ANALISIS HARGA GABAH DAN TINGKAT PENDAPATAN PETANI DI LOKASI PROGRAM DANA PENGUATAN MODAL LEMBAGA USAHA EKONOMI PEDESAAN (LUEP) (Kasus Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung)
Oleh: DELI SOPIAN A14304031
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
0
RINGKASAN
DELI SOPIAN. A14304031. Analisis Harga Gabah dan Tingkat Pendapatan Petani di Lokasi Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) (Kasus Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung). Di bawah bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS. Sasaran utama pembangunan pertanian tahun 2004-2009 terdapat tiga program pembangunan pertanian yaitu program peningkatan ketahanan pangan, pengembangan agribisnis dan peningkatan kesejahteraan petani. Peningkatan produksi padi ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Kondisi ini ditambah dengan keterbatasan petani dalam mengakses berbagai layanan seperti pembiayaan usahatani serta sulitnya pemasaran produk panen petani. Salah satu kebijakan pemerintah dalam menolong petani adalah kebijakan harga output yang dikenal dengan HPP. Tetapi kebijakan HPP saat panen dianggap masih rendah dan informasi mengenai HPP tidak sampai kepada petani, sehingga penetapan HPP nasional terkadang kurang memberikan solusi yang berarti. Sehingga pemerintah memberikan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) untuk menolong petani dalam rangka stabilisasi harga gabah terutama pada saat panen raya. Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk pemberian dana talangan kepada LUEP untuk meningkatkan kemampuannya dalam membeli gabah/beras petani, dengan harga yang wajar dan mengacu pada HPP. Diharapkan program DPM-LUEP ini dapat meningkatkan pendapatan petani pada saat panen raya karena petani akan mendapatkan harga sesuai dengan HPP, serta program ini dapat menjaga stabilitas harga gabah di tingkat petani. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pelaksanaan dan evaluasi kinerja program DPM-LUEP di Kabupaten Bandung, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani menjual gabah ke LUEP dan non LUEP membandingkan harga yang diterima dan pendapatan usahatani petani yang menjual gabah ke LUEP dan non LUEP serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, uji t pada dua sampel berbeda, analisis usahatani dan model regresi linier berganda. Terdapat delapan lembaga penyalur dana LUEP yang tersebar di enam kecamatan di Kabupaten Bandung. LUEP yang diamati yaitu LUEP Jati Mulya di Kecamatan Bale Endah serta LUEP Jembar Rahayu dan LUEP Harapan Sejahtera yang berlokasi di Kecamatan Pameungpeuk. Dari ketiga LUEP yang diamati, lembaga-lembaga tersebut mempunyai hubungan yang baik dengan kelompok tani atau Gapoktan yang berada di daerahnya masing-masing. Pelaksanaan program dari tahun 2003 sampai 2007 telah berjalan dengan baik terlihat dari proses pengembalian dana yang tepat waktu setiap tahunnya. Secara keseluruhan dengan
1
melihat setiap indikator kinerja program, keberhasilan yang dicapai program DPM-LUEP dinilai responden dirasa telah cukup berhasil dengan rata-rata skor sebesar 3,2 (Skala 1-4). Hal-hal yang bersifat teknis menurut responden perlu diperbaiki seperti pengawasan terhadap LUEP dalam pemanfaatan dana, serta perbaikan dalam proses pencairan dan pengembalian dana. Pendapatan atas biaya total petani yang menjual ke LUEP mencapai Rp 1.827.020,- sedangkan pendapatan petani yang tidak menjual ke LUEP mencapai Rp 1.767.218,-. Dengan demikian pendapatan petani yang menjual gabahnya ke LUEP lebih tinggi empat persen daripada petani yang tidak menjual gabahnya ke LUEP. Harga gabah petani yang menjual ke LUEP rata-rata sebesar Rp 2.358,sedangkan harga gabah petani yang tidak menjual ke LUEP sebesar Rp 2.254,-. Berdasarkan hasil uji t yang dilakukan, terdapat perbedaan harga gabah yang signifikan (taraf nyata 5 persen) antara petani yang menjual ke LUEP dan tidak menjual ke LUEP sebesar lima persen. Dengan demikian, program ini meningkatkan harga yang diterima petani bila dibandingkan mereka menjual ke non LUEP. Berdasarkan pendugaan model pendapatan yang diperoleh, pendapatan usahatani dipengaruhi oleh variabel status kepemilikan lahan, biaya tenaga kerja dan hasil produksi pada taraf 5 persen. Variabel dummy LUEP tidak berpengaruh nyata terhadap pada taraf 5 persen. Artinya perbedaan pendapatan antara petani yang menjual ke LUEP dengan petani yang tidak menjual ke LUEP tidak jauh berbeda. Terdapat perbedaan rata-rata tingkat harga yang diterima petani hanya berkisar Rp 104,- saja sedangkan rata-rata biaya usahatani tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan para tengkulak juga memberikan harga yang tidak jauh berbeda dengan penetapan harga oleh LUEP. Sehingga dapat disimpulkan untuk kasus program DPM-LUEP di Kecamatan Pameungpeuk dan Kecamatan Bale Endah Kabupaten Bandung belum dapat meningkatkan pendapatan petani. Faktor yang mempengaruhi keputusan petani menjual gabah ke LUEP pada taraf 5 persen adalah variabel harga. Program DPM-LUEP telah dapat membedakan pendapatan petani yang menjual gabah ke LUEP dan non-LUEP meskipun secara statistik tidak berbeda nyata, namun program ini tetap harus dilanjutkan karena telah dapat meningkatkan dan menstabilkan harga gabah. Selain itu, peningkatan harga gabah telah meransang tengkulak, bandar atau pedagang pengumpul (non-LUEP) untuk meningkatkan harga gabah yang ditetapkan mereka. Anggaran dana untuk program ini lebih baik ditingkatkan agar dapat membeli gabah semua petani yang ada lokasi program. Proses birokrasi dalam program ini hendaknya dipermudah agar kelancaran pencairan dana dapat berjalan dengan mudah. Selain itu, penyempurnaan program ini perlu dilakukan dalam hal perbaikan sistem administrasi pada waktu pencairan dan pengembalian, dan pemilihan pihak yang benar-benar berhak memperoleh dana pinjaman dari program ini harus selektif.
2
ANALISIS HARGA GABAH DAN TINGKAT PENDAPATAN PETANI DI LOKASI PROGRAM DANA PENGUATAN MODAL LEMBAGA USAHA EKONOMI PEDESAAN (LUEP) (Kasus Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung)
Oleh: DELI SOPIAN A14304031
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
3
Judul Skripsi : Analisis Harga Gabah dan Tingkat Pendapatan Petani di Lokasi Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi
Pedesaan
(LUEP)
(Kasus
Kecamatan
Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung) Nama
: Deli Sopian
NRP
: A14304031
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan:
4
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS HARGA GABAH DAN TINGKAT PENDAPATAN PETANI DI LOKASI PROGRAM DANA PENGUATAN MODAL LEMBAGA USAHA EKONOMI PEDESAAN (LUEP) (Kasus Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah
Kabupaten
Bandung)”
BELUM
PERNAH
DIAJUKAN
PADA
PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, April 2008
Deli Sopian A14304031
5
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Deli Sopian, dilahirkan pada 3 oktober 1987 di Bekasi sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Wawa Suripno dan Ida Rosidah. Penulis dibesarkan di Bandung, pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Cigugur. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Marga Asih dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMUN 13 Bandung pada tahun 2004. Selama menempuh pendidikan menengah pertama dan menengah atas, penulis aktif diberbagai organisasi, seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan Paskibra. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program studi Ekonomi Pertanian Sumberdaya (EPS), Fakultas Pertanian. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif diberbagai organisasi kemahasiswaan seperti UKM Pers Kampus Gema Almamater dari tahun 20052007, BEM Fakultas Pertanian pada tahun 2005/2006, dan Paguyuban Mahasiswa Bandung pada tahun 2005/2006 serta aktif dalam beberapa kegiatan kepanitian. Selain itu, penulis pernah menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Ekonomi Umum pada tahun 2007-2008. Penulis berkesempatan mendapatkan beasiswa dari Bank Indonesia pada tahun 2006-2007.
6
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta alam, atas anugrah, berkah dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi penelitian dengan judul “ Analisis Harga Gabah dan Tingkat Pendapatan Petani di Lokasi Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) (Kasus Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah kabupaten Bandung)”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis tingkat pendapatan petani di lokasi program DPM-LUEP. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis senantiasa menerima setiap saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang peduli kepada petani-petani di Indonesia pada umumnya.
Bogor, April 2008
Penulis
7
UCAPAN TERIMAKASIH Segala Puji Bagi Allah Tuhan semesta alam atas kasih dan sayang-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Bapak dan Ibu tercinta, serta Kakakku tersayang atas doa kasih sayang dan dukungannya selama ini. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan skripsi ini, terutama kepada : 1. Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi, atas semua masukan, bimbingan, dan perhatiannya. 2. Ibu Ir. Anna Fariyanti, MS sebagai dosen penguji utama dan Bapak Adi Hadianto, SP sebagai dosen penguji wakil departemen yang telah memberikan saran dan kritik dalam ujian siding dan perbaikan skripsi ini. 3. Bapak Prof Mangara Tambunan selaku dosen pembimbing akademik. 4. Pihak-pihak yang telah membantu dalam pengambilan data, diantaranya petani di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, pengurus LUEP di dua kecamatan tersebut, PPL kecamatan, Staf Badan Ketahanan Pangan Deptan, Tim teknis Propinsi Jabar dan Tim teknis Kabupaten Bandung. 5. Teman-teman satu bimbingan skripsi, Wahyudi Romdhani, Khrisna Pratama, Estrellita Lindiasari dan Putra Fajar Pratama atas kebersamaannya dan dukungan semangatnya. 6. Ade, Aji, Bjey, Ella, Evie, Kevin, Maya, Mayang, Owin, Risti, Pam2, Pi2h dan semua teman di EPS 41 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, kalian telah mengukir kenangan yang sangat indah dan tidak akan terlupakan. Staf Departemen EPS (ESL), Tum atas bantuannya dalam mencari responden, serta teman-teman satu kosan atas kebersamaan dalam suka maupun duka selama ini. 7. Semua pihak yang luput dari ingatan. Jasa kalian tetap tercatat di sisi Allah. Terima kasih.
8
DAFTAR ISI DAFTAR ISI.................................................................................................... vii DAFTAR TABEL............................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi I.PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah............................................................................... 7 1.3 Tujuan Penelitian................................................................................... 11 1.4 Kegunaan Penelitian.............................................................................. 11 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................... 12 II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 2.1 Program DPM-LUEP ............................................................................ 2.2 Indikator Kinerja DPM-LUEP .............................................................. 2.3 Penelitian Terdahulu..............................................................................
13 13 14 16
III. KERANGKA PEMIKIRAN................................................................... 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis................................................................. 3.1.1 Konsep Pendapatan Usahatani .................................................... 3.1.2 Kebijakan Harga Dasar ............................................................... 3.1.3 Konsep Maksimisasi Laba (Profit).............................................. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional.......................................................... 3.3 Hipotesis Penelitian...............................................................................
23 23 23 25 26 28 33
IV. METODE PENELITIAN........................................................................ 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 4.3 Teknik Pengambilan Sampel................................................................. 4.4 Metode Analisis Data ............................................................................ 4.4.1 Analisis Deskriptif Evaluasi Kinerja Program DPM-LUEP ....... 4.4.2 Uji Perbedaan Harga Gabah Petani (Uji t pada dua sampel) ...... 4.4.3 Analisis Usahatani....................................................................... 4.4.4 Analisis Faktor-Fator yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani .................................................................................... 4.4.5 Model Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Menjual ke LUEP ..........................................
34 34 34 35 36 37 38 39 40 43
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN....................................................... 45 5.1 Kecamatan Pameungpeuk ..................................................................... 45
9
5.2 Kecamatan Bale Endah ......................................................................... 46 5.3 Karakteristik Responden Petani ............................................................ 48 5.4 Karakteristik Responden LUEP ............................................................ 50 VI. PELAKSANAAN DAN EVALUASI KINERJA PROGRAM DPMLUEP DI KABUPATEN BANDUNG ................................................... 6.1 Tinjauan Pelaksanaan Program dari Lembaga Penyalur Dana LUEP .. 6.2 Tinjauan Pelaksanaan Program dari Petani ........................................... 6.3 Evaluasi Kinerja Program DPM-LUEP ................................................
52 52 55 56
VII. ANALISIS HARGA GABAH DAN TINGKAT PENDAPATAN PETANI DI LOKASI PROGRAM DPM-LUEP ............................... 7.1 Gambaran Usahatani Padi di Lokasi Penelitian .................................... 7.1.1 Struktur Biaya ............................................................................. 7.1.2 Hasil Uji Perbedaan Harga Gabah Petani ................................... 7.1.3 Analisis Pendapatan .................................................................... 7.2 Efektivitas Program DPM-LUEP terhadap Pendapatan Petani.............
61 61 61 62 64 65
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 75 8.1 Kesimpulan............................................................................................ 75 8.2 Saran...................................................................................................... 76 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 77 LAMPIRAN..................................................................................................... 79
10
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
Teks
Halaman
Pendapatan Domestik Produk Indonesia Setiap Sektor Perekonomian Tahun 2003-2007 (dalam milyar rupiah)...................
2
Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di Indonesia Tahun 2001-2006 ...............................................................................
3
Jenis, Sumber Data dan Variabel yang Diamati Dalam Penelitian............................................................................................
35
Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Kecamatan Pameungpeuk Tahun 2007.................................................................
46
Luas Tanaman, Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Kecamatan Bale Endah Tahun 2006..................................................
47
6.
Jumlah Petani Responden berdasarkan Tingkat Usia ........................
48
7.
Jumlah Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan.............
49
8.
Jumlah Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan Garapan...........
49
9.
Karakteristik Responden LUEP Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung ......................................................
51
Persentase Jumlah Petani yang Mengetahui Program DPMLUEP di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung...........................................................................
55
Penilaian Keberhasilan Program DPM-LUEP Menurut Responden..........................................................................................
58
Perbandingan Biaya Usahatani Petani LUEP dan non-LUEP per Hektar per Musim Tanam di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung Tahun 2007 ..................................
62
Uji T Antara Harga Gabah yang Ditetapkan oleh LUEP dan non-LUEP di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung Tahun 2007.......................................................
63
Analisis Pendapatan Usahatani Padi per Hektar per Musim Tanam di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung Tahun 2007.......................................................
64
2. 3. 4. 5.
10.
11. 12.
13.
14.
11
15.
16.
17.
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Padi di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung Tahun 2007.......................................................
66
Analisis Ragam Fungsi Pendapatan Petani di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung Tahun 2007....................................................................................................
67
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Menjual Gabah ke LUEP di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung Tahun 2007 ...........................
72
12
DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.
Teks
Halaman
Perkembangan NTP Padi dan Buah-buahan di Indonesia Tahun 1992-2006..........................................................................
8
2.
Kebijaksanaan Harga Dasar Pada Saat Panen Raya.....................
26
3.
Hubungan Total Penerimaan dengan Total Biaya dalam Menentukan Tingkat Output Pada Saat Laba Maksimum............
27
Kerangka Pemikiran Operasional.................................................
32
4.
13
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tidak dapat dipungkiri bahwa pangan sangat erat kaitannya dengan pertanian. Dari berbagai studi telah dibuktikan bahwa pertanian memacu keberhasilan pembangunan ekonomi. Timmer (1983) membuktikan secara empiris bagaimana eratnya kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangan dengan mengambil kasus di Indonesia, Jepang, dan Inggris. Kesimpulan Timmer, tidak ada satu negara pun yang dapat mempertahankan proses pertumbuhan ekonomi tanpa terlebih dahulu memecahkan masalah ketahanan pangan. Dalam kaitannya dengan politik, pangan merupakan komoditi terpenting sebagai stabilisator politik dan sosial untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Pertanian merupakan sumber kehidupan bagi sebagian besar penduduk negara berkembang seperti Indonesia. Padi merupakan produk pertanian pangan yang utama dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional dan memberikan lapangan pekerjaan bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan pentingnya keberadaan padi di Indonesia diantaranya (1) proses produksi beras menyediakan kesempatan kerja bagi 21 juta keluarga petani, (2) beras merupakan bahan pangan pokok bagi sekitar 95 persen penduduk Indonesia, dan (3) sekitar 30 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk membeli beras (Suryana et al, 2001). Peran strategis tersebut menyebabkan gejolak harga akan berdampak pada pendapatan petani dan jumlah keluarga miskin di Indonesia.
14
Tabel
No
1.
