Laporan Studi Kementerian Keuangan tentang:
Strategi Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Hijau untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia 2015-2019
LAPORAN PERKEMBANGAN - 2015
Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Laporan Studi Kementerian Keuangan tentang:
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia 2015-2019
LAPORAN PERKEMBANGAN - 2015
Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Ungkapan Terima Kasih Penyusunan “Laporan Perkembangan Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau (P3H) tahun 2015” ini dirancang untuk melengkapi dan memperbarui dokumen “Strategi P3H” yang disiapkan dan telah diterbitkan oleh Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) Kementerian Keuangan pada bulan November tahun 2014. Baik penyusunan Strategi P3H tahun 2014 maupun Laporan Perkembangan Strategi P3H tahun 2015 ini mendapat bantuan tehnis dari Program Dukungan Pembangunan Rendah Karbon (LCS - Low Carbon Support Programme) untuk Kementerian Keuangan RI dengan dukungan pendanaan dari United Kingdom's Climate Change Unit (UKCCU) di Jakarta. Proses penyusunan Laporan Strategi P3H tahun 2015 ini dilakukan dibawah bimbingan dan pengawasan dari pimpinan Badan Kebijakan Fiskal, khususnya Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) yang telah melibatkan para pejabat berikut ini: Prof. Dr. Suahasil Nazara, Dr. Syurkani Ishak Kasim, Dr. Kindy Rinaldy Syahrir, Ria Sartika Azahari dan Hageng Suryo Nugroho. Selain itu juga ada arahan kebijakan dari Prof. Dr. Emil Salim, selaku Ketua Tim Panel Penasehat Strategi P3H, kepada Kit Nicholson dan Ismid Hadad, konsultan senior program LCS-PKPPIM yang menyusun perumusan kebijakan dan penulisan dokumen laporan ini dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Ucapan terima kasih ini ditujukan kepada semua mereka yang telah memberi kontribusi tersebut diatas, dan juga kepada Paul Butarbutar untuk penerjemahan bahasa dan Dr. Vira Ramelan untuk pemeriksaan akhir dan penyuntingan teknis naskah dan penerbitan buku laporan ini.
Jakarta, September 2015 Dr. Syurkani Ishak Kasim Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan Republik Indonesia
-iStrategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Kata Pengantar Kementerian Keuangan telah lama memberikan perhatian pada masalah perubahan iklim dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. Fokus awalnya pada upaya penurunan emisi gas rumahkaca (GRK) sebagai respon terhadap komitmen dan kebijakan Presiden RI untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% yang akan dicapai pada tahun 2020. Hal ini telah mendorong kegiatan studi dan pengembangan kebijakan, seperti Green Paper Kemenkeu tahun 2009 dan Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Mitigasi Perubahan Iklim tahun 2012. Sejak itu, semakin disadari besarnya tantangan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ternyata sangat rentan terhadap risiko lingkungan yang terkait dengan perubahan iklim, dan meningkatnya ancaman kerugian, degradasi serta kerusakan pada sumber daya alam. Apabila kerugian dan kerusakan sumberdaya alam itu tidak segera dihentikan, dan risiko lingkungan diabaikan, pertumbuhan PDB Indonesia akan sangat mungkin turun menjadi setengahnya dari target rata-rata 7% hingga 35 tahun ke depan, sehingga akan menghambat Indonesia untuk mencapai status negara berpendapatan tinggi pada tahun 2030, sebagaimana direncanakan pada RPJMN 2015 - 2019. Perhatian pada masalah lingkungan dan kerusakan sumberdaya alam itu menjadi semakin besar lagi karena perekonomian Indonesia pada dasarnya masih tergantung pada kegiatan ekstraksi dan eksploitasi dari bumi kekayaan alam, seperti minyak dan gas bumi, batubara, produk hutan, dan komoditas pertanian. Ekstraksi bahan baku alami ini telah semakin menggerus sumber daya alam yang tidak terbarukan, termasuk air, hutan, mineral, keanekaragaman hayati dan ekologi kelautan. Apabila eksploitasi ini diteruskan tanpa terkendali, maka fungsi dan daya dukung lingkungan akan terdegradasi secara terus menerus. Dan jika pertumbuhan ekonomi ingin dicapai secara berkelanjutan, maka baik kerugian dan kerusakan lingkungan maupun eksploitasi sumber daya alam yang kian meningkat ini harus dihentikan, atau dikelola secara strategis dan hati-hati, sehingga kegiatan pembangunan yang menimbulkan polusi dan kerusakan kekayaan alam bisa dihindari dan dikendalikan secara efektif. Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau (P3H) ini dirancang oleh PKPPIM Kementerian Keuangan sejak akhir 2013 dan diselesaikan pada bulan November 2014 untuk merespon isu-isu strategis yang sangat mempengaruhi perekonomian tersebut diatas dan bertujuan untuk melindungi Indonesia dari kerugian dan kerusakan SDA dan sekaligus juga menurunkan emisi gas rumahkaca. Hal ini dalam rangka pelaksanaan pasal 8 Undang-undang no. 17/2003 tentang Keuangan Negara, yang mengatur kewenangan Kementerian Keuangan untuk menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi-makro serta penyusunan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berikut rancangan perubahannya. Untuk itu Strategi P3H menggunakan pendekatan ekonomi hijau untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang memperhitungkan faktor keberlanjutan kekayaan alam, lingkungan dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah dan jangka panjang, serta menjaga keseimbangan pembangunan ekonomi, lingkungan dan sosial dalam semua rencana dan program pelaksanaannya. Karena itu ditempuh strategi perencanaan dan penganggaran pembangunan hijau yang difokuskan pada instrumen kebijakan untuk memilih dan melaksanakan 21 program prioritas utama untuk bergerak ke arah pembangunan ekonomi hijau, yang
- ii Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
dikelompokkan dalam 6 bidang/area kebijakan prioritas, yaitu: perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan, pertanian, energi dan industri, transportasi dan tata-kota & daerah, pendidikan dan kesehatan, serta penanggulangan bencana alam dan kebijakan penunjang lainnya. Semua prioritas kebijakan/program tersebut di atas kini masih berlaku. Namun, sejak terpilihnya pemerintahan baru dan adanya agenda pembangunan baru yang disebut "Nawa Cita" yang saat ini sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, perlu ada pembaharuan dan penyesuaian dari prioritas Strategi P3H tersebut agar supaya dapat diaplikasikan dalam agenda pembangunan yang baru dan dalam konteks perubahan kelembagaan yang sedang berjalan. Prioritas-prioritas baru ini akan memastikan bahwa Indonesia akan terus mengambil jalur pembangunan yang berkelanjutan dan berimbang hingga tahun 2019. Laporan singkat Perkembangan Strategi P3H tahun 2015 ini menyajikan rangkuman dari Strategi P3H awal (2014), perkembangan tentang kebijakan baru dan perubahan kelembagaan yang terjadi, serta isu-isu ekonomi hijau terkini dan bukti-bukti baru terkait dengan kerugian dan kerusakan sumber daya alam dan dampak ekonominya, serta juga menjelaskan bagaimana pendekatan pembangunan hijau dapat diaplikasikan dalam RPJMN 2015 - 2019. Laporan Perkembangan Strategi P3H 2015 ditutup dengan satu bab yang secara ringkas merangkum beberapa kebijakan dan langkah-langkah aksi yang dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga kunci yang bertanggungjawab untuk mengimplementasikan strategi ini. Kemenkeu, Bappenas dan KLHK jelas punya komitmen pada pendekatan pembangunan hijau dan telah memiliki strategi dan rencana aksi yang dibutuhkan. Namun, untuk mencapai kemajuan yang diharapkan, dibutuhkan koordinasi dan kerjasama yang erat antar-kementerian dan lembaga terkait, dengan pemerintah daerah, dengan sektor swasta serta dengan LSM. Kemenkeu akan terus mendukung pendekatan yang baru ini untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang pintar iklim dan ramah-lingkungan, dan dengan demikian akan memastikan bahwa kualitas hidup masyarakat Indonesia akan terlindungi, dan bahwa Indonesia akan dapat memainkan peran penting dalam kebijakan dan perjanjian global tentang pembangunan ekonomi hijau yang adil dan merata.
Jakarta, September 2015 Prof. Dr. Suahasil Nazara Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia
- iii Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Daftar Isi Ucapan Terima Kasih ..............................................................................................................................................................
i
Kata Pengantar ........................................................................................................................................................................ Daftar Singkatan ...................................................................................................................................................................... 1 Ringkasan Strategi P3H 2014 ................................................................................................................................ 1.1 Dasar Pemikiran ....................................................................................................................................................... 1.2 Metodologi dan Proses ......................................................................................................................................... 1.3 Identifikasi Prioritas dan Instrumen Terkait ........................................................................................................ 1.4 Skala Tantangan Ekonomi Hijau ........................................................................................................................... 1.5 Kegiatan Ekonomi Hijau yang Ada ....................................................................................................................... 1.6 Efektivitas Kebijakan Publik ................................................................................................................................... 1.7 Skenario untuk Mengurangi Kerugian dan Kerusakan ....................................................................................
ii vi 01 01 02 04 07 08 09 10
1.8
Implementasi Strategi P3H ....................................................................................................................................
12
2
Perkembangan Strategi P3H tahun 2015 ..........................................................................................................
14
2.1
Rangkuman Temuan dalam Strategi P3H tahun 2014 .....................................................................................
14
2.2
Arah Strategi Pembangunan Terkini: Nawa Cita dan RPJMN ........................................................................
15
2.3
Perubahan Terkini dan Reformasi Kelembagaan ............................................................................................. 19
2.4
Inisiatif Strategi Pembangunan Hijau Lainnya ................................................................................................... 24
2.5
Kerugian dan Kerusakan SDA dan Emisi GRK: Bukti-Bukti Terkini ................................................................ 27
2.6
Efektivitas dalam Menurunkan Kerugian dan Kerusakan: Bukti-Bukti Terkini ............................................ 28
2.7 2.8 3
Pendanaan Publik yang Mendukung Ekonomi Hijau: Informasi Terkini ...................................................... 29 Konteks Internasional: Perkembangan Terkini ................................................................................................. 32 Tindak Lanjut dan Langkah Berikutnya ............................................................................................................... 34
Daftar Lampiran Lampiran 1 Update Prioritas dan Instrumen dalam Strategi P3H ............................................................................... 40 Lampiran 2 Kerugian dan Kerusakan Sumber Daya Alam dan Pertumbuhan Ekonomi ......................................... 44 Lampiran 3 Komplementaritas Program Aksi dalam Strategi P3H dan Panduan Pertumbuhan Hijau .............. 46
- iv Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Daftar Gambar Gambar 1
Metodologi untuk Estimasi Kesenjangan Ekonomi Hijau (Ringkasan Gambar 2 Halaman 5) ......... 04
Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5
Pengeluaran Anggaran Ekonomi Hijau oleh Pemerintah Pusat ............................................................ Pengeluaran Terbaru dari Kegiatan Ekonomi Hijau (Lihat SP3H Gambar 7) ....................................... Efektivitas dari 21 Prioritas .............................................................................................................................. Dampak dari Tiga Skenario Belanja Pengeluaran Publik untuk Mengatasi Kerugian / Kerusakan akibat Perubahan Iklim dan Degradasi SDA ...................................................... Keseimbangan antara Mitigasi dan Adaptasi ............................................................................................. Emisi GRK (GRK) Skenario BAU pada 2010 (SNC) dan Perkiraan Terbaru ............................................ Jenis Instrumen Kebijakan untuk Pengeluaran Ekonomi Hijau .............................................................. Rangkuman Proses Pengintegrasian Program Ekonomi Hijau ke dalam Siklus Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan .......................................................
Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9
08 09 10 11 15 28 30 39
Daftar Tabel Tabel 1
Daftar 21 Program Prioritas dan Instrumen yang Dapat Digunakan (dari SP3H Gambar 2) ............
05
Tabel 2
Jenis Instrumen dan Rasio Daya Ungkit Kebijakan Terkait (lihat SP3H Tabel 7) ...............................
06
Tabel 3
Rincian Estimasi Kerugian dan Kerusakan ................................................................................................
07
Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6
Netralitas Anggaran dari Skenario P3H ..................................................................................................... 11 Menghijaukan Anggaran Belanja Kementerian Teknis .......................................................................... 12 Tugas Utama dan Tanggung Jawab Kementerian/Lembaga dalam Mengimplementasikan Strategi P3H ........................................................................................................ 12 Nawa Cita dan Ekonomi Hijau ..................................................................................................................... 18 Prioritas, Instrumen dan Tanggung Jawab Kelembagaan dalam Pelaksanaan Strategi P3H ...... 21 Perkembangan Mutakhir tentang 21 Program Prioritas P3H ................................................................ 22 Hibah Bersyarat Ekonomi Hijau untuk Pemerintah Daerah (Rp Miliar) ............................................... 31 Tanggung Jawab dan Peran dalam Pelaksanaan Strategi P3H .......................................................... 34 Contoh Daftar Isi Laporan Tahunan Kemajuan Pelaksanaan Strategi P3H tahun 2015 .................. 37
Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12
-vStrategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Daftar Singkatan ADB APBD
Asian Development Bank Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN-P Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara – Perubahan APIP Aparat Pengawasan Internal Pemerintah BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BEI Bursa Efek Indonesia BKF Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu BP-REDD Badan Pengelola program REDD+ BUN Bendahara Umum Negara CBA Cost Benefit Analysis CBF Community Based Forestry CCFF Climate Change Financing Framework DIPA Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Menko PMK Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Menko Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman CPEIR Climate Public Expenditure & Institutional Review DAK Dana Alokasi Khusus DAU Dana Alokasi Umum DBH Dana Bagi Hasil DIPA Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran DNPI Dewan Nasional Perubahan Iklim DR Dana Reboisasi EH Ekonomi Hijau FPF-SDLBS Fiscal Policy Framework for the Sustainable Development of Land Based Sectors (MoF) GRK Gas Rumahkaca GCF Green Climate Fund
GE GE%
GGAP GGGI GPB HIC ICCTF IDR IDX INDC IPCC KEHATI KEM Kemenkeu Kemen ATR KemPUPR KKP KLHK KLHS K/L LCS LSM MFF
MP3EI
Green Economy (Ekonomi Hijau) Green Economy weight (Pembobotan Ekonomi Hijau: Nilai manfaat Ekonomi Hijau terhadap total manfaat pembangunan) Green Growth Assessment Process Global Green Growth Institute Green Planning and Budgeting High Income Country (Negara Berpendapatan Tinggi) Indonesia Climate Change Trust Fund (Bappenas) Indonesian Rupiah (Rp) Indonesian Stock Exchange (Agency) Intended National Determined Contribution International Panel on Climate Change Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia Kerangka Ekonomi Makro Kementerian Keuangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kementerian Kelautan dan Perikanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kementerian dan Lembaga (Pemerintah) Low Carbon Support Programme to the Ministry of Finance Lembaga Swadaya Masyarakat Mitigation Fiscal Framework (Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Mitigasi Perubahan Iklim) Masterplan untuk Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
- vi Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
MP3KI
MRV Nawa Cita NBSAP NPV OJK PDB Perpres PES PKPPIM
PMK PPKF PPP P3H RAD-GRK RAN-GRK RAN API REDD
Renja K/L Renstra K/L RPJMN RPJP-N
Masterplan untuk Percepatan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia, 2011-2025 Measurement, Reporting and Verification Sembilan Agenda Prioritas (dari pemerintahan 2015-2019) National Biodiversity Action Plan Net Present Value Otoritas Jasa Keuangan Produk Domestik Bruto Peraturan Presiden Payment for Ecosystem Services Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Kementerian Keuangan Peraturan Menteri Keuangan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Public-Private Partnership Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran Pembangunan Hijau Rencana Aksi Daerah untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (program Penurunan Emisi GRK akibat Deforestasi dan Degradasi Hutan) Rencana Kerja Kementerian/Lembaga Rencana Strategik Kementerian/Lembaga Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Rencana Kerja Pembangunan Jangka Nasional Panjang
RKA-KL RKP RKEPADA SDA SDGs SEA SNA SP3H
UNEP UNFCCC
Rencana Kerja & Anggaran – Kementerian/ Lembaga Rencana Kerja Pemerintah Rencana Kerja Pemerintah Daerah Sumber Daya Alam (Natural Resources) Sustainable Development Goals Strategic Environmental Appraisal Sub-National Authority (Local or Regional Government) Strategi Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran Pembangunan Hijau United Nations Environment Programme United Nations Framework Convention on Climate Change
- vii Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
1. RINGKASAN STRATEGI P3H 2014 Abstrak Catatan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengesankan itu ternyata sangat rentan terhadap risiko-risiko lingkungan terkait dengan perubahan iklim, dan makin terancamoleh kerugian, degradasi dan kian meningkatnya kerusakan sumber daya alam (SDA). Apabila kerugian dan kerusakan SDA ini tidak segera dihentikan, dan risiko lingkungan diabaikan, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus merosot dalam kurun waktu 35 tahun ke depan akan turun hingga setengahnya dari target pertumbuhan 7% per tahun. Hal ini akan menghambat pencapaian Indonesia menjadi Negara dengan pendapatan tinggi pada tahun 2030, sebagaimana direncanakan dalam RPJMN 2015-2019. Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau (P3H) atau "Green Planning and Budgeting (GPB) Strategy" ini bertujuan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah dan jangka panjang dengan melindungi Indonesia dari kerugian dan kerusakan SDA, dan pada saat yang sama juga untuk menurunkan emisi gas rumahkaca (GRK). Hal ini akan tercapai dengan cara merencanakan dan melaksanakan secara konsisten 21 prioritas program pembangunan ekonomi hijau, terutama di bidang kehutanan, pertanian, perikanan, energi, transportasi umum, infrastruktur pembangunan kota dan daerah, serta penanggulangan bencana alam. Strategi ini mencakup perubahan kebijakan dari pola ketergantungan pembangunan pada anggaran belanja-publik-langsung menjadi kebijakan penyediaan insentif dan regulasi yang akan mendorong investasi pembangunan hijau oleh pihak swasta dan masyarakat. Jika diterapkan secara penuh dan efektif, 21 prioritas program ekonomi hijau ini dapat mencegah sebagian besar dari kerugian dan kerusakan SDA, tanpa membutuhkan peningkatan yang terlalu besar dalam anggaran belanja negara. Namun, hal ini juga membutuhkan komitmen kuat, usaha-usaha yang konsisten, dan koordinasi yang efektif di antara berbagai instansi Pemerintah dan dengan para pemangku kepentingan lainnya.
