ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR
M. IRFAN SURYAWARDANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Oktober 2005
M. Irfan Suryawardana NRP. A.253040044
ABSTRAK MOHAMAD IRFAN SURYAWARDANA. Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM, NADRATUZZAMAN HOSEN, dan AFFENDI ANWAR. Implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah penyerahan sebagian kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara sentralistik untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Penyerahan sebagian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada daerah memberikan konsekuensi logis perlunya sumber-sumber pendapatan yang memadai oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Sumber-sumber pendapatan yang terbatas baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah maupun Dana Perimbangan menuntut pemerintah daerah melakukan prioritas di dalam melaksanakan pembangunan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis sektor-sektor dalam perekonomian di Jawa Timur yang dapat diindentifikasikan sebagai sektor unggulan, (2) menganalisis keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir, (3) mengindentifikasikan lokasi-lokasi sektor unggulan pada kabupaten/kota di Jawa Timur, dan (4) menganalisis apakah alokasi belanja pembangunan pada APBD kabupaten/kota di Jawa Timur sudah terkait dengan sektor unggulan. Sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan di Jawa Timur adalah sektor industri kertas dan barang cetakan; tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki; kacang-kacang lainnya (sub sektor tanaman bahan makanan); restoran; dan bangunan. Prioritas pembangunan terhadap sektor-sektor unggulan tersebut akan menggerakkan roda perekonomian Jawa Timur secara simultan terhadap sektorsektor lainnya. Hal ini disebabkan karena sektor-sektor tersebut mempunyai keterkaitan sektoral serta angka pengganda yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Dalam struktur perekonomian di Jawa Timur, sektor hulu tidak mempunyai keterkaitan dengan sektor hilir. Sektor hilir mempunyai korelasi yang searah dan nyata dengan angka pengganda pendapatan, angka pengganda pajak, angka pengganda surplus usaha, dan angka pengganda PDRB. Sedangkan sektor hulu tidak terkait sama sekali dengan variabel-variabel tersebut. Secara spasial, lokasi sektor unggulan berada pada daerah-daerah yang cenderung berbasis sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan mulai melemahnya daya saing daerah-daerah yang sebelumnya merupakan pusat kegiatan sektor industri seperti Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo. Sektor industri, bangunan, pertanian, serta pariwisata dan perdagangan yang mendukung perkembangan sektor restoran sebagai sektor unggulan, di dalam alokasi belanja pembangunan mendapat alokasi belanja yang kecil. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi belanja pembangunan daerah tidak terkait dengan pengembangan sektor unggulan. Alokasi belanja pemerintah baik rutin dan pembangunan tidak memberikan kontribusi yang nyata terhadap pembangunan perekonomian Jawa Timur. Prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah di Jawa Timur adalah sektor transportasi, meteorologi, dan geofisika; sektor pendikan, kebudayaan, dan kepercayaan kepada Tuhan YME; serta sektor aparatur pemerintah dan pengawasan.
ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR
MOHAMAD IRFAN SURYAWARDANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
Nama NRP
: Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur : Mohamad Irfan Suryawardana : A. 253040044
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr Ketua
Dr. M. Nadratuzzaman Hosen Anggota
Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Ujian : 31 Oktober 2005
Tanggal lulus :
Kupersembahkan karya ini kepada Ayahnda Drs. Kgs. Ibrahim Nungtjik dan Ibunda Sri Astuti Mertua yang Ananda hormati Ayahnda M. Tahan dan Ibunda Huzaimah Istriku tercinta Irawati dan kedua anakku yang tersayang Raihana Rizka Suryawardani dan Salsabila Wulan Fariha Putri Suryawardani Kakak dan adik-adikku yang telah mendukung selama ini
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2005 ini ialah sektor unggulan kaitannya dengan pola alokasi anggaran, dengan judul Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr, Bapak Dr. M. Nadratuzzaman Hosen, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi masukan dan saran dalam penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis juga sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan. Rasa terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah XV Ditjen Perbendaharaan Surabaya atas ijin yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama mengikuti pendidikan. Teman-teman di Kelas Khusus Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah tahun 2004 atas segala bantuan dan kritiknya, serta langkah-langkah penuh keceriaan dan kenangan di kampus IPB yang tak akan terlupakan, penulis mengucapkan terima kasih. Tak lupa, penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih kepada ayah, ibu, mertua, istri, anak-anakku tersayang, serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang, serta pengorbanan yang telah diberikan selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2005
M. Irfan Suryawardana
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 6 Pebruari 1974 dari ayah Drs. Kgs. Ibrahim Nungtjik dan ibu Sri Astuti. Penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara. Buah dari perkawinannya dengan Irawati pada tahun 1999, penulis mendapatkan dua putri yang bernama Raihana Rizka Suryawardani (6 tahun) dan Salsabila Wulan Fariha Putri Suryawardani (4 tahun). Sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas diselesaikan penulis di kota kelahirannya Malang. Pendidikan Diploma III ditempuh pada Program Diploma III Keuangan-Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Spesialisasi Anggaran, lulus tahun 1995. Sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Terbuka yang ditamatkan pada tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL). Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pusbindiklatren Bappenas. Setelah lulus dari Program Diploma III Keuangan, penulis menjalani ikatan dinas di lingkungan Departemen Keuangan dan tempat tugas pertama penulis adalah Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara Baturaja. Selanjutnya pada tahun 1998, penulis dialihtugaskan ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara Lubuk Linggau. Tahun 2000, penulis kembali alih tugas ke tempat yang baru pada Kantor Verifikasi Pelaksanaan Anggaran Surabaya II. Tempat kedudukan terakhir penulis saat ini sebagai staf pada Kantor Wilayah XV Direktorat Jenderal Perbendaharaan Surabaya mulai tahun 2003 sampai dengan sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................. Perumusan Masalah ........................................................................................ Penelitian Sebelumnya ..................................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ Pembatasan Masalah .......................................................................................
1 2 8 9 10
TINJAUAN PUSTAKA Sektor Unggulan ............................................................................................... Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan............. Perencanaan dan Keuangan Daerah …………………………………………. Sumber Pendapatan Daerah ………………………………………………….. Metode Input Output .........................................................................................
10 11 14 18 23
BAHAN DAN METODE Kerangka Umum Penelitian …………………………………………………. Kerangka Pendekatan Analisis……………………………………………….. Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………………………… Jenis dan Sumber Data ………………………………………………………. Metode Analisis……………………………………………………………….
26 30 36 36 38
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis ……………………………………………………………. Iklim……………………………………………………. ……………………. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk ………………………………………….
52 54 55
SEKTOR UNGGULAN DI PROPINSI JAWA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Timur.............................................................. Nilai Tambah Bruto dan Total Output Sektoral ................................................ Struktur Nilai Tambah Bruto Menurut Komponen ........................................... Transaksi Internal, Transaksi Eksternal, dan Input Primer ............................... Keterkaitan Antar Sektor...................................................................................
57 60 63 65 67
viii
Angka Pengganda(Multiplier)........................................................................... Peningkatan Pendapatan Sektor Pertanian ........................................................ Sektor Unggulan Jawa Timur ...........................................................................
75 82 87
KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR Keterkaitan Sektor Hulu dan Sektor Hilir ......................................................... Tipologi Sektor-Sektor Perekonomian di Jawa Timur .....................................
90 93
LOKASI SEKTOR UNGGULAN DI JAWA TIMUR Kondisi Umum Perekonomian Kabupaten/Kota di Jawa Timur ...................... 96 Kesenjangan Antarwilayah ............................................................................... 99 Indeks Pembangunan Manusia dan Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa Timur.................................................................................................... 104 Indentifikasi Kabupaten/Kota Lokasi Sektor Unggulan Provinsi..................... 108 KETERKAITAN ANTARA ALOKASI ANGGARAN PEMBANGUNAN TERHADAP SEKTOR UNGGULAN DI JAWA TIMUR Kondisi Umum Keuangan Kabupaten/Kota di Jawa Timur ............................. 116 Keterkaitan Antara Anggaran Belanja Pembangunan dan Sektor Unggulan ... 120 Kelembagaan dalam Penyusunan APBD .......................................................... 126 SIMPULAN ............................................................................................................ 129 IMPLIKASI KEBIJAKAN ..................................................................................... 132 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 135 LAMPIRAN ........................................................................................................... 139
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
Sumber dan besar dana bagi hasil ................................................................. Klasifikasi sektoral data PDRB harga konstan tahun 2000 dan 2003 serta data Tabel I-O updating tahun 2003 ..................................................... Sektor-sektor dalam Tabel I-O Jawa Timur updating tahun 2003 ................ Kabupaten/kota dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur .............. Jumlah penduduk Jawa Timur tahun 2000 s.d. 2003..................................... Distribusi PDRB Jawa Timur atas dasar harga berlaku tahun 1999 s.d 2003 ................................................................................................ Pertumbuhan riil sektor ekonomi tahun 1999 s.d 2003................................. Sepuluh sektor dengan PDRB terbesar di Jawa Timur tahun 2003............... Sepuluh sektor dengan total output terbesar di Jawa Timur tahun 2003 ....... Struktur PDRB menurut komponen pendapatan tahun 2003 ........................ Transaksi internal, transaksi eksternal, dan input primer sektoral................. Sepuluh sektor terbesar dengan keterkaitan langsung ke belakang (DBL) serta keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang (DIBL).............. Sepuluh sektor terbesar dengan keterkaitan langsung ke depan (DFL) serta keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan (DIFL)................... Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda output terbesar........................ Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda pendapatan terbesar................ Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda pajak terbesar ......................... Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda PDRB terbesar ....................... Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda tenaga kerja terbesar .............. Hasil PCA terhadap variabel-variabel penentu sektor unggulan ................... Lima sektor unggulan di Jawa Timur ............................................................ Keterkaitan sektor hulu dan sektor hilir......................................................... Kelompok sektor-sektor perekonomian menurut analisis gerombol ............. PDRB kabupaten/kota di Jawa Timur berdasarkan harga berlaku ................ Peranan sektor-sektor perekonomian tiap kabupaten/kota berdasarkan PDRB harga berlaku tahun 2003 ................................................................... Indeks Williamson di Jawa Timur tahun 2000 s.d. 2004 ………………… Perkembangan angka IPM tahun 1999 dan 2002 s.d. 2004........................... Angka IPM kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2004 ................................ Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur tahun 2000 s.d 2004..................... Jumlah penduduk miskin pada kabupaten/kota di Jawa Timur ..................... Lokasi sektor unggulan di Jawa Timur.......................................................... Rekapitulasi sumber-sumber pendapatan kabupaten/kota di Jawa Timur ................................................................................................ Rekapitulasi Pendapatan Asli Daerah kabupaten/kota di Jawa Timur .......... Rekapitulasi dana perimbangan kabupaten/kota di Jawa Timur .................. Alokasi belanja rutin dan pembangunan kabupaten/kota di Jawa Timur ......
20 33 37 52 55 57 59 61 63 63 66 68 70 76 77 77 79 81 87 88 90 95 97 98 100 104 105 106 107 113 116 117 119 121
x
35. 36. 37.
Alokasi belanja rutin kabupaten/kota di Jawa Timur .................................... 122 Alokasi belanja pembangunan kabupaten/kota di Jawa Timur ..................... 123 Hasil PCA keterkaitan antara belanja APBD kabupaten/kota terhadap perekonomian di Jawa Timur ......................................................... 125
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Sumber-sumber pendapatan daerah tahun 2001 s.d. 2003 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur .................................................................................. Alokasi belanja rutin dan pembangunan tahun 2001 s.d 2003 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur......................................................... Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sebelum UU 25/2004……… Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sesuai UU 25/2004 dan mekanisme penyusunan APBN dan APBD sesuai UU 17/2004…………… Sumber-sumber pendanaan daerah ............................................................... Struktur dasar Tabel Input Output ................................................................. Kerangka umum penelitian ……………………………………………….. Bagan alir analisis penentuan sektor unggulan dan hubungan keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir ................................................................. Bagan alir indentifikasi lokasi sektor unggulan di Jawa Timur ................... Bagan alir pendekatan analisis keterkaitan alokasi belanja pembangunan terhadap sektor unggulan .............................................................................. Bagan alir updating Tabel Input Output........................................................ Bagan alir penentuan sektor unggulan .......................................................... Peta administratif Jawa Timur ...................................................................... Peta kepadatan penduduk tahun 2003 ........................................................... Pohon industri kertas ..................................................................................... Pohon industri kimia hasil pertanian ........................................................... Derajat kepekaan dan daya penyebaran sektoral ........................................... Hubungan angka pengganda pajak dan angka pengganda output ................. Hubungan angka pengganda pajak dan angka pengganda surplus usaha ..... Hubungan angka pengganda PDRB dan angka pengganda output.............. . Hierarki pemasaran dan pengolahan produk pertanian ................................. Grafik hasil analisis peubah-peubah tipologi sektoral .................................. Basis perekonomian kabupaten/kota di Jawa Timur ..................................... Perkembangan Indeks Williamson di Jawa Timur tahun 2000 s.d. 2003….. Perbandingan absolut perekonomian antardaerah di Jawa Timur ................. Hasil LQ dan differential shift sektor kertas dan barang cetakan.................. Hasil LQ dan differential shift sektor tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki .................................................................................................. Hasil LQ dan differential shift sektor bangunan dan konstruksi.................... Hasil LQ dan differential shift sub sektor tanaman bahan makanan.............. Hasil LQ dan differential shift sektor restoran............................................... Lokasi sektor unggulan di Jawa Timur ........................................................ Lokasi sub sektor tanaman bahan makanan ................................................. Strategi pemerintah daerah di dalam pembangunan ekonomi kaitannya dengan sektor unggulan ................................................................................
5 6 17 17 19 25 29 31 34 36 39 47 54 55 71 72 74 78 79 80 86 94 99 100 102 109 110 111 111 112 115 115 134
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Pendugaan koefisien teknis Tabel I-O Jawa Timur updating 2003 dengan metode RAS ..................................................................................................... 2. Tabel input output Jawa Timur updating 2003 44 sektor ............................. 3. Koefisien teknis Tabel I-O Jawa Timur updating 2003 ................................ 4. Invers matriks leontief Tabel I-O Jawa Timur updating 2003 ....................... 5. Nilai keterkaitan dan angka pengganda per sektor ........................................ 6. Skor per sektor hasil pembobotan .................................................................. 7. Nilai location quotient dan differential shift sektor unggulan pada kabupaten/kota di Jawa Timur ................................................................ 8. Data tenaga kerja Jawa Timur...........................................................................
139 147 155 159 163 166 169 170
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Semenjak 1 Januari 2000, Indonesia telah memasuki babak baru dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan dengan diberlakukannya otonomi daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan landasan pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Era otonomi, bagi sebagian daerah merupakan kesempatan untuk bisa melaksanakan pembangunan yang selama ini telah dilaksanakan secara sentralistik dan mengabaikan karakteristik daerah. Sedangkan bagi sebagian daerah lainnya, otonomi daerah merupakan suatu ‘beban’ yang mau tidak mau harus mereka terima dari Pusat daripada sebagai peluang pemberdayaan lokal (LIPI 2000). Pandangan beberapa daerah yang merasakan pelaksanaan otonomi daerah ini merupakan suatu beban disebabkan karena adanya kesadaran di kalangan elit dan masyarakat daerah setempat akan minimnya sumber daya alam (SDA), sumber
daya
manusia
(SDM),
dan
sumber-sumber
pendapatan
untuk
pembangunan. Berbagai persoalan yang dihadapi oleh pemerintah daerah selain kurangnya sumber daya yang tersedia tersebut, hal lain yang dihadapi adalah masalah kesenjangan antarwilayah, pengangguran, dan daya beli masyarakat yang masih lemah akibat krisis ekonomi yang lalu belum pulih benar. Keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah baik yang berasal dari pendapatan asli daerah maupun dana perimbangan menuntut pemerintah daerah melakukan prioritas pembangunan. Dalam pembangunan di bidang ekonomi, pemerintah daerah dituntut jeli untuk mengalokasikan anggaran secara tepat pada sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan. Sektor unggulan, sebagai motor pengggerak sektor lainnya (leading sector), mempunyai keterkaitan yang sangat besar dengan sektor lainnya. Oleh karena itu, dalam pembangunan ekonomi
2
daerah, perhatian dan fokus pemerintah kepada sektor unggulan akan memberikan dampak kepada sektor-sektor perekonomian lainnya secara simultan. Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang paling krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan karena berkaitan dengan tujuan pemerintah itu sendiri untuk menyejahterakan masyarakatnya. Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang saling terkait satu sama lainnya dan merupakan satu kesatuan, sehingga output dari perencanaan adalah penganggaran. Proses perencanaan sampai dengan penganggaran yang baik pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja pemerintah daerah. Kinerja pembangunan daerah dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan pembangunan daerah itu sendiri, antara lain menyejahterakan masyarakat, mengurangi ketergantungan fiskal, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan berbagai macam
keterbatasan sumber-sumber
pendapatan untuk melaksanakan pembangunan, maka perlu dikembangkan suatu sistem anggaran yang mengarah pada sektor unggulan. Berangkat dari berbagai hal di atas, maka karya tulis ini mencoba menganalisis pola alokasi anggaran belanja pembangunan daerah setelah berlakunya otonomi daerah di Jawa Timur dan keterkaitannya dengan sektor unggulan sebagai upaya meningkatkan dan memperkuat perekonomian daerah sehingga pada akhirnya kinerja pembangunan daerah meningkat.
Perumusan Masalah Menurut Anwar dan Hadi (1996), perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi penekanannya lebih kepada upaya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang biasanya dilihat dari tolok ukur peningkatan angka Produk
Domestik
Regional
Bruto
(PDRB).
PDRB
merupakan
ukuran
produktivitas wilayah yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah dan negara. PDRB pada dasarnya merupakan total produksi kotor dari suatu wilayah, yakni total nilai dari semua barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh rakyat di wilayah tersebut dalam periode satu tahun. Sehingga perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam
3
mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan yang diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik itu investasi pemerintah maupun swasta. Hirschman dalam Todaro (1989), menyatakan bahwa untuk negara (daerah) yang berkembang, pembangunan ekonomi tidak dilakukan secara serentak (imbalanced growth) namun dilakukan dengan menetapkan sektor unggulan, dimana sektor unggulan ini akan memberi implikasi ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) terhadap sektor-sektor lainnya. Sedangkan menurut Miyarto et al. (1993), dalam pembangunan ekonomi sektoral, prioritas hendaknya diberikan kepada sektor-sektor yang mempunyai daya penyebaran dan derajat kepekaan tinggi. Pembangunan pada sektor-sektor tersebut akan memberikan efek multiplier yang relatif besar bagi pertumbuhan ekonomi. Untuk menentukan prioritas pembangunan berdasarkan sektor unggulan menurut Nazara (1997), metode yang bisa digunakan adalah analisis keterkaitan antarsektor. Sektor dengan keterkaitan paling tinggi berarti memiliki potensi menghasilkan output produksi yang tinggi pula. Sebagian besar perekonomian kabupaten/kota di Jawa Timur berbasis pada sektor pertanian. Selama ini, daerah-daerah dengan basis perekonomian pertanian indentik dengan ketertinggalan dalam pembangunan perekonomian. Keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian (hulu) dan sektor industri (hilir) dalam struktur perekonomian wilayah merupakan pondasi yang kuat dalam perkembangan perekonomian, hal ini disebabkan karena proses produksi yang terjadi banyak menggunakan bahan-bahan lokal sehingga tingkat ketergantungan dari luar daerah atau luar negeri relatif kecil. Pemanfaatan sumber daya lokal yang besar pada akhirnya akan meningkatkan nilai tambah yang tercipta. Struktur keterkaitan yang lemah antara sektor hulu dan sektor hilir menyebabkan potensi kebocoran wilayah yang terjadi akan besar. Tingginya konsentrasi pusat-pusat pertumbuhan di sekitar Kawasan Gerbangkertasusila di Jawa Timur, menimbulkan dampak positif dan negatif bagi pembangunan wilayah. Kurangnya kesadaran spasial antarwilayah mengakibatkan dampak pembangunan yang terkonsentrasi tersebut tidak memberikan pengaruh yang besar bagi wilayah-wilayah lainnya, yang secara tidak langsung turut memberikan sumbangan bagi kemajuan bagi wilayah telah maju. Pada akhirnya
4
hubungan fungsional yang terjadi antarwilayah bukannya saling memperkuat namun akan saling melemahkan. Terkait dengan sektor-sektor unggulan di Jawa Timur, perlu dilakukan indentifikasi lokasi-lokasi sektor unggulan tersebut pada kabupaten/kota di Jawa Timur. Dengan mengetahui lokasi-lokasi sektor unggulan, diharapkan arahan pengembangan sektor unggulan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat, dapat lebih terfokus tanpa mengabaikan struktur perekonomian pada kabupaten/kota tersebut selama ini. Selain itu, kesenjangan wilayah yang terjadi selama ini dapat semakin dikurangi. Implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah penyerahan sebagian kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Penyerahan sebagian kewenangan ini memberikan konsekuensi logis kepada perlunya sumber-sumber pendapatan yang memadai oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999 jo. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, diatur sumber-sumber pendapatan bagi daerah dalam rangka pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Prinsip di dalam UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah money follow function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Secara ekonomi, desentralisasi itu sendiri tentu akan mengubah pola alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi, khususnya barang-barang publik. Jika pada sistem sentralisasi, alokasi dan distribusi barang-barang publik didominasi oleh pemerintah pusat, maka dengan adanya desentralisasi atau otonomi fungsi alokasi dan distribusi tersebut banyak beralih kepada daerah kabupaten/kota. Ini berarti nasib kesejahteraan masyarakat sejak adanya otonomi akan lebih banyak bergantung kepada pemerintah kabupaten/kota. Sejalan dengan berlakunya UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang mulai berlaku semenjak 1 Januari 2005, maka anggaran yang disusun harus mengacu kepada anggaran yang berbasis kinerja. Dengan anggaran berbasis kinerja, diharapkan semua pengeluaran anggaran dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dan dilaksanakan secara efektif dan efisien.
5
Yang menjadi persoalan di dalam pengalokasian anggaran selain tidak berimbangnya alokasi antara belanja rutin dan pembangunan adalah ketepatan di dalam mengalokasikan anggaran itu sendiri terhadap sektor-sektor yang seharusnya mendapatkan prioritas. Ketidaktepatan di dalam alokasi anggaran akan menyebabkan inefisiensi dan kemubaziran, sehingga tujuan pembangunan yang diharapkan tidak tercapai. Kebijakan pemerintah yang tepat dalam pengalokasian anggaran yang lebih menitikberatkan kepada belanja pembangunan atau investasi akan menciptakan nilai tambah di dalam perekonomian wilayah.
100.00 87.89
90.00 80.00
76.13
75.90
70.00 60.00
% 50.00 40.00 30.00 20.00 11.01 9.18
7.62
10.00 2.49
1.85 0.14
10.14 9.27 3.68
4.67
0.01
0.03
0.00 2001
2002
2003
Tahun SISA ANGGARAN TAHUN LALU DANA PERIMBANGAN
PENDAPATAN ASLI DAERAH PENERIMAAN LAINNYA
PINJAMAN PEMERINTAH DAERAH
Sumber : BPS Jawa Timur (2004).
Gambar 1 Sumber-sumber pendapatan daerah tahun 2001 s.d. 2003 kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Timur. Semenjak otonomi daerah dilaksanakan, sumber pendapatan daerah pada kabupaten/kota di Jawa Timur masih mengandalkan sumber-sumber pendapatan dari pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan. Dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2003 dana perimbangan yang dikucurkan oleh pusat semakin menurun. Pada tahun 2001, total alokasi dana perimbangan yang diterima oleh
6
kabupaten/kota di Jawa Timur sebesar 87.89%, tahun 2002 sebesar 76.13%, dan pada tahun 2003 turun kembali menjadi 75.90%. Penurunan dana perimbangan ini ternyata tidak diimbangi oleh kenaikan yang cukup besar pada sumber-sumber pendapatan lainnya, terutama Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana di tunjukkan pada Gambar 1.
Belanja Rutin dan Pembangunan 120.00
22.88%
27.12%
31.00%
100.00 80.00 60.00
%
77.12%
40.00
69.00%
72.88%
20.00 0.00 2001
2002
2003
Tahun TOTAL PENGELUARAN BELANJA PEMBANGUNAN TOTAL PENGELUARAN BELANJA RUTIN
Sumber : BPS Jawa Timur (2004).
Gambar 2 Alokasi belanja rutin dan pembangunan tahun 2001 s.d 2003 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Dalam hal belanja daerah, anggaran belanja rutin masih sangat mendominasi pola pengeluaran anggaran pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dibandingkan dengan anggaran belanja pembangunan. Nilai dari belanja rutin setiap tahun cenderung turun, namun porsi belanja rutin masih tetap di atas 70% sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Masalah yang timbul dari pelimpahan kewenangan pelaksanaan pembangunan kepada daerah adalah timpangnya alokasi anggaran antara belanja rutin dan belanja investasi (pembangunan) karena belanja pembangunan mendapat alokasi yang sangat kecil. Dari sisi kepentingan para pelaku usaha di daerah, bentuk dan arah alokasi seperti ini tidak terlalu menjadi persoalan. Sebab, kemanapun dana APBD dibelanjakan, dana tersebut tetap akan menimbulkan permintaan akan barang dan jasa. Selanjutnya, permintaan barang
7
dan jasa itu tentu merupakan peluang untuk melakukan suplai atau melakukan kegiatan produksi bagi para pengusaha. Masalah ekonomi bagi masyarakat bukan hanya soal kelancaran alokasi tetapi juga soal distribusi, maka setiap bentuk dan arah alokasi belanja pemerintah tentu punya nilai tersendiri. Jika alokasi anggaran lebih banyak untuk anggaran belanja rutin birokrasi dan belanja para pejabat publik, maka aspek keadilannya menjadi kecil. Jika alokasi APBD untuk belanja pembangunan atau belanja investasi lebih besar, maka kepentingan publik lebih banyak yang terlayani. Kepentingan publik di sini bukan sekedar peningkatan pelayanan publik tetapi juga termasuk peningkatan kapasitas ekonomi daerah secara keseluruhan. Berbeda dengan bentuk alokasi yang didominasi oleh belanja rutin, alokasi yang lebih besar kepada kebutuhan pembangunan lebih menjanjikan peningkatan nilai tambah bagi berbagai sektor perekonomian. Ketidaktepatan alokasi belanja pembangunan pada sektor-sektor perekonomian terutama pada sektor unggulan menyebabkan alokasi belanja yang telah dilakukan menjadi tidak efisien dan efektif yang pada akhirnya menimbulkan kemubaziran Dengan alokasi belanja pembangunan yang tepat, baik jumlah maupun sektornya, akan memberikan efek yang positif bagi pemerintah daerah sehingga kinerja pembangunan daerah lebih meningkat. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dikaji dan ditemukan jawabannya, yaitu : 1.
Sektor-sektor apa saja yang dapat diindentifikasikan sebagai sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur
2.
Bagaimana pola keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir dalam perekonomian wilayah di Jawa Timur
3.
Indentifikasi lokasi-lokasi sektor unggulan di Jawa Timur
4.
Apakah pola kebijakan alokasi anggaran belanja pembangunan pada APBD kabupaten/kota di Jawa Timur mempunyai keterkaitan dengan sektor-sektor unggulan.
8
Penelitian Sebelumnya Tanpa mengabaikan hasil dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Jawa Timur mengenai sektor unggulan, penelitian ini berusaha untuk melanjutkan dan lebih mempertajam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sehingga dapat diketahui sektor unggulan yang lebih detail lagi. Penelitian sebelumnya mengenai penentuan sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur pernah dilakukan oleh Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga pada tahun 2001 dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kondisi perekonomian di wilayah Provinsi Jawa Timur secara umum dipengaruhi oleh sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Namun, secara umum sektor pertanian masih mendominasi perekonomian di wilayah Jawa Timur. Amir dan Nazara (2005), juga melakukan penelitian serupa dengan menggunakan metode analisis I-O pada Provinsi Jawa Timur, dalam penelitiannya Amir dan Nazara menyatakan bahwa sektor perekonomian yang merupakan sektor unggulan adalah sektor industri lainnya, sektor industri makanan, minuman, dan tembakau, sektor restoran dan hotel, sektor bangunan, serta sektor pengilangan minyak. Namun di dalam penelitian ini tidak secara rinci disebutkan jenis industri yang merupakan unggulan karena penelitian hanya dilakukan terhadap 18 sektor besar. Sektor industri dalam penelitian tersebut dibagi dua, yaitu industri makanan, minuman, dan tembakau serta sektor industri lainnya. Melanjutkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan untuk mengetahui secara lebih detail lagi mengenai sektor unggulan di Jawa Timur, maka penelitian ini dilakukan pada 44 sektor perekonomian, sehingga hasil yang diharapkan dapat menjelaskan lebih lanjut dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Amir dan Nazara. Beberapa hal yang dikaji lebih lanjut di dalam penelitian ini adalah lokasi kabupaten/kota di Jawa Timur yang berbasis sektor unggulan provinsi sehingga kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dapat mengacu kepada sektor unggulan.
9
Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah seperti telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Menganalisis
sektor-sektor
dalam
perekonomian
yang
dapat
diindentifikasikan sebagai sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur. 2.
Menganalisis pola keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir dalam perekonomian wilayah di Jawa Timur.
3.
Mengindentifikasikan lokasi-lokasi sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur
4.
Menganalisis kebijakan alokasi belanja pembangunan pada APBD kabupaten/kota apakah sudah terkait dengan sektor-sektor unggulan. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran
tentang kondisi dan peran sektor-sektor perekonomian dalam pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Timur dan faktor-faktor pendukungnya serta sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan di dalam membangun keterkaitan
antarsektor
dalam
kerangka
pengembangan
wilayah
serta
pengalokasian anggaran pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur.
Pembatasan Masalah Pembatasan masalah di dalam penyusunan karya tulis ini dilakukan karena adanya keterbatasan waktu dan biaya, serta penulisan diharapkan dapat lebih terfokus. Pembatasan permasalahan dilakukan pada beberapa hal sebagai berikut : 1. Di dalam menganalisis dan menentukan sektor unggulan, penelitian dilakukan dengan lebih memfokuskan kepada aspek ekonomi dari masing-masing sektor perekonomian. Tanpa mengabaikan aspek-aspek lainnya seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan maka pembahasan pada aspek-aspek tersebut akan dilakukan secara deskriptif untuk mendukung pembahasan pada aspek perekonomian. 2. Keterkaitan antara sektor unggulan dengan alokasi anggaran yang dicerminkan di dalam APBD pemerintah pada kabupaten/kota di Jawa Timur, maka pembahasan hanya melihat keterkaitan antara pola alokasi anggaran dengan sektor unggulan tanpa melakukan pembahasan atau analisis lebih lanjut mengenai optimalisasi anggaran yang semestinya atau ideal.
TINJAUAN PUSTAKA Sektor Unggulan Perencanaan pembangunan wilayah dari sudut pandang aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pertumbuhan yang selanjutnya diikuti oleh kegiatan investasi pembangunan baik investasi pemerintah maupun swasta. Berbagai keterbatasan sumber daya dan sumber pendanaan yang dimiliki oleh suatu daerah menuntut kejelian pemerintah daerah untuk menentukan suatu skala prioritas pembangunan. Tidak mungkin bagi suatu daerah untuk membiayai semua sektor secara bersama-sama karena keterbatasan sumber pendanaan. Untuk itu perlu ditetapkan suatu sektor unggulan (leading sector) dimana sektor ini diharapkan dapat menggerakkan sektor-sektor lainnya. Dalam analisis input output menurut Arief (1993), kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan sektor unggulan (leading sector) adalah sektor-sektor yang : a. mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage) yang relatif tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya b. menghasilkan
output
bruto
yang
relatif
tinggi
sehingga
mampu
mempertahankan permintaan akhir yang relatif tinggi pula c. mampu menghasilkan penerimaan devisa yang relatif tinggi d. mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang relatif tinggi Selanjutnya Amir dan Nazara (2005), menyatakan juga bahwa sektor-sektor dengan angka pengganda output (output multiplier) yang besar mempunyai potensi menjadi sektor unggulan dalam pembangunan perekonomian daerah. Menurut Rustiadi et al. (2004), bahwa syarat suatu sektor layak dijadikan sebagai unggulan di dalam perekonomian daerah ialah memiliki kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pencapaian tujuan pembangunan perekonomian daerah serta mempunyai keterkaitan dengan sektorsektor lainnya baik ke depan dan ke belakang yang besar.
11
Di sisi lain, menurut Saefulhakim (2004a), skala prioritas di dalam pembangunan diperlukan atas pemahaman bahwa: (a) setiap sektor mempunyai sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional); (b) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (c) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumber daya alam, buatan, dan sosial yang ada. Penentuan
peranan
sektor-sektor
pembangunan
dalam
konsep
pengembangan wilayah diharapkan dapat mewujudkan keserasian antarsektor pembangunan sehingga dapat meminimalisasikan inkompatibilitas antarsektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan antarsektor baik ke depan maupun ke belakang, dan proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju serta menghindari kebocoran dan kemubaziran sumber daya (Anwar dan Hadi 1996). Untuk mengetahui prioritas pembangunan sektoral yang mengarah pada sektor unggulan, maka perlu diketahui dampak antarsektor dalam perekonomian. Dampak keterkaitan antarsektor akan memberikan gambaran yang jelas mengenai sektor-sektor yang mempunyai peranan besar, baik bagi sektornya sendiri maupun sektor lainnya (Miyarto et al. 1993). Dengan demikian kebijakan yang berkaitan dengan perencanaan perekonomian wilayah akan lebih diprioritaskan pada sektor tersebut.
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Perencanaan telah didefinisikan secara berbeda-beda, namun dalam pengertian yang sederhana, perencanaan adalah suatu cara rasional untuk mempersiapkan masa depan (Kelly dan Becker 2000) dalam Rustiadi et al. (2004). Sedangkan Kay dan Alder (1999), menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Dari berbagai pendapat dan definisi yang dikembangkan mengenai perencanaan secara umum
12
hampir selalu terdapat dua unsur penting, yakni (1) unsur hal yang ingin dicapai dan (2) unsur cara untuk mencapainya. Pada tingkat daerah, regional, atau wilayah, khususnya pada perencanaan ekonomi regional, para pelaksana dan pengambil keputusan menghadapi tantangan bagaimana caranya agar perekonomian wilayah tersebut dapat mencapai keadaan yang lebih baik di masa mendatang dibandingkan dengan keadaan sekarang. Pada daerah yang belum berkembang, Hirschman dalam Todaro (1989), mengemukakan bahwa pembangunan tak seimbang adalah pola pembangunan yang lebih cocok untuk mempercepat proses pembangunan daerah. Alasan yang mendasari pembangunan tidak seimbang adalah : 1. secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang 2. untuk mempertinggi efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia 3. pembangunan tidak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottlenecks) atau gangguan-gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya. Lebih lanjut Hirschman mengatakan bahwa proses pembangunan yang terjadi antara dua periode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju berbeda, yang berarti pula pembangunan berjalan dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Pembangunan tidak seimbang ini juga dianggap lebih sesuai untuk dilaksanakan di negara atau daerah berkembang karena daerah-daerah tersebut
juga
menghadapi masalah kekurangan sumber daya. Pengembangan wilayah merupakan berbagai upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan,
dan
ketimpangan
kesejahteraan
antarwilayah.
Konsep
pengembangan wilayah setidaknya didasarkan pada prinsip (1) berbasis sektor unggulan, (2) dilakukan atas dasar karakteristik daerah, (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu, (4) mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang, dan (5) dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi (Herry 2004). Sedangkan Nelson dalam Sutriadi (2002), menyatakan bahwa pengembangan wilayah adalah langkah atau tindakan yang dapat mengubah
13
produktivitas daerah melalui penduduk, tenaga kerja, tingkat pendapatan, dan nilai tambah yang diperoleh melalui industri. Perubahan tersebut juga akan terjadi pada pengembangan dari aspek sosial seperti peningkatan kualitas prasarana dan sarana publik, kesejahteraan, dan kualitas lingkungan. Selanjutnya
Sutriadi
menyatakan
bahwa
dalam
prakteknya
teori
pengembangan wilayah telah melalui beberapa tahapan, diantaranya adalah a. Teori Neo Klasik, Arthur Lewis berpendapat bahwa tingkat pendapatan suatu wilayah tidak akan berbeda jauh dibandingkan dengan wilayah lainnya mengingat aliran kapital akan selalu berpindah sesuai dengan mekanisme demand dan supply. b. Teori Economic Base, pada dasarnya aktivitas yang terdapat di dalam suatu wilayah terbagi menjadi dua, yaitu sektor basis (aktivitas ekonomi yang berorientasi ekspor) dan sektor non basis/servis (aktivitas ekonomi yang melayani sektor basis). Perkembangan wilayah akan sangat tergantung dari fungsi aktivitas basis yang dimilikinya. c. Teori Pentahapan Wilayah, diperkenalkan oleh Rostow yang berpendapat bahwa perkembangan wilayah harus melalui lima fase, yaitu subsistensi, spesialisasi lokal, perdagangan antarwilayah, industrialisasi, dan spesialisasi industri tersier. d. Teori Pertumbuhan Wilayah Tidak Seimbang (Imbalanced Growth), dikemukakan oleh Myrdal yang beranggapan bahwa terdapat dua proses yang bekerja bersama dalam pengembangan wilayah, yakni backwash effect (proses pengurasan sumber daya wilayah terbelakang oleh wilayah maju) dan spread effect (gaya yang ditimbulkan oleh wilayah yang maju untuk mendorong pengembangan wilayah belakang atau hinterland). Secara simplistik, konsep pengembangan wilayah sendiri terbagi dua dan saling
berseberangan,
dominasi
pertama
menyatakan
bahwa
dalam
mengembangkan suatu wilayah harus berawal dari penentuan kebijakan yang berasal dari pusat dengan anggapan bahwa pengembangan wilayah tidak dapat dilakukan secara serentak melainkan harus melalui beberapa sektor unggulan (leading sector) yang kemudian akan menjalar kepada sektor-sektor lainnya dan
14
perekonomian secara keseluruhan. Proses ini terjadi karena adanya keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Sedangkan konsep lainnya beranggapan bahwa pengembangan wilayah harus dimulai dari dalam ’wilayah’ itu sendiri (development from below) yang bertujuan untuk menciptakan wilayah otonomi melalui integrasi berbagai sektor yang terdapat di dalam wilayah tersebut. Pada intinya, pengembangan wilayah bertujuan untuk (1) mendayagunakan sumber daya alam secara optimal melalui pengembangan ekonomi lokal, (2) mengurangi kesenjangan antarwilayah, (3) pembangunan berkelanjutan dengan tidak melakukan eksploitasi secara berlebihan, dan (4) mempertahankan atau meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi regional. Namun dalam mencapai tujuan ini, tidak semua tujuan dapat dicapai secara bersama-sama karena adanya keterbatasan-keterbatasan, oleh karena itu tujuan pengembangan wilayah hanya difokuskan pada satu tujuan tanpa mengabaikan tujuan yang lainnya.
Perencanaan dan Keuangan Daerah Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk mampu menciptakan sistem manajemen yamg mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah. Salah satu aspek dari pemerintah daerah yang harus diatur dengan hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah juga didukung oleh peran kelembagaan. Kelembagaan mempunyai dua pengertian, yaitu kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dan kelembagaan sebagai suatu organisasi. Dalam pengertian ekonomi, kelembagaan sebagai organisasi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh sistem harga-harga tetapi oleh mekanisme kewenangan administrasi. Adanya perubahan institusi (otonomi daerah) akan berdampak terhadap keragaan sistem organisasi kelembagaan pada kegiatan sektor ekonomi secara keseluruhan. Kebijakan otonomi daerah secara langsung atau tidak langsung akan
15
berpengaruh dalam pelaksanaan pembangunan di daerah secara sektoral maupun regional. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka pemerintah daerah harus didukung oleh dengan sumbersumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun subsidi/bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi di bidang administrasi antara lain berkenaan dengan transfer personal pegawai termasuk penggajiannya yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Landiyanto (2005), mengemukakan bahwa prinsip money follow function belum berjalan dengan efektif karena pelimpahan personil pegawai pemerintah pusat ke pemerintah daerah diikuti oleh penggajian yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sehingga keuangan pemerintah daerah menjadi berat dengan kewajiban membayar gaji pegawai negeri. Lebih lanjut Lewis (2001) dalam Landiyanto (2005),
menyatakan bahwa hal ini terjadi karena Dana Alokasi
Umum (DAU ) yang menjadi sumber penerimaan terbesar dalam pendapatan daerah pada umumnya sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin sehingga anggaran pembangunan menjadi kecil. Menurut
Riyadi
dan
Bratakusumah
(2004),
sistem
perencanaan
pembangunan di Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi empat tahap perencanaan pembangunan, dimana satu dengan yang lainnya saling terkait. Tahapan-tahapan tersebut adalah : 1. Tahap perencanaan kebijakan pembangunan, perencanaan yang disusun lebih bersifat
politis
dengan
mengemukakan
berbagai
kebijakan
umum
pembangunan sebagai suatu produk kebijakan nasional. 2. Tahap perencanaan program pembangunan, perencanaan pembangunan yang sudah disusun lebih khusus dan mencerminkan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk program-program pemerintah,
16
3. Tahap perencanaan strategis pembangunan, perencanaan pembangunan lebih terfokus pada sektor-sektor pembangunan yang akan diimplementasikan oleh instansi-instansi teknis 4. Tahap perencanaan operasional pembangunan, perencanaan pembangunan sudah
lebih
teknis
dan
operasional
sampai
pada
tahapan
detail
pelaksanaannya. Tahapan ini sudah dipolakan dalam bentuk tahunan. Perkembangan otonomi daerah bukan berarti harus memisahkan antara konsep-konsep pembangunan daerah dengan pusat melainkan tetap harus berjalan seiring dan harmonis. Perbedaannya adalah, dengan berlakunya otonomi daerah, pembangunan yang dulunya cenderung lebih sentralistik
dan menempatkan
daerah sebagai bawahan pusat telah berubah dengan lebih menempatkan daerah sebagai partner dari pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan nasional. Sebelum UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional berlaku, perencanaan pembangunan selama ini mengacu kepada GBHN yang ditetapkan oleh MPR dan dilaksanakan oleh presiden selaku mandataris. Bagi daerah perencanaan yang akan dilaksanakan tersebut dijabarkan lebih lanjut di dalam Pola Dasar (POLDAS) yang mengacu kepada GBHN yang telah ditetapkan. Selanjutnya POLDAS akan dirinci lebih lanjut di dalam Propeda yang mempunyai dimensi waktu lima tahun dan Renstra yang berlaku selama 1 tahun. Pelaksanaaan operasional lebih lanjut dirinci di dalam APBD yang ditetapkan tiap-tiap
tahun
oleh
gubernur/bupati/walikota
atas
persetujuan
DPRD
provinsi/kabupaten/kota. Berubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang salah satunya adalah pemilihan presiden secara langsung, membawa konsekuensi tidak adanya lagi mandaris MPR sehingga secara otomatis GBHN juga tidak ada lagi. Program yang akan dilaksanakan oleh presiden terpilih adalah visi, misi, dan strategi yang disampaikan pada saat kampanye pemilihan umum. Namun, hal ini bukan berarti sistem perencanaan pembangunan secara nasional tidak diperlukan lagi. Untuk menjaga kesinambungan perencanaan pembangunan nasional maka ditetapkan UU No 25/2004.
17
UUD 1945
GBHN
PUSAT
PROPENAS
RENSTRA DEPT/LEMBAGA REPETA / APBN
POLDAS
PROPINSI
PROPEDA
RENSTRA (Daerah/Dinas)
APBD PROP.
KABUPATEN/KOTA
POLDAS
PROPEDA
RENSTRA (Daerah/Dinas)
APBD Kab/ Kota
Sumber : Riyadi dan Bratakusumah D S (2004).
Gambar 3 Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sebelum UU 25/2004.
PEMERINTAH PUSAT
RENSTRA KL
RENJA KL
Pedoman
RPJP NASIONAL Diacu
PEMERINTAH DAERAH
Pedoman
RPJP DAERAH
Pedoman
RPJM NASIONAL
RJA-KL
RINCIAN APBN
RAPBN
APBN
RAPBD
APBD
RJA-KL
RINCIAN APBN
Diacu Dijabarkan
RKP
Pedoman
Diperhatikan
Pedoman
RPJM DAERAH
RENSTRA KL
RKP DAERAH
Dijabarkan
Pedoman
Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20 Tahun
Pedoman
Pedoman
Diacu
Pedoman
Rencana Pembangunan Jangka Menengah 5 Tahun
RENJA KL
Pedoman
Rencana Pembangunan Tahunan 1 Tahun
UU 25 TAHUN 2004 - SPPN
UU 17 TAHUN 2004 - KN
Sumber : UU 17 Tahun 2004 dan 25 Tahun 2004.
Gambar 4 Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sesuai UU 25/2004 dan mekanisme penyusunan APBD dan APBD sesuai UU 17/2004. Dalam undang-undang ini, perencanaan pembangunan dibagi dalam tiga dimensi waktu, yaitu jangka panjang 25 tahun, jangka menengah 5 tahun, dan rencana pembangunan tahunan. Oleh karena itu, dalam penyampaian visi, misi, dan strategi pemilihan presiden berikutnya harus mengacu kepada perencanaan
18
pembangunan
25
tahun
mendatang
sehingga
terjadi
kesinambungan
antarpimpinan. Hal ini juga berlaku di dalam pemilihan kepada daerah, karena Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) mengacu kepada RPJP Nasional.
Sumber Pendapatan Daerah Bentuk dan hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah semenjak berlakunya otonomi daerah meliputi hubungan desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan pinjaman daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi didanai melalui APBD, urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh gubernur/bupati /walikota dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai melalui APBN, sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan didanai atas beban anggaran pemerintah yang menugaskan. Sumber-sumber pendanaan pemerintah daerah sesuai UU 33 Tahun 2004 terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam melaksanakan otonomi daerah sebagai perwujudan azas desentralisasi. Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN. Terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah. serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintah antardaerah. Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola
19
secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. SUMBER SUMBER PENDANAAN DAERAH
Pemerintah DanaAlokasi Khusus
Pengelolaan Daerah Yg Dipisahkan
Dana Alokasi Umum
Retribusi Daerah
Dana Bagi Hasil
Pajak Daerah
Lembaga Keuangan Bank
Pemerintah Daerah Lain
Lembaga Keuangan Bukan Bank
Lain-Lain PAD Yang Sah
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
DanaDarurat
Pinjaman Daerah
Asing
Dana Perimbangan
HibahYangBerasal Dari Pemerintahan
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Masyarakat
PBB
Digunakan Untuk Mendanai Kegiatan Khusus di Luar DAU
BPHTB PPh Psl 25, Psl 29, Psl 21 Kehutanan Pertambangan Umum Perikanan Pertambangan Minyak Bumi Pertambangan Gas Bumi Pertambangan Panas Bumi
Sumber : Dimodifikasi dari Riyadi dan Bratakusumah D S (2004).
