MODEL ANALISIS SPASIAL PERENCANAAN DAN KOORDINASI PENGANGGARAN UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH
RINA MULYANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Analisis Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2009
Rina Mulyana NRP A156070114
ABSTRACT RINA MULYANA. A Spatial Analysis Model for Budget Planning and Coordination to Improve Regional Development Performance. Under the direction of H. R. SUNSUN SAEFULHAKIM and H. KOMARSA GANDASASMITA. The success of regional autonomy and decentralization are indicated by the increasing public services and welfare, more advancing democracy, equality and justice, and harmonizely relationship between central and regional and interregional. The situation can be achieved when among other things the financial management (budget allocation) is carried out properly. This research aimed to: (1) identify regional typology based on development performance and budgetting pattern, and (2) develop a spatial model for budget planning and coordination to improve regional development performance. The model was developed under the framework of spatial Durbin Model. Regions of Banten Province were used to empirically test the model. Variables of model were summarized from regional indicators using Principal Components Analysis. Forward stepwise General Regression Model was employed in testing and estimating parameters of the model. The result showed that development performance of a region is significantly influenced by budgetting pattern of the region and related regions occurs intern of inter-regional commodity flows or low of distance. This finding confirmed the important role of planning and inter-regional coordination in budgetting to improve regional development performance. Keywords:
Regional Development Performance, Coordination, Spatial Modeling.
Budget
Planning
and
RINGKASAN RINA MULYANA. Model Analisis Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah. Di bawah bimbingan H.R. SUNSUN SAEFULHAKIM dan H. KOMARSA GANDASASMITA. Keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi diindikasikan dengan terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan dan pemerataan, serta hubungan serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut dapat tercapai, diantaranya apabila manajemen keuangan (alokasi anggaran) dilaksanakan dengan baik. Penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan pola penganggaran, (2) Mengidentifikasi tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan kinerja pembangunan daerah, dan (3) Membangun model spasial perencanaan dan koordinasi penganggaran untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten. Data sekunder yang digunakan terdiri atas: (1) Data Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun 2003-2007 (Perda Kabupaten/Kota, Bappeda Kabupaten/Kota); (2) Data PDRB Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun 2003-2007 (Bappeda dan BPS Banten); (3) Data Asal dan Tujuan Barang Provinsi Banten Tahun 2006 (Departemen Perhubungan); dan (4) Peta Administrasi Provinsi Banten (Bappeda Banten). Analisis yang digunakan pada penelitian ini meliputi: (1) Analisis tipologi wilayah berdasarkan pola penganggaran dan kinerja pembangunan daerah Provinsi Banten dengan teknik Factor Analysis (Principal Components Analysis); (2) penyusunan modela spasial dengan Spasial Durbin Model; (3) pengujian dan pendugaan parameter model spasial dengan forward stepwise General Regression Model. Tipologi Wilyah Banten berdasarkan Pola Penganggaran dan Kinerja Pembangunan Daerah adalah: Kabupaten Pandeglang dan Lebak secara umum memiliki kategori struktur anggaran belanja yang cenderung tergolong rendah kecuali pada bidang: (1) pertanian, kelautan, dan perikanan, dan (2) pekerjaan umum cenderung agak tinggi untuk Pandeglang. Sedangkan untuk Lebak bidang: (1) pertanian, kelautan, dan perikanan, (2) pekerjaan umum, dan (3) kehutanan, energi dan sumberdaya mineral tergolong kategori agak tinggi dan sangat tinggi. Kabupaten Pandeglang dan Lebak memiliki tingkat produktivitas penduduk, produktivitas lahan, dan kesejahteraan rumah tangga yang sangat rendah. Hampir semua kabupaten/kota di Provinsi Banten memiliki tingkat kapasitas fiskal penduduk yang sangat rendah sampai dengan rendah, kecuali Kota Cilegon dengan kategori sangat tinggi. Tingkat pengangguran tertinggi di Provinsi Banten cenderung terdapat di daerah perkotaan, yaitu: Kota Cilegon dan Kota Tangerang. Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran berpengaruh secara signifikan dalam meningkatkan Kinerja pembangunan Daerah di Provinsi Banten, dengan faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah: Tingkat produktivitas penduduk, produktivitas lahan, dan kesejahteraan rumah tangga dipengaruhi
RINGKASAN RINA MULYANA. Model Analisis Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah. Di bawah bimbingan H.R. SUNSUN SAEFULHAKIM dan H. KOMARSA GANDASASMITA. Keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi diindikasikan dengan terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan dan pemerataan, serta hubungan serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut dapat tercapai, diantaranya apabila manajemen keuangan (alokasi anggaran) dilaksanakan dengan baik. Penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan pola penganggaran, (2) Mengidentifikasi tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan kinerja pembangunan daerah, dan (3) Membangun model spasial perencanaan dan koordinasi penganggaran untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten. Data sekunder yang digunakan terdiri atas: (1) Data Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun 2003-2007 (Perda Kabupaten/Kota, Bappeda Kabupaten/Kota); (2) Data PDRB Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun 2003-2007 (Bappeda dan BPS Banten); (3) Data Asal dan Tujuan Barang Provinsi Banten Tahun 2006 (Departemen Perhubungan); dan (4) Peta Administrasi Provinsi Banten (Bappeda Banten). Analisis yang digunakan pada penelitian ini meliputi: (1) Analisis tipologi wilayah berdasarkan pola penganggaran dan kinerja pembangunan daerah Provinsi Banten dengan teknik Factor Analysis (Principal Components Analysis); (2) penyusunan modela spasial dengan Spasial Durbin Model; (3) pengujian dan pendugaan parameter model spasial dengan forward stepwise General Regression Model. Tipologi Wilyah Banten berdasarkan Pola Penganggaran dan Kinerja Pembangunan Daerah adalah: Kabupaten Pandeglang dan Lebak secara umum memiliki kategori struktur anggaran belanja yang cenderung tergolong rendah kecuali pada bidang: (1) pertanian, kelautan, dan perikanan, dan (2) pekerjaan umum cenderung agak tinggi untuk Pandeglang. Sedangkan untuk Lebak bidang: (1) pertanian, kelautan, dan perikanan, (2) pekerjaan umum, dan (3) kehutanan, energi dan sumberdaya mineral tergolong kategori agak tinggi dan sangat tinggi. Kabupaten Pandeglang dan Lebak memiliki tingkat produktivitas penduduk, produktivitas lahan, dan kesejahteraan rumah tangga yang sangat rendah. Hampir semua kabupaten/kota di Provinsi Banten memiliki tingkat kapasitas fiskal penduduk yang sangat rendah sampai dengan rendah, kecuali Kota Cilegon dengan kategori sangat tinggi. Tingkat pengangguran tertinggi di Provinsi Banten cenderung terdapat di daerah perkotaan, yaitu: Kota Cilegon dan Kota Tangerang. Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran berpengaruh secara signifikan dalam meningkatkan Kinerja pembangunan Daerah di Provinsi Banten, dengan faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah: Tingkat produktivitas penduduk, produktivitas lahan, dan kesejahteraan rumah tangga dipengaruhi
secara negatif oleh: (1) penganggaran bidang pertanian, kelautan, dan perikanan, (2) penganggaran bidang perencanaan pembangunan dan kepariwisataan daerah mitra, dan (3) penganggaran lingkungan hidup, ketenagakerjaan, serta tingkat aktifitas ekonomi belanja langsung daerah tetangga. Peningkatan kapasitas fiskal penduduk dipengaruhi secara positif oleh penganggaran bidang perhubungan, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri di daerah tetangga. Sedangkan yang berpengaruh secara negatif adalah: (1) penganggaran bidang pertanian, kelautan, dan perikanan, (2) penganggaran bidang pemberdayaan masyarakat, dan (3) inflasi sektor: pertambangan dan penggalian, listrik, gas, dan air bersih di daerah mitra, dan (4) belanja langsung bidang pertanian, kelautan, dan perikanan daerah mitra. Faktor yang mendorong pada peningkatan pengangguran secara positif adalah penganggaran bidang koperasi dan UKM, kepegawaian daerah mitra, dan inflasi sektor jasa-jasa daerah tetangga. Sedangkan faktor yang mendorong peningkatan pengangguran secara negatif adalah: (1) penganggaran bidang pekerjaan umum daerah mitra, dan (2) penganggaran bidang pertanian, kelautan, dan perikanan daerah mitra. Untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah dari sisi pertumbuhan ekonomi wilayah di Provinsi Banten hendaknya lebih terfokus pada kawasan Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Sedangkan untuk meningkatan kinerja pembangunan daerah dalam menurunkan tingkat pengangguran lebih terfokus pada kawasan perkotaan (kota Cilegon dan Kota Tangerang). Untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah di wilayah Provinsi Banten diperlukan skala prioritas perencanaan dan koordinasi penganggaran antar daerah, terutama bidang: (1) penganggaran bidang pertanian, kelautan, dan perikanan, (2) perencanaan pembangunan dan kepariwisataan, (3) lingkungan hidup, ketenagakerjaan, serta tingkat aktifitas ekonomi belanja langsung daerah tetangga, (4) penganggaran bidang pemberdayaan masyarakat, dan (5) penganggaran bidang pekerjaan umum. Perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan variabel data dari berbagai aspek, agar informasi yang diperoleh dapat disampaikan lebih lengkap. Kata Kunci: Kinerja Pembangunan Daerah, Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran, Pemodelan Spasial.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2009 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tesis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
MODEL ANILISIS SPASIAL PERENCANAAN DAN KOORDINASI PENGANGGARAN UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH
RINA MULYANA
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Didit Okta Pribadi, SP, M.Si.
Judul Tesis
:
Nama NRP
: :
Model Analisis Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah Rina Mulyana A156070114
Disejutui: Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr. Ketua
Dr. Ir. H. Komarsa Gandasasmita , M.Sc. Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah,
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr NIP. 131 879 339
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. NIP. 131 879 339
Tanggal Lulus:
Tanggal Ujian: 14 September 2009
Kupersembahkan karya ilmiah ini untuk, Suami tercinta:
Roni Priyadi Setyanegara & Putri-putri Kecilku:
Jasmine Nuraliva Hanata Justine Nisrina Hanata Semoga dapat menjadi motivasi belajar untuk meraih cita-cita dan cinta di dunia dan akhirat.
PRAKATA Assalamu’alaikum Wr. Wb Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunianya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih penulis dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2008 adalah Peran Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran terhadap Kinerja Pembangunan Daerah. Untuk itu, karya ilmiah ini diberi judul Model Analisis Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah. Berawal dari keinginan untuk menjadi seorang warga negara yang baik, penulis merasa terpacu untuk memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif bagi kemajuan daerah. Berbekal pendidikan yang penulis peroleh, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para perumus kebijakan pembangunan di Provinsi Banten yang berbasis ilmu pengetahuan. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc., atas perhatian, kesabaran, dan ketekunannya dalam membimbing penulis; 2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr beserta segenap staff pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB; 3. Didit Okta Probadi, SP., M.Si., selaku dosen penguji yang telah memberikan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini; 4. Pimpinan dan staff Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan bagi penulis; 5. Pimpinan dan staff Pemerintah Daerah Provinsi Banten yang telah memberikan kemudahan selama proses penelitian; 6. Teman-teman seperjuangan di PWL 2007 atas dukungan dan kekompakannya. 7. Semua pihak yang berperan dan proses pengajaran dan penulisan karya ilmiah ini. Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada suami Roni P. Setyanegara dan anak-anak tercinta Jasmine Nuraliva Hanata dan Justine Nisrina Hanata atas do’a, pengertian, dan pengorbanannya selama ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala yang sepadan. Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Bogor, Desember 2009
Rina Mulyana
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 26 Juni 1977 dari seorang Ayah yang bernama H. M. Tony Mulyana dan Ibu yang bernama Hj. Siti Mariah Margatini. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri I Cileunyi dan pada tahun yang sama penulis masuk Universitas Pasundan. Penulis memilih Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan menamatkan pendidikan pada Tahun 1999. Sejak tahun 1999 sampai tahun 2002, penulis diterima sebagai Guru Bantu Sementara (GBS) yang ditempatkan di SMP Negeri 1 Cadasari Kabupaten Pandeglang sebagai pengajar. Kemudian diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Departemen Dalam Negeri, ditempatkan di Provinsi Banten pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) sampai saat ini. Pada tahun 2007, penulis memperoleh beasiswa pendidikan pascasarjana program 13 bulan pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah di Sekolah Pascasarjana IPB, dari Pusat pembinaan Pendidikan dan Latihan Perencanaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren, Bappenas).
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL .....................................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................
xix
PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................................. Perumusan Masalah ...................................................................................... Penelitian Sebelumnya................................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... Pembatasan Masalah .....................................................................................
1 3 9 10 10
TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan Pembangunan Daerah............................................................... Koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah............................................ Perencanaan Keuangan Daerah ..................................................................... Indikator Kinerja Pembangunan Daerah........................................................ Ekonomi Keterkaitan....................................... ............................................. Pemodelan Keterkaitan antar Variabel Spasial .............................................
11 14 17 21 24 26
METODE PENELITIAN Kerangka Berpikir.......................................................................................... Kerangka Analisis Penelitian......................................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ Metode Pengumpulan data ............................................................................ Metode Analisis ............................................................................................ Analisis Perkembangan Sistem…......................................................... Analisis Location Quotient (LQ).......................................................... Principal Components Analysis (PCA)................................................. Klasifikasi Tipologi Wilayah….………................................................ Analisis Ekonometrika Spasial (Spasial Durbin Model)...................... Pendugaan Parameter Model (Forward Stepwise General Regression Model)……………………...
29 31 32 32 34 34 36 37 40 41 44
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis.......................................................................................... Iklim............................................................................................................... Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk.............................................................. Perkembangan Wilayah di Provinsi Banten.................................................. Pemusatan Aktivitas Perekonomian Wilayah di Provinsi Banten................. Pergeseran dan Pemusatan Sektor Unggulan........................................ Arahan Pengembangan Wilayah Provinsi Banten................................ Arahan Kebijakan Keuangan Daerah.................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN Pewilayahan Potensi Ekonomi Daerah Provinsi Banten............................... Dimensi Struktur Ekonomi Daerah....................................................... Dimensi Struktur Harga-harga.............................................................. Dimensi Kependudukan........................................................................ Dimensi Struktur Anggaran Penerimaan.............................................. Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran............................................. Dimensi Kinerja Pembangunan Daerah................................................ Pewilayahan dan Tipologi Wilayah Berdasarkan Pola Penganggaran.......... Pewilayahan dan Tipologi Wilayah Berdasarkan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Banten............................................................................. Interaksi Spasial antara Tipologi Pola Penganggaran dan Kinerja Pembangunan Daerah.................................................................................... Model Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah I (KPD1)................................ Model Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah II (KPD2).............................. Model Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah III (KPD3).............................
45 47 47 49 50 53 56 57
59 60 62 67 68 69 76 78 91 98 100 104 107
PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASI KEBUJAKAN PERENCANAANDAN KOORDINASI PENGANGGARAN UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH...................................................................................................................
110
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ....................................................................................................... Saran .............................................................................................................
113 114
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
115
LAMPIRAN ..............................................................................................................
118
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Indikator Kinerja Pembangunan daerah Provinsi Banten.................................
5
2.
Struktur Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD)..........................
19
3.
Matriks Tujuan, Metode, Data, dan Sumber Data dalam Penelitian................
33
4.
Wilayah Administrasi Provinsi Banten Tahun 2007........................................
45
5.
Jumlah Penduduk Banten Tahun 1961-2007....................................................
48
6.
Laju Pertumbuhan Penduduk Banten Tahun 1961-2007..................................
48
7.
Distribusi PDRB Provinsi Banten ADHB Tahun 2003-2007 ..........................
49
8.
Nilai LQ per Sektor-sektor Perekonomian Tahun 2003...................................
51
9.
Sektor-sektor Perekonomian Unggulan per Kabupaten/Kota...........................
52
10. Nilai Proporsional Shift Sektor-sektor Perekonomian Tahun 2003-2007........... 54 11. Pemusatan dan Laju Perubahan Sektor Unggulan............................................
55
12. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Ekonomi Daerah (Sed1)..... 60 13. Factor Loading Dimensi Struktur Ekonomi Daerah 1........................................ 60 14. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Ekonomi Daerah 2 (Sed2).. 61 15. Factor Loading Dimensi Struktur Ekonomi Daerah 2........................................ 61 16. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Harga-harga 1 (Shh1).... 62 17. Factor Loading Dimensi Struktur Harga-harga 1................................................ 63 18. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Harga-harga 2 (Shh2).... 64 19. Factor Loading Dimensi Struktur Harga-harga 2................................................ 64 20. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Harga-harga 3 (Shh3)................................................................................................................... 65 21. Factor Loading Dimensi Struktur Harga-harga 3................................................ 65 22. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Harga-harga 4 (Shh4).... 66 23. Factor Loading Dimensi Struktur Harga-harga 4................................................ 66 24. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Kependudukan (Duk).................. 67 25. Factor Loading Dimensi Dimensi Kependudukan.............................................. 67 26. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Penerimaan 1(Sar1).... 68 27. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Penerimaan................................... 68 28. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 1 (Sax1)................................................................................................................... 69
xiv
29. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 1............................... 70 30. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 2 (Sax2)................................................................................................................... 70 31. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 2............................... 70 32. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 3 (Sax3)................................................................................................................... 71 33. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 3............................... 71 34. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 4 (Sax4)................................................................................................................... 71 35. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 4............................... 72 36. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 5 (Sax5)................................................................................................................... 72 37. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 5............................... 72 38. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 6 (Sax6)................................................................................................................... 73 39. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 6............................... 73 40. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 7 (Sax7)................................................................................................................... 74 41. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 7............................... 74 42. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 8 (Sax8)................................................................................................................... 74 43. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 8............................... 75 44. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 9 (Sax9)................................................................................................................... 75 45. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 9............................... 75 46. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Kinerja Pembangunan 1 (Kpd1).................................................................................................................. 76 47. Factor Loading Dimensi Dimensi Kinerja Pembangunan .................................
77
48. Hasil Estimasi Pemetaan Model Regresi Spasial Kinerja Pembangunan I......... 100 49. Hasil Estimasi Pemetaan Model Regresi Spasial Kinerja Pembangunan II.......................................................................................................................... 104 50. Hasil Estimasi Pemetaan Model Regresi Spasial Kinerja Pembangunan III......................................................................................................................... 107
xv
51. Implikasi Kebijakan Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan
Kinerja
Pembangunan
Daerah
di
Provinsi
Banten............................................................................................................
111
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Alur Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah dan APBD............................
8
2.
Koordinasi Pembangunan Daerah........................................................................ 15
3.
Fungsi-fungsi Manajemen Pembangunan............................................................ 18
4.
Alur Perencanaan dan Penganggaran................................................................... 20
5.
Segitiga Pembangunan......................................................................................... 25
6.
Nilai Ekonomi Keterkaitan.................................................................................. 26
7.
Kerangka Umum Pemikiran Penelitian............................................................... 30
8.
Kerangka Analisis Penelitian............................................................................... 31
9.
Tahapan Analisis PCA......................................................................................... 39
10. Tahapan Proses Analisis Penelitian..................................................................... 44 11. Peta Administratif Provinsi Banten..................................................................... 46 12. Grafik Indeks Sax01............................................................................................ 80 13. Grafik Indeks Sax02............................................................................................ 81 14. Grafik Indeks Sax03............................................................................................ 81 15. Grafik Indeks Sax04............................................................................................ 82 16. Grafik Indeks Sax05............................................................................................ 83 17. Grafik Indeks Sax06............................................................................................ 84 18. Grafik Indeks Sax07............................................................................................ 85 19. Grafik Indeks Sax08............................................................................................ 86 20. Grafik Indeks Sax09............................................................................................ 87 21. Grafik Indeks Sax10............................................................................................ 87 22. Grafik Indeks Sax11............................................................................................ 88 23. Grafik Indeks Sax12............................................................................................ 89 24. Grafik Indeks Sax13............................................................................................ 90 25. Grafik Indeks Sax14............................................................................................ 91 26. Grafik Indeks Kpd01............................................................................................ 93 27. Grafik Indeks Kpd02............................................................................................ 94 28. Grafik Indeks Kpd03............................................................................................ 94 29. Peta Sebaran Tipologi Wilayah Kpd01 tahun 2007............................................. 95 30. Peta Sebaran Tipologi Wilayah Kpd02 tahun 2007............................................. 96
xvii
31. Peta Sebaran Tipologi Wilayah Kpd03 tahun 2007............................................. 97
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Simbol Kombinasi Daerah (Kabupaten/Kota) dan Tahun................................... 119
2.
Variabel Indikator Kinerja Pembangunan Daerah (Kpd).................................... 120
3.
Variabel Indikator Struktur Ekonomi Daerah (Sed)............................................ 121
4.
Variabel Indikator Struktur Harga-harga (Shh)................................................... 122
5.
Variabel Indikator Kependudukan (Duk)............................................................ 123
6.
Variabel Indikator Struktur Anggaran Penerimaan (Sar).................................... 124
7.
Variabel Indikator Struktur Anggaran Pengeluaran (Sax)................................... 125
8.
Variabel Komposit Indikator............................................................................... 127
9.
Kalsifikasi Tipologi Wilayah Berdasarkan Indikator Potensi Ekonomi Daerah.................................................................................................................. 129
10. Kalsifikasi Tipologi Wilayah Berdasarkan Pola Penganggaran.......................... 130 11. Kalsifikasi Tipologi Wilayah Berdasarkan Kinerja Pembangunan Daerah......... 132
xix
PENDAHULUAN Latar Belakang Landasan filosofi yang melatarbelakangi lahirnya UU 22/1999 (direvisi oleh UU 32/2004) tentang Pemerintahan Daerah adalah untuk mengembangkan semangat demokrasi, meningkatkan peran aktif dan pemberdayaan masyarakat, serta pemerataan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut merupakan tujuan utama pelaksanaan pembangunan daerah yang sebenarnya. Tetapi
pada
kenyataannya,
dalam
penyusunan
undang-undang
tersebut
dipengaruhi oleh iklim demokrasi yang tidak terkendali, serta dipacu oleh perubahan kondisi politik yang begitu cepat. Akibatnya, dalam upaya mengatur kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, masih dirasakan kurang sempurna, baik dalam menafsirkan isi substansi undang-undang tersebut, maupun pada implementasinya di lapangan. Berbagai persoalan yang cenderung sangat kompleks dan multidimensional diprediksi sebagai akibat dari terjadinya kesimpangsiuran pemahaman dan pengkotak-kotakan dikhawatirkan
akan
dalam
penyelenggaraan
menimbulkan
otonomi
inefisiensi
daerah.
pengelolaan
Hal
ini
sumberdaya
pembangunan daerah, serta hubungan serasi dan harmonis antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota kurang terpelihara. Akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa melemah dan menimbulkan disintegrasi bangsa. Dalam konteks perencanaan wilayah, pembangunan daerah selalu melibatkan berbagai unsur/pihak/komponen, baik sebagai subjek maupun sebagai objek. Tingkat keterlibatan komponen tersebut, terbagi dalam berbagai fungsi, peranan, dan manfaatnya masing-masing. Fungsi, peranan, dan manfaat yang bervariasi tersebut, menimbulkan berbagai kepentingan yang beragam pula. Karena perbedaan kepentingan itulah yang menyebabkan pentingnya koordinasi sebagai alat/pendekatan dan upaya dalam proses pembangunan, agar proses pembangunan dapat dilaksanakan secara sinergis dan harmonis antara komponenkomponen yang berbeda tersebut.
2
Hal ini diperkuat oleh pasal 4 ayat 1 dan 2 UU 32/2004 yang menyatakan bahwa daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota tidak lagi mempunyai hubungan hierarki. Sehingga masing-masing daerah otonom mempunyai kewenangan untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pembangunan di daerahnya. Dengan demikian pemerintah provinsi bukan lagi sebagai atasan dari pemerintah kabupaten/kota. Provinsi tidak lagi mengatur atau menjadi tumpuan pemerintah daerah kabupaten/kota seperti pada sebelum masa paradigma baru. Begitu juga dengan pemerintah provinsi yang tidak lagi diatur dan tergantung pada pemerintah pusat tetapi sebagai daerah yang otonom dan mandiri, kecuali untuk tugas-tugas dan kewenangan tertentu yang dilaksanakan dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Mengacu pada ketentuan tersebut, maka hubungan hierarki antar jenis pemerintahan tidak ada lagi, tetapi cenderung pada hubungan yang koordinatif antar daerah dan pusat. Pengarahan berubah menjadi konsultasi yang menghasilkan kesepakatan atau musyawarah yang positif dan produktif serta menguntungkan berbagai pihak. Dengan demikian hubungan antar wilayah/daerah lebih bersifat konsultatif dan koordinatif dalam nuansa kesetaraan/kemitraan. Saefulhakim (2008), menjelaskan bahwa dalam pembangunan suatu wilayah berorientasi pada perubahan ke arah kemajuan atau terjadinya peningkatan kinerja pembangunan daerah. Perubahan ke arah kemajuan tersebut hanya bisa terjadi jika ada dorongan dari: (1) proses alamiah (natural processes), (2) mekanisme pasar (market mechanism), (3) proses perencanaan (planning processes), atau (4) kombinasi antar berbagai proses tersebut. Kemudian dijelaskan kembali bahwa perubahan ke arah kemajuan berpangkal dari adanya kekhasan substansial (unique substances) dan keterkaitan fungsional (functional interaction) antar berbagai kekhasan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, pembangunan terhadap suatu wilayah seharusnya diawali dengan mengidentifikasi potensi sumberdaya yang dimiliki, serta kebutuhan masyarakat secara umum dan luas. Kemudian dilanjutkan dengan menyusun suatu perencanaan yang melibatkan berbagai aspek dan pihak-pihak yang terkait untuk menentukan bagaimana cara pelaksanaan dan implementasinya secara komprehensif. Dengan demikian, penyelenggaraan pembangunan yang
3
mencakup seluruh proses perencanaan (termasuk pembiayaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi) harus berawal pula dari kebutuhan dan kemampuan masyarakat, sesuai dengan hasil dari koordinasi antara pihak-pihak yang terkait tersebut. Salah satu permasalahan yang memerlukan perhatian yang sangat serius adalah lemahnya pelaksanaan perencanaan dan koordinasi penyusunan alokasi anggaran pembangunan daerah. Penganggaran yang tanpa melalui koordinasi sektoral dan daerah, baik dalam bentuk komunikasi dan/atau kerjasama, akan mengakibatkan penganggaran yang kurang tepat sasaran dan dapat menimbulkan eksternalitas yang negatif (saling merugikan) antar daerah. Hal ini dapat mempengaruhi pengelolaan sumberdaya yang tidak efektif dan efisien, serta ketimpangan pendapatan antar golongan masyarakat meningkat, sehingga dapat meningkatkan kemiskinan dan pengangguran. Jika hal ini tetap dibiarkan, maka akan
terjadi
implikasi
kontra-produktif
terhadap
peningkatan
kinerja
pembangunan daerah. Fenomena-fenomena tersebut menjadi isu yang sangat penting dan pantas mendapat perhatian yang sangat serius. Oleh karena itu, melalui penelitian yang berbasis data ini diharapkan dapat memberikan informasi atau gambaran mengenai perencanaan dan koordinasi penganggaran sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah. Perumusan Masalah Menurut Saefulhakim (2008), dalam pengembangan suatu wilayah dari aspek ekonomi lebih terkonsentrasi kepada upaya untuk mendorong kemajuan perekonomian daerah. Ukuran kemajuan ekonomi daerah tersebut diantaranya adalah: (1) pertumbuhan ekonomi daerah (economic growth), (2) produktifitas ekonomi daerah (productivity), (3) pendapatan asli daerah (fiscal capacity), serta (4) tingkat kemiskinan (poverty) dan pengangguran (unemployment) di daerah. Sedangkan segala sumberdaya dan instrumen yang dimiliki daerah yang dapat diukur disebut dengan Potensi Ekonomi Daerah, meliputi: (1) sumber daya alam (SDA), (2) sumber daya manusia (SDM), (3) sumber daya sosial (SDS), (4)
4
sumber daya buatan (infrastruktur, fasilitas publik, dan penataan ruang), (5) penganggaran belanja, (6) jejaring keterkaitan antar daerah (interaksi spasial). Selain itu, Adisasmita (2005) menyatakan bahwa pembangunan merupakan suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi dan serba sejahtera. Pertumbuhan ekonomi biasa dilihat dari tolok ukur peningkatan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan ukuran produktifitas wilayah yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah dan negara. PDRB pada dasarnya merupakan total produksi kotor dari suatu wilayah, yaitu total nilai dari semua barang dan jasa yang diproduksi oleh masyarakat di wilayah tersebut dalam periode satu tahun. Dengan demikian perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi dapat diartikan sebagai kontribusi seluruh sektorsektor dalam pembangunan untuk mencapai pertumbuhan yang mendorong ke arah kemajuan perekonomian daerah. Selanjutnya Rustiadi et al., (2007) berpendapat bahwa, indikator pembangunan merupakan sekumpulan cara untuk mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran operasional berdasarkan tujuan-tujuan pembangunan. Dari berbagai pendekatan yang memuat konsepkonsep dasar mengenai tujuan-tujuan hakiki pembangunan, maka Rustiadi et al. menyimpulkan tiga tujuan pembangunan, yaitu: (1) produktifitas, efisiensi, dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability). Berdasarkan beberapa hal tersebut, capaian kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dapat diukur melalui tiga indikator pembangunan daerah, yaitu: (1) Jumlah Penduduk Miskin; (2) Jumlah Pengangguran; dan (3) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB). Tabel 1 menunjukan bahwa PDRB dari setiap wilayah di Provinsi Banten pada tahun 2003 sampai pada tahun 2007 masih belum merata. Kota Tangerang memberikan kontribusi PDRB terbesar dengan peningkatan sebesar 0,9% dan Kabupaten Tangerang dengan
Provinsi Banten sebagai wilayah sampel yang dipilih secara sengaja (purposive sample) dalam penelitian ini.
5
peningkatan sebesar 0,5%. Penurunan PDRB terbesar dialami oleh Kabupaten Serang (0,65%) dan Kota Cilegon (0,56%). Sedangkan kontribusi PDRB terendah dan mengalami penurunan adalah Kabupaten Pandeglang (0,08%) dan Kabupaten Lebak (0,12%). Tabel 1 Indikator Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi Banten Daerah Kabupaten/Kota
Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk Miskin
Pengangguran
PDRB ADHB
2003
2007
2003
2007
2003
2007
2003
1. Pandeglang
1,082,012
1,085,042
162,235
157,872
87,806
45,901
5,633,527.14
6,141,845.51
2. Lebak
1,122,228
1,210,149
161,313
159,830
84,939
63,324
5,437,899.92
6,029,385.22
3. Serang
1,776,995
1,808,464
210,429
212,878
141,011
119,020
11,084,637.47
13,726,881.19
4. Tangerang
3,185,944
3,473,271
269,859
348,688
228,697
233,357
28,042,138.12
30,897,846.52
5. Kota Cilegon
2007
326,324
338,027
15,709
25,437
27,451
31,573
14,498,981.28
16,038,683.42
6. Kota Tangerang
1,462,726
1,508,414
80,139
73,504
103,285
139,587
35,122,593.49
39,354,584.21
Provinsi Banten
8,956,229
9,423,367
899,684
978,209
673,189
632,762
99,819,777.42
112,189,226.08
Sumber : Banten Dalam Angka (BDA 2003, 2007).
Jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten secara umum mengalami peningkatan. Daerah kabupaten/kota yang mengalami peningkatan jumlah penduduk miskin adalah Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Cilegon. Sedangkan Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, dan Kota Tangerang mengalami penurunan. Jumlah penduduk pencari kerja/pengangguran di Provinsi Banten secara umum mengalami penurunan. Daerah kabupaten/kota yang mengalami peningkatan jumlah pengangguran terdapat di Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang. Pengembangan Wilayah Provinsi Banten masih belum mencapai tujuan pembangunan yang sesungguhnya. Kajian Ekonomi Regional Banten (Biro Kebijakan Moneter-BI) pada Triwulan II/2008 menyatakan bahwa perekonomian Banten tumbuh sekitar 5,9% yang melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (6,0%). Kualitas pertumbuhan ekonomi yang masih belum optimal berdampak pada belum tercapainya perbaikan beberapa indikator kinerja pembangunan daerah, diantaranya adalah tingkat pengangguran dan kesejahteraan masyarakat. Tingkat pengangguran sedikit menunjukkan perbaikan, namun persentase penduduk miskin tahun 2007 masih lebih tinggi dari tahun 2005. Angka pengangguran di Banten turun 18,9% pada tahun 2006 menjadi 14,2%
6
pada tahun 2008, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pengangguran nasional (8,5%). Tingkat kemiskinan relatif turun yaitu 8,2% dari 8,9% dan lebih rendah dibandingkan dengan nasional (15,4%). Dari sisi sektoral hal ini juga tercermin pada lambatnya pertumbuhan di sektor ekonomi yang banyak menyerap tenaga kerja, seperti industri. Hal ini juga berdampak pada peningkatan kesenjangan pendapatan yaitu dari 0,356 (Gini Ratio) pada tahun 2005 menjadi 0,365 pada tahun 2007 (Maret). Kecenderungan ini diduga akan terus berlangsung pada tahun-tahun selanjutnya, seiring dengan perencanaan dalam penyusunan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di wilayah Provinsi Banten yang masih belum tepat sasaran. Secara keseluruhan, hal tersebut menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi dari setiap daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten selama menjadi daerah otonom, masih kurang berimbang. Dengan kata lain indikator kinerja pembangunan daerah di wilayah tersebut masih belum dapat menunjukan adanya peningkatan yang mengarah pada kemajuan. Capaian kinerja pembangunan daerah
tersebut,
dapat
dipengaruhi
oleh
kinerja
pembangunan
daerah
kabupaten/kota di wilayah provinsi tersebut. Jika kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota di Provinsi Banten meningkat, maka akan mendorong kemajuan pembangunan wilayah Provinsi Banten. Fenomena yang terjadi dalam pencapaian indikator kinerja pembangunan daerah yang belum optimal tersebut, jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah menandakan bahwa terdapat pengelolaan sumberdaya yang masih dirasakan kurang efisien termasuk penganggaran belanja pemerintah daerah yang masih belum berimbang dan tepat sasaran. Pendugaan ini berdasakan pada teori Model Input-Output (I-O) yang dikembangkan pertama kali oleh Wassily Leontief pada tahun 1930-an. Dalam Model I-O dijelaskan bahwa penganggaran belanja pemerintah atau pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen dari permintaan akhir (final demand) yang sangat mempengaruhi nilai tambah (value added) (Nazara, 2005). Dengan kata lain bahwa peningkatan kinerja pembangunan daerah dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pemerintah daerah, termasuk didalamnya masalah penganggaran melalui proses penyusunan perencanaan yang tidak mudah.
7
Pada pasal 150 UU 32/2004 tentang Perencanaan Pembangunan Daerah, bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah disusun perencanaan daerah oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Adapun produk rencana yang disusun berdasarkan jangka waktu, meliputi: (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu kepada RPJP nasional. (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang berpedoman kepada RPJPD dengan memperhatikan RPJM nasional. RPJMD memuat kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), lintas SKPD, dan program kewilayahan disertai dengan Rencana Kerja dalam keangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. (3) Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah. Semua produk perencanaan daerah tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP). Selain itu, pasal 179 UU 32/2004 tentang APBD dijelaskan bahwa APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran. Dalam penyusunan Rancangan APBD (R-APBD), kepala daerah menetapkan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebagai dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran SKPD (RKA-SKPD). Kemudian kepala SKPD menyusun RKA-SKPD melalui pendekatan prestasi kerja yang dicapai dan disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan perda tentang APBD tahun berikutnya. Selanjutnya pada pasal 181 ayat 1 UU 32/2004 menjelaskan bahwa kepala daerah mengajukan rancangan perda tentang APBD disertai penjelasan dan
8
dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memperoleh persetujuan bersama (lihat Gambar 1).
ALUR PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH/APBD (UU 32/2004 dan UU 33/2004)
RPJP NASIONAL
RPJM NASIONAL
RPJPM PROVINSI
RPJPD ROVINSI
RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP)
RKPD PROVINSI KUA-PPAS
R-APBD APBD RPJPD KAB/KOTA
RPJPM KAB/KOTA
RKPD KAB/KOTA
KUA-PPAS
R-APBD
APBD
Gambar 1 Alur Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah dan APBD. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, bahwa dalam penyusunan APBD provinsi dan penyusunan APBD kabupaten/kota sepertinya tidak ada hubungan keterkaitan yang nyata karena masing-masing daerah melaksanakan perencanaan pembangunan daerah sesuai dengan kewenangannya. Hal ini dikhawatirkan akan mengakibatkan melemahnya struktur hubungan sektoral dan daerah yang saling terkait, sehingga berimplikasi kontra produktif terhadap kemajuan pembangunan daerah provinsi dan kabupaten/kota.
9
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
tipologi
wilayah
Provinsi
Banten
berdasarkan
pola
penganggaran? 2. Bagaimanakah tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan kinerja pembangunan daerah? 3. Bagaimanakah membangun model spasial perencanaan dan koordinasi penganggaran
untuk
meningkatkan
kinerja
pembangunan
daerah
kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten? Penelitian Sebelumnya Tanpa mengabaikan hasil penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di Provinsi Banten mengenai pernencanaan dan koordinasi penganggaran, penelitian ini bermaksud untuk melanjutkan penelitian yang telah dilakukan tersebut sehingga dapat diketahui secara lebih rinci. Hasil penelitian mengenai perencanaan dan koordinasi penganggaran di Provinsi Banten yang pernah dilakukan oleh Lembaga Penelitian Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama pada tahun 2004, menyebutkan bahwa perencanaan dan koordinasi merupakan faktor penting dalam penyusunan APBD yang optimal. Namun di dalam penelitian ini tidak disebutkan secara rinci mengenai perencanaan dan koordinasi penganggaran dalam bidang apa yang dapat meningkatkan kinerja pembangunan daerah di Provinsi Banten. Untuk melanjutkan penelitian sebelumnya, penelitian ini dilakukan pada lima titik tahun yaitu dari tahun 2003 sampai dengan 2007, 24 bidang penganggaran belanja langsung, 9 sektor aktivitas perekonomian, dan 6 kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan lebih lanjut dari hasil penelitian sebelumya yang dilakukan oleh Prihantono (2004).
10
Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara keseluruhan, tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran peran perencanaan dan koordinasi penganggaran yang dapat meningkatkan kinerja pembangunan daerah. Tujuan penelitian ini khususnya adalah : 1. Mengidentifikasi
tipologi
wilayah
Provinsi
Banten
berdasarkan
pola
penganggaran. 2. Mengidentifikasi tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan kinerja pembangunan daerah. 3. Menganalisis
model
spasial
hubungan
perencanaan
dan
koordinasi
penganggaran untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah Provinsi Banten. Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah, sebagai salah satu masukan (input) dalam penentuan skala prioritas perencanaan dan koordinasi penganggaran antar daerah untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah. Pembatasan Masalah Dalam penyusunan karya tulis ini diperlukan pembatasan masalah. Hal ini dilakukan karena penyusunan karya ilmiah ini dibatasi oleh waktu dan biaya yang tersedia. Oleh karena itu, agar penulisan dapat lebih terfokus maka dilakukan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam
menentukan
dan
menganalisis
perencanaan
dan
koordinasi
penganggaran terhadap kinerja pembangunan daerah, dilakukan dengan memfokuskan pada aspek ekonomi dari masing-masing sektor/bidang perekonomian. Tanpa mengabaikan aspek-aspek lain, dilakukan pembahasan secara deskriptif untuk mendukung pembahasan pada aspek ekonomi tersebut. 2. Pembahasan mengenai keterkaitan penganggaran dan kerjasama penganggaran terhadap kinerja pembangunan daerah hanya melihat keterkaitan pola penganggaran dan aktivitas ekonomi antar daerah terhadap peningkatan kinerja pembangunan, tanpa melakukan pembahasan analisis optimasi dan analisis elastisitas perencanaan dan koordinasi antar daerah yang ideal.
TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan Pembangunan Daerah Pengertian perencanaan pembangunan daerah dapat dilihat berdasarkan unsur-unsur yang membentuknya, yaitu: unsur perencanaan, unsur pembangunan, dan unsur daerah. Setiap unsur-unsur tersebut dilihat, kemudian diambil suatu kesimpulan sehingga membentuk suatu pengertian yang utuh. Istilah perencanaan telah banyak didefinisikan secara berbeda-beda. Menurut UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia. Suatu cara rasional untuk mempersiapkan masa depan merupakan arti perencanaan yang dikemukakan oleh Kelly dan Becker. Sedangkan Kay dan Alder menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Sehingga Rustiadi et al. (2007) menyimpulkan bahwa perencanaan merupakan suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Kemudian,
Ginanjar
Kartasasmita
(Riyadi
dan
Deddy,
2003)
mengemukakan bahwa pada dasarnya perencanaan merupakan sebagai fungsi manajemen yaitu suatu proses pengambilan keputusan dari sejumlah pilihan yang ada untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan Jawaharlal Nehru mendefinisikan ”Planning is the exercise of intelegence to deal with facts and situations as they are and find a way to solve problems.” Artinya perencanaan adalah melatih intelegensia untuk menghadapi permasalahan sesuai dengan faktafakta dan situasi sebagaimana adanya kemudian mencari suatu cara untuk memecahkan permasalahan tersebut. Dalam pengertian yang sederhana menurut Jhingan (1994), perencanaan dapat diartikan sebagai teknik, cara untuk mencapai tujuan. Tujuan yang dimaksud adalah sasaran tertentu yang telah ditentukan sebelumnya dan telah
12
dirumuskan dengan baik oleh lembaga yang berwenang dalam hal ini, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil kata kunci tentang definisi perencanaan yaitu: (1) unsur asumsi yang berdasarkan fakta; (2) unsur pilihanpilihan sebagai dasar penentuan kegiatan yang akan dilakukan; (3) unsur tujuan yang ingin dicapai; (4) unsur prediksi sebagai langkah antisipasi kemungkinankemungkinan yang akan mempengaruhi pelaksanaan; (5) unsur kebijakan sebagai hasil keputusan yang harus dilaksanakan. Selanjutnya mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan atau pengembangan atau dalam Bahasa Inggris development, sering digunakan dalam hal yang sama, bahkan dapat saling dipertukarkan untuk berbagai hal. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa pengembangan lebih menekankan proses peningkatan atau perluasan, karena pengembangan dirasa tidak dilakukan dari nol, dengan kata melakukan sesuatu yang sudah ada menjadi lebih baik. Secara
filosofis,
Rustiadi
et
al.,
(2007)
menyatakan,
bahwa
pembangunan/pengembangan dapat didefinisikan sebagai ” upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik”. Secara sederhana pembangunan sering diartikan sebagai upaya untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkatan atau kemajuan dari keadaan semula, dan tidak jarang bahwa pembangunan diasumsikan sebagai pertumbuhan. Secara tegas Saigan (1983) mengemukakan dalam bukunya Administrasi Pembangunan, bahwa: ”Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang. Sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat
13
menyebabkan terjadinya pertumbuhan, dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan. Dari batasan-batasan mengenai perencanaan dan pembangunan yang telah diuraikan, maka didapat suatu gambaran mengenai perencanaan pembangunan. Perencanaan pembangunan merupakan suatu tahapan awal dalam proses pembangunan. Sebagai
tahapan awal, perencanaan
pembangunan akan menjadi bahan/pedoman/acuan dasar bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan (action plan). Karena itu, perencanaan pembangunan hendaknya bersifat implementatif (dapat dilaksanakan) dan aplikatif (dapat diterapkan). Kegiatan perencanaan pembangunan pada dasarnya merupakan kegiatan penelitian, karena proses pelaksanaannya akan banyak menggunakan berbagai metode penelitian. Mulai dari teknik pengumpulan data, analisis data, hingga studi lapangan untuk mendapatkan data-data yang akurat. Dengan demikian, Perencanaan Pembangunan dapat dinyatakan sebagai suatu proses perumusan kebijakan melalui berbagai alternatif/pilihan berdasarkan pada data dan
informasi,
sebagai
bahan
untuk
melaksanakan
suatu
rangkaian
kegiatan/aktifitas, dalam mencapai tujuan yang lebih baik. Selanjutnya mengenai hubungannya dengan daerah sebagai wilayah pembangunan,
yaitu
sebagai
tempat
terbentuknya
konsep
perencanaan
pembangunan. Sehingga dapat dinyatakan bahwa Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses yang dilakukan untuk perubahan kearah yang lebih baik bagi suatu komunitas dalam suatu wilayah tertentu dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang ada, dengan berorientasi secara menyeluruh, lengkap dan berprioritas. Berdasarkan UU 25/2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah di Indonesia dipisahkan ke dalam tiga hal. Pertama perencanaan pembangunan yang didasarkan oleh periode waktu yang terdiri atas: (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk periode 20 (dua puluh) tahun; (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk periode 5 (lima) tahun; (3) Rencana Kerja Pembangunan (RKP) dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) untuk periode 1 (satu) tahun.
14
Kedua, pembangunan direncanakan berdasarkan dimensi kedekatan dan koordinasi, yang terdiri atas perencanaan makro, perencanaan sektoral, perencanaan regional, dan perencanaan mikro. Ketiga, perencanaan pembangunan berdasarkan prosesnya yang dibagi menjadi perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up planning) dan perencanaan dari atas ke bawah (top-down planning). Koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah Koordinasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur (Alwi, et al., 2003). Dengan demikian, koordinasi dalam pembangunan daerah pada hakikatnya merupakan upaya untuk menyerasikan dan menyelaraskan aktifitas-aktifitas pembangunan di suatu daerah tertentu yang dilaksanakan oleh berbagai komponen baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Dalam pelaksanaannya, koordinasi hendaknya diterapkan dalam keseluruhan proses pembangunan sejak dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan sampai dengan evaluasinya. Jadi dalam hal ini koordinasi meliputi keseluruhan proses manajemen pembangunan. Berdasarkan pada uraian sebelumnya tentang perencanaan pembangunan nasional dan daerah diantaranya bahwa pembangunan direncanakan berdasarkan dimensi kedekatan dan koordinasi. Pembangunan yang direncanakan berdasarkan dimensi kedekatan dan koordinasi terbagi ke dalam empat bagian, yaitu: (1) perencanaan makro yaitu perencanaan pembangunan dalam skala makro atau menyeluruh dengan memperhatikan tujuan dan sasaran dalam periode rencana, berbagai variable ekonomi mikro, dan kaitannya dengan perencanaan sektoral dan regional; (2) perencanaan sektoral yaitu perencanaan yang dilakukan dengan pendekatan berdasarkan sektor atau kumpulan program/kegiatan yang mempunyai persamaan cirri-ciri serta tujuannya; (3) perencanaan regional yaitu perencanaan yang menitikberakan pada aspek lokasi pelaksanaan program/kegiatan yang akan dilakukan; dan (4) perencanaan mikro yaitu perencanaan dalam skala yang lebih spesifik/rinci dalam perencanaan tahunan sebagai penjabaran rencana makro,
15
sektoral, dan atau regional yang memuat susunan program/kegiatan perencanaan termasuk penganggarannya (Dahuri, 2003) seperti pada Gambar 2. PERENCANAAN MAKRO Keperluan sektor
Kemungkinan sumber
Keperluan spasial
Sumber regional
Koordinasi spasial
PERENCANAAN SEKTORAL
PERENCANAAN REGIONAL
(Keterkaitan Regional)
(Keterkaitan Sektoral) Efisiensi/efektifitas
Alokasi spasial di wilayah/daerah
PERENCANAAN MIKRO 1. 2. 3. 4. 5.
Kebijakan Operasional Sasaran Proyek Kegiatan Lokasi Anggaran
Gambar 2 Koordinasi perencanaan pembangunan. Koordinasi perencanaan dalam Permendagri nomor 9 tahun 1982 meliputi beberapa aspek yaitu: (1) Aspek fungsional (maksudnya adalah adanya kaitan dan keterpaduan fungsional antara berbagai kegiatan; antara suatu instansi dengan instansi lain; antara setiap tahap perencanaan; antara program/proyek pada satu wilayah dengan wilayah lain). (2) Aspek formal yaitu adanya kaitan antar program/proyek yang direncanakan dengan peraturan, instruksi, edaran dan petunjuk dari tingkat nasional. (3) Aspek struktural yaitu adanya kaitan dan adanya koordinasi dalam bentuk penugasan pada tiap tingkat instansi yang bersangkutan. (4) Aspek materil yaitu adanya kaitan dan koordinasi antara program/proyek intra antar instansi. (5) Aspek operasional yaitu adanya kaitan dan keterpaduan dalam penentuan langkah-langkah pelaksanaan baik menyangkut waktu, lokasi maupun kebutuhan material. Dalam hubungannya dengan proses pembangunan baik pada skala nasional ataupun lokal, peran kepemimpinan ini akan dipegang oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan
pemerintah
merupakan
komponen
negara
yang
memiliki
otoritas/kewenangan dengan segala aturan dan regulasi yang sah. Dengan demikian koordinator pembangunan pada dasarnya adalah pemerintah.
16
Keadaan tersebut memang tidak terbantahkan tetapi yang menjadi masalah biasanya adalah sampai sejauh mana pemerintah mampu melaksanakan fungsi dan peranannya tersebut sehingga pembangunan bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien. Apalagi pada kondisi globalisasi seperti ini di mana ada tuntutan yang kuat terhadap pergeseran peran pemerintah dari mengendalikan menjadi mengarahkan. Melaksanakan peran dan fungsi sebagai koordinator dalam pembangunan sebagaimana diperankan oleh pemerintah memang tidak mudah. Apalagi dalam unsur pemerintah tersebut yang bergerak sebagai pelaku pembangunan terbagi ke dalam berbagai institusi, badan, lembaga, atau departemen sesuai dengan bidangnya masing-masing. Selain itu, komponen swasta dan masyarakat pun terbagi dalam berbagai fungsi dan peran seperti kalangan industri, perbankan, jasa dan pelayanan dan lain-lain. Sedangkan pada kalangan masyarakat terdapat golongan buruh, petani, pegawai dan lain-lain. Hal ini semakin menegaskan pentingnya koordinasi sebagai alat untuk menyatupadukan fungsi dan peran yang berbeda, agar terjalin suatu kerjasama yang baik, efektif dan efisien sehingga tujuan bersama dapat tercapai. Koordinasi hendaknya tidak sekedar dipandang sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan untuk memenuhi standar normatif, melainkan harus dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang perlu diupayakan pemenuhannya dengan senantiasa menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki, sehingga komitmen untuk melaksanakan koordinasi tetap tinggi. Lebih spesifik lagi, koordinasi diperlukan sebagai upaya untuk menghasilkan pembangunan yang efisien dalam pemanfaatan sumberdaya untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran secara optimal. Dengan demikian ada beberapa alasan yang perlu diketahui dan dipahami dengan baik dalam menilai perlunya koordinasi pembangunan daerah yaitu: 1. Koordinasi dalam pembangunan sangat diperlukan sebagai suatu konsekuensi logis dari adanya aktifitas dan kepentingan yang berbeda. 2. Aktifitas dan kepentingan yang berbeda juga membawa konsekuensi logis terhadap adanya tanggung jawab yang secara fungsional berbeda pula. 3. Ada institusi, badan dan lembaga yang menjalankan peran serta fungsinya masing-masing.
17
4. Ada unsur sentralisasi dan desentralisasi yang dijalankan dalam proses pembangunan yang melibatkan institusi pusat maupun daerah. 5. Koordinasi merupakan alat sekaligus upaya untuk melakukan penyelarasan dalam proses pembangunan sehingga akan tercipta suatu aktifitas yang harmonis, sinergis dan serasi untuk mencapai tujuan bersama. Perencanaan Keuangan Daerah Pengertian Keuangan Daerah berdasarkan PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Kemudian dijelaskan juga mengenai pengertian Pengelolaan Keuangan Daerah yaitu keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah. Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk mampu menciptakan sistem manajemen serta peran kelembagaan (institution) yang mampu mendukung pelaksanaan pembangunan daerah. Kelembagaan memiliki dua pengertian yaitu kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dan kelembagaan sebagai suatu organisasi. Perubahan institusi (otonomi daerah) akan berdampak terhadap keragaan sistem organisasi kelembagaan pada kegiatan sektor ekonomi secara keseluruhan. Kebijakan otonomi daerah secara langsung dan/atau tidak langsung akan berpengaruh dalam pelaksanaan pembangunan di daerah secara sektoral maupun regional. Dalam sistem manajemen pembangunan daerah, menurut Solihin (2007) bahwa fungsi dan peranan pemerintah daerah saling berkaitan erat satu sama lainnya membentuk suatu rangkaian (Gambar 3) yaitu: (1) perencanaan, (2) pengerahan (mobilisasi) sumber daya, (3) menggerakan partisipasi masyarakat, (4) penganggaran, (5) pelaksanaan pembangunan yang ditangani langsung oleh pemerintah daerah, (6) koordinasi, (7) pemantauan dan evaluasi dan (8) pengendalian. Kedelapan fungsi dan peranan pemerintah daerah dalam suatu sistem manajemen pembangunan tersebut harus dibangun berdasarkan suatu
18
sistem informasi yang kuat (Gambar 3). Salah satu fungsi dan peranan pemerintah dalam sistem manajemen pembangunan tersebut adalah penganggaran.
Gambar 3 Fungsi-fungsi manajemen pembangunan. Penganggaran pemerintah berdasarkan Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, diwujudkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran. Adapun struktur dari APBD adalah pendapatan, belanja, dan pembiayaan (Tabel 2). Pendapatan daerah merupakan sumber keuangan daerah, yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Pendapatan Lain-lain yang Sah. Belanja daerah merupakan pengeluaran untuk kebutuhan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan pelaksanaan pembangunan daerah, sedangkan pembiayaan untuk menutupi defisit anggaran yaitu selisih antara pendapatan dan belanja yang terdiri dari penerimaan dan pengeluaran.
19
Tabel 2 Struktur Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) - Pajak Daerah ( kewajiban bayar yang tidak diberikan fasilitas ) - Retribusi Daerah ( kewajiban bayar yang disertai fasilitas ) - Bagian Laba Usaha Daerah ( Deviden dari Penyertaan Modal ) - Lain-lain Pendapatan Asli Daerah - Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak 2. DANA - DAU PERIMBANGAN - DAK - Dana Perimbangan dari propinsi 3. LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SYAH (1). BELANJA PEGAWAI/PERSONALIA (2). BELANJA BARANG DAN JASA 1 BIAYA ADMINISTRASI UMUM (3). BELANJA PERJALANAN DINAS (4). BELANJA PEMELIHARAAN A. BELANJA APARATUR (1). BELANJA PEGAWAI/PERSONALIA DAERAH (2). BELANJA BARANG DAN JASA 2. BIAYA OPERASIONAL PEMELIHARAAN (3). BELANJA PERJALANAN DINAS (4). BELANJA PEMELIHARAAN 3. BELANJA MODAL/PEMBANGUNAN (1). BELANJA PEGAWAI/PERSONALIA (2). BELANJA BARANG DAN JASA 1 BIAYA ADMINISTRASI UMUM (3). BELANJA PERJALANAN DINAS (4). BELANJA PEMELIHARAAN B. BELANJA (1). BELANJA PEGAWAI/PERSONALIA PELAYANAN (2). BELANJA BARANG DAN JASA 2. BIAYA OPERASIONAL PUBLIK PEMELIHARAAN (3). BELANJA PERJALANAN DINAS (4). BELANJA PEMELIHARAAN 3. BELANJA MODAL/PEMBANGUNAN 4. BELANJA BAGI HASIL DAN BANTUAN KEUANGAN 5. BELANJA TAK TERSANGKA - sisa perhitungan anggaran Tahun lalu - transfer dari dana cadangan 1. PENERIMAAN - transfer dari dana depresiasi DAERAH - penerimaan pinjaman dan obligasi - hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan - penyertaan modal - transfer ke dana cadangan 2. PENGELUARAN - transfer ke dana depresiasi DAERAH - pembayaran utang pokok yang jatuh tempo - sisa perhitungan anggaran tahun berkenaan 1. PENDAPATAN ASLI DAERAH PENDAPATAN DAERAH
BELANJA DAERAH
PEMBIAYAAN
Sumber: PP 58/2003 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota. Belanja daerah terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan dalam bagian atau bidang tertentu yang penanganannya dapat dilaksanakan bersama, antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Dalam perencanaan keuangan daerah pada Gambar 4, terdapat beberapa tahapan analisis yang perlu dilakukan (Solihin, 2007) yaitu: 1. Analisis Potensi Pendapatan Daerah yang terdiri dari: a. Identifikasi potensi pendapatan daerah yang berupa pengumpulan data dan informasi yang merupakan sumber pendapatan daerah. Misalnya: dana transfer Dana Alokasi Umum (DAU), potensi Dana Alokasi
20
Khusus (DAK), SDA yang dapat dibagihasilkan, pajak penghasilan yang signifikan dan jenis-jenis Pendapatan Asli Daerah (PAD) lainnya. b. Penetapan asumsi ekonomi untuk PAD. c. Pengembangan sumber pendapatan daerah. 2. Bila terjadi defisit APBD, perlu dilakukan: a. Analisis kemampuan pinjaman daerah b. Analisis alternatif sumber keuangan daerah di luar pinjaman. 3. Penetapan arah anggaran belanja daerah a. Analisis belanja masa lalu dan ke depan meliputi proporsi belanja dan unit satuan belanja. b. Analisis pengembangan ekonomi lokal, melalui memfasilitasi ekonomi lokal serta membangun kemitraan pemerintah daerah dengan swasta. c. Analisis tingkat kesejahteraan masyarakat yaitu dengan mengacu pada posisi daerah dalam pencapaian kesejahteraan melalui Indeks Prestasi Manusia (IPM) serta alokasi untuk mempercepat perbaikan IPM.
Gambar 4 Alur perencanaan dan penganggaran. Hasil pelaksanaan strategi pembangunan daerah yang didukung oleh APBD adalah peningkatan kesejahteraan rakyat yang diukur berdasarkan indikatorindikator keberhasilan yang telah disepakati.
21
Indikator Kinerja Pembangunan Daerah Dalam mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah, diperlukan suatu batasan yang digunakan sebagai acuan dalam melakukan perencanaan pembangunan wilayah selanjutnya. Ukuran-ukuran atau batasan-batasan tersebut dalam istilah pembangunan daerah biasa disebut sebagai indikator. Indikator adalah suatu ukuran secara kuantitatif dan kualitatif yang mendeskripsikan tingkat pencapaian sesuatu yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan (Rustiadi et al. 2007). Dalam perspektif kinerja pembangunan daerah, indikator merupakan ukuran yang digunakan untuk menunjukan tingkat kemajuan atau keberhasilan kinerja pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan, sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Ukuran atau indikator kinerja pembangunan yang paling sering digunakan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi. Prof. Simon Kuznets dalam bukunya Modern Economic Growth (1966) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu kenaikan secara terus menerus dalam produk per-kapita atau per-pekerja, yang diiringi dengan pertambahan jumlah penduduk dan perubahan struktural. Pertumbuhan ekonomi modern tersebut mengacu kepada perkembangan negara-negara maju seperti: Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Jepang. Kemudian Prof. Kuznets menunjukan enam ciri pertumbuhan ekonomi modern secara kuantitatif yang muncul dalam analisa yang berdasarkan pada produk nasional dan komponen-komponennya yaitu antara lain penduduk dan tenaga kerja. Keenam ciri tersebut adalah: 1. Laju pertumbuhan penduduk dan produk per-kapita Kuznets menunjukan, bahwa pertumbuhan ekonomi modern berdasarkan pengalaman negara-negara maju pada akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19, ditandai dengan peningkatan laju produk per kapita yang tinggi dan diiringi dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat. Hal ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara jumlah produk yang dihasilkan dengan pertambahan jumlah penduduk dalam suatu wilayah. Peningkatan laju produk per-kapita yang tinggi tersebut menandakan bahwa jumlah produk yang dihasilkan harus lebih besar dari jumlah penduduk dalam suatu wilayah tersebut.
22
2. Peningkatan produktifitas Meningkatnya laju produk perkapita, salah satunya adalah sebagai akibat dari adanya perbaikan kualitas
input
yang meningkatkan
efisiensi
atau
produktivitas per unit input. Semakin besar masukan tenaga kerja dan investasi maka akan semakin meningkatkan efisiensi dalam penggunaan output yang lebih besar untuk setiap unit input. 3. Laju perubahan struktural yang tinggi Perubahan struktural dalam pertumbuhan ekonomi modern mencakup peralihan aktivitas sektor perekonomian, misalnya: dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian, atau dari sektor industri ke sektor jasa. Seiring dengan pergeseran tersebut, perubahan yang dapat terjadi adalah pada sektor industri dalam alokasi produk antar berbagai perusahaan produksi, baik dalam segala bentuk maupun ukurannya. Akibatnya dapat terjadi perubahan dalam alokasi tenaga kerja. Perubahan aktivitas sektor perekonomian tersebut dapat mempengaruhi kontribusi sektor terhadap tingkat produk per kapita, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. 4. Urbanisasi Pertumbuhan ekonomi modern juga ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, melalui perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan atau urbanisasi. Perubahan teknologi yang menyebabkan perpindahan penduduk dan tenaga kerja, karena sarana teknis transportasi dan komunikasi berkembang cenderung lebih efektif di daerah perkotaan. Hal ini dapat mempengaruhi pengelompokan penduduk berdasarkan status sosial dan ekonomi serta mengubah pola hidupnya. 5. Ekspansi negara maju Ekspansi negara-negara maju berawal dari bangsa-bangsa Eropa akibat revolusi teknologi di bidang transportasi dan komunikasi, kemudian melahirkan dominasi politik langsung atas negara-negara jajahan, pembukaan daerah yang semula tertutup dan pemecahan daerah-daerah. Hal ini berarti bahwa faktor politik mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi modern dengan menciptakan saling ketergantungan antar negara yang berpotensi untuk saling berhubungan antar negara-negara tersebut.
23
6. Arus barang, modal, dan orang antar Bangsa Arus barang, modal, dan orang antar bangsa, merupakan akibat dari terjadinya ekspansi negara-negara maju, berdasarkan hubungan saling ketergantungan antar negara-negara tersebut. Keenam ciri pertumbuhan ekonomi modern tersebut mempunyai hubungan saling keterkaitan dalam urutan sebab akibat. Beberapa hal penting yang dapat diambil dari keenam ciri pertumbuhan ekonomi modern tersebut, adalah: (1) pertumbuhan penduduk dan serapan tenaga kerja, (2) tingkat produktivitas penduduk, (3) tingkat produk per kapita (pendapatan per kapita), (4) kemajuan teknologi, dan (5) hubungan antar negara. Dari sisi ekonomi, pengembangan wilayah lebih difokuskan kepada upaya untuk mendorong kemajuan perekonomian daerah. Menurut Saefulhakim (2008), kemajuan ekonomi suatu daerah dapat diukur secara kuantitatif diantaranya melalui: 1. Pertumbuhan ekonomi daerah (economic growth). Dapat diukur melalui rasio antara perubahan produk domestik regional bruto (PDRB) akhir tahun dan awal tahun dengan PDRB awal tahun. 2. Produktivitas ekonomi daerah (productivity). Dapat diukur melalui PDRB per kapita dan PDBR per luas lahan. 3. Pendapatan asli daerah (fiscal capacity). Dapat diukur melalui pendapatan pajak per kapita dan pendapatan pajak per luas lahan. 4. Tingkat kemiskinan (poverty) dan pengangguran (unemployment). Tingkat kemiskinan dapat diukur melalui jumlah keluarga yang memilki tingkat upah minimum sedangkan tingkat pengangguran dapat diukur melalui jumlah pencari kerja yang tidak terserap. Selain itu Solihin (2007), menjelaskan bahwa terdapat 6 jenis indikator kinerja pembangunan daerah, yaitu: 1. Indikator masukan (Inputs). Merupakan indikator yang menggambarkan segala sesuatu yang dibutuhkan baik berupa dana, sumberdaya maupun berupa teknologi dan informasi, agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran.
