,29
5,39
4,49
11,64
3. Perorangan & Rumahtangga
3,77
2,78
0,81
13,16
PDRB DENGAN MIGAS
0,40
0,68
4,34
2,46
PDRB TANPA MIGAS
3,98
4,02
3,81
5,90
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 26. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN SUBANG ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan
2000
2001
2002
2003
2,67
0,75
2,21
1,65
2,17
-0,25
1,15
-1,16
3,72
6,88
11,50
24,20
18,40
4,60
11,42
20,74
d. Kehutanan
0,71
10,74
-18,54
1,06
e. Perikanan
1,97
8,09
1,76
1,19
-89,13
-7,40
1,64
20,21
-90,53
-8,74
8,83
22,06
1,32
0,74
-38,00
2,24
2,79
2,01
1,42
1,56
2,79
2,01
1,42
1,56
32,42
8,67
6,10
12,00
19,63
8,77
5,54
11,69
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas
1.989,85
7,80
11,01
14,64
5. BANGUNAN
c. Air Bersih
2,25
1,00
8,70
2,10
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
4,96
4,95
8,20
6,50
a. Perdagangan Besar & Eceran
6,07
4,50
9,90
7,11
20,62
18,15
15,00
12,26
b. Hotel c. Restoran
0,36
6,18
1,39
3,69
10,14
14,31
7,50
7,83
a. Pengangkutan
9,43
13,71
6,54
5,89
1. Angkutan Rel
0,22
0,43
8,58
2,16
2. Angkutan Jalan Raya
9,76
14,12
6,66
6,00
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi
3,86
6,24
2,34
3,70
12,73
16,50
10,89
14,37
1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN8,61
8,04
3,89
6,46
27,20
29,42
5,66
5,27
6,81
3,01
8,72
8,81
d. Sewa Bangunan
6,98
5,10
3,34
6,09
e. Jasa Perusahaan
1,27
5,65
1,24
9,72
5,10
13,53
2,96
7,69
4,84
16,23
1,76
8,11
5,88
5,38
6,94
6,36
3,54
4,93
9,77
6,57
19,97
18,41
20,14
13,67
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan & Rekreasi 3. Perorangan & Rumahtangga
6,22
5,25
5,99
6,14
PDRB DENGAN MIGAS
-1,00
4,40
4,54
4,55
PDRB TANPA MIGAS
4,21
4,47
4,52
4,46
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 28. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN PURWAKARTA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
1,22
-2,75
3,76
-2,68
-1,06
-5,94
4,66
-5,61
b. Tanaman Perkebunan
9,89
-0,85
0,68
0,67
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
7,59
14,99
3,91
3,65
d. Kehutanan
-2,68
1,33
-19,87
5,81
e. Perikanan
9,45
-3,92
5,63
16,27
2,11
3,57
3,56
-1,68
2,11
3,57
3,56
-1,68
2,93
3,29
2,01
1,92
2,93
3,29
2,01
1,92
4,15
1,68
5,91
6,93
4,44
1,68
6,18
6,89
a. Tanaman Bahan Makanan
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
-3,52
1,71
-2,06
8,17
5. BANGUNAN
4,26
-5,23
1,97
3,82
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
3,71
5,61
4,23
4,25
a. Perdagangan Besar & Eceran
3,64
5,60
4,34
4,26
-1,30
-0,10
-1,61
3,09
4,81
6,00
3,43
4,14
-15,71
11,06
4,84
6,34
a. Pengangkutan
-20,65
1,63
4,86
6,19
1. Angkutan Rel
-90,11
-3,49
-21,37
6,71
2. Angkutan Jalan Raya
-13,86
-0,72
5,35
6,18
5,71
4,34
5,51
6,19
6,02
42,03
4,79
6,69
b. Hotel c. Restoran 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN4,27
4,14
4,33
4,56
21,85
11,87
7,20
7,17
9,13
13,10
6,19
6,97
d. Sewa Bangunan
3,72
4,87
3,98
3,65
e. Jasa Perusahaan
3,34
0,91
4,64
6,23
3,79
5,06
4,49
7,94
1,76
7,64
4,44
9,18
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
7,26
0,89
4,57
5,80
1. Sosial Kemasyarakatan
0,97
-4,06
5,12
5,83
2. Hiburan & Rekreasi
5,19
9,72
1,66
4,12
10,82
3,17
4,39
5,83
3. Perorangan & Rumahtangga PDRB DENGAN MIGAS
2,59
3,33
3,28
3,02
PDRB TANPA MIGAS
2,59
3,33
3,28
3,02
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 30. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN KARAWANG ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 1993 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
2000
2001
2002
2003
10,46
14,45
-11,24
11,40
17,11
-14,62
5,56 7,10
0,73
31,40
21,91
-7,04
4,96
4,49
15,97
-1,96
d. Kehutanan
-2,59
6,11
8,77
-3,58
e. Perikanan
6,33
-5,57
5,03
-2,14
-4,18
1.018,14
-17,43
-16,74
-20,02
-17,77
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN
-4,18
-3,26
9,94
-8,78
15,73
6,74
16,58
-7,44
15,73
6,74
16,58
-7,44
13,84
8,27
5,63
10,61
14,38
8,01
5,19
11,23
a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
-8,10
21,23
25,15
-12,75
5. BANGUNAN
5,89
6,13
9,72
-4,12
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
6,83
1,94
20,94
-6,60
a. Perdagangan Besar & Eceran
7,27
1,87
21,27
-6,26
-11,09
1,30
7,07
-3,85
0,76
3,21
16,18
-12,71
b. Hotel c. Restoran 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
4,03
7,38
10,91
-4,14
a. Pengangkutan
3,90
7,34
10,68
-3,98
1. Angkutan Rel
3,07
2,35
18,60
-9,64
2. Angkutan Jalan Raya
3,90
7,46
10,52
-3,85
4,82
7,71
9,19
-3,27
9,99
9,10
20,96
-10,72
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 57,25
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