Gambar 5 Sumber-sumber pendanaan daerah. Dari empat komponen sumber pendanaan bagi pemerintah daerah sebagaimana Gambar 5, sumber pendanaan yang berasal dari dana perimbangan masih merupakan komponen yang paling besar dibandingkan dengan sumbersumber pendanaan yang lainnya. Hal ini bisa diartikan bahwa masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat di dalam memperoleh dana bagi pelaksanaan pembangunan. Menurut Sidiq (2002), pola bagi hasil ini akan menimbulkan ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antardaerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi SDA dan pajak yang sangat signifikan. Sementara ini berkembang tuntutan dari daerahdaerah untuk mendapatkan bagi hasil dari penerimaan pusat lainnya di luar yang
20
sudah dibagihasilkan. Opsi yang berkembang menurut Sidiq (2002) adalah ’piggy backing’ atau opsen, yaitu penetapan tambahan atas pajak pusat yang besar tarif penetapan tambahannya ditentukan oleh pemerintah daerah sendiri.
Dana Bagi Hasil Dana Perimbangan yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) bersumber dari penerimaan pajak dan sumber daya alam. Untuk mengurangi kesenjangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil. Tabel 1 Sumber dan besar dana bagi hasil Daerah No
Jenis
1 PBB
Dasar Bagi Hasil Total Penerimaan
Pusat
Propinsi
Kabupaten/Kota Penghasil
10%
16,2%
64,8%
Daerah Bukan Jumlah Keterangan Penghasil 81% Upah Pungut 9 persen
2 BPHTB
Total Penerimaan
20%
16%
64%
-
80%
3 PPh Psl. 21, 25, 29 4 Kehutanan -IHPH -PSDH -Reboisasi 5 Pertambangan Umum - Iuran Tetap - Royalti 6 Perikanan
Total Penerimaan
80%
12%
8%
-
20%
Total Penerimaan Total Penerimaan Total Penerimaan
20% 20% 60%
16% 16% -
64% 32% 40%
32% -
80% 80% 40%
Total Penerimaan Total Penerimaan Total Penerimaan
20% 20% 20%
16% 16% -
64% 32% 80%
32% -
80% 80% 80%
Penerimaan dlm wilayah setelah dikurangi pajak Penerimaan dlm wilayah setelah dikurangi pajak
85%
3%
6%
6%
15%
70%
6%
12%
12%
30%
20%
16%
32%
32%
80%
7 Pertambangan Minyak Bumi 8 Pertambangan Gas Bumi 9 Pertambangan Panas Bumi
Bagian pusat dikembalikan lg ke daerah Bagian pusat dikembalikan lg ke daerah
Dibagi merata kepada seluruh kab/kota
Sumber : UU No. 33 Tahun 2004.
Dana Alokasi Umum Tujuan dari Dana Alokasi Umum adalah untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah .
21
Jumlah total DAU dialokasikan sebesar minimal 26 persen dari pendapatan dalam negeri netto yang telah ditetapkan dalam APBN (Pasal 27 UU 33/2004). Dengan dana perimbangan ini, diharapkan akan memberikan kepastian bagi pemerintah daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Kebutuhan DAU oleh suatu daerah ditentukan dengan menggunakan pendekatan fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Berdasarkan konsep fiscal gap ini, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif lebih besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang besar.
Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus adalah dana yang disediakan di dalam APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 jo PP Nomor 104 Tahun 2000, DAK dialokasikan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan memperhatikan ketersediaan dana dari APBN. Kriteria kebutuhan khusus tersebut meliputi, pertama, kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus alokasi umum, kedua, kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, dan ketiga, kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil. Berdasarkan kriteria kebutuhan khusus tersebut, DAK dibedakan atas DAK dana reboisasi (DAK DR) dan DAK nondana reboisasi (DAK Non-DR). Halim (2001) dalam Landiyanto (2005), mengemukakan bahwa ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah: (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, dan (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus
22
menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Musgrave (1984), menyatakan dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, ⎛ PAD ⎞ antara lain (1) perbandingan PAD terhadap total penerimaan daerah ⎜ ⎟ , (2) ⎝ TPD ⎠
perbandingan antara bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total penerimaan ⎛ BHPBP ⎞ daerah ⎜ ⎟ , dan (3) perbandingan antara sumbangan pemerintah pusat ⎝ TPD ⎠ ⎛ Sum ⎞ terhadap total penerimaan daerah ⎜ ⎟. ⎝ TPD ⎠
Selain itu, dalam melihat kinerja keuangan daerah, dapat menggunakan derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah, menurut Halim (2001), dilakukan dengan melakukan penghitungan terhadap: (1) perbandingan antara penerimaan asli daerah terhadap total pengeluaran daerah, (2) perbandingan antara penerimaan asli daerah terhadap pengeluaran rutin, (3) perbandingan antara penerimaan asli daerah ditambah dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total pengeluaran pemerintah, serta (4) perbandingan antara penerimaan asli daerah ditambah dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap pengeluaran rutin daerah. Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh.
23
Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut (Landiyanto 2005).
Metode Input Output Pendekatan analisis input output merupakan kerangka komprehensif untuk menganalisis wilayah. Pendekatan ini mampu menggambarkan beragam sifat hubungan di antara sektor-sektor industri dan di antara sektor-sektor industri dengan komponen ekonomi lainnya (Isard 1972). Penerapan kerangka input output dalam perekonomian dikembangkan oleh Wasilly Leontief pada tahun 1930-an. Glasson (1977), juga menyatakan bahwa tabel input output memberikan gambaran yang komprehensif dan sistematis mengenai perekonomian regional dan dapat diperkirakan jika tersedia sumber-sumber yang diperlukan. Berbagai perkembangan telah dialami oleh alat analisis ini. Input output akhirnya bukan menjadi alat analisis dalam bidang ilmu ekonomi pembangunan tetapi menjadi salah satu pionir alat analisis pada bidang ilmu ekonomi perencanaan. Kemampuan alat analisis ini untuk melihat sektor demi sektor dalam perekonomian hingga tingkat yang sangat rinci membuat alat analisis ini cocok bagi proses perencanaan pembangunan (Nazara 1997). Berbagai manfaat atau kegunaan analisis input output menurut Tarigan (2004), antara lain : 1. menggambarkan keterkaitan antarsektor sehinga memperluas wawasan terhadap perekonomian wilayah. 2. dapat digunakan untuk mengetahui daya menarik (backward linkage) dan daya mendorong (forward linkage) dari setiap sektor sehingga mudah menetapkan sektor mana yang dijadikan sebagai sektor strategis dalam perencanaan pembangunan perekonomian wilayah. 3. dapat meramalkan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan tingkat kemakmuran
24
4. sebagai salah satu alat analisis yang penting dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah karena bisa melihat permasalahan secara komprehensif. 5. dapat digunakan sebagai bahan menghitung kebutuhan tenaga kerja dan modal dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah. Tabel input output pada hakekatnya merupakan suatu sistem pencatatan transaksi, maka dalam proses penyusunannya digunakan beberapa asumsi. Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam penyusunan tabel input output adalah 1. Homogenitas, yaitu asumsi bahwa satu sektor hanya akan menghasilkan satu jenis output dengan struktur input yang tunggal dan tidak ada substitusi otomatis antaroutput dan sektor yang berbeda. 2. Proporsionalitas, yaitu kenaikan penggunaan input oleh suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan output yang dihasilkan oleh sektor tersebut. 3. Aditivitas, asumsi bahwa jumlah pengaruh dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan hasil penjumlahan dari setiap pengaruh pada masing-masing sektor tersebut. Asumsi ini sekaligus menegaskan bahwa pengaruh yang timbul dari luar sistem input output diabaikan. Suatu contoh sederhana dari tabel I-O seperti terlihat pada Gambar 6. Kuadran pertama, menunjukkan arus barang dan jasa yang dihasilkan dan digunakan oleh sektor-sektor lainnya untuk melakukan kegiatan produksi. Kuadran ini menunjukkan distribusi dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu sektor untuk digunakan kembali sebagai bahan baku di dalam melakukan proses produksi sektor lainnya. Kuadran pertama ini juga sering disebut sebagai permintaan antara. Kuadran kedua, menunjukkan permintaan akhir dimana barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu sektor perekonomian tidak digunakan kembali untuk melakukan kegiatan berproduksi. Permintaan akhir ini terdiri atas: (a) rumah tangga, (b) pemerintah, (c) pembentukan modal tetap, (d) perubahan stock, dan (e) ekspor. Kuadran ketiga juga disebut sebagai input primer, dimana semua balas jasa yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan berproduksi dilakukan. Input primer terdiri atas: (a) upah dan gaji, (b) surplus usaha, (c) penyusutan pajak, dan (d) pajak tak langsung netto. Kuadran keempat, memperlihatkan input-input primer yang langsung didistribusikan langsung kepada sektor-sektor dalam
25
permintaan akhir. Informasi dalam kuadran keempat ini sering diabaikan di dalam melakukan analisis pada tabel I-O. Informasi secara rinci mengenai kuadran keempat ini secara rinci disajikan dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE).
Permintaan Internal Wilayah Permintaan Permintaan Antara Akhir
Input Antara Nilai Tambah
Input Internal Wilayah
1
Input Eksternal Wilayah Total Input
2 …
J
Permintaan Eksternal Wilayah
… n
C
G
I
E
Total Output
1 2 : i :
X11 X21 … … …
… … … … …
… … … … …
X1j X2j … Xij …
… … … … …
X1n X2n … … …
C1 C2 … Ci …
G1 G2 … Gi …
I1 I2 … Ii …
E1 E2 … Ei …
X1 X2 … Xi …
n
Xn1
……
Xnj
… Xnn
Cn
Gn
In
En
Xn
W
W1
……
Wj
… Wn
CW
GW
IW
EW
W
T S
T1 S1
…… ……
Tj Sj
… Tn … Sn
CT CS
GT GS
IT IS
ET ES
T S
M
M1
……
Mj
… Mn
CM
GM
IM
-
M
X1
……
Xj
… Xn
C
G
I
E
X
Sumber : Modul Permodelan (Saefulhakim 2004a).
Gambar 6 Struktur dasar Tabel Input Output. Keterangan : i,j : Sektor ekonomi: i=1,2,..,n; j=1,2,..,n Xij : Banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j Xi : Total output sektor i; Xj : total input sektor j; untuk sektor yang sama (i=j), total output sama dengan total intput (Xi=Xj) Ci : Permintaan konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i Gi : Permintaan konsumsi (pengeluaran belanja rutin) pemerintah terhadap output sektor i Ii : Permintaan pembentukan modal tetap netto (investasi) dari output sektor i; output sektor i yang menjadi barang modal Ei : Ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang diekspor/dijual ke luar wilayah, permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i Yi : Total permintaan akhir terhadap output sektor i (Yi=Ci+Gi+Ii+Ei) Wj : Pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga yang bekerja di sektor j Tj : Pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah dari sektor j
26
Sj : Surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha Mj : Impor sektor j, komponen input produksi sektor j yang diperoleh/dibeli dari luar wilayah. Secara umum, total output yang dihasilkan dari suatu sektor (Xi) merupakan total dari permintaan antara sektor (i) dengan total permintaan akhir sektor (i) tersebut juga. Demikian halnya dengan total input sektor tertentu (Xj) hasilnya diperoleh dari total input antara suatu sektor (j) ditambah dengan nilai tambah yang diperoleh serta permintaan terhadap sektor (j) tersebut dari luar negeri. Total output suatu sektor sama dengan total input sektor tersebut juga. Secara matematis, persamaan total output (Xi) dapat diperoleh sebagai berikut : n
∑X
ij
+ Fi = Xi
untuk i = 1,2,3, ..., dst
......................................(1)
j
Xij : banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j Fi : banyaknya permintaan akhir terhadap sektor i Xi : total output sektor i Sedangkan total input sektor j (Xj), diperoleh dengan pendekatan matematis sebagai berikut : n
∑X
ij
+ Vj + Mj = Xj
untuk j = 1,2,3, ..., dst
..................................... (2)
i
Xij Vj Mj Xj
: : : :
banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j banyaknya input primer dari sektor j total impor produksi sektor j total input sektor j Dengan menggunakan persamaan pertama dan kedua, maka dapat diperoleh
hubungan antara Tabel I-O dengan Produk Domestik Regional Bruto sebagai berikut, dimana total output sama dengan total input sebagai berikut : Xi =
Xj
n
∑ Xij + Vj + Mj = i
i
∑X
ij
+ Fi
(3)
...........................
(4)
...........................
(5)
j
n
n
∑ Vj + Mj
n
..........................
=
∑ Fi j
27
n
n
∑Vj i
=
∑ Fi − Mj
............................
(6)
j
Sehingga total permintaan akhir dikurangi dengan total impor sama dengan nilai tambah bruto (PDRB). Atas dasar persamaan di atas ini maka dapat dilakukan updating data Tabel I-O Jawa Timur Tahun 2000 menjadi Tabel I-O 2003.
BAHAN dan METODE Kerangka Umum Penelitian Wilayah yang berkembang dengan baik ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor dalam perekonomian, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang berlangsung secara dinamis. Pendekatan pembangunan secara sektoral dilakukan dengan jalan menganalisis sektor-sektor dalam perekonomian satu per satu untuk dilihat peluang dan potensinya. Salah satu pendekatan sektoral yang sekaligus melihat keterkaitan pertumbuhan antara satu sektor dengan sektor lainnya dan sebaliknya dilakukan dengan menggunakan metode analisis Input Output. Dengan menggunakan metode analisis tersebut, maka dapat ditetapkan berbagai sektor yang merupakan sektor unggulan dengan berbagai kriteria yang telah ditetapkan, sehingga pada akhirnya dapat ditetapkan skala prioritas tentang sektor apa yang perlu dikembangkan di wilayah tersebut berdasarkan sasaran yang ingin dicapai. Selain itu, pemahaman tentang struktur perekonomian wilayah sangat diperlukan dalam rangka mengambil kebijakan-kebijakan yang diperlukan dalam pembangunan wilayah Pengetahuan tentang karakteristik perekonomian wilayah dan sektor-sektor yang menjadi unggulan pada wilayah tersebut akan memudahkan didalam menentukan prioritas pembangunan dan pengalokasian anggaran dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Anggaran bagi suatu pemerintahan merupakan rencana kerja yang akan dilaksanakan pada satu tahun ke depan dan disajikan dalam bentuk angka-angka. Angkaangka pada sisi penerimaan mencerminkan rencana pendapatan serta sumber-sumber untuk mendapatkannya, sedangkan angka-angka pada sisi pengeluaran mencerminkan program kerja
pemerintahan
maupun
pembangunan
yang
akan
dilaksanakan.
Keterbatasan dana sebagai sumber pembiayaan dalam melaksanakan pembangunan merupakan alasan ditetapkannya suatu skala prioritas di dalam pembangunan. Penetapan prioritas dalam suatu pembangunan di daerah berarti merupakan suatu pilihan untuk melaksanakan rencana kerja dengan tujuan bahwa rencana kerja tersebut mempunyai dampak atau manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
29 Oleh karenanya, di setiap wilayah/daerah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis/unggulan akibat besarnya sumbangan yang diberikan di dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan aspek spasialnya. Pembangunan spasial akan mengarah ke desentralisasi sistem pusat kegiatan dari yang tadinya berpusat pada kotakota besar akan lebih tersebar ke arah pembangunan kota-kota kecil di wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan di luar usaha tani dan jasa-jasa pelayanan.
Kondisi Daerah - amanat otonomi daerah - keragaman sektoral dan regional - keterbatasan PAD dan sumber pembiayaan lainnya
SKENARIO KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
Sektor-Sektor Dalam Perekonomian
Sumber Daya Sumber Daya Alam Buatan
Sumber Daya Manusia
Keterbatasan Sumber Daya
Prioritas Pembangunan
Pembangunan Wilayah Yang Berkelanjutan - pertumbuhan - pemerataan - keberlanjutan Peningkatan Kinerja Pemerintah Daerah
Gambar 7 Kerangka umum penelitian.
Sumber Daya Sosial
Keterbatasan Dana Pembangunan
Alokasi Anggaran Efektif & Efisien
30 Secara ekonomis, suatu kegiatan dapat dikatakan telah dilaksanakan secara efisien apabila untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dilaksanakan dengan biaya yang seminal mungkin. Keterkaitan antara alokasi anggaran belanja dengan pemahaman atas karakteristik perekonomian wilayah dan sektor unggulan akan memberi manfaat yang besar dalam penyusunan rencana pengeluaran pemerintah. Alokasi anggaran belanja yang terkait dengan sektor unggulan akan memberi dampak terhadap sektor-sektor lainnya. Atau dapat dikatakan, dengan melakukan pembiayaan terhadap suatu sektor tertentu maka sektor lainnya akan menerima manfaat juga. Perencanaan pembangunan wilayah yang disusun secara komprehensif pada akhirnya akan meningkatkan kinerja pembangunan daerah sehingga hasil-hasil yang diharapkan dapat tercapai. Dalam pembangunan perekonomian daerah, setiap kebijakan dan kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan pembangunan di daerah pasti akan mendasarkan diri dari kekhasan yang menjadi ciri daerah yang bersangkutan, dimana kegiatan tersebut ditujukan bagi terciptanya peningkatan -- baik jumlah maupun jenis -kesempatan kerja bagi masyarakatnya, pertumbuhan perekonomian wilayah yang stabil, dan peningkatan pendapatan per kapita.
Kerangka Pendekatan Analisis Gambar tujuh sampai dengan sepuluh merupakan pola-pola pendekatan analisis, sumber data, dan tahapan-tahapan yang dilakukan di dalam menentukan sektor unggulan di Jawa Timur dan keterkaitannya dengan alokasi anggaran belanja. Dengan memahami pola-pola pendekatan analisis dan tahapan-tahapan pekerjaan yang dilakukan diharapkan dapat dilakukan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
1.
Penentuan sektor unggulan serta keterkaitan antara sektor hulu dan hilir dalam perekonomian wilayah Jawa Timur Untuk menentukan sektor unggulan pada perekonomian Jawa Timur, maka
dilakukan analisis Input Output (I-O) terhadap sektor-sektor perekonomian di Jawa Timur berdasarkan data Tabel I-O updating tahun 2003. Teknik yang digunakan untuk melakukan updating Tabel I-O tahun 2000 menjadi Tabel I-O tahun 2003 dilakukan
31 dengan menggunakan Metode RAS. Metode RAS, pertama kali dikembangkan oleh Prof. Richard Stone dari Cambridge University, Inggris (BPS 2000).
Bagan Alir Pendekatan Analisis Mengetahui Sektor Unggulan dan Keterkaitan Sektor Hulu & Hilir Pada Perekonomian Jawa Timur
TUJUAN
Sumber Data :
Data Tenaga Kerja
Tabel I-O Jatim 2003 44 Sektor
- Tabel I-O Jawa Timur Tahun 2003 (Updating) - Data Base Tenaga Kerja
Analisis Input Output
Analisis
Elemen Invers Matrik Leontief (bij)
Koefisien Input (aij) Analisis Keterkaitan
Analisis Multiplier Keterkaitan Antar Sektor : DBL, FBL, DIBL, FIBL
Dampak Multiplier : IM, PDRB-M, TM
Resume Keterkaitan Antar Sektor & Dampak Multiplier Principal Component Analysis
Kriteria Sektor Unggulan
Factor Loading
Factor Score
Analisis Sektor Unggulan
Hasil
Sektor Unggulan Prop Jatim
1
Karakteristik Keterkaitan Sektor Hilir Hulu & Dampak Multiplier
2
Gambar 8 Bagan alir analisis penentuan sektor unggulan dan hubungan keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir.
32 Analisis yang dilakukan terhadap tabel I-O updating tahun 2003 adalah analisis keterkaitan dan angka pengganda sektoral. Hasil dari perhitungan terhadap Tabel I-O updating 2003 Jawa Timur menghasilkan koefisien teknis (matriks A) dan invers matriks leontief (matriks B) yang selanjutnya diolah kembali sehingga diperoleh data mengenai keterkaitan sektoral dan angka pengganda (multiplier).
Dari hasil pengolahan data
dengan menggunakan metode I-O, akan didapatkan nilai total dari keterkaitan langsung dan tidak langsung baik ke depan maupun ke belakang sektoral. Sedangkan dari hasil analisis terhadap angka pengganda (multiplier) diperoleh nilai angka pengganda pendapatan, angka pengganda pajak, angka pengganda surplus usaha, angka pengganda PDRB, angka pengganda tenaga kerja, dan angka pengganda impor sektoral. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan menggunakan data-data dari hasil analisis terhadap tabel I-O updating Jawa Timur tahun 2003, dapat ditentukan sektorsektor yang merupakan sektor unggulan di Jawa Timur. Gambaran mengenai struktur perekonomian di Jawa Timur terutama mengenai keterkaitan antara sektor hulu dan hilir diperoleh dengan menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA) terhadap data-data yang telah diperoleh dari hasil analisis keterkaitan dan angka pengganda sektoral. Hasil dari analisis PCA juga memberikan gambaran mengenai keterkaitan sektor hulu maupun sektor hilir terhadap variabel-variabel angka pengganda gaji dan upah, angka pengganda surplus usaha, angka pengganda pajak, angka pengganda penyusutan, angka pengganda PDRB, serta angka pengganda impor sektoral. Pendekatan analisis yang dilakukan untuk mencapai tujuan pertama dan kedua, secara grafis seperti terlihat pada Gambar 8.
2.
Indentifikasi lokasi-lokasi sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur Data yang digunakan di dalam menentukan lokasi sektor unggulan di Provinsi Jawa
Timur adalah data PDRB Harga Konstan Tahun 1993 kabupaten/kota di Jawa timur dengan mengambil sampel dua titik tahun, yaitu tahun 2000 dan 2003. Jumlah sektor yang digunakan pada PDRB tersebut di atas berjumlah 41 sektor, berbeda dengan jumlah sektor pada tabel I-O yang berjumlah 44 sektor. Perbedaan ini disebabkan terjadi karena adanya beberapa sektor pada data PDRB yang tidak dirinci lebih detail sedangkan pada Tabel I-O untuk memberikan gambaran yang lebih menyeluruh dan jelas maka ada
33 beberapa sektor yang dirinci lebih lanjut. Secara umum klasifikasi yang digunakan tidak mempengaruhi hasil perhitungan untuk indentifikasi lokasi sektor unggulan di Jawa Timur. Perbedaaan klasifikasi yang digunakan secara lebih jelas seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Klasifikasi sektoral data PDRB harga konstan tahun 2000 dan 2003 serta data Tabel I-O updating tahun 2003 DATA PADA PDRB HARGA KONSTAN TAHUN 2000 DATA PADA TABEL I-O UPDATING 2003 JAWA TIMUR DAN 2003 Kode Kode Sektor Sektor Sektor Sektor 1 Tanaman Bahan Makanan 1 Padi 2 Jagung 3 Ketela Pohon 4 Kedelai 5 Sayur-sayuran 6 Buah-Buahan 7 Umbi-Umbian 8 Kacang Tanah 9 Kacang-Kacang Lainnya 2 Tanaman Perkebunan 10 Tebu 11 Tembakau 12 Tanaman Perekebunan Lainnya 3 Peternakan 13 Peternakan 4 Kehutanan 14 Kehutanan 5 Perikanan 15 Perikanan 6 Pertambangan Migas 16 Pertambangan Migas 7 Pertambangan Non Migas 17 Pertambangan Non Migas 8 Penggalian 18 Penggalian 9 Makanan, Minuman dan Tembakau 19 Makanan, Minuman, dan Tembakau 10 Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki 20 Telstil, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki 11 Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya 21 Barang dari Kayu dan Hasil Hutan Lainnya 12 Kertas dan Barang Cetakan 22 Kertas dan Barang Cetakan 13 Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 23 Pupuk, Kimia, dan Barang dari Karet 28 Pengilangan Minyak 14 Semen dan Barang Galian Bukan Logam 24 Semen dan Barang Galian Bukan Logam 15 Logam Dasar Besi dan Baja 25 Logam Dasar Besi dan Baja 16 Alat Angkutan Mesin dan Peralatan 26 Alat Angkutan Mesin dan Peralatan 17 Barang Lainnya 27 Barang Lainnya 18 Listrik 29 Listrik, Gas, dan Air Bersih 19 Gas 20 Air Bersih 21 Bangunan dan Konstruksi 30 Bangunan dan Konstruksi 22 Perdagangan 31 Perdagangan 23 Hotel 32 Hotel 24 Restoran 33 Restoran 25 Angkutan Rel 34 Angkutan Rel 26 Angkutan Jalan Raya 35 Angkutan Jalan Raya 27 Angkutan Laut 36 Angkutan Laut 28 Angkutan Penyeberangan 37 Angkutan Penyeberangan 29 Angkutan Udara 38 Angkutan Udara 30 Jasa Penunjang Angkutan 39 Jasa Penunjang Angkutan 31 Pos dan Telekomunikasi 40 Pos dan Telekomunikasi 32 Jasa Penunjang Telekomunikasi 41 Jasa Penunjang Telekomunikasi 33 Bank 42 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 34 Lembaga Keuangan Bukan Bank 35 Jasa Penunjang Keuangan 36 Sewa Bangunan 37 Jasa Perusahaan 38 Pemerintahan Umum 43 Pemerintahan Umum 39 Jasa Sosial Kemasyarakatan 44 Jasa-Jasa 40 Jasa Hiburan dan Kebudayaan 41 Jasa Perorangan dan RT
34 Analisis yang digunakan untuk indentifikasi lokasi sektor unggulan di Jawa Timur adalah metode Locational Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Sektor-sektor yang dianalisis dengan menggunakan kedua metode tersebut adalah sektor-sektor yang yang merupakan sektor unggulan dari hasil analisis terhadap Tabel I-O updating 2003 Jawa Timur. Dari analisis LQ, dapat diketahui pemusatan-pemusatan aktivitas sektor unggulan Provinsi Jawa Timur pada kabupaten/kota yang ditandai dengan nilai LQ > 1. Dari hasil analisis SSA dapat diperoleh data mengenai differential shift (DS) yang menggambarkan bahwa sektor-sektor unggulan mempunyai daya saing atau tingkat kompetitif yang bagus pada kabupaten/kota tertentu di Jawa timur. Indikator yang digunakan adalah nilai DS ≥ 0. Bagan Alir Pendekatan Analisis
TUJUAN
Lokasi Sektor Unggulan di Jawa Timur
Sektor Unggulan Prop Jatim
2
Sumber Data : Publikasi PDRB Jatim Harga Konstan 1993 Tahun 2000 dan 2003
Analisis
Hasil
PDRB Harga Konstan Kab / Kota Jatim 2003
PDRB Harga Konstan Kab / Kota Jatim 2000 & 2003
Location Quotient
Shift Share Analysis
LQ ij > 1
DS ij > 0
Lokasi-Lokasi Sektor Unggulan di Jawa Timur
3
Gambar 9 Bagan alir analisis indentifikasi lokasi sektor unggulan di Jawa Timur.
35 Selanjutnya, rekomendasi arahan untuk pengembangan sektor unggulan Jawa Timur sekaligus indentifikasi lokasi sektor unggulan di Jawa Timur dapat diperoleh dengan menggunakan kriteria nilai LQ > 1 dan nilai DS ≥ 0. Kabupaten/kota di Jawa Timur yang memenuhi kedua kriteria di atas merupakan lokasi sektor-sektor unggulan di Jawa Timur. Pendekatan analisis untuk mencapai tujuan nomor tiga seperti terlihat pada Gambar 9.
3.
Keterkaitan antara alokasi belanja pembangunan terhadap sektor unggulan Analisis yang digunakan untuk mengetahui keterkaitan antara alokasi belanja
pembangunan terhadap sektor unggulan di Jawa Timur dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Data yang digunakan adalah data statistik keuangan pemerintah daerah pada seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2003. Dengan
membandingkan
antara
alokasi
belanja
pembangunan
terhadap
pengembangan dan pembangunan sektor unggulan di Jawa Timur, diharapkan dapat diketahui apakah selama otonomi daerah dilaksanakan dari tahun 2001 kebijakan pembangunan ekonomi yang telah ditempuh oleh pemerintah daerah telah sesuai dengan sektor unggulan. Apabila hasil dari analisis deskriptif menyatakan bahwa alokasi belanja pembangunan belum sesuai atau mengarah kepada sektor unggulan, maka perlu diulas secara umum mengenai kelembagaan penyusunan APBD sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ketidaktepatan di dalam alokasi anggaran belanja pembangunan. Pendekatan analisis untuk mencapai tujuan nomor empat seperti terlihat pada Gambar 10.
36 Bagan Alir Pendekatan Analisis
Keterkaitan Antara Alokasi APBD dan Sektor Unggulan
TUJUAN
SUMBER DATA Kelembagaan Penyusunan APBD
APBD
Statistik Keuangan Kab/Kota
Blj. Rutin
Blj. Pembangunan Tidak
ANALISIS DESKRITIF
Matching
2
Sektor Unggulan
Ya HASIL
Analisis Deskriptif
Terkait ?
4
Peningkatan Kinerja Pemerintah - pertumbuhan - pemerataan - keberlanjutan
Gambaran Kelembagaan Penyusunan APBD
Gambar 10 Bagan alir pendekatan analisis keterkaitan alokasi belanja pembangunan terhadap sektor unggulan.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Timur dan dilaksanakan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan mulai tahap persiapan hingga penyelesaian laporan. Pengambilan data di lapangan dimulai pada bulan Juli 2005. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh melalui BPS Pusat, BPS Jawa Timur, Bappeprop. Jawa Timur, Departemen
37 Perindustrian, dan dinas-dinas terkait lainnya. Untuk mendukung ketersedian data lainnya yang lebih lengkap, sumber data juga diakses melalui publikasi artikel maupun makalah/jurnal ilmiah dari internet. Data Tabel Input Output
Jawa Timur tahun 2003 diperoleh dengan jalan
melakukan updating atas dasar Tabel Input Output Provinsi Jawa Timur Tahun 2000 dengan menggunakan metode RAS. Sektor-sektor perekonomian dirinci ke dalam 44 sektor sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Sektor-sektor dalam Tabel I-O Jawa Timur updating tahun 2003 SEKTOR-SEKTOR PADA TABEL I-O UPDATING 2003 JAWA TIMUR Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Sektor Padi Jagung Ketela Pohon Kedelai Sayur-sayuran Buah-buahan Umbi-umbian Kacang tanah Kacang-kacang lainnya Tebu Tembakau Tanaman Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Non Migas Penggalian Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya Kertas dan Barang Cetakan
Kode Sektor 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Sektor Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Semen dan Barang Galian Bukan Logam Logam Dasar Besi dan Baja Alat Angkutan Mesin dan Peralatan Barang Lainnya Pengilangan Minyak Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan Hotel Restoran Angkutan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan Penyeberangan Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan Pos dan Telekomunikasi Jasa Penunjang Telekomunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-Jasa
Selain data tabel input output, digunakan juga data-data sekunder lainnya untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan antara lain berupa (a) PDRB Jawa Timur tahun 2000 sampai dengan 2003 atas dasar harga konstan dan berlaku, (b) data APBD provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2000 sampai dengan 2003. Untuk melengkapi hasil analisis digunakan juga data-data publikasi dari BPS selain di atas maupun dari dinas-dinas terkait lainnya dan peta administrasi Provinsi Jawa Timur.
38 Metode Analisis 1.
Metode RAS Tabel Input Output terdiri dari tiga kuadran, yaitu Kuadran I, II, dan III. Kuadran I
merupakan matriks koefisien input, Kuadran II merupakan matriks permintaan akhir, dan Kuadran III adalah matriks input primer. Koefisien input pada Kuadran I (Matriks A) untuk memperolehnya harus melalui survei secara langsung dan lengkap. Permasalahan yang timbul adalah apabila kita akan melakukan rekonstruksi (updating) tabel I-O menjadi tabel tahun yang terbaru, sedangkan data pada Kuadran I tidak tersedia. Untuk itu salah satu metode yang sering umum digunakan untuk melakukan updating tabel I-O menjadi tabel yang terbaru dilakukan dengan Metode RAS. Secara sederhana, Metode RAS merupakan metode yang digunakan untuk memperkirakan matriks koefisien input yang baru pada tahun
t ”A(t)” dengan
menggunakan informasi koefisien input tahun dasar ”A(0)”, total permintaan antara tahun ”t”, dan total input antara tahun ”t”. Matriks koefisien input tahun ke ”t” diperoleh dengan rumus A(t) = R A(0) S dimana R = matriks diagonal yang elemen-elemennya menunjukkan pengaruh substitusi dan S = matriks diagonal yang elemen-elemennya menggambarkan pengaruh fabrikasi. Pengaruh substitusi menunjukkan seberapa jauh suatu komoditi (menurut baris dalam tabel I-O) dapat digantikan oleh komoditi lain dalam suatu proses produksi. Pengaruh fabrikasi menyatakan bahwa seberapa jauh suatu sektor (menurut kolom dalam tabel I-O) dapat menyerap input antara dari total input yang tersedia. Data yang digunakan untuk melakukan updating Tabel I-O Jawa Timur 2003 adalah Tabel I-O Jawa Timur tahun 2000 dengan dimensi 100 x 100 sektor, PDRB 44 sektor menurut harga berlaku tahun 2000, PDRB 44 sektor menurut harga berlaku tahun 2003, total permintaan akhir atau total PDRB harga berlaku tahun 2003 menurut penggunaan, serta data impor tahun 2003 dengan asumsi proporsi nilai impor masingmasing sektor sama dengan nilai impor tahun 2000. Data Tabel I-O Jawa Timur tahun 2000 dimensi 100 x 100 sektor direklasifikasi terlebih dahulu menjadi Tabel I-O Jawa Timur tahun 2000 dimensi 44 x 44 sektor sehingga tabel input output yang baru mempunyai sektor yang sama sebagaimana
39 ditunjukkan Tabel 3. Selanjutnya dilakukan pendugaan terhadap koefisien PDRB tahun 2000 sebagai dasar pendugaan total input atau ouput Tabel I-O updating tahun 2003.
TABEL I-O JAWA TIMUR TAHUN 2000 100 SEKTOR
-PDRB SEKTORAL 2003 -PDRB SEKTORAL 2003 -FINAL DEMAND 2003 -FINAL DEMAND 2003 -IMPOR2003 2003 -IMPOR
Reklasifikasi TABEL I-O JAWA TIMUR TAHUN 2000 44 SEKTOR
KOEF.INPUT INPUTTABEL TABELI-O I-O KOEF. TAHUN 2000 TAHUN 2000 44 SEKTOR 44 SEKTOR
KOEFISIEN PDRB SEKTORAL =
TOT.INPUT INPUTSEKTORAL SEKTORAL2003 2003== TOT.
PDRB SEKTORAL 2000
PDRB SEKTORAL 2003 PDRB SEKTORAL 2003
TOT. INPUT SEKTORAL 2000
KOEF.PDRB PDRBSEKTORAL SEKTORAL2000 2000 KOEF.
METODE RAS DGN. OPTIMASI SOFTWARE GAMS
TABEL I-O JATIM 2003 44 SEKTOR
Gambar 11 Bagan alir updating Tabel Input Output. Berdasarkan data hasil pendugaan terhadap total input/output sektoral tahun 2003, koefisien input (matriks A) Tabel Input Output tahun 2000, total permintaan akhir tahun 2003, serta nilai impor sektoral tahun 2003 dilakukan pendugaan koefisien input (matriks A) Tabel Input Output tahun 2003 dimensi 44 x 44 sektor dengan menggunakan metode RAS. Secara rinci langkah-langkah atau perintah program rekontruksi matriks A tabel IO tahun 2003 sebagaimana terlihat pada Lampiran 1. Secara matematis metode RAS dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut n
∑
rixij(0)sj
= bi
i = 1,2,3, ..., dst
................
(7)
rixij(0)sj
= ki
i = 1,2,3, ..., dst
................
(8)
i =1
n
∑ j =1
Keterangan : Xij(0) = input antara sektor j yang berasal dari output sektor i tahun dasar r i , sj = elemen matriks diagonal R dan S = jumlah permintaan antara sektor i tahun ”t” (faktor pembatas) bi
40 kj
= jumlah input antara sektor j tahun ”t” (faktor pembatas) Saefulhakim (2002), menyatakan bahwa pendugaan Tabel Input Output tanpa
metode survei dapat dirumuskan sebagai cara untuk mencari koefisien teknis untuk tabel input output pada tahun tertentu yang memenuhi kriteria (1) paling mirip dengan matriks koefisien teknis dari tabel I-O pada tahun dasar dan (2) dengan menggunakan koefisien teknis yang dihasilkan tersebut operasi matematis tabel input output dapat memberikan hasil yang fit dengan data yang dimiliki tentang total input, total output, total nilai tambah, dan total permintaan akhir untuk masing-masing sektor yang diduga. Rumusan matematis dari permasalahan yang digunakan untuk metode RAS adalah sebagai berikut : t
0
min I ( aij ; aij) =
n
n
i =1
j =1
∑∑
t
⎛ t aij aij . ln ⎜⎜ o ⎝ aij
⎞ ⎟⎟ ⎠
............................... (9)
dengan fungsi kendala t
Qj
n
∑
t
aij = t Q j – t V j
.............................................. (10)
aij t Q j = t Q i – t F i
.............................................. (11)
i =1
n
∑
t
j =1
Keterangan : o
aij
: Elemen baris ke-i kolom ke-j dari matriks koefisien teknis Tabel I-O yang sudah ada untuk tahun dasar t aij : Elemen baris ke-i kolom ke-j dari matriks koefisien teknis Tabel I-O yang sudah ada untuk tahun ke-t tertentu t 0 I ( aij ; aij) : Kandungan informasi (information content), ukuran adanya perbedaan struktur koefisien teknis antara Tabel I-O pada tahun dasar dengan Tabel IO pada tahun ke-t yang diduga t Qj : Total input sektor ke-j pada tahun ke-t t Qi : Total output sektor ke-i pada tahun ke-t. Untuk sektor tertentu yang sama (i = j), maka total output sama dengan total input (tQi = tQj) t Vj : Total nilai tambah (total value added) yang dihasilkan oleh sektor ke-j pada tahun ke-t t Fj : Total permintaan akhir (total final demand) yang dihasilkan oleh sektor ke-j pada tahun ke-t Dari rumus di atas dapat dilakukan rumus turunan yang lain, karena koefisien teknis tahun asal ada yang bernilai nol (kosong) sehingga hasilnya tidak terdefinisikan (undefined). Rumus pendugaan dengan menggunakan software GAMS tersebut adalah :
41
min I (taij ;0aij) =
n
∑∑ i =1
+
Qij − QBij + QBij
n
QWij
.
j =1
n
∑
FWi
i =1
.
Fi − FBi + FBi
n
∑
TWi
i =1
n
∑
MWj
.
j =1
.
Ti − TBi TBi
Mj − MBj .............(12) MBj
dengan fungsi kendalanya sebagai berikut : Tj
=
n
∑
Qij + M j + VB j
Æ Coloum Balance … (13)
Qij + F i
Æ Row Balance …… (14)
i =1
n
Ti
=
∑ j =1
n
Total Impor
=
∑
Mj + FM = TotM
……………… (15)
j =1
Total Final Demand
=
n
∑
Fi + FF
= TotF ………………………. (16)
i =1
Total Balance
=
TotV + TotM – TotF = 0 …………. ……….. (17)
Keterangan : QWij
: Elemen baris ke-i kolom ke-j dari matriks koefisien teknis Tabel I-O yang sudah ada untuk tahun dasar Qij : Elemen baris ke-i kolom ke-j dari matriks kuadran I Tabel I-O yang sudah ada untuk tahun ke-t tertentu yang telah dioptimasi I (taij ;0aij) : Kandungan informasi (information content), ukuran adanya perbedaan struktur koefisien teknis antara Tabel I-O pada tahun dasar dengan Tabel IO pada tahun ke-t yang diduga : Pendugaan atas elemen baris ke-i kolom ke-j dari matriks koefisien teknis QBij Tabel I-O yang sudah ada untuk tahun ke-t tertentu TWi : Total ouput sektor ke-i tahun tertentu yang sudah diberi pembobotan (kriteria) : Total output sektor ke-i tahun tertentu hasil dari optimasi Ti TBi : Pendugaan atas total output sektor ke-i pada tahun tertentu FWi : Total final demand sektor ke-i tahun tertentu yang sudah diberi pembobotan (kriteria) Fi : Total final demand sektor ke-i tahun tertentu hasil dari optimasi FBi : Pendugaan atas final demand sektor ke-i pada tahun tertentu : Total impor sektor ke-j tahun tertentu yang sudah diberi pembobotan MWj (kriteria) Mj : Total impor sektor ke-j tahun tertentu hasil dari optimasi : Pendugaan atas impor sektor ke-j pada tahun tertentu MBj
42 2.
Analisis Input Output Beberapa model analisis yang digunakan di dalam melakukana analisis terhadap
suatu Tabel I-O, yaitu : (a) koefisien input atau koefisien teknis, (b) keterkaitan langsung ke depan maupun ke belakang, (c) keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan mauun ke belakang, (d) angka pengganda atau multiplier, (e) daya penyebaran, serta (f) derajat kepekaan.
a.
Koefisien Input Untuk keperluan analisis pada metode analisis metode I-O, parameter yang paling
utama adalah koefisien input atau koefisien teknologi aij secara matematis dinyatakan sebagai berikut : aij =
Xij atau Xij = aij . Xj Xj
aij
= rasio antara banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input j (Xij) terhadap total input sektor j (Xj).
..................
(18)
Koefisien aij menyatakan keterkaitan langsung suatu sektor baik ke depan maupun ke belakang terhadap sektor lainnya dalam suatu perekonomian wilayah (direct backward/forward linkage). Dengan demikian, Tabel I-O secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : a11X1 + a21X1 + : ai1X1 + : an1X1 +
a12X2 + … a1jXj …+ a22X2 + … a2jXj …+ : ai2X2 + … aijXj.… + : an2X2 + … aijXn….. +
a1nXn + F1 = X1 ainXn + F2 = X2 : ainXn + Fi = Xi : annXn + Fn = Xn
………….
(19)
………….
(20)
atau ⎡ a11 ⎢a ⎢ 21 ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢⎣ a n1
a12 a 22
: M a ij
an2
a1n ⎤ a 2 n ⎥⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ a nn ⎥⎦
⎡ X 1 ⎤ ⎡ F1 ⎤ ⎡ X 1 ⎤ ⎢ X ⎥ ⎢F ⎥ ⎢ X ⎥ ⎢ 2⎥ ⎢ 2⎥ ⎢ 2⎥ ⎢ ⎥+⎢ ⎥=⎢ ⎥ ⎢ X ⎥ ⎢F ⎥ ⎢ Xi ⎥ ⎢ i⎥ ⎢ i⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ X n ⎥⎦ ⎢⎣ Fn ⎥⎦ ⎢⎣ X n ⎥⎦
43 A
X
F
X
dengan notasi matriks dapat dirumuskan sebagai berikut : .................
AX + F = X
(21)
Matriks A merupakan matriks koefisien input hubungan langsung antar sektor, dengan demikian maka X – AX = F (1 – A).X = F X = (1 – A)-1.F, matriks (I – A) dikenal dengan matriks Leontief, merupakan parameter penting di dalam analisis I-O. Invers matriks tersebut, matriks (1 – A)-1 atau B adalah matriks yang menyatakan hubungan langsung dan tidak langsung antar sektor dalam suatu perekonomian wilayah (direct and indirect forward/backward linkage). Karena X = (1 – A)-1.F atau X = B.F, dimana B merupakan elemen-elemen koefisien dalam invers matriks leontief, maka peningkatan output produksi (X), merupakan akibat permintaan (F) terhadap sektor tersebut, besarnya output produksi sektor (i) ditentukan oleh besarnya koefisien B, semakin besar koefisiennya maka semakin besar pula output pada sektor tersebut. Beberapa analisis yang terkait dengan metode I-O antara lain sebagai berikut : (a) keterkaitan langsung ke depan, (b) keterkaitan langsung ke belakang, (c)
keterkaitan
langsung tidak langsung ke depan, (d) keterkaitan langsung tidak langsung ke belakang, (e) pengganda pendapatan, (f) pengganda pajak, (g) pengganda nilai tambah, dan (h) pengganda tenaga kerja.
b.
Keterkaitan langsung ke depan Menunjukkan efek langsung dari perubahan output (tingkat produksi) suatu sektor
terhadap total tingkat produksi sektor-sektor yang menggunakan output sektor tersebut. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan ke langsung depan, dapat digunakan rumus sebagai berikut : Fi =
n
∑ i
Fi Xij Xi
Xij = Xi
n
∑a
ij
i = 1,2,3, ......., dst
i
= keterkaitan langsung ke depan = banyak output sektor i yang digunakan oleh sektor j = total output sektor i
..................
(22)
44 aij
= unsur matriks koefisien input atau koefisien teknis
c.
Keterkaitan langsung ke belakang Menunjukkan efek langsung dari perubahan output (tingkat produksi) suatu sektor
terhadap total tingkat produksi sektor-sektor yang menyediakan input sektor tersebut. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung ke belakang, dapat digunakan rumus sebagai berikut : n
Bj = B
n
Xij ∑j Xj =
∑a
ij
j = 1,2,3, ......., dst
Bj Xij Xj aij
= keterkaitan langsung ke belakang = banyak output sektor i yang digunakan oleh sektor j = total input sektor i = unsur matriks koefisien input atau koefisien teknis
d.
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan
B
..................
(23)
j
Menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung ke depan dari perubahan output (tingkat produksi) suatu sektor terhadap total tingkat produksi sektor-sektor yang menggunakan output sektor tersebut. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan, dapat digunakan rumus sebagai berikut : FDILi
n
∑b
=
ij
i = 1,2,3, ......., dst
..................
(24)
i
FDILi bij e.
= keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan = unsur kebalikan matriks leontief
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang Menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan
akhir terhadap satu unit output sektor tertentu, pada peningkatan total output seluruh sektor perekonomian. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang, dapat digunakan rumus sebagai berikut : n
BDILj =
∑b
ij
j = 1,2,3, ......., dst
j
BDILj = keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang bij = unsur kebalikan matriks leontief
..................
(25)
45 f.
Pengganda Pendapatan Dampak peningkatan permintaan akhir (final demand) atas output sektor j terhadap
peningkatan total pendapatan rumah tangga secara keseluruhan di wilayah penelitian. Angka pengganda pendapatan dapat diperoleh dengan rumus I
Mj =
I
1 vj
∑
I
..................
vi bij
(26)
i
I
Vi = rasio pendapatan rumah tangga dari sektor i terhadap total output sektor i untuk i = j, maka Ivi = Ivj bij = unsur kebalikan inverse matriks leontief g.
Pengganda Pajak Dampak peningkatan permintaan akhir (final demand) atas output sektor j terhadap
peningkatan pajak tak langsung netto secara keseluruhan di wilayah penelitian. T
Mj =
T
1 vj
∑
T
..................
vi bij
(27)
i
T
V i = rasio pajak tak langsung dari sektor i terhadap total output sektor i untuk i = j, maka Tvi = Tvj bij = unsur kebalikan inverse matriks leontief h.
Pengganda Nilai Tambah/PDRB Dampak peningkatan permintaan akhir (final demand) atas output sektor j terhadap
peningkatan PDRB di keseluruhan wilayah penelitian. PDRB
PDRB
bij i.
Mj =
1 PDRB
vj
∑
PDRB
vi bij
..................
(28)
i
Vi = rasio PDRB dari sektor i terhadap total output sektor untuk i = j, maka PDRB vi = PDRBvj = unsur kebalikan inverse matriks leontief Pengganda Tenaga Kerja Dampak peningkatan permintaan akhir (final demand) atas output sektor j terhadap
peningkatan tenaga kerja di keseluruhan wilayah penelitian. Empl
Empl
Mj =
1 Empl
vj
∑
Empl
vi bij
...................
