EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI (Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)
Oleh: MILA YULISA A 14105572
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
2
RINGKASAN MILA YULISA. Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA. Indonesia merupakan negara agraris, hal ini dapat ditunjukkan dengan besarnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian. Sebagian besar Seluruh luas lahan yang ada di Indonesia, digunakan untuk usaha pertanian, Salah satunya yaitu pesawahan yang digunakan dalam memproduksi padi. Padi yang menghasilkan beras merupakan komoditas pertanian yang penting untuk penduduk Indonesia. Hal ini disebabkan karena beras merupakan bahan makanan pokok, dan mempunyai peranan penting dalam sistem perekonomian pangan di Indonesia Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha meningkatkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan tersebut, tetapi kenyataan kekurangan masih sering terjadi. Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan selama ini maka dilakukan kegiatan seperti pemeliharaan kapasitas sumber daya lahan dan perairan, peningkatan intensitas tanam, peningkatan produktivitas tanaman serta penekanan kehilangan hasil. Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPMLUEP) untuk menolong petani. Penetapan HPP tebaru yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2007 belum diketahui apakah banyak memberikan solusi positif terhadap petani atau tidak, upaya untuk mengetahui keefektifan penetapan HPP tersebut yaitu dengan melihat tingkat pendapatan petani untuk setiap daerah. Kabupaten Subang merupakan kawasan yang dipilih dalam melaksanakan penelitian. Hal ini disebabkan Kabupaten Subang merupakan salah satu sentra padi yang ada di Jawa Barat. Subang merupakan penyumbang atau kontributor produksi padi ketiga di Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan usaha petani padi, mengidentifikasi sejauh mana peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi. Selain itu juga mengidentifikasi sejauh mana peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani. Pemilihan sampel dilaksanakan dengan menggunakan metode penarikan contoh (purposive sampling) yaitu pengambilan contoh dilaksanakan berdasarkan pertimbangan perorangan atau pertimbangan peneliti. Hal ini dilakukan karena tidak ada data yang jelas mengenai jumlah petani padi yang terdapat di Kabupaten Subang. Mayoritas lahan sawah di Kabupaten Subang menggunakan pengairan irigasi teknis. Pengairan irigasi teknis diklasifikasi menjadi empat golongan berdasarkan perolehan air untuk tanam padi. Setiap golongan memiliki perbedaan waktu tanam selama 15 - 30 hari. Mulai dari Golongan I yang paling awal memperoleh
3
air untuk tanam lalu ke Golongan II, Golongan III, dan yang terakhir adalah petani padi di Golongan IV. Golongan air menjadi dasar pengambilan sampel penelitian karena Golongan I memiliki waktu tanam lebih awal dibanding Golongan IV. Hal ini akan berakibat pada saat panen, dimana Golongan I kemungkinan memiliki harga jual yang tinggi pada saat panen dibandingkan Golongan IV yang sudah memasuki panen raya. Berdasarkan penelitian, hasil analisa usahatani padi yang dikembangkan oleh petani padi Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara dapat memberikan keuntungan. Hal ini disebabkan karena nilai pendapatan atas biaya tunai dan biaya totalnya memiliki nilai positif. Selain itu nilai R/C rasio atas biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh lebih dari satu, hal ini dapat diartikan usahatani yang dilakukan layak untuk dikembangkan oleh petani baik di Kecamatan Binong maupun petani Kecamatan Pusakanagara. Peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini ditunjukan dengan adanya hasil panen petani yang dibeli dengan harga rata-rata diatas HPP, bahkan petani responden tidak ada yang menjual hasil panen dibawah HPP. Pernyataan ini didukung dengan nilai rasio R/C diatas satu, dengan nilai Kecamatan Binong 1,99 dan Kecamatan Pusakanagara 1,93. DPM LUEP sudah ada di Kabupaten Subang sejak tahun 2003. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Subang, Jumlah pinjaman setiap tahun nilainya meningkat. Hal ini disebabkan karena DPM LUEP di Kabupaten Subang dikembalikan tepat pada waktunya. Peranan DPM LUEP terhadap pendapatan petani dapat diketahui dari stabilnya harga padi di dua lokasi penelitian tersebut. Pendapatan yang diterima petani responden antara golongan satu dan golongan empat tidak jauh berbeda. Petani responden Kecamatan Binong mendapatkan Rp 12.280.252 dan petani responden Kecamatan Pusakanagara mendapatkan Rp 11.977.375. Berdasarkan pernyataan tersebut maka kebijakan DPM LUEP di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini tercermin dari stabilnya harga padi dilokasi penelitian. . Berdasarkan kesimpulan mengenai efektivitas penetapan HPP gabah yang diukur menggunakan ilmu usahatani diperoleh hasil keuntungan petani yang bernilai positif. Peran pemerintah dan instansi-instansi terkait, yang aktif dalam memberikan pengetahuan dan teknologi terbaru kepada petani tetap harus dipertahankan, sehingga keberadaan petani semakin baik dan tetap melakukan produksi usahatani padi. DPM LUEP sebaiknya jangan dihapuskan, karena berperan dalam menstabilkan harga gabah petani. Adanya kontrak harga beli gabah antara pemerintah dengan perusahaan penyosohan beras menjadi patokan harga jual gabah, sehingga petani merasa harga gabah dibeli dengan harga tinggi (harga psikologis). Penelitian ini hanya terbatas pada efektivitas penetapan HPP dan DPM LUEP di Kabupaten Subang, yang diteliti berdasarkan golongan air irigasi. Oleh karena itu dianjurkan adanya penelitian lanjutan yang khusus meneliti efektivitas penetapan DPM LUEP tidak hanya berdasarkan golongan air, sehingga dapat membandingkan antara petani yang menjual ke DPM LUEP dan tidak menjual ke DPM LUEP.
4
EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI (Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)
Oleh: MILA YULISA A 14105572
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
5
Judul
:
Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat)
Nama
:
Mila Yulisa
NRP
:
A 14105572
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec NIP. 131 846 873
Mengetahui: Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian
6
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP)
GABAH
KECAMATAN
TERHADAP BINONG,
DAN
PENDAPATAN KECAMATAN
PETANI
(KASUS
PUSAKANAGARA,
KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT) BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, 22 Januari 2008
Mila Yulisa A 14105572
7
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Subang Jawa Barat, pada Tanggal 10 Juli 1984 sebagai anak pertama dari dua bersaudara keluarga bapak H. Dedi Sobandi S.pd dan ibu Hj. Imas Sulastri. Penulis mengawali jenjang pendidikan pada TK Anggrek Merpati Blendung, Purwadadi tahun 1989 dan lulus pada Tahun 1990. Kemudian, penulis melanjutkan pendidikan pada SDN Blendung II Purwadadi lulus pada Tahun 1996. Melanjutkan pendidikan pada MTs Al-Muhajirin Purwakarta lulus Tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan pada SMUN 1 Purwadadi, Subang lulus pada Tahun 2002. Penulis diterima menjadi mahasiswa Diploma Institut Pertanian Bogor di Program Studi Teknologi Perlindungan Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan pada Tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis lulus Program Diploma pada Tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
8
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke-Khadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha meningkatkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan beras, tetapi kenyataannya kekurangan masih sering terjadi. Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan.
Salah satu kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah adalah dengan menetapkan HPP nasional terhadap gabah yang dulu dikenal dengan harga dasar gabah (HDG).
Pemerintah selain menetapkan
kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) untuk menolong petani. Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis pendapatan usaha petani padi, mengidentifikasi peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi serta mengidentifikasi peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan sehingga dapat memperbaiki dan mengembangkan penelitian ini.
Akhirnya penulis berharap
semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.
Bogor, 22 Januari 2008 Mila Yulisa A 14105572
9
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga memberikan kekuatan dan kemudahan dan kesehatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada semua pihak atas bimbingan, bantuan dan kerjasamanya baik berupa moril maupun materil, yaitu kepada : 1. Kedua orang tua tercinta dan adik penulis Isti Siti Hindun yang tak hentihentinya memberikan dukungan do’a, materi, kasih sayang, perhatian, dan semangat yang terus mengalir untuk keberhasilan penulis. 2. Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan, dan kesabarannya membimbing penulis sejak awal hingga selesainya penulisan skripsi ini. 3. Ir. Netty Tinaprila, MM selaku dosen evaluator pada kolokium proposal penelitian, terima kasih untuk semua masukannya. 4. Dr. Ir. Anna Farianti, MS selaku dosen penguji utama yang telah memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. 5. Arif Karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penulisan yang lebih baik. 6. Bapak Asep Ramli, SP dan semua staf Dinas Pertanian Kabupaten Subang yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan data serta informasi yang diperlukan. 7. Bapak Sirodyudin SP, Ibu Ulfah dan Ibu Wati yang telah banyak memberikan Informasi di Kecamatan Binong serta Ibu Surni, SP dan keluarga yang telah membantu penulis selama penelitian di Kecamatan Pusakanagara. 8. Sahabatku Hartini Tresnadijaya Amd, Endah Sutiah, Mbak Mini, Imroatul Mufida, Dara, Yessy Yolanda, Tina Susanti dan Iil Kholilah yang telah banyak memberikan bantuannya kepada penulis. 9. Teman-teman satu pembimbing Jeffri Kurniawan dan Inggit Rahmiyanti atas kerjasamanya.
10
10. Kepada seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. 11. Teman-teman mahasiswa Ekstensi MAB serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
11
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI................................................................................................... DAFTAR TABEL .......................................................................................... DAFTAR GAMBAR...................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. I
xi xiii xv xvi
PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................................... 1.4 Ruang Lingkup Penelitian....................................................................
1 6 8 9
II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 10 2.1 Gambaran Umum Komoditas Padi ...................................................... 2.2 Kebijakan Insentif Pertanian ................................................................ 2.3 Kebijakan Harga Dasar Gabah............................................................. 2.4 Kebijakan Harga Sarana Produksi ....................................................... 2.5 Pengertian DPM-LUEP........................................................................ 2.6 Tataniaga .............................................................................................. 2.7 Tinjauan Studi Terdahulu.....................................................................
10 11 12 18 20 22 23
III KERANGKA PEMIKIRAN................................................................... 28 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................... 3.1.1 Konsep Usahatani ....................................................................... 3.1.1.1 Lahan............................................................................... 3.1.1.2 Tenaga Kerja ................................................................... 3.1.1.3 Modal .............................................................................. 3.1.1.4 Pengelolaan..................................................................... 3.1.2 Analisa Pendapatan Usahatani .................................................... 3.1.3 Ukuran Pendapatan Usahatani .................................................... 3.1.4 Analisis Tataniaga....................................................................... 3.1.5 Efektivitas Penetapan HPP dan DPM LUEP .............................. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ........................................................
28 28 29 29 29 30 30 32 35 38 39
IV METODE PENELITIAN........................................................................ 42 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 4.3 Metode Penarikan Contoh.................................................................... 4.4 Metode Analisis Data........................................................................... 4.4.1 Analisis Usahatani...................................................................... 4.4.2 Analisis Tataniaga...................................................................... 4.4.3 Metode Analisis Efektivitas Penetapan HPP gabah.................. 4.4.4 Metode Analisis Efektivitas DPM LUEP .................................
42 42 43 44 45 46 46 47
12
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL USAHATANI RESPONDEN ................................................................... 48 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................... . 48 5.2 Penduduk dan Mata Pencaharian ......................................................... 49 5.3 Karakteristik Responden....................................................................... 51 5.3.1 Umur Petani ............................................................................... 51 5.3.2 Tingkat Pendidikan ................................................................... 52 5.3.3 Pengalaman Usahatani ............................................................... 53 5.3.4 Status Kepemilikan Lahan ......................................................... 54 5.3.5 Luas Lahan Garapan .................................................................. 55 5.3.6 Status Usahatani ......................................................................... 56 VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI........................................... 57 6.1 Penggunaan Input................................................................................. 6.1.1 Benih .......................................................................................... 6.1.2 Pupuk ......................................................................................... 6.1.3 Pestisida ..................................................................................... 6.2 Penggunaan Tenaga Kerja.................................................................... 6.2.1 Pengolahan Lahan ...................................................................... 6.2.2 Penanaman ................................................................................ 6.2.3 Penyiangan ................................................................................. 6.2.4 Pemupukan ................................................................................ 6.2.5 Pengendalian Hama dan Penyakit.............................................. 6.2.6 Panen .......................................................................................... 6.3 Analisis Cabang Pendapatan Usahatani Padi....................................... 6.3.1 Analisis Penerimaan Cabang Usahatani Padi ............................ 6.3.2 Analisis Biaya Cabang Usahatani Padi ...................................... 6.3.3 Analisis Pendapatan Cabang Usahatani Padi............................. 6.4 Analisis Tataniaga................................................................................ 6.4.1 Analisis Saluran Tataniaga.......................................................... 6.4.2 Analisis Alur Tataniaga...............................................................
57 57 57 59 59 59 60 60 61 61 61 62 63 64 68 70 71 73
VII EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) DAN DPM LUEP .......................................... 75 7.1 Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) ................ 75 7.2 Efektivitas Dana Penguat Modal Lembaga Umum Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP)........................................................ 76 VIII KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 82 8.1 Kesimpulan .......................................................................................... 82 8.2 Saran..................................................................................................... 83 DAFTAR ISTILAH ....................................................................................... 85 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 86 LAMPIRAN.................................................................................................... 88
13
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1
Luas Panen, Produksi dan Hasil Per Hektar Padi Tahun 2001 – 2005 ... 1
2
Konsumsi Padi-padian dan Umbi-umbian Per Kapita Tahun 1996 – 2005 (Kilogram).......................................................................... 2
3
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Nasional Tahun 2002 - 2006 (Rupiah) .............................................................................. 7
4
Perbedaan Antara HPP dan HDG ........................................................... 16
5
Persamaan dan Perbedaan Penelitian Ini dengan Penelitian Terdahulu ................................................................................................ 27
6
Luas Sawah Potensi untuk Usahatani Berdasarkan Jenis Irigasinya ...... 43
7
Metode Perhitungan Pendapatan Usahatani Padi.................................... 45
8
Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Binong Tahun 2006 ... 49
9
Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2006 ............................................................................................. 49
10
Jumlah Penduduk Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Menurut Pekerjaan Tahun 2006 .................... 50
11
Jumlah dan Persentase petani Responden menurut Golongan Umur di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007......... 51
12
Sebaran Jumlah Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2007 ............................................................................................. 52
13
Jumlah Responden Menurut Pengalaman Usahatani Tahun 2007.......... 53
14
Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 ...................................................................... 54
15
Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan di Kecamatan Binong Tahun 2007.......................................................... 55
16
Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 ............................................... 55
17
Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Status Usahatani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007......... 56
18
Rata-rata Penggunaan Pupuk yang Digunakan Oleh Petani Kecamatan Binong (Golongan I) dan Petani Kecamatan Pusakanagara (Golongan IV) Tahun 2007 (Kilogram)........................... 58
19
Rata-rata Hasil Panen Per Hektar Serta Harga Jual Padi di Kecamatan Binong (Golongan I) dan Kecamatan Pusakanagara (Golongan IV) Tahun 2007..................................................................... 64
14
20
Rata-rata Biaya Usahatani Padi Golongan I dan Kecamatan Binong dan Golongan IV (Luas Lahan Satu Hektar) Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 ...................................................................... 65
21
Rata-rata Pendapatan dan R/C Rasio Usahatani Padi pada Petani Kecamatan Binong (Golongan I) dan Kecamatan Pusakanagara (Golongan IV) Luasan Satu Hektar Tahun 2007 .................................... 69
22
Jumlah Pinjaman Dana Penguat Modal dan Jumlah Anggota LUEP di Kabupaten Subang Tahun 2003-2007...................................... 77
23
Perbandingan Pendapatan Rata-rata Per Hektar Petani Padi Golongan I dan Golongan IV Dari Hasil Penelitian Pada Tahun 1978 dan Tahun 2007 .................................................................. 81
15
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Penjelasan Konsep Harga Dasar ............................................................. 17
2
Penjelasan Konsep Harga Pembelian Pemerintah................................... 18
3
Pola Umum Saluran Tataniaga Produk-produk Pertanian di Indonesia ............................................................................................. 36
4
Kerangka Pemikiran Operasional Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah ........................................... 41
5
Saluran Tataniaga Padi di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 ...................................................................... 74
16
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Petani Responden dan Tingkat Pendidikan............................................. 89
2
Penerimaan Usahatani Padi di Kecamatan Binong Tahun 2007............. 90
3
Penerimaan Usahatani Padi di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 . 91
4
Pendapatan Petani LUEP dan Bukan LUEP Tahun 2007....................... 92
5
Peta Indikasi Potensi Air Tanah dan Daerah Irigasi Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat................................................................................. 93
6
Surat Perjanjian Jual Beli Gabah atau Beras antara LUEP dengan Kelompok Tani........................................................................................ 94
17
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, hal ini ditunjukkan dengan besarnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian. Sebagian besar seluruh luas lahan yang ada di Indonesia, 71,33 persen digunakan untuk usaha pertanian, salah satunya yaitu pesawahan yang digunakan dalam memproduksi padi (Badan Pusat Statistik, 2006). Data luas panen, produksi dan hasil per hektar padi tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Luas Panen, Produksi dan Hasil Per Hektar Padi Tahun 2001 – 2005 Jenis Satuan/ Tanaman unit Padi Luas (000 Ha) Panen Produksi (000 Ton) Rata-rata (Kw/Ha) Padi Sawah Luas (000 Ha) Panen Produksi (000 Ton) Rata-rata (Kw/Ha) Padi Ladang Luas (000 Ha) Panen Produksi (000 Ton) Rata-rata (Kw/Ha)
2001
2002
2003
2004
2005
11.500,0
11.521,2
11.488,0 11.923,0 11.818,9
50.460,8 43,9
51.489,7 44,7
52.137,6 54.088,5 54.056,3 45,4 45,4 45,7
10.419,4
10.457,0
10.394,5 10.799,5 10.713,3
47.895,5 46,0
48.899,1 46,8
49.378,1 51.209,4 51.223,7 47,5 47,4 47,8
1.080,6
1.064,2
1.093,5
1.123,5
1.105,6
2.565,3 23,7
2.590,6 24,3
2.795,5 25,2
2.879,0 25,6
2.832,6 25,6
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2006
Tabel 1 menggambarkan bahwa luas panen, produksi dan hasil per hektar padi setiap tahun mengalami peningkatan.