11,44
8,94
-3,32
-264,50
28,59
5,96
-3,01
4,89
11,18
6,08
0,96
c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan
7,13
6,35
10,45
-4,21
e. Jasa Perusahaan
5,26
10,77
14,15
-6,04
1,38
1,34
8,39
-3,99
1,25
1,04
8,89
-4,12
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
1,93
2,58
6,36
-3,44
1. Sosial Kemasyarakatan
3,91
3,95
9,05
-4,40
2. Hiburan & Rekreasi
2,23
5,81
7,78
-4,25
3. Perorangan & Rumahtangga
0,76
1,70
4,67
-2,82
PDRB DENGAN MIGAS
10,51
10,20
9,84
-4,47
PDRB TANPA MIGAS
10,51
6,49
10,88
-4,14
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 32. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN BEKASI ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
3,59
-2,76
0,25
a. Tanaman Bahan Makanan
4,79
-4,28
-0,36
-1,00 1,52
b. Tanaman Perkebunan
3,43
-3,58
-1,58
-0,94
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
0,29
1,42
1,89
1,97
d. Kehutanan
3,38
-4,02
-3,29
-3,47
1,09
1,24
1,90
-37,24
-6,41
48,42
0,73
1,38
6,23
6,59
e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN
-6,41
-4,66
-2,34
-1,78
5,97
4,53
5,18
4,70
5,97
4,53
5,18
4,70
a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik
12,14
3,19
4,13
5,13
12,14
3,17
4,12
5,14
b. Gas c. Air Bersih
11,66
6,43
5,15
3,81
5. BANGUNAN
2,24
2,32
2,34
3,83
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
3,18
3,24
3,74
4,63
a. Perdagangan Besar & Eceran
3,48
3,51
4,12
4,98
b. Hotel
2,11
2,20
1,19
0,98
c. Restoran
1,91
2,10
2,10
3,13
9,07
6,63
6,67
7,81
a. Pengangkutan
6,80
6,98
6,98
7,02
1. Angkutan Rel
-4,59
5,60
6,12
6,55
6,88
7,19
7,15
7,09
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi
6,62
5,40
5,66
6,47
19,85
5,13
5,34
11,26
1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN4,01
-4,87
5,31
7,15
-11,82
-92,27
0,13
3,13
4,96
5,72
4,23
5,41
d. Sewa Bangunan
7,41
6,85
5,78
6,21
e. Jasa Perusahaan
-3,13
1,11
1,13
26,20
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum
3,33
7,49
7,63
7,94
3,76
9,09
9,13
9,31
1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
2,90
5,84
6,04
6,45
1. Sosial Kemasyarakatan
2,52
4,16
4,28
4,59
2. Hiburan & Rekreasi
8,94
7,24
5,14
6,23
3. Perorangan & Rumahtangga
2,87
6,59
6,89
7,30
PDRB DENGAN MIGAS
5,58
4,16
4,95
4,74
PDRB TANPA MIGAS
5,58
4,13
4,95
4,74
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 34. PERTUMBUHAN PDRB KOTA BOGOR ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
7,13
4,69
1,67
5,58
a. Tanaman Bahan Makanan
7,80
6,36
1,55
6,63
b. Tanaman Perkebunan
1,54
8,02
3,44
8,43
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
7,15
4,04
3,06
2,80
5,66
1,54
0,51
6,00
5,55
6,32
6,14
6,08
5,55
6,32
6,14
6,08
d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
4,73
6,65
6,98
7,23
a. Listrik
2,77
4,89
5,36
5,57
b. Gas
6,15
8,12
8,29
8,80
c. Air Bersih
7,61
8,57
8,69
8,30
5. BANGUNAN
1,92
3,64
3,11
4,20
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
3,44
4,74
4,59
5,05
a. Perdagangan Besar & Eceran
3,19
4,77
5,13
5,66
b. Hotel
4,46
5,88
3,20
3,43
c. Restoran
4,32
4,44
2,60
2,70
5,86
6,20
6,76
6,77
a. Pengangkutan
2,98
4,29
4,98
5,54
1. Angkutan Rel
-7,23
0,98
2,58
3,57
3,69
4,43
4,98
5,78
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi
1,49
4,25
5,57
4,48
13,36
10,75
10,74
9,38
9,79
1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN8,52
9,24
9,92
11,09
11,61
12,14
8,32
9,57
10,39
10,69
14,35
d. Sewa Bangunan
11,21
11,89
11,72
10,75
e. Jasa Perusahaan
2,59
3,03
4,67
7,27
1,95
2,53
4,04
4,56
3,09
3,02
3,89
4,90
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
1,36
2,27
4,12
4,38
1. Sosial Kemasyarakatan
1,21
2,15
4,57
3,94
2. Hiburan & Rekreasi
1,49
2,24
2,41
6,50
3. Perorangan & Rumahtangga
1,47
2,36
3,86
4,60
PDRB DENGAN MIGAS
4,60
5,61
5,78
6,07
PDRB TANPA MIGAS
4,60
5,61
5,78
6,07
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 36. PERTUMBUHAN PDRB KOTA SUKABUMI ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
8,87
-4,57
12,96
14,21
2,55
-6,25
-18,32
37,77
b. Tanaman Perkebunan
12,14
-53,62
107,75
6,51
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
14,90
-1,38
39,35
2,44
17,39
-8,96
2,00
10,40
-51,44
3,11
-9,01
0,08
-51,44
3,11
-9,01
0,08
23,36
11,02
8,08
5,81
23,36
11,02
8,08
5,81
a. Tanaman Bahan Makanan
d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
11,49
1,34
1,61
5,33
13,53
1,23
-1,13
10,78
c. Air Bersih
6,85
1,60
8,20
-6,67
5. BANGUNAN
11,93
2,29
7,37
11,52
a. Listrik b. Gas
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
11,92
4,87
5,26
4,85
a. Perdagangan Besar & Eceran
12,77
4,70
5,35
4,05
b. Hotel
-1,86
2,44
7,82
3,13
0,36
8,16
3,46