(29)
i
Vi = rasio tenaga kerja dari sektor i terhadap total output sektor untuk i = j, maka Empl vi = Em,plvj
46 bij
= unsur kebalikan inverse matriks leontief
j.
Daya Penyebaran Dampak dari perubahan permintaan akhir suatu sektor terhadap output seluruh
sektor ekonomi di suatu wilayah atau negara. Daya penyebaran merupakan ukuran untuk melihat keterkaitan ke belakang (backward linkages) sektor-sektor ekonomi suatu wilayah. αj =
∑b i
ij
⎛1⎞ ⎜⎜ ⎟∑i ∑ j bij ⎝n⎠
…………….. (30)
αj = indeks penyebaran daya penyebaran sektor j dan lebih dikenal sebagai daya penyebaran sektor j. Besaran αj = 1, maka daya penyebaran sektor j sama dengan rata-rata daya penyebaran seluruh sektor perekonomian, bila αj > 1 maka daya penyebaran sektor j berada di atas rata-rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi, sebaliknya αj < 1 menunjukkan daya penyebaran sektor j lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.
k.
Derajat Kepekaan Derajat kepekaan menjelaskan pembentukan output di suatu sektor yang
dipengaruhi oleh permintaan akhir masing-masing sektor perekonomian, maka ukuran ini digunakan untuk melihat keterkaitan ke depan (forward linkages). βi =
∑b j
ij
⎛1⎞ ⎜⎜ ⎟∑i ∑ j bij ⎝n⎠
…………….. (31)
βi = indeks derajat kepekaan sektor i dan lebih dikenal sebagai derajat kepekaan sektor i Besaran βi = 1, maka derajat kepekaan sektor i sama dengan rata-rata daya penyebaran seluruh sektor perekonomian, bila βi > 1 maka derajat kepekaan sektor i berada di atas rata-rata derajat kepekaan seluruh sektor ekonomi, sebaliknya βi < 1 menunjukkan derajat kepekaan sektor i lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.
47 3.
Penentuan Sektor Unggulan Beberapa kriteria yang digunakan di dalam menentukan sektor unggulan di Jawa
Timur, antara lain sebagai berikut : 1. Mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap perekonomian di Jawa Timur serta meningkatkan daya beli masyarakat, variabel-variabel yang digunakan adalah angka pengganda PDRB, angka pengganda pajak, angka pengganda pendapatan, dan angka pengganda tenaga kerja. 2. Berbasis sumber daya lokal yang besar (domestic resources), variabel yang digunakan adalah koefisien impor. 3. Untuk menjamin keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang, maka sektorsektor yang yang dipilih adalah sektor-sektor dengan sifat sumber daya yang terbaharukan (renewable). 4. Dari segi permintaan besar dan semakin kuat, variabel yang digunakan adalah keterkaitan ke depan. 5. Mampu menggerakkan output sektor-sektor lainnya, variabel yang digunakan adalah keterkaitan ke belakang.
PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS
VARIABEL PENENTU
FACTOR SCORE
- Pengganda PDRB - Pengganda pajak - Pengganda pendapatan - Pengganda tenaga kerja - Koefisien impor - Keterkaitan ke depan - Keterkaitan ke belakang - Renewable
Keterangan
FACTOR LOADING
EIGENVALUE SEBAGAI FAKTOR PEMBOBOT
⎞ ⎛ ⎜ λα ⎟ SKOR = ∑ ⎜ ⎟Fα α ⎜ ∑ λα ⎟ ⎠ ⎝ α
: λα = Eigenvalue (akar ciri) faktor komponen utama ke-n Fα = Faktor skor sektor ke 1, 2, 3, ....., 44
Gambar 12 Bagan alir penentuan sektor unggulan.
48 Variabel-variabel tersebut di atas kemudian dianalisis dengan menggunakan metode PCA untuk mendapatkan akar ciri (eigenvalues) dari masing-masing faktor komponen utama (factor loading) sebagai faktor pembobot. Faktor skor dari masingmasing faktor komponen utama kemudian dikalikan dengan nilai pembobot sehingga didapat skor masing-masing sektor. Bagan alir penentuan sektor unggulan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 12.
4.
Indentifikasi Penciri Utama (Principal Components Analysis) Salah satu tujuan dasar dari penggunaan metode Indentifikasi Penciri Utama
(PCA), adalah : a. Ortogonalisasi variabel, yaitu mentransformasikan suatu struktur data dengan variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur baru dengan variabelvariabel baru (Komponen Utama atau Faktor) yang tidak saling berkorelasi. b. Penyederhanaan variabel, banyaknya variabel baru yang dihasilkan jauh lebih sedikit daripada variabel asalnya, tetapi total kandungan informasinya (total ragamnya) relatif tidak berubah. Saefulhakim (2004a), menyatakan bahwa Indentifikasi Penciri Utama (PCA) dengan menggunakan berbagai data dari hasil analisis pada tabel I-O dapat digunakan untuk melihat : 1. struktur hubungan antar berbagai karakteristik pola keterkaitan 2. struktur hubungan antar berbagai karakteristik pola dampak multiplier 3. struktur hubungan antar berbagai karakteristik pola keterkaitan dan pola dampak multiplier 4. pengelompokan sektor-sektor berdasarkan pola keterkaitan dan pola dampak yang relatif sama 5. pendefinisian fungsi batas pembeda antar kelompok-kelompok sektor Algoritma ortogonalisasi dengan PCA adalah mencari variabel baru Z yang merupakan kombinasi linear dari variabel-variabel baku Y yang ragamnya paling tinggi. Artinya, informasi yang terkandung dalam variabel-variabel Y semaksimal mungkin terserap dalam variabel baru Z tersebut. Karena Z = Yb, maka yang dicari adalah vektor koefisien pembobot b. Karena banyak sekali kemungkinan vektor b yang dapat
49 dimaksimumkan ragam Z, maka yang dibatasi hanya vektor b yang bersifat baku, yakni b’b=1. Secara matematis, algoritma PCA adalah sebagai berikut : Max Z’Z = b’Y’Yb
........................... (32)
s.t
b’b = 1
.......................... (33)
L
= b’Y’Yb – λ(b’b-1), syarat perlu untuk mendapatkan solusi adalah :
∂L ∂b
= 2Y’Yb – 2λ = 0
.......................... (34)
Y’Yb = λb atau Rb = λb
.......................... (35)
Keterangan : λ : eigenvalue atau akar ciri dari matriks korelasi antar varibel asal b : eigenvector untuk Faktor atau Komponen Utama dari matriks korelasi antar variabel asal R : jumlah variabel yang dianalisis Peubah-peubah yang digunakan di dalam Analisis Komponen Utama (PCA) merupakan data yang berasal dari hasil analisis Input Output, antara lain: (1) keterkaitan langsung ke belakang (SDBL), (2) keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang (SDIBL), (3) keterkaitan langsung ke depan (SDFL), (4) keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan (SDIFL), (5) angka pengganda pendapatan (Inc-M), (6) angka pengganda surplus usaha, (7) angka pengganda penyusutan, (8) angka pengganda pajak (T-M), (9) angka pengganda impor (M-M), dan (10) angka pengganda PDRB.
5.
Location Quotient (LQ) Location Quotient (LQ) adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu
sektor/industri di suatu daerah terhadap besarnya peranan sektor/industri tersebut secara keseluruhan (nasional, provinsi, daerah, dll). Secara umum, metode analisis ini digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan/basis (aktivitas). Di samping itu, LQ juga bisa digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah (Saefulhakim 2004a). Sedangkan Warpani (1984), menyatakan bahwa teknik LQ merupakan cara permulaan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam sektor kegiatan tertentu.
50 Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah bahwa (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Persamaan dari LQ ini adalah :
LQ
IJ
=
X /X X /X IJ
I.
.J
..
……………….. (36)
Keterangan : Xij : derajat sektor ke-j di kabupaten/kota ke-i Xi. : total sektor di kabupaten/kota ke-i X.j : total sektor ke-j pada semua kabupaten/kota di Jawa Timur X.. : derajat sektor pada total wilayah kabupaten/kota di Jawa Timur Data yang digunakan pada analisis Location Quotient (LQ) adalah PDRB Menurut Harga Konstan Tahun 2003 pada seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur. Hasil interprestasi dari analisis LQ, adalah sebagai berikut : a. Jika nilai LQij > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktivitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktivitas di sub wilayah ke-i. b. Jika nilai LQij = 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa aktivitas setara dengan pangsa total atau konsentrasai aktivitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah. c. Jika nilai LQij < 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah.
6.
Shift-Share Analysis (SSA) Shift-share analysis merupakan salah satu teknik analisis untuk memahami
pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis shift-share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas (Saefulhakim 2004). Sedangkan menurut Tarigan (2003), metode LQ tidak dapat menjelaskan faktor-faktor penyebab perubahan, sedangkan SSA memperinci penyebab perubahan atas beberapa variabel.
51 Perubahan-perubahan dari beberapa variabel tersebut disebabkan antara lain (a) sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), (b) sebab yang berasal dari dinamika aktivitas sektor (total wilayah), dan (c) sebab dari dinamika wilayah secara umum. Komponen ’shift’ dalam SSA adalah penyimpangan (deviation) dari national atau total share. Penyimpangan ini positif bagi daerah-daerah yang tumbuh lebih cepat dan negatif bagi daerah-daerah yang tumbuh lebih lambat. Shift netto dapat dibagi dua komponen, yaitu : a. Proportional Shift Component (P), Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah. b. Differential Shift Component (D), Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi
(competitiveness)
suatu
aktivitas
tertentu
dibandingkan
dengan
pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ketidakunggulan) suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain. Persamaan dari Shift Share Analysis (SSA) adalah sebagai berikut
SSA
⎛ =⎜ ⎜ ⎝
⎞ ⎛ − 1⎟ + ⎜ ⎟ ⎜ (t 0) ⎠ ⎝
X .. X ..
( t1)
a
X X
i ( t1)
−
i (t 0)
b
⎞ ⎛ ⎟+⎜ ⎟ ⎜ (t 0) ⎠ ⎝
X .. X ..
( t1)
X X
ij ( t1)
−
ij ( t 0 )
X X
⎞ ⎟ ⎟ i (t 0) ⎠ i ( t1)
……………… (37)
c
Keterangan : a = komponen agregrat pertumbuhan wilayah b = komponen pergeseran sektoral c = komponen pergeseran diferensial X.. = nilai total sektor-sektor ekonomi (PDRB) dalam total wilayah X.i = nilai total sektor-sektor ekonomi (PDRB) tertentu dalam total wilayah Xij = nilai sektor-sektor ekonomi (PDRB) tertentu dalam unit wilayah tertentu t(1) = titik tahun akhir (tahun 2003) t(0) = titik tahun awal (tahun 2000) Data yang digunakan untuk melakukan Shift Share Analysis adalah PDRB Harga Konstan Tahun 2000 dan 2003 pada semua kabupaten/kota di Jawa Timur.
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis Provinsi Jawa Timur terletak 111o0’ dan 114o4’ Bujur Timur dan antara 7o12’ hingga 8o48’ Lintang Selatan. Letak dan kedudukan Provinsi Jawa Timur sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Bali, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia, dan sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Pulau Kalimantan (Provinsi Kalimantan Selatan). Luas Provinsi Jawa Timur ± 4 642 857 Ha terbagi 2 bagian besar yaitu Jawa Timur daratan dan kepulauan Madura. Luas Jawa Timur daratan mencakup 90% dari luas provinsi. Dalam hal administrasi pemerintahan, Provinsi Jawa Timur terbagi di dalam 29 kabupaten dan 9 kota. Administrasi pemerintahan kabupaten dan kota di Jawa Timur terdiri dari 640 kecamatan dan 8.484 desa/kelurahan. Kabupaten yang memiliki jumlah desa/kelurahan terbanyak adalah Kabupaten Lamongan, yaitu sebanyak 474 desa/kelurahan. Berikut adalah kabupaten/kota yang berada dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur. Tabel 4 Kabupaten/kota dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur Kode Kab / Kota
Kabupaten / Kota
Kabupaten 1 Pacitan 2 Ponorogo 3 Trenggalek 4 Tulungagung 5 Blitar 6 Kediri 7 Malang 8 Lumajang 9 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk
Luas Daerah (Km2) 1 342.42 1 371.78 1 205.22 1 046.22 1 588.79 1 386.05 2 979.41 1 790.90 2 477.68 5 782.68 1 560.10 1 638.81 1 599.03 1 150.75 634.39 692.15 903.90 1 224.33
Kecamatan 12 21 14 19 22 23 33 21 31 21 20 17 24 24 18 18 21 20
Jumlah Desa / Kelurahan 164 303 157 271 248 344 388 204 244 217 195 136 330 365 353 304 306 284
53
Lanjutan Tabel 4 Kode Kab / Kota 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 Kota 71 72 73 74 75 76 77 78 79
Kabupaten / Kota Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep
Jumlah
Luas Daerah (Km2)
Kecamatan
Desa / Kelurahan
1 010.86 688.82 1 295.98 2 307.06 1 839.94 1 669.56 1 191.19 1 259.54 1 233.36 792.30 1 998.54
15 16 17 27 19 27 18 18 12 13 25
206 235 217 430 328 474 356 281 186 189 332
3 3 5 3 3 2 3 31 3 642
46 20 57 29 34 18 27 163 23 8 464
Kediri 63.40 Blitar 32.57 Malang 110.06 Probolinggo 56.66 Pasuruan 35.29 Mojokerto 16.46 Madiun 33.23 Surabaya 326.36 Batu 92.78 Jumlah 46 428.57 Sumber : Jawa Timur Dalam Angka 2003. BPS Jawa Timur.
Berdasarkan letak geografis, kondisi sosio-kultur, potensi alam, dan infrastruktur maka Jawa Timur dibagi menjadi empat bagian : a. Bagian Utara dan Pulau Madura, merupakan daerah pantai dan dataran rendah serta daerah pegunungan kapur yang relatif kurang subur. b. Bagian Tengah, merupakan daerah yang relatif subur yang infrastrukturnya sudah tertata
dengan baik sehingga menunjang hampir semua kegiatan
pemerintah dan masyarakat. c. Bagian Selatan-Barat, memiliki potensi tambang yang cukup besar. Potensi pariwisata belum tergarap dengan baik. Bagian terbesar dari struktur ekonomi adalah industri disusul dengan pertanian. d. Bagian Timur, masih didominasi oleh pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan pariwisata. Karena posisinya sebagai penghubung Pulau Bali
54
dan Indonesia Bagian Timur sektor industri dan perdagangan potensial untuk dikembangkan.
Gambar 13 Peta administratif Jawa Timur.
Iklim Lokasi Provinsi Jawa Timur yang terletak di sekitar garis khatulistiwa sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia, menyebabkan wilayah ini mempunyai perubahan iklim sebanyak dua kali setiap tahunnya, yakni musim kemarau dan musim penghujan. Bulan Oktober sampai dengan April merupakan musim penghujan sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai September. Tingkat kelembaban udara hampir sama denga rata-rata daerah di Indonesia sekitar 32% (minimum) pada bulan Oktober dan yang tertinggi pada bulan Januari diatas 98%. Curah hujan yang tertinggi terjadi pada bulan Januari sampai dengan April. Temperatur pada tahun 2003 tertinggi mencapai 35.6oC pada bulan Nopember dan yang terendah di bulan Juli yaitu 18.1oC.
55
Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Jumlah penduduk Jawa Timur 2003 dari hasil proyeksi penduduk berdasarkan P4B yaitu sebesar 36.206.06 ribu jiwa dan ini mengalami pertumbuhan sebesar 0.77% apabila dibandingkan dengan tahun 2002. Kota Surabaya mempunyai jumlah penduduk yang paling besar, yaitu 2.660.38 ribu jiwa, diikuti Kabupaten Malang (2 338.87 ribu jiwa), dan Kabupaten Jember (2.231.79 ribu jiwa). Sedangkan kabupaten/kota yang mempunyai jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Mojokerto (112.00 ribu jiwa), Kota Blitar (123.34 ribu jiwa), dan Kota Pasuruan (176.73 ribu jiwa). Tabel 5 Jumlah penduduk Jawa Timur tahun 2000 s.d. 2003 Tahun Jumlah (Jiwa) % Pertumbuhan Per Tahun 2000 35 340.01 2001 35 633.42 0.83 2002 35 930.45 0.83 2003 36 206.43 0.77 Sumber : Jawa Timur Dalam Angka 2003. BPS Jawa Timur.
Gambar 14 Peta kepadatan penduduk tahun 2003.
56
Pada tahun 2003 rata-rata kepadatan penduduk Jawa Timur adalah 780 jiwa per km2. Kepadatan penduduk di Jawa Timur tersebar pada kabupaten/kota. namun sebarannya tidak merata. Kota Surabaya mempunyai kepadatan penduduk tertinggi yaitu 8.152 jiwa/km2, sedangkan daerah yang kepadatannya paling rendah adalah Kabupaten Banyuwangi dengan kepadatan penduduk 266 jiwa per km2. Pada umumnya kepadatan penduduk terkonsentrasi pada pusat-pusat kota baik itu kota maupun kabupaten. Berdasarkan Gambar 14 terlihat bahwa kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Timur secara spasial terpusat pada kotakota yang merupakan daerah industri dan perdagangan, terutama pada daerah atau kawasan Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan).
SEKTOR UNGGULAN PROVINSI JAWA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Timur Terdapat perbedaan istilah di dalam penyebutan suatu sektor berdasarkan data publikasi PDRB menurut harga berlaku maupun harga konstan dengan data sektor di dalam Tabel I-O. Data PDRB yang diterbitkan oleh BPS, sektor-sektor dalam perekonomian terbagi menjadi sembilan sektor yang kemudian dirinci kembali menjadi beberapa sub sektor. Sedangkan di dalam Tabel I-O, istilah sub sektor tidak dikenal sehingga terdapat satu istilah saja yaitu ’sektor’. Pembahasan dalam sub bab ini, mengenai Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Timur yang memberikan gambaran mengenai perkembangan perekonomian di Jawa Timur menggunakan data PDRB Jawa Timur, sedangkan pada sub-sub bab berikutnya menggunakan data Tabel I-O updating Jawa Timur 2003. Berdasarkan Tabel 6, sektor-sektor yang mempunyai kontribusi besar di dalam penciptaan PDRB di Jawa Timur adalah sektor pertanian; sektor industri pengolahan; sektor perdagangan, hotel, dan restoran; dan sektor jasa. Ketiga sektor tersebut di atas mempunyai pangsa ± 72% dari total PDRB Jawa Timur pada tahun 2003.
Tabel 6 Distribusi PDRB Jawa Timur atas dasar harga berlaku tahun 1999 s.d 2003 (Persen) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi, Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9 Jasa-Jasa Sumber : BPS Jawa Timur.
1999 21.77 1.63 27.34 1.88 4.89 22.90 6.03 4.03
2000 21.11 2.11 26.88 2.41 4.70 23.08 6.27 4.02
2001 21.28 2.03 26.45 2.70 4.38 23.71 6.01 4.16
2002 20.87 1.99 26.59 2.72 4.25 24.17 6.40 4.07
2003 20.01 1.94 26.35 2.93 4.23 25.15 6.34 4.02
9.54
9.42
9.28
8.96
9.02
Sektor-sektor perekonomian yang memberikan kontribusi paling besar di Jawa Timur dalam penciptaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2003 atas dasar harga berlaku cenderung mengalami penurunan kecuali sektor
58
perdagangan, hotel, dan restoran. Sektor pertanian pada tahun 1999 memberikan kontribusi sebesar 21.77% semakin lama semakin turun sehingga pada tahun 2003 hanya memberikan kontribusi sebesar 20.01 %. Hal yang sama juga terjadi pada sektor industri pengolahan pada tahun 2003 mempunyai pangsa sebesar 26.35% turun dari tahun 1999 yang memberikan kontribusi sebesar 27.34%. Bila ditinjau lebih dalam, kontribusi terbesar di dalam industri pengolahan diberikan oleh sub sektor industri makanan, minuman, dan tembakau yang sebagian besar didominasi oleh industri rokok. Pada tahun 2000 peran industri rokok di Jawa Timur hampir mencapai 10.58% dalam kontribusi penciptaan PDRB Jawa Timur dengan nilai total input/output yang dihasilkan sebesar 31.9 triliun rupiah serta PDRB yang dihasilkan sebesar 17.9 triliun rupiah, sehingga naik turunnya sektor industri pengolahan hampir bisa dipastikan sangat dipengaruhi oleh gerakan sub sektor industri makanan, minuman, dan tembakau terutama oleh industri rokok. Sektor yang mampu berkembang dan mengalami peningkatan dalam kontribusi pada PDRB adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang memberikan kontribusi sebesar 25.15% meningkat dari tahun 1999 yang sebesar 22.90 %. Pertumbuhan ekonomi diukur dari PDRB atas dasar harga konstan 1993 sehingga pertumbuhan ini sudah tidak dipengaruhi faktor harga atau dengan kata lain benar-benar murni disebabkan oleh kenaikan produksi seluruh sektor pendukungnya. Berdasarkan Tabel 7 PDRB Jawa Timur atas dasar harga konstan 1999 selama periode 1999 s.d. 2003 bergerak meningkat setiap tahun. Hal ini menandakan adanya peningkatan produksi secara sektoral atau bisa disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa Timur secara bertahap mengalami peningkatan. PDRB atas harga konstan 1993 pada tahun 1999 sebesar 55.058.97 milyar rupiah dan kemudian meningkat menjadi sebesar 56.856.52 milyar rupiah pada tahun 2000, sebelum akhirnya meningkat lagi pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2003 berturut-turut menjadi sebesar 58.750.18 milyar rupiah, 60.754.06 milyar rupiah, dan 63.252.16 milyar rupiah.
59
Tabel 7 Pertumbuhan riil sektor ekonomi tahun 1999 s.d. 2003 (Persen) No
Sektor/Sub Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 9 Jasa-Jasa Produk Domestik Regional Bruto
1999
2000
2001
2002
2003
2.19 63.51 -0.05 13.00 -9.91 0.30 9.65 -6.33
0.69 38.72 1.73 11.31 -0.81 4.43 6.84 3.43
1.19 -0.16 1.56 7.49 0.89 8.09 0.99 5.80
2.10 3.52 -1.68 7.30 0.99 7.25 11.16 4.26
1.80 2.25 2.81 8.97 1.87 7.81 3.84 3.84
0.76 1.21
1.69 3.26
3.26 3.33
3.93 3.41
3.41 4.11
Sumber : BPS Jawa Timur. Data diolah.
Secara sektoral seluruh sektor ekonomi pada tahun 2003 sudah membaik. Industri pengolahan yang sempat mengalami pertumbuhan minus 1.68% pada tahun 2002 mengalami peningkatan pertumbuhan yang cukup tajam menjadi 2.81% demikian pula halnya dengan sektor bangunan dan konstruksi lambat laun juga mengalami pertumbuhan. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang sempat mengalami penurunan laju pertumbuhan pada tahun 2002 juga bergerak naik pada tahun 2003. Sektor yang mengalami pertumbuhan paling tinggi adalah sektor listrik, gas, dan air bersih sebesar 8.97% diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 7.81%, sektor keuangan sebesar 3.84%, sektor pertambangan sebesar 2.25%, sektor konstruksi sebesar 1.87%, dan sektor pertanian sebesar 1.80%. Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2002 sektor ekonomi yang mengalami percepatan adalah sektor listrik, gas, dan air bersih; sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor industri pengolahan; serta sektor konstruksi, sedangkan sektor lainnya mengalami perlambatan pertumbuhan perekonomian. Hal yang sangat memprihatinkan adalah adanya kecenderungan penurunan laju pertumbuhan pada sektor pertanian dari tahun 1999 sampai dengan 2003. Sektor pertanian sampai dengan tahun 2003 mengalami pertumbuhan masih di bawah laju pertumbuhannya pada tahun 1993. Padahal, pada saat Indonesia diterjang krisis ekonomi pada tahun 1997 s.d. 1999, sektor pertanian merupakan
60
sektor yang dapat bertahan dan pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Sektor pengangkutan dan komunikasi juga mengalami hal serupa dengan sektor pertanian, penurunan laju pertumbuhan sektor ini paling besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya yaitu sebesar 3.84% pada tahun 2003 dari sebesar 11.16% pada tahun 2002. Naik turunnya sektor pengangkutan dan telekomunikasi sangat dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan bakar minyak dan terjadinya perang tarif antara angkutan udara dan jasa angkutan lainnya seperti kereta api, kapal laut, dan angkutan jalan raya. Hal ini terlihat dari pertumbuhan angkutan udara yang tiap tahun semakin meningkat dari 27.41% pada tahun 2000 menjadi 36.96% pada tahun 2003. Sedangkan jasa angkutan lainnya dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 cenderung menurun walaupun pada tahun 2003 berangsur kembali pulih. Kebijakan pemerintah pada tahun 2005 yang kembali menaikkan harga bahan bakar minyak bisa menyebabkan sektor jasa angkutan kembali terpukul. Selain itu, pada tahun 2003 pertumbuhan sub sektor jasa penunjang
telekomunikasi
sangat
rendah,
dimana
pada
tahun
2002
pertumbuhannya mencapai 45.07% tetapi pada tahun 2003 pertumbuhannya sangat rendah yaitu 9.98%. Kebijakan kenaikan harga BBM pada tahun 2005 selain memukul sektor angkutan dan telekomunikasi di sisi lain juga akan menghambat pertumbuhan sektor perdagangan dan sektor industri pengolahan. Kenaikan harga BBM akan menaikkan biaya operasional angkutan dan produksi pada sektor industri sehingga harga jual produk industri menjadi mahal. Daya beli masyarakat yang kembali turun dengan kenaikan harga BBM akan mengurangi pola permintaan terhadap hasil-hasil produksi sektor industri maupun sektor-sektor lainnya.
Nilai Tambah Bruto dan Total Output Sektoral Berdasarkan Tabel I-O Jawa Timur tahun 2003 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perekonomian Jawa Timur sebesar 254.38 triliun rupiah dengan total output sebesar 557.27 triliun rupiah. Dibandingkan dengan tahun 2000, PDRB serta total output yang dihasilkan mengalami kenaikan yang cukup besar.
61
Pada tahun 2000 PDRB Jawa Timur sebesar 169.68 triliun rupiah sedangkan total ouputnya sebesar 281.95 triliun rupiah. Industri makanan, minuman, dan tembakau merupakan sektor dengan pangsa paling besar dalam kelompok industri pengolahan sedangkan sektor padi merupakan sektor dengan pangsa paling besar pada kelompok pertanian. Sejalan dengan terjadinya transformasi terhadap struktur perekonomian, maka sektorsektor sekunder dan tersier mulai berkembang. Seperti terlihat pada Tabel 8 dimana sektor perdagangan, restoran, dan jasa-jasa memberi kontribusi yang besar dalam penciptaan PDRB Jawa Timur. Tabel 8 Sepuluh sektor dengan PDRB terbesar di Jawa Timur tahun 2003 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kode Sektor 31 19 44 1 33 30 43 42 29 13
Perdagangan Makanan, Minuman dan Tembakau Jasa-Jasa Padi Restoran Bangunan dan Konstruksi Pemerintahan Umum Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Listrik, Gas, dan Air Bersih Peternakan Lainnya JUMLAH Sumber : Tabel I-O Jawa Timur Updating 2003. Data diolah.
PDRB (Juta Rp) 50 935 747 35 968 523 12 503 450 12 219 759 11 532 160 10 766 553 10 452 817 10 221 630 7 455 509 7 072 437 85 252 173 254 380 758
(%) 20.02 14.14 4.92 4.80 4.53 4.23 4.11 4.02 2.93 2.78 33.51 100.00
Struktur perekonomian Jawa Timur berdasarkan PDRB yang dihasilkan ternyata sangat timpang, dimana sektor industri makanan, minuman, dan tembakau serta sektor perdagangan sangat dominan sekali dalam perekonomian Jawa Timur. Pangsa kedua sektor ini lebih dari sepertiga dari total PDRB Jawa Timur. Salah satu ciri khas dari Jawa Timur adalah industri rokok. Jawa Timur merupakan salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia selain Jawa Tengah. Keberadaan pabrik rokok Jawa Timur sebagian besar berada di Kota Kediri, Kota Malang, dan Kota Surabaya. Sehingga naik turunnya PDRB pada sektor makanan, minuman, dan tembakau sangat dipengaruhi oleh industri rokok ini.
62
Secara historis, sektor perdagangan memang sudah sangat signifikan semenjak dulu di samping letak geografis Jawa Timur yang sangat menguntungkan sebagai pintu penghubung antara bagian Barat dan Timur wilayah Indonesia. Selain infrastruktur jalan raya yang sangat memadai, keberadaan pelabuhan laut dan bandara Juanda sangat menentukan dalam kemajuan sektor perdagangan. Pintu gerbang ekspor dan impor di Jawa Timur terletak pada Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Pelabuhan Gresik, Pelabuhan Tuban, dan Bandara Juanda. Widawati (2002), mengemukakan bahwa Pelabuhan Tanjung Perak sangat menunjang di dalam membangun perekonomian di Jawa Timur. Pelabuhan dalam konstelasi pertumbuhan ekonomi sangat berperan sebagai lokomotif bagi perekonomian suatu daerah. Hal ini disebabkan karena keberadaan suatu pelabuhan akan diikuti oleh perusahaan-perusahaan industri di hinterland-nya. Sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung akan memberi masukan dan pengaruh dari keberadaan transportasi tersebut (direct and indirect transfer input). Berbagai hal harus dibenahi sebagai upaya meningkatkan efisiensi Pelabuhan Tanjung Perak termasuk biaya-biaya yang tidak diperlukan. Dengan biaya yang murah, akan memacu industri-industri di daerah untuk meningkatkan hasil produksinya dan berorientasi kepada ekspor. Salah satu komponen biaya yang paling mahal adalah biaya bongkar muat kapal, karena penggunaan alat bongkar muat dengan sewa yang mahal. Selain itu barang harus digudangkan dahulu sambil menunggu kapal datang, oleh sebab itu, perlu adanya efisiensi yang harus dilakukan sehingga biaya pengapalan menjadi murah. Sektor-sektor yang mempunyai total ouput sektoral yang besar pada tahun 2003 didominasi oleh sektor industri pengolahan sesuai dengan Tabel 9, antara lain sektor makanan, minuman, dan tembakau (19), alat angkutan mesin dan peralatan (31), tekstil, barang dari kulit dan alas kaki (20), pupuk, kimia, dan barang dari karet (23), serta logam dasar besi dan baja (25). Sedangkan sektor perdagangan (31), sektor restoran (4), dan sektor jasa-jasa (44) selain mempunyai total output yang besar, PDRB yang dihasilkannya juga besar.
63
Tabel 9 Sepuluh sektor dengan total output terbesar di Jawa Timur tahun 2003 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kode Sektor 19 31 26 33 20 23 13 25 30 44
Makanan, Minuman dan Tembakau Perdagangan Alat Angkutan Mesin dan Peralatan Restoran Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Peternakan Logam Dasar Besi dan Baja Bangunan dan Konstruksi Jasa-Jasa Lainnya JUMLAH Sumber : Tabel I-O Jawa Timur Updating 2003. Data diolah.
Total Output (Juta Rp) (%) 97 365 559 17.47 67 187 296 12.06 29 641 694 5.32 27 283 235 4.90 26 578 261 4.77 26 046 370 4.67 24 393 026 4.38 21 504 171 3.86 20 592 877 3.70 17 417 287 3.13 199 260 853 35.76 557 270 629 100.00
Struktur Nilai Tambah Bruto Menurut Komponen Nilai tambah bruto atau PDRB dalam Tabel I-O terdiri dari empat komponen, yaitu upah/gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tak langsung. Tabel 10 menunjukkan bahwa PDRB paling besar didistribusikan kepada sektor surplus usaha (keuntungan dari para pengusaha) sebesar 40%. Hal ini mengindikasikan bahwa bagian yang diterima oleh para pekerja lebih rendah dibandingkan dengan para pengusaha sebagai pemilik modal karena hanya mendapat bagian 38%. Sedangkan pada komponen
penyusutan, PDRB yang
tercipta paling rendah hanya 9%. Komponen Pajak juga sangat rendah hanya 11% dari total nilai tambah bruto. Tabel 10 Struktur PDRB menurut komponen pendapatan tahun 2003 Uraian
Kode Sektor 201 202 203 204
Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak Tak Langsung Netto Jumlah Sumber : Tabel I-O Jawa Timur Updating 2003. Data diolah.
Jumlah (Jt Rupiah) 97 908 879 103 607 034 24 774 983 28 089 862 254 380 758
(%) 38.49 40.73 9.74 11.04 100.00
Pada tahun 2003, dari sekitar 30.29 juta jiwa penduduk usia 10 tahun ke atas, sekitar 63.02% diantaranya merupakan merupakan angkatan kerja, yaitu terdiri dari 90.91% penduduk melakukan kegiatan bekerja dan sekitar 9.09%
64
merupakan pengangguran (Susenas 2003). Sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja (sekitar 36.98%) terdiri dari 47.81% penduduk
melakukan
kegiatan mengurus rumah tangga, sekitar 36.91% sedang bersekolah, dan sekitar 15.27% melakukan kegiatan lainnya. Sektor pertanian merupakan lapangan pekerjaan utama yang menyerap paling banyak tenaga kerja di Jawa Timur, yaitu sekitar 40.06%, kemudian diikuti sektor perdagangan sekitar 17.90%, dan sektor industri pengolahan sekitar 12.12%. Dari besarnya jumlah tenaga kerja yang berada di sektor pertanian menyebabkan produktivitas yang dihasilkan menjadi sangat rendah. Hal ini disebabkan karena pangsa PDRB antara sektor pertanian dan industri hampir sama, namun jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian lebih banyak. Selain itu, sifat dari barang-barang hasil pertanian yang tidak perlu diolah terlebih dahulu untuk mengkonsumsinya (end product) menyebabkan nilai tambah yang terjadi tidak terlalu besar. Untuk menyikapi kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian yang berlebih, perlu dibangun sektor-sektor yang baru terutama sektor industri yang padat tenaga kerja pada kabupaten/kota di Jawa Timur yang relevan dengan sektor pertanian yang ada, sehingga pada akhirnya terjadi keterkaitan antara sektor pertanian dan industri. Lemahnya tingkat pendapatan yang diterima oleh para pekerja dibandingkan dengan pemilik modal juga disebabkan tingginya tingkat pengangguran dimana tingkat pengangguran mencapai 9.09% di Jawa Timur. Hal ini pada akhirnya menyebabkan jumlah penawaran tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan jumlah permintaan akan tenaga kerja. Pada akhirnya, nilai gaji/upah yang dibayarkan menjadi rendah karena para pencari kerja tidak mempunyai nilai tawar yang tinggi. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan upah minimum regional (UMR) disatu sisi akan meningkatkan tingkat pendapatan buruh, namun di sisi lainnya hal ini akan membebani para pengusaha. Oleh karena itu, kebijakan ini harus disikapi dengan hati-hati dan bijaksana. Seyogyanya, kenaikan UMR juga harus disertai dengan peningkatan produktivitas para buruh sehingga daya saing sektor industri tidak menjadi turun.
65
Transaksi Internal, Transaksi Eksternal, dan Input Primer Seberapa besar proses produksi suatu sektor dalam Tabel I-O untuk menghasilkan komoditas/jasa menggunakan outputnya sendiri dapat dilihat dari besaran transaksi internal atau eksternal yang dilakukannya. Semakin besar pangsa transaksi internal semakin besar pula sektor tersebut menggunakan sebagian dari hasil produksinya sebagai input untuk produksi lanjutannya. Pada sisi lain, semakin besar pangsa transaksi eksternal semakin besar pula sektor tersebut menggunakan komoditas atau hasil produksi dari sektor lainnya dalam proses produksi lanjutannya (Tabel I-O Jatim 2000). Rata-rata untuk untuk memproduksi barang/jasa di Provinsi Jawa Timur diperlukan input antara dari hasil produksinya sendiri sebesar 4%, kemudian barang dan jasa dari sektor lainnya sebesar 22%, serta yang paling besar adalah untuk input primer sebesar 74%. Komponen input primer dalam Tabel 11 adalah PDRB ditambah dengan impor. Sektor-sektor yang paling banyak menggunakan hasil output produksinya untuk digunakan kembali dalam proses produksi lanjutan adalah sektor kertas dan barang cetakan (22); makanan, minuman, dan tembakau (19); semen dan barang galian bukan logam (24); logam dasar besi dan baja (25); pupuk, kimia, dan barang dari karet (23); listrik, gas, dan air bersih (29); serta tekstil, barang dari kulit dan alas kaki (20). Sedangkan sektor-sektor dengan transaksi eksternal yang besar adalah sektor barang dari kayu dan hasil hutan lainnya (21); pertambangan migas (16); restoran (33); tekstil, barang dari kulit dan alas kaki (20); angkutan udara (38); semen dan barang galian bukan logam (24); bangunan dan konstruksi (30); serta hotel (32). Sektor-sektor dengan transaksi eksternal yang besar mengindikasikan bahwa sektor tersebut sangat tergantung dengan sektor lainnya dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Sektor-sektor yang termasuk dalam sektor pertanian, pada umumnya nilai transaksi internal maupun eksternalnya untuk proses produksi relatif rendah. Transaksi yang terjadi pada sekor pertanian cenderung pada transaksi input primer. Rendahnya transaksi internal maupun ekternal mengindikasikan bahwa output sektor pertanian keterkaitannya terhadap sektor-sektor lainnya relatif
66
rendah demikian juga dalam hal inputnya. Oleh karena itu, pemberdayaan sektor pertanian sangat perlu untuk dilakukan sehingga sektor ini dapat mendukung perkembangan sektor lainnya, sehingga terjadi saling keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri pengolahan. Tabel 11 Transaksi internal, transaksi eksternal, dan input primer sektoral SEKTOR Padi Jagung Ketela Pohon Kedelai Sayur-sayuran Buah-buahan Umbi-umbian Kacang tanah Kacang-kacang lainnya Tebu Tembakau Tanaman Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Non Migas Penggalian Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Semen dan Barang Galian Bukan Logam Logam Dasar Besi dan Baja Alat Angkutan Mesin dan Peralatan Barang Lainnya Pengilangan Minyak Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan Hotel Restoran Angkutan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan Penyeberangan Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan Pos dan Telekomunikasi Jasa Penunjang Telekomunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-Jasa JUMLAH
KODE SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Transaksi Internal Eksternal 3.56 7.55 4.21 9.12 9.27 6.53 1.69 7.59 3.09 4.37 1.49 1.75 3.72 5.91 5.43 5.73 1.68 49.84 3.69 19.74 1.55 18.22 1.68 5.12 3.79 6.48 0.36 1.02 0.62 6.54 0.51 54.19 0.09 0.94 9.25 15.18 22.18 9.50 53.13 4.31 55.06 21.69 39.89 12.51 24.05 14.35 50.29 13.65 7.68 8.03 23.07 6.13 14.97 0.05 1.96 12.06 29.31 47.72 0.94 23.24 0.53 45.27 1.57 53.62 1.06 25.41 0.15 26.10 0.17 35.37 0.06 43.16 3.47 51.13 0.13 11.22 0.04 3.16 0.09 17.08 1.36 16.97 2.11 20.44 3.99 21.85
Sumber : Tabel I-O Jawa Timur Updating 2003. Data diolah.
Input Primer NTB Impor 88.14 0.75 86.58 0.10 84.05 0.15 90.69 0.03 41.22 51.32 71.50 25.26 46.76 43.61 68.29 20.55 34.29 14.19 76.57 0.00 80.23 0.00 63.10 30.10 28.99 60.74 17.98 80.63 54.46 38.38 24.88 20.41 3.36 95.61 89.17 1.57 36.94 25.70 25.15 12.23 32.51 8.12 27.26 11.15 8.49 54.94 29.42 5.95 19.90 58.77 15.48 53.41 7.57 71.32 0.94 97.05 56.28 2.36 52.28 0.00 75.81 0.00 48.55 5.65 42.27 2.54 25.01 48.52 56.23 17.52 45.69 18.77 17.32 39.46 29.65 15.75 81.28 7.37 95.68 1.13 82.79 0.04 81.61 0.06 100.00 0.00 71.79 5.66 50.37 23.79
Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
67
Pada
umumnya sektor-sektor dalam industri pengolahan mempunyai
ketergantungan yang tinggi dengan besarnya nilai impor. Dalam kelompok sektor pertanian, yang mempunyai nilai impor cukup besar adalah sayur-sayuran (5); umbi-umbian (7); tanaman perkebunan lainnya (12); peternakan (13); perikanan (15); serta sektor kehutanan (14). Besarnya impor pada sektor pertanian bisa disebabkan karena tingginya permintaan untuk keperluan konsumsi rumah tangga atau untuk keperluan industri pengolahan. Sedangkan hasil produksi pertanian dari Jawa Timur belum mampu untuk memenuhi permintaan atau memenuhi standart minimum untuk industri. Rendahnya kemampuan pasokan untuk memenuhi permintaan disebabkan karena berbagai permasalahan yang timbul, yaitu masalah pengadaan bibit, pupuk, lahan, tenaga kerja terampil, dan modal (Firdausy 2000). Nilai impor yang besar pada suatu sektor menyebabkan nilai tambah yang tercipta di Jawa Timur menjadi kecil. Hal ini disebabkan, nilai dari elemen invers matrisk leontief (matriks B) sektor tersebut akan mendekati satu. Sehingga setiap tambahan satu unit permintaan akhir (final demand) terhadap sektor tersebut tidak akan
menggerakkan
sektor
tersebut
maupun
sektor
lainnya,
hal
ini
mengindikasikan bahwa sektor tersebut mempunyai keterkaitan tidak langsung ke depan maupun ke belakang yang rendah terhadap sektor lainnya. Di Jawa Timur, sektor-sektor dengan pangsa nilai impor yang besar di dalam penciptaan total output sektoralnya adalah sektor peternakan dengan persentase nilai impor sebesar 60.74%, kehutanan sebesar 80.63%, pertambangan non migas 95.61%, serta pengilangan minyak sebesar 97.05%.
Keterkaitan Antar Sektor Sektor yang mempunyai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang paling besar adalah sektor dalam kelompok industri pengolahan, yaitu sektor kertas dan barang cetakan (22); semen dan barang galian bukan logam (24); tekstil barang dari kulit dan alas kaki (20). Sektor lainnya selain industri pengolahan adalah sektor angkutan udara (38) dan pertambangan migas (16). Sektor dengan keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang yang besar mengindikasikan bahwa sektor-sektor tersebut sangat tergantung dengan
68
sektor lainnya dalam melakukan proses produksi. Sehingga setiap kenaikan satu unit permintaan akhir atas sektor ini akan menggerakkan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian sebesar nilai dari keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor tersebut. Dalam analisis dengan metode input output, keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sama dengan output multiplier. Tabel 12
No
Sepuluh sektor terbesar dengan keterkaitan langsung ke belakang (DBL) serta keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang (DIBL) Sektor
1 Kertas dan Barang Cetakan 2 Semen dan Barang Galian Bukan Logam 3 Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki 4 Angkutan Udara 5 Pertambangan Migas 6 Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya 7 Bangunan dan Konstruksi 8 Restoran 9 Kacang-kacang lainnya 10 Hotel Sumber Tabel I-O Updating 2003. Data diolah.
Kode Sektor 22 24 20 38 16 21 30 33 9 32
DBL 0.6159 0.6464 0.6262 0.5460 0.5471 0.5937 0.4772 0.5519 0.5152 0.4580
DIBL 1.9631 1.9337 1.8628 1.7366 1.7099 1.7051 1.6934 1.6776 1.6028 1.5893
Sektor-sektor yang termasuk dalam sepuluh besar sektor dengan keterkaitan langsung ke belakang sama dengan sektor-sektor dengan keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang. Sebagian besar sektor-sektor dengan keterkaitan ke belakang yang besar merupakan sektor-sektor yang termasuk dalam kelompok industri pengolahan (kertas dan barang cetakan; semen dan barang galian bukan logam; tekstil, barang dari kulit dan alas kaki; serta barang dari kayu dan hasil hutam lainnya). Hasil analisis pada tabel di atas sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Amir dan Nazara (2005), yang menyatakan bahwa sektor- sektor dengan output multiplier yang besar di Jawa Timur adalah sektor industri makanan, minuman, dan tembakau serta industri lainnya. Pada Tabel 12 di atas, walaupun sektor industri makanan, minuman, dan tembakau tidak termasuk dalam sepuluh besar sektor yang mempunyai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang yang kuat, namun nilai keterkaitan pada sektor tersebut masih cukup tinggi yaitu sebesar 0.3736 untuk keterkaitan
69
langsung ke belakang dan 1.5161 untuk keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang (output multiplier). Apabila sektor-sektor yang mempunyai nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang pada Tabel 12 dibandingkan dengan nilai transaksi eksternal masing-masing sektor pada Tabel 11 hasilnya sangat signifikan. Sektorsektor dengan transaksi eksternal yang besar mempunyai keterkaitan ke belakang yang besar juga. Nilai transaksi eksternal dari sektor barang dari kayu dan hasil hutan lainnya adalah 55.06%, selanjutnya sektor pertambangan migas 54.19%; restoran 53.62 %; tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 53.13%; angkutan udara 51.13%; serta sektor semen dan barang galian bukan logam sebesar 50.29%. Sektor-sektor yang mempunyai pangsa paling besar pada PDRB 2003 menurut harga berlaku ternyata tidak mempunyai keterkaitan ke belakang yang besar, seperti sub sektor perdagangan yang mempunyai pangsa 20.02% dalam PDRB Jawa Timur tahun 2003, sub sektor makanan, minuman, dan tembakau sebesar 14.14% serta sub sektor tanaman bahan makanan sebesar 11,20%. Rendahnya keterkaitan kebelakang ke tiga sub sektor tersebut dikarenakan di dalam penciptaan output dalam perekonomian lebih banyak kepada transaksi input primer daripada kepada transaksi eksternalnya. Pada sektor makanan, minuman, dan tembakau transaksi eksternal hanya sebesar 22.18% sedangkan input primernya adalah 62.64% dan sektor perdagangan dengan input primer sebesar 75.81%. Pada sektor makanan dan minuman, dan tembakau nilai tambah bruto apabila dibandingkan dengan nilai impor sebagai komponen dari input primer nilainya hampir sama, yaitu nilai tambah bruto yang tercipta sebesar 36.94% dan nilai impor sebesar 25.70%. Kecilnya keterkaitan ke belakang dari sektor perdagangan merupakan suatu yang wajar karena sifat dari sektor ini yang dapat disebutkan sebagai sektor antara atau penghubung antara produsen dan konsumen sehingga transaksi yang terjadi pada sektor ini lebih dominan pada penciptaan nilai tambah bruto pada komponen upah dan gaji serta surplus usaha. Apabila dianalisis dari keterkaitan ke depan, maka sektor-sektor perekonomian di Jawa Timur yang dapat mendorong peningkatan nilai output dari sektor-sektor perekonomian lainnya sesuai dengan Tabel 13 adalah sektor pupuk,
70
kimia dan barang dari karet (23), perdagangan (31), pengilangan minyak (28), jasa penunjang angkutan (39), dan peternakan (13). Keberadaan industri pupuk, kimia, dan barang dari karet sangat diperlukan di dalam menunjang kemajuan sektor pertanian. Sebagian besar dari kabupaten/kota di Jawa Timur masih berbasis pada sektor pertanian, oleh karenanya keberadaan industri ini sangat strategis. Selain itu, hasil dari sektor pupuk, kimia, dan barang dari karet didistribusikan kepada sektor-sektor industri lainnya seperti tekstil, barang dari kulit dan alas kaki; semen dan barang galian dan bukan logam; serta industri kertas dan barang cetakan.