24
2. Indikator proses (Process). Merupakan indikator yang menggambarkan upaya yang dilakukan dalam mengolah masukan menjadi keluaran. Indikator ini sering dikaitkan dengan keterlibatan semua pihak (stakeholders dan masyarakat) serta mekanisme pelaksanaannya (termasuk koordinasi dan hubungan kerjasama antar unit organisasi). 3. Indikator keluaran (Outputs). Merupakan indikator yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan, baik berupa fisik maupun berupa non-fisik. 4. Indikator hasil (Outcomes). Merupakan indikator yang menunjukan telah dicapainya maksud dan tujuan dari kegiatan-kegiatan yang telah selesai dilaksanakan atau indikator yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah. 5. Indikator manfaat (Benefits). Indikator yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. 6. Indikator dampak (Impacts). Indikator yang menunjukan pengaruh baik positif maupun
negatif
yang
ditimbulkan
pada
setiap
pelaksanaan
kebijakan/program/kegiatan dan asumsi yang telah ditetapkan. Ekonomi Keterkaitan Keterkaitan atau interaksi antar wilayah dalam konteks perekonomian daerah
merupakan
mekanisme
yang
dapat
menggambarkan
dinamika
perekonomian yang terjadi di suatu wilayah dikarenakan aktivitas yang dilakukan oleh manusia di dalam wilayah tersebut. Aktivitas yang dimaksud adalah yang mencakup diantaranya mobilitas kegiatan, pergerakan manusia serta arus informasi dan komoditas dalam sistem perekonomian antar daerah. Menurut Saefulhakim (2008), Pembangunan merupakan perubahan kearah kemajuan yang terencana (planned changes). Dimana suatu perubahan tanpa perencanaan tidak dapat dikatakan pembangunan karena proses perencanaan berperan dalam memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut. Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, perubahan berpangkal dari adanya berbagai bentuk kekhasan substansial (unique substances) dan keterkaitan fungsional (functional interaction) yang berlangsung pada ruang dan waktu yang tepat (Gambar 5). Kekhasan tersebut dapat dilihat antara lain dalam bentuk
25
keanekaragaman sumberdaya, institusi pelaku (produsen, konsumen dan pemerintah) dan aktivitas ekonomi yang tersebar secara spasial antar daerah. Sedangkan keterkaitan dapat dilihat dalam perspektif alamiah, sistem pasar, dan sistem eksternalitas. KEMAJUAN
SEGITIGA PEMBANGUNAN
KEKHASAN
KETERKAITAN
Gambar 5 Segitiga Pembangunan (Saefulhakim 2008). Kemudian Saefulhakim (2008) juga menyebutkan bahwa nilai-nilai ekonomi yang lahir dari berbagai bentuk keterkaitan ini berakar dari tiga dimensi yaitu: (1) nilai ekonomi kekhasan (economies of uniqueness); (2) nilai ekonomi skala/ukuran (economies of scale); dan (3) nilai ekonomi cakupan (economies of scope). Dalam perspektif teori lokasi (location theory), semua ini terkait dengan adanya tiga pilar konfigurasi ruang, yaitu: (1) ketaksempurnaan mobilitas faktor produksi (imperfect factor mobility); (2) ketaksempurnaan pemilahan/pemisahan antar faktor produksi (imperfect factor divisibity); dan (3) ketaksempurnaan mobilitas barang dan jasa (imperfect factor mobility of good and services) (Gambar 6). Dengan demikian, untuk mengoptimalkan ketiga dimensi nilai-nilai ekonomi tersebut diperlukan adanya ekonomi keterkaitan melalui ketiga pilar konfigurasi ruang. Ketaksempurnaan pemilahan/pemisahan antar faktor produksi berimplikasi pada peningkatan biaya-biaya produksi, sehingga dibutuhkan kerjasama antar institusi pemilik/penguasa faktor produksi yang berbeda untuk dapat menekan biaya-biaya tersebut.
26
EKONOMI CAKUPAN
Imperfect Mobility of Goods & service
Imperfect Factor Mobility
EKONOMI INTERAKSI
EKONOMI KEKHASAN
Imperfect Factor Divisibility
EKONOMI SKALA
Gambar 6 Nilai Ekonomi Keterkaitan (Saefulhakim 2008). Pemodelan Keterkaitan antar Variabel Spasial Model Regresi Berganda Secara umum bentuk persamaan regresi dari model Cobb-Douglas (Saefulhakim, 2008) yang menghubungkan antara beberapa variabel penjelas (explanatory variables) x, dan satu variabel terikat (independent variable) y, dinotasikan sebagai berikut: ln y i
b0
b j ln x i , j
...............................................................................(1)
j
atau dalam notasi vektor dapat ditulis: ln y
b01n
b j ln x j
...............................................................................(2)
j
yi xj,i b0 bj lny 1n lnxj
: : : : :
nilai variabel tujuan untuk individu sampel ke-i nilai variabel penjelas ke-j untuk individu sampel ke-i parameter konstanta (intercept) parameter koefisien untuk variabel penjelas ke-j vektor ukuran (n 1) berisi logaritma natural dari nilai variabel tujuan untuk individu sampel ke-1 sampai dengan ke-n : vektor ukuran (n 1) berisi angka 1 sebanyak n buah : vektor ukuran (n 1) berisi logaritma natural dari nilai variabel penjelas ke-j untuk individu sampel ke-1 sampai dengan ke-n
27
Model Durbin Spasial Kinerja pembangunan ekonomi pada suatu daerah tertentu, tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan manajemen pembangunan yang dilakukan di daerah tersebut. Kinerja pembangunan ekonomi, karakteristik lingkungan, serta manajemen pembangunan yang dilakukan di daerah-daerah sekitarnya yang terkait dalam satu sistem ekologi-ekonomi juga ikut mempengaruhi (Saefulhakim, 2008). Untuk dapat mengakomodasikan fenomena keterkaitan antara suatu lokasi dengan lokasi-lokasi lain yang terkait tersebut sehingga bentuk model pada kedua persamaan regresi dari model Cobb-Douglas sebelumnya, dirubah menjadi sebagai berikut: ln y
akWn ,k ln y b01n k
c j ,kWn ,k ln x j
.............................(3)
c j ,kWn ,k ln x j
.............................(4)
b j ln x j j
j
k
atau 1
ln y
In
akWn ,k k
b01n
bj In j
k
Keterangan, In
: matriks identitas ukuran (n n)
Wn,k
: matriks ukuran (n n) yang menyatakan pola interaksi spasial tipe ke-k antar n buah daerah (disebut: kontiguitas spasial tipe ke-k). Pada situasi di mana fenomena interaksi spasial tidak nyata berpengaruh
yaitu ak=0 untuk semua tipe k dan cj,k=0 untuk semua j dan tipe k, maka model yang ditulis pada Persamaan (4) akan kembali ke bentuk konvensional seperti pada Persamaan (2). Artinya pendekatan regresi konvensional cukup realistik. Namun, pada situasi di mana minimal untuk satu tipe k parameter ak 0 dan minimal untuk satu tipe k dan satu variabel penjelas j parameter cj,k 0, maka pendekatan regresi konvensional menjadi tidak realistik. Model yang ditulis seperti pada Persamaan (4) dalam literatur ekonometrika spasial disebut sebagai Model Durbin Spasial (Spatial Durbin Model) (Upton dan Fingleton, 1985; LeSage, 1999). Sumber: Model Pemetaan Potensi Ekonomi untuk Perumusan Kebijakan Pembangunan Daerah (Saefulhakim 2008).
28
Matriks Kontiguitas Spasial Suatu variabel yang diamati pada suatu titik lokasi sampel, memiliki hubungan keterkaitan dengan variabel yang sama pada titik-titik lokasi sampel lainnya.
Dalam
teori
Ilmu
Wilayah
(Saefulhakim,
2008)
fenomena
keterkaitan/ketergantungan antar lokasi seperti ini diformalisasikan dalam berbagai konsep antara lain: (1) interaksi spasial (spatial interaction), (2) difusi spasial (spatial diffusion), (3) hirarki spasial (spatial hierarchies) dan (4) aliran antar daerah (interregional spillover). Kekuatan-kekuatan pengendali (driving forces) dari berbagai fenomena keterkaitan ini bisa terdiri atas beberapa faktor, antara lain: (1) sistem geografi fisik sumberdaya alam dan lingkungan, (2) sistem ekonomi, (3) sistem sosial budaya dan (4) sistem politik. Variabel yang diamati pada dua lokasi yang bertetangga, berdekatan, terkait atau bermitra dapat memiliki keterkaitan secara spasial (Spatial Autocorrelationship) yang lebih kuat dibandingkan dengan variabel yang diamati pada dua lokasi yang tidak pada kondisi-kondisi
tersebut.
Matriks
kontiguitas
spasial
dibangun
untuk
mengakomodasikan berbagai fenomena keterkaitan secara spasial seperti ini dalam pemodelan sistem keterkaitan. Pada dasarnya matriks kontiguitas spasial dibangun atas dasar logika interaksi spasial. Secara matematis prosedur perhitungannya dapat ditulis dalam bentuk model umum sebagai berikut:
W
w i,j
0 w2,1 M wn ,1
w1,2 0 M wn ,2
ai , j
L L O L
w1, n w2,n M 0
ai , j
........................................................................(5)
.........................................................................(6)
j
ai , j
W wi,j ai,j ci,j
ci , j 0
untuk i j untuk lainnya
...……………………………………………….(7)
= matriks kontiguitas spasial = kontiguitas antara daerah ke-i dengan daerah ke-j setelah dibakukan = kontiguitas antara daerah ke-i dengan daerah ke-j sebelum dibakukan = fungsi perhitungan kontiguitas spasial ai,j.
METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Berpikir Secara umum kebijakan pembangunan daerah dapat memberikan kontribusi terhadap fenomena-fenomena yang bersifat aktual dan mendasar. Fenomenafenomena tersebut akan mempengaruhi pelaksanaan pembangunan wilayah secara langsung maupun tidak langsung melalui mekanismenya masing-masing yang akan berimplikasi pada konsep atau kerangka analisis pembangunan wilayah. Pentingnya perencanaan pembangunan daerah yang akan dijadikan sebagai kebijakan umum pembangunan oleh pemerintah daerah, harus didasarkan pada kerangka logika keilmuan serta kondisi dan potensi daerah yang terjadi di lapangan, dan bukan pada pendugaan-pendugaan yang tanpa dasar. Selain itu, pemahaman mengenai struktur perekonomian wilayah sangat penting
dilakukan
dalam
pengambil
kebijakan
pembangunan
daerah.
Pengembangan wilayah yang berbasis ilmu pengetahuan akan semakin mengarahkan pengelolaan pembangunan (khususnya dalam penganggaran) kepada pencapaian kinerja yang lebih maju sesuai dengan yang dicita-citakan (Saefulhakim 2008). Pola kebijakan anggaran yang akan menjadi acuan dalam pelaksanaan program/kegiatan pembangunan tahunan tersebut harus berdasarkan potensi dan kondisi daerah yang aktual. Selain dengan memperhatikan keterbatasan segala sumberdaya yang tersedia, pola kebijakan anggaran juga harus memperhatikan keterkaitan sektoral dan daerahnya dalam suatu wilayah tertentu. Hal ini penting dilakukan agar dalam pengelolaan segala sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat secara efektif, efisien dan saling menguntungkan (mutualism simbiosis). Atas dasar berbagai literatur pada uraian sebelumnya serta pemahaman tersebut maka dibangun kerangka pemikiran penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 7 berikut.
30
KEBIJAKAN UMUM PEMBANGUNAN DAERAH
KONDISI EKSISTING WILAYAH PROVINSI BANTEN: PERTUMBUHAN EKONOMI MELAMBAT KESENJANGAN PENDAPATAN MENINGKAT KEMISKINAN/PENGANGGURAN MASIH PADA LEVEL YANG LEBIH TINGGI DARI TINGKAT NASIONAL.
POTENSI DAN KONDISI DAERAH SUMBER DAYA ALAM SUMBER DAYA MANUSIA SUMBER DAYA SOSIAL SUMBER DAYA BUATAN SUMBER DANA DAERAH JEJARING ANTAR DAERAH
POLA PENGANGGARAN KETERKAITAN ANTAR SEKTOR
TIDAK
YA
KETERKAITAN ANTAR DAERAH KAB/KOTA DI WILAYAH PROVINSI BANTEN
YA
EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI
STRUKTUR HUBUNGAN SEKTORAL DAN DAERAH YANG SALING MENGUATKAN
REVISI
KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH MENURUN
TIDAK
KONTRAPRODUKTIF
KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH MENINGKAT
Gambar 7 Kerangka Umum Pemikiran Penelitian.
31
Kerangka Analisis Penelitian Analisis model spasial perencanaan dan koordinasi penganggaran terhadap peningkatan kinerja pembangunan daerah Provinsi Banten, secara umum dilakukan melalui beberapa proses tahapan analisis yang ditempuh seperti pada Gambar 8 berikut.
Data Kependudukan Kab/Kota Provinsi Banten Tahun 20032007
APBD Kab/Kota Provinsi Banten Tahun 20032007
PDRB ADHK Kab/Kota Provinsi BantenTahun 20032007
Variabel Penganggaran Belanja
Variabel Kependuduk an
Data Aliran Barang Tahun 2006 dan Kebalikan Jarak
Variabel Kinerja Pembangunan Daerah
Principal Components Analysis (Factor Analysis)
Akar Ciri 1
Factor Score
Factor Loadings
Matriks Kontiguitas Interaksi Spasial
Parameter Fungsi Indeks
Tipologi Wilayah Provinsi Banten Berdasarkan Pola Penganggaran
1
Tipologi Wilayah Provinsi Banten Berdasarkan Kinerja Pembangunan Daerah
oW , dW , ij ij
dan rWij
2
Forward Stepwise General Regresion Model
3
Model Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi Banten
Gambar 8 Kerangka Analisis Penelitian.
32
Lokasi dan Waktu Penelitian Wilayah Penelitian ini mencakup wilayah administratif Provinsi Banten. Unit analisis adalah daerah kabupaten/kota meliputi 6 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Sedangkan waktu penelitian direncanakan mulai bulan Juli 2008 sampai September 2008. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh melalui cara studi literatur dan survei langsung ke daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten. Data ini diperoleh dari berbagai SKPD terkait seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Banten, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Bappeda Kabupaten/Kota di wilayah Banten, Departemen Perhubungan dan instansiinstansi terkait lainnya. Data-data sekunder yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian, dibagi ke dalam dua tahap, yaitu: 1. Pengumpulan data dasar, diantaranya adalah: -
Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten tahun 2003 sampai dengan tahun 2007, atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan
-
Data Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten tahun 2003 sampai dengan tahun 2007
-
Data Hasil Survei Asal Tujuan Transportasi Nasional (Provinsi Banten) Tahun 2006. Selain itu, data-data publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten dan instansi terkait lainnya digunakan dalam penelitian ini sebagai pelengkap hasil analisis, termasuk peta administrasi Provinsi Banten.
2. Identifikasi variabel, dilakukan dengan beberapa analisis diantaranya adalah: -
Rasio
-
Indeks diversitas entropy
-
Location Quotient (LQ).
33
Tabel 3 Matrik Tujuan, Metode, Data dan Sumber Data dalam Penelitian Tujuan
Metode Analisis
Variabel/
Data dan Sumber
Parameter
Data
Data aspek: Mengidentifikasi tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan pola penganggaran
Kinerja Pembangunan Principal
daerah, Struktur Ekonomi
PDRB dan APBD
Components
Daerah, Struktur Harga-
(Bappeda Banten dan
Analysis (Factor
harga, Kependudukan,
Bappeda kab/kota
Analysis)
Struktur Anggaran
Provinsi Banten)
Penerima, dan Struktur Anggaran Pengeluaran. Data aspek:
Mengidentifikasi tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan kinerja pembangunan.
Kinerja Pembangunan Principal
daerah, Struktur Ekonomi
PDRB dan APBD
Components
Daerah, Struktur Harga-
(Bappeda Banten dan
Analysis (Factor
harga, Kependudukan,
Bappeda kab/kota
Analysis)
Struktur Anggaran
Provinsi Banten)
Penerima, dan Struktur Anggaran Pengeluaran.
Membangun model spasial hubungan perencanaan dan koordinasi penganggaran untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah Provinsi Banten.
Matriks Kontiguitas Analisis forward stepwise General Regression Model
Interaksi Spasial
Departemen
berdasarkan intensitas
Perhubungan, semua
Aliran Barang dan
hasil analisis
Kebalikan Jarak,
sebelumnya.
data hasil olahan.
34
Metode Analisis Keragaman dan Pemusatan Aktivitas Perekonomian Wilayah Ukuran tingkat perkembangan suatu wilayah dalam perspektif ekonomi dapat ditunjukkan dari semakin bertambah dan meluasnya komponen/aktivitas perekonomian dalam suatu wilayah. Misalnya semakin meningkatnya alternatif sumber pendapatan wilayah dan aktifitas perekonomian di wilayah tersebut, maka akan semakin luas pula hubungan yang dapat dijalin antara sub wilayah dalam sistem tersebut maupun dengan sistem sekitarnya (Panuju dan Rustiadi 2005). Perluasan jumlah komponen aktivitas ini dapat dianalisis dengan menghitung indeks diversifikasi dengan konsep entropy. Selain tingkat keragaman aktivitas perekonomian, pengembangan suatu wilayah dalam aspek ekonomi juga dapat ditentukan melalui peranan sektorsektor pembangunan dalam mencapai target pertumbuhan yang diikuti oleh kegiatan investasi pembangunan, baik investasi pemerintah atau swasta. Ketersediaan sumberdaya suatu daerah yang terbatas memaksa ketelitian pemerintah daerah untuk menentukan berbagai skala prioritas pembangunan. Untuk itu perlu diidentifikasikan suatu pemusatan aktivitas ekonomi yang diharapkan dapat menggerakkan aktivitas pada sektor-sektor perekonomian lainnya. Untuk mengetahui indikasi aktivitas sektor perekonomian pada suatu wilayah dilakukan melalui analisis
Location Quotient (LQ) sehingga
mendapatkan pembobotan pusat aktivitas sektor-sektor perekonomian pada suatu lokasi tertentu. 1. Analisis Perkembangan Sistem (Entropy) Tingkat perkembangan sistem perekonomian suatu daerah ditunjukan dengan adanya peningkatan jumlah komponen sistem perekonomian serta penyebarannya (jangkauan spasial). Pendekatan tingkat perkembangan sistem perekonomian di wilayah Provinsi Banten dalam penelitian ini dianalisis dengan menghitung indeks diversitas melalui konsep entropy. Prinsip pengertian indeks entropy ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang (Panuju dan Rustiadi, 2005).
35
Penggunaan indeks diversitas entropy dalam penelitian ini adalah untuk mengidetifikasi variabel indikator, diantaranya: -
Indeks diversitas sektor ekonomi (PDRB 2003-2007) dan
-
Indeks
diversitas
bidang
pengeluaran
belanja
langsung
(APBD
Kabupaten/Kota 2003-2007) Persamaan umum entropy ini adalah sebagai berikut: n
P 1
S Pi Pi
i 1
i
Pr oporsi
Dimana: Pi adalah peluang yang dihitung dari persamaan: Xi/Xi.
X1 X1/x
X2
X3
X2/x
…
Xn
X3/x
=x ….
Xn/x
=1
Jika tabel terdiri dari baris dan kolom yang cukup banyak seperti Tabel berikut:
X11 X12
X21
X1q
X2q
X31
X41
Xp1
Xpq
Maka, persamaan untuk menghitung peluang titik pada kolom ke-i dan baris ke-j adalah: Pij=Xij/Xij S0
S = tingkat perkembangan
Nilai S akan selalu 0 Untuk mengidentifikasi tingkat perkembangan maka terdapat ketentuan jika indeks S semakin tinggi maka tingkat perkembangan semakin tinggi.
36
n
n
S Pij ln Pij i 1 j 1
I–O
Sektor 1 2 Sektor Produk si
3
4
1 2 3 4
Xij
Jika digambarkan dalam suatu grafik, hubungan antara nilai S dengan seluruh kemungkinan peluangnya akan berbentuk kurva kuadratik berikut ini: S
O 1 n
1
Pi
Dari grafik tersebut diketahui nilai maksimum entropi diperoleh pada saat nilai peluangnya
sama
dengan
1/n,
dimana
n
adalah
jumlah
titik
(sektor/komponen/jangkauan spasial). 2. Analisis Location Quotient (LQ) Analisis model LQ digunakan untuk melihat sektor basis atau non basis pada suatu wilayah perencanaan dan dapat mengidentifikasi sektor unggulan atau keunggulan komparatif suatu wilayah (Panuju dan Rustiadi, 2005). Analisis dalam penelitian ini digunakan untuk mengidentifikasi variabel indikator pada data PDRB kabupaten/kota dengan 9 sektor, meliputi sektor: (1) pertanian;
(2)
pertambangan & penggalian; (3) industri pengolahan; (4) listrik & air bersih; (5) bangunan; perdagangan, (6) hotel & restoran; (7) pengangkutan & komunikasi; (8) keuangan, persewaan & jasa perusahaan; (9) dan Jasa-jasa. Selain itu, data APBD kabupaten/kota dengan 24 bidang penganggaran belanja langsung di Provinsi Banten juga menggunakan analisis LQ untuk mengindentifikasi variabel indikator.
37
Nilai LQ diketahui melalui rumus sebagai berikut:
LQij
X ij / X i . X . j / X ..
Keterangan: LQij
= bobot lokasi/lokal kabupaten/kota i untuk sektor/bidang j.
Xij
= derajat aktivitas sektor/bidang j pada kabupaten/kota i.
Xi.
= derajat aktivitas total di kabupaten/kota i.
X.j
= derajat aktivitas total sektor/bidang j di Provinsi Banten.
X..
= total seluruh sektor/bidang di Provinsi Banten. Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis (bobot lokasi)
adalah jika nilai indeks LQ lebih besar atau sama dengan satu (LQ≥1), maka pada lokasi tersebut terjadi pemusatan aktivitas, sedangkan apabila nilainya kurang dari satu (LQ<1) berarti pada lokasi tersebut tidak terjadi pemusatan aktivitas pada kegiatan perekonomian wilayah Provinsi Banten. 3. Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis/PCA) Untuk mengetahui tingkat korelasi atau keterkaitan antar variabel-variabel indikator perkembangan suatu wilayah biasa digunakan teknik komputasi melalui analisis faktor atau Factor Analysis (FA) dalam Principal Components Analysis (PCA) (Harman 1967). Prosedur PCA pada dasarnya adalah bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hali ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component. Keuntungan penggunaan Principal Components Analysis (PCA) dengan metode lain yaitu: (1) dapat menghilangkan korelasi secara bersih (korelasi = 0), sehingga masalah multikolinearitas dapat benar-benar teratasi secara bersih; (2) dapat digunakan untuk segala kondisi data/penelitian; (3) dapat dipergunakan tanpa mengurangi jumlah variabel asal; (4) meskipun metode regresi dengan PCA ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, kesimpulan yang diberikan lebih akurat dibandingkan dengan penggunaan metode lain (Soemartini 2008).
38
Teknik ekstraksi data dengan Principal Components Analysis (PCA) pada dasarnya
adalah
dengan
memaksimalkan
keragaman
dalam
1
(satu)
variabel/faktor yang baru dan meminimalkan keragaman dengan variabel/faktor yang lain menjadi variabel yang saling bebas (independent). Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisa ini adalah : 1.
Ortogonalisasi Variabel Tujuannya adalah membuat variabel baru Z (=1,2,...,qp) yang memiliki karakteristik: a. satu sama lain tidak saling berkorelasi, yakni: r’ = 0, b. nilai rataan masing-masing, tetap sama dengan nol, dan c. nilai ragam masing-masing Z sama dengan 0, dimana = p.
2.
Penyederhanaan jumlah variabel Mengurutkan masing-masing factor/komponen utama (F) yang dihasilkan, dari yang memiliki eigenvalue () tertinggi hingga terendah, yakni : a. memilih faktor-faktor atau komponen-komponen utama yang memiliki
1, artinya faktor atau komponen utama yang memiliki kandungan informasi (ragam) setara dengan informasi yang terkandung dalam satu variabel asal, b. membuang faktor atau komponen utama yang mempunyai eigenvalue antar dua faktor atau komponen utama yang berdekatan/tidak begitu signifikan, jika (-( - 1)) < 1, sebagai alternatif lain digunakan juga metode The Scree Test dipekenalkan oleh Catell dimana dari hasil scee plot yang dipilih adalah yang paling curam, c. menentukan faktor-faktor atau komponen-komponen utama yang memiliki koefisien korelasi nyata minimal satu variabel asal. Kriteria yang digunakan adalah | rj| 0.7 Hal ini dimaksudkan agar setiap faktor atau komponen utama yang terpilih, paling tidak memiliki satu penciri dominan dari variabel asalnya. Hasil Principal Components Analysis (PCA) antara lain: o
Akar ciri (eigenvalue) merupakan suatu nilai yang menunjukkan keragaman dari peubah komponen utama dihasilkan dari analisis, semakin besar nilai
39
eigen value maka semakin besar pula keragaman data awal yang mampu dijelaskan oleh data baru. o
Proporsi dan komulatif akar ciri, nilai pembobot (eigen vector) merupakan parameter yang menggambarkan hubungan setiap peubah dengan komponen utama ke-i.
o
Component score adalah nilai yang menggambarkan besarnya titik-titik data baru dari hasil komponen utama dan digunakan setelah PCA.
o
PC loading menggambarkan besarnya korelasi antar variabel awal dengan komponen ke-i. PC scores ini yang digunakan jika terjadi analisis lanjutan setelah PCA. Factor Loadings (L) adalah sama dengan Factor Score Coefficients (C) kali Eigenvalue Faktor atau Komponen Utamanya (). Set Variabel
PCA (Analysis Factor)
Factor Loading
Adakah variabel factor loading yang tidak nyata untuk semua factor?
Tidak Ada
Selesai
Ada
Pilah data (set data variabel)
Gambar 9 Tahapan Analisis Principal Components Analysis. Seleksi variabel indikator dalam penelitian ini digunakan metode Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis/PCA) dengan teknik komputasi melalui aplikasi STATISTICA for Windows. Data yang akan dianalisa diantaranya adalah data: (1) LQ PDRB kabupaten/kota tahun 2003 sampai dengan
40
tahun 2007 dan indeks diversitasnya; dan (2) LQ APBD kabupaten/kota tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dan diversitasnya. 4. Tipologi Wilayah Berdasarkan Pola Penganggaran dan Kinerja Pembangunan Daerah Analisis tipologi digunakan untuk klasifikasi berdasarkan suatu karateristik tertentu di daerah kabupaten/kota, melalui indeks komposit dari factor score hasil PCA yang distandarisasi (skala nilai 1 sampai dengan 9) (Saefulhakim 2008), dengan rumus: Xi
Ai MIN Ai i
MAX Ai MIN Ai i
8 1
i
Keterangan: Xi
Ai
nilai hasil standarisasi untuk kabupaten/kota ke-i nilai hasil dari factor score untuk masing-masing kabupaten/kota ke-i. Nilai hasil standarisasi ini dikelompokan ke dalam 9 kategori, yaitu:
1. nilai 0-1 untuk kategori sangat rendah sekali 2. nilai 1-2 untuk kategori sangat rendah 3. nilai 2-3 untuk kategori rendah 4. nilai 3-4 untuk kategori agak rendah 5. nilai 4-5 untuk kategori sedang 6. nilai 5-6 untuk kategori agak tinggi 7. nilai 6-7 untuk kategori tinggi 8. nilai 7-8 untuk kategori sangat tinggi 9.
nilai 8-9 untuk kategori sangat tinggi sekali. Gambaran klasifikasi suatu wilayah di unit analisis wilayah sampel
berdasarkan suatu karakteristik tertentu dalam penelitian ini disajikan selain dalam bentuk Tabel 4, juga disajikan secara spasial untuk melihat sebarannya. Hasil analisis inilah yang digunakan sebagai dasar untuk membangun model spasial perencanaan dan koordinasi penganggaran untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah dalam pengambilan skala prioritas penganggaran pada perumusan kebijakan pembangunan daerah.
41
5. Analisis Ekonometrika Spasial (Spatial Durbin Model) Analisis model durbin spasial (Spatial Durbin Model) dilakukan untuk dapat mengakomodasikan fenomena keterkaitan aktivitas ekonomi antar daerah kabupaten/kota di Provinsi Banten dengan menggunakan matriks kontiguitas spasial (Saefulhakim 2008). Pada prinsipnya hampir sama dengan regresi berbobot, dengan variabel yang menjadi pembobot adalah faktor lokasi. Kedekatan (jarak antar lokasi) dan itensitas aliran barang antar lokasi dalam suatu aktivitas ekonomi menyebabkan munculnya fenomena keterkaitan antar daerah atau interaksi spasial. Model ini merupakan pengembangan dari model regresi sederhana yang telah mengakomodasikan fenomena interaksi spasial, baik dalam variabel tujuan maupun dalam variabel penjelasnya. Misalnya untuk mengetahui peningkatan kinerja pembangunan daerah dalam suatu wilayah tidak hanya dipengaruhi oleh variabel
bebas,
namun
juga
dipengaruhi
oleh
variabel
lain,
yaitu
hubungan/koordinasi spasial. Pada penelitian ini, pendugaan parameter model disusun dalam kerangka Model Durbin Spasial dengan penyusunan variabel berdasarkan pertimbangan konsep ilmu ekonomi dasar pada Model Input-Output (Model I-O). Model menggunakan matriks kontiguitas spasial untuk mengetahui pengaruh keterkaitan penganggaran antar daerah, dalam penelitian ini berdasarkan 2 (dua) jenis kontiguitas spasial, yaitu: -
Matriks kontiguitas spasial antar daerah berdasarkan data aliran barang ( W f ). Semakin besar intensitas aliran barang antar suatu daerah, maka semakin tinggi keterkaitan antar daerah tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aktivitas ekonomi dalam suatu daerah tidak hanya membutuhkan input lokal (dalam daerah sendiri) saja namun juga membutuhkan input dari luar daerah (impor), begitu pun sebaliknya (ekspor). Hal ini menunjukan bahwa suatu aktivitas ekonomi untuk menghasilkan output secara efektif dan efisien memerlukan adanya hubungan mitra dagang (kerjasama/koordinasi).
-
Matriks kontiguitas spasial antar daerah berdasarkan data jarak antar daerah ( Wr ). Semakin besar nilai jarak antar daerah, maka keterkaitan
42
antar daerah tersebut akan semakin kecil (berbanding terbalik). Dengan kata lain bahwa semakin jauh jarak antar daerah tertentu, maka hubungan antar daerah yang terjadi akan semakin relatif berkurang. Hal ini dapat menunjukan bahwa peristiwa yang terjadi pada suatu daerah tidak hanya dipengaruhi oleh daerah itu sendiri, namun juga dipengaruhi oleh daerah lain atau daerah tetangga yang terkait. Pendekatan Model Durbin Spasial dalam penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut:
ln Kpdi ,k k l k ,k ln Kpdi ,l p ,k ln Ipdi , p l
r
l
p
p
l ,k rWi , j ln Kpd j ,l f l ,k f Wi , j ln Kpd j ,l l
r
p ,k Wi , j ln Ipd j , p f p ,k f Wi , j ln Ipd j , p i ,k r
p
Keterangan: Variabel tujuan dan variabel-variabel penjelas model.
ln Kpdi ,k logaritma natural indeks komposit kinerja pembangunan daerah ke-k, yang tiap selnya berisi nilai variabel tersebut untuk tiap daerah ke-i (i alias j).
ln Ipdi , p
logaritma natural variabel indeks komposit potensi ekonomi daerah (struktur ekonomi daerah, struktur harga-harga, kependudukan, struktur anggaran penerimaan, dan struktur anggaran pengeluaran) ke-p, yang tiap selnya berisi nilai variabel tersebut untuk tiap daerah ke-i (i alias j).
Parameter-parameter model yang menunjukan pengaruh masing-masing variabel penjelas terhadap variabel indeks kinerja pembangunan daerah ke-k di daerah ke-i, sebagai berikut:
k
=
nilai tengah umum variabel indeks komposit kinerja pembangunan daerah ke-k
l,k
=
pengaruh indeks komposit kinerja pembangunan daerah ke-l di daerah
sendiri
terhadap
variabel
indeks
pembangunan daerah ke-k di daerah sendiri
komposit
kinerja
43
l,k
r
=
pengaruh indeks komposit kinerja pembangunan daerah ke-l di daerah-daerah tetangga terhadap variabel indeks komposit kinerja pembangunan ekonomi ke-k di daerah sendiri
f
l,k
=
pengaruh indeks komposit kinerja pembangunan daerah ke-l di daerah-daerah mitra pembeli barang terhadap indeks komposit kinerja pembangunan daerah ke-k di daerah sendiri
p,k
=
pengaruh indeks komposit potensi ekonomi daerah (struktur ekonomi daerah, struktur harga-harga, kependudukan, struktur anggaran penerimaan dan struktur anggaran pengeluaran) ke-p di daerah sendiri terhadap indeks komposit kinerja pembangunan daerah ke-k di daerah sendiri
p,k
r
=
pengaruh indeks komposit potensi ekonomi daerah (struktur ekonomi daerah, struktur harga-harga, kependudukan, struktur anggaran penerimaan, dan struktur anggaran pengeluaran) ke-p di daerahdaerah tetangga terhadap indeks komposit kinerja pembangunan daerah ke-k di daerah sendiri
f
p,k
=
pengaruh indeks komposit potensi ekonomi daerah (struktur ekonomi daerah, struktur harga-harga, kependudukan, struktur anggaran penerimaan, dan struktur anggaran pengeluaran) ke-p di daerahdaerah
pembeli
barang
terhadap
indeks
komposit
kinerja
pembangunan daerah ke-k di daerah sendiri
i,k
=
galat pendugaan indeks komposit kinerja pembangunan daerah ke-k untuk daerah ke-i
6.