18,99 3,65
c. Restoran 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
-5,24
7,32
4,85
a. Pengangkutan
-8,47
7,70
5,01
3,04
1. Angkutan Rel
41,32
-23,98
-25,91
-28,11
2. Angkutan Jalan Raya
-7,87
8,76
5,47
2,46
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi
-11,96
1,72
2,32
6,81
13,50
5,58
4,05
6,58
1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN -20,60
15,13
3,94
8,20
a. Bank
-83,25
221,52
6,10
15,52
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
-27,51
3,00
4,29
17,85
c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan
19,65
0,60
3,83
4,33
e. Jasa Perusahaan
4,26
-0,25
2,61
7,14
-1,43
1,66
3,24
2,69
-3,52
1,43
3,81
2,06
2,39
2,05
2,25
3,78
3,23
3,20
2,64
4,07
-2,48
-6,00
1,74
5,49
3. Perorangan & Rumahtangga
2,27
1,99
1,97
3,34
PDRB DENGAN MIGAS
4,82
5,02
5,21
5,33
PDRB TANPA MIGAS
4,82
5,02
5,21
5,33
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan & Rekreasi
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 38. PERTUMBUHAN PDRB KOTA BANDUNG ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan
2000
2001
2002
2003
15,54
1,16
-1,79
0,12
-1,99
-10,46
-2,82
-1,03
45,41
11,02
0,41
1,94
7,02
8,92
-6,91
-3,55
8,34
11,22
9,44
6,69
8,34
11,22
9,44
6,69
b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
6,87
11,36
11,03
11,14
7,01
11,05
10,77
11,10
c. Air Bersih
5,79
13,88
13,04
11,48
5. BANGUNAN
-0,07
2,63
5,20
6,47
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
3,40
5,63
5,13
6,90
a. Perdagangan Besar & Eceran
3,22
5,70
5,13
7,14
b. Hotel
8,72
5,73
4,85
5,01
c. Restoran
3,39
5,00
5,25
5,39
30,97
10,47
10,19
11,67
a. Listrik b. Gas
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI a. Pengangkutan
43,70
3,91
10,14
11,50
1. Angkutan Rel
28,85
10,38
12,87
13,12
7,65
9,79
6,94
7,98
6.276,36
-13,45
21,88
22,97
6,89
8,22
5,10
6,17
15,85
20,15
10,25
11,89
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN3,63
2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi
5,57
4,72
5,18
a. Bank
0,64
7,93
5,28
5,92
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
4,17
3,72
3,88
4,26
d. Sewa Bangunan
6,47
4,31
4,58
5,04
e. Jasa Perusahaan
4,45
4,70
4,55
4,65
2,63
2,86
3,12
3,70
3,35
3,41
2,80
3,36
c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
0,89
1,51
3,93
4,55
1. Sosial Kemasyarakatan
2,02
1,55
1,61
2,85
2. Hiburan & Rekreasi
0,17
3,52
3,39
4,61
3. Perorangan & Rumahtangga
0,28
1,35
5,35
5,52
PDRB DENGAN MIGAS
7,26
7,34
6,83
7,01
PDRB TANPA MIGAS
7,26
7,34
6,83
7,01
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 40. PERTUMBUHAN PDRB KOTA CIREBON ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
2000
2001
2002
2003
4,79
-0,31
2,34
8,11
2,53
-1,42
1,21
10,01
-6,58
0,70
0,94
1,50
6,76
-3,51
2,17
6,70
8,21
2,16
4,06
5,95
2,52
4,60
4,98
3,74
2,52
4,60
4,98
3,74
d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
14,13
11,11
2,70
8,71
a. Listrik
19,29
7,03
6,69
5,86
b. Gas
14,97
15,18
-0,19
11,12
c. Air Bersih
0,18
4,02
6,04
5,42
5. BANGUNAN
6,74
3,07
4,28
6,31
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
3,55
6,47
4,48
3,57
a. Perdagangan Besar & Eceran
3,66
6,78
4,49
3,54
b. Hotel
2,66
0,67
2,45
4,21
c. Restoran
1,75
3,19
5,41
3,81
28,18
-2,29
2,25
5,84
a. Pengangkutan
30,30
-2,86
1,03
6,09
1. Angkutan Rel
3,95
4,13
4,68
6,33
2. Angkutan Jalan Raya
3,10
10,76
8,27
5,55
70,03
-14,25
-6,17
6,72
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara
125,10
1,28
6,95
5,45
6,59
3,16
5,78
13,64
2,19
11,34
4,16
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN1,63
6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
11,05
5,34
5,31
-4,07
16,85
5,83
6,16
3,11
0,63
3,56
5,02
c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan
17,30
5,88
6,34
3,18
e. Jasa Perusahaan
2,14
8,64
3,53
5,29
1,05
6,23
6,20
4,68
0,96
7,16
5,72
4,26
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
1,20
4,68
7,02
5,37
1. Sosial Kemasyarakatan
1,77
5,36
7,82
7,35
2. Hiburan & Rekreasi
3,92
6,54
8,29
2,11
3. Perorangan & Rumahtangga
0,41
3,86
6,14
3,78
PDRB DENGAN MIGAS
7,23
4,31
4,36
4,44
PDRB TANPA MIGAS
7,23
4,31
4,36
4,44
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 42. PERTUMBUHAN PDRB KOTA BEKASI ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
2000
2001
2002
2003
-2,29
23,53
-6,17
2,14
0,03
17,34
-9,75
0,51
-82,03
40,67
-6,96
2,12
8,03
27,73
-3,91
3,14
4,87
2,95
5,74
1,55
-6,19
13,51
3,89
2,83
-6,19
13,51
3,89
2,83
d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik
18,74
6,67
4,34
4,68
23,97
6,69
4,41
4,69 4,51
b. Gas c. Air Bersih
-35,21
6,25
3,04
5. BANGUNAN
-8,94
41,73
10,36
3,56