Pendapatan Domestik Produk Indonesia Setiap Sektor Perekonomian Tahun 2003 – 2007 (dalam milyar rupiah)
Sektor Perekonomian
Pertanian Pertambangan dan 2 Galian 3 Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air 4 Minum Pengangkutan dan 5 Komunikasi Perdagangan, Hotel dan 6 Restoran 7 Jasa-Jasa 8 Bangunan Keuangan, Persewaan 9 dan Jasa Perusahaan 10 PDB Sumber: www.bi.go.id 1
2003 60.769
2004 62.056
Tahun 2005 63.432
42.107
40.025
41.271
2006 65.324
2007 71.070
42.182
43.191
110.439 117.488 122.855 128.548 133.793 2.612
2.722
2.896
3.066
3.343
21.245
24.224
27.366
31.100
34.152
64.074
67.776
73.469
77.975
82.983
36.089 22.526
38.034 24.083
40.157 25.871
42.653 28.191
45.093 30.039
35.029
37.797
40.346
42.624
45.542
394.889 414.206 437.663 461.663 489.206
Sektor pertanian telah memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan PDB Indonesia. Pada Tabel 1 terlihat bahwa Sektor ini memberikan kontribusi terbesar ketiga terhadap PDB keseluruhan setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan jasa. Pada masa setelah skripsi ekonomi, dari tahun 2003 sampai 2007 nilai PDB sektor ini terus meningkat. Sektor pertanian adalah sektor yang penting dalam membentuk PDB Indonesia setiap tahunnya. Pentingnya peranan sektor pertanian bagi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keadaan politik telah membuat pemerintah terus meningkatkan peranan sektor pertanian. Telah diketahui pula bahwa sektor pertanian adalah sektor yang mampu bertahan dalam keadaan krisis ekonomi tahun 1998. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah di setiap masa pemerintahan dari era reformasi hingga sekarang. Salah satunya pemerintah melalui Presiden Susilo Bambang
15
Yudhoyono telah mencanangkan program revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan. Revitalisasi pertanian adalah kebijakan pembangunan pertanian yang dicanangkan Kabinet Indonesia Bersatu untuk meningkatkan kinerja pertanian dengan tujuan mengurangi kemiskinan dan penggangguran, dan meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Sebagai negara agraris yang mempunyai potensi sumberdaya lahan yang melimpah, Indonesia dapat memanfaatkan potensi tersebut untuk meningkatkan produksi pertaniannya. Data BPS tahun 2006 menyebutkan bahwa dari seluruh lahan yang ada di Indonesia, sekitar 71,3 persen digunakan untuk usaha pertanian, salah satunya yaitu persawahan yang digunakan dalam produksi padi. Luas panen, produksi dan produktivitas per hektar padi di Indonesia tersaji dalam Tabel 2. Tabel 2. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di Indonesia Tahun 2001-2006 Jenis Tanaman Padi Luas Panen (rb Ha) Produksi (rb ton) Produktivitas (kw/Ha) Padi Sawah Luas Panen (rb Ha) Produksi (rb ton) Produktivitas (kw/Ha) Padi Ladang Luas Panen (rb Ha) Produksi (rb ton) Produktivitas (kw/Ha)
2001
2002
2003
2004
2005
2006*
11.500 11.521,2 11.488 11.923 11.839 11.780,4 50.460,8 51.489,7 52.137,6 54.088,5 54.151,1 54.402 43,9 44,69 45,38 45,36 45,74 46,18 10.419,4 10.457 10.394,5 10.799,5 10.733,6 10.709,3 47.895,5 48.899,1 49.378,1 51.209,4 51.317,8 51.599,6 46 46,76 47,5 47,42 47,81 48,18 1.080,6 2.565,3 23,7
1.064,2 2.590,6 23,34
1.093,5 2.759,5 25,23
1.123,5 2.879,1 25,63
1.105,5 2.833,3 25,63
1.071,1 2.802,4 26,16
Sumber: BPS 2007. * angka sementara Tabel 2 menggambarkan bahwa luas panen, produksi dan produktivitas per hektar padi setiap tahunnya mengalami peningkatan. Luas panen padi secara umum mengalami peningkatan pada tahun 2003 seluas 11,5 juta Ha menjadi 11,5 juta Ha pada tahun 2004. Produksi mengalami peningkatan pada tahun 2003
16
sebanyak 52,1 juta ton menjadi 54 juta ton pada tahun 2004. Peningkatan terjadi pada setiap jenis tanaman lain seperti padi sawah dan padi ladang, tetapi pada tahun 2005 diperkirakan akan mengalami penurunan untuk padi luas panen berkurang dari 11,9 juta Ha pada tahun 2004 menjadi 11,8 juta Ha, produksi juga menurun, hal tersebut disebabkan berkurangnya luas panen yang berdampak pada penurunan produksi padi. Produksi pada tahun 2006 diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 54,4 juta ton dibandingkan pada tahun 2005 sebesar 54,1 juta ton. Berdasarkan sasaran utama pembangunan pertanian tahun 2004-2009 terdapat tiga program pembangunan pertanian yaitu program peningkatan ketahanan pangan, pengembangan agribisnis dan peningkatan kesejahteraan petani. Kebijakan yang relevan untuk pertanian terutama mengenai kelembagaan pertanian khususnya bahan pokok untuk meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia. Peningkatan
produksi
padi
ternyata
belum
mampu
meningkatkan
kesejahteraan petani. Sekitar 56,5 persen petani padi di Indonesia merupakan petani gurem. Penguasaan lahan usahatani padi oleh petani Indonesia rata-rata kurang dari 0,5 hektar, sehingga petani padi Indonesia digolongkan ke dalam kelompok masyarakat miskin (Sensus Pertanian, 2003). Kondisi ini ditambah dengan keterbatasan petani dalam mengakses berbagai layanan seperti pembiayaan usahatani serta sulitnya pemasaran produk panen petani. Dalam sistem agribisnis padi, pada umumnya petani padi menjual gabah secara langsung kepada penjual besar atau tengkulak pada saat musim panen. Sebagian besar petani tidak mempunyai bangunan dan alat penyimpanan serta
17
penggilingan padi sehingga proses tersebut dilakukan oleh pedagang besar. Ketika harga beras naik, maka pedagang-pedagang beras akan menikmati keuntungan dari kenaikan harga beras tersebut. Kondisi tersebut sangat menyulitkan petani terutama pada musim panen karena harga gabah yang sering anjlok. Ditambah lagi dengan masuknya beras impor yang menyebabkan harga beras dalam negeri turun dan semakin terpuruknya kondisi petani. Kesejahteraan petani yang menjadi sasaran pembangunan pertanian perlu diperhatikan lebih serius. Petani sebagai pelaku yang berperan dalam meningkatkan produksi seharusnya mendapatkan perhatian terutama dari pemerintah. Petani selalu menjadi pihak yang dirugikan, dengan biaya produksi yang tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan harga jual hasil panen yang tinggi sehingga pendapatan petani tidak meningkat atau bahkan tidak cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Pemerintah berusaha menolong petani dengan berbagai instrumen kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut adalah dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) nasional terhadap gabah yang dulu dikenal dengan harga dasar gabah (HDG). Perubahan HDG menjadi HPP sangat mendasar karena dengan kebijakan HPP, pemerintah tidak lagi berkewajiban dan tanggung jawab formal dan juridis untuk menjamin harga dasar gabah pada tingkat harga tertentu, serta bukan menjamin harga dasar gabah minimum di tingkat petani sebagaimana lazimnya pada konsep kebijakan HDG. Dengan kewajiban HPP Pemerintah tidak wajib membeli gabah dari petani. Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) untuk menolong petani, yang merupakan kegiatan yang dilakukan
18
oleh Departemen Pertanian dalam rangka stabilisasi harga gabah terutama pada saat panen raya. Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk pemberian dana talangan kepada LUEP untuk meningkatkan kemampuannya dalam membeli gabah/beras petani, dengan harga yang wajar dan mengacu pada HPP.1 Penetapan Harga Pembelian pemerintah (HPP) Nasional yang berlaku untuk semua wilayah Indonesia ditetapkan melalui Inpres No 3 tahun 2007. Petani merasa kebijakan tersebut kurang memberikan motivasi dalam melakukan kegiatan produksi, hal itu disebabkan karena biaya produksi masih tinggi padahal besaran biaya produksi untuk setiap daerah berbeda-beda, harga jual gabah pada saat panen dianggap masih rendah dan informasi mengenai HPP tidak sampai kepada petani, sehingga penetapan HPP nasional terkadang kurang memberikan solusi yang berarti. LUEP sebagai lembaga yang diberi tugas untuk membeli gabah dari petani pada saat panen raya akan membeli gabah sesuai dengan HPP yang telah ditetapkan. Dengan demikian pada saat panen raya petani tidak akan mengalami kejatuhan harga yang berpengaruh terhadap tingkat pendapatan mereka. Jawa Barat sebagai daerah pertanian di pulau Jawa, telah memberikan kontribusi terbesar dalam memproduksi padi di Indonesia. Sebagi lumbung padi di Indonesia, banyaknya rumah tangga (RT) petani yang menggantungkan hidupnya di sektor pertania berjumlah 2.321.878 jiwa (Sensus pertanian, 2003). Banyaknya jumlah RT petani tersebut menduduki urutan ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
1
http://www.deptan.go.id/HomePageBBKP/pdp/luep/profil_LUEP.htm.29082007.
19
Kabupaten Bandung sebagai salah satu penerima dana LUEP, merupakan salah satu kabupaten yang termaju perekonomiannya di Jawa Barat. Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Bandung pada tahun 2006 sebesar 5,64 persen (BPS, 2007). Sektor pertanian di Kabupaten Bandung menjadi sektor andalan dengan memberikan kontribusi terhadap pembentukan PDRB. Jumlah RT pertanian mencapai 821.036 jiwa dan RT pertanian padi mencapai 41.530 jiwa (Sensus pertanian, 2003). Oleh sebab itu program-program pemerintah di sektor pertanian akan sangat membantu keluarga petani di Kabupaten Bandung. Salah satunya yaitu program DPM-LUEP yang akan memberikan dampak terhadap pendapatan petani.
1.2 Perumusan Masalah Kebijakan di sektor pertanian dari masa orde baru sampai era reforamsi terus berupaya untuk meningkatkan kesediaan pangan demi mencapai ketahanan pangan. Pada masa orde baru, berbagai macam program peningkatan produksi padi dicanangkan dan mengantarkan Indonesia sebagai negara swasembada beras. Di lain pihak pada masa reformasi setelah krisis ekonomi menimpa Indonesia, kebijakan yang dilakukan untuk tetap menjaga ketersediaan beras yaitu dengan mengimpor. Kebijakan pertanian pada masa tersebut belum memperhatikan petani sebagi subjek dan pelaku kegiatan pertanian, sehingga kesejahteraan petani Indonesia masih tergolong penduduk miskin. Salah
satu
indikator
tingkat
kesejahteraan
petani
dan
keadaan
perekonomian pedesaan adalah nilai tukar petani (NTP). Nilai tukar petani (NTP) merupakan pengukur kemampuan/daya beli petani dalam membiayai kebutuhan
20
hidup rumah tangganya. Perkembangan NTP diperlukan untuk memantau perkembangan kesejahteraan petani dari waktu ke waktu, baik petani secara agregat, wilayah maupun petani kelompok komoditas.
150 140
NTP
130 120 110 100 90 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
TAHUN
Variable PA DI BUA H-BUAHA N
Gambar 1. Perkembangan NTP Padi dan Buah-buahan di Indonesia Tahun 1992-2006 Sumber: BPS, 2007 Perkembangan NTP padi secara agregat di Indonesia berfluktuatif setiap tahunnya yang terlihat pada gambar 1. Indeks NTP tertinggi dicapai pada tahun 1999 sebesar 118, sedangkan terendah terjadi pada tahun 2004 sebesar 93. Dengan demikian, NTP padi Indonesia dari tahun 1993 sampai 1999 mengalami peningkatan sebelum akhirnya menurun pasca krisis ekonomi pada tahun 1999. Bahkan penurunan NTP tersebut terjadi sampai tahun 2004, hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan petani pasca krisis ekonomi sangat rendah. Dengan adanya program revitalisasi pertanian yang bertujuan meningkatkan
21
kesejahteraan petani maka NTP padi mulai meningkat pada tahun 2005 dan 2006. Data tahun 2007 menunjukkan indeks NTP padi berada pada 108. Namun, indeks NTP padi masih lebih rendah dibandingkan dengan NTP buah-buahan. Indeks NTP padi masih berkisar antara 90 sampai 110 berbeda dengan indeks NTP buah-buahan yang berkisar antara 100 sampai 150. Hal ini disebabkan nilai jual komoditi padi lebih rendah dibandingkan buah-buahan. Dapat dikatakan kesejahteraan petani padi lebih rendah daripada petani buah. Padahal padi yang menjadi beras merupakan komoditi yang paling penting di Indonesia karena merupakan bahan makanan pokok. Keadaan kesejahteraan petani yang masih rendah dari indeks NTPnya, membuktikan bahwa nilai jual padi atau gabah terlalu rendah. Pemerintah berusaha menolong petani dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) nasional terhadap gabah yang dulu dikenal dengan harga dasar gabah (HDG). Pada dasarnya kebijakan harga dasar memang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi petani dan bagi konsumen, terutama kelompok miskin. Di lain pihak tingkat kesejahteraan petani sangat berhubungan dengan struktur pasar beras yang dari zaman dahulu kala menghadapi permasalahan besar yang sulit sekali diperbaiki. Struktur pasar gabah dan beras masih sangat jauh dari sistem persaingan sempurna karena karakter penguasaan informasi pasar dan informasi jaringan yang memang asimetris. Akses petani padi terhadap pasar yang lebih besar ternyata sangat kecil, sehingga agak sulit bagi petani untuk
22
memperoleh harga pembelian gabah penuh Rp 2.000 per kg sebagaimana tercantum dalam HPP2. Meksipun berbagai instrumen dijalankan seperti subsidi terhadap input pertanian, perbaikan sistem penyimpanan; kelihatannya belum sepenuhnya mampu meningkatkan pendapatan petani padi. Hal ini disebabkan relatif rendahnya harga gabah yang diterima petani padi terhadap harga komoditi lain bahkan terhadap harga beras sendiri (harga di tingkat konsumen). Dengan adanya program DPM-LUEP, LUEP diberikan tugas untuk membeli gabah dari petani sehingga akses petani terhadap pasar menjadi lebih luas. Sejak program DPM-LUEP ini berjalan dari tahun 2003, kesejahteraan petani masih belum meningkat siginifikan. Pada Gambar 1, pada tahun 2003 dan 2004 setelah program ini berjalan dua tahun indeks NTP padi masih lebih rendah dari tahun 2002. Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor. Pertama, program ini belum dapat meningkatkan pendapatan petani karena pencairan dana yang belum tepat waktu. Waktu pencairan dana terkait dengan waktu panen petani agar pada saat panen ketika harga jatuh, LUEP dapat membeli gabah dengan harga yang lebih pantas. Kedua, LUEP belum dapat menetapkan harga diatas lembaga non-LUEP seperti tengkulak atau pedagang pengumpul. Sering ditemukan di lapangan, LUEP menetapkan harga tidak jauh berbeda dengan tengkulak atau pedagang pengumpul karena LUEP mempunyai kepentingan bisnis sendiri. Penetapan harga yang tidak berbeda akan mempengaruhi pendapatan petani di lokasi program. Ketiga, petani belum bersedia menjual gabahnya kepada LUEP karena faktor-faktor internal dari
2
Bustanul Arifin, http://unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=7917&coid=2&caid=30
23
diri petani sendiri. Faktor tersebut dapat mempengaruhi apakah petani mau menjual gabahnya ke LUEP atau tidak. Dari uraian tersebut, maka perumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana pelaksanaan DPM-LUEP selama ini di Kabupaten Bandung? 2. Apa saja yang mempengaruhi keputusan petani menjual gabahnya ke LUEP? 3. Apakah program DPM-LUEP dapat menjaga harga gabah petani agar tidak jatuh dan dapat meningkatkan pendapatan petani?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini ialah: 1. mendeskripsikan pelaksanaan dan evaluasi kinerja program DPM-LUEP di Kabupaten Bandung, 2. menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani menjual gabah ke LUEP, dan 3. membandingkan harga yang diterima petani dan pendapatan usahatani petani yang menjual gabah ke LUEP dan non LUEP serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang bagaimana keadaan petani di lokasi program pemerintah. Kepada mahasiswa dapat dijadikan rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya mengenai pendapatan dan kesejahteraan petani di suatu lokasi program
24
pemerintah. Bagi pemerintah atau instansi terkait, dapat dijadikan bahan rujukan dan evaluasi dalam perbaikan suatu program bagi peningkatan pendapatan petani.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan pada saat program ini berjalan yaitu pada tahun 2007. Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini merupakan dua kelompok petani yang sengaja menjual gabah ke LUEP dan tidak menjual ke LUEP. Informasi yang diperoleh dari responden merupakan informasi yang didapat pada saat program sedang berjalan. Sehingga analisis dalam penelitian ini tidak membandingkan keadaan sebelum dan sesudah program ini berjalan.
25
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Program DPM-LUEP Salah satu instrumen yang digunakan pemerintah untuk menjaga fairness tingkat harga gabah dan beras yang terjadi adalah dengan memberikan bantuan modal bagi usaha perdesaan untuk membeli gabah/beras dari petani. Pada Tahun Anggaran 2003, Departemen Pertanian dengan dukungan Komisi III DPR-RI, telah mengembangkan kegiatan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) untuk melakukan pembelian gabah/beras petani pada saat panen raya. Melalui penguatan modal ini, kemampuan LUEP untuk membeli gabah/beras petani dengan harga yang wajar menjadi meningkat. Dengan demikian, kegiatan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi upaya stabilisasi harga gabah di tingkat petani. Selanjutnya, melalui pelaksanaan kegiatan ini diharapkan pula dapat meningkatkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, wilayah, dan nasional. Dana Penguatan Modal untuk Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPMLUEP) adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk membantu petani memperolah harga sesuai HPP. Melalui kegiatan ini pemerintah mengalokasikan sejumlah dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai dana talangan kepada LUEP untuk membeli gabah petani pada saat panen raya minimal sesuai HPP. Kegiatan DPM-LUEP telah dilaksanakan sejak tahun 2003 Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan yang memperoleh DPM, dapat berbentuk koperasi, koperasi tani (Koptan), Koperasi Unit Desa (KUD), lumbung pangan, dan pengusaha penggilingan padi yang bergerak dalam pengolahan,
26
penyimpanan, maupun pemasaran gabah. Manfaat dari diterimanya DPM-LUEP tidak boleh berhenti sampai pada penguatan modal, tetapi harus diteruskan kepada petani berupa pembelian gabah pada waktu yang tepat dan harga yang lebih baik. Penggunaan DPM oleh LUEP harus memenuhi “Lima Tepat” yakni3 : 1. Tepat Pemanfaatan: DPM-LUEP hanya dapat dimanfaatkan untuk pembelian gabah dari petani – bukan untuk keperluan lain. 2. Tepat Sasaran: pembelian dengan dana DPM harus langsung kepada petani/kelompok tani – bukan dari pedagang atau pihak lain. 3. Tepat Waktu: LUEP bertanggungjawab dalam pembelian gabah/beras ke petani pada saat harga jatuh, terutama pada panen raya dan mengembalikan dana talangan tepat pada waktunya. 4. Tepat Harga: Pembelian gabah petani oleh LUEP pada harga sesuai dengan kontrak dan mengacu kepada HDPP. 5. Tepat Jumlah: LUEP menggunakan DPM minimal sesuai dengan kontrak. Diharapkan dapat menggunakan secara berulang-ulang untuk membeli gabah dan mengembalikan dana tersebut dalam jumlah yang utuh.