Pendugaan Parameter Model (Forward stepwise General Regression Model) Tahapan awal dilakukan pendugaan paramter-parameter model dengan
menggunakan sistem penambahan variabel penjelas satu-satu secara bertahap dimulai dari yang paling berkontribusi nyata (Forward Stepwise General Regression Model). Proses seleksi variabel indeks yang berperan nyata dalam model, digunakan Perangkat lunak STATISTICA for Windows (Saefulhakim 2008). Kriteria yang berperan nyata (significant) adalah jika nilai koefisiennya
44
nyata sampai dengan tarap nyata p 0.05, sedangkan variabel indeks yang tidak nyata dieliminasikan dari model (lihat Gambar 10). Analisis Variabel Indikator
Data Variabel Dasar
A
Kependudukan
S P
Level Aktual Variabel Indikator
Proses seleksi variabel indikator PCA (Factor Analysis)
Ukuran dan Perhitungan variabel indikator: 1. Rasio 2. Diversitas 3. Pemusatan
Factor score
Ekonomi
E K
Penganggaran
D
Kinerja pembangunan
Penyusunan Indeks Komposit Parameter Fungsi Indeks Komposit
A T A
Kontiguitas Spasial
Penyusunan Matriks Kontiguitas Spasial
Matriks Kontiguitas Spasial
Forward stepwise General Regression Model
Model Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah
Gambar 10 Tahapan Proses Analisis Penelitian.
Klasifikasi fungsi indeks
Tipologi Wlayah Berdasarkan Pola penganggaran dan Kinerja Pembangunan Daerah
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis Provinsi Banten ditetapkan sebagai provinsi baru berdasarkan UU 23/2000. Luas wilayah Provinsi Banten adalah 8.800,83 km2 yang terdiri dari 4 kabupaten dan 4 kota, 154 kecamatan dan 1.504 desa/kelurahan. Provinsi Banten terletak di antara 10501’11”– 10607’12” Bujur Timur dan 507’50”–701’1” Lintang Selatan, dengan batas wilayah sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat sebelah selatan dengan Samudra Hindia dan sebelah barat dengan Selat Sunda. Provinsi Banten secara administratif terdiri dari 4 (empat) kabupaten dan 4 (empat) kota, yang terdiri dari: Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kota Serang1 dan Kota Tangerang Selatan2. Tabel 4 Wilayah Administrasi Provinsi Banten Tahun 2007 Luas wilayah Nama Daerah
(Km2)
Jumlah Kecamatan
Desa
Kelurahan
Kabupaten 1
Pandeglang
2,746.90
35
322
13
2
Lebak
2,859.96
28
315
5
3
Serang
1,724.09
34
354
20
4
Tangerang
1,110.38
36
251
77
Kota 5
Cilegon
175.50
8
0
43
6
Tangerang
184.00
13
0
104
8,800.83
154
1,242
262
Banten
Sumber: Banten Dalam Angka (Banten in Figures) 2007
Secara alamiah, Provinsi Banten memiliki keuntungan fisik-geografis berupa akses langsung ke Pulau Sumatera dan perairan internasional (Samudera Indonesia). Sebagai wilayah yang terletak di ujung barat Pulau Jawa, maka Provinsi Banten merupakan pintu gerbang pergerakan manusia, barang, dan jasa antar pulau yang sangat strategis. Dimana letaknya yang berbatasan langsung 1
2
Daerah otonom baru pada akhir tahun 2007. Data-data yang termasuk dalam Kabupaten Serang sudah mencakup data-data Kota Serang. Daerah otonom baru pada awal tahun 2008. Data-data yang termasuk dalam Kabupaten Tangerang sudah mencakup data-data Kota Tangerang Selatan.
46
dengan ibukota negara (DKI Jakarta) dan wilayah pertumbuhan nasional yang sangat maju (Provinsi Jawa Barat), maka akan semakin mengangkat posisi wilayah Provinsi Banten sebagai pusat koleksi dan distribusi komoditas perdagangan, baik antar pulau maupun antar wilayah di Pulau Jawa. Kemudian dengan adanya akses langsung ke perairan internasional akan merangsang terbukanya peluang kerjasama bilateral yang menguntungkan. Letak geografis yang strategis ini menjadikan Provinsi Banten sebagai Pintu Gerbang Investasi Indonesia (Indonesia Investment Gateway), baik dalam skala nasional maupun internasional (lihat Gambar 11).
Gambar 11 Peta Administratif Provinsi Banten. Ekosistem wilayah Banten pada dasarnya terdiri dari: a. Lingkungan Pantai Utara yang merupakan ekosistem sawah irigasi teknis dan setengah teknis, kawasan pemukiman dan industri. b. Kawasan Banten Bagian Tengah berupa irigasi terbatas dan kebun campuran, sebagian berupa pemukiman perdesaan. Ketersediaan air cukup dengan kuantitas yang stabil. c. Kawasan Banten sekitar Gunung Halimun-Kendeng hingga Malingping, Leuwi damar, Bayah berupa pegunungan dengan akses yang relatif rendah, namun menyimpan potensi sumber daya alam.
47
d. Banten Bagian Barat (Saketi, Daerah Aliran Sungai/DAS Cidano dan lereng kompleks Gunung Karang–Aseupan dan Pulosari sampai Pantai DAS Ciliman–Pandeglang dan Serang bagian Barat) yang kaya akan potensi air merupakan kawasan pertanian yang masih memerlukan penanganan lebih intensif. e. Ujung kulon sebagai Taman Nasional Konservasi Badak Jawa (Rhino sondaicus). f. DAS Cibaliung–Malingping, merupakan cekungan yang kaya air tetapi belum dimanfaatkan secara efektif dan produktif. Sekelilingnya berupa bukit-bukit bergelombang dengan rona lingkungan kebun campur dan talun, hutan rakyat yang tidak terlalu produktif. Iklim Iklim Wilayah Banten sangat dipengaruhi oleh Angin Monson (Monson Trade) dan Gelombang La Nina atau El Nino. Saat musim penghujan (NopemberMaret) cuaca didominasi oleh angin barat (dari Sumatera, Samudra Hindia sebelah selatan India) yang bergabung dengan angin dari Asia yang melewati Laut Cina Selatan. Pada musim kemarau (Juni-Agustus), cuaca didominasi oleh angin timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan yang keras terutama di wilayah bagian pantai utara, terlebih lagi apabila berlangsung El Nino. Temperatur di daerah pantai dan perbukitan berkisar antara 22°C - 32°C, sedangkan suhu di pegunungan dengan ketinggian antara 400 - 1.350 m dpl mencapai antara 18°C - 29°C. Banyaknya pulau-pulau yang berpotensi bagi masyarakat Banten sekitar 55 pulau yang tersebar di Wilayah Banten maupun di perbatasan Wilayah Banten. Sedangkan sungai-sungai yang melewati wilayah Banten sekitar 91 sungai. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Penduduk Banten berdasarkan data hasil Sensus Penduduk yang disajikan pada Tabel 5, menunjukkan jumlah yang terus bertambah. Pada tahun 1961 tercatat sebanyak 2.438.574 jiwa dan tahun 1971 sebanyak 3.045.154 jiwa meningkat menjadi 4.015.837 jiwa pada tahun 1980 dan 5.967.907 jiwa pada
48
tahun 1990. Pada tahun 2000, jumlah penduduk tersebut berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2000 (SP2000) telah bertambah menjadi sebanyak 8.096.809 jiwa dan tahun 2007 meningkat kembali menjadi 9.423.367 jiwa. Tabel 5 Jumlah Penduduk Banten Tahun 1961-2007 (dalam jiwa) Nama Daerah Kabupaten 1 Pandeglang 2 Lebak 3 Serang 4 Tangerang Kota 5 Cilegon 6 Tangerang Banten
1961
1971
1980
1990
2000
2007
440,213 427,802 648,115 643,647
572,628 546,364 766,410 789,870
694,759 682,868 968358 1,131,199
858,435 873,646 244,755 843,755
1,011,788 1,030,040 1,652,763 2,781,428
1,085,042 1,210,149 1,808,464 3,473,271
72,054 206,743
93,057 276,825
140,828 397,825
226,083 921,848
294,936 1,325,854
338,027 1,508,414
2,438,574
3,045,154
4,015,837
3,968,522
8,096,809
9,423,367
Sumber: Banten Dalam Angka (Banten in Figures) 2007.
Kecenderungan penduduk yang terus bertambah dari periode sensus ke sensus atau survei berikutnya tentu bukan hanya disebabkan pertambahan penduduk secara alamiah, tetapi tidak terlepas dari kecenderungan migran baru yang masuk disebabkan daya tarik Provinsi Banten. Melalui potensi daerah, seperti banyaknya perusahaan industri besar/sedang di daerah Cilegon, Tangerang, dan Serang, serta potensi pariwisata di Pandeglang, Serang dan daerah lainnya membuat semakin kondusifnya kesempatan untuk menarik pendatang dari luar Banten. Tabel 6 Laju Pertumbuhan Penduduk Banten Tahun 1961-2007 (dalam persen) Nama Daerah Kabupaten 1 Pandeglang 2 Lebak 3 Serang 4 Tangerang Kota 5 Cilegon 6 Tangerang Banten (%)
1961-1971
1971-1980
1980-1990
1990-2000
2000-2007
2,66 2,48 2,69 4,07
2,17 2,51 2,63 4,07
2,14 2,49 2,54 5,00
1,17 1,72 2,98 4,35
1,00 2,33 1,29 3,22
2,59 2,96
4,71 4,11
4,85 8,77
2,79 3,83
1,97 1,86
2,25
3,12
4,04
3,21
2,19
Sumber: Banten Dalam Angka (Banten in Figures) 2007.
Laju Pertumbuhan Penduduk Banten seperti yang disajikan pada Tabel 6, selama kurun waktu 2000-2007 rata-rata tumbuh sebesar 2,19%. Angka ini menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan pertumbuhan antara tahun 1990-2000 yang rata-rata tumbuh sebesar 3,21%. Apabila dilihat menurut kabupaten/kota pada kurun waktu 2000
49
sampai dengan tahun 2007, rata-rata pertumbuhan penduduk kabupaten/kota menunjukkan penurunan. Laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi masih terlihat di Kabupaten Tangerang dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 3,22%. Tingginya pertumbuhan penduduk di daerah tersebut tidak terlepas dari potensi daerah yang telah tumbuh menjadi pusat kawasan pertumbuhan ekonomi, serta letaknya yang berbatasan langsung dengan Ibu kota Negara (Jakarta) dan wilayah Jabodetabek. Dengan demikian, Kabupaten Tangerang merupakan daerah yang dapat menjadi tujuan para pendatang, yang harus menampung penduduk beserta segala aktivitas perekonomiannya. Perkembangan Wilayah di Provinsi Banten Berdasarkan data publikasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan, terbagi menjadi sembilan sektor yang kemudian dirinci kembali menjadi beberapa sub sektor. Gambaran pertumbuhan perekonomian di Provinsi Banten secara umum dapat dilihat pada Tabel 7 berikut. Tabel 7 Distribusi PDRB Provinsi Banten Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2003-2007 Menurut Sektor/Lapangan Usaha. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Ekonomi/Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
2003
2004
2005
2006
2007
9.01 0.11 50.77 5.10 2.47 17.27 7.78 2.63
8.86 0.11 50.16 5.07 2.58 17.10 7.99 3.16
8.53 0.10 49.75 4.87 2.73 17.13 8.58 3.29
7.77 0.10 49.70 4.23 2.89 17.45 9.38 3.35
7.93 0.11 47.83 3.99 3.03 18.99 9.24 3.55
4.87
4.98
5.02
5.13
5.32
Sumber: BPS Provinsi Banten, Data diolah.
Sektor sektor yang mempunyai kontribusi besar terhadap PDRB di Provinsi Banten adalah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Kedua sektor tersebut mempunyai pangsa ±66,82% dari total PDRB di Provinsi Banten pada tahun 2007. Sektor-sektor perekonomian yang memberikan kontribusi paling besar di Provinsi Banten terhadap PDRB tahun 2007 cenderung mengalami penurunan kecuali sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Meskipun sektor pertanian dan sektor listrik, gas dan air bersih bukan merupakan sektor
50
yang memberikan kontribusi terbesar tetapi kedua sektor penting tersebut juga cenderung mengalami penurunan. Sektor pertanian pada tahun 2003 memberikan kontribusi sebesar 9,01% semakin menurun hingga pada tahun 2007 sebesar 7,93%. Demikian juga dengan sektor listrik, gas, dan air bersih pada tahun 2003 memberikan kontribusi sebesar 5,10% semakin menurun hingga pada tahun 2007 sebesar 3,99%. Gambaran pertumbuhan ekonomi yang diukur dari PDRB atas dasar harga konstan dimaksudkan agar ukuran pertumbuhan tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor harga pada setiap tahunnya. Pemusatan Aktifitas Perekonomian Wilayah di Provinsi Banten Salah satu arah Kebijakan Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Banten adalah melakukan percepatan perbaikan sosial dan ekonomi masyarakat dengan cara memulihkan dan mengembangkan perekonomian melalui pemberdayaan kekuatan ekonomi masyarakat di sektor unggulan dan andalan. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam mendukung perumusan kebijakan pembangunan tersebut dengan mengidentifikasi sektor-sektor unggulan daerah. Sektor unggulan (leading sector) merupakan sektor perekonomian yang diharapkan menjadi motor penggerak bagi suatu aktivitas perekonomian pada suatu wilayah. Dengan mengetahui dan mengoptimalkan sektor unggulan yang dimiliki daerah, maka diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kemajuan aktivitas perekonomian daerah. Untuk menentukan apakah suatu sektor merupakan sektor unggulan bagi suatu daerah atau tidaknya, dapat dilihat melalui analisis Location Quotient (LQ) dan kontribusi sektor-sektor perekonomian terhadap PDRB. Hasil perhitungan LQ dengan data dasar PDRB kabupaten/kota berdasarkan sektor-sektor perekonomian tahun 2003 pada Tabel 8. Memusatnya sektor unggulan pada suatu wilayah ditandai dengan nilai LQ > 1 mengindikasikan bahwa sektor tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan hingga berorientasi ekspor. Nilai pergeseran diferensial (differential shift) menunjukan tingkat kompetisi berbagai sektor perekonomian wilayah di Provinsi Banten.
51
Tabel 8 Nilai LQ Per Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Banten Tahun 2003 Sektor No.
Kabupaten/Kota (3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
1
Kabupaten Pandeglang
4.09
(1)
0.99
(2)
0.23
0.16
1.70
1.31
0.68
1.73
2.78
2
Kabupaten Lebak
4.21
10.20
0.19
0.07
1.63
1.29
0.69
1.86
2.92
3
Kabupaten Serang
1.58
0.52
0.99
0.89
2.70
0.61
0.40
1.11
1.68
4
Kabupaten Tangerang
1.05
0.75
1.08
1.66
0.76
0.68
0.87
0.91
0.96
5
Kota Cilegon
0.32
0.77
1.24
2.21
0.18
0.62
1.12
0.71
0.30
6
Kota Tangerang
0.02
0.00
1.09
0.30
0.67
1.46
1.37
0.89
0.48
Sumber: Data dianalisis. Keterangan: (1) Sektor Pertanian (2) Sektor Pertambangan dan Penggalian (3) Sektor Industri Pengolahan (4) Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih (5) Sektor Bangunan (6) Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (7) Sektor Pengangkutan dan Komunikasi (8) Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan (9) Sektor Jasa-jasa.
Berdasarkan data-data pada Tabel 8 tersebut, nilai-nilai LQ yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa sektor perekonomian tersebut dapat menjadi sektor unggulan bagi wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. Pada tahun 2003, Kabupaten Pandeglang memiliki nilai LQ sebesar 4,09 pada sektor pertanian, tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Lebak yaitu sebesar 4,21. Hal ini menunjukan bahwa sektor pertanian cenderung memusat di kedua kabupaten tersebut, sehingga dapat dijadikan sebagai sektor unggulan yang dapat menggerakan perekonomian di wilayah Provinsi Banten. Selain sektor pertanian, Kabupaten Lebak juga memiliki nilai LQ sebesar 10,2 di sektor pertambangan dan penggalian pada tahun yang sama. Dengan kata lain bahwa sektor pertambangan cenderung memusat di Kabupaten Lebak. Pemusatan sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian di Kabupaten Lebak tersebut menunjukan bahwa sumberdaya alam yang relatif besar dimiliki oleh daerah tersebut. Di beberapa kabupaten/kota sebenarnya mempunyai beberapa sektor perekonomian yang potensial menjadi sektor unggulan bagi masing-masing kabupaten/kota, namun nilai LQ yang dimiliki kurang memusat atau cenderung menyebar merata yang ditandai dengan nilai LQ yang tidak terlalu besar. Beberapa kabupaten/kota tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
52
Tabel 9 Sektor-Sektor Perekonomian Unggulan Per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten No
1
Kecamatan
Kabupaten Pandeglang
2
Kabupaten Lebak
3
Kabupaten Serang
4
Kabupaten Tangerang
5
Kota Cilegon
6
Kota Tangerang
Sektor Unggulan 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3.
Sektor Pertanian Sektor Bangunan Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Sektor Jasa-jasa Sektor Pertanian Sektor Pertambangan dan Penggalian Sektor Bangunan Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Sektor Jasa-jasa Sektor Pertanian Sektor Bangunan Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Sektor Jasa-jasa Sektor Pertanian Sektor Industri Pengolahan Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih Sektor Industri Pengolahan Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Sektor Industri Pengolahan Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
Sedangkan berdasarkan sektor-sektor perekonomian dapat diketahui sektorsektor perekonomian tertentu memiliki potensi untuk dikembangkan sekaligus di beberapa kabupaten/kota antara lain (kabupaten/kota diurutkan berdasarkan nilai LQ paling besar) : 1.
Sektor pertanian dapat dikembangkan di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang.
2.
Sektor Pertambangan dan Penggalian dapat dikembangkan di Kabupaten Lebak.
3.
Sektor Industri Pengolahan dapat dikembangkan di Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang.
4.
Sektor Listrik, gas dan Air Minum dapat dikembangkan di Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon.
5.
Sektor Bangunan dapat dikembangkan di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang.
53
6.
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran dapat dikembangkan di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kota Tangerang.
7.
Sektor Pengangkutan dan Komunikasi dapat dikembangkan di Kota Cilegon dan Kota Tangerang.
8.
Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan dapat dikembangkan di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang.
9.
Sektor Jasa-jasa dapat dikembangkan di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang. Pada tingkat kabupaten/kota, sektor-sektor perekonomian yang dapat
dikembangkan antara lain: sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor bangunan, sektor perdagangan hotel, dan restoran, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa. Meskipun jika dilihat dari kontribusi sektor-sektor perekonomian terhadap PDRB (tabel) kecil namun sektor-sektor tersebut hampir merata di semua kabupaten/kota dan menjadi sektor unggulan di beberapa kabupaten/kota. Sedangkan sektor listrik, gas, dan air bersih dan sektor pengangkutan dan komunikasi meskipun memiliki kontribusi terhadap PDRB besar namun hanya terjadi di beberapa kabupaten/kota saja, misalnya sektor listrik, gas, dan air bersih dominan di Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon, dan sektor pengangkutan dan komunikasi hanya dominan di Kota Cilegon dan Kota Tangerang. Pergeseran dan Pemusatan Sektor Unggulan Pergeseran sektor-sektor perekonomian dalam konteks agregat/provinsi didekati dengan nilai proporsional shift. Nilai negatif ditafsirkan memiliki laju pengurangan secara agregat dan nilai positif ditafsirkan memiliki laju penambahan. Nilai proporsional shift sektor-sektor perekonomian di Provinsi Banten ditunjukkan pada Tabel 10. Sektor-sektor yang mengalami pengurangan adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan, sektor industri pengolahan, dan sektor listrik, gas dan air bersih. Sementara itu sektor pertambangan dan penggalian, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasajasa mengalami penambahan. Laju penurunan sektor pertanian, peternakan,
54
kehutanan, dan perikanan, sektor industri pengolahan, dan sektor listrik, gas dan air bersih di Provinsi Banten selama kurun waktu 2003-2007 berturut-turut adalah 14,6%, 10,4%, dan 21,8%.
Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian,
sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasajasa memiliki laju penambahan masing-masing 7%, 17,1%, 21,5%, 39,4%, 59,5%, dan 13,3%. Tabel 10 Nilai Proporsional Shift Sektor-sektor Perekonomian Tahun 2003-2007 No
Sektor PDRB
Proportional Shift
1
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan
2
Pertambangan dan Penggalian
3
Industri Pengolahan
-0.104
4
Listrik,gas,dan air bersih
-0.218
5
Bangunan
0.171
6
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
0.215
7
Angkutan dan komunikasi
0.394
8
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Peerusahaan
0.595
9
Jasa-jasa
0.133
-0.146 0.070
Sumber : Hasil analisis.
Kabupaten/kota yang menjadi lokasi pemusatan sektor unggulan dengan laju perubahan lebih tinggi dibanding laju perubahan di kabupaten dicerminkan dari nilai LQ>1 dan nilai positif diffrential shift (DS) untuk laju penambahan; nilai DS negatif untuk laju pengurangan. Hasil analisis LQ dan DS yang disajikan pada Tabel 11 menunjukan, bahwa pemusatan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan dengan laju pengurangan terdapat di Kabupaten Pandeglang. Sedangkan laju penambahan terdapat di Kabupaten: Lebak, Serang dan Tangerang. Sementara itu sektor pertambangan dan penggalian dengan laju tinggi hanya terdapat di Kabupaten Lebak. Sektor industri pengolahan memusat di Kabupaten Tangerang dengan laju pengurangan, sedangkan Kota Cilegon, dan Kota Tangerang memiliki laju penambahan. Pemusatan lokasi sektor listrik, gas, dan air bersih terdapat di Kabupaten Tangerang dengan laju pengurangan, sedangkan Kota Cilegon memiliki laju penambahan. Sektor bangunan memusat di Kabupaten Pandeglang dengan laju penambahan, sebaliknya Kabupaten Lebak dan Serang memiliki laju
55
pengurangan. Kemudian pemusatan sektor perdagangan, hotel, dan restoran terdapat di Kabupaten Pandeglang dan Serang dengan laju pengurangan, sedangkan pada sektor yang sama Kota Tangerang memiliki laju penambahan. Lokasi pemusatan sektor angkutan dan komunikasi dengan laju pengurangan hanya terdapat di Kota Cilegon dan Tangerang. Sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan memusat di Kabupaten Pandeglang dan Lebak dengan laju pengurangan, sedangkan Kabupaten Serang
memiliki laju penambahan pada
sektor yang sama. Sektor jasa memusat di Kabupaten Pandeglang. Lebak, dan Serang dengan memilki laju pengurangan. Tabel 11
Pemusatan dan Laju Perubahan Sektor Unggulan di Tingkat Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota
No
Sektor
Kota Pandeglang
Lebak
Serang
Tangerang
Cilegon Tangerang
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pertanian, Peternakan,
LQ
4.02
4.34
1.56
1.05
0.30
0.02
Kehutanan, dan Perikanan
DS
-
+
+
+
-
-
Pertambangan dan
LQ
0.96
10.53
0.54
0.72
0.71
0.00
Penggalian
DS
-
+
-
-
-
+
LQ
0.23
0.18
0.97
1.05
1.18
1.15
DS
+
+
-
-
+
+
LQ
0.15
0.09
0.94
1.61
2.31
0.26
DS
-
+
-
+
-
-
LQ
1.73
1.65
2.72
0.74
0.19
0.69
DS
+
-
-
+
+
+
Perdagangan, Hotel, dan
LQ
1.33
1.30
0.61
0.70
0.66
1.43
Restoran
DS
-
-
-
+
+
+
LQ
0.70
0.89
0.43
0.97
1.15
1.24
DS
+
+
-
+
-
-
Keuangan, Persewaan,
LQ
1.75
1.83
1.17
0.91
0.76
0.85
dan Jasa Perusahaan
DS
-
-
+
+
+
+
LQ
3.14
2.57
1.81
0.95
0.31
0.44
DS
-
-
-
+
-
+
Industri Pengolahan
Listrik,gas,dan air bersih
Bangunan
Angkutan dan komunikasi
Jasa Sumber : Hasil analisis.
56
Arahan Pengembangan Wilayah Provinsi Banten Berdasarkan arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Banten 2002-2007, wilayah Provinsi Banten dibagi dalam 3 Wilayah Kerja Pembangunan (WKP) yaitu: 1. Wilayah Kerja Pembangunan I (WKP I), meliputi: Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang. Adapun arahan pengembangan perekonomian meliputi sektor Industri, sektor perdagangan, sektor jasa dan bidang permukiman, dengan sasaran sebagai berikut: -
Pembangunan jaringan transportasi terpadu Kota Tangerang.
-
Fasilitas pengembangan daerah otonomi baru.
-
Terminal agrobisnis.
-
Fasilitasi pembangunan jalan serpong-balaraja.
-
Penyediaan perumahan bagi kawasan kumuh.
2. Wilayah Kerja Pembangunan II (WKP II), meliputi: Kota Cilegon dan Kabupaten Serang. Arahan pengembangan perekonomian meliputi bidang kepariwisataan, sektor pertanian dan kehutanan, sektor pertambangan dan industri, serta bidang pendidikan, dengan sasaran sebagai berikut. -
Terminal Terpadu Merak.
-
Jalan Lingkar Selatan Cilegon.
-
Pembangunan Pelabuhan Kubangsari.
-
Pembangunan Jalan Inter-Change Cikande.
-
Fasilitasi akses ke Pusat Pemerintahan Kabupaten Serang.
-
Pengembangan agropolitan.
-
Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Bojonegara.
3. Wilayah Kerja Pembangunan III (WKP III) meliputi: Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Arahan pengembangan perekonomian meliputi bidang kepariwisataan, sektor pertanian dan kehutanan, sektor pertambangan dan bidang pendidikan dengan sasaran: -
Penanganan desa tertinggal.
-
Listrik pedesaan.
-
Rehabilitasi dan konservasi kawasan lindung akar sari.
-
Pengembangan agropolitan.
57
Arahan kebijakan keuangan daerah Pengelolaan
pendapatan
daerah
bertujuan
untuk
membiayai
program/kegiatan atau penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang ditujukan langsung kepada masyarakat yang tertuang dalam komponen belanja. Komponen anggaran lainnya yaitu pembiayaan yang bertujuan untuk menutup adanya defisit anggaran atau alokasi surplus anggaran. Jika defisit maka dilakukan pinjaman pada pihak lain. Jika terjadi surplus maka pembentukan dana cadangan atau investasi dalam bentuk setoran modal atau pembayaran hutang. Dana perimbangan merupakan sumber penerimaan pajak pusat yang dibagihasilkan kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota, berdasarkan realisasi dan potensi obyek pajak dari daerah masing-masing. Besarannya telah ditentukan melalui penentuan PPh, searah dengan perkembangan PDRB dan PBB yang sesuai dengan harga pasar. Lain-lain pendapatan yang sah merupakan sumbangan dari pihak ketiga. Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, alokasi anggaran harus cenderung mengarah pada sektor-sektor unggulan yang mempunyai nilai keterkaitan dan multiplier yang besar. Selain itu, aspek investasi yang mengarah pada sektor-sektor unggulan akan meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian Provinsi Banten. Secara umum dalam pengelolaan keuangan daerah meliputi empat tahapan yaitu: Perencanaan, Penganggaran, Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban. Pada tahap perencanaan, pemerintah daerah menyadari bahwa arah kebijakan perencanaan pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Banten masih dirasakan kurang
terkait
dengan
perencanaan
alokasi
anggaran
pada
beberapa
program/kegiatan, baik sektoral maupun daerah. Hal ini yang menyebabkan output pengelolaan yang kurang jelas dan kurang sinkron dengan berbagai kebijakan pemerintahan, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya tumpang tindih program/kegiatan antar sektor dan daerah. Belum lagi jika dikaitkan dengan sistem perencanaan pembangunan di Indonesia yang telah diatur dalam UU 25/2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional yang mengisyaratkan perlunya keterpaduan antara perencanaan pembangunan yang disusun oleh kementrian/lembaga perencana pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Undang-undang ini juga mengisyaratkan bahwa RKPD
58
sebagai dokumen perencanaan tahunan tidak boleh bertentangan dengan RPJMD dan selanjutnya juga tidak boleh bertentangan dengan RPJPD.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pewilayahan Potensi Ekonomi Daerah Provinsi Banten Pemilihan variabel dilakukan berdasarkan pertimbangan kelengkapan data serta kemampuan vaiabel tersebut dalam menjelaskan keragaman karakteristik wilayah pada pola penganggaran dan kinerja pembangunan daerah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka diperoleh variabel dasar dengan kombinasi antara daerah dan waktu, yaitu: 6 unit analisis daerah kabupaten/kota dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 (Lampiran 1). Proses analisis komponen utama terhadap kabupaten/kota di Provinsi Banten diolah berdasarkan pada data kependudukan kabupaten/kota dalam angka Provinsi Banten Tahun 2003–2007, data APBD Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun 2003–2007 dan data PDRB Kabupaten/Kota Banten Tahun 2003–2007. Variabelvariabel indikator yang digunakan (merupakan hasil dari analisis rasio, indeks diversitas entropy dan LQ) sebanyak 58 (lima puluh delapan) variabel indikator (Lampiran 2 sampai dengan Lampiran 8) yang kemudian disederhanakan menjadi 27 (dua puluh tujuh) indeks komposit. Semua variabel dasar yang digunakan dalam menganalisis tipologi wilayah berdasarkan karakteristik yang dimiliki oleh kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten. Variabel indikator yang terpilih diseleksi dengan menggunakan teknik Principal Component Analysis (PCA) agar variabel-variabel penting dapat dikelompokan untuk pendugaan fenomena dan pemahaman struktur hubungannya antar variabel tersebut di wilayah sampel. Set
variabel
indikator
yang
terpilih
melalui
pendekatan
PCA,
dipresentasikan dalam dimensi yang lebih sederhana dan dipilah menjadi dua kelompok yaitu: (1) 24 variabel komposit indikator pengukur potensi ekonomi daerah dan (2) 3 variabel komposit indikator pengukur kinerja pembangunan ekonomi daerah (Lampiran 9). Variabel komposit indikator pengukur potensi ekonomi daerah dikelompokan menjadi 5 dimensi, yaitu: (1) struktur ekonomi daerah, (2) struktur harga-harga,
(3) kependudukan, (4) struktur anggaran
penerimaan, dan (5) struktur anggaran pengeluaran.