1.1 Dasar Pemikiran Dasar Pemikiran Strategi P3H. Indonesia telah menikmati pertumbuhan ekonomi yang kuat dalam beberapa dekade terakhir dan berharap untuk dapat mempertahankan pertumbuhan sebesar 7% per tahun dan secara cepat meningkatkan statusnya dari negara berpenghasilan menengah hingga mencapai status negara berpenghasilan tinggi (High Income Country - HIC) dalam 20 tahun ke depan. Namun, ada beberapa masalah dan tantangan serius yang dapat menimbulkan kerugian dan kerusakan yang signifikan, baik terhadap kondisi sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi maupun infrastruktur pembangunan Indonesia, sehingga akan mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan tertundanya pencapaian status HIC pada 2030. 1. Kondisi Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim dan khususnya terhadap peningkatan variabilitas cuaca dan intensitas curah hujan serta peningkatan tinggi permukaan air laut. Dampak perubahan iklim ini dapat dikurangi dengan berpartisipasi dalam upaya internasional untuk mitigasi perubahan iklim guna mengurangi emisi gas rumah kaca dan dengan melakukan investasi untuk adaptasi perubahan iklim guna menghindari dan/atau mengurangi kerugian dan kerusakan kekayaan bumi dan alam Indonesia. 2. Ekonomi Indonesia juga sangat tergantung pada hasil kegiatan ekstraksi dan ekspolitasi bumi kekayaan alam, seperti minyak dan gas bumi, batubara, produk hutan dan komoditas pertanian. Pengurasan bahan baku alami ini telah semakin mendegradasi sumber daya alam yang tidak terbarukan, termasuk air, hutan, mineral, keanekaragaman hayati dan ekologi kelautan. Apabila eksploitasi ini terus dibiarkan tanpa terkendali, maka
01
02
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
fungsi dan daya dukung lingkungan akan tergerus secara terus menerus. Dan jika pertumbuhan ekonomi ingin dicapai secara berkelanjutan, maka baik kerugian dan kerusakan lingkungan maupun eksploitasi sumber daya alam yang kian meningkat ini harus dihentikan, atau dikelola secara strategis dan hati-hati, sehingga kegiatan pembangunan yang menimbulkan polusi dan kerusakan kekayaan alam bisa dihindari dan dikendalikan secara efektif. 3. Pemerintah Indonesia telah membuat komitmen dan kebijakan untuk mengimplementasikan Peraturan Presiden No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumahkaca (RAN GRK) yang akan dicapai pada tahun 2020. Implementasi dari kebijakan nasional dan peraturan untuk pengendalian dampak perubahan iklim ini ini akan membutuhkan sumber daya ekonomi dan pendanaan skala besar, yang perlu dipersiapkan secara memadai melalui strategi perencanaan dan penganggaran berjangka menengah ke jangka panjang pada tingkat nasional, sektoral dan daerah. Tujuan. Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau (P3H) ini bertujuan untuk merespon isu-isu strategis tersebut diatas dengan cara memberikan prioritas utama pada pendekatan ekonomi hijau agar dapat mengurangi tingkat kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim dan resiko-resiko lingkungan dan meminimalkan kerugian dan kerusakan terhadap sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi. Strategi ini menggunakan kebijakan dan instrumen paling efektif yang perlu diterapkan, dan membuatskenario yang menunjukkan tingkat sumber daya yang perlu disediakan untuk investasi pembangunan hijau. Semua itu bertujuan untuk mewujudkan bagaimana mengarus-utamakan kebijakan pembangunan hijau dan rendah karbon ke dalam proses perencanaan dan penganggaran nasional agar sesuai dengan RPJMN 2015-2019 dan sekaligus memperkenalkan metode penentuan prioritas baru dalam kebijakan pembangunan nasional, sektoral dan daerah. Prinsip-prinsip panduan. Strategi P3H ini juga dipandu oleh lima prinsip utama untuk mendukung pelaksanaan pembangunan hijau: 1. Integrasi regional Indonesia sebagai negara kesatuan (Negara Kesatuan Republik Indonesia - NKRI), untuk berbagi dan mendistribusikan tekanan pada sumber daya alam yang terbatas dan membuka peluang baru untuk pemanfaatan sumber daya alam secaraadil, merata dan berkelanjutan di semua wilayah Negara. 2. Memanfaatkan bonus demografi dan menawarkan kesempatan kerja baru dalam jenis pekerjaan yang bernilai tinggi, dengan biaya lingkungan yang relatif rendah. 3. Membuat Valuasi sumber daya alam dan penggunaan hasil valuasi atas nilai SDA ini dalam rancangan kebijakan pembangunan secara berkelanjutan. 4. Mempertimbangkan sinergi, keamanan dan kesinambungan dalam memenuhi kebutuhan rakyat akan sumberdaya pangan, energi dan air serta mendorong efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya alam tersebut. 5. Menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik, dengan partisipasi masyarakat yang luas dalam pemanfaatan semua sumber daya, keterampilan dan kapasitas yang tersedia. 1.2 Metodologi dan Proses Proses Penyusunan Strategi P3H. Penyusunan Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau ini diprakarsai dan disiapkan oleh Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Perumusan strategi ini memperoleh bimbingan dari
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
panel Penasihat Senior dari unsur pemerintah dan swasta, dan juga panduan tehnis dan rinci dari para pejabat kunci dari delapan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan Ekonomi Hijau, yang telah melakukan pertemuan dan konsultasi reguler melalui tujuh kali forum lokakarya. Suatu Tim konsultan dan tenaga ahli Indonesia dan internasional membantu persiapan, serta proses formulasi kebijakan dan penulisan dokumen strategi ini dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Pendekatan. Strategi P3H menunjukkan bagaimana menutup adanya Kesenjangan Ekonomi Hijau (GE Gap) yang merupakan selisih antara apa yang perlu dilakukan untuk menghindari munculnya berbagai permasalahan ekonomi, sosial & lingkungan, dan tingkat investasi pembangunan hijau yang diperlukan saat ini, baik oleh pemerintah maupun swasta. Dengan demikian, Kesenjangan Ekonomi Hijau yang mencapai 50% menunjukkan bahwa investasi pembangunan hijau saat ini perlu dilipat gandakan untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 7% per tahun. Untuk menggambarkan Kesenjangan Ekonomi Hijau, dan bagaimana mengatasi kesenjangan tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut. A. Memahami skala tantangan, melalui: 1. Memperkirakan besarnya kerugian dan kerusakan yang mungkin akan terjadi karena perubahan iklim dan degradasi sumber daya alam, jika tidak dilakukan investasi pembangunan hijau. B. Memilih beberapa prioritas dan menjelaskan faktor-faktor yang menentukan dampak kebijakan, termasuk: 1. Mengkaji strategi dan kebijakan yang ada, terkait dengan ekonomi hijau (misalnya RAN/RAD-GRK, RAN-API dan Green Paper Kemenkeu) untuk menyusun daftar panjang bidang-bidang kebijakan pembangunan hijau; 2. Memilih 21 kebijakan/program prioritas yang paling penting, dan mengelompokkannya menjadi 6 kategori area program; 3. Meninjau instrumen kebijakan yang digunakan dan memperkirakan rasio daya ungkit (leverage ratio), yaitu seberapa besar belanja pengeluaran publik dapat mengungkit atau memunculkan terjadinya investasi baru atau pengeluaran dana tambahan oleh pihak swasta; 4. Menganalisis efektivitas belanja pengeluaran publik ini dalam mengurangi kerugian dan kerusakan SDA , baik untuk pemerintah maupun swasta. C. Analisa atas investasi pembangunan hijau dewasa ini dan dampaknya, termasuk: 1. Tingkat investasi pembangunan hijau oleh pemerintah saat ini; 2. Instrumen kebijakan yang digunakan dalam anggaran pengeluaran baru-baru ini, yang menentukan rasio daya ungkit dan investasi pembangunan hijau oleh swasta; dan 3. Berkurangnya jumlah kerugian dan kerusakan SDA yang disebabkan oleh investasi hijau dewasa ini. D. Menentukan skenario untuk investasi pembangunan hijau di masa depan dan dampaknya, termasuk: 1. Sejauh mana anggaran belanja publik dapat diubah menjadi pengeluaran pembangunan hijau;
03
04
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
2. Sejauh mana pergeseran ke arah instrumen berdaya ungkit tinggi (seperti insentif dan peraturan) dapat mempercepat investasi pembangunan hijau oleh swasta; dan 3. Berkurangnya skala kerugian dan kerusakan SDA sebagai hasil dari investasi pembangunan hijau di masa depan. E. Membuat Perkiraan mengenai Kesenjangan Ekonomi Hijau, yang merupakan selisih antara jumlah kerugian dan kerusakan serta sejauh mana investasi pembangunan hijau saat ini dapat menghindari dan/atau mengurangi kerugian dan kerusakan SDA dan sekaligus juga menumbuhkan ekonomi, baik: 1. Untuk meniningkatkan investasi pembangunan hijau saat ini (misalnya dari tahap A dan B); dan 2. Untuk skenario investasi pembangunan hijau di masa depan (misalnya dari tahap A dan C), yang menunjukkan seberapa jauh kesenjangan tersebut dapat diatasi. F. Menjelaskan metode untuk mengelola perencanaan dan penganggaran pembangunan hijau, termasuk perubahan terhadap penilaian kebijakan dan praktik anggaran. Gambar 1. Metodologi untuk Estimasi Kesenjangan Ekonomi Hijau (Ringkasan Gambar 2 Halaman 5) B1: Strategi terkait Ekonomi Hijau
B4: Efektifitas dari setiap prioritas
A1: Kerusakan dan kerugian SDA
C3/D3: Kerusakan dan kerugian yang bisa dihindari
E1/E2: Kesenjangan Ekonomi Hijau
Investasi pembangunan hijau dari setiap prioritas B2: Langkah prioritas dan instrumen
C1/D1: Publik
B3: Rasio daya ungkit setiap instrumen
C2/D2: Swasta
1.3 Identifikasi Prioritas dan Instrumen Terkait Dari daftar panjang kegiatan pembangunan oleh 8 Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kebijakan/program Ekonomi Hijau yang ada (misalnya RAN-GRK, RAN-API dan Green paper, lihat Lampiran 4 halaman 120) kemudian dipilih 21 bidang/program teratas yang diambil sebagai prioritas utama untuk mewujudkan Ekonomi Hijau. Pembuatan Daftar Prioritas program ekonomi hijau tersebut dilakukan oleh tim pejabat dari 8 K/Ltersebut di atas dengan menggunakan kriteria dan indikator yang disusun dan disepakati bersama, melalui tujuh rangkaian pertemuan konsultasi. Daftar 21 program prioritas ekonomi hijau tersebut kemudian dikelompokkan kedalam 6 area/bidang kebijakan sebagai berikut: (1) Perlindungan sumberdaya alam, (2) Pertanian; (3) Energi dan Industri; (4) Transportasi dan Tata-kota & Tata-Daerah; (5) Kesehatan & Pendidikan; dan (6) Penanggulangan Bencana & Kebijakan Pendukung lainnya.
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Tabel 1. Daftar 21 Program Prioritas dan Instrumen yang Dapat Digunakan (dari SP3H Gambar 2) No. Prioritas
Instrumen Utama yang Dapat Digunakan
1
Anggaran belanja, informasi, perizinan, program CSR
Perlindungan Hutan
2
Perlindungan Lahan Gambut
Anggaran belanja, kebijakan fiskal/pendanaan, regulasi, sosialisasi
3
Perlindungan Terumbu karang
Anggaran belanja, regulasi, sosialisasi/penyadaran masyarakat
4
Adaptasi Perubahan Iklim
Anggaran belanja, kebijakan keuangan, sosialisasi
terhadap Panen 5
Tanaman Perkebunan
Kebijakan pendanaan/perbankan, regulasi, program CSR
6
Irigasi
Anggaran belanja, pendanaan, regulasi
7
Efisiensi Energi
Hibah, subsidi, insentif pajak, pendanaan, perizinan, pengendalian harga, sistem kuota
8
Energi Terbarukan
9
Efisiensi Sumber
Hibah, subsidi, insentif fiskal, pendanaan, perizinan, regulasi, CSR
10
Harga BBM
Anggaran belanja, kebijakan pengendalian harga
11
Daya Skala Besar
Hibah, subsidi, insentif pajak, pendanaan, perizinan, pengendalian harga, sistem kuota
12
Tambang Berkelanjutan
Regulasi, informasi, insentif fiskal, kredit bank, CSR
13
CSR
Insentif fiskal/keuangan
14
Transportasi Publik
Anggaran belanja, hibah, subsidi; insentif fiskal, pengaturan harga, CSR
15
Pengendalian Limbah
Anggaran belanja, hibah, subsidi, insentif pajak, pendanaan, perizinan, sistem kuota
16
Jalan/Jembatan
Anggaran belanja
17
Infrastruktur Daerah
Anggaran belanja, hibah, subsidi; insentif fiskal, pengaturan harga, CSR
18
Pendidikan Hijau
Anggaran belanja, regulasi, sosialisasi
19
Kesehatan Sensitif Perubahan Iklim
Anggaran belanja, regulasi, sosialisasi
20
Manajemen Risiko Bencana
Anggaran belanja, regulasi, sosialisasi
21
Koordinasi Ekonomi Hijau
Anggaran belanja, regulasi, sosialisasi
Tabel 1. di atas adalah daftar dari 21 kebijakan/program prioritas pembangunan hijau dan rangkuman dari instrumeninstrumen kebijakan yang tersedia/bisa diterapkan untuk masing-masing prioritas tersebut di atas. Penyediaan anggaran dan pengeluaran belanja Negara secara langsung merupakan perangkat kebijakan yang paling tepat untuk program perlindungan terhadap lingkungan dan SDA, pertanian rakyat, dan beberapa unsur penataan kota, pelayanan sosial dan koordinasi kebijakan publik. Instrumen hibah, subsidi, insentif pajak dan keuangan (misalnya subsidi suku bunga bank, penjaminan simpanan, dana pinjaman bersyarat lunak) akan sangat bermanfaat untuk program energi dan industri dan juga untuk beberapa unsur program transportasi dan penataan kota. Dana kredit/pinjaman bersyarat lunak juga berguna sekali untuk mendorong sistem pertanian ramah lingkungan. Pengaturan perizinan, pengendalian harga, dan sistem pengaturan kuota juga sangat relevan untuk program energi dan tata-kota ramah lingkungan, serta sistem pengaturan perizinan yang efektif amat penting untuk program perlindungan hutan dan lahan gambut. Adanya regulasi atau peraturan pemerintah yang jelas diperlukan untuk berbagai program prioritas itu, begitu pula program CSR perusahaan Swasta & BUMN dan upaya sosialisasi kepada berbagai lapisan dan kelompok masyarakat. Strategi P3H mendorong perlunya ada penerapan instrumen kebijakan/program yang semula hanya mengandalkan penggunaan anggaran belanja negara, kemudian secara cepat ataupun bertahap bisa beralih kepada instrumen
05
06
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
pendanaan dan investasi oleh sektor swasta dan masyarakat, melalui peningkatan peran sektor keuangan, seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi. Selain itu juga mengubah peran Pemerintah dari penyedia anggaran kepada peran sebagai regulator, yang menentukan standar, persyaratan, perizinan dan pengaturan tentang pembangunan hijau yang berkelanjutan. Adanya pergeseran peran dan instrumen kebijakan Pemerintah tersebut akan mengurangi beban dan tekanan pada anggaran Negara, sehingga bisa lebih difokuskan penggunaannya kepada program pelayanan sosial kepada masyarakat umumnya. Dan lebih penting lagi, pengurangan anggaran belanja dan perubahan peran Pemerintah tersebut akan bisa memberi peluang lebih besar bagi mobilisasi peran dan kapasitas sektor swasta, organisasi filantropi dan organisasi- organisasi masyarakat sipil lainnya untuk berperan-serta secara aktif dalam pelaksanaan program pembangunan ekonomi hijau, baik secara langsung maupun melalui partisipasi para pegawai dan karyawan dari perusahaan dan organisasi tersebut. Daya Ungkit dan Peran Sektor Swasta. Ketika suatu negara sedang berubah dari statusnya sebagai negara berpenghasilan menengah menjadi berpenghasilan tinggi, maka Negara tersebut akan mengalihkankebijakannya dari semula hanya mengandalkan intervensi anggaran belanja publik secara langsung menjadi ke arah kebijakan dan instrumen yang lebih mengandalkan kapasitas sektor swasta. Pada awalnya, hal ini dilakukan dengan cara menerapkan kebijakan pemberian insentif yang lebih besar oleh Pemerintah kepada Swasta (misalnya berupa hibah, subsidi dan insentif pajak). Dengan berkembangnya sektor keuangan, sektor swasta akan mengambil sebagian dari peran pemerintah tersebut dengan memanfaatkan kebijakan yang terkait dengan insentif yang diberikan (misalnya melalui penjaminan dan subsidi suku bunga pinjaman), sehingga memperluas ketersediaan tenaga ahli dan sumber daya untuk ekonomi hijau dan dengan demikian meningkatkan rasio daya ungkit kebijakan dan regulasi pemerintah kepada Swasta. Pada akhirnya nanti bisa terjadi bahwa kebijakan ekonomi hijau akan bisa berjalan hanya berdasarkan pada Peraturan Pemerintah saja, sedangkan penggunaan anggaran belanja publikakan digunakan hanya untuk membiayai upaya penegakan hukum dan pelaksanaan peraturannya saja. Bukti-bukti mengenai rasio daya ungkit untuk berbagai jenis instrumen ini terutama diperoleh dari pengalaman internasional (lihat Lampiran 1). Tabel 2. Jenis Instrumen dan Rasio Daya Ungkit Kebijakan Terkait (Lihat SP3H Tabel 7) Kategori Jenis intervensi
Rasio leverage
A
Pengeluaran Anggaran Belanja langsung pemerintah, yang memiliki efek daya ungkit terbatas
0 hingga 1
B
Transfer keuangan (termasuk insentif pajak) untuk perusahaan swasta/BUMN
2 hingga 4
C
Pendanaan melalui bank dan lembaga keuangan lainnya
3 hingga 5
D
Pengawasan peraturan pemerintah & promosi, dengan biaya penegakan hukum/pelaksanaan peraturan
E
Transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk inisiatif kegiatan ekonomi hijau
4 hingga 6 Apapun dari yang diatas
F
Kampanye kesadaran masyarakat dan investasi dalam bentuk pemberdayaan kelembagaan & masyarakat
Banyak variasi
Dengan meninjau tingkat kepentingan dari berbagai kebijakan dan jenis instrumen yang digunakan untuk masingmasing prioritas, Strategi P3H menghasilkan perkiraan rasio daya ungkit rata-rata untuk beberapa prioritas, yang mana berdasarkan rasio tersebut estimasi dapat dilakukan untuk menghitung daya ungkit investasi pembangunan hijau oleh pihak swasta.
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
1.4 Skala Tantangan Ekonomi Hijau Strategi P3H dimulai dengan penilaian terhadap kemungkinan timbulnya kerugian dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim dan degradasi sumber daya alam. Hasil penilaian itu menunjukkan bahwa pada tahun 2050 pertumbuhan PDB Indonesia akan berkurang dari 7% menjadi 3,5%, jika tidak ada investasi pembangunan hijau. Penurunan pertumbuhan ini akan terjadi secara bertahap setiap tahunnya sehingga pengurangan berkisar pada 0,1% pada tahun 2016, 0,2% pada 2017 dan 1,0% pada tahun 2025. Namun demikian, dampak akan bersifat kumulatif, dan ini berarti bahwa PDB tahun 2033 akan hanya 3 kali lebih tinggi, tidak mencapai 3,6 kali lebih tinggi seperti yang diharapkan. Pada tahun 2050, PDB akan menjadi 46% lebih rendah dari yang seharusnya terjadi (jika tanpa perubahan iklim dan degradasi sumber daya alam). Analisa kerugian dan kerusakan ini menggunakan berbagai sumber referensi, dengan rincian yang terdapat pada Laporan Perkembangan 2015 ini. Hasil analisa ini juga diperoleh dari berbagai sumber pemodelan yang ada, termasuk pekerjaan ADB untuk Asia Tenggara. Merangkum beberapa angka kerugian dan kerusakan pada SDA dan potensi ekonomi yang digunakan dalam Strategi P3H. Tabel 3. Rincian Estimasi Kerugian dan Kerusakan Sumber Kerugian dan Kerusakan SDA dan Pertumbuhan Ekonomi
Kerugian/kerusakan (%GDP)
Kerugian dan kerusakan terkait dengan Perubahan Iklim Kerugian di dalam produktivitas pertanian karena kenaikan suhu dan lebih banyak variasi curah hujan
0,85%
Kerugian dan kerusakan pada tanaman akibat banjir dan kekeringan
0,05%
Kerugian akibat peningkatan serangan hama pada tanaman pangan
0,05%
Peternakan, kehutanan dan perikanan (keterbasan dasar untuk melakukan estimasi)
0,01%
Kerugian di sektor energi dikarenakan kerugian transmisi yang lebih tinggi dan biaya pendinginan
0,02%
Percepatan degradasi jalan, irigasi, infrastruktur sanitasi dan perairan
0,55%
Kerusakan akibat banjir / badai terhadap properti dan korban jiwa, cedera dan penyakit
0,09%
Banjir dan salinasi di wilayah pesisir (tidak ada dasar untuk estimasi)
0,00%
Peningkatan terjadinya penyakit diare dan penyakit lainnya yang sensitif terhadap perubahan iklim
0,78%
Total kerugian akibat Perubahan Iklim
2,40%
Kerugian dan kerusahaan terkait dengan degradasi Sumber Daya Alam Penurunan PDB dari aktivitas deforestasi hutan
0,17%
Biaya erosi tanah dari perubahan penggunaan lahan.
0,68%
Biaya kesehatan yang timbul karena peningkatan polusi
0,25%
Total kerugian akibat dari degradasi Sumber Daya Alam
1,10%
Jumlah total kerugian dan kerusakan
3,50%
Selain kerugian dan kerusakan tersebutdi atas, Strategi P3H juga mengakui adanya backlog dari eksploitasi sumber daya alam masa lalu yang telah memberikan PDB yang lebih tinggi dari yang mungkin terjadi dengan memasukkan unsur pembangunan berkelanjutan. Backlog ini tercermin dalam kenyataan bahwa PDB Hijau ini lebih rendah dari dari ukuran PDB konvensional (berkisar antara 4% dan 7%). Akibatnya, pertumbuhan PDB harus mencapai 7,3%, dan bukannya 7%, jika Indonesia ingin mencapai status negara berpendapatan tinggi (HIC) tahun 2033.
07
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
1.5 Kegiatan Ekonomi Hijau yang Ada Pemerintah sudah menyediakan sumber daya yang cukup berarti untuk mendukung kegiatan ekonomi hijau. Perkiraan ini dibuat dengan mengkaji seluruh anggaran belanja pemerintah. Bagi Kementerian dan Lembaga yang diperkirakan sudah memiliki beberapa kegiatan ekonomi hijau, daftar lengkap dari kode kegiatan tersebut dikaji dan diberikan bobot skor (GE%) bagi setiap kegiatan yang dianggap memberikan manfaat hijau (lihat Lampiran 1 halaman 102). Skor GE% didasarkan pada pengalaman internasional dengan memperkirakan ukuran relatif dari manfaat hijau, dibandingkan dengan manfaat pembangunan normal pada umumnya. Gambar 2. Pengeluaran Anggaran Ekonomi Hijau oleh Pemerintah Pusat
45,000
1.6%
40,000
1.4%
35,000
1.2%
30,000 1.0% 25,000 0.8% 20,000 0.6%
15,000
0.4%
10,000
Gambar 2 di samping menunjukkan bahwa, pada tahun 2014, sekitar 1,0% dari belanja pengeluaran publik (atau Rp 18,6 triliun) dikhususkan untuk investasi ekonomi hijau (lihat Tabel 13 SP3H). Selama empat tahun terakhir, telah terjadi peningkatan belanja secara nominal, namun tidak ada tren yang jelas dalam pengeluaran tersebut sebagai persentase % dari total pengeluaran publik. Grafik tersebut juga menunjukkan trend yang diharapkan untuk belanja pengeluaran dibawah skenario pertama yang didefinisikan dalam Strategi P3H. Pengeluaran ekonomi hijau diharapkan meningkat menjadi sekitar 1,4% dari total belanja pengeluaran publik pada tahun 2020
20 19 20 20
20 17 20 18
20 16
20
Total (IDR tr)
20 15
0.0% 20 14
0 20 13
0.2%
12
5,000
20 11
08
Total (% of public expenditure)
Catatan: Angka yang tertera merupakan pengeluaran tertimbang – yaitu pengeluaran total dikalikan dengan GE% (lihat diatas)
Grafik di bawah merangkum tren anggaran belanja pengeluaran untuk masing-masing dari 21 prioritas pembangunan hijau. Rincian lebih lanjut disediakan di kolom ketiga dari Lampiran 1 dari Laporan Perkembangan ini. Rasio daya ungkit rata-rata sebelumnya adalah 1,87, sehingga investasi hijau oleh sector swasta yang diungkit oleh kebijakan publik adalah Rp 34,6 triliun.
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Gambar 3. Pengeluaran Terbaru dari Kegiatan Ekonomi Hijau (Lihat SP3H Gambar 7) 8.000
Original Budget (IDR bn)
7.000 2011
2012
2013
2014
6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000
Fo re Pe st at pr la ot nd ec re tio ha n Co bili ad t a ra ap tio lp te n ro d te cr Pl o c an tio ps ta n /p tio ra ct n ic (e es sp oi lp al m Irr ) En ig at er io gy n Re ef fic ne ie w nc ab Re y le so en ur e ce rg y ef fic ie nc Fu y La el rg pr e i ci sc ng Su al e st po ai na w er bl e m in in g Pu bl CS ic R tra ns po rt Cl W im Di as sa at te Re e st pr er gi oo on re fin du al g ct an i o d G n/ ur E m ba co an n or ag di em na en tio t n & M &E
0
1.6 Efektivitas Kebijakan Publik Efektifitas dari anggaran belanja negara untuk pembangunan hijau mengacu pada sejauh mana kegiatan yang dilakukan memberi tambahan manfaat bagi pembangunan hijau. Perkiraan efektivitas dilakukan untuk setiap kegiatan dari 21 prioritas, berdasarkan dua sumber berikut ini: Dimana jika tersedia data dari studi kasus yang menggunakan metoda "analisis biaya-manfaat" (cost benefit
analysis-CBA), maka data tersebut digunakan sebagai sumber utama. Laporan "Kerangka Fiskal untuk Mitigasi Perubahan Iklim (Mitigation Fiscal Framework)" dari Kementerian Keuangan tahun 2012 memuat data dari beberapa studi kasus di Indonesia dan juga dari sumber internasional lainnya. Bukti-bukti ini diringkas dalam Lampiran 2 Strategi P3H 2014. Tim inti dari pejabat instansi pemerintah terkait melakukan penilaian terstruktur untuk memperkirakan nilai
manfaat relatif dari masing-masing prioritas ekonomi hijau. Juga diberikan petunjuk yang menghubungkan skor manfaat ekonomi hijau dengan deskripsi kualitatif dari hasil Analisa Biaya-Manfaat (lihat Tabel 10 SP3H). Misalnya, jika manfaat lingkungan dianggap 'kuat, positif, dan dimungkinkan dengan upaya sendiri, karena biayanya bisa ditanggung sektor publik / swasta', maka mereka diberi skor 1,5-2,0. Jika manfaat sosial dianggap 'kecil manfaatnya, perlu dicatat namun tidak mungkin dilaksanakan karena pertimbangan faktor biaya', maka mereka diberi skor 0,1-0,4. Meskipun sudah ada pedoman tersebut di atas, seringkali terjadi bahwa pendapat para pejabat ahli dari instansi pemerintah tersebut memberikan hasil yang jauh lebih tinggi daripada hasil analisa CBA, dimana hasil CBA itu tersedia. Hal ini dianggap mencerminkan 'bias optimisme', sehingga pendapat dari pejabat ahli tersebut perlu diperkecil dengan menggunakan faktor yang sama, agar memberi hasil yang lebih realistis dengan hasil analisa berdasarkan CBA.