Luas panen padi Tahun 2003
mengalami peningkatan dari 11.488,0 ribu hektar menjadi 11.923,0 ribu hektar pada Tahun 2004, produksi juga mengalami peningkatan dari 52.137,6 ribu ton
18
menjadi 54.088,5 ribu ton pada Tahun 2004. Peningkatan terjadi pada setiap jenis tanaman seperti padi sawah dan padi ladang, tetapi pada Tahun 2005 luas panen padi berkurang dari 11.923,0 ribu hektar pada Tahun 2004 menjadi 11.818,9 ribu hektar, produksi juga menurun.
Hal tersebut diantaranya disebabkan karena
terjadinya kekeringan pada Bulan September - Desember 2004 yang mengakibatkan pergeseran tanam, sehingga luas areal panen padi Bulan Januari April 2005 menurun.
Berkurangnya luas panen berdampak pada penurunan
produksi padi. Padi yang menghasilkan beras merupakan komoditas pertanian yang penting untuk penduduk Indonesia. Beras merupakan bahan makanan pokok, serta mempunyai peranan penting dalam sistem ekonomi pangan di Indonesia. Beras untuk masyarakat Indonesia merupakan komoditas utama yang banyak dikonsumsi. Konsumsi padi-padian dan umbi-umbian per kapita 1996 - 2005 (Kilogram) tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Konsumsi Padi-padian dan Umbi-umbian Per Kapita Tahun 1996 – 2005 (Kilogram) Komoditi A. Padi 1. Beras 2. Jagung 3. Lainnya B.Umbi-umbian 1. Ketela Pohon 2. Ketela Rambat 3. Kentang 4. Lainnya
Tahun 1996 1999 2002 111,49 103,74 100,46 3,74 3,74 4,06 2,55 0,78 1,25 7,96 2,96 1,77 2,18
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006
10,50 2,81 0,99 1,09
9,36 2,70 0,36 0,83
2004 99,42 3,90 1,20 9,67 5,30 1,82 1,20
Pertumbuhan Rata-rata (%)per tahun 2005 2005 over 2004 96,67 -0,92 4,00 0,89 1,46 7,25 9,10 3,80 1,77 1,30
-1,97 -9,48 -0,95 2,90
19
Tabel 2 menggambarkan bahwa konsumsi padi-padian dan umbi-umbian didominasi oleh beras dan ketela pohon. Tahun 2005 untuk komoditi padi-padian 96,67 kilogram konsumsi beras, 4,00 kilogram konsumsi jagung dan 1,46 kilogram konsumsi lainnya seperti roti dan mie instan.
Umbi-umbian 9,10
kilogram konsumsi ketela pohon, 3,80 kilogram ketela rambat, 1,77 kilogram kentang dan 1,30 kilogram konsumsi lainnya seperti gadung dan talas. Pertumbuhan rata-rata pada Tahun 2005 untuk konsumsi padi-padian mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena adanya perubahan pola konsumsi yang
ditandai
dengan
peningkatan
konsumsi
terhadap
jagung
dengan
pertumbuhan rata-rata per tahun 0,89 persen, dan lainnya seperti roti dan mie instan mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan 7,25 persen. Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani padi, berusaha meningkatkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan tersebut, tetapi kenyataannya kekurangan masih sering terjadi. Upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kekurangan selama ini adalah dengan diadakannya kegiatan seperti pemeliharaan kapasitas sumber daya lahan dan perairan, peningkatan intensitas tanam, peningkatan produktivitas tanaman serta penekanan kehilangan hasil. Pihak-pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah Daerah (Pemda) dan pihak
swasta
juga
berusaha
meningkatkan
minat
masyarakat
dalam
mengembangkan usaha pangan. Pemda dan pihak swasta melakukan kegiatan seperti penyediaan sarana dan prasarana transportasi, komunikasi, perdagangan, pelayanan administrasi perizinan usaha produksi, industri, distribusi yang
20
sederhana dan cepat, pelayanan keuangan atau permodalan yang cepat dan murah (Lubis, 2005). Petani merupakan salah satu pelaku terkait yang berperan dalam meningkatkan produksi.
Petani seharusnya mendapatkan perhatian dari
pemerintah. Perkembangan sampai saat ini petani selalu menjadi pihak yang dirugikan. Hal ini ditunjukan dengan biaya produksi yang tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan harga jual hasil panen yang tinggi. Pendapatan petani tidak meningkat, bahkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain untuk biaya produksi selanjutnya petani juga perlu memikirkan keberlangsungan hidupnya. Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang ditetapkan pemerintah adalah kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) nasional terhadap gabah yang dulu dikenal dengan Harga Dasar Gabah (HDG). Perubahan HDG menjadi HPP sangat mendasar karena dengan kebijakan HPP, pemerintah tidak lagi berkewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin harga dasar gabah minimum pada tingkat harga tertentu, sebagaimana lazimnya pada konsep kebijakan HDG. Pemerintah dengan kewajiban HPP tidak wajib membeli gabah dari petani. HPP berlaku di gudang Bulog bukan di tingkat petani. 1 Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) untuk menolong petani.
DPM LUEP merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Departemen Pertanian dalam rangka stabilisasi harga gabah terutama pada saat 1
Pantjar Simatupang. 2003. Harga Dasar Gabah. Suara Pembaruan. 28 Januari.
21
panen raya. Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk pemberian dana talangan kepada LUEP untuk meningkatkan kemampuannya dalam membeli gabah atau beras petani, dengan harga yang mengacu pada HPP. 2 Penetapan HPP Nasional yang berlaku untuk semua wilayah Indonesia ditetapkan melalui Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 sebelum diganti Inpres terbaru Nomor: 3 Tahun 2007. HPP Inpres Nomor 2: Tahun 2005 dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga waktu pemberlakuannya pun praktis bersama dengan penetapan kenaikan harga BBM. Kebijakan tersebut kurang memberikan motivasi dalam melakukan kegiatan produksi bagi petani. Hal itu disebabkan karena biaya produksi masih tinggi, sedangkan biaya produksi untuk setiap daerah berbeda-beda. Harga jual gabah pada saat panen dianggap masih rendah dan informasi mengenai HPP tidak sampai kepada petani, sehingga penetapan HPP nasional terkadang kurang memberikan solusi yang berarti. HPP terbaru yang ditetapkan melalui Inpres Nomor: 3 Tahun 2007 tentang kebijakan perberasan. Pertimbangan yang dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan petani, peningkatan ketahanan pangan, pengembangan ekonomi pedesaan, dan stabilitas ekonomi nasional dipandang perlu untuk menetapkan kebijakan ini.
Selain itu sebagai akibat dari perkembangan perekonomian
nasional, dipandang perlu dilakukan penyesuaian terhadap kebijakan perberasan sebelumnya. Penetapan HPP tebaru yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2007 belum diketahui apakah memberikan solusi positif terhadap petani atau tidak. 2
Departemen Pertanian. 2007. DPM LUEP http://www.deptan.go.id/HomePageBBKP/ pdp/luep/ profil LUEP. 29 Agustus.
22
Upaya untuk mengetahui keefektifan penetapan HPP dapat dilihat dari tingkat pendapatan petani disetiap daerah. Tempat dilaksanakannya penelitian adalah Kabupaten Subang. Kabupaten tersebut merupakan salah satu sentra padi yang ada di Jawa Barat, yang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga setelah Karawang dan Indramayu.
Kabupaten Subang sekaligus pula merupakan
penyumbang atau kontributor produksi padi ketiga di Jawa Barat, dengan luas sawah pada Tahun 2005 seluas 84.167 hektar atau sekitar 41,71 persen dari total wilayah Kabupaten Subang (Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang, 2006).
1.2 Perumusan Masalah Petani sebagai pelaku utama kegiatan produksi padi, tidak terlepas dari masalah yang mengganggu kegiatan produksinya. Meningkatnya biaya produksi seperti biaya pengolahan lahan dan tingginya harga pupuk merupakan masalah yang merugikan petani. Peningkatan biaya tersebut biasanya tidak diimbangi dengan peningkatan harga jual hasil pada musim panen, sehingga berdampak pada pendapatan petani yang rendah. Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa sampai saat ini petani menjadi pihak yang dirugikan, padahal seharusnya keberadaan petani padi dan keadaan produksi padi perlu mendapatkan perhatian. Pemerintah dan masyarakat harus memberikan perhatian terhadap keberadaan petani padi karena beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Petani pada umumnya menjual hasil panen padi dalam bentuk gabah, dengan alasan seperti: 1) Ingin cepat memperoleh hasil panen (uang), 2) Tidak mengeluarkan biaya tambahan seperti untuk pengolahan, penyimpanan, dan transportasi, 3) Faktor kebiasaan. Harga jual gabah pada saat musim panen
23
biasanya sangat rendah, upaya yang dilakukan pemerintah untuk menolong petani yaitu dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah. Penetapan HPP ditujukan apabila harga gabah jatuh menjadi harga dasar dalam pembelian hasil panen, sehingga tetap menguntungkan petani yang dapat dibeli oleh Dolog dari mitra kerjanya. Apabila harga gabah di pasar bebas tinggi yaitu di atas HPP maka petani tidak akan rugi. HPP untuk gabah mulai dari Tahun 2002 - 2006 tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Nasional Tahun 2002 2006 (Rupiah) Jenis Gabah Kering Panen Gabah Kering Simpan Gabah Kering Giling
2002 1.240 1.345 1.467
2003 1.400 1.500 1.645
2004 1.250 1.345 1.450
2005 1.517 1.746 1.710
2006 2.215 2.374 2.594
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang, 2007
Tabel 3 memberikan informasi mengenai harga gabah yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk semua wilayah Indonesia.
Harga gabah
ditetapkan sesuai jenisnya, setiap tahun harga gabah berbeda, ada yang mengalami penurunan seperti untuk jenis gabah kering panen Tahun 2003 yang awalnya Rp 1.400 menjadi Rp 1.250 di Tahun 2005, ataupun mengalami kenaikan seperti Tahun 2005 yang awalnya Rp 1.517 menjadi Rp 2.215 pada Tahun 2006. Gabah yang dijual petani biasanya berada pada kisaran Rp 2.300 hingga Rp 2.400 per kilogram. Penetapan HPP terkadang tidak berlaku. Dilapangan masih dijumpai gabah petani yang ditawar Rp 2.000 per kilogram oleh tengkulak (orang yang biasa membeli hasil panen petani untuk dijual lagi ke pembeli selanjutnya). 3 Masalah tersebut terjadi karena kurangnya informasi mengenai
3
Marsis santoso. 2007. Petani Kecewa Harga Gabah. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak. 28 Maret.
24
kebijakan HPP yang diperoleh petani. Adapun petani yang mengetahui informasi terebut terkadang masih mengeluh, karena harga beli pemerintah dirasakan kurang sesuai. Hal ini berdampak pada pendapatan petani menjadi kecil. Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) untuk menolong petani. DPM LUEP adalah kegiatan yang bertujuan untuk memberikan dana talangan tanpa bunga kepada LUEP untuk membeli gabah atau beras secara langsung dari petani, terutama pada saat panen raya dengan harga minimal sesuai dengan HPP untuk beras dan harga referensi daerah untuk jagung dan kedelai. 4 Berdasarkan
uraian
tersebut,
maka
dapat
dirumuskan
beberapa
permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Sejauh mana efektivitas penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah terhadap pendapatan petani? 2. Sejauh mana efektivitas peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan masalah yang dihadapi, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1) Menganalisis pendapatan usaha petani padi. 2) Mengidentifikasi peranan penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah terhadap pendapatan petani.
4
Departemen Pertanian. 2007. Pembelian Beras, Jagung dan Kedelai. http://www. deptan.go.id /bkp /berita .30 Agustus.
25
3) Mengidentifikasi peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani. Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi petani, Dinas Pertanian dan Pemerintah Daerah setempat dalam mengevaluasi kegiatan pertanian.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Analisis penelitian ini dibatasi pada wilayah Kabupaten Subang dan hanya pada petani padi yang termasuk dalam Golongan I (satu) dan Golongan IV (empat) dalam memperoleh air dalam melakukan kegiatan usahatani. Hal ini disebabkan Kabupaten Subang merupakan salah satu daerah sentra padi yang menggunakan air irigasi. Ketidakstabilan harga jual gabah biasanya dipengaruhi oleh air yang diterima petani dalam menanam padi.
Selain itu lokasi yang
berbeda menimbulkan perbedaan biaya produksi dan dampaknya pada harga jual yang berbeda pula. Ukuran efektivitas menggunakan satu indikator yaitu harga jual pada saat panen diatas HPP atau tidak. Ukuran efektivitas yang digunakan pada DPM LUEP adalah sudah terdapat perusahaan penyosohan beras yang mendapatkan DPM LUEP atau belum pada lokasi penelitian.
