KETERKAITAN ANTARA ALOKASI ANGGARAN DAN KINERJA SEKTORAL: KASUS SEKTOR PERTANIAN INDONESIA 1990-2006
OLEH GIGA NUR PRATIGINA H14051093
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
GIGA NUR PRATIGINA. Keterkaitan Antara Alokasi Anggaran dan Kinerja Sektoral: Kasus Sektor Pertanian Indonesia 1990-2006 (dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO). Kebijakan fiskal dapat digunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat melalui pembangunan di berbagai sektor. Dalam penelitian ini sektor yang menjadi fokus utama adalah sektor pertanian. Sektor pertanian penting untuk diteliti karena keberadaannya dalam perekonomian nasional sangat penting. Selain karena sektor ini mampu menyerap tenaga kerja yang besar dibandingkan sektor-sektor lainnya, sektor pertanian yang tangguh diperlukan untuk menjamin keberhasilan industrialisasi. Meskipun demikian, selama tahun 1990 sampai dengan tahun 2006, ternyata kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) semakin menurun dan menjadi lebih rendah dibandingkan kontribusi sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Tidak hanya kontribusinya terhadap PDB, produktivitas sektor pertanian pun berada di bawah produktivitas sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menemukan faktor yang mempengaruhi produktivitas sektor pertanian sehingga cara penanggulangan yang tepat dapat dilakukan. Kebijakan fiskal, dalam bentuk belanja negara, diduga memiliki pengaruh terhadap produktivitas sektor pertanian ini. Dari beberapa perumusan masalah yang telah disebutkan, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan belanja negara untuk sektor pertanian, PDB sektor pertanian, tenaga kerja sektor pertanian, produktivitas sektor pertanian serta menganalisis hubungan antara belanja negara untuk sektor pertanian dengan produktivitas sektor pertanian di Indonesia selama tahun 1990 sampai dengan tahun 2006. Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, ternyata selama tahun 1990 sampai dengan tahun 2006 belanja negara untuk sektor pertanian, yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, secara umum meningkat. Nilai dari Produk Domestik Bruto, tenaga kerja dalam bentuk angkatan kerja di sektor pertanian, serta produktivitas sektor pertanian juga terus meningkat. Namun, nilai PDB dan produktivitas ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai PDB dan produktivitas sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Selain itu, dengan menggunakan metode Weighted Least Square (WLS), terbukti bahwa dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2006, belanja negara, berupa pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, berpengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas sektor pertanian. Dari kedua jenis pengeluaran ini, pengeluaran pembangunan memberikan dampak yang lebih besar terhadap produktivitas sektor pertanian daripada pengeluaran rutinnya.
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian awal yang dilakukan oleh Bank Dunia (2009) dan kajian empiris yang dilakukan oleh Moreno-Dodson (2008). Pada penelitian awal Bank Dunia, diketahui bahwa pada level makro, pengeluaran pemerintah sampai tahap tertentu akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan total pengeluaran pemerintah di sektor pertanian memiliki efek positif yang signifikan, baik secara ekonomis maupun secara statistik, terhadap tingkat pertumbuhan PDB per kapita sektor pertanian. Sedangkan pada kajian empiris yang dilakukan oleh Moreno-Dodson terhadap tujuh negara dengan pertumbuhan yang cepat, termasuk Indonesia, diketahui bahwa terdapat hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan PDB per kapita.
KETERKAITAN ANTARA ALOKASI ANGGARAN DAN KINERJA SEKTORAL: KASUS SEKTOR PERTANIAN INDONESIA 1990-2006
OLEH GIGA NUR PRATIGINA H14051093
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi
: Keterkaitan Antara Alokasi Anggaran dan Kinerja Sektoral: Kasus Sektor Pertanian Indonesia 1990-2006
Nama
: Giga Nur Pratigina
NIM
: H14051093
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
D. S. Priyarsono, Ph. D. NIP. 19610501 198601 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph. D. 19641023 198903 2 002
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2009
Giga Nur Pratigina H14051093
PADA
RIWAYAT HIDUP
Penulis, yang bernama Giga Nur Pratigina, lahir pada tanggal 9 April 1987 di Bandar Lampung, yang merupakan ibukota provinsi Lampung. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Ir. Muhammad Syamsoel Hadi, M.Sc. dan Dra. Nanik Susilowati. Penulis memperoleh pendidikan sekolah dasar di tiga sekolah, yaitu SD Kartika II-5 Bandar Lampung (1993-1995, kemudian 1997-1999), Sequoyah Elementary School (1995) di Knoxville, Tennessee (AS), dan Pond Gap Elementary School (1995-1997) di Knoxville, Tennessee (AS). Pada tahun 1997 penulis melanjutkan sekolah di SLTPN 2 Bandar Lampung dan pada tahun 2002 penulis diterima di SMAN 2 Bandar Lampung serta lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di universitas tempat ayahnya pernah menimba ilmu sebelumnya, yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun keduanya di IPB, penulis diterima sebagai mahasiswi di Departemen Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Manajemen, yang merupakan pilihan pertamanya. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi debat Bahasa Inggris, IPB Debating Community (IDC), dan pernah menjabat sebagai wakil ketua (20062007) dan ketua (2007-2008) pada organisasi tersebut. Selain itu, penulis juga merupakan anggota dari World Bank Youth Group dan aktif mengikuti serta memenangkan berbagai lomba debat Bahasa Inggris, seperti Java Overland Varsities English Debating (JOVED), Indonesian Varsities English Debating (IVED), National University English Debating Championship (NUEDC), dan Pekan Ilmiah Nasional (PIMNAS).
Pada tahun 2008, penulis memperoleh
kehormatan untuk dapat mewakili Departemen Ilmu Ekonomi dalam ajang Mahasiswa Berprestasi untuk tingkat fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi dan Manajemen, dan memperoleh peringkat kedua.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi ini selesai. Judul skripsi ini adalah “Keterkaitan Antara Alokasi Anggaran dan Kinerja Sektoral: Kasus Sektor Pertanian Indonesia 1990-2006”.
Sektor pertanian merupakan topik yang
menarik untuk dibahas karena memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Karena alasan inilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang sektor ini. Selain itu, skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Sebagai salah satu wujud rasa syukur kehadirat Allah SWT, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu: 1.
My loving Mom and Dad yang senantiasa memberikan kasih sayang, perhatian, doa, dan dukungan, my little brother, Gena yang selalu memberikan semangat dan perhatian, serta keluarga besar di Bondowoso, Rembang dan Bandar Lampung yang ikut memberikan semangat dan doanya kepada penulis.
2.
Bapak D. S. Priyarsono, Ph.D sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, ilmu, masukan, semangat, dan perhatian yang sangat membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
3.
Bapak M. Firdaus, Ph.D sebagai dosen penguji utama dalam ujian sidang yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat dalam menyempurnakan skripsi ini.
4.
Bapak Jaenal Effendi, M.A. sebagai dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan koreksi dan masukan dalam menyempurnakan skripsi ini.
5.
Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB yang telah banyak memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
6.
Ibu Dra. Alfa Chasanah, M.A. yang telah memberikan motivasi, perhatian, dan kasih sayangnya selama penulis bergabung dengan IDC dan mengikuti berbagai event debat Bahasa Inggris.
7.
Para sahabat IE 42 (Dian, Echa, Maria, dan Verow), yang telah memberikan keceriaan, kebersamaan, dan motivasi kepada penulis. Teman-teman satu bimbingan skripsi (Dhani, Inna, dan Ryan), yang telah berjuang bersama dalam penyusunan skripsi ini bersama penulis. Teman-teman di kostan Raihana (Mbak Ipik, Yuli, Nola, Zizah, Yeni, dan teman-teman lainnya), yang sudah dianggap penulis sebagai keluarga kedua selama menjalankan studi di IPB. Teman-teman IDC (terutama Rahmat, Daniel, dan Leo, yang sudah dianggap penulis seperti adik sendiri), yang telah berbagi pengalaman, kebersamaan, dan keceriaan bersama penulis. Last but not least, my BFFs since high school (Asri, Cius, Choppey, Ganis, Hardy, dan Burbur), yang walaupun jarang bertemu tetap memberikan dukungannya hingga akhir. Serta teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
8.
Semua pihak yang telah membantu dan memperlancar penyusunan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis akan sangat berterimakasih atas kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Bogor, September 2009
Giga Nur Pratigina H14051093
DAFTAR ISI
Nomor
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. iv I. PENDAHULUAN...................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................ 5 1.3. Tujuan Penelitian................................................................................ 8 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...................... 10 2.1. Tinjauan Teoritis ................................................................................. 10 2.1.1.Peran Strategis Kebijakan Fiskal ................................................. 10 2.1.2.Belanja Negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ......................................................................... 12 2.1.3.Konsep Pendapatan Nasional ...................................................... 18 2.1.4.Pertanian dan Produktivitas ......................................................... 23 2.1.5.Konsep dan Definisi Ketenagakerjaan ........................................ 24 2.1.6.Pengaruh Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor Pertanian .......... 25 2.1.7.Transformasi Pertanian ............................................................... 29 2.1.8.Pembangunan Sektor Pertanian .................................................. 31 2.2. Tinjauan Empiris ................................................................................. 33 2.2.1.Penciptaan Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan ........... 33 2.3. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 35 2.4. Hipotesis ............................................................................................. 36
III.
METODE PENELITIAN ....................................................................... 37 3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 37 3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 38 3.2.1. Analisis Deskriptif ................................................................. 38 3.2.2. Analisis Regresi .................................................................... 38 3.2.3. Pengujian terhadap Model Regresi ........................................ 42 3.2.4. Pemilihan Model Terbaik ...................................................... 45
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 46 4.1. Analisis Belanja Negara untuk Sektor Pertanian .............................. 46 4.1.1. Pengeluaran Rutin ................................................................. 46 4.1.2. Pengeluaran Pembangunan ................................................... 50 4.2. Analisis Produk Domestik Bruto, Tenaga Kerja, dan Produktivitas Sektor Pertanian .............................................................................. 54 4.2.1. Analisis Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian ................. 54 4.2.2. Analisis Tenaga Kerja Sektor Pertanian ................................ 68 4.2.3. Analisis Produktivitas Sektor Pertanian ................................. 70 4.3. Analisis Hubungan antara Belanja Negara untuk Sektor Pertanian terhadap Produktivitas Sektor Pertanian di Indonesia ...................... 72
V.
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 82 5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 82 5.2. Saran............................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 84 LAMPIRAN ................................................................................................... 91
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Persentase Pengeluaran Pemerintah pada PDB dan Komposisi Pengeluaran Pemerintah pada Tujuh Negara dengan Pertumbuhan yang Cepat ...................................................................................................... 7
2.
Belanja Negara untuk Sektor Pertanian Tahun 1990-2006 ....................... 47
3.
Hasil ANOVA ........................................................................................ 76
4.
Hasil Weighted Least Square (WLS) ....................................................... 76
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Penyerapan Angkatan Kerja Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006.................................... 2
2.
Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB Berdasarkan Harga Konstan 2000 Selama Tahun 1990-2006 ........... 3
3.
Produktivitas Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB Berdasarkan Harga Konstan 2000 Selama Tahun 1990-2006 ................................................................................................ 5
4.
Kerangka Pemikiran ................................................................................ 36
5.
Pengeluaran Rutin Sektor Pertanian Tahun 1990-2006 ............................ 48
6.
Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Tahun 1990-2006 ............... 51
7.
Kontribusi Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 ...................... 55
8.
Laju Pertumbuhan Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 ........ 56
9.
Kontribusi Subsektor-Subsektor Pada Sektor Pertanian Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 .................................................... 57
10. Laju Pertumbuhan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dan Subsektor Perkebunan Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 ............ 60 11. Laju Pertumbuhan Subsektor Peternakan dan Hasil-Hasilnya, Subsektor Kehutanan, dan Subsektor Perikanan Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 .................................................................................... 61 12. Penyerapan Angkatan Kerja Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 .................................. 69 13. Produktivitas Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 ............................................................... 71 14. Hasil Uji Linieritas .................................................................................. 72 15. Hasil Uji Kenormalan ............................................................................. 73 16. Hasil Uji Homoskedastisitas .................................................................... 74 17. Hasil Uji Autokorelasi ............................................................................. 75
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Perubahan Perincian Belanja Negara untuk Sektor Pertanian Tahun 1990-2006 ............................................................................................... 92
2.
Produk Domestik Bruto Nasional Berdasarkan Harga Konstan 1983 ....... 93
3.
Produk Domestik Bruto Nasional Berdasarkan Harga Konstan 1993 ....... 94
4.
Produk Domestik Bruto Nasional Berdasarkan Harga Konstan 2000 ....... 95
5.
Penyerapan Angkatan Kerja Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 ................................... 96
6.
Rumus-Rumus Pelengkap ....................................................................... 97
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pada dasarnya, kebijakan-kebijakan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Salah satu tujuan pembangunan adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Salah satu
kebijakan yang dapat digunakan oleh pemerintah adalah kebijakan fiskal. Belanja negara yang merupakan salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal dapat digunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat melalui pembangunan di berbagai sektor. Dalam penelitian ini sektor yang menjadi fokus utama adalah sektor pertanian. Salah satu alasan sektor pertanian penting untuk diteliti adalah karena berdasarkan perhitungan data yang ada di Badan Pusat Statistik (BPS), keberadaan sektor pertanian tetap mendominasi penyerapan tenaga kerja di Indonesia, meskipun peranan kontribusinya terhadap PDB semakin menurun jika dibandingkan dengan sektor industri dan sektor perdagangan (Gambar 1.1. dan Gambar 1.2.). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa sebagai negara agraris, sebagian besar penduduk di Indonesia bergantung pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian utamanya.
Angkatan Kerja (%)
60 Sektor Pertanian, Peternakan , Kehutanan, dan Perikanan Sektor Industri Pengolahan
50 40 30 20
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
10 0
Tahun Sumber: BPS, 1990-2006
Gambar 1.1. Penyerapan Angkatan Kerja Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 (dalam persen) Sampai dengan tahun 1989, sektor pertanian merupakan andalan Indonesia dalam penciptaan PDB. Namun, sejak tahun 1990, peran sektor pertanian mulai tergeser oleh sektor industri dan perannya terus mengalami penurunan, walaupun secara absolut besaran nilai tambah sektor pertanian meningkat.
Meskipun
demikian, sektor pertanian tetap menjadi tumpuan dan harapan dalam penyerapan tenaga kerja. Sejak tahun 1994, sektor pertanian tidak lagi berperan sebagai sektor penunjang utama dalam PDB. Namun, sektor ini tetap memegang peranan yang penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu berkaitan dengan keberhasilan industrialisasi yang menuntut dukungan sektor pertanian yang tangguh (BPS, 1996). Hal ini mendukung pendapat Rahardjo (1986) yang menyatakan bahwa keberhasilan industrialisasi sebenarnya tergantung pada pembangunan pertanian.
Kontribusi terhadap PDB (%)
30.00 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
25.00 20.00
Industri Pengolahan
15.00 10.00
Perdagangan, Hotel dan Restoran
5.00 0.00
Tahun Sumber: BPS, 1990-2006
Gambar 1.2. Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB Berdasarkan Harga Konstan 2000 Selama Tahun 1990-2006 (dalam persen) Selama ini tujuan pembangunan pertanian adalah untuk secara terus-menerus meningkatkan produksi pertanian, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, penyediaan bahan baku bagi industri dalam negeri, maupun untuk menambah devisa negara.
Selain itu, pembangunan pertanian juga ditujukan untuk
memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan petani, pekebun, nelayan, dan peternak, mendorong pemerataan pendapatan dan kesempatan berusaha, serta memperhatikan kelestarian sumber daya. Untuk mengarahkan pembangunan pertanian, konsep pertanian yang tangguh telah disepakati. Sektor pertanian dikatakan tangguh jika memiliki empat ciri sebagai berikut:
(1) Pertanian harus memanfaatkan segala sumber daya alam secara optimal untuk kemakmuran seluruh rakyat. (2) Pertanian harus mampu mengatasi hambatan dan tantangan, seperti musim kering yang panjang dan serangan hama. (3) Pertanian harus dapat menyesuaikan diri dalam pola dan struktur produksinya terhadap perubahan yang terjadi, baik berupa perubahan permintaan masyarakat maupun perubahan teknologi. (4) Pertanian harus mampu berperan positif terhadap pembangunan nasional, seperti meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperluas lapangan pekerjaan (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2004).