09
10
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Gambar 4. Efektivitas dari 21 Prioritas NPV of Benefits as Ratio of NPV Costs 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Forest protection Peatland rehabilitation Coral protection Adapted crops/practices Plantation (esp oil palm) Irrigation Energy efficiency Renewable energy Resource efficiency Fuel pricing Large scale power
ST Econ LT Econ Social equity Environment Mitigation Adaption
Sustainable mining Public transport Waste Climate proofing Regional and urban CC sensitive health
1.7 Skenario untuk Mengurangi Kerugian dan Kerusakan Skenario. Ada tiga skenario yang digunakan untuk mengurangi kerugian dan kerusakan, meliputi anggaran belanja negara, efektivitas kebijakan publik dan daya ungkit investasi pembangunan hijau untuk sektor swasta. Skenario pertama, mencakup pencapaian pertumbuhan 7% pada PDB Hijau yang membutuhkan peningkatan
jumlah persentase belanja anggaran pemerintah pusat (APBN) yang dikhususkan untuk prioritas pembangunan hijau, dari tingkat saat ini 1,0% menjadi 3,8% pada tahun 2025. Hal ini termasuk membuat belanja pengeluaran yang ada menjadi lebih hijau tanpa harus meningkatkan jumlah total anggaran pengeluaran. Skenario kedua, meningkatkan persentase anggaran belanja pengeluaran publik hanya menjadi 1,6% pada tahun
2025, dan berhasil mencegah setengah dari kerusakan yang timbul dari perubahan iklim dan degradasi sumber daya alam. Akibatnya, PDB total akan menjadi lebih rendah hampir 10% pada tahun 2025 dan status sebagai negara berpendapatan tinggi (HIC) baru akan tercapai dua tahun kemudian (pada 2035). Skenario ketiga, anggaran belanja pengeluaran publik mencapai tingkat yang sama dengan skenario kedua,
namun berhasil dalam mempercepat pengurangan ketergantungan pembiayaan pada sektor publik dan mengalihkan investasi pembangunan hijau ke sektor swasta dan masyarakat sipil, dengan rasio daya ungkit meningkat tiga kali lebih cepat. Hal ini dapat melindungi Indonesia dari sekitar tiga perempat dari kerusakan yang mungkin terjadi dari perubahan iklim dan degradasi sumber daya alam. PDB Total hanya 5% lebih rendah pada tahun 2025 dan status negara berpendapatan tinggi HIC tercapai pada tahun 2034. Dampak dalam mengurangi kerusakan / kerugian SDA. Dampak dari tiga skenario tersebut dalam mengurangi kerugian dan kerusakan sumberdaya alam dan pertumbuhan ekonomi didasarkan pada evaluasi efektivitas kebijakan, karena manfaat tambahan pembangunan hijau berasal dari upaya menghindari kerugian dan kerusakan SDA tersebut. Dalam kasus mitigasi perubahan iklim, manfaat yang diperoleh adalah dari upaya bersama melaksanakan mitigasi global, dan oleh karena itu diasumsikan bahwa persentase Indonesia dari manfaat mitigasi global akan sebanding dengan persentase dari anggaran belanja pengeluaran publik untuk mitigasi perubahan iklim secara global.
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Gambar 5. Dampak dari Tiga Skenario Belanja Pengeluaran Publik untuk Mengatasi Kerugian / Kerusakan akibat Perubahan Iklim dan Degradasi SDA 140000 Kerugian san kerusakan dari perubahan ilkim dan NR 120000
PDB dengan perubahan iklim dan kerusakan NR PDB dengan tingkat BAU pengeluaran hijau
100000 PDB dengan skenario 1 PDB dengan skenario 2
80000
GDP dengan skenario 3 60000
40000
20000
0 2015
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050
Tiga skenario tersebut diatas tidak diharapkan untuk meningkatkan secara substansial jumlah total anggaran belanja pengeluaran pemerintah, seperti ditunjukkan pada gambar di atas. Manfaat yang akan dicapai terutama dengan membuat belanja pengeluaran publik yang ada akan menjadi "lebih hijau", dan bukan "menambah" jumlah anggaran belanjanya. Misalnya, belanja pengeluaran publik untuk perluasan pertanian akan memberikan fokus tambahan kepada praktik pertanian yang menambah kesuburan dan kelembaban tanah, sehingga dapat meningkatkan perlindungan pertanian dari bahaya kekeringan yang sering terjadi. Begitu pula pembangunan jalan, irigasi dan infrastruktur air / sanitasi akan dibangun dengan menggunakan standar yang memperhitungkan peningkatan frekuensi terjadinya banjir, tanah-longsor, dan sebagainya. Tabel 4. Netralitas Anggaran dari Skenario P3H 2020 2014
2033
tanpa GDP Sken 1
2020
2033
Sken 2
Sken 3
2020 2014
IDR trilliun GDP
15.173
2033
tanpa GDP Sken 1
2020
2033
Sken 2
Sken 3
% GDP
10.123
14.904
15.160
15,175
Pendapatan
1.620
2.325
2.367
2.365
2.367
16,0%
15,6%
15,6%
15,6%
15,6%
Pengeluaran
1.873
2.519
2.564
2.562
2.565
18,5%
16,9%
16,9%
16,9%
16,9%
282
415
0
0
0
2,8%
2,8%
2,8%
0,0%
0,0%
19
27
55
39
39
0,2%
0,2%
0,2%
0,4%
0,9%
1.572
2.076
2,509
2.523
2.525
15,5%
15,5%
15,5%
16,5%
16,0%
-253
-194
-197
-197
-197
-2,5%
-1,3%
-1,3%
-1,3%
-1,3%
Pembiayaan Pemerintah Pusat
Untuk subsidi Pengeluaran PDB Pengeluaran non PDB Neraca
Implikasi untuk Kementerian teknis tergantung pada proporsi anggaran belanja negara yang tersedia untuk dibuat menjadi lebih hijau. Tabel di bawah ini menunjukkan proporsi belanja pengeluaran untuk Kementerian/Lembaga kunci yang perlu 'dibuat lebih hijau', untuk merespon perubahan iklim dan mengurangi degradasi sumber daya alam. Untuk nilai persentasi % yang lebih tinggi dari 100%, berarti tidak akan mungkin untuk mengandalkan sepenuhnya pada anggaran yang ada (untuk dibuat lebih hijau), dan menjadi penting untuk meningkatkan total anggaran Kementerian/Lembaga tersebut.
11
12
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Tabel 5. Menghijaukan Anggaran Belanja Kementerian Teknis 2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
Belanja Pembangunan Hijau dalam % total anggaran pengeluaran Kemenhut
51%
61%
74%
90%
108%
127%
149%
Kementan
5%
6%
7%
8%
10%
11%
12%
KemenPU
4%
5%
5%
6%
7%
8%
9% 14%
KemenESDM
8%
9%
10%
11%
12%
13%
Kemenperin
2%
2%
3%
3%
4%
4%
4%
Kemenhub
21%
24%
27%
32%
36%
41%
45%
Kemendagri
0%
0%
0%
0%
1%
1%
1%
Bappenas
85%
98%
113%
131%
149%
167%
186%
KemenLH
72%
86%
102%
122%
145%
169%
195%
1.8 Implementasi Strategi P3H Koordinasi. Strategi P3H 2014 merumuskan fungsi dari berbagai kementerian/lembaga yang terlibat dalam 21 program prioritas Ekonomi Hijau seperti ditunjukkan pada Tabel 6. berikut. Tabel 6. Tugas Utama dan Tanggung Jawab Kementerian / Lembaga dalam Mengimplementasikan Strategi P3H 2015
2016
2017
2018
2019
2020
>>>>
----
------
------
------
Menggunakan strategi P3H untuk memastikan kehijauan RPJMN/D (Kemenkeu/Bappenas)
----
Perbaikan penilaian kebijakan hijau (Kemenkeu/Bappenas/DNPI/K-L)
>>>
Memanfaatkan Strategi P3H untuk menilai usulan anggaran (Kemenkeu/Bappenas)
---
---
---
---
---
---
Paragraf hijau dalam usulan anggaran (K-L)
- - -
- - - -
------
------
------
------
--
--
--
--
--
Memasukkan paragraf hijau dalam anggaran (Kemenkeu) Modalitas regulasi/pembiayaan baru (Kemenkeu/K-L) Penguatan penilaian sumberdaya alam (BPS) Laporan P3H tahunan, termasuk manfaat gabungan (PKPPIM)
- - -
- - - -
------
------
------
------
------
------
------
------
------
>>>
>>>>
------
------
------
------
Konsolidasi rintisan hibah Pemda dan perluasannya (Kemenkeu)
>>>>
>>>>
------
------
------
------
Eksplorasi pilihan perencanaan hijau di level Pemda (Pemda)
>>>
>>>>
------
------
------
------
Catatan: >> terkait dengan persiapan untuk membangun kapasitas dan mengembangkan praktek, sementara '--' terkait dengan pembentukan pekerjaan institusi rutin
Penggunaan Anggaran Publik untuk Pelaksanaan Strategi P3H. Kemenkeu dan Bappenas berbagi tanggung jawab dalam hal penentuan prioritas dan penggunaan anggaran belanja untuk beberapa bidang kegiatan yang berbeda. Kunci keberhasilan untuk melembagakan rencana program dan alokasi anggaran K/L yang lebih besar dalam Anggaran Pembangunan Hijau adalah dengan mengharuskan Kementerian dan Lembaga untuk membuat kegiatan, memastikan kebijakan dan mengusulkan anggaran belanja yang sudah 'dibuat lebih hijau' dalam pengajuan proposal anggarannya kepada Bappenas dan Kemenkeu. Ini berarti bahwa kegiatan yang dianggarkan harus dirancang untuk memenuhi kriteria berikut: a) menghasilkan pengurangan emisi GRK yang maksimal; b) mempertimbangkan perubahan iklim (dan terutama peningkatan intensitas dan variabilitas curah hujan); dan c) menghindari degradasi sumber daya alam yang tidak perlu.
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Upaya "penghijauan" siklus anggaran akan diwujudkan melalui langkah-langkah sebagai berikut: Bappenas/Kemenkeu harus memastikan bahwa ada pedoman kebijakan dan arahan umum yang jelas (dalam
RAPBN, RKP, Renstra K/L) mengenai prioritas anggaran yang memerlukan dimensi ekonomi hijau yang harus dimasukkan dalam rencana pembangunan jangka menengah, serta rencana kerja dan anggaran tahunan. Kementerian Teknis harus memastikan bahwa semua kegiatan dalam rencana kerja mereka (RENJA K/L) harus
memenuhi kriteria ekonomi hijau. Kemenkeu/Bappenas menerbitkan pedoman bagi Kementerian Teknis (KEM, PPKF, MTEF), yang mengharuskan
semua rencana kerja harus sesuai dengan persyaratan ekonomi hijau. Kementerian Teknis harus memastikan bahwa rencana kerja dan anggaran (RKA-KL) juga sudah sesuai dengan
persyaratan ekonomi hijau. Pengajuan Anggaran akan memiliki atribut/tanda (tag) Ekonomi Hijau dan bobot skor penilaian, yang akan
diintegrasikan dalam perangkat lunak anggaran. Kemenkeu akan menggunakan ini untuk menyusun laporan pendamping yang menunjukkan sejauh mana setiap Kementerian mengikuti skenario pengeluaran ekonomi hijau. Laporan-laporan ini akan disusun sebagai bagian dari akuntabilitas kepada publik. Juga akan diterbitkan sebagai laporan pendamping terkini ('real time') selama negosiasi anggaran. Pemantauan dan Evaluasi. Pemantauan atas pelaksanaan Strategi P3H akan dilakukan melalui sistem dengan 3 tingkat indikator (Lihat Bagian 5.4 Strategi P3H 2014): 6 indikator dampak tingkat tinggi (PDB hijau, cadangan mineral, kemiskinan, tutupan vegetasi, emisi GRK, indeks
kerentanan), yang menampilkan hanya perubahan bertahap, dan hanya akan diperbarui ketika ada sumber data baru (misalnya survei rumah tangga) yang tersedia. 7 indikator proses tingkat tinggi (kelompok antar-Kementerian, referensi anggaran, strategi hijau Provinsi,
penilaian investasi hijau, pelaporan pengeluaran hijau, debat publik, Laporan Kemajuan Tahunan). 15 indikator untuk memantau pelaksanaan 21 program prioritas teratas, seperti yang tercantum dalam Strategi
P3H 2014.
13
14
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
2. PERKEMBANGAN STRATEGI P3H TAHUN 2015 Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau (Strategi P3H) ini dirancang oleh PKPPIMKementerian Keuangan pada akhir 2013 dan diselesaikan pada bulan November 2014. Setelah itu, banyak peristiwa dan perkembangan baru yang terjadi dan berkaitan dengan kebijakan dan isu-isu ekonomi hijau yang mempengaruhi Strategi P3H. Laporan Perkembangan P3H tahun 2015 ini memberikan informasi terbaru dan ulasan tentang dinamika dan perkembangan terkini mengenai berbagai aspek dan topik yang menyangkut beberapa hal sebagai berikut: (a) penjelasan tentang konsep dan tantangan dari pembangunan ekonomi hijau dan Strategi P3H; (b) perubahan strategis dalam arah kebijakan dan agenda pembangunan nasional dari Pemerintahan yang baru; (c) perubahan kelembagaan dan tanggung jawab Kementerian / Lembaga yang baru dibentuk dan terkait dengan kebijakan Ekonomi Hijau; (d) ulasan tentang perkembangan mutakhir dari 21 program prioritas P3H dan instrumen pelaksanaannya; (e) kajian atas perkembangan terkini mengenai berbagai bukti-bukti empiris terkait dengan kerugian dan kerusakan sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi dalam 12 bulan terakhir; (f) kajian atas efektivitas kebijakan dan instrumen yang akan diterapkan untuk mengurangi kerugian dan kerusakan SDA dalam konteks nasional dan internasional; (g) perkembangan tentang instrumen keuangan publik untuk mendorong pelaksanaan Ekonomi Hijau dengan pembiayaan sektor swasta; (h) tinjauan dan perkembangan internasional terkini yang menyangkut isu pendanaan perubahan iklim di tingkat global; dan (I) pelaksanaan dan pelaporan Strategi P3H. 2.1 Rangkuman Temuan dalam Strategi P3H tahun 2014 Temuan dalam laporan studi tentang "Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau (P3H)" pada tahun 2014 menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim dan degradasi sumber daya alam berpotensi besar untuk menurunkan laju pertumbuhan ekonomi dan menunda kenaikan Indonesia ke status negara berpenghasilan tinggi (HIC) untuk minimal 5 tahun, apabila tidak ada kebijakan dan tindakan yang segera dilakukan untuk memastikan pola pertumbuhan ekonomi yang "lebih hijau". Sebenarnya, sudah cukup banyak upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mendorong Ekonomi Hijau ini, tetapi kebijakan yang ada dan anggaran belanja publik yang dikeluarkan sejauh ini hanya mampu mengatasi 35% saja dari seluruh tantangan yang ada. Dengan demikian ada semacam "jarak" atau "kesenjangan" yang cukup besar antara tantangan untuk memadai dengan tantangan untuk bisa mengurangi dan menutup besarnya kerugian dan kerusakan SDA yang diperlukan, disebut sebagai "kesenjangan ekonomi hijau" atau "Green Economy (GE) Gap". Uraian selanjutnya dalam bab ini akan lebih menjelaskan pentingnya upaya untuk mengurangi dan/atau menutup kesenjangan ekonomi hijau atau "GE Gap" tersebut. Ada tiga pilihan utama untuk merespon tantangan tersebut dan sekaligus juga untuk mengatasi 'kesenjangan ekonomi hijau', yaitu dengan cara: Memasukkan unsur dan dimensi pembangunan hijau dalam anggaran belanja publik yang ada; Meningkatkan efektivitas kebijakan publik yang ada guna menunjang belanja pengeluaran untuk pembangunan
hijau; dan Mengalihkan kebijakan dengan menggunakan instrumen yang mengandalkan peran sektor swasta.
Kemenkeu memainkan peran kunci dalam ketiga hal tersebut di atas, terutama pada hal kedua (efektivitas kebijakan) dan ketiga (pergeseran instrumen kebijakan). Namun, pertumbuhan ekonomi hijau juga memerlukan keterlibatan Bappenas, Kementerian Teknis dan Pemerintah Daerah, serta respon dan peranserta dari sektor swasta dan LSM/sektor masyarakat.
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Kunci keberhasilannya terletak pada upaya memanfaatkan sumber daya alam yang terbatas secara bijaksana, menggeser prioritas pembangunan dari kegiatan produksi primer yang tidak ramah-lingkungan dan tidak berkelanjutan kepada kegiatan ekonomi bernilai tinggi (misalnya dengan memanfaatkan keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam untuk digunakan sebagai investasi di bidang infrastruktur, sumber daya manusia dan pembangunan daerah). Diperlukan koordinasi yang lebih efektif antara Kemenkeu dengan Bappenas dengan kadar kepedulian yang semakin tinggi terhadap program-program ekonomi hijau, disertai dengan praktik penilaian secara kritis pada kebijakan dan instrumen baru yang diterapkan Kementerian Teknis, terutama KemenLHK dan KemenESDM yang diperkirakan akan menyerap sebagian besar porsi anggaran untuk pengembangan ekonomi hijau ditahun-tahun mendatang. Dalam penerapan kebijakan ekonomi hijau, sebagian besar negara-negara berkembang menempatkan fokus yang kuat pada program adaptasi dibandingkan dengan untuk mitigasi perubahan iklim dan pelestarian lingkungan, dengan lebih dari 90% belanja pengeluaran publik untuk menunjang kebijakan ekonomi hijau ditujukan pada program adaptasi. Sebaliknya, di negara-negara maju sebagian besar belanja pengeluaran untuk ekonomi hijau ditujukan pada aktivitas terkait dengan mitigasi perubahan iklim dan pelestarian lingkungan, seperti yang ditunjukkan oleh panah pada Gambar 6. di bawah ini. Strategi P3H untuk Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia lebih menekankan pada aksi mitigasi dan lingkungan, mengingat statusnya sebagai negara berpenghasilan menengah ke bawah. Hal ini mencerminkan tidak hanya komitmen kuat Indonesia terhadap kerjasama internasional untuk mitigasi perubahan iklim, namun juga karena emisi GRK Indonesia yang terbesar dari sektor kehutanan dan lahan gambut sehingga upaya mitigasi dengan penurunan emisi GRK dan perbaikan terhadap degradasi sumberdaya alam dan lingkungan juga akan memberi dampak dan manfaat positif bagi penguatan program adaptasi dan pertumbuhan ekonomi. Gambar 6. Keseimbangan antara Mitigasi dan Adaptasi Mitigasi & Lingkungan
Eropa Indonesia Thailand
Amerika Serikat Pembangunan
Nepal Adaptasi
Kamboja
Bangladesh
2.2 Arah Strategi Pembangunan Terkini: Nawa Cita dan RPJMN Pemilihan Umum Indonesia pada Juli 2014 telah memilih anggota DPR yang baru dan bulan Oktober 2014 mengganti Pemerintahan dari Presiden SB Yudhoyono ke Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Pergantian pemerintahan ini telah membawa perubahan baru dalam arah kebijakan strategis pembangunan Indonesia, sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta prioritas agenda pembangunan nasional untuk tahun 2015 - 2019. RPJMN 2015-2019: Visi, Misi & Strategi. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk 20152019 telah ditetapkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres) No. 2/2015. RPJMN baru ini memiliki pernyataan visi-misi
15
16
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
pembangunan yang diadopsi dari konsep ideologi Presiden Joko Widodo "TRISAKTI" yang menetapkan bahwa visi pembangunan nasional Indonesia untuk "Terwujudnya Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian berdasarkan Gotong Royong". Visi ini diterjemahkan ke dalam 8 pernyataan misi RPJMN untuk periode 2015-2019 yang mengikuti rumusan sembilan agenda prioritas atau "Nawa Cita" dari Presiden baru. Laporan Perkembangan Strategi P3H tahun 2015 ini membahas secara khusus tiga dari delapan misi pembangunan nasional yang dirumuskan dalam RPJMN untuk periode 2015-2019 (Buku 1, Bab 2.1 butir 2, 6 dan 7), yaitu: Mewujudkan bangsa yang berdaya saing dengan membangun sumberdaya manusia yang berkualitas dan
berdaya saing, meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi menuju inovasi secara berkelanjutan; Mewujudkan Indonesia asri dan lestari dengan memperbaiki pengelolaan pembangunan untuk menjaga
keseimbangan antara pemanfaatan,keberkelanjutan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi dan daya dukung ekosistem serta kenyamanandalam kehidupan di masa kini dan masa depan; dan Mewujudkaan Indonesia menjadi negara kepulauan yang kuat, mandiri, maju dan berbasiskan kepentingan
nasional dengan menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankaan kedaulatan dan meningkatkan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. Strategi & Kebijakan Pembangunan Nasional yang baru. Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJMN) untuk 2015-2019 secara umum telah merumuskan strategi dan kebijakan pembangunan nasional yang baru dengan mengadopsi 3 norma pembangunan atau standar dasar dalam penyelenggaraan pembangunan (Buku 1, Bab 5.2 & 5.3): Pembangunan untuk membangun kualitas kehidupan manusia dan masyarakat; Setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran dan produktivitas ekonomi tidak boleh
menciptakan atau memperlebar ketimpangan, membuat pertumbuhan yang tidak seimbang, dan jalur pembangunan yang tidak berkelanjutan; dan Aktivitas pembangunan tidak boleh merusak atau menurunkan daya dukung lingkungan dan/atau mengganggu
keseimbangan ekosistem. RPJMN 2015-2019 juga merumuskan tiga dimensi dari strategi pembangunan nasional: Dimensi pembangunan manusia, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan dan mental / karakter; Dimensi pembangunan sektor unggulan dengan prioritas pada kedaulatan pangan; kedaulatan energi dan
kelistrikan; kemaritiman dan kelautan; serta pariwisata dan industri; dan Dimensi pemerataan dan kewilayahan, terutama untuk menghilangkan dan memperkecil kesenjangan antar
kelompok pendapatan dan antar daerah, dengan prioritas pada wilayah pedesaan, wilayah pinggiran & perbatasan, wilayah luar Jawa dan Kawasan Indonesia Timur.