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
26,83
-9,43
9,38
10,86
a. Perdagangan Besar & Eceran
31,16
-12,13
10,74
11,97
b. Hotel
1,10
-1,79
4,49
4,23
c. Restoran
3,61
9,37
1,78
4,19
7,43
-20,38
4,71
4,08
a. Pengangkutan
7,35
-27,87
3,74
3,52
1. Angkutan Rel
-3,85
43,16
4,15
4,52
7,93
-34,97
3,21
3,20
4,94
8,63
5,57
4,50
8,11
45,71
8,97
6,43
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 10,19
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi
10,40
3,91
2,81
a. Bank
50,71
65,30
9,95
4,07
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
-7,99
34,75
8,97
4,19
c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan
11,26
1,09
2,24
2,32
e. Jasa Perusahaan
0,08
18,81
1,56
2,81
4,52
12,05
3,96
2,08
3,95
-9,87
4,56
1,83
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
5,19
37,68
3,50
2,28
1. Sosial Kemasyarakatan
6,05
81,61
5,84
4,47
2. Hiburan & Rekreasi
9,64
20,18
4,54
7,07
3. Perorangan & Rumahtangga
4,87
27,96
2,71
1,40
PDRB DENGAN MIGAS
4,54
5,26
5,54
4,98
PDRB TANPA MIGAS
4,54
5,26
5,54
4,98
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 44. PERTUMBUHAN PDRB KOTA DEPOK ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 1993 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000
2001
2002
2003
1,65
2,59
3,03
2,22
a. Tanaman Bahan Makanan
2,48
2,87
2,53
2,79
b. Tanaman Perkebunan
0,21
4,34
1,17
1,21
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
0,80
2,11
3,07
2,19
7,11
5,67
3,56
1,55
5,66
6,45
7,22
7,21
5,66
6,45
7,22
7,21
3,92
7,23
5,87
5,62
4,04
7,32
5,94
5,59
d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
2,08
5,90
4,75
6,17
5. BANGUNAN
2,40
5,75
4,11
5,54
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
3,81
5,29
5,74
5,87
a. Perdagangan Besar & Eceran
4,05
5,16
5,34
5,90
b. Hotel
0,13
2,41
1,31
0,58
c. Restoran
2,91
5,91
7,48
5,87
3,29
6,76
7,62
6,85
a. Pengangkutan
3,27
6,92
7,15
6,49
1. Angkutan Rel
-1,51
6,64
4,68
7,13
3,74
7,14
7,68
6,74
1,92
5,64
4,68
4,76
3,59
4,14
15,73
12,61
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN9,30
6,09
5,56
8,17
a. Bank
9,45
10,91
6,63
6,18
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
2,03
5,39
3,51
6,21
c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan
10,00
6,10
5,62
8,64
e. Jasa Perusahaan
3,42
4,84
4,83
4,33
2,59
6,17
4,50
4,91
3,13
7,75
4,40
4,68
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
2,08
4,65
4,59
5,13
1. Sosial Kemasyarakatan
2,46
5,29
5,23
6,75
2. Hiburan & Rekreasi
3,01
3,29
3,23
3,80
3. Perorangan & Rumahtangga
1,79
4,29
4,23
4,12
PDRB DENGAN MIGAS
4,47
5,98
6,12
6,35
PDRB TANPA MIGAS
4,47
5,98
6,12
6,35
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 46. PERTUMBUHAN PDRB KOTA CIMAHI ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA
2000
1. PERTANIAN
2001
2002
2003
0,22
3,20
a. Tanaman Bahan Makanan
0,19
2,33
2,12 1,98
b. Tanaman Perkebunan
0,81
7,11
-100,00
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
0,24
7,99
3,90
2,14
21,75
3,62
2,55
0,53
-100,00
d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN
2,55
0,53
-100,00
3,53
3,76
3,81
3,53
3,76
3,81
11,27
3,73
3,86
11,38
3,75
3,90
a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
9,98
3,50
3,32
5. BANGUNAN
5,83
3,35
3,90
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
5,11
3,87
4,73
a. Perdagangan Besar & Eceran
4,99
3,87
4,80
b. Hotel
0,83
9,88
4,73
c. Restoran
5,88
3,75
4,32
5,80
3,84
4,83
a. Pengangkutan
5,71
3,63
4,60
1. Angkutan Rel
6,86
12,02
3,90
2. Angkutan Jalan Raya
4,99
3,06
4,95
7,23
4,49
3,90
6,11
4,57
5,66
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN
3,20
4,45
3,80
10,19
4,44
3,90
1,44
2,58
2,97
d. Sewa Bangunan
3,11
4,55
3,67
e. Jasa Perusahaan
2,21
4,43
4,84
1,42
3,85
5,82
2,35
3,98
6,50
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
1,12
3,81
5,61
1. Sosial Kemasyarakatan
1,11
3,70
6,87
2. Hiburan & Rekreasi
6,98
5,73
8,85
3. Perorangan & Rumahtangga
1,09
3,81
5,38
PDRB DENGAN MIGAS
4,18
3,77
4,04
PDRB TANPA MIGAS
4,18
3,77
4,04
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 48. PERTUMBUHAN PDRB KOTA TASIKMALAYA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA
2000
1. PERTANIAN
2001
2002
2003
1,91
1,83
3,43
-0,19
3,76
-2,66
b. Tanaman Perkebunan
1,24
5,84
2,23
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
2,67
0,99
6,62
d. Kehutanan
-6,74
14,11
-1,54
e. Perikanan
5,31
-0,33
6,04
1,68
50,83
-14,35
1,68
50,83
-14,35
4,13
6,86
5,96
4,13
6,86
5,96
0,88
0,44
6,40
3,71
0,23
5,06
a. Tanaman Bahan Makanan
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas
-12,47
1,62
13,79
5. BANGUNAN