Dalam kaitannya dengan masalah kemiskinan, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah pedesaan melalui peningkatan pendapatan penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin sampai bulan Juli 2007 adalah 37,17 juta (16,58 persen). Dari penduduk miskin tersebut, sekitar 63,4 persen tinggal di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian.
Oleh karena itu,
memprioritaskan pembangunan pada sektor pertanian menjadi sangat penting. Selain itu, menurut beberapa hasil penelitian, pertumbuhan sektor pertanian mencapai dua kali lebih efektif dalam menanggulangi kemiskinan jika dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya (Departemen Pertanian, 2008).
1.2. Perumusan Masalah Selama tahun 1990-2006, produktivitas sektor pertanian berada di bawah produktivitas sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (Gambar 1.3.). Padahal sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan kedua sektor tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menemukan faktor yang mempengaruhi produktivitas sektor pertanian sehingga cara penanggulangan yang tepat dapat dilakukan. Kebijakan fiskal, dalam bentuk belanja negara, diduga memiliki pengaruh terhadap
50000000 45000000
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
40000000 35000000 30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0
Industri Pengolahan
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
Perdagangan, Hotel dan Restoran
1990
Produktivitas (Rp/kapita)
produktivitas sektor pertanian.
Tahun Sumber: BPS, 1990-2006
Gambar 1.3. Produktivitas Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB Berdasarkan Harga Konstan 2000 Selama Tahun 1990-2006 (dalam Rupiah/kapita)
Dugaan ini didasarkan pada penelitian awal yang dilakukan oleh Bank Dunia (2009), yang menyatakan bahwa pada level makro, pengeluaran pemerintah sampai tahap tertentu akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan. Selain itu, dalam penelitian ini diketahui pula bahwa total pengeluaran pemerintah di sektor pertanian memiliki efek positif yang signifikan, baik secara ekonomis maupun secara statistik, terhadap tingkat pertumbuhan PDB per kapita sektor pertanian. Penemuan Bank Dunia ini selaras dengan kajian empiris yang telah dilakukan Moreno-Dodson (2008) terhadap tujuh negara dengan pertumbuhan yang cepat, termasuk Indonesia, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan PDB per kapita. Data persentase pengeluaran pemerintah pada PDB dan komposisi pengeluaran pemerintah pada tujuh negara yang diteliti oleh Moreno-Dodson dapat dilihat pada Tabel 1.1. Pengeluaran sosial dalam Tabel 1.1. terdiri dari pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan kesejahteraan, perumahan, dan pengeluaranpengeluaran yang berhubungan dengan rekreasi, budaya, dan keagamaan. Sedangkan pengeluaran ekonomi terdiri dari pengeluaran untuk bahan bakar dan energi, pertanian, kehutanan, perikanan, perburuan, pertambangan dan penggalian sumber daya mineral, industri manufaktur, bangunan, transportasi dan komunikasi, dan pelayanan-pelayanan ekonomi lainnya.
Tabel 1.1. Persentase Pengeluaran Pemerintah pada PDB dan Komposisi Pengeluaran Pemerintah pada Tujuh Negara dengan Pertumbuhan yang Cepat
Negara
Botswana
Indonesia
Republik Korea
Malaysia
Mauritius
Singapura
Thailand
Tahun 1970-1979 1980-1989 1990-1999 2000-2005 1970-1979 1980-1989 1990-1999 2000-2005 1970-1979 1980-1989 1990-1999 2000-2005 1970-1979 1980-1989 1990-1999 2000-2005 1970-1979 1980-1989 1990-1999 2000-2005 1970-1979 1980-1989 1990-1999 2000-2005 1970-1979 1980-1989 1990-1999 2000-2005
Pengeluaran pemerintah pada PDB (%) 25.53 32.53 36.91 38.83 14.69 21.17 17.23 18.33 15.48 15.91 16.39 20.71 18.96 30.58 24.23 26.99 30.16 26.81 23.59 24.36 18.07 24.99 15.60 16.58 12.39 18.39 17.61 16.33
Sumber: Moreno-Dodson, 2008 (-) menunjukkan data yang tidak tersedia
Komposisi Pengeluaran Pemerintah (%) Sosial 35.67 35.59 39.97 32.00 12.67 13.68 28.81 6.76 24.54 29.08 33.63 35.01 34.74 31.49 47.68 43.36 48.97 52.34 33.78 34.96 46.13 45.43 32.15 30.41 36.12 43.09
Ekonomi 31.37 26.32 15.46 34.55 30.52 22.21 1.87 21.04 16.10 21.97 24.96 15.65 25.39 20.43 18.36 15.98 14.96 14.43 12.32 11.04 16.58 16.00 15.38 23.25 22.24 30.92 26.27
Dari Tabel 1.1. terlihat bahwa jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, proporsi pengeluran pemerintah pada PDB di Indonesia termasuk rendah. Dari pengeluaran pemerintah pada PDB ini, komposisi pengeluaran pemerintah untuk pengeluaran ekonomi cenderung semakin menurun dan komposisi untuk pengeluaran sosial justru semakin meningkat. Hal ini juga terjadi di Botswana. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah perkembangan belanja negara untuk sektor pertanian di Indonesia tahun 1990-2006?
2.
Bagaimanakah perkembangan PDB, tenaga kerja, dan produktivitas sektor pertanian di Indonesia tahun 1990-2006?
3.
Bagaimanakah hubungan antara belanja negara untuk sektor pertanian dengan produktivitas sektor pertanian di Indonesia tahun 1990-2006?
1.3. Tujuan Penelitian Dari perumusan masalah yang telah dibuat, maka penelitian ini akan diarahkan untuk memenuhi beberapa tujuan sebagai berikut: 1. Menganalisis perkembangan belanja negara untuk sektor pertanian di Indonesia tahun 1990-2006. 2. Menganalisis perkembangan PDB, tenaga kerja, dan produktivitas sektor pertanian di Indonesia tahun 1990-2006. 3. Menganalisis hubungan antara belanja negara untuk sektor pertanian dengan produktivitas sektor pertanian di Indonesia tahun 1990-2006.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dua kalangan dalam masyarakat, yaitu: 1. Masyarakat Umum Melalui penelitian ini, masyarakat dapat mengetahui perkembangan sektor pertanian di Indonesia selama tahun 1990 sampai dengan 2006. 2. Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu panduan bagi pemerintah dalam memberlakukan kebijakan pada sektor pertanian yang lebih baik dan sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian yang terjadi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Peran Strategis Kebijakan Fiskal Salah satu perangkat yang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk mencapai sasaran pembangunan adalah kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal mempunyai tiga fungsi utama, yaitu alokasi anggaran untuk tujuan pembangunan, distribusi pendapatan dan subsidi dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, serta stabilisasi ekonomi makro di dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dalam
kondisi
perekonomian
yang
kurang
baik,
pengeluaran
Pemerintah yang bersifat autonomous, khususnya belanja barang dan jasa serta belanja modal, dapat memberi stimulus kepada perekonomian untuk tumbuh.
Sebaliknya, dalam kondisi ekonomi yang baik akibat terlalu
tingginya permintaan agregat, kebijakan fiskal dapat berperan melalui kebijakan yang kontraktif untuk menyeimbangkan kondisi permintaan dan penyediaan sumber-sumber perekonomian. Oleh karena itu, kebijakan fiskal memiliki fungsi strategis di dalam mempengaruhi perekonomian dan mencapai sasaran pembangunan. Dampak dari kebijakan fiskal pada perekonomian dapat dilihat dari dampak APBN terhadap tiga besaran pokok, yaitu sektor riil (permintaan agregat, sektor moneter, dan neraca pembayaran (cadangan devisa).
Seperti yang terjadi di negara-negara lain, saat ini kebijakan fiskal masih sangat penting, tetapi perannya sebagai sumber pertumbuhan (source of growth) cenderung berkurang apabila dibandingkan dengan peran sektor swasta yang memang diharapkan akan semakin meningkat. Di masa ini dan di masa depan, peran pemerintah akan lebih difokuskan sebagai regulator. Peran lain yang juga amat penting dari kebijakan fiskal adalah peran redistribusi dan alokasi anggaran pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, kebijakan fiskal dapat dipergunakan untuk mempengaruhi sektor-sektor ekonomi atau kegiatan
tertentu,
untuk
menyeimbangkan
pertumbuhan
pendapatan
antarsektor ekonomi, antardaerah, atau antargolongan pendapatan.
Peran
kebijakan fiskal juga menjadi penting untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam, wabah penyakit, dan konflik sosial. Belanja negara, yang termasuk alat dari kebijakan fiskal dan tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dapat digunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat melalui pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Di dalam peran strategis kebijakan fiskal, hal lain yang tak boleh dilupakan adalah proses politik anggaran yang terdiri dari perencanaan, implementasi, dan pertanggungjawaban kebijakan fiskal. Hal ini menjadi penting karena Indonesia adalah negara yang sedang dalam transisi menuju demokratisasi. Implikasinya adalah kebijakan fiskal direncanakan, ditetapkan dan dilaksanakan melalui proses yang transparan dan prosedur yang relatif
panjang serta harus melibatkan peran dan persetujuan berbagai pihak. Ini adalah konsekuensi logis dari peningkatan transparansi, demokratisasi dan keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, kunci keberhasilan kebijakan fiskal akan sangat terletak pada pemahaman bersama akan pentingnya perencanaan yang baik, pelaksanaan yang efektif, dan pertanggungjawaban kebijakan fiskal yang akuntabel dari seluruh aparat yang terkait dan masyarakat sebagai penerima manfaat kebijakan fiskal (Departemen Keuangan, 2009).
2.1.2. Belanja Negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rincian rencana kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang dinyatakan dalam nilai rupiah dan merupakan penjabaran dari GBHN dan Repelita.
Penyusunan
anggaran dilakukan dengan cermat, dengan tetap mengacu pada Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis (Departemen Keuangan,1997). Sejak awal Repelita I, APBN didasarkan pada prinsip anggaran berimbang yang dinamis, dengan tetap mengutamakan sumber dana pembangunan yang bersumber dari dalam negeri, sedangkan penerimaan pembangunan
hanya
merupakan
pelengkap.
Pengutamaan
sumber
pembiayaan pembangunan pada kemampuan dalam negeri ini mencerminkan semakin meningkatnya kemandirian dalam pembangunan. Dalam kerangka kebijakan umum ekonomi makro selama masa Orde Baru, APBN yang merupakan alat kebijakan fiskal disusun dan dilaksanakan secara serasi dan saling menunjang dengan alat-alat kebijaksan ekonomi makro lainnya, yaitu kebijakan moneter dan neraca pembayaran. Sampai tahun anggaran 2004, belanja negara dalam APBN terbagi menjadi dua, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. (1)
Pengeluaran Rutin Pengeluaran rutin merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal
yang diarahkan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pemerintahan yang bersifat rutin dan terus-menerus dan juga merupakan kebijakan yang diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan tabungan pemerintah.
Dengan demikian, selain mempunyai peranan dan
fungsi yang cukup penting dalam menunjang kelangsungan dan kelancaran jalannya roda pemerintahan, peningkatan jangkauan dan mutu pelayanan kepada masyarakat, serta terpeliharanya berbagai aset negara, pengeluaran rutin juga sangat berperan dalam menunjang terciptanya struktur pembiayaan pembangunan yang lebih mengandalkan dukungan sumber pembiayaan dari dalam negeri. Pengeluaran rutin juga memegang peranan yang cukup penting dalam mendukung program pemerataan, melalui bantuan kepada daerah otonom, dan dalam menjaga kredibilitas perekonomian nasional di dunia internasional, melalui pemenuhan kewajiban pembayaran bunga dan cicilan
hutang luar negeri secara tepat waktu dan jumlahnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Secara fungsional, pengeluaran rutin dialokasikan ke dalam pembiayaan aparatur pemerintah, pembiayaan operasional dan pemeliharaan, pembayaran bunga dan cicilan hutang, serta pembiayaan subsidi bagi kebutuhan pokok masyarakat yang strategis. Subsidi sendiri merupakan instrumen fiskal yang langsung memberi dampak pada kenaikan daya beli masyarakat. Bagi petani, subsidi diharapkan akan mendorong peningkatan produktivitas pertanian (subsidi sarana produksi seperti pupuk) dan peningkatan daya beli konsumen terhadap produksi pertanian (seperti subsidi harga bahan pangan) sehingga akan berdampak pada peningkatan produksi petani. Rata-rata pangsa subsidi pertanian sejak tahun 1970-2005 terhadap total subsidi adalah sebesar 36,90 persen, sebesar 6,70 persen terhadap pengeluaran pembangunan, 3,16 persen terhadap pengeluaran total, dan sebesar 0,68 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) (Darsono, 2009). Sebagai salah satu kebijakan pemerintah di bidang fiskal yang diarahkan untuk mendukung pencapaian berbagai tujuan pembangunan, pengalokasian pengeluaran rutin pada setiap jenis pengeluaran senantiasa selaras dengan penerimaan dalam negeri, dengan tetap mengupayakan peningkatan efisiensi, efektivitas dan peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat.
(2)
Pengeluaran Pembangunan Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran negara yang
berkaitan dengan kegiatan investasi yang dilaksanakan oleh sektor pemerintah untuk mencapai sasaran program-program pembangunan. Kebijakan pengeluaran pembangunan diarahkan pada upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Dengan demikian, pengeluaran pembangunan mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Hal ini berarti bahwa melalui pengeluaran pembangunan dilakukan alokasi sumber daya dan dana yang berhasil dihimpun, baik dari tabungan pemerintah maupun bantuan luar negeri, untuk membiayai berbagai kegiatan investasi, untuk mengusahakan terwujudnya distribusi pendapatan yang lebih baik dan stabilisasi perekonomian nasional yang makin mantap. Dalam rangka pelaksanaan ketiga fungsi tersebut, pengeluaran pembangunan dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang tercakup dalam berbagai program pembangunan yang direncanakan untuk dilaksanakan di masing-masing sektor dan subsektor. Di samping itu, dengan adanya keterbatasan dana pembangunan dibandingkan dengan kebutuhan investasi, maka alokasi anggaran pembangunan diprioritaskan pemanfaatannya bagi proyek-proyek yang produktif, yaitu proyek-proyek yang menghasilkan nilai produksi yang lebih besar daripada nilai investasinya.
Dalam rangka pelaksanaan fungsi alokasi tersebut, sejak awal Repelita I hingga tahun ke tiga Repelita VI, Pemerintah secara konsisten telah menerapkan kebijakan alokasi dana pembangunan yang didasarkan atas rencana proyek sektoral dan regional, yang mengacu kepada rencana dan prioritas yang telah ditetapkan dalam Repelita. Pemilihan proyek-proyek pembangunan yang dituangkan dalam Daftar Isian Proyek (DIP) didasarkan kepada azas-azas efisiensi dan efektivitas, untuk memilih proyek-proyek dalam sektor dan subsektor yang telah ditetapkan, yang paling produktif, menunjang pemerataan, dan menciptakan lapangan kerja. Dalam upaya menunjang pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan,
serta
mendorong
berkembangnya
kegiatan
ekonomi
masyarakat, prioritas alokasi pengeluaran pembangunan diberikan kepada pengembangan prasarana dan sarana ekonomi, penyediaan berbagai fasilitas pelayanan dasar, dan pengembangan sumber daya manusia. demikian
diharapkan
kegiatan
perekonomian
masyarakat,
Dengan seperti
perdagangan, penanaman modal, dan kegiatan ekonomi lainnya dapat lebih didorong sehingga mampu menunjang penciptaan kesempatan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. mempercepat
upaya
pemerataan
Demikian pula dalam rangka
pembangunan,
dan
penanggulangan
kemiskinan, anggaran pembangunan juga dialokasikan bagi pembiayaan pembangunan daerah. Sejak tahun 2005, anggaran belanja negara mengalami perubahan. Anggaran belanja negara yang sebelumnya terdiri dari anggaran belanja rutin
dan anggaran belanja pembangunan diubah menjadi anggaran terpadu (unified budget). Anggaran belanja terpadu ini diwujudkan dalam bentuk penyatuan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan dalam APBN menjadi satu format anggaran belanja pemerintah pusat yang komprehensif. Penyatuan kedua anggaran tersebut sangat penting untuk memastikan bahwa investasi dan belanja operasional yang berulang (recurrent) secara simultan dipertimbangkan pada saat-saat kunci pengambilan keputusan dalam penyusunan anggaran. Selain itu, pengintegrasian anggaran belanja rutin dengan anggaran belanja pembangunan diperlukan untuk memudahkan penyusunan anggaran berbasis kinerja yang diterapkan oleh pemerintah. Penyusunan anggaran belanja pemerintah pusat yang bersifat terpadu ini diikuti dengan perubahan format anggaran belanja pemerintah pusat sejak APBN tahun anggaran 2005 menjadi terinci menurut jenis belanja, organisasi, dan fungsi (Departemen Keuangan, 2005). Menurut jenis belanja, anggaran belanja pemerintah pusat terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
Rincian
anggaran belanja pemerintah pusat menurut organisasi disesuaikan dengan susunan kementerian negara atau lembaga. Anggaran belanja pemerintah pusat menurut fungsi dibedakan menjadi 11 fungsi, yaitu (1) pelayanan umum, (2) pertahanan, (3) ketertiban dan keamanan, (4) ekonomi, (5) lingkungan hidup, (6) perumahan dan fasilitas
umum, (7) kesehatan, (8) pariwisata dan budaya, (9) agama, (10) pendidikan, dan (11) perlindungan sosial.