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Nawa Cita: Sembilan Agenda Prioritas Pembangunan. Untuk mengimplementasikan pernyataan visi dan misi pembangunan nasional, RPJMN 2015-2019 merumuskan sembilan agenda prioritas pembangunan yang disebut NAWA CITA, sebagai agenda utama dari Presiden baru dalam meneguhkan kembali jalan ideologis pemerintahan gunamencapai tujuan TRISAKTI, yaitu"membangun sebuah Indonesia yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan". Sembilan agenda prioritas pembangunan itu adalah sebagai berikut (RPJMN Buku 1, Bab 5.3). 1. Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara. 2. Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. 3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. 4. Memperkuat kehadiran Negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. 5. Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia. 6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. 7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ke ekonomi domestik. 8. Melakukan revolusi karakter bangsa. 9. Memperteguh kebhinekaan dan restorasi sosial Indonesia. Jika ditelaah dengan seksama agendapembangunan yang dirumuskan dalam Nawa Cita tersebut diatas, maka kita dapat menemukan perspektif atau dimensi ekonomi hijau dalam rumusan agendanya. Berikut ini (Tabel 7) rumusan Agenda Nawa Cita bila dibandingkan dengan Strategi P3H.
17
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
18
Tabel 7. Nawa Cita dan Ekonomi Hijau 1
2 3
4 5 6 7 8 9
Agenda Pembangunan Nawa Cita Memperbarui kewajiban dan keamanan negara melalui kebijakan luar negeri yang aktif dan keamanan nasional, membangun identitas sebagai bangsa maritim. Mengembalikan kepercayaan publik pada lembaga-lembaga demokratis. Membangun dari daerah pingiran dan memperkuat daerah-daerah pedesaan serta integrasi nasional. Mereformasi sistem kenegeraan melalui bebas korupsi, penegakan hukum yang bermartabat dan dapat diandalkan. Meningkatkan kualitas pendidikan, meningkatkan kesejahteraan sosial, kesehatan dan reformasi tanah. Meningkatakan produktivitas dan daya saing masyarakat di pasar internasional. Kemandirian ekonomi dengan mempromosikan sektor-sektor strategis perekonomian domestik. Revolusi karakter bangsa melalui kurikulum nasional dan pendidikan kewarganegaraan. Meningkatkan keanekaragaman, restorasi sosial dialog antara warga Negara
Perspektif Ekonomi Hijau dlm Strategi P3H GE akan membangun aliansi di Asia Tenggara dan wilayah yang lebih luas. Hal ini akan mengurangi tekanan migrasi. Fokus maritim diperlukan untuk menghindari ekploitasi sumber daya alam laut. Keyakinan dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan inti dari GE Mengurangi hotspot degradasi NR/polusi. Mencocokan kebutuhan dengan sistem Manajemen Sumber Daya Alam (NRM) yang berkelanjutan. Penegakan hukum yang baik sangat penting dalam menggerakan ketergantungan pada insentif dan regulasi pemerintah. Kemampuan sumber daya manusia merupakan kunci dalam GE. Ha katas tanah sangat penting untuk NRM berkelanjutan. Diversifikasi dari sektor primer ke sektor modern yang bernilai tinggi adalah kunci utama GE. Mempromosikan sektor strategis akan mengurangi ketergantungan pada ekstraksi sumber daya alam. Mencakup penguatan tradisi nasional Manajemen Sumber Daya Alam yang baik. Hal ini membantu mempromosikan partisipasi dalam pemasalahan "Green" di seluruh Indonesia.
Kendati demikian perlu dicatat bahwa dalam penerapan kebijakannya, Strategi P3H lebih memfokuskan bahasannya pada kebijakan dan instrumen yang terkait dengan agendaprioritas pembangunan no. 5 (kualitas hidup dan kesejahteraan sosial); no. 6 (produktivitas dan daya saing); dan no.7 (kemandirian ekonomi). Selain itu, ada 17 target pembangunan nasional yang juga berhubungan dengan isu-isu ekonomi hijau, terutama yang terkait dengan isu pangan, energi, air, lingkungan dan maritim. Sekalipun rumusan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs, Sustainable Development Goals) paska Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) masih dalam proses finalisasi, tetapi dalam RPJMN 2015-2019 disebutkan ada 17 tujuan SDGs yang sudah masuk dalam rencana pembangunan nasional, dimana 9 tujuan diantaranya terkait dengan perubahan iklim dan lingkungan, serta hal-hal yang terkait dengan air dan sanitasi; energi dan pertumbuhan berkelanjutan; infrastruktur dan industri yang berkelanjutan; permukiman yang berkelanjutan; konsumsi yang berkelanjutan; sumber daya laut; dan ekosistem darat. Kesimpulan. Dalam Nawa Cita dan RPJMN 2015-2019, kebijakan ekonomi hijau telah dimasukkan dalam strategi pembangunan, meskipun umumnya terlihat sebagai prinsip pendukung namun sudah diarus-utamakan ke dalam rencana pembangunan nasional, sektoral dan regional. Prinsip ekonomi hijau menjadi fitur kuat di sektor sumber daya alam dan terutama fokus pada isu ketahanan pangan, air dan energi, dan dalam penegakan peraturan yang mengendalikan penebangan hutan, perikanan dan pertambangan liar. Ada juga beberapa pengaturan baru untuk koordinasi pembangunan lintas sektor. Fokus yang kuat pada infrastruktur, terutama untuk pembangunan berbasis kelautan (maritim) belum punya panduan yang jelas untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip ekonomi hijau akan diterapkan dan mampu menghindari risiko eksploitasi berlebihan dari sumber daya alam kelautan. Tapi prinsipprinsip yang membuat keseimbangan antara eksploitasi, pemanfaatan berkelanjutan dan konservasi sumber daya alam telah diperkenalkan sehingga pedoman untuk pembangunan infrastruktur yang sedang dikembangkan perlu mempertimbangkan tantangan ini. Penerapan Strategi P3H juga harus mempertimbangkan konsultasi dan koordinasi yang lebih erat dengan Bappenas, KLHK, OJK, Kementerian Teknis dan Lembaga-lembaga terkait lainnya, karena beberapa dari mereka juga telah menghasilkan strategi dan / atau peta-jalan (roadmap) mereka sendiri dibidang pembangunan/ekonomi hijau
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
2.3 Perubahan Terkini dan Reformasi Kelembagaan Perubahan kelembagaan. Pemerintah baru Presiden Joko Widodo juga telah membuat perubahan dan reformasi kelembagaan yang signifikan yang dapat mempengaruhi perencanaan dan penganggaran pembangunan hijau, antara lain: Penghapusan DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) dan BP-REDD+ (Badan Pengelola Program Penurunan
Emisi GRK dari Deforestasi dan Degradasi Hutan); Penggabungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan menjadi satu
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK); Meningkatkan status Badan Pertanahan (BPN) menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang; Dibentuk Kementerian Koordinator baru untuk bidang Kelautan (Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman); Reorganisasi dalam Bappenas dengan Deputi Menteri baru yang bertanggung jawab untuk urusan
pembangunan sumber daya alam dan kelautan; dan Penggabungan lembaga ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund) dan Dana REDD+ (Reducing Emissions
from Deforestation and forest Degradation). Daftar berikut ini menjelaskan nama-nama baru dari Kementerian, yang mencerminkan perubahan peran mereka. Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim); Kementerian Koordinator bidang Pengembangan Manusia & Budaya (Kemenko PMB) sebelumnya Kementerian
Koordinasi bidang Kesejahteraan Rakyat; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK); Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP); Kementerian Pedesaan, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KPPDTT); Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR); Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), mencakup pendidikan dasar dan menengah; Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti); Kementerian Agraria dan Tata Ruang (KATR); dan Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KANRB).
Dewan Pengarah Pengendalian Perubahan Iklim Tingkat Nasional adalah dewan pengarah kebijakan multistakeholder yang dibentuk dengan Keputusan Menteri LHK No. 145/2015 oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang baru untuk memberikan arahan umum, saran, usul dan dukungan untuk koordinasi dan fasilitasi dalam rangka program pengendalian perubahan iklim di tingkat nasional. Dewan ini memiliki struktur tata-kelola tiga lapis yang terdiri dari Dewan Pembina dengan 6 anggota, dipimpin oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dewan Pengarah yang terdiri dari 34 anggota multi-stakeholder yang diketuai oleh mantan Menteri Lingkungan Hidup, dan enam Kelompok Kerja yang beroperasi di bawah Dewan Pengarah. Pada dasarnya Dewan Pengarah
19
20
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Pengendalian Perubahan Iklim Tingkat Nasional mengambil alih peran dan format DNPI dan BP-REDD+ dalam hal fungsi koordinasi program dan arahan kebijakan, dengan melibatkan direktorat jendral dan unit-unit terkait yang berada dibawah Kementerian LHK yang baru, pejabat dari Kementerian terkait lainnya, dan perwakilan akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Namun, karena status hukum dan kewenangannya yang terbatas di bawah satu Kementerian sektoral, Dewan ini akan menghadapi kendala dalam menjalankan perannya untuk koordinasi lintassektor dan antar-Kementerian/Lembaga. Adapun 5 Kelompok Kerja dari Dewan Pengarah Nasional tersebut adalah: (1) Pokja Program, Riset, Forum Donor & Agenda Internasional; (2) Pokja Adaptasi dan Mitigasi berbasis Bentang Alam (Landscape); (3) Pojka Mitigasi Berbasis Energi; (4) Pokja Pengelolaan Berbasis Sampah; dan (5) Pokja Pemantauan, Pelaporan dan Evaluasi. Tidak ada kelompok kerja Pendanaan Iklim (Climate Finance), dan juga tidak ada perwakilan dari Kementerian Keuangan dalam susunan Dewan Pengarah, meskipun Menteri Keuangan adalah anggota dari Dewan Pembina, bersama-sama dengan Menteri PPN/ Ketua Bappenas, Menteri Luar Negeri, Menteri Sekretaris Negara dan Utusan Khusus Presiden untuk Penanggulangan Perubahan Iklim. Dengan dibubarkannya DNPI dan BP-REDD+, fungsi koordinasi antar-Kemeterian untuk negosiasi internasional yang terkait dengan perubahan iklim dan kebijakan lingkungan, sebagian besar beralih ke Utusan Khusus Presiden urusan Penanggulangan Perubahan Iklim (Utsus). Tanggung jawab UTSUS akan mencakup isu-isu yang berkaitan dengan pendanaan iklim dan dana multilateral untuk membiayai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hubungan antara UTSUS dan Kemenkeu / PKPPIM terkait pendanaan perubahan iklim perlu dirumuskan dengan lebih jelas. Secara keseluruhan, perubahan kelembagaan dalam pemerintahan baru ini seperti mengurangi fokus perhatian pada perubahan iklim dan sumber daya alam, dan ini berarti bahwa upaya pengembangannya harus lebih mengandalkan pada kebijakan pengarus-utamaan prinsip-prinsip ekonomi hijau dalam berbagai sektor dan lembaga. Namun, dengan adanya fokus agenda Nawa Cita dan RPJMN 2015-2019 pada ketahanan pangan, air, energi serta kebijakan untuk memberantas penebangan hutan, perikanan dan pertambangan liar, akan memberikan dasar dan peluang cukup besar untuk pengarus utamaan kebijakan ekonomi hijau ini dan mudahmudahan juga pelaksanaannya. Perubahan dan reformasi kelembagaan ini juga bisa meningkatkan peran Kemenkeu dalam membimbing dan mendorong pendekatan ekonomi hijau dalam penganggaran dan perumusan kebijakan, program dan anggaran pembangunan hijau yang disetujui oleh Kemenkeu. Hal ini khususnya akan meningkatkan peran BKF, PKPPIM dan Ditjen Anggaran yang berkaitan dengan pembiayaan perubahan iklim dan isu-isu implementasi kebijakan pembiayaan lingkungan. Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) memiliki kapitalisasi dana sekitar Rp 150 miliar, ditambah komitmen terbaru dari Amerika Serikat hingga USD 5 juta. Review ODI tentang ICCTF menunjukkan hal itu masih relatif kecil, dalam lansekap pendanaan iklim yang semakin ramai di Indonesia. Dana REDD+ (FREDDI) masih dalam persiapan pada akhir 2014, sebelum adanya keputusan Pemerintah untuk menggabungkan dana BP-REDD dengan ICCTF. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga berusaha untuk mengambil peran lebih aktif dalam mempromosikan ekonomi hijau, dengan menerapkan Peta-jalan (Roadmap) Keuangan Berkelanjutan di Indonesia (lihat uraian 2.4). Tanggungjawab Kelembagaan. Perubahan kelembagaan tersebut di atas berkaitan langsung dengan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas urusan perubahan iklim, pengelolaan lingkungan dan ekonomi hijau. Mereka akan mengubah peran dan tanggung jawab Kementerian dan Lembaga terkait dalam hal tanggung jawab institusionalnya untuk perencanaan dan penganggaran pembangunan hijau untuk kebijakan dan instrumen pelaksanaan program tahun 2015 dan seterusnya. Tabel 8 di bawah ini merangkum peran dan tanggung jawab kelembagaan dari K/L terkait dalam pelaksanaan 21 program prioritas dari Strategi P3H.
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
21
Tabel 8. Prioritas, Instrumen and Tanggung Jawab Kelembagaan dalam pelaksanaan Strategi P3H Instrumen Kebijakan
Kejelasan/Kesadaran Masyarakat
CSR
Tata Kelola Regulasi
Praktek Regulasi
Kualitas Regulasi
Kuota
Pengendalian Harga (termasuk FITs)
Regulasi Pengendalian & Pengembangan
Perijinan
Dana Pinjaman
Jaminan Pinjaman
Melalui Lembaga Keuangan
Insentif Suku Bunga
Insesntif Pajak
Data/Informasi
Subsidi Operasional
Pemerintah untuk Perusahaan, UKM & LSM
Hibah/Investasi
Alokasi Khusus (untuk Prov/Kab)
Anggaran Berulang
Anggaran Investasi
Prioritas
Anggaran Pemerintah Langsung
Perlindungan Sumber Daya Alam Perlindungan Hutan Rehabilitasi Lahan Gambut Perlindungan Terumbu Karang & Sumber Daya Laut Pertanian Adaptasi Tanaham Perubahan Iklim Tanaman Perkebunan (terutama Kelapa Sawit) Irigasi Pertanian Energi dan Industri Energi dan Sumber Daya Efisiensi Energi Terbarukan Efisiensi Sumber Daya Harga Bahan Bakar Listrik Skala Besar Pertambangan Berkelanjutan Corporate Social Responsibility Transportasi dan Perencanaan Kota Transportasi Umum Pengelolaan Limbah/Sampah Infrastruktur Jalan/Jembatan Tahan terhadap Iklim Infrastruktur Daerah Pendidikan dan Kesehatan Sekolah Hijau Pelayanan Kesehatan yang Sensitif terhadap Perubahan Iklim Kebijakan Pendukung Pengelolaan/Pengurangan Bencana Koordinasi GE dan M&E = Kementerian Keuangan = Bappenas = Kementerian / Lembaga = Provinsi / Kota / Daerah = Sektor Swasta & Masyarakat
Kemenkeu / Dirjen Anggaran juga berperan untuk memastikan bahwa peraturan-peraturan baru ditegakkan.
Kemenkeu / BKF juga bertanggung jawab terhadap strategi-strategi yang mempengaruhi kebijakan mereka dan bekerja sama dengan Bappenas mengenai implikasi dari kebijakan dan belanja pengeluaran tersebut. Ditjen Perbendaharaan (BUN) akan bertanggung jawab untuk menyiapkan laporan anggaran belanja pengeluaran aktual terkait perubahan iklim/ekonomi hijau, dengan menggunakan atribut (tag) anggaran yang dimasukkan oleh Kementerian Teknis.
22
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Bappenas berperan dalam anggaran pengeluaran untuk investasi, bersama dengan Kementerian Teknis, dan hal
ini terutama sangat penting bagi sektor sumber daya alam, serta pada beberapa infrastruktur. Bappenas juga memiliki peran dalam mempersiapkan strategi pembangunan, bekerja sama dengan BKF. Kementerian Koordinator punya peran penting untuk koordinasi kebijakan dan mempromosikan strategi
kerjasama lintas sektor dan antar-kementerian yang baru. Kementerian Teknis mempersiapkan strategi program sektoral dan rencana anggarannya. Mereka juga
bertanggung jawab untuk penyusunan peraturan dan penegakannya. Sistem pengkodean anggaran yang baru membutuhkan Kementerian Teknis utama yang terlibat dalam perubahan iklim untuk mengklasifikasikan pengeluaran menggunakan atribut (tag) anggaran. Selain tanggung jawab sektoral yang umum dari Kementerian Teknis, KLHK juga memiliki peran pendukung
untuk memastikan bahwa semua instansi Pemerintah memiliki akses pada informasi terbaik untuk perubahan iklim dan lingkungan yang tersedia. Otoritas Sub-nasional atau Pemerintah Daerah juga sangat penting untuk urusan pengembangan infrastruktur,
dan juga dalam menegakkan peraturan dan pelaksanaan program di daerah. Sektor swasta akan memberikan respon terhadap insentif dan peraturan, tetapi hanya terlibat dalam perumusan
dan implementasi secara konsultatif (di luar dari lembaga keuangan swasta yang dapat memberikan insentif keuangan). Mereka memiliki tanggung jawab utama untuk program CSR (Tanggungjawab Sosial Perusahaan). Ada sejumlah lembaga khusus yang mungkin tidak tercakup oleh institusi yang memiliki peran khusus di luar
integrasi perubahan iklim dan lingkungan dalam aktivitas keseharianya. ICCTF dan Dana REDD+ (baru-baru ini digabungkan) bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya terpadu untuk melaksanakan proyek-proyek yang sangat termotivasi oleh tujuan ekonomi hijau. Pemutakhiran Informasi terkait 21 Prioritas Strategi P3H. Tabel berikut menyajikan perkembangan informasi dan peristiwa terbaru serta perubahan kelembagaan yang berpengaruh terhadap 21 program prioritas dalam Strategi P3H tahun 2014. Tabel 9. Perkembangan Mutakhir tentang 21 Program Prioritas P3H Program Prioritas Kehutanan
Degradasi lahan gambut
Terumbu Karang & Kelautan
Tanaman Pangan
Perkembangan Mutakhir (s/d Juli 2015) Moratorium tentang pemberian izin hutan baru diperpanjang pada Mei 2015. Pemerintah telah mengumumkan program untuk memperjelas hak-hak atas tanah yang akan menjamin perluasan hutan kelola masyarakat (HKM). Degradasi lahan gambut tetap menjadi prioritas utama.Pentingnya alokasi dana ditekankan kembali dalam studi PKPPIM/Kemenkeu tentang Kerangka Fiskal untuk Pengembangan Sektor Berbasis Lahan (FPF-SDLBS). Fokus yang kuat pada pengembangan kemaritiman perlu diimbangi dengan komitmen yang tinggi untuk mengendalikan pencemaran laut dan efisiensi penggunaan bahan bakar dalam transportasi laut. Sebuah program percontohan asuransi iklim untuk petani telah dimulai. Namun hal ini masih terlalu dini untuk menarik pelajaran dari contoh tersebut.
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Program Prioritas Kelapa sawit
Irigasi Pertanian Efisiensi energi
Energi baru dan terbarukan
Efisiensi sumberdaya Energi dan harga bahan bakar
Pembangkit Listrik skala besar Pertambangan Ramah Lingkungan
Program CSR
Transportasi umum
Pengelolaan limbah
Infrastruktur tahan terhadap iklim
Pembangunan daerah Penanggulangan Bencana Alam
Perkembangan Mutakhir (s/d Juli 2015) Baik Green Growth Roadmap Bappenas dan Kerangka Fiskal Kemenkeu untuk Pengembangan Sektor Berbasis Lahan telah menekankan pentingnya sertifikasi kelapa sawit di bidang pertanian. Kerangka Fiskal untuk Sektor Berbasis Lahan (PKPPIM-Kemenkeu) menekankan dua hal penting: bangunan tahan cuaca dan pemeliharaan saluran irigasi serta peran Kelompok Pengguna Air. Baik GG Roadmap Bappenas dan Kerangka Fiskal PKPPIM-Kemenkeu sangat menekankan perlunya kejelasan insentiffiskal untuk efisiensi energi, termasuk dukungan untuk pinjaman bank bagi sektor swasta. Baik GG Roadmap Bappenas dan Kerangka Fiskal PKPPIM-Kemenkeu menekankanperlunya insentif yang lebih jelas dan lebih baik untuk energi terbarukan, termasuk kebijakan Feed in Tarriffs, dan peraturan-peraturan terkait. Green Growth Roadmap menempatkan prioritas yang sangat tinggi pada peningkatan efisiensi sumber daya, terutama di sektor industri. Bulan November 2015, Pemerintahan baru menaikkan harga BBM, dan dikombinasikan dengan harga bahan bakar dunia yang lebih rendah hal ini menghasilkan penghapusan subsidi untuk bensin. Untuk bahan bakar diesel, subsidi tetap yang lebih rendah sebesar Rp 1.000 per liter dipertahankan. Harga bensin dan diesel berubah setiap bulan, disesuaikan dengan harga minyak dunia. Hal ini mengakibatkan penurunan anggaran publik untuk subsidi bahan bakar yang diharapkan mencapai Rp 230 Triliun. Pemerintahan baru mengumumkan reformasi untuk harga listrik pada bulan Januari 2015, bertujuan untuk secara lebih jelas menyelaraskan harga BBM dengan harga pasar dan target subsidi, dengan menghindari kenaikan harga bagi konsumen terkecil Ekspor mineral menurun tajam pada tahun 2014, dengan melemahnya permintaan. Sebagai respon terhadap tantangan pasar, telah ada investasi dalam pengolahan dan Konferensi Asosiasi Pertambangan Indonesia dua tahunan akan diselenggarakan pada September 2015, memfokuskan pada produktivitas, dan tata kelola dengan desentralisasi. Global CSR Summit and Awards diadakan di Yogyakarta pada bulan Maret 2015. Ketertarikan CSR di Indonesia ditunjukkan dengan memberikan Penghargaan Bisnis Berkelanjutan (Sustainable Business Awards) ditahun 2014. Program CSR juga perlu diselaraskan dengan penilaian peringkat taat lingkungan dlm Program PROPER Kementerian LHK. Pemerintahan baru telah mengeluarkan kebijakan yang lebih baik dan meningkatkan prioritas anggaran untuk pembangunan kereta api, pelabuhan dan angkutan laut publik, MRT, dan lainlain. Transportasi umum harus mendapatkan manfaat yang besar dari peningkatan dua kali lipat anggaran untuk transportasi sebagai imbas dari reformasi harga bahan bakar pada awal tahun 2015. Hal ini akan membantu mempercepat proyek MRT (Mass Rapid Transport) Jakarta $3 Miliar dan proyek 'Transit Oriented Development' di daerah Senen, Jakarta. Indonesia menjadi tuan rumah Waste to Energy Asia Summit pada bulan Maret 2015. Hal ini mempertimbangkan, di antara banyak hal, proposal yang diajukan oleh Kemen ESDM untuk pengembangan lebih dari 20 pabrik pengolahan limbah minyak kelapa sawit. Dua proyek yang terkait dengan pengelolaan limbah menerima Penghargaan Bisnis Berkelanjutan di tahun 2014. Perhatian yang fokus pada infrastruktur dalam RPJMN 2015-2019 perlu diimbangi dengan komitmen guna memastikan semua konstruksi bangunan infrastruktur baru benar-benar tahan terhadap perubahan iklim dan bahwa Undang-Undang tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis diberlakukan dan dilaksanakan. Nawa Cita dan RPJMN 2015-2019 membuat penekanan yang kuat terhadap integrasi nasional dan pengembangan desa, daerah terisolasi dan perbatasan. Memperluas penggunaan asuransi untuk membatasi biaya ekonomi dari bencana alam dan lingkungan.