60
Dimensi Struktur Ekonomi Daerah Berdasarkan hasil analisis faktor/komponen utama dengan teknik PCA, pengelompokan kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten berdasarkan Dimensi Struktur Ekonomi Daerah, cukup dilakukan dengan menggunakan 2 faktor yaitu faktor 1 dan faktor 2. Nilai korelasi atau factor loadings yang nyata (significant) ditandai dengan nilai korelasi > 0,7. Kesepuluh variabel indikator dimensi struktur ekonomi daerah tersebut, semuanya memiliki pengaruh nyata terhadap pembentukan variabel baru. Analisis faktor yang menghasilkan 2 faktor tersebut, masing-masing memiliki 5 variabel indikator penciri utama, yang dianggap dapat mencerminkan fenomena-fenomena yang berhubungan dengan struktur ekonomi daerah seperti pada Tabel 12. Tabel 12 Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Ekonomi Daerah 1 (Sed1) Eigenvalue % Total variance 1 3.487451 69.74902 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative Eigenvalue 3.487451
Cumulative % 69.74902
Tabel 12 menunjukkan bahwa faktor 1 dapat menerangkan sebesar 69,75% dari total varians. Hal ini menunjukan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur ekonomi daerah 1 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 69,75% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 13 Factor Loadings Dimensi Struktur Ekonomi Daerah 1 No. 1 2 3 4 5
Kode LqAgr LqMin LqInd LqLga LqDag Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokasi sektor pertanian bobot lokasi sektor pertambangan dan galian bobot lokasi sektor industri pengolahan bobot lokasi sektor listrik, gas dan air bersih bobot lokasi sektor perdagangan, hotel dan restoran
Factor 1 0.89980 0.74415 -0.94142 -0.83930 0.73032 3.48745 0.69749
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 13 terlihat bahwa memilki eigenvalue sebesar 3,487 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 3,487 atau sekitar 69,75% dari total keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah: bobot lokasi sektor pertanian (LqAgr), bobot lokasi sektor pertambangan dan penggalian (LqMin), bobot lokasi sektor perdagangan, hotel dan restoran (LqDag), bobot lokasi sektor industri pengolahan (LqInd) dan bobot lok asi sektor listrik, gas dan air bersih (LqLga). Faktor ini menunjukkan terdapat korelasi
61
negatif yang mengindikasikan bahwa kecenderungan meningkatnya pembangunan sektor pertanian, sektor pertambangan dan galian, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran seiring dengan semakin menurunnya pembangunan sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas dan air bersih di wilayah Provinsi Banten. Kenaikan struktur ekonomi daerah pada sektor pertanian, pertambangan dan perdagangan serta penurunan sektor industri dan listrik, gas dan air bersih merupakan fenomena yang saling berhubungan. Kemungkinan yang terjadi adalah peningkatan produksi pertanian dan pertambangan sebagai akibat dari meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa, sehingga memberikan dampak terhadap peningkatan sektor perdagangan. Sedangkan penurunan sektor industri dapat disebabkan oleh menurunnya produksi listrik akibat pemeliharaan pembangkit yang membutuhkan waktu yang relatif lama, serta rendahnya pasokan gas dan menurunnya ketersediaan air bersih. Tabel 14 Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Ekonomi Daerah 2 (Sed2) Eigenvalue % Total variance 1 3.952906 79.05812 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative Eigenvalue 3.952906
Cumulative % 79.05812
Tabel 14 menunjukkan bahwa faktor 2 dapat menerangkan sebesar 79,06% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur ekonomi daerah 2 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 79,06% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 15 Factor Loadings Dimensi Struktur Ekonomi Daerah 2 No. 1 2 3 4 5
Kode LqKon LqAng LqKeu LqJsa BdSek Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokasi sektor bangunan bobot lokasi sektor pengangkutan dan komunikasi bobot lokasi sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan bobot lokasi sektor jasa-jasa bobot lokal diversitas sektor
Factor 2 -0.88029 0.81845 -0.90186 -0.94594 -0.89442 3.95291 0.79058
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 15 terlihat bahwa memiliki eigenvalue sebesar 3,952 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 3,952 atau sekitar 79,06% dari total keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah bobot lokasi sektor pengangkutan dan komunikasi (LqAng), bobot lokasi sektor bangunan (LqKon), bobot lokasi sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
62
(LqKeu), bobot lokasi sektor jasa-jasa (LqJsa) dan bobot lokal diversitas sektor (Bdsek). Faktor ini menunjukkan terdapat korelasi negatif yang mengindikasikan bahwa kecenderungan meningkatnya pembangunan sektor pengangkutan dan komunikasi seiring dengan semakin menurunnya pembangunan sektor bangunan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor jasa-jasa, serta tingkat perkembangan aktivitas ekonomi daerah wilayah Provinsi Banten. Kenaikan struktur ekonomi daerah pada sektor pengangkutan dan komunikasi serta penurunan sektor bangunan, keuangan, jasa dan perkembangan aktivitas sektor ekonomi daerah merupakan fenomena yang terjadi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena peningkatan sektor pengangkutan dan komunikasi sebagai akibat dari semakin kuatnya arus aliran barang dan jasa ke luar wilayah, sehingga memberikan dampak terhadap penurunan pasokan barang untuk sektor konstruksi dan jasa di wilayah sendiri. Penurunan sektor konstruksi dan jasa tersebut mengakibatkan iklim investasi menjadi berkurang dan rendahnya tingkat perkembangan aktivitas perekonomian di semua sektor. Dimensi Struktur Harga-harga Pengelompokan kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten berdasarkan Dimensi Struktur Harga-harga dilakukan dengan cara mengelompokan variabelvariabel indikator melalui teknik PCA dalam analisis faktor/komponen utama. Analisis ini menghasilkan 4 faktor dan 1 variabel indikator yang diikutsertakan namun tidak termasuk ke dalam analisis faktor yaitu: faktor 1, faktor 2, faktor 3, faktor 4 dan variabel indikator bobot lokal indeks harga sektor jasa-jasa. Analisis faktor dimensi ini memiliki sembilan variabel indikator yang berpengaruh nyata terhadap pembentukan variabel baru, dan dianggap dapat mencerminkan fenomena-fenomena yang berhubungan dengan struktur harga-harga. Tabel 16 Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Harga-harga 1 (Shh1) Eigenvalue % Total variance 1 2.655632 88.52106 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative Eigenvalue 2.655632
Cumulative % 88.52106
Tabel 16 menunjukkan bahwa faktor 1 dapat menerangkan sebesar 88,52% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur harga-harga 1 mampu menerangkan
63
karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 88,52% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 17 Factor Loadings Dimensi Struktur Struktur Harga 1 No. 1 2 3
Kode BhMin BhLga BhAng Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokal indeks harga sektor pertambangan dan galian bobot lokal indeks harga sektor listrik, gas dan air bersih bobot lokal indeks harga sektor pengangkutan dan komunikasi
Factor 1 -0.93890 -0.92579 -0.95761 2.65563 0.88521
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 17 memiliki eigenvalue sebesar 2,656 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 2,656 atau sekitar 88,52% dari total keragaman data. Faktor 1 memiliki 3 variabel penciri utama yaitu: bobot lokal indeks harga sektor pertambangan dan galian (BhMin) serta bobot lokal indeks harga sektor listrik, gas dan air bersih (BhLga), dan bobot lokal indeks harga sektor pengangkutan dan komunikasi (BhAng). Ketiga variabel penciri utama dalam faktor ini mengindikasikan bahwa kecenderungan yang terjadi adalah hubungan yang searah antara struktur harga-harga pada sektor pertambangan dan galian, sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor pengangkutan dan komunikasi di wilayah Provinsi Banten. Faktor yang menjadi penyebab utama peningkatan inflasi di Banten adalah gangguan pasokan pada beberapa komoditas kelompok bahan makanan, yaitu kenaikan harga komoditas yang dipengaruhi oleh kenaikan harga beberapa komoditas di pasar internasional (imported inflation) seperti kenaikan harga emas yang kenaikannya pararel dengan kenaikan harga BBM dunia serta kenaikan harga produk turunan yang menggunakan bahan baku yang diimpor di atas. Sementara itu, perkembangan harga-harga yang diatur oleh pemerintah peningkatannya relatif rendah. Program konversi minyak tanah ke gas yang baru diterapkan di kota Tangerang, pada triwulan ini diterapkan di Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon. Namun demikian, program konversi tersebut belum secara signifikan mempengaruhi kenaikan harga minyak tanah, antara lain karena dari sisi pasokan masih mencukupi, walaupun di kota Tangerang sempat terjadi kenaikan harga minyak tanah, akibat beberapa pedagang dari luar daerah yang mencari minyak tanah ke Kota Tangerang. Beberapa administered price seperti tarif air minum dan angkutan umum tidak mengalami kenaikan yang berarti. Walaupun, di Banten terdapat kenaikan
64
pada beberapa administered price, namun kenaikan tersebut tidak membawa dampak yang signifikan. Kenaikan tarif air minum di beberapa kota di Banten diperkirakan tidak terpantau dalam perhitungan inflasi karena survei hanya dilakukan di kota Serang dan Cilegon. Beberapa PDAM yang menaikkan tarif dimaksud adalah di PDAM Tangerang yang naik 30% dan PDAM Pandeglang yang meningkat 66% dari tarif semula. Sedangkan kenaikan tarif air minum di PDAM Serang sudah pasti akan diimplementasikan namun tingkat kenaikannya masih dalam pembahasan. Tarif angkutan umum antar kota antar provinsi (AKAP) tidak mengalami kenaikan. Sementara itu tarif angkutan laut dalam negeri tidak mengalami perubahan mengingat baru saja mengalami kenaikan. Sementara itu rencana penghapusan biaya tambahan (surcharge) dalam terminal handling charge (THC) sebesar US$ 25 sampai US$ 40 per kontainer diperkirakan akan terealisasi awal tahun 2008. Selama ini biaya terminal terdiri dari container handling charge dan surcharge yang keseluruhannya sebesar US$ 90 sampai US$145. Tabel 18 Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Harga-harga 2 (Shh2) Eigenvalue % Total variance 1 1.559113 77.95563 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative Eigenvalue 1.559113
Cumulative % 77.95563
Tabel 18 menunjukkan bahwa faktor 2 dapat menerangkan sebesar 77,96% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur harga-harga 2 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 77,96% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 19 Factor Loadings Dimensi Struktur Struktur Harga 2 No. 1 2
Kode BhInd BhKeu Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokal indeks harga sektor industri pengolahan bobot lokal indeks harga sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
Factor 2 0.882925 -0.882925 1.559113 0.779556
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 19 memiliki eigenvalue sebesar 1,559 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 1,559 atau sekitar 77,96% dari total keragaman data. Faktor 2 memiliki 2 variabel penciri utama, yaitu bobot lokal indeks harga sektor industri pengolahan (BhInd) dan bobot lokal indeks
65
harga sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (BhKeu). Faktor ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan melemahnya struktur harga sektor industri dan pengolahan, seiring dengan penguatan struktur harga sektor keuangan, persewaan, dan jasa di wilayah Provinsi Banten. Kenaikan harga makanan yang menggunakan tepung dan minyak goreng tertinggi terjadi pada roti tawar yang meningkat 30%, kue-kue 26% dan mie 4%. Sementara itu harga ayam potong di Banten meningkat seiring dengan kenaikan harga pakan ternak dan meningkatnya permintaan. Tabel 20 Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Harga-harga 3 (Shh3) 1
Eigenvalue 1.826631
% Total variance 91.33157
Cumulative Eigenvalue 1.826631
Cumulative % 91.33157
Sumber : Data hasil olahan.
Tabel 20 menunjukkan bahwa faktor 3 dapat menerangkan sebesar 91,33% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur harga-harga 3 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 91,33% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 21 Factor Loadings Dimensi Struktur Struktur Harga 3 No. 1 2
Kode BhAgr BhTot Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokal indeks harga sektor pertanian bobot lokal indeks harga agregat sektor
Factor 3 0.955676 0.955676 1.826631 0.913316
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 21 memiliki eigenvalue sebesar 1,827 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 1,827 atau sekitar 91,33% dari total keragaman data. Faktor 3 memiliki 2 variabel penciri utama, yaitu bobot lokal indeks harga sektor pertanian (BhAgr) dengan bobot lokal indeks harga agregat sektor (BhTot). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan menguatnya struktur harga sektor pertanian seiring dengan penguatan struktur harga seluruh sektor perekonomian secara agregat di wilayah Provinsi Banten. Pasokan beras sempat mengalami gangguan, karena belum datangnya masa panen, khususnya di Jawa Barat belum tiba. Jawa Barat merupakan daerah pemasok 60% padi ke PIBC. Jika pasokan padi ke PIBC terhambat, maka jumlah pasokan padi ke Banten juga akan mengalami gangguan. Faktor yang lain adalah,
66
mayoritas petani di Banten cenderung menjual produknya ke tengkulak dengan sistem ijon, meskipun dengan harga yang relatif rendah karena prosesnya lebih cepat dan tidak memerlukan tertentu, seperti syarat kadar air 25%, kadar hampa 10% dan beberapa ketentuan lain. Hasil panen yang di jual ke tengkulak tersebut lebih banyak yang lari ke luar daerah di bandingkan untuk menambah pasokan di Banten sendiri. Ke depan, Badan Ketahanan Pangan Provinsi Banten, akan melakukan program stabilisasi pangan dalam upaya
menjaga ketersediaan
pasokan dan kestabilan harga. Tabel 22 Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Harga-harga 4 (Shh4) Eigenvalue % Total variance 1 1.395622 69.78109 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative Eigenvalue 1.395622
Cumulative % 69.78109
Tabel 22 menunjukkan bahwa faktor 4 dapat menerangkan sebesar 69,78% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur harga-harga 4 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 69,78% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 23 Factor Loadings Dimensi Struktur Struktur Harga 4 No. 1 2
Kode BhKon BhDag Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokal indeks harga sektor bangunan bobot lokal indeks harga sektor perdagangan, hotel dan restoran
Factor 4 0.835351 0.835351 1.395622 0.697811
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 23 memiliki eigenvalue sebesar 1,396 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 1,396 atau sekitar 69,78% dari total keragaman data. Faktor 4 memiliki 2 variabel penciri utama, yaitu bobot lokal indeks harga sektor bangunan (BhKon) dengan bobot lokal indeks harga sektor perdagangan, hotel, dan restoran (BhDag). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan menguatnya struktur harga sektor bangunan seiring dengan penguatan struktur harga sektor perdagangan, hotel dan restoran di wilayah Provinsi Banten. Kelompok komoditas bahan bangunan di Banten hanya mengalami kenaikan harga yang tidak memberikan kontribusi secara signifikan terhadap inflasi. Turunnya hujan menyebabkan tidak dapat diproduksinya batu bata. Di tengah-
67
tengah permintaan yang tetap tinggi maka harga batu bata meningkat hingga 50%. Sementara itu harga kayu tetap stabil karena stok komoditi tersebut cukup banyak. Dimensi Kependudukan Berdasarkan hasil analisis faktor/komponen utama dengan teknik PCA, pengelompokan kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten berdasarkan Dimensi Kependudukan, cukup dilakukan dengan menggunakan 1 faktor. Analisis faktor dimensi ini memiliki dua variabel indikator yang berpengaruh nyata terhadap pembentukan variabel baru dan dianggap dapat mencerminkan fenomenafenomena yang berhubungan dengan kependudukan. Tabel 24 Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Kependudukan (Duk) Eigenvalue % Total variance 1 1.624987 81.24937 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative Eigenvalue 1.624987
Cumulative % 81.24937
Tabel 24 menunjukkan bahwa faktor 1 dapat menerangkan sebesar 81,25% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi kependudukan mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 81,25% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 25 factor Loadings Dimensi Kependudukan No. 1 2
Kode PoDen UkRmt Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokal kepadatan penduduk bobot lokal ukuran rumah tangga
Factor 1 0.901384 -0.901384 1.624987 0.812494
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 25 menunjukkan bahwa faktor dimensi kependudukan memiliki eigenvalue sebesar 1,625 artinya faktor ini dapat menjelaskan 1,625 atau sekitar 81,25% dari total keragaman data. Variabel penciri utamanya adalah bobot lokal kepadatan penduduk (PoDen) dan bobot lokal ukuran rumah tangga (UkRmt). Faktor ini menunjukan terdapat korelasi negatif, yang mengindikasikan bahwa karakteristik daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten cenderung memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi seiring dengan menurunnya tingkat ukuran rumah tangga. Kemungkinannya adalah laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat merupakan akibat dari perpindahan penduduk dari luar wilayah, karena daya tarik wilayah itu sendiri. Sedangkan penurunan jumlah anggota keluarga disebabkan
68
oleh meningkatnya harga-harga yang harus dikonsumsi, sehingga menjadi salah satu pertimbangan dalam memutuskan untuk mengikuti program Keluarga Berencana (KB). Dimensi Struktur Anggaran Penerimaan Berdasarkan hasil analisis faktor/komponen utama dengan teknik PCA, pengelompokan kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten berdasarkan Dimensi Struktur Anggaran Penerimaan, cukup dilakukan dengan menggunakan 1 faktor dan 1 variabel indikator yang diikutsertakan namun tidak termasuk ke dalam analisis faktor, yaitu: faktor 1 dan variabel indikator bobot lokasi penerimaan lainlain yang syah. Analisis faktor dimensi ini memiliki dua variabel indikator yang berpengaruh nyata terhadap pembentukan variabel baru dan dianggap dapat mencerminkan fenomena-fenomena yang berhubungan dengan struktur anggaran penerimaan. Dimensi anggaran penerimaan di setiap daerah kabupaten/kota diukur dengan 2 variabel indikator. Analisis Faktor/Komponen Utama menghasilkan 1 faktor, seperti yang terlihat pada Tabel 26 berikut. Tabel 26
Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Anggaran Penerimaan 1 (Sar1)
Eigenvalue 1 1.561766 Sumber : Data hasil olahan.
% Total variance 78.08831
Cumulative Eigenvalue 1.561766
Cumulative % 78.08831
Tabel 26 menunjukkan bahwa faktor 1 dapat menerangkan sebesar 78,08% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur anggaran penerimaan mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 78,08% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 27 Factor Loadings Dimensi Anggaran Penerimaan No. 1 2
Kode LrImb LqRby Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokasi penerimaan dana perimbangan bobot lokasi penerimaan pembiayaan
Factor 1 0.883676 -0.883676 1.561766 0.780883
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 27 memiliki eigenvalue sebesar 1,562 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 1,562 atau 78,08% dari total keragaman data. Faktor ini menunjukkan terdapat korelasi negatif antara bobot
69
lokasi penerimaan dana penerimbangan (Lrlmb) dengan bobot lokasi penerimaan pembiayaan (LqRby). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan meningkatnya besaran penerimaan dana perimbangan seiring dengan menurunnya besaran penerimaan pembiayaan daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten. Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran Berdasarkan hasil analisis faktor/komponen utama dengan teknik PCA, pengelompokan kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten berdasarkan Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran, cukup dilakukan dengan menggunakan 9 faktor dan 5 variabel indikator yang diikutsertakan namun tidak termasuk ke dalam analisis faktor. Kelima variabel indikator tersebut adalah: variabel indikator bobot lokasi pengeluaran belanja tidak langsung, bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pekerjaan umum, bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kependudukan dan catatan sipil, bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pemberdayaan masyarakat dan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pemerintahan umum. Analisis faktor dimensi ini memiliki sembilan variabel indikator yang berpengaruh nyata terhadap pembentukan variabel baru dan dianggap dapat mencerminkan fenomena-fenomena yang berhubungan dengan struktur anggaran pengeluaran. Adapun kesembilan faktor hasil Analisis Faktor/Komponen Utama ini adalah sebagai berikut. Tabel 28
Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran 1 (Sax1)
Eigenvalue % Total variance 1 3.408156 85.20390 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative Eigenvalue 3.408156
Cumulative % 85.20390
Tabel 28 menunjukkan bahwa faktor 1 dapat menerangkan sebesar 85,20% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur anggaran pengeluaran 1 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 85,20% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti.
70
Tabel 29 Factor Loadings Dimensi Anggaran Pengeluaran 1 No. 1 2 3 4
Kode LqXby LxKim LxHan LxTtr Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokasi pengeluaran pembiayaan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pemukiman bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pertanahan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang penataan ruang
Factor 1 -0.88679 -0.96296 -0.95138 -0.88845 3.40816 0.85204
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 29 memiliki eigenvalue sebesar 3,408 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 3,408 atau sekitar 85,20% dari total keragaman data. Faktor ini menunjukkan terdapat keterkaitan antara bobot lokasi: pengeluaran pembiayaan (LqXby), pengeluaran belanja langsung bidang pemukiman (LxKim), pengeluaran belanja langsung bidang pertanahan (LxHan) dan pengeluaran belanja langsung bidang penataan ruang (LxTtr). Hal ini mengindikasikan
bahwa
terdapat
kecenderungan
menurunnya
anggaran
pengeluaran pembiayaan seiring dengan penurunan penganggaran belanja langsung bidang: pemukiman, pertanahan dan penataan ruang di wilayah Provinsi Banten. Tabel 30
Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran 2 (Sax2)
Eigenvalue % Total variance 1 2.409794 80.32646 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative Eigenvalue 2.409794
Cumulative % 80.32646
Tabel 30 menunjukkan bahwa faktor 2 dapat menerangkan sebesar 80,33% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur anggaran pengeluaran 2 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 80,33% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 31 Factor Loadings Dimensi Anggaran Pengeluaran 2 No. 1 2 3
Kode LxLin LxNkr BdlBl Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang lingkungan hidup bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang ketenagakerjaan bobot lokal diversitas bidang pengeluaran belanja langsung
Factor 2 -0.94699 -0.86210 -0.87737 2.40979 0.80327
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 31 memiliki eigenvalue sebesar 2,410 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 2,410 atau sekitar 80,33% dari total keragaman data. Faktor ini menunjukkan terdapat korelasi searah antara bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang lingkungan hidup (LxLin),
71
bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang ketenagakerjaan (LxNkr) dan bobot lokal diversitas bidang pengeluaran belanja langsung (BdlBl). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan menurunnya penganggaran bidang lingkungan hidup dan ketenagakerjaan seiring dengan menurunnya tingkat perkembangan aktivitas penganggaran belanja langsung di wilayah Provinsi Banten. Tabel 32
Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran 3 (Sax3)
Eigenvalue % Total variance 1 1.635490 81.77450 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative Eigenvalue 1.635490
Cumulative % 81.77450
Tabel 32 menunjukkan bahwa faktor 3 dapat menerangkan sebesar 81,77% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur anggaran pengeluaran 3 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 81,77% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 33 Factor Loadings Dimensi Anggaran Pengeluaran 3 No. 1 2
Kode LxHub LxPol Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang perhubungan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kesatuan bangsa & politik dalam negeri
Factor 3 0.904293 0.904293 1.63549 0.817745
Sumber : Hasil analisis
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 33 memiliki eigenvalue sebesar 1,635 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 1,635 atau sekitar 81,77% dari total keragaman data. Faktor ini menunjukkan terdapat korelasi positif antara bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang perhubungan (LxHub) dengan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kesatuan bangsa dan politik dalam negeri (LxPol). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan meningkatnya penganggaran bidang perhubungan seiring dengan peningkatan penganggaran bidang kesatuan bangsa dan politik dalam negeri di wilayah Provinsi Banten. Tabel 34
Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran 4 (Sax4)
Eigenvalue % Total variance 1 1.533350 76.66748 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative Eigenvalue 1.533350
Cumulative % 76.66748
72
Tabel 34 menunjukkan bahwa faktor 4 dapat menerangkan sebesar 76,67% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur anggaran pengeluaran 4 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 76,67% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 35 Factor Loadings Dimensi Anggaran Pengeluaran 4 No. 1 2
Kode LxUkm LxPeg Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang koperasi & ukm bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kepegawaian
Factor 4 0.8756 0.8756 1.53335 0.766675
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 35, memiliki eigenvalue sebesar 1,533 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 1,533 atau sekitar 76,67% dari total keragaman data. Faktor ini menunjukkan terdapat korelasi positif antara bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang koperasi dan usaha kecil menengah/UKM (LxUkm) dengan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kepegawaian (LxPeg). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan meningkatnya penganggaran bidang koperasi dan UKM seiring dengan peningkatan penganggaran bidang kepegawaian di wilayah Provinsi Banten. Tabel 36
Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran 5 (Sax5)
Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue 1 1.734552 86.72760 1.734552 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative % 86.72760
Tabel 36 menunjukkan bahwa faktor 5 dapat menerangkan sebesar 86,73% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur anggaran pengeluaran 5 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 86,73% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 37 Factor Loadings Dimensi Anggaran Pengeluaran 5 No. 1 2
Kode LxPpb LxWst Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang perencanaan pembangunan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kepariwisataan
Sumber : Hasil analisis.
Factor 5 0.931277 0.931277 1.734552 0.867276
73
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 37, memiliki eigenvalue sebesar 1,735, artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 1,735 atau sekitar 86,73% dari total keragaman data. Faktor ini menunjukkan terdapat korelasi positif antara bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang perencanaan pembangunan (LxPbp) dengan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kepariwisataan (LxWst). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan meningkatnya penganggaran bidang perencanaan pembangunan seiring dengan peningkatan penganggaran bidang kepariwisataan di wilayah Provinsi Banten. Tabel 38
Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran 6 (Sax6)
Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue 1 2.257256 75.24188 2.257256 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative % 75.24188
Tabel 38 menunjukkan bahwa faktor 6 dapat menerangkan sebesar 75,24% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur anggaran pengeluaran 6 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 75,24% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 39 Factor Loadings Dimensi Anggaran Pengeluaran 6 No. 1 2 3
Kode LxSos LxMdl LxDin Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang sosial bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang penanaman modal bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang perdagangan & industri
Factor 6 -0.86608 -0.85684 -0.87919 2.25726 0.75242
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 39 memiliki eigenvalue sebesar 2,257 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 2,257 atau sekitar 75,24% dari total keragaman data. Faktor ini menunjukkan terdapat korelasi searah antara bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang sosial (LxSos), bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang penanaman modal (LxMdl) dan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang perdagangan dan industry (LxDin). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan menurunya penganggaran bidang sosial seiring dengan penurunan penganggaran bidang penanaman modal dan penganggaran bidang perdagangan dan industri di wilayah Provinsi Banten.
74
Tabel 40
Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran 7 (Sax7)
Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue 1 1.566982 78.34909 1.566982 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative % 78.34909
Tabel 40 menunjukkan bahwa faktor 7 dapat menerangkan sebesar 78,35% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur anggaran pengeluaran 7 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 78,35% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 41 Factor Loadings Dimensi Anggaran Pengeluaran 7 No. 1 2
Kode LxDik LxSht Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pendidikan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kesehatan
Factor 7 0.88515 0.88515 1.566982 0.783491
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 41, memiliki eigenvalue sebesar 1,567 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 1,567 atau sekitar 78,35% dari total keragaman data. Faktor ini menunjukkan terdapat korelasi positif antara bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pendidikan (LxDik) dengan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kesehatan (LxSht). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan meningkatnya penganggaran bidang pendidikan seiring dengan peningkatan penganggaran bidang kesehatan di wilayah Provinsi Banten. Tabel 42
Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran 8 (Sax8)
Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue 1 1.957086 97.85428 1.957086 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative % 97.85428
Tabel 42 menunjukkan bahwa faktor 8 dapat menerangkan sebesar 97,85% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur anggaran pengeluaran 8 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 97,85% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti.
75
Tabel 43 Factor Loadings Dimensi Anggaran Pengeluaran 8 No. 1 2
Kode LxHut LxEng Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kehutanan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang energi & sumberdaya mineral
Factor 8 0.989213 0.989213 1.957086 0.978543
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 43 memiliki eigenvalue sebesar 1,957 artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 1,957 atau sekitar 97,85% dari total keragaman data. Faktor ini menunjukkan terdapat korelasi positif antara bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kehutanan (LxHut) dengan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang energi dan sumberdaya mineral (LxEng). Hal ini mengindikaskan bahwa terdapat kecendrungan meningkatnya penganggaran bidang kehutanan seiring dengan peningkatan penganggaran bidang energi dan sumberdaya mineral di wilayah Provinsi Banten. Tabel 44
Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran 9 (Sax9)
Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue 1 1.601119 80.05596 1.601119 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative % 80.05596
Tabel 44 menunjukkan bahwa faktor 9 dapat menerangkan sebesar 80,06% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi struktur anggaran pengeluaran 9 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 80,06% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti. Tabel 45 Factor Loadings Dimensi Anggaran Pengeluaran 9 No. 1 2
Kode LxAgr LxIkn Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pertanian bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kelautan & perikanan
Factor 9 0.89474 0.89474 1.601119 0.80056
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 45, memiliki eigenvalue sebesar 1,601, artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 1,601 atau sekitar 80,05% dari total keragaman data. Faktor ini menunjukkan terdapat korelasi positif antara bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pertanian (LxAgr) dengan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kelautan dan perikanan (LxIkn). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan meningkatnya
76
penganggaran bidang pertanian searah dengan peningkatan penganggaran bidang kelautan dan perikanan di wilayah Provinsi Banten. Selain kelompok variabel komposit indikator pengukur potensi ekonomi daerah, set variabel terpilih diukur berdasarkan kelompok kinerja pembangunan daerah. Dimensi Kinerja Pembangunan Daerah Pengelompokan kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten berdasarkan Dimensi Kinerja Pembangunan Daerah, dilakukan dengan cara mengelompokan variabel-variabel indikator melalui teknik PCA dalam analisis faktor/komponen utama. Analisis ini menghasilkan 1 faktor dan 2 variabel indikator yang diikutsertakan tanpa melalui analisis faktor, yaitu: faktor 1, variabel indikator bobot lokal PAD perkapita, dan variabel indikator bobot lokal pengangguran. Analisis faktor dimensi ini memiliki tiga variabel indikator yang berpengaruh nyata terhadap pembentukan variabel baru, dan dianggap dapat mencerminkan fenomena-fenomena yang berhubungan dengan kinerja pembangunan daerah. Ketiga variabel indikator yang berpengaruh nyata tersebut adalah: variabel indikator bobot lokal PDRB per kapita, variabel indikator bobot lokal PDRB daerah per luas lahan, bobot lokal PAD per luas lahan, dan bobot lokal rumah tangga prasejahtera dan sejahtera I. Tabel 46 Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Kinerja Pembangunan Daerah 1 (Kpd1) Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue 1 3.482114 87.05286 3.482114 Sumber : Data hasil olahan.
Cumulative % 87.05286
Tabel 46 menunjukkan bahwa faktor 1 dapat menerangkan sebesar 87,05% dari total varians. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan dimensi kinerja pembangunan daerah 1 mampu menerangkan karakteristik wilayah kabupaten/kota sebesar 87,05% terhadap total varians kabupaten/kota yang diteliti.
77
Tabel 47 Factor Loadings Dimensi Kinerja Pembangunan Daerah No. 1 2 3 4
Kode BkPdb BlPdb BlPpl PsMsk Expl.Var Prp.Totl
Nama bobot lokal PDRB per kapita bobot lokal PDRB per luas lahan bobot lokal PAD per luas lahan bobot lokal rumahtangga prasejahtera dan sejahtera I
Factor 1 -0.86218 -0.91610 -0.99272 0.95605 3.48211 0.87053
Sumber : Data hasil olahan.
Factor loadings (nilai korelasi) pada Tabel 47, menunjukkan bahwa faktor dimensi kinerja pembangunan daerah memilki eigenvalue sebesar 3,482, artinya faktor ini dapat menjelaskan sekitar 3,482 atau sekitar 87,05% dari total keragaman data. Faktor ini menunjukkan terdapat korelasi searah antara bobot lokal PDRB per kapita (BkPdb), bobot lokal PDRB per luas lahan (BlPdb), dan bobot lokal PAD per luas lahan (BlPpl) terhadap bobot lokal rumah tangga prasejahtera dan sejahtera tingkat I (PsMsk). Faktor ini menunjukan terdapat korelasi
negatif
yang
mengindikasikan
bahwa
terdapat
kecenderungan
menurunnya tingkat PDRB per kapita, PDRB per luas lahan, dan PAD per luas lahan seiring dengan peningkatan jumlah rumah tangga prasejahtera dan sejahtera tingkat I di wilayah Provinsi Banten. Fenomena yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, diantaranya adalah kelangkaan sumberdaya manusia yang berkualitas dan kurangnya
pengetahuan
teknologi
dapat
menjadi
penghambat
dalam
meningkatkan PDRB per kapita dan PDRB per luas lahan. Penurunan PDRB per kapita dan PDRB per luas lahan, dapat mengakibatkan rendahnya PAD per luas lahan. Sehingga pada akhirnya hal tersebut dapat mengakibatkan peningkatan jumlah keluarga prasejahtera dan sejahtera I, atau dengan kata lain jumlah keluarga miskin dapat menjadi semakin meningkat. Hasil analisis faktor/komponen utama terhadap variabel-variabel pengukur kinerja pembangunan daerah dikelompokan menjadi 1 dimensi, yaitu dimensi kinerja pembangunan daerah. Dimensi ini meliputi 3 indeks komposit, yaitu: (1) indeks produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal lahan, dan kesejahteraan rumah tangga; (2) indeks kapasitas fiskal penduduk; dan (3) indeks pengangguran.