2.1.3. Konsep Pendapatan Nasional Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) adalah indikator penting untuk dapat mengetahui kondisi ekonomi suatu negara dalam suatu periode tertentu. Pada dasarnya PDB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha di suatu negara atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Dengan PDB, produk yang dihasilkan oleh suatu negara, baik produksi dalam bentuk barang maupun jasa (goods and services), dapat diketahui dan dihitung. Dari derivasi besarnya produksi tersebut dapat diketahui besarnya pendapatan nasional negara yang bersangkutan, yang selanjutnya dapat mencerminkan
keberhasilan suatu negara atau
pemerintahan
dalam
menyejahterakan masyarakat (Badan Pusat Statistik, 2007). PDB dapat dihitung berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap tahun. PDB atas dasar harga berlaku ini dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi. PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa dan dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar. PDB atas dasar harga konstan ini digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.
Perhitungan PDB dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: (1) Menurut Pendekatan Produksi PDB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor), yaitu (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas dan air bersih, (5) bangunan, (6) perdagangan, hotel dan restoran, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan (9) jasa-jasa, termasuk jasa pelayanan pemerintah. Setiap sektor ini dirinci lagi menjadi subsektor-subsektor.
Pemecahan menjadi
subsektor ini disesuaikan dengan Klasifikasi Baku Lapangan usaha Indonesia (KLBI) 2000. (2) Menurut Pendekatan Pendapatan PDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).
Balas jasa faktor produksi yang
dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong dengan pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDB juga mencakup penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tidak langsung dikurangi subsidi).
(3) Menurut Pendekatan Pengeluaran PDB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, (2) pengeluaran konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan inventori, dan (5) ekspor neto, yaitu ekspor dikurangi impor. Secara konsep ketiga pendekatan ini akan menghasilkan angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDB yang dihasilkan dengan cara ini disebut PDB atas dasar harga pasar karena di dalamnya sudah mencakup pajak tidak langsung neto. Beberapa indikator ekonomi yang dapat diturunkan dari data PDB adalah: 1) Produk Nasional Bruto Indikator ini diperoleh dari penjumlahan PDB dengan pendapatan neto dari luar negeri. Pendapatan neto ini adalah pendapatan atas faktor produksi (tenaga kerja dan modal) milik penduduk Indonesia yang diterima dari luar negeri dikurangi dengan pendapatan yang sama milik penduduk asing yang diperoleh di Indonesia.
2) Produk Nasional Neto atas dasar harga pasar Nilai indikator ini diperoleh dari pengurangan PDB dengan seluruh penyusutan atas barang-barang modal tetap yang digunakan dalam proses produksi selama setahun. 3) Produk Nasional Neto atas dasar biaya faktor produksi Indikator ini diperoleh dari pengurangan produk nasional neto atas dasar harga pasar dengan pajak tidak langsung neto. Pajak tidak langsung neto merupakan pajak tidak langsung yang dipungut pemerintah dikurangi dengan subsidi dari pemerintah. Pajak tidak langsung dan subsidi ini dikenakan terhadap barang dan jasa yang diproduksi atau dijual. Pajak tidak langsung bersifat menaikkan harga jual, sedangkan subsidi menurunkan harga jual. Produk Nasional Neto atas dasar biaya faktor produksi ini yang disebut dengan Pendapatan Nasional. 4) Angka-angka per kapita Angka-angka per kapita merupakan ukuran-ukuran indikator ekonomi yang telah diuraikan sebelumnya dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Data Pendapatan Nasional adalah salah satu indikator makro yang dapat menunjukkan kondisi perekonomian nasional setiap tahun. Adapun beberapa kegunaan statistik dari Pendapatan Nasional ini adalah: a. PDB harga berlaku nominal menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan suatu negara.
b. PNB harga berlaku menunjukkan pendapatan yang memungkinkan untuk dinikmati oleh penduduk suatu negara. c. PDB harga konstan (riil) dapat digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke tahun. d. Distribusi PDB harga berlaku menurut sektor menunjukkan struktur perekonomian atau peranan setiap sektor ekonomi dalam suatu negara. Sektor-sektor ekonomi yang mempunyai peran besar menunjukkan basis perekonomian suatu negara. e. PDB harga berlaku menurut pengeluaran menunjukkan produk barang dan jasa digunakan untuk tujuan konsumsi, investasi dan diperdagangkan dengan pihak luar negeri. f. Distribusi PDB menurut pengeluaran menunjukkan peranan kelembagaan dalam menggunakan barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi. g. PDB pengeluaran atas dasar harga konstan bermanfaat untuk mengukur laju pertumbuhan konsumsi, investasi dan perdagangan luar negeri. h. PDB dan PNB per kapita atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai PDB dan PNB per kapita atau per satu orang penduduk. i. PDB dan PNB per kapita atas dasar harga konstan berguna untuk mengetahui pertumbuhan nyata ekonomi per kapita penduduk suatu negara.
2.1.4. Pertanian dan Produktivitas Pertanian adalah suatu proses atau kegiatan penggarapan tanah untuk tanaman budi daya, mulai dari penanaman sampai pemeliharaan, pemungutan hasil, dan pengolahan pasca panen; kegiatan ini juga meliputi bidang perikanan dan pemeliharaan ternak (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2004). Dalam perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB), sektor pertanian meliputi lima subsektor, yaitu subsektor tanaman bahan makanan (tabama), tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, kehutanan, dan perikanan (Badan Pusat Statistik, 2007). Sinungan (1995) mengartikan produktivitas sebagai hubungan antara hasil nyata maupun fisik (barang atau jasa) dengan masukan yang sebenarnya atau merupakan rasio antara keluaran (output) dengan keseluruhan peralatan produksi yang dipergunakan (input).
Masukan sering dibatasi dengan
masukan tenaga kerja, sedangkan keluaran diukur dalam kesatuan fisik, bentuk dan nilai.rasio antara apa yang dihasilkan (output) dengan keseluruhan peralatan produksi yang dipergunakan (input).
Produktivitas ini dapat
dinyatakan dengan PDB dibagi dengan tenaga kerja. Produktivitas penting dalam meningkatkan kesejahteraan nasional karena pendapatan nasional lebih banyak diperoleh dari peningkatan keefektifan dan mutu tenaga kerja dibandingkan melalui formasi modal dan penambahan kerja.
Peningkatan produktivitas dapat secara langsung
meningkatkan standar hidup yang berada di bawah kondisi distribusi yang sama dari perolehan produktivitas yang sesuai dengan masukan tenaga kerja.
2.1.5. Konsep dan Definisi Ketenagakerjaan Batasan (definisi) variabel ketenagakerjaan yang berkaitan dengan Konsep Labor Force Approach oleh Badan Pusat Statistik telah diberlakukan sejak tahun 1976. Definisi yang dimaksud adalah: (1)
Penduduk, yaitu semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan untuk menetap.
(2)
Penduduk Usia Kerja, yaitu penduduk yang berumur 15 tahun ke atas.
(3)
Angkatan Kerja, yaitu penduduk usia kerja yang bekerja atau mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja dan atau penduduk yang termasuk dalam pengangguran.
(4)
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), yaitu rasio antara penduduk yang termasuk angkatan kerja terhadap total penduduk usia kerja.
(5)
Bukan angkatan kerja, yaitu penduduk usia kerja (berumur 15 tahun ke tas) yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan.
Bukan
angkatan kerja dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: mereka yang mempunyai kegiatan bersekolah, mengurus rumah tangga, dan lainnya (pensiun, cacat, dan tidak mampu bekerja).
Beberapa definisi dan penjelasan lainnya adalah: 1.
Pekerjaan Utama, yaitu satu-satunya pekerjaan yang dimiliki seseorang, pekerjaan yang dilakukan dengan waktu terbanyak (jika memiliki pekerjaan lebih dari satu), atau pekerjaan yang memberikan penghasilan terbesar (jika waktu melakukan pekerjaannya sama).
Seseorang
dikatakan mempunyai pekerjaan lebih dari satu jika pekerjaan yang dilakukan berada di bawah pengelolaan yang terpisah. 2.
Lapangan
Pekerjaan,
yaitu
bidang
kegiatan
dari
pekerjaan/usaha/perusahaan/instansi dimana seseorang bekerja. 3.
Usaha Pertanian, yaitu usaha yang meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan perburuan, termasuk juga jasa pertanian.
4.
Usaha Non Pertanian, yaitu usaha yang meliputi pertambangan, industri, listrik, gas, dan air, konstruksi/bangunan, perdagangan, angkutan, pergudangan dan komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah, dan jasa perusahaan, jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan.
2.1.6. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor Pertanian Menurit Fuglie (2003), pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia pada akhir tahun 1960an sampai dengan tahun 1980an disebabkan oleh peningkatan jumlah faktor produksi konvensional dan perbaikan produktivitas. Stagnasi pada pertumbuhan sektor pertanian yang terjadi sejak tahun 1990an
disebabkan oleh tingkat investasi publik dan privat yang rendah, dimana investasi publik pada penelitian dan pengembangan, infrastuktur pedesaan atau irigasi adalah pelengkap yang diperlukan bagi investasi privat dalam sektor pertanian. Penelitian yang dilakukan Food and Agriculture Organization (FAO) terhadap 18 negara di Amerika Latin menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk wilayah pedesaan memiliki dampak yang positif pada pertumbuhan PDB per kapita sektor pertanian (Allcott, et al., 2006). Dengan mengasumsikan jumlah pengeluaran untuk sektor pertanian adalah tetap, pengeluaran untuk subsidi input-input privat memberikan dampak negatif pada pertumbuhan sektor pertanian karena mengurangi proporsi pengeluaran yang digunakan untuk penyediaan barang-barang publik. Kajian empiris yang dilakukan Moreno-Dodson (2008) terhadap tujuh negara dengan pertumbuhan yang cepat, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa
terdapat
hubungan
pertumbuhan PDB per kapita.
antara
pengeluaran
pemerintah
dengan
Dalam kajian ini, hanya Indonesia yang
dampak keseluruhan terhadap pertumbuhannya tidak dapat disimpulkan. Penjelasan yang dapat diberikan adalah (1) adanya penurunan yang penting dalam anggaran; (2) rendahnya efektifitas pemerintah meskipun ada perkembangan yang baik; dan (3) komposisi pengeluaran yang tidak mencerminkan pertumbuhan Indonesia yang cepat dalam empat dekade terakhir.
Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan oleh Bank Dunia (2009), pada level makro, pengeluaran pemerintah sampai tahap tertentu akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan. Untuk mendapatkan pengaruh yang positif, maka pengeluaran pemerintah ini harus dialokasikan pada sektor-sektor yang produktif. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan 3 hal, yaitu: (1) total pengeluaran pemerintah di sektor pertanian memiliki efek positif yang signifikan, baik secara ekonomis maupun secara statistik, terhadap tingkat pertumbuhan GDP per kapita sektor pertanian; (2) hanya pengeluaran untuk pertanian dan irigasi yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan, sedangkan pengeluaran untuk subsidi pupuk secara signifikan berpengaruh negatif; dan (3) melakukan realokasi pengeluaran untuk penyediaan barang-barang publik (penelitian dan pengembangan, perluasan jasa, irigasi) dapat mempercepat pertumbuhan. Peningkatan produktivitas beberapa komoditi pertanian dari tahun 1975 sampai dengan 2007 diantaranya disebabkan oleh investasi untuk irigasi, infrastruktur pedesaan, perluasan jasa, serta penelitian dan pengembangan, bersamaan dengan penggunaan input (pupuk dan modal) secara intensif. Secara signifikan, pertumbuhan pertanian di Indonesia lebih rendah dibandingkan beberapa negara Asia lainnya, seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Dalam perekonomian secara keseluruhan, pertumbuhan sektor pertanian secara konsisten berada di bawah sektor-sektor lainnya, seperti sektor industri dan jasa. Pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian telah meningkat
secara signifikan dalam dekade ini, baik secara absolut maupun pangsanya dalam pengeluaran total.
Sejak tahun 2001, subsidi sudah ditingkatkan
sampai 300 persen. Tetapi hal ini tidak diikuti dengan peningkatan produksi. Salah satu hal yang dilakukan Departemen Pertanian dalam memprioritaskan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani adalah dengan mengalokasikan dana dari pengembangan agribisnis yang pada tahun 2005 diturunkan sebesar 40 persen dari anggaran menjadi hanya enam persen pada tahun 2009.
Sebesar 40 persen dari pengeluaran Departemen Pertanian
diklasifikasikan dalam kategori bantuan sosial dan sebagian besar bantuan sosial ini digunakan untuk membeli input-input privat seperti benih, mesinmesin, dan pompa air. Pengeluaran Departemen Pertanian untuk beberapa hal meningkat secara tajam, yaitu untuk Gen Secretary, tanaman pangan DG, lahan DG, dan manajemen pengairan. Pengeluaran untuk agensi sumber daya manusia sebagai perluasan jasa juga meningkat secara tajam. Beberapa fakta lainnya yang ditemukan oleh Bank Dunia berdasarkan penelitiannya adalah (1) pengeluaran pemerintah pada sektor pertanian memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan pertanian; (2) komposisi dari pengeluaran menentukan dampak yang diberikan, pengeluaran untuk barangbarang publik berdampak positif, sedangkan subsidi untuk input privat cenderung berdampak negatif; (3) untuk kasus Indonesia, pengeluaran pemerintah berdampak positif terhadap pertumbuhan, tetapi tergantung dari komposisi pengeluarannya; (4) selama delapan tahun terakhir, pengeluaran untuk pertanian di Indonesia meningkat secara signifikan, terutama untuk
subsidi barang-barang privat (pupuk dan benih, bantuan sosial); dan (5) berdasarkan pengalaman secara internasional dan penemuan di Indonesia, masih belum jelas apakah pengeluaran jenis ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap produktivitas. Sistem Monitoring and Evaluation (M&E) yang solid dapat membuat pemerintah Indonesia menunjukkan pengaruh dari pengeluaran ini.
2.1.7. Transformasi Pertanian Lebih dari dua pertiga penduduk termiskin di dunia menetap di wilayah pedesaan yang penghidupan pokoknya bersumber dari pola pertanian subsisten. Jika suatu negara menghendaki pembangunan yang lancar dan berkesinambungan, maka negara itu harus memulainya dari daerah pedesaan pada umumnya, dan sektor pertanian pada khususnya.
Permasalahan
kemiskinan yang terus meluas, ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin parah, laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, dan terus meningkatnya tingkat pengangguran pada awalnya tercipta dari stagnasi serta kemunduran kehidupan ekonomi di daerah-daerah pedesaan secara terus menerus. Secara tradisional, peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi dipandang pasif dan hanya sebagai unsur penunjang.