23
24
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
2.4 Inisiatif Strategi Pembangunan Hijau Lainnya Sebagai tambahan terhadap strategi pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2015 - 2019, beberapa inisiatif terbaru terkait dengan strategi pembangunan hijau telah dikembangkan atau sedang dalam proses pengembangan oleh beberapa instansi pemerintah. Tiga inisiatif strategi pembangunan hijau berikut ini cukup penting untuk diperhatikan: Peta jalan Pertumbuhan Hijau (Green Growth Roadmap) oleh Bappenas; Peta Jalan untuk Keuangan Berkelanjutan di Indonesia (Roadmap for Sustainable Finance in Indonesia) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Berkelanjutan di Sektor Berbasis Lahan oleh PKPPIM- Kementerian Keuangan. Petajalan Pertumbuhan Hijau (Green Growth Roadmap) telah disusun oleh Bappenas bekerja sama dengan Global Green Growth Institute (GGGI) sejak tahun 2013. Peta jalan ini telah disetujui oleh Bappenas untuk diterbitkan dan sedang dicetak untukpersiapan peluncurannya. Peta Jalan tersebut telahdisampaikan dalam pidato Sekretaris Jenderal Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di acara Green Infrastructure Summit pada bulanJuni 2015. Peta jalan ini menjelaskan peluang untuk pertumbuhan hijau dan memberikan kondisi yang diperlukan untuk pengarusutamaan pertumbuhan hijau ke dalam perencanaan nasional, sektoral dan daerah. Roadmap Bappenas ini menggambarkan 50 tindakan prioritas, termasuk 5 kegiatan lintas isu penunjang kebijakan; 10 investasi publik; 1 kebijakan subsidi; 4 tindakan insentif; 11 tindakan untuk promosi pasar dan 19 studi, penelitian dan aktivitas peningkatan kapasitas. Roadmap ini menjelaskan 17 sektor pembangunan dalam empat kluster: energi dan pertambangan; manufaktur; konektivitas regional; dan sumber daya alam. Sektor-sektor ini sesuai dan sejalan dengan 21 program prioritas Strategi P3H (lihat Lampiran 3, yang menyediakan daftar perbandingan aksi yang diidentifikasi dalam Peta-jalan Pertumbuhan Hijau dan Strategi GPB). Untuk setiap kluster, peta jalan mendefinisikan beberapa tema kunci, dan 4 hingga 1 faktor penunjang atau kebijakan. Prinsip-prinsip utama untuk pengarus-utamaan pertumbuhan hijau dalam perencanaan didefinisikan sebagai: memberikan insentif dan sinyal harga yang tepat; belanja publik dan daya ungkit yang lebih efektif; dan mengatasi kegagalan pasar. Langkah yang disarankan untuk mencapai pengarusutamaan meliputi: perencanaan tata ruang yang lebih transparan, dengan perhatian yang lebih besar untuk pendekatan lanskap; pemanfaatan prosedur kajian lingkungan hidup strategis yang lebih luas dalam perencanaan dan penilaian anggaran; dan penggunaan Proses Penilaian Pertumbuhan Hijau (Green Growth Assessment Process, GGAP) berdasarkan analisis biaya & manfaat yang diperluas (extended cost benefit analysis,eCBA), yang meliputi manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Proses GGAP tersebut sama dengan analisa efektivitas kebijakan yang dikembangkan dalam Strategi P3H dan menjadi inti dalam mengintegrasikan pendekatan ekonomi hijau kedalam kebijakan nasional, berdasarkan bukti belanja dan penilaian investasi. Peta-jalan Pertumbuhan Hijau (Green Growth Roadmap) menjelaskan dua skenario, dengan tingkat pertumbuhan yang sama tetapi dengan komitmen yang berbeda terhadap kebijakan hijau. Skenario perubahan lambat yang merupakan kelanjutan dari tren saat ini dalam hal intensitas energi dan
intensitas karbon (yaitu energi / PDB, dan emisi / PDB). Skenario pertumbuhan hijau yang mengasumsikan bahwa Indonesia akan bergeser menjadi salah satu negara
peringkat tertinggi dalam hal intensitas energi dan karbon. Skenario ini juga melibatkan perbaikan dalam ketahanan pangan, air dan energi, perbaikan dalam kualitas lingkungan dan keadilan sosial serta prospek ekonomi jangka panjang. Strategi P3H disebut dan digunakan sebagai referensi silang dalam Peta Jalan Pertumbuhan Hijau, dimana fokus Peta jalan Bappenas mengenai pentingnya mengintegrasikan manfaat ekonomi hijau dalam praktek penilaian kebijakan berdasarkan bukti-bukti empiris bersifat saling melengkapi dengan metoda yang digunakan dalam
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Strategi P3H. Oleh karena itu konsultasi dan koordinasi Bappenas-KLHK yang lebih erat dan lebih efektif perlu dikembangkan untuk pelaksanaan Peta jalan Bappenas dan Strategi P3H Kemenkeu di masa depan. Peta-jalan untuk Keuangan Berkelanjutan di Indonesia telah diluncurkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada bulan Desember 2014. Peta jalan ini menetapkan tujuan, rencana kerja dan menjabarkan kondisi keuangan hijau dan berkelanjutan yang ingin dicapai Indonesia dalam jangka menengah (5 tahun) dan jangka panjang (10 tahun) untuk lembaga-lembaga jasa keuangan yang berada dibawah otoritas OJK, yaitu perbankan, pasar modal, dan Industri Keuangan Non-Bank. Peta jalan ini juga menyediakan pedoman untuk meningkatkan jasa keuangan yang berkaitan dengan keuangan berkelanjutan serta menjelaskan tindakan dan rekomendasi untuk institusi jasa keuangan yang akan diadopsi OJK hingga tahun 2024. Peta jalan OJK mengadopsi 4 prinsip keuangan berkelanjutan untuk pelaksanaan program-programnya, yaitu (a) Prinsip Pengelolaan Resiko yang mengintegrasikan aspek perlindungan lingkungan dan sosial dalam strategi manajemen resiko Lembaga Jasa Keuangan; (b) Prinsip Pengembangan Sektor Ekonomi Prioritas Berkelanjutan, yang bersifat inklusif dengan meningkatkan kegiatan pendanaan di sektor-sektor prioritas seperti infrastruktur, energi, pertanian, dan UMKM, dengan penyeimbangan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi; (c) Prinsip Pelaporan Tata Kelola Lingkungan dan Sosial, dengan menyelenggarakan tata kelola sosial dan lingkungan yang kokoh dan transparan, serta praktik akuntabilitas publik dalam manajemen dan kegiatan operasional Lembaga Jasa Keuangan; dan (d) Prinsip Kemitraan Kolaboratif dan Peningkatan Kapasitas melalui pengembangan sumber daya manusia, teknologi informasi dan kapasitas operasional dari setiap Lembaga Jasa Keuangan dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan. Rencana kerja untuk mengimplementasikan sistem keuangan berkelanjutan tahun 2014 - 2024 akan fokus pada 3 bidang, (1) peningkatan penyediaan (supply) pendanaan ramah lingkungan; (2) peningkatan permintaan (demand) untuk produk pendanaan ramah lingkungan; dan (3) peningkatan pengawasan dan koordinasi implementasi keuangan berkelanjutan. Dengan menggunakan RPJMN 2015-2019 sebagai patokan, ditargetkan akan ada investasi sekitar USD 200 miliar setiap tahunnya, yang mana semua investasi haruslah hijau dan/atau berkelanjutan. Total belanja modal tahunan akan digunakan sebagian untuk mitigasi perubahan iklim, dan diharapkan sekitar IDR 314 triliun (USD 25 miliar) akan digunakan untuk mencapai target penurunan emisi RAN-GRK, yang mana separuh dari belanja modal tersebut akan dipenuhi oleh pemerintah sedangkan separuhnya lagi oleh swasta. Di sektor perbankan di Indonesia, tingkat pinjaman untuk pembangunan hijau relatif masih rendah. Berdasarkan survei Bank Indonesia pada tahun 2012 hanya 1,2% dari seluruh pinjaman perbankan dapat dikategorikan kredit hijau. Survey tersebut juga mengungkapakn bahwa sebagian besar dari pinjaman hijau perbankan tersebut adalah untuk pembangunan minihidro (26%) dan panas bumi (25%), sekitar 20% lainnya adalah untuk industri yang efisien dan ramah lingkungan, 19,5% untuk pertanian berkelanjutan, sekitar 5% untuk produk eko-label, dan hanya kurang dari 3% untuk energi terbarukan selain panas bumi dan minihidro. Namun demikian, ada beberapa kemajuan yang dicapai dalam investasi portofolio dan sekuritas dengan ciri "hijau" di pasar modal Indonesia. Pada tahun 2013, sekitar USD 1,14 miliar dari asset diinvestasikan dengan menggunakan kriteria berkelanjutan (terutama yang berbasis Shariah), kira-kira dua kali lipat sejak 2011 (ASrIA 2014). Green Bond (obligasi hijau) pertama di Indonesia diluncurkan pada tahun 2014, didukung oleh penjaminan pinjaman sebagian (partial credit guarantee) dari IFC dan PT Ciputra Residence, satu perusahaan yang bergerak dalam bidang properti. Perusahaan tersebut menerbitkan obligasi senilai IDR 500 miliar (USD 44 miliar) berdasarkan standar bangunan hijau di Bursa Efek Indonesia (BEI/IDX). Dan pengembangan ekonomi hijau yang paling menjanjikan di pasar modal terjadi tahun 2014 ketika PT Indo Premier Investment Management meluncurkan SRI KEHATI-ETF (exchange traded fund) dan tercatat di Bursa Efek Indonesia, sebagai investasi hijau yang memenuhi persyaratan SRI-KEHATI green index
25
26
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
yang dikelola oleh BEI bekerjasama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), dan berharap akan mencapai target IDR 1 triliun dalam waktu 2 tahun. Peta jalan untuk Keuangan Berkelanjutan dari OJK ini adalah sejalan dengan Strategi P3H Kemenkeu. Karena itu konsultasi dan koordinasi yang lebih efektif perlu dijalin antara OJK dengan Kemenkeu, Bank Indonesia, dan Bappenas untuk menghindari terjadinya duplikasi dan tumpang-tindih pekerjaan dan penggunaan sumber dana yang tidak efisien. Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Berkelanjutan di Sektor Berbasis Lahan disiapkan oleh PKPPIM Kementerian Keuangan pada tahun 2014, dan mengidentifikasi 13 prioritas kebijakan ramah lingkungan di bidang kehutanan dan pertanian. Mengontrol deforestasi: dengan peraturan dan penerapan rezim royalti; Menerapkan sistem Kehutanan Masyarakat: dengan peraturan, reformasi pertanahan, dukungan teknis,
pemasaran, informasi dan jasa keuangan; Menegakkan perlindungan hutan: melaksanakan moratorium, perizinan, pemetaan dan informasi; Reboisasi lahan terdegradasi: klasifikasi lahan hutan, pertukaran lahan dan dukungan bagi masyarakat; Restorasi lahan gambut: menegakkan peraturan, klasifikasi lahan, reformasi pertanahan, dukungan bagi
masyarakat; Menerapkan sistem Pembayaran Jasa Ekosistem: promosi dan sosialisasi; Penggunaan lahan terdegradasi untuk pertanian: kepemilikan lahan / tukar-guling hak atas atas (land swap); Menerapkan pola Pertanian Pintar Iklim: dengan penelitian, jasa penyuluhan dan dukungan kepada kelompok
tani sadar lingkungan/iklim; Irigasi Tahan Iklim: dukungan investasi dan bantuan kepada Kelompok Pengguna Air; Pemeliharaan Irigasi pertanian: klarifikasi peran negara dan tanggung jawab Kelompok Pengguna Air dan
dukungan untuk mereka; Reformasi Kebijakan tentang Pupuk: reformasi subsidi dan promosi pupuk organik; Asuransi Pertanian: kejelasan peraturan dan perlu jaminan keuangan; dan Bahan Bakar Nabati (BBN): peraturan tentang konten BBN dan harganya, informasi dan promosi kepada
masyarakat/konsumen. Untuk masing-masing bidang, Kerangka Kerja Fiskal membahas: dimensi pembangunan hijau; kebijakan yang terkait; koherensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan kebijakan; tanggung jawab kelembagaan; dan implikasi anggaran. Kerangka kerja fiskal untuk Sektor Berbasis Lahan ini kemudian membahas dampak agregat pada anggaran, pada PDB dan ketahanan pangan, pada emisi GRK dan penggunaan lahan. Kerangka kerja ini
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
menyediakan satu set kebijakan-kebijakan yang akan memenuhi tujuan berikut, yang secara kasar bisa memberikan dampak yang netral pada anggaran: Untuk memastikan bahwa PDB Hijau Kehutanan dipertahankan secara ril, meskipun kehilangan pendapatan dari
pengurangan bahkan penghentian deforestasi; dan Untuk meningkatkan pertumbuhan PDB Pertanian dari tingkat terkini 3,5% sampai 5% (sehingga memastikan
swasembada produksi beras), disamping itu juga menghentikan degradasi tiap sumber daya tanah. 2.5 Kerugian dan Kerusakan SDA dan Emisi GRK: Bukti-Bukti Terkini Titik awal untuk setiap strategi yang berkaitan dengan perubahan iklim dan lingkungan adalah hasil/dampak yang diperkirakan akan terjadi tanpa adanya intervensi kebijakan publik. Untuk adaptasi perubahan iklim dan pelestarian lingkungan, hasil atau dampak ini dinyatakan dalam bentuk kerugian dan kerusakan (sumber daya alam), sebagai akibat dari iklim yang berubah dan degradasi lingkungan. Untuk mitigasi perubahan iklim, skenario dasar/basis datanya adalah pertumbuhan emisi gas rumah kaca yang akan terjadi tanpa ada kebijakan ekonomi hijau. Kerugian dan Kerusakan. Kebijakan ekonomi hijau didorong oleh kebutuhan untuk mengurangi kerugian dan kerusakan sumberdaya alam yang terjadi apabila mengabaikan perubahan iklim. Ada beberapa perkembangan internasional terkait dengan upaya-upaya untuk menangani kerugian dan kerusakan sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi dalam 12 bulan terakhir, sejak Strategi P3H 2014 dirumuskan. Berikut ini adalah beberapa contoh dari upaya-upaya tersebut, yang dijelaskan lebih rinci dalam Lampiran 2. ADB telah menyelesaikan pemodelan rinci mengenai dampak perubahan iklim untuk Asia Selatan, menggunakan
pendekatan yang sama dengan yang telah digunakan untuk Asia Tenggara pada tahun 2010. Studi Asia Selatan memberi hasil yang mirip, menunjukkan bahwa dampak terhadap PDB akan berada pada kisaran antara 2% dan 7 % pada tahun 2050, dan bahwa sektor yang paling terpengaruh adalah: pertanian, air, kehutanan, infrastruktur dan kesehatan. Hasil ini memberikan keyakinan tambahan bahwa perkiraan kerugian dan kerusakan dalam Strategi P3H 2014 sudah pada besaran yang sama. Ada beberapa perdebatan internasional tentang interpretasi terhadap hasil pemodelan. Perdebatan ini
menganalisis kinerja ekonomi saat ini dibandingkan dengan kinerja pada tahun 2050, dengan asumsi bahwa perubahan akan terjadi seketika. Tapi perubahan sesungguhnya berlangsung kumulatif, dan ini berarti bahwa PDB akan hanya 3 kali lebih tinggi pada tahun 2050, bukan 5 kali tanpa perubahan iklim. Analisis ini memberikan konteks penting bagi penafsiran Kesenjangan Ekonomi Hijau (GE gap), yang berubah dari waktu ke waktu, karena hasil dari adaptasi dan kerugian dan kerusakan yang terjadi secara berangsur-asur. Ada juga beberapa model mengenai dampak guncangan-guncangan yang terjadi di berbagai sektor, termasuk
guncangan harga di sektor pertanian (misalnya kajian Yusuf et al 2014). Hal ini mengkonfirmasi kekhawatiran tentang kerentanan masyarakat miskin terhadap guncangan pertanian yang disebabkan oleh perubahan iklim dan faktor lingkungan. Emisi Gas Rumahkaca. Perhitungan emisi gas rumah-kaca dalam RAN-GRK didasarkan pada asumsi perkiraan Business as Usual (BAU) yang berasal dari laporan Komunikasi Nasional Kedua kepada UNFCCC (Second National Communication to UNFCCC, SNC). Hasil kajian terakhir menunjukkan bahwa pertumbuhan emisi GRK dari sektor energi dan transportasi dengan asumsi BAU akan meningkat lebih cepat daripada yang disarankan dalam SNC, terutama selama periode setelah tahun 2025, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Hal ini menunjukkan bahwa energi dan transportasi harus diberikan prioritas yang lebih tinggi dalam strategi mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
27
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
28
Gambar 7. Emisi GRK (GRK) Skenario BAU pada 2010 (SNC) dan Perkiraan Terbaru 5.0
4,000,000
4.0
3,500,000
Peat Fire
Emission/removal (GTCO2)
31 48
Peat Emission
3.0
3,000,000
Waste 2.0
Forestry Emission Forestry Removal
1.0
2,500,000
2,000,000
Agriculture 0.0
Industry Energy
-1.0
1,500,000
1,000,000
500,000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045
Miti-2
BaU
Miti-1
Miti-2
BaU
Miti-1
Miti-2
BaU
Miti-1
Miti-2
BaU
Miti-1
Miti-2
BaU
Miti-1
Miti-2
BaU
Miti-1
-2.0
2000
2005
2010
2015
2020
2025
SNC estimates (2010)
Energi dan transportasi
AFOLU (no peat)
Peat Dekomposisi
IPPU
Limbah
Peat Fire
Latest Estimates (Bappenas 2015)
2.6 Efektivitas dalam Menurunkan Kerugian dan Kerusakan: Bukti-bukti Terkini PKPPIM Kemenkeu berkomitmen untuk membangun bukti-bukti dasar yang kuat dalam mengevaluasi kontribusi kebijakan dan instrumen untuk ekonomi hijau. Berikut ini adalah beberapa temuan terbaru dan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk menghasilkan bukti-bukti tersebut. Peta-jalan Pertumbuhan Hijau (Green Growth Roadmap), Bappenas-GGGI (lihat bagian 2.4 ) menuliskan sejumlah studi kasus tentang perkembangan ekonomi hijau, termasuk hal-hal berikut: Evaluasi perencanaan bentang alam di Kalimantan Timur; Tiga studi kasus tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua, dan untuk Program Kemakmuran Hijau; dan Analisis biaya manfaat terinci yang diperluas (eCBA) dari Zona Ekonomi Khusus di Kalimantan Timur.
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Berkelanjutan di Sektor Berbasis Lahan (PKPPIM - lihat bagian 2.4) disusun oleh PKPPIM Kementerian Keuangan dan mengidentifikasi 13 prioritas kebijakan pembangunan ramahlingkungan di bidang kehutanan dan pertanian dengan menggunakan pendekatan ekonomi hijau. Untuk masingmasing bidang, disusun perkiraan dampak prioritas kebijakan publik tersebut pada: Belanja publik dan pendapatan di masa depan; Produk Domestik Bruto dan ketahanan pangan; Pengurangan emisi gas rumahkaca; dan Persyaratan bagi tataguna lahan.
Pemodelan I-GEM telah digunakan oleh Bappenas untuk mengeksplorasi dampak dari kebijakan ekonomi hijau di Kalimantan pada kawasan hutan, emisi gas rumahkaca dan lapangan kerja hijau (Bappenas 2014). Hal ini masih dalam tahap uji coba, tapi hasil awal menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi hijau dapat memiliki dampak besar
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
pada berbagai indikator-indikator kunci, yang cenderung mendukung pandangan optimis tentang efektivitasnya, sebagaimana diungkapkan para ahli dalam pertemuan konsultasi tim inti untuk Strategi P3H. Pengalaman internasional dalam studi penilaian atas kebijakan ekonomi hijau terus berkembang. Misalnya, di Thailand, Kementerian Pertanian dan Koperasi telah melakukan beberapa analisis manfaat biaya cepat dari implikasi perubahan iklim bagi lima bidang kebijakan (irigasi, stabilisasi tanah dengan penggunaan vetiver, peningkatan budi daya udang, biogas dari produksi babi dan manajemen hama terpadu). Studi serupa juga sedang berlangsung di Kamboja. Fokus yang kuat dalam RPJMN 2015-2019 untuk mengutamakan investasi bagiintegrasi dan konektivitas antarwilayah, khususnya melalui pembangunan infrastruktur dan pengembangan maritim, membuka peluang untuk pengembangan ekonomi hijau, tetapi juga menciptakan tantangan baru: Akan menjadi penting apabila semua rencana pembangunan infrastruktur memasukkan/memiliki unsur
ketahanan terhadap perubahan iklim. Strategi P3H mengasumsikan bahwa adanya unsur/faktor ketahanan iklim akan meningkatkan biaya pembangunan infrastruktur berkisar antara 1% dan 5%. Pengalaman dari Asia menunjukkan bahwa biaya ini bervariasi, dapat mencapai hingga 20% dalam kondisi yang ekstrim, contohnya di Bangladesh, dimana kebutuhan untuk meninggikan jalan utama hingga kurang dari 1%, jika satu-satunya peningkatan ketahanan yang diperlukan adalah untuk memperbesar ukuran saluran gorong-gorong pada infrastruktur baru (Bank Dunia 2010, ADB 2011). Peningkatan keterhubungan atau konektivitas dan integrasi antar-wilayah akan membawa peluang baru bagi
Kawasan Timur Indonesia. Hal ini perlu diwujudkan melalui investasi pembangunan hijau dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, didukung oleh penegakan hukum lingkungan, dan penggunaan sumber daya tak terbarukan secara strategis. Fokus yang kuat pada pengembangan sektor maritim harus bisa membantu upaya membatasi pertumbuhan
dalam penggunaan energi fosil dan dan penurunan emisi gas rumahkaca. Studi tentang efisiensi karbon pada moda transportasi yang berbeda menunjukkan bahwa pengapalan barang lewat laut memiliki efisiensi karbon hingga 10 gCO2e / t-km, jika dibandingkan dengan sekitar 80 untuk truk (angkutan darat) dan lebih dari 400 untuk angkutan udara (IMO 2014). Namun, efisiensi teknis dari mesin kapal seringkali sangat rendah. Organisasi Maritim Internasional (IMO) telah mencapai kesepakatan, yang mana semua anggota penuh akan mengurangi emisi gas rumahkaca sebesar 25% hingga 30%, dibandingkan dengan Business as Usual. Meskipun Indonesia tidak terikat oleh perjanjian ini, kita juga dapat mengadopsi komitmen yang sebanding pada efisiensi energi untuk perkapalan, dengan memastikan bahwa pembangunan kelautan menjadi lebih hijau dan hal tersebut dipahami dengan baik. 2.7 Pendanaan Publik yang Mendukung Ekonomi Hijau: Informasi Terkini Pengeluaran Anggaran menurut Jenis Instrumen Kebijakan. Strategi P3H 2014 menganalisis jenis instrumen kebijakan dan anggaran belanja yang digunakan dalam arti luas, menggunakan perkiraan persentase dari masingmasing instrumen, untuk 21 kebijakan prioritas. Strategi P3H 2014 tidak mengestimasi instrumen kebijakan yang digunakan dalam setiap item anggaran, dan gambar di bawah ini memberikan perkiraan tersebut untuk tahun 2011 2014. Proyeksi untuk tahun 2020 mengasumsikan pola pertumbuhan linear untuk pertumbuhan yang diasumsikan pada tahun 2020 dalam skenario pertama Strategi P3H 2014. Hal ini diasumsikan bahwa transfer mencapai 19% dari pengeluaran pembangunan hijau untuk setiap tahun.