Tabel 13
No
Sepuluh sektor terbesar dengan keterkaitan langsung ke depan (DFL) serta keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan (DIFL) Sektor
1 Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 2 Perdagangan 3 Pengilangan Minyak 4 Jasa Penunjang Angkutan 5 Peternakan 6 Kertas dan Barang Cetakan 7 Angkutan Jalan Raya 8 Logam Dasar Besi dan Baja 9 Listrik, Gas, dan Air Bersih 10 Kehutanan Sumber : Tabel I-O Updating 2003. Data diolah.
Kode Sektor 23 31 28 39 13 22 35 25 29 14
DFL
DIFL
1.1787 1.0658 0.9624 0.8310 0.6371 0.4433 0.5198 0.4989 0.3569 0.4450
2.62609 2.47884 2.31073 2.00884 1.82204 1.76445 1.73328 1.72122 1.54077 1.51937
Oleh karena itu, keberadaan industri kimia sebagai industri hulu mempengaruhi perkembangan sektor-sektor industri lainnya karena pemakaian hasil dari produk kimia sebagai bahan baku atau sebagai bahan campuran seperti terlihat pada Gambar 15. Gambar 15 menunjukkan bahwa untuk memproduksi berbagai jenis produk seperti kertas, tekstil, dan farmasi semuanya memerlukan bahan-bahan kimia. Oleh karena itu, keberadaan industri kimia sangat mendukung perkembangan dari sektor-sektor industri lainnya. Apabila ditelusuri koefisien input (matriks A) sektor pupuk, kimia, dan barang dari karet, output dari sektor ini mampu didistribusikan ke seluruh sektor perekonomian di Jawa Timur kecuali sektor pemerintahan dan pertahanan. Hal ini mengindikasikan sangat berperannya sektor ini dalam perekonomian Jawa Timur.
71
Sumber : Departemen Perindustrian.
Gambar 15 Pohon industri kertas.
Permasalahan yang dihadapi oleh sektor industri pupuk,kimia, dan barang dari karet adalah masih besarnya kebutuhan akan impor, yaitu sebesar 54.94%. Pada industri pupuk, kebutuhan akan gas sebagai salah bahan pokoknya sangat besar. Ketergantungan sektor ini dari bahan baku impor terutama bahan gas merupakan penyebab tingginya nilai impor, oleh karena itu perlu dilakukan inovasi teknologi sebagai bahan pengganti gas terutama setelah Indonesia saat ini mengalami krisis energi. Selama ini pasokan gas didatangkan dari Sumatera dan Kalimantan yang merupakan daerah dengan cadangan minyak dan gas bumi yang besar. Untuk keperluan bahan baku industri kimia selain gas sebenarnya Jawa Timur sangat melimpah, sebagai contoh untuk industri kimia yang berasal pertanian dengan menggunakan tebu sebagai bahan bakunya. Komoditas tebu di Jawa Timur sangat besar dan merupakan salah satu sentra dari tanaman tebu di Indonesia. Hampir 60% produksi gula nasional berasal dari Jawa Timur. Sisa atau limbah dari pabrik tebu (tetes tebu) ini yang bisa digunakan sebagai bahan lanjutan industri kimia menjadi produk kosmetika, obat-obatan dan MSG.
72
Sumber : Departemen Perindustrian
Gambar 16 Pohon industri kimia hasil pertanian Demikian juga halnya dengan hasil laut, perkebunan maupun pertanian, Jawa Timur mempunyai potensi perikanan yang sangat besar. Oleh karenanya pengembangan sektor-sektor yang berbasis pada sumber daya lokal sangat diperlukan, selain dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian Jawa Timur dengan mengaitkan industri-industri pengolahan dengan sektor-sektor yang berbasis sumber daya lokal, maka akan terjadi keterkaitan antara industri dan pertanian yang pada akhirnya akan memperkuat struktur perekonomian wilayah. Sektor perdagangan dan sektor jasa penunjang angkutan
mempunyai
keterkaitan ke depan yang besar sehingga diharapkan perkembangan sektor ini dapat memacu sektor lainnya. Untuk itu perlu dilakukan perencanaan pembangunan yang bisa menunjang kedua sektor ini terutama pembangunan infrastruktur yang bisa mempermudah aksesibilitas antar wilayah pada Provinsi Jawa Timur. Keberadaan sarana infrastruktur perhubungan selain akan meningkatkan laju perdagangan antar wilayah di Jawa Timur juga akan mengurangi disparitas antar wilayah itu sendiri. Sektor perdagangan yang merupakan penghubung antara produsen dan konsumen juga mempunyai keterkaitan ke depan yang cukup kuat. Keberadaan sektor perdagangan sebagai sektor yang dimanfaatkan untuk memasarkan hasil produksi akan memacu sektorsektor lainnya untuk meningkatkan hasil produksi atau outputnya. Khusus untuk sektor peternakan, harus
dilakukan perhatian yang lebih
intensif dengan adanya penyebaran wabah penyakit flu burung. Sektor ini sangat
73
erat kaitannya dengan sektor restoran, sektor makanan, minuman dan tembakau selain untuk keperluan konsumsi rumah tangga dan industri (tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki). Jenis hewan yang diternakkan di Jawa Timur adalah sapi potong, sapi perah, kerbau, kuda, babi, kambing, domba, ayam ras pedaging/petelur. Kabupaten Batu merupakan salah contoh sentra pengembangan sapi perah di Jawa Timur. Hasil dari susu sapi di daerah ini sangat besar. Keberadaan KUD yang berada di Batu juga sangat membantu pemasaran susu sapi yang didistribusikan pada pabrik susu atau dijual dalam kemasan langsung sebagai hasil produk industri rumah tangga di Kabupaten Batu. Untuk mengetahui derajat kepekaan dan daya penyebaran sektor-sektor perekonomian di Jawa Timur, maka sektor-sektor tersebut dibagi ke dalam empat kuadran sebagaimana di tunjukkan pada Gambar 17. Kuadran pertama adalah sektor-sektor
yang
mempunyai
derajat
kepekaan
lemah
namun
daya
penyebarannya kuat. Kuadran II, merupakan sektor-sektor yang mempunyai daya penyebaran dan derajat kepekaan yang kuat. Sektor-sektor yang masuk dalam kuadran III merupakan sektor dengan derajat kepekaan kuat dan daya penyebaran yang lemah. Sedangkan pada kuadran IV merupakan sektor dengan derajat kepekaan dan daya penyebaran yang lemah. Sektor-sektor yang termasuk dalam kelompok pertanian sebagian besar berada pada kuadran IV terutama yang termasuk dalam kelompok bahan makanan (padi, jagung, ketela pohon, kedelai, sayur-sayuran, buah-buahan, umbi-umbian, dan kacang tanah). Beberapa hal yang merupakan penyebab lemahnya derajat penyebaran dan derajat kepekaan sektor pertanian antara lain adalah : (1) output dari sektor pertanian dalam kelompok bahan makanan lebih banyak diminta oleh komponen-komponen dalam permintaan akhir, sehingga tidak ada perubahan produk dari hasil pertanian. Sektor-sektor lainnya sedikit di dalam menggunakan output tanaman bahan makanan untuk pengolahan menjadi bentuk produk yang lain, (2) pada beberapa sektor dalam kelompok bahan makanan seperti sayursayuran, buah-buahan, umbi-umbihan, kacang tanah dan kacang-kacang lainnya nilai impornya masih di atas 10% (Lihat Tabel 11). Hal ini mengindikasikan bahwa Jawa Timur pada beberapa kelompok bahan makanan dalam sektor pertanian belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri apalagi untuk keperluan
74
industri., dan (3) sifat dari hasil produksi pada sektor ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan atau end product sehingga bisa tanpa melalui proses pengolahan lebih lanjut untuk mengkonsumsinya, lain halnya dengan hasil produk dari kelompok dalam sektor perkebunan yang memang harus dilakukan
KUAT LEMAH
LEMAH
DERAJAT KEPEKAAN LEMAH KUAT Kacang-Kacang lainnya Kertas dan barang cetakan Tebu Listrik, gas, dan air minum Pertambangan Migas Makanan, minuman, dan tembakau Tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki Alat angkutan mesin dan peralatan Barang dari kayu dan hasil hutan lainnya Pupuk, kimia dan barang dari karet Semen dan barang galian bukan logam Perdagangan Bangunan dan konstruksi Hotel Restoran KUADRAN 1 KUADRAN 2 Angkutan rel Angkutan laut Angkutan penyeberangan Angkutan udara Padi Peternakan Jagung Kehutanan Ketela pohon Penggalian KUADRAN 4 KUADRAN 3 Kedelai Logam dasar besi dan baja Sayur-sayuran Pengilangan Minyak Buah-buahan Angkutan Jalan Raya Umbi-umbian Jasa Penunjang Angkutan Kacang Tanah Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan Tembakau Tanaman Perkebunan Lainnya Perikanan Pertambangan Non Migas Alat angkutan, mesin dan peralatan Barang lainnya Pos dan telekomunikasi Jasa penunjang telekomunikasi Pemerintahan umum Jasa-jasa LEMAH KUAT DERAJAT KEPEKAAN
DAYA PENYEBARAN
DAYA PENYEBARAN
KUAT
pengolahan lebih lanjut baru bisa dikonsumsi.
Sumber : Tabel I-O Jawa Timur Updating 2003. Data diolah.
Gambar 17 Derajat kepekaan dan daya penyebaran sektoral.
Akibat dari rendahnya derajat kepekaan dan daya penyebaran sektor-sektor pertanian pada akhirnya menyebabkan multiplier yang ditimbulkannya menjadi rendah, seperti angka pengganda pendapatan maupun angka pengganda PDRB.
75
Sehingga setiap injeksi dari pemerintah sebesar apapun akan sedikit sekali dampaknya terhadap perekonomian maupun kepada taraf hidup petani itu sendiri. Sektor-sektor industri pada sebagian besar berada pada Kuadran I demikian juga yang termasuk dalam kelompok sektor angkutan, hotel dan restoran . Sektorsektor perekonomian tersebut sangat tergantung dengan sektor lainnya karena daya penyebarannya yang besar. Diharapkan perkembangan sektor yang termasuk dalam kuadran I dapat menggerakkan sektor-sektor perekonomian lainnya secara bersamaan. Sedangkan sektor-sektor yang berada pada Kudran II dengan derajat kepekaan dan daya penyebaran yang besar merupakan simpul perekonomian di Jawa Timur. Permasalahan yang timbul adalah, prioritas pembangunan yang akan dilakukan apakah mendahulukan sektor hulu atau hilir terlebih dahulu. Perbedaan yang terjadi antara sektor hulu dan hilir di Jawa Timur adalah sektor hulu atau sektor dengan derajat kepekaan yang relatif besar cenderung mempunyai nilai impor yang tinggi juga. Salah satu industri di Jawa timur dengan keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang yang besar adalah sektor kertas dan barang cetakan. Industri kertas dan barang cetakan di Jawa Timur sebagaimana Pohon Industri Kertas pada Gambar 15 di dalam proses produksinya menggunakan bahan baku limbah hasil pertanian yaitu jerami dan bagasse. Salah satu kelemahan dari data statistik di Indonesia adalah tidak adanya limbah dari hasil pertanian sebagai salah satu sektor dalam perekonomian, sehingga dalam analisis input output seolah-olah antara sektor pertanian dan sektor kertas dan barang cetakan tidak mempunyai keterkaitan. Menilik Pohon Industri Kertas sebagaimana Gambar 15, sebenarnya antara sektor pertanian terutama padi mempunyai keterkaitan yang besar dengan sektor kertas dan barang cetakan.
Angka Pengganda (Multiplier) Analisis standar yang dapat dilakukan dengan menggunakan Tabel Input Output selain analisis keterkaitan antar sektor adalah angka pengganda. Analisis terhadap angka pengganda yang biasa dilakukan adalah angka pengganda output,
76
angka pengganda pendapatan, angka pengganda pajak, angka pengganda nilai tambah (PDRB), dan angka pengganda tenaga kerja. Sektor-sektor yang mempunyai output multiplier besar sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 14, adalah kertas dan barang cetakan (22), semen dan barang galian bukan logam (24), tekstil, barang dari kulit dan alas kaki (20), angkutan udara (38), dan pertambangan migas (16). Pengembangan sektor-sektor tersebut di atas akan memberikan dampak yang cukup besar di dalam perekonomian Jawa Timur. Sektor-sektor ini mempunyai keterkaitan yang sangat besar dengan sektor lainnya sebagai bahan input produksinya, sehingga setiap ada tambahan satu unit permintaan akhir maka sektor-sektor tersebut akan menggerakkan sektor lainnya untuk meningkatkan outputnya.
Tabel 14 Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda output terbesar No
Sektor
1 Kertas dan Barang Cetakan 2 Semen dan Barang Galian Bukan Logam 3 Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki 4 Angkutan Udara 5 Pertambangan Migas 6 Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya 7 Bangunan dan Konstruksi 8 Restoran 9 Kacang-kacang lainnya 10 Hotel Sumber : Tabel I-O Jawa Timur Updating 2003. Data diolah.
Kode Sektor 22 24 20 38 16 21 30 33 9 32
Output Multiplier 1.9631 1.9337 1.8628 1.7366 1.7099 1.7051 1.6934 1.6776 1.6028 1.5893
Berdasarkan Tabel 15, sektor-sektor yang mempunyai angka pengganda pendapatan paling besar adalah sektor pengilangan minyak (28), pupuk, kimia, dan barang dari karet (23), semen dan barang galian bukan logam (24), dan barang lainnya (27) yang termasuk ke dalam kelompok sektor industri pengolahan serta sektor kacang-kacang lainnya (9) dalam kelompok sektor tanaman bahan makanan.
77
Tabel 15 Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda pendapatan terbesar No
Sektor
1 Pengilangan Minyak 2 Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 3 Semen dan Barang Galian Bukan Logam 4 Kacang-kacang lainnya 5 Barang Lainnya 6 Angkutan Penyeberangan 7 Makanan, Minuman dan Tembakau 8 Restoran 9 Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki 10 Kertas dan Barang Cetakan Sumber : Tabel I-O Jawa Timur Updating 2003. Data diolah
Kode Sektor 28 23 24 9 27 37 19 33 20 22
Income Multiplier 2.5031 2.3486 2.1301 2.0718 2.0713 2.0445 2.0167 2.0112 1.9799 1.9631
Tabel 16 Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda pajak terbesar No
Sektor
1 Barang Lainnya 2 Angkutan Rel 3 Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 4 Semen dan Barang Galian Bukan Logam 5 Pertambangan Migas 6 Kertas dan Barang Cetakan 7 Bangunan dan Konstruksi 8 Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki 9 Pengilangan Minyak 10 Alat Angkutan Mesin dan Peralatan Sumber : Tabel I-O Jawa Timur Updating 2003. Data diolah
Kode Sektor 27 34 23 24 16 22 30 20 28 26
Tax Multiplier 8.3682 5.7272 5.1801 4.1313 4.0478 3.7884 3.4683 3.3536 3.0101 2.4495
Adanya sumber-sumber pendapatan yang terbatas pada daerah untuk melaksanakan
pembangunan
mengharuskan
pemerintah
daerah
mampu
memanfaatkan potensi yang ada di daerahnya. Salah satu potensi yang merupakan sumber pendapatan daerah adalah pajak daerah sebagai bagian dari penerimaan asli daerah. Dari Tabel 16, sektor-sektor yang mampu memberikan sumbangan bagi peningkatan pendapatan daerah dari sektor perpajakan adalah sektor pupuk, kimia, dan barang dari karet (23), semen dan barang galian bukan logam (24), kertas dan barang cetakan (22), kacang-kacang lainnya (9), serta pengilangan minyak (28). Termasuk dalam kategori sektor kacang-kacang lainnya (9) adalah kedelai, kacang panjang, kacang merah.
78
Dalam kaitannya dengan angka pengganda output, sebagaimana terlihat pada Gambar 18 semakin besar angka pengganda output suatu sektor maka angka pengganda pajaknya cenderung semakin besar.
Scatterplot (Data PC LOAD 11v*44c) TM-1 = 2.1272+6.8312*log10(x) 9.0000
27
8.0000
Angka Pengganda Pajak
7.0000 34
6.0000
23 5.0000 24 22
16 4.0000 3.0000
30 26
15 2.0000
20
28
25 44 5 41 2 341 42 18 11 13 6 12 78 17 3510 31 39 1440
38 37
9
32 36 19 29
21 33
1.0000 -0 0.7
0.8
SDIBL:TM-1: r = 0.3742, p = 0.0134
0.9
1.0
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
Angka Pengganda Output
Keterangan : Nomor adalah kode sektor pada lampiran V.
Gambar 18 Hubungan angka pengganda pajak dan angka pengganda output. Di sisi lain apabila kita analisis lebih lanjut, angka pengganda pajak ini mempunyai keterkaitan atau korelasi yang nyata dengan angka pengganda surplus usaha (laba yang diterima oleh pengusaha atau pelaku ekonomi) sebagaimana Gambar 19. Sektor-sektor yang mempunyai angka pengganda surplus usaha yang tinggi adalah sektor-sektor yang juga mempunyai angka pengganda pajak tinggi juga, seperti sektor angkutan rel (34), pupuk, kimia, dan barang dari karet (23), pertambangan migas (16), kertas dan barang cetakan (22), serta semen dan barang galian bukan logam (24).
79
Scatterplot (Data PC LOAD 11v *44c) TM-1 = 0.9931+5.8356*log10(x) 9.0000
27
Angka Pengganda Pajak (TM-1)
8.0000 7.0000 34
6.0000
23
5.0000 4.0000 3.0000 2.0000 1.0000
30
24 16 22
20 28 26 38
15 37 44 4 25 21 15 42 33 2 18 11 13 331 29 19 32 41 36 6 10 17 35 7 8 39 12 14 40
9
SM-1:TM-1:
7.0000
6.0000
5.0000
4.0000
3.0000
2.0000
1.0000
-0
-0
r = 0.7007, p = 0.0000002 Angka Pengganda Surplus Usaha (SM-1)
Keterangan : Nomor adalah kode sektor pada lampiran V.
Gambar 19 Hubungan angka pengganda pajak dan angka pengganda surplus usaha. Tabel 17 Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda PDRB terbesar No
Sektor
1 Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 2 Semen dan Barang Galian Bukan Logam 3 Kertas dan Barang Cetakan 4 Kacang-kacang lainnya 5 Pengilangan Minyak 6 Barang Lainnya 7 Pertambangan Migas 8 Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki 9 Alat Angkutan Mesin dan Peralatan 10 Angkutan Udara Sumber : Tabel I-O Jawa Timur Updating 2003. Data diolah
Kode Sektor 23 24 22 9 28 27 16 20 26 38
PDRB Multiplier 3.3720 2.6819 2.4581 2.2729 2.2611 2.2572 2.1998 2.1894 1.9144 1.8606
Perkembangan ekonomi suatu wilayah di hitung dari PDRB yang dihasilkannya dalam waktu tertentu. Oleh sebab itu, perlu untuk mengetahui sektor-sektor yang mampu memberikan kontribusi PDRB yang besar. Sama halnya dengan angka pengganda lainnya, seperti dalam Tabel 17, sektor-sektor dalam kelompok industri pengolahan dominan di dalam menghasilkan PDRB
80
multiplier. Sektor pertanian yang mempunyai kemampuan besar di dalam menciptakan PDRB multiplier adalah kacang-kacang lainnya (4). Selain itu ada sektor pengilangan minyak (5), pertambangan migas (7), serta angkutan udara (38). Rendahnya angka pengganda PDRB pada sektor-sektor yang selama ini mempunyai pangsa paling besar di dalam PDRB Jawa Timur disebabkan oleh karena nilai PDRB apabila dibandingkan dengan nilai output sektor itu hampir setara sehingga tidak bersifat elastis lagi, oleh karena itu perlu adanya terobosanterobosan dari pemerintah daerah Jawa Timur untuk mengembangkan sektorsektor lainnya yang masih bersifat elastis sehingga dapat memberikan kontribusi yang cukup besar kepada peningkatan PDRB.
Scatterplot (D ata PC LOAD 11v *44c) VM-1 = 0.9318-0.5349*x+0.6808*x^2 3.6000 23
3.4000
Angka Pengganda PDRB (VA-M)
3.2000 Multiplier Output:VM-1:
3.0000
r = 0.6922, p = 0.0000002
2.8000
24
2.6000 2.4000
22 28
9
27
2.2000 2.0000
26
1.8000 1.6000
25
1.0000 0.8000 0.8
13 3 4431 41 42 10 11 35 739 81 2 5 18 15 4 12 14 6 4340 17
1.0
1.2
32 29
34
1.4000 1.2000
37 19
16
20
38 33 21 30
36
1.4
1.6
1.8
2.0
2.2
Angka Pengganda Output
Keterangan : Nomor adalah kode sektor pada lampiran V.
Gambar 20 Hubungan angka pengganda PDRB dan angka pengganda output. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Jawa Timur adalah tingginya angka penggangguran yang mencapai 9.09%. Sehingga aspek penyerapan tenaga kerja merupakan permasalahan yang sangat penting di dalam pembangunan ekonomi. Data mengenai tenaga kerja di Jawa Timur bersumber dari Data Base
81
Tenaga Kerja Tahun 2000 (BPS) dan Tabel I-O Interregional 30 Sektor 30 Provinsi Tahun 2000 (Bappenas). Selanjutnya, berdasarkan data tersebut dilakukan estimasi terhadap beberapa sektor, sehingga diperoleh data tenaga kerja Jawa Timur 44 Sektor. Rincian secara lengkap data tenaga kerja per sektor Jawa Timur tercantum pada Lampiran VIII. Tabel 18 Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda tenaga kerja terbesar No
Sektor
1 Alat Angkutan Mesin dan Peralatan 2 Pengilangan Minyak 3 Semen dan Barang Galian Bukan Logam 4 Kertas dan Barang Cetakan 5 Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya 6 Pertambangan Migas 7 Angkutan Udara 8 Listrik, Gas, dan Air Bersih 9 Angkutan Penyeberangan 10 Makanan, Minuman dan Tembakau Sumber : Tabel I-O Jawa Timur Updating 2003. Data diolah.
Kode Sektor 26 28 24 22 21 16 38 29 37 19
Employment Multiplier 41.6838 14.5168 8.3406 5.9807 4.4465 4.3440 4.2377 4.1895 4.1140 3.2953
Angka pengganda tenaga kerja merupakan efek total dari perubahan lapangan pekerjaan di perekonomian akibat adanya satu unit uang perubahan permintaan akhir pada sektor tertentu. Dari Tabel 18 di atas, sektor-sektor yang mempunyai angka pengganda tenaga kerja yang besar dominan pada sektor industri, antara lain sektor alat angkutan mesin dan peralatan; semen dan barang galian bukan logam; kertas dan cetakan; barang dari kayu dan hasil hutan lainnya; serta makanan, minuman, dan tembakau. Kondisi di atas menunjukkan adanya kondisi yang tidak normal atau anomali terkait dengan besarnya angka pengganda tenaga kerja pada sektor alat angkutan mesin dan peralatan serta pengilangan minyak bumi. Hal tersebut disebabkan karena jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor tersebut tidak terlalu besar sedangkan total output yang dihasilkan sangat besar. Akibatnya koefisien input tenaga kerja yang dihasilkan menjadi sangat kecil dan selanjutnya menghasilkan nilai angka pengganda tenaga kerja yang sangat besar. Menurut Amir dan Nazara (2005), hasil ini masih dapat diterima karena menggambarkan kondisi pembangunan di Provinsi Jawa Timur secara wajar.
82
Sektor-sektor yang termasuk dalam pertanian mempunyai angka pengganda tenaga kerja yang kecil. Selain sektor-sektor pertanian, sektor lainnya yang mempunyai angka pengganda tenaga kerja yang rendah adalah sektor perdagangan, sektor pengangkutan, sektor pemerintah, dan sektor jasa. Rendahnya angka pengganda tenaga kerja pada sektor-sektor tersebut di atas mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja pada sektor tersebut sudah sangat jenuh. Dari hal tersebut di atas, pengembangan sektor-sektor non pertanian terutama industri pengolahan sangat relevan dengan pembangunan perekonomian di Jawa Timur karena dampak terhadap serapan tenaga kerjanya yang cukup besar.
Peningkatan Pendapatan Sektor Pertanian Sebagian besar penduduk Jawa Timur bekerja pada sektor pertanian, yaitu sebesar 49.06%, pada sektor perdagangan 17.90% dan industri sebesar 12.12%. Dari total 49.06% yang bekerja di sektor pertanian, berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2003, sebanyak 3.441.092 merupakan RT Petani Gurem atau sekitar 72.81% dari total RT Petani Pengguna Lahan yang berjumlah 4.726.083 rumah tangga. Dari hal tersebut di atas, sektor pertanian selain menyerap jumlah tenaga kerja yang sangat besar di Jawa Timur juga merupakan potensi bagi pemasaran barang-barang hasil produksi sektor-sektor non pertanian. Kemajuan sektor pertanian sangat menentukan kinerja ekonomi secara keseluruhan melalui permintaan terhadap sektor-sektor lainnya. Apabila tingkat pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor pertanian meningkat maka akan memberikan dampak multiplier yang besar bagi perekonomian. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, produktivitas tenaga kerja pada sektor pertanian lebih rendah apabila dibandingkan dengan tenaga kerja yang bekerja pada sektor industri karena banyaknya tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian apabila dibandingkan dengan sektor industri maupun sektor perdagangan. Selain itu, dari hasil analisis terhadap angka pengganda pendapatan pada tabel input output, ternyata sektor-sektor yang termasuk dalam pertanian mempunyai nilai yang kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat upah yang diterima oleh petani lebih rendah terhadap sektor-sektor lainnya. Rendahnya angka pengganda pendapatan maupun angka-angka
pengganda lainnya dari sektor pertanian
83
merupakan implikasi dari rendahnya keterkaitan ke depan maupun ke belakang sektor-sektor pertanian terhadap sektor-sektor lainnya. Berbagai permasalahan yang timbul dalam upaya peningkatan pendapatan para petani adalah sebagai berikut : 1. dari aspek pertanahan terjadi ketimpangan dalam alokasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah antar sektor, khususnya antara sektor pertanian dan non pertanian yang mengarah pada penyusutan tanah pertanian terutama pangan. Sebagian besar petani adalah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0.5 Ha. Pada tahun 2003, berdasarkan data PODES 2003, konversi lahan pertanian di Jawa Timur selama tiga tahun terakhir untuk lahan pertanian menjadi non pertanian sebesar 88.289.7 Ha. Konversi lahan pertanian paling besar digunakan keperluan perumahan dan industri. 2. Indonesia yang merupakan negara agraris saat ini merupakan salah satu negara terbesar yang harus mengimpor produk-produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Jika impor atas produk-produk pertanian ini tetap berjalan, dalam jangka panjang akan mengancam pengangguran masal karena sebagian besar penduduk bekerja pada sektor pertanian. 3. Permasalahan ketiga yang timbul terkait dengan tingkat pendapatan petani yang rendah adalah, dari sisi penawaran hasil produk-produk sektor pertanian pada tabel I-O Jawa Timur ternyata sangat lemah. Hanya ada beberapa sektor saja yang mampu memasok hasil produk pertanian (kacang-kacang lainnya) ke sektor-sektor dalam kelompok industri pengolahan, yang lainnya sebagian besar langsung ke permintaan akhir untuk rumah tangga dan ekspor. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor-sektor industri pengolahan di Jawa Timur banyak yang tidak berbasis pada sumber daya lokal. Tidak adanya pengolahan lebih lanjut produk pertanian pada akhirnya nilai tambah yang seharusnya tercipta tidak terjadi. 4. Dari sisi mekanisme pasar, petani menghadapi
pasar yang bersifat
monopsonik. Petani seolah-olah menghadapi pembeli yang bersifat tunggal sedangkan petani sebagai produsen banyak sekali jumlahnya. Hal ini pada
84
akhirnya melemahkan nilai tawar petani karena tidak mempunyai kemampuan di dalam menentukan harga. 5. Dari sisi input sebagai biaya produksi, petani dihadapkan pada mahalnya pembelian obat-obatan dan pupuk selain itu hasil-hasil dari produksi pertanian merupakan barang yang mudah rusak sehingga rentan terhadap jarak. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, usaha-usaha yang dapat dilakukan pemerintah daerah di dalam mendorong atau meningkatkan pendapatan petani menurut Anwar (2005a) antara lain sebagai berikut : 1. membangun kawasan agropolitan yang diposisikan secara sinergis dalam sistem pengembangan wilayah melalui penerapan sistem pemukiman kota dan pedesaan serta Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) yang terkait dengan kota-kota kecil dan menengah (mikropolitan) di kawasan budi daya didukung oleh sistem transportasi yang baik. 2. pengembangan dan pembangunan ekonomi daerah harus berupa kegiatankegiatan ekonomi yang mendayagunakan sumber daya yang terdapat atau dikuasai/dimiliki masyarakat daerah yang bersangkutan (berbasis sumber daya lokal). Selain hal tersebut di atas, maka langkah-langkah lain yang bisa dilakukan di dalam meningkatkan pendapatan petani adalah : 1. Secara kelembagaan, peran petani dalam perekonomian perlu diperkuat. Oleh karena itu, perlu adanya suatu wadah yang bisa memperjuangkan nasib para petani sehingga mempunyai nilai tawar yang tinggi. Dengan kelembagaan yang kuat, maka petani tidak lagi dihadapkan dalam posisi dengan pembeli tunggal dalam perekonomian, namun petani bisa menentukan harga. Hal-hal yang bisa dilakukan oleh kelembagaan petani adalah upaya-upaya meningkatkan mutu produksi sehingga bisa meningkatkan daya saing dan harga produk dan melakukan pembatasan kuota produksi, sehingga harga bisa tetap dipertahankan. 2. Terhadap mahalnya harga pupuk dan obat-obatan, serta terkadang petani menghadapi kelangkaan barang-barang tersebut, menuntut pemerintah daerah harus lebih perhatian terhadap permasalahan tersebut. Subsidi yang tepat
85
sasaran dan tepat pada orangnya akan membantu petani di dalam menghadapi hal tersebut. 3. Mengatasi sifat dari komoditi pertanian yang mudah rusak dan rentan terhadap jarak pengiriman, maka solusi yang bisa dilakukan adalah membangun jaringan secara berhirarki untuk pemasaran produk pertanian sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 21. Produk pertanian dari daerah penghasil di bawah ke daerah lainnya, di sini dilakukan proses produksi menjadi barang setengah jadi baru kemudian dikirim ke industri pengolahan. Keuntungan dari model yang dilakukan seperti ini antara lain : (1) hasil produksi pertanian lebih awet, (2) nilai tambah yang terjadi menjadi lebih besar
karena
ada
proses
pengolahan
terlebih
dahulu,
(3)
dengan
mengumpulkan terlebih dahulu hasil-hasil produk pertanian yang tadinya tersebar pada berbagai daerah pada industri pengolahan awal, maka secara volume hal ini bisa memenuhi kebutuhan pasokan bagi industri pengolahan. Dari hal ini maka keterkaitan antara sektor pertanian dan industri pengolahan sudah mulai terbangun. Membangun hubungan keterkaitan atau jaringan pada akhirnya akan memberi manfaat berupa economic of scale,
yaitu manfaat-manfaat ekonomi atau
penghematan biaya yang terkait dengan besaran. Misalnya membeli eceran lebih mahal daripada secara grosir dan memasarkan produk sendiri akan lebih mahal daripada secara bersama-sama. Manfaat lainnya adalah economic of scope, yaitu adanya manfaat-manfaat atau penghematan biaya-biaya yang terkait dengan cakupan garapan. Selain dengan membangun sistem hierarki pemasaran sebagaimana Gambar 21, hal lain yang bisa dilakukan untuk menghindari kerusakan produk pertanian adalah mendekatkan industri pengolahan bahan pertanian ke lokasi penghasil produk pertanian. Hal ini terkait dengan sifat ketidaksempurnaan perpindahan atas barang dan jasa (imperfect of goods and services), sehingga industri akan mendekat ke lokasi bahan baku. Seperti pabrik gula dekat dengan kebun tebu untuk mengurangi kehilangan rendemen karena rendemen akan berkurang dengan bertambahnya waktu dan untuk mengurangi biaya produksi.
86
3
2
1
1
2
1
1
1
1
Keterangan 1 : Hasil-hasil produksi pertanian dari daerah pertanian 2 : Pengumpulan hasil produk pertanian pada daerah tertentu untuk pengolahan awal 3 : Industri pengolahan yang mengolah produk pertanian lebih lanjut
Gambar 21 Hierarki pemasaran dan pengolahan produk pertanian. Dengan meningkatkan pembangunan pertanian dan pedesaan maka di sisi lain akan mampu meningkatkan kinerja sektor industri. Sifat ini disebabkan karena terdapat keterkaitan yang erat antara sektor pertanian dengan sektor industri yang meliputi keterkaitan-keterkaitan antara produk, konsumsi, dan investasi (Anwar 2005b). Amir
dan
Nazara
(2005),
juga
menyatakan
tentang
pentingnya
pembangunan terhadap sektor pertanian di Jawa Timur. Walaupun sektor-sektor yang termasuk dalam kelompok pertanian peranannya kurang dominan dari sisi besarnya output dan angka pengganda, namun hal ini bukan berarti sektor pertanian tidak penting mengingat beberapa alasan. Pertama, sektor pertanian merupakan penopang utama industri pengolahan terutama sektor industri makanan, minuman, dan tembakau. Kedua, sektor pertanian di Jawa Timur masih menyerap tenaga kerja yang paling besar. Ketiga, hasil pertanian di Jawa Timur tidak hanya dikonsumsi bagi perekonomian Jawa Timur tetapi juga diekspor ke wilayah provinsi lainnya.
87
Sektor Unggulan Jawa Timur Hasil analisis dengan menggunakan metode PCA terhadap variabel-variabel yang digunakan dalam menentukan sektor unggulan, yaitu (1) keterkaitan ke depan, (2) keterkaitan ke belakang, (3) angka pengganda pendapatan, (4) angka pengganda pajak, (5) angka pengganda PDRB, (6) koefisien impor, dan (7) angka pengganda tenaga kerja menghasilkan dua faktor komponen utama sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil PCA terhadap variabel-variabel penentu sektor unggulan No Variabel 1 Keterkaitan langsung tidak langsung ke depan 2 Keterkaitan langsung tidak langsung ke belakang 3 Angka pengganda pendapatan 4 Angka pengganda pajak 5 Angka pengganda PDRB 6 Koefisien impor 7 Angka penganda tenaga kerja Ragam diterangkan Proporsi yang dapat diterangkan dari total ragam
Kode SDIFL SDIBL Inc-M T-M VA-M M Epl-M Expl.Var Prp.Totl
F1 0.1911 0.8902 0.8649 0.6640 0.9234 -0.0681 0.2832 2.9554 0.4222
F2 0.6185 -0.3148 0.3261 0.3226 0.3022 0.8881 0.4307 1.7575 0.2511
Sumber : Data hasil olahan.
Jumlah ragam yang dapat diterangkan dalam model di atas sebesar 67,33% dari total seluruh data yang digunakan. Akar ciri pada faktor komponen pertama adalah 2.96 sedangkan pada faktor komponen kedua sebesar 1.76. Tabel 19 juga menunjukkan bahwa sektor hilir dengan keterkaitan ke belakang (SDIBL) mempunyai korelasi yang nyata dan searah dengan angka pengganda pendapatan, angka pengganda pajak, dan angka pengganda PDRB. Sedangkan sektor hulu dengan keterkaitan ke depan (SDIFL) mempunyai korelasi yang nyata dan searah dengan impor. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor-sektor dengan keterkaitan ke depan yang besar relatif mempunyai nilai impor yang tinggi juga. Sedangkan korelasi terhadap angka pengganda tenaga kerja, antara sektor hulu maupun sektor hilir tidak mempunyai korelasi yang nyata. Angka pembobot dari masing-masing faktor komponen di atas berdasarkan akar ciri (eigenvalue) masing-masing adalah (1) untuk angka pembobot pertama sebesar (2.9544/(2.9544+1.7575) = 0.6271 dan (2) untuk angka pembobot kedua
88
sebesar (1.7575/(2.9544+1.7575) = 0.3729. Total dari pembobot pertama dan kedua sebesar 1. Angka pembobot tersebut di atas selanjutnya dikalikan dengan faktor skor dari masing-masing sektor. Terhadap sektor-sektor dengan input menggunakan sumber daya yang tidak terbaharukan (non renewable) dikalikan dengan angka nol sehingga hasil akhirnya adalah nol, artinya sektor-sektor tersebut tidak masuk dalam kriteria sektor unggulan. Sedangkan sektor-sektor dengan input sumber daya yang terbaharukan (renewable) dikalikan dengan angka satu. Tabel 20 Lima sektor unggulan di Jawa Timur No
Kode Sektor 22 20 9 33 30
Sektor
1 Kertas dan Barang Cetakan 2 Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki 3 Kacang-kacang lainnya 4 Restoran 5 Bangunan dan Konstruksi Sumber : Data hasil olahan.
Hasil
dari
perhitungan
di
atas,
maka
Total Skor
sektor-sektor
0.9049 0.8896 0.8008 0.7802 0.7751
yang
dapat
diindentifikasikan sebagai sektor unggulan di Jawa Timur sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 20 adalah sektor kertas dan barang cetakan (22); tekstil, barang dari kulit dan alas kaki (20); kacang-kacang lainnya (9); restoran (33); serta bangunan dan konstruksi (30). Pembangunan perekonomian dan permintaan akhir selayaknya diarahkan kepada sektor-sektor unggulan tersebut karena akan memberikan pengaruh dan dampak terhadap sektor-sektor lainnya di Jawa Timur karena sektor-sektor tersebut mempunyai dampak multiplier serta keterkaitan yang tinggi terhadap sektor-sektor perekonomian lainnya, dari sisi nilai impor juga relatif rendah, serta menggunakan sumber daya yang berkelanjutan (renewable). Sektor-sektor unggulan di Jawa Timur di atas hasil dari penelitian yang telah dilakukan, sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Amir dan Nazara (2005). Dalam penelitiannya, Amir dan Nazara menyimpulkan bahwa selama periode tahun 1994 sampai dengan 2000, sektor-sektor unggulan di Jawa Timur tidak berubah walaupun mengalami perubahan urutan. Lima sektor teratas
89
yang merupakan sektor unggulan berdasarkan penelitiannya adalah sektor pengilangan minyak, sektor restoran dan hotel, sektor industri lainnya, sektor bangunan, dan sektor industri makanan, minuman, dan tembakau. Sektor industri lainnya di dalam penelitian Amir dan Nazara (2005), merupakan gabungan dari beberapa jenis industri yang meliputi industri pengolahan dan penyamakan barang dari kulit, industri bambu, industri tekstil dan pakaian jadi, industri kertas, serta industri semen dan kapur. Sehingga untuk memacu pertumbuhan perekonomian di Jawa Timur yang meliputi peningkatan output, peningkatan pendapatan, dan peningkatan lapangan pekerjaan serta dampak stimulasi terhadap sektor-sektor lainnya, maka prioritas pembangunan dan investasi harus diarahkan ke sektorsektor unggulan tersebut di atas.
KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR Keterkaitan Sektor Hulu dan Sektor Hilir Hasil dari analisis dengan menggunakan PCA menunjukkan sektor-sektor perekonomian pada bagian hulu dan sektor-sektor pada bagian hilir tidak mempunyai keterkaitan seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 21. Sektor hulu merupakan sektor-sektor dalam perekononomian di Jawa Timur yang dicirikan dengan derajat kepekaan atau keterkaitan ke depan baik langsung dan tidak langsung yang relatif besar, sedangkan sektor hilir merupakan sektor-sektor dengan karakteristik derajat penyebaran atau keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang yang relatif besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Tidak adanya saling keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir ditunjukkan dengan terpisahnya kedua sektor ini di dalam masing-masing komponen utama (F1 dan F2). Tabel 21 Keterkaitan sektor hulu dan sektor hilir No
Variabel
1 Keterkaitan langsung ke belakang 2 Keterkaitan langsung & tidak langsung ke belakang 3 Keterkaitan langsung ke depan 4 Keterkaitan langsung & tidak langsung ke depan 5 Angka pengganda pendapatan 6 Angka pengganda surplus usaha 7 Angka pengganda penyusutan 8 Angka pengganda pajak 9 Angka pengganda impor 10 Angka pengganda PDRB Ragam diterangkan Proporsi yang dapat diterangkan dari total ragam
Kode SDBL SDIBL SDFL SDIFL INC-M S-M D-M T-M M-M VA-M Expl.Var Prp.Totl
F1
F2
F3
0.939 0.938 0.031 0.076 0.789 0.635 0.273 0.539 -0.224 0.836 3.910 0.391
-0.163 -0.129 0.970 0.965 0.403 0.175 0.048 0.281 -0.301 0.409 2.447 0.245
-0.060 -0.026 -0.029 -0.031 0.128 0.327 0.855 0.591 0.589 0.254 1.623 0.162
Commu nality 0.9878 0.9874 0.9909 0.9914 0.8781 0.6659 0.6134 0.7875 0.3161 0.9264 0.798
Sumber : Data hasil olahan.
Tidak adanya keterkaitan yang kuat antara sektor-sektor pada bagian hulu maupun pada bagian hilir sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 21, bukan berarti antara kedua sektor tersebut benar-benar tidak terkait, namun keterkaitan yang ada mungkin sangat lemah sehingga terpisah di dalam tiga faktor komponen utama yang berbeda (F1, F2, dan F3). Sebagaimana telah diulas pada bab sebelumnya, keterkaitan yang terjadi bisa juga disebabkan karena sistem pencatatan dalam sektor-sektor perekonomian yang belum sempurna, sebagai contoh keterkaitan
91
antara sektor kertas dan barang cetakan terhadap sektor pertanian dalam matriks koefisien input (matriks A) tidak ada sama sekali, sedangkan sektor kertas dan barang cetakan bahan baku utamanya adalah jerami dan bagasse yang merupakan limbah dari hasil pertanian. Sehingga, keterkaitan antara sektor pertanian terhadap sektor kertas dan barang cetakan sebenarnya kuat. Namun, secara umum hasil dari analisis PCA di atas menyatakan bahwa sektor-sektor perekonomian di Jawa Timur keterkaitannya memang masih sangat lemah. Pada faktor komponen utama pertama (F1), sektor-sektor perekonomian pada bagian hilir mempunyai korelasi yang nyata dengan angka pengganda pendapatan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya beli masyarakat maka pengembangan sektor-sektor hilir sangat diutamakan. Sektor-sektor pada bagian hilir juga mempunyai korelasi dengan angka pengganda surplus usaha, angka pengganda PDRB, dan angka pengganda pajak. Korelasi antara sektor hilir terhadap angka pengganda pajak sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 21 mempunyai nilai 0.539. Angka ini sebenarnya mencerminkan korelasi yang tidak terlalu besar, namun asumsi yang digunakan pada analisis ini menyatakan bahwa nilai di atas 0.5 masih dianggap nyata dan mempunyai korelasi. Dari sisi communality-nya angka pengganda pajak mempunyai nilai yang cukup besar, yaitu 0.7875. Nilai communality di atas mengindikasikan bahwa nilai tersebut mampu menerangkan karakteristik umum dari variabel yang diteliti atau mempunyai nilai common factor yang besar (Saefulhakim 2004a). Beberapa hal yang menyebabkan korelasi sektor hilir terhadap angka pengganda pajak yang kecil ini antara lain dikarenakan: (1) belum optimalnya para aparat pemerintah daerah dalam menggali potensi-potensi penerimaan pajak, (2) selama ini beberapa jenis pajak, bea, maupun cukai masih dikuasai oleh pemerintah pusat. Pajak-pajak yang dikuasai oleh pemerintah pusat
pada
umumnya sangat besar nilai sedangkan yang diserahkan kepada daerah adalah pajak-pajak yang relatif
kecil hasilnya, dan (3) indikasi awal bahwa sektor
industri yang berada di Jawa Timur sebagian besar adalah kelompok industri kecil dan menengah sehingga hasil produksi atau nilai tambah yang diperoleh dari sektor ini belum tersentuh oleh pajak.
92
Beberapa pabrik rokok di Jawa Timur yang sangat besar omzetnya seperti PT Gudang Garam, PT Bentoel, PT Sampoerna, dan PT BAT, selama ini dalam pembayaran cukai rokoknya masih masuk ke rekening kas negara bukan ke rekening kas daerah. Mekanisme bagi hasil dari penerimaan cukai ini belum ada, sehingga murni 100% masuk sebagai penerimaan pemerintah pusat. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sangat besar nilainya juga masih dikuasai oleh pusat. Dengan nilai produksi dari sektor industri yang sangat besar di Jawa Timur, pemerintah daerah hanya menikmati bagi hasil dari Pajak Penghasilan Perseorangan (PPh Pasal 21) maupun Pajak Penghasilan Badan (PPh Pasal 25 dan 29 sesuai dengan UU 33/2004). Potensi pajak yang sangat besar di daerah sebenarnya adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Namun karena keterbatasan sarana maupun prasarana dari aparat pajak maupun pemerintah daerah, maka penerimaan dari sektor ini masih belum optimal. Salah satu sebabnya adalah nilai penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang masih di bawah harga pasaran. Oleh karena itu, perlu kerja sama antara aparat pajak dan pemerintah daerah di dalam melakukan pendataan mengenai harga tanah dan bangunan yang lebih terukur serta perlunya struktur intensif yang jelas bagi para aparat pemerintah daerah dan pajak di dalam melakukan pendataan tersebut. Pada faktor komponen utama kedua (F2), ternyata sektor hulu yang mempunyai keterkaitan ke depan baik langsung maupun tidak langsung, tidak mempunyai korelasi yang nyata dengan variabel-variabel lainnya. Sehingga output dari sektor-sektor pada bagian hulu belum mempunyai kemampuan untuk mendorong peningkatan produksi pada bagian hilir. Tidak adanya keterkaitan pada bagian hulu yang merupakan sektor-sektor primer pada perekonomian seperti sektor pertanian terhadap sektor hilir memberikan indikasi bahwa hasilhasil dari sektor pertanian belum mampu memenuhi standar industri atau belum mengarah kepada diversifikasi produk sehingga output dari sektor hulu lebih banyak untuk keperluan konsumsi atau bukan produk non olahan, atau langsung dijual dalam bentuk bahan mentah sebagai komoditi ekspor, sehingga nilai tambah yang ada terjadi di luar daerah.
93
Sedangkan pada faktor komponen utama ketiga, angka pengganda penyusutan mempunyai korelasi yang searah dengan angka pengganda pajak dan angka pengganda impor. Angka pengganda pajak berada pada dua faktor yang berbeda, yaitu pada faktor komponen pertama dan faktor komponen ketiga. Pada faktor komponen pertama, instrumen pajak berfungsi sebagai sumber-sumber pendapatan daerah sedangkan pada faktor komponen ketiga pajak merupakan instrumen untuk membatasi produk-produk impor atau lebih berfungsi sebagai alat proteksi untuk melindungi produk-produk di Jawa Timur. Dari hasil analisis di atas, perlu upaya-upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah agar terjadi keterkaitan yang lebih kuat lagi antara sektor hulu dan sektor hilir. Secara spasial, tidak adanya keterkaitan antara sektor hulu yang dicirikan oleh sektor-sektor pertanian serta sektor hilir yang dicirikan oleh sektorsektor industri mengindikasikan juga lemahnya keterkaitan antar wilayah. Kabupaten/kota yang berbasis sektor pertaian mempunyai keterkaitan (linkage) yang lemah terhadap kabupaten/kota yang berbasis sektor industri.