Berdasarkan
pengalaman historis negara-negara Barat, pembangunan ekonomi identik dengan transformasi struktural yang cepat terhadap perekonomian, yaitu dari perekonomian yang bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi industri
modern dan pelayanan masyarakat yang lebih kompleks. Dengan demikian, peran utama pertanian hanya dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah demi berkembangnya sektor industri yang dianggap sebagai sektor unggulan dinamis dalam strategi pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Beberapa tahun terakhir ini, para pakar ilmu ekonomi pembangunan kurang memberikan perhatian yang besar pada upaya industrialisasi secara cepat. Mereka menyadari bahwa daerah pedesaan pada umumnya dan sektor pertanian pada khususnya ternyata tidak bersifat pasif, tetapi jauh lebih penting dari hanya sebagai penunjang dalam proses pebangunan ekonomi secara keseluruhan.
Keduanya harus ditempatkan pada kedudukan
sebenarnya, yaitu sebagai unsur atau elemen unggulan yang sangat penting, dinamis, dan sangat menentukan strategi-strategi pembangunan secara keseluruhan. Setidaknya, hal ini berlaku untuk 61 negara sedang berkembang berpendapatan rendah (Todaro dan Smith, 2003). Suatu strategi pembangunan ekonomi yang berlandaskan prioritas pertanian dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga unsur pelengkap dasar, yaitu: (1)
Percepatan pertumbuhan output melalui serangkaian penyesuaian teknologi, institusional, dan insentif harga yang khusus dirancang untuk meningkatkan produktivitas para petani kecil;
(2)
Peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian yang dihasilkan dari strategi pembangunan perkotaan yang berorientasikan pada upaya pembinaan ketenagakerjaan; dan
(3)
Diversifikasi kegiatan pembangunan daerah pedesaan yang bersifat padat karya, yaitu non pertanian, yang secara langsung maupun tidak langsung akan menunjang dan ditunjang oleh masyarakat pertanian.
2.1.8. Pembangunan Sektor Pertanian Industrialisasi seringkali dianggap sebagai “kunci” yang dapat membawa masyarakat ke arah kemakmuran.
Selain dapat meningkatkan
produksi barang-barang, industrialisasi diperkirakan dapat menyelesaikan masalah kesempatan kerja yang semakin sempit di sektor pertanian. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa pemilihan prioritas yang mengarah pada industrialisasi mengandung pengandaian adanya kelemahan di sektor pertanian.
Keberhasilan industrialisasi sebenarnya tergantung pada
pembangunan pertanian yang dapat menciptakan landasan bagi pertumbuhan ekonomi.
Menurut Rahardjo (1986) beberapa alasan yang mendasari
pentingnya pembangunan sektor pertanian terlebih dahulu adalah: (1)
Barang-barang industri memerlukan dukungan daya beli masyarakat. Tingkat pendapatan petani perlu ditingkatkan melalui pembangunan pertanian karena sebagian besar calon pembelinya adalah masyarakat petani;
(2)
Diperlukan bahan-bahan makanan yang murah untuk menekan biaya produksi dari komponen gaji dan upah sehingga gaji dan upah yang diterima dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan pokok buruh dan pegawai. Hal ini dapat dicapai apabila produksi pertanian, terutama pangan, dapat ditingkatkan sehingga harganya menjadi lebih murah dan terjangkau oleh daya beli mereka; dan
(3)
Industri membutuhkan bahan mentah yang berasal dari sektor pertanian sehingga produksi bahan-bahan industri memberikan basis bagi pertumbuhan industri itu sendiri. Soekartawi (1995) menyatakan
bahwa
pembangunan
pertanian
dikatakan berhasil jika pertumbuhan sektor pertanian tinggi dan terjadi perubahan masyarakat tani dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Ada beberapa aspek yang perlu diantisipasi pada era globalisasi yang berkaitan dengan pembangunan pertanian, yaitu pendekatan teknologi, perubahan harga, meningkatnya jumlah produsen, menurunnya harga, menurunnya lahan pertanian, meningkatnya kesadaran kesehatan, perubahan iklim, pembiayaan usahatani, dan perubahan pola hidup. Berdasarkan aspek-aspek ini, maka indikasi produk pertanian yang diusahakan adalah sebagai berikut: (1)
Produk pertanian yang mempunyai nilai tambah tinggi;
(2)
Produk pertanian yang diusahakan di lahan yang relatif sempit;
(3)
Penggunaan teknologi yang modern (maju);
(4)
Pemasarannya dalam bentuk produk sekunder; dan
(5)
Produk pertanian yang mempunyai potensi pasar. Paradigma dalam pembangunan pertanian yang perlu mendapatkan
perhatian para perencana dan pelaksana pembangunan pertanian adalah: (1)
Dari pendekatan sentralisasi ke desentralisasi;
(2)
Dari pendekatan komoditas ke sumber daya;
(3)
Dari pendekatan pendapatan petani ke peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan;
(4)
Dari skala usaha pertanian subsisten ke komersial;
(5)
Dari padat karya ke mesin;
(6)
Dari komoditi primer ke komoditi yang mempunyai nilai tambah tinggi;
(7)
Dari pendekatan “tarik tambang” ke “dorong gelombang”; dan
(8)
Dari dominasi pemerintah ke partisipasi swasta yang lebih besar.
2.2. Tinjauan Empiris 2.2.1. Penciptaan Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan Berdasarkan analisis dekomposisi Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang dilakukan oleh Herliana (2004) ada tiga kesimpulan utama yang berkaitan dengan sektor pertanian, yaitu: (1)
Strategi pembangunan berdasarkan industri yang berbasiskan sektor pertanian sangat relevan untuk dikembangkan karena beberapa alasan, yaitu:
(i) Sektor pertanian mampu menyerap 50 persen tenaga kerja, sebagian besar merupakan penduduk yang kurang mampu di daerah pedesaan yang identik dengan sektor pertanian; (ii) Sebagian besar sumber daya alam yang dapat diperbaharui adalah sumber daya pertanian dan sektor produksi yang memiliki local content sangat tinggi hanyalah sektor pertanian; (iii) Sektor pertanian memberikan pengaruh yang lebih besar dalam memacu kegiatan dan output perekonomian domestik karena berorientasi pada pasar lokal dan sebagian besar pola konsumsi masyarakat berbasiskan sektor pertanian; dan (iv) Produk olahan sektor pertanian mampu menyumbangkan devisa yang cukup besar bagi perekonomian nasional. (2)
Pembangunan di sektor pertanian berdampak lebih besar dalam mendorong pertumbuhan produktivitas dan penciptaan kapital terhadap perekonomian Indonesia. Beberapa alasan yang mendasari pernyataan tersebut adalah: (i) Pembangunan sektor pertanian berdampak paling besar terhadap gross output dan nilai tambah; (ii) Sektor pertanian memiliki keterkaitan yang paling tinggi dengan peningkatan produksi di sektor-sektor kegiatan produksi lainnya; dan (iii) Sektor pertanian berpengaruh paling besar terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya di daerah pedesaan.
(3)
Transaksi-transaksi yang mengikuti sekuens keterkaitan dengan sektor pertanian menunjukkan bahwa dampak yang besar terhadap kenaikan pendapatan masyarakat akibat adanya pembangunan sektor pertanian ditransmisikan melalui faktor produksi tenaga kerja pertanian dan faktor produksi lahan, dalam bentuk pengembalian berupa upah/gaji dan tingkat sewa.
2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian ini secara umum dilakukan untuk menganalisis pengaruh kebijakan publik
pemerintah terhadap kinerja
perekonomian Indonesia.
perekonomian yang akan diteliti adalah kinerja sektoral.
Kinerja
Pengaruh kebijakan
fiskal sebagai kebijakan publik yang digunakan inilah yang akan dilihat pengaruhnya terhadap kinerja sektoral.
Sektor yang menjadi fokus utama
penelitian ini adalah sektor pertanian. Bagian dari sektor pertanian yang akan dianalisis adalah produktivitas pertanian. Alat dari kebijakan fiskal yang digunakan adalah pengeluaran pemerintah berupa belanja negara yang terbagi menjadi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian, yang terinci dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Untuk mempermudah pemahaman kerangka pemikiran ini, maka alur kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Moneter
Kebijakan Fiskal
Pajak (T)
Pengeluaran Pemerintah (G) Anggaran untuk Sektor Pertanian
Analisis dengan metode Weighted Least Square
Pengeluaran Rutin
Pengeluaran Pembangunan
Kinerja Sektor Pertanian Produktivitas Sektor Pertanian (PDB/Angkatan Kerja Sektor Pertanian)
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
2.4. Hipotesis Hipotesis penelitian ini ada tiga, yaitu bahwa: 1.
Pengeluaran rutin untuk sektor pertanian berpengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas sektor pertanian.
2.
Pengeluaran pembangunan untuk sektor berpengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas sektor pertanian.
3.
Pengaruh pengleluaran pembangunan terhadap produktivitas sektor pertanian lebih besar daripada pengeluaran rutinnya.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan digunakan adalah data sekunder, yang berupa data Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (RAPBN), data Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, dan data angkatan kerja nasional untuk tahun 1990 sampai dengan tahun 2006. Data RAPBN yang diambil khususnya adalah data pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian selama tahun 1990 sampai dengan 2006. Data ini diperoleh dari beberapa publikasi yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan. Data PDB nasional diperoleh dari beberapa publikasi Badan Pusat Statistik (BPS). Data PDB yang digunakan adalah PDB berdasarkan harga konstan 1983, 1993, dan 2000 dari tahun 1990 sampai dengan 2006, yang nantinya akan dikonversi menjadi hanya berdasarkan harga konstan 2000 saja. Data angkatan kerja yang digunakan berasal dari beberapa publikasi BPS, yaitu data penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut status pekerjaan utama dan lapangan pekerjaan utama dan data penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut status pekerjaan utama dan lapangan pekerjaan utama selama tahun 1990 sampai dengan 2006.
Penggunaan data angkatan kerja ini dilakukan karena
mampu memberikan ukuran jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian dengan lebih baik daripada menggunakan data pekerja/karyawan/buruh. Data produktivitas yang akan digunakan diperoleh dari hasil pembagian nilai PDB sektor pertanian dengan jumlah angkatan kerja di sektor pertanian pada tahun yang sama.
2.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data dan informasi yang diperoleh akan diolah secara kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif akan disampaikan secara narasi. Sedangkan dengan menggunakan Microsoft Excell 2007 dan Minitab 15, data kuantitatif akan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik, serta secara narasi diuraikan. 2.2.1. Analisis Deskriptif Analisis ini dilakukan melalui analisis tabel dan grafik yang berisi datadata yang telah tersedia. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai perkembangan belanja negara untuk sektor pertanian, PDB sektor
pertanian,
tenaga
kerja
sektor
pertanian,
serta
melihat
perkembangan produktivitas sektor pertanian di Indonesia selama tahun 1990 sampai dengan 2006.
2.2.2. Analisis Regresi Persamaan regresi merupakan persamaan linier yang menggambarkan pola hubungan antara variabel tak bebas (dependent variable) dengan satu atau lebih variabel bebas (independent variable). Koefisien-koefisien dari
faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produktivitas sektor pertanian Indonesia,
sebagai
variabel
tak
bebas,
dapat
diperoleh
dengan
menggunakan model regresi berikut ini:
dimana: PRD
= Produktivitas sektor pertanian Indonesia (Rp/kapita) = Konstanta
… = Koefisien regresi = Pengeluaran rutin untuk sektor pertanian (Rp) =Pengeluaran Pembangunan untuk sektor pertanian (Rp) t
t
= Variabel acak/Kesalahan pengganggu = waktu
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis regresi adalah sebagai berikut (Gujarati, 1978): 1. Linieritas Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan linear antara variabel tak bebas (Y) dengan variabel bebas X1, X2, X3, …, Xn. Biasanya uji ini digunakan sebagai prasyarat dalam analisis korelasi atau regresi linear. Dua variabel dikatakan berhubungan linear jika signifikansinya kurang dari taraf uji ( ).
2. Homoskedastisitas (kesamaan varian) Pengujian homoskedastisitas dapat dilakukan melalui uji White. Metode lain untuk menguji homoskedastisitas adalah dengan metode visual, yaitu dengan melihat penyebaran nilai-nilai residual terhadap nilai-nilai dugaan. Jika penyebarannya tidak membentuk pola tertentu, maka keadaan homoskedastisitas terpenuhi. 3. Tidak terjadi autokorelasi Autokorelasi adalah terjadinya korelasi antara variabel serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (time series) atau ruang (cross section).
Autokorelasi dalam model regresi menyebabkan penduga
yang digunakan tidak efisien, meskipun tetap tak bias (unbiased) dan konsisten.
Selain itu, penduga akan memberikan gambaran yang
menyimpang dari nilai populasi yang sebenarnya.
Ada tidaknya
autokorelasi dapat dideteksi dengan Run Chart pada Minitab 15. 4. Tidak terjadi multikolinearitas Multikolinearitas menunjukkan adanya hubungan linear yang sempurna diantara beberapa atau semua variabel bebas dari model regresi. 5. Normalitas Asumsi normalitas diuji dengan menggunakan Normal Q-Q plot of regression standardised antara expected cumulative probability dengan observed cumulative probability. Jika sebaran tidak mengikuti pola garis lurus pada normal plot, maka asumsi kenormalan tidak terpenuhi.
Apabila asumsi-asumsi ini terpenuhi, maka akan dihasilkan penduga parameter yang bersifat Best Linier Unbiased Estimator (BLUE).
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuadrat terkecil terboboti atau Weighted Least Square (WLS) yang bersifat Robust. Sebuah penduga dikatakan robust jika penduga tersebut tidak terpengaruh secara signifikan dengan adanya pencilan (outliers) dalam data observasi. Penggunaan metode yang bersifat Robust ini diperlukan karena terdapat beberapa data pencilan pada data beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Pencilan (outliers) sendiri merupakan suatu observasi yang sangat berbeda dari observasi lainnya sehingga memunculkan dugaan bahwa observasi tersebut digerakkan oleh mekanisme yang berbeda (Hawkins, 1980). Menurut Fox (2002), ada beberapa prosedur yang perlu dilakukan ketika menggunakan metode ini, yaitu: (1)
Menghitung galat dari pendugaan parameter model
dengan: yi
= data pengamatan ke-i, = data hasil pendugaan ke-i,
i
= 1,2, …, n
(2)
Menghitung bobot data pengamatan ke-i (wi), sebagai berikut: ! "#$%& & ' ( & ,( " # $%& *
) +
dengan: m
= 1,345 ; = simpangan baku galat
i (3)
= 1,2, …, n
Meminimumkan jumlah dari kuadrat galat terkecil terboboti: min ./
012
3
Pada metode ini, data yang dianggap pencilan diberi bobot < 1 sehingga memiliki peranan yang kecil ketika jumlah kuadrat galat diminimumkan. Dengan demikian, metode ini menjadi tahan terhadap pengaruh pencilan atau berifat Robust.
2.2.3. Pengujian terhadap Model Regresi Untuk memperoleh model yang baik, perlu dilakukan pengujianpengujian berikut ini: 1.
Pengujian Parameter Model Regresi Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui signifikan atau tidaknya penduga parameter.
a.
Uji-F (overall F Test) Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara signifikan berpengaruh terhadap variabel tak bebas. Pengujian hipotesis: H0 :
1
=
2
= … = 0, berarti variabel bebas tidak mempengaruhi
variabel tak bebas secara signifikan Hi :
0, berarti variabel bebas secara signifikan mempengaruhi
i
variabel tak bebas. Statistik Uji: 45
678 ; 9: 67<; =:9
0 > ? ; 9:
= 0 * +? ; =:9 +
Kriteria pengujian: Jika Fhit > F (k-1), (n-k-1), maka H0 ditolak. dimana: JKR
= Jumlah Kuadrat Regresi
JKS
= Jumlah Kuadrat Sisa
k
= Jumlah variabel independen
n
= Banyaknya sampel = Taraf uji
b.
Uji-t (Uji Parsial) Uji ini dilaukan untuk mengetahui apakah variabel bebas tertentu mempengaruhi variabel tak bebas secara signifikan.