29
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Gambar 8. Jenis Instrumen Kebijakan untuk Pengeluaran Ekonomi Hijau 2.0% 1.8%
% of Total Pengeluaran Negara
30
1.6%
Kapasitas, Kesadaran
1.4%
Transfer
1.2%
Peraturan
1.0%
Intensif, Pembiayaan
0.8%
Pengeluaran
0.6% 0.4% 0.2% 0.0% 2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
APBN-P 2015. APBN Perubahan untuk tahun 2015 disahkan pada bulan Februari 2015 dan mencerminkan prioritas kebijakan awal pemerintahan baru. Total pendapatan dan hibah yang dianggarkan sebesar Rp 1.761 triliun (yang berarti Rp 33 triliun lebih rendah daripada APBN 2015 terdahulu). Belanja pemerintah total dianggarkan Rp 1.985 triliun (yang mana untuk Pemerintah Pusat sebesar Rp 1320 triliun, dan transfer ke Pemerintah Daerah Rp 665 triliun), yang berarti Rp 55 triliun lebih rendah daripada APBN 2015 terdahulu. Oleh karena itu defisit APBN-P mencapai Rp 223 triliun, atau 1,9% dari PDB, turun Rp 23 triliun dibandingkan dengan anggaran APBN 2015 terdahulu. APBN-P mengidentifikasi Rp 243 triliun pembiayaan domestik dan Rp 20 triliun dari pembiayaan luar negeri. Perubahan utama dalam APBN-P adalah yang terkait dengan subsidi BBM. Hal ini mengakibatkan penurunan belanja pengeluaran publik untuk subsidi bahan bakar, diharapkan menjadi sekitar Rp 230 triliun. Dampak dari penghapusan subsidi BBM sebagian diimbangi oleh pembayaran program kesejahteraan dua bulan, dan beberapa perluasan pada program pendidikan dan kesehatan. Mayoritas penghematan (sekitar 60%) dari subsidi BBM dikhususkan untuk program utama integrasi regional dan infrastruktur yang diidentifikasi dalam Nawa Cita dan RPJMN 2015-2019. Penggunaan Atribut (Tag) dan Skor Anggaran. Sistem Skor dan Atribut untuk Anggaran Pembangunan Rendah Emisi (Low Emission Budget Tagging and Scoring System, LESS) diperkenalkan dalam sistem anggaran tahun 2015 bagi 7 Kementerian. Pada tahap pertama, pengenalan itu terbatas pada pemberian atribut (tagging) pada anggaran untuk mitigasi perubahan iklim dan belum ada sistem skor yang dilaksanakan. Belanja Pemerintah Daerah. Strategi P3H hanya membahas anggaran belanja Pemerintah Pusat. Belanja Pengeluaran Pemerintah Daerah mencakup dua jenis pengeluaran utama: hibah bersyarat, yang dicadangkan untuk tujuan tertentu; dan pendapatan lainnya, baik dari sumber sendiri atau dari hibah tanpa syarat. Studi CPEIR saat ini sedang dilakukan di Bangka Belitung. Studi ini akan memberikan bukti baru untuk menjelaskan sejauh mana anggaran pengeluaran tingkat Provinsi berkontribusi pada mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hasil awal menunjukkan bahwa antara 3% dan 4% dari belanja pengeluaran provinsi tersebut relevan untuk perubahan iklim. Total transfer ke daerah menyumbang sekitar 28% dari total pengeluaran publik pada tahun 2014, yang menunjukkan bahwa pengeluaran ekonomi hijau di Pemerintah Daerah bisa mencapai 1% dari total belanja publik, kira-kira mencapai skala yang sama dengan belanja pengeluaran ekonomi hijau oleh pemerintah pusat. Namun
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
demikian, dibutuhkan pekerjaan lanjutan CPEIR di Bangka Belitung yang menggunakan bobot lebih tinggi dibandingkan Strategi P3H dan tidak memperhitungkan pengeluaran untuk lingkungan. Beberapa indikasi awal dari peran hibah bersyarat yang terungkap dari studi PKPPIM tentang Kerangka Fiskal untuk Sektor Kehutanan dan Pertanian mengidentifikasi jumlah Rp 8,6 triliunBdari pengeluaran Dana Bagi Hasil(DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam anggaran tahun 2014, seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Bagian yang tergolong 'ekonomi hijau' dari belanja pengeluaran tersebut adalah sekitar Rp 3,4 triliun, atau 19% dari belanja pemerintah pusat untuk kegiatan ekonomi hijau. Karena banyak dari hibah bersyarat yang terkait dengan ekonomi hijau adalah di bidang pertanian dan kehutanan, ini memberikan indikasi yang baik bagi skala hibah bersyarat yang ditujukan untuk pendanaan ekonomi hijau di daerah. Tabel 10. Hibah Bersyarat Ekonomi Hijau untuk Pemerintah Daerah (Rp Miliar) Anggaran
% Manfaat
Anggaran x
% total Anggaran
2014
Ekonomi Hijau
GE%
publik
724
0,039%
(GE%) DBH SDA Kehutanan: PSDH
1.447
50%
DBH SDA Kehutanan: IIUPH
137
50%
69
0,004%
DBH SDA Kehutanan: DR
989
50%
495
0,026%
DAK Kehutanan
558
50%
279
0,015%
DAK Pertanian
2.580
33%
851
0,045%
DAK Irigasi
2.923
33%
965
0,052%
Total
8.634
3.381
0,181%
Catatan. DBH = Dana Bagi Hasil dari sumber daya kehutanan.PSDH = Provisi Sumber Daya Hutan (untuk lisensi kayu). IIUPH = Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan. DR = Dana Reboisasi. DAK = Dana Alokasi Khusus.
Selain tambahan untuk hibah bersyarat, pemerintah daerah juga memperoleh pendapatan yang besar dari sumber mereka sendiri ataupun dari hibah tanpa syarat. Perkembangan Instrumen Pembiayaan Ekonomi Hijau. Strategi P3H mengidentifikasi sejumlah kebijakan untuk mendorong pembiayaan oleh sektor swasta untuk investasi ekonomi hijau. Salah satu contoh yang telah menarik minat di Indonesia adalah penggunaan obligasi hijau (green bond). Sebagai contoh adalah meningkatnya permintaan internasional untuk membeli obligasi hijau (Kidney 2015). Pada tahun 2015, omzet pasar obligasi hijau diperkirakan akan mencapai $ 70 miliar, kurang lebih 0,1% dari total investasi swasta. Sekitar 40% masing-masing dilakukan oleh investor perusahaan dan bank pembangunan, dengan 13% dari pemerintah kota dan pemerintah daerah lainnya, dan sisanya dari ABS. Lebih dari 80% dari sukses penjualan obligasi hijau itu tergantung pada penilaian lembaga independen untuk memvalidasi apakah telah memenuhi persyaratan ekonomi hijau atau tidak. Obligasi bertema perubahan iklim bahkan bernilai lebih besar, sekitar $500 miliar yang diterbitkan pada pertengahan 2014. Sektor-sektor utama untuk obligasi bertema iklim tersebut adalah untuk energi (42%), bangunan hijau (16%), pengelolaan air (13%), pertanian (8%), air bersih (7%) dan angkutan umum (7%). Pasar obligasi hijau kini berkembang pesat di Cina, India dan Brasil. Obligasi untuk Kota Hijau sedang direncanakan di New York, Beijing, Paris dan Johannesburg. Peluang obligasi hijau di Indonesia dapat mencakup pembiayaan untuk angkutan umum, infrastruktur dan kelautan, pertanian berkelanjutan dan perumahan. Meskipun investasinya dari sektor swasta, namun pemerintah memainkan peran penting sebagai fasilitator, membangun minat dan kepercayaan masyarakat dengan memberikan: demonstrasi; menjembatani risiko (misalnya dengan kredit lunak, insentif pajak dan dukungan peraturan); serta dukungan perencanaan.
31
32
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
2.8 Konteks Internasional: Perkembangan Terkini Pada tingkat global, telah terjadi banyak peristiwa dan perkembangan baru, dimana terdapat banyak kemajuan dalam hal pendanaan iklim dan sumber dana untuk pembiayaan ekonomi hijau. Indonesia perlu memperhatikan secara lebih cermat dan mengambil peluang pendanaan internasional ini untuk pelaksanaan Strategi P3H dan menghijaukan perekonomian Indonesia. Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC) menerbitkan Fifth Assessment Report (AR-5) pada akhir 2014. Laporan kajian IPCC ke lima ini mengkonfirmasi bukti tentang hubungan antara emisi gas rumahkaca dengan perubahan iklim, serta lebih penyempurnakan keterkaitan tersebut. Hal ini juga meliputi banyak penelitian baru yang sedang berjalan, dimana perubahan iklim akan mempengaruhi kegiatan ekonomi dan lingkungan. Green Climate Fund (GCF) telah mulai memberikan persetujuan untuk aplikasi pendanaan perubahan iklim. Proses aplikasi menekankan perlunya mendefinisikan co-benefit (manfaat tambahan), termasuk hal-hal yang terkait dengan manfaat ekonomi hijau. Hal ini tentunya akan memastikan pentingnya mendorong kementerian teknis untuk mengembangkan kapasitas dalam menentukan dan mengestimasi manfaat ekonomi hijau dari setiap kebijakan pembangunan yang direncanakan. Para Pemimpin Negara-negara G7 dalam pertemuan di Jerman pada Juni 2015 menegaskan komitmen mereka untuk memastikan Green Climate Fund beroperasi penuh pada 2015. GCF sudah menerima proposal dana dari Otoritas Nasional Yang Ditunjuk (Nationally Designated Authorities), dengan menggunakan standar proses dua langkah (pertama melalui Concept Note, dan selanjutnya mengajukan Proposal Pendanaan Lengkap), menggunakan format standar yang tersedia di websitenya. GCF bekerja melalui 'lembaga mitra, yang mana 7 lembaga telah disetujui dan 13 lembaga lainnya dalam proses pertimbangan. GCF menerima USD 10 miliar pada tahun 2014 dan sedang dalam proses untuk menerima jumlah yang sama pada tahun 2015. Konferensi Internasional Ketiga tentang Pembiayaan untuk Pembangunan (FfD-3), di Addis Ababa yang diselenggarakan bulan Juli 2015 perlu dipandu dengan pemahaman mengenai kebutuhan pembiayaan di bidangbidang utama investasi untuk tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs), seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur berkelanjutan, pertanian, adaptasi perubahan iklim dan jasa ekosistem. UNFCCC Standing Committee on Finance (SCF) bertemu pada bulan Juni 2015 di Bonn, Jerman, dan menekankan pentingnya peningkatan sistem untuk pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV) bagi pendanaan iklim. Pada intinya hal ini menjadi tantangan untuk menemukan metode yang obyektif dalam menentukan proporsi pembiayaan yang terkait dengan perubahan iklim. COP 21 UNFCCC di Paris pada November 2015 akan terfokus pada masalah Intended Nationally Determined Contribution (INDC) atau niat kontribusi yang ditentukan secara nasional untuk penurunan emisi GRK dalam kerangka mitigasi perubahan iklim secara global. Namun, berbagai negara berkembang dan Negara berpendapatan menengah juga (lebih) berminat untuk menentukan INDC bagi program adaptasi perubahan iklim. Sampai saat ini, beberapa negara telah mendeklarasikan INDC untuk adaptasi (seperti Meksiko dan Gabon), dan negara-negara tersebut memiliki ringkasan rencana adaptasi nasional. Bagaimanapun, hal ini menunjukkan peningkatan minat bagi kemungkinan untuk menggunakan perkiraan "Kesenjangan Adaptasi" sebagai dasar penentuan INDC bagi program adaptasi di tingkat nasional. Perkiraan kesenjangan adaptasi ini akan menggunakan pendekatan yang sangat mirip dengan analisis "GE gap" dalam Strategi P3H.
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
UNFCCC Standing Committee on Finance (SCF) mengadakan pertemuan kesepuluh pada bulan Juni 2015 di Bonn dan telah memperkuat pekerjaan dalam perumusan dan pemantauan pendanaan iklim. SCF bertindak sebagai forum khusus untuk dana pembiayaan perubahan iklim, serta bagi pemerintah dan lembaga pembangunan sebagai forum untuk mempromosikan praktik-praktik pembiayaan iklim secara konsisten. SCF juga mengawasi dasar metodologi bagi UNFCCC Biennial Assessment and Overview of Climate Finance, yang disusun dengan berdasar pada pekerjaan lainnya, seperti yang dilakukan oleh OECD dan CPI. Sebagai hasil dari pertemuan Juni 2015, SCF mengeluarkan seruan untuk pandangan tentang bagaimana mendefinisikan pembiayaan iklim. Hasil dari proses ini akan membantu untuk meningkatkan konsensus internasional bagi mendefinisikan pendanaan iklim. Sustainable Development Goals (SDGs) Paska 2015 harus disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi PBB pada bulan September 2015. Indikasi yang muncul saat ini adalah bahwa rumusan prioritas sasaran pembangunan berkelanjutan yang diajukan akan sangat mirip dengan yang tercantum dalam Tabel 21 Strategi P3H 2014 (halaman 98). Sejak Strategi P3H 2014, kegiatan Analisis Belanja Pengeluaran Publik dan Kelembagaan (Climate Public Expenditure and Institutional Review, CPEIRs) telah diselesaikan di Vietnam, Pakistan dan Filipina. Banyak negara lain yang telah ikut memulai, termasuk di Amerika Latin dan Afrika. Hal ini terus menyoroti kebutuhan akan perlunya objektivitas dalam mendefinisikan relevansi tentang perubahan iklim. Selain CPEIR, ada beberapa Kerangka Kerja Pembiayaan Perubahan Iklim (Climate Change Financing Frameworks, CCFFs), termasuk di Bangladesh dan Kamboja, dan sekarang sudah ada beberapa pedoman internasional yang tersedia. CCFF menerapkan pendekatan yang sangat mirip dengan yang digunakan dalam Strategi P3H: menentukan kerugian dan kerusakan SDA dan ekonomi yang mungkin timbul dari perubahan iklim, dan kemudian menilai sejauh mana kebijakan dan anggaran belanja publik saat ini akan mengurangi kerugian dan kerusakan terebut, untuk menyediakan konteks bagi skenario kebijakan dan belanjapengeluaran publik dimasa depan. Ada juga beberapa pekerjaan tindak lanjut CCFF di Asia Tenggara tentang pedoman penilaian kebijakan terkait perubahan iklim, yang akan digunakan oleh Kementerian Teknis dalam menyampaikan anggaran belanja (misalnya di Thailand dan Kamboja). Pekerjaan ini masih berlangsung, tetapi beberapa temuan awal telah tersedia.
33
34
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
3 TINDAK LANJUT DAN LANGKAH BERIKUTNYA Strategi P3H 2014 ditutup dengan bab yang menjelaskan tentang tanggung jawab kelembagaan untuk mengimplementasikan strategi tersebut. Bagian ini mengidentifikasi 5 bidang utama dimana diperlukan ada langkah-langkah aksi untuk mengimplementasikan Strategi P3H yang sesuai dengan kondisi yang berkembang sejak 2015 dan tantangan RPJMN 2015-2019: a) adanya perubahan untuk penilaian kebijakan/program dalam anggaran belanja, dengan memberi bobot lebih tinggi pada manfaat ekonomi hijau; b) pengembangan instrumen baru untuk mendorong investasi pembangunan hijau di sektor swasta; c) pemberian atribut anggaran untuk memasukkan isu ekonomi hijau dalam proses penganggaran pemerintah; d) peningkatan kapasitas untuk mendukung tiga bidang pertama dari ekonomi hijau; e) memproduksi Laporan Tahunan tentang Kemajuan Pelaksanaan P3H, sebelum siklus anggaran dimulai. Tabel 11. berikut merangkum tanggung jawab kelembagaan dari Kementerian/Lembaga yang terkait dengan Ekonomi Hijau dan pelaksanaan Strategi P3H sejak 2015. Tabel 11. Tanggung Jawab dan Peran dalam Pelaksanaan Strategi P3H Institusi Kemenkeu
Tanggung Jawab dan Peran dalam Pelaksanaan Strategi P3H Ditjen Anggaran meminta K/L membuat Kajian LHS / GGAP untuk semua kebijakan fiskal
utama yang berkaitan dengan ekonomi hijau Ditjen Anggaran menyetujui pendanaan untuk memberi insentif lebih besar, serta
penggunaan instrumen keuangan dan peraturan untuk meningkatkan investasi pembangunan hijau oleh sektor swasta Ditjen Anggaran menghormati permintaan anggaran oleh kementerian teknis untuk memperkuat penegakan peraturan, yang pada akhirnya akan meningkatkan investasi pembangunan hijau oleh sektor swasta Ditjen Anggaran mengharuskan penggunaan atribut anggaran untuk 8 bidang ekonomi
hijau utama oleh kementerian teknis PKPPIM mengembangkan metodologi untuk pemberian skor anggaran Penggunaan atribut dan skor untuk membuat tabel ekonomi hijau, baik di Akun Tahunan
(BUN) maupun dalam dokumen negosiasi anggaran secara real time (Ditjen Anggaran) Pertahankan rezim harga BBM yang baru, apabila harga minyak dunia naik
Bappenas
Meminta penggunaan Kajian LHS dan GGAP untuk semua belanja anggaran utama/skala
besar yang terkait dengan ekonomi hijau Pastikan bahwa pendekatan ekonomi hijau dimasukkan dalam semua dokumen strategi
yang baru dari semua sektor terkait dengan ekonomi hijau Kementerian LHK
Seluruh kementerian terkait
Laksanakan serangkaian kebijakan kehutanan dalam Strategi P3H dengan fokus utama
pada KPH, sebagaimana dijelaskan dalam Kerangka Fiskal untuk Sektor Berbasis Lahan , Kementerian Keuangan Pengenalan dan penegakan peraturan untuk restorasi lahan gambut Perintisan untuk menerapkan skema pembayaran jasa ekosistem (PES) Mengenalkan/menegakkan peraturan untuk meningkatkan daya ungkit investasi pembangunan hijau oleh sektor swasta Memastikan anggaran belanja yang memadai untuk penegakan hukum dan kapasitas pelaksanaan peraturan/kebijakan
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Institusi KemenESDM
Tanggung Jawab dan Peran dalam Pelaksanaan Strategi P3H Bekerjasama dengan Kemenkeu memperbaiki dan memperluas insentif dan peraturan
untuk pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi Memperbaiki dan menegakkan peraturan pertambangan dan struktur royalti untuk
menghilangkan kontaminasi lahan dan memastikan pemulihan lingkungan paska tambang Kemenhub
Menerapkan kajian GGAP dan KLHS pada investasi pembangunan infrastruktur untuk
jalan raya, kereta api dan transportasi laut KemenPUPR
Menegakkan peraturan terkait dengan efisiensi energi bangunan
Pemerinah Daerah
Investasi pada serangkaian kebijakan untuk penghijauan kota/daerah
Melakukan kajian GGAP dan KLHS untuk investasi infrastruktur Meningkatkan pelaksanaan peraturan dan perizinan tentang lingkungan, termasuk
Sektor Swasta
komitmen pemimpin tertinggi di daerah, untuk penyediaan anggaran dan belanja bagi penguatan kapasitas lembaga dan partisipasi masyarakat. Kajian GGAP dan KLHS pada semua investasi pembangunan infrastruktur kota Membangun budaya perusahaan yang menghormati peraturan dan melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan Memperluas pendanaan ekonomi hijau melalui program Corporate Social Responsibility (CSR)
LSM
Melibatkan diri dalam program EH berbasis masyarakat Mendorong kesadaran publik terhadap pentingnya ekonomi hijau
Penilaian Program/Proyek dalam Anggaran. Kementerian Teknis akan memasukkan penilaian program/proyek berdasarkan bukti kuat untuk mendukung program-program dalam rencana kerja dan pengajuan anggaran mereka (dalam tiap RENJA-KL dan RKA-KL). Baik Strategi P3H dan Peta-jalan Pertumbuhan Hijau (GG Roadmap) memasukkan saran-saran mengenai hal-hal apa saja yang harus dicakup dalam hal ini. Strategi P3H 2014 menekankan pentingnya dilakukan proses dan prosedur penilaian (appraisal) yang lebih ketat dan cermat terhadap setiap kebijakan, rencana, program dan anggaran belanja yang diajukan untuk menunjang pembangunan ekonomi hijau, berdasarkan hasil telaah, kajian dan/atau bukti-bukti empiris yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Untuk pengajuan kebijakan, program dan anggaran belanja pembangunan hijau yang baru dan skala besar, harus berdasarkan pengalaman dan hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dengan fokus pada cara-cara penanggulangan perubahan iklim dan degradasi lingkungan yang akan memberi manfaat pembangunan/sosial-ekonomi yang diharapkan. Peta-jalan Pertumbuhan Hijau (Green Growth Roadmap) juga menyarankan digunakannya pendekatan melalui "Proses Penilaian Pertumbuhan Hijau (Green Growth Appraisal Process, GGAP)" yang lebih substansial, dan menggunakan Analisa Biaya-Manfaat (CBA) yang diperluas, jika memungkinkan. Baik Kemenkeu maupun Bappenas perlu meminta proses dan bahan penilaian seperti ini sebagai bagian dari justifikasi pengajuan dan persetujuan anggaran. Kementerian Teknis harus mencurahkan sumber daya dan waktu untuk menyiapkan pekerjaan tersebut dan harus mengembangkan kapasitas untuk melaksanakan prosedur penilaian ini, baik secara internal atau melalui penggunaan tenaga ahli/konsultan dari luar. Pentingnya penerapan prosedur KLHS dan GGAP ini diperkuat dan makin dirasakan pentingnya oleh penekanan agenda prioritas pada pembangunan infrastruktur dan kemaritiman di Nawa Cita dan RPJMN 2015-2019. Secara khusus, Kementerian Teknis yang terlibat dalam desain infrastruktur dan konstruksi akan perlu memperbaiki dan mengadopsi praktek dan standar dalam pengujian infrastruktur baru. Hal ini harus menunjukkan manfaat tambahan ekonomi hijau yang berarti dari peningkatan pengujian, tetapi juga harus dapat ditunjukkan bahwa ada batas-batas untuk tingkat pengujian yang dapat diterima, dan menunjukkan bagaimana memperkirakan tingkat pengujian yang optimal dan berhasil baik.