2.2 Indikator Kinerja DPM-LUEP Untuk mengukur nilai keberhasilan kegiatan ini, digunakan beberapa indikator kinerja4, yaitu:
3 4
bkp.riau.go.id bukpd.ntb.go.id/web/content/view
27
a. Indikator Output: Volume pembelian gabah/beras oleh LUEP meningkat minimal sebesar alokasi dana yang diterima, dan waktu pengembalian lunas tepat waktu. Dalam pelaksanaannya indikator output diukur melalui: 1. Pencairan DPM oleh LUEP tepat waktu, jumlah, dan sasaran; 2. Pemanfaatan DPM untuk pembelian gabah/beras petani sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah; 3. Putaran DPM untuk pembelian gabah/beras oleh LUEP minimal satu kali;dan 4. Pengembalian DPM tepat waktu dan tepat jumlah. b. Indikator Outcome: Harga yang diterima petani daerah sentra produksi semakin baik dan usaha LUEP di pedesaan semakin berkembang. Dalam pelaksanaannya indikator outcome diukur melalui: 1. Harga yang diterima petani padi di wilayah sasaran kegiatan DPM-LUEP dibandingkan Harga Dasar Pembelian oleh Pemerintah (HDPP). 2. Meningkatnya aktivitas penjualan dan pemasaran LUEP. c. Indikator Benefit: Harga gabah/beras semakin stabil dan agribisnis perberasan semakin berkembang. Dalam pelaksanaannya lebih ditekankan pada harga gabah/ beras yang terkendali di wilayah sasaran kegiatan DPM-LUEP. d. Indikator Dampak: Pendapatan petani padi meningkat yang dapat memantapkan ketahanan pangan wilayah.
28
2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai tingkat kesejahteraan rumah tangga petani pernah dilakukan oleh Irmayani pada tahun 2007. Lokasi yang diteliti yaitu Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Tujuan penelitian tersebut yaitu: (1) mengkaji tingkat pendapatan rumah tangga petani dan sumber-sumber pendapatan petani di luar usaha pertanian, (2) menganalisis tingkat kesejateraan rumah tangga petani dan (3) menganalisis hubungan antara karakteristik petani dengan tingkat kesejahteraan. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif mengenai karakteristik rumah tangga petani, analisis usahatani serta analisis korelasi rank spearman untuk melihat hubungan antara karakteristik rumah tangga petani dengan tingkat kesejahteraan. Pengukuran
tingkat
kesejahteraan
rumah
tangga
petani
dengan
menggunakan sebelas kriteria indikator kesejahteraan dari BPS, sebagian besar dari responden (80 persen) termasuk kategori kesejahteraan tinggi. Sementara berdasarkan kriteria garis kemiskinan Sajogyo, sebagian besar responden (90 persen) termasuk kategori tidak miskin. Berdasarkan hasil analisis, variabel karakteristik responden yang mempengaruhi secara nyata tingkat kesejahteraan yaitu luas lahan yang dimiliki dengan hubungan yang positif. Sedangkan variabel umur, pendidikan, pengalaman kerja dan jumlah anggota rumah tangga petani tidak secara nyata mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Analisis tingkat pendapatan petani padi organik dan padi anorganik berdasarkan status kepemilikan lahan yang dilakukan Marhamah (2007) menunjukkan petani dengan status pemilik lebih tinggi dibandingkan petani dengan status bagi hasil. Selain itu jumlah pendapatan bersih yang diterima petani
29
padi organik lebih tinggi dibandingkan dengan yang diterima oleh petani padi anorganik. Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Situgede Kota Bogor ini membandingkan tingkat produktivitas dan tingkat pendapatan dari padi organik dan padi anorganik berdasarkan status kepemilikan lahan. Alat analisis data yang dilakukan meliputi analisis produktivitas, analisis pendapatan usahatani dan analisis faktor adopsi dengan menggunakan AHP (Analytic Hierarchy Process). Petani dengan status sebagai bagi hasil pada usahatani padi organik mempunyai tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan status pemilik. Hal ini disebabkan oleh adanya pemeliharaan yang lebih intensif dari petani bagi hasil dibandingkan petani pemilik. Pada usahatani padi anorganik status penguasaan lahan pemilik mempunyai tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi usahatani padi organik menunjukkan bahwa tujuan utama yang ingin dicapai dalam menjalankan usahatani padi organik adalah meningkatkan pendapatan usahatani. Tujuan adopsi padi organik yang ingin dicapai adalah menghasilkan pangan yang sehat, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan produktivitas. Faktor prioritas yang mempengaruhi adopsi usahatani padi organik adalah ciri pribadi petani. Prioritas selanjutnya adalah faktor luar usahatani, informasi teknologi dan kondisi usahatani. Program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) di Kabupaten Cianjur Jawa Barat telah dapat meningkatkan pendapatan petani yang mengikuti program tersebut (Sumiati, 2003). Namun sistem usahatani peserta SLPHT secara umum sama dengan sistem usahatani padi petani non-SLPHT.
30
Yang membedakan adalah penggunaan ramuan-ramuan (pestisida botanis) untuk menggantikan pestisida kimia dalam pemberantasan hama dan penyakit tanaman padi. Berdasarkan hasil analisis pendapatan usahatani dapat dilihat bahwa untuk petani non SLPHT penerimaan totalnya lebih besar daripada penerimaan total petani SLPHT. Nilai RC rasio petani SLPHT lebih besar daripada petani Non SLPHT (3,24 / 2,54). Hal tersebut menunjkkan bahwa usahatani petani SLPHT lebih efisien daripada petani Non SLPHT sehingga usahatani petani SLPHT secara finansial lebih efisien daripada usahatani petani non SLPHT. Analisis tingkat pendapatan petani lahan kering di lokasi program PINDRA di Kabupaten Pacitan Jawa Timur telah dilakukan oleh Dirmansyah pada tahun 2004. Dari analisis pendapatan usahatani petani program PINDRA, nilai R/C rasio petani program lebih besar daripada petani non program (3,62 / 3,47). Pendapatan bersih petani program PINDRA lebih besar daripada petani non program. Dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani program, secara statistik program PINDRA tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani di lokasi program. Artinya perbedaan pendapatan petani program PINDRA dengan petani non PINDRA tidak jauh berbeda. Di sisi lain adanya program ini cukup efektif dalam usaha meningkatkan pendapatan petani yang bermukim di lahan kering. Adanya perubahan perilaku, perbaikan di bidang pertanian, misalnya dalam meningkatkan motivasi petani dalam perbaikan di bidang pertanian, serta adanya pembangunan prasarana didesa lokasi penelitian. Kajian terhadap pendapatan petani dan harga lahan di kawasan Agropolitan di Kabupaten Cianjur telah dilakukan oleh Mulyani tahun 2007. Hasil
31
analisis usahatani menunjukkan program pengembangan kawasan agropolitan belum
signifikan
dalam
pencapaian
manfaat
jangka
menengah
yaitu
meningkatkan pendapatan usahatani petani. Konsisi ini terjadi karena meskipun terjadi peningkatan intensitas penyuluhan pertanian namun belum terjadi peningkatan produktivitas karena keterbatasan petani dalam permodalan. Pembangunan infrastruktur transportasi kawasan agropolitan tidak menurunkan biaya transportasi dan tidak merubah pola pemasaran komoditi pertanian. Terdapat kecenderungan program pengembangan kawasan ini di Kecamatan Pacet dan Cipanas meningkatkan jumlah petani dengan tingkat pendapatan tinggi dan sedang serta meningkatkan rata-rata tingkat pendapatan usahatani petani di wilayah inti dibandingkan wilayah transisi dan hinterland. Program ini terutama pembangunan infrastruktur transportasi secara lokalitas berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan harga lahan. Semakin dekat dengan pusat agropolitan semkin mahal. Kondisi ini dikhawatirkan akan memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian kepada aktovotas non pertanian yang memiliki nilai land rent yang lebih tinggi Studi perbandingan pendapatan dan efisiensi usahatani padi program PTT dengan petani non-PTT dilakukan di Kabupaten Karawang oleh Nasution tahun 2003. Tujuan penelitian ini yaitu: (1) menganalisis pendapatan usahatani, produktivitas usahatani yang dilakukan oleh petani program dibandingkan dengan petani non-program, (2) menganalisis keefektifan program dilihat dari peranannya dalam meningkatkan produksi petani dan (3) menganalisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi yang dilakukan petani program dibandingkan dengan
32
petani non-program. Analisis yang digunakan yaitu analisis efisiensi dan pendapatan usahatani serta analisis incremental net benefit. Produktivitas tanaman per hektar petani program lebih besar dibandingkan petani non program, akan tetapi perbedaan produktivitas yang diperoleh relatif kecil dan pendapatan rata-rata per hektar yang diperoleh petani non program lebih tinggi dibandingkan dengan petani program. Meskipun demikian dilihat dari segi pengeluaran biaya tunai dan baya total, maka biaya yang dikeluarkan petani program lebih rendah diabndingkan petani non-program. Hal ini terjadi karena petani program PTT melakukan masa tanam serentak yang dapat mengurangi resiko hama, pemberantasan hama secara bersama sehingga mengurangi biaya tunai. Dilihat dari R/C rasio, usahatani petani program maupun non-program masih menguntungkan untuk diusahakan, akan tetapi nilai R/C petani program lebih tinggi dibandingkan petani non-program. Hasil ini menunjukkan bahwa dari segi analisis pendapatan, petani program lebih efisien dibandingkan dengan petani non-program. Berdasarkan analisis incremental net benefit yang dilakukan, nilai B-C yang diperoleh petani program dengan ikut serta dalam program PTT lebih besar daripada nol, akan tetapi kentungan tambahan per hektar yang diperoleh relatif kecil. Program sistem tunda jual pola gadai gabah yang dibuktikan secara statistik melalui fungsi pendapatan dapat dinyatakan bahwa adanya kebijakan tersebut meningkatkan pendapatan petani (Gunawan, 2004). Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak penerapan sistem tunda jual pola gadai gabah terhadap tingkat pendapatan petani. Hal ini menggambarkan bahwa petani telah
33
menerima manfaat yang nyata dengan adanya program tersebut, karena petani dapat menerima harga layak setelah petani melakukan tunda jual. Hasil analisis pendapatan usahatani yang membedakan antara petani sebelum dan setelah ikut program sistem tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendapatan petani setelah ikut program tunda jual pola gadai gabah lebih besar dibandingkan sebelum ikut program. Suparmin (2005) melakukan penelitian mengenai peranan bulog dalam stabilisasi harga beras di pasar domestik. Suparmin membedakan analisisnya menjadi tiga periode waktu kebijakan perberasan nasional. Perkembangan kebijakan perberasan nasioanl tersebut yaitu rezim Orde Baru (1969-1997), rezim pasar bebas (1998-1999) dan rezim pasar terbuka terkendali (2000-2003). Data yang digunakan dalam penelitian tersebut mencakup harga gabah di tingkat petani, harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah, operasi pembelian gabah dan tingkat produksi padi. Alat analisis yang digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM) dan analisis kointegrasi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bulog hanya berperan dalam stabilisasi harga gabah di tingkat petani dalam rezim orde baru, demikian pula kebijakan operasi pembelian gabah petani hanya efektif dalam rezim orde baru. Sedangkan peran bulog dalam stabilisasi harga beras konsumen tidak ada sama sekali dalam ketiga rezim tersebut. Sehingga, kebijakan pemerintah dalam stabilisasi harga harus berimbang yaitu lebih memperhatikan produsen tanpa melupakan konsumen. Kebijakan tersebut harus memberikan jaminan harga gabah di tingkat petani yang memadai terutama pada musim panen raya. Sedangkan bagi
34
konsumen perlu adanya ketersediaan beras dengan kualitas yang baik dan harga terjangkau sepanjang musim maupun sepanjang tahun. Penelitian mengenai DPM-LUEP belum banyak dilakukan. Penelitian efektivitas penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah terhadap pendapatan petani telah dilakukan oleh Mila Yulisa tahun 2008. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Kabupaten Subang. Tujuan dilakukan penelitian ini yaitu menganalisis pendapatan usahatani petani padi, mengidentifikasi peranan penetapan HPP gabah terhadap pendapatan petani, dan mengidentifikasi peranan DPM-LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani. Penelitian yang dilakukan hanya sebatas mendeskrisikan harga gabah di tingkat petani dari seluruh petani responden. Selain itu, kajian terhadap program DPM-LUEP sendiri hanya sebatas gambaran pelaksanaan program, deskripsi harga gabah petani dan perbandingan pendapatan petani yang diperoleh dari hasil penelitian terdahulu. Berdasarkan hasil analisis, penetapan HPP di lokasi penelitian sudah efektif. Hal ini terlihat dari harga gabah yang diterima petani sudah berada diatas HPP yang ditetapkan pemerntah. Program DPM-LUEP sudah efektif tercermin dari stabilnya harga gabah di lokasi penelitian. Selain itu, pendapatan petani di lokasi penelitian setelah adanya program DPM-LUEP lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Munandar pada tahun 1978. Penelitian yang dilakukan hanya melihat efektivitas program DPM-LUEP terhadap kestabilan harga gabah petani di lokasi penelitian. Analisis yang dilakukan sederhana yaitu hanya melihat harga rata-rata yang diterima dari seluruh responden penelitian. Sedangkan, pendapatan petani di lokasi program
35
tidak dibedakan antara petani yang menjual ke LUEP atau tidak. Perbandingan pendapatan dilakukan dengan membandingkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Munandar pada tahun 1978. Peneltian ini hanya membedakan pendapatan petani berdasarkan status keanggotaan irigasi teknis di lokasi penelitian. Sehingga tidak dapat ditemui apakah pendapatan petani yang menjual ke LUEP lebih tinggi daripada petani yang menjual ke non-LUEP. Berdasarkan tinjauan penelitian yang telah dibahas, penelitian mengenai pendapatan usahatani di lokasi program DPM-LUEP belum membedakan antara petani yang menjaul ke LUEP dengan yang tidak. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan yaitu membedakan pendapatan petani yang menjual ke LUEP dengan yang tidak. Selanjutnya, akan menganalisis apakah program DPM-LUEP telah dapat meningkatkan pendapatan petani.
36
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Pendapatan Usahatani Kegiatan usahatani sebagai satu kegiatan untuk memperoleh produksi di lapangan pertanian, pada akhirnya akan dinilai dari pendapatannya yang merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pendapatan tersebut merupakan balas jasa faktor-faktor produksi. Balas jasa yang diterima pemilik faktor-faktor produksi dihitung untuk jangka waktu tertentu, misalnya satu musim atau satu tahun. Analisis pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani pemiliki faktor produksi. Tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usahatani dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok yaitu keadaan penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan. Penerimaan merupakan nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Penerimaan usahatani berwujud tiga hal yaitu: (1) hasil penjualan tanaman, ternak, ikan atau produk yang akan dijual, (2) produk yang dikonsumsi petani dan keluarganya, (3) kenaikan nilai inventaris. (Soeharjo dan Patong dalam Irmayani, 2007). Pendapatan usahatani petani dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pertama, nilai produksi kotor (value of production) atau pendapatan kotor usahatani (gross farm income) dan kedua, biaya atau pengeluaran total usahatani (total farm expenses). Untuk melakukan perhitungan pendapatan usahatani dilakukan dengan
37
melihat pendapatan bersih usahatani (net farm income) yaitu selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Pengeluaran total usahatani (total farm expenses) didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam proses produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja dalam keluarga petani. Pengeluaran usahatani meliputi biaya tunai dan diperhitungkan. Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Pengeluaran tunai usahatani tidak mencakup bunga pinjaman dan jumlah pinjaman pokok. Selisih antara penerimaan dan pengeluaran tunai usahatani disebut pendapatan tunai usahatani (Soekartawi et al, 1986). Secara umum pendapatan usahatani dapat didefinisikan sebagai sisa (perbedaan) antara pengurangan nilai penerimaan usahatani dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Pendapatan kotor usahatani (gross farm income) di definisikan sebagai nilai total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Semua komponen produk yang tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar berlaku. Perhitungan pendapatan kotor usahatani merupakan hasil perolehan sumberdaya yang digunakan dalam usahatani atau hasil perkalian antara jumlah produksi total dengan harga persatuan yang diterima petani. Harga yang diterima oleh petani sangat mempengaruhi besarnya tingkat penerimaan dan pendapatan petani, sehingga harga output menjadi salah satu faktor terpenting dalam meningkatkan pendapatan petani. Pendapatan bersih usahatani dapat digunakan untuk mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dari modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke
38
dalam kegiatan usahatani. Oleh karena itu, pendapatan bersih usahatani merupakan
ukuran
keuntungan
usahatani
yang
dapat
dipakai
untuk
membandingkan penampilan beberapa usahatani.
3.1.2 Kebijakan Harga Dasar Harga merupakan salah satu faktor yang sulit dikendalikan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah mengenai harga, namun sampai saat ini tetap saja harga masih merupakan masalah bagi petani. Kebijakan mengenai harga merupakan wewenang pemerintah yang diturunkan dalam bentuk peraturan dan keputusan pejabat berwenang seperti surat keputusan menteri. Kebijakan harga dasar terhadap output berorientasi kepada perlindungan petani (harga dasar). Panen raya memberikan gambaran produksi yang banyak (excess supply). Sesuai dengan teori ekonomi, bila penawaran meningkat sementara permintaan tetap maka harga akan turun. Itulah yang terjadi pada saat panen raya, harga turun ketika harga pasar berada di bawah harga yang semestinya (harga keseimbangan). Pada Gambar 2 kebijakan yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan harga dasar menjadi lebih tinggi daripada harga pasar tersebut. Misalkan harga pasar adalah Hp dan harga dasar adalah Hd, maka Hd lebih besar dari Hp. Dalam hal ini untuk menjaga agar harga dasar tetap berlaku maka pemerintah harus ambil bagian dalam pasar, yaitu dengan menampung kelebihan produksi sehingga penawaran dan permintaan pasar tetap seimbang dan harga tidak terpengaruh. Jumlah produksi yang diminta oleh masyarakat adalah sebesar OQp dengan harga sebesar Hp yang berada di bawah harga dasar (Hd). Bila harga dasar
39
tetap berlaku, maka jumlah permintaan adalah sebesar OQ1d. bila dikehendaki harga dasar dapat berfungsi dengan baik, maka pemerintah harus menampung dan membeli kelebihan produksi (penawaran) sebesar Q1dQd. Dengan demikian permintaan yang sebenarnya bisa diimbangi oleh produksi sebesar OQ1d.