78
Analisis tipologi wilayah didasarkan atas karakterisasi dan pengelompokan kabupaten/kota di wilayah sampel, yaitu berdasarkan: (1) stuktur anggaran pengeluaran (pola Penganggaran) dan (2) kinerja pembangunan daerah. Pewilayahan dan Tipologi Wilayah Berdasarkan Pola Penganggaran Untuk mengidentifikasi pola penganggaran daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten, digunakan variabel-variabel indikator terpilih pengukur potensi ekonomi daerah Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran (Sax). Indeks komposit pengukur pola penganggaran ini, disusun berdasarkan factor score hasil analisis PCA, yang distandarisasi melalui teknik klasifikasi atau penskalaan dengan skala nilai 1 sampai dengan 9. Analisis klasifikasi ini digunakan untuk dapat memberikan gambaran karakteristik wilayah kabupaten/kota, melalui besaran indeks. Semakin besar nilai indeks komposit yang dimiliki oleh daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten, maka diharapkan dapat menggambarkan karakteristik dengan kondisi yang semakin baik. Berdasarkan factor score hasil analisis PCA, maka indeks komposit pengukur potensi ekonomi daerah yang berdimensi Struktur Anggaran Pengeluaran (Sax) di daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten, meliputi 14 indeks komposit, yaitu: 1. indeks pengeluaran pembiayaan, belanja langsung bidang permukiman, pertanahan, dan penataan ruang (Sax01) 2. indeks belanja langsung bidang lingkungan hidup dan ketenagakerjaan, diversitas bidang belanja langsung (Sax02) 3. indeks belanja langsung bidang perhubungan, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri (Sax03) 4. indeks belanja langsung bidang koperasi dan UKM serta kepegawaian (Sax04) 5. indeks
belanja
langsung
bidang
perencanaan
pembangunan
dan
kepariwisataan (Sax05) 6. indeks belanja langsung bidang sosial, penanaman modal, serta perdagangan dan industri (Sax06) 7. indeks belanja langsung bidang pendidikan dan kesehatan (Sax07)
79
8. indeks belanja langsung bidang kehutanan, energi dan sumberdaya mineral (Sax08) 9. indeks belanja langsung bidang pertanian, kelautan dan perikanan (Sax09) 10. indeks belanja tak langsung (Sax10) 11. indeks belanja langsung bidang pekerjaan umum (Sax11) 12. indeks belanja langsung bidang kependudukan dan pencatatan sipil (Sax12) 13. indeks belanja langsung bidang pemberdayaan masyarakat (Sax13), dan 14. indeks belanja langsung bidang pemerintahan umum (Sax14). Pola penganggaran daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten dapat diidentifikasi berdasarkan hasil analisis kalsifikasi tipologi wilayah berdasarkan pola penganggaran pada tahun 2003- 2007. Untuk memudahkan penafsiran, maka dilakukan pengelompokan kelas nilai indeks komposit, yaitu: 1. nilai 0-1 untuk kategori sangat rendah sekali 2. nilai 1-2 untuk kategori sangat rendah 3. nilai 2-3 untuk kategori rendah 4. nilai 3-4 untuk kategori agak rendah 5. nilai 4-5 untuk kategori sedang 6. nilai 5-6 untuk kategori agak tinggi 7. nilai 6-7 untuk kategori tinggi 8. nilai 7-8 untuk kategori sangat tinggi 9. nilai 8-9 untuk kategori sangat tinggi sekali. Secara spasial, hasil analisis klasifikasi tipologi wilayah berdasarkan pola penganggaran pada tahun 2003-2007 (Lampiran 8 sampai dengan Lampiran 11) adalah sebagai berikut. 1. Indeks pengeluaran pembiayaan, belanja langsung bidang permukiman, pertanahan, dan penataan ruang (Sax01). Indeks ini mengindentifikasikan bahwa hampir di semua daerah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2003-2007 memiliki pola penganggaran dengan kategori yang relatif sangat rendah, kecuali Kota Tangerang dengan kategori yang lebih tinggi (lihat grafik pada Gambar 12). Informasi yang diperoleh adalah pembangunan daerah di wilayah Provinsi Banten pada bidang permukiman, pertanahan, dan penataan ruang cenderung
80
lebih terfokus di Kota Tangerang. Hasil ini dimungkinkan, aktivitas perekonomian di daerah tersebut cenderung lebih terkonsentrasi pada penggunaan lahan dari sisi ekonomi. Penggunaan lahan permukiman memiliki nilai economic land rent yang lebih tinggi dibanding penggunaan lahan lainnya. Oleh karena itu penggunaan lahan permukiman akan terus meningkat luasannya, seiring dengan pemberian ijin mendirikan bangunan pada bidang pertanahan dan rencana tata ruang pemerintah daerah pada bidang penataan ruang.
Gambar 12 Grafik indeks pengeluaran pembiayaan, belanja langsung bidang permukiman, pertanahan, dan penataan ruang (Sax01). 2. Indeks belanja langsung bidang lingkungan hidup, ketenagakerjaan, dan diversitas bidang belanja langsung (Sax02). Pola penganggaran daerah kabupaten/kota tahun 2003-2007 di wilayah Provinsi Banten yang memiliki kategori paling tinggi pada indeks ini adalah Kabupaten Tangerang. Secara umum, perkembangan aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang semakin cepat mengakibatkan meningkatnya kebutuhan masyarakat dalam pelayanan ketenagakerjaan. Kabupaten Tangerang merupakan salah satu kawasan industri strategis di Provinsi Banten, diantaranya adalah Modern Cikande Industrial Estate. Hal ini dimungkinkan, karena kawasan industri tersebut tidak pernah terlepas dari permasalahan pencemaran lingkungan hidup, serta tingkat pelayanan pada bidang ketenagakerjaan.
81
Gambar 13
Grafik indeks belanja langsung bidang lingkungan hidup, ketenagakerjaan, dan diversitas bidang belanja langsung (Sax02).
3. Indeks belanja langsung bidang perhubungan, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri (Sax03). Pada umumnya, daerah kabupaten/kota tahun 2003-2007 yang memiliki pola penganggaran dengan kategori relatif rendah pada indeks ini. Kabupaten Pendeglang memiliki indeks dengan kategori sangat tinggi (9,00) sekali pada tahun 2003 dan cenderung menurun tajam sampai pada tahun 2007 dengan kategori sangat rendah (1,16).
Gambar 14 Grafik indeks belanja langsung bidang perhubungan, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri (Sax03). Temuan ini dimungkinkan karena arahan pengembangan di daerah tersebut diantaranya meliputi penanganan jaringan ruas jalan yang menghubungkan Anyer (Kota Cilegon)-Labuan (Kabupaten Pandeglang) untuk mendukung kawasan industri dan pariwisata, ruas jalan TigaraksaRangkasbitung-Labuan untuk pengembangan kawasan pariwisata, dan penghubung tol Cilegon-Labuan dalam pengembangan kawasan Banten Selatan. Kemudian, kemungkinan yang terjadi pada bidang kesatuan bangsa
82
dan politik dalam negeri adalah disebabkan oleh adanya bantuan keuangan dari pemerintah daerah Kabupaten Pandeglang, melalui bidang kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat kepada partai politik. 4. Indeks belanja langsung bidang koperasi, UKM, dan kepegawaian (Sax04). Pola penganggaran yang dimiliki oleh Kabupaten Lebak dari tahun 2003-2007 pada indeks ini cenderung mengalami peningkatan yang relatif konsisten. Kabupaten
Serang dari tahun
2003-2006 memiliki pola
penganggaran dengan kategori sangat rendah (1,00). Meskipun memiliki kategori yang sama yaitu sangat rendah, namun pola penganggaran di Kabupaten Serang mengalami peningkatan indeks pada tahun 2007 sebesar 1,95. Kondisi yang sama dengan Kabupaten Serang ditemukan di Kota Cilegon dari tahun 2003-2006 memiliki pola penganggaran dengan kategori sangat rendah (1,00). Namun ditemukan pada tahun 2007 pola penganggaran di Kota Cilegon mengalami peningkatan indeks menjadi sebesar 7,19 dengan kategori sangat tinggi.
Gambar 15
Grafik indeks belanja langsung bidang koperasi, UKM, dan kepegawaian (Sax04).
Pada tahun 2003, Kabupaten Tangerang memiliki pola penganggaran pada indeks ini dengan kategori agak rendah (3,97) dan mengalami peningkatan indeks menjadi sebesar 6,49 pada tahun 2004 dengan kategori tinggi. Namun penurunan indeks di kabupaten ini pun terjadi pada tahun 2006 dan 2007 menjadi sebesar 1,00 dengan kategori sangat rendah. Sedangkan Kota Tangerang memiliki pola penganggaran dari kategori sangat rendah (1,61) pada tahun 2003 mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2006
83
dengan kategori tinggi (6,59) dan mengalami penurunan indeks dengan kategori agak tinggi (5,28). Pada indeks ini, Kabupaten Pendeglang memiliki pola penganggaran dengan kategori sangat tinggi sekali (9,00) pada tahun 2003, namun mengalami penurunan yang sangat tajam pada tahun 2004 menjadi kategori sangat rendah (1,00). Peningkatan pola penganggaran pada indeks ini di Kabupaten Pandeglang terjadi pada tahun 2005 dengan kategori agak rendah (3,57) dan kategori tinggi (6,36) pada tahun 2006, kemudian mengalami penurunan kembali pada tahun 2007 dengan kategori sangat rendah (1,88). Hal ini dimungkinkan dengan adanya penganggaran yang mendukung pemasaran hasil produksi pertanian di daerah Kabupaten Pandeglang yaitu program
pembangunan
peningkatan
kualitas
kelembagaan
koperasi,
pengembangan sistem pendukung usaha bagi UKM, dan peningkatan kualitas kepegawaian daerah. 5. Indeks
belanja
langsung
bidang
perencanaan
pembangunan
dan
kepariwisataan (Sax05). Pada indeks ini, Kota Tangerang memiliki pola penganggaran dengan kategori sangat rendah (1,00) dari tahun 2003-2005 dan meningkat pada tahun 2006 dengan kategori rendah (2,57) kemudian menurun kembali pada tahun 2007 dengan kategori sangat rendah (1,75). Sedangkan Kota Cilegon memiliki pola penganggaran dengan kategori sangat rendah dari tahun 2003-2006 dan mengalami peningkatan pada tahun 2007 dengan indeks sebesar 6,27 yang termasuk ke dalam kategori tinggi.
Gambar 16 Grafik indeks belanja langsung bidang perencanaan pembangunan dan kepariwisataan (Sax05).
84
Pola penganggaran Kabupaten Serang pada tahun 2003 memiliki kategori rendah (2,62) yang terus meningkat hingga tahun 2005 dengan kategori sangat tinggi (7,72) dan mengalami penurunan hingga tahun 2007 dengan kategori agak rendah (3,87). Kabupaten Tangerang memiliki pola penganggaran tahun 2003 dengan kategori rendah (2,82) kemudian pada tahun 2004 meningkat menjadi kategori sedang (4,49) hingga pada tahun 2005-2007 pola penganggaran Kabupaten Tangerang mengalami penurunan menjadi kategori sangat rendah. Sedangkan Kabupaten Lebak memiliki pola penganggaran relatif konstan yang cenderung terus meningkat dari tahun 2003 dengan kategori sangat rendah (1,68) hingga tahun 2007 dengan kategori agak rendah (3,21). Hanya Kabupaten Pendeglang yang memiliki indeks dengan kategori sangat tinggi sekali pada tahun 2003. Temuan ini dimungkinkan karena selain sektor pertanian, pengembangan wilayah di daerah Kabupaten Pandeglang diarahkan pada pembangunan kawasan pariwisata dan budaya. Hal ini diperkuat dengan adanya perencanaan pembangunan program/kegiatan pengembangan pariwisata melalui penataan obyek wisata alam, buatan, dan budaya. 6. Indeks belanja langsung bidang sosial, penanaman modal, serta perdagangan dan industri (Sax06). Daerah kabupaten/kota tahun 2003-2007 di wilayah Provinsi Banten yang memiliki pola penganggaran dengan kategori relatif hampir sama, kecuali Kabupaten Tangerang dan Cilegon dengan kategori yang lebih tinggi.
Gambar 17 Grafik indeks belanja langsung bidang perencanaan pembangunan dan kepariwisataan (Sax06).
85
Selain Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon juga merupakan salah satu kawasan industri strategis di Provinsi Banten, salah satunya adalah Kawasan Krakatau Industrial Estate Cilegon. Meskipun dalam kategori sedang, namun hal ini dimungkinkan bahwa penganggaran dalam bidang penanaman modal dan bidang perdagangan dan industri di daerah-daerah tersebut cenderung lebih besar dari pada daerah kabupaten/kota lain di wilayah Provinsi Banten. 7. Indeks belanja langsung bidang pendidikan dan kesehatan (Sax07). Pada indeks ini daerah kabupaten/kota tahun 2003-2007 di wilayah Provinsi Banten yang memiliki pola penganggaran dengan kategori relatif paling rendah adalah Kota Tangerang dan Kabupaten. Daerah yang memiliki kategori paling tinggi adalah Kabupaten Serang.
Gambar 18 Grafik indeks belanja langsung bidang sosial, penanaman modal, serta perdagangan dan industri (Sax07). Pelayanan dasar pada bidang pendidikan dan kesehatan masih dirasakan belum memadai. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) pada kedua bidang tersebut masih berada di bawah target-target nasional. Data menunjukkan sampai dengan tahun 2004, tingkat pendidikan penduduk Banten usia 10 tahun keatas sebagian besar hanya tamat sekolah dasar, sementara yang belum/tidak tamat SD/sederajat besarnya mencapai 59,02%, meliputi 32,18% tamat SD/sederajat, dan 26,85% yang tidak/belum tamat SD. Sementara itu, untuk penduduk dengan tingkat pendidikan menengah/lanjutan, yang telah menamatkan pendidikan setingkat SLTP sekitar 17,53 persen dan SLTA 19,73 persen. Jumlah penduduk yang masih buta huruf pun relatif tinggi yakni 5,28% (Banten Dalam Angka, 2004).
86
Pelayanan dalam bidang kesehatan, pencapaiannya pun masih dirasakan belum maksimal. Fakta menunjukkan bahwa pembangunan bidang kesehatan masih belum meratanya ketersediaan pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat, karena pelayanan kesehatan hanya terkonsentrasi di daerah perkotaan, khususnya pelayanan rumah sakit. 8. Indeks belanja langsung bidang kehutanan, energi, dan sumberdaya mineral (Sax08). Daerah kabupaten/kota tahun 2003-2007 di wilayah Provinsi Banten yang memiliki pola penganggaran dengan kategori relatif paling tinggi adalah Kabupaten Lebak.
Gambar 19
Grafik indeks belanja langsung bidang kehutanan, energi, dan sumberdaya mineral (Sax08).
Berdasarkan karakteristik daerah, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki potensi sumberdaya alam yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota lain di wilayah Provinsi Banten. Namun dalam hal penganggaran, arahan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Pandeglang masih lebih besar jika dibandingkan dengan Kabupaten Lebak. 9. Indeks belanja langsung bidang pertanian, kelautan, dan perikanan (Sax09). Pola penganggaran pada indeks ini di Kota Cilegon dan Kota Tangerang dari tahun 2003-2007 cenderung relatif lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di wilayah Provinsi Banten. Sedangkan Kabupaten Pandeglang, Lebak, Serang dan Kabupaten Tangerang memiliki indeks dengan kategori yang lebih tinggi.
87
Gambar 20
Grafik indeks belanja langsung bidang pertanian, kelautan, dan perikanan (Sax09).
Kemungkinan logisnya adalah seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa sumberdaya alam di daerah Kabupaten Pandeglang, Lebak, Serang dan Kabupaten Tangerang lebih berpotensi dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota lain di wilayah Provinsi Banten, terutama pada bidang pertanian, kelautan dan perikanan. 10. Indeks belanja tidak langsung (Sax10). Daerah kabupaten/kota yang memiliki pola penganggaran tahun 20032007 dengan kategori relatif paling tinggi pada indeks ini di wilayah Provinsi Banten adalah Kabupaten Pandeglang.
Gambar 21 Grafik indeks belanja tidak langsung (Sax10). Penganggaran belanja tidak langsung dalam struktur APBD meliputi belanja aparatur daerah dan belanja operasional pemeliharaan, sebagai kegiatan pendukung dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Temuan bahwa Kabupaten
Pandeglang
memiliki
kategori
cenderung
lebih
tinggi
mengindikasikan adanya kemungkinan daerah tersebut masih membutuhkan
88
pembiayaan dalam menata sistem aparatur daerah, agar dapat mendorong pelaksanaan pembangunan di daerahnya. 11. Indeks belanja langsung bidang pekerjaan umum (Sax11). Pola penganggaran daerah kabupaten/kota tahun 2003-2007 pada indeks ini di wilayah Provinsi Banten cenderung memiliki indeks dengan kategori yang relatif sama. Hanya Kota Tangerang yang memiliki kategori sangat tinggi sekali dengan indeks pada tahun 2003 sebesar 8,80 dan 9,00 pada tahun 2004. Penurunan indeks dialami oleh daerah ini pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 dengan kategori rendah (2,66) dan meningkat kembali pada tahun 2007 dengan kategori agak rendah (3,81).
Gambar 22 Grafik indeks belanja langsung bidang pekerjaan umum (Sax11). Fenomena ini dimungkinkan terjadi karena pelaksanaan pembangunan di wilayah Provinsi Banten cenderung masih terkonsentrasi di daerah perkotaan. Penganggaran belanja bidang pekerjaan umum pada kedua daerah tersebut, merupakan salah satu upaya dalam mendukung kelancaran seluruh aktivitas ekonomi. Tidak hanya pada sektor konstruksi, lokasi yang strategis dari kedua daerah ini menjadi salah satu pendorong untuk meningkatkan pengembangan ekonomi wilayah pada sektor perhubungan. 12. Indeks belanja langsung bidang kependudukan dan pencatatan sipil (Sax12). Pada indeks ini Kabupaten Pandeglang memiliki pola penganggaran tahun 2003-2006 dengan kategori yang sama yaitu sangat rendah yang cenderung terus mengalami penurunan indeks dan meningkat pada tahun 2007 sebesar 1,63. Demikian pula halnya dengan Kota Tangerang yang memiliki indeks dengan kategori dari sangat rendah pada tahun 2003 hingga terjadi
89
peningkatan indeks dengan kategori agak rendah (3,70) pada tahun 2007. Indeks pola penganggaran yang dimiliki oleh Kabupaten Lebak mengalami peningkatan yang tajam dari tahun 2003 dengan kategori sangat rendah (1,00) menjadi kategori sangat tinggi sekali (9,00) pada tahun 2004. Namun mengalami penurunan hingga tahun 2007 dengan kategori agak rendah (3,70). Berbeda halnya dengan Kabupaten Serang yang memiliki pola penganggaran dengan indeks sebesar 6,68 kategori tinggi pada tahun 2003, mengalami penurunan hingga tahun 2006 dengan kategori sangat rendah (1,69) dan meningkat kembali pada tahun 2007 dengan kategori sedang (4,06). Demikian juga dengan pola penganggaran Kota Cilegon yang memiliki indeks dengan kategori agak tinggi (5,89) pada tahun 2003 mengalami penurunan hingga kategori rendah denga indeks sebesar 2,75 pada tahun 2005 dan peningkatan indeks sebesar 2,85 pada tahun 2007 dengan kategori yang sama yatiu rendah.
Gambar 23 Grafik indeks belanja langsung bidang kependudukan dan pencatatan sipil (Sax12). Penganggaran belanja yang mendukung kegiatan pelayanan dalam bidang kependudukan dan catatan sipil di Kabupaten Serang dan Kota Cilegon pada tahun 2003 dan Kabupaten Lebak pada tahun 2004 cenderung lebih besar dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota lain di Provinsi Banten. Kemungkinan yang terjadi adalah pertambahan jumlah penduduk yang meningkat lebih cepat di kedua daerah tersebut, baik dari peningkatan angka kelahiran maupun dari perpindahan penduduk yang ingin menetap.
90
13. Indeks belanja langsung bidang pemberdayaan masyarakat (Sax13). Pola penganggaran daerah kabupaten/kota pada tahun 2003-2007 pada indeks ini yang memiliki kategori sangat rendah adalah Kabupaten Serang, Tangerang dan Kota Cilegon. Kategori sangat rendah yang dialami Kabupaten Pandeglang hanya terjadi pada tahun 2003 saja, sedangkan Kabupaten lebak terjadi pada tahun 2003 dan 2004. Hanya Kota Tangerang yang memiliki pola penganggaran tahun 2003 dengan kategori sangat tinggi sekali pada indeks ini.
Gambar 24 Grafik indeks belanja langsung bidang pemberdayaan masyarakat (Sax13). Dalam era otonomi daerah, peran aktif masyarakat harus lebih dominan dalam pembangunan daerah, mengingat fungsi pemerintah hanya sebagai fasilitator. Hal tersebut perlu didukung oleh program kegiatan yang dapat meningkatkan
partisipasi
masyarakat.
Temuan
dalam
indeks
ini,
dimungkinkan bahwa arah kebijakan anggaran pemerintah daerah Kota Tangerang
yang
mendukung
program/kegiatan
bidang
pemerdayaan
masyarakat cenderung lebih besar dibandingkan dengan daerah kabupatenkota lain di wilayah Provinsi Banten. Hal ini diperkuat dengan adanya beberapa kegitan
pelatihan
Perencanaan
Pembangunan
Partisipatif
Masyarakat
Kelurahan (P3MK) bagi Kader Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan se-Kota Tangerang, sebelum mulai dicanangkannya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPMM). 14. Indeks belanja langsung bidang pemerintahan umum (Sax14). Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, dan Kota Tangerang memiliki pola penganggaran pada indeks ini dengan kategori yang sama pada
91
tahun 2003, yaitu sangat rendah. Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon memiliki indeks dengan kategori yang sama juga, yaitu tinggi. Sedangkan Kabupaten Serang memiliki indeks dengan kategori agak tinggi. Namun, pola penganggaran Kota Cilegon pada tahun 2005 mengalami kategori tertinggi yaitu sangat tinggi sekali (9,00), dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota lainnya di wilayah Provinsi Banten tahun 2003-2007.
Gambar 25 Grafik indeks belanja langsung bidang pemerintahan umum (Sax14). Penganggaran bidang pemerintahan umum, khususnya di daerah Kabupaten Tangerang, Serang dan Kota Cilegon memiliki indeks yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten. Hal ini dimungkinkan karena pada daerah tersebut terdapat beberapa program/kegiatan yang mendukung penyelenggaraan otonomi daerah, seperti pembentukan daerah otonom baru. Pewilayahan dan Tipologi Wilayah Berdasarkan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Banten Untuk mengidentifikasi kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten, digunakan variabel-variabel indikator terpilih pengukur kinerja pembangunan ekonomi daerah dimensi Kinerja Pembangunan Daerah (Kpd). Indeks komposit pengukur kinerja pembangunan daerah ini, disusun berdasarkan factor score hasil analisis PCA, yang distandarisasi melalui teknik klasifikasi atau penskalaan dengan skala nilai 1 sampai dengan 9 (Lampiran 8 dan Lampiran 11).
92
Analisis klasifikasi ini digunakan untuk dapat memberikan gambaran karakteristik wilayah kabupaten/kota, melalui besaran indeks. Semakin besar nilai indeks komposit yang dimiliki oleh daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten, maka diharapkan dapat menggambarkan karakteristik dengan kondisi yang semakin baik. Berdasarkan factor score hasil analisis PCA, maka indeks komposit pengukur kinerja pembangunan daerah yang berdimensi Kinerja Pembangunan Daerah (Kpd) di daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten, meliputi 3 indeks komposit, yaitu: 1. Indeks produktivitas penduduk dan lahan, kapasitas lahan, dan kesejahteraan rumah tangga (Kpd01) 2. Indeks kapasitas fiskal penduduk (Kpd02), dan 3. Indeks pengangguran (Kpd03). Secara spasial, hasil analisis klasifikasi tipologi wilayah berdasarkan kinerja pembangunan daerah pada tahun 2003 – 2007 sebagai berikut. 1. Indeks produktivitas penduduk dan lahan, kapasitas fiskal lahan, dan tingkat kesejahteraan rumah tangga (Kpd01). Tipologi wilayah berdasarkan kinerja pembangunan tahun 2003-2007 yang ditunjukan Gambar 25, ditemukan kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten pada indeks ini yang memiliki kategori yang cenderung relatif lebih rendah, adalah Kabupaten Pandeglang, Lebak, dan Serang. Meskipun memiliki sumberdaya alam yang cenderung lebih banyak, kelangkaan sumberdaya manusia dan pengetahuan teknologi menjadi penghambat kemungkinan untuk meningkatkan produktivitas penduduk dan lahan. Karena tingkat produktivitas yang sangat rendah, maka pendapatan pemilik sumberdaya alam sangat rendah juga. Sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan kesejahteraan menjadi sangat rendah. Sedangkan Kabupaten Tangerang memiliki indeks produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal, dan kesejahteraan rumah tangga dengan kategori cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Pandeglang, Lebak, dan Serang. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa kabupaten ini lebih dipengaruhi oleh kedekatannya dengan Kota Tangerang yang mempunyai indeks produktivitas
93
penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal, dan kesejahteraan rumah tangga sangat tinggi sekali. Pengaruh kedekatan lokasi kedua kabupaten ini menyebabkan meningkatnya aksesibilitas berdasarkan tingkat kepadatan penduduk yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.
Gambar 26 Grafik indeks produktivitas penduduk dan lahan, kapasitas fiskal lahan, dan tingkat kesejahteraan rumah tangga (Kpd01). Daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten tahun 2003-2007 yang memiliki kategori tertinggi pada indeks ini terdapat di daerah perkotaan yaitu Kota Cilegon dan Kota Tangerang. Kemungkinan logisnya adalah Kota Cilegon memiliki lokasi yang strategis dan merupakan jalur aktivitas ekonomi yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera. Sedangkan Kota Tangerang dipengaruhi oleh kedekatan lokasinya dengan DKI Jakarta sebagai pusat aktivitas perekonomian di Indonesia. 2. Indeks kapasitas fiskal penduduk (Kpd02). Hampir di seluruh daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten tahun 2003-2007 yang memiliki indeks kapasitas fiskal penduduk yang cenderung sangat rendah, kecuali Kota Cilegon. Kecenderungan ini disebabkan oleh tingkat produktivitas penduduk sangat rendah sehingga mengakibatkan pendapatan penduduk menjadi sangat rendah. Kabupaten Lebak dan Kota Tangerang berturtut-turut memiliki kategori agak rendah dan rendah, sedangkan Kota Cilegon memiliki kategori yang cenderung paling tinggi dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota lainnya.
94
Gambar 27 Grafik indeks kapasitas fiskal penduduk (Kpd02). Berbeda halnya dengan Kota Tangerang yang penduduknya sebagian besar hanya bermukim saja, sehingga kapasitas fiskal penduduk dinilai rendah. Indeks kapasitas fiskal penduduk tertinggi dimiliki oleh Kota Cilegon. 3. Indeks pengangguran (Kpd03). Tipologi wilayah berdasarkan dimensi kinerja pembangunan daerah yang terakhir dalam penelitian ini adalah indeks pengangguran. Pada umumnya indeks pengangguran di semua daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten tahun 2003-2007 memiliki kategori yang relatif tinggi. Fenomena ini ditunjukan dengan pertumbuhan penduduk yang cepat memperberat
tekanan
lahan,
dan
dapat
menyebabkan
peningkatan
pengangguran. Selain itu, tingkat pendidikan yang tinggi membuat persaingan tenaga kerja semakin ketat. Sehingga mengakibatkan kekurangan lapangan kerja dan meningkatkan pengangguran.
Gambar 28 Grafik indeks pengangguran (Kpd03).
95
96
97
98
Berdasarkan konsep ilmu ekonomi dasar pada Model I-O, bahwa penganggaran mempunyai peran penting dalam peningkatan kinerja pembangunan daerah. Hasil analisis tipologi wilayah berdasarkan pola penganggaran di setiap daerah kabupaten/kota menunjukan terdapat perubahan yang cenderung menurun. Demikian pula dengan hasil analisis tipologi wilayah berdasarkan kinerja pembangunan daerah menunjukan terdapat perubahan yang cenderung menurun. Pola penganggaran daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten merupakan gambaran tentang dinamika pelaksanaan perencanaan dalam penyusunan
alokasi
anggaran,
yang
akan
berimplikasi
kepada
kinerja
pembangunan daerah. Konsistensi pola penganggaran yang cenderung mengalami perubahan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, diantaranya adalah karena: (1) perubahan kepemimpinan/kepala daerah kabupaten/kota dengan visi dan misi masing-masing yang berbeda-beda dan bervariasi, sehingga berimplikasi kepada penentuan arah kebijakan umum anggaran, (2) kurangnya pemahaman terhadap undang-undang/peraturan-peraturan yang berlaku tentang perencanaan, khususnya dalam penyusunan alokasi anggaran, dan (3) dalam penyusunan
alokasi
anggaran
seolah-olah
hanya
berdasarkan
undang-
undang/peraturan-peraturan yang berlaku saja, sedangkan pertimbangan kondisi dan potensi ekonomi daerah yang dimiliki, masih dirasakan kurang mendapat perhatian. Interaksi Spasial Antara Tipologi Pola Penganggaran dan Kinerja Pembangunan Daerah Secara geografis, suatu daerah yang berada dalam suatu kawasan saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Semakin dekat jarak antar daerah tersebut, maka hubungannya akan semakin besar dibandingkan dengan daerah yang jaraknya lebih jauh. Jadi interaksi antar daerah dapat diasumsikan mempunyai hubungan kebalikan dengan jarak secara geografis. Dalam kenyataannya, jarak antar daerah atau jarak centroid dua daerah dapat diukur. Metode lainnya yang juga sering digunakan untuk mengukur interaksi antar daerah adalah intensitas aliran barang. Kondisi yang terjadi di lapangan, interaksi antar daerah dalam konteks intensitas aliran barang antar daerah adalah suatu
99
kondisi aktivitas perekonomian suatu daerah yang bergantung kepada suatu kegiatan produksi untuk menghasilkan suatu output. Kegiatan produksi tersebut membutuhkan suatu penawaran dan permintaan barang yang tidak selalu tersedia pada daerah lokal. Dengan demikian, fenomena interaksi spasial dapat terjadi akibat adanya hubungan kerjasama antar daerah terkait dalam suatu sistem produksi dan koordinasi antar daerah terkait dalam konteks perumusan kebijakan daerah (khususnya dalam masalah penganggaran). Dalam menganalisis interaksi spasial antar kabupaten/kota di Provinsi Banten didasarkan pada beberapa hal, seperti berikut ini : a) Kebalikan jarak antar masing–masing kabupaten/kota sebagai gambaran interaksi akibat dari adanya hubungan bertetangga (Wr); b) Aliran barang dari masing-masing daerah kabupaten/kota sebagai gambaran interaksi akibat dari adanya hubungan mitra dagang/kerjasama (Wf); c) Keterkaitan antara pola penganggaran dan kinerja pembangunan daerah Provinsi Banten. Hasil dari analisis PCA yang berupa factor score, dilakukan standarisasi menjadi Indeks komposit. Kemudian, kerangka Spatial Durbin Model digunakan sebagai pendugaan parameter model, agar dapat mengakomodasi fenomena adanya saling keterkaitan antar daerah. Untuk pengujian model digunakan pendekatan model regresi umum bertahap ke depan (Forward Stepwise-General Regression Model/GRM), menghasilkan 3 model matematis untuk melihat peran penganggaran dan koordinasi penganggaran untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah.
100
Model Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah I (KPD1) Berdasarkan hasil analisis model regresi spasial, terdapat 7 variabel yang merupakan faktor penentu produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal, dan kesejahteraan keluarga dalam Kinerja Pembangunan I (KPD1). Model persamaan Durbin Spasial KPD1 ditulis dengan rumus sebagai berikut. LnKpd01 = 1,376 + 0,277 LnKpd02 + 0,639 LnSed02 – 0,313 LnShh01 – 0,159 LnShh04 – 0,167 LnSax09 – 0,239 WfLnSax05 – 0,222 WfLnSax02 Tabel 48 Hasil Estimasi Pemetaan Model Regresi Spasial Kinerja Pembangunan I (KPD1) Multiple R
Multiple R²
Adjusted R²
LnKpd01 0.99841
0.99683
0.99582
Variable
Variabel Intercept LnKpd02 LnSed02 LnShh01 LnShh04 LnSax09 WfLnSax05 WrLnSax02 Sumber : Hasil analisis. Keterangan: Ln Wf Wr LnKpd01
= = = =
LnKpd02 LnSed02
= =
LnShh01
=
LnShh04
=
LnSax09 WfLnSax05
= =
WrLnSax02
=
SS Model
df Model
MS SS Model Residual
df MS Residual Residual
F
p
17.90639 7.00000 2.55806 0.05703 22.00000 0.00259 986.81180 0.00000
Parameter 1.37617 0.27709 0.63860 -0.31341 -0.15913 -0.16703 -0.23953 -0.22174
Std.Err 0.09784 0.02103 0.01985 0.03489 0.02292 0.03542 0.06026 0.06311
t-Stat 14.06623 13.17635 32.16885 -8.98416 -6.94299 -4.71546 -3.97470 -3.51361
p-Value 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00011 0.00064 0.00196
Logaritma natural Bobot Konfigurasi Spasial Aliran Barang Bobot Konfigurasi Spasial Kebalikan Jarak Indeks Produktivitas Penduduk dan lahan, Kapasitas Fiskal Lahan, serta Kesejahteraan Rumah Tangga Indeks Kapasitas Fiskal Penduduk Indeks Aktivitas Ekonomi Sektor Pengangkutan dan Komunikasi; Indeks Aktivitas Ekonomi Sektor: Bangunan, Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, dan Jasa-jasa Indeks Kemahalan Sektor: Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas dan Air Bersih, dan Pengangkutan dan Komunikasi Indeks Kemahalan Sektor Bangunan serta Perdagangan, Hotel dan Restoran Indeks Belanja Langsung Bidang Pertanian, Kelautan dan Perikanan Indeks Belanja Langsung Bidang Perencanaan Pembangunan dan Kepariwisataan, Daerah Mitra Indeks Belanja Langsung Bidang Lingkungan Hidup dan Ketenagakerjaan, serta Tingkat Aktivitas Ekonomi Belanja Langsung, Daerah Tetangga.