35
36
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Pengembangan Instrumen Baru dengan Daya Ungkit Sektor Swasta yang Tinggi. Strategi P3H 2014 mendefinisikan berbagai pilihan untuk instrumen baru yang bisa mendukung pengembangan ekonomi hijau. Ini perlu dilanjuntukan dengan upaya mencari instrumen kebijakan dan program-program baru, terutama yang bisa menarik lebih banyak keterlibatan sektor swasta dan aktor-aktor non-pemerintah dan masyarakat lainnya yang lebih besar di tingkat nasional dan internasional. Untuk itu dipersiapkan beberapa langkah seperti: insentif baru (misalnya dana hibah dan insentif fiskal); penggunaan lebih besar instrumen sektor keuangan (misalnya pinjaman bank & nonbank, jaminan pinjaman, obligasi, dan sebagainya); serta regulasi dan peraturan (misalnya perizinan, standar, bakumutu, program CSR, dan sebagainya). Penerapan Instrumen-instrumen baru tersebut juga harus tunduk pada ketentuan KLHS dan GGAP yang sama, yang disyaratkan untuk pengeluaran anggaran belanja publik. Selain itu penerapan instrumen/program baru dan prosedur penilaiannya ini harus lebih realistis terhadap konsekuensi biaya yang harus dipikul oleh lembaga yang akan mengelola kebijakan/program tersebut. Pencarian instrumen baru ini bisa mencakup referensi pada pengalaman internasional maupun dengan melihat pengalaman empiris dan solusi yang berkembang di Indonesia. Pemberian Atribut dan Skor Anggaran. Pemberian atribut dan skor anggaran belanja adalah alat utama untuk mengkonsolidasikan pengakuan tentang pentingnya pendekatan ekonomi hijau dalam APBN. Kemenkeu telah memperkenalkan Sistem Atribut dan Skor untuk Anggaran Rendah Emisi (Low Emission Budget Tagging and Scoring System - LESS) dalam program mitigasi perubahan iklim pada tahun 2014, dan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan no. 143/PMK-02/2015 tentang Pedoman untuk Penyiapan dan Kajian terhadap Rencana Kerja & Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKA-KL) dan Dokumen DIPA untuk diterapkan pada tahun anggaran 2015. Pedoman Anggaran bagi Kementerian Teknis itu berisi instruksi tentang bagaimana cara merumuskan dan menggunakan atributanggaran untuk kegiatan yang terkait mitigasi perubahan iklim dalam rencana anggaran yang akan diajukan kepada Kemenkeu. Sistem LESS didasarkan pada Keputusan Presiden 61/2011 tentang RAN-GRK, yang mendefinisikan pengeluaran mitigasi sebagai tindakan yang memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi GRK atau untuk penyerapan, dan/atau stabilisasi stok karbon di atmosfir. Dalam hal ini dibedakan antara kontribusi langsung dan tidak langsung. Pengalaman dalam menerapkan cara pemberian atribut anggaran untuk mitigasi pada tahun 2015 tersebut akan perlu ditinjau untuk mendapatkan penlajaran tentang bagaimana memperluas pemberian atribut anggaran ini ke area lain pada berbagai sektor ekonomi hijau, termasuk adaptasi dan perlindungan lingkungan. Hal ini harus mengarah pada perumusan kriteria dan pedoman yang lebih jelas agar penggunaan atribut ekonomi hijau bisa lebih objektif. Penyusunan kriteria dan pedoman ini perlu didukung dengan peningkatan kapasitas aparat dan kesadaran masyarakat. Laporan Perkembangan ini juga harus mempertimbangkan apakah sistem tematik dan klasifikasi anggaran dengan memberi atribut ekonomi hijau ini dapat diperluas dengan mencakup sistem pemberian bobot nilai atau skor atas nilai ekonomi hijau yang diusulkan masuk anggaran. Sudah ada beberapa pengalaman dalam pemberian skor nilai untuk perubahan iklim ini, berdasarkan hasil kajian pada CPEIR dan CCFF. Prinsip dasarnya mencakup penentuan bobot nilai sejauh mana belanja pengeluaran untuk suatu aksi program/proyek akan memberikan kontribusi manfaat ekonomi hijau (GE benefit), dibandingkan dengan manfaat ekonomi/pembangunan yang konvensional. Hal ini dapat diketahui dan diukur dengan cara: a) mengacu pada tujuan/ sasaran yang dinyatakan dalam dokumen proposal program atau kebijakan; b) melalui beberapa bentuk konsultasi terstruktur dengan menggunakan berbagai kriteria (misalnya dukungan pendapat para ahli atau FGD penilaian secara partisipatif); dan c) melalui metode yang lebih objektif dengan menerapkan kajian dan/atau Analisis Biaya-Manfaat (CBA), yang dilakukan dengan bukti terinci atau bukti indikatif yang bersumber dari data yang tersedia dengan mudah. Peningkatan kapasitas. Strategi P3H berisi sejumlah prioritas untuk peningkatan kapasitas dan layanan informasi, sebagai bagian dari upaya untuk mendukung kegiatan Ekonomi Hijau dalam program pembangunan nasional yang
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
diprioritaskan. Kegiatan penyusunan prioritas kebijakan/program pembangunan hijau ini dilaksanakan oleh berbagai Kementerian dan Lembaga, sebagaimana dijelaskan dalam uraian Strategi P3H 2014. Sebagai salah satu sumber utama dari keahlian teknis tentang perubahan iklim dan perlindungan lingkungan yang menjadi fokus penting Strategi P3H, Kementerian LHK dan ESDM memainkan peran kunci dalam memberikan informasi substantif dan pedoman acuan untuk merumuskan kegiatan peningkatan kapasitas bagi pelaksanaan Stategi P3H tersebut. Sedangkan BKF-PKPPIM bisa menyediakan panduan tehnis tentang bagaimana merancang kebijakan fiskal dan keuangan yang baik untuk penyusunan dan evaluasi program-program terkait perubahan iklim dan ekonomi hijau. Laporan Tahunan tentang Kemajuan Pelaksanaan Strategi P3H. Dokumen Strategi P3H 2014 merekomendasikan bahwa suatu "Laporan Tahunan tentang Kemajuan Pelaksanaan P3H (GPB Annual Progress Report)"perludisusun dan dilaporkan secara reguler/setiap tahun, tak lama sebelum awal siklus anggaran dimulai. Laporan Tahunan tersebut disiapkan oleh PKPPIM/BKF-Kementerian Keuangan dengan menyajikan ringkasan informasi dan data-data anggaran terbaru dari anggaran belanja pengeluaran terkait pembangunan ekonomi hijau, dan menyempurnakan sistem pemberian atribut dan skor anggaran untuk kegiatan ekonomi hijau yang digunakan dalam memperkirakan belanja pengeluaran untuk tahun yang dilaporkan. Analisis data untuk penyusunan laporan dapat mencakup unsurunsur sebagai berikut: Belanja pengeluaran aktual kegiatan berlabel/atribut ekonomi hijau untuk 2015; Menambahkan beberapa elemen yang tidak tercakup dalam analisis belanja pemerintah pusat dalam Strategi
P3H 2014 (misalnya, semua alokasi ke daerah, dan berbagai item pembiayaan sebanyak yang dimungkinkan); Analisa APBN-P 2015, yang memperkirakan total pengeluaran ekonomi hijau dan memberikan penilaian apakah
perubahan itu sejalan dengan skenario P3H, baik dari segi volume total anggaran maupunmengenai kecenderungan perubahan dalam penerapan instrumen kebijakan, misalnya dari ketergantungan pada penggunaan anggaran belanja secara langsung atau sudah lebih menuju kepada penggunaan insentif dan peraturan-peraturan untuk meningkatkan peran swasta; dan Penilaian terhadap pemberian atribut mitigasi dalam anggaran 2015.
Laporan Tahunan tentang Kemajuan Pelaksanaan Strategi P3H ini juga bisa melaporkan berbagai berita dan perkembangan terbaru terkait dengan kebijakan, program dan kegiatan ekonomi hijau yang baru serta dampak dari perubahan kelembagaan pada kinerja program dan lembaga terkait. Laporan Perkembangan Strategi P3H tahun 2015 ini memberikan gambaran langkah awal dan sementara untuk menyusun Laporan Tahunan Kemajuan Pelaksanaan Strategi P3H yang pertama, yang diperkirakan dapat mencakup elemen-elemen informasi sebagai berikut. Tabel 12. Contoh Daftar Isi Laporan Tahunan Kemajuan Pelaksanaan Strategi P3H tahun 2015 Bab 1 2 3 4 5 6
Daftar Isi Laporan Tahunan Kemajuan Pelaksanaan Strategi P3H Halaman Pendahuluan: tujuan dan kerangka Laporan Tahunan 1 Ringkasan Strategi P3H tahun 2014: lihat versi singkat dari Bab 1 Laporan Perkembangan Strategi P3H tahun 2015 ini 4 Perkembangan terkini tentang 21 Prioritas Kebijakan/Program P3H 3 Penilaian dan Penandaan atribut yang digunakan untuk penganggaran dan analissis belanja ekonomi hijau 2 Data Belanja Pengeluaran Terakhir: tahun 2014 dan APBN-P tahun 2015 3 Kesimpulan dan Rekomendasi untuk penyusunan Anggaran & Laporan tahun 2016 3
37
38
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Rangkuman Proses Pengintegrasian Ekonomi Hijau kedalam Siklus Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan. Kebijakan dan/atau program Ekonomi Hijau bukan suatu kegiatan sektoral, akan tetapi kegiatan multi-dimensi berjangka panjang yang melibatkan banyak sektor dan pelaku, bersifat lintas sektor, lintas program, lintas K/L, dan lintas daerah. Karenanya kebijakan Ekonomi Hijau dan pelaksanaan Strategi P3H bukan hanya membutuhkan koordinasi perencanaan lintas-sektor akan tetapi juga perlu pendekatan perencanaan anggaran berjangka menengah (juga berjangka panjang), dengan menggunakan Kerangka Pengeluaran Anggaran Jangka Menengah (KPJM) untuk perencanaan anggaran bertahun jamak guna menanggulangi tantangan perubahan iklim, degradasi dan kerusakan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan. Pendekatan untuk mengatasi tantangan yang kompleks tersebut perlu dilakukan dengan menerapkan sistem Anggaran Berbasis Kinerja, yang menuntut adanya tolok ukur dan/atau indikator hasil dan kinerja yang jelas agar bisa mengukur manfaat dan keberhasilan Program Ekonomi Hijau yang bersifat lintas sektor, lintas instansi dan lintas daerah tersebut. Strategi P3H untuk merencanakan anggaran program pembangunan hijau bertumpu pada 6 bidang/kelompok kebijakan yang terdiri dari 21 program prioritas utama untuk mewujudkan pembangunan ekonomi hijau dalam periode 2015-2019 seperti terlihat pada Tabel 9 dan Lampiran 1 Laporan Perkembangan P3H ini. Upaya identifikasi, analisis dan menseleksi butir-butir anggaran belanja pengeluaran untuk pembangunan ekonomi hijau bukan perkara mudah, karena dalam kenyataannya anggaran belanja untuk program EH tersebut seringkali diselipkan ke dalam atau termasuk didalam anggaran belanja untuk kebijakan/program utama lainnya. Karena itu Strategi P3H berusaha mengatasi masalah penentuan prioritas kebijakan/program tersebut dengan menggunakan konsep "manfaat Ekonomi Hijau" atau "Green Economy (GE) benefit" , yang diartikan sebagai berapa besar bagian/porsi dari total anggaran belanja pembangunan dibidang tersebut yang memberi manfaat Ekonomi Hijau, berdasarkan kriteria dan indikator kinerja yang disepakati bersama sebelumnya. Kementerian Keuangan telah menyiapkan sistem pemberian atribut anggaran (budget tagging), dan nantinya juga sistem pemberian bobot nilai anggaran (budget scoring) yang bisa digunakan untuk menilai seberapa besar anggaran belanja yang tersedia untuk Ekonomi Hijau (GE benefit) itu akan mampu meningkatkan jumlah total manfaat pembangunan (GE%). Kemekeu akan memberi petunjuk, panduan dan bimbingan tentang bagaimana menerapkan metode baru ini dalam sistem penganggaran pembangunan pada semua K/L dan daerah. Sedangkan Bappenas akan minta kepada semua K/L agar baik rencana maupun sistem penilaian program/proyek pembangunan harus memasukkan faktor perubahan iklim dan kerusakan SDA/Lingkungan dalam rencana kerja dan anggarannya, serta menggunakan rumusan manfaat Ekonomi Hijau (GE benefit) sebagai atribut dan bobot nilai (skor) penanda yang perlu masuk dalam pengajuan rencana anggarannya kepada Kemenkeu. Dengan menghitung perkalian belanja pengeluaran dengan bobot nilai GE% akan diperoleh skor nilai rencana-rencana anggaran yang akan dipresentasikan dalam sejumlah tabel-tabel manfaat Ekonomi Hijau. Kemenkeu akan menggunakan skor anggaran GE% ini untuk memonitor dan mengevaluasi trends dari bobot nilai belanja Ekonomi Hijau dalam satu tahun anggaran untuk dilaporkan dalam catatan APBN dan Nota Keuangan Pemerintah kepada DPR, mengenai sejauh mana anggaran belanja beratribut ekonomi hijau itu telah memberi kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan pembangunan Indonesia. Gambar 9 berikut ini menunjukkan rangkuman dari proses integrasi dan upaya pelembagaan kebijakan/program Ekonomi Hijau kedalam siklus perencanaan dan penganggaran pembangunan yang diharapkan bisa terjadi melalui pelaksanaan Strategi P3H.
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
39
Gambar 9. Rangkuman Proses Pengintegrasian Program Ekonomi Hijau ke dalam Siklus Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
PERIODE UNIT
Pagu Anggaran Indikatif (Jan-Apr)
Pembahasan Anggaran (Agus-Okt)
Pagu Anggaran (Mei-Jul)
7
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
12 Diskusi Awal Bahas RAPBN (KEM, PPKF, dan RKP) (Mei)
Diskusi Usulan Anggaran
18 Perpres ttg Pengesahan Rincian Anggaran
Persetujuan draft RUU-APBN
6 1
Presiden RI
Pagu Alokasi Anggaran (Nov-Des)
13
KEM dan PPKF diterbitkan
Arah Kebijakan dan Prioritas Pembangunan
19
8 Pagu dan Perumusan Anggaran K/L
2
Kemenkeu cq Ditjen Anggaran
Pagu Anggaran Keseluruhan, Kebijakan Anggaran, Proposal, Basis Telaah
PERTEMUAN TIGA PIHAK
BAPPENAS
4
Perumusan & Diskusi Awal Kebijakan Makro & Kebijakan Fiskal (KEM & PKF) 5
9 Rencana Kerja dan Anggaran K/L (RKA-K/L), Perumusan & Telaah Anggaran oleh APIP
Kementrian/ Lembaga (K/L)
Merujuk pada Strategi Priotitas Ekonomi Hijau (GE)
Pembahasan Usulan Anggaran TELAAH RENCANA KERJA & ANGGARAN K/L
3 Pagu Anggaran Indikatif
15
11
10
Manfaat Ekonomi Hijau (GE Benefit) dalam Anggaran
Perumusan dan Pengesahan DIPA
Pemberian Atribut dan/atau Skor Ekonomi Hijau (GE Tagging/Scoring)
Pagu dan Perumusan Anggaran K/L 17 Pengesahan draft RUU-APBN 14
Perpres ttg Perumusan Rincian Anggaran
16 Telaah dan Perubahan RKA-K/L oleh APIP dan konsep DIPA
Pemberian Bobot/Skor Ekonomi Hijau (GE Weighted Tables)
Sumber: Dimodifikasi dari Agung Widiadi, Direktur Sistem Anggaran, Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Budget Tagging System – Indonesia”, makalah presentasi pada Asia Pacific Regional Forum on Climate Change Finance and Sustainable Development (2015).