Tipologi Sektor-Sektor Perekonomian di Jawa Timur Berdasarkan hasil analisis PCA, selanjutnya dilakukan analisis gerombol dengan menggunakan faktor skor dari analisis PCA. Analisis ini menghasilkan empat kelompok sektor-sektor dalam perekonomian di Jawa Timur dengan karakteristik sebagai berikut : Kelompok I
: sektor-sektor dengan karakteristik keterkaitan ke depan yang tinggi serta angka pengganda impor yang relatif tinggi juga.
Kelompok II : sektor-sektor dengan angka pengganda penyusutan, angka pengganda pajak, dan angka pengganda impor yang relatif rendah. Keterkaitan ke depan dan belakang juga relatif rendah. Kelompok III : sektor-sektor dengan karakteristik keterkaitan ke depan yang yang tidak begitu tinggi dan angka pengganda impor yang dihasilkan rendah. Kelompok IV : sektor-sektor dengan keterkaitan ke belakang, angka pengganda pendapatan, angka pengganda surplus usaha, angka pengganda
94
pajak, dan angka pengganda PDRB yang tinggi. Angka pengganda impor rendah.
Plot of Means f or Each Cluster 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -2.0 FS1
FS2
FS3
Cluster Cluster Cluster Cluster
1 2 3 4
Variables
Gambar 22 Grafik hasil analisis peubah-peubah tipologi sektoral. Hasil dari analisis gerombol di atas, terlihat bahwa sektor-sektor pertanian berada pada kelompok II sebagaimana ditujukkan pada Tabel 22 . Hal ini sesuai dengan analisis yang telah dilakukan sebelumnya, bahwa sektor-sektor pertanian mempunyai keterkaitan yang lemah naik ke depan dan ke belakang serta dampak multiplier yang ditimbulkannya juga tidak terlalu besar. Sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan di Jawa Timur berada pada kelompok IV dengan karakteristik keterkaitan ke belakang yang kuat serta angka pengganda yang dihasilkannya besar, baik angka pengganda pendapatan, surplus usaha, pajak, dan PDRB. Dalam jangka panjang, pengembangan sektor-sektor yang berada pada Kelompok IV akan sangat menguntungkan bagi perekonomian di Jawa Timur karena keterkaitan sektoral serta angka pengganda yang dihasilkan bagus bagi perekonomian di Jawa Timur. Namun prioritas pembangunan sesuai dengan konsep pembangunan tidak berimbang (imbalanced growth) tetap diarahkan pada sektor-sektor unggulan di Jawa Timur sebagai leading sector.
Tabel 22 Kelompok sektor-sektor perekonomian menurut analisis gerombol
KELOMPOK I ¾ ¾ ¾
Pupuk, kimia, dan barang dari karet Barang Lainnya Pengilangan Minyak
KELOMPOK II ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾
Padi Jagung Ketela Pohon Kedelai Sayur-sayuran Buah-buahan Umbi-umbian Kacang Tanah Tebu Tembakau Tanaman Perkebunan Lainnya Perikanan Pertambangan Non Migas Penggalian Angkutan Laut Pos dan Telekomunikasi Jasa Penunjang Telekomunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
KELOMPOK III ¾ ¾ ¾ ¾ ¾
Peternakan Kehutanan Logam Dasar Besi dan Baja Angkutan Jalan Raya Jasa Penunjang Angkutan
KELOMPOK IV ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾
Kacang-kacang lainnya Pertambangan migas Makanan, minuman, & tembakau Tekstil, barang dari kulit & alas kaki Barang dari kayu dan hasil hutan lainnya Kertas dan barang cetakan Semen dan barang galian bukan logam Alat angkutan mesin dan peralatan Listrik, gas, dan air bersih Hotel Restoran Angkutan rel Angkutan penyeberangan Angkutan udara
LOKASI SEKTOR UNGGULAN di JAWA TIMUR Kondisi Umum Perekonomian Kabupaten/Kota di Jawa Timur Perekonomian di berbagai kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Timur terbentuk dari berbagai macam aktivitas sektor-sektor perekonomian yang ada di wilayah tersebut. Untuk menganalisis kegiatan perekonomian dalam satu wilayah, maka kegiatan-kegiatan ekonomi tersebut dikelompokkan dalam sembilan sektor/lapangan usaha. Provinsi Jawa Timur terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota. Dari 38 kabupaten/kota tersebut, masing-masing daerah mempunyai karakteristik alam, sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan produktivitas perekonomian antarwilayah yang satu berbeda dengan wilayah lainnya. Tabel 23 menunjukkan bahwa Kota Surabaya (78) yang merupakan ibu kota provinsi Jawa Timur mempunyai peran yang sangat besar di dalam menciptakan nilai tambah bruto (PDRB) di Jawa Timur. Pada tahun 2000 peran Surabaya sebesar 20.39 % dan meningkat menjadi 21.14 % pada tahun 2003. Daerah lain yang mempunyai peran cukup besar di dalam menciptakan PDRB Jawa Timur selain Kota Surabaya adalah Kota Kediri (71), Kabupaten Sidoarjo (15), Kabupaten Gresik (25), dan Kabupaten Pasuruan (14). Daerahdaerah tersebut pada umumnya merupakan daerah yang berbasis pada sektor industri. Kota Kediri merupakan kota dengan industri rokok yang besar, Kabupaten Gresik terdapat industri pupuk dan semen, sedangkan Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Pasuruan merupakan sentra industri di Jawa Timur. Struktur nilai tambah yang terbentuk dari masing-masing sektor, menggambarkan tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap sektor tersebut. Semakin besar nilai tambah suatu sektor maka semakin besar pula wilayah tersebut tergantung dari sektor tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, nilai tambah bruto Jawa Timur sangat dipengaruhi oleh tiga sektor yang paling besar pangsanya dalam pembentukan nilai tambah bruto Jawa Timur. Keempat sektor tersebut adalah sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, hotel, dan restoran.
97
Tabel 23 PDRB kabupaten/kota di Jawa Timur berdasarkan harga berlaku No
Kode Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
78 71 15 25 14 7 73 9 10 23 6 13 4 16 17 8 24 22 29 5 18 12 21 2 27 26 20 11 19 74 28 3 77 1 75 76 72 79
Kabupaten / Kota Kota Surabaya Kota Kediri Kab. Sidoarjo Kab. Gresik Kab. Pasuruan Kab. Malang *) Kota Malang Kab. Jember Kab. Banyuwangi Kab. Tuban Kab. Kediri Kab. Probolinggo Kab. Tulungagung Kab. Mojokerto Kab. Jombang Kab. Lumajang Kab. Lamongan Kab. Bojonegoro Kab. Sumenep Kab. Blitar Kab. Nganjuk Kab. Situbondo Kab. Ngawi Kab. Ponorogo Kab. Sampang Kab. Bangkalan Kab. Magetan Kab. Bondowoso Kab. Madiun Kota Probolinggo Kab. Pamekasan Kab. Trenggalek Kota Madiun Kab. Pacitan Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Blitar Kota Batu Jawa Timur
2000 (Jt Rupiah) 34 601 709.02 15 704 935.89 13 948 411.74 9 248 657.62 7 685 343.50 7 249 771.91 6 235 329.57 5 773 954.87 5 257 992.27 4 689 012.53 4 446 017.76 3 763 134.56 3 660 244.48 3 351 593.21 3 028 695.86 2 930 750.78 2 850 561.41 2 659 933.65 3 109 565.42 2 559 674.97 2 328 193.84 2 213 985.16 2 031 527.46 2 062 327.04 1 986 216.76 1 994 353.93 1 821 526.67 1 850 528.56 1 582 779.10 1 485 951.63 1 517 270.18 1 229 915.56 1 149 397.96 1 195 154.61 940 216.42 836 643.50 699 349.01 169 680 628.41
TAHUN 2003 (Jt Rupiah) 53 767 080.55 22 411 658.28 21 130 684.28 14 655 473.37 11 860 540.45 10 155 640.89 9 424 955.95 8 600 022.15 7 783 916.93 7 116 406.89 6 453 360.25 5 526 601.38 5 489 420.96 4 991 450.65 4 436 138.29 4 335 096.04 4 235 295.81 3 865 404.31 3 833 936.97 3 704 699.40 3 380 899.89 3 332 152.55 2 998 285.17 2 989 577.18 2 964 276.01 2 878 498.24 2 753 800.42 2 742 523.81 2 379 994.41 2 198 681.93 2 194 868.43 1 794 603.61 1 729 772.20 1 711 361.69 1 438 917.23 1 295 443.12 1 072 576.70 746 740.96 254 380 757.35
2000 2003 % Terhadap Jatim 20.39 21.14 9.26 8.81 8.22 8.31 5.45 5.76 4.53 4.66 4.27 3.99 3.67 3.71 3.40 3.38 3.10 3.06 2.76 2.80 2.62 2.54 2.22 2.17 2.16 2.16 1.98 1.96 1.78 1.74 1.73 1.70 1.68 1.66 1.57 1.52 1.83 1.51 1.51 1.46 1.37 1.33 1.30 1.31 1.20 1.18 1.22 1.18 1.17 1.17 1.18 1.13 1.07 1.08 1.09 1.08 0.93 0.94 0.88 0.86 0.89 0.86 0.72 0.71 0.68 0.68 0.70 0.67 0.55 0.57 0.49 0.51 0.41 0.42 0.00 0.29 100.00 100.00
Sumber : BPS Jawa Timur dan Bappeprop Jawa Timur. Ketr : Tahun 2003 Kabupaten Malang terpisah dengan dengan Kota Batu.
Dari Tabel 24 terlihat bahwa sebagian besar daerah pada Provinsi Jawa Timur bertopang pada sektor pertanian, disusul kemudian oleh kabupaten/kota yang berbasis pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta sektor industri pengolahan. Pangsa terbesar pada PDRB tahun 2003 disumbangkan oleh sektor industri pengolahan sebesar 26.35% yang kemudian disusul oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 25.15%, serta sektor pertanian sebesar 20.01%.
98
Tabel 24 Peranan sektor-sektor perekonomian berdasarkan PDRB harga berlaku tahun 2003
tiap
kabupaten/kota
27 Kab. Sampang 24 Kab. Lamongan 22 Kab. Bojonegoro 20 Kab. Magetan 1 Kab. Pacitan 11 Kab. Bondowoso 26 Kab. Bangkalan 5 Kab. Blitar 19 Kab. Madiun 21 Kab. Ngawi 29 Kab. Sumenep 13 Kab. Probolinggo 8 Kab. Lumajang 12 Kab. Situbondo 2 Kab. Ponorogo 28 Kab. Pamekasan 3 Kab. Trenggalek 9 Kab. Jember 6 Kab. Kediri 17 Kab. Jombang 18 Kab. Nganjuk 10 Kab. Banyuwangi 7 Kab. Malang 71 Kota Kediri 25 Kab. Gresik 15 Kab. Sidoarjo 14 Kab. Pasuruan 79 Kota Batu 77 Kota Madiun 72 Kota Blitar 75 Kota Pasuruan 73 Kota Malang 78 Kota Surabaya 74 Kota Probolinggo 76 Kota Mojokerto 4 Kab. Tulungagung 23 Kab. Tuban 16 Kab. Mojokerto Jawa Timur
57.90 53.45 52.14 51.04 49.15 48.91 48.62 47.99 47.77 46.82 46.75 46.15 46.07 44.15 42.45 39.54 39.54 39.34 38.01 37.02 36.67 36.62 35.94 0.36 11.86 5.05 20.63 16.68 2.08 6.41 6.94 1.03 0.33 4.71 2.24 19.07 20.65 22.92 20.01
0.06 1.04 0.24 0.03 3.46 0.09 0.19 8.22 0.06 0.66 3.57 0.06 1.84 1.42 8.20 0.87 3.17 1.38 4.52 0.16 0.14 2.61 0.99 0.01 5.72 0.04 2.33 0.91 0.02 0.04 0.24 0.04 0.01 0.06 0.00 5.31 19.70 6.68 1.94
0.48 0.55 3.35 2.49 0.62 2.99 0.59 0.80 2.43 2.34 5.72 11.28 6.13 5.23 1.53 0.36 0.82 5.24 12.37 8.11 3.56 9.04 8.52 78.13 45.93 43.00 36.99 6.73 18.58 10.11 13.16 33.29 30.93 23.44 7.62 23.09 14.08 16.80 26.35
0.51 1.25 0.88 1.00 0.44 0.78 1.39 0.59 0.88 0.85 0.55 1.36 0.82 1.35 0.87 1.40 0.79 0.86 0.37 1.43 1.63 1.13 2.25 0.81 2.78 5.61 1.40 2.41 2.60 2.95 11.79 2.68 5.98 4.49 26.57 2.19 0.56 2.68 2.93
1.96 3.59 2.17 2.10 6.56 2.61 0.42 4.60 2.39 2.49 2.01 6.30 2.65 3.23 5.54 3.04 5.42 4.37 2.35 2.69 4.06 3.17 5.48 0.48 3.32 3.58 3.75 5.32 3.79 6.76 4.97 6.14 6.81 3.87 4.31 3.00 5.14 7.88 4.23
22.65 17.54 15.84 18.85 12.57 18.27 25.97 13.30 19.94 19.27 20.18 19.50 22.03 23.73 17.15 25.75 17.54 24.62 22.58 22.54 26.48 21.48 22.64 13.61 20.24 28.70 24.11 45.19 43.17 40.61 38.14 35.85 33.33 30.79 30.77 26.94 26.44 25.06 25.15
1.96 3.04 5.10 4.33 3.74 3.44 4.43 2.24 3.00 4.20 2.81 2.39 3.60 4.73 3.83 4.01 3.07 6.80 3.27 7.20 5.02 10.02 7.23 1.92 3.18 7.25 1.75 6.64 10.87 14.61 11.19 8.50 11.35 21.23 14.98 5.83 2.50 4.09 6.34
3.21 3.58 4.73 3.37 5.10 4.59 4.10 4.65 5.19 4.91 4.63 3.48 3.83 3.59 4.05 4.94 5.77 4.93 3.36 4.15 4.41 4.24 4.43 3.49 2.96 2.70 2.76 4.37 5.61 4.98 3.85 4.40 5.09 4.34 3.54 3.19 2.52 3.68 4.02
Jasa-Jasa
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
Pengangkutan dan Komunikasi
Perdagangan, Hotel, dan restoran
Konstruksi
Listrik, Gas, dan Air Bersih
Industri Pengolahan
Kabupaten / Kota
Pertambangan dan Penggalian
Kode
Pertanian
(%)
11.26 15.96 15.55 16.79 18.36 18.32 14.30 17.61 18.31 18.45 13.77 9.47 13.03 12.58 16.37 20.09 23.89 12.48 13.18 16.69 18.04 11.69 12.52 1.20 4.01 4.08 6.29 11.74 13.28 13.53 9.74 8.05 6.18 7.07 9.97 11.38 8.41 10.20 9.02
Sumber : BPS Jawa Timur dan Bappeprop Jawa Timur.
Walaupun pangsa pada sektor industri pengolahan sangat besar, namun sektor ini hanya terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu saja, antara lain Kota Kediri, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Pasuruan. Sedangkan pada daerah-daerah perkotaan lebih terkonsentrasi pada sektor perdagangan. Pada beberapa kabupaten, seperti Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Tuban, dan Kabupaten Mojokerto, kemajuan sektor perdagangan yang
99
memberikan kontribusi besar pada PDRB, sangat ditunjang oleh keberadaan beberapa industri yang berada pada daerah tersebut. Dari pengelompokan kabupaten/kota di atas, maka daerah-daerah tersebut memberikan sumbangan dan kontribusi dalam pembangunan ekonomi yang berbeda-beda di Jawa Timur. Pertumbuhan antarsektor dan pertumbuhan antarwilayah pada akhirnya menimbulkan kesenjangan wilayah. Secara spasial, sebaran sektor-sektor yang dominan di dalam pembentukan PDRB Jawa Timur sebagaimana Tabel 24 ditunjukkan pada Gambar 23 di bawah ini.
Gambar 23 Basis perekonomian kabupaten/kota di Jawa Timur
Kesenjangan Antarwilayah Terjadinya pertumbuhan ekonomi yang cepat pada sektor tertentu mengakibatkan terjadinya proses transformasi struktural, sehingga Provinsi Jawa Timur yang tadinya di dominasi oleh sektor pertanian sekarang didominasi oleh sektor industri dan perdagangan. Tingginya pangsa PDRB pada sektor industri dan perdagangan di Jawa Timur sebagaimana telah diulas sebelumnya, hanya
100
terjadi pada wilayah-wilayah tertentu saja, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 24 dan Gambar 23. Secara spasial, konsentrasi daerah-daerah dengan pangsa PDRB yang besar dan berbasis pada sektor industri dan perdagangan terjadi pada bagian Utara.
Tabel 25 Indeks Williamson di Jawa Timur tahun 2000 s.d. 2003 Tahun
Total Jawa Timur
Daerah Pertanian
2000 2001 2002 2003
1.210 1.199 1.190 1.206
0.166 0.167 0.171 0.173
Daerah Industri Pengolahan 1.171 1.160 1.141 1.141
Daerah Perdagangan, Hotel, dan Restoran 0.505 0.518 0.529 0.536
1.400
Indeks Williamson
1.200 1.000 0.800
Total Jawa Timur
0.600
Daerah Pertanian
0.400
Daerah Industri Pengolahan
0.200
Daerah Perdagangan, Hotel, dan Restoran
0.000 2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 24 Perkembangan Indeks Williamson di Jawa Timur dari tahun 2000 s.d. 2003. Tingkat kesenjangan ekonomi antarwilayah di Jawa Timur dari tahun 2000 s.d. 2003 cenderung stabil pada kisaran nilai 1.190 s.d. 1.210. Seiring dengan mulai pulihnya perekonomian Jawa Timur, tingkat kesenjangan wilayah yang mulai turun pada tahun 2001 dan 2002, kembali naik pada tahun 2003. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kenaikan pendapatan pada daerah-daerah yang dominan
101
pada sektor perdagangan, selain daerah-daerah dengan konsentrasi industri pengolahan yang tingkat kesenjangannya paling tinggi. Dari ketiga kelompok wilayah di Jawa Timur berdasarkan pangsa PDRBnya, terlihat tingkat kesenjangan antarwilayah yang terjadi berbeda-beda. Tabel 25 dan Gambar 24 menunjukkan bahwa kesenjangan antarwilayah yang terjadi di Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kabupaten/kota yang memiliki dominasi pendapatan dari sektor industri pengolahan. Apabila daerah-daerah di Jawa Timur dikelompokkan berdasarkan dominasi sektor-sektor PDRB-nya, tingkat kesenjangan antarwilayah yang terjadi pada daerah-daerah industri lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah yang dominan pada sektor pertanian serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Hal ini terjadi karena tingginya PDRB pada Kota Kediri dibandingkan dengan daerahdaerah industri lainnya, sehingga sangat mempengaruhi daerah lainnya. Tingginya kesenjangan antarwilayah di Jawa Timur disebabkan karena adanya kesenjangan tingkat pendapatan antara daerah-daerah yang berbasis pada sektor industri dan perdagangan,
terutama Kota Surabaya dan Kota Kediri,
terhadap daerah-daerah yang berbasis pada sektor pertanian. Namun, hal ini mengindikasikan bahwa upaya-upaya pemerintah daerah Jawa Timur untuk mempertahankan kesenjangan wilayah cukup berhasil. Namun, perlu upaya-upaya yang lebih nyata sehingga indeks disparitas ini semakin lama semakin menurun. Untuk mengetahui kinerja masing-masing daerah berkaitan dengan peranannya terhadap pembangunan di Jawa Timur, maka dilakukan perbandingan absolut dengan cara membandingkan nilai PDRB per kapita dan tingkat pertumbuhan perekonomian terhadap rata-rata Jawa Timur tahun 2003. Gambar 25 menunjukkan bahwa, daerah-daerah dengan PDRB per kapita yang tinggi merupakan daerah yang berbasis pada sektor industri dan perdagangan. Sedangkan daerah-daerah yang berbasis pada sektor pertanian, yang pada umumnya berada pada bagian selatan Jawa Timur, rata-rata pendapatan per kapita dan pertumbuhan perekonomiannya masih di bawah daerah lainnya. Perlu perhatian khusus bagi pemerintah daerah di Jawa Timur, karena daerahdaerah dengan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi yang rendah sangat banyak. Pembangunan sektor pertanian sebagai basis perekonomian pada
102
wilayah yang tertinggal harus diutamakan selain pembangunan industri yang berbasis pertanian.
Gambar 25 Perbandingan absolut perekonomian antardaerah di Jawa Timur. Strategi pembangunan yang selama ini dilaksanakan, dengan menetapkan lokasi-lokasi pertumbuhan ternyata tidak berjalan dengan efektif. Daerah-daerah industri, yang berada pada bagian utara selama ini hanya menyerap sumber daya yang ada di daerah di belakangnya (hinterland). Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), hubungan fungsional antara daerah perkotaan dan perdesaan/kabupaten sering digambarkan dengan dua ciri yang saling berlawanan, yaitu : (1) kawasan perkotaan mempunyai struktur perekonomian yang didominasi oleh sektor sekunder dan tertier berupa sektor industri dan jasa dengan produktivitas tinggi dan perdesaan didominasi oleh sektor primer yang menghasilkan bahan mentah berupa bahan pertanian pangan, kehutanan, dan pertambangan dengan produktivitasyang rendah, (2) pendapatan per kapita di perkotaan lebih tinggi sedangkan di perdesaan lebih rendah, (3) kesempatan kerja di daerah perkotaan yang lebih besar sedangkan di perdesaan sangat terbatas, sehingga tingkat pengangguran di pedesaan besar, dan (4) kualitas
103
sumber daya manusia yang tinggi di perkotaan sedangkan di perdesaan yang rendah. Hal di atas memberikan justifikasi kepada pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan di daerah perdesaan secara lebih intensif, atau pada level provinsi arahan pembangunan sudah selayaknya diarahkan pada kabupatenkabupaten yang selama ini relatif tertinggal dibandingan dengan daerah perkotaan. Hubungan antara daerah perkotaan dan kabupaten harus diusahakan sebagai hubungan interdepensi atau saling ketergantungan dan bukan searah, yaitu kehidupan kabupaten yang tergantung pada kota, khususnya pada aspek ekonomi. Dalam pembangunan wilayah, terpusatnya pembangunan pada suatu daerah akan memperlemah daerah-daerah lainnya sehingga akan sulit berkembang. Untuk itu perlu adanya campur tangan dari pemerintah daerah, sehingga terjadi penyebaran pembangunan ekonomi. Beberapa pola kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk menghindari terjadinya aglomerasi, terutama terhadap sektor industri pengolahan, yang menimbulkan kesenjangan wilayah, antara lain sebagai berikut : 1. membatasi pemberian izin pendirian industri-industri di daerah maju, di pihak lain mempermudah pemberian izin pendirian industri-industri di daerah yang kurang maju. 2. dengan memberikan perangsang fiskal, antara lain pembebasan pajak selama beberapa tahun pada industri yang baru didirikan. 3. akses kepada lembaga keuangan yang lebih mudah, kemungkinan ada usahausaha kecil menengah pada daerah-daerah yang belum maju namun usaha tersebut mempunyai potensi berkembang. Selama ini kesulitan yang dihadapi oleh para pengusaha kecil dan menengah adalah akses kepada lembaga keuangan untuk menambah modal usaha. 4. perombakan sistem kelembagaan pemerintah daerah, administrasi pemerintah daerah yang kurang efisien seperti prosedur yang terlalu berbelit-belit, proses kerja yang lambat, serta kepastian tentang hukum akan menghambat pembangunan industri pada daerah yang kurang maju. 5.
pembangunan sarana infrastruktur yang memadai akan memperlancar aksesibilitas antarwilayah dan proses produksi.
104
Indeks Pembangunan Manusia dan Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa Timur Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Timur selama periode 1999 sampai dengan 2004 cenderung menunjukkan kenaikan, untuk tahun 2003 – 2004 terdapat kenaikan 0.83 poin (dari 68.66 pada tahun 2003 menjadi 64.49 pada tahun 2004). Secara umum kenaikan angka IPM ini mencerminkan bahwa beberapa tahun ini, Jawa Timur telah mencapai sedikit peningkatan pada beberapa bidang, seperti penurunan angka kemiskinan, penurunan angka kekurangan gizi anak, pencapaian pendidikan dasar bagi anak laki-laki dan perempuan, hingga jumlah anak yang melek huruf. Dari Tabel 26 terlihat seiring dengan dengan laju pertumbuhan perekonomian yang semakin meningkat angka IPM di Jawa Timur juga naik, diharapkan pembangunan perekonomian di Jawa Timur dapat berjalan seiring dengan pembangunan manusia. Tabel 26 Perkembangan angka IPM tahun 1999 dan tahun 2002 s.d 2004 No
Tahun
Pertumbuhan IPM Perekonomian (%) 1 1999 1.21 61.80 2 2002 3.41 62.64 3 2003 4.11 63.66 4 2004*) 5.18 64.49 Sumber : BPS Jawa Timur dan Bappeprop Jawa Timur 2004. *) Angka sementara
Angka IPM Tertinggi 69.30 71.68 72.27 72.91
Angka IPM Terendah 47.30 50.47 51.12 53.86
Urutan tertinggi angka IPM se-Jawa Timur pada tahun 2003 dicapai oleh Kota Mojokerto dengan angka IPM sebesar 72.91, Kota Madiun sebesar 72.61, dan Kabupaten Sidoarjo dengan angka IPM sebesar 72.06. Angka tersebut berada di atas rata-rata Jawa Timur yaitu 64.49. Selanjutnya angka IPM terendah di Jawa Timur diduduki Kabupaten Sampang (58.86), Kabupaten Bondowoso (59.96), dan Kabupaten Situbondo (58.03). Daerah-daerah dengan IPM terendah selama ini dikenal dengan daerah tapal kuda, secara umum angka IPM di daerah kota lebih baik
dibandingkan
dengan
daerah-daerah
kabupaten.
Secara
ringkas
perkembangan IPM yang telah dicapai oleh Kabupaten/Kota di Jawa Timur tahun 2004 seperti terlihat pada Tabel 27.
105
Tabel 27 Angka IPM kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2004 No
Kode Kab / Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
76 77 15 25 71 16 72 78 20 75 74 73 6 17 3 4 79 5 24 19 18 10 7 23 2 21 1 8 22 14 28 9 26 13 29 12 11 27 Jawa Timur
Kabupaten / Kota
IPM
Kota Mojokerto Kota Madiun Kabupaten Sidoarjo Kabupaten Gresik Kota Kediri Kabupaten Mojokerto Kota Blitar Kota Surabaya Kabupaten Magetan Kota Pasuruan Kota Probolinggo Kota Malang Kabupaten Kediri Kabupaten Jombang Kabupaten Trenggalek Kabupaten Tulungagung Kota Batu Kabupaten Blitar Kabupaten Lamongan Kabupaten Madiun Kabupaten Nganjuk Kabupaten Banyuwangi Kabupaten Malang Kabupaten Tuban Kabupaten Ponorogo Kabupaten Ngawi Kabupaten Pacitan Kabupaten Lumajang Kabupaten Bojonegoro Kabupaten Pasuruan Kabupaten Pamekasan Kabupaten Jember Kabupaten Bangkalan Kabupaten Probolinggo Kabupaten Sumenep Kabupaten Situbondo Kabupaten Bondowoso Kabupaten Sampang
72.91 72.61 72.06 71.44 71.36 70.98 70.92 70.86 70.30 69.64 69.61 69.13 68.46 68.40 68.20 67.87 67.52 67.19 66.95 66.15 65.55 65.42 64.98 64.64 64.19 63.99 63.60 62.89 62.80 62.66 62.55 59.79 59.69 58.53 58.31 58.03 56.96 53.86 64.49
Sumber : BPS Jawa Timur dan Bappeprop Jawa Timur 2004.
Tabel 28 menunjukkan bahwa penduduk miskin di Jawa Timur mengalami penurunan selama tahun 2000 sampai dengan 2004. Keadaan ini mencerminkan bahwa pemulihan kesejahteraan penduduk melalui program pengentasan kemiskinan memberikan dampak yang positif.
106
Tabel 28 Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur tahun 2000 s.d 2004 Tahun
Jumlah Penduduk % Penduduk Miskin Miskin (Jiwa) Terhadap Total Penduduk 2000 7 353 447 21.14 2001 7 267 093 20.73 2002 7 181 757 20.34 2003 7 064 289 19.52 2004 6 979 565 19.10 Sumber : BPS Jawa Timur dan Bappeprop Jawa Timur 2004.
Perubahan (%)
-0.41 -0.39 -0.82 -0.42
Bappeprop. Jawa Timur dalam Analisis Indikator Makro Sosial Ekonomi Jawa Timur Tahun 2004, menyatakan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan penurunan angka kemiskinan di Jawa Timur tahun 2004 yang lebih sedikit dibandingkan pada tahun 2003 antara lain disebabkan karena (1) terjadinya bencana alam (bajir dan gunung meletus), (2) tutupnya beberapa usaha pakaian jadi/garment dan sepatu akibat masuknya produk dari luar negeri, (3) terjadinya musibah kebakaran pada perusahaan/industri kayu dan industri kimia yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Melihat masih banyaknya jumlah penduduk miskin di Jawa Timur, maka perlu kebijakan anti kemiskinan. Menurut Bank Dunia, kebijakan memerangi kemiskinan yang dapat ditempuh antara lain melalui strategi (1) pertumbuhan ekonomi yang menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelompok miskin, (2) pengembangan SDM sehingga memberikan
penduduk miskin
kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang diciptakan buat pertumbuhan perekonomian, dan (3) membuat jaringan pengaman sosial untuk penduduk miskin yang sama sekali tidak mampu mendapatkan keuantungan-keuntungan
dari
pertumbuahan
ekonomi
dan
kesempatan
pengambangan SDM akibat ketidakmampuan fisik dan mental, bencana alam, konflik sosial, dan terisolasi secara fisik. Secara spasial sebaran penduduk miskin dominan pada daerah-daerah yang berbasis pada sektor pertanian sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 29, pengecualian pada Kota Surabaya. Hal ini sesuai dengan analisis pada Tabel I-O Jawa Timur, bahwa angka pengganda pendapatan pada sektor-sektor pertanian lebih rendah. Sedangkan daerah-daerah yang berbasis pada sektor industri maupun perdagangan jumlah penduduk miskin lebih sedikit. Proses pembangunan yang selama ini terlalu terpusat pada bagian Utara Jawa Timur atau pada daerah-
107
daerah perkotaan pada akhirnya menyebabkan terjadi pengurasan sumber daya pada daerah di belakangnya, harapan terjadinya spread effect ternyata tidak terjadi sehingga timbul fenomena bahwa daerah-daerah belakang lebih miskin. Tabel 29 Jumlah penduduk miskin pada kabupaten/kota di Jawa Timur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Kode Kab / Kabupaten / Kota Kota 9 Kabupaten Jember 11 Kabupaten Bondowoso 27 Kabupaten Sampang 22 Kabupaten Bojonegoro 7 Kabupaten Malang 78 Kota Surabaya 13 Kabupaten Probolinggo 10 Kabupaten Banyuwangi 6 Kabupaten Kediri 23 Kabupaten Tuban 24 Kabupaten Lamongan 2 Kabupaten Ponorogo 17 Kabupaten Jombang 8 Kabupaten Lumajang 14 Kabupaten Pasuruan 18 Kabupaten Nganjuk 16 Kabupaten Mojokerto 26 Kabupaten Bangkalan 5 Kabupaten Blitar 3 Kabupaten Trenggalek 29 Kabupaten Sumenep 28 Kabupaten Pamekasan 1 Kabupaten Pacitan 4 Kabupaten Tulungagung 12 Kabupaten Situbondo 20 Kabupaten Magetan 21 Kabupaten Ngawi 19 Kabupaten Madiun 25 Kabupaten Gresik 15 Kabupaten Sidoarjo 73 Kota Malang 71 Kota Kediri 79 Kota Batu 75 Kota Pasuruan 76 Kota Mojokerto 77 Kota Madiun 72 Kota Blitar 74 Kota Probolinggo Jawa Timur
2000 705 792 178 289 308 824 314 043 643 169 190 799 246 916 251 063 353 432 243 556 147 907 299 817 231 261 234 192 254 351 146 691 139 400 197 447 234 906 240 340 287 307 233 119 133 752 178 646 96 865 144 690 187 511 156 199 106 945 88 644 68 842 19 302 19 802 14 512 20 302 19 873 14 941 7 353 447
2001 493 946 274 381 342 725 333 455 470 761 296 498 273 901 257 283 256 639 253 193 257 802 265 801 280 810 211 352 289 538 257 354 149 169 154 256 208 300 163 643 209 135 138 426 164 638 177 047 164 228 142 487 165 498 148 618 148 834 104 324 72 120 42 636 18 083 16 559 17 709 18 686 29 258 7 269 093
Jumlah (Jiwa) 2002 488 146 271 159 338 700 329 539 465 233 293 016 270 685 254 262 253 625 250 220 254 775 262 680 277 512 208 870 286 138 254 332 145 441 152 445 205 854 161 721 206 679 136 800 162 705 174 968 162 299 140 814 163 555 146 873 147 086 103 099 71 273 42 135 17 871 16 365 17 501 18 467 28 914 7 181 757
2003 490 047 359 067 427 663 355 175 351 638 362 308 280 219 278 495 242 349 250 903 194 266 288 014 236 411 227 475 243 011 199 523 169 258 181 515 192 317 150 605 177 629 144 755 154 387 170 044 175 905 123 207 136 264 124 951 94 576 103 327 55 516 36 128 14 858 13 668 13 420 18 398 26 997 7 064 289
2004 430 576 363 878 333 984 333 543 327 051 320 999 313 849 264 583 260 010 249 135 244 798 236 691 231 128 221 273 211 851 208 818 199 330 195 899 195 366 193 583 191 824 184 097 176 190 167 551 159 016 149 736 145 030 132 124 94 771 74 631 50 720 28 643 17 153 15 307 14 858 14 800 14 089 12 680 6 979 565
Sumber : BPS Jawa Timur dan Bappeprop Jawa Timur 2004
Kecilnya harapan untuk merubah nasib di daerah asal pada akhirnya mendorong para penduduk di daerah-daerah miskin tersebut untuk mencari kerja di Kota Surabaya. Rendahnya tingkat pendidikan para pendatang di Kota Surabaya menyebabkan mereka tidak dapat bersaing untuk memperoleh pekerjaan
108
di sektor formal, akhirnya mereka mengisi sektor-sektor informal. Hal ini menyebabkan tingkat kemiskinan penduduk di Kota Surabaya termasuk tinggi. Untuk itu perlu adanya kebijakan dari pemerintah daerah kabupaten/kota untuk mendorong pembangunan perekonomian daerah masing-masing yang dapat menyerap tingkat tenaga kerja yang tinggi. Pembangunan sektor pertanian sebagai basis perekonomian sebagian besar daerah di Jawa Timur sejalan dengan pembangunan sektor-sektor lainnya, sehingga terjadi keterkaitan secara sektoral maupun spasial.
Indentifikasi Kabupaten/Kota Lokasi Sektor Unggulan Provinsi Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, sektor unggulan di Jawa Timur adalah sektor kertas dan barang cetakan (22), tekstil, barang dari kulit dan alas kaki (20), kacang-kacang lainnya (9), retoran (33), dan bangunan dan konstruksi (30). Memusatnya sektor unggulan pada suatu kabupaten/kota yang ditandai dengan nilai LQ > 1 mengindikasikan bahwa sektor tersebut pada kabupaten/kota tertentu sudah bisa untuk memenuhi kebutuhannya sehingga bisa berorientasi ekspor. Nilai pergeseran diferensial (differential shift) menunjukkan tingkat kompetisi berbagai sektor perekonomian wilayah di Jawa Timur. Sektor-sektor yang memiliki nilai pergeseran diferensial negatif memiliki tingkat kompetisi yang rendah sedangkan sektor-sektor yang bernilai positif memiliki keunggulan kompetitif atau tingkat kompetisi yang tinggi. Sektor industri kertas dan barang cetakan sebagaimana terlihat pada Gambar 26 memusat serta mempunyai daya saing yang tinggi pada Kabupaten Kediri (6), Kab. Probolinggo (13), Kab. Sidoarjo (15), Kab. Mojokerto (16), serta Kab. Gresik (25). Apabila diamati, daerah-daerah di sekitar lokasi industri kertas dan barang cetakan merupakan daerah yang berbasis pada sektor industri pengolahan, sehingga industri kertas dan barang cetakan merupakan suatu produk yang sangat diperlukan sebagai bahan kemasan. Seperti kemasan semen dan pupuk di Kab. Gresik maupun kemasan rokok di Kota Kediri, Kota Malang, dan Kota Surabaya.
109
Scatterplot (Data SSA 41 82v*37c) 2.0 74
DF Kertas dan Barang Cetakan
1.5
3
1.0
18 4 20 11 71 12 5 710 22 76 17 19 23 19 21 27 8 77 24 75 2 73
0.5
25
13
7814
16
6
15
0.0
-0.5 29 28 72
-1.0
-1.5 -1
0
1
2
3
4
5
6
LQ Kertas dan Barang Cetakan
Keterangan : Nomor adalah kode kab/kota seperti pada Lampiran VI.
Gambar 26 Hasil LQ dan differential shift sektor kertas dan barang cetakan. Keberadaan industri kertas dan barang cetakan selain ditunjang oleh faktor permintaan yang besar di Jawa Timur, dari segi penyediaan bahan baku juga sangat banyak. Bahan baku utama yang digunakan oleh industri kertas adalah jerami dan bagasse. Sebagian besar kabupaten/kota di Jawa Timur adalah sektor pertanian sehingga kebutuhan terhadap jerami dapat terpenuhi. Demikian juga terhadap bahan input kimia untuk melakukan proses produksi, industri kimia di Jawa Timur sangat banyak dan besar yang sebagian besar berada di Kabupaten Mojokerto, Kabupatan Gresik, dan Kabupaten Pasuruan. Salah satu industri kimia terbesar di Jawa Timur adalah PT Tjiwi Kimia yang berada di Kota Mojokerto dan PT Petrokimia Gresik. Daerah-daerah di Jawa Timur yang dulu merupakan pemusatan sektor tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki daya saingnya melemah. Saat ini, dari hasil analisis menggunakan SSA tidak ada daerah di Jawa Timur yang mempunyai daya saing yang tinggi pada sektor tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki. Kabupaten Tulungagung (4), Kab. Pasuruan (14), Kab. Sidoarjo, dan Kota Mojokerto (76), seperti pada Gambar 27 berada pada kuadran III, yang menandakan daerah-daerah yang dulunya merupakan sentra industri tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki daya saingnya mulai melemah. Lemahnya daya saing produk tekstil di Jawa
110
Timur antara lain disebabkan oleh masuknya produk-produk baju impor dari Cina dengan harga-harga yang relatif lebih murah dengan kualitas yang lebih bagus. Demikian juga halnya dengan keberadaan industri alas kaki yang banyak di daerah Sidoarjo, dengan pusatnya di Desa Tanggulangin, dengan membanjiri produk dari Cina daya saingnya juga semakin melemah.
Scatterplot (Data SSA 41 82v *37c) 0.3
DF Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki
0.2 0.1 0.0
19 71 29 13 23 18 22 11 27 9 17 20 1 25 12 878 21 10 575 26 7 24 77 26 72
76
4
14
15
-0.1 73 -0.2 -0.3
16
28
-0.4 74 -0.5 -0.6
3
-0.7 -1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
LQ Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki
Keterangan : Nomor adalah kode kab/kota seperti pada Lampiran VI.
Gambar 27 Hasil LQ dan differential shift sektor tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki. Pembangunan infrastruktur di Jawa Timur memusat dan mempunyai daya saing yang tinggi pada Kabupaten Trenggalek (3) , Kab. Blitar (5), Kota Malang (73), dan Kota Blitar (72). Pembangunan perumahan oleh para pengembang perumahan (developer) maupun pembangunan sarana infrastruktur oleh pemerintah sangat menunjang perkembangan sektor ini. Sebagian besar alokasi belanja pembangunan pada kabupaten/kota di Jawa Timur berhubungan dengan sektor bangunan dan konstruksi walaupun pada alokasi belanja pembangunan tidak secara jelas atau terang-terangan untuk keperluan bangunan dan konstruksi. Dalam struktur belanja pembangunan di dalam APBD, sektor bangunan dan konstruksi terkait dengan alokasi belanja pembangunan pada sektor transportasi dan aparatur pemerintah.
111
Scatterplot (Spreadsheet1 10v *37c) 0.4
0.2
71
Bangunan dan Konstruksi
29
12 14 24 5 3 76 25 21 8 28 22 19 9 75 10 77 27 20 6 11 4 23 1574 27 18
0.0
-0.2
72 73 1 13 78
16
17
-0.4
-0.6
-0.8 26 -1.0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
Bangunan dan Konstruksi
Keterangan : Nomor adalah kode kab/kota seperti pada Lampiran VI.
Gambar 28 Hasil LQ dan differential shift sektor bangunan dan konstruksi.
Scatterplot (Data SSA 41 82v *37c) 0.2 71
Sub Sektor Tanaman Bah an Makanan
0.1 29
16 0.0 287
72 75
-0.1
-0.5 -0.5
8 19
11 18 20
4
22
26 1 2 24 13 21
27
17 25
-0.2
-0.4
12
14
77
-0.3
106 39
5
23 78 15 76 73
74
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
Sub Sektor Tanaman Bahan Makanan
Keterangan : Nomor adalah kode kab./kota seperti pada Lampiran VI.
Gambar 29 Hasil LQ dan differential shift sub sektor tanaman bahan makanan. Untuk sektor kacang-kacang lainnya (di dalam publikasi BPS mengenai PDRB menurut sembilan lapangan usaha termasuk dalam sub sektor tanaman bahan makanan) untuk menentukan lokasi pemusatan serta daya saing yang tinggi,
112
digunakan data PDRB menurut sembilan lapangan usaha dan dimasukkan dalam sub sektor tanaman bahan makanan. Sub sektor tanaman bahan makanan ini memusat pada semua kabupaten/kota yang berbasis sektor pertanian. Namun daya saing yang tinggi sektor ini berada pada Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Sumenep sebagaimana Gambar 29. Hal ini mengindikasikan bahwa sub sektor tanaman bahan makanan pada umumnya daya saingnya lemah apabila dibandingkan dengan sektor industri. Oleh sebab itu, perlu perhatian yang lebih serius dari pemerintah daerah untuk membangun sektor pertanian karena sebagian besar penduduk serta sebagian besar pemerintah daerah di Jawa Timur mengandalkan sektor pertanian tersebut dalam perekonomiannya.
Scatterplot (Data SSA 41 82v *37c) 0.6 71 14 0.5
Re storan
0.4
0.3
0.2
0.1
4 17 26
15 74 13 28 27 16 24 292 5 18 21 22 6 19 75 9 7 25 208 1 1012 23 76 72 11
73 77
78
3 0.0
-0.1 -0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
Restoran
Keterangan : Nomor adalah kode kab./kota seperti pada Lampiran VI.
Gambar 30 Hasil LQ dan differential shift sektor restoran. Untuk sektor restoran, daya saing sektor ini pada semua daerah di Jawa Timur sangat bagus. Daerah-daerah dimana sektor ini memusat dan mempunyai daya saing yang kuat di Jawa Timur berada di Kota Surabaya (78), Kota Malang (77), dan Kota Madiun (73). Perkembangan sektor restoran pada daerah tersebut didukung oleh perkembangan sektor-sektor lainnya juga, terutama sektor perdagangan dan pariwisata. Sektor perdagangan di JawaTimur memusat dan berdaya saing kuat pada daerah-daerah tersebut di atas. Selain itu, daerah-daerah
113
tersebut juga dekat dengan objek-objek pariwisata yang ada di daerah sekitarnya. Oleh sebab itu, perkembangan sektor restoran sangat tergantung dari perkembangan sektor perdagangan dan pariwisata karena saling terkait. Secara ringkas, lokasi sektor-sektor unggulan di Jawa Timur memusat dan mempunyai daya saing yang tinggi seperti ditunjukkan pada Tabel 30. Tabel 30 Lokasi sektor unggulan di Jawa Timur No 1
Sektor Industri Kertas dan Barang Cetakan
2
Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki
3 4
Kacang-Kacang Lainnya (Tanaman Bahan Makanan) Bangunan dan Konstruksi
5
Restoran
Daerah Kab. Kediri Kab. Probolinggo Kab. Sidoarjo Kab. Tulungagung *) Kab.Pasuruan *) Kab. Mojokerto Kab. Sumenep Kab. Trenggalek Kab. Blitar Kota Surabaya Kota Malang
Kab. Mojokerto Kab. Gresik Kab. Sidoarjo *) Kota Mojokerto *)
Kota Blitar Kota Malang Kota Madiun
*) Daya Saing Lemah
Arahan pengembangan sektor unggulan Porpoinsi Jawa Timur sebaiknya diarahkan pada kabupaten/kota dimana sektor unggulan tersebut memusat dan mempunyai daya saing yang kuat. Sedangkan daerah-daerah belakangnya (hinterland) merupakan daerah-daerah yang memasok kebutuhan bahan baku untuk keperluan proses produksinya. Dalam logika analisis input output, sektor unggulan yang merupakan sektor dengan keterkaitan yang relatif besar dibandingkan dengan sektor lainnya, dalam melakukan proses produksi sangat tergantung dari pasokan bahan baku sektor lainnya. Hal ini mengindikasikan adanya aliran barang dari satu sektor ke sektor lainnya, dalam konsep wilayah aliran barang ini menunjukkan adanya perpindahan barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya atau terjadi keterkaitan spasial. Pengembangan sektor-sektor unggulan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur serta meningkatkan pembangunan ekonomi daerah-daerah di wilayah Provinsi Jawa Timur, karena faktor keterkaitan intersektoral dan interspasial yang besar. Sehingga disparitas atau kesenjangan wilayah yang terjadi selama ini dapat semakin dikurangi.
114
Dari
hasil
analisis
SSA
terhadap
daya
saing
sektoral,
terdapat
kecenderungan mulai melemahnya daya saing sektor-sektor industri pada daerahdaerah yang tadinya merupakan kawasan industri ( LQ > 1 ). Dari Gambar 26 sampai dengan Gambar 30, ada beberapa hal yang bisa diketahui, antara lain : 1. Sektor unggulan yang memusat (LQ > 1) di beberapa daerah di Jawa Timur cenderung mempunyai daya saing yang bagus, disini terjadi proses aglomerasi sehingga banyak keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh seperti lokasi yang mengumpul dari beberapa sektor sehingga biaya lebih murah, tenaga kerja terampil dan murah, serta mendapatkan pelayanan atau fasilitas yang baik dari pememrintah seperti jalan, listrik, air, dan lain-lain. Hal ini terjadi di Kuadran II. 2. Namun, ada juga daerah-daerah yang tadinya dimana suatu sektor memusat namun daya saingnya melemah (Kuadran III). Lemahnya daya saing ini disebabkan antara lain harga-harga tanah yang mulai naik, kenaikan biayabiaya operasional sehingga sangat sulit bagi perusahaan atau swasta untuk beroperasi dalam wilayah tersebut karena cenderung tidak efisien, serta masuknya barang-barang impor dengan kualitas yang lebih bagus dan murah. Hal ini pada akhirnya menyebabkan deglomerasi karena para pengusaha akan mencari lokasi-lokasi yang lebih baik untuk pengembangan usahanya. 3. Dalam proses deglomerasi yang diakibatkan kesesakkan lokasi yang tadinya memusat pada suatu daerah tertentu akhirnya sekarang menyebar, para pengusaha
akan mencari daerah-daerah lain yang biayanya lebih rendah.