Setiap variabel bebas pada Tabel 48 masing-masing memilki p ≤ 0,05 atau nyata (significant) dengan R2=0,99683, yang berarti bahwa keragaman variabel bebas secara nyata/signifikan dapat dijelaskan dalam model yang diperoleh sebesar 99,68%.
101
Pertama, faktor-faktor yang mempengaruhi KPD1 terhadap daerah sendiri secara positif adalah: 1. Indeks Kapasitas Fiskal Penduduk (Kpd02). Kapasitas fiskal penduduk memberikan dampak positif terhadap peningkatan produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal lahan, dan kesejahteraan rumah tangga (Kpd01) sebesar 0,277 satuan. Artinya setiap kenaikan kapasitas fiskal sebesar 1% maka akan meningkatkan produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal lahan, dan kesejahteraan rumah tangga sebesar 27,7%. Apabila jumlah penduduk bertambah maka kapasitas fiskal penduduk akan berkurang, kecuali bila pendapatan daerah juga bertambah. Hal ini menunjukan bahwa pentingnya meningkatkan kemampuan keuangan daerah (kapasitas fiskal daerah) untuk meningkatkan produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal lahan, dan kesejahteraan rumah tangga. 2. Indeks Aktivitas Ekonomi Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, Indeks Aktivitas Ekonomi Sektor: Bangunan, Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, dan Jasa-jasa (LnSed02). LnSed02 memberikan dampak terbesar secara positif terhadap peningkatan produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal lahan, dan kesejahteraan rumah tangga (Kpd01) sebesar 0,639 satuan. Artinya setiap kenaikan LnSed02 sebesar 1% maka akan meningkatkan Kpd01 sekitar 63,9%. Berkembangnya aktivitas ekonomi wilayah dapat memberikan dampak pada peningkatan produktivitas penduduk, produktivitas lahan serta kapasitas fiskal lahan, sehingga pada akhirnya pendapatan penduduk dapat bertambah. Bertambahnya pendapatan penduduk dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi KPD1 terhadap daerah sendiri secara negatif adalah: 1. Indeks Kemahalan Sektor: Pertambangan dan Penggalian; Listrik, Gas dan Air Bersih; Pengangkutan dan Komunikasi (LnShh01). LnShh01 memberikan dampak negatif terhadap peningkatan produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal lahan, dan kesejahteraan rumah tangga (Kpd01) sebesar 0,313 satuan. Artinya setiap kenaikan LnShh01 sebesar 1% maka akan menurunkan Kpd01 sekitar 31,3%. Peningkatan inflasi yang terjadi pada
102
sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas, dan air bersih, dan sektor pengangkutan dan komunikasi akan berakibat pada aktivitas ekonomi yang terhambat. Terhambatnya aktivitas ekonomi wilayah pada sektor-sektor tersebut dapat memberikan dampak pada penurunan produktivitas penduduk, produktivitas lahan, dan kapasitas fiskal lahan. Sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan pendapatan penduduk semakin berkurang. Berkurangnya pendapatan penduduk dapat menurunkan kesejahteraan keluarga. 2. Indeks Kemahalan Sektor: Bangunan, Perdagangan, Hotel, dan Restoran (LnShh04). LnShh04 memberikan dampak negatif terhadap peningkatan produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal lahan, dan kesejahteraan rumah tangga (Kpd01) sebesar 0,159 satuan. Artinya setiap kenaikan LnShh04 sebesar 1% maka akan menurunkan Kpd01 sekitar 15,9%. Dengan kata lain, jika inflasi sektor tersebut meningkat, maka akan menurunkan aktivitas produksi. Terhambatnya aktivitas produksi pada sektorsektor tersebut dapat memberikan dampak pada penurunan produktivitas penduduk, produktivitas lahan, dan kapasitas fiskal lahan, sehingga pada akhirnya pendapatan penduduk dapat berkurang. Berkurangnya pendapatan penduduk dapat menurunkan kesejahteraan keluarga. 3. Indeks Belanja Langsung Bidang Pertanian, Kelautan dan Perikanan (LnSax09). LnSax09 memberikan dampak negatif
terhadap peningkatan
produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal lahan, dan kesejahteraan rumah tangga (Kpd01) sebesar 0,167 satuan. Artinya setiap kenaikan LnSax09 sebesar 1% maka akan menurunkan Kpd01 sekitar 16,7%. Peningkatan penganggaran belanja bidang tersebut secara umum tidak dapat meningkatkan produktivitas penduduk, produktivitas lahan, dan kapasitas fiskal lahan. Hal ini mungkin disebabkan oleh penganggaran pada bidang tersebut yang masih kurang tepat sasaran. Temuan ini menunjukan pentingnya peranan pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas perencanaan alokasi anggaran belanja langsung pada bidang tersebut. Penentuan skala prioritas penganggaran yang tepat, dapat mendorong produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal lahan, dan peningkatan kesejahteraan rumah tangga.
103
Ketiga, aktor-faktor yang mempengaruhi KPD1 terhadap daerah terkait secara negatif adalah: 1. Indeks
Belanja
Langsung
Bidang
Perencanaan
Pembangunan
dan
Kepariwisataan, Daerah Mitra (WfLnSax05). WfLnSax05 memberikan dampak negatif terhadap peningkatan produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal lahan, dan kesejahteraan rumah tangga (Kpd01) sebesar 0,239 satuan. Artinya setiap kenaikan WfLnSax05 sebesar 1% maka akan menurunkan Kpd01 sekitar 23,9%. Estimasi ini menunjukan bahwa penganggaran bidang perencanaan pembangunan dan kepariwisataan antar daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten masih dirasakan kurang saling menunjang. Adapun faktor interaksi spasial yang mempengaruhi adalah hubungan kerjasama antar daerah. Dengan demikian, penguatan struktur hubungan kerjasama antar pemerintah daerah kabupaten/kota sangat penting dilakukan agar penganggaran bidang perencanaan pembangunan dan kepariwisataan dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan kinerja pembangunan daerah. 2. Indeks Belanja Langsung Bidang Lingkungan Hidup dan Ketenagakerjaan, serta Tingkat Aktivitas Ekonomi Belanja Langsung, Daerah Tetangga (WrLnSax02). WrLnSax02 memberikan dampak negatif terhadap peningkatan produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal lahan, dan kesejahteraan rumah tangga (Kpd01) sebesar 0,222 satuan . Artinya setiap kenaikan WrLnSax02 sebesar 1% maka akan menurunkan Kpd01 sekitar 22,2%. Hasil estimasi ini menunjukan bahwa penganggaran bidang lingkungan hidup, ketenagakerjaan, serta aktivitas belanja langsung masih dirasakan
kurang
saling
mendukung
terhadap
peningkatan
kinerja
pembangunan daerah. Faktor interaksi spasial yang mempengaruhi adalah hubungan lokasi antar daerah. Dengan demikian, penguatan struktur hubungan antar pemerintah daerah tetangga sangat penting dilakukan agar penganggaran bidang tersebut dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan kinerja pembangunan daerah terkait.
104
Model Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah II (KPD2) Berdasarkan hasil analisis model regresi spasial, terdapat 5 variabel yang merupakan faktor penentu kapasitas fiskal penduduk dalam Kinerja Pembangunan II (KPD2). Model persamaan Durbin Spasial KPD2 ditulis dengan rumus sebagai berikut. LnKpd02 = 5,375 – 0,287 LnSax09 - 0,096 LnSax13 – 1,817 WfLnShh01 – 1,735 WfLnSax09 + 0,994 WrLnSax03 Tabel 49 Hasil Estimasi Pemetaan Model Regresi Spasial Kinerja Pembangunan II (KPD2) Variable
Multiple R
LnKpd02 0.97743
Multiple Adjusted R² R² 0.95537
Variabel Intercept LnSax09 LnSax13 WfLnShh01 WfLnSax09 WrLnSax03 Sumber : Hasil analisis. Keterangan: Ln Wf Wr LnKpd02 LnSax09 LnSax13 WfLnShh01
= = = = = = =
WfLnSax09 WrLnSax03
= =
SS Model
df Model
0.94607 12.57011
5.00000
Parameter 5.37524 -0.28793 -0.09659 -1.81759 -1.73576 0.99405
MS SS df MS Model Residual Residual Residual 2.51402
0.58723 24.00000
Std.Err 0.41783 0.05874 0.04340 0.25998 0.29848 0.18372
F
p
0.02447 102.74710
0.00000
t-Stat 12.86464 -4.90140 -2.22563 -6.99126 -5.81540 5.41072
p-Value 0.00000 0.00005 0.03569 0.00000 0.00001 0.00002
Logaritma natural Bobot konfigurasi spasial aliran barang Bobot konfigurasi spasial kebalikan jarak Indeks Kapasitas Fiskal Penduduk Indeks Belanja Langsung Bidang Pertanian, Kelautan dan Perikanan Indeks Belanja Langsung Bidang Pemberdayaan Masyarakat Indeks Kemahalan Sektor Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas dan Air Bersih, serta Pengangkutan dan Komunikasi, Daerah Mitra Indeks Belanja Langsung Bidang Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Daerah Mitra Indeks Belanja Langsung Bidang Perhubungan, Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri, Daerah Tetangga.
Setiap variabel bebas pada Tabel 49 masing-masing memilki p ≤ 0,05 atau nyata (significant) dengan R2=0,95537, yang berarti bahwa keragaman variabel bebas secara nyata/signifikan dapat dijelaskan dalam model yang diperoleh sebesar 95,54%. Pertama, faktor-faktor yang mempengaruhi KPD2 terhadap daerah terkait secara positif adalah Indeks Belanja Langsung Bidang Perhubungan, Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri, Daerah Tetangga (WrLnSax03). WrLnSax03 memberikan dampak terbesar secara positif terhadap peningkatan kapasitas fiskal penduduk (Kpd02) sebesar 0,994 satuan. Artinya setiap kenaikan WrLnSax03
105
sebesar 1% maka akan meningkatkan Kpd02 sekitar 99,4%. Faktor interaksi spasial yang mempengaruhi adalah hubungan lokasi antar daerah. Hal ini menandakan bahwa pembangunan di bidang perhubungan (transportation) dapat memperlancar aliran barang dan orang antar daerah, serta meningkatkan aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi yang meningkat dapat memberikan dampak pada peningkatan kapasitas fiskal penduduk. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan perencanaan dan koordinasi dalam penganggaran secara sinergis bagi pemerintah daerah terkait, baik antar sektor maupun antar daerah. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi KPD2 terhadap daerah sendiri secara negatif adalah: 1. Indeks Belanja Langsung Bidang Pertanian, Kelautan dan Perikanan (LnSax09). LnSax09 memberikan dampak negatif terhadap peningkatan kapasitas fiskal penduduk (Kpd02) sebesar 0,287 satuan. Artinya setiap kenaikan LnSax09 sebesar 1% maka akan menurunkan Kpd02 sekitar 28,7%. Produksi sektor pertanian masih didukung oleh sub sektor tanaman pangan khususnya padi. Akibat adanya faktor cuaca, gangguan banjir dan hama tanaman, areal sawah dan perikanan di Banten mengalami gagal tanam dan gagal panen yang menyebabkan penurunan produksi padi dan perikanan di Provinsi Banten. Areal sawah yang terbanyak terendam banjir adalah Kabupaten Pandeglang yang merupakan produsen padi Banten terbesar dengan luas areal terendam 1.815 ha. Hal ini memberikan dampak pada penurunan output produksi sehingga dapat menurunkan kapasitas fiskal penduduk. 2. Indeks Belanja Langsung Bidang Pemberdayaan Masyarakat (LnSax13). Penganggaran bidang pemberdayaan masyarakat memberikan dampak negatif terhadap peningkatan kapasitas fiskal penduduk (Kpd02) sebesar 0,096 satuan. Artinya setiap kenaikan LnSax13 sebesar 1% maka akan menurunkan Kpd02 sekitar 9,6%.juga akan menghambat pada peningkatan kapasitas fiskal. Salah satu program nasional yang dituangkan dalam kerangka kebijakan yang menjadi acuan pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan berbasis pemperdayaan masyarakat adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPMM). Pelaksanaan PNPMM dimulai pada tahun
106
2007-2009 sebagai tahap pertama, yang berorientasi pada fase pembelajaran pembangunan
partisipatif
dan
pengintegrasian
terhadap
perencanaan
partisipatif dengan sistem perencanaan pembangunan regular. Dengan demikian
dapat
dikatakan
bahwa
belanja
pemerintah
pada
bidang
pemberdayaan masyarakat belum dapat memberikan dampak terhadap peningkatan aktivitas ekonomi dan kapasitas fiskal penduduk. Ketiga, faktor-faktor yang mempengaruhi KPD2 terhadap daerah terkait secara negatif adalah: 1. Indeks Kemahalan Sektor Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas dan Air Bersih, serta Pengangkutan dan Komunikasi, Daerah Mitra (WfLnShh01). WfLnShh01
memberikan
dampak
terbesar
secara
negatif
terhadap
peningkatan kapasitas fiskal penduduk (Kpd02) sebesar 1,817 satuan. Artinya setiap kenaikan WfLnShh01 sebesar 1% maka akan menurunkan Kpd02 sekitar 181,7%. Peningkatan inflasi pada sektor-sektor tersebut di daerah mitra, akan menghambat pada proses produksi ekonomi di daerah sendiri. Faktor interaksi spasial yang mempengaruhi adalah hubungan aliran barang sebagai mitra dagang. Proses produksi ekonomi yang terhambat dapat berakibat pada penurunan output dan akhirnya menurunkan kapasitas fiskal penduduk. Hal ini menunjukan bahwa upaya pengendalian inflasi seyogyanya tidak hanya dipandang demi kestabilan harga-harga, namun juga untuk menjaga dayabeli khususnya golongan penduduk berpendapatan rendah. 2. Indeks Belanja Langsung Bidang Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Daerah Mitra (WfLnSax09). WfLnSax09 memberikan dampak negatif terhadap peningkatan kapasitas fiskal penduduk (Kpd02) sebesar 1,735 satuan. Artinya setiap kenaikan WfLnSax09 sebesar 1% maka akan menurunkan Kpd02 sekitar 173,5%. Adapun faktor interaksi spasial yang mempengaruhi adalah hubungan kerjasama penganggaran antar daerah. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan penganggaran belanja langsung bidang tersebut di daerah mitra, tidak memberikan dampak pada peningkatan kapasitas fiskal penduduk di daerah sendiri. Penyusunan alokasi anggaran bidang tersebut secara umum harus dilaksanakan secara koordinatif bersama daerah mitra, agar tidak saling merugikan.
107
Model Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah III (KPD3) Berdasarkan hasil analisis model regresi spasial, terdapat 4 variabel yang merupakan faktor penentu tingkat pengangguran dalam Kinerja Pembangunan III (KPD3). Model persamaan Durbin Spasial KPD3 ditulis dengan rumus sebagai berikut. LnKpd03 = 1,829 – 0,455 LnSax11 + 0,755 WfLnSax04 – 0,945 WfLnSax09 + 0,847 WrLnShh05 Tabel 50 Hasil Estimasi Pemetaan Model Regresi Spasial Kinerja Pembangunan III (KPD3) Variable
Multiple R
Multiple Adjusted R² R²
LnKpd03
0.78548
0.61698
Variabel Intercept LnSax11 WfLnSax04 WfLnSax09 WrLnShh05 Sumber : Hasil analisis. Keterangan: Ln Wf Wr LnKpd03 LnSax11 WfLnSax04
= = = = = =
WfLnSax09
=
WrLnShh05
=
0.55570
SS Model
df Model
2.82300
4.00000
Parameter 1.82940 -0.45556 0.75503 -0.94500 0.84560
MS SS df MS Model Residual Residual Residual 0.70575
1.75252 25.00000
Std.Err 0.70215 0.11474 0.21694 0.35646 0.27160
0.07010
t-Stat 2.60541 -3.97056 3.48032 -2.65103 3.11341
F
p
10.06766
0.00005
p-Value 0.01524 0.00053 0.00186 0.01372 0.00459
Logaritma normal Bobot konfigurasi spasial aliran barang Bobot konfigurasi spasial kebalikan jarak Indeks Pengangguran Indeks Belanja Langsung Bidang Pekerjaan Umum Indeks Belanja Langsung Bidang Koperasi dan UKM serta Kepegawaian, Daerah Mitra Indeks Belanja Langsung Bidang Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Daerah Mitra Indeks Kemahalan Sektor Jasa-jasa, Daerah Tetangga.
Setiap variabel bebas pada Tabel 50 masing-masing memilki p ≤ 0,05 atau nyata (significant) dengan R2=0,61698, yang berarti bahwa keragaman variabel bebas secara nyata/signifikan dapat dijelaskan dalam model yang diperoleh sebesar 61,7%. Pertama, faktor-faktor yang mempengaruhi KPD3 secara positif di daerah terkait adalah: 1. Belanja Langsung Bidang Koperasi dan UKM serta Kepegawaian, Daerah Mitra (WfLnSax04). WfLnSax04 memberikan dampak positif terhadap peningkatan pengangguran (Kpd03) sebesar 0,755 satuan. Artinya setiap kenaikan WfLnSax04 sebesar 1% maka akan meningkatkan Kpd03 sekitar 75,
108
5%.
Peningkatan
WfLnSax04
dapat
mendorong
pada
peningkatan
pengangguran. Adapun faktor interaksi spasial yang mempengaruhi adalah hubungan kerjasama penganggaran antar daerah. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan penganggaran belanja langsung bidang tersebut di daerah mitra, tidak mampu menyerap tenaga kerja di daerah sendiri. Kemungkinan adanya pelaksanaan program/kegiatan yang berdasarkan penganggaran bidang tersebut masih belum koordinatif. Sehingga kurang mendukung terhadap pencapaian kinerja pembangunan daerah, khusunya dalam penyerapan tenaga kerja antar daerah di wilayah Provinsi Banten. 2. Indeks Kemahalan Sektor Jasa-jasa, Daerah Tetangga (WrLnShh05). Indeks kemahalan sektor jasa-jasa memberikan dampak positif terhadap peningkatan pengangguran (Kpd03) sebesar 0,847 satuan. Artinya setiap kenaikan indeks kemahalan sektor jasa-jasa sebesar 1% maka akan meningkatkan Kpd03 sekitar 84, 7%. Faktor interaksi spasial yang mempengaruhi adalah hubungan lokasi antar daerah. Hasil estimasi ini menunjukan bahwa inflasi sektor jasajasa di derah tetangga dapat meningkatkan pengangguran di daerah sendiri. Kemungkinan bahwa inflasi sektor di daerah tetangga tersebut meningkat adalah akibat dari faktor produksi yang bergantung pada penggunaan produk luar daerah. Kurangnya penggunaan produk lokal yang mampu menyerap tenaga kerja lokal, dapat berpeluang terhadap banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan (PHK) di daerah sendiri. Hasil ini menunjukan perlunya kerjasama antar pemerintah daerah untuk menjaga kestabilan harga-harga pada sektor jasa-jasa agar dapat menurunkan tingkat pengangguran. Kedua, faktor yang mempengaruhi KPD3 terhadap daerah sendiri secara negatif adalah Belanja Langsung Bidang Pekerjaan Umum (LnSax11). Penganggaran bidang pekerjaan umum memberikan dampak negatif terhadap peningkatan pengangguran (Kpd03) sebesar 0,455 satuan. Artinya setiap kenaikan LnSax11 sebesar 1% maka akan menurunkan Kpd03 sekitar 45,5%. Hal ini mengindikasikan bahwa belanja langsung bidang pekerjaan umum memberikan dampak pada penurunan pengangguran. Melesatnya pertumbuhan di sektor konstruksi didorong dari proyek pembangunan yang berasal dari pemerintah. Hampir semua proyek pembangunan yang dibiayai oleh pemerintah menggunakan
109
masukan sumber tenaga kerja lokal. Hasil estimasi ini mengindikasikan bahwa penganggaran yang dilaksanakan secara tepat, khususnya pada bidang pekerjaan umum dapat mengurangi tingkat pengangguran. Ketiga, faktor yang mempengaruhi KPD3 terhadap daerah terkait secara negatif adalah Belanja Langsung Bidang Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Daerah Mitra (WfLnSax09). WfLnSax09 memberikan dampak terbesar secara negatif terhadap peningkatan kapasitas fiskal penduduk (Kpd02) sebesar 0,945 satuan. Artinya setiap kenaikan WfLnSax09 sebesar 1% maka akan menurunkan Kpd02 sekitar 94,5%. Adapun faktor interaksi spasial yang mempengaruhi adalah hubungan kerjasama penganggaran antar daerah. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan penganggaran belanja langsung bidang tersebut di daerah mitra, memberikan dampak pada penurunan tingkat pengangguran di daerah sendiri. Aktivitas ekonomi di daerah mitra menyebabkan serapan tenaga kerja yang lebih besar. Estimasi ini menggambarkan bahwa penganggaran pada bidang tersebut di daerah mitra dapat mempengaruhi pada peningkatan kinerja pembangunan daerah di daerah sendiri.
PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN KOORDINASI PENGANGGARAN UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH Salah satu arah kebijakan pembangunan jangka panjang daerah Provinsi Banten adalah melakukan percepatan perbaikan sosial dan ekonomi masyarakat, dengan
cara
memulihkan
dan
mengembangkan
perekonomian,
melalui
pemberdayaan dan kekuatan ekonomi masyarakat di sektor unggulan dan andalan. Namun dalam pencapaian arah kebijakan tersebut masih dirasakan kurang sempurna, karena belum didukung oleh sistem data dan informasi yang kuat tentang kondisi dan potensi ekonomi daerah kabupaten/kota. Hal ini berdasarkan temuan permasalahan di lapangan, bahwa pemerintah daerah menyadari dalam penyusunan kebijakan tersebut masih terdapat ketidaksesuaian antara penempatan penganggaran kegiatan/program dengan beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD), baik secara sektoral maupun daerah. Saefulhakim (2008) berpendapat, bahwa untuk mendukung perumusan kebijakan pembangunan daerah bagi kemajuan pencapaian kinerja, perlu dilakukan pemetaan potensi ekonomi daerah, melalui transformasi data menjadi sistem informasi yang berbasis pengetahuan. Dengan demikian, melalui dukungan data dan informasi yang lebih lengkap, pemerintah dapat melakukan perumusan kebijakan dengan lebih mudah dan terarah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Penyusunan arah dan kebijakan umum anggaran pada umumnya menggunakan sejumlah asumsi. Untuk mencapai asumsi-asumsi tersebut sering dijumpai permasalahan karena keterbatasan sumberdaya. Dalam hal ini diperlukan skala prioritas agar dapat memperlancar atau mempercepat pencapaian arah dan kebijakan umum anggaran. Penentuan skala prioritas anggaran menjadi sangat penting dilakukan secara sektoral dan daerah, guna pelaksanaan pembangunan daerah yang lebih efektif dan efisien. Kebijakan-kebijakan yang perlu diperhatikan dalam perencanaan dan koordinasi penganggran untuk mneingkatkan kinerja pembangunan daerah di Provinsi Banten, diantaranya dapat dilihat pada Tabel 51 berikut.
111
Tabel 51 Implikasi Kebijakan Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Banten Peran Penganggaran dan Koordinasi Penganggaran terhadap Kinerja Pembangunan Daerah Model Variabel Nyata Tipe
1. Penganggaran Bidang Pertanian, Kelautan, dan Perikanan di daerah sendiri
Menghambat
2. Penganggaran Bidang Perencanaan Pembangunan dan Kepariwisataan di daerah mitra
Menghambat
3. Penganggaran Bidang Lingkungan Hidup dan Ketenagakerjaan, dan tingkat penganggaran Belanja Langsung di daerah tetangga.
Menghambat
1. Penganggaran Bidang Pertanian, Kelautan, dan Perikanan di daerah sendiri
Menghambat
2. Penganggaran Bidang Pemberdayaan Masyarakat di daerah sendiri
Menghambat
Kinerja Pembangunan Daerah I: 1. Produktivitas Penduduk 2. Produktivitas Lahan 3. Kapasitas Fiskal Lahan 4. Kesejahteraan Keluarga.
Kinerja Pembangunan Daerah II: Kapasitas Fiskal Penduduk.
Implikasi Kebijakan Peningkatan produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal lahan, dan kesejahteraan keluarga (terutama di Kabupaten Pandeglang dan Lebak) dapat dilakukan dengan menyusun anggaran kegiatan/program di bidang pertanian, kelautan dan perikanan yang dapat: 1. Meningkatkan kemampuan penduduk melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan lahan. 2. Meningkatkan aksesibilitas penduduk terhadap sumberdaya ekonomi. 3. Meningkatkan sistem insentif, misalnya pemberian penghargaan bagi penduduk yang produktif. Melakukan koordinasi dan kerjasama antar daerah dalam satu wilayah,untuk menyusun anggaran kegiatan/program: 1. monitoring dan evaluasi kegiatan/program pembangunan untuk menyusun perencanaan anggaran agar lebih tepat sasaran. 2. peningkatan kualitas sumberdaya lokal, misalnya: memperkuat struktur hubungan kerjasama antar daerah yang berpotensi wisata, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal suatu wilayah untuk meningkatkan daya saing, terutama di Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Melakukan koordinasi antar daerah tetangga dalam menyusun kegiatan/program bidang lingkungan hidup dan ketenagakerjaan, misal: 1. Pembinaan untuk meningkatkan kesadaran dan peran aktif masyarakat tentang dampak pencemaran lingkungan terhadap kesejahteraan masyarakat. 2. Pemetaan sistem informasi ketenagakerjaan yang terpadu. 3. Peningkatan kegiatan penyusunan skala prioritas anggaran belanja langsung. Peningkatan kapasitas fiskal penduduk (terutama di Kabupaten Pandeglang dan Lebak) dapat dilakukan dengan menyusun anggaran kegiatan/program yang dapat: 1. Meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat. 2. Meningkatkan aksesibilitas penduduk terhadap sumberdaya ekonomi lokal. Menyusun anggaran kegiatan/program bidang pemberdayaan masyarakat yang dapat meningkatkan peran aktif masyarakat secara langsung guna menjadikan masyarakat yang lebih mandiri, terutama di Kabupaten Pandeglang dan Lebak.
112
lanjutan Peran Penganggaran dan Koordinasi Penganggaran terhadap Kinerja Pembangunan Daerah Model Variabel Nyata Tipe 3. Penganggaran Bidang Pertanian, Kelautan, dan Perikanan di daerah mitra 4. Penganggaran Bidang Perhubungan, Kesatuan Bangsa, dan Politik Dalam Negeri di daerah tetangga.
Kinerja Pembangunan Daerah III: Pengangguran.
Menghambat
Melakukan koordinasi antar daerah mitra dalam menyusun kegiatan/program menyusun anggaran kegiatan/program yang dapat: 1. Meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat. 2. Meningkatkan aksesibilitas penduduk terhadap sumberdaya ekonomi.
Mendorong
Meningkatkan upaya pengembangan koordinasi antar daerah tetangga, misal: memperluas jaringan transportasi untuk mempermudah aksesibilitas ekonomi penduduk .
1. Penganggaran Bidang Pekerjaan Umum di daerah sendiri
Menghambat
2. Penganggaran Bidang Koperasi, UKM, dan Kepegawaian di daerah mitra
Mendorong
3. Penganggaran Bidang Pertanian, Kelautan, dan Perikanan di daerah mitra.
Implikasi Kebijakan
Menghambat
Penurunan tingkat pengangguran (terutama di Kota Cilegon dan Kota Tangerang) dapat dilakukan dengan: 1. Menyusun anggaran kegiatan/program aksesibilitas pelayanan masyarakat yang dapat dimanfaatkan secara merata di semua kalangan masyarakat. 2. Menyusun anggaran kegiatan/program yang melibatkan tenaga kerja lokal. Melakukan koordinasi antar daerah mitra dalam penyusunan anggaran pelaksanaan kegiatan/program: 1. Peningkatan kualitas sumberdaya aparatur pemerintah dalam bidang koperasi dan UKM. 2. Peningkatan perluasan peluang usaha mikro yang difokuskan untuk penyerapan tenaga kerja bagi pengangguran terbuka. 3. Pemetaan sistem informasi ketenagakerjaan yang terpadu. Melakukan koordinasi antar daerah mitra dalam menyusun kegiatan/program yang dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Berdasarkan analisis tipologi wilayah Banten berdasarkan pola penganggaran, dapat di kategorikan sebagai berikut: Kabupaten Pandeglang secara umum memiliki kategori struktur anggaran belanja yang cenderung tergolong rendah kecuali pada bidang: (1) pertanian, kelautan, dan perikanan, dan (2) pekerjaan umum, yang cenderung agak tinggi. Kabupaten Lebak secara umum memiliki kategori struktur anggaran belanja yang cenderung tergolong rendah kecuali pada bidang: (1) pertanian, kelautan, dan perikanan, (2) pekerjaan umum, dan (3) kehutanan, energi dan sumberdaya mineral, yang tergolong kategori agak tinggi dan sangat tinggi. 2. Tipologi Wilayah Banten berdasarkan kinerja pembangunan daerah adalah: Kabupaten Pandeglang dan Lebak memiliki tingkat produktivitas penduduk, produktivitas lahan, dan kesejahteraan rumah tangga yang sangat rendah. Hampir semua kabupaten/kota di Provinsi Banten memiliki tingkat kapasitas fiskal penduduk yang sangat rendah sampai dengan rendah, kecuali Kota Cilegon dengan kategori sangat tinggi. Tingkat pengangguran tertinggi di Provinsi Banten cenderung terdapat di daerah perkotaan, yaitu: Kota Cilegon dan Kota Tangerang. 3. Perencanaan dan koordinasi penganggaran berpengaruh secara signifikan dalam meningkatkan kinerja pembangunan Daerah di Provinsi Banten, dengan faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah: Tingkat produktivitas penduduk, produktivitas lahan, dan kesejahteraan rumah tangga dipengaruhi secara negatif oleh: (1) penganggaran bidang pertanian, kelautan, dan perikanan, (2) penganggaran bidang perencanaan pembangunan dan kepariwisataan daerah mitra, dan (3) penganggaran lingkungan hidup, ketenagakerjaan, serta tingkat aktifitas ekonomi belanja langsung daerah tetangga.
114
Peningkatan kapasitas fiskal penduduk dipengaruhi secara positif oleh penganggaran bidang perhubungan, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri di daerah tetangga. Sedangkan yang berpengaruh secara negatif adalah: (1) penganggaran bidang pertanian, kelautan, dan perikanan, (2) penganggaran bidang pemberdayaan masyarakat, dan (3) inflasi sektor: pertambangan dan penggalian, listrik, gas, dan air bersih di daerah mitra, dan (4) belanja langsung bidang pertanian, kelautan, dan perikanan daerah mitra. Faktor yang mendorong pada peningkatan pengangguran secara positif adalah penganggaran bidang koperasi dan UKM, kepegawaian daerah mitra, dan inflasi sektor jasa-jasa daerah tetangga. Sedangkan faktor yang mendorong peningkatan pengangguran secara negatif adalah: (1) penganggaran bidang pekerjaan umum daerah mitra, dan (2) penganggaran bidang pertanian, kelautan, dan perikanan daerah mitra. Saran 1. Untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah dari sisi pertumbuhan ekonomi wilayah di Provinsi Banten hendaknya lebih terfokus pada kawasan Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Sedangkan untuk meningkatan kinerja pembangunan daerah dalam menurunkan tingkat pengangguran lebih terfokus pada kawasan perkotaan (kota Cilegon dan Kota Tangerang). 2. Untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah di wilayah Provinsi Banten diperlukan skala prioritas perencanaan dan koordinasi penganggaran antar daerah, terutama bidang: (1) penganggaran bidang pertanian, kelautan, dan perikanan, (2) perencanaan pembangunan dan kepariwisataan, (3) lingkungan hidup,
ketenagakerjaan, serta tingkat aktifitas ekonomi belanja langsung
daerah tetangga, (4) penganggaran bidang pemberdayaan masyarakat, dan (5) penganggaran bidang pekerjaan umum. 3. Perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan variabel data dari berbagai aspek, agar informasi yang diperoleh dapat disampaikan lebih lengkap.