c. Air Bersih
1,68
4,19
3,04
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
2,68
3,54
2,31
a. Perdagangan Besar & Eceran
3,67
4,68
2,80
-1,07
-3,51
7,07
1,16
1,86
1,24
9,76
2,22
8,35
a. Pengangkutan
9,99
2,50
8,87
1. Angkutan Rel
1,68
1,52
11,68
11,90
2,76
9,74
-1,23
0,64
-0,45
8,29
0,44
4,94
b. Hotel c. Restoran 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN
6,80
3,24
0,53
a. Bank
21,66
13,85
-45,66
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
22,03
0,92
10,27
d. Sewa Bangunan
4,92
2,52
3,87
e. Jasa Perusahaan
5,77
2,78
3,74
3,79
1,72
2,69
7,21
1,87
4,64
0,32
1,57
0,58
0,47
0,39
0,89
-3,10
0,43
-1,04
3. Perorangan & Rumahtangga
0,39
1,87
0,56
PDRB DENGAN MIGAS
3,88
3,36
3,60
PDRB TANPA MIGAS
3,88
3,36
3,60
c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan & Rekreasi
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 50. PERTUMBUHAN PDRB KOTA BANJAR ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2003 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA
2000
1. PERTANIAN
2001
2002
2003
-1,93
-8,37
1,54
a. Tanaman Bahan Makanan
-6,80
0,02
0,22
b. Tanaman Perkebunan
-0,62
-18,36
2,02
4,86
-15,72
3,51
-40,69
42,12
-18,79
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN
1,59
-18,98
8,25
23,99
0,99
14,91
23,99
0,99
14,91
0,40
3,45
1,85
0,40
3,45
1,85
1,25
4,15
3,88
2,89
3,98
2,87
a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
-2,79
4,59
6,48
5. BANGUNAN
0,40
5,06
3,86
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
2,45
11,86
8,83
a. Perdagangan Besar & Eceran
3,27
14,10
10,43
b. Hotel
12,18
36,07
6,20
c. Restoran
-1,37
0,84
1,69
9,56
13,61
5,70
a. Pengangkutan
9,85
15,76
5,54
1. Angkutan Rel
108,64
19,74
20,52
7,14
16,29
4,34
10,93
12,01
7,95
8,41
5,09
6,38
14,30
12,45
-1,94
29,15
41,91
-11,76
8,84
-4,45
14,52
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan
0,99
5,83
2,09
e. Jasa Perusahaan
66,03
-4,63
1,40
11,88
4,08
4,27
16,75
1,44
2,59
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
3,44
9,23
7,34
1. Sosial Kemasyarakatan
12,93
33,81
30,29
2. Hiburan & Rekreasi
31,29
30,33
26,83
3. Perorangan & Rumahtangga
1,68
4,33
1,46
PDRB DENGAN MIGAS
4,04
4,07
4,16
PDRB TANPA MIGAS
4,04
4,07
4,16
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Se Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
LAMPIRAN 52. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN PANDEGELANG ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2002 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000 **)
2001 **)
2002 **)
3,01
3,06
3,14
a. Tanaman Bahan Makanan
-1,00
1,61
1,96
b. Tanaman Perkebunan
20,35
5,25
6,28
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
10,81
11,42
4,37
d. Kehutanan
26,73
19,55
4,43
e. Perikanan
5,00
2,58
5,19
1,87
4,78
2,96
1,87
4,78
2,96
4,22
4,99
5,29
4,22
4,99
5,29
10,92
9,15
6,68
11,95
10,27
6,87
c. Air Bersih
6,60
4,19
5,81
5. BANGUNAN
3,85
1,69
5,72
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
21,50
8,43
6,95
a. Perdagangan Besar & Eceran
21,62
10,50
6,83
b. Hotel
11,08
5,94
6,69
c. Restoran
22,02
3,58
7,27
6,80
5,87
4,79
6,72
5,90
4,20
2. Angkutan Jalan Raya
5,73
6,26
4,39
3. Angkutan Laut
9,00
5,24
4,58
11,85
4,11
2,94
7,79
5,45
12,35
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI a. Pengangkutan 1. Angkutan Rel
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 11,18
6,64
20,46
228,99
22,62
146,22
16,84
5,67
6,19
d. Sewa Bangunan
3,80
5,40
8,56
e. Jasa Perusahaan
2,40
4,00
3,21
2,08
2,73
4,90
1,76
2,51
4,48
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
2,89
3,25
5,91
1. Sosial Kemasyarakatan
4,16
3,74
5,76
2. Hiburan & Rekreasi
7,28
7,96
5,05
3. Perorangan & Rumahtangga
2,65
3,08
5,95
PDRB DENGAN MIGAS
7,21
4,75
5,53
PDRB TANPA MIGAS
7,21
4,75
5,53
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun 2003
LAMPIRAN 54. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN LEBAK ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2002 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000 **)
2001 **)
2002 **)
17,09
5,56
1,87
5,86
5,39
2,14
b. Tanaman Perkebunan
80,35
8,33
2,49
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
24,42
5,12
-3,71
-10,83
-12,03
21,45
5,87
5,82
2,62
0,05
27,08
6,79
-6,70
51,61
1,85
3,46
15,90
9,73
4,39
4,50
4,23
4,39
4,50
4,23
13,42
9,65
4,28
14,31
10,55
2,08
a. Tanaman Bahan Makanan
d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
9,56
5,53
14,78
5. BANGUNAN
2,97
1,98
4,88
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
3,48
2,83
3,31
a. Perdagangan Besar & Eceran
4,12
3,23
3,86
b. Hotel
3,80