Harga
D
S
Hd Hp
O
Q1d
Qp
Qd
Kuantitas
Gambar 2. Kebijaksanaan Harga Dasar Pada Saat Panen Raya Sumber: Lipsey, 1995
3.1.3 Konsep Maksimisasi Laba (Profit) Dalam ilmu ekonomi, perusahaan atau seorang produsen memiliki tujuan untuk mencapai laba ekonomi sebesar mungkin. Secara definisi produsen membuat perbedaan sebesar mungkin antara penerimaan total dengan biaya ekonomi total. Jika seorang produsen adalah pencari laba maksimum, mereka akan membuat keputusan berdasarkan konsep marjinal. Produsen akan melihat laba tambahan (atau marjinal) dari produksi satu unit output, atau tambahan laba dari penggunaan tambahan satu unit input. Sepanjang tambahan laba ini masih positif, produsen akan memutuskan untuk memproduksi tambahan output atau menggunakan tambahan input. Namun, ketika tambahan laba dari aktivitas
40
produksi menajdi nol, maka produsen akan mempertahankan aktivitasnya karena tidak lagi menguntungkan bila menambah produksi. TC
TC TR
TR
(a)
Output π
(b)
0
q1
q*
q2
Output
Gambar 3. Hubungan Total Penerimaan dengan Total Biaya dalam Menentukan Tingkat Output Pada Saat Laba Maksimum Sumber: Nicholson, 2000 Hubungan antara maksimisasi laba dengan konsep marjinal secara langsung dengan melihat tingkat output yang akan dipilih untuk diproduksi. Produsen menjual tingkat output (Q) dan dari penjualannya produsen menerima penerimaan (TR). Jumlah penerimaan yang diperoleh dipengaruhi berapa banyak output yang terjual (Q) dan berapa harga output tersebut (Pq). Demikinan pula,
41
untuk menghasilkan Q, diperlukan biaya ekonomi tertentu (TC) yang tergantung dari output yang diproduksi. Laba ekonomi (π) didefinisikan sebagai: π = TR – TC dimana : TR = Pq x Q TC = Fungsi biaya terhadap output. Untuk menentukan berapa banyak output yang akan diproduksi, produsen akan memilih kuantitas produksi ketika laba ekonomi paling besar. Proses ini diilustrasikan pada Gambar 3. Pada Gambar 3. Kurva biaya total (TC) dan penerimaan total (TR) pada gambar (a) akan membentuk hubungan kurva laba pada gambar (b). Dapat terlihat bahwa laba akan mencapai maksimum pada saat produsen memproduksi pada q*. pada tingkat output yang lebih besar atau lebih kecil dari q*, laba akan kecil dibandingkan dengan ketika output diproduksi pada q*. Dengan demikian, untuk memaksimumkan laba produsen akan menghasilkan output dimana penerimaan marjinal sama dengan biaya marjinal (MR = MC).
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Program revitalisasi pertanian telah mencoba untuk mengembalikan kembali sektor pertanian sebagai sektor perekonomian yang unggulan. Berbagai macam program telah dicanangkan bertujuan untuk meningkatkan produksi nasional, pengembangan agribisnis dan peningkatan kesejahteraan petani. Salah satu indikator mengukur kesejahteraan petani yaitu NTP. Indeks NTP padi di Indonesia mengalami fluktuasi setiap tahunnya (Gambar 1). Bahkan semenjak krisis ekonomi dari tahun 1999, indeks NTP padi terus mengalami penurunan sampai tahun 2004. Keadaan sangat berbeda dengan indeks NTP buah-
42
buahan yang nilainya terus meningkat bahkan berada pada kisaran diatas 120, sedangkan indeks NTP padi berada pada kisaran 90 sampai 110. Hal ini menunjukkan keadaan petani padi yang lebih miskin dibandingkan petani buahbuahan. Oleh sebab itu, pemerintah berusaha menolong petani dengan instrumen kebijakan. Kebijakan mengenai peningkatan kesejahteraan petani melalui kebijakan harga telah dilakukan bahkan dari tahun 1960an. Penetapan harga gabah pertama kali dilakukan pada tahun 1969 (Amang dan Sawit, 1999). Namun adakalanya penetapan harga dasar gabah tersebut terkadang tidak sesuai dengan yang diharapkan karena masih banyak terjadi kasus-kasus harga gabah jatuh di bawah harga dasar. Selain itu, pemerintah melalui Bulog terkadang tidak mampu membeli kelebihan penawaran pada saat panen raya sehingga harga kembali turun di tingkat petani. Dalam mengatasi kemampuan Bulog dalam membeli kelebihan penawaran saat panen raya, pemerintah telah membuat program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP). LUEP yang telah memperoleh dana talangan untuk membeli gabah dari petani diharpakan dapat membantu Bulog dalam membeli kelebihan penawaran saat panen raya. Harga yang diberikan oleh LUEP sesuai dengan HPP sehingga petani tidak mengalami kerugian ketika harga di pasaran sedang rendah. Program DPM-LUEP diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani pada saat panen raya. Maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat pendapatan petani antara petani yang menjual ke LUEP dengan ke non LUEP. Dari hasil analisis dapat ditentukan apakah petani yang menjual ke LUEP
43
memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan petani yang menjual ke non LUEP. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani digunakan analisis regresi berganda yang salah satu variabel bebasnya yaitu variabel dummy petani menjual ke LUEP dan non LUEP. Hasil analisis tersebut dapat melihat apakah program DPM-LUEP dapat meningkatkan pendapatan petani.
44
Keadaan petani di Indonesia
Program Revitalisasi Pertanian
Peningkatan kesejahteraan petani
Kebijakan HPP
Program DPM-LUEP
Peningkatan Pendapatan Petani Pelaksanaan dan Evaluasi Program
Analisis Deskriptif
Analisis pendapatan usahatani
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani menjual gabah ke LUEP
Identifikasi perbedaan harga di tingkat petani
Analisis regresi berganda dan regresi logistik
Uji t
Efektifitas Program DPM-LUEP Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional
45
3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dijelaskan sebelumnya, maka hipotesis penelitian yang dapat dirumuskan yaitu: 1. Tingkat pendapatan petani yang menjual gabah ke LUEP akan lebih tinggi daripada petani yang menjual gabah ke non-LUEP. 2. Variabel pendidikan, luas lahan, dan status kepemilikan lahan serta variabel dummy LUEP akan mempengaruhi pendapatan secara positif. Sedangkan variabel biaya tenaga kerja dan biaya sarana produksi akan mempengaruhi pendapatan secara negatif. 3. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata harga gabah yang ditetapkan oleh LUEP dan non-LUEP, dimana harga gabah yang ditetapkan LUEP akan lebih tinggi daripada yang ditetapkan non-LUEP.
46
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dua kecamatan yaitu Kecamatan Pameungpeuk dan Kecamatan Bale Endah Kabupaten Bandung. Pengamatan di lapang dilakukan selama tiga bulan yaitu pada bulan Januari-Maret 2008. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan kedua kecamatan tersebut merupakan kecamatan yang mendapat program DPM-LUEP serta menjadi sentra produksi padi di Kabupaten Bandung.
4.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden petani yang menjual dan tidak menjual gabah ke LUEP. Data primer meliputi data kuantitatif (lahan, tenaga kerja, produksi) dan data kualitatif yang diperoleh dari wawancara dengan responden menggunakan kuisioner dan observasi langsung di lokasi. Data primer pun dikumpulkan dari lembaga yang menerima program DPM-LUEP untuk mengetahui pelaksanaan program ini di Kabupaten Bandung. Dalam mengevaluasi program, dilakukan wawancara melalui kuisioner dengan pelaksana program dari pemerintah pusat sampai pelaksana teknis kabupaten. Selain itu, dikumpulkan pula data mengenai monografi kecamatan dan profil kecamatan untuk mengetahui informasi sektor pertanian di lokasi penelitian yang berasal dari pemerintahan kecamatan setempat.
47
Tabel 3. Jenis, Sumber Data dan Variabel yang Diamati Dalam Penelitian No Tujuan Penelitian
Variabel yang diamati
Alat Analisis
1.
Gambaran pelaksanaan program tahun 2007 keberhasilan kinerja program.
Analisis deskriptif.
Penerimaan usahatani, biaya usahatani, Tingkat pendidikan, luas lahan, produksi, biaya tenaga kerja, biaya sarana produksi, keikutsertaan kelompok tani, status kepemilikan lahan, tujuan petani menjual gabah (LUEP atau non LUEP) dan harga yang diterima.
Analisis pendapatan usahatani, uji t dan analisis regresi berganda.
Tujuan penjualan gabah, tingkat pendidikan, hasil produksi, status keanggotaan kelompok tani, dan harga yang diterma.
Analisis regresi logistik.
2.
3.
4.
Jenis dan Sumber Data Primer, Mendeskripsikan responden pelaksanaan dan LUEP dan evaluasi kinerja tim pelaksana program DPMLUEP di Kabupaten program. Bandung. Primer, Menganalisis responden pendapatan petani. usahatani, dan perbedaan harga gabah petani yang menjual gabah ke LUEP dan non LUEP serta faktorfaktor yang mempengaruhi pendapatan. Primer, menganalisis efektifitas program responden dalam peningkatan petani. pendapatan petani. menganalisis faktor- Primer, faktor yang responden petani. mempengaruhi keputusan petani menjual gabah ke LUEP.
Analisis regresi berganda.
4.3 Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel responden petani dilakukan terhadap petani yang menjual gabah ke LUEP dan non LUEP. Jumlah responden sebanyak 50 orang yang terdiri dari 25 orang petani yang menjual ke LUEP dan 25 orang petani yang menjual ke non LUEP dari dua kecamatan tersebut. Teknik pengambilan sampel
48
yang dilakukan yaitu accidental sampling untuk responden yang menjual ke LUEP dan snowball sampling untuk responden yang menjual ke non LUEP. Mekanisme pengambilan contoh untuk petani yang menjual ke LUEP, dilihat dari daftar petani yang menjual ke LUEP yang terdapat di pengurus LUEP. Kemudian dengan daftar tersebut dihubungi sampai ada petani yang bersedia diwawancarai sampai jumlah yang telah ditentukan. Mekanisme pengambilan contoh untuk petani yang tidak menjual ke LUEP, dengan mendatangi seorang petani yang biasa menjaul ke tengkulak. Dari petani tersebut ditanyakan kembali siapa saja petani yang menjual selain dia. Hal tersebut terus dilakukan berulang sampai jumlah yang ditentukan tercapai. Untuk evaluasi program, penarikan sampel dilakukan secara sengaja (purposive), dimana pihak yang dijadikan responden adalah pihak yang terkait dengan pelaksanaan program. Keseluruhan responden terdiri atas 11 orang meliputi 4 orang staf Badan Ketahanan Pangan Bidang Analisis Distribusi Pangan, 3 orang staf Sub Bagian Pertanian Biro Produksi Bagian Perekonomian Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan 4 orang staf Sub Ketahanan Pangan Bagian Perekonomian Pemerintah Kabupaten Bandung. Seluruh responden berpendidikan Sarjana.
4.4 Metode Analisis Data Analisis data yang dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif yang digunakan yaitu analisis deskriptif. Analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
49
sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, aktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 2003). Analisis deskriptif dilakukan dengan cara menggambarkan secara rinci data yang diperoleh dengan membuat tabulasi hasil jawaban responden dan kemudian di persentasekan. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan usahatani, analisis efektifitas program serta analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani dengan metode regresi berganda dan faktorfaktor yang mempengaruhi keinginan petani menjual gabah ke LUEP dengan metode regresi logistik. 4.4.1 Analisis Deskriptif Evaluasi Kinerja Program DPM-LUEP Evaluasi program DPM-LUEP dilakukan dengan mewawancarai tim pelaksana pusat, propinsi dan kabupaten. Responden diberikan beberapa pertanyaan yang terkait dengan indicator kinerja program kemudian responden memberikan penilaian. Penilaian yang diberikan terdiri dari empat skala nilai. Nilai satu (1) diberikan apabila pencapaian program terhadap indikator tidak berhasil. Nilai dua (2) diberikan apabila pencapaian program terhadap indikator kurang berhasil. Nilai tiga (3) diberikan apabila pencapaian program terhadap indikator cukup berhasil dan nilai empat (4) diberikan apabila pencapaian program terhadap indikator berhasil. Skala penilaian: 1 = Tidak Berhasil 2 = Kurang Berhasil 3 = Cukup Berhasil 4 = Berhasil
50
Setelah responden memberikan penilaian, dihitung rata-rata skor masing-masing indicator. Kemudian dibuat diagram ular lalu mendeskripsikannya untuk menunjukkan rata-rata penilaian keberhasilan program menurut responden.
4.4.2 Uji Perbedaan Harga Gabah Petani (Uji t pada dua sampel) Uji t pada dua sampel akan menguji apakah rata-rata (mean) dua populasi sama ataukah berbeda. Kedua sampel yang diuji bersifat bebas. Ciri utama Uji t adalah jumlah sampel yang relatif kecil. Asumsi yang digunakan dalam melakukan uji t yaitu: 1. Varian kedua populasi yang diuji sama, dan 2. Sampel yang diambil berdistribusi normal atau mendekati normal atau dapat dianggap normal. Pengujian untuk beda antara dua mean adalah sebagai berikut: Ho : µ1 = µ2 H1 : µ1 ≠ µ2 Pengujian Statistik :
Keterangan:
ū1 = rata-rata harga gabah dari LUEP ū2 = rata-rata harga gabah dari non-LUEP s = estimator terkumpul dari varians bersama n1 = jumlah sampel petani yang menjual gabah ke LUEP n2 = jumlah sampel petani yang menjual gabah ke non-LUEP
Untuk memudahkan perhitungan, perhitungan dilakukan dengan menggunakan software komputer minitab 14.
51
4.4.3 Analisis Usahatani Analisis usahatani bertujuan untuk menentukan tingkat efisiensi usahatani yang dikembangkan petani dari hubungan ekonomi antara output yang dihasilkan dengan input yang digunakan oleh petani responden. Tiga variabel yang menjadi komponen dalam analisis ini adalah penerimaan, biaya, dan pendapatan usahatani. Data yang dibutuhkan untuk keperluan analisis usahatani yaitu harga penerimaan, biaya usahatani dan pendapatan usahatani. Dalam analisis usahatani dalam penelitian ini digunakan analisis sederhana karena hanya dilihat dari faktor pendapatan dan faktor pengeluaran dalam kegiatan pertanian seperti pengolahan tanah, pemakaian sarana produksi, serta proses panen. Penerimaan usahatani merupakan nilai total dari hasil produksi usahatani baik tunai maupun tidak tunai. Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya usahatani. Kriteria efisiensi usahatani dapat diukur dengan menggunakan analisis penerimaan dan biaya (R/C ratio analysis) yang didasarkan pada perhitungan secara finansial. Analisis ini menunjukkan besar penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani. Semakin besar R/C rasio maka akan semakin besar pula penerimaan uasahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Secara matematis R/C rasio dapat dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut: R/C rasio = TR TC Dimana: TR = Total Penerimaan TC = Total biaya
52
Kegiatan usahatani dikategorikan layak jika memiliki nilai R/C rasio >1 artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya atau secara sederhana kegiatan usahatani tersebut menguntungkan. Sebaliknya kegiatan usahatani dikategorikan tidak layak jika memiliki nilai R/C rasio <1.
4.4.4 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis regresi berganda dan parameter regresi diduga dengan metode pendugaan kuadrat kecil biasa (Ordinary Least Square) yang didasarkan pada beberapa alasan pemilihan metode ini dengan pertimbangan; metode ini mempunyai sifat dan karakteristik yang optimal, sederhana dalam perhitungan. Metode ini digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani di lokasi penelitian. Beberapa asumsi OLS adalah : 1. Nilai rata-rata pengganggu sama dengan nol, yaitu E (εi) = 0, untuk setiap i, di mana i = 1,2,3,…,n. artinya nilai yang diharapkan bersyarat dari εi tergantung pada Xi tertentu adalah nol. 2. Varian (εi ) = (εi2 ) = σ2, sama untuk semua kesalahan pengganggu (asumsi homoskedastisitas), artinya varian εi untuk setiap i yaitu varian bersyarat untuk εi adalah suatu angka konstan positif yang sama dengan σ2. 3. Variabel bebas X1, X2,…, Xn konstan dalam sampling yang terulang dan bebas dari kesalahan pengganggu εi, E ( Xiεi) = 0. 4. Tidak ada multikolinearitas yang berarti tidak ada hubungan linear yang nyata antara variabel-variabel bebas.
53
Variabel yang diduga sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan petani di lokasi program yaitu: tingkat pendidikan, biaya tenaga kerja, biaya sarana produksi, hasil produksi, harga gabah yang diterima, variabel dummy untuk status anggota kelompok tani dan kepemilikan lahan, serta variabel dummy untuk status petani menjual gabah ke LUEP dan non LUEP. Persamaan regresi yang digunakan terdiri dari persamaan regresi untuk faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan. Persamaan regresi tersebut adalah sebagai berikut: Yt = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6D1 + β7D2 + β8D3 + εt Dimana: Y X1 X2 X3 X4 X5 D1
= Pendapatan usahatani (Rupiah) = Tingkat pendidikan (tahun) = Biaya tenaga kerja (rupiah) = Biaya sarana produksi (rupiah) = Produksi (kwintal) = Harga gabah yang diterima (rupiah) = Variabel dummy, bernilai “1” untuk petani dengan lahan milik sendiri dan bernilai “0” untuk petani penggarap D2 = Variabel dummy, bernilai “1” untuk petani anggota kelompok tani dan bernilai “0” untuk petani bukan anggota kelompok tani D3 = Variabel dummy, bernilai “1” untuk petani yang menjual gabahnya ke LUEP dan bernilai “0” untuk petani yang menjual ke non LUEP β1,β4,β5,β6,β7,β8 > 0 dan β2,β3 < 0 εt = komponen error
Dari analisis regresi linier didapatkan besarnya t-hitung, F-hitung dan R2. nilai t-hitung digunakan untuk mengetahui secara statistik apakah masing-masing variabel bebas (X) yang digunakan secara terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebas (Y). Apabila t-hitung lebih kecil dari t-tabel pada taraf nyata α berarti variabel bebas yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas.