DAFTAR PUSTAKA Adams, Richard. 2004. Economic Growth, Inequality and Poverty: Estimating the Growth Elasticity of Poverty. Britain. www.elsevier.com/locate/worlddev. Alwi Hasan, et al. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta. Bank Indonesia. 2008. Kajian Ekonomi Regional Banten (Triwulan II – 2008). Biro Kebijakan Moneter, Direktoral Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI. Jakarta. www.bi.go.id. Bappeda. Various Years. Banten Dalam Angka (Banten in Figures). Bappeda, Banten. Bappeda. Various Years. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang APBD. Bappeda, Banten. BPS. Various Years. Gross Regional Domestic Product of Banten Province. BPS, Banten. BPS. 2008. Berita Resmi Statistik Provinsi Banten. BPS, Banten. Dahuri, R. 2003. Pembangunan Wilayah (Perspektif ekonomi, Sosial, dan Lingkungan). Dept. Perhubungan. 2006. Hasil Data Survei Asal Tujuan Transportasi Nasional 2006 (Provinsi Banten). PT. LAPI ITB. Harman H. Harry, 1967. Modern Factor Analysis (Second Edition, Revised). The University of Chicago Press. Chicago. Hayati D, Karami E. 2005. Typology of causes of poverty: The perception of Iranian farmers. Department of Agricultural Extension and Education, College of Agriculture, Shiraz University, Shiraz 71441-33111, Iran. www.elsevier.com/locate/joep. Jhingan, M. L. 1994. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (The Economics of Development and Planning), Ed. 1, Cet. 5. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Kartiwa K. A., 2004. Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Arah Kebijakan Umum. Makalah Pelatihan Pendalaman Kompetensi Bidang Tugas Legislatif Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi. Sukabumi.Lawton, Alan dan Rose, Aidan G.. 1994. Organization and Management in The Public Sector, Second Edition Editor, Pitman Publishing, London.
116
Nazara, Suahasil. 2005. Analisis Input output. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Prihantono, Ardius. 2004. Pengaruh Perencanaan Strategis dan Koordinasi Pembangunan terhadap Penyusunan APBD di Provinsi Banten. Tesis Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama. Jakarta. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju D. R. 2007. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Edisi Juli 2007. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Riyadi dan Deddy S.B. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Saefulhakim H. R. Sunsun, 2008. Model Pemetaan Potensi Ekonomi untuk Perumusan Kebijakan Pembangunan Daerah. Community and Regional Development Institute of Aqwati (CORDIA). Bogor. Siagian. S.P. 1983. Administrasi Pembangunan. Jakarta : Gunung Agung. Soemartini. 2008. Principal Component Analysis (PCA) sebagai salah satu Metode untuk Mengatasi Masalah Multikoliniearitas. Skripsi Jurusan Statistika, Fak. MIPA, Unpad, Jatinangor. Solihin Dadang, 2007. Perencanaan PAD dalam Penyusunan APBD Berbasis Kinerja. Materi Diskusi Workshop Nasional Penyusunan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan APBD Berbasis Kinerja. Jakarta. StatSoft, Inc. 1984-2003. General Regression Models (GRM). STATISTICA is a trademark of StatSoft, Inc. Tarigan, Robinson. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT Bumi Aksara. Undang-undang RI Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang Undang-undang RI Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang RI Nomor 17 tahun 1999 tentang Keuangan Negara. Undang-undang RI Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang-undang RI Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang RI Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Yamauchi, Futoshi, et. al. 2007. Spatial Coordination in Public Good Allocation. International Food Policy Research Institut.
117
Yang Hu, et.al, 2008. Quasi-Minimax Estimation in The General Linier Regression Model. Journal of Statistical Planning and Inference. www.elsevier.com/locate/jspi. China.
Lampiran 1 Simbol Kombinasi Daerah (Kabupaten/Kota) dan Tahun Simbol KbPdg03 KbLbk03 KbSrg03 KbTgr03 KtClg03 KtTgr03 KbPdg04 KbLbk04 KbSrg04 KbTgr04 KtClg04 KtTgr04 KbPdg05 KbLbk05 KbSrg05 KbTgr05 KtClg05 KtTgr05 KbPdg06 KbLbk06 KbSrg06 KbTgr06 KtClg06 KtTgr06 KbPdg07 KbLbk07 KbSrg07 KbTgr07 KtClg07 KtTgr07
Keterangan Kabupaten Pandeglang tahun 2003 Kabupaten Lebak tahun 2003 Kabupaten Serang tahun 2003 Kabupaten Tangerang tahun 2003 Kota Cilegon tahun 2003 Kota Tangerang tahun 2003 Kabupaten Pandeglang tahun 2004 Kabupaten Lebak tahun 2004 Kabupaten Serang tahun 2004 Kabupaten Tangerang tahun 2004 Kota Cilegon tahun 2004 Kota Tangerang tahun 2004 Kabupaten Pandeglang tahun 2005 Kabupaten Lebak tahun 2005 Kabupaten Serang tahun 2005 Kabupaten Tangerang tahun 2005 Kota Cilegon tahun 2005 Kota Tangerang tahun 2005 Kabupaten Pandeglang tahun 2006 Kabupaten Lebak tahun 2006 Kabupaten Serang tahun 2006 Kabupaten Tangerang tahun 2006 Kota Cilegon tahun 2006 Kota Tangerang tahun 2006 Kabupaten Pandeglang tahun 2007 Kabupaten Lebak tahun 2007 Kabupaten Serang tahun 2007 Kabupaten Tangerang tahun 2007 Kota Cilegon tahun 2007 Kota Tangerang tahun 2007
Lampiran 2 Variabel Indikator Kinerja Pembangunan Daerah (Kpd) Simbol Keterangan BkPdb bobot lokal PDRB per kapita BlPdb bobot lokal PDRB per luas lahan BlPpl bobot lokal PAD per luas lahan BlPpk bobot lokal PAD per kapita UnEmp bobot lokal pengangguran PsMsk bobot lokal rumah tangga prasejahtera dan sejahtera I
Spt KbPdg03 KbLbk03 KbSrg03 KbTgr03 KtClg03 KtTgr03 KbPdg04 KbLbk04 KbSrg04 KbTgr04 KtClg04 KtTgr04 KbPdg05 KbLbk05 KbSrg05 KbTgr05 KtClg05 KtTgr05 KbPdg06 KbLbk06 KbSrg06 KbTgr06 KtClg06 KtTgr06 KbPdg07 KbLbk07 KbSrg07 KbTgr07 KtClg07 KtTgr07
BkPdb 0.460 0.438 0.650 0.760 4.077 2.093 0.455 0.431 0.632 0.791 4.064 2.049 0.469 0.449 0.630 0.776 4.087 2.052 0.484 0.425 0.573 0.770 4.040 2.191 0.475 0.418 0.638 0.747 3.985 2.191
BlPdb 0.178 0.169 0.658 2.143 7.450 16.346 0.178 0.166 0.655 2.184 7.484 16.144 0.178 0.169 0.645 2.197 7.363 16.210 0.181 0.168 0.567 2.227 7.284 16.830 0.175 0.165 0.625 2.183 7.169 16.778
BlPpl 0.100 0.767 0.687 2.017 8.492 7.719 0.119 0.093 0.724 2.970 9.472 10.862 0.077 0.124 0.841 2.887 8.912 10.954 0.093 0.173 0.917 2.767 8.997 9.867 0.224 0.161 0.807 2.753 8.067 10.127
BlPpk 0.258 1.988 0.678 0.715 4.648 0.988 0.304 0.242 0.699 1.076 5.144 1.379 0.201 0.330 0.822 1.020 4.947 1.387 0.250 0.439 0.928 0.957 4.989 1.284 0.606 0.407 0.823 0.942 4.484 1.323
UnEmp 1.099 1.001 1.158 0.944 1.135 0.859 1.228 0.933 1.055 0.994 1.049 0.829 0.998 1.231 1.334 0.877 1.340 0.631 0.260 1.181 1.102 1.093 1.088 1.013 0.665 0.793 1.027 0.978 1.440 1.299
PsMsk 1.519 1.422 1.293 0.834 0.486 0.499 1.560 1.367 1.177 0.860 0.481 0.519 1.439 1.245 1.109 1.000 0.714 0.454 1.462 1.247 1.117 1.004 0.714 0.441 1.480 1.295 1.188 0.945 0.750 0.442
Lampiran 3 Variabel Indikator Struktur Ekonomi Daerah (Sed) Simbol Keterangan LqAgr bobot lokasi sektor pertanian LQMin bobot lokasi sektor pertambangan dan galian LqInd bobot lokasi sektor industri pengolahan LqLga bobot lokasi sektor listrik, gas dan air bersih LqKon bobot lokasi sektor bangunan LqDag bobot lokasi sektor perdagangan, hotel dan restoran LqAng bobot lokasi sektor pengangkutan dan komunikasi LqKeu bobot lokasi sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan LqJsa bobot lokasi sektor jasa-jasa BdSek bobot lokal diversitas sektor Spt KbPdg03 KbLbk03 KbSrg03 KbTgr03 KtClg03 KtTgr03 KbPdg04 KbLbk04 KbSrg04 KbTgr04 KtClg04 KtTgr04 KbPdg05 KbLbk05 KbSrg05 KbTgr05 KtClg05 KtTgr05 KbPdg06 KbLbk06 KbSrg06 KbTgr06 KtClg06 KtTgr06 KbPdg07 KbLbk07 KbSrg07 KbTgr07 KtClg07 KtTgr07
LqAgr 4.023 4.341 1.563 1.052 0.304 0.022 3.913 4.222 1.516 1.130 0.285 0.020 3.956 4.314 1.532 1.086 0.280 0.020 4.812 5.414 0.223 1.245 0.349 0.023 3.919 4.469 1.660 1.073 0.281 0.019
LqMin 0.959 10.534 0.543 0.716 0.707 0.000 0.922 10.836 0.509 0.734 0.647 0.000 0.881 11.037 0.488 0.695 0.612 0.000 0.912 11.330 0.573 0.634 0.616 0.000 0.898 11.681 0.498 0.649 0.584 0.000
LqInd 0.226 0.184 0.967 1.052 1.184 1.148 0.227 0.193 0.979 1.027 1.186 1.160 0.230 0.193 0.988 1.018 1.206 1.158 0.231 0.196 1.105 1.011 1.207 1.121 0.240 0.207 0.991 1.024 1.241 1.126
LqLga 0.155 0.087 0.943 1.607 2.311 0.255 0.155 0.097 0.932 1.620 2.249 0.251 0.152 0.104 0.922 1.653 2.226 0.249 0.149 0.125 1.088 1.650 2.202 0.229 0.147 0.130 0.930 1.827 2.112 0.189
LqKon 1.732 1.655 2.720 0.739 0.187 0.687 1.758 1.591 2.699 0.753 0.188 0.696 1.796 1.625 2.700 0.745 0.191 0.693 1.893 1.620 3.038 0.726 0.192 0.670 1.841 1.652 2.717 0.765 0.198 0.681
LqDag 1.330 1.296 0.611 0.701 0.663 1.428 1.336 1.317 0.613 0.713 0.703 1.407 1.302 1.304 0.609 0.714 0.719 1.402 1.247 1.225 0.658 0.716 0.730 1.372 1.179 1.184 0.585 0.695 0.762 1.425
LqAng 0.696 0.890 0.429 0.970 1.155 1.239 0.667 0.866 0.408 1.050 1.086 1.222 0.700 0.918 0.422 1.087 1.005 1.205 0.751 0.956 0.473 1.095 0.917 1.172 0.805 0.963 0.430 1.116 0.959 1.161
LqKeu 1.747 1.826 1.173 0.915 0.756 0.854 1.637 1.551 1.208 0.800 0.988 0.897 1.552 1.384 1.215 0.907 0.927 0.875 1.515 1.295 1.409 0.924 0.916 0.838 1.535 1.261 1.235 0.940 0.976 0.851
LqJsa 3.136 2.574 1.808 0.948 0.310 0.436 3.153 2.556 1.793 0.952 0.306 0.443 3.112 2.373 1.776 1.011 0.305 0.433 3.040 2.281 1.993 1.005 0.300 0.446 3.097 2.214 1.763 1.060 0.312 0.454
BdSek 1.167 1.170 1.069 0.970 0.774 0.692 1.155 1.155 1.057 0.988 0.780 0.691 1.153 1.145 1.056 1.005 0.768 0.691 1.203 1.186 0.943 1.020 0.775 0.710 1.180 1.158 1.069 1.020 0.763 0.696
Lampiran 4 Variabel Indikator Stabilitas Harga-harga (Shh) Simbol Keterangan BhAgr bobot lokal indeks harga sektor pertanian BhMin bobot lokal indeks harga sektor pertambangan dan galian BhInd bobot lokal indeks harga sektor industri pengolahan BhLga bobot lokal indeks harga sektor listrik, gas dan air bersih BhKon bobot lokal indeks harga sektor bangunan BhDag bobot lokal indeks harga sektor perdagangan, hotel dan restoran BhAng bobot lokal indeks harga sektor pengangkutan dan komunikasi BhKeu bobot lokal indeks harga sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan BhJsa bobot lokal indeks harga sektor jasa-jasa BhTot bobot lokal indeks harga agregat sektor
Spt KbPdg03 KbLbk03 KbSrg03 KbTgr03 KtClg03 KtTgr03 KbPdg04 KbLbk04 KbSrg04 KbTgr04 KtClg04 KtTgr04 KbPdg05 KbLbk05 KbSrg05 KbTgr05 KtClg05 KtTgr05 KbPdg06 KbLbk06 KbSrg06 KbTgr06 KtClg06 KtTgr06 KbPdg07 KbLbk07 KbSrg07 KbTgr07 KtClg07 KtTgr07
BhAgr
BhMin
BhInd
BhLga
BhKon
BhDag
BhAng
BhKeu
BhJsa
BhTot
0.984 1.024 0.958 1.039 0.927 0.956 0.954 0.975 0.931 1.133 0.891 0.894 0.962 1.016 0.936 1.091 0.877 0.888 1.204 1.266 0.117 1.272 1.074 1.107 0.977 1.033 0.954 1.048 0.878 0.886
0.971 1.025 1.010 0.991 0.903 0.757 0.944 1.022 0.961 1.067 0.829 0.703 0.914 1.046 0.922 1.056 0.767 0.644 0.936 1.083 0.924 0.965 0.738 0.612 0.932 1.095 0.922 0.939 0.709 0.581
0.985 0.987 0.950 1.008 0.944 1.040 0.993 1.019 0.975 1.002 0.935 1.040 1.025 1.051 0.992 0.986 0.934 1.044 1.047 1.063 0.990 0.988 0.920 1.050 1.068 1.110 0.986 0.980 0.925 1.054
0.994 1.222 1.029 1.003 1.036 0.835 0.994 1.286 1.038 1.014 1.019 0.826 0.973 1.331 1.018 1.040 0.991 0.825 0.964 1.361 1.048 1.040 0.980 0.812 1.008 1.420 1.060 1.035 0.980 0.772
1.021 1.008 0.978 1.002 1.023 1.018 1.010 0.995 0.972 1.022 1.044 1.016 1.022 1.048 0.966 1.011 1.046 1.009 1.091 1.047 0.966 0.994 1.041 0.997 1.091 1.047 0.964 0.992 1.096 0.997
1.019 0.997 0.970 1.064 1.057 0.969 1.021 1.006 0.981 1.076 1.106 0.951 0.991 1.048 0.961 1.076 1.085 0.956 0.976 1.027 0.931 1.047 1.061 0.980 0.950 1.030 0.927 1.014 1.076 0.994
1.023 1.277 1.040 1.148 1.018 0.893 1.010 1.256 1.013 1.254 1.010 0.853 1.074 1.371 1.043 1.291 0.951 0.838 1.184 1.422 1.034 1.293 0.911 0.837 1.194 1.422 1.017 1.286 0.934 0.833
1.013 0.973 1.023 1.039 1.048 0.947 0.977 0.917 0.967 0.962 1.021 1.073 0.995 0.937 0.993 1.130 1.017 0.923 1.004 0.931 1.035 1.121 1.025 0.903 1.008 0.942 1.028 1.099 1.100 0.891
1.132 0.876 1.046 1.017 1.005 0.908 1.133 0.875 1.036 1.021 0.980 0.918 1.135 0.859 1.027 1.043 0.956 0.910 1.130 0.835 1.010 1.026 0.929 0.993 1.134 0.841 1.001 1.017 0.937 1.002
1.002 0.993 0.970 1.034 0.988 0.992 1.006 0.993 0.979 1.049 0.979 0.980 1.016 1.036 0.983 1.045 0.964 0.979 1.050 1.056 0.874 1.051 0.958 1.009 1.039 1.055 0.973 1.024 0.949 1.000
Lampiran 5 Variabel Indikator Kependudukan (Duk) Simbol Keterangan PoDen bobot lokal kepadatan penduduk UkRmt bobot lokal ukuran rumah tangga
Spt KbPdg03 KbLbk03 KbSrg03 KbTgr03 KtClg03 KtTgr03 KbPdg04 KbLbk04 KbSrg04 KbTgr04 KtClg04 KtTgr04 KbPdg05 KbLbk05 KbSrg05 KbTgr05 KtClg05 KtTgr05 KbPdg06 KbLbk06 KbSrg06 KbTgr06 KtClg06 KtTgr06 KbPdg07 KbLbk07 KbSrg07 KbTgr07 KtClg07 KtTgr07
PoDen 0.387 0.386 1.013 2.819 1.827 7.812 0.390 0.386 1.036 2.762 1.841 7.878 0.381 0.377 1.024 2.831 1.801 7.899 0.373 0.395 0.989 2.893 1.803 7.683 0.369 0.395 0.980 2.921 1.799 7.656
UkRmt 1.018 0.994 1.097 0.989 1.014 0.914 1.020 0.953 1.055 0.993 1.009 0.972 1.003 0.932 1.047 1.025 0.971 0.955 1.055 1.018 1.046 0.978 1.034 0.942 1.056 1.018 1.048 0.977 1.035 0.942
Lampiran 6 Variabel Indikator Struktur Anggaran Penerimaan (Sar) Simbol Keterangan LrImb bobot lokasi penerimaan dana perimbangan LrLai bobot lokasi penerimaan lain-lain yang syah LqRby bobot lokasi penerimaan pembiayaan
Spt KbPdg03 KbLbk03 KbSrg03 KbTgr03 KtClg03 KtTgr03 KbPdg04 KbLbk04 KbSrg04 KbTgr04 KtClg04 KtTgr04 KbPdg05 KbLbk05 KbSrg05 KbTgr05 KtClg05 KtTgr05 KbPdg06 KbLbk06 KbSrg06 KbTgr06 KtClg06 KtTgr06 KbPdg07 KbLbk07 KbSrg07 KbTgr07 KtClg07 KtTgr07
LrImb 1.234 0.960 1.063 1.014 0.703 0.961 0.935 1.392 1.059 0.959 0.717 1.005 1.300 1.210 1.013 0.970 0.671 0.921 0.927 1.088 1.049 0.993 0.853 1.042 1.085 1.060 1.048 0.944 0.882 0.990
LrLai 0.662 0.433 0.860 1.246 0.815 1.621 2.323 0.429 0.223 1.081 0.521 1.120 0.620 0.700 0.855 1.162 0.886 1.356 0.000 0.000 0.000 2.155 0.000 2.795 0.440 0.086 0.667 1.427 0.992 1.900
LqRby 0.461 0.000 1.510 0.000 6.266 0.000 0.000 0.100 2.511 0.733 2.904 0.000 0.227 0.968 1.790 0.000 4.997 0.000 3.152 1.077 0.686 0.472 1.087 0.000 1.457 1.981 1.161 0.725 1.133 0.000
Lampiran 7 Variabel Indikator Struktur Anggaran Pengeluaran (Sax) Simbol Keterangan LqBtl bobot lokasi pengeluaran belanja tak langsung LqXby bobot lokasi pengeluaran pembiayaan LxDik bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pendidikan LxSht bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kesehatan LxPku bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pekerjaan umum LxPpb bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang perencanaan pembangunan LxHub bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang perhubungan LxSos bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang sosial LxLin bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang lingkungan hidup LxKim bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pemukiman LxHan bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pertanahan LxTtr bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang penataan ruang LxDuk bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kependudukan dan capil LxPms bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pemberdayaan masyarakat LxNkr bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang ketenagakerjaan LxUkm bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang koperasi & ukm LxPeg bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kepegawaian LxMdl bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang penanaman modal LxPol bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kesatuan bangsa & politik dalam negeri LxPum bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pemerintahan umum LxAgr bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang pertanian LxHut bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kehutanan LxEng bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang energi & sumberdaya mineral LxIkn bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kelautan & perikanan LxDin bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang perdagangan & industri LxWst bobot lokasi pengeluaran belanja langsung bidang kepariwisataan BdlBl bobot lokal diversitas bidang pengeluaran belanja langsung
Lanjutan Spt
LqBtl
LqXby
LxDik
LxSht
LxPku
LxPpb
LxHub
LxSos
LxLin
LxKim
LxTnh
LxTtr
LxDuk
LxPms
LxNkr
LxUkm
LxPeg
LxMdl
LxPol
LxPum
LxAgr
LxHut
LxEng
LxIkn
LxDin
LxWst
BdlBl
KbPdg03
2.095
0.000
0.264
0.768
0.123
4.540
4.564
1.151
0.000
1.988
0.000
0.000
0.755
0.000
2.334
4.286
4.224
0.000
2.791
0.006
1.823
0.000
3.008
0.000
0.072
3.885
0.664
KbLbk03
1.114
1.739
1.189
1.115
1.014
0.000
0.169
0.000
0.322
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.121
0.000
0.000
0.000
0.000
0.087
2.191
6.724
4.249
1.575
0.125
0.701
0.579
KbSrg03
1.056
0.000
1.717
1.277
0.772
1.203
0.518
0.309
0.094
0.000
0.185
0.916
2.650
0.000
0.364
0.000
0.000
0.000
2.421
1.435
0.527
0.000
0.000
1.356
0.164
0.517
0.831
KbTgr03
0.744
0.501
1.348
1.121
0.839
0.700
0.921
2.412
3.076
0.275
0.819
0.764
0.655
0.000
2.262
1.335
1.797
3.720
0.639
1.851
1.047
0.000
0.000
1.916
0.651
1.208
1.187
KtClg03
1.146
0.000
0.886
1.223
1.419
0.320
0.478
1.449
0.706
0.000
0.000
0.156
2.279
0.000
0.197
0.000
0.000
0.000
0.078
1.920
0.571
0.000
0.000
0.000
7.236
0.000
0.919
KtTgr03
0.361
3.587
0.101
0.432
1.864
0.000
0.132
0.000
0.196
4.037
4.409
3.600
0.000
5.913
0.000
0.689
0.000
0.000
0.182
0.116
0.068
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.654
KbPdg04
1.379
5.044
0.066
0.351
0.000
0.527
0.363
0.038
0.000
1.649
0.000
0.036
0.413
3.097
1.115
0.212
0.497
0.000
0.544
1.007
0.723
0.675
1.413
1.900
0.047
0.934
0.401
KbLbk04
0.924
0.000
2.208
1.209
1.296
0.000
0.656
0.000
0.187
0.000
0.000
0.000
3.730
0.000
0.172
0.186
0.000
0.000
0.000
0.264
0.983
8.935
7.749
1.971
0.102
0.886
0.643
KbSrg04
0.909
0.000
1.732
1.360
0.944
2.031
0.801
1.119
0.357
0.000
0.000
0.738
0.173
0.000
0.429
0.000
0.000
0.000
0.658
1.081
0.696
0.000
0.000
1.105
0.206
1.128
0.810
KbTgr04
0.739
0.000
1.150
1.202
0.969
1.799
1.490
1.707
2.768
0.464
1.946
0.977
1.145
0.000
2.090
2.666
3.148
2.351
1.819
1.411
2.132
0.000
0.000
0.981
0.727
1.867
1.374
KtClg04
1.107
0.000
0.879
1.331
1.095
0.000
0.806
2.767
0.563
0.000
0.000
0.133
0.494
0.000
0.469
0.000
0.000
2.879
0.000
1.350
0.291
0.000
0.000
0.000
7.208
0.000
0.880
KtTgr04
1.192
1.239
0.076
0.491
1.911
0.000
1.330
0.000
0.302
3.883
2.791
3.585
0.929
3.259
0.410
1.088
0.000
0.137
1.650
0.360
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.737
KbPdg05
2.945
0.000
0.322
0.356
0.656
1.526
0.320
0.000
0.087
0.000
0.000
0.016
0.222
4.761
0.288
1.841
0.942
0.000
0.449
1.902
0.802
1.179
1.820
1.195
0.083
3.053
0.529
KbLbk05
1.284
0.000
1.990
1.052
1.531
0.000
0.896
0.000
0.101
0.000
0.000
0.000
1.707
3.898
0.184
0.840
0.000
0.000
1.391
0.384
2.697
7.803
7.159
2.272
0.250
1.683
0.768
KbSrg05
1.277
0.000
1.851
1.853
1.178
4.531
0.927
1.351
0.287
0.000
0.000
0.319
0.135
0.000
0.820
0.000
0.000
0.000
0.724
0.800
0.788
0.000
0.000
1.249
0.232
2.576
0.821
KbTgr05
0.356
1.673
0.992
1.046
0.652
0.000
1.587
1.445
2.773
0.326
2.072
0.941
2.218
0.000
1.974
0.000
2.978
1.604
1.985
0.901
1.235
0.000
0.000
1.281
0.742
0.000
1.098
KtClg05
1.357
0.000
0.859
1.365
1.487
0.000
0.904
2.951
0.596
0.000
0.000
0.081
0.545
0.000
0.802
0.000
0.000
4.803
0.000
2.772
0.733
0.000
0.000
0.000
6.465
0.000
1.042
KtTgr05
0.221
2.680
0.069
0.227
0.993
0.000
0.649
0.000
0.156
4.860
2.034
3.494
0.191
0.186
0.634
3.777
0.000
0.000
0.356
0.153
0.086
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.628
KbPdg06
1.691
0.000
0.497
0.455
1.380
2.164
0.183
0.000
0.775
0.000
0.000
0.011
0.186
3.378
0.210
1.112
4.413
0.000
0.568
1.445
1.050
1.178
0.796
1.060
0.123
1.663
0.671
KbLbk06
0.970
0.000
1.847
1.084
1.137
0.000
1.596
0.000
0.244
0.000
0.000
0.000
1.686
3.142
0.255
1.398
0.000
0.000
1.115
0.279
1.118
6.327
6.793
1.321
0.146
1.161
0.729
KbSrg06
1.037
0.000
1.663
2.241
0.744
1.988
0.771
2.135
0.232
0.000
0.000
0.000
0.323
0.000
0.837
0.000
0.000
0.000
0.786
0.982
1.081
0.000
0.000
1.053
0.253
2.961
0.799
KbTgr06
0.984
0.000
1.009
0.649
1.324
0.000
1.513
0.788
2.708
0.323
0.000
0.714
2.211
0.000
2.524
0.000
0.000
1.837
1.456
1.329
1.324
0.000
0.000
1.741
0.769
0.000
1.018
KtClg06
1.233
0.000
0.863
1.286
0.835
0.000
1.517
3.793
0.884
0.000
0.000
0.042
0.925
0.000
0.530
0.000
0.000
4.960
0.000
1.935
0.416
0.000
0.000
0.000
7.293
0.000
0.961
KtTgr06
0.168
6.372
0.039
0.309
0.396
1.683
0.447
0.000
0.056
5.835
6.372
5.149
0.147
0.408
0.371
4.110
1.949
0.240
1.473
0.041
0.574
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.615
KbPdg07
1.266
0.000
0.977
0.751
1.167
0.736
0.094
0.000
0.519
0.000
0.000
0.056
0.295
2.602
0.204
0.186
0.725
0.000
0.184
0.846
1.199
0.928
1.699
1.496
0.152
0.804
0.743
KbLbk07
1.062
0.000
0.590
1.725
1.382
0.808
0.967
0.000
0.509
0.000
0.000
0.000
0.389
1.194
0.458
0.416
1.679
0.000
0.502
0.935
1.407
6.687
5.838
1.133
0.821
1.498
0.898
KbSrg07
1.257
0.000
0.653
1.921
0.531
1.255
1.034
1.487
0.372
0.000
0.000
0.000
1.428
0.000
0.945
0.000
0.959
0.000
1.099
1.619
1.347
0.000
0.000
1.469
0.831
1.749
0.856
KbTgr07
1.005
0.000
1.673
0.620
1.114
0.816
0.809
0.715
2.139
0.227
0.000
2.377
1.255
0.000
1.628
0.000
0.000
2.643
0.420
0.643
1.175
0.000
0.000
1.187
1.585
0.000
0.953
KtClg07
0.872
0.000
0.501
0.496
1.368
1.948
1.000
5.165
1.667
0.905
0.145
0.370
0.865
0.000
1.544
4.637
2.084
0.619
1.966
2.038
0.000
0.000
0.000
0.322
2.740
3.562
1.076
KtTgr07
0.479
6.231
0.918
0.515
0.671
0.810
2.122
0.000
0.190
5.273
6.140
1.856
1.261
2.950
0.790
2.820
1.785
1.292
2.403
0.420
0.409
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.959
Lampiran 8 Variabel Komposit Indikator Potensi Ekonomi dan Kinerja Pembangunan Daerah Dimensi Kpd
Aspek Kpd01 Kpd02 Kpd03
Sed Sed01 Sed02 Shh Shh01 Shh02 Shh03 Shh04 Shh05 Duk Duk01 Sar Sar01 Sar02 Sax Sax01 Sax02 Sax03 Sax04 Sax05 Sax06 Sax07 Sax08 Sax09 Sax10 Sax11 Sax12 Sax13 Sax14
Keterangan Kinerja Pembangunan Daerah indeks produktivitas penduduk, produktivitas lahan, kapasitas fiskal lahan, dan kesejahteraan rumah tangga indeks kapasitas fiskal penduduk indeks pengangguran Struktur Ekonomi Daerah indeks aktivitas ekonomi sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, serta perdagangan, hotel dan restoran; invers aktivitas ekonomi sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih indeks aktivitas ekonomi sektor pengangkutan dan komunikasi; invers aktifitas ekonomi sektor bangunan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, jasa-jasa, serta diversitas sektor. Struktur Harga-harga indeks kemahalan sektor pertambangan dan penggalian, listrik, gas dan air bersih, serta pengangkutan dan komunikasi indeks kemahalan sektor industri pengolahan; invers kemahalan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan indeks kemahalan sektor pertanian dan agregat sektor indeks kemahalan sektor bangunan serta perdagangan, hotel dan restoran indeks kemahalan sektor jasa-jasa. Kependudukan indeks kepadatan penduduk; invers ukuran rumahtangga Struktur Anggaran Penerimaan indeks penerimaan dana perimbangan; invers penerimaan pembiayaan indeks penerimaan lain-lain yang syah. Struktur Anggaran Pengeluaran indeks pengeluaran pembiayaan, serta belanja langsung bidang permukiman, pertanahan dan penataan ruang indeks belanja langsung bidang lingkungan hidup dan ketenagakerjaan, serta diversitas bidang belanja langsung indeks belanja langsung bidang perhubungan, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri indeks belanja langsung bidang koperasi dan UKM serta kepegawaian indeks belanja langsung bidang perencanaan pembangunan dan kepariwisataan indeks belanja langsung bidang sosial, penanaman modal, serta perdagangan dan industri indeks belanja langsung bidang pendidikan dan kesehatan indeks belanja langsung bidang kehutanan, energi dan sumberdaya mineral indeks belanja langsung bidang pertanian, kelautan dan perikanan indeks belanja tak langsung indeks belanja langsung bidang pekerjaan umum indeks belanja langsung bidang kependudukan dan pencatatan sipil indeks belanja langsung bidang pemberdayaan masyarakat indeks belanja langsung bidang pemerintahan umum.