Akhirnya timbul daya saing yang tinggi pada beberapa wilayah di Jawa Timur yang berada di Kuadran I, dimana jumlahnya
lebih banyak daripada di
Kuadran II. Proses penurunan daya saing ini sudah terlihat seperti di Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo yang dulu merupakan pusat industri namun sekarang daya saingnya mulai melemah. Kabupaten/kota di Jawa Timur dimana daya saing sektor unggulan sudah mengalami penurunan walaupun sektor tersebut masih memusat kegiatannya (LQ > 1) di kabupaten/kota tersebut menurut Daryanto (2005), wilayah tersebut sudah berada pada fase wealth driven, dimana keunggulan
daya saing mulai menurun karena tingkat kemakmuran sudah
115
tercapai. Hal lain yang menyebabkan daya saing menurun adalah tidak adanya inovasi atau perubahan teknologi, harga jual yang tidak kompetitif, atau mutu produk yang kalah bersaing dengan produk yang sama dari luar daerah atau luar negeri.
Gambar 31 Lokasi sektor unggulan di Jawa Timur.
Gambar 32 Lokasi sub sektor tanaman bahan makanan.
KETERKAITAN ANTARA ALOKASI ANGGARAN PEMBANGUNAN TERHADAP SEKTOR UNGGULAN di JAWA TIMUR Kondisi Umum Keuangan Kabupaten Kota di Jawa Timur
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka kewenangan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan semakin besar. Implikasi dari penyerahan pelaksanaan sebagian tugas pemerintahan pusat ke daerah maka diperlukan
sumber-sumber pendapatan bagi daerah untuk
melaksanakan tugas pemerintahan. Semenjak tahun 2001, sumber-sumber pendapatan daerah Provinsi Jawa Timur secara proporsional cenderung stagnan. Dari Tabel 31
terlihat bahwa untuk
membiayai tugas pemerintahan, sumber pendapatan masih mengandalkan dari Dana Perimbangan. Dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2003, seiring dengan berbagai perubahan atas rumusan yang dipakai dalam alokasi Dana Perimbangan bagi pemerintah daerah oleh pusat, serta penilaian dari pemerintah pusat mengenai kemampuan keuangan Provinsi Jawa Timur, maka porsi Dana Perimbangan semakin lama-semakin turun. Namun penurunan sumber pendapatan ini, tidak diimbangi oleh kenaikan proporsi Penerimaan Asli Daerah yang sangat signifikan. Tabel 31 Rekapitulasi sumber-sumber pendapatan kabupaten/kota di Jawa Timur (000 Rp) URAIAN SISA ANGGARAN TAHUN LALU PENDAPATAN ASLI DAERAH DANA PERIMBANGAN PENERIMAAN LAINNYA PINJAMAN PEMERINTAH DAERAH TOTAL PENDAPATAN DAERAH SISA ANGGARAN TAHUN LALU PENDAPATAN ASLI DAERAH DANA PERIMBANGAN PENERIMAAN LAINNYA PINJAMAN PEMERINTAH DAERAH TOTAL PENDAPATAN DAERAH
Sumber : BPS Jawa Timur.
2001 265 368 609 812 256 816 9 368 355 169 197 509 635 15 384 543 10 658 874 772 Persentase (%) 2.49 7.62 87.89 1.85 0.14 100.00
TAHUN 2002 1 458 495 470 1 215 470 422 10 084 756 035 492 367 142 936 517 13 252 025 586
2003 1 511 977 180 1 382 479 953 11 318 086 600 696 401 894 3 766 483 14 912 712 110
11.01 9.17 76.10 3.72 0.01 100.00
10.14 9.27 75.90 4.67 0.03 100.00
117
Salah satu komponen sumber pendapatan daerah adalah Sisa Anggaran Tahun Lalu yang mempunyai pangsa 11,01 % pada tahun 2002 dan 10,14 % pada tahun 2003. Besarnya pangsa Sisa Anggaran Tahun Yang Lalu dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah mengindikasikan bahwa pengalokasian anggaran belum dilakukan secara tepat baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Dari sisi penerimaan,
pemerintah
daerah
belum
mempunyai
kemampuan
di
dalam
memproyeksikan besarnya penerimaan yang akan di terima dalam tahun berjalan sedangkan di sisi pengeluaran disebabkan oleh alokasi anggaran yang tidak tepat karena under estimate. Penyebab lain dari besarnya Sisa Anggaran Tahun Yang Lalu dikarenakan adanya transfer dana dari pemerintah pusat yang turun mendekati akhir tahun anggaran sehingga pemerintah daerah tidak bisa menggunakan dana tersebut pada tahun anggaran itu juga. Oleh sebab itu, transfer dana dari pusat tersebut akhirnya dibukukan pada sisi penerimaan dan akan dimanfaatkan pada tahun anggaran yang akan datang. Transfer dana dari pemerintah pusat yang sering turun pada akhir tahun anggaran contohnya adalah Dana Reboisasi. Tabel 32 Rekapitulasi Pendapatan Asli Daerah kabupaten/kota di Jawa Timur (000 Rp) URAIAN
2001 327 093 963 298 572 694 17 707 345 168 882 814 812 256 816 Persentase (%) 40.27 36.76 2.18 20.79 100.00
Pajak Daerah Retribusi Daerah Bagian Laba Usaha Daerah Penerimaan PAD Lainnya Total Pajak Daerah Retribusi Daerah Bagian Laba Usaha Daerah Penerimaan PAD Lainnya Total
Sumber : BPS Jawa Timur
TAHUN 2002 428 270 877 391 826 982 34 806 107 360 566 456 1 215 470 422 35.23 32.24 2.86 29.66 100.00
2003 546 496 458 467 533 481 43 660 055 324 789 959 1 382 479 953 39.53 33.82 3.16 23.49 100.00
.
Dari Tabel 32 terlihat bahwa Pajak Daerah memberikan kontribusi paling besar dalam PAD, diikuti oleh Retribusi Daerah, serta Penerimaan PAD Lainnya. Kontribusi dari Pajak dan Retribusi Daerah tahun 2003 apabila dibandingkan dengan tahun 2001 mengalami penurunan. Hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah
118
untuk meningkatkan
pendapatan pajak dan restribusi daerah adalah dengan
melakukan penyisiran wajib pajak daerah tanpa harus melakukan kenaikan tarif pajak atau restribusi daerah. Dengan jumlah wajib pajak daerah yang bertambah, maka pajak dan restribusi daerah akhirnya akan meningkat. Selain itu pengembangan potensi pajak/retribusi daerah harus disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak agar tidak berdampak negatif bagi ekonomi daerah (disintensif). Penyebab lainnya adalah beberapa pajak-pajak yang masih merupakan hak dari pemerintah pusat yang belum diserahkan kepada pemerintah daerah. Penerimaan Asli Daerah yang berasal dari Kontribusi dari Bagian Laba Usaha Daerah masih sangat kecil. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus melakukan optimalisasi atas kinerja perusahaan milik daerah (BUMD) di samping tugasnya sebagai penyedia barang publik di daerah. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah adalah, (1) masih adanya sumber pendapatan potensial yang masih dapat digali oleh pemerintah daerah tetapi masih belum dilakukan, (2) BUMD pada umumnya belum beroperasi secara efisien sehingga laba yang disumbangkan masih kecil, (3) kurangnya kesadaran masyarakat membayar pajak, retribusi, dan pungutan lainnya, (4) rendahnya tingkat hidup dan ekonomi masyarakat hal ini tercermin dari tingkat pendapatan masyarakat, dan (5) kurangnya kemampuan pemda dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada (BI Surabaya 2004). Lemahnya kinerja keuangan beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur disebabkan karena kurangnya kemampuan pemerintah daerah di dalam menggali potensi-potensi sumber pendapatan yang ada di daerahnya. Struktur perekonomian yang berbasis pada sektor pertanian juga salah satu kendala di dalam menggali sumber pendapatan daerah. Dari hasil analisis dengan menggunakan angka pengganda pajak, untuk sektor-sektor yang termasuk dalam kelompok pertanian angka penggandanya tidak terlalu besar, sebagai contoh angka pengganda tertinggi pada pertanian adalah sektor perikanan dengan nilai 2.23, sedangkan angka pengganda pajak pada sektor unggulan yang terendah adalah pengilangan minyak sebesar 3.01 dan yang tertinggi adalah sektor pupuk, kimia, dan barang dari karet
119
sebesar 5.18. Untuk itu perlu dikembangkan sektor-sektor perekonomian lainnya yang dapat mendukung pendapatan daerah. Dana Perimbangan yang diterima oleh pemerintah daerah Jawa Timur secara nominal setiap tahun meningkat, namun proporsinya di dalam sumber pendapatan semakin menurun sebagaimana terlihat pada Tabel 33. Komponen-komponen dalam Dana Perimbangan yang paling besar adalah Dana Alokasi Umum diikuti oleh Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Bukan Pajak, serta Dana Alokasi Khusus. Pada tahun 2001, pangsa dari Dana Perimbangan adalah sebesar 87.89%, pada tahun 2002 dan 2003 pangsanya terhadap seluruh total pendapatan menurun menjadi 76.10% dan 75.90%. Apabila dibandingkan dengan alokasi belanja daerah (rutin dan pembangunan), maka dana perimbangan ini hanya cukup untuk membiayai belanja rutin dimana pada tahun 2001 sampai dengan 2003 pangsanya adalah 77,12%, 69%, dan 72,87% dari total alokasi belanja daerah. Tabel 33 Rekapitulasi dana perimbangan kabupaten/kota di Jawa Timur (000 Rp) URAIAN Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Total Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Total
2001 790 498 973 90 513 837 8 432 930 820 54 411 539 9 368 355 169 Persentase (%) 8.44 0.97 90.02 0.58 100.00
TAHUN 2002 1 002 092 099 110 136 399 8 950 063 528 22 464 009 10 084 756 035
2003 1 229 504 035 114 412 271 9 808 870 531 165 299 763 11 318 086 600
9.94 1.09 88.75 0.22 100.00
10.86 1.01 86.67 1.46 100.00
Sumber : BPS Jawa Timur. Data diolah.
Yang termasuk Penerimaan Lainnya lainnya sebagai bagian dari pendapatan daerah adalah hasil penjualan milik daerah, penjualan barang-barang bekas, cicilan kendaraan bermotor roda empat atau roda dua, cicilan rumah yang dibangun oleh pemerintah, serta penerimaan jasa giro. Kontribusinya sebagai sumber pendapatan daerah tidak terlalu besar, namun setiap tahun semakin meningkat yaitu 1.85% pada tahun 2001, 3.72% pada tahun 2002, dan pada tahun 2003 sebesar 4.67%.
120
Sejalan dengan kewenangan pemerintah daerah yang lebih luas, diharapkan pemerintah daerah lebih mampu untuk menggali sumber-sumber pendapatan untuk melaksanakan pembangunan dan pemerintahan melalui PAD selain bantuan dari pemerintah pusat. Masalah yang timbul adalah, besarnya kewenangan yang timbul tersebut ternyata tidak sebanding lurus dengan kewenangan di bidang fiskal (Nababan 2005). Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan otonomi daerah yang berlaku sekarang ini, pemerintah daerah tetap tergantung kepada pemerintah pusat dari segi pendanaan. Bedanya dengan dulu, dana dari pemerintah pusat ke daerah sebagian besar dalam bentuk specific grant (SKO, Inpres, DA-SDO dll) namun dalam era otonomi daerah lebih ke arah block grant dalam bentuk DAU.
Keterkaitan Antara Anggaran Belanja Pembangunan dan Sektor Unggulan Fungsi utama dari aktivitas pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Menurut Saefulhakim (2004b), untuk mencapai hal tersebut maka aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan pemerintah dengan jalan melakukan (1) regulasi, tata aturan, penegakkan norma, dan pengawasan, (2) public facility provision, penyediaan fasilitas umum, artinya pemerintah sebagai koordinator pengadaan, dan (3) penentuan lokasi fasilitas umum yang tepat. Namun dalam pelaksanaannya, hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pemerintah adalah terbatasnya anggaran pemerintah (budget goverment) dan arah dari alokasi pengeluaran pemerintah itu sendiri (expenditure goverment). Instrumen yang dimiliki oleh pemerintah untuk menjalankan fungsinya adalah instrumen fiskal dan instrumen moneter. Karena instrumen moneter merupakan kewajiban dan tanggung jawab bank sentral maka pemerintah daerah hanya memiliki instrumen fiskal. Kebijakan fiskal mempunyai tiga tujuan (Due 1985), yaitu (1) menjamin bahwa laju pertumbuhan perekonomian yang sebenarnya menyamai laju pertumbuhan potensial dengan tetap mempertahankan kesempatan kerja penuh, (2) mencapai suatu tingkat harga umum stabil dan wajar, serta (3) meningkatkan laju pertumbuhan potensial.
121
Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, maka pemerintah
harusnya
mengarahkan pengeluaran-pengeluarannya kepada sektor-sektor unggulan karena mempunyai nilai keterkaitan dan multiplier yang besar. Selain pemerintah, peran yang sangat diharapkan adalah dari investasi. Investasi yang mengarah kepada sektor unggulan juga akan meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian Jawa Timur. Secara faktual, nilai dari permintaan pemerintah di dalam perekonomian sangat kecil apabila dibandingkan dengan permintaan dari rumah tangga maupun ekspor. Sifat pengeluaran pemerintah ditinjau dari jenis belanjanya dapat dibagi dua, yaitu bersifat konsumtif (belanja rutin), dimana belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah digunakan untuk memenuhi keperluan dalam pelaksanaan tugas umum pemerintahan, seperti pembayaran gaji, pembelian ATK, pembayaran rekening listrik, telepon, maupun air minum,
serta pemeliharaan aset-aset pemerintah seperti
kendaraan dinas dan gedung perkantoran.
Tabel 34 Rekapitulasi belanja rutin dan pembangunan kabupaten/kota di Jawa Timur (000 Rp) URAIAN Belanja Rutin Belanja Pembangunan Total Belanja Rutin Belanja Pembangunan Total
2001 7 179 524 176 2 130 162 059 9 309 686 235 Persentase (%) 77.12 22.88 100.00
TAHUN 2002 7 910 113 545 3 554 018 213 11 464 131 758
2003 10 867 517 524 4 045 194 586 14 912 712 110
69.00 31.00 100.00
72.87 27.13 100.00
Sumber : BPS Jawa Timur. Data diolah.
Dari sisi belanja, pos paling besar mendapatkan alokasi dana adalah belanja rutin dibandingkan dengan belanja pembangunan. Semenjak tahun 2001 alokasi dana untuk belanja rutin setiap tahun cenderung menurun. Meningkatnya alokasi anggaran pada belanja pembangunan diharapkan dapat menggerakkan dan meningkatkan perekonomian Jawa Timur, karena belanja pembangunan yang cenderung bersifat investasi. Sebagaimana terlihat pada Tabel 34, pangsa belanja rutin pada tahun anggaran 2001 sebesar 77.12%, pada tahun 2002 turun menjadi sebesar 69%. Namun pada tahun 2003 alokasi belanja rutin kembali naik menjadi 72.87%.
122
Alokasi belanja rutin yang paling besar pada tahun anggaran 2003 adalah belanja pegawai yang mencapai 69.44% dari total alokasi belanja rutin, disusul kemudian oleh alokasi belanja barang sebesar 10.95%, serta belanja lain-lain sebesar 5,46%. Dari Tabel 35, terdapat kecenderungan penurunan porsi pada pos belanja pegawai, belanja lain-lain, dan angsuran pinjaman dari tahun anggaran 2001 sampai dengan 2003, namun pada pos belanja yang lain seperti belanja barang, belanja pemeliharaan, serta perjalanan dinas mengalami kenaikan. Belanja bantuan keuangan juga mengalami kenaikan yang sangat berarti pada tahun anggaran 2003. Tabel 35 Alokasi belanja rutin kabupaten/kota di Jawa Timur Persen (%) Belanja Rutin 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Pemeliharaan Belanja Perjalanan Dinas Belanja Lain-Lain Angsuran Pinjaman Bantuan Keuangan Pengeluaran Lain-Lain Pengeluaran Tdk Disangka Jumlah Belanja Rutin
2001 78.32 7.20 1.60 0.58 8.15 1.05 1.16 1.30 0.64 100.00
Tahun 2002 72.69 9.08 2.20 0.82 9.60 0.82 1.39 2.08 1.32 100.00
2003 69.44 10.95 3.74 1.23 5.46 0.57 4.39 2.39 1.84 100.00
Sumber : BPS Jawa Timur. Data diolah.
Komponen-komponen dalam belanja pembangunan pada tahun anggaran 2003 yang menerima alokasi dana terbesar adalah sektor transportasi, meteorologi, dan geofisika (23.32%), sektor pembangunan daerah dan transmigrasi (11.74%), sektor aparatur pemerintah dan pengawasan (14.37%) serta sektor pendidikan (10.31%). Sedangkan alokasi dana yang terkait dengan pembangunan perekonomian masih sangat minim seperti pada sektor pertanian dan kehutanan (4.60%), sektor industri (1.95%), sektor sumber daya air dan irigasi (4.71%), perdagangan (6.06 %) serta pertambangan dan energi (0.40%). Selama tahun anggaran 2001 – 2003, pengeluaran pembangunan terbesar adalah sektor transportasi, dimana dengan pengeluaran yang besar terhadap sektor ini
123
diharapkan dapat merangsang dan membantu pertumbuhan sektor ekonomi lainnya yang sekaligus meningkatkan pemerataan hasil-hasil pembangunan daerah. Sektor pertanian yang merupakan sektor basis sebagian besar kab/kota di Jawa Timur mendapat alokasi dana yang kecil. Alokasi dana untuk pembangunan yang terkait dengan sektor pertanian hanya sebesar 4,60% jauh di bawah alokasi dana untuk sektor aparatur pemerintah dan pengawasan (14,37%). Alokasi belanja untuk sektor ini dari tahun 2001 terus semakin menurun dari 5,2% pada tahun 2001 menjadi 4,48% pada tahun 2002. Tahun 2003, sektor ini naik sedikit menjadi 4,60%. Minimnya alokasi dana pada sektor pertanian mengindikasikan bahwa perhatian pemerintah ke sektor ini sangat belum begitu tinggi. Tabel 36 Alokasi belanja pembangunan kabupaten/kota di Jawa Timur Persen (%) Belanja Pembangunan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Industri Pertanian dan Kehutanan Sumberdaya Air dan Irigasi Tenaga Kerja Perdagangan Transportasi, Meteorologi, dan Geofisika Pertambangan dan Energi Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Pembangunan Daerah & Transmigrasi Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Pendidikan, Kebudayaan, dan Kepercayaan Kepada Tuhan YME Kependudukan dan Keluarga Sejahtera Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, dan Peranan Wanita Perumahan dan Pemukiman Agama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hukum Aparatur Pemerintah dan Pengawasan Politik, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa Keamanan dan Ketertiban Umum Subsidi Pembangunan Kepada Daerah Bawahan Jumlah Belanja Pembangunan
2001 0.87 5.20 4.54 0.52 5.92 22.87 0.34 0.81 12.80 2.48 9.63 0.64 8.23 4.75 1.84 1.92 0.42 13.49 1.00 0.44 1.30 100.00
Tahun 2002 1.07 4.48 5.09 0.68 8.64 20.81 0.37 1.06 13.96 3.34 10.21 0.81 7.01 3.27 1.69 1.66 0.45 13.54 0.80 0.40 0.66 100.00
2003 1.95 4.60 4.71 0.63 6.06 23.32 0.40 1.24 11.74 2.41 10.31 0.75 6.82 4.17 1.85 2.10 0.53 14.37 1.32 0.41 0.33 100.00
Sumber : BPS Jawa Timur . Data diolah.
Alokasi belanja pembangunan yang sangat besar kepada sektor aparatur pemerintah dan pengawasan disebabkan karena sektor ini menampung semua keperluan untuk biaya pembelian kendaraan dinas, renovasi/perbaikan kantor maupun
124
rumah dinas. Selain itu, sektor ini juga digunakan untuk proyek-proyek pendidikan dan pelatihan aparatur pemerintah. Dari Tabel 36 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alokasi belanja pemerintah daerah terhadap sektor unggulan sama sekali tidak terkait. Hal ini terlihat dari rendahnya alokasi belanja pembangunan yang diarahkan kepada sektor industri, sektor pertanian, dan sektor pariwisata. Alokasi belanja pembangunan ke sektor industri dari tahun 2001 s.d. 2003 tidak lebih dari 2%. Hal ini mengindikasikan bahwa peran pemerintah daerah dalam perekonomian di Jawa Timur sudah mulai berkurang dan sudah melepaskannya ke tangan swasta dan rumah tangga. Demikian halnya alokasi belanja pembangunan terhadap sektor pariwisata sebagai penunjang sektor restoran belum mendapatkan alokasi
yang memadai.
Terhadap sektor perdagangan, alokasi belanja pemerintah daerah di Jawa Timur sudah sedikit terkait. Walaupun tidak mendapatkan alokasi belanja yang sangat besar namun pangsanya sekitar 6% pada tahun 2003, kedua terbesar setelah sektor transportasi, geofisika, dan meteorologi. Peran pemerintah Jawa Timur dari alokasi belanja pembangunan tahun 2000 s.d. 2003 lebih mengarah kepada penyediaan barang-barang publik seperti infrastruktur jalan serta pembangunan manusia. Dengan ketersediaan sarana dan prasarana infrastruktur yang memadai, maka para investor akan menanamkan investasi di Jawa Timur. Namun, investasi yang akan dilaksanakan harus mengarah kepada sektor unggulan di Jawa Timur. Soebeno (2005), menyatakan bahwa pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat bagi tercapainya pembangunan manusia karena dengan pembangunan ekonomi terjamin peningkatan prokdutivitas dan pendapatan melalui penciptaan kesempatan kerja. UNDP (1996) dalam Soebeno (2005), juga menyatakan bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia bersifat timbal balik. Artinya, pertumbuhan ekonomi mempengaruhi pembangunan manusia. Akan tetapi hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidak bersifat otomatis. Hubungan yang tidak otomatis ini sesungguhnya merupakan tantangan bagi pelaksana pemerintah
untuk merancang kebijakan yang mantap,
125
sehingga hubungan antara pembangunan manusia dan pembangunan ekonomi saling memperkuat bukan saling memperlemah. Tabel 37 menunjukkan bahwa alokasi belanja pemerintah baik belanja rutin maupun belanja pembangunan, sama sekali tidak terkait dengan peningkatan PDRB Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa, belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sangat sedikit bahkan tidak memberi kontribusi yang nyata terhadap pembangunan perekonomian Jawa Timur. Ketidakterkaitan
ini juga
mengindikasikan bahwa alokasi yang belanja dilakukan tidak tepat jumlah dan tempatnya (sektor). Pencapaian target-target pembangunan yang akan dicapai oleh pemerintah seperti pertumbuhan perekonomian belum implementasi lebih lanjut dalam pelaksanaannya yang ditunjukkan oleh alokasi belanja pemerintah daerah yang berbeda faktor komponen utama-nya.
Tabel 37 Hasil PCA keterkaitan antara belanja APBD kabupaten/kota terhadap perekonomian di Jawa Timur VARIABEL Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Belanja Rutin Belanja Industri Bel. Pertanian, kehutanan, sumber daya air, dan irigasi Bel. Perdagangan dan Transportasi Bel. Pembangunan Daerah dan Aparatur Pemerintah Bel.Pertambangan Energi Expl.Var Prp.Totl
Commun ality 0.7385 0.0831 0.9305 0.7208 0.6337 0.9818 0.8767 0.9696 0.8258 0.7491 0.8944 0.3889 0.9421 0.9120 0.8716 0.768
FL 1 -0.349 0.051 0.961 0.064 0.310 0.844 0.400 0.950 0.367 0.165 0.060 -0.246 0.106 0.021 0.006 3.161 0.211
FL 2 -0.208 -0.042 -0.066 0.030 0.117 0.094 0.184 0.003 0.428 0.701 0.943 0.548 0.956 0.904 0.933 4.572 0.305
FL 3 -0.757 -0.281 0.051 0.846 0.724 0.510 0.826 0.259 0.713 0.480 -0.033 0.168 0.128 0.308 0.040 3.786 0.252
Hal lain yang menyebabkan alokasi belanja pemerintah yang lemah keterkaitannya terhadap perekonomian di Jawa Timur disebabkan karena alokasi belanja lebih banyak kepada belanja rutin yang mendapat alokasi lebih dari 72%.
126
Sedangkan belanja pembangunan yang sifatnya investasi hanya mendapatkan sisanya. Besarnya alokasi belanja rutin terutama untuk pos belanja pegawai dan belanja perjalan menyebabkan uang yang keluar dari kas daerah tidak berputar ke masyarakat, namun hanya dinikmati oleh segolongan orang tertentu saja. Problem lain yang dihadapi dalam alokasi belanja pembangunan adalah tidak semua alokasi belanja pembangunan untuk keperluan publik, seperti alokasi untuk aparatur pemerintah dan pengawasan. Padahal sektor tersebut mendapatkan alokasi dana yang terbesar kedua setelah sektor transportasi, meteorologi, dan geofisika. Oleh sebab itu, secara umum dapat dinyatakan bahwa alokasi anggaran pada kabupaten/kota di Jawa Timur masih belum berpihak kepada publik atau kesejahteraan masyarakat. Indikasinya adalah besarnya alokasi belanja rutin dan alokasi belanja pembangunan kepada sektor aparatur pemerintah.
Kelembagaan dalam Penyusunan APBD Lemahnya keterkaitan antara pengeluaran pemerintah terhadap pembangunan perekonomian mengindikasikan lemahnya peran kelembagan di dalam perencanaan pembangunan di daerah. Akibatnya, keputusan yang diambil di dalam melaksanakan kegiatan
yang tercermin di dalam alokasi anggaran tidak memberikan manfaat
yang besar bagi masyarakat. Pada sektor ekonomi, alokasi anggaran tidak mengarah kepada sektor-sektor perekonomian yang tepat maka manfaat yang ditimbulkannya kecil sehingga tidak ada keterkaitannya. Sebelum era otonomi daerah, pedoman di dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (P5D). Peraturan tersebut merupakan dasar dari dilakukannya Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes). Berdasarkan peraturan tersebut,
perencanaan
dilakukan secara berjenjang dari bawah ke atas (bottom up), yaitu dari mulai tingkat desa sampai dengan tingkat kelurahan. Dalam pertemuan Musbangdes tersebut, sebetulnya diharapkan terjadi adanya interaksi antar pelaku pembangunan dan penerima manfaat hasil pembangunan yang
127
berada di daerah. Dalam Musbangdes, masyarakat desa atau kelurahan selaku penerima manfaat langsung dari pembangunan seharusnya turut berpartisipasi menentukan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan dan mengetahui dampak yang akan ditimbulkan. Pertemuan tersebut sebenarnya sangat ideal dan memadai namun dalam pelaksanaannya hak dan partisipasi masyarakat hanya diwakili oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) sedangkan Rakorbang yang berada di Dati II umumnya hanya diikuti oleh aparat pemerintah dan perwakilan DPRD yang biasanya diwakili oleh anggota panitia anggaran dan tidak ada keterlibatan masyarakat di dalam proses perencanaan pembangunan selanjutnya (Bratakusumah 2003). Yang diharapkan di dalam Rakorbang sebenarnya adalah adanya pemaduserasian antara pendekatan top down yang dimiliki oleh pemerintah dengan bottom up yang dimiliki masyarakat hasil usulan dari Musbangdes. Karena tidak adanya wakil dari masyarakat dalam pelaksanaan Rakorbang, maka usulan-usulan yang berasal dari masyarakat biasanya tidak tersampaikan. Oleh sebab itu, perencanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah
pusat
maupun pemerintah daerah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibat yang ditimbulkannya adalah terjadi kemubaziran di dalam mengalokasikan anggaran sehingga seperti yang terlihat pada analisis sebelumnya bahwa alokasi anggaran tidak terkait dengan pembangunan perekonomian di Jawa Timur. Dari uraian di atas, maka perlu adanya reformasi kelembagaan dalam perencanaan pembangunan. Kelembagaan dalam perencanaan pembangunan terdiri dari dua pihak, yaitu masyarakat dan pemerintah daerah (eksekutif). Peran masyarakat di dalam perencanaan pembangunan bisa dilakukan dengan jalan memberikan aspirasinya secara langsung maupun melalui perwakilan di DPRD. Peran aktif masyarakat di dalam memberikan aspirasinya bisa dilakukan melalui pertemuan Musbangdes maupun dari forum-forum lainnya seperti media massa. Sedangkan aspirasi yang melalui DPRD dilakukan melalui mekanisme Jaring Asmara (menjaring aspirasi masyarakat). Namun tidak ada jaminan bahwa apa yang telah disampaikan kepada anggota dewan akan memperoleh tanggapan yang baik,
128
karena anggota dewan biasanya turun ke daerah konstituennya saja sehingga aspirasi yang terserap tidak dapat diperoleh secara komprehensif. Oleh sebab itu perlu adanya pembenahan di dalam sistem kelembagaan. Kelembagaan juga berarti aturan main (rule of the game). Salah satu hal yang harus dilakukan juga adalah perbaikan di dalam sistem dan mekanisme perencanaan anggaran, sehingga perencanaan anggaran dilakukan secara transparan, terukur, dan sesuai dengan tujuannya. Peran kepala daerah juga sangat menentukan di dalam memberikan arah dan prioritas anggaran. Kepala daerah dengan perannya sebagai pemimpin dengan wawasan yang luas dan berpihak kepada publik akan lebih memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat di daerahnya. Kerjasama yang serasi antara DPRD dan eksekutif di daerah sangat diperlukan untuk
sehingga arah pembangunan dapat
terarah. Kepala daerah sebagai penerima mandat dari masyarakat dalam melaksanakan tugasnya akan diawasi oleh DPRD sebagai wakil rakyat. Inti dari perubahan paradigma penyusunan anggaran yang dulu bersifat top down menuju participatory budgeting system adalah kemauan dari unsur-unsur kelembagaan di daerah itu sendiri untuk merubah sikapnya, lembaga yang paling terkait tentunya adalah DPRD dan pihak eksekutif. Esensi dari otonomi daerah itu sendiri sebenarnya bukan penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah, namun lebih dari itu adalah berusaha mendekatkan pemerintah dengan masyarakat. Dari uraian di atas, maka wujud dari perubahan kelembagaan yang harus dilakukan adalah : 1.
meningkatkan kapasitas peran serta masyarakat di dalam memberikan arahan perencanaan pembangunan daerah, baik di bidang ekonomi, sosial, dan sebagainya.
2.
perbaikan sistem dan mekanisme perencanaan serta pembagian tugas yang jelas antara eksekutif dan legislatif sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.
3.
peningkatan kapasitas pimpinan kepala daerah yang prioritas pembangunan daerahnya.
mampu mengarahkan
SIMPULAN Dari analisis yang telah dilakukan, sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan di Jawa Timur adalah sektor (1) kertas dan barang cetakan; (2) tekstil, barang dari kulit dan alas kaki, (3) kacang-kacang lainnya, (4) restoran, serta (5) bangunan dan konstruksi. Prioritas pembangunan terhadap sektor-sektor unggulan tersebut akan menggerakan roda perekonomian Jawa Timur secara simultan terhadap sektor-sektor lainnya. Hal ini disebabkan karena sektor unggulan tersebut mempunyai keterkaitan ke belakang yang besar serta kemampuan di dalam menciptakan angka pengganda yang besar di dalam perekonomian. Lemahnya keterkaitan sektor-sektor yang termasuk dalam kelompok pertanian mengakibatkan angka pengganda pada sektor pertanian kecil. Hal ini mengakibatkan pendapatan yang diperoleh oleh para petani lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Untuk itu, berbagai upaya harus dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga keterkaitan sektor pertanian menjadi lebih besar dan kuat. Hasil dari Analisis Komponen Utama (PCA) memperlihatkan bahwa tidak ada keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir karena masing-masing berada pada faktor komponen utama yang berbeda (F1 dan F2). Pembangunan perkonomian pada sektor hilir mempunyai korelasi yang searah dengan angka pengganda pendapatan, angka
penganda surplus usaha, angka pengganda pajak
dan angka pengganda PDRB. Sedangkan sektor hulu, tidak terkait sama sekali dengan variabel-variabel lainnya. Hasil analisis terhadap lokasi sektor-sektor unggulan di Jawa Timur menghasilkan adanya fenomena kabupaten/kota dimana terjadi pemusatan sektor unggulan terutama sektor-sektor yang termasuk dalam kelompok industri pengolahan, ternyata daya saingnya mulai turun. Hal tersebut pada akhirnya akan mengarah kepada terjadinya deglomerasi, yang memberi efek mulai terjadinya penyebaran lokasi daerah industri. Sedangkan pada sektor restoran, lokasi sektor unggulan ini sangat di pengaruhi oleh sektor perdagangan dan pariwisata. Pemusatan dan daya saing yang tinggi dari sektor restoran berada pada Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Madiun. Daya saing sektor restoran pada seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur sangat bagus. Sektor
bangunan
dan
130
konstruksi memusat dan mempunyai daya saing yang tinggi pada bagian Selatan Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan mulai menyebarnya pembangunan sarana infrastruktur terutama jalan dan perumahan ke arah Selatan dan tidak terpusat lagi di bagian Utara. Pembangunan sarana infrastruktur yang lebih merata akan mengurangi
disparitas
wilayah
serta
dapat
meningkatkan
pemerataan
pembangunan perekonomian. Sedangkan sektor pertanian (tanaman bahan makanan), hampir semua wilayah di Jawa Timur sangat rendah daya saingnya, pengecualian pada Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Sumenep. Kebijakan pemerintah yang akan dilaksanakan tercermin di dalam alokasi belanja pembangunan. Sektor-sektor yang mendapat prioritas pembangunan pada alokasi belanja pembangunan adalah sektor transportasi, meteorologi, dan geofisika; sektor pendikan dan kepercayaan kepada Tuhan YME; serta sektor aparatur pemerintah dan pengawasan. Sehingga, alokasi belanja pembangunan pada kabupaten/kota di Jawa Timur tidak terkait dengan sektor unggulan. Hasil analisis dengan menggunakan metode PCA menyatakan bahwa alokasi belanja pemerintah baik belanja rutin maupun pembangunan tidak berdampak sama terhadap pembangunan perekonomian di Jawa Timur. Otonomi daerah yang diwujudkan dalam bentuk desentralisasi fiskal, baru mencapai tahap kesimbangan dan keadilan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dan antar pemerintah daerah sendiri. Sedangkan dampak yang diharapkan muncul terutama terhadap perekonomian daerah belum mempunyai dampak yang nyata. Tidak adanya keterkaitan antara alokasi anggaran belanja pemerintah, terutama alokasi belanja pembangunan terhadap sektor unggulan sebagai upaya membangun perekonomian Jawa Timur pada akhirnya akan melemahkan kinerja pembangunan daerah. Alokasi belanja pembangunan yang kecil dibandingkan dengan alokasi belanja rutin seharusnya dimanfaatkan secara maksimal dan tepat sasaran. Lemahnya kinerja pembangunan pada bidang ekonomi akan memberi dampak terhadap pembangunan di bidang sosial, hal ini ditunjukkan dengan besarnya angka pengangguran dan kemiskinan di Jawa Timur. Bentuk lain dari lemahnya kinerja pemerintah di Jawa Timur adalah masih tingginya tingkat kesenjangan wilayah.
IMPLIKASI KEBIJAKAN Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka permasalahan dalam pembangunan perekonomian di Jawa Timur antara lain adalah tidak adanya keterkaitan yang kuat antara sektor hulu dan sektor hilir (hubungan antara sektor pertanian dan industri yang lemah) dan lemahnya peran kelembagaan di dalam perencanaan sehingga alokasi anggaran tidak terkait dengan sektor unggulan. Lemahnya keterkaitan antara sektor pertanian dan industri mengakibatkan tingkat pendapatan petani menjadi rendah karena hasil-hasil pertanian sedikit yang diserap oleh sektor industri. Keterkaitan yang lemah mengakibatkan tinginya impor bahan baku pada sektor industri karena pemanfaatan bahan baku lokal yang sedikit. Dari hasil analisis tipologi sektoral, sebagaimana Tabel 22, sektor-sektor pertanian berada pada Kelompok II dengan karakteristik angka pengganda penyusutan, angka pengganda pajak, dan angka pengganda impor yang relatif rendah, serta keterkaitan ke depan dan belakang yang tidak terlalu tinggi. Upayaupaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah di dalam mengatasi hal tersebut adalah : 1. pembangunan sektor pertanian pada masing-masing daerah disesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah. 2. produktivitas dan pendapatan per kapita sektor pertanian yang rendah disebabkan karena terlalu banyaknya penduduk yang bekerja pada sektor pertanian. Pembangunan sektor-sektor non pertanian yang relevan dengan kondisi daerah masing-masing diharapkan mampu menyerap limpahan tenaga kerja di sektor pertanian. 3. meningkatkan suplai hasil produk-produk pertanian untuk mengurangi impor serta untuk memenuhi kebutuhan industri. Kemampuan di dalam memenuhi suplai ke sektor industri akan menciptakan keterkaitan antara sektor indutri dengan pertanian. 4. pola kemitraan antara petani dan industri dalam bentuk koperasi, usaha tani, kontrak, maupun klaster yang bisa meningkatkan daya saing dan mutu hasil produksi sehingga bisa memenuhi standar kualitas untuk keperluan industri
132
5. menekan biaya-biaya transaksi dan meningkatkan akses petani terhadap informasi dan kredit 6. struktur insentif bagi petani sebagai upaya untuk menghindari konversi lahan pertanian. 7. riset dan teknologi khususnya yang menyoroti kebutuhan petani kecil dan daerah miskin sumber daya. 8. adanya informasi mengenai ketersediaan sumber daya dan hasil-hasil pertanian. Informasi tentang produk-produk pertanian yang ada baik jumlah dan lokasinya akan memudahkan para pengusaha pada sektor industri untuk melakukan pembelian atau investasi yang sesuai dengan kondisi lokal. Manfaat lainnya adalah hasil produk pertanian akan cepat terserap oleh pasar sehingga tingkat kerugian petani juga akan berkurang karena sifat dari produk pertanian itu sendiri yang mudah rusak. Sedangkan bagi kabupaten/kota yang berbasis pada sektor industri, peran yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah : 1. menjaga iklim investasi yang kondusif. 2. mengarahkan investasi
kepada sektor unggulan yang berbasis sumber
daya lokal yang berasal dari daerah hinterland sehingga terjadi keterkaitan sektoral yang kuat. 3. mempermudah ijin investasi dan menghilangkan biaya-biaya perijinan yang tidak diperlukan serta membantu pengusaha membuka peluang pemasaran sehingga permintaan akhir mampu dipertahankan. Implementasi dari hal tersebut di atas adalah perlunya kerja sama antar pemerintah daerah, baik daerah yang berbasis pertanian maupun yang berbasis industri. Kerja sama ini pada akhirnya akan membentuk hubungan mutualisme yang saling menguntungkan. Jika tidak, maka daerah-daerah hinterland dengan tingkat pendapatan yang rendah akan menghambat pertumbuhan demand terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh wilayah yang lebih maju. Prioritas pembangunan sebaiknya diarahkan kepada sektor-sektor hilir, karena berdasarkan analisis PCA yang telah dilakukan sektor hilir mempunyai kemampuan yang besar di dalam menciptakan angka pengganda di dalam perekonomian. Selain itu, sektor-sektor unggulan berdasarkan pada kriteria yang
133
telah di tetapkan merupakan sektor-sektor hilir dengan keterkaitan ke belakang yang kuat. Kaitannya terhadap perencanaan daerah yang diimplementasikan di dalam APBD, peran serta masyarakat secara aktif perlu ditingkatkan sebagai upaya perbaikan dalam peningkatan kelembagaan perencanaan. Proses perencanaan harus terintegrasi dengan upaya pengembangan masyarakat dalam upaya meningkatkan peran aktif masyarakat. Peran pemerintah di dalam pengembangan masyarakat melalui investasi sosial kapital. Untuk membangun sosial kapital secara efektif, pemerintah daerah harus berbagi peran dengan masyarakatnya, dalam arti harus bergeser dari yang semula sebagai pengontrol, regulator, dan provider menjadi lebih sebagai katalisator, penyelenggara pertemuan-pertemuan (converner) dan fasilitator. Selain itu, perlu adanya pemahaman dan keserasian terhadap tujuan pembangunan yang perlu dipahami oleh masing-masing dinas sehingga kebijakan yang dikeluarkan tidak bersifat parsial namun komprehensif. Untuk mencapai keserasian dan kerja sama antar dinas tersebut maka perlu peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan ekonomi Jawa Timur hendaknya diarahkan pada sektorsektor yang memiliki keunggulan dan menjadi prioritas pembangunan daerah. Prioritas pembangunan disesuaikan dengan visi, misi, dan kondisi keuangan daerah. Agar pembangunan perekonomian bisa terintegrasi dengan sistem anggaran yang berlaku maka perlu dilakukan
pendefinisian dan disesuaikan
dengan sektor perekonomian sehingga dapat diketahui dampaknya terhadap perekonomian daerah. Penyusunan APBD perlu disinkronkan dengan target kinerja yang akan dicapai. Komponen
pengeluaran
pemerintah
apabila
dibandingkan
dengan
komponen-komponen lainnya dalam permintaan akhir (final demand) tidak terlalu besar. Strategi yang dilakukan selain dengan arah alokasi belanja kepada sektorsektor yang merupakan unggulan juga perlu melakukan pembinaan kepada sektorsektor unggulan, menjembatani UKM dengan pihak lembaga keuangan untuk membantu meningkatkan permodalan, mencari peluang pemasaran keluar daerah (ekspor) sehingga permintaan akhir dapat dipertahankan dan bisa diperbesar serta
134
menjaga iklim investasi yang kondusif. Secara umum strategi pemerintah daerah adalah sebagaimana pada Gambar 33.
- Masalah Pertumbuhan Ekonomi - Masalah peningkatan pendapatan daerah - Masalah peningkatan pendapatan masyarakat
Sektor-Sektor Unggulan Jawa Timur : Sektor X Sektor Y Sektor Z
Dinas/Badan/ Instansi
Kegiatan
1 2 . n
Menggunakan Hasilhasil produksi dari sektor X, Y, dan Z
- Pembinaan dan pemodalan UKM - Mencari peluang pemasaran untuk ekspor - Regulasi dan menjaga iklim investasi yang kondusif - Penawaran peluang investasi
Gambar 33 Strategi pemerintah daerah di dalam pembangunan ekonomi kaitannya dengan sektor unggulan. Dalam jangka pendek, prioritas pembangunan daerah yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah belum tentu sama dengan sektor-sektor unggulan hasil dari penelitian ini. Oleh sebab itu, cara yang bisa dilakukan kepada pemerintah daerah adalah memberikan pilihan-pilihan terhadap perencanaan pembangunan. Apabila prioritas jangka pendek saat ini adalah upaya peningkatan pertumbuhan perekonomian maka prioritas pembangunan seharusnya dilakukan kepada sektor-sektor dengan output multiplier dan PDRB multiplier yang besar. Di sisi lain apabila prioritas pembangunan adalah meningkatkan daya beli masyarakat melalui peningkatan pendapatan, maka prioritas pembangunan dapat diarahkan kepada sektor-sektor dengan income multiplier yang besar. Demikian juga halnya apabila prioritas utama pembangunan di Jawa Timur adalah pengurangan angka pengangguran, maka prioritas pembangunan diarahkan pada sektor-sektor dengan angka pengganda tenaga kerja yang besar.
DAFTAR PUSTAKA Amir H, Nazara S. 2005. Analisis Perubahan Struktur Ekonomi (Economic Landscape) dan Kebijakan Strategi Pembangunan Jawa Timur Tahun 1994 dan 2000: Analisis Input Output. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia. Vol. V No. 02, 2005, Januari, hal 37-55. Anwar A, Hadi S. 1996. Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Majalah Prisma - Jurnal Kajian Ekonomi dan Sosial Edisi 25 Tahun. Hal:49-62. Anwar A, Rustiadi E. 2000. Permasalahan Pembangunan Wilayah Riau Menyongsong Otonomi Wilayah. Makalah pada Konsultasi Regional PDRB se-Provinsi Riau tanggal 21 September 2000. Anwar A, Rustiadi E. 2003. Sistem Perencanaan Pembangunan dalam Era Reformasi dan Otonomi Daerah. Makalah pada Seminar Menuju Perencanaan pada Era Masyarakat Madani 28 Juli 2003. Anwar A. 2005a. Permasalahan Pertanahan Berkait Dengan Pembangunan Agropolitan dan Wilayah Perdesaan Serta Peranan Sektor Pertanian. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Perdesaan IPB. Anwar A. 2005b. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Bogor. P4W-Press. Arief S. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. Jakarta. Penerbit Universitas Indoenesia (II-Press). Arsyad L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta. PT BPFE-Yogyakarta. Bank Indonesia Surabaya. 2004. Evaluasi Perkembangan Ekonomi Moneter dan Perbankan Jawa Timur Tahun 2003 dan Prospek Tahun 2004. Surabaya: Bank Indonesia. BPS Jawa Timur. 2003. PDRB Jawa Timur 1999 s.d. 2002. Surabaya: BPS. --------------------. 2004. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 2001-2003. Surabaya: BPS. --------------------. Jawa Timur Dalam Angka 2003. Surabaya: BPS. BPS Jawa Timur dan Bappeprop. Jawa Timur. 2004. Analisis Indikator Makro Sosial dan Ekonomi Tahun 2000 s.d. 2004. Surabaya. BPS Pusat. 2000. Teknik Penyusunan Tabel Input Output. Jakarta: BPS.
136
------------ . Survei Sosial Ekonomi Nasional 2003 Propinsi Jawa Timur. Jakarta: BPS. ------------ . Sensus Pertanian 2003 Angka Propinsi Hasil Pendaftaran Rumah Tangga. Jakarta: BPS. Bratakusumah DS. 2003. Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Seminar Nasional Sistem Perencanaan pembangunan nasional dan Ekonomi Politik Baru Pasca AmandemenUUD 1945. Jakarta. 2003. Daryanto A. 2004. Keunggulan Daya Saing dan Teknik Indentifikasi Komoditas Unggulan Dalam Mengembangkan Potensi Ekonomi Regional. Majalah Agrimedia Volume 9 No. 2. Halaman 51-62. Due JF. 1985. Keuangan Negara. Perekonomian Sektor Pememrintah. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia. Firdausy CM. 2000. Masalah Produksi dan Pemasaran Yang Dihadapi Petani Sayuran dan Buah-Buahan: Kasus di Jawa Timur dan Jawa Barat. Di dalam : Astuty ED, penyunting. Kajian Daya Saing Ekspor Komoditas Pertanian. Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan LIPI. 2000. hlm 95-108. Glasson J. 1977. Pengantar Perencanaan Regional. Diterjemahkan oleh Sitohang P. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Halim A. 2001. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta. UPP AMP YKPN. Herry. 2004. Pengembangan Ekonomi Daerah Berbasis Kawasan Andalan : Membangun Model Pengelolaan danPengembangan Keterkaitan Program. Info Kajian Bappenas Vol. 1 No 2.Hal:74-86. http://www.eastjava.com/plan/ind/umum.html. Keadaan Umum Daerah Jawa Timur. Dikunjungi tanggal 21 Pebruari 2005. Isard W. 1972. Introduction to Regional Science. Prentice Hall Inc, Englewood Cliffs. Kay R, Alder J. 1999. Coastal Planning and Management. E and FN Spon. Kelly ED, Becker B. 2000. Community Planning. An Introduction to The Comprehensive Plan. Island Press. 478p. Landiyanto EA. 2005. Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah : Studi Kasus Kota Surabaya. CURES Working paper No. 05/01. Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga.