4,82
5,38
c. Restoran
1,80
1,72
1,77
-1,39
15,46
4,46
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI a. Pengangkutan
-2,32
16,22
4,46
1. Angkutan Rel
5,62
-16,36
-2,05
-2,79
20,29
4,83
-2,32
1,20
3,74
13,37
5,00
4,46
2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN7,76
6,05
10,75
-729,45
98,73
96,10
5,36
17,76
25,97
d. Sewa Bangunan
2,18
1,35
2,74
e. Jasa Perusahaan
4,50
3,30
3,51
-1,10
1,35
3,52
-2,65
1,30
3,27
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
2,06
1,44
4,00
1. Sosial Kemasyarakatan
2,07
1,90
4,43
2. Hiburan & Rekreasi
4,42
1,19
2,98
3. Perorangan & Rumahtangga
2,00
1,38
3,97
PDRB DENGAN MIGAS
7,78
4,82
3,37
PDRB TANPA MIGAS
7,78
4,82
3,37
Sumber: Publikasi PDRB Kabupaten/Kota Propinsi Banten Tahun 2003
LAMPIRAN 56. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN TANGERANG ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 1993 - 2002 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000 **)
2001 **)
2002 **)
3,67
4,16
4,49
a. Tanaman Bahan Makanan
1,24
1,99
0,74
b. Tanaman Perkebunan
1,25
1,45
2,17
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
6,57
5,93
8,15
3,67
10,12
7,89
1,77
10,61
9,71
1,77
10,61
9,71
2,33
4,48
2,68
2,33
4,48
2,68
7,44
9,37
4,52
7,50
9,43
4,52
d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
3,87
4,86
4,59
5. BANGUNAN
1,54
5,81
4,79
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
3,02
6,29
5,11
a. Perdagangan Besar & Eceran
2,81
6,70
3,22
b. Hotel
5,81
9,39
2,57
c. Restoran
3,38
5,58
8,44
5,08
6,47
7,18
a. Pengangkutan
4,43
5,46
6,20
1. Angkutan Rel
6,02
3,13
2,42
2. Angkutan Jalan Raya
4,23
5,23
6,62
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi
6,28
7,72
2,32
14,18
19,17
18,14
1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 67,86 a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
3,95
10,51
-115,13
-69,48
301,25
11,77
9,17
12,21
c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan
11,63
6,84
7,06
e. Jasa Perusahaan
1,11
15,66
4,02
3,27
4,71
6,73
4,05
6,63
6,06
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
2,78
3,47
7,18
1. Sosial Kemasyarakatan
1,76
2,75
5,37
2. Hiburan & Rekreasi
2,04
1,33
4,81
3. Perorangan & Rumahtangga
3,15
3,76
7,85
PDRB DENGAN MIGAS
4,39
5,08
4,03
PDRB TANPA MIGAS
4,39
5,08
4,03
Sumber: Publikasi PDRB Kab/Kot Se Provinsi Banten Tahun 2004
LAMPIRAN 58. PERTUMBUHAN PDRB KABUPATEN SERANG ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2002 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000 **)
2001 **)
2002 **)
2,05
5,46
0,00
a. Tanaman Bahan Makanan
1,00
6,67
0,00
b. Tanaman Perkebunan
1,15
2,73
0,00
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
2,43
4,89
0,00
d. Kehutanan
2,50
6,62
0,00
e. Perikanan
8,47
0,90
0,00
-3,20
0,45
0,00
-3,20
0,45
0,00
4,58
1,57
0,00
4,58
1,57
0,00
15,93
2,67
0,00
16,02
2,65
0,00
c. Air Bersih
7,72
4,83
0,00
5. BANGUNAN
10,85
3,29
0,00
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
4,70
5,51
0,00
a. Perdagangan Besar & Eceran
5,16
6,22
0,00
b. Hotel
4,85
3,42
0,00
c. Restoran
3,15
3,37
0,00
7,56
7,75
0,00
a. Pengangkutan
7,28
7,60
0,00
1. Angkutan Rel
-2,85
1,47
0,00
7,91
7,12
0,00
-15,00
5,88
0,00
4,01
12,81
0,00
10,66
9,28
0,00
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN4,63
6,97
0,00
-4,57
-48,08
0,00
2,47
2,56
0,00
d. Sewa Bangunan
4,33
1,93
0,00
e. Jasa Perusahaan
1,00
6,24
0,00
3,11
3,11
0,00
2,74
3,74
0,00
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
3,64
2,19
0,00
1. Sosial Kemasyarakatan
2,52
1,63
0,00
2. Hiburan & Rekreasi
6,12
2,23
0,00
3. Perorangan & Rumahtangga
3,82
2,30
0,00
PDRB DENGAN MIGAS
5,05
3,10
0,00
PDRB TANPA MIGAS
5,05
3,10
0,00
Sumber: Publikasi PDRB Se Provinsi Banten Tahun 2004
LAMPIRAN 60. PERTUMBUHAN PDRB KOTA TANGERANG ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2002 (PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
2000 **)
2001 **)
2002 **)
-3,13
-1,25
3,21
-0,93
-1,00
2,86
-78,44
-84,54
6,67
6,18
3,74
5,65
-71,65
-77,27
4,00
5,26
3,85
3,71
5,26
3,85
3,71
6,82
7,92
6,14
7,10
7,81
5,81
d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
3,93
9,12
9,61
5. BANGUNAN
0,66
2,14
3,82
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
5,13
6,29
5,65
a. Perdagangan Besar & Eceran
5,12
6,35
5,48
b. Hotel
8,20
6,44
6,96
c. Restoran
4,92
5,30
8,45
4,89
7,20
6,36
a. Pengangkutan
4,92
6,96
6,39
1. Angkutan Rel
3,86
-7,48
-1,66
2. Angkutan Jalan Raya
4,84
5,13
4,21
5. Angkutan Udara
4,55
7,96
8,86
6. Jasa Penunjang Angkutan
5,83
6,72
3,01
4,56
10,67
5,95
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr.