54
Langkah-langkah pengujian yang dilakukan: 1. Pengujian Terhadap Parameter Penduga Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga variabel dalam fungsi. Hipotesis: Ho : β0 = β1 = ….= β8 = 0 H1 : minimal ada satu koefisien β tidak sama dengan nol F-hitung = R2 / k – 1 (1 – R2) / n – k F-tabel = F α (k-1,n-k) Kriteria uji: F-hitung > F-tabel (k-1,n-k), maka tolak H0 F-hitung < F-tabel (k-1,n-k), maka terima H0 Jika Ho ditolak berarti secara bersama-sama variabel bebas dalam model dapat menjelaskan keragaman variabel tidak bebas dan sebaliknya jika Ho diterima berarti secara bersama-sama variabel bebas dalam model tidak dapat menjelaskan keragaman variabel tidak bebas. 2. Pengujian Untuk Masing-masing Koefisien Regresi Tujuannya adalah mengetahui masing-masing variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas. Hipotesis: H0 : βi = 0 H1 : βi tidak sama dengan nol Uji statistik yang digunakan adalah uji t: t-hitung = βi S(β) t-tabel = t α/2 (n-k) jika Ho ditolak variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas dalam model, sebaliknya jika Ho diterima berarti variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas.
55
4.4.5 Model Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Menjual ke LUEP Analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan Petani Menjual ke LUEP yang dilakukan dengan menggunakan model regresi logistik atau model logit. Hal yang membedakan model regresi logit dengan regresi biasa adalah peubah terikat dalam model tersebut bersifat dikotomi (Hosmer dan Lameshow, 1989). Model logit didasarkan pada fungsi peluang kumulatif logistik (Pyndick dan Rubenfield, 1998) Pi = F (Zi) = F (
)=
Dimana Pi = peluang petani menjual gabahnya ke LUEP Xi = peubah penjelas yang diduga mempengaruhi keputusan petani e = bilangan natura α = intersep β = nilai parameter yang diduga Bentuk fungsi dari model logit adalah sebagai berikut :
Model dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani menjual gabahnya ke LUEP adalah sebagai berikut : Z = b0 + b1 X1 + b2 X2 + b2D1+ b3 X3 + ei Keterangan :
Z X1 X2 D1
X4 b0,b1,b2,b3,b4 b1,b2,b3,b4
= Keputusan petani menjual ke LUEP Z =1, menjual ke LUEP Z =0, tidak menjual ke LUEP = Tingkat Pendidikan (thn) = Hasil produksi (ton) = Status keanggotaan kelompok tani D1 =1, anggota D1 =0, bukan anggota = Harga yang diterima = Konstanta regresi >0
56
Pengujian signifikansi model dan parameter dalam analisis regresi logistik diuraikan sebagai berikut : 1.Uji seluruh model (rasio likelihood) Untuk melihat kesesuaian model digunakan uji rasio likelihood dengan membandingkan nilai G hitung dengan nilai chi square (Hosmer dan Lameshow, 1989). G Hitung = 2 (nilai log likelihood – (n1 ln (n1) + n0 ln (n0) – n ln (n)))……..() G = nilai rasio likelihood = jumlah sampel yang termasuk dalam kategori P (Y = 1) n1 n0 = jumlah sampel yang termasuk dalam kategori P (Y = 0) n = jumlah total sampel 2. Uji signifikansi tiap parameter (uji wald) H0 : βj = 0 untuk suatu j tertentu ; j = 0, 1, …, p H1 : βj ≠ 0 Statistik uji yang digunakan adalah Wj = βj / SE (βj) ; j = 0, 1, …, p 3. Interpretasi model atau parameter Ukuran yang digunakan untuk melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat dalam model logit adalah nilai odds ratio . nilai ini didapat dari perhitungan eksponensial dari koefisien estimasi (βi) atau exp (βj) Odds didefinisikan sebagai :
atau exp (β)
Dimana P menyatakan peluang terjadinya peristiwa (Z = 1) yaitu bila petani menjual ke LUEP, dan 1-P menyatakan tidak terjadinya peristiwa (Z = 0) yaitu bila petani tidak menjual ke LUEP.
57
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN
5.1 Kecamatan Pameungpeuk Kecamatan Pameungpeuk merupakan salah satu daerah sentra produksi pertanian, terutama komoditi padi sawah yang ada di Kabupaten Bandung. Dengan luas wilayah 1.324 Ha, Kecamatan Pameungpeuk terdiri dari enam desa yaitu: 1. Desa Sukasari 2. Desa Langonsari 3. Desa Bojongmanggu 4. Desa Rancamulya 5. Desa Rancatungku 6. Desa Bojongkunci Luas lahan pertanian sebesar 910,315 Ha (69 persen), mencakup sawah irigasi teknis, setengah teknis, dan sawah tadah hujan. Lahan pekarangan, perumahan dan industri seluas 332,885 Ha (25 persen). Lahan darat yang dimanfaatkan untuk menanam padi gogo, palawija dan sayuran seluas 67,5 Ha (5 persen). Sedangkan sisanya seluas 13,2 Ha (1 persen) merupakan kolam untuk budidaya ikan. Pola tanam padi yang sering dilakukan yaitu dua kali dalam setahun dengan lusa areal sebanyak 857,815 Ha. Hal ini ditunjang dengan sistem pengairan yang cukup memadai dengan sawah beririgasi teknis seluas 752,815
58
Ha. Komoditi utama tanaman pangan yang diusahakan meliputi padi sawah, padi gogo, jagung, ketela, serta sayuran dan buah. Tabel 4. Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Kecamatan Pameungpeuk Tahun 2007 No Komoditi Luas Panen (Ha) Produksi (ton) 1. Padi Sawah 1.782 19.319,2 2. Padi Gogo 8 13,3 3. Jagung 27 270 4. Ketela pohon 47 1.410 5. Sayuran dataran rendah 62 2.542 6. Buah-buahan 25 150 Sumber: Laporan Program Penyuluhan Pertanian Kecamatan Pameungpeuk, 2007 Pada Tabel 4 rata-rata produksi padi sawah sebesar 6,2 ton per hektar, padi gogo sebesar 1,9 ton per hektar, jagung sebesar 10 ton per hektar, ketela pohon sebesar 30 ton per hektar, sayuran sebesar 41 ton per hektar dan buah-buahan sebesar 6 ton per hektar. Sebagian
besar
jumlah
penduduk
Kecamatan
Pameungpeuk
bermatapencaharian sebagai petani sebanyak 10.490 KK. Namun petani disana merupakan petani penggarap (50 persen). Sistem bagi hasil yang diterapkan dikenal dengan sebutan maro yang artinya setengah hasil panen diberikan kepada pemilik lahan dan setengah lagi baru dapat dimanfaatkan oleh petani.
5.2 Kecamatan Bale Endah Kecamatan Bale Endah terletak di sebelah selatan ibu kota Propinsi Jawa Barat (Bandung) dengan jarak kurang lebih 10 km, dan berada di sebelah timur ibu kota Kabupaten bandung dengan jarak 12 km. Secara administratif terdiri dari lima wilayah kelurahan yaitu Bale Endah, Manggahang, Jelekong, Warga mekar,
59
dan Andir serta tiga wilayah desa yaitu Bojong Malaka, Malakasari, dan Rancamanyar. Luas tanah sawah tercatat 1620 Ha terdiri dari irigasi teknis seluas 695 Ha, irigasi setengah teknis seluas 438 Ha, irigasi sederhana seluas 50 ha dan sawah tadah hujan seluas 437 Ha. Sedangkan tanah kering tercatat 2015 Ha yang terdiri dari pekanrangan 1522 Ha, tegal dan kebun seluas 150 Ha, ladang seluas 285 Ha dan lahan penggembalaan seluas 58 Ha. Dengan demikian luas sawah di Kecamatan Bale Endah termasuk luas sehingga merupakan sentra produksi padi untuk wilayah Kabupaten Bandung. Jumlah penduduk sampai akhir tahun 2006 sebanyak 168.147 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga Tani sebanyak 4.704 KK. Dari jumlah tersebut sebanyak 586 KK pemilik tidak menggarap, 2.074 KK pemilik penggarap, 504 KK penggarap, dan 1.540 KK buruh tani. Jenis usahatani yang banyak dilakukan oleh para petani yaitu tanaman pangan, palawija dan sayuran. Tanaman yang paling dominan adalah tanaman padi sawah, sedangkan palawija dan sayuran merupakan tanaman penyelang. Pola tanam yang dilaksanakan oleh para petani yaitu dua kali dalam setahun. Tabel 5. Luas tanaman, Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Kecamatan Bale Endah Tahun 2006 Jenis Luas Tanaman Luas Panen Rata-rata Produksi Tanaman (Ha) (Ha) (ton/Ha) 1. Padi sawah 3.040 2540 5,3 2. Jagung 85 85 2,5 3. Ubi Kayu 30 30 8 4. Ubi jalar 245 245 3 Sumber: Laporan Program Penyuluhan Pertanian Kecamatan Bale Endah, 2007 No
60
5.3 Karakteristik Responden Petani Karakteristik setiap individu dapat mempengaruhi perilaku hidupnya sehari-hari. Karakteristk petani dapat dilihat dari faktor usia dan tingkat pendidikan. Pada Tabel 6 sebagian besar responden yang menjual ke LUEP berumur lebih dari 50 tahun yaitu 12 orang petani (48 persen) begitu halnya denganrResponden yang menjual ke non-LUEP yaitu 13 orang (52 persen). Secara keseluruhan sebagian besar petani responden berumur lebih dari 50 tahun. Tabel 6. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Tingkat Usia Tingkat Usia (Tahun)
No 1 2 3 4
< 30 31 – 40 41 – 50 > 50 Jumlah
Karakteristik Responden Menjual ke LUEP Menjual ke non-LUEP Jumlah (orang) Persentase Jumlah (orang) Persentase (%) (%) 1 4 3 12 2 8 4 16 10 40 5 20 12 48 13 52 25 100 25 100
Berdasarkan tingkat pendidikan pada Tabel 7, petani responden yang menjual ke LUEP sebagian besar berpendidikan SD yaitu 14 orang (56 persen), bahkan ada yang tidak sampai menamatkan pendidikannya di SD sebanyak 4 orang (22 persen). Berbeda halnya dengan responden yang menjaul ke non-LUEP, pendidikan responden menyebar rata antara tidak tamat SD sampai tamat SMA. Rendahnya tingkat pendidikan ini khususnya berasal dari responden yang berumur lebih dari 50 tahun karena pada zaman dulu kesadaran untuk bersekolah masih kurang. Petani responden yang diteliti sebagian besar merupakan petani penggarap. Status kepemilikan lahan sebagai penggarap sebanyak 34 orang (68 persen) dan hanya 16 orang (32 persen) saja yang merupakan petani pemilik lahan. Sistem
61
bagi hasil yang diterapkan disebut sistem maro yaitu hasil panen dibagi dua sehingga petani hanya mendapatkan setengah hasil panen. Tabel 7. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No 1 2 3 4
Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Jumlah
Karakteristik Responden Menjual ke LUEP Menjual ke non-LUEP Jumlah Persentase Jumlah Persentase (orang) (%) (orang) (%) 4 16 7 28 14 56 7 28 2 8 4 16 5 20 7 28 25 100 25 100
Luas lahan garapan responden tergolong sempit, sebagian besar responden yang menjual ke LUEP mempunyai luas garapan antara 0,50 – 1,00 hektar sebanyak 10 orang (40 persen). Responden yang menjual ke non-LUEP sebagian besar mempunyai luas garapan < 0,50 hektar sebanyak 11 orang (44 persen). Dengan demikian luas lahan garapan sebagian besar responden kurang dari satu hektar. Tabel 8. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan Garapan
No 1 2 3 4
Luas Lahan (Hektar) < 0,50 0,50 – 1,00 1,01 – 1,50 > 1,50 Jumlah
Karakteristik Responden Menjual ke LUEP Menjual ke non-LUEP Jumlah Persentase Jumlah Persentase (orang) (%) (orang) (%) 7 28 11 44 10 40 7 28 3 12 2 8 5 20 5 20 25 100 25 100
Kesadaran petani untuk mengikuti kelompok tani sudah cukup besar, hal ini terlihat dari jumlah petani responden yang mengikuti kelompok tani sebanyak 40 orang (80 persen). Sebagian besar responden berpendapat bahwa banyak
62
keuntungan yang mereka dapat, seperti menambah pengetahuan setelah mengikuti penyuluhan serta dapat menerima bantuan saprodi bila ada program dari pemerintah. Selain itu, dapat mempererat hubungan kekeluargaan dengan petani lainnya sehingga bila ada kesusahan merasa terbantu.
5.4 Karakteristik Responden LUEP LUEP yang diamati yaitu LUEP Jati Mulya di Kecamatan Bale Endah serta LUEP Jembar Rahayu dan LUEP Harapan Sejahtera yang berlokasi di Kecamatan Pameungpeuk. Bentuk usaha yang dijalani dari ketiga LUEP tersebut yaitu usaha penggilingan padi serta penjualan beras. Selain itu, ketiga LUEP sudah berbadan hukum dengan status CV. Khusus LUEP Jati Mulya dan Jembar Rahayu juga mempunyai cabang usaha lain seperti warung sembako dan usaha catering. Karakteristik LUEP yang diamati lebih lengkap terdapat pada Tabel 8. Berdasarkan kegiatan organisasi, ketiga LUEP mempunyai struktur organisasi yang sederhana. Setiap LUEP hanya mempunyai tiga orang pengurus yaitu ketua, sekretaris dan bendahara. Sistem administrasi pun cukup sederhana. Buku administrasi hanya sebatas buku pencatatan pembelian gabah dari petani serta pencatatan penjualan beras. Tujuan pemasaran yang dilakukan oleh ketiga LUEP ini cukup berbeda. LUEP Jati Mulya sepenuhnya menjual beras ke Pasar Induk Cipinang Jakarta. LUEP ini tidak memasarkan beras di wilayah Bandung. Berbeda halnya dengan LUEP Jembar Rahayu yang sepenuhnya memasarkan beras di wilayah Bandung saja. Sedangkan LUEP Harapan Sejahtera memasarkan beras di dua wilayah yaitu Bandung dan Jakarta. Perbedaan ini didasarkan pada hubungan LUEP masing-
63
masing dengan pedagang grosir di masing-masing wilayah. Selain itu, perbedaan skala usaha juga menjadi faktor tujuan pemasaran. Hal ini berhubungan dengan jumlah pengajuan dan perolehan dana pinjaman, LUEP Jati Mulya dan Harapan Sejahtera mendapatkan dana sebesar Rp 250 juta sedangkan LUEP Jembar Rahayu hanya mendapatkan Rp 150 juta. Tabel 9. Karakteristik Responden LUEP Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung
Uraian Lokasi Kecamatan Bentuk Usaha Utama Struktur Organisasi Sistem Administrasi Tujuan Pemasaran Sumber Informasi Program Kerjasama Kelompok Tani Perolehan Dana
Jati Mulya
LUEP Jembar Rahayu
Harapan Sejahtera Pameungpeuk Pameungpeuk Penggilingan padi Penggilingan padi
Bale Endah Penggilingan padi Sederhana Sederhana Jakarta
Sederhana Sederhana Bandung
PPL
Bulog
Sederhana Sederhana Bandung dan Jakarta PPL
Ya
Tidak
Ya
Rp 250 juta
Rp 150 juta
Rp 250 juta
Sumber informasi mengenai program DPM-LUEP didapatkan dari Petugas Penyuluh Lapang (PPL) pada LUEP Jati Mulya dan Harapan Sejahtera. LUEP Jembar Rahayu mendapatkan informasi program ini dari BULOG Kabupaten Bandung karena mempunyai hubungan kemitraan sebelumnya. Oleh sebab itu, berbeda dengan LUEP Jati Mulya dan Harapan Sejahtera yang bekerjasama dengan kelompok tani, LUEP Jembar Rahayu tidak bekerjasama dengan kelompok tani setempat.
64
VI. PELAKSANAAN DAN EVALUASI KINERJA PROGRAM DPM-LUEP DI KABUPATEN BANDUNG
6.1 Tinjauan Pelaksanaan Program dari Lembaga Penyalur Dana LUEP Di Kabupaten Bandung terdapat delapan lembaga penyalur dana LUEP yang tersebar di enam kecamatan. LUEP yang diamati yaitu LUEP Jati Mulya di Kecamatan Bale Endah serta LUEP Jembar Rahayu dan LUEP Harapan Sejahtera yang berlokasi di Kecamatan Pameungpeuk. Mulai tahun 2003 LUEP Jembar Rahayu dan Harapan Sejahtera telah mengikuti program ini sedangkan LUEP Jati Mulya baru mengikuti pada tahun 2006. Proses pengajuan proposal dilakukan pada awal tahun sekitar bulan Februari sampai Maret kemudian pencairan dana akan terjadi pada bulan April. Namun khusus pada tahun 2007, pencairan dana mengalami keterlambatan. Pencairan dana baru terjadi pada bulan Oktober. Pencairan dana yang terlambat ini memang terjadi dikarenakan alokasi dana untuk program ini berasal dari APBD propinsi Jawa Barat yang mulai berlaku pada tahun 2007. Alokasi dana yang berasal dari APBD ini membuat proses pencairan DPM-LUEP terlambat karena harus ada persetujuan dari pihak DPRD yang membutuhkan waktu cukup lama. Oleh karena itu, program DPM-LUEP di Kabupaten Bandung hanya berjalan sekitar tiga bulan saja dari Oktober sampai Desember. Hal ini telah membuat beberapa LUEP merasa tidak puas atas program ini karena mereka tidak mendapatkan waktu yang cukup lama untuk membeli gabah. Proses birokrasi yang berbelit-belit dirasa menjadi hambatan bagi LUEP dalam pengajuan proposal, selain itu pencairan yang lama pada tahun 2007 serta pencairan yang bertahap di tahun-tahun sebelumnya juga menjadi hambatan bagi
65
mereka. Hal ini membuat pembelian gabah cukup terganggu karena disaat gabah melimpah namun akibat pencairan dana yang terlambat membuat mereka tidak dapat membeli gabah dari petani. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pengembalian dana yang harus tepat pada waktunya di setap tanggal 15 bulan Desember. Persyaratan yang ditetapkan tidak membuat LUEP terbebani karena mereka juga memahami bahwa untuk peminjaman dana yang besar membutuhkan persyaratan yang tidak mudah. Jumlah agunan sebesar 150 persen dari total pinjaman diarasa sesuai dan tidak terlalu memberatkan. Pada tahun 2007 dana yang diperoleh LUEP Jati Mulya dan LUEP Harapan Sejahtera sebesar Rp 250 juta, sedangkan LUEP Jembar Rahayu sebesar Rp 150 juta. Dari dana yang diperoleh hanya LUEP Jati Mulya yang tidak sesuai dengan pada saat pengajuan dana sebesar Rp 450 juta. Jumlah tersebut untuk ketiga LUEP tersebut dirasa kurang karena belum cukup untuk menampung semua gabah dari petani di daerah masing-masing. Dana tersebut seluruhnya dialokasikan untuk pembelian gabah dari petani, namun khusus pada tahun 2007 dana tersebut tidak seluruhnya bergulir. Pencairan dana pada tahun 2007 sendiri terbagi pada dua tahap yaitu pada bulan Oktober dan bulan November. Oleh sebab waktu yang sangat sempit, dari ketiga LUEP ini tidak sepenuhnya dana bergulir untuk pembelian gabah. Hanya 50 persen dari total dana pinjaman yang bergulir untuk pembelian gabah. Hal ini disebabkan mereka takut tidak dapat mengumpulkan dana untuk dikembalikan karena waktu yang singkat tersebut. Namun di tahun sebelum-sebelumnya, semua dana bergulir untuk pembelian gabah. Salah satu cara mengelola dana tersebut,
66
mereka menjual beras yang dihasilkan ke luar Bandung khususnya Jakarta yang nilai jual lebih tinggi dan permintaan cukup banyak. Hal ini dilakukan oleh LUEP Jati Mulya dan Harapan Sejahtera yang daerah pemasarannya di Jakarta. Penyebaran informasi mengenai program DPM-LUEP dilakukan dengan membuat pengumuman melalui spanduk mengenai program ini yang dilakukan oleh LUEP Harapan Sejahtera dan Jembar Rahayu di Kecamatan Pameungpeuk. Berbeda dengan LUEP Jati Mulya yang bekerjasama dengan gapoktan untuk menginformasikan adanya program ini kepada petani. Sistem pembelian yang dilakukan oleh ketiga LUEP yaitu bebas sehingga tidak ada keterikatan atau kontrak dengan petani dalam jual beli gabah. Setiap transaksi pembelian dilakukan di tempat LUEP berada khususnya tempat penggilingan padi. Selain itu pembayaran dilakukan secara tunai sehingga cukup membantu petani dalam mendapatkan uang tunai di setiap musim panen. Proses pengembalian dana LUEP di Kabupaten Bandung lancar, bahkan Kabupaten Bandung sendiri pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah karena pengembalian dana LUEP yang lancar dan tepat waktu. Dari ketiga LUEP yang diamati, ketiganya mengembalikan dana tepat pada waktunya pada tahun 2007 dan tidak ada kesulitan dalam proses tersebut. Dari keseluruhan, ketiga LUEP yang diamati menyambut program ini dengan baik bahkan mereka berharap program ini terus ada. Mereka berpendapat bahwa program ini sangat membantu petani pada saat panen karena mereka dapat menetapkan harga yang wajar dan diatas HPP. Program ini secara tidak langsung membuat para tengkulak menetapkan harga yang sama bahkan lebih tinggi dari LUEP yang justru itu baik bagi petani. Harapannya program ini terus berjalan dan
67
proses birokrasi yang membuat pencairan dana terlambat tidak terjadi di tahuntahun yang akan datang.