26
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Komoditas Padi Tanaman padi (Oryza sativa, L) tersebar diseluruh pelosok dunia, tetapi kebanyakan tanaman padi ini dibudidayakan di Asia. Diperkirakan pertanaman padi pertama kali diusahakan manusia di Negara India sekitar Tahun 2500 - 3000 sebelum masehi, kemudian tersebar ke Cina dan lebih jauh lagi sampai ke negara sebelah bahkan sampai ke Mesir, Eropa, Afrika, dan bagian bumi sebelah barat. Tanaman ini diperkenalkan ke Indonesia sewaktu ras Suku Deutero Melayu berimigrasi ke beberapa daerah di Kepulauan Nusantara sekitar Tahun 1500 sebelum masehi, terdapat bermacam-macam jenis tanaman berdasarkan distribusi geografis dan bentuk morfologi tanamannya (Masyhudi, 1992). Padi (Oriza sativa, L) merupakan tanaman pangan yang dihasilkan dalam jumlah terbanyak di dunia dan menempati daerah terbesar di wilayah tropika. Pada umumnya tanaman padi merupakan tanaman semusim yang sangat rentan terhadap kekeringan, tanaman padi memerlukan jumlah curah hujan lebih dari 200 milimeter dalam satu bulan (Irianto et. al, 2004). Tanaman padi memiliki empat fase pertumbuhan, yaitu fase vegetatif cepat, vegetatif lambat, reproduktif dan pemasakan. Secara garis besar, tanaman padi terbagi kedalam dua bagian yaitu bagian vegetatif dan bagian generatif, dimana bagian vegetatif terdiri dari akar, batang, daun dan bagian generatif terdiri dari malai dari bulir-bulir, daun dan bunga.
27
Pertumbuhan tanaman padi memerlukan unsur hara, air dan energi. Unsur hara merupakan unsur pelengkap dari komposisi asam nukleit, hormon dan enzim yang berfungsi sebagai katalis yang merombak fotosintat atau respirasi menjadi senyawa yang lebih sederhana. Tanaman padi memperoleh air dari dalam tanah, sedangkan energi diperoleh padi dari hasil fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari (Irianto et. al, 2004). Budaya konsumsi beras cukup sulit untuk dihilangkan dari masyarakat Indonesia. Alasan yang sangat mendasar adalah karena telah menjadi kebiasaan masyarakat. Beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Partisipasi konsumsi beras mencapai sekitar 95 persen, artinya 95 persen rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi beras, angka partisipasi ini tentunya bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya (Amang dan Sawit, 1999). Beras bukan hanya berfungsi sebagai komoditas pangan dan ekonomis, tetapi juga merupakan komoditas politik dan keamanan. Negara besar seperti Amerika Serikat, pangan (termasuk beras didalamnya) merangkap komoditas politik dan strategis yakni bila diperlukan, pangan dapat dipakai sebagai senjata ampuh untuk menekan suatu negara yang tidak sejalan dengan garis politiknya (Amang dan Sawit, 1999).
2.2 Kebijakan Insentif Pertanian Pada awal Orde Baru, pemerintah berupaya mendorong peningkatan produksi padi dengan memberikan berbagai insentif, diantaranya berupa dukungan dan jaminan harga jual produk dengan menetapkan harga dasar dan kebijakan harga sarana produksi.
Pemberian insentif ini sebagai upaya
mendorong petani untuk memacu produksi padi. Malian et. al (2003) menyatakan
28
bahwa kebijakan subsidi input pertanian seperti benih, pupuk, dan bahan kimia pemberantas hama atau penyakit tanaman, ditetapkan pemerintah dengan harapan agar petani menerapkan teknologi sesuai dengan rekomendasi dalam kegiatan usahataninya.
Penggunaan pupuk sesuai rekomendasi diharapkan akan
meningkatkan produksi padi atau beras.
2.3 Kebijakan Harga Dasar Gabah Pada era Orde Baru, stabilitas harga gabah atau beras merupakan faktor utama penjamin stabilitas ekonomi dan politik nasional. Amang dan Sawit (1999) menyatakan bahwa ketidakstabilan harga beras dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu (i) ketidakstabilan harga beras antar musim yaitu perbedaan harga antara musim panen dengan musim paceklik, (ii) ketidakstabilan antar tahun karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau banjir, fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya sulit diramalkan. Stabilitas harga melewati batas musim dan tahun, sehingga diperlukan kebijakan untuk menstabilkannya. Ketidakstabilan harga antar musim terkait erat dengan panen raya yang berlangsung pada Bulan Februari - Mei yang mencapai 60 - 65 persen dari total produksi nasional, dan produksi musim gadu pertama berlangsung antara Bulan Oktober - Januari. Apabila harga padi atau beras dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga padi atau beras akan turun pada musim panen raya, dan sebaliknya akan meningkat pesat pada musim paceklik (Oktober - Januari). Artinya, ketidakstabilan harga tersebut dapat memukul produsen pada musim panen dan memberatkan konsumen pada musim paceklik, disamping akan berakibat luas pada ekonomi makro tidak terkecuali inflasi.
29
Kebijakan harga merupakan instrumen pokok dalam pengadaan bahan pangan. Sasarannya pertama, melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar yang biasanya terjadi pada musim panen. Kedua, melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya beli, khususnya pada musim paceklik. Ketiga, mengendalikan inflasi melalui stabilisasi harga. Kebijakan harga dasar pertama kali diterapkan pada Tahun 1970. Pendekatan yang digunakan untuk menentukan harga dasar pada waktu itu adalah dengan menggunakan Rumus Tani, namun cara penetapan harga dasar terus berkembang, setelah Rumus Tani kemudian diganti dengan pendekatan B/C ratio. Penetapan harga dasar dievaluasi setiap tahun. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap pendapatan petani, produksi padi, inflasi dan harga penjualan beras (Bulog) serta besarnya beban yang harus dipikul oleh pemerintah.
Penetapan harga batas tertinggi selalu mempertimbangkan
bagaimana laju inflasi dan pengaruhnya terhadap perdagangan antar tempat dan antar waktu. Harga batas tertinggi ditetapkan berdasarkan harga dasar ditambah dengan biaya-biaya pemasaran seperti biaya pengolahan, penyimpanan, bunga bank dan angkutan serta ditambah dengan keuntungan yang wajar bagi pedagang sesuai dengan jasa yang diberikannya (Amang dan Sawit, 1999). Penetapan harga dasar diberlakukan sama untuk semua daerah. Sedangkan harga batas tertinggi ditetapkan berbeda antar daerah surplus, daerah swasembada dan daerah defisit. Perbedaan ini dimaksudkan untuk merangsang aktivitas perdagangan beras antar daerah oleh swasta.
Disamping itu, untuk
kondisi dan daerah tertentu dapat diterapkan kebijakan harga khusus guna mengatasi kemungkinan timbulnya kerawanan pangan penduduk, misalnya karena
30
adanya bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor dan ancaman gunung meletus. Guna meningkatkan produktivitas dan insentif berproduksi bagi petani, pemerintah era reformasi menetapkan Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) sebagai pengganti Harga Dasar Gabah (HDG) yang tertuang dalam Inpres Nomor: 9 Tahun 2002.
Kebijakan ini, pemerintah melakukan
pembelian (khususnya panen raya) dengan jumlah yang telah ditentukan (sebesar kebutuhan untuk program jaring pengaman sosial) pada tingkat harga pasar. Suryana dan Mardianto (2001) menyatakan bahwa kebijakan ini dinilai tidak distortif karena sifatnya hanya menambah permintaan. Dari sisi kebutuhan dana, kebijakan HDPP ini juga lebih kecil jika dibandingkan dengan kebijakan HDG, karena volume pembelian sudah tertentu sesuai dengan outlet yang ada. Sementara itu, HDG akan membutuhkan dana yang lebih besar, khususnya jika harga pasar jatuh jauh dibawah harga dasar, harga beras dunia sangat murah dan nilai tukar rupiah menguat. Argumentasi penghapusan HDG dikemukakan bahwa HDG merupakan instrumen kebijakan perberasan tertua di Indonesia yang kental dengan kandungan politik, sehingga upaya untuk menggantikannya akan menghadapi resistensi yang tinggi dari masyarakat. Tujuan utama kebijakan HDG ialah menjamin harga gabah minimum di tingkat petani, yang berarti menjamin pendapatan minimum, sehingga mencegah penurunan pendapatan petani. Penjaminan harga minimum berarti pula penurunan harga di bawah harga dasar dapat dicegah sehingga stabilitas harga meningkat. Kebijakan HDG memiliki dua fungsi (tujuan): (i)
31
meningkatkan harga gabah yang diterima petani (yang berarti meningkatkan pendapatan petani), dan (ii) meningkatkan stabilitas harga gabah di tingkat petani. Sebagai perwujudan keberpihakan kepada petani, pemerintah mengganti Inpres Nomor: 9 Tahun 2002 dengan Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 yang mengubah konsep Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 ini menyertakan persyaratan kualitas beras dalam pembelian pemerintah. Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 sekarang sudah diganti dengan Inpres Nomor: 3 Tahun 2007 dengan menambahkan tujuan untuk mendorong peningkatan kualitas gabah petani, khususnya yang terkait dengan Kadar Air (KA) dan Kadar Hampa (KH) atau kotoran yang diberikan insentif harga seperti berikut: a. Gabah petani dengan KA antara 19 - 25 persen dan KH antara 3 - 10 persen harga GKP adalah Rp 2.035 per kilogram. b. Gabah petani dengan KA antara 14 - 18 persen dan KH antara 4 - 6 persen harga GKP adalah Rp 2.350 per kilogram. c. Gabah petani dengan KA antara 14 - 18 persen dan KH antara 7 - 10 persen harga GKP adalah Rp 2.310 per kilogram. HDG dan HPP mempunyai perbedaan dalam jumlah yang dibeli, harga, implementasi, orientasi pasar, kebutuhan dana, serta reaksi positif. Kebijakan HPP diantaranya mempunyai keunggulan dalam reaksi positif yaitu pro-produsen dan konsumen. Maksud pernyataan pro-produsen karena HPP ditetapkan sebagai harga dasar dalam pembelian hasil panen yang berupa gabah, dinyatakan prokonsumen karena dalam kebijakan HPP pemerintah menjaga kenaikan harga yang
32
melebihi batas daya beli konsumen khususnya pada musim paceklik. Perbedaan antara HPP dan HDG tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Perbedaan Antara HPP dan HDG No 1
Aspek Jumlah yang dibeli
2 3
Harga Implementasi
4 5
Orientasi pasar Kebutuhan Dana
6
Reaksi positif
Kebijakan HPP Tertentu, sebesar outlet
Kebijakan HDG Tak terbatas, tergantung kepada perbedaan harga pasar dengan HDG Harga pasar Harga Dasar saat ini Relatif mudah, volume Relatif sulit, volume pengadaan sudah pasti pengadaan variabel, sesuai dinamika pasar Market Friendly Distortif Tergantung pada volume • Harga pasar jauh yang akan dibeli oleh dibawah harga outlet yang ada dasar • Harga beras dunia murah • Nilai tukar rupiah menguat Kelompok pro-konsumen Kelompok prodan produsen produsen
Sumber: Suryana A dan Mardianto S, 2001
Selain pertimbangan moral hazard dan keramahan pasar (market friendly), keterbatasan kemampuan anggaran pemerintah membuat kebijakan HDG sulit diamankan. Memaksakan kebijakan HDG hanya akan menurunkan kredibilitas pemerintah, karena perubahan secara drastis akan membuat gejolak maka diperlukan kebijakan transisi dalam bentuk kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kebijakan HPP dilaksanakan dengan memanfaatkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Melalui kebijakan tersebut pemerintah melakukan pembelian (sebaiknya dilakukan pada saat panen raya) dengan jumlah yang telah ditentukan (sebesar kebutuhan JPS) pada tingkat harga pasar (Suryana dan Mardianto, 2001).
33
Lipsey et. al (1995), mengemukakan bahwa harga dasar ditetapkan memiliki tujuan bila harga dasar lebih tinggi daripada harga ekuilibrium, maka jumlah yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta. Titik ekuilibrium dalam pasar bebas terletak pada E, dengan harga p2 dan kuantitas qo.
Jika
pemerintah menetapkan harga dasar yang efektif sampai sebesar p1, jumlah yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta sebanyak q1q2. Kelebihan penawaran akan berada pada pihak swasta jika pemerintah tidak melakukan apa-apa, mungkin terbuang percuma atau sekedar menggunung digudang-gudang. Jika pemerintah membeli kelebihan penawaran tersebut maka q2 akan terjual, dengan kata lain q1 akan dibeli oleh pembeli biasa dan sejumlah q1q2 akan dibeli oleh pemerintah untuk disimpan atau dibuang maupun untuk keperluan lain Penjelasan ini tersaji pada Gambar 1.
Penawaran
Price p1
berlebih
p2
S Harga dasar
E D
q1
qo
q2
Quantity Gambar 1 Penjelasan Konsep Harga Dasar Sumber: Lipsey et. al, 1995
34
Price So S1 Po HPP P1 D1 Qo
Q1 Q3
D2 Quantity
Gambar 2 Penjelasan Konsep Harga Pembelian Pemerintah Konsep HPP berdasarkan Gambar 2, sebelum panen raya tiba Supply (So) berada pada keadaan harga Po dan kuantitas Qo. Pada saat panen raya tiba keseimbangan berubah, kuantitas menjadi Q1 dan harga turun menjadi P1, Supply berubah menjadi (S1) bahkan berada dibawah HPP. Pemerintah dalam kebijakan HPP ini tidak mempunyai kewajiban untuk membeli gabah petani jika terjadi excess supply, sehingga gabah dibeli oleh banyak pihak bukan oleh pemerintah. Kekhawatiran dari konsumen timbul karena takut tidak memperoleh gabah, sehingga permintaan terhadap gabah akan tinggi lagi dan Demand
bergeser
menjadi D2 sampai ke HPP dan harga dapat tinggi kembali jika permintaan berubah menjadi D2.
2.4 Kebijakan Harga Sarana Produksi Kebijakan harga sarana produksi bertujuan untuk merangsang peningkatan produksi padi, melalui subsidi harga sehingga harga sarana produksi antar waktu
35
dan antar daerah tidak jauh berbeda. Harga sarana produksi yang mendapat subsidi antara lain benih, pupuk, dan pestisida. Namun subsidi harga pestisida dihentikan sejak Tahun 1986, sejalan dengan diterapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam sistem produksi tanaman pangan. Salah satu subsidi harga sarana produksi yang terpenting adalah subsidi harga pupuk. Pola perhitungan subsidi harga pupuk selalu dikaitkan dengan harga dasar gabah. Perkembangannya, pemerintah menggunakan indikator B/C ratio sebesar 2,0. Penetapan angka ini didasarkan atas pemikiran bahwa petani akan bersedia melakukan intensifikasi apabila pertambahan hasil yang diperoleh meningkat dua kali lipat dibanding dengan pertambahan biaya yang harus dikeluarkan. Selama kurun waktu 20 tahun, yaitu periode 1969 sampai 1989, harga pupuk telah delapan kali dinaikkan, dengan perincian empat kali pada Pelita I hingga Pelita III, tiga kali pada Pelita IV dan satu kali pada Pelita V. Kenaikankenaikan tersebut tetap dapat diusahakan agar rasio harga dasar gabah terhadap urea cukup besar sehingga mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi. Sampai akhir Pelita II, rasio kedua harga tersebut tidak lebih besar dari 1,14, namun setelah itu, Pelita III dan IV serta pada awal Pelita V rasio harga dasar gabah terhadap harga pupuk diatas 1,50 kecuali untuk Tahun 1979 hanya sebesar 1,93. Rasio harga yang tertinggi yang pernah dicapai adalah sebesar 1,93 pada Tahun 1982 dan 1,83 yang terjadi pada Tahun 1984 (Amang dan Sawit, 1999). Upaya mempertahankan rasio harga dasar gabah terhadap urea yang cukup besar tidak terlepas dari peran subsidi pupuk. Meski demikian, subsidi pupuk mengalami hambatan berupa besarnya biaya yang dikeluarkan pemerintah.
36
Amang dan Sawit (1999) menyatakan bahwa subsidi harga pupuk telah mendorong peningkatan
peningkatan produksi
penggunaan beras,
membengkaknya dana subsidi.
sukses
pupuk ini
dan juga
berpengaruh membawa
terhadap
konsekuensi
Berdasarkan hal tersebut, pada Tahun 1999
subsidi harga pupuk sempat dihapuskan. Meski demikian, sejak Tahun 2002 pemerintah kembali memberi subsidi harga pupuk terutama pupuk N, P, K. Subsidi ini diharapkan dapat meringankan beban biaya produksi usahatani padi yang terus meningkat.