Pengujian hipotesis: H0
:
i
= 0, berarti variabel bebas tersebut tidak mempengaruhi
variabel tak bebas secara signifikan Hi :
0, berarti ada pengaruh yang signifikan dari variabel bebas
i
tersebut terhadap variabel tak bebas. StatistikUji: 5
@+
A* @+
; dimana se( i) = galat baku
i
Briteria pengujian: Jika thit > t /2; (n-k) atau thit < - t /2; (n-k), maka H0 ditolak.
2.
Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi digunakan untuk menilai kemampuan model. Kemampuan model ini dilihat dari proporsi keragaman variabel tak bebas yang dapat ditunjukkan oleh model melalui variabel-variabel bebasnya. 678
6D)EF5 7DFGHF 8*IH*A
67C
=
!
67C:67<
6D)EF5 7DFGHF CJ FE
67C
= !
; atau
0 *+ ?
0 >+ ?
Apabila R2 digunakan untuk membandingkan dua atau lebih model regresi,
maka
banyaknya
variabel bebas dalam
model perlu
diperhitungkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan koefisien determinasi yang disesuaikan (R2 adjusted), yaitu derajat
bebasnya (df) disesuaikan. Koefisien determinasi yang disesuaikan ini dirumuskan dengan: FGK
!
67<
67C
=!
0 *+ ? ; =:9 0 >+ ? ; =:
2.2.4. Pemilihan Model Terbaik Model terbaik dari variabel-variabel yang diteliti dapat diperoleh dengan menggunakan metode eliminasi backward.
Eliminasi backward
adalah salah satu prosedur pemilihan model terbaik dalam regresi, yaitu dengan mengeliminasi variabel bebas yang membangun model secara bertahap. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: 1.
Memasukkan semua variabel bebas ke dalam persamaan.
2.
Menghitung nilai F parsial untuk tiap variabel bebas dan menguji F parsial tersebut.
3.
Membandingkan nilai F parsial dengan F tabel pada
tertentu, jika F
parsial terkecil lebih kecil daripada F tabel, maka variabel tersebut dikeluarkan dari persamaan. 4.
Menyusun kembali persamaan tanpa mengikutsertakan variabel yang telah dikeluarkan kemudian mengulang langkah 2 dan 3.
5.
Proses pengurangan variabel dihentikan jika tidak ada lagi nilai F parsial yang lebih kecil daripada F tabel, yang berarti model persamaan terbaik telah didapat.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Analisis Belanja Negara untuk Sektor Pertanian Rincian belanja negara untuk sektor pertanian selama tahun 1990 sampai
dengan 2006 telah mengalami empat kali perubahan. Perubahan-perubahan ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Walaupun terjadi empat kali perubahan perincian, belanja negara untuk sektor pertanian secara umum mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.1. 4.1.1. Pengeluaran Rutin Dalam struktur anggaran negara, pengeluaran rutin diarahkan untuk membiayai berbagai kegiatan operasional pemerintahan dan pelaksanaan tugastugas
pembangunan
yang
bersifat
terus-menerus,
memenuhi
kewajiban
pemerintah terhadap pihak-pihak di dalam negeri dan di luar negeri, serta pelaksanaan berbagai kegiatan pemerintah lainnya. Selaras dengan perkembangan dan semakin meluasnya penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelaksanaan tugas-tugas pembangunan, anggaran yang dibutuhkan dalam pengeluaran rutin semakin meningkat tiap tahunnya. Dilihat dari jumlahnya, meningkatnya pengeluaran rutin sangat erat kaitannya dengan meningkatnya
kebutuhan
pembiayaan
aparatur
pemerintah,
pembiayaan
operasional dan pemeliharaan, serta semakin besarnya pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri yang harus dipenuhi.
Tabel 4.1. Belanja Negara untuk Sektor Pertanian Tahun 1990-2006 (dalam Milyar Rupiah)
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pengeluaran (Milyar Rp) Rutin Pembangunan 111.24 2391.62 122.58 2815.61 153.34 2955.20 171.71 3081.84 174.01 2676.66 200.37 3145.85 384.36 3612.83 616.30 4129.10 666.14 6092.96 794.00 8079.47 5517.15 4972.22 768.20 6098.50 849.80 6468.20 955.73 8257.95 874.65 8210.61 874.65 8210.61 874.65 8210.61
Sumber: Departemen Keuangan, 1990-2006 (diolah)
Krisis ekonomi yang dipicu oleh depresiasi rupiah yang sangat tajam terhadap dolar Amerika sejak pertengahan tahun 1997, telah menyebabkan kebutuhan anggaran belanja rutin semakin meningkat, terutama untuk beberapa pos pembiayaan yang mengandung komponen valuta asing, seperti pembayaran bunga dan pokok hutang luar negeri dan subsidi BBM. Selain itu, terjadinya depresiasi rupiah ini menyebabkan harga berbagai bahan kebutuhan pokok masyarakat meningkat tajam sehingga perlu dialokasikan beberapa jenis subsidi bahan pangan, obat-obatan, dan listrik.
Jumlah (milyar rupiah)
6000.00 5000.00 4000.00 3000.00 2000.00
Pengeluaran Rutin
1000.00 0.00
Tahun Sumber: Departemen Keuangan, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.1. Pengeluaran Rutin Sektor Pertanian Tahun 1990-2006 (dalam milyar Rupiah)
Dengan adanya perkembangan keadaan tersebut, kebutuhan anggaran rutin untuk sektor pertanian sejak tahun anggaran 1997/1998 sampai dengan tahun anggaran 1999/2000 mengalami peningkatan yang cukup besar (Gambar 4.1.). Peningkatan yang cukup tinggi ini berkaitan erat dengan subsidi pangan. Subsidi pangan ini diberikan karena kondisi perekonomian yang memburuk telah mengakibatkan penurunan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok, terutama bahan pangan. Selain itu, menurunnya hasil produksi pertanian pada tahun 1997-1998 akibat musim kemarau yang panjang dan terjadinya kebakaran hutan di beberapa daerah, juga menyebabkan persediaan bahan pangan dalam negeri berkurang dan mengganggu sistem distribusi sehingga harga bahan pokok semakin tinggi. Komoditas yang disubsidi adalah beras, kedelai, jagung, terigu, gula, dan bungkil kedelai.
Pada tahun 2000, pengeluaran rutin sektor pertanian meningkat sangat tajam. Peningkatan yang tajam ini disebabkan oleh alokasi pengeluaran rutin untuk subsektor kehutanan meningkat tajam.
Hal ini dikarenakan subsektor
kehutanan memperoleh cadangan dana reboisasi sebesar Rp 4.744,8 milyar. Selain itu, anggaran tersebut digunakan untuk membiayai program pembinaan produksi kehutanan, yang meliputi pembinaan prakondisi pengelolaan hutan, pencegahan dan pemulihan kerusakan hutan, tanah, dan air, peningkatan usaha konservasi di dalam dan di luar kawasan hutan, pembinaan pengusahaan hutan, serta penyelenggaraan penyuluhan di bidang kehutanan. Anggaran tersebut juga digunakan untuk menunjang pembiayaan rutin untuk berbagai kantor daerah, seperti balai informasi dan sertifikasi hasil hutan, balai konservasi sumber daya alam, taman-taman nasional, balai penelitian, balai teknologi reboisasi dan perbenihan, serta berbagai kantor vertikal lainnya yang berada di daerah-daerah. Sedangkan anggaran rutin pada subsektor pertanian lainnya digunakan untuk menunjang pembinaan dan pengembangan pertanian tanaman pangan dan hortikultura,
pembinaan
dan
pengembangan
agribisnis,
pembinaan
dan
pengembangan perkebunan dan perikanan, serta penyelenggaraan karantinan pertanian.
Selain itu, anggaran tersebut juga digunakan untuk mendukung
pembinaan usaha tani dan nelayan, pembinaan pengolahan hasil perikanan, serta pembinaan dan pengembangan usaha-usaha peternakan. Penurunan yang tajam pada pengeluaran rutin untuk tahun 2001 disebabkan tidak adanya cadangan dana reboisasi untuk subsektor kehutanan. Selain itu, penurunan juga terjadi dikarenakan pemerintah menghapuskan
beberapa jenis subsidi secara bertahap, yaitu subsidi pupuk, subsidi harga gula, subsidi jagung dan kedelai, serta subsidi pakan ternak. Pada tahun ini, subsidi non BBM yang dialokasikan berupa (1) subsidi pangan, yang diberikan melalui program Operasi Pasar Khusus (OPK) beras Bulog untuk menyediakan beras murah bagi masyarakat, (2) subsidi listrik akibat penetapan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang lebih rendah dari harga pokok produksinya, dan (3) subsidi bunga kredit program untuk Kredit Usaha Tani, Kredit Koperasi, Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA), Kredit Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS) dan Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), termasuk juga di dalamnya adalah beban resiko (risk sharing) bagi kredit yang tidak dapat ditagih kembali (default).
4.1.2. Pengeluaran Pembangunan Pengeluaran pembangunan dalam APBN menggambarkan usaha negara untuk merealisasikan sasaran-sasaran pembangunan sektor pemerintah, yang secara operasional dijabarkan dalam bentuk proyek-proyek pembangunan beserta pembiayaannya. Sebagai sumber utama pembiayaan investasi sektor pemerintah, anggaran pembangunan dialokasikan terutama untuk membiayai berbagai proyek, baik fisik maupun nonfisik, yang tidak dapat dibiayai dan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat.
Dengan demikian, anggaran negara yang terbatas dapat lebih
dihemat untuk dialokasikan secara optimal bagi pembiayaan program-program pembangunan sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan.
Peningkatan yang tajam pada pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian terjadi pada tahun 1998 (Gambar 4.2.). Penyebab dari peningkatan ini adalah karena pada tahun tersebut Departemen Pertanian memperoleh alokasi anggaran yang cukup besar.
Anggaran ini digunakan untuk pembangunan
pertanian rakyat terpadu di 27 provinsi di Indonesia, pengkajian teknologi pertanian, pembangunan usaha peternakan, pembangunan usaha perikanan, pengembangan usaha perkebunan di seluruh provinsi di Indonesia, serta pengembangan sumber daya, sarana dan prasarana tanaman pangan dan hortikultura di 27 provinsi di Indonesia.
Jumlah (milyar rupiah)
9000.00 8000.00 7000.00 6000.00 5000.00 4000.00 Pengeluaran Pembangunan
3000.00 2000.00 1000.00 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
0.00
Tahun Sumber: Departemen Keuangan, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.2. Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Tahun 1990-2006 (dalam milyar Rupiah)
Pada tahun 1999, pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian meningkat. Anggaran pembangunan ini diarahkan untuk penyediaan bibit unggul,
intensifikasi pertanian, dan bantuan sarana produksi lainnya dalam rangka program jaring pengaman sosial di bidang peningkatan produksi dan ketahanan pangan (food security). Selain itu, anggaran ini juga digunakan untuk membiayai proyek-proyek padat karya untuk menciptakan dan memperluas kesempatan kerja yang sebanyak-banyaknya di sektor kehutanan. Pada tahun 2000, walaupun anggaran pembangunan menurun, anggaran yang tersedia masih mampu untuk membiayai berbagai kegiatan.
Anggaran
tersebut digunakan untuk mendukung peningkatan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui perluasan areal tanam, peningkatan mutu intensifikasi, peningkatan produktivitas hasil pertanian, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian, peningkatan kualitas sumber daya manusia pelaku usaha tani, serta pengembangan kelembagaan pertanian.
Anggaran ini juga digunakan untuk meningkatkan pelayanan dan
pembinaan agribisnis bagi petani, penelitian dan pengkajian teknologi spesifik lokasi, pemantapan sentra-sentra pengembangan agribisnis komoditas unggulan, pelatihan, penyediaan informasi, dan pengembangan kelembagaan usaha agribisnis di pedesaan.
Selain itu, anggaran tersebut juga disediakan untuk
pengembangan perencanaan pengelolaan dan pengendalian pengusahaan hutan, penerapan sistem manajemen hutan lestari, serta peningkatan pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2002, pengeluaran pembangunan pemerintah pusat lebih diprioritaskan untuk mendukung upaya penciptaan lapangan kerja, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), peningkatan
kesejahteraan masyarakat, serta penyediaan pelayanan kebutuhan dasar manusia yang lebih baik dan merata. Berkaitan dengan hal tersebut, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi fokus pengeluaran pembangunan pemerintah pusat sehingga memperoleh alokasi anggaran yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari peningkatan yang cukup tinggi pada nilai pengeluaran pembangunannya pada tahun 2001 dan 2002. Anggaran ini diarahkan pada upaya pemberdayaan petani dan masyarakat pedesaan, melalui pemberian bantuan modal untuk pembelian bibit, pupuk, obat-obat pemberantas hama dan penyakit, perbaikan pemasaran, serta perbaikan pelayanan penyuluhan dan informasi. Anggaran tersebut juga digunakan untuk mendukung peningkatan ketahanan pangan dan perbaikan gizi, pengembangan perkebunan rakyat yang berorientasi ekspor, serta pembangunan perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan. Pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian pada tahun 2003 meningkat cukup tinggi karena pada tahun ini sektor pertanian kembali menjadi salah satu sektor yang diutamakan pengembangannya. Hal ini dikarenakan salah satu prioritas pembangunan nasional pada tahun 2003 adalah peningkatan penanggulangan kemiskinan dan jaminan ketahanan pangan.
Di subsektor
pertanian, anggaran pembangunan ini diantaranya digunakan untuk penyediaan kecukupan pangan masyarakat, pengembangan usaha bisnis pangan yang kompetitif, pengembangan kelembagaan pangan yang dibangun dari masyarakat, serta penanggulangan
kemiskinan.
Di subsektor kehutanan, anggaran
pembangunan terutama diarahkan untuk memberantas penebangan liar (illegal
logging), penanggulangan kebakaran hutan, pengendalian konservasi kawasan hutan, restrukturisasi industri dan klembagaan kehutanan, rehabilitasi hutan dan lahan kritis, konservasi kawasan lindung, desentralisasi pengelolaan hutan, serta pemantapan dan pengukuhan kawasan hutan.
Sementara itu, di subsektor
kelautan dan perikanan, alokasi anggaran pembangunan diprioritaskan untuk meningkatkan pengendalian dan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, pengelolaan sumber daya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pemberdayaan masyarakat nelayan dan pembudidayaan ikan melalui peningkatan kegiatan ekonomi produktif yang berkaitan langsung dengan kehidupannya.
4.2.
Analisis Produk Domestik Bruto, Tenaga Kerja, dan Produktivitas Sektor Pertanian
4.2.1. Analisis Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian Pada penelitian ini digunakan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan harga konstan, bukan harga yang berlaku. digunakan adalah harga konstan tahun 2000.
Harga konstan yang
Hal ini dilakukan untuk
menghindari pengaruh inflasi dalam penentuan nilai PDB. Dengan menggunakan harga konstan, perubahan yang terjadi pada PDB adalah dari perubahan produksi, bukan harga.
Kontribusi terhadap PDB (%)
30.00 25.00 20.00
Pertanian, Peternakan , Kehutanan dan Perikanan
15.00
Industri Pengolahan
10.00 5.00
Perdagangan, Hotel dan Restoran
0.00
Tahun Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.3. Kontribusi Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 (dalam persen) Selama tahun 1990 sampai dengan 2006, ada tiga sektor ekonomi yang tetap mendominasi dalam hal kontribusinya terhadap PDB. Ketiga sektor ini adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan, sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Dari ketiga sektor ini, hanya sektor pertanian yang mengalami tren penurunan. Berbeda dengan sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang kontribusinya terhadap PDB semakin meningkat (Gambar 4.3.). Selain itu, laju pertumbuhan sektor pertanian juga lebih rendah jika dibandingkan dengan sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (Gambar 4.4.).
15.00
Laju Pertumbuhan (%)
10.00 Pertanian, Peternakan , Kehutanan dan Perikanan
5.00 0.00
Industri Pengolahan
-5.00 Perdagangan, Hotel dan Restoran
-10.00 -15.00 -20.00
Tahun
Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.4. Laju Pertumbuhan Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 (dalam persen) Perkembangan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB selama tahun 1990-2006 dapat dijelaskan melalui perkembangan kontribusi subsektorsubsektornya selama kurun waktu yang sama.