137
Lewis BD. 2001. The New Indonesian Equalisation Transfer. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Vol. 37 No. 3. LIPI. 2000.Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lokal : Kasus Jawa Timur, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Jakarta. PPW-LIPI. LPFE Unair. 2001. Analisis Pembangunan Ekonomi Prop. Daerah Tk. I Jatim dengan Menggunakan Pendekatan Satuan Wilayah Pembangunan (SWP). Surabaya. Miyarto, Widyarti, Sugiyanto. 1993. Studi Antar Sektor Ekonomi Dalam Kaitannya Dengan Usaha Peningkatan Kesempatan Kerja di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Perguruan Tinggi. Buku III Bidang Hukum dan Ekonomi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Musgrave RA. 1984. Public Finance on Theory and Practice. 4Th edition. Mc.Grow-Hill.Inc. Nababan HF. 2005. Pencairan DAU Sudah Benar, Tetapi…. Tanggal 15 Oktober 2005.
Harian Kompas
Nazara S. 1997. Analisis Input Output. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Riyadi, Bratakusumah D S. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah Strategi Menggali Potensi Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2004. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Bogor. Fakultas Pertanian IPB. Saefulhakim S. 2002. Algoritma Metode RAS Dalam Konstruksi Tabel Input Output Tanpa Survey. Bogor. Fakultas Pertanian IPB. Saefulhakim S. 2004a. Modul Permodelan. Bogor. Fakultas Pertanian IPB. Saefulhakim S. 2004b. Materi Kuliah Ekonomi Wilayah. Pertanian IPB. Tidak dipublikasikan.
Bogor. Fakultas
Sidiq M. 2002. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal. Makalah : Seminar Setahun Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta, 13 Maret 2002. Setiadi D, Sobari W. Participatory Budgeting : Utopiakah?. Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP). www.jpip.or.id/newsdetail.php?lang=id&id=2 dikunjungi tanggal 27 April 2005.
138
Soebeno A. 2005. Analisis Pembangunan Manusia dan Penentuan Prioritas Pembangunan Sosial di Jawa Timur. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Sutriadi R. 2002. Perspektif Pengembangan Wilayah di Tingkat Kabupaten dalam Era Otonomi Daerah. Kertas Kerja No : WP-06-002. Departemen Teknik Planologi. ITB. Pemda Jawa Timur. 2001. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur No. 2/2001 tentang Program Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Timur Tahun 20012005. Surabaya: Pemda Jawa Timur. Tarigan R. 2004. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi. Jakarta. PT Bumi Aksara. Todaro M. 1989. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta. Erlangga. UNDP. 1996. Human Development 1996. New York. UNDP. Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah Warpani S. 1984. Analisis Kota dan Daerah. Bandung. Penerbit ITB Bandung. Widawati Y R. 2002. Peranan Efisiensi Pelabuhan Tanjung Perak Dalam Perspektif Pembangunan Ekonomi Jawa Timur. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB.
LAMPIRAN
139
Lampiran 1
Pendugaan koefisien teknis Tabel I-O Jawa Timur updating 2003 dengan Metode RAS
SETS i sektor input antara / 1*44 / ; ALIAS (i,j) ; SCALAR TotM Total Impor 2003 / 127672992 / TotF Total Final Demand 2003 / 382053750 / TotV Total PDRB 2003 / 254380758 / ; PARAMETERS Q2003(j) total input tabel I-O 2003 44 Sektor / 1 14021000 2 4861930 3 1686876 4 1160949 5 4864694 6 8809252 7 1097299 8 1887137 9 1043223 10 3519212 11 1044817 12 11330622 13 27941091 14 6087775 15 9138899 16 1536354 17 1536354 18 5179341 19 106564101 20 28480115 21 15825276 22 17569990 23 29165157 24 10904190 25 24304573 26 33963347 27 11296035 28 9511461 29 13574716 30 21194001 31 67953798 32 3246151 33 28545475 34 894482 35 10837427 36 1441749 37 435671 38 2948311 39 5809787 40 3407299 41 1386688 42 12640340 43 10452817
140
44 18246714 / PDRB2003(j) PDRB tiap sektor tahun 2003 / 1 12219759 2 4171919 3 1406571 4 1045377 5 1743168 6 5669091 7 448292 8 1172566 9 616278 10 2670811 11 830652 12 6446606 13 7072437 14 969396 15 4424545 16 350156 17 44040 18 4540872 19 35968523 20 6684441 21 4773294 22 4599855 23 2212330 24 3095614 25 4279273 26 4589476 27 741471 28 77539 29 7455509 30 10766553 31 50935747 32 1510866 33 11532160 34 197541 35 5713910 36 574018 37 75963 38 826044 39 4385936 40 3225509 41 1138753 42 10221630 43 10452817 44 12503450 / ;
141
TABLE A2000(i,j) Koefisien Teknis 2000 44 Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
1 0.0348 0.0000 0.0558 0.0009 0.0000 0.0180 0.0010 0.0011 0.0012 0.0022
2 0.0413 0.0025 0.0020 0.0594 0.0041 0.0196 0.0007 0.0040 0.0049 0.0017
3 0.0912 0.0018 0.0034 0.0222 0.0056 0.0155 0.0019 0.0122 0.0082 0.0013
4 0.0167 0.0037 0.0031 0.0386 0.0052 0.0118 0.0029 0.0071 0.0060 0.0039
5 0.0238 0.0023 0.0001 0.0213 0.0002 0.0060 0.0001 0.0000 0.0031 0.0000 0.0004 0.0001
6 0.0122 0.0013 0.0000 0.0001 0.0088 0.0001 0.0034 0.0000 0.0007 0.0002 0.0001
7 0.0288 0.0012 0.0008 0.0283 0.0008 0.0060 0.0004 0.0057 0.0014 0.0019
8 0.0453 0.0027 0.0020 0.0001 0.0236 0.0000 0.0003 0.0151 0.0015 0.0022 0.0003 0.0027
9 0.0262 0.0030 0.0018 0.0001 0.0012 0.0000 0.0015 0.0046 0.0019 0.0007 0.0003 0.0121
10 0.0362 0.0001 0.0036 0.0002 0.0000 0.0010 0.0003 0.1011 0.0032 0.0036 0.0005 0.0076 0.0011 0.0003 0.0016 0.0015 0.0008 0.0318 0.0020 0.0175 0.0019 0.0000 0.0152 0.0097
11 0.0152 0.0007 0.0034 0.0003 0.0008 0.0017 0.0001 0.0015 0.1042 0.0001 0.0018 0.0020 0.0000 0.0011 0.0036 0.0269 0.0005 0.0001 0.0003 0.0074 0.0079 0.0003 0.0059 0.0191
142
+ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
12 0.0138 0.0002 0.0001 0.0000 0.0014 0.0007 0.0002 0.0199 0.0001 0.0028 0.0002 0.0000 0.0005 0.0006 0.0030 0.0000 0.0003 0.0000 0.0072 0.0002 0.0001 0.0001 0.0008 0.0001 0.0000 0.0013 0.0023
13 0.0003 0.0035 0.0002 0.0001 0.0005 0.0001 0.0001 0.0023 0.0293 0.0160 0.0123 0.0009 0.0004 0.0009 0.0001 0.0000 0.0001 0.0047 0.0002 0.0021 0.0000 0.0001 0.0004 0.0002 0.0006
14 0.0000 0.0029 0.0002 0.0001 0.0000 0.0004 0.0003 0.0035 0.0001 0.0005 0.0003 0.0002 0.0015
15 0.0001 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0015 0.0049 0.0146 0.0008 0.0003 0.0002 0.0014 0.0004 0.0010 0.0090 0.0009 0.0086 0.0012 0.0041 0.0000 0.0005 0.0002 0.0017 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0002 0.0000 0.0015 0.0028
16 0.0776 0.0043 0.0428 0.0271 0.0428 0.0001 0.0037 0.0766 0.0198 0.0027 0.0007 0.0080 0.0040 0.0523 0.0043 0.0064 0.0402 0.0009 0.0002 0.0028 0.0059 0.0019 0.0064 0.0461 0.0082
17 0.0000 0.0007 0.0004 0.0004 0.0000 0.0000 0.0012 0.0003 0.0000 0.0000 0.0000 0.0004 0.0006 0.0001 0.0001 0.0007 0.0001 0.0000 0.0001 0.0000 0.0001 0.0016 0.0001
18 0.0014 0.0101 0.0000 0.0072 0.0111 0.0315 0.0000 0.0043 0.0002 0.0094 0.0003 0.0126 0.0005 0.0001 0.0000 0.0037 0.0036
19 0.0373 0.0075 0.0001 0.0020 0.0001 0.0007 0.0000 0.0000 0.0000 0.0142 0.0035 0.0147 0.0027 0.0156 0.0002 0.1277 0.0004 0.0000 0.0122 0.0027 0.0000 0.0013 0.0002 0.0000 0.0038 0.0071 0.0252 0.0001 0.0003 0.0002 0.0143 0.0010 0.0001 0.0029 0.0106 0.0007 0.0003 0.0012 0.0010
20 0.0062 0.2252 0.0004 0.0002 0.0831 0.0000 0.0057 0.0852 0.0000 0.0228 0.0072 0.0004 0.0101 0.0210 0.0297 0.0010 0.0021 0.0005 0.0243 0.0012 0.0021 0.0161 0.0227 0.0035 0.0009 0.0069 0.0039
21 0.0001 0.3634 0.0001 0.0051 0.0373 0.0062 0.0257 0.0248 0.0050 0.0007 0.0001 0.0024 0.0542 0.0001 0.0002 0.0004 0.0071 0.0051 0.0003 0.0330 0.0003 0.0040 0.0029
22 0.0033 0.0010 0.0010 0.0044 0.2004 0.0806 0.0000 0.0014 0.0014 0.0173 0.0273 0.0244 0.0836 0.0009 0.0014 0.0003 0.0245 0.0097 0.0008 0.0044 0.0586 0.0049 0.0007 0.0089 0.0053
143
+ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
23 0.0248 0.0019 0.0002 0.0009 0.0016 0.0017 0.0001 0.0046 0.1010 0.0006 0.0112 0.0005 0.0035 0.0141 0.0125 0.0386 0.0008 0.0011 0.0005 0.0233 0.0034 0.0005 0.0028 0.0157 0.0044 0.0003 0.0088 0.0034
24 0.0000 0.2039 0.0002 0.0040 0.0002 0.0152 0.0911 0.1338 0.0092 0.0017 0.0094 0.0011 0.0131 0.0711 0.0006 0.0021 0.0004 0.0143 0.0069 0.0003 0.0028 0.0166 0.0036 0.0002 0.0088 0.0057
25 0.0000 0.0145 0.0009 0.0000 0.0003 0.0008 0.0003 0.0063 0.0004 0.1083 0.0002 0.0000 0.0000 0.0014 0.0197 0.0001 0.0003 0.0002 0.0041 0.0005 0.0001 0.0009 0.0029 0.0005 0.0000 0.0014 0.0009
26 0.0000 0.0029 0.0020 0.0025 0.0181 0.0121 0.0893 0.0622 0.0003 0.0003 0.0025 0.0346 0.0001 0.0001 0.0002 0.0037 0.0041 0.0001 0.0003 0.0021 0.0006 0.0000 0.0011 0.0012
27 0.0002 0.0016 0.0008 0.0007 0.0003 0.0007 0.0032 0.0126 0.0050 0.0066 0.0004 0.0223 0.0030 0.0466 0.0000 0.0040 0.0123 0.0003 0.0009 0.0008 0.0074 0.0044 0.0003 0.0013 0.0024 0.0005 0.0002 0.0054 0.0045
28 0.0067 0.0004 0.0012 0.0001 0.0002 0.0004 0.0001 0.0002 0.0000 0.0004 0.0003 0.0005 0.0000 0.0002 0.0002 0.0008 0.0001 0.0002 0.0007 0.0005 0.0001 0.0002 0.0002
29 0.0032 0.0037 0.0030 0.0032 0.0053 0.0196 0.0064 0.0026 0.0030 0.0747 0.1149 0.0130 0.0168 0.0208 0.0012 0.0372 0.0009 0.0007 0.0108 0.0080 0.0222 0.0034 0.0255 0.0108
30 0.0469 0.0000 0.0407 0.0057 0.0126 0.0951 0.0553 0.0000 0.0992 0.0021 0.0140 0.0437 0.0006 0.0016 0.0000 0.0178 0.0029 0.0000 0.0001 0.0120 0.0236 0.0000 0.0154 0.0025
31 0.0000 0.0049 0.0066 0.0022 0.0663 0.0115 0.0032 0.0003 0.0020 0.0110 0.0170 0.0092 0.0019 0.0061 0.0036 0.0282 0.0107 0.0034 0.0035 0.0124 0.0058 0.0001 0.0284 0.0121
32 0.0125 0.0042 0.0026 0.0048 0.0115 0.0005 0.0004 0.0001 0.0021 0.1686 0.0286 0.0282 0.0150 0.0005 0.0007 0.0067 0.0011 0.0026 0.0044 0.0085 0.0307 0.0167 0.0049 0.0072 0.0004 0.0203 0.0096 0.0020 0.0082 0.0133 0.0053 0.0012 0.0101 0.0103
33 0.0093 0.0087 0.0047 0.0457 0.0517 0.0036 0.0021 0.0005 0.0163 0.1785 0.0430 0.0358 0.0021 0.0005 0.0089 0.0035 0.0000 0.0012 0.0025 0.0037 0.0063 0.0356 0.0013 0.0144 0.0001 0.0339 0.0011 0.0020 0.0043 0.0149 0.0033 0.0007 0.0084 0.0047
144
+ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
34 0.0018 0.0129 0.0004 0.0033 0.0004 0.0189 0.0498 0.0113 0.0481 0.0019 0.0201 0.0018 0.0194 0.0084 0.0056 0.0001 0.0001 0.0007 0.0002 0.0015 0.0010 0.0002
35 0.0004 0.0014 0.0001 0.0016 0.0001 0.0001 0.0207 0.1790 0.0005 0.0336 0.0003 0.0016 0.0000 0.0013 0.0000 0.0003 0.0000 0.0000 0.0000
36 0.0003 0.0002 0.0002 0.0007 0.0006 0.0002 0.0004 0.0002 0.0003 0.0022 0.0010 0.0096 0.0026 0.0001 0.0045 0.0530 0.0026 0.0021 0.0447 0.0019 0.1240 0.0008 0.0303 0.0022 0.0008 0.0000 0.0232 0.0013 0.0024 0.0096 0.0007 0.0006 0.0005 0.0039
37 0.0002 0.0004 0.0000 0.0002 0.0004 0.0010 0.0016 0.0120 0.0019 0.0004 0.0015 0.0024 0.0001 0.0003 0.0085 0.0003 0.1625 0.0002 0.0281 0.0002 0.0032 0.0004 0.0028 0.0005 0.0007 0.0000 0.0008 0.0008
38 0.0005 0.0001 0.0069 0.0038 0.0003 0.0038 0.0135 0.0027 0.0015 0.0528 0.0031 0.1709 0.0023 0.0313 0.0611 0.0358 0.0004 0.0201 0.0001 0.0311 0.0080 0.0063 0.0008 0.0226 0.0164
39 0.0000 0.0003 0.0083 0.0002 0.0026 0.0014 0.0002 0.0046 0.0134 0.0053 0.0463 0.0006 0.0083 0.0052 0.0019 0.0004 0.0135 0.0006 0.0001 0.0003 0.0011 0.0009 0.0003 0.0010 0.0015
40 0.0002 0.0012 0.0002 0.0009 0.0005 0.0002 0.0013 0.0039 0.0053 0.0014 0.0020 0.0006 0.0011 0.0007 0.0015 0.0003 0.0002 0.0010 0.0006 0.0004 0.0001 0.0023 0.0071
41 0.0005 0.0012 0.0011 0.0028 0.0014 0.0005 0.0038 0.0080 0.0043 0.0082 0.0210 0.0010 0.0004 0.0023 0.0008 0.0622 0.0009 0.0343 0.0232
42 0.0010 0.0025 0.0003 0.0241 0.0245 0.0000 0.0005 0.0042 0.0039 0.0050 0.0082 0.0288 0.0402 0.0060 0.0001 0.0074 0.0007 0.0000 0.0021 0.0057 0.0015 0.0002 0.0134 0.0100
; PARAMETERS TB(i) Original estimates for Sectoral Total Output or Input cells 2003 QB(i,j) Original estimates for Intersectoral I-O Transaction cells 2003 VB(j) Original estimates for Sectoral Value-Added cells 2003 MB(j) Original estimates for Sectoral Import cells 2003 FB(i) Original estimates for Sectoral Final Demand cells 2003 TW(i) Weight for Sectoral Total Output or Input cells QW(i,j) Weight for Intersectoral I-O Transaction cells VW(j) Weight for Sectoral Value-Added Cells MW(j) Weight for Sectoral Import Cells FW(i) Weight for Sectoral Final Demand Cells;
43 -
44 0.0001 0.0000 0.0001 0.0013 0.0013 0.0001 0.0003 0.0002 0.0001 0.0024 0.0002 0.0028 0.0019 0.0003 0.0268 0.0187 0.0001 0.0004 0.0029 0.0112 0.0435 0.0214 0.0289 0.0094 0.0169 0.0000 0.0069 0.0001 0.0000 0.0001 0.0007 0.0000 0.0000 0.0027 0.0193
145
TB(i) = Q2003(i) ; QB(i,j) = A2000(i,j) * TB(j) ; VB(j) = PDRB2003(j) ; MB(j) = TB(j) - VB(j) - Sum( i, QB(i,j)) ; FB(i) = TB(i) - Sum( j, QB(i,j)) ; TW(i)$(TB(i) GT 0) QW(i,j)$(QB(i,j) GT 0) VW(j)$(VB(j) GT 0) MW(j)$(MB(j) GT 0) FW(i)$(FB(i) GT 0)
=1; =1; =1; =1; =1;
TW(i)$(TB(i) EQ 0) QW(i,j)$(QB(i,j) EQ 0) VW(j)$(VB(j) EQ 0) MW(j)$(MB(j) EQ 0) FW(i)$(FB(i) EQ 0)
=0; =0; =0; =0; =0;
VARIABLES SSDEV T(i) Q(i,j) M(j) F(i) FM FF
Sums of Squared Deviation estimating Information Gain Optimal estimates for Sectoral Total Output or Input cells 2003 Optimal estimates for Intersectoral I-O Transaction cells 2003 Optimal estimates for Sectoral Import cells 2003 Optimal estimates for Sectoral Final Demand cells 2003 Optimal estimates for Final Demand for Import Goods-Services Optimal estimates for Final Demand for Final Demand ;
POSITIVE VARIABLES T, Q, M, FM, FV, FF ; EQUATIONS OBJ Objective Function CBal(j) Column Balance Constraint Function RBal(i) Row Balance Constraint Function TBal Total Balance Constraint Function TM Total Import Constraint Function TF Total Final Demand Constraint Function ; OBJ
.. SSDEV =E= Sum( (i,j)$(QW(i,j) GT 0), QW(i,j)*SQR( Q(i,j) - QB(i,j) )/QB(i,j) ) + Sum( i$(TW(i) GT 0), TW(i) *SQR( T(i) - TB(i) )/TB(i) ) + Sum( j$(MW(j) GT 0), MW(j) *SQR( M(j) - MB(j) )/MB(j) ) + Sum( i$(FW(i) GT 0), FW(i) *SQR( F(i) - FB(i) )/FB(i) ) ;
CBal(j) .. T(j) =E= Sum(i$(QB(i,j) GT 0), Q(i,j) ) + M(j) + VB(j) ; RBal(i) .. T(i) =E= Sum(j$(QB(i,j) GT 0), Q(i,j) ) + F(i) ; TM TF TBal
.. Sum(j, M(j)) + FM =E= TotM ; .. Sum(i, F(i)) + FF =E= TotF ; .. TotV + TotM - TotF =E= 0 ;
MODEL ModelRAS /All/ ; Q.L(i,j) = QB(i,j)$QW(i,j) ; T.L(i) = TB(i)$TW(i) ; M.L(i) = MB(i)$MW(i) ; F.L(i) = FB(i)$FW(i) ;
146
OPTION NLP = MINOS5; OPTION RESLIM = 9000; OPTION ITERLIM = 100000; SOLVE ModelRAS USING NLP MINIMIZING SSDEV ; SETS Item / MP2003, FD2003, TO2003 / ; PARAMETERS HslL(i, Item) Tabel Hasil Level Optimal HslM(i, Item) Tabel Hasil Marginal value ; HslL(i, "MP2003") = M.L(i) ; HslL(i, "FD2003") = F.L(i) ; HslL(i, "TO2003") = T.L(i) ; HslM(i, "MP2003") = M.M(i) ; HslM(i, "FD2003") = F.M(i) ; HslM(i, "TO2003") = T.M(i) ; DISPLAY Q.L, Q.M, HslL, HslM, FM.L, FM.M, FF.L, FF.M ;
147
Lampiran 2 Tabel Input Output Jawa Timur Updating 2003 44 Sektor
Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 201 202 203 204 209 190 209 210 PDRB TK
1 493 387 139 699 034 10 795 139 260 423 14 021 13 695 17 124 32 031 7 718 869 4 374 775 30 441 95 674 103 662 1 540 788 12 323 421 13 864 209 12 219 759 1 942 451
2 202 683 10 425 9 511 252 995 15 854 97 182 3 454 17 235 24 476 8 298 2 631 224 1 441 120 41 002 58 573 4 604 642 113 4 176 523 4 818 636 4 171 919 863 435
3 155 148 2 540 5 420 31 701 7 288 25 800 3 156 17 590 13 695 2 069 707 069 669 445 4 016 26 041 2 508 264 407 1 409 079 1 673 486 1 406 571 299 866
4 19 479 3 691 3 464 39 203 4 803 13 851 3 454 7 351 7 090 4 544 626 587 406 831 6 644 5 315 370 106 930 1 045 747 1 152 677 1 045 377 206 544
5 130 843 12 099 469 114 400 953 36 461 605 54 16 578 63 2 671 359 1 123 068 512 006 96 144 11 951 2 170 711 315 555 3 913 879 4 229 434 1 743 168 757 858
6 118 122 12 120 199 973 80 354 422 35 247 515 6 343 1 758 918 3 426 598 2 193 010 7 751 41 733 2 002 313 256 971 7 671 404 7 928 375 5 669 091 1 420 658
7 35 620 1 403 1 063 33 497 916 8 070 588 6 805 1 837 2 451 263 004 152 043 5 541 27 705 418 101 92 250 866 393 958 643 448 292 171 776
148
Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 201 202 203 204 209 190 209 210 PDRB TK
8 93 170 5 142 4 047 187 44 588 55 583 28 980 3 468 4 954 648 5 760 315 270 632 853 145 439 79 004 352 925 191 582 1 525 491 1 717 073 1 172 566 307 676
9 30 246 3 215 2 060 94 1 299 21 1 807 4 951 2 454 864 855 366 14 620 169 718 305 068 78 294 63 199 255 053 925 988 871 331 1 797 319 616 278 322 055
10 128 594 368 11 696 526 107 3 408 1 012 326 569 10 191 12 258 1 634 22 707 3 920 1 006 5 929 5 502 2 787 104 224 6 900 68 209 6 896 190 56 763 35 794 1 729 345 348 527 385 069 207 870 34 817 190 2 670 845 3 488 035 2 670 811 57 528
11 16 014 722 3 165 246 836 1 749 52 1 538 98 144 74 1 693 1 994 47 908 3 782 29 348 535 130 319 7 051 9 055 341 6 402 20 508 380 444 424 707 1 603 23 898 10 204 653 830 662 1 035 315 830 652 17 075
12 171 234 2 042 665 387 19 159 8 989 3 225 240 813 1 474 32 815 2 627 487 5 506 7 419 40 475 529 3 545 494 87 988 2 275 995 756 10 952 1 744 278 17 241 30 673 2 859 649 2 304 411 209 529 1 073 018 3 075 425 694 787 9 522 031 10 216 818 6 446 606 168 505
13 11 530 123 983 6 866 4 525 17 102 4 767 3 376 74 544 924 206 539 747 423 375 29 638 14 147 29 416 2 182 957 3 108 167 247 7 111 68 390 1 847 4 432 14 037 7 477 20 759 2 277 757 3 578 781 672 358 543 541 14 815 820 2 504 769 21 888 257 24 393 026 7 072 437 1 177 525
14 19 541 1 535 866 317 3 679 2 164 25 701 677 3 896 2 202 1 636 12 294 572 262 271 478 34 182 91 474 4 346 482 74 508 5 315 878 5 390 386 969 396 505 066
149
Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 201 202 203 204 209 190 209 210 PDRB TK
15 1 445 683 507 103 106 204 295 13 859 50 262 154 345 9 208 3 143 2 011 14 273 4 286 9 668 91 887 9 209 79 464 13 144 45 606 217 5 476 2 433 16 932 465 232 103 815 2 419 342 16 707 31 341 2 273 599 1 864 720 253 208 33 017 3 117 979 581 190 7 542 524 8 123 714 4 424 545 90 791
16
17 -
108 279 7 211 62 825 46 005 70 278 202 6 108 117 156 29 743 4 225 1 050 11 399 6 704 91 426 7 238 11 180 62 129 1 729 400 4 406 10 725 3 337 11 477 80 553 14 071 229 843 91 282 16 428 12 602 287 215 769 856 637 371 1 407 227 350 156 7 307
18 -
50 1 180 857 833 58 2 189 558 75 18 17 734 1 306 138 203 1 234 232 37 105 80 207 3 207 141 13 890 11 899 13 573 4 678 1 252 781 13 459 1 296 821 1 310 280 44 040 34 643
-
5 777 52 543 50 33 826 59 139 145 241 97 18 477 837 50 833 1 678 59 685 2 841 511 53 20 219 19 338 1 575 244 2 176 879 741 182 47 567 80 161 471 145 4 621 033 5 092 178 4 540 872 134 632
19 4 496 363 917 925 10 001 240 370 12 152 81 707 2 254 2 341 1 159 1 663 643 417 473 1 637 723 285 366 1 720 457
20 175 812 6 163 738 9 012 -
21 2 223 5 082 634 -
28 683 14 781 730 48 612 3 558 1 413 317 286 803 4 815 135 828 19 032 4 358 383 932 845 432 3 093 387 16 632 35 541 17 674 1 561 883 133 195 12 807 322 926 1 360 133 83 128 33 801 142 667 115 308 10 611 517 9 939 512 1 584 756 13 832 737 25 022 920 36 374 116 60 991 443 97 365 559 35 968 523 650 353
4 741 2 524 439 911 169 333 2 343 276 1 543 616 829 205 736 10 013 256 688 640 533 935 150 30 139 67 299 14 672 676 041 40 493 68 477 465 096 747 987 108 740 27 972 219 050 120 484 2 575 355 3 426 992 400 136 281 957 3 249 616 16 644 204 9 934 057 26 578 261 6 684 441 312 259
1 488 86 149 632 851 102 461 394 201 375 013 79 402 11 338 1 987 41 501 954 016 2 379 4 212 6 301 109 923 93 319 6 062 606 575 4 827 69 931 49 694 1 538 301 2 406 267 374 319 454 407 1 192 273 8 718 487 5 965 567 14 684 054 4 773 294 159 987
150
Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 201 202 203 204 209 190 209 210 PDRB TK
22
23
24
25
50 819 -
824 154 57 415 -
181 -
18 648 19 495 82 144 3 660 923 1 368 745 380 23 703 24 010 297 590 427 623 459 130 1 626 632 17 468 26 582 4 352 420 895 196 624 16 249 79 266 1 190 513 92 822 14 084 173 127 100 845 2 202 546 1 547 432 654 649 195 228 1 882 084 10 392 669 6 481 939 16 874 608 4 599 855 28 084
6 842 30 161 54 787 60 939 3 523 157 681 3 259 062 22 862 355 717 17 375 113 436 424 952 441 475 1 405 090 28 231 38 859 16 503 760 504 129 744 19 669 93 622 592 361 155 859 9 259 321 358 122 380 1 206 268 723 296 163 763 119 003 14 310 220 9 523 820 16 522 550 26 046 370 2 212 330 131 847
2 282 979 2 486 44 950 1 887 164 497 910 522 1 510 134 90 190 17 509 94 586 10 208 145 738 820 179 6 228 24 279 4 313 145 118 83 292 3 379 29 561 199 780 41 223 2 002 101 419 65 357 1 566 283 1 284 452 168 913 75 966 625 905 6 801 997 3 721 519 10 523 516 3 095 614 18 341
26 -
282 385 720 27 747 293 8 983 23 965 9 369 173 760 13 358 2 934 927 5 118 1 387 771 40 830 609 377 2 399 8 639 5 057 115 007 16 056 2 569 24 643 91 842 13 671 629 43 024 26 915 1 307 877 2 601 918 173 634 195 844 12 638 560 4 586 338 16 917 833 21 504 171 4 279 273 67 992
27 -
116 331 78 799 100 635 668 007 494 126 3 252 692 2 380 174 11 572 9 996 99 632 1 445 776 2 428 4 999 9 452 136 385 178 899 5 210 10 805 89 015 24 600 1 700 46 818 51 197 2 200 771 1 819 598 355 477 213 630 15 832 970 9 219 248 20 422 446 29 641 694 4 589 476 2 100
28 -
2 757 20 702 91 885 9 401 3 779 9 656 44 055 175 180 67 944 84 587 5 636 280 353 39 985 600 699 596 56 430 176 299 4 176 12 458 10 430 95 648 65 432 5 067 16 888 35 324 7 190 2 919 77 576 64 304 274 634 442 188 14 834 9 816 6 986 467 2 067 356 7 727 938 9 795 294 741 471 147 703
-
82 654 4 499 14 524 869 1 944 4 352 1 509 2 719 346 4 087 3 608 5 888 497 2 298 2 104 8 790 1 061 3 315 8 098 6 669 910 2 817 2 659 25 588 41 723 6 928 3 300 8 023 570 166 217 8 101 109 8 267 326 77 539 296
151
Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 201 202 203 204 209 190 209 210 PDRB TK
29
30 -
44 033 50 224 41 714 43 814 72 023 245 294 78 543 33 581 37 905 858 030 1 597 032 187 766 233 043 299 548 15 134 471 034 13 863 10 247 141 626 120 252 312 350 49 693 368 330 154 248 2 368 045 2 379 706 1 459 243 1 248 514 312 822 5 479 327 7 768 331 13 247 658 7 455 509 37 148
31 -
969 918 820 834 008 113 782 231 260 1 984 718 997 934 383 1 844 907 35 636 288 234 933 114 13 153 33 440 566 330 823 65 845 671 2 131 269 874 492 481 218 328 904 53 504 5 610 980 4 685 044 324 676 145 853 9 826 324 10 766 553 20 592 877 10 766 553 1 001 291
531 312 503 432 684 145 183 4 249 927 680 296 184 496 18 522 119 069 594 087 1 123 642 634 287 126 924 419 233 220 666 1 692 211 769 160 245 583 221 344 890 867 386 928 4 912 1 955 334 823 160 12 899 529 20 080 279 12 696 772 5 259 167 16 251 549 50 935 747 67 187 296 50 935 747 661 940
32 43 328 15 027 8 903 15 133 37 535 1 725 1 297 197 6 557 510 719 89 592 92 873 50 494 1 754 2 331 20 375 3 233 8 150 13 677 23 858 103 733 58 638 16 461 25 230 1 187 62 660 35 197 7 215 26 085 48 858 18 185 4 253 35 322 35 692 480 942 559 931 214 957 255 037 175 831 1 425 474 1 686 697 3 112 171 1 510 866 156 734
33 275 579 265 369 139 413 1 213 313 1 437 793 97 021 58 660 13 737 435 518 4 590 702 1 143 393 1 001 395 58 914 13 226 247 714 90 510 254 31 282 66 462 87 200 182 204 1 065 609 36 865 428 336 1 594 889 045 33 161 63 195 116 244 466 457 96 818 20 748 252 550 137 430 3 445 699 5 982 460 524 189 1 579 813 693 364 15 057 711 12 225 524 27 283 235 11 532 160 1 374 024
34 1 868 13 798 427 3 420 429 18 222 50 358 11 187 43 852 1 979 22 202 1 967 21 308 8 352 5 559 126 149 723 217 1 635 1 115 196 182 471 6 753 6 811 1 506 383 212 209 089 580 753 789 842 197 541 23 441
35 4 877 17 470 873 19 005 910 784 243 919 1 895 500 5 756 434 353 3 625 20 486 233 14 851 3 764 126 387 255 1 048 480 3 679 882 539 391 446 157 1 780 755 2 667 174 7 494 665 10 161 839 5 713 910 301 587
152
Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 201 202 203 204 209 190 209 210 PDRB TK
36 432 253 231 1 027 827 269 620 336 406 2 920 1 391 13 947 3 970 119 6 624 71 724 3 898 2 766 62 952 2 627 154 639 1 232 47 147 3 243 1 164 55 31 809 2 098 3 369 15 603 1 036 968 825 6 022 243 612 186 506 70 418 73 482 235 880 446 549 809 898 1 256 447 574 018 16 126
37 90 199 187 18 81 195 455 718 5 694 900 179 708 1 069 63 112 3 870 133 66 295 82 14 074 72 1 586 171 1 228 266 371 24 386 391 31 451 34 818 6 095 3 599 173 034 189 527 248 997 438 524 75 963 5 628
38 1 648 265 22 165 12 446 849 12 267 39 970 8 890 4 325 162 830 9 153 470 434 7 502 106 004 199 869 120 805 1 064 60 232 317 96 701 28 415 20 847 2 691 76 562 54 985 431 867 245 123 102 075 46 979 438 950 1 521 236 1 264 994 2 786 230 826 044 12 283
39 152 1 887 47 527 1 141 14 421 7 014 1 393 22 972 71 784 27 257 217 068 3 434 49 019 29 678 11 017 2 000 69 983 3 547 871 1 511 6 908 5 054 1 698 6 006 9 081 989 189 2 768 887 297 806 330 054 397 403 612 423 4 783 339 5 395 762 4 385 936 23 788
40 592 3 923 845 2 861 1 610 566 4 153 11 870 14 915 4 682 7 076 2 169 4 001 2 248 4 710 995 552 3 169 2 322 1 342 503 8 033 24 651 1 049 433 1 677 003 313 382 185 691 37 992 107 788 3 263 501 3 371 289 3 225 509 29 391
41 688 1 587 1 469 3 541 1 675 551 4 645 9 494 4 632 10 753 28 744 1 309 518 2 768 1 133 83 095 1 202 47 007 31 253 387 903 603 333 99 818 47 699 618 236 064 1 139 371 1 375 435 1 138 753 11 991
42 11 423 30 702 3 671 286 586 268 342 248 5 054 48 537 42 818 49 736 100 509 367 334 492 224 75 596 1 127 82 290 9 485 400 24 509 76 282 18 936 3 124 170 424 126 029 2 451 095 6 962 380 465 812 342 344 7 220 2 295 386 10 228 850 12 524 236 10 221 630 174 729
153
Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 201 202 203 204 209 190 209 210 PDRB TK
43 9 955 064 497 753 10 452 817 10 452 817 10 452 817 1 660 827
44 1 916 787 1 342 22 201 22 497 1 935 5 318 2 721
1 214 39 489 3 447 51 264 35 516 6 325 485 707 313 820 1 512 6 420 49 942 190 186 670 142 399 737 559 024 174 608 325 223 688 117 083 1 213 202 1 057 14 964 946 591 51 282 368 359 3 930 543 7 761 717 515 972 295 217 985 159 3 928 678 13 488 609 17 417 287 12 503 450 1 255 266
180 5 001 280 1 567 291 454 134 409 738 1 489 900 1 717 418 138 945 166 254 51 878 1 792 237 433 487 3 333 913 12 606 547 5 441 420 3 018 661 89 865 456 567 3 438 661 17 217 762 4 174 742 2 175 889 11 398 143 13 628 605 4 120 058 9 624 517 3 699 131 3 545 472 6 886 373 6 644 924 180 16 496 535 1 459 064 2 066 955 361 823 8 419 342 1 880 347 490 936 1 701 576 7 846 237 1 993 402 196 371 4 780 124 2 800 368 97 908 879 103 607 034 24 774 983 28 089 862 127 674 233 175 217 072 382 054 991 557 271 889 254 380 758 16 750 548
310 8 862 932 3 251 347 1 219 353 742 940 2 829 645 6 210 957 819 700 1 550 819 881 452 1 695 807 601 838 6 882 910 11 786 480 31 665 5 105 064 1 317 375 853 722 1 653 702 80 147 800 22 403 520 12 508 160 5 476 462 12 417 760 6 403 460 11 879 650 25 942 550 6 167 117 1 380 948 6 602 727 20 592 890 50 690 760 1 653 111 25 216 280 428 013 1 742 308 (623 894) (142 522) 1 084 651 (1 586 490) 1 377 883 1 179 062 7 744 103 10 452 820 14 616 910
382 053 747
700 13 864 212 4 818 638 1 673 487 1 152 678 4 319 545 7 928 375 958 645 1 717 073 933 330 3 488 044 1 035 325 10 216 823 24 393 027 5 473 085 8 123 725 1 407 240 1 310 289 5 092 363 97 365 562 26 578 262 14 684 049 16 874 605 26 046 365 10 523 518 21 504 167 29 641 681 9 712 589 8 267 321 13 247 651 20 593 070 67 187 295 3 112 175 27 283 235 789 836 10 161 650 1 256 453 348 414 2 786 227 6 259 747 3 371 285 1 375 433 12 524 227 10 452 820 17 417 278
557 270 819
154
SEKTOR Padi Jagung Ketela Pohon Kedelai Sayur-sayuran Buah-buahan Umbi-umbian Kacang tanah Kacang-kacang lainnya Tebu Tembakau Tanaman Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Non Migas Penggalian Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Semen dan Barang Galian Bukan Logam Logam Dasar Besi dan Baja Alat Angkutan Mesin dan Peralatan Barang Lainnya Pengilangan Minyak Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan Hotel Restoran Angkutan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan Penyeberangan Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan Pos dan Telekomunikasi Jasa Penunjang Telekomunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-Jasa Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak Tak Langsung Netto Impor Permintaan Antara Permintaan Akhir Jumlah Input Antara Jumlah Input Primer Total Input Total Output
KODE SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 201 202 203 204 209 180 310 190 209 210 700
155
Lampiran 3 Koefisien Teknis Tabel I-O Jawa Timur Updating 2003 SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 201 202 203 204 209 190 209 210
1 0.0356 0.0000 0.0504 0.0008 0.0000 0.0188 0.0010 0.0010 0.0012 0.0023 0.5567 0.3155 0.0022 0.0069 0.0075 0.1111 0.8889 1.0000
2 0.0421 0.0022 0.0020 0.0525 0.0033 0.0202 0.0007 0.0036 0.0051 0.0017 0.5461 0.2991 0.0085 0.0122 0.0010 0.1333 0.8667 1.0000
3 0.0927 0.0015 0.0032 0.0189 0.0044 0.0154 0.0019 0.0105 0.0082 0.0012 0.4225 0.4000 0.0024 0.0156 0.0015 0.1580 0.8420 1.0000
4 0.0169 0.0032 0.0030 0.0340 0.0042 0.0120 0.0030 0.0064 0.0062 0.0039 0.5436 0.3529 0.0058 0.0046 0.0003 0.0928 0.9072 1.0000
5 0.0309 0.0029 0.0001 0.0270 0.0002 0.0086 0.0001 0.0000 0.0039 0.0000 0.0006 0.0001 0.2655 0.1211 0.0227 0.0028 0.5132 0.0746 0.9254 1.0000
6 0.0149 0.0015 0.0000 0.0001 0.0101 0.0001 0.0044 0.0001 0.0008 0.0002 0.0001 0.4322 0.2766 0.0010 0.0053 0.2526 0.0324 0.9676 1.0000
7 0.0372 0.0015 0.0011 0.0349 0.0010 0.0084 0.0006 0.0071 0.0019 0.0026 0.2743 0.1586 0.0058 0.0289 0.4361 0.0962 0.9038 1.0000
8 0.0543 0.0030 0.0024 0.0001 0.0260 0.0000 0.0003 0.0169 0.0020 0.0029 0.0004 0.0034 0.1836 0.3686 0.0847 0.0460 0.2055 0.1116 0.8884 1.0000
9 0.0168 0.0018 0.0011 0.0001 0.0007 0.0000 0.0010 0.0028 0.0014 0.4812 0.0002 0.0081 0.0944 0.1697 0.0436 0.0352 0.1419 0.5152 0.4848 1.0000
10 0.0369 0.0001 0.0034 0.0002 0.0000 0.0010 0.0003 0.0936 0.0029 0.0035 0.0005 0.0065 0.0011 0.0003 0.0017 0.0016 0.0008 0.0299 0.0020 0.0196 0.0020 0.0001 0.0163 0.0103 0.4958 0.0999 0.1104 0.0596 0.0000 0.2343 0.7657 1.0000
11 0.0155 0.0007 0.0031 0.0002 0.0008 0.0017 0.0001 0.0015 0.0948 0.0001 0.0016 0.0019 0.0000 0.0009 0.0037 0.0283 0.0005 0.0001 0.0003 0.0068 0.0087 0.0003 0.0062 0.0198 0.3675 0.4102 0.0015 0.0231 0.0000 0.1977 0.8023 1.0000
PDRB TK
0.8814 0.1401
0.8658 0.1792
0.8405 0.1792
0.9069 0.1792
0.4122 0.1792
0.7150 0.1792
0.4676 0.1792
0.6829 0.1792
0.3429 0.1792
0.7657 0.0165
0.8023 0.0165
156
SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 201 202 203 204 209 190 209 210
12 0.0168 0.0002 0.0001 0.0000 0.0019 0.0009 0.0003 0.0236 0.0001 0.0032 0.0003 0.0000 0.0005 0.0007 0.0040 0.0001 0.0003 0.0000 0.0086 0.0002 0.0001 0.0001 0.0011 0.0002 0.0000 0.0017 0.0030 0.2799 0.2256 0.0205 0.1050 0.3010 0.0680 0.9320 1.0000
13 14 0.0005 0.0051 0.0003 0.0002 0.0007 0.0002 0.0001 0.0031 0.0379 0.0036 0.0221 0.0174 0.0012 0.0006 0.0012 0.0003 0.0001 0.0002 0.0000 0.0001 0.0001 0.0069 0.0007 0.0003 0.0004 0.0028 0.0048 0.0001 0.0001 0.0002 0.0007 0.0006 0.0004 0.0003 0.0003 0.0009 0.0023 0.0934 0.1062 0.1467 0.0504 0.0276 0.0063 0.0223 0.0170 0.6074 0.8063 0.1027 0.0138 0.8973 0.9862 1.0000 1.0000
15 0.0002 0.0001 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0017 0.0062 0.0190 0.0011 0.0004 0.0002 0.0018 0.0005 0.0012 0.0113 0.0011 0.0098 0.0016 0.0056 0.0000 0.0007 0.0003 0.0021 0.0001 0.0000 0.0000 0.0001 0.0003 0.0000 0.0021 0.0039 0.2799 0.2295 0.0312 0.0041 0.3838 0.0715 0.9285 1.0000
16 0.0769 0.0051 0.0446 0.0327 0.0499 0.0001 0.0043 0.0833 0.0211 0.0030 0.0007 0.0081 0.0048 0.0650 0.0051 0.0079 0.0441 0.0012 0.0003 0.0031 0.0076 0.0024 0.0082 0.0572 0.0100 0.1633 0.0649 0.0117 0.0090 0.2041 0.5471 0.4529 1.0000
17 18 0.0000 0.0011 0.0009 0.0007 0.0006 0.0103 0.0000 0.0000 0.0017 0.0066 0.0116 0.0004 0.0285 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0036 0.0006 0.0002 0.0010 0.0100 0.0001 0.0002 0.0003 0.0009 0.0117 0.0002 0.0006 0.0000 0.0001 0.0001 0.0001 0.0000 0.0002 0.0024 0.0040 0.0001 0.0038 0.0106 0.3093 0.0091 0.4275 0.0104 0.1456 0.0036 0.0093 0.9561 0.0157 0.0103 0.0925 0.9897 0.9075 1.0000 1.0000
19 0.0462 0.0094 0.0001 0.0025 0.0001 0.0008 0.0000 0.0000 0.0000 0.0171 0.0043 0.0168 0.0029 0.0177 0.0003 0.1518 0.0005 0.0000 0.0145 0.0029 0.0000 0.0014 0.0002 0.0000 0.0039 0.0087 0.0318 0.0002 0.0004 0.0002 0.0160 0.0014 0.0001 0.0033 0.0140 0.0009 0.0003 0.0015 0.0012 0.1090 0.1021 0.0163 0.1421 0.2570 0.3736 0.6264 1.0000
20 0.0066 0.2319 0.0003 0.0002 0.0950 0.0000 0.0064 0.0882 0.0001 0.0232 0.0077 0.0004 0.0097 0.0241 0.0352 0.0011 0.0025 0.0006 0.0254 0.0015 0.0026 0.0175 0.0281 0.0041 0.0011 0.0082 0.0045 0.0969 0.1289 0.0151 0.0106 0.1223 0.6262 0.3738 1.0000
21 0.0002 0.3461 0.0001 0.0059 0.0431 0.0070 0.0268 0.0255 0.0054 0.0008 0.0001 0.0028 0.0650 0.0002 0.0003 0.0004 0.0075 0.0064 0.0004 0.0413 0.0003 0.0048 0.0034 0.1048 0.1639 0.0255 0.0309 0.0812 0.5937 0.4063 1.0000
22 0.0030 0.0011 0.0012 0.0049 0.2169 0.0811 0.0000 0.0014 0.0014 0.0176 0.0253 0.0272 0.0964 0.0010 0.0016 0.0003 0.0249 0.0117 0.0010 0.0047 0.0706 0.0055 0.0008 0.0103 0.0060 0.1305 0.0917 0.0388 0.0116 0.1115 0.6159 0.3841 1.0000
PDRB TK
0.6310 0.0165
0.2899 0.0483
0.5446 0.0112
0.2488 0.0052
0.0336 0.0264
0.3694 0.0067
0.2515 0.0117
0.3251 0.0109
0.2726 0.0017
0.1798 0.0937
0.8917 0.0264
157
SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 201 202 203 204 209 190 209 210
23 0.0316 0.0022 0.0003 0.0012 0.0021 0.0023 0.0001 0.0061 0.1251 0.0009 0.0137 0.0007 0.0044 0.0163 0.0169 0.0539 0.0011 0.0015 0.0006 0.0292 0.0050 0.0008 0.0036 0.0227 0.0060 0.0004 0.0123 0.0047 0.0463 0.0278 0.0063 0.0046 0.5494 0.3656 0.6344 1.0000
24 0.0000 0.2169 0.0002 0.0043 0.0002 0.0156 0.0865 0.1435 0.0086 0.0017 0.0090 0.0010 0.0138 0.0779 0.0006 0.0023 0.0004 0.0138 0.0079 0.0003 0.0028 0.0190 0.0039 0.0002 0.0096 0.0062 0.1488 0.1221 0.0161 0.0072 0.0595 0.6464 0.3536 1.0000
25 26 0.0000 0.0179 0.0013 0.0000 0.0004 0.0039 0.0011 0.0027 0.0004 0.0034 0.0081 0.0225 0.0006 0.0167 0.1365 0.1097 0.0002 0.0803 0.0001 0.0004 0.0000 0.0003 0.0019 0.0034 0.0283 0.0488 0.0001 0.0001 0.0004 0.0002 0.0002 0.0003 0.0053 0.0046 0.0007 0.0060 0.0001 0.0002 0.0011 0.0004 0.0043 0.0030 0.0006 0.0008 0.0000 0.0001 0.0020 0.0016 0.0013 0.0017 0.0608 0.0742 0.1210 0.0614 0.0081 0.0120 0.0091 0.0072 0.5877 0.5341 0.2133 0.3110 0.7867 0.6890 1.0000 1.0000
27 0.0003 0.0021 0.0094 0.0010 0.0004 0.0010 0.0045 0.0179 0.0069 0.0086 0.0006 0.0286 0.0041 0.0613 0.0001 0.0058 0.0180 0.0004 0.0013 0.0011 0.0098 0.0067 0.0005 0.0017 0.0036 0.0007 0.0003 0.0079 0.0066 0.0280 0.0451 0.0015 0.0010 0.7132 0.2111 0.7889 1.0000
28 0.0100 0.0005 0.0018 0.0001 0.0002 0.0005 0.0002 0.0003 0.0000 0.0005 0.0004 0.0007 0.0001 0.0003 0.0003 0.0011 0.0001 0.0004 0.0010 0.0008 0.0001 0.0003 0.0003 0.0031 0.0050 0.0008 0.0004 0.9705 0.0201 0.9799 1.0000
29 0.0033 0.0038 0.0031 0.0033 0.0054 0.0185 0.0059 0.0025 0.0029 0.0648 0.1206 0.0142 0.0176 0.0226 0.0011 0.0356 0.0010 0.0008 0.0107 0.0091 0.0236 0.0038 0.0278 0.0116 0.1788 0.1796 0.1102 0.0942 0.0236 0.4136 0.5864 1.0000