2.5 Pengertian DMP LUEP Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) Merupakan kegiatan yang dilakukan Departemen Pertanian (Deptan) dalam rangka stabilisasi harga gabah terutama pada saat panen raya.
Kegiatan ini
dilaksanakan dalam bentuk pemberian dana talangan kepada Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) untuk meningkatkan kemampuannya dalam membeli gabah atau beras petani, dengan harga yang wajar dan mengacu pada HPP. Dana talangan ini merupakan pinjaman tanpa bunga (bukan sistim kredit) sehingga harus dimanfaatkan sesuai dengan pedoman umum yang telah ditentukan, yaitu untuk pembelian gabah langsung dari petani dengan harga yang mengacu pada HPP. Kegiatan DPM LUEP ini diharapkan dapat membantu dan menolong petani dari himpitan rendahnya harga yang diperoleh oleh petani selama ini. Stabilisasi harga gabah hasil panen petani pada saat panen raya merupakan aspek yang sangat penting dan menentukan pendapatan dan ketahanan pangan petani padi.
Peningkatan harga pembelian gabah yang dilakukan LUEP di
37
wilayah tertentu, maka dapat menggerakkan agribisnis perberasan secara keseluruhan. Kepala Badan, Dinas, Instansi yang menangani ketahanan pangan, berdasarkan hasil verifikasi tim teknis Propinsi menetapkan LUEP sebagai pelaksana kegiatan, dan menetapkan jumlah dana penguatan modal bagi LUEP untuk pembelian gabah atau beras. Manfaat dari diterimanya DPM LUEP tidak boleh berhenti sampai pada penguatan modal, tetapi harus diteruskan kepada petani berupa pembelian gabah pada waktu yang tepat dan harga yang lebih baik. LUEP yang memperoleh DPM, dapat berbentuk koperasi, Koperasi Tani (Koptan), Koperasi Unit Desa (KUD), lumbung pangan, dan pengusaha penggilingan padi yang bergerak dalam pengolahan, penyimpanan, maupun pemasaran gabah. Sebagai penerima DPM LUEP mempunyai kewajiban dalam kaitannya dengan DPM yang telah diterima, yaitu: 1) Membeli gabah petani sesuai dengan harga yang telah disepakati dalam kontrak. 2) Membuat pembukuan tersendiri terhadap transaksi yang telah dilakukan dengan baik dan benar. 3) Melaporkan hasil transaksi yang telah dilakukan secara periodik kepada Kabupaten atau Kota, Propinsi, dan pusat yang telah disepakati sebelumnya. 4) Mengembalikan dana talangan tepat pada waktunya yaitu tanggal 15 Desember. Kegiatan pelaksanaan DPM LUEP ini bertujuan: a. Mengupayakan stabilisasi harga gabah di tingkat petani. b. Meningkatkan kemampuan LUEP untuk membeli gabah sesuai HPP.
38
c. Menumbuhkembangkan kelembagaan usaha ekonomi di pedesaan yang dapat mendorong pertumbuhan dan menggerakkan perekonomian di pedesaan. d. Memperkuat posisi daerah dalam ketahanan pangan wilayah yang berakumulasi pada ketahanan pangan nasional. 5
2.6 Tataniaga Kohls dan Uhls dalam Sakinah (2006), menyatakan bahwa tataniaga merupakan suatu peragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang dan jasa mulai dari titik produksi sampai ke konsumen akhir. Terdapat dua kelompok yang berbeda kepentingan dalam mememandang tataniaga, konsumen yang ingin mendapatkan harga yang rendah dan produsen yang ingin memperoleh penerimaan besar atas penjualan produk. Limbong dan Sitorus (1987), menyebutkan bahwa tataniaga adalah serangkaian proses kegiatan atau aktivitas yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen.
Proses distribusi dapat terjadi
kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari produk untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk mempermudah penyalurannya, meningkatkan nilai dan meningkatkan kepuasan konsumen.
5
Departemen Pertanian. 2007. DPM LUEP http://www.deptan.go.id/HomePageBBKP/ pdp/luep/ profil LUEP. 29 Agustus.
39
2.7 Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian mengenai Efektivitas Penetapan HPP Gabah Terhadap Pendapatan Petani belum pernah dilakukan. Beberapa hasil penelitian mengenai padi atau gabah dikemukakan berikut ini. Penelitian yang dilakukan Lubis (2005) dengan judul Efektivitas Penyaluran Kredit Ketahanan Pangan dan Analisa Pendapatan Petani Pengguna Kredit (Studi Kasus: Petani Tebu Anggota Koperasi Madusari, Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar, Solo).
Penelitian dilakukan
dengan penggalian data dan informasi secara insentif diwilayah kerja Bank yang bersangkutan dengan pabrik gula sebagai fasilitator serta anggota KUD tersebut sebagai nasabah. Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode analisis efektivitas yang meliputi analisis secara kualitatif yang diuraikan secara deskriptif dan analisis yang menentukan skor menggunakan skala likert. Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil analisa efektivitas dari sisi bank memperlihatkan hasil yang efektif, terlihat dari hasil wawancara dan data-data sekunder yang telah diperoleh. Hasil yang cukup efektif ini disebabkan beberapa hal.
Salah satunya adalah masalah pelayanan dan pembinaan petugas bank
dimana jarak merupakan salah satu penyebabnya sehingga banyak petani yang tidak mengenal bank yang bersangkutan.
Uji korelasi yang dilakukan pada
variabel efektivitas dengan tingkat pendidikan, luas lahan dan tingkat pendapatan menunjukan bahwa tidak ada korelasi yang kuat antar variabel kredit ketahanan pangan yang diperoleh petani. Penelitian yang berkaitan dengan dampak kebijakan harga gabah terhadap produksi padi di Pulau Jawa dilakukan oleh Femina (2006), digunakan model persamaan simultan untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
40
padi di Pulau Jawa. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di Pulau Jawa menunjukkan bahwa harga dasar gabah, harga pupuk urea dan luas areal panen padi sebelumnya berpengaruh nyata terhadap luas areal panen padi. Respon luas areal panen padi di Pulau Jawa dalam jangka pendek inelastis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Sedangkan dalam jangka
panjang, luas areal panen padi terhadap perubahan harga dasar gabah, harga pupuk urea dan luas areal panen padi tahun sebelumnya. Beberapa rumusan alternatif kebijakan harga gabah guna peningkatan produksi padi di Pulau Jawa, antara lain: (1) mengingat harga dasar gabah berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi di Pulau Jawa yang dicerminkan oleh pengaruh nyata harga gabah terhadap luas areal panen dan produktivitas padi, maka sebaiknya kebijakan harga dasar gabah tetap dipertahankan.
(2) Guna
mengefektifkan harga dasar gabah untuk menjamin harga gabah ditingkat petani dan meningkatkan produksi padi, maka penetapan harga dasar gabah sebaiknya diperhatikan tingkat perkembangan harga pupuk urea dan harga beras impor. (3) Keefektifan kebijakan harga dan perdagangan (impor) tidak terlepas dari keefektifan peran dan fungsi lembaga pemerintah yang berwenang, yaitu Bulog berdasarkan pendugaan parameter dummy kebijakan monopoli impor beras, ternyata dapat meningkatkan harga gabah ditingkat petani. Hutauruk (1996) melakukan studi mengenai dampak kebijakan harga dasar padi dan subsidi pupuk terhadap permintaan dan penawaran beras di Indonesia. Dalam menganalisis data, dilakukan disegrasi wilayah Indonesia menjadi dua bagian yaitu Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.
Masing-masing komponen
41
dianalisis dengan pendekatan ekonometrika dalam suatu model persamaan simultan dan diduga dengan metode 3 SLS. Berdasarkan hasil analisis, luas areal panen di Jawa tidak responsif terhadap perubahan harga padi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Selain itu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, produktivitas padi di Jawa dan luar Jawa tidak responsif terhadap perubahan harga gabah, trend teknologi, jumlah pemakaian pupuk, curah hujan, luas areal sawah irigasi dan kredit usahatani. Berdasarkan hasil simulasi, peningkatan harga dasar gabah, baik secara individu maupun serentak dengan harga pupuk akan berdampak pada peningkatan produksi beras total, penurunan permintaan beras domestik, penurunan impor, dan peningkatan stok yang dilepas. Sedangkan kebijakan peningkatan harga pupuk akan mengurangi produksi tanpa mempengaruhi permintaan beras domestik Riyanto (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pendapatan Cabang Usahatani dan Pemasaran Padi (Kasus: Tujuh Desa, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah). Berdasarkan hasil dan pembahasan bahwa usahatani padi yang dikembangkan oleh petani di Tujuh Desa, pada Kecamatan Salem memberikan keuntungan karena nilai pendapatan atas biaya tunai dan biaya totalnya memiliki nilai positif. Selain itu nilai R/C rasio atas biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh lebih besar dari satu. Terdapat dua pola saluran pemasaran untuk padi di Kecamatan Salem, tetapi dari kedua saluran pemasaran tersebut yang paling banyak dipakai oleh petani adalah pola pemasaran II, yaitu sebesar 63,33 persen dari total petani. Apabila dilihat dari marjin dan efisiensi pemasarannya pola pemasaran I memiliki
42
nilai yang lebih besar dari pola pemasaran II.
Hal ini berarti bahwa pola
pemasaran I paling efisien bila dibandingkan dengan pola pemasaran II. Penelitian mengenai padi dilaksanakan di Kabupaten Subang salah satunya dilaksanakan oleh Disti (2006), dengan judul Analisa Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT).
Analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif dan analisa
kuantitatif berdasarkan evaluasi program PTT, teknologi yang masih digunakan oleh petani adalah penggunaan organik padat dan efisiensi penggunaan Urea, SP36 dan Phonska berdasarkan pupuk berimbang. Berdasarkan perbandingan tingkat pendapatan terlihat bahwa penggunaan faktor produksi usahatani masih bisa ditingkatkan, hal ini ditunjukan dengan R/C rasio pada biaya tunai lebih besar dibandingkan dengan biaya aktual.
Saran yang diberikan berdasarkan hasil
penelitian adalah untuk meninjau kembali teknologi-teknologi dari program PTT. Hal ini disebabkan oleh perbedaan R/C rasio atas biaya tunai antar daerah PTT yang masih aktif dengan daerah PTT yang kurang aktif dalam menjalankan program, pemberian penyuluhan dari Detasier ataupun PPL dilakukan secara kontinu tidak hanya pada awal program saja. Penelitian berjudul Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani dengan penelitian terdahulu memiliki persamaan dan perbedaan. Hal tersebut tersaji pada Tabel 5.
43
Tabel 5 Persamaan dan Perbedaan Penelitian Ini dengan Penelitian Terdahulu No 1
Peneliti Lubis (2005)
2
Femina (2006)
3
Hutauruk (1996)
4
Riyanto (2005)
5
Disti (2006)
Persamaan Melihat keefektifan suatu program Melakukan studi terhadap Harga Dasar Gabah di pulau Jawa Melakukan studi terhadap Harga Dasar Gabah Menganalisis pendapatan usahatani dan pemasaran padi kasus tujuh Desa di Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah Melakukan penelitian di Kabupaten Subang
Perbedaan Program yang di teliti berbeda Melakukan Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah di Kabupaten Subang Melakukan Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Menganalisis pendapatan usahatani dan tataniaga padi kasus dua Kecamatan di Kabupaten Subang, Jawa Barat Masalah yang diteliti berbeda
44
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1
Konsep Usahatani Soekartawi (1986), menyatakan bahwa usahatani adalah organisasi yang
pelaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial baik yang terikat biologis, politis maupun teritorial sebagai pengelolanya.
Soeharjo dan Patong (1973), mengemukakan
bahwa usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan oleh perorangan ataupun sekumpulan orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun orang lain disamping motif mencari keuntungan. Usahatani kecil dibedakan dari usahatani komersil oleh eratnya dan pentingnya kaitan usahatani dan rumah tangga. Petani kecil lebih mengutamakan hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, sedangkan petani komersil menggambarkan bahwa usahataninya seperti perusahaan dan mengukur penampilannya seperti patokan atau norma perusahaan.
Petani
komersil lebih mudah dalam mengadopsi inovasi, mobilitas pencarian informasi yang cepat, berani menanggung resiko dalam berusaha, dan memiliki sumberdaya yang cukup (Soekartawi, 1986). Terdapat empat unsur pokok yang selalu ada dalam usahatani. Keempat unsur tersebut menurut Hernanto (1991), yaitu:
45
3.1.1.1 Lahan Lahan usahatani dapat berupa sawah ataupun lahan pekarangan. Lahan bisa diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian negara, warisan atau wakaf. Lahan mewakili unsur alam dan merupakan modal yang sangat penting dalam melakukan usahatani. 3.1.1.2 Tenaga Kerja Tenaga kerja usahatani merupakan faktor yang penting selain tanah, modal dan pengelolaannya.
Terdapat tiga jenis tenaga kerja yang dikenal dalam
usahatani yaitu manusia, ternak dan mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. mengerjakan
semua
kemampuannya.
jenis
pekerjaan
Tenaga kerja manusia dapat
usahatani
berdasarkan
tingkat
Tenaga kerja ternak digunakan untuk mengolah tanah dan
pengangkutan. Tenaga kerja mekanik bersifat subtitusi pengganti tenaga ternak. Kekurangan tenaga kerja dapat diantisipasi oleh petani dengan mempekerjakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan memberi balas jasa berupa upah. Tenaga kerja yang digunakan untuk mengelola usahatani perlu diukur efisiennya dalam satuan kerja, yaitu jumlah pekerjaan produktif yang berhasil diselesaikan oleh seorang pekerja, efisiensi itu sendiri adalah suatu upaya untuk mencapai tujuan dengan menggunakan sumberdaya serendah mungkin. 3.1.1.3 Modal Modal adalah barang atau uang yang digunakan bersama faktor produksi yang lainnya untuk menghasilkan barang-barang baru yaitu produk pertanian. Diantara keempat faktor produksi yang terdapat dalam usahatani, modal mempunyai pengaruh yang besar terhadap usahatani, terutama modal operasional.
46
Modal operasional terkait langsung dengan pelaksanaan kegiatan usahatani dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana produksi, tenaga kerja, bahkan untuk membiayai pengelolaan. Menurut sifatnya modal dibedakan menjadi dua: 1. Modal tetap meliputi: tanah, dan bangunan, modal tetap dicirikan dengan modal tidak habis pada satu kali produksi. 2. Modal bergerak meliputi: alat-alat, bahan, uang tunai, piutang di bank, tanaman, dan ternak. 3.1.1.4 Pengelolaan Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor produksi sebaik mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan. Ukuran keberhasilan pengelolaan adalah peningkatan produktivitas setiap faktor maupun dari setiap usahanya. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah dikendalikan oleh petani, meliputi petani pengelola, tenaga usahatani, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petani mengalokasikan penerimaan keluarga dan jumlah keluarga.
Faktor
eksternal adalah faktor-faktor diluar usahatani yang berpengaruh terhadap keberhasilan usahatani, meliputi: sarana transportasi dan komunikasi, pemasaran dan fasilitas kredit.
3.1.2
Analisa Pendapatan Usahatani Analisa pendapatan usahatani mempunyai tujuan untuk menggambarkan
keadaan yang akan datang dari suatu perencaanaan dan tindakan.
Analisa
pendapatan usahatani juga dapat digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan
47
usahatani terhadap pendapatan total rumah tangga. Bagi petani, analisa pendapatan
memberikan
bantuan
untuk
mengukur
tingkat
keberhasilan
usahataninya (Soeharjo dan Patong, 1973). Pendapatan usahatani dapat digambarkan sebagai balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi lahan, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan atau manajemen.