Dalam perhitungan Produk
Domestik Bruto (PDB), sektor pertanian meliputi lima subsektor, yaitu subsektor tanaman bahan makanan (tabama), tanaman perkebunan, peternakan dan hasilhasilnya, kehutanan, dan perikanan. a. Tanaman Bahan Makanan (tabama) Dari tahun 1990 sampai dengan 2006, subsektor tanaman bahan makanan (tabama) adalah subsektor yang memiliki kontribusi tertinggi pada sektor pertanian (Gambar 4.5.). Subsektor tabama mencakup dua jenis komoditi, yaitu tanaman pangan dan hortikultura. Tanaman pangan terdiri dari komoditas padi, jagung, ketela (ubi kayu, ubi jalar), dan
kacang-kacangan (kacang tanah, kacang kedelai). Sedangkan hortikultura terdiri dari komoditas sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman biofarmaka, dan tanaman hias. Dari komoditas-komoditas ini, produksi padi memberi andil terbesar di subsektor tabama, sehingga perubahan produksi atau harga akan berpengaruh besar terhadap subsektor ini. Bentuk produksi padi dan palawija adalah gabah kering giling (padi), pipilan kering (jagung), biji kering (kedelai dan kacang tanah), dan umbi basah (ubi kayu
Kontribusi terhadap PDB (%)
dan ubi jalar).
12.00 10.00 8.00
Tanaman Bahan Makanan
6.00
Tanaman Perkebunan
4.00
Peternakan dan Hasil-Hasilnya
2.00
Kehutanan
0.00
Perikanan
Tahun Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.5.
Kontribusi Subsektor-Subsektor Pada Sektor Pertanian Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 (dalam persen) b. Tanaman Perkebunan Selama tahun 1990-2006, kontribusi terbesar kedua terhadap PDB sektor pertanian berasal dari subsektor ini. Secara umum subsektor perkebunan
ini terdiri dari perkebunan rakyat dan perkebunan besar.
Komoditi-
komoditi yang diusahakan dalam perkebunan rakyat adalah karet, kelapa, kopi, kakao, teh, dan tembakau.
Sedangkan perkebunan besar
mengusahakan karet, minyak kelapa sawit, inti sawit, teh, kopi, kakao, gula tebu, dan tembakau. Bentuk produksi perkebunan adalah karet kering (karet), daun kering (teh dan tembakau), biji kering (kopi dan kakao), kulit kering (kayu manis dan kina), serat kering (rami), bunga kering (cengkeh), refined sugar (tebu dari perkebunan besar), gula mangkok (tebu dari perkebunan rakyat), equivalent kopra (kopra), biji dan buga (pala), serta minyak daun (sereh). c. Peternakan dan Hasil-hasilnya Produksi subsektor ini dihitung berdasarkan data pemotongan, selisih populasi, ekspor neto hewan.
Per definisi produksi pada subsektor
peternakan adalah pertambahan/pertumbuhan hewan dan hasil-hasilnya. Komoditas subsektor peternakan terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu ternak besar, ternak kecil, dan unggas. Kelompok ternak besar terdiri dari sapi perah, sapi potong, kerbau, dan kuda.
Populasi ternak besar ini
sebagian besar berada di Pulau Jawa. Kelompok ternak kecil terdiri dari kambing, domba, dan babi. Kelompok unggas terdiri dari ayam kampung, ayam petelur, ayam pedaging, dan itik/itik manila. d. Kehutanan Menurut fungsinya, hutan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi (hutan suaka alam dan
hutan pelestarian alam). Sampai dengan tahun 2006, luas kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) adalah sebesar 137.1 juta hektar. Luas hutan lindung adalah 31.6 juta hektar atau 23.1 persen dari luas kawasan hutan secara keseluruhan. Luas hutan konservasi yang tercatat adalah 23.5 juta hektar, yang terdiri dari 23.3 juta hektar kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, serta hutan buru seluas 0.2 juta hektar terdapat di 10 provinsi. Sementara itu, luas hutan produksiadalah 81.9 juta hektar, yang terdiri dari hutan produksi terbatas seluas 22.5 juta hektar, hutan produksi tetap seluas 36.6 juta hektar, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 22.8 juta hektar.
Komoditas subsektor kehutanan terdiri dari kayu bulat, kayu
gergajian, kayu lapis, kayu gelondongan (log), kayu bakar, arang, dan bambu. e. Perikanan Pengembangan subsektor perikanan selama ini mendapat prioritas yang tinggi dari pemerintah. Hal ini dikarenakan kondisi wilayah Indonesia yang strategis, yaitu berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia dan terdiri atas beribu-ribu pulau besar dan kecil, banyak sungai, wilayah perairan yang luas, baik kelautan maupun garis pantai yang panjang, sangat mendukung pengembangan subsektor ini.
Subsektor
perikanan terdiri dari perikanan darat dan perikanan laut. Perikanan darat dibedakan menjadi perikanan di perairan umum dan budidaya ikan darat
yang mencakup budidaya tambak, kolam, keramba, dan sawah. Perikanan darat ini termasuk perairan seperti danau, rawa, dan sungai.
12.00
Laju Pertumbuhan (%)
10.00 8.00 6.00 4.00 Tanaman Bahan Makanan
2.00 0.00
Tanaman Perkebunan
-2.00 -4.00 -6.00 -8.00 -10.00
Tahun
Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.6. Laju Pertumbuhan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dan Subsektor Perkebunan Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 (dalam persen)
Kontribusi sektor pertanian pada tahun 1990 menurun dibandingkan tahun 1989, yaitu menjadi 18,83 persen. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan kontribusi semua subsektornya. Kontribusi subsektor tabama menurun dari 11,16 persen menjadi 10,47 persen. Kontribusi subsektor perkebunan menurun dari 2,54 persen menjadi 2,48 persen. Kontribusi subsektor peternakan dan hasilhasilnya, kehutanan, dan subsektor perikanan juga menurun, yaitu masing-masing menjadi 2,04 persen; 1,77 persen; dan 1,98 persen. Penurunan kontribusi pada sektor pertanian ini sejalan dengan penurunan laju pertumbuhannya, yaitu dari
3,32 persen menjadi 2,00 persen. Penurunan ini terutama terutama disebabkan oleh penurunan laju pertumbuhan subsektor tabama yang cukup tinggi, yaitu dari 3,97 persen menjadi 0,52 persen (Gambar 4.6.).
25.00
Laju Pertumbuhan (%)
20.00 15.00 10.00 5.00
Peternakan dan Hasil-Hasilnya
0.00
Kehutanan
-5.00
Perikanan
-10.00 -15.00 -20.00 -25.00
Tahun
Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.7. Laju Pertumbuhan Subsektor Peternakan dan Hasil-Hasilnya, Subsektor Kehutanan, dan Subsektor Perikanan Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 (dalam persen) Pada tahun 1991 laju pertumbuhan PDB untuk sektor pertanian adalah 1,60 persen. Nilai ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 2,00 persen. Penurunan laju pertumbuhan ini antara lain disebabkan oleh nilai tambah subsektor tabama yang menurun sebesar 0,55 persen. Pada tahun ini produksi padi dan jagung menurun, sedangkan kedelai dan kacang tanah meningkat. Pada tahun yang sama, subsektor perkebunan meningkat menjadi 5,38 persen. Hal ini disebabkan oleh kenaikan produksi cengkeh, kopi, minyak sawit, inti sawit, dan tebu. Laju pertumbuhan subsektor peternakan dan hasil-
hasilnya dan subsektor perikanan juga mengalami peningkatan, yaitu masingmasing sebesar 6,04 persen, dan 5,20 persen.
Sedangkan laju pertumbuhan
subsektor kehutanan menurun menjadi 0,02 persen (Gambar 4.7.). Laju pertumbuhan sektor pertanian meningkat tajam pada tahun 1992, yaitu sebesar 6,65 persen. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan yang tajam pada subsektor tabama sebesar 7,73 persen. Produksi padi, jagung, kedelai, dan ketela rambat meningkat cukup besar pada tahun ini. Laju pertumbuhan subsektor tanaman perkebunan adalah 4,77 persen, yang disebabkan oleh peningkatan produksi karet, minyak sawit, coklat, dan rami. Laju pertumbuhan subsektor peternakan dan hasil-hasilnya dan subsektor perikanan meningkat, yaitu sebesar 7,95 persen dan 5,85 persen.
Namun, laju pertumbuhan subsektor
kehutanan turun sebesar 2,25 persen. Pada tahun 1993 sektor pertanian meningkat sebesar 1,42 persen, peningkatan ini nilainya lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan yang tajam pada subsektor tabama. Produksi tanaman bahan makanan secara umum menurun, kecuali ketela pohon dan kacang hijau. Subsektor
tanaman perkebunan mengalami peningkatan, yaitu sebesar 5,83
persen. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh peningkatan produksi minyak sawit, inti sawit, dan rami. Subsektor lainnya dengan laju pertumbuhan yang meningkat adalah subsektor kehutanan.
Sedangkan laju pertumbuhan untuk
subsektor peternakan dan hasil-hasilnya dan subsektor perikanan menurun, yaitu masing-masing sebesar 5,59 persen dan 5,66 persen.
Pada tahun 1994 kontribusi sektor pertanian menurun menjadi 15,88 persen. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan peranan subsektor tabama, khususnya komoditi padi, dari 9,10 persen pada tahun 1993 menjadi 8,28 persen pada tahun 1994. Subsektor tabama ini memberikan kontribusi terbesar untuk sektor pertanian. Kegagalan panen pada tahun 1994 karena kemarau panjang menurunkan pangsa produk-produk tanaman bahan makanan. Penyebab lainnya adalah semakin banyaknya lahan pertanian di Pulau Jawa yang berubah fungsi menjadi lahan industri, infrastruktur, dan perumahan. Kontribusi semua subsektor juga mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun secara umum produksi maupun harga komoditi utama perkebunan meningkat, tetapi perubahannya relatif kecil, seperti yang terjadi pada komoditi karet, kelapa, tebu, dan kopi. Hanya komoditi kelapa sawit yang pertumbuhannya dari tahun ke tahun meningkat. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB kembali menurun pada tahun 1995, yaitu menjadi 15,32 persen. penurunan kontribusi.
Semua subsektornya juga mengalami
Meskipun demikian, laju pertumbuhan beberapa
subsektornya meningkat, yaitu subsektor tabama dan subsektor peternakan dan hasil-hasilnya.
Peningkatan laju pertumbuhan pada subsektor peternakan ini
disebabkan oleh peningkatan permintaan domestik dan pasar luar negeri. Penurunan laju pertumbuhan pada subsektor tanaman perkebunan dan kehutanan disebabkan oleh menurunnya aktivitas perdagangan di pasar internasional yang disebabkan oleh semakin ketatnya persaingan produk-produk tanaman perkebunan
dan penerapan sistem ecolabelling pada hasil kehutanan sehingga para pengusaha perhutanan dituntut lebih selektif dalam menghasilkan produk kehutanan. Pada tahun 1996, kontribusi sektor pertanian menurun menjadi 14,66 persen, sebelumnya pada tahun 1995 kontribusinya adalah 15,32 persen. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan kontribusi subsektor tabama dari 8.02 persen pada tahun 1995 menjadi 7,60 persen pada tahun 1996. Kontribusi subsektor-subsektor lainnya juga menurun, yaitu subsektor perkebunan menurun menjadi 2,18 persen; subsektor peternakan dan hasil-hasilnya menurun menjadi 1,86 persen; subsektor kehutanan menurun menjadi 1,19 persen; dan subsektor perikanan menurun menjadi 1,77 persen. Penurunan kontribusi pada sektor pertanian ini sejalan dengan penurunan laju pertumbuhannya, yaitu dari 4,38 persen menjadi 3,14 persen. Penurunan ini terutama terutama disebabkan oleh penurunan laju pertumbuhan subsektor tabama yang cukup tinggi, yaitu dari 4,92 persen menjadi 2,11 persen. Pada tahun 1997, kontribusi sektor pertanian adalah 14,16 persen, sebelumnya pada tahun 1996 kontribusi sektor pertanian adalah 14,66 persen. Penurunan ini tidak sejalan dengan kontribusi subsektor-subsektornya yang justru meningkat dibandingkan tahun 1996. Pada tahun ini kontribusi terbesar terhadap PDB pertanian tetap berasal dari subsektor tabama. Laju pertumbuhan sektor pertanian juga menurun menjadi 1,00 persen. Penurunan laju pertumbuhan ini juga tidak sejalan dengan laju pertumbuhan subsektor-subsektornya yang justru mengalami peningkatan.
Pada tahun 1998 terjadi peningkatan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB, yaitu sebesar 16,10 persen.
Pada tahun ini kontribusi subsektor-
subsektornya meningkat terhadap sektor pertanian, kecuali subsektor peternakan dan hasil-hasilnya. Kontribusi subsektor ini menurun menjadi 1,85 persen dari nilainya pada tahun 1997 yang sebesar 2,00 persen. Laju pertumbuhan sektor pertanian justru menurun, yaitu negatif 1,33 persen. Penurunan ini seiring dengan penurunan laju pertumbuhan subsektor-subsektornya.
Pada tahun ini, laju
pertumbuhan semua subsektornya menurun dan bernilai negatif. Pada tahun 1999 laju pertumbuhan sektor pertanian meningkat menjadi 2,16 persen. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan laju pertumbuhan pada subsektor-subsektornya, kecuali subsektor kehutanan yang semakin menurun menjadi negatif 4,45 persen. Pada tahun ini kontribusi sektor pertanian terhadap PDB juga meningkat, yaitu menjadi 16,35 persen. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan kontribusi dari semua subsektornya. Pada tahun 2000 kontribusi sektor pertanian menurun menjadi 15,89 persen.
Sebelumnya, pada tahun 1999 kontribusinya adalah 16,35 persen.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan kontribusi subsektor tabama dari 8,42 persen pada tahun 1999 menjadi 8,15 persen pada tahun 2000. Hanya kontribusi subsektor perikanan yang meningkat, sedangkan subsektor-subsektor lainnya menurun. Penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sejalan dengan penurunan laju pertumbuhannya, yaitu menjadi 1,88 persen. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan laju pertumbuhan subsektor-subsektornya,
terutama subsektor peternakan dan hasil-hasilnya.
kontribusi subsektor ini
menurun dari 6,17 persen pada tahun 1999 menjadi 3,28 persen. Pada tahun 2001 kontribusi sektor pertanian menurun menjadi 15,64 persen.
Sebelumnya, pada tahun 2000 kontribusinya adalah 15,89 persen.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan kontribusi subsektor tabama dari 8,15 persen pada tahun 2000 menjadi 7,83 persen pada tahun 2001. Subsektor lainnya dengan kontribusi yang menurun adalah subsektor kehutanan, sedangkan kontribusi subsektor-subsektor lainnya meningkat. Laju pertumbuhan sektor pertanian juga menurun, yaitu menjadi 1,68 persen.
Penurunan ini
disebabkan oleh menurunnya laju pertumbuhan subsektor-subsektornya, yaitu subsektor tabama dan subsektor perikanan, yang masing-masing sebesar negati 0,79 persen dan 4,73 persen.. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB semakin menurun, yaitu sebesar 15,39 persen pada tahun 2002. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan pada subsektor tabama, subsektor kehutanan, dan subsektor perikanan, yaitu masingmasing menjadi 7,64 persen, 1,14 persen, dan 2,19 persen. Laju pertumbuhan sektor pertanian justru meningkat pada tahun ini, yaitu sebesar 2,63 persen. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan laju pertumbuhan pada subsektor tabama, subsektor perkebunan, dan subsektor peternakan dan hasil-hasilnya, masing-masing sebesar 1,74 persen; 6,39 persen; dan 5,98 persen. Secara umum kontribusi sektor pertanian terhadap PDB menurun pada tahun 2003, yaitu dari sebesar 15,39 persen pada tahun 2002 menjadi 15,24 persen. Subsektor tabama adalah penyumbang terbesar diantara subsektor-subsektor
lainnya.
Namun, kontribusi subsektor ini terhadap PDB sektor pertanian
mengalami sedikit penurunan pada tahun 2003, yaitu 7,64 persen pada tahun 2002 menjadi 7,56 persen. Penurunan ini merupakan akibat dari peningkatan yang tajam pada sektor-sektor lainnya, seperti sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa-jasa. Subsektor perkebunan di tahun 2003 memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap sektor pertanian, yaitu 2,45 persen, nilai ini sedikit menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar 2,46 persen.