b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN -37,67
-35,19
4,06
-270,41
104,62
8,42
7,00
7,53
3,15
d. Sewa Bangunan
7,10
7,64
7,72
e. Jasa Perusahaan
6,81
7,33
4,79
4,02
5,43
4,95
1,31
2,83
5,21
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
5,38
6,68
4,83
1. Sosial Kemasyarakatan
5,62
6,93
2,72
2. Hiburan & Rekreasi
3,61
5,33
5,60
3. Perorangan & Rumahtangga
5,24
6,53
6,35
PDRB DENGAN MIGAS
3,95
4,34
4,63
PDRB TANPA MIGAS
3,95
4,34
4,63
Sumber: Publikasi PDRB Se Provinsi Banten Tahun 2004
LAMPIRAN 62. PERTUMBUHAN PDRB KOTA CILEGON ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2002 ( PERSEN ) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN
2000 **)
2001 **)
2002 **)
0,24
3,74
1,09
a. Tanaman Bahan Makanan
0,14
2,95
0,99
b. Tanaman Perkebunan
0,61
2,96
2,65
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
0,99
17,62
1,00
d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN
2,88
2,05
5,46
-4,94
6,01
5,62
-4,94
6,01
5,62
6,09
6,58
7,26
6,09
6,58
7,26
15,84
22,02
10,02
16,16
22,36
10,00
a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
4,31
8,30
11,14
5. BANGUNAN
8,71
8,71
5,00
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
3,95
8,53
4,94
a. Perdagangan Besar & Eceran
4,19
8,21
4,63
b. Hotel
1,90
7,11
5,98
c. Restoran
3,12
9,92
6,11
5,59
13,44
6,49
a. Pengangkutan
5,54
13,37
6,32
1. Angkutan Rel
-6,36
9,24
0,30
2. Angkutan Jalan Raya
10,74
11,97
7,01
9,60
11,80
7,10
-17,66
24,19
3,42
6,64
14,17
4,00
9,02
18,18
17,78
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN -15,76
-3,09
14,27
-68,09
-95,92
1.504,91
4,93
8,60
7,00
d. Sewa Bangunan
4,76
7,90
8,00
e. Jasa Perusahaan
0,80
6,20
7,26
3,60
16,16
1,45
3,92
21,10
-6,15
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta
3,21
10,03
11,82
1. Sosial Kemasyarakatan
4,07
12,09
12,80
2. Hiburan & Rekreasi
8,29
12,44
7,14
3. Perorangan & Rumahtangga
2,82
9,48
11,81
PDRB DENGAN MIGAS
6,00
8,76
7,07
PDRB TANPA MIGAS
6,00
8,76
7,07
Sumber: PDRB Kab/Kot Se Provinsi Banten Tahun 2004
Lampiran 67. Kondisi perumahan menurut Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 1999
Kab/Kot
Rumah tangga yang
Rumah tangga yang
mempunyai akses
tinggal di rumah
tanpa akses
terhadap air bersih
berlantai tanah
terhadap sanitasi
(%) 1996
Rumah tangga
(%) 1999
1996
(%) 1999
1996
1999
Jawa Barat
41,8
37,9
10,4
7,1
22,8
20,8
01. Pandeglang 02. Lebak 03. Bogor 04. Sukabumi 05. Cianjur 06. Bandung 07. Garut 08. Tasikmalaya 09. Ciamis 10. Kuningan 11. Cirebon 12. Majalengka 13. Sumedang 14. Indramayu 15. Subang 16. Purwakarta 17. Karawang 18. Bekasi 19. Tangerang 20. Serang 71. Bogor 72. Sukabumi 73. Bandung 74. Cirebon 75. Tangerang 76. Bekasi
56,7 38,8 39,0 34,5 39,6 35,0 30,2 35,5 48,8 41,0 45,4 40,7 47,2 48,9 39,1 40,0 39,3 45,8 29,8 41,4 63,0 54,9 64,6 52,9 40,2
47,4 39,4 41,0 43,4 37,8 29,2 35,1 20,0 39,3 34,7 43,1 46,5 40,9 40,3 29,3 46,9 29,9 48,8 22,7 36,1 31,1 52,8 66,2 82,2 32,2 25,1
18,0 7,1 5,0 3,8 0,5 0,2 0,6 2,0 8,2 5,9 23,7 7,8 0,6 34,0 24,9 3,3 41,6 12,9 20,0 16,5 0,5 0,7 0,7 17,2 4,2
11,4 9,3 2,0 2,7 0,3 0,6 0,5 1,1 6,6 3,0 12,5 6,0 0,0 24,2 13,5 2,9 30,0 28,4 13,6 11,2 0,2 0,7 0,5 3,0 1,4 0,7
57,2 55,7 15,1 24,4 28,6 9,4 15,0 10,5 21,3 18,7 39,8 26,6 15,2 48,7 35,9 17,9 36,1 5,6 17,3 61,5 3,9 0,5 0,6 37,7 3,5
60,6 50,6 10,8 30,5 25,7 6,3 12,2 15,0 8,4 15,0 36,7 25,1 15,9 39,4 31,3 17,5 39,6 12,0 21,2 56,3 45,5 2,4 0,2 3,3 6,7 0,3