Besarnya pendapatan usahatani tergantung pada besarnya
penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan. Penerimaan usahatani adalah perkalian dari jumlah total produksi dan harga satuan. Sedangkan pengeluaran atau biaya usahatani adalah nilai penggunaan sarana produksi, upah tenaga kerja, dan biaya lain yang dikeluarkan dalam proses produksi dalam jangka waktu tertentu. Hernanto
(1991),
membedakan
biaya
produksi
dalam
usahatani
berdasarkan: A. Jumlah output yang dihasilkan terdiri dari: 1. Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada jumlah produksi, misalnya: pajak tanah, sewa lahan, penyusutan peralatan, dan bunga pinjaman. 2. Biaya variabel adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, misalnya: pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan, dan upah tenaga kerja. B. Langsung dikeluarkan dan diperhitungkan terdiri dari: 1. Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya tetap misalnya: pajak tanah dan bunga pinjaman. Biaya variabel misalnya: pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan, dan upah tenaga
48
kerja luar keluarga. Biaya tunai ini untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani. 2. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya penyusutan alat-alat, sewa lahan milik sendiri, bunga pinjaman (biaya tetap), dan tenaga kerja dalam keluarga (biaya variabel). Biaya tidak tunai ini untuk melihat bagaimana manajemen suatu usahatani. Pelaksanaan kegiatan usahatani padi, seringkali petani menderita kerugian yang tidak sedikit jumlahnya akibat harga jual gabah yang kadangkala atau setiap kali selalu lebih rendah daripada biaya produksi yang dikeluarkan petani. Biaya produksi petani yang dikeluarkan dalam usahataninya terkadang terus meningkat seiring dengan peningkatan harga-harga sarana produksi seperti pupuk, benih, obat-obatan, dan upah tenaga kerja. Hal ini tidak diimbangi dengan harga jual yang sesuai, walaupun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan harga dasar yang secara teoritis baik namun tidak pernah berjalan pada prakteknya.
3.1.3
Ukuran Pendapatan Usahatani Hernanto (1991), mengemukakan bahwa bentuk penerimaan tunai dapat
menggambarkan tingkat kemajuan ekonomi usahatani dalam spesialisasi dan pembagian kerja. Banyaknya pendapatan tunai atau proporsi penerimaan tunai dari total penerimaan yang masuk, dapat digunakan untuk perbandingan keberhasilan petani satu dengan petani yang lainnya. Pernyataan tersebut pada umumnya benar jika membandingkan perbedaan antar masyarakat ekonomi. Namun tidak demikian apabila mencoba menerapkan perbandingan tersebut pada masyarakat yang tradisional.
Pernyataan tersebut menjadi invalid dan tidak
sepenuhnya benar, pada masyarakat yang tradisional atau petani subsistem
49
penerimaan tunai hanya merupakan sebagian kecil, yang terbesar berupa penerimaan dalam bentuk natura yang dikonsumsi oleh keluarga. Analisis pendapatan petani memerlukan empat unsur yaitu: rata-rata inventaris, penerimaan usahatani, pengeluaran usahatani, dan penerimaan dari berbagai sumber. Keadaan rata-rata inventaris adalah jumlah nilai inventaris awal ditambah nilai inventaris akhir dibagi dua. Menilai aset benda pada usahatani dapat dilaksanakan dengan melihat harga pembelian, nilai penjualan pada saat pencataan atau perhitungan dan harga pembelian dikurangi dengan dengan penyusutan. Penerimaan usahatani, yaitu penerimaan dari semua sumber usahatani yang meliputi: jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan nilai penggunaan rumah serta barang yang dikonsumsi. Pengeluaran usahatani adalah semua biaya operasi tanpa memperhitungkan bunga dari modal usahatani dan nilai kerja pengelolaan usahatani.
Pengeluaran ini meliputi: pengeluaran tunai,
penyusutan benda fisik, pengurangan nilai inventaris, dan nilai tenaga kerja yang tidak dibayar. Banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani. Soekartawi (1986), mencoba untuk menguraikan istilahistilah yang biasanya digunakan dalam usahatani, diantaranya: 1) Pendapatan kotor usahatani adalah ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usahatani.
Istilah lain untuk pendapatan kotor
usahatani adalah nilai produksi atau penerimaan kotor usahatani.
Nisbah
seperti pendapatan kotor per hektar atau per unit kerja dapat dihitung untuk menunjukan intensitas operasi usahatani.
50
2) Pendapatan kotor tunai didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani.
Pendapatan kotor tunai usahatani tidak
mencakup pinjaman uang untuk keperluaan usahatani yang berbentuk benda dan yang dikonsumsi. 3) Pendapatan kotor tidak tunai merupakan pendapatan bukan dalam bentuk uang, seperti hasil panen yang dikonsumsi, digunakan untuk bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, disimpan di gudang, dan menerima pembayaran dalam bentuk benda. 4) Pengeluaran total usahatani didefinisikan sebagai nilai semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi bukan tenaga kerja keluarga petani. Pengeluaran usahatani mencakup pengeluaran tunai dan tidak tunai. 5) Pengeluaran tunai adalah pengeluaran berdasarkan nilai uang, jadi segala pengeluaran untuk keperluan usahatani yang dibayar dalam bentuk benda tidak termasuk dalam pengeluaran tunai. 6) Pengeluaran tidak tunai adalah semua input yang digunakan namun tidak dalam bentuk uang. Contoh keluaran ini adalah nilai barang dan jasa untuk keperluan usahatani yang dibayar dengan benda atau berdasarkan kredit. 7) Selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan total pengeluaran usahatani disebut pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani akibat dari penggunaan faktor-faktor produksi. 8) Bagian untuk mengukur atau menilai penampilan usahatani kecil adalah penghasilan bersih usahatani. Ukuran ini diperoleh dari hasil pengurangan
51
antara pendapatan bersih dengan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman, biaya yang diperhitungkan dan penyusutan. Berdasarkan pengertian yang telah disebutkan, maka diharapkan dapat dikembangkan analisis terhadap pendapatan usahatani. Analisis tersebut adalah analisis pendapatan dan analisis R/C rasio. Tujuan dari kegiatan usahatani ini adalah untuk mencapai produksi dibidang pertanian yang pada akhirnya akan dinilai dengan uang.
Nilai tersebut diperoleh setelah mengurangkan atau
memperhitungkan biaya yang telah dikeluarkan.
Berdasarkan nilai tersebut
diharapkan akan mendorong petani untuk mengalokasikan nilai yang diperolehnya dalam berbagai kegunaan yaitu untuk biaya produksi selanjutnya, tabungan, dan pengeluaran lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
3.1.4
Analisis Tataniaga Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung
dan terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran tataniaga melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen.
Hal tersebut mengatasi
kesenjangan waktu, tempat, dan pemikiran yang memisahkan barang dan jasa dari orang-orang yang membutuhkan atau menginginkannya. Sebagian produsen tidak menjual barang mereka langsung ke pemakai akhir. Antara produsen dan pemakai akhir terdapat satu atau beberapa saluran tataniaga, yaitu serangkaian perantara tataniaga yang melaksanakan salah satu keputusan paling rumit dan menantang yang dihadapi produsen. Saluran yang dipilih sangat mempengaruhi semua keputusan tataniaga lain. Pola umum saluran tataniaga produk-produk pertanian di Indonesia tersaji pada Gambar 3.
52
Tengkulak
Pedagang Besar Perantara
Pabrik/ eksportir
Pengecer
Konsumen akhir domestik
Petani/ produsen Koperasi/ KUD
Gambar 3 Pola Umum Saluran Tataniaga Produk-produk Pertanian di Indonesia Sumber: Limbong dan Sitorus, 1987 Terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan seorang produsen untuk dapat memilih saluran penyaluran produknya.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi saluran tataniaga terdiri atas pertimbangan pasar, pertimbangan barang, pertimbangan dari segi perusahaan serta pertimbangan terhadap lembaga perantara. Dilaksanakannya pertimbangan-pertimbangan terhadap faktor-faktor tersebut mengakibatkan produk yang didistribusikan melalui saluran tataniaga dapat digunakan secara optimal. Saluran tataniaga memiliki keterkaitan yang erat dengan produksi, dimana setiap kegiatan tataniaga yang efektif dan efisien akan mendorong peningkatan produksi. Apabila mekanisme tataniaga berjalan dengan baik, maka biaya per unit suatu komoditas akan turun sehingga tingkat harga yang diterima oleh petani atau produsen lebih besar. Tingkat harga yang lebih besar akan mendorong petani untuk memperluas areal tanam dan akhirnya akan meningkatkan produksi secara keseluruhan.
Mekanisme tataniaga di negara sedang berkembang (Indonesia)
masih lemah. Hal ini ditandai oleh lemahnya tataniaga dan persaingan pasar.
53
Tataniaga dan kompetisi pasar akan menentukan mekanisme pasar yang akan berlangsung. Sistem tataniaga yang kompleks sering menimbulkan salah pemahaman antara produsen dengan pelaku tataniaga.
Petani sering menjadikan pelaku
tataniaga sebagai pihak yang sering mengeksploitasi keuntungan dan manfaat dari pihak lain atau petani, sedangkan pelaku tataniaga menganggap petani tidak mampu memenuhi standar mutu sebagaimana yang dikehendaki konsumen. Kegiatan dalam saluran tataniaga merupakan kegiatan yang semestinya produktif, sehingga pelaku tataniaga berhak untuk mendapat imbalan atas kegiatan tersebut. Proses penyampaian barang dari produsen ke konsumen memerlukan berbagai tindakan atau kegiatan. Kegiatan tersebut dinamakan sebagai fungsifungsi tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987). Pendekatan fungsi tataniaga yang dilakukan pelaku tataniaga mencakup: 1. Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dari barang atau jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran ini terdiri atas: fungsi pembelian dan fungsi penjualan. 2. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang berhubungan langsung dengan barang atau jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, waktu, dan bentuk. Fungsi ini dibagi menjadi fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan dan fungsi pengolahan. 3. Fungsi fasilitas adalah semua tindakan yang berhubungan dengan tindakan yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri atas: fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan resiko, fungsi standarisasi dan grading serta fungsi informasi pasar.
54
3.1.5 Efektivitas Penetapan HPP dan DPM LUEP Etzioni (1985), menyatakan bahwa efektivitas dan efisien cenderung berjalan sejajar, walaupun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Pengukuran terhadap efektivitas dan efisien dapat menimbulkan masalah yang cukup rumit karena pengukurannya melalui perspektif yang berbeda. Efektivitas dapat dilihat melalui keberhasilan tujuan yang dicapai. Pengukuran tehadap efektivitas akan mudah apabila mempunyai tujuan yang terbatas dan kongkrit. HPP merupakan suatu kebijakan pemerintah yang dilaksanakan dengan memanfaatkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Melalui kebijakan ini pemerintah melakukan pembelian (sebaiknya dilakukan pada saat panen raya) dengan jumlah yang telah ditentukan (sebesar kebutuhan JPS) pada tingkat harga pasar (Suryana dan Mardianto, 2001).
Efektivitas penetapan HPP dapat dilihat
dari harga yang diterima petani pada saat panen, sehingga apakah berpengaruh terhadap pendapatan petani atau tidak. DPM LUEP merupakan kegiatan yang dilakukan Departemen Pertanian dalam rangka stabilisasi harga gabah terutama pada saat panen raya. Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk pemberian dana talangan LUEP untuk meningkatkan kemampuannya dalam membeli gabah atau beras petani, dengan harga yang wajar dan mengacu pada HPP. 6 Efektivitas dari DPM LUEP yaitu dengan melihat apakah dana tersebut sudah diterima oleh lembaga umum ekonomi pedesaan pada daerah tersebut atau belum.
6
Departemen Pertanian. 2007. DPM LUEP http://www.deptan.go.id/HomePageBBKP/ pdp/luep/ profil LUEP. 29 Agustus.
55
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Kondisi petani padi khususnya pada saat ini memiliki ciri antara lain: lahan yang semakin sempit, modal yang terbatas dalam hal tenaga kerja terkadang merupakan satu-satunya faktor produksi yang digunakan, teknologi yang digunakan sangat sederhana, dan mutu produksi yang rendah. Kondisi petani demikian menimbulkan permasalahan seperti biaya produksi yang tinggi yang tidak diimbangi dengan harga jual panen yang tinggi. Pasar yang terbatas juga merupakan salah satu masalah yang dihadapi petani. Selain itu posisi tawar menawar yang rendah jika dibanding pedagang atau usaha-usaha diluar sektor pertanian, sehingga berdampak pada pendapatan petani masih rendah dan membuat petani menjadi pihak yang dirugikan. Pemerintah berusaha menolong petani dengan mengeluarkan kebijakan berupa penetapan HPP yang mempunyai tujuan apabila harga jatuh biasanya pada musim panen, maka menjadi harga dasar dalam pembelian hasil panen sehingga tetap menguntungkan petani yang dapat dibeli oleh Dolog dari mitra kerjanya. Penetapan HPP tersebut belum diketahui apakah mempunyai pengaruh positif terhadap pendapatan yang diperoleh petani atau tidak.
Pemerintah
berusaha menolong petani lewat DPM LUEP, yang dialokasikan khusus untuk membeli gabah atau beras pada panen raya dengan harga serendah-rendahnya sesuai HPP. Upaya yang dilaksanakan untuk melihat keefektifan dari penetapan HPP dan DPM LUEP maka dilakukan penelitian terhadap kegiatan tersebut. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh petani, seperti biaya produksi yang tinggi, harga jual pada saat panen yang rendah maka melakukan analisis mengenai pendapatan usahatani.
Selain itu juga dilakukan analisis
56
tataniaga untuk mengetahui alur tataniaga padi oleh petani setempat, mempunyai pengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh atau tidak. Menurut analisis tersebut maka disimpulkan apakah dengan penetapan HPP oleh pemerintah memberikan pengaruh terhadap pendapatan petani atau tidak.
Hasil yang
diperoleh dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian seperti petani padi, pemerintah, ataupun yang tidak terlibat langsung seperti masyarakat umum. Kerangka operasional untuk Efektivitas penetapan HPP gabah dapat tersaji pada Gambar 4.
57
Kondisi Petani : • Lahan yang semakin sempit • Modal terbatas • Teknologi rendah • Mutu produksi rendah
Pasar
Permasalahan: 1. Biaya produksi tinggi 2. Harga jual rendah 3. Pasar terbatas 4. Posisi tawar menawar yang rendah
Kebijakan Pemerintah DPM LUEP
HPP gabah
Analisis Pendapatan Usahatani
Menganalisis Saluran Tataniaga
Analisis Usahatani
Analisis Tataniaga Hasil: Efektif atau Tidak Penetapan HPP Tersebut
Rekomendasi
Gambar 4 Kerangka Pemikiran Operasional Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah
58
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Daerah yang dipilih sebagai tempat penelitian mengenai Efektivitas Penetapan HPP Gabah Terhadap Pendapatan Petani adalah Kabupaten Subang yang merupakan salah satu sentra padi di Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilaksanakan secara sengaja (purposive). Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada Bulan September - November 2007. Waktu tersebut digunakan untuk pengumpulan data dari petani maupun instansi-instansi lain yang terkait.
4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari petani secara langsung baik melalui
wawancara ataupun dengan menggunakan kuisioner.
Data primer yang
dikumpulkan yaitu: karakteristik petani yang secara umum akan memberikan gambaran karakteristik petani di daerah penelitian. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian Republik Indonesia (Deptan RI), Dinas Pertanian Kabupaten Subang, Penyuluh Pertanian dan berbagai sumber literatur yang mendukung, serta hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh suatu instansi atau lembaga yang berkaitan dengan penelitian ini dilaksanakan.