Kontribusi dari
subsektor-subsektor lainnya juga menurun, kecuali subsektor perikanan yang meningkat menjadi 2,20 persen. Laju pertumbuhan sektor ini meningkat menjadi 3,79 persen dari nilai tahun sebelumnya yang sebesar 2,63 persen. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh peningkatan laju pertumbuhan pada subsektor tabama dan subsektor perikanan, yaitu sebesar 3,64 persen dan 5,05 persen.. Pada tahun 2004 kontribusi sektor pertanian terhadap PDB dan laju pertumbuhannya menurun, yaitu masing-masing menjadi 14,92 persen dan 2,82 persen.
Penurunan kontribusi ini sebagai akibat dari penurunan kontribusi
subsektor-subsektornya, kecuali subsektor perikanan. Kontribusi subsektor ini mengalami peningkatan, yaitu menjadi 2,21 persen dari nilainya yang sebesar 2,20 pada tahun 2003. Penurunan subsektor tabama dari 7,56 persen pada tahun 2003 menjadi 7,40 persen dikarenakan peningkatan sektor lain yang secara rata-rata lebih tinggi.
Secara umum laju pertumbuhan tiap subsektor juga menurun,
kecuali subsektor kehutanan dan subsektor perikanan, yang laju pertumbuhannya menjadi 1,28 persen dan 5,56 persen pada tahun 2004.
Pada tahun 2005, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB adalah 14,50 persen, nilai ini menurun dibandingkan kontribusinya pada tahun 2004 yang sebesar 14,92 persen.
Penurunan ini seiring dengan penurunan kontribusi
subsektor-subsektornya, kecuali subsektor perikanan yang nilainya tetap, yaitu 2,21 persen. Laju pertumbuhan sektor pertanian tetap positif, walaupun nilainya menurun menjadi 2,72 persen. Hampir semua laju pertumbuhan subsektornya menurun, kecuali laju pertumbuhan subsektor perkebunan dan subsektor perikanan, yang masing-masing meningkat menjadi 2,48 persen dan 5,87 persen. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB semakin menurun pada tahun 2006, yaitu menjadi 14,20 persen. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan pada hampir semua subsektornya, kecuali subsektor perikanan yang justru meningkat menjadi 2,24 persen. Meskipun kontribusinya menurun, laju pertumbuhan sektor pertanian justru meningkat, yaitu menjadi 3,36 persen dari nilainya yang sebesar 2,72 persen pada tahun 2005. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan laju pertumbuhan pada sebagian besar subsektornya, kecuali subsektor kehutanan yang menurun menjadi negatif 2,85 persen.
4.2.2. Analisis Tenaga Kerja Sektor Pertanian Angkatan kerja sektor pertanian selama tahun 1990 sampai dengan 2006 secara umum menurun, tetapi tetap dominan dibandingkan penyerapan sektor industri pengolahan dan industri perdagangan, hotel, dan restoran (Gambar 4.8.). Mulai tahun 1996 ditetapkan perubahan dalam definisi umur angkatan kerja, yaitu
yang sebelumnya adalah 10 tahun ke atas menjadi 15 tahun ke atas. Perubahan ini sesuai dengan ketentuan dari International Labour Organization (ILO).
Angkatan Kerja (%)
60 Sektor Pertanian, Peternakan , Kehutanan, dan Perikanan Sektor Industri Pengolahan
50 40 30 20
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
10 0
Tahun Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.8. Penyerapan Angkatan Kerja Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 (dalam persen)
Penurunan yang terus-menerus pada jumlah angkatan kerja selama tahun 1993 sampai dengan tahun 1996 disebabkan oleh penurunan kinerja sektor pertanian selama kurun waktu tersebut sehingga kesempatan kerja di sektor ini ikut menurun. Hal ini ditandai dengan penurunan pada kontribusi sektor pertanian terhadap PDB selama tahun 1993 sampai dengan 1996. Pada tahun 1997, krisis moneter berdampak pada pembangunan ketenagakerjaan, termasuk pada perkembangan kesempatan kerja. Kemampuan
sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja menjadi berkurang sehingga terjadi penurunan jumlah angkatan kerja pada tahun tersebut. Penurunan angkatan kerja sektor pertanian pada tahun 2004 sampai dengan 2006 kembali disebabkan oleh penurunan kinerja sektor pertanian sehingga kemampuan sektor ini dalam menyerap tenaga kerja berkurang. Penurunan kinerja sektor pertanian ini ditandai dengan kontribusinya terhadap PDB dan laju pertumbuhannya yang cenderung menurun selama kurun waktu tersebut. Dari Gambar 4.8. dan penjelasan-penjelasan yang telah diberikan, terlihat bahwa sektor pertanian dalam perekonomian nasional tetap memegang peranan yang penting. Hal ini dikarenakan sebagian besar angkatan kerja di Indonesia masih bekerja di sektor tersebut, meskipun terjadi tren penurunan selama tahun 1986 sampai dengan 2006. Oleh karena itu pembangunan di sektor pertanian tetap harus diprioritaskan, mengingat masih terbatasnya penyerapan tenaga kerja di sektor-sektor lainnya.
4.2.3. Analisis Produktivitas Sektor Pertanian Kualitas dari tenaga kerja yang dugunakan dapat diukur berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan barang dan jasa, ukuran inilah yang dinamakan produktivitas. Salah satu cara untuk mengukur produktivitas adalah dengan membuat rasio antara PDB dengan jumlah tenaga kerja.
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Industri Pengolahan
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
Perdagangan, Hotel dan Restoran
1990
Produktivitas (Rp/kapita)
50000000 45000000 40000000 35000000 30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0
Tahun Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.9. Produktivitas Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 (dalam Rupiah/kapita) Produktivitas sektor pertanian selama tahun 1990 sampai dengan 2006 mengalami peningkatan. Namun, produktivitas sektor pertanian ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu usaha yang mampu menciptakan penambahan output, yaitu misalnya dengan cara meningkatkan investasi dan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dengan mengembangkan faktor teknologi industri yang berorientasi pada pertanian serta membangun tenaga kerja yang terampil dan unggul agar produktivitas di sektor ekonomi pertanian meningkat.
4.3.
Analisis Hubungan antara Belanja Negara untuk Sektor Pertanian terhadap Produktivitas Sektor Pertanian di Indonesia Dengan menggunakan Minitab 15 dilakukanlah pemerikasaan asumsi-
asumsi. Pemeriksaan asumsi regresi ini terdiri dari lima pemeriksaan, yaitu: (1) Asumsi Linieritas Pengujian asumsi ini dapat dilakukan dengan menggunakan scatter plot atau matrix plot, sehingga terlihat pola umum hubungan antara variable bebas dan variabel tak bebasnya.
Sumber: Minitab 15 (diolah)
Gambar 4.10. Hasil Uji Linieritas
Pada hasil matrix plot (Gambar 4.10.), hubungan antara variabel PRD (Y) dengan variabel RTN (X1) ditunjukkan oleh kotak dibawah kotak berlabelkan PRD (Y), sedangkan hubungan antara variabel PRD (Y) dengan variabel BGN (X2) ditunjukkan oleh kotak di pojok kiri bawah. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa polanya dapat dianggap sebagai hubungan yang linear, karena tidak ada pola lain seperti pola kuadratik maupun pola kubik. Oleh karena itu, asumsi linearitas terpenuhi.
(2) Asumsi Kenormalan Dengan menggunakan uji kenormalan kolmogorov-smirnov diperoleh nilai p-value > 5%, yang berarti terima H0. Terima H0 membuktikan bahwa sisaan menyebar normal. Pada Gambar 4.11. terlihat bahwa nilai p-value sebesar 0,086. Nilai ini lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan, sehingga terima H0 yang berarti asumsi kenormalan terpenuhi.
Sumber: Minitab 15 (diolah)
Gambar 4.11. Hasil Uji Kenormalan
(3) Asumsi Homoskedastisitas Sebelumnya, perlu dilihat terlebih dahulu bentuk dari sisaanya terhadap nilai Y. Karena datanya tidak terlalu banyak, maka dengan melihat plot seperti pada Gambar 4.12., secara kualitatif dapat disimpulkan bahwa sisaannya menyebar dengan homogen walaupun ada data yang berperilaku berbeda, yang letaknya jauh dari nilai tengah 0. Oleh karena itu, diberikan bobot yang sesuai dengan besarnya sisaan pada data, yaitu sebesar 1/e2.
Sehingga
analisis yang digunakan menjadi menjadi OLS terboboti atau dikenal dengan Weighted Least Square (WLS).
%$% ! % ! #! $
%&&
% "$
# !"
!
"# $
Sumber: Minitab 15 (diolah)
Gambar 4.12. Hasil Uji Homoskedastisitas
(4) Asumsi Autokorelasi Untuk menguji asumsi ini kita dapat menggunakan uji runtun atau run test. Dengan melihat Run Chart pada Gambar 4.13., yang merupakan hasil dari
run test, dapat disimpulkan bahwa tidak ada bentuk clustering (data yang mengumpul di beberapa titik), terjadi mixtures, terjadi trend, dan terjadi oscillation (osilasi). Hal ini terlihat dari nilai p-value untuk clustering yang kurang dari taraf nyata, yaitu sebesar 0,040 dan nilai p-value dari mixtures, trend, dan oscillation yang lebih besar dari taraf nyata, yaitu masing-masing sebesar 0,960; 0,271; dan 0,729. Hasil run test ini menunjukkan bahwa tidak ada autokorelasi antar sisaan variabel bebasnya.
(
(
$ )*
& % ' ( +" , ) - . ! /"" + /"" +
! ' )# * ' ( !* ' )# * ( 0 ! # .* ( #+ !*
' ( +" , ) - . ! / "" + / "" +
'
! " ) 1 * ' ( !* " ) 1 * ( 2 )!* ( 3!,# # *
Sumber: Minitab 15 (diolah)
Gambar 4.13. Hasil Uji Autokorelasi
(5) Asumsi Multikolinearitas Asumsi ini dapat diperiksa dengan menggunakan nilai VIF pada Tabel 4.2. Jika nilai VIF lebih besar dari 10, maka dapat dikatakan ada multikolinearitas. Namun, pada analisis regresi untuk penelitian ini didapatkan nilai VIF yang
lebih kecil dari 10, yaitu sebesar 3,446.
Hal ini menunjukkan bahwa
multikolinearitas tidak terjadi.
Hasil secara keseluruhan untuk pengujian asumsi-asumsinya adalah bahwa asumsi linieritas, kenormalan, homoskedastisitas, autokorelasi dan multikorelasi terpenuhi. Dengan demikian dapat ditentukan persamaan regresi yang sesuai. Hasil WLS dari Minitab 15 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.1. Hasil ANOVA Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 2 14 16
SS 236.07 14.16 250.23
MS 118.04 1.01
F 116.73
P 0.000
Sumber: Minitab 15 (diolah)
Tabel 4.2. Hasil Weighted Least Square (WLS) Regression Analysis: PRD (Y) versus RTN (X1), BGN (X2) Weighted analysis using weights in 1/e2 The regression equation is PRD (Y) = 3061826 + 116 RTN (X1) + 593 BGN (X2) Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 3061826 212276 14.42 0.000 RTN (X1) 115.83 17.44 6.64 0.000 3.446 BGN (X2) 592.58 45.56 13.01 0.000 3.446 S = 1.00559; R-Sq = 94.3%; R-Sq (adj) = 93.5% Sumber: Minitab 15 (diolah)
Persamaan regresi yang diperoleh adalah:
PRD = 3061826 + 116 RTN + 593 BGN
Persamaan regresi di atas menunjukkan bahwa peningkatan satu satuan pada pengeluaran rutin akan menyebabkan peningkatan produktivitas sebesar 116 satuan dan
peningkatan satu satuan pada pengeluaran pembangunan akan
menyebabkan peningkatan produktivitas sebesar 593 satuan tiap tahunnya. Dari hasil pengujian ekonometrik yang telah dilakukan, ternyata variabel pengeluaran rutin (RTN) dan pengeluaran pembangunan (BGN) berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel produktivitas sektor pertanian (PRD) pada taraf nyata ( ) 5%. Hal ini terlihat dari probabilitas kedua variabel ini yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, yaitu 5%, yaitu sebesar 0,000 (Tabel 4.2.). Walaupun kedua jenis pengeluaran ini berpengaruh positif dan signifikan terhadap
produktivitas
pertanian,
dampak
yang
diberikan
pengeluaran
pembangunan lebih besar jika dibandingkan dengan pengeluaran rutin, yang terlihat dari koefisien variabel pengeluaran pembangunan (BGN) yang lebih besar daripada koefisien variabel pengeluaran rutin (RTN).
Hal ini dikarenakan
pengeluaran pembangunan digunakan untuk membiayai program-program yang berkaitan langsung dengan pembangunan sektor pertanian.
Pembangunan di
sektor pertanian terdiri dari pembangunan pada subsektor-subsektornya, yaitu
subsektor tanaman bahan makanan (tabama), subsektor kehutanan, subsektor peternakan dan hasil-hasilnya, subsektor kehutanan, dan subsektor perikanan. a.
Subsektor tanaman bahan makanan (tabama) Dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk dan perbaikan gizi melalui penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan sampai ke tingkat rumah tangga, dan mengurangi impor bahan makanan, produksi tanaman bahan makanan memegang peranan penting bagi pembangunan sektor pertanian.
Oleh karena itu, pemerintah telah melaksanakan
serangkaian kebijakan dengan menyusun program pembangunan di sektor pertanian. Salah satu program pokoknya adalah peningkatan produksi pangan. Pemerintah menyadari bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pangan semakin kompleks. Salah satu usaha untuk meningkatkan penyediaan dan produksi pangan adalah dengan melanjutkan pembangunan di sektor pertanian terutama subsektor tabama melalui usaha Intensifikasi Umum (Inmum), Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus, serta pembinaan terhadap pemasaran bahan-bahan tanaman pangan yang diselenggarakan secara terpadu dan menyeluruh, terutama di daerah pedesaan. b.
Subsektor perkebunan Perkebunan merupakan salah satu sumbangan kekayaan alam yang dapat diperbaharui. Subsektor perkebunan merupakan lapangan usaha yang dapat menyerap banyak tenaga kerja, sebagai bahan baku untuk bahan industri pengolahan, dan dapat berperan dalam pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu, usaha pengembangan subsektor ini perlu ditingkatkan. Produksi
perkebunan rakyat lebih besar daripada perkebunan besar sehingga pembangunan subsektor ini lebih difokuskan pada perkebunan rakyat, tanpa mengabaikan pembangunan perkebunan besar. c.
Subsektor peternakan dan hasil-hasilnya Daging, telur, dan susu merupakan kebutuhan protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat, sehingga permintaan terhadap komoditikomoditi ini semakin meningkat. Peningkatan permintaan ini mengharuskan peningkatan pembangunan di subsektor peternakan, baik yang dikelola oleh rumah tangga maupun perusahaan yang pada umumnya masih bersifat tradisional.
Pembangunan subsektor peternakan diprioritaskan untuk
mengembangkan peternakan rakyat, yang bertujuan untuk meningkatkan protein hewani masyarakat dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani peternak kecil.
Usaha-usaha yang telah dilakukan pemerintah untuk
mencapai tujuan tersebut adalah usaha-usaha intensifikasi dan ekstensifikasi yang didukung dengan pengembangan perusahaan pembibitan, penyuluhan, dan pengamanan ternak. Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan peternakan rakyat adalah rendahnya sumber daya manusia dan terbatasnya dana yang tersedia. Oleh karena itu, program yang ditempuh oleh pemerintah adalah mengembangkan alih teknologi yang disertai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
d.
Subsektor kehutanan Untuk menjaga keberlanjutan produksi dari subsektor kehutanan ini, program-program utama yang dilakukan pemerintah adalah program reboisasi, penghijauan dan program rehabilitasi lahan.
e.
Subsektor perikanan Subsektor perikanan merupakan salah satu sumber devisa bagi ekspor komoditi non migas. Namun, penghasilan dari subsektor ini masih berasal dari penjualan produk primer atau produk yang belum diolah.