40
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Lampiran 1. Update Prioritas dan Instrumen dalam Strategi P3H Prioritas
Kebijakan / Instrumen Program (dan Instansi Utama)
Pemantauan Keluaran
Anggaran 2014 dan % Anggaran Hijau (GE %)
Kehutanan, Lahan Gambut dan Sumber Daya Kelautan F1: Kehutanan
Penegakan dan ijin kebijakan (Pem. Daerah, KLHK) Penguatan perlindungan hutan (KLHK) Reboisasi lahan terdegradasi (KLHK) Dana Amanah/Perwalian untuk Konservasi
Keanekaragaman Hayati / Sumber Daya Alam (KLHK / Kemenkeu) Tukar guling tanah (Pemerintah Daerah) REDD+ berbagai insentif (KLHK) Pengukuran yang efektif, pelaporan & verifikasi (KLHK) F2: Lahan Gambut Terdegradasi
Instrumen REDD+ (Kementan, KLHK) Rehabilitasi sistem kanal gambut basah (Kementan /
KemenPUPR) Beberapa kebijakan khusus dana lokasi anggaran
hibah (Kemenkeu) Peraturan untuk meminta pemerintah daerah
mendanai restorasi lahan gambut (Kementan / Kemendagri / KATR) Dengan dana dampingan khusus, dari daerah dan/atau anggaran nasional (Kemenkeu / Pemerintah Daerah) Sumber daya masyarakat (pengetahuan, tenaga kerja, dan lainnya) Pemerintah daerah dan pembiayaan berbasis proyek (Pemerintah Daerah) F3: Terumbu Karang & Sumber Daya Kelautan
Peraturan perlindungan terumbu karang (KKP) Transportasi kapal antar pulau & peraturan
pembuangan Limbah (KKP) Sumber Daya Kelautan dan manajemen Pesisir (KKP) Penegakan peraturan kelautan & maritim (KKP)
Kawasan hutan, berdasarkan jenis
hutan dan kondisi (laju deforestasi jadi separuhnya tahun 2018 dan jadi nol pada tahun 2030) Pengukuran Karbon Pembentukan Dana Perwalian (Trust-fund)
Jumlah Hektar yang direstorasi
(meningkat sebanyak 0,1m ha tahun 2018 dan 0,3m tahun 2030) Pendanaan lokal dan dana dampingan tambahan Jumlah kanal lahan gambut yang direhabilitasi
Perlindungan km persegi
(ditingkatkan dari 62.000km2 sekarang hingga 150.000 tahun 2018 dan 500.000 tahun 2030) Pekerjaan wisata laut/terumbu karang
Rp 4,5 triliun 100% hutan
lindung 50% hutan
produksi
N/A 100% restorasi
Rp 0,7 triliun 100%
perlindungan. 10-20% lainnya
Pertanian A1: Praktek dan varietas tanaman pertanian
A2: Kelapa Sawit
A3: Irigasi Pertanian
Penelitian terapan untuk varietas tanaman baru &
peternakan hijau (Kementan) Peningkatan program penyuluhan pertanian (Kementan) Pembiayaan pedesaan dan sistem asuransi bagi petani (Kemenkeu) Pelabelan dan sertifikasi tanaman pertanian (Kementan)
Jumlah Hektar yang
menggunakan varietas bibit dan praktek baru (hingga 0.1m ha tahun 2018 dan 0.5m ha tahun 2030)
Tukar-ganti lahan perkebunan (Kementan / KATR /
RSPO meningkat dari 28% hingga
Pemerintah Daerah) Menghentikan secara bertahap produksi kelapa sawit di lahan gambut (Kementan) Kontrak biofuel yang lebih fleksibel dengan Pertamina (ESDM) Kebijakan perdagangan Anti-dumping (Kemenperdag)
35% di tahun 2018 dan 50% di tahun 2030 Luas perkebunan sawit di lahan terdegradasi Hasil produksi minyak sawit Produksi biodiesel
Pemeliharaan, peningkatan kapasitas dan kelompok
Jumlah hektar irigasi pertanian
pengguna air (Kementan) Skema rehabilitasi/ perbaikan jaringan irigasi (KemenPU)
yang dikelola petani (dari 6,7m hingga 8.0m tahun 2018 & 10.0m tahun 2030)
Rp 2,4 triliun 10% produktivitas
bibit tanaman
Rp 0,7 triliun 10% produktivitas
tanaman
Rp1,4 triliun 33%
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Prioritas
Kebijakan / Instrumen Program (dan Instansi Utama)
Pemantauan Keluaran
Anggaran 2014 dan % Anggaran Hijau (GE %)
Kehutanan, Lahan Gambut dan Sumber Daya Kelautan E1: Efisiensi Energi
Insentif, dana bergulir, jaminan pinjaman (Kemenkeu) Peraturan (KemenESDM) Skema Percontohan pengembangan teknologi tepat
guna (KemenESDM / Kemenkeu) Proyek Percontohan tentang Kesadaran masyarakat
Intensitas Energi dari PDB (turun
dari 15,8 kWh/$ menjadi 15,5 tahun 2018 dan 15,0 tahun 2030. Penggunaan energi di kantor pemerintah
Rp 0,1 triliun 20%
dan Pemerintah (KemenESDM)
E2: Energi Baru dan Terbarukan (EBT)
Kemudahan Perizinan untuk EBT (KemenESDM) FITs, insentif fiskal (KemenESDM / Kemenkeu) Dana bergulir dan jaminan pinjaman (Kemenkeu) Pengurangan biaya Bea Cukai (Kemenkeu) Peningkatan kesadaran & jaringan bisnis EBT
Tenaga yang dihasilkan untuk
setiap teknologi EBT (meningkat dari 4,8% menjadi 8% pada tahun 2018 dan 23% pada tahun 2030)
Rp 1,8 triliun 20%
(KemenESDM) Target UKM untuk sektor keuangan (ESDM)
E3: Penggunaan dan Efsiensi Sumber Daya di Industri
Insentif, dana bergulir dan kredit jaminan (Kemenkeu) Peraturan untuk menunjang pelaksanaan
(Kemenperin) Skema percontohan (Kemenperin) dan proyek utama
Physical input-output ratio per sektor Nilai tambah rasio input-output berdasarkan sektor
Rp 0,4 triliun 100% hijau 5-10% industri
% kemajuan aktual dari
Rp 282,1 triliun N/A
BUMN
E4: Energi dan Harga Bahan Bakar Minyak
E5: Listrik skala besar
Belanja subsidi bahan bakar fosil dan listrik dikurangi
dan dihapuskan secara bertahap (Kemenkeu / Kemenko Perekonomian) Penghematan subsidi BBM digunakan untuk dana kompensasi kesejahteraan sosial dan angkutan umum (Kemenkeu) Penghematan digunakan untuk pendanaan efisiensi energi dan investasi terbarukan (Kemenkeu / KemenESDM) Peraturan tentang teknologi bersih, pembangkit
efisiensi tinggi, dan carbon capture & storage (KemenESDM / PLN) Peraturan dan insentif untuk pengembangan pasar karbon (KemenESDM / Kemenkeu) Peraturan / insentif untuk jaringan transmisi listrik (KemenESDM / PLN) Smart grid untuk memfasilitasi koneksi energi terbarukan (PLN) E6: Sistem Pertambangan Lestari
Persyaratan perizinan tambang (KemenESDM) Penaatan setoran dana jaminan pasca-tambang dan
pengurangan subsi diterhadap yang direncanakan (dengan subsidi BBM dihilangkan pada tahun 2018)
Intensitas kadar karbon (C02) dari pembangkit listrik
Rp 6,2 triliun 5%
% area pertambangan yang sudah direhabilitasi
Rp 6,0 triliun 100% hijau 5-20% lainnya
Pengeluaran dana untuk Program CSR Jumlah perusahaan publik naik dari 80 saat ini dengan target KADIN yang baru
Rp 0,1 triliun 100%
rehabilitasi lahan pertambangan (KemenESDM) Revisi kontrak untuk peningkatan pendapatan non-
pajak (KemenESDM) Pembayaran Royalti berdasarkan pendapatan bersih
& penggunaan sumber daya (KemenESDM) Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pasca
tambang, termasuk Pembayaran Jasa Lingkungan (KemenESDM) E7: Corporate Social Responsibility (CSR)
Peningkatan Kesadaran (perusahaan dan masyarakat luas) (Kemenperin / KLHK / KADIN) Database dan pembuatan Laporan tentang Keberlanjutan tahunan (Kemenperin / KADIN / BUMN / KLHK)
41
42
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Prioritas
Kebijakan / Instrumen Program (dan Instansi Utama)
Pemantauan Keluaran
Anggaran 2014 dan % Anggaran Hijau (GE %)
Transportasi, Perencanaan Kota & Pembangunan Daerah T1: Transportasi Publik
· Penghematan energi di angkutan umum (Kemenhub / Otoritas Daerah) Meningkatkan investasi dan alokasi anggaran untuk kereta api dan sistem transportasi laut (Bappenas / Kemenkeu) Strategi nasional untuk angkutan umum yang mencakup semua tingkat pemerintahan (Bappenas) Transfer dari pemerintah pusat untuk mendukung angkutan umum Pemerintah Daerah (Kemenkeu/ Pemda) Disinsentif untuk kendaraan pribadI (Kemenhub/ Pemda) Hibah Investasi dan jaminan harga (Kemenkeu) Skema Lalu Lintas / perparkiran dan bahan bakar alternatif (Kemenhub / Pemerintah Daerah)
Jumlah perjalanan kereta api meningkat dari 202 km saat ini menjadi 250 km pada tahun 2018 dan 400 km pada tahun 2030 % dari perjalanan menggunakan angkutan umum berkurangnya waktu perjalanan dan kecelakaan
· Rp 35,0 triliun 50% perkotaan/ rel KA 5% kelautan 0% udara
T2: Pengelolaan Limbah
Peningkatan alokasi anggaran untuk pengelolaan
% sampah / limbah di tempat pembuangan akhir
Rp 3,1 triliun 100% polusi 20-50% lainnya
T3: Infrastruktur Tahan Iklim
Perubahan iklim termasuk dalam standar
% proyek menggunakan standar bukti tahan perubahan iklim
Rp 41,2 triliun 5%
T4: Perencanaan dan Pembangunan Kota dan Daerah
Infrastruktur antarpulau dan interkoneksi antar-
Ini co-efficient dari ketidaksetaraan pendapatan regional Rasio upah di wilayah kaya dan termiskin turun dari 1,6 saat ini hingga 1,5 pada tahun 2018 dan 1,2 pada tahun 2030 Jumlah usaha di lokasi bukti iklim
Rp 4,1 triliun 50% penyetaraan 10% lainnya
limbah oleh pemerintah daerah (Pemda) Kampanye Nasional kesadaran daur ulang limbah domestik (KLHK/Pemda) Insentif untuk pengelolaan limbah untuk konversi energi (Kemenkeu)
pembangunan jalan / jembatan / desain infrastruktur (KemenPU) Peraturan & anggaran untuk pemeriksaan iklim (KemenPU / Otoritas Daerah) wilayah (Kemenko Perekonomian / CMfMA / Bappenas) Insentif untuk merelokasi industri dan sarana perdagangan retail dari DKI Jakarta (Kemenkeu) Peningkatan Sarana Kesehatan dan Pendidikan di Kawasan Timur Indonesia dan mengubah perilaku (CMHDC) Pembatasan & akuisisi lahan untuk mengatasi masalah ketersediaan tanah/lahan dan infrastruktur tahan iklim (KATR / KemPUPR / Kemenkeu) Dana Fasilitas Pembangunan untuk mendukung Proyek Infrastruktur berdasar Kemitraan Pem-Swasta (PPP) untuk Pembangunan Kota Hijau (Kemenkeu) Jaminan Bank BUMN / investasi swasta untuk menunjang investasi hijau pada pembangunan Prasarana Publik (KemenPU / Kemenkeu) Studi zonasi, perencanaan penggunaan lahan dan tahan iklim, terutama di kota-kota (KATR / KemenPU) Partisipasi masyarakat dalam rencana pengembangan perkotaan (Pemerintah Daerah) Sarana Listrik, air, limbah, yang tahan iklim (Pemerintah Daerah)
Pendidikan dan Kesehatan H1: Pendidikan
H2: Kesehatan
Pemahaman tentang Ekonomi Hijau dalam kurikulum
di semua tingkat pendidikan, terutama dibidang Ilmu pengetahuan, teknologi, kesadaran publik (Kemdikbud / KemRistek-Dikti) Peningkatan pendanaan untuk penelitian dan pengembangan teknologi rendah karbon (MRTHE)
Jumlah murid/ siswa yg sudah ikut pelatihan ekonomi hijau Belanja Pengeluaran untuk kegiatan aksi perubahan iklim menggunakan 0,1% dari total anggaran pendidikan pada tahun 2018, 0,5% pada tahun 2030
Alokasi anggaran untuk pencegahan penyakit yang
% penyakit sensitif terhadap
sensitif tehadap cuaca & iklim dan biaya pengobatannya (Kemenkes)
perubahan iklim ditangani Anggaran belanja untuk tindakan
penyebab perubahan iklim menggunakan 0,2% dari seluruh belanja kesehatan pada tahun 2018 dan 1,0% pada tahun 2030
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Prioritas
Kebijakan / Instrumen Program (dan Instansi Utama)
Pemantauan Keluaran
Anggaran 2014 dan % Anggaran Hijau (GE %)
Prioritas Pendukung Lainnya S1: Manajemen Penanggulangan Bencana
Pengadaan Skema asuransi bencana alam dari
S2: Koordinasi, Peningkatan Kapasitas, dll
Peningkatan kapasitas koordinasi dan
alokasi dana APBN & APBD (BNPB / OJK/Pemda) Koordinasi Antar-K/L dalam Penanggulangan Bencana (Menko / BNPB) Masyarakat lokal berpartisipasi dalam Penanggulangan Bencana (Pemerintah Daerah)
penanggulangan di pemerintahan (KLHK) Meningkatkan tata kelola Pengendalian di tingkat pusat & daerah (KLHK/Menko) Kesadaran masyarakat untuk perubahan sisi permintaan terhadap gaya hidup hijau (KLHK / Menko) MRV Nasional untuk mitigasi dan adaptasi, termasuk RAN / RAD-GRK dan RAN-API (KLHK) Penggunaan Indeks Kerentanan (KLHK) Studi evaluasi lebih banyak (Semua)
Pemda & Masyarakat yg telah punya rencana manajemen dan alokasi dana penanggulangan bencana alam/lingkungan
· Rp 2,8 triliun 100%
Rp 0,6 triliun 100%
43
44
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Lampiran 2. Kerugian dan Kerusakan Sumber Daya Alam dan Pertumbuhan Ekonomi Sumber Kerusakan
Potensi nilai kerusakan, tanpa Adaptasi
% PDB
Biaya terkait perubahan iklim Kerugian produktivitas pertanian yang timbul dari perubahan suhu dan peningkatan variasi curah hujan, termasuk musim kering yang lebih merusak di musim hujan.
Tanggapan atas perubahan iklim untuk pertanian merupakan hal yang kompleks. Sebagai hasilnya, penelitian secara rinci bergantung pada Integrated Assessment Models (IAMs) yang kompleks, dengan menggabungkan permodelan biofisik respon tanaman terhadap perubahan iklim dengan dampak ekonomi. Permodelan IAM dalam studi ADB tahun 2009 untuk Asia Tenggara menyatakan hasil panen di Indonesia bisa menurun sebesar 34% pada tahun 2100. Dengan asumsi kenaikan linier dalam penurunan ini, dan bahwa tanaman berkontribusi sekitar 5% dari PDB, maka kerugian bisa mencaai 0,85% dari PDB. Dalam parkteknya, para petani akan menghindari sebagian besar kerugian ini melalui tindakan adaptasi yang mereka lakukan sendiri terutama melalui perubahan dalam pola tanam dan pemilihan jenis tanaman.
0,85%
Kerugian dan kerusakan tanaman akibat banjir dan kekeringan.
Sebuah analisa dampak banjir dan kekeringan pada pertanian indonesia baru-baru ini, menyatakan bahwa, rata-rata, antara tahun 2003 dan 2008, kerusakan yang diakibatkan oleh banjir pada tanaman beras dan jagung adalah sekitar Rp 3,5 triliun (Lassa 2012). Selain itu kerugian juga akan terjadi pada tanaman lain.
0,05%
Kerugian akibat serangan hama pada tanaman meningkat karena suhu dan variasi curah hujan
Analisis bencana alam antara 2003 dan 2008 (Lassa 2012) mengemukakan bahwa jumlah kejadian wabah hama hanya sekitar 10% dari jumlah peristiwa banjir dan kekeringan, namun area yang terkena dampak mengalami kerugian 10 kali lipat dari kerugian akibat banjir dan kekeringan. Wabah hama sering dipicu oleh cuaca yang tidak menentu dan sangat masuk akal apabila estimasi dampak perubahan iklim memberikan kerugian berlipat ganda, sejalan dengan berlipat gandanya frekuensi dan tingkat keparahan cuaca yang ekstrim.
0,05%
Peternakan, kehutanan dan perikanan akan dipengaruhi oleh suhu dan perubahan pola curah hujan, tapi sifat dan skala dampak ini belum terlihat jelas.
Ada bukti terbatas mengenai dampak perubahan iklim pada ternak, perikanan dan kehutanan. Second National Communication to UNFCCC (SNC) mengemukakan bahwa kualitas hutan akan menurun sekitar 1% pada tahun 2050. Hal ini akan hanya memiliki dampak ekonomi yang relatif kecil.
0,01%
Kerugian di sektor energi diakibatkan dari kerugian transmisi yang lebih tinggi dan biaya pendinginan
Produksi listrik saat ini berjumlah hampir 200 TWh / tahun, bernilai sekitar Rp 200 triliun. Total kerugian transmisi sekitar 10% atau senilai Rp 20 triliun dan hal ini dipengaruhi oleh badai dan temperatur udara. Biaya pendinginan biasanya berkisar antara 1% dan 5% dari biaya pembangkitan, tergantung pada harga beli air untuk pendinginan.
0,02%
Hal yang mengejuntukan, bahwa terdapat bukti kecil secara internasional tentang besarnya potensi kerusakan yang dihasilkan. Hal ini diasumsikan bahwa kerugian akibat distribusi dan biaya pendinginan meningkat sebesar 10%. Degradasi infrastruktur jalan nasional dan pedesaaan, saluran irigasi, perairan, sanitasi dan infrastruktur lainnya yang lebih cepat. Kerugian ini dapat dikurangi dengan pengeluaran biaya yang lebih tinggi untuk pemeliharaan.
Biaya investasi biasanya sekitar USD 300.000 / km untuk jalan-jalan utama (Collier et al 2013), USD 5.000 / ha untuk irigasi dan USD 400 / orang untuk sambungan air dan sanitasi penuh. Indonesia memiliki sekitar 500,000 km dari jalan-jalan utama, 7 juta ha irigasi dan 120 juta orang dengan sambungan air dan sanitasi penuh. Total nilai aset infrastruktur diperkirakan menjadi Rp 3.200 triliun (yaitu Rp 1.950 triliun untuk jalan, Rp 450 triliun untuk irigasi dan Rp 600 triliun untuk air dan sanitasi, ditambah Rp 200 triliun untuk jalan kecil dan air parsial dan sanitasi. Biaya Rehabilitasi biasanya antara 1% dan 3% dari investasi modal per tahun. Penyebab paling umum dari kebutuhan untuk rehabilitasi adalah banjir dan ini diasumsikan untuk memperhitungkan setengah persyaratan rehabilitasi dan diproyeksikan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050. Total kerugian dan kerusakan, diukur dari segi biaya tambahan rehabilitasi, yakni berkisar Rp 64 triliun (yaitu Rp 3.200 triliun x 2% / 2 x 2).
0,55%
Peningkatan korban jiwa dan cedera, dan kerusakan properti perkotaan dan pedesaan, yang disebabkan oleh peningkatan frekuensi d a n t i n g k a t keparahanakibat terjadinya badai dan topan.
Indikasi skala kerusakan banjir yang disebabkan oleh banjir Jakarta pada tahun 2007, menyebabkan kerusakan properti sebesar Rp 8 triliun, serta menyebabkan 80 kematian, menggusur 500.000 orang dan menyebabkan lebih dari 100.000 penyakit terkait banjir. Banjir besar juga dialami di Jakarta pada tahun 2013 dan 2014 sekitar 20% sampai 30% dari banjir tahun 2007. Dengan asumsi bahwa kerugian tahunan rata-rata dari banjir di Jakarta adalah Rp 1 triliun dan ini mencerminkan 10% dari kerugian nasional yang disebabkan oleh banjir, maka kerugian tahunan rata-rata adalah Rp 10 triliun. Hal Ini diperkirakan mencapai dua kali lipat pada tahun 2050.
0,09%
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Sumber Kerusakan
Potensi nilai kerusakan, tanpa Adaptasi
% PDB
Biaya terkait perubahan iklim Banjir dan peningkatan salinitas air laut yg timbul dari kenaikan permukaan laut dan ditelantarkannya daerah pesisir.
Belum ada perkiraan tersedia untuk potensi biaya di daerah pesisir
0,00%
Terjadi peningkatan sakit diare dan penyakit lainnya yang sensitive terhadap perubahan cuaca dan iklim.
Bukti dari negara-negara Asia Tenggara lainnya menunjukkan bahwa penyakit yang sensitive terhadap iklim mengakibatkan kerugian hingga 27 “Disability Adjusted Life Years” (DALY) tiap 1.000 orang. WHO memperkirakan bahwa hal ini bisa meningkat hingga 10% dengan adanya perubahan iklim. Indonesia belum memiliki tolok ukur perencanaan untuk nilai DALY, akan tetapi berdasar pada pedoman WHO nilainya adalah tiga kali PDB per kapita yang menunjukkan bahwa beban kesehatan tambahakn yang diakibatkan oleh perubahan iklim menjadi sekitar Rp 90 triliun (Rp 250 juta x 0,027 x 10% x Rp 45 juta x 3).
0,78%
Total biaya terkait dengan perubahan iklim
2,40%
Biaya terkait degradasi sumber daya alam Pengurangan PDB akibat deforestrasi hutan
Kehutanan saat ini menyumbang sekitar Rp 55 triliun terhadap PDB. Tidak ada perkiraan resmi besaran kontribusi deforestasi, tapi perkiraan menunjukkan bahwa konstribusi deforestasi berkisar antara sepertiga hingga setengahnya. Dengan kebijakan ekonomi hijau, deforestasi akan berhenti pada jangka menengah hingga jangka panjang dan PDB kehutanan akan bergantung pada hutan yang dikelola.
0,17%
Biaya erosi tanah dari perubahan penggunaan lahan.
FAO menunjukkan bahwa degradasi sumber daya tanah dan air biasanya mengurangi PDB pertanian antara 5% dan 20% dan bahkan bisa lebih tinggi, dalam kasus yang ekstrim. Pertanian memberikan kontribusi sebesar 13,7% dari PDB di Indonesia, dimana sekitar setengahnya berasal dari tanah yang subur. Hal ini menunjukkan bahwa degradasi sumber daya dapat mengurangi PDB sekitar 0,68% (yaitu 13,7% / 2 x 10%).
0,68%
Peningkatan biaya kesehatan akibat pencemaran udara
Bukti internasional menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di kota-kota yang telah tercemar biasanya berkurang 1% sampai 4%. Sekitar setengah penduduk Indonesia tinggal di kota dan setidaknya setengah dari ini akan sangat terpengaruh oleh polusi. Hal ini menunjukkan bahwa polusi dapat mengurangi PDB antara 0,25% dan 1%.
0,25%
Total biaya terkait dengan degradasi sumber daya alam
1,10%
45
46
Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau - Laporan Perkembangan tahun 2015 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Lampiran 3. Komplementaritas Program Aksi dalam Strategi P3H dan Panduan Pertumbuhan Hijau Strategi P3H (lihat Tabel 1)
Panduan Pertumbuhan Hijau (lihat SP3H Tabel 4.1)
Green Growth Roadmap dan Strategi P3H
Energi dan Industri Skema Percontohan dan Pengembangan
Menarik sektor swasta untuk investasi ke
teknologi tepat guna Kesadaran masyarakat dan percontohan pemerintah Peraturan / insentif untuk transmisi smartgrid untuk memfasilitasi koneksi energi terbarukan kontrak biofuel yang lebih fleksibel dengan Pertamina
panas bumi Kajian daerah untuk kembangkan solusi energi Investigasi hambatan lokal untuk berinvestasi Menjelajahi opsi / pilihan untuk gas domestik
Insentif (termasuk FITs) / perijinan untuk energi bersih Menghentikan secara bertahap subsidi bahan
bakar fosil dan listrik Insentif fiskal untuk efisiensi energi Keterlibatan pemain industri utama pada
efisiensi energi Melaksanakan peraturan mengenai karbon,
pasar karbon dan harga karbon Industri dan Pertambangan Mengurangi biaya bea masuk Persayaratan perijinan untuk mineral (termasuk, pembenahan paska tambang) Reformasi kontrak / royalti Kesadaran CSR and basis data
Industri pengolahan mineral berkelanjutan Meningkatkan metode produksi di industri bera Bioprospecting yang bertanggung jawab terhadap bioteknologi Mengadakan pemantauan dan pelatihan ekowisata
Dukungan terhadap UKM untuk pengembangan industri teknologi bersih dan pendanaannya
Transportasi, Perencanaan Kota dan Daerah Insentif transportasi umum / disinsentif penggunaan kendaraan pribadi Mempromosikan sistem kereta api dan transportasi laut Relokasi industri dan perdagangan retail dari Jakarta dan ke Wilayah Luar Jawa/Timur Indonesia Land Capping dan dana pembebasan lahan PPP Devt Facility dan Bank Garansi untuk utilitas Green Economy
Merangsang investasi pada tempat pembuangan sampah yang rendah emisi Membangun industri - industri baru di sekitar pembuangan sampah/limbah Pipeline untuk proyek - proyek infrastruktur hijau
Insentif untuk konversi limbah menjadi energi Sistem untuk infrastruktur yang tahan terhadapiklim (eCBA, peraturan, standar, pedoman …) Inter-island, regional, intermodal connectedness Perencanaan Smart city
Pertanian Sistem asuransi dan keuangan pedesaan untuk para petani Pertukaran lahan Anti-dumping trade policies Pemeliharaan irigasi / rehabilitasi / WUGs
Menetapkan peran petani kecil dalam produksi Diversifikasi makanan pokok
Meningkatkan produktivitas tanaman (padi, kelapa sawit ...), termasuk. penelitian terapan / ekstensi & kesuburan tanah alami Memperkuat sertifikasi produk domestik
Kehutanan, Lahan Gambut dan Sumber Daya Kelautan Reboisasai lahan yang terdegradasi Penghentian secara bertahap produksi kelapa sawit di lahan gambut Trust Fund for Nature / Dana Perwalian untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati Pertukaran lahan Berbagai insentif dan instrument REDD+ Peningkatan kesadaran masyarakat lokal (pengetahuan, tenaga kerja, dan lainnya)
Mengatasi degradasi lahan gambut dan kebakaran lahan gambut Mengembangkan rantai pasokan yang berkelanjutan Modal alam – berbasis pasar Mengembangkan pipeline kegiatan yang menjadi prioritas Memperkenalkan tata kelola sistem Pembayaran Jasa Lingkungan
Penegakan hukum terkait lingkungan (termasuk perijinan) Perlindungan ekosistem laut Kebijakan restorasi lahan gambut / regs / pendanaan Penguatan pengelolaaan / perlindungan hutan Pembatasan industri / pembuangan limbah ke pantai MRV, termasuk inisiatif one map
Pendidikan, Kesehatan dan Area Pendukung · Kurikulum Ekonomi Hijau dan dana penelitian dan pengembangan (R&D) untuk pendidikan Tinjau/tingkatkan anggaran untuk penyakit sensitif terhadap perubahan iklim Kapasitas penanggulangan bencana / koordinasi penanggulangan dan asuransi bencana Kesadaran masyarakat atas gaya hidup yang “hijau” (termasuk pemanfaatan limbah)
Pemekaran program berkelanjutan di Kementerian Debat internasional tentang harga karbon Menetapkan pilihan pembiayaan utang jangka panjang
Studi evaluasi dan penilaian ekonomi hijau MRV nasional untuk mitigasi dan adaptasi
Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia Gedung R.M. Notohamiprodjo lantai 5 Jl. Wahidin Raya No 1, Jakarta (10710) Indonesia Telp: +62 21 34831678 Fax: +62 21 34831677 Email:
[email protected] Website: www.fiskal.depkeu.go.id