6.2 Tinjauan Pelaksanaan Program dari Petani Persepsi petani terhadap program ini dapat dilihat dari jumlah petani yang mengetahui program ini di lokasi penelitian. Berdasarkan Tabel 10 sebagian besar responden yang menjual gabahnya ke LUEP mengetahui adanya program DPMLUEP yaitu 72 persen (18 orang), dan 28 persen (7 orang) yang tidak mengetahui adanya program tersebut. Petani yang tidak mengetahui adanya program DPMLUEP tetapi mereka menjual gabahnya ke LUEP dikarenakan harga yang ditetapkan LUEP cukup tinggi dan stabil sehingga mereka tertarik untuk menjual gabahnya ke LUEP. Sebagian besar petani mengetahui adanya program DPMLUEP dari keikutsertaan mereka dalam kelompok tani dan gapoktan serta adanya informasi dari PPL. Tabel 10. Persentase Jumlah Petani yang Mengetahui Program DPM-LUEP di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung Uraian
Menjual ke LUEP
Menjual ke Non LUEP
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Mengetahui
18
72
5
20
Tidak Mengetahui
7
28
20
80
Jumlah
25
100
25
100
Responden yang tidak menjual gabahnya ke LUEP hanya 5 orang (20 persen) yang mengetahui adanya program DPM-LUEP sehingga 20 orang (80 persen) responden menjual gabahnya ke non LUEP dikarenakan mereka tidak mengetahui program tersebut. Alasan responden yang mengetahui program ini
68
tetapi mereka tidak menjual gabah ke LUEP yaitu, kesesuaian harga, faktor jarak ke tempat LUEP, kebiasaan, dan kepraktisan dalam penjualan gabah serta faktor keterikatan (kontrak) responden yang harus menjual gabah ke tengkulak karena mereka telah diberi pinjaman uang untuk penyediaan sarana produksi. Faktor-faktor yang menyebabkan responden menjual gabahnya ke LUEP selain karena mereka mengetahui adanya program DPM-LUEP yaitu kesesuaian harga yang mereka anggap cukup tinggi bila dibandingkan dengan harga yang ditetapkan tengkulak. Selain itu rasa saling percaya antara gapoktan dan anggotanya juga menyebabkan responden mau menjual gabahnya ke LUEP. Sebagian besar responden yang menjual gabahnya ke LUEP merasa puas dengan harga yang ditetapkan oleh LUEP. Sehingga mereka menganggap bahwa program DPM-LUEP ini cukup efektif dalam meningkatkan harga gabah. Saransaran yang dikemukakan oleh responden yang menjual ke LUEP terutama mengenai tetap terjaganya perbedaan harga. Responden juga banyak yang mengharapkan pembelian yang dilakukan oleh LUEP tepat waktu disaat musim panen tiba atau disaat mereka sedang membutuhkan uang. Bahkan ada beberapa responden juga menginginkan DPM-LUEP tidak hanya digunakan untuk membeli gabah tetapi juga digunakan untuk pemberian dana pinjaman (kredit) bagi petani untuk pembelian sarana produksi.
6.3 Evaluasi Kinerja Program DPM-LUEP Pencapaian
keberhasilan
kegiatan
program
DPM-LUEP
diukur
berdasarkan empat indikator kinerja yaitu indikator output, indikator outcome, indikator benefit dan indikator dampak. Indikator output diukur melalui pencairan
69
dan pengembalian DPM oleh LUEP tepat waktu, jumlah, dan sasaran. Indikator outcome diukur melalui harga yang diterima petani padi di wilayah program lebih tinggi dibandingkan HPP serta meningkatnya aktivitas penjualan dan pemasaran LUEP. Indikator benefit lebih ditekankan pada harga gabah/beras yang terkendali di wilayah program. Sedangkan indikator dampak dapat diukur dari peningkatan pendapatan petani padi dan tercapainya ketahanan pangan wilayah. Untuk menilai keberhasilan masing-masing indikator, maka responden yang dianggap memahami tentang pelaksanaan program diminta untuk memberikan penilaian. Penilaian diukur dalam rentang skala 1-4, dimana 1 adalah tidak berhasil, 2 adalah kurang berhasil, 3 adalah cukup berhasil, dan 4 adalah berhasil. Keseluruhan responden terdiri atas 11 orang, meliputi 4 orang pelaksana pusat (BKP), 3 orang pelaksana teknis propinsi, dan 4 orang pelaksana teknis kabupaten. Adapun rata-rata penilaian dari seluruh responden dapat di lihat pada Tabel 11. Pencairan DPM kepada LUEP tepat waktu menurut responden kurang berhasil dengan skor rata-rata 2,2, karena pencairan yang terjadi setiap tahun dirasa terlambat dan tidak tepat pada waktu panen raya. Keterlambatan pencairan dana ini disebabkan proses birokrasi yang rumit karena anggaran dana untuk program ini berasala dari APBN dan atau APBD propinsi. Proses birokrasi tersebut berasal dari persetujuan anggota DPR atau DPRD yang menyebabkan waktu pencairan cukup lama. Pencairan dana biasanya terjadi pada bulan april atau mei, padahal proses administrasi dan verifikasi LUEP sendiri telah dimulai dari bulan januari hingga februari.
70
Tabel 11. Penilaian Keberhasilan Program DPM-LUEP Menurut Responden No
Uraian
1
Pencairan DPM kepada LUEP tepat waktu.
2
14
DPM-LUEP hanya dimanfaatkan untuk pembelian gabah dari petani –bukan untuk keperluan lain. Pembelian dengan dana DPM langsung kepada petani/kelompok tani –bukan dari pedagang atau pihak lain. Pencairan DPM oleh LUEP dilakukan pada saat harga jatuh, terutama saat panen raya. Pembelian gabah petani oleh LUEP pada harga sesuai dengan kontrak dan mengacu kepada HPP. Pembelian gabah oleh LUEP dengan menggunakan DPM minimal sesuai dengan kontrak. Pengembalian DPM oleh LUEP tepat waktu dan jumlah Harga yang diterima petani lebih tinggi daripada yang ditetapkan oleh non-LUEP (tengkulak/pedagang pngumpul/dll) Harga yang diterima petani di wilayah program lebih tinggi daripada wilayah non-program Meningkatnya aktivitas penjualan dan pemasaran LUEP Harga gabah/gabah semakin stabil di wilayah program daripada wilayah non-program Adanya jaminan bagi petani dalam pemasaran gabah dan harga gabah. Petani memperoleh pembayaran tunai dari hasil penjualan ke LUEP Peningkatan pendapatan petani padi
15
Tercapainya ketahanan pangan wilayah
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Skala 1
2
3
4
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
Keterangan: 1=tidak berhasil, 2=kurang berhasil, 3=cukup berhasil, 4=berhasil Indikator tepat pemanfaatan dan sasaran menurut responden sudah cukup berhasil. Skor yang diberikan responden sebesar 3,4 dan 3,3. Dana LUEP hanya dimanfaatkan untuk pembelian gabah dari petani sudah dilakukan oleh LUEP, meskipun tim pelaksana teknis mengakui masih ada penyelewengan dalam
71
pemanfaatan DPM. Penyelewengan yang pernah ditemui biasanya untuk keperluan pribadi pengurus LUEP. Tindakan yang dilakukan dalam mengawasi penggunaan dana yaitu tim teknis melakukan monitoring setiap dua bulan sekali. Selain itu LUEP diwajibkan memberikan laporan pembelian gabah dan penjualan beras sehingga setiap penggunaan dana dapat terlihat pemanfaatannya. Sedangkan pembelian tepat sasaran kepada petani sudah berhasil karena LUEP telah melakukan kontrak dengan gapoktan dalam proposal pengajuan dana. Pencairan DPM oleh LUEP pada saat panen raya dirasa responden kurang berhasi dengan skor 2,6. Hal ini terkait dengan pencairan DPM oleh pemerintah yang seringkali terlambat sehingga pada saat panen raya LUEP belum dapat melakukan pembelian gabah. Pembelian gabah kepada petani dan penetapan harga oleh LUEP sudah berhasil. Pada indikator nomor 5, 6, 8, 9 dan 11 skor rata-rata yang diberikan responden yaitu masing-masing 3,7; 3,5; 3,3; 3,2 dan 3,1. Kontrak yang tercantum pada proposal pengajuan dana harus dilakukan oleh LUEP dalam pembelian gabah dengan harga sesuai kontrak atau minimal sesuai HPP. Bahkan terdapat efek psikologis dari program ini terhadap sikap tengkulak. Yaitu harga gabah di wilayah program meningkat karena tengkulak atau pedagang pengumpul ikut menaikkan harga. Sehingga harga gabah di wilayah program relatif stabil. Indikator pengembalian DPM oleh LUEP tepat waktu dan tepat jumlah dapat dikatakan cukup berhasil dengan skor 3,2. Laporan Badan Ketahanan Pangan menyebutkan dari tahun 2003 sampai 2007 pengembalian DPM belum mencapai seratus persen. Jumlah pengembalian dari tahun 2003 sampai 2007 per tanggal 24 Maret 2008 yaitu masing-masing 94 persen, 95 persen, 98 persen, 97 persen, dan 93 persen. Saran yang diberikan tim pelaksana pusat dalam
72
menangani hal ini yaitu penegasan vonis terhadap LUEP yang tidak mengembalikan dana tepat waktu, serta tidak menunda pengajuan LUEP tersebut ke Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Program DPM-LUEP telah mampu meningkatkan aktivitas penjualan dan pemasaran LUEP dengan skor penilaian 3,5. Hal ini disebabkan omset usaha dari LUEP meningkat dengan adanya dana segar dari program ini. Selain itu, menurut responden program ini telah memberikan jaminan bagi petani dalam pemasaran gabah dan adanya jaminan harga gabah pada saat panen. Skor penilaian yang diberikan oleh responden sebesar 3,2. Keadaan petani semakin terbantu dengan memperoleh pembayaran tunai dari hasil penjualan ke LUEP. Menurut responden hal ini sangat membantu petani, berbeda dengan sikap tengkulak yang sering menangguhkan pembayarannya kepada petani. Selain itu, dengan harga yang relatif lebih tinggi daripada tengkulak maka pendapatan petani padi akan meningat. Skor yang diberikan pada indikator tersebut yaitu masing-masing 3,5 dan 3,2. Indikator dampak yang dilihat dari tercapainya ketahanan pangan wilayah dinilai cukup berhasil oleh responden dengan skor 3,1. Menurut responden, ketahanan pangan wilayah dipengaruhi faktor-faktor lain dan tidak hanya disebabkan program DPM-LUEP. Dengan demikian secara keseluruhan dengan melihat setiap indikator kinerja program, keberhasilan yang dicapai program DPM-LUEP dinilai responden dirasa telah cukup berhasil dengan rata-rata skor sebesar 3,2. Hal-hal yang bersifat teknis menurut responden perlu diperbaiki seperti pengawasan terhadap LUEP dalam pemanfaatan dana, serta perbaikan dalam proses pencairan dan pengembalian dana.
73
VII. ANALISIS HARGA GABAH DAN TINGKAT PENDAPATAN PETANI DI LOKASI PROGRAM DPM LUEP
7.1 Gambaran Usahatani Padi di Lokasi Penelitian 7.1.1 Struktur Biaya Biaya yang dikeluarkan petani terdiri dari biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani. Biaya tunai terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya sarana produksi dan biaya sewa mesin. Sedangkan biaya diperhitungkan adalah biaya yang tidak benar-benar dikeluarkan petani pada saat berusahatani. Biaya diperhitungkan meliputi biaya tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan peralatan serta biaya sistem bagi hasil. Biaya sistem bagi hasil merupakan biaya tidak langsung yang tidak diperhitungkan oleh petani, dalam hal ini adalah setengah hasil panen yang diberikan kepada pemilik lahan. Biaya penyusutan diasumsikan setiap petani sama yaitu Rp 25.000 per hektar per musim tanam. Analisis usahatani yang dilakukan dimulai pada saat musim tanam terakhir di tahun 2007, yaitu pada mulai bulan Agustus dan November karena program DPM-LUEP masih berjalan. Komponen biaya usahatani lebih lengkap terdapat pada Tabel 12. Biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani LUEP dan non-LUEP relatif tidak jauh berbeda, karena teknik budidaya yang diterapkan tidak berbeda. Program DPM-LUEP sendiri memang bukan merupakan program yang berdampak pada teknik budidaya pertanian.
74
Tabel 12. Perbandingan Biaya Usahatani Petani LUEP dan non-LUEP per Hektar per Musim Tanam di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung Tahun 2007
Komponen Biaya Tunai TK Luar Keluarga (pria) (HOK) TK Luar Keluarga (wanita) (HOK) Benih (Kg) Pupuk Urea (kg) Pupuk TSP (Kg) Pupuk KCL (Kg) Pupuk Ponska (Kg) Furadan (Bungkus) Pestisida cair (liter) Sewa traktor (tumbak)
Harga/ satuan
Karakteristik Petani Menjual ke nonMenjual ke LUEP LUEP Jumlah Nilai (Rp) Jumlah Nilai (Rp)
17.500
55,3
967.750
58,6
1.025.500
15.000
49,8
747.000
53,8
807.000
5.000 1.200 2.000 2.000 2.000 20.000 95.000 1.000
27,45 275,23 42,78 28,30 83,83 4,93 0,27 700
137.250 330.276 85.560 56.600 167.660 98.600 25.650 700.000
30,87 277,58 42,09 32,44 57,74 3,62 0,12 700
154.350 333.096 84.180 64.880 115.480 72.400 11.400 700.000
Jumlah 3.316.346 Biaya diperhitungkan TK dalam keluarga 17.500 (pria) (HOK) TK dalam keluarga 15.000 (wanita) (HOK) Penyusutan Sistem bagi hasil 2.300
3.368.286
29,6
518.000
25,9
453.250
29,7
445.500
12,3
184.500
2.625
25.000 6.037.500 6.700.250
25.000 2.539 5.839.700 Jumlah 6.828.200
7.1.2 Hasil Uji Perbedaan Harga Gabah Petani Pada penjelasan sebelumnya, didapatkan perbedaan harga di tingkat petani antara LUEP dan non-LUEP sebesar Rp 104. Perbedaan harga ini akan diuji apakah secara statistik berbeda nyata atau signifikan. Uji t yang dilakukan menunjukkan nilai t-hitung sebsar 3,67 dengan nilai P sebesar 0,001 Hasil Uji tdapat dilihat pada Tabel 13.
75
Tabel 13. Uji T Antara Harga Gabah yang Ditetapkan oleh LUEP dan nonLUEP di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung Tahun 2007 Variabel N Mean Standar deviasi SE Mean HRG LUEP 25 2.358 0,0786 0,016 HRG NON LUEP 25 2.254 0,118 0,024 T-hitung = 3,67 P-Value = 0,001 DF = 41 Keterangan: HPP GKP di tingkat petani Tahun 2007: Rp 2.035 Harga Gabah rata-rata Nasional (BPS, 2008): Rp 2.417 Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen antara harga gabah yang di tetapkan oleh LUEP dengan non-LUEP. Dengan demikian harga gabah yang ditetapkan oleh LUEP lebih besar daripada harga yang diteapkan oleh non-LUEP. Harga gabah petani yang menjual ke LUEP rata-rata sebesar Rp 2.358 sedangkan harga gabah petani yang tidak menjual ke LUEP sebesar Rp 2.254. Terdapat perbedaan harga sebesar Rp 104. HPP untuk GKP varietas Ciherang sendiri yaitu sebsar Rp 2.035. Sehingga harga rata-rata yang diterima oleh petani yang menjual ke LUEP dan non LUEP cenderung berbeda, bahkan untuk petani yang menjual ke non LUEP harga yang diterima masih tetap berada di atas HPP. Hal ini disebabkan, untuk wilayah Kabupaten Bandung, harga gabah pada saat musim panen jarang terjadi di bawah HPP. Jika diperbandingkan dengan harga gabah rata-rata nasional pada akhir tahun 2007 sebesar Rp 2.417, maka harga gabah di lokasi penelitian masih berada dibawah harga rata-rata nasional. Hal ini disebabkan kualitas gabah (GKP) yang berbeda dengan daerah lain. Dengan demikian, program ini hanya berperan sebatas meningkatkan harga yang diterima petani bila dibandingkan mereka menjual ke non LUEP di Kabupaten Bandung.