59
4.3 Metode Penarikan Contoh Metode penarikan contoh yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu pengambilan contoh dilaksanakan berdasarkan pertimbangan perorangan atau pertimbangan peneliti. Hal ini dilaksanakan karena tidak ada data yang pasti mengenai jumlah petani padi yang terdapat di Kabupaten Subang. Lahan sawah di Kabupaten Subang menurut jenis pengairan terdiri dari irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, irigasi non PU, dan tadah hujan. Luas sawah potensial untuk usahatani berdasarkan jenis irigasinya tersaji pada Tabel 6. Tabel 6 Luas Sawah Potensi untuk Usahatani Berdasarkan Jenis Irigasinya
1
Jenis Lahan (sawah) Irigasi Teknis
2
Irigasi ½ Teknis
10.085
10.085
3
Irigasi Sederhana
4.650
4.650
4
Irigasi Non PU
3.706
3.706
5
Tadah Hujan
8.693
8.693
Jumlah
84.167
84.167
No
Potensi (hektar)
Pemanfaatan (hektar)
57.033
57.033
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang, 2007
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa di Kabupaten Subang mayoritas lahan sawahnya menggunakan pengairan irigasi teknis yaitu sebanyak 57.033 hektar dari total penggunaan lahan sawah 84.167 hektar (BPS, 2006). Pengairan irigasi teknis diklasifikasi menjadi empat golongan berdasarkan perolehan air untuk tanam padi.
Setiap golongan memiliki perbedaan waktu
tanam selama 15 - 30 hari. Mulai dari Golongan I yang paling awal memperoleh air untuk penanaman lalu ke Golongan II, Golongan III, dan yang terakhir memperoleh air untuk tanam adalah petani padi di Golongan IV.
60
Berdasarkan keterangan tersebut maka jumlah contoh yang diambil pada penelitian ini adalah sebanyak 40 orang petani padi. Jumlah 40 orang petani tersebut diambil dari dua kecamatan berbeda yaitu: 20 responden dari Kecamatan Binong termasuk dalam Golongan I, dan 20 responden dari Kecamatan Pusakanagara termasuk Golongan IV. Penelitian dilaksanakan hanya pada petani Golongan I dan petani Golongan IV, karena kedua golongan memiliki perbedaan waktu tanam yang cukup lama yaitu ± dua bulan. Hal ini akan berakibat pada saat panen, Golongan I kemungkinan memiliki keunggulan seperti: 1) Harga jual yang tinggi pada saat panen karena melakukan kegiatan panen lebih awal dibanding petani Golongan IV, 2) Ketersediaan sarana produksi, dan 3) Permintaan terhadap hasil panen masih tinggi. Besarnya jumlah contoh yang diambil ini didasarkan kepada pendapat Walpole (1995), yang menyatakan bahwa apabila jumlah dan ragam dari populasi yang akan diteliti tidak diketahui dengan jelas, maka jumlah contoh yang dapat diambil adalah sebanyak ≥ 30 contoh. DPM LUEP diketahui dengan mencari informasi dari pemerintah setempat, dan melakukan wawancara dengan perusahaan penyosohan beras yang telah mendapatkan DPM LUEP sebagai responden.
4.4 Metode Analisis Data Data primer dan data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk melihat kegiatan produksi pada usahatani padi di lokasi penelitian. Beberapa hal lain yang terkait dengan penelitian ini diuraikan secara deskriptif dan menggunakan gambar untuk memperjelas uraian tersebut. Analisis kuantitatif
61
disajikan dalam bentuk tabulasi, analisis ini bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk tabel yang mudah dibaca. 4.4.1
Analisa Usahatani Dalam analisa usahatani unsur yang dilihat adalah pengeluaran dan
pendapatan usahatani petani padi.
Analisa pendapatan dalam penelitian ini
dibedakan menjadi dua, yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total.
Pendapatan atas biaya tunai adalah pendapatan yang didasarkan
kepada biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam bentuk uang, sedangkan pendapatan atas biaya total adalah pendapatan yang didasarkan atas semua biaya yang dikeluarkan, baik tunai maupun tidak tunai. Metode perhitungan pendapatan usahatani padi tersaji pada Tabel 7. Tabel 7 Metode Perhitungan Pendapatan Usahatani Padi A. Penerimaan Tunai B. Penerimaan yang diperhitungkan C. Total Penerimaan D. Pengeluaran Tunai
E. Pengeluaran Diperhitungkan
F. Total Pengeluaran G. Pendapatan atas Biaya Total H. Pendapatan atas Biaya Tunai J. Pendapatan Bersih Sumber: Hernanto, 1991
Harga x Hasil panen yang dijual (kg) Harga x Hasil panen yang dikonsumsi (kg) A+B a. Biaya Sarana Produksi - Pembelian Benih - Pembelian Pupuk - Pembelian Pestisida b. Upah Tenaga Kerja c. Sewa Alat Bajak d. Sewa Tanah e. Pajak a. Upah Tenaga Kerja Dalam Keluarga b. Nilai Penyusutan Alat c. Benih d. Sewa Lahan D+E C–F C–D H – Bunga
62
Perhitungan efisiensi usahataninya, dapat diketahui dari perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya pada masing-masing usahatani, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: R/C = Total Penerimaan Total Biaya 4.4.2
Analisis Tataniaga Analisis tataniaga dapat diketahui melalui analisis saluran tataniaga yang
dilakukan oleh petani padi di tempat penelitian.
Kegiatan tataniaga yang
dilakukan apakah sudah efisien atau belum, ataukah pendapatan petani yang rendah merupakan efek dari saluran tataniaga yang kurang tepat. 4.4.3
Metode Analisis Efektivitas Penetapan HPP Gabah Kegiatan yang dilaksanakan dalam menganalisa efektivitas penetapan HPP
gabah dengan menggunakan analisa deskriptif. Analisis tersebut memberikan gambaran tentang data yang dimiliki. Pendeskripsian data dapat menggunakan berbagai cara seperti menjelaskan keefektifan HPP setelah menganalisa harga jual gabah pada saat panen diatas HPP atau tidak, dan menghitung pendapatan petani, sehingga dapat ditarik kesimpulan efektif atau tidaknya kebijakan tersebut. Etzioni (1985), menyatakan bahwa pengukuran terhadap efektivitas dapat dilihat melalui keberhasilan tujuan yang dicapai. Pengukuran tehadap efektivitas akan mudah apabila mempunyai tujuan yang terbatas dan kongkrit.
Ukuran
efektivitas HPP menggunakan satu indikator yaitu harga jual pada saat panen diatas HPP atau tidak
63
4.4.4 Metode Analisis Efektivitas DPM LUEP Metode yang digunakan dalam menganalisa efektivitas DPM LUEP dengan menggunakan analisa deskriptif. Pendeskripsian data dapat menggunakan berbagai cara seperti menjelaskan keefektifan DPM LUEP bagi petani di lokasi penelitian. Ukuran efektivitas yang digunakan adalah sudah terdapat perusahaan penyosohan beras yang mendapatkan DPM LUEP atau belum pada lokasi penelitian.
64
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL USAHATANI RESPONDEN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Subang secara administratif dibagi menjadi 22 kecamatan yang terdiri dari 245 desa dan delapan kelurahan atau 253 desa atau kelurahan yang masing-masing mempunyai ciri-ciri khusus, jika dilihat dari sumber daya alam maupun sumber daya manusianya (Dinas Pertanian Kabupaten Subang, 2007). Penelitian dilaksanakan pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Binong yang termasuk dalam Golongan I dalam pembagian air irigasi, dan Kecamatan Pusakanagara termasuk dalam Golongan IV dalam pembagian air irigasi. Kecamatan Binong terletak disebelah utara dan berjarak ± 22 kilometer dari Ibukota Kabupaten Subang. Kecamatan Binong terbagi menjadi 18 Desa dengan luas wilayah seluruhnya 9.781,90 hektar. Daerahnya terdiri dari lahan sawah 8.466 hektar dan lahan darat 1.315,90 hektar. Kecamatan Binong berada pada ketinggian 16 - 20 meter diatas permukaan laut (mdpl), sedangkan topografi pada umumnya dataran. Batas administratif Kecamatan Binong disebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Compreng, disebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cikaum, disebelah Utara dengan Kecamatan Pamanukan dan disebelah Selatan dengan Kecamatan Pagaden. Kecamatan Pusakanagara terbagi dalam 14 Desa dengan luas wilayah seluruhnya 9.569 hektar, terdiri dari lahan sawah 6.600 hektar dan lahan darat 2.969 hektar. Kecamatan Pusakanagara berada pada ketinggian 0 - 20 mdpl. Topografi pada umumnya dataran. Batas administratif Kecamatan Pusakanagara
65
disebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu, disebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pamanukan, disebelah utara berbatasan langsung dengan pantai utara dan disebelah selatan dengan Kecamatan Compreng.
5.2 Penduduk dan Mata Pencaharian Jumlah penduduk Kecamatan Binong Tahun 2006 sebanyak 84.931 jiwa, terdiri dari laki-laki 41.538 jiwa dan perempuan 43.393 jiwa. Jumlah penduduk menurut umur di Kecamatan Binong Tahun 2006 tersaji pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Binong Tahun 2006 No 1 2 3 4
Umur (tahun) 0-14 15-29 30-59 >60 Jumlah
Jumlah (orang) 23.866 26.011 25.046 10.008 84.931
Persentase (%) 28,10 30,63 29,49 11,78 100
Sumber: Monografi Kecamatan Binong, 2007 (diolah)
Berdasarkan Tabel 8 komposisi penduduk menurut golongan umur adalah sebagai berikut usia 15 sampai 59 tahun adalah termasuk usia produktif, pada usia tersebut jumlahnya paling banyak yaitu mencapai 51.057 jiwa, sedangkan usia yang lebih dari 60 tahun jumlahnya paling sedikit yaitu 10.008 jiwa. Jumlah penduduk menurut umur di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2006 tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2006 No 1 2 3 4
Umur (tahun) 0-14 15-29 30-59 >60 Jumlah
Jumlah (orang) 23.824 23.319 22.595 8.459 78.197
Sumber: Monografi Kecamatan Pusakanagara, 2007 (diolah)
Persentase (%) 30,47 29,82 28,90 10,81 100
66
Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Kecamatan Pusakanagara Tahun 2006 sebanyak 78.197 jiwa. Terdiri dari laki-laki 38.387 jiwa dan perempuan 39.810 jiwa. Golongan usia yang paling banyak adalah yang termasuk usia produktif 15 - 59 tahun sebanyak 45.914 atau sebanyak (58,72 persen) dan yang paling sedikit adalah penduduk yang berusia lebih dari 60 yaitu sebanyak 8.459 atau sebanyak (10,81 persen).
Jumlah penduduk kedua
Kecamatan berbeda Kecamatan Binong memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak dibanding Kecamatan Pusakanagara.
Kedua Kecamatan memiliki
persamaan dalam jumlah penduduk yang paling banyak yaitu penduduk pada usia produktif dan penduduk dengan usia lebih dari 60 yang paling sedikit. Mata pencaharian penduduk dari dua kecamatan sebagian besar adalah bertani. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani berjumlah 27.066 jiwa untuk Kecamatan Binong dan 11.325 jiwa untuk Kecamatan Pusakanagara. Jumlah penduduk menurut pekerjaan Tahun 2006 tersaji pada Tabel 10. Tabel
10
Jumlah Penduduk Kecamatan Binong dan Pusakanagara Menurut Pekerjaan Tahun 2006
Uraian Petani Pedagang Peternak Perikanan Buruh Tani Pegawai Buruh Jasa Pengrajin Pelajar Lain-lain Jumlah
Jumlah (jiwa) Kecamatan Binong 27.066 1.965 1.287 128 13.438 544 1.105 1.113 2.648 1.763 51.057
Kecamatan
Jumlah(jiwa) Kecamatan Pusakanagara 15.325 1.937 5.255 785 5.834 767 3.323 1.892 3.784 7.012 45.914
Sumber: Unit Penyuluhan dan Pelatihan Pertanian Kecamatan Binong dan Pusakanagara, 2007 (diolah)
67
5.3 Karakteristik Responden Karakteristik umum responden yang diuraikan meliputi: umur petani, tingkat pendidikan, luas kepemilikan lahan, dan status usahatani.
Adapun
karakteristik yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut: 5.3.1
Umur Petani Berdasarkan hasil wawancara pada 40 petani, 20 petani yang terdapat di
Kecamatan Binong dan 20 petani terdapat di Kecamatan Pusakanagara, diperoleh data yang menunjukkan bahwa sebaran umur responden di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara dimulai dari umur 31 - 72 tahun. Berdasarkan sebaran tersebut diketahui bahwa jumlah petani paling banyak terdapat pada golongan umur 46-50 tahun yaitu sebanyak 22,50 persen. Jumlah dan persentase petani responden menurut golongan umur di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 tersaji pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah dan Persentase petani Responden menurut Golongan Umur di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 Golongan Umur (Tahun) 30-35 36-40 41-45 46-50 51-55 56-60 61-65 66-70 71-75 Jumlah
Jumlah (Jiwa) 3 6 7 9 5 5 3 1 1 40
Persentase (%) 7,50 15,00 17,50 22,50 12,50 12,50 7,50 2,50 2,50 100
Tabel 11 memperlihatkan bahwa usahatani padi dikembangkan oleh sebagian besar petani tanpa memandang usia. Artinya petani yang mengusahakan padi di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara adalah petani yang
68
berusia 30 - 35 tahun sampai petani yang berusia 71 - 75 tahun. Usahatani padi biasanya dikembangkan oleh petani yang merupakan usaha turun-temurun dari orang tuanya karena sudah semenjak kecil petani tersebut dikenalkan dengan teknik bertani. 5.3.2
Tingkat Pendidikan Latar belakang pendidikan yang ditempuh akan mempengaruhi bagaimana
cara petani berpikir dan bertindak. Tingkat pendidikan yang diukur disini adalah tingkat pendidikan formal dan non formal.
Hasil wawancara dengan petani
responden menunjukan bahwa tingkat pendidikan sebagian besar petani padi sudah mengikuti pendidikan formal, tetapi pada umumnya masih rendah hanya sebatas tamat Sekolah Dasar (SD) atau sederajat yaitu sebanyak 14 jiwa (35,00 persen). Petani responden yang lainnya sembilan jiwa (22,50 persen) tidak tamat SD, tujuh jiwa (17,50 persen) adalah tamat SLTP atau sederajat, sembilan jiwa (22,50 persen) tamat SLTA atau sederajat dan terdapat satu jiwa (2,50 persen) yang tamat Perguruan Tinggi atau Sarjana. Sebaran jumlah petani responden menurut tingkat pendidikan Tahun 2007 tersaji pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran Jumlah Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2007 Tingkat Pendidikan Tidak Tamat SD Tamat SD / Sederajat Tamat SLTP / Sederajat Tamat SLTA / Sederajat Tamat Sarjana Jumlah
Jumlah (Jiwa) 9 14 7 9 1 40
Persentase (%) 22,50 35,00 17,50 22,50 2,50 100
Penggolongan responden berdasarkan tingkat pendidikan ini dilaksanakan untuk melihat sejauh mana hubungan antara tingkat pendidikan dengan usahatani
69
padi yang diusahakan. Berdasarkan hasil yang diperoleh terlihat bahwa petani yang terjun atau menekuni usahatani padi tidak harus mempunyai pendidikan yang tinggi. Petani mengelola usahatani padi didasarkan pada kegiatan usaha yang turun-temurun dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendidikan non formal untuk memperoleh pengetahuan usahatani padi ataupun yang lainnya dilakukan oleh petani, yaitu dengan mengikuti kegiatan pelatihan ataupun berdiskusi yang dilakukan oleh instansi Pemerintah Daerah terkait. 5.3.3
Pengalaman Usahatani Selain umur dan tingkat pendidikan responden, pengalaman usahatani juga
mempunyai peranan yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan usahatani padi ini.