30 0.0471 0.0000 0.0405 0.0055 0.0112 0.0964 0.0485 0.0000 0.0896 0.0017 0.0140 0.0453 0.0006 0.0016 0.0000 0.0161 0.0032 0.0000 0.0001 0.0131 0.0239 0.0000 0.0160 0.0026 0.2725 0.2275 0.0158 0.0071 0.4772 0.5228 1.0000
31 0.0000 0.0047 0.0064 0.0022 0.0633 0.0101 0.0027 0.0003 0.0018 0.0088 0.0167 0.0094 0.0019 0.0062 0.0033 0.0252 0.0114 0.0037 0.0033 0.0133 0.0058 0.0001 0.0291 0.0123 0.1920 0.2989 0.1890 0.0783 0.2419 0.7581 1.0000
32 0.0139 0.0048 0.0029 0.0049 0.0121 0.0006 0.0004 0.0001 0.0021 0.1641 0.0288 0.0298 0.0162 0.0006 0.0007 0.0065 0.0010 0.0026 0.0044 0.0077 0.0333 0.0188 0.0053 0.0081 0.0004 0.0201 0.0113 0.0023 0.0084 0.0157 0.0058 0.0014 0.0113 0.0115 0.1545 0.1799 0.0691 0.0819 0.0565 0.4580 0.5420 1.0000
33 0.0101 0.0097 0.0051 0.0445 0.0527 0.0036 0.0022 0.0005 0.0160 0.1683 0.0419 0.0367 0.0022 0.0005 0.0091 0.0033 0.0000 0.0011 0.0024 0.0032 0.0067 0.0391 0.0014 0.0157 0.0001 0.0326 0.0012 0.0023 0.0043 0.0171 0.0035 0.0008 0.0093 0.0050 0.1263 0.2193 0.0192 0.0579 0.0254 0.5519 0.4481 1.0000
PDRB TK
0.0849 0.0051
0.2942 0.0017
0.1990 0.0032
0.0757 0.0151
0.0094 0.0000
0.5628 0.0028
0.5228 0.0486
0.7581 0.0099
0.4855 0.0504
0.4227 0.0504
0.1548 0.0001
158
SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 201 202 203 204 209 190 209 210
34 0.0024 0.0175 0.0005 0.0043 0.0005 0.0231 0.0638 0.0142 0.0555 0.0025 0.0281 0.0025 0.0270 0.0106 0.0070 0.0002 0.0002 0.0009 0.0003 0.0021 0.0014 0.0002 0.2310 0.0085 0.0086 0.0019 0.4852 0.2647 0.7353 1.0000
35 0.0005 0.0017 0.0001 0.0019 0.0001 0.0001 0.0240 0.1865 0.0006 0.0427 0.0004 0.0020 0.0000 0.0015 0.0004 0.0000 0.0000 0.0000 0.1032 0.3621 0.0531 0.0439 0.1752 0.2625 0.7375 1.0000
36 0.0003 0.0002 0.0002 0.0008 0.0007 0.0002 0.0005 0.0003 0.0003 0.0023 0.0011 0.0111 0.0032 0.0001 0.0053 0.0571 0.0031 0.0022 0.0501 0.0021 0.1231 0.0010 0.0375 0.0026 0.0009 0.0000 0.0253 0.0017 0.0027 0.0124 0.0008 0.0008 0.0007 0.0048 0.1939 0.1484 0.0560 0.0585 0.1877 0.3554 0.6446 1.0000
37 0.2057 0.0004 0.0000 0.0002 0.0004 0.0010 0.0016 0.0130 0.0021 0.0004 0.0016 0.0024 0.0001 0.0003 0.0088 0.0003 0.1512 0.0002 0.0321 0.0002 0.0036 0.0004 0.0028 0.0006 0.0008 0.0001 0.0009 0.0009 0.0717 0.0794 0.0139 0.0082 0.3946 0.4322 0.5678 1.0000
38 0.0006 0.0001 0.0080 0.0045 0.0003 0.0044 0.0143 0.0032 0.0016 0.0584 0.0033 0.1688 0.0027 0.0380 0.0717 0.0434 0.0004 0.0216 0.0001 0.0347 0.0102 0.0075 0.0010 0.0275 0.0197 0.1550 0.0880 0.0366 0.0169 0.1575 0.5460 0.4540 1.0000
39 0.0000 0.0003 0.0088 0.0002 0.0027 0.0013 0.0003 0.0043 0.0133 0.0051 0.0402 0.0006 0.0091 0.0055 0.0020 0.0004 0.0130 0.0007 0.0002 0.0003 0.0013 0.0009 0.0003 0.0011 0.0017 0.1833 0.5132 0.0552 0.0612 0.0737 0.1135 0.8865 1.0000
40 0.0002 0.0012 0.0003 0.0008 0.0005 0.0002 0.0012 0.0035 0.0044 0.0014 0.0021 0.0006 0.0012 0.0007 0.0014 0.0003 0.0002 0.0009 0.0007 0.0004 0.0001 0.0024 0.0073 0.3113 0.4974 0.0930 0.0551 0.0113 0.0320 0.9680 1.0000
41 0.0005 0.0012 0.0011 0.0026 0.0012 0.0004 0.0034 0.0069 0.0034 0.0078 0.0209 0.0010 0.0004 0.0020 0.0008 0.0604 0.0009 0.0342 0.0227 0.2820 0.4386 0.0726 0.0347 0.0004 0.1716 0.8284 1.0000
42 0.0009 0.0025 0.0003 0.0229 0.0214 0.0000 0.0004 0.0039 0.0034 0.0040 0.0080 0.0293 0.0393 0.0060 0.0001 0.0066 0.0008 0.0000 0.0020 0.0061 0.0015 0.0002 0.0136 0.0101 0.1957 0.5559 0.0372 0.0273 0.0006 0.1833 0.8167 1.0000
43 0.9524 0.0476 1.0000 1.0000
44 0.0001 0.0000 0.0001 0.0013 0.0013 0.0001 0.0003 0.0002 0.0001 0.0023 0.0002 0.0029 0.0020 0.0004 0.0279 0.0180 0.0001 0.0004 0.0029 0.0109 0.0385 0.0230 0.0321 0.0100 0.0187 0.0000 0.0067 0.0001 0.0000 0.0001 0.0009 0.0001 0.0000 0.0029 0.0211 0.2257 0.4456 0.0296 0.0169 0.0566 0.2256 0.7744 1.0000
PDRB TK
0.2501 0.0297
0.5623 0.0297
0.4569 0.0128
0.1732 0.0128
0.2965 0.0044
0.8128 0.0044
0.9568 0.0087
0.8279 0.0087
0.8161 0.0140
1.0000 0.1589
0.7179 0.0721
159
Lampiran 4 Invers Matriks Leontief Tabel I-O Jawa Timur Updating 2003 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
1 1.037 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.002 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.003 0.061 0.000 0.001 0.000 0.000 0.003 0.002 0.000 0.024 0.000 0.001 0.000 0.004 0.001 0.000 0.000 0.002 0.001 0.000 0.003 0.000 0.003
2 0.000 1.044 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.002 0.003 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.001 0.002 0.003 0.064 0.000 0.001 0.000 0.000 0.007 0.002 0.000 0.026 0.001 0.001 0.000 0.007 0.001 0.000 0.000 0.002 0.001 0.000 0.007 0.000 0.003
3 0.000 0.000 1.102 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.002 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.004 0.002 0.025 0.000 0.001 0.001 0.000 0.008 0.001 0.000 0.020 0.001 0.002 0.000 0.013 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.010 0.000 0.002
4 0.000 0.000 0.000 1.017 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.004 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.003 0.002 0.041 0.000 0.001 0.000 0.000 0.007 0.001 0.000 0.016 0.000 0.003 0.000 0.009 0.000 0.000 0.000 0.002 0.000 0.000 0.007 0.000 0.005
5 0.000 0.000 0.000 0.000 1.032 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.003 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.032 0.000 0.001 0.000 0.000 0.002 0.001 0.000 0.011 0.000 0.000 0.000 0.005 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000
6 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.015 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.002 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.012 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.005 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000
7 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.039 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.002 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.002 0.042 0.000 0.001 0.000 0.000 0.004 0.001 0.000 0.012 0.000 0.001 0.000 0.009 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.003 0.000 0.003
8 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.057 0.000 0.000 0.000 0.001 0.003 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.003 0.000 0.000 0.001 0.032 0.000 0.001 0.001 0.000 0.005 0.001 0.000 0.004 0.000 0.000 0.000 0.019 0.000 0.002 0.000 0.004 0.000 0.000 0.001 0.000 0.004
9 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.017 0.000 0.000 0.000 0.004 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.002 0.005 0.000 0.003 0.003 0.000 0.004 0.008 0.003 0.023 0.001 0.000 0.008 0.003 0.001 0.000 0.010 0.001 0.002 0.000 0.491 0.001 0.000 0.001 0.000 0.010
10 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.038 0.000 0.004 0.005 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.001 0.001 0.003 0.113 0.000 0.006 0.006 0.002 0.018 0.005 0.000 0.011 0.003 0.003 0.001 0.036 0.001 0.000 0.003 0.024 0.003 0.000 0.019 0.000 0.012
11 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.016 0.004 0.005 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.002 0.003 0.000 0.007 0.113 0.000 0.005 0.003 0.001 0.008 0.008 0.000 0.038 0.002 0.001 0.001 0.012 0.001 0.000 0.001 0.013 0.002 0.000 0.009 0.000 0.022
160
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
12 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.018 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.002 0.001 0.001 0.028 0.000 0.004 0.001 0.000 0.004 0.002 0.000 0.007 0.000 0.001 0.000 0.010 0.000 0.000 0.000 0.002 0.000 0.000 0.002 0.000 0.003
13 0.002 0.006 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.004 1.044 0.001 0.001 0.000 0.000 0.000 0.027 0.020 0.001 0.002 0.005 0.000 0.001 0.000 0.000 0.002 0.001 0.000 0.010 0.000 0.000 0.000 0.005 0.000 0.000 0.001 0.002 0.000 0.000 0.001 0.000 0.001
14 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.004 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.005 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.002
15 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.001 0.002 1.007 0.000 0.000 0.000 0.023 0.002 0.001 0.002 0.003 0.001 0.003 0.013 0.001 0.011 0.003 0.000 0.008 0.000 0.001 0.000 0.003 0.000 0.000 0.000 0.001 0.001 0.000 0.003 0.000 0.004
16 0.003 0.001 0.000 0.000 0.001 0.001 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.005 0.004 0.078 0.002 1.005 0.045 0.033 0.061 0.002 0.001 0.017 0.103 0.001 0.029 0.006 0.002 0.025 0.012 0.000 0.083 0.009 0.010 0.000 0.054 0.003 0.001 0.005 0.014 0.005 0.008 0.064 0.000 0.014
17 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.001 0.001 0.001 0.000 0.000 0.000 0.002 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.003 0.000 0.000
18 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.005 0.000 0.000 0.001 1.003 0.000 0.000 0.011 0.002 0.010 0.014 0.034 0.001 0.000 0.007 0.001 0.000 0.015 0.000 0.001 0.000 0.013 0.000 0.001 0.000 0.002 0.000 0.000 0.005 0.000 0.004
19 0.057 0.012 0.000 0.003 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.021 0.005 0.021 0.005 0.000 0.021 0.000 0.000 0.000 1.180 0.002 0.000 0.026 0.016 0.000 0.003 0.002 0.001 0.014 0.014 0.000 0.045 0.001 0.002 0.000 0.023 0.003 0.000 0.005 0.020 0.002 0.001 0.005 0.000 0.003
20 0.001 0.002 0.000 0.000 0.001 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.012 0.270 0.001 0.001 0.000 0.001 0.000 0.009 1.112 0.001 0.016 0.118 0.001 0.034 0.013 0.002 0.030 0.035 0.000 0.056 0.005 0.006 0.001 0.038 0.003 0.003 0.021 0.037 0.007 0.001 0.015 0.000 0.008
21 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.002 0.363 0.000 0.000 0.001 0.000 0.001 0.008 1.045 0.017 0.037 0.000 0.034 0.008 0.002 0.009 0.007 0.000 0.076 0.001 0.001 0.001 0.015 0.008 0.001 0.001 0.047 0.001 0.000 0.009 0.000 0.006
22 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.004 0.003 0.007 0.000 0.001 0.000 0.000 0.004 0.005 0.008 1.292 0.126 0.000 0.008 0.007 0.026 0.056 0.046 0.000 0.141 0.005 0.005 0.001 0.044 0.018 0.002 0.008 0.098 0.010 0.001 0.021 0.000 0.012
161
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
23 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.037 0.002 0.003 0.000 0.000 0.001 0.002 0.004 0.004 0.001 0.016 1.149 0.001 0.020 0.003 0.006 0.032 0.025 0.000 0.069 0.003 0.004 0.001 0.038 0.007 0.001 0.005 0.029 0.008 0.001 0.018 0.000 0.008
24 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.004 0.003 0.002 0.000 0.000 0.000 0.254 0.002 0.008 0.004 0.035 0.126 1.171 0.024 0.005 0.013 0.018 0.025 0.000 0.111 0.003 0.005 0.001 0.029 0.012 0.001 0.005 0.030 0.007 0.000 0.019 0.000 0.012
25 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.001 0.000 0.000 0.021 0.002 0.000 0.001 0.002 0.004 0.012 0.001 1.159 0.001 0.000 0.003 0.004 0.000 0.035 0.001 0.001 0.000 0.008 0.001 0.000 0.002 0.006 0.001 0.000 0.004 0.000 0.002
26 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.002 0.001 0.000 0.000 0.003 0.005 0.001 0.006 0.004 0.011 0.035 0.021 0.140 1.089 0.001 0.006 0.007 0.000 0.064 0.001 0.001 0.001 0.010 0.008 0.001 0.001 0.007 0.002 0.000 0.005 0.000 0.004
27 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.005 0.017 0.001 0.000 0.001 0.001 0.002 0.006 0.020 0.013 0.015 0.001 0.037 0.006 1.066 0.006 0.009 0.000 0.027 0.001 0.002 0.001 0.013 0.008 0.001 0.002 0.007 0.001 0.000 0.010 0.000 0.008
28 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.001 0.000 0.010 0.000 0.001 0.001 0.002 0.000 0.001 0.002 0.000 0.000 0.001 0.000 1.001 0.001 0.000 0.002 0.000 0.000 0.000 0.002 0.000 0.000 0.001 0.000 0.001 0.000 0.001 0.000 0.001
29 0.000 0.001 0.000 0.000 0.002 0.002 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.002 0.010 0.002 0.002 0.001 0.000 0.004 0.008 0.006 0.004 0.013 0.029 0.000 0.010 0.006 0.005 0.088 1.141 0.000 0.027 0.023 0.028 0.002 0.045 0.002 0.001 0.014 0.014 0.028 0.004 0.035 0.000 0.016
30 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.002 0.017 0.000 0.000 0.001 0.072 0.001 0.003 0.045 0.018 0.032 0.114 0.066 0.003 0.098 0.012 0.022 1.000 0.069 0.003 0.004 0.001 0.025 0.006 0.001 0.002 0.021 0.026 0.000 0.022 0.000 0.007
31 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.004 0.001 0.001 0.000 0.000 0.000 0.007 0.008 0.003 0.085 0.024 0.000 0.005 0.003 0.004 0.024 0.024 0.000 1.025 0.004 0.008 0.004 0.031 0.013 0.004 0.005 0.022 0.007 0.000 0.033 0.000 0.015
32 0.002 0.016 0.006 0.003 0.006 0.013 0.001 0.001 0.000 0.001 0.000 0.004 0.179 0.001 0.030 0.000 0.000 0.000 0.042 0.023 0.001 0.006 0.016 0.000 0.004 0.006 0.006 0.022 0.041 0.000 0.030 1.008 0.011 0.001 0.027 0.012 0.003 0.010 0.020 0.008 0.002 0.015 0.000 0.014
33 0.003 0.012 0.011 0.005 0.047 0.055 0.004 0.002 0.001 0.001 0.000 0.018 0.181 0.001 0.044 0.000 0.000 0.000 0.050 0.007 0.001 0.018 0.013 0.000 0.002 0.004 0.004 0.016 0.011 0.000 0.051 0.003 1.017 0.000 0.039 0.002 0.003 0.005 0.021 0.005 0.001 0.013 0.000 0.007
162
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
34 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.002 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.011 0.001 0.001 0.001 0.001 0.000 0.005 0.021 0.001 0.010 0.007 0.001 0.038 0.071 0.016 0.061 0.006 0.000 0.038 0.003 0.028 1.011 0.011 0.001 0.001 0.002 0.004 0.003 0.000 0.004 0.000 0.002
35 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.002 0.000 0.000 0.001 0.003 0.000 0.007 0.003 0.001 0.004 0.026 0.000 0.189 0.002 0.000 0.046 0.001 0.003 0.000 1.004 0.001 0.000 0.001 0.002 0.001 0.000 0.002 0.000 0.001
36 0.001 0.001 0.000 0.000 0.001 0.001 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.003 0.005 0.001 0.002 0.001 0.000 0.001 0.014 0.005 0.001 0.013 0.071 0.005 0.012 0.056 0.003 0.133 0.005 0.000 0.050 0.004 0.002 0.000 0.031 1.003 0.000 0.004 0.017 0.002 0.001 0.004 0.000 0.007
37 0.001 0.000 0.000 0.000 0.213 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.003 0.000 0.002 0.002 0.000 0.000 0.016 0.003 0.001 0.006 0.012 0.000 0.002 0.010 0.001 0.154 0.002 0.000 0.038 0.001 0.004 0.001 0.006 0.001 1.001 0.001 0.003 0.001 0.000 0.003 0.000 0.002
38 0.001 0.002 0.001 0.001 0.003 0.004 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.002 0.024 0.001 0.005 0.002 0.000 0.001 0.016 0.009 0.001 0.014 0.026 0.005 0.012 0.068 0.005 0.186 0.010 0.000 0.055 0.077 0.048 0.001 0.031 0.003 0.001 1.038 0.016 0.010 0.001 0.033 0.000 0.024
39 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.004 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.010 0.000 0.005 0.004 0.001 0.008 0.015 0.006 0.044 0.002 0.000 0.013 0.006 0.002 0.000 0.014 0.001 0.000 0.001 1.003 0.001 0.000 0.002 0.000 0.002
40 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.002 0.001 0.000 0.001 0.002 0.004 0.006 0.002 0.000 0.003 0.001 0.002 0.001 0.002 0.000 0.000 0.001 0.001 1.001 0.000 0.003 0.000 0.008
41 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.002 0.001 0.008 0.005 0.000 0.002 0.004 0.008 0.007 0.011 0.000 0.025 0.002 0.002 0.001 0.004 0.001 0.000 0.000 0.002 0.061 1.001 0.036 0.000 0.025
42 0.000 0.001 0.000 0.000 0.001 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.009 0.001 0.002 0.000 0.000 0.000 0.004 0.004 0.001 0.034 0.031 0.000 0.002 0.005 0.005 0.011 0.014 0.000 0.039 0.041 0.008 0.000 0.012 0.002 0.000 0.003 0.011 0.003 0.000 1.017 0.000 0.012
43 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000
44 0.000 0.001 0.000 0.000 0.002 0.003 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.009 0.001 0.002 0.000 0.000 0.000 0.006 0.004 0.001 0.041 0.028 0.000 0.002 0.004 0.013 0.047 0.030 0.000 0.042 0.011 0.021 0.000 0.012 0.002 0.000 0.001 0.006 0.002 0.000 0.007 0.000 1.023
163
Padi Jagung Ketela Pohon Kedelai Sayur-sayuran Buah-buahan Umbi-umbian Kacang tanah Kacang-kacang lainnya Tebu Tembakau Tanaman Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Non Migas Penggalian Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Semen dan Barang Galian Bukan Logam Logam Dasar Besi dan Baja Alat Angkutan Mesin dan Peralatan Barang Lainnya Pengilangan Minyak Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan Hotel Restoran Angkutan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan Penyeberangan Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan Pos dan Telekomunikasi Jasa Penunjang Telekomunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-Jasa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
DBL 0.1111 0.1333 0.1580 0.0928 0.0746 0.0324 0.0962 0.1116 0.5152 0.2343 0.1977 0.0680 0.1027 0.0138 0.0715 0.5471 0.0103 0.0925 0.3736 0.6262 0.5937 0.6159 0.3656 0.6464 0.2133 0.3110 0.2111 0.0201 0.4136 0.4772 0.2419 0.4580 0.5519 0.2647 0.2625 0.3554 0.4322 0.5460 0.1135 0.0320 0.1716 0.1833 0.2256
DIBL 1.15085 1.17995 1.20164 1.12604 1.09633 1.04048 1.12650 1.14184 1.60277 1.32167 1.27939 1.09169 1.14213 1.01724 1.09697 1.70993 1.01373 1.13210 1.51608 1.86278 1.70506 1.96315 1.50153 1.93373 1.27389 1.43804 1.29172 1.03213 1.57611 1.69337 1.37003 1.58930 1.67756 1.36501 1.30088 1.45937 1.48943 1.73662 1.14879 1.04358 1.21384 1.27640 1.00000 1.32517
FBL 0.0822 0.0812 0.1080 0.0276 0.2884 0.0842 0.0417 0.0580 0.0180 0.0540 0.0198 0.0951 0.6371 0.4450 0.0985 0.0151 0.0637 0.3044 0.3673 0.2144 0.1442 0.4433 1.1787 0.2781 0.4989 0.3585 0.2472 0.9624 0.3569 1.0658 0.1720 0.1893 0.0243 0.5198 0.0812 0.0219 0.1096 0.8310 0.1653 0.0210 0.3512 0.2449
Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Ke Deban Keterkaitan Langsung Ke Belakang Terstandarisasi
Keterkaitan Langsung Ke Depan
Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Ke Belakang
Keterkaitan Langsung Ke Belakang
KODE SEKTOR
SEKTOR
Lampiran 5 Nilai Keterkaitan dan Angka Pengganda Per Sektor
FIBL 1.10963 1.10009 1.12322 1.03132 1.31794 1.10295 1.04439 1.06238 1.01864 1.06489 1.02224 1.16685 1.82204 1.51937 1.12547 1.02837 1.07845 1.38539 1.50030 1.30043 1.17545 1.76445 2.62609 1.34310 1.72122 1.45987 1.30876 2.31073 1.54077 1.00000 2.47884 1.22875 1.24459 1.03420 1.73328 1.13069 1.03383 1.15064 2.00884 1.21287 1.02673 1.47641 1.00000 1.32023
SDBL 0.4301 0.5157 0.6115 0.3590 0.2887 0.1254 0.3724 0.4318 1.9939 0.9067 0.7650 0.2632 0.3974 0.0535 0.2769 2.1172 0.0398 0.3581 1.4458 2.4236 2.2978 2.3835 1.4151 2.5015 0.8254 1.2037 0.8168 0.0778 1.6007 1.8467 0.9361 1.7726 2.1359 1.0245 1.0158 1.3754 1.6726 2.1130 0.4393 0.1237 0.6642 0.7093 0.0000 0.8729
Padi Jagung Ketela Pohon Kedelai Sayur-sayuran Buah-buahan Umbi-umbian Kacang tanah Kacang-kacang lainnya Tebu Tembakau Tanaman Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Non Migas Penggalian Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Semen dan Barang Galian Bukan Logam Logam Dasar Besi dan Baja Alat Angkutan Mesin dan Peralatan Barang Lainnya Pengilangan Minyak Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan Hotel Restoran Angkutan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan Penyeberangan Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan Pos dan Telekomunikasi Jasa Penunjang Telekomunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-Jasa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
SDIBL 0.8546 0.8762 0.8923 0.8361 0.8141 0.7726 0.8365 0.8479 1.1901 0.9814 0.9500 0.8106 0.8481 0.7554 0.8146 1.2697 0.7528 0.8406 1.1258 1.3832 1.2661 1.4577 1.1150 1.4359 0.9459 1.0678 0.9592 0.7664 1.1703 1.2574 1.0173 1.1801 1.2457 1.0136 0.9660 1.0837 1.1060 1.2895 0.8530 0.7749 0.9013 0.9478 0.7426 0.9840
SDFL 0.3183 0.3144 0.4179 0.1068 1.1162 0.3257 0.1613 0.2246 0.0696 0.2088 0.0765 0.3679 2.4657 1.7222 0.3810 0.0585 0.2467 1.1780 1.4217 0.8299 0.5581 1.7157 4.5615 1.0763 1.9307 1.3875 0.9567 3.7245 1.3813 0.0000 4.1247 0.6655 0.7327 0.0942 2.0116 0.3143 0.0848 0.4243 3.2160 0.6397 0.0814 1.3591 0.0000 0.9478
SDIFL 0.8240 0.8169 0.8341 0.7658 0.9786 0.8190 0.7755 0.7889 0.7564 0.7907 0.7591 0.8665 1.3530 1.1282 0.8357 0.7636 0.8008 1.0287 1.1141 0.9656 0.8728 1.3102 1.9500 0.9973 1.2781 1.0840 0.9718 1.7159 1.1441 0.7426 1.8407 0.9124 0.9242 0.7679 1.2871 0.8396 0.7677 0.8544 1.4917 0.9006 0.7624 1.0963 0.7426 0.9803
INC-M 1.0580 1.0698 1.1299 1.0389 1.0555 1.0212 1.0703 1.1015 2.0718 1.0972 1.0977 1.0440 1.2173 1.0207 1.0451 1.5631 1.1801 1.0483 2.0167 1.9799 1.8004 1.9631 2.3486 2.1301 1.3999 1.6131 2.0713 2.5031 1.4497 1.3597 1.2685 1.6035 2.0112 1.1559 1.1618 1.2032 2.0445 1.5249 1.0698 1.0186 1.1546 1.2005 1.0000 1.1836
Pengganda Surplus Usaha
Pengganda Pendapatan
Keterkaitan Langsung Tdk Langsung Ke Belakang Standarisasi Keterkaitan Langsung Ke Depan Terstandarisasi Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Ke Depan Terstandarisasi
KODE SEKTOR
SEKTOR
164
S-M 1.0895 1.1160 1.1566 1.0732 1.1096 1.0289 1.1268 1.0992 2.5962 1.5958 1.1328 1.0752 1.1650 1.0810 1.0675 3.2286 1.3846 1.0594 1.9936 2.1329 1.6035 2.9962 4.4097 2.8957 1.3600 2.0823 2.0413 2.0235 1.6874 1.6357 1.2734 1.6640 1.6544 6.6437 1.0668 1.3990 1.6506 2.3836 1.0408 1.0196 1.1783 1.1062 1.1320
T-M 1.5110 1.3645 1.3216 1.6943 1.6701 1.1604 1.1192 1.1108 1.9400 1.1577 1.3493 1.0356 1.3211 1.0297 2.2265 4.0478 1.1495 1.3536 1.2694 3.3536 1.6471 3.7884 5.1801 4.1313 1.6731 2.4495 8.3682 3.0101 1.2906 3.4683 1.1638 1.2860 1.4329 5.7272 1.1173 1.1960 1.9166 2.4078 1.0577 1.0224 1.2591 1.4371 1.7102
Pengganda Impor
Pengganda Pajak
Pengganda Penyusutan D-M 3.7607 1.8566 3.5208 1.8791 1.1696 2.4423 1.6951 1.0894 1.7179 1.1188 9.0034 1.1575 1.1807 1.1068 1.1111 3.9729 1.0714 1.0383 2.3184 3.2015 1.9747 2.4545 5.0128 5.5204 2.3008 2.5994 8.0920 2.4418 1.3050 3.3732 1.0962 1.3521 2.3692 2.4828 1.1997 1.2947 2.0244 1.7733 1.0946 1.0190 1.2068 1.4495 1.0000 1.5845
M-M 6.4818 52.0079 20.6338 117.8293 1.0796 1.0514 1.1132 1.2126 1.5549 10,678.1689 8,992.0949 1.1055 1.0758 1.0079 1.0912 2.2177 1.0038 3.7497 1.3953 3.6753 5.5090 2.9583 1.2988 3.5492 1.2191 1.3172 1.1625 1.0085 7.2996 4.4964 10.0240 1.3270 2.1746 2.2187 1.7194 2.8461 1.9639 2.1895 58.5124 98.7182 2.6962
Pengganda Tenaga Kerja
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Pengganda PDRB
Padi Jagung Ketela Pohon Kedelai Sayur-sayuran Buah-buahan Umbi-umbian Kacang tanah Kacang-kacang lainnya Tebu Tembakau Tanaman Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Non Migas Penggalian Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Semen dan Barang Galian Bukan Logam Logam Dasar Besi dan Baja Alat Angkutan Mesin dan Peralatan Barang Lainnya Pengilangan Minyak Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan Hotel Restoran Angkutan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan Penyeberangan Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan Pos dan Telekomunikasi Jasa Penunjang Telekomunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-Jasa
KODE SEKTOR
SEKTOR
165
VA-M 1.0796 1.0976 1.1530 1.0609 1.0819 1.0272 1.1002 1.0994 2.2729 1.1700 1.1381 1.0574 1.1953 1.0414 1.0671 2.1998 1.1986 1.0552 1.7362 2.1894 1.7002 2.4581 3.3720 2.6819 1.4247 1.9144 2.2572 2.2611 1.4706 1.5691 1.2167 1.5366 1.7632 1.4241 1.1007 1.2772 1.8563 1.8606 1.0523 1.0194 1.1761 1.1555 1.0000 1.1806
Epl-M 1.0454 1.0526 1.1110 1.0272 1.0361 1.0168 1.0452 1.0657 1.0396 1.2797 1.2500 1.0822 1.0989 1.0080 1.1316 4.3440 1.0082 1.0740 3.2953 2.6850 4.4465 5.9807 2.1251 8.3406 1.7312 41.6838 1.3550 14.5168 4.1895 1.1935 1.5343 1.4386 1.7697 1.1696 1.0393 1.3319 4.1140 4.2377 1.4236 1.1235 1.4518 1.4269 1.0000 1.0931
166
Lampiran 6 Skor Per Sektor Hasil Pembobotan FACTOR LOADING No Variabel 1 Keterkaitan langsung tidak langsung ke depan 2 Keterkaitan langsung tidak langsung ke belakang 3 Angka pengganda pendapatan 4 Angka pengganda pajak 5 Angka pengganda PDRB 6 Koefisien impor 7 Angka penganda tenaga kerja Ragam diterangkan Proporsi yang dapat diterangkan dari total ragam FACTOR SCORE Kode Sektor Sektor 1 Padi 2 Jagung 3 Ketela Pohon 4 Kedelai 5 Sayur-sayuran 6 Buah-buahan 7 Umbi-umbian 8 Kacang tanah 9 Kacang-kacang lainnya 10 Tebu 11 Tembakau 12 Tanaman Perkebunan Lainnya 13 Peternakan 14 Kehutanan 15 Perikanan 16 Pertambangan Migas 17 Pertambangan Non Migas 18 Penggalian 19 Makanan, Minuman dan Tembakau 20 Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki 21 Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya 22 Kertas dan Barang Cetakan 23 Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 24 Semen dan Barang Galian Bukan Logam 25 Logam Dasar Besi dan Baja 26 Alat Angkutan Mesin dan Peralatan 27 Barang Lainnya 28 Pengilangan Minyak 29 Listrik, Gas, dan Air Bersih 30 Bangunan dan Konstruksi 31 Perdagangan 32 Hotel 33 Restoran 34 Angkutan Rel 35 Angkutan Jalan Raya 36 Angkutan Laut 37 Angkutan Penyeberangan 38 Angkutan Udara 39 Jasa Penunjang Angkutan 40 Pos dan Telekomunikasi 41 Jasa Penunjang Telekomunikasi 42 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 43 Pemerintahan Umum 44 Jasa-Jasa
Kode SDIFL SDIBL Inc-M T-M VA-M M Epl-M Expl.Var Prp.Totl
F1 0.1911 0.8902 0.8649 0.6640 0.9234 -0.0681 0.2832 2.9554 0.4222
F2 0.6185 -0.3148 0.3261 0.3226 0.3022 0.8881 0.4307 1.7575 0.2511
FS1
FS2
-0.67052 -0.62782 -0.53590 -0.69622 -1.01273 -1.05646 -0.96919 -0.80365 1.23676 -0.39697 -0.44627 -0.99940 -0.90327 -1.42052 -0.87382 1.28757 -1.28652 -0.75287 0.63288 1.69016 0.90742 2.03069 2.00676 2.32477 -0.41378 0.62995 1.31040 0.42896 0.34817 0.80865 -0.25411 0.47595 1.01826 0.17023 -0.55461 -0.18010 0.71333 0.92128 -0.81253 -0.94760 -0.49181 -0.38303 -1.14978 -0.30271
-0.66805 -0.73077 -0.71897 -0.71658 0.62653 -0.07938 0.15388 -0.31281 -0.67748 -0.92828 -0.90676 0.01638 1.23617 1.44406 0.22748 -0.50849 1.41161 -0.39513 0.06183 -0.64552 -0.79223 -0.19904 2.14859 -0.48680 1.05173 2.07262 1.57852 3.49013 -0.54914 -1.18541 0.33025 -0.84095 -0.87519 0.33260 0.04813 -0.61644 0.04687 -0.68566 0.25867 -0.48345 -0.80775 -0.46065 -0.72635 -0.53878
167
SEKTOR Padi Jagung Ketela Pohon Kedelai Sayur-sayuran Buah-buahan Umbi-umbian Kacang tanah Kacang-kacang lainnya Tebu Tembakau Tanaman Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Non Migas Penggalian Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Semen dan Barang Galian Bukan Logam Logam Dasar Besi dan Baja Alat Angkutan Mesin dan Peralatan Barang Lainnya Pengilangan Minyak Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan Hotel Restoran Angkutan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan Penyeberangan Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan Pos dan Telekomunikasi Jasa Penunjang Telekomunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-Jasa
KODE SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
SKOR 1 -0.4205 -0.3937 -0.3361 -0.4366 -0.6351 -0.6625 -0.6078 -0.5040 0.7756 -0.2489 -0.2799 -0.6267 -0.5664 -0.8908 -0.5480 0.8074 -0.8068 -0.4721 0.3969 1.0599 0.5690 1.2734 1.2584 1.4578 -0.2595 0.3950 0.8217 0.2690 0.2183 0.5071 -0.1594 0.2985 0.6385 0.1068 -0.3478 -0.1129 0.4473 0.5777 -0.5095 -0.5942 -0.3084 -0.2402 -0.7210 -0.1898
SKOR 2 0.2491 0.2725 0.2681 0.2672 -0.2336 0.0296 -0.0574 0.1166 0.2526 0.3462 0.3381 -0.0061 -0.4610 -0.5385 -0.0848 0.1896 -0.5264 0.1473 -0.0231 0.2407 0.2954 0.0742 -0.8012 0.1815 -0.3922 -0.7729 -0.5886 -1.3015 0.2048 0.4420 -0.1232 0.3136 0.3264 -0.1240 -0.0179 0.2299 -0.0175 0.2557 -0.0965 0.1803 0.3012 0.1718 0.2709 0.2009
JUMLAH -0.1714 -0.1212 -0.0680 -0.1694 -0.8687 -0.6329 -0.6652 -0.3873 1.0282 0.0972 0.0583 -0.6328 -1.0274 -1.4293 -0.6328 0.9970 -1.3332 -0.3248 0.3738 1.3006 0.8645 1.3477 0.4572 1.6394 -0.6517 -0.3779 0.2331 -1.0325 0.4231 0.9491 -0.2825 0.6121 0.9649 -0.0173 -0.3657 0.1169 0.4298 0.8334 -0.6060 -0.4140 -0.0072 -0.0684 -0.4502 0.0111
RESCAL LING 0.4099 0.4263 0.4436 0.4106 0.1827 0.2595 0.2490 0.3396 0.8008 0.4975 0.4848 0.2595 0.1310 0.2596 0.7907 0.0313 0.3599 0.5876 0.8896 0.7475 0.9049 0.6148 1.0000 0.2534 0.3426 0.5417 0.1293 0.6037 0.7751 0.3737 0.6652 0.7802 0.4601 0.3466 0.5039 0.6058 0.7374 0.2683 0.3309 0.4634 0.4435 0.3191 0.4694
BASIS S.D 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
NILAI AKHIR 0.4099 0.4263 0.4436 0.4106 0.1827 0.2595 0.2490 0.3396 0.8008 0.4975 0.4848 0.2595 0.1310 0.2596 0.5876 0.8896 0.7475 0.9049 0.6148 0.5417 0.6037 0.7751 0.3737 0.6652 0.7802 0.4601 0.3466 0.5039 0.6058 0.7374 0.2683 0.3309 0.4634 0.4435 0.3191 0.4694
168
URUTAN SKOR PER SEKTOR DARI TERBESAR SAMPAI TERKECIL SEKTOR Kertas dan Barang Cetakan Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki Kacang-kacang lainnya Restoran Bangunan dan Konstruksi Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya Angkutan Udara Hotel Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Angkutan Penyeberangan Listrik, Gas, dan Air Bersih Makanan, Minuman dan Tembakau Barang Lainnya Angkutan Laut Tebu Tembakau Jasa-Jasa Jasa Penunjang Telekomunikasi Angkutan Rel Ketela Pohon Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jagung Kedelai Padi Perdagangan Angkutan Jalan Raya Kacang tanah Pos dan Telekomunikasi Pemerintahan Umum Jasa Penunjang Angkutan Perikanan Tanaman Perkebunan Lainnya Buah-buahan Umbi-umbian Sayur-sayuran Peternakan Semen dan Barang Galian Bukan Logam Pertambangan Non Migas Pertambangan Migas Pengilangan Minyak Penggalian Logam Dasar Besi dan Baja Kehutanan Alat Angkutan Mesin dan Peralatan
KODE SEKTOR 22 20 9 33 30 21 38 32 23 37 29 19 27 36 10 11 44 41 34 3 42 2 4 1 31 35 8 40 43 39 15 12 6 7 5 13 24 17 16 28 18 25 14 26
NILAI AKHIR 0.9049 0.8896 0.8008 0.7802 0.7751 0.7475 0.7374 0.6652 0.6148 0.6058 0.6037 0.5876 0.5417 0.5039 0.4975 0.4848 0.4694 0.4634 0.4601 0.4436 0.4435 0.4263 0.4106 0.4099 0.3737 0.3466 0.3396 0.3309 0.3191 0.2683 0.2596 0.2595 0.2595 0.2490 0.1827 0.1310 -
169
Lampiran 7
Kode Kab / Kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 71 72 73 74 75 76 77 78 Ketr :
Kab / Kota Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kediri Blitar Malang Probolinggo Pasuruan Mojokerto Madiun Surabaya
Nilai Location Quotient dan Differential Shift sektor unggulan Pada kabupaten/kota di Jawa Timur Sub Sektor Tanaman Bahan Makanan LQ DF 2.84 -0.067 2.98 -0.070 1.87 -0.053 0.73 -0.148 2.14 -0.017 1.90 -0.030 1.61 -0.063 2.15 -0.062 1.97 -0.056 1.82 -0.041 2.42 -0.080 1.87 -0.099 3.09 -0.092 1.21 -0.102 0.09 -0.290 1.07 0.012 1.38 -0.170 2.43 -0.086 2.16 -0.090 2.35 -0.131 2.82 -0.125 3.65 -0.016 1.11 -0.231 3.08 -0.070 0.38 -0.198 2.69 -0.025 3.45 -0.077 1.56 -0.059 2.41 0.032 0.01 0.139 0.18 -0.074 0.01 -0.299 0.11 -0.436 0.15 -0.098 0.05 -0.292 0.09 -0.162 0.00 -0.262
LQ = Location Quotient DF = Differential Shift
Tekstil, Barang Kertas dan Barang dari Kertas dan Cetakan Alas Kaki LQ DF LQ DF 0.01 0.035 0.00 0.125 0.05 -0.065 0.01 0.049 0.01 -0.647 0.01 1.349 6.69 -0.077 0.08 0.566 0.00 -0.043 0.00 0.313 0.13 -0.049 3.90 0.055 0.57 -0.052 0.09 0.214 0.04 -0.007 0.01 0.108 0.01 0.056 0.01 0.148 0.01 -0.014 0.16 0.162 0.02 0.106 0.00 0.388 0.01 0.011 0.01 0.339 0.04 0.135 1.46 0.112 7.58 -0.101 0.69 0.041 4.05 -0.125 5.34 0.000 0.15 -0.222 3.43 0.074 0.43 0.048 0.01 0.136 0.04 0.119 0.15 0.797 0.08 0.209 0.03 0.120 0.04 0.042 0.03 0.544 0.00 -0.007 0.04 0.117 0.01 0.108 0.01 0.207 0.01 0.126 0.16 0.125 0.06 -0.070 0.00 0.073 0.52 0.030 2.73 0.151 0.05 -0.087 0.00 0.02 0.066 0.00 0.113 0.00 -0.360 0.00 -1.082 0.00 0.159 0.00 -0.973 0.00 0.190 0.00 0.363 0.02 -0.089 0.00 -1.138 0.73 -0.179 0.14 0.039 0.58 -0.466 0.15 1.565 0.09 -0.046 0.02 0.064 1.58 -0.063 0.15 0.142 0.13 -0.085 0.07 0.090 0.21 -0.014 0.58 0.035
Bangunan LQ 1.55 1.28 1.27 0.71 1.13 0.57 1.30 0.66 1.04 0.75 0.63 0.78 1.53 0.91 0.83 1.88 0.65 0.94 0.58 0.52 0.59 0.51 1.19 0.86 0.75 0.10 0.48 0.73 0.49 0.13 1.49 1.45 0.86 1.12 0.95 0.84 1.53
DF -0.026 -0.056 0.016 -0.114 0.031 -0.082 -0.071 -0.023 -0.050 -0.053 -0.087 0.066 -0.085 0.080 -0.136 -0.044 -0.249 -0.174 -0.054 -0.081 -0.032 -0.045 -0.130 0.038 -0.016 -0.942 -0.139 -0.045 0.104 0.164 0.059 0.025 -0.132 -0.069 0.011 -0.074 -0.136
Restoran LQ 0.09 0.12 0.11 0.14 0.02 0.07 0.55 0.18 0.42 0.19 0.09 0.27 0.15 0.59 0.71 0.05 0.13 0.10 0.20 0.13 0.15 0.08 0.06 0.05 0.08 0.13 0.05 0.10 0.06 0.13 0.76 1.03 0.29 0.24 0.60 1.01 3.42
DF 0.152 0.259 0.020 0.402 0.244 0.212 0.196 0.165 0.185 0.143 0.081 0.144 0.318 0.520 0.350 0.299 0.395 0.232 0.220 0.174 0.228 0.220 0.117 0.273 0.176 0.372 0.303 0.314 0.268 0.550 0.119 0.232 0.335 0.189 0.113 0.207 0.230
170
Lampiran 8 KODE SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Data tenaga kerja di Provinsi Jawa Timur SEKTOR
Padi Tanaman bahan makanan lainnya Tanaman perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan minyak, gas dan panas bumi Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya Pengilangan minyak bumi Industri makanan minuman dan tembakau Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki Industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri kertas dan barang dari cetakan Industri pupuk, kimia dan barang dari karet dan mineral bukan logam Industri semen Industri dasar besi dan baja dan logam dasar bukan besi Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya Industri barang dari logam Industri lainnya Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan darat Angkutan Air Angkutan Udara Komunikasi Lembaga keuangan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa-jasa lainnya JUMLAH
Sumber: Diestimasi dari Data Base Tenaga Kerja Tahun 2000 (BPS) dan Tabel I-O Interregional 30 Sektor 30 Propinsi Tahun 2000 (BAPPENAS, 2003)
TENAGA KERJA (Orang) 1,942,451 4,349,869 243,108 1,177,525 505,066 90,791 7,307 169,275 296 650,353 312,259 159,987 28,084 131,847 18,341 33,065 2,100 34,927 147,703 37,148 1,001,291 661,940 1,530,758 325,029 21,755 36,071 41,382 174,729 1,660,827 1,255,266 16,750,547
171
DATA TENAGA KERJA 44 SEKTOR HASIL ESTIMASI KODE SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
SEKTOR Padi Jagung Ketela Pohon Kedelai Sayur-sayuran Buah-buahan Umbi-umbian Kacang tanah Kacang-kacang lainnya Tebu Tembakau Tanaman Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan Non Migas Penggalian Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Semen dan Barang Galian Bukan Logam Logam Dasar Besi dan Baja Alat Angkutan Mesin dan Peralatan Barang Lainnya Pengilangan Minyak Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan Hotel Restoran Angkutan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan Penyeberangan Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan Pos dan Telekomunikasi Jasa Penunjang Telekomunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-Jasa JUMLAH
TENAGA KERJA (Orang) 1,942,451 863,435 299,866 206,544 757,858 1,420,658 171,776 307,676 322,055 57,528 17,075 168,505 1,177,525 505,066 90,791 7,307 34,643 134,632 650,353 312,259 159,987 28,084 131,847 18,341 67,992 2,100 147,703 296 37,148 1,001,291 661,940 156,734 1,374,024 23,441 301,587 16,126 5,628 12,283 23,788 29,391 11,991 174,729 1,660,827 1,255,266 16,750,548