Hal ini
menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya hayati laut masih belum optimal. Beberapa faktor yang menjadi kendala adalah terbatasnya modal investasi, kurangnya penguasaan iptek dan tenaga ahli perikanan/kelautan, serta iklim usaha yang belum mendukung industri perikanan yang maju. Dalam rangka meningkatkan produksi subsektor perikanan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat, pemerintah telah mengusahakan peningkatan mutu intensifikasi melalui perbaikan teknologi produksi dan manajemen penyuluhan balai benih dan pembangunan baru atau rehabilitasi pelabuhan perikanan, pusat pendaratan ikan dan saluran tambak. Sedangkan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perikanan, aspek sumber daya manusia (petani ikan, nelayan, dan pengusaha), penyerapan teknologi (baik teknologi penangkapan maupun teknologi budi daya), dan manajemen usaha memegang peranan yang sangat penting sehingga
efisiensi dalam
meningkatkan kesejahteraan, khususnya nelayan atau petani ikan.
Pengeluaran rutin juga berpengaruh positif terhadap produktivitas sektor pertanian karena anggaran rutin ini digunakan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, diantaranya melalui peningkatan kemampuan aparatur pemerintah, pemanfaatan secara optimal biaya operasional dan pemeliharaan, serta penghapusan subsidi secara bertahap.
Pengeluaran rutin yang secara umum meningkat tiap tahunnya
disebabkan oleh semakin besarnya organisasi, tugas, dan fungsi pemerintah dalam pelaksanaan
operasional
pemerintahan
dan
tugas-tugas
pembangunan.
Peningkatan tersebut juga berkaitan erat dengan semakin besarnya kebutuhan pembiayaan yang diperlukan untuk pembiayaan aparatur pemerintah pusat dan daerah,
pembiayaan
operasional
dan
pemeliharaan,
pembiayaan
untuk
pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, serta pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung dan menunjang berbagai program pemerintah yang ditujukan untuk membangun sektor pertanian.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2006, belanja negara untuk sektor pertanian, yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, secara umum meningkat.
Selama kurun waktu ini juga, anggaran yang
dialokasikan untuk pengeluaran pembangunan di sektor pertanian lebih besar daripada untuk pengeluaran rutinnya. Dari tahun 1990 sampai dengan 2006, Produk Domestik Bruto (PDB) dan produktivitas sektor pertanian terus meningkat.
Namun, nilai PDB dan
produktivitas sektor pertanian ini lebih rendah daripada sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sedangkan untuk penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian masih merupakan sektor ekonomi dengan tingkat penyerapan tenaga kerja tertinggi jika dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Dari hasil pengujian ekonometrik terbukti bahwa dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2006 belanja negara berupa pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan berpengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas sektor pertanian.
Dari kedua jenis belanja negara ini, dampak yang diberikan oleh
pengeluaran pembangunan terhadap produktivitas pertanian lebih besar daripada dampak pengeluaran rutinnya.
5.2. Saran Sebaiknya pemerintah tidak hanya memperhatikan kuantitas anggaran yang ditujukan untuk sektor pertanian, tetapi juga memperhatikan kualitasnya. Akan lebih baik apabila pengeluaran rutin difokuskan untuk membiayai pos-pos pembiayaan yang lebih berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas pertanian dan pengeluaran pembangunan difokuskan untuk program-program yang produktif, yaitu program-program yang nilai produksinya lebih besar daripada nilai investasinya. Dibutuhkan suatu usaha yang mampu menciptakan penambahan output sektor pertanian, yaitu misalnya dengan cara meningkatkan investasi dan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dengan mengembangkan faktor teknologi industri yang berorientasi pada pertanian serta membangun tenaga kerja yang terampil dan unggul agar produktivitas di sektor pertanian meningkat. Perlu dilakukan efisiensi pembiayaan untuk pos-pos pembiayaan pada pengeluaran rutin, sehingga dana anggaran dapat lebih difokuskan pada pengeluaran pembangunan di sektor pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Allcott, H., Lederman D., dan Lopéz, R. 2006. Political Institutions, Inequality, and Agricultural Growth: The Public Expenditure Connection. World Bank Working Paper. 3902: 23-25. Badan Pusat Statistik. 1982. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1982. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1986. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 1986. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1987. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1987. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1988. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1988. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1989. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1989. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1991. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1991. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1992. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1992. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1993. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1993. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1994. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1994. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1996. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1996. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1997. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 1997. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1998. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 1998. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
---------. 1999. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 1999. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2000. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2001. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2001. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2002. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2002. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2003. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2003. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2004. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2006. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2007. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2007. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2008. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1993. Laporan Perekonomian Indonesia 1993. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1994. Laporan Perekonomian Indonesia 1994. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1995. Laporan Perekonomian Indonesia 1995. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1996. Laporan Perekonomian Indonesia 1996. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1997. Laporan Perekonomian Indonesia 1997. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1998. Laporan Perekonomian Indonesia 1998. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
---------. 1999. Laporan Perekonomian Indonesia 1999. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2000. Laporan Perekonomian Indonesia 2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2001. Laporan Perekonomian Indonesia 2001. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2005. Laporan Perekonomian Indonesia 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2006. Laporan Perekonomian Indonesia 2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1992. Pendapatan Nasional Indonesia 1986-1991. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1993. Pendapatan Nasional Indonesia 1987-1992. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1994. Pendapatan Nasional Indonesia 1988-1993. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1995. Pendapatan Nasional Indonesia 1993-1994. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1996. Pendapatan Nasional Indonesia 1993-1995. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1998. Pendapatan Nasional Indonesia 1994-1997. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1999. Pendapatan Nasional Indonesia 1995-1998. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2002. Pendapatan Nasional Indonesia 1995-1998. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2003. Pendapatan Nasional Indonesia 1999-2002. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2004. Pendapatan Nasional Indonesia 2000-2003. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
---------. 2005. Pendapatan Nasional Indonesia 2001-2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2006. Pendapatan Nasional Indonesia 2002-2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2007. Pendapatan Nasional Indonesia 2003-2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2008. Pendapatan Nasional Indonesia 2004-2007. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2002. Proyeksi Angkatan Kerja Indonesia 2003-2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1985. Statistik Indonesia 1985. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1986. Statistik Indonesia 1986. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1990. Statistik Indonesia 1990. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1991. Statistik Indonesia 1991. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1995. Statistik Indonesia 1995. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2005. Statistik Indonesia 2005/2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2008. Statistik Indonesia 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bank Dunia. 2009. Indonesia Agriculture Public Spending and Growth. Bank Dunia, Jakarta. Darsono. 2009. Analisis Keefektifan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian dengan Penekanan pada Agroindustri di Indonesia. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Departemen Keuangan. 1986. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1986/1987. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1987. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 1987/1988. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1988. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 1988/1989. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 1989. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 1989/1990. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1990. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1990/91. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1991. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1991/92. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1992. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1992/93. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1993. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1993/94. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1994. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1994/95. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1995. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1995/1996. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1996. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1996/1997. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1997. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1997/1998. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1998. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1998/1999. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1999. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 2000. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2000. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 2001. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2001. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 2002. Nota Keuangan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2001 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2002. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 2003. Nota Keuangan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2002 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2003. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 2004. Nota Keuangan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2003 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2004. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 2005. Nota Keuangan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 2006. Nota Keuangan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006. Departemen Keuangan, Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Ensiklopedi Nasional Indonesia. P.T. Delta Pamungkas, Jakarta. Departemen Pertanian. 2008. Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian Tahun 2007. Departemen Pertanian, Jakarta. Fox, J. 2002. Robust Regression: Appendix to An R and S-Plus Companion to Applied Regression. http://cran.r-project.org/doc/contrib/FoxCompanion/appendix-robust-regression.pdf [31 Agustus 2009] Fuglie, K. O. 2003. Productivity Growth in Indonesian Agriculture, 1961-2000. h t t p: // w w w. go o g le . c o m / 2 0 0 3 _f u gl ie . p d f [ 9 A gu s t us 2 00 9] Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta. Herliana, L. 2004. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia: Analisis Dekomposisi Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kalangi, L. S. 2006. Peranan Investasi di Sektor Pertanian dan Agroindustri dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Moreno-Dodson, B. 2008. Assessing the Impact of Public Spending on Growth: An Empirical Analysis for Seven Fast Growing Countries. World Bank Working Paper. 4663: 4, 22, 26-27 . Rahardjo, M. D. 1986. Transformasi Pertanian: Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. UI Press. Jakarta. Sinungan, M. 1995. Produktivitas: Apa dan Bagaimana. Bina Aksara, Jakarta. Soekartawi. 1995. Pembangunan Pertanian. P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Todaro, M. P. dan Smith, S. C. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Perubahan Perincian Belanja Negara untuk Sektor Pertanian Tahun 1990-2006 Tahun
Perincian untuk Sektor
1990-1993
Sektor Pertanian dan Pengairan
Perincian untuk Subsektor 1. Subsektor Pertanian 2. Subsektor Pengairan Sektor Pertanian dan Kehutanan 1. Subsektor Pertanian
1994-2000
Sektor Pertanian dan Kehutanan + Sektor Pengairan
2. Subsektor Kehutanan Sektor Pengairan 1. Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 2. Subsektor Irigasi Sektor Pertanian, Kehutanan, Kelautan, dan Perikanan 1. Subsektor Pertanian
2001-2004
Sektor Pertanian, Kehutanan, Kelautan, dan Perikanan + Sektor Pengairan
2. Subsektor Kehutanan 3. Subsektor Kelautan & Perikanan Sektor Pengairan 1. Subsektor Pengembangan dan Pengelolaan Pengairan 2. Subsektor Pengembangan dan Pengelolaan Sumber-sumber Air Organisasi 1. Departemen Pertanian
2005-2006
Berdasarkan Organisasi dan Fungsi
2. Departemen Kehutanan 3. Departemen Kelautan dan Perikanan Fungsi : Ekonomi 1. Subfungsi Pertanian, Kehutanan, Perikanan, dan Kelautan 2. Subfungsi Pengairan
Sumber: Departemen Keuangan, 1990-2006
Lampiran 2 Produk Domestik Bruto Nasional Berdasarkan Harga Konstan 1983 (dalam milyar Rupiah)
Lapangan Usaha
Harga Konstan 1983 1990
1991
1992
1993
22356.90
22714.80
24225.50
24569.30
17531.70
19317.00
18957.70
19370.30
22336.90
24585.00
26963.60
29484.40
Listrik, Gas, dan Air Bersih
725.70
842.80
928.20
1022.30
Bangunan
6672.90
7423.70
8223.60
9222.50
18568.60
19576.20
21009.10
22850.10
6367.90
6869.40
7554.90
8302.20
4893.80
5535.10
6255.70
7069.60
Sewa Rumah
2998.80
3119.70
3249.30
3411.10
Pemerintahan dan Pertahanan
8783.30
9052.10
9320.00
9508.80
Jasa-Jasa
3980.80
4189.40
4497.20
4896.50
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
PDB dengan Migas Sumber: BPS, 1990-1993
115217.30
123225.20 131184.80 139707.10
Lampiran 3 Produk Domestik Bruto Nasional Berdasarkan Harga Konstan 1993 (dalam milyar Rupiah)
Lapangan Usaha
Harga Konstan 1993 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
(1)
58963.40
59291.20
61885.20
63827.80
64468.00
63609.50
64985.30
66208.90
67318.50
(2)
31497.30
33261.60
35502.20
37739.40
38538.20
37474.00
36865.80
38896.40
39401.30
(3)
73556.30
82649.00
91637.10
102259.70
107629.70
95320.60
99058.50
104986.90
108272.30
(4)
3290.20
3702.70
4291.90
4876.80
5479.90
5646.10
6112.90
6574.80
7111.90
(5)
22512.90
25857.50
29197.80
32923.70
35346.40
22465.30
22035.60
23278.70
24308.20
(6)
55297.60
59504.10
64230.80
69475.00
73523.80
60130.70
60093.70
63498.30
65824.60
(7)
23248.90
25188.60
27328.60
29701.10
31782.50
26975.10
26772.10
29072.10
31338.90
(8)
28047.80
30901.00
34313.00
36384.20
38543.00
28278.70
26244.60
27449.40
28932.30
(9)
33361.40
34285.10
35405.80
36610.20
37934.50
36475.00
37184.00
38051.50
39245.40
PDB dengan Migas
329775.80
354640.80
383792.40
413797.90
433246.00
376375.00
379352.50
398017.00
411753.40
Sumber: BPS, 1993-2001
Keterangan: (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan (2) Pertambangan dan Penggalian (3) Industri Pengolahan (4) Listrik, Gas, dan Air Bersih (5) Bangunan (6) Perdagangan, Hotel, dan Restoran (7) Pengangkutan dan Komunikasi (8) Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
(9) Jasa-Jasa
Lampiran 4 Produk Domestik Bruto Nasional Berdasarkan Harga Konstan 2000 (dalam milyar Rupiah)
Lapangan Usaha
Harga Konstan 2000 2001
2002
2003
2004
2005
2006
225685.70
231613.50
240387.30
247163.60
253881.70
262402.80
168244.30
169932.00
167603.80
160100.50
165222.60
168028.90
398323.90
419387.80
441754.90
469952.40
491561.40
514100.30
Listrik, Gas dan Air Bersih
9058.30
9868.20
10349.20
10897.60
11584.10
12251.10
Bangunan
80080.40
84469.80
89621.80
96334.40
103598.40
112233.60
234273.00
243266.60
256516.60
271142.20
293654.00
312520.80
70276.10
76173.10
85458.40
96896.70
109261.50
124975.70
123085.50
131523.00
140374.40
151123.30
161252.20
170074.30
133957.40
138982.40
145104.90
152906.10
160799.30
170705.40
1442984.60
1505216.40
1577171.30
1656516.80
1750815.20
1847292.90
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa PDB dengan Migas
Sumber: BPS, 2001-2006
Lampiran 5 Penyerapan Angkatan Kerja Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 (dalam persen)
Tahun
AK Nasional
AK Pertanian
Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan (%)
1990
75850580
42378309
55.87
7693263
10.14
11067357
14.59
1991
76423179
41205791
53.92
7946350
10.40
11430655
14.96
1992
78518372
42153205
53.69
8255496
10.51
11746813
14.96
1993
79200542
40071850
50.60
8784295
11.09
12508070
15.79
1994
82038109
37857499
46.15
10840195
13.21
13967234
17.03
1995
80110060
35233270
43.98
10127047
12.64
13883682
17.33
1996
85701813
37720251
44.01
10773038
12.57
16102552
18.79
1997
87049756
35848631
41.18
11214822
12.88
17221184
19.78
1998
87672449
39414765
44.96
9933622
11.33
16814233
19.18
1999
88816859
38378133
43.21
11515955
12.97
17529099
19.74
2000
89837730
40676713
45.28
11641756
12.96
18489005
20.58
2001
90807417
39743908
43.77
12086122
13.31
17469129
19.24
2002
91647166
40633627
44.34
12109997
13.21
17795030
19.42
2003
90784917
42001437
46.26
10927342
12.04
16845995
18.56
2004
93722036
40608019
43.33
11070498
11.81
19119156
20.40
2005
94948118
41814197
44.04
11652406
12.27
18896902
19.90
2006
95456935
40136242
42.05
11890170
12.46
19215660
20.13
Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
AK Industri
Sektor Industri Pengolahan (%)
AK Perdagangan
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (%)
Lampiran 6 Rumus-Rumus Pelengkap (1) Konversi Nilai PDB Harga Konstan 1983 menjadi PDB Harga Konstan 1993: L
MNO L P
:
MNO P: MNO PTU
;S
QR
Keterangan:
MNO PTU
= PDB Harga Konstan 1983 L
= PDB Harga Konstan 1993
(2) Konversi Nilai PDB Harga Konstan 1993 menjadi PDB Harga Konstan 2000: MNO P QR
:
L
Keterangan:
MNO L P : MNO L PTU
;S
MNO L PTU
= PDB Harga Konstan 1993 = PDB Harga Konstan 2000
(3) Kontribusi Sektor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
VWX YZ[\]Z
MNO <*9 JH MNO CJ FE
^ !__
(4) Laju Pertumbuhan Sektor
`ab\
Y \( [\caX
Keterangan:
MNOP : MNOPTU MNOPTU
^ !__
t
= tahun tertentu
t-1
= tahun sebelumnya