Pada umumnya semakin lama pengalaman usahatani yang dimiliki
petani, maka kemampuan mengelola usahataninya akan semakin baik. Pengalaman rata-rata petani responden adalah mencapai 24,33 tahun. Jika dilihat dari rata-rata pengalaman usahatani tersebut, dapat diketahui bahwa petani responden telah mempunyai pengalaman yang cukup dalam berusahatani. Jumlah responden menurut pengalaman usahatani Tahun 2007 tersaji pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah Responden Menurut Pengalaman Usahatani Tahun 2007 Pengalaman Responden (tahun) Di Bawah Rata-rata (≤24,33) Di Atas Rata-rata (≥24,33) Jumlah
Jumlah Responden (Orang) 19 21 40
Persentase (%) 47,50 52,50 100
Sebagian besar petani responden memiliki pengalaman diatas rata-rata. Sebanyak 21 orang responden (52,50 persen) memiliki pengalaman usahatani lebih dari 24,33 tahun, Sedangkan 19 orang petani responden (47,50 persen) memiliki pengalaman kurang dari 24,33 tahun. Data tersebut menunjukan bahwa
70
secara keseluruhan sebagian besar petani sudah mempunyai pengalaman yang cukup dalam usahatani padi. Pengalaman usahatani yang sudah relatif lama ini sebagian besar diakibatkan karena petani responden sudah terjun dalam berusahatani sejak umurnya masih relatif muda. Matapencaharian sebagai petani sebagian besar dilaksanakan oleh responden yang awalnya membantu orang tua mereka bekerja sebagai seorang petani.
Usahatani yang dilaksanakan oleh petani responden
merupakan usahatani atau pekerjaan yang dilaksanakan secara turun-temurun. 5.3.4
Status Kepemilikan Lahan Jumlah dan persentase petani responden berdasarkan status kepemilikan
lahan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 tersaji pada Tabel 14. Tabel 14 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 Status Kepemilikan Lahan Milik Sendiri Sakap Sewa Jumlah
Usahatani Padi Jumlah (Orang) Persentase (%) 40 100 0 0 0 0 40 100
Tabel 14 menjelaskan seluruh petani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara tidak ada yang menggarap lahan orang lain. Hal ini dapat diartikan bahwa seluruh petani yang mengembangkan usahatani padi memiliki lahan sendiri, sehingga petani memiliki kemudahan dalam memutuskan waktu melakukan penanaman tanpa harus mendiskusikannya dulu dengan orang lain.
71
5.3.5
Luas Lahan Garapan Luas lahan yang dimiliki petani cukup beragam. Jumlah dan Persentase
petani responden berdasarkan luas lahan di Kecamatan Binong Tahun 2007 tersaji pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan di Kecamatan Binong Tahun 2007 Luas Lahan Garapan (ha) >5 1-5 <1 Jumlah
Usahatani Padi Jumlah (Orang) Persen (%) 1 5 14 75 5 25 20 100
Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa sebagian besar petani memiliki luas lahan garapan berkisar antara 1 - 5 hektar yaitu sebanyak 14 responden (75 persen). Petani yang lainnya memiliki luas lahan garapan dengan kisaran kurang dari satu hektar dan lebih dari lima hektar. Jumlah dan Persentase petani responden berdasarkan luas lahan di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 tersaji pada Tabel 16. Tabel 16 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 Luas Lahan Garapan (ha) >5 1-5 <1 Jumlah
Usahatani Padi Jumlah (Orang) Persen (%) 4 20 11 55 5 25 20 100
Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa sebagian besar petani Kecamatan Pusakanagara juga memiliki luas lahan garapan berkisar antara 1 - 5 hektar yaitu sebanyak 11 responden (55 persen). Petani yang lainnya memiliki
72
luas lahan garapan dengan kisaran kurang dari satu hektar dan lebih dari lima hektar. 5.3.6
Status Usahatani Berdasarkan status usahataninya, pada Tabel 17 dapat diketahui bahwa
sebagian besar responden mengusahakan usahatani padi sebagai usaha pokok. Tingginya persentase jumlah petani yang mengusahakan padi sebagai usaha pokok karena sebagian besar petani tersebut tidak memiliki kegiatan lain selain berusahatani. Meskipun memiliki usaha sampingan tetapi pendapatan usahanya masih dibawah tingkat pendapatan usahatani padi. Petani yang mengusahakan usahatani sebagai usaha sampingan adalah petani yang memiliki kegiatan lain yaitu sebagai penjahit, karyawan dan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jumlah dan persentase petani responden berdasarkan status usahatani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Status Usahatani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 Status Usahatani Pokok Sampingan Jumlah
Usahatani Padi Jumlah (Orang) Persentase (%) 37 92,50 3 7,50 40 100
Persentase jumlah petani yang mengusahakan padi sebagai usahatani pokok adalah 92,50 persen atau sebanyak 37 dari 40 responden, sedangkan persentase jumlah petani yang mengusahakan usahatani padi sebagai sampingan ada sebanyak 7,50 persen atau tiga dari 40 responden.
73
VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI
6.1 Penggunaan Input 6.1.1 Benih Pada pelaksanaan usahatani padi, benih yang digunakan oleh petani di Kecamatan Binong yang termasuk Golongan (I) satu dan di Kecamatan Pusakanagara termasuk Golongan (IV) empat dalam memperoleh air pada kegiatan penanamannya sebagian besar adalah padi varietas ciherang. Adapun alasan petani menggunakan varietas tersebut karena varietas ini memiliki keunggulan tahan terhadap serangan hama penyakit. Selain itu umur panen relatif pendek dan benihnya mudah diperoleh dengan harga relatif terjangkau, selain itu juga ada petani yang menggunakan benih varietas ketan dan IR-42. Benih yang digunakan untuk usahatani padi sebanyak 15 - 30 kilogram per hektar, relatif sama dengan benih yang dianjurkan oleh pemerintah yaitu sebanyak 25 kilogram per hektar. Hal ini terjadi karena petani dalam penanamannya sudah menggunakan jarak tanam seperti disarankan oleh penyuluh pertanian daerah tersebut. 6.1.2
Pupuk Petani padi Golongan I dan Golongan IV umumnya membudidayakan
tanaman padi dengan menggunakan pupuk kimia (Urea, TSP, NPK). Pupuk yang digunakan oleh petani rata-rata untuk per hektarnya adalah 503,94 kilogram untuk total penggunaan pupuk Urea, TSP dan KCL. Apabila dibandingkan dengan dosis yang dianjurkan oleh pemerintah, yaitu 200 kilogram, 100 kilorgram TSP, dan
74
100 kilogram NPK (total = 400 kilogram per hektar) maka jumlah pupuk yang digunakan oleh petani masih lebih besar dari dosis yang dianjurkan pemerintah. Kegiatan pemupukan yang dilakukan petani Kecamatan Binong lebih sedikit dibandingkan petani Kecamatan Pusakanagara. Hal ini disebabkan karena setiap petani memiliki takaran masing-masing yang biasa dilakukan dalam kegiatan usahataninya. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata penggunaan pupuk yang digunakan oleh petani Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 tersaji pada Tabel 18. Tabel 18 Rata-rata Penggunaan Pupuk yang Digunakan Oleh Petani Kecamatan Binong (Golongan I) dan Petani Kecamatan Pusakanagara (Golongan IV) Tahun 2007 (Kilogram) Jenis Pupuk Urea TSP NPK
Golongan I 225 136,67 121,54
Golongan IV 290,50 142,50 91,67
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa jumlah pupuk yang digunakan oleh petani Golongan IV lebih banyak dibandingkan petani Golongan I. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan pupuk Urea oleh petani Golongan I adalah 225 kilogram per hektar sedangkan petani Golongan IV 290,50 kilogram per hektar. Hal ini menyebabkan biaya pengeluaran untuk membeli pupuk oleh petani Golongan IV lebih besar yaitu Rp 1.561.000 sedangkan petani Golongan I yaitu rata-rata Rp 1.559.150 per hektar. Harga pupuk per kilogramnya adalah sama dengan Rp 1.250 untuk Urea, Rp 1.800 untuk TSP, dan Rp 2.000 untuk NPK, dalam mendapatkan pupuk ini petani dapat memperolehnya di toko-toko pertanian yang terdapat di sekitar daerah penanaman atau pemukiman.
75
6.1.3
Pestisida Usahatani padi juga tidak terlepas dari pengganggu seperti hama dan
penyakit.
Pengendali hama dan penyakit padi oleh petani biasanya dengan
menggunakan pestisida. Pestisida yang digunakan adalah pestisida dalam bentuk semprot, untuk mengantisipasi serangan hama dan penyakit tersebut petani menyemprotkan pestisida yang biasa digunakan dalam kegiatan uasahataninya. Selain itu juga menggunakan bahan bakar jenis solar yang digunakan sebagai obat hama wereng. Jenis pestisida yang digunakan oleh petani padi Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara ada yang menggunakan merek dagang yang sama dan ada pula yang berbeda, hal tersebut disebabkan banyaknya jenis merek dagang yang beredar di pasar, sehingga dalam penggunaan obat tergantung kepercayaan petani terhadap merek dagang tertentu. Kegiatan Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh petani Golngan I lebih sedikit dibandingkan petani Golongan IV. Hal ini dapat dilihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membeli obat pestisida Golongan I adalah Rp 2.234.200, sedangkan petani Golongan IV adalah Rp 2.604.800 karena petani Kecamatan Pusakanagara lebih teliti dalam mengantisipasi serangan hama dan penyakit.
6.2 Penggunaan Tenaga Kerja 6.2.1
Pengolahan Lahan Proses pengolahan lahan yang dilakukan pada usahatani padi di
Kecamatan Binong dan Pusakanagara adalah dengan menggunakan alat bajak berupa traktor.
Traktor tersebut disewa beserta tenaga kerja yang mengope-
rasikannya. Harga sewa traktor untuk petani Golongan I dan petani Golongan IV
76
memiliki perbedaan, harga sewa di Golongan IV lebih murah yaitu Rp 420.000 per hektar sedangkan di Golongan I mulai dari Rp 500.000 per hektar sampai dengan Rp 700.000 per hektar. Hal ini disebabkan petani Golongan IV sudah banyak yang memiliki traktor sendiri, sehingga harga sewa traktor lebih murah dibanding petani Golongan I. Lahan yang akan digunakan untuk penanaman padi dibajak menggunakan traktor. Setelah dibajak kemudian lahan tersebut dilakukan perlakuan lain yaitu kegiatan mopok dan nampingan menggunakan tenaga kerja dari anggota dan luar anggota keluarga, dengan upah rata-rata Rp 30.625 per hari per tenaga kerja. Pada kegiatan pengolahan ini, jumlah tenaga kerja luar keluarga yang digunakan (10 HOK per hektar), dan tenaga kerja dalam keluarga (4 HOK per hektar). Adapun proses penghitungan jam kerjanya petani menggunakan satuan HOK (Hari Orang Kerja) dengan jumlah jam kerja per harinya adalah 07.00 – 13.00 WIB. 6.2.2
Penanaman Tenaga kerja yang digunakan pada kegiatan penanaman di kedua lokasi
penelitian adalah wanita. Alasan menggunakan tenaga kerja wanita pada kegiatan ini adalah karena pekerjaan wanita lebih rapi dan hati-hati dibanding pria. Upah yang dibayarkan sudah menjadi kebiasaan dengan sistem borongan dengan upah per hektarnya mulai dari Rp 420.000 – Rp 500.000, tenaga kerja ini berasal dari luar anggota keluarga. 6.2.3
Penyiangan Kegiatan penyiangan ini biasanya dilaksanakan dalam satu musim
sebanyak dua kali. Penyiangan pertama dilaksanakan ketika tanaman berusia 15 -
77
20 hari setelah tanam. Kegiatan yang dilakukan adalah pencabutan gulma dan tanaman lain yang mengganggu pertumbuhan padi. Jumlah tenaga kerja yang digunakan rata-rata adalah 5 HOK per hektar. 6.2.4
Pemupukan Kegiatan pemupukan menggunakan tenaga kerja yang bersumber dari
dalam keluarga maupun dari luar keluarga dengan upah rata-rata sama yaitu Rp 30.625 per hari per tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang digunakan pada kegiatan pemupukan ini adalah sebesar 5 HOK per hektar. 6.2.5
Pengendalian Hama dan Penyakit Kegiatan pengendalian hama dan penyakit ini rutin dilaksanakan setiap
minggu. Tenaga kerja yang digunakan berasal dari anggota keluarga maupun dari luar anggota keluarga. Jumlah tenaga kerja luar anggota keluarga yang digunakan sebanyak 6 HOK per hektar dan tenaga kerja dalam anggota keluarga yang digunakan adalah 8 HOK per hektar. Hal ini disebabkan seringnya dilakukan penyemprotan dalam kegiatan pengendalian hama dan penyakit. 6.2.6
Panen Kegiatan panen biasanya menggunakan tenaga kerja luar anggota
keluarga. Sistem upahnya menggunakan sistem bawon (sistem borongan) dan sistem pengupahan langsung. Sistem pengupahan dengan cara bawon adalah sistem pengupahan dengan menggunakan gabah sebagai alat pembayaran, yang perbandingannya bisa berbeda setiap daerah (tergantung kesepakatan dan faktor kebiasaan), mulai daari 1:6, 1:7 dan 1:8 artinya bahwa setiap enam kilogram gabah yang dihasilkan maka pemanen akan mendapatkan satu kilogram gabah. Sistem pengupahan langsung yaitu langsung dibayar tunai dengan upah yang
78
diberikan Rp 25.000 per 100 kilogram dari hasil panen yang diperoleh, tetapi sistem pembayaran ini jarang digunakan yang biasa digunakan adalah sistem bawon.
6.3 Analisis Cabang Pendapatan Usahatani Padi Petani pemilik adalah petani yang dalam usahataninya menggunakan lahan milik sendiri sebagai media pertanamannya. Analisa yang dilaksanakan pada usahatani ini hanya dilakukan pada petani pemilik lahan. Hal ini terjadi karena dari 40 responden yang terbagi pada dua kecamatan yang diambil datanya semuanya adalah petani pemilik.
Penelitian ini melakukan analisis terhadap
usahatani yang dilaksanakan pada satu luasan lahan yaitu satu hektar, adapun yang membedakan adalah golongan air yang diperoleh pada saat pertanaman dilakukan. Golongan air yang terbagi kedalam empat golongan, mempunyai perbedaan waktu awal tanam 15 sampai 30 hari tiap golongannya, oleh karena itu peneliti melakukan analisis usahatani padi yang termasuk Golongan I (satu) di Kecamatan Binong dan Golongan IV (empat) di Kecamatan Pusakanagara, untuk melihat apakah ada perbedaan dalam harga jual yang berpengaruh terhadap pendapatan usahatani atau tidak.
Kecamatan Binong dan Kecamatan
Pusakanagara merupakan sentra padi di Kabupaten Subang, bahkan Kecamatan Pusakanagara merupakan daerah yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena hasil produksinya selalu bagus atau tinggi. Analisis yang dilakukan mengacu kepada konsep pendapatan atas biaya yang dikeluarkan, yaitu biaya tunai dan biaya total. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan dalam bentuk tunai, seperti biaya sarana produksi padi, tenaga kerja
79
luar anggota keluarga dan pajak. Biaya total adalah biaya tunai yang dikeluarkan ditambah dengan biaya yang diperhitungkan. Biaya diperhitungkan adalah biaya yang pengeluarannya tidak dalam bentuk tunai, contohnya adalah penggunaan benih dari pertanaman sebelumnya, penyusutan alat, dan penggunaan tenaga kerja dari dalam keluarga. 6.3.1
Analisis Penerimaan Cabang Usahatani Padi Hasil panen yang dijual oleh petani baik di Golongan I dan Golongan IV
adalah dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP).
Hasil yang diperoleh
berdasarkan informasi dari petani dapat diketahui bahwa, petani padi Golongan I pada musim pertama adalah rata-rata sama dengan 5.135 kilogram per hektar dan musim tanam kedua adalah 4.843 kilogram per hektar. Rata-rata harga jual GKP yang diterima oleh petani pada musim pertama Rp 2.430 per kilogram dan musim kedua adalah Rp 2.516 per kilogram. Apabila hasil panen tersebut dikalikan dengan harga jualnya maka akan diperoleh penerimaan usahataninya. Jumlah hasil panen yang diperoleh petani Golongan IV pada musim tanam pertama adalah 5.062 kilogram per hektar dan musim tanam kedua adalah 5.711 kilogram per hektar. Harga jual hasil panen Golongan IV pada musim pertama yaitu Rp 2.379 per kilogram dan Rp 2.471 per kilogram pada saat musim tanam kedua, jika dikalikan dengan jumlah hasil panen maka penerimaan yang diperoleh petani Golongan IV lebih besar. Hal tersebut disebabkan karena hasil panen yang diperoleh petani Golongan IV lebih banyak. Rata-rata hasil panen per hektar serta harga jual padi di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 tersaji pada Tabel 19.