76
7.1.3 Analisis Pendapatan Analisis pendapatan dilakukan untuk menentukan nilai yang diperoleh petani dari kegiatan berusahatani. Analisis yang dilakukan meliputi analisis pendapatan atas biaya total dan anlisis pendapatan atas biaya tunai. Perhitungan pendapatan usahatani dihitung rata-rata per hektar per musim tanam. Tabel 14. Analisis Pendapatan Usahatani Padi per Hektar per Musim Tanam di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung Tahun 2007
Komponen Produksi (Kg) Harga Gabah (Rp) Total Penerimaan (Rp) Total Biaya Tunai (Rp) Total Biaya Diperhitungkan (Rp) Biaya Total Usahatani (Rp) Pendapatan atas Biaya Total (Rp) Pendapatan atas Biaya Tunai (Rp) R/C atas Biaya Tunai R/C atas Biaya Total
Karakteristik Petani Menjual ke Menjual ke nonLUEP LUEP 5.077 5.251 2.358 2.254 11.971.566 11.835.754 3.316.346 3.368.286 6.828.200 6.700.250 10.144.546 10.068.536 1.827.020 1.767.218 8.655.220 8.467.468 3,60 3,51 1,18 1,17
Pada Tabel 14, penerimaan total petani yang menjual ke LUEP mencapai Rp 11.971.566, sedangkan penerimaan total petani yang tidak menjual ke LUEP hanya Rp 11.835.754. Total biaya petani yang menjual ke LUEP mencapai Rp 10.144.546 sedangkan total biaya petani yang tidak menjual ke LUEP mencapai Rp 10.068.536. Pendapatan atas biaya total petani yang menjual ke LUEP mencapai Rp 1.827.020 sedangkan pendapatan atas biaya total petani yang tidak menjual ke LUEP mencapai Rp 1.767.218. Secara umum, pendapatan petani yang menjual gabahnya ke LUEP lebih tinggi daripada petani yang tidak menjual gabahnya ke LUEP.
77
Ditinjau dari efisiensi usahatani, R/C rasio atas biaya tunai untuk petani yang menjual ke LUEP lebih besar daripada nilai R/C rasio untuk petani yang tidak menjual ke LUEP. Nilai R/C rasio untuk petani yang menjual ke LUEP sebesar 3,60. Artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan oleh petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 3.600. Sedangkan untuk petani yang tidak menjual ke LUEP, setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan oleh petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 3.510. Dengan demikian, kegiatan usahatani di lokasi penelitian menguntungkan bagi petani dan layak untuk dilaksanakan karena syarat suatu kegiatan usahatani layak dilaksanakan adalah R/C lebih besar dari satu.
7.2 Efektivitas Program DPM LUEP terhadap Pendapatan Petani Dalam mengetahui pengaruh program ini terhadap pendapatan petani dilakukan analisis regresi berganda faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani. Variabel yang digunakan dalam menduga fungsi pendapatan usahatani yaitu, tingkat pendidikan (PDDKN), keikutsertaan kelompok tani (KT), kepemilikan lahan (KL), biaya tenaga kerja (TK), biaya sarana produksi dan lainnya (SAPRO), hasil produksi (HSL), dan harga gabah yang diterima (HRG). Variabel lain yang digunakan adalah variabel dummy untuk membedakan antara petani yang menjual ke LUEP dan yang tidak. Variabel dummy bernilai “satu” untuk petani yang menjual ke LUEP dan bernilai “nol” untuk petani yang tidak menjual ke LUEP. Hasil pengolahan data dengan menggunakan metode OLS memberikan hasil yang disajikan dalam Tabel 15.
78
Tabel 15. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Padi di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung Tahun 2007 Variabel Koefisien SE Koefisien Konstanta -11151 8309 Pendidikan (PDDKN) 48 109,7 Status Keanggotaan 266 875 Kelompok Tani (KT) Status Kepemilikan Lahan 6121 946,6 (KL) Biaya untuk Tenaga Kerja - 1,82 0,8621 (TK) Biaya untuk Sarana 0,258 0,4911 Produksi (SAPRO) Hasil Produksi (HSL) 1467 179,7 Harga Gabah (HRG) 3781 3596 Tujuan penjualan (LUEP) 301,5 807,8 S = 2358,32 R-Sq = 91,1% R-Sq(adj) = 89,3% Keterangan: * nyata pada taraf 5 %
T -1,34 0,44 0,30
P 0,187 0.666 0.763
VIF 1,5 1,1
6,47
0.000*
1,8
- 2,11
0.041*
9,2
0,53
0.602
4,3
8,16 1,05 0,37
0.000* 0.299 0.711
6,1 1,4 1,5
Berdasarkan Tabel 15, dapat dilihat nilai koefisien regresi masing-masing faktor dan nilai P-value. Model pendapatan usahatani petani program LUEP berdasarkan hasil regresi yaitu: Pendapatan (Y) = - 11151 + 48 PDDKN + 266 KT + 6121 KL – 1,82 TK + 0,258 SAPRO + 1467 HSL + 3781 HRG + 301,5 LUEP Dari model dugaan tersebut diperoleh nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 91,1 persen dan nilai koefisien determinasi yang disesuaikan (R-Sq (adj)) sebesar 89,3 persen. Nilai tersebut menunjukkan bahwa 89,3 persen keragaman dari variabel pendapatan petani dalam model dapat dijelaskan oleh keragaman variabel-variabel independent yang digunakan dalam model. Sedangkan sisanya sebesar 10,7 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diamati dalam model analisis.
79
Nilai P-value yang terlihat pada Tabel 15. menunjukkan bahwa pendapatan usahatani dipengaruhi oleh variabel kepemilikan lahan, biaya tenga kerja dan hasil produksi pada taraf lima persen, sedangkan variabel lain tidak berpengaruh nyata. Varibel-variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap model artinya pengaruh variabel-variabel independen terhadap perubahan pendapatan usahatani sangat kecil. Pada Tabel 15 didapatkan pula nilai VIF untuk masing-masing variabel yang dapat digunakan untuk melihat adanya multikolinearitas antar variabel independen. Dari hasil tersebut dapat terlihat bahwa semua variabel mempunyai nilai VIF kurang dari 10 yang artinya tidak ada masalah miltikolinearitas pada model analisis. Sedangkan uji heteroskedastisitas yang dilakukan, diperoleh bahwa model tidak terdapat heteroskedastisitas. Hal ini dijelaskan dari plot data antara nilai residual dengan nilai prediksi variabel dependen bersifat acak atau tidak ada pola tertentu. Uji autokorelasi yang dilakukan, diperoleh bahwa nilai statistik uji Durbin Watson berada di daerah tidak ada kesimpulan. Tabel 16. Analisis Ragam Fungsi Pendapatan Petani di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung Tahun 2007 Source Regression Residual Error Total
DF 8 41 49
SS 2320374905 228027943 2548402849
MS 290046863 5561657
F 52,15
P 0,000
Berdasarkan pendugaan model pendapatan yang diperoleh, pada Tabel 16 didapatkan nilai F-hitung sebesar 52,15 yang signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
80
pendapatan di dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani. a. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan total petani. Tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan karena teknologi budidaya yang digunakan adalah sama antara petani berpendidikan lebih tinggi dengan petani yang berpendidikan lebih rendah. Sehingga hasil produksi tidak berbeda jauh antara petani yang berpendidikan lebih tinggi dengan petani yang berpendidikan lebih rendah. b. Keikutsertaan Kelompok Tani Keikutsertaan kelompok tani tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan total petani. Perbedaaan yang tidak nyata ini dikarenakan kelompok tani belum dapat memberikan manfaat kepada petani dalam hal pemberian sarana produksi yang berdampak pada biaya serta penerapan teknologi baru yang berdampak pada hasil produksi. Sehingga tidak ada perbedaan pendapatan yang signifikan antara petani anggota kelompok tani dengan petani bukan anggota kelompok tani. d. Kepemilikan Lahan Kepemilikan lahan berpengaruh nyata terhadap pendapatan total petani pada taraf 5 persen dengan nilai koefisien regresi sebesar 6121, artinya perbedaan pendapatan antara petani yang memiliki lahan sendiri dengan petani penggarap sebesar Rp 6.121.000 cateris paribus. Perbedaan yang signifikan ini disebabkan kepemilikan lahan berpengaruh terhadap tingkat penerimaan petani. Pada petani penggarap, tingkat penerimaan lebih rendah karena mereka harus membagi hasil produksinya dengan pemilik lahan. Sedangkan petani dengan lahan milik sendiri
81
tidak membagi hasilnya sehingga tingkat penerimaan mereka akan lebih tinggi. Sehingga ada perbedaaan yang nyata antara pendapatan petani pemilik lahan sendiri dengan petani penggarap. e. Biaya Tenaga Kerja Penggunaan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap pendapatan total petani pada taraf lima persen dengan nilai koefisien regresi sebesar –1,82 , artinya setiap penambahan biaya untuk tenaga kerja sebesar satu rupiah akan menyebabkan penurunan pendapatan sebesar Rp 1.820 cateris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa biaya tenaga kerja sangat mempengaruhi pendapatan petani karena biaya tenga kerja mempunyai peranan yang sangat besar dalam membentuk biaya total usahatani. Tanda koefisien yang negatif sesuai dengan hipotesis bahwa setiap komponen biaya yang dikeluarkan akan mengurangi pendapatan petani. f. Biaya Sarana Produksi Pengunaan sarana produksi tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan total petani. Hal ini disebabkan sarana produksi khususnya benih, tidak selalu dibeli secara tunai oleh petani. Ada sebagian petani yang membuat benih sendiri dari hasil panen musim sebelumnya, ada pula pemberian benih secara cuma-cuma dari teman atau kerabat bahakan dari kelompok tani. Tanda koefisien yang positif tidak sesuai dengan hipotesis penelitian. Hal ini disebabkan petani responden belum efisien menggunakan sarana produksi karena penambahan penggunaan saprodi masih dapat meningkatkan hasil.
82
g. Hasil Produksi Hasil produksi berpengaruh nyata terhadap pendapatan total petani pada taraf lima persen dengan nilai koefisien regresi sebesar 1467 artinya setiap penambahan hasil produksi sebesar satu ton maka pendapatan akan meningkat sebesar Rp 1.467.000,- cateris paribus. Hasil produksi sangat berpengaruh terhadap tingkat penerimaan sehingga jika pendapatan ingin ditingkatkan maka petani harus meningkatkan pula hasil produksinya. h. Harga Harga gabah tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan total petani pada taraf lima persen. Hal ini disebabkan perbedaan harga yang diterima tidak terlalu besar antara petani LUEP an non-LUEP. Selain itu, ada faktor lain yang mempengaruhi pendapatan petani selain harga. g. Variabel dummy LUEP Dari hasil analisis regresi, variabel dummy LUEP tidak berpengaruh nyata terhadap pada taraf lima persen. Nilai P yang diperoleh sebesar 0,711 artinya perbedaan pendapatan antara petani yang menjual ke LUEP dengan petani yang tidak menjual ke LUEP tidak jauh berbeda. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan pendapatan tersebut tidak signifikan. Seperti yang telah dijelaskan bahwa perbedaan rata-rata tingkat harga yang diterima petani hanya berkisar Rp 104 saja sedangkan rata-rata biaya usahatani tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan para tengkulak juga memberikan harga yang tidak jauh berbeda dengan penetapan harga oleh LUEP. Selain itu, status kepemilikan lahan petani di lokasi penelitian yang sebagian besar sebagi petani penggarap. Sebagai petani penggarap, sistem bagi hasil yang terapkan telah
83
membuat petani kehilangan sebagian penerimaannya. Oleh sebab itu meskipun harga yang diterima petani LUEP relatif lebih tinggi dari petani non-LUEP namun statusnya sebagi penggarap maka tetap saja pendapatannya akan rendah. Sehingga dapat disimpulkan untuk kasus program DPM-LUEP di Kecamatan Pameungpeuk dan Kecamatan Bale Endah Kabupaten Bandung belum dapat meningkatkan pendapatan petani. Efektivitas program DPM-LUEP terhadap pendapatan petani pada akhirnya dipengaruhi oleh keputusan petani menjual gabahnya. Sehingga dilakukan analisis regresi logistik mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi petani menjual gabahnya ke LUEP. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani menjual gabahnya ke LUEP adalah tingkat pendidikan (PDDKN), Keikutsertaan kelompok tani (KT), luas lahan (LHN), hasil produksi (HASIL), dan harga yang diterima (Harga). Sedangkan variabel dependen yaitu penjualan gabah oleh petani ke LUEP dan non LUEP (LUEP). Variabel respon dalam hal ini terdiri dari dua alternative yaitu bernilai “satu” untuk petani yang menjual ke LUEP dan bernilai “nol” untuk petani yang menjual ke non LUEP. Model yang digunakan dalam menduga faktor-faktor yang mempengaruhi petani menjual gabah ke LUEP yaitu model regresi logistik dengan menggunakan metode maksimum likelihood. Hasil pengolahan data dapat dilihat pada Tabel 17. Pada taraf lima persen, nilai uji G untuk model regresi logistik ini adalah 17,214 dengan nilai P = 0,002. Hal ini berarti minimal ada satu di antara variabel tingkat pendidikan, luas lahan, hasil produksi, dan harga yang diterima berpengaruh nyata terhadap keputusan petani menjual gabahnya ke LUEP.
84
Tabel 17. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Menjual Gabah ke LUEP di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah, Kabupaten Bandung Tahun 2007 Predictor
Coef
SE Coef
Z
P
Odds Rasio
Constant
-32,9462
10,6273
- 3,10
0,002
PDDKN
- 0,061672
0,0978624
- 0,63
0,529
0,94
LUAS
1,20945
0,923984
1,31
0,191
3,35
HASIL
0,0864064
0,0899709
0,6
0,337
1,09
Harga
13,8706
4,54824
3,05
0,002*
1056659,89
Log-Likelihood = -26,050 Test that all slopes are zero: G = 17,214, DF = 4, P-Value = 0.002 Keterangan: * nyata pada taraf nyata lima persen Dari hasil uji Goodness of Fit yang terdiri dari uji Pearson, Devience, dan Hosmer-Lemeshow menunjukkan bahwa semua nilai P lebih besar dari lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa model yang diperoleh dari analisis regresi logistik sudah baik (fit). Dari pengolahan data yang telah diperoleh, variabel yang secara nyata mempengaruhi petani menjual gabah ke LUEP yaitu variabel harga. Identifikasi variabel tersebut dapat dilihat dari nilai P variabel tersebut. Nilai P variabel harga sebesar 0,002 atau lebih kecil dari lima persen. Sedangkan variabel tingkat pendidikan, kepemilikan lahan, serta hasil produksi tidak secara nyata mempengaruhi keputusan petani menjual gabah ke LUEP karena nilai P lebih besar dari lima persen. a. Variabel Tingkat Pendidikan Koefisien variabel tingkat pendidikan dari hasil regresi logistik adalah positif, artinya bertambahnya usia petani menyebabkan peluang petani menjual gabah ke LUEP semakin besar. Namun hubungan tersebut tidak signifikan karena
85
nilai P variabel tingkat pendidikan lebih besar dari lima persen. Nilai P variabel tingkat pendidikan sebesar 0,529 sehingga belum cukup bukti untuk mengatakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap keputusan petani menjual gabah ke LUEP. Hal ini berarti berapapun tingkat pendidikan petani tidak memberikan pengaruh kepada keputusannya menjual gabah ke LUEP. b. Variabel Luas Lahan Koefisien variabel luas lahan dari hasil regresi logistik adalah negatif, artinya bertambahnya luas lahan petani menyebabkan peluang petani menjual gabah ke LUEP semakin kecil. Namun hubungan tersebut tidak signifikan karena nilai P variabel tingkat pendidikan lebih besar dari lima persen, sehingga belum cukup bukti untuk mengatakan bahwa luas lahan berpengaruh terhadap keputusan petani menjual gabah ke LUEP. Hal ini berarti berapapun luas lahan yang dimiliki atau digarap oleh petani tidak memberikan pengaruh kepada keputusannya menjual gabah ke LUEP. c. Variabel Hasil Produksi Koefisien variabel hasil produksi dari hasil regresi logistik adalah positif, artinya bertambahnya hasil produksi menyebabkan peluang petani menjual gabah ke LUEP semakin besar. Namun hubungan tersebut tidak signifikan karena nilai P variabel hasil produksi lebih besar dari lima persen, sehingga belum cukup bukti untuk mengatakan bahwa hasil produksi padi oleh petani berpengaruh terhadap keputusan petani menjual gabah ke LUEP. Hal ini berarti berapapun hasil produksi yang diperoleh petani tidak memberikan pengaruh kepada keputusannya menjual gabah ke LUEP.
86
d. Variabel Harga Koefisien variabel harga yang diterima petani dari hasil regresi logistik adalah positif, artinya jika harga semakin tinggi menyebabkan peluang petani menjual gabah ke LUEP semakin besar. Hubungan tersebut signifikan karena nilai P variabel harga lebih kecil dari 5 persen. Nilai P variabel tingkat pendidikan sebesar 0,002 sehingga sudah cukup bukti untuk mengatakan bahwa harga berpengaruh terhadap keputusan petani menjual gabah ke LUEP. Nilai odds ratio untuk variabel harga sebesar 1056659,89 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan untuk peluang petani menjual gabah ke LUEP bila harga yang diterima petani berbeda karena nilai odds ratio jauh dari satu.