Sumber: Laporan Pembangunan Manusia, Kerjasama BPS, Bappenas dan UNDP Tahun 2001
Lampiran 72. Output pengolahan keterkaitan kinerja pembangunan Hasil Olah dengan Software Statistica Multiple Regression Results Dependent: LnYr
Multiple R = .84603104 F = 18.46723 R²= .71576852 df = 3,22 No. of cases: 26 adjusted R²= .67700969 p = .000003 Standard error of estimate: .506523060 Intercept: 3.181963888 Std.Error: 1.395254 t( 22) = 2.2806 p = WLnYr beta=-.14
LnDidik beta=.271
.0326
LnBH beta=-.59
(significant betas are highlighted)
Multiple Regression Results (Step
2)
Dependent: LnYr
Multiple R = .83898919 F = 27.33861 R²= .70390286 df = 2,23 No. of cases: 26 adjusted R²= .67815529 p = .000001 Standard error of estimate: .505623979 Intercept: 1.944886595 Std.Error: .5286279 t( 23) = 3.6791 p = LnBH beta=-.65
LnDidik beta=.317
(significant betas are highlighted)
Welcome to Minitab, press F1 for help.
Regression Analysis: LnYr versus WlnYr, LnDidik, LnBH The regression equation is LnYr = 3.18 - 1.12 WlnYr + 0.528 LnDidik - 0.778 LnBH
Predictor Constant WlnYr LnDidik LnBH
Coef 3.182 -1.122 0.5282 -0.7781
S = 0.506523
SE Coef 1.395 1.171 0.2654 0.1856
R-Sq = 71.6%
T 2.28 -0.96 1.99 -4.19
P 0.033 0.348 0.059 0.000
R-Sq(adj) = 67.7%
158
.0012
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source WlnYr LnDidik LnBH
DF 1 1 1
DF 3 22 25
SS MS 14.2142 4.7381 5.6444 0.2566 19.8586
F 18.47
P 0.000
Seq SS 7.4300 2.2734 4.5108
Unusual Observations Obs 17
WlnYr 1.25
LnYr -1.4974
Fit 0.2627
SE Fit 0.1804
Residual -1.7601
St Resid -3.72R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Correlations: LnYr, LnDidik Pearson correlation of LnYr and LnDidik = 0.726 P-Value = 0.000
Correlations: LnYr, LnBH Pearson correlation of LnYr and LnBH = -0.817 P-Value = 0.000
Dengan N=25
Multiple Regression Results Dependent: LnYr
Multiple R = .91343881 F = 35.26299 R²= .83437045 df = 3,21 No. of cases: 25 adjusted R²= .81070909 p = .000000 Standard error of estimate: .315960038 Intercept: 2.230342330 Std.Error: .8848521 t( 21) = 2.5206 p = WLnYr beta=-.09
LnDidik beta=.419
(significant betas are highlighted)
159
.0199
LnBH beta=-.58
Multiple Regression Results (Step
2)
Dependent: LnYr
Multiple R = .91077106 F = 53.51762 R²= .82950393 df = 2,22 No. of cases: 25 adjusted R²= .81400429 p = .000000 Standard error of estimate: .313197830 Intercept: 1.587180259 Std.Error: .3325564 t( 22) = 4.7727 p = LnBH beta=-.62
LnDidik beta=.450
160
.0001
Nilai Ekonomi Total
GRAFIK SELISIH MANFAAT 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Nilai Ekonomi Total Skenario A Nilai Ekonomi Total Skenario B
2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019 2021 2023 Tahun
Nilai Ekonomi Total Skenario A Nilai Ekonomi Total Skenario B
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 116,42 108,30 107,43 105,40 105,31 107,23 107,34 108,66 109,16 110,75 112,87 114,39 119,39 123,03 127,14 132,52 138,01 144,26 151,84 130,68 148,78 135,45 128,33 123,39 119,21 116,02 114,07 112,35 111,57 110,94 115,44 110,83 111,00 112,10 112,65 113,13 113,39 113,23 112,42 110,74 107,61 102,63
Nilai Ekonomi Total Skenario A Nilai Ekonomi Total Skenario B
116,42 108,3 107,43 105,4 105,31 107,23 107,34 108,66 109,16 110,75 112,87 114,39 119,39 123,03 127,14 132,52 138,01 144,26 151,84 130,68 148,78 135,45 128,33 123,39 119,21 116,02 114,07 112,35 111,57 110,94 115,44 110,83 111 112,1 112,65 113,13 113,39 113,23 112,42 110,74 107,61 102,63