80
Tabel 19 Rata-rata Hasil Panen Per Hektar Serta Harga Jual Padi di Kecamatan Binong (Golongan I) dan Kecamatan Pusakanagara (Golongan IV) Tahun 2007 Keterangan Golongan I MT I MT II Golongan IV MT I MT II
Hasil Panen (kilogram per hektar per GKP) 5.135 4.843 5.062 5.711
Harga Jual (Rupiah per kilogram per GKP) 2.430 2.516 2.379 2.471
Berdasarkan hasil perkalian antara harga jual dengan jumlah hasil panennya, maka diketahui penerimaan total usahatani yang diperoleh petani selama satu tahun. Penerimaan tersebut diperoleh petani berdasarkan hasil tanam padi yang dilakukan dua kali musim tanam selama satu tahun.
Petani padi
Golongan I penerimaan total usahataninya adalah Rp 24.725.870 per hektar. Nilai hasil panen petani Golongan IV adalah Rp 24.859.375 per hektar. Nilai penerimaan usahatani petani Golongan I apabila dibandingkan dengan petani Golongan IV dalam satuan hektar ternyata nilainya lebih rendah. Rendahnya hasil panen yang diperoleh petani Golongan I karena jumlah hasil panen yang diperoleh petani lebih rendah dibanding petani Golongan IV. Harga yang diterima oleh petani Golongan I relatif lebih baik dibanding petani Golongan IV, karena panen biasanya dilakukan sebelum panen raya tiba.
Tetapi karena jumlah hasil
panennya sedikit, sehingga meskipun rata-rata harga jualnya tinggi tidak berdampak pada besarnya nilai penerimaan yang diterima Golongan I. 6.3.2
Analisis Biaya Cabang Usahatani Padi Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa biaya tunai yang dikeluarkan
oleh petani padi Golongan I dan Golongan IV lebih besar jika dibandingkan dengan pengeluaran yang diperhitungkannya.
Adapun biaya tunai yang
dikeluarkan oleh petani Golongan I adalah Rp 11.370.709 per hektar dan
81
Rp 1.074.909 per hektar untuk biaya diperhitungkan, sedangkan petani Golongan IV adalah Rp 11.497.062 per hektar untuk biaya tunai dan Rp 1.384.938 per hektar untuk biaya diperhitungkan. Tabel 20 Rata-rata Biaya Usahatani Padi Golongan I dan Kecamatan Binong dan Golongan IV (Luas Lahan Satu Hektar) Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 Komponen A.Biaya Tunai 1. Sarana Produksi - Benih - Pupuk - Pestisida 2. Sewa Traktor 3. Tenaga Kerja 4. Pajak Total Biaya Tunai B. Biaya diperhitungkan 1. Benih 2. Penyusutan Alat 3. TKDK Total Biaya Diperhitungkan C. Jumlah Total Biaya (A+B)
Golongan I (Rupiah per hektar)
Golongan IV (Rupiah per hektar)
255.625 1.559.150 2.234.200 1.191.111 5.672.703 457.920 11.370.709
211.929 1.561.000 2.604.800 750.000 5.841.234 528.100 11.497.063
200.000 210.464 664.444 1.074.909 12.445.618
210.333 550.138 624.467 1.384.938 12.882.001
Besarnya biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani Golongan I dan Golongan IV disebabkan karena petani banyak menggunakan sumberdaya yang berasal dari luar anggota keluarga. Sumberdaya tersebut meliputi tenaga kerja, pupuk, benih, pestisida dan pajak. Tenaga kerja luar keluarga juga digunakan oleh petani dalam melakukan kegiatan seperti pengolahan lahan, penanaman, penyiangan, pemupukan, penyemprotan, dan panen. Besarnya tenaga kerja luar anggota keluarga yang digunakan disebabkan oleh, sumber tenaga kerja dari dalam anggota keluarga tidak mencukupi. Selain itu, ada diantara anggota keluarga yang lebih memilih bekerja diluar usahatani. Akibatnya petani harus mengeluarkan biaya tunai yang besar untuk membiayai
82
tenaga kerja dari luar anggota keluarga ini.
Selain tenaga kerja, yang
menyebabkan besarnya biaya tunai adalah biaya untuk membeli benih, pupuk, pestisida, dan pajak. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli benih oleh petani Golongan I adalah Rp 255.625 per hektar, dan Golongan IV adalah Rp 211.929 per hektar. Besarnya biaya tunai yang dikeluarkan untuk membeli benih disebabkan diantara petani hanya sedikit yang menggunakan benih dari pertanaman sebelumnya. Penyebab yang ditimbulkan jika petani menggunakan benih dari pertanaman sebelumnya, biasanya produksi padi mengalami penurunan. Petani lebih memilih membeli benih dari toko pertanian terdekat yang sudah teruji bagus atau membeli dari petani yang menjual khusus benih padi yang bagus. Pupuk yang digunakan oleh petani adalah Urea, TSP, dan NPK. Berdasarkan hasil penelitian jarang sekali ditemui petani yang tidak menggunakan pupuk kimia. Hal ini menyebabkan biaya tunai yang harus dikeluarkan oleh petani cukup tinggi yaitu sebesar Rp 1.559.150 per hektar untuk petani Golongan I dan Rp 1.561.000 per hektar untuk Golongan IV. Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa ternyata Pupuk Urea yang digunakan oleh petani lebih besar bila dibandingkan dengan pupuk yang lainnya. Pupuk Urea yang digunakan untuk luasan satu hektar rata-rata adalah 225 kilogram untuk petani Golongan I dan 290,50 kilogram untuk petani Golongan IV, sedangkan pupuk TSP 136,67 kilogram petani Golongan I dan 142,50 kilogram untuk petani Golongan IV. Hal ini terjadi karena pupuk Urea lebih diperlukan untuk pertumbuhan tanaman padi sejak dipindahkannya dari lahan
83
semai sampai akan menghasilkan buah. Hal ini menyebabkan biaya penggunaannya menjadi lebih besar. Penggunaan pupuk yang dilakukan oleh petani, jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian tentang penggunaan pupuk dalam usahatani padi, ternyata jumlah pupuk yang digunakan melebihi standar yang ditetapkan, terbukti bahwa hasil panen yang diterima di Kecamatan Pusakanagara lebih besar dibandingkan petani Kecamatan Binong. Hal ini terjadi karena petani menganggap bahwa semakin banyak pupuk yang digunakan maka jumlah produk yang akan dihasilkan menjadi lebih tinggi. Biaya untuk pestisida juga merupakan salah satu penyebab besarnya biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani. Pada penelitian ini biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk biaya pestisida adalah Rp 2.234.200 per hektar untuk petani Golongan I dan Rp 2.604.800 per hektar untuk petani Golongan IV. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk pestisida ini dikarenakan petani terlalu protektif terhadap tanamannya, sehingga terkadang dalam kondisi tidak terserang hama sekalipun petani tetap melakukan penyemprotan sebagai antisipasi terhadap serangan hama. Sewa traktor antara petani Golongan I dan petani Golongan IV memiliki perbedaan yang nyata. Hal ini disebabkan karena petani Golongan IV sudah banyak yang memiliki traktor sendiri, sehingga harga sewa traktor lebih murah dibanding petani Golongan I yang menyewa traktor untuk dua kali musim tanam rata-rata adalah Rp 1.191.111 per hektar sedangkan petani Golongan IV rata-rata adalah Rp 750.000 per hektar.
84
Kondisi penggunaan biaya sama antara petani Golongan I dan petani Golongan IV, yaitu lebih besar penggunaan biaya tunai dibandingkan dengan biaya diperhitungkannya. Biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani Golongan I adalah Rp 11.370.709 per hektar, sedangkan biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani Golongan IV adalah Rp 11.497.063 per hektar. Perbedaan besarnya biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani karena jumlah sumberdaya yang dimiliki dan cara petani melakukan kegiatan usahataninya tidak sama. Melihat nilai biaya yang diperhitungkannya, petani Golongan I adalah sama dengan Rp 1.074.909 per hektar. Jika dibandingkan maka jumlahnya lebih kecil daripada petani Golongan IV yaitu Rp 1.384.938 per hektar. Penyebabnya adalah terkadang petani tidak pernah memperhitungkan penggunaan biaya untuk tenaga kerja dalam keluarga dan biaya untuk komponen benih, penyusutan alat, ataupun hal lainnya seperti sewa lahan. 6.3.3 Analisis Pendapatan Cabang Usahatani Padi Usahatani akan dikatakan menguntungkan jika selisih antara penerimaan dan pengeluarannya bernilai positif. Selisih tersebut akan dinamakan pendapatan atas biaya tunai jika penerimaan totalnya dikurangkan dengan pengeluaran tunai. Apabila penerimaan totalnya dikurangkan dengan pengeluaran totalnya maka selisih tersebut dinamakan pendapatan atas biaya total. Rata-rata pendapatan dan R/C rasio usahatani padi pada petani Kecamatan Binong (Golongan I) dan petani Kecamatan Pusakanagara (Golongan IV) luasan satu hektar Tahun 2007 tersaji pada Tabel 21.
85
Tabel 21 Rata-rata Pendapatan dan R/C Rasio Usahatani Padi pada Petani Kecamatan Binong (Golongan I) dan Kecamatan Pusakanagara (Golongan IV) Luasan Satu Hektar Tahun 2007 Komponen Jumlah Total Penerimaan Total Biaya Tunai Total Biaya Diperhitungkan Jumlah Total Biaya (B+C) Pendapatan Atas Biaya Tunai Pendapatan Atas Biaya Total R/C Ratio Atas Biaya Tunai R/C Ratio Atas Biaya Total
Golongan 1 (rupiah per hektar) 24.725.870 11.370.709 1.074.909 12.445.618 13.355.161 12.280.252 2,17 1,99
Golongan IV (rupiah per hektar) 24.859.375 11.497.063 1.384.938 12.882.001 13.362.313 11.977.375 2,16 1,93
Berdasarkan Tabel 21 pendapatan atas biaya tunai Golongan I adalah Rp 13.355.161 per hektar, sedangkan Golongan IV Rp 13.362.313 per hektar. Besarnya pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh Golongan IV karena petani Golongan IV mendapatkan jumlah hasil panen yang lebih besar dibandingkan jumlah hasil panen yang diperoleh petani Golongan I. Tetapi jika berdasarkan penerimaan atas biaya total, petani Golongan I mendapatkan nilai R/C lebih besar yaitu 1,99 sedangkan petani responden Golongan IV nilai R/C nya 1,93 karena biaya diperhitungkan petani Golongan IV lebih besar sehingga berpengaruh terhadap perolehan nilai. Jumlah hasil panen yang besar karena petani Golongan IV lebih banyak dalam penggunaan pupuk, lebih telaten dalam mengantisipasi serangan hama dan banyak petani yang berhasil (kaya) sehingga tidak kesulitan dalam modal kegiatan usahataninya.
Selain itu pengalaman usahatani yang cukup lama juga
berpengaruh terhadap kegiatan usahatani yang dilaksanakan. Kegiatan usahatani padi Kecamatan Pusakanagara (Golongan IV) sudah sangat baik ditandai dengan adanya perhatian pemerintah yang lebih, seperti adanya kunjungan Presiden
86
Republik Indonesia ke kecamatan tersebut untuk menanam varietas baru sebagai percontohan petani daerah lainnya. Apabila dilihat dari perbandingan antara penerimaan dan biaya (R/C rasio) atas biaya tunai dan biaya totalnya seperti yang tertera pada Tabel 20, maka dapat dinyatakan bahwa usahatanai yang dikembangkan oleh petani Golongan I dan IV pada dasarnya layak untuk diusahakan, karena memiliki nilai R/C rasio yang lebih besar dari satu. Hal ini berarti usahatani yang dilakukan masih dapat memberikan keuntungan. Melihat perbandingan jumlah R/C rasio yang diperoleh, petani Golongan I nilainya lebih tinggi jika dibandingkan petani Golongan IV. Adapun nilai R/C rasio yang diperoleh Golongan I adalah 2,17 untuk R/C rasio atas biaya tunai dan 1,99 untuk R/C rasio atas biaya total. Angka yang dihasilkan tersebut memiliki arti bahwa dari setiap rupiahnya biaya tunai dan total yang dikeluarkan oleh petani padi maka akan memberikan penerimaan sebesar Rp 2,17 untuk R/C rasio atas biaya tunai dan Rp 1,99 untuk rasio atas biaya total.
6.4 Analisis Tataniaga Usahatani yang dikembangkan oleh petani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara dapat dikatakan berhasil jika produksi yang dihasilkan oleh petani dapat diterima oleh pasar. Pasar merupakan lembaga perantara yang memiliki keterkaitan dengan berbagai pihak, baik perorangan maupun kelembagaan.
Berdasarkan hal tersebut maka analisis yang dilakukan pada
penelitian ini adalah analisis tataniaga beras dengan melihat lembaga, fungsi, dan alur tataniaganya.
87
6.4.1
Analisis Saluran Tataniaga Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung
dan terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Adapun lembaga tataniaga yang terlibat dalam penyaluran hasil panen petani dan fungsi yang dilakukannya adalah sebagai berikut: 1. Petani Petani adalah produsen padi yang dalam kegiatan saluran tataniaga melakukan fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh petani adalah fungsi penjualan dan fungsi fisik yang dilakukan oleh petani adalah pembersihan, pengeringan, sortasi, penyimpanan, pengemasan, dan pengangkutan. 2. Pedagang Pengumpul Pedagang pengumpul adalah lembaga perantara yang langsung melakukan pembelian dalam skala wilayah kelurahan dan kecamatan. Pendekatan fungsi Saluran tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan adalah fungsi penjualan dan pembelian, sedangkan fungsi fisik yang dilakukan oleh lembaga ini hanya fungsi pengangkutan. Selain melakukan fungsi tersebut lembaga ini juga melakukan fungsi fasilitas yaitu berupa pemberian informasi harga kepada petani. Bentuk pedagang pengumpul adalah berupa perorangan (tengkulak).
88
3. Pedagang Besar Pedagang besar adalah lembaga tataniaga yang melakukan fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh lembaga ini adalah berupa fungsi pembelian gabah dari petani yang kemudian diolah sendiri untuk dijadikan beras, sehingga pedagang besar ini melakukan fungsi penjualan karena beras yang telah diolah tersebut dijual kembali ke lembaga pemasaran lain. Fungsi fisik yang dilakukan oleh lembaga ini adalah pembersihan, pengeringan, sortasi, penyimpanan, pengemasan, pengolahan, dan pengangkutan. Sedangkan fungsi fasilitas yang dilakukan oleh lembaga ini adalah berupa pemberian informasi harga kepada petani. 4. Distributor Distributor adalah lembaga yang melakukan fungsi pembelian gabah dari pedagang besar yang ada di daerah. Setelah itu kemudian melakukan fungsi penjualan kepada pedagang kecil lainnya. 5. Pedagang Pengecer Pedagang pengecer adalah pedagang yang membeli beras dari pedagang besar dalam jumlah yang relatif tidak banyak untuk kemudian dijual lagi kepada konsumen akhir. Pedagang pengecer ini terdiri dari perorangan, seperti warungwarung atau toko pribadi. Kegiatan yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah meliputi fungsi pertukaran dan fungsi fisik.
Fungsi pertukaran yang
dilakukan oleh lembaga ini adalah fungsi pembelian dan penjualan beras yang dibeli dari pedagang besar atau dari distributor. Fungsi fisik yang dilaksanakan adalah berupa pengemasan dan penyimpanan.
89