87
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan program DPM-LUEP di Kabupaten Bandung berdasarkan tinjauan penerima dana sudah berjalan dengan baik dari tahun 2003 sampai 2007. Hal ini terlihat dari proses pengembalian dana pinjaman yang tepat waktu setiap tahun. 2. Secara keseluruhan dengan melihat setiap indikator kinerja program, keberhasilan yang dicapai program DPM-LUEP dinilai responden telah cukup berhasil dengan rata-rata skor sebesar 3,2 (skala 1 – 4). 3. Tidak ada variabel lain yang mempengaruhi petani menjual gabahnya ke LUEP atau bukan ke LUEP selain variabel harga yang diterima. 4. Harga gabah petani yang menjual ke LUEP lebih tinggi lima persen daripada harga gabah petani yang tidak menjual ke LUEP. 5. Pendapatan petani yang menjual gabahnya ke LUEP lebih tinggi empat persen daripada pendapatan petani yang tidak menjual gabahnya ke LUEP. 6. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani padi di Kecamatan Pameungpeuk dan Bale Endah Kabupaten Bandung yaitu status kepemilikan lahan, biaya tenaga kerja dan hasil produksi pada taraf nyata 5 persen.
88
8.2 Saran 1. Program DPM-LUEP harus dipertahankan karena sudah dapat menjaga harga gabah di tingkat petani agar tidak jatuh pada saat panen. 2. Anggaran dana untuk program ini di setiap kecamatan lebih baik ditingkatkan agar dapat menampung semua hasil panen petani. 3. Penyempurnaan program ini perlu dilakukan dalam hal perbaikan sistem administrasi pada waktu pencairan dan pengembalian, pengawasan dalam pelaksanaan dan pemilihan pihak yang benar-benar berhak memperoleh dana pinjaman dari program ini harus selektif agar pemanfaatan dana tepat sasaran.
89
DAFTAR PUSTAKA
Amang, B. dan M. H. Sawit. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. IPB Press. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2003. Sensus Pertanian. BPS. Jakarta _______________. 2007. Produk Domestik Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia. BPS. Jakarta. _______________. 2007. Statistika Pertanian. BPS. Jakarta. Daniel, M. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT Bumi Aksara. Jakarta. Dirmansyah. 2004. Analisis tingkat pendapatan petani lahan kering di lokasi program PINDRA (Kasus: di Desa Klepu, Kecamatan Donorejo an Desa Dersono, Kecamtan Pringkulu, Kabupaten Pacitan, Propinsi Jawa Timur). Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Femina, V. D. 2006. Dampak Kebijakan Harga Gabah Terhadap Produksi Padi di Pulau Jawa. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta. Gunawan. 2004. Analisis Penerapan Sistem Tunda Jual Pola Gadai gabah terhadap Pendapatan Petani. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Hernanto, F. 1991. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Irmayani, A. 2007. Analisis Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani di Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Lipsey, R. G., P. N. Courant, D. D. Purpis dan P. O. Steiner. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Bina Rupa Aksara. Jakarta. Marhamah, R. 2007. Analisis Pendapatan Usahatani dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Sistem Usahatani Padi Organik: Studi Kasus di Kelurahan Situgede Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Mendenhall, W. dan J. E. Reinmuth. 1982. Statistics for Management and Economics Fourth Edition. Penerbit Erlangga. Jakarta
90
Mulyani, S. 2007. Kajian Terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Nasution, M. I. 2003. Studi perbandingan pendapatan dan efisiensi usahtani padi program PTT dengan petani non-PTT (Kasus: Implementasi pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT) di kabupaten karawang). Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Nicholson, W. 2000. Intermediate Microeconimics and Its Application, Eight Edition. Harcourt, Inc. New York. Purnamawati, H. dan Purwono. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadaya. Depok Rachmat, M. 2000. Analisis Nilai Tukar Petani Indonesia. Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor Soeharjo, A. dan P. Dahlan. 1973. Sendi-Sendi Pokok Usahatani. Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta. Soekartawi, A. S., L. D. Jhon dan J. H. Brian. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta. Sumiati, I. 2003. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Petani SLPHT dan Non SLPHT di Desa Cisalak Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Suryana, A., S. Mardianto dan M. Ikhsan. 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta. Timmer, C. P. 1983. Food Policy Analysis. The World Bank. Yulisa, M. 2008. Efektivitas Penetapan HPP Gabah Terhadap Pendapatan Petani. (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Kabupaten Subang, Jawa Barat). Skripsi. Program Studi Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
91
LAMPIRAN
92
OUTPUT MINITAB Regression Analysis: Y versus PDDKN, KT, KL, TK, SAPRO, HSL, HRG, LUEP The regression equation is Y = - 11151 + 48 PDDKN + 266 KT + 6121 KL - 1.82 TK + 0.258 SAPRO + 1467 HSL + 3781 HRG + 302 LUEP
Predictor Constant PDDKN KT KL TK SAPRO HSL HRG LUEP
Coef -11151 47.8 265.8 6120.7 -1.8190 0.2579 1467.4 3781 301.5
S = 2358.32
SE Coef 8309 109.7 875.0 946.6 0.8621 0.4911 179.7 3596 807.8
R-Sq = 91.1%
T -1.34 0.44 0.30 6.47 -2.11 0.53 8.16 1.05 0.37
P 0.187 0.666 0.763 0.000 0.041 0.602 0.000 0.299 0.711
VIF 1.5 1.1 1.8 9.2 4.3 6.1 1.4 1.5
R-Sq(adj) = 89.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PDDKN KT KL TK SAPRO HSL HRG LUEP
DF 1 1 1 1 1 1 1 1
DF 8 41 49
SS 2320374905 228027943 2548402849
MS 290046863 5561657
F 52.15
P 0.000
Seq SS 407802695 73638994 682891020 748697168 16359177 379009108 11201803 774939
Unusual Observations Obs 2 7 16 27 44 50
PDDKN 6.0 6.0 12.0 8.0 16.0 11.0
Y 20325 186 23070 5525 2229 20308
Fit 16008 5725 18132 9848 6438 19698
SE Fit 957 1037 923 1515 1195 2128
Residual 4317 -5539 4938 -4323 -4209 610
St Resid 2.00R -2.62R 2.28R -2.39R -2.07R 0.60 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Durbin-Watson statistic = 1.61260
93
Binary Logistic Regression: LUEP versus PDDKN; KT; HSL; HRG Link Function: Logit
Response Information Variable LUEP
Value 1 0 Total
Count 25 25 50
(Event)
Logistic Regression Table 95% CI Predictor Coef Upper Constant -32,9462 PDDKN -0,0616720 1,14 KT 1,20945 20,50 HSL 0,0864064 1,30 HRG 13,8706 7,86099E+09
SE Coef
Z
P
Odds Ratio
Lower
10,6273 0,0978624
-3,10 -0,63
0,002 0,529
0,94
0,78
0,923984
1,31
0,191
3,35
0,55
0,0899709
0,96
0,337
1,09
0,91
4,54824
3,05
0,002
1056659,89
142,03
Log-Likelihood = -26,050 Test that all slopes are zero: G = 17,214, DF = 4, P-Value = 0,002
Goodness-of-Fit Tests Method Pearson Deviance Hosmer-Lemeshow
Chi-Square 79,2715 49,3281 6,4429
DF 44 44 8
P 0,001 0,269 0,598
Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic)
Value 1 Obs Exp 0 Obs Exp Total
Group 5 6
1
2
3
4
0 0,5
0 0,9
1 1,1
2 1,6
3 2,5
5 4,5 5
5 4,1 5
4 3,9 5
3 3,4 5
2 2,5 5
7
8
9
10
Total
4 2,7
3 3,3
3 3,7
5 4,1
4 4,7
25
1 2,3 5
2 1,7 5
2 1,3 5
0 0,9 5
1 0,3 5
25 50
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 526 97 2 625
Percent 84,2 15,5 0,3 100,0
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
0,69 0,69 0,35
94
Two-Sample T-Test and CI: HRG LUEP; HRG NON LUEP Two-sample T for HRG LUEP vs HRG NON LUEP
HRG LUEP HRG NON LUEP
N 25 25
Mean 2,3580 2,254
StDev 0,0786 0,118
SE Mean 0,016 0,024
Difference = mu (HRG LUEP) - mu (HRG NON LUEP) Estimate for difference: 0,104000 95% CI for difference: (0,046701; 0,161299) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3,67 = 41
P-Value = 0,001
DF
Residuals Versus the Fitted Values (response is Y)
5000
Residual
2500
0
-2500
-5000
0
5000
10000 15000 Fitted Value
20000
25000
30000
95
KUISIONER PENELITIAN ANALISIS HARGA GABAH DAN TINGKAT PENDAPATAN PETANI DI LOKASI PROGRAM DPM-LUEP
NAMA PETANI DESA KECAMATAN KABUPATEN PROVINSI
: : : : :
I. Identitas Petani 1. Umur:………tahun 2. Pendidikan terakhir:……………….. 3. Pengalaman berusahatani:…………………. 4. Pekerjaan sampingan:…………………………… 5. Jika anggota kelompok tani, sebutkan namanya:……………………. 6. Jasa-jasa yang diperoleh dari kegiatan tersebut:…………………. 7. Jika ada koperasi petani di wilayah anda, sebutkan namanya:………………….. 8. Jika menjadi anggota koperasi, jasa apa saja yang anda peroleh dari koperasi tsb:………. II. Gambaran Umum 1. Total luas areal tanam padi:…………Ha a. Milik sendiri:…………Ha b. Lainnya (sewa/bagi hasil/………….):……………….Ha 2. Jika bagi hasil, sistem bagi hasilnya:…………………… 3. Jenis/varietas padi yang biasa ditanam: a. ………………………, dengan luas ………………Ha b. ………………………, dengan luas ………………Ha c. ………………………, dengan luas ………………Ha 4. Frekuensi tanam padi/tahun:…………..kali; pola tanam:……………… III.
Biaya Usahatani a. Penggunaan dan upah tenaga kerja Jenis Kegiatan Jumlah Tenaga Kerja (TK) dan Hari Kerja (HK) Keluarga Luar Keluarga LK PR LK PR TK HK TK HK TK HK TK HK Pengolahan tanah Penyemaian Pencabutan bibit
Total HOK LK PR
Upah (Rp)1)
LK
96
PR
Penanaman Pemupukan Penyiangan Penyemprotan Panen Pasca panen: Pengangkuta n Penjemuran ……………… ….. Total Keterangan: 1) termasuk upah natura (diperhitungkan) b. Penggunaan saprodi dan biaya lain Jenis Saprodi Jumlah Benih Pupuk : Urea TSP KCL NPK ZA Ponska Pupuk kandang Obat-obatan (HPT): ……………………. Sewa Lahan Sewa traktor dan penyemprot Pengairan (irigasi) PBB Iuran desa Transportasi utk saprodi ……………………….. Total c. Peralatan Jenis peralatan Jumlah/Luas
Harga/unit (Rp)
Harga/satuan (Rp)
Umur ekonomis
Total (Rp)
Penyusutan/th
Traktor Cangkul Arit Golok Garpu Alat penyemprot Mesin giling ………………….
97
Produksi, Penjualan dan harga Volume Produksi, penjualan dan konsumsi dalam satu tahun terakhir Varietas padi Produksi (ton) Penjualan (ton) Konsumsi (ton) Musim Tanam I 1. 2. Total PROGRAM DPM-LUEP 1. Apakah Anda mengetahui program DPM-LUEP di daerah Anda? Ya/Tidak Jika Ya, darimana Anda mengetahui program ini:…………………….. 2. Apakah Anda menjual hasil panen ke LUEP:Ya/Tidak Jika Tidak, kemana Anda menjual hasil panen:………………………… Alasan Anda menjual ke pihak tersebut:……………………………….. Tata cara penjualan Kegiatan penjualan Uraian (1) (2) (3) (4) 1. Varietas padi 2. Produksi (Kg) 3. Tujuan penjualan*) a. Pedagang pengumpul tingkat/kecamatan b. Pengusaha pnggilingan padi/huller c. LUEP 3. Tempat penjualan a. Lahan b. Tempat penjual (rumah, gudang, huller, dll) 4. Volume yang dijual (Kg) 5. Harga (Rp/Kg) 6. Volume yang tidak dijual (Kg) 7. Cara penjualan (%) a. Kontrak b. Bebas 8. Cara pembayaran a. Tunai b. Bayar di muka c. Bayar kemudian 9. Cara penyerahan barang (%) a. Di tempat penjual b. Di tempat pembeli 10. Cara menentukan harga jual (%) a. Didominasi oleh pembeli b. Didominasi oleh penjual c. Tawar menawar 11. Informasi harga diperoleh dari Keterangan: *) Penjualan terbesar/tersering 3. Apakah Anda puas dengan harga yang ditetapkan LUEP:………………………. 4. Menurut Anda apakah program DPM-LUEP efektif dalam menjaga kestabilan harga di tingkat petani?.......................................................................
98
5. Saran Anda untuk program DPMLUEP:………………………………………………….........
KUISIONER PENELITIAN ANALISIS HARGA GABAH DAN TINGKAT PENDAPATAN PETANI DI LOKASI PROGRAM DPM LUEP Nama Lembaga
:
Jenis Lembaga
: Koperasi/ Pabrik Penggilingan/ Gapoktan
Alamat
:
Desa
:
Kecamatan
:
Kabupaten
:
Provinsi
:
Pertanyaan: 1. Dari mana Bapak/Ibu mendapat informasi program DPM LUEP? 2. Bagaimana proses pengajuan proposal lembaga ini? (berapa jumlah dana yang diajukan, berapa lama proses persetujuan proposal, hambatan/kesulitan yang dihadapi selama pengajuan proposal) 3. Bagaimana syarat yang diharuskan oleh Pemda? apakah memberatkan atau tidak? apa pendapat Bapak/Ibu mengenai syarat tersebut? 4. Berapa jumlah dana yang diperoleh? berapa lama dana tersebut diberikan setelah persetujuan proposal? Puaskah Bapak/Ibu terhadap dana yang diperoleh? 5. Dialokasikan kemana saja dana tersebut? 6. Apakah ada kegiatan perencanaan sebelum membeli gabah dari petani? (berapa gabah yang akan dibeli? Waktu pembelian? /………….) 7. Apakah ada struktur organisasi yang jelas (pembagian tugas yang jelas)? 8. Apakah ada proses pencatatan yang lengkap (administrasi)? Apa saja buku organisasi yang dimiliki? 9. Bagaimana Bapak/Ibu mengelola dana program ini? 10. Bagaimana cara Bapak/Ibu mencari gabah dari petani? (bekerjasama dengan Gapoktan/membuat pengumuman dari kecamatan/…………………..)
99
11. Berapa harga yang dibayar ke petani? 12. Bagaimana
sistem
pembelian
yang
dilakukan?
dilakukan?
(tunai/bayar
(kontrak/bebas/……………..…) 13. Bagaimana
sistem
pembayaran
yang
kemudian/……….…..) 14. Dimana tempat transaksi dilakukan? (di lahan petani saat panen/di tempat LUEP/……….) 15. Apakah ada kesulitan dalam proses pembelian gabah ke petani? Sebutkan jika ada! 16. Berapa total dana yang digulirkan untuk pembelian hasil panen (gabah) dari petani? Berapa ton gabah yang dibeli? berapa orang petani yang menjual gabahnya? 17. Apakah dana seluruhnya telah terpakai untuk membeli gabah petani? Jika tidak kenapa? Dan apa yang Bapak/Ibu lakukan? 18. Strategi apa yang Bapak/Ibu lakukan untuk mengumpulkan dana pinjaman kembali? 19. Bagaimana
mekanisme
pengembalian
dana?
Berapa
jumlah
yang
dikembalikan? 20. Apakah hambatan/kesulitan yang ditemui pada saat proses pengembalian? Sebutkan jika ada! 21. Apakah pengembalian sudah tepat waktu? Jika tidak mengapa? 22. Apakah Bapak/Ibu sudah puas terhadap program ini tahun 2007? Jika tidak mengapa? 23. Apalah Bapak/Ibu mengajukan kembali proposal pada tahun ini? Jia Ya, apa harapan Bapak/Ibu untuk kegiatan tahun ini? 24. Pendapat Bapak/Ibu terhadap program DPM LUEP? 25. Saran dan Kritik untuk program ini?
100
Form kuisioner penelitian mahasiswa. Kuisioner ini digunakan sebagi data pendukung penelitian. Oleh Deli Sopian, Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, IPB.
EVALUASI PROGRAM DANA PENGUATAN MODAL LEMBAGA USAHA EKONOMI PEDESAAN (DPM-LUEP) Nama (optional) Jabatan : Strata pendidikan
: :
1. Mohon berikan penilaian terhadap pencapaian sasaran program DPM-LUEP. (beri tanda √ pada pilihan Anda) No
Uraian
1
Pencairan DPM kepada LUEP tepat waktu.
2
DPM-LUEP hanya dimanfaatkan untuk pembelian gabah dari petani –bukan untuk keperluan lain. Pembelian dengan dana DPM langsung kepada petani/kelompok tani –bukan dari pedagang atau pihak lain. Pencairan DPM oleh LUEP dilakukan pada saat harga jatuh, terutama saat panen raya. Pembelian gabah petani oleh LUEP pada harga sesuai dengan kontrak dan mengacu kepada HPP. Pembelian gabah oleh LUEP dengan menggunakan DPM minimal sesuai dengan kontrak. Pengembalian DPM oleh LUEP tepat waktu dan jumlah Harga yang diterima petani lebih tinggi daripada yang ditetapkan oleh non-LUEP (tengkulak/pedagang pngumpul/dll) Harga yang diterima petani di wilayah program lebih tinggi daripada wilayah non-program Meningkatnya aktivitas penjualan dan pemasaran LUEP Harga gabah/gabah semakin stabil di wilayah program daripada wilayah non-program Adanya jaminan bagi petani dalam pemasaran gabah dan harga gabah. Petani memperoleh pembayaran tunai dari hasil penjualan ke LUEP
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1
Skala a 2 3
101
4
14
Peningkatan pendapatan petani padi
15
Tercapainya ketahanan pangan wilayah
Keterangan: a. Skala penilaian 4=berhasil 3=cukup berhasil 2=kurang berhasil 1=tidak berhasil 2. Mohon berikan saran terhadap pelaksanaan program di lapangan terkait dengan pemenuhan “lima tepat”: a. Tepat pemanfaatan :.................................................................................
b. Tepat sasaran
:...................................................................................
c. Tepat Waktu
:....................................................................................
d. Tepat harga
:.....................................................................................
e. Tepat jumlah
:.....................................................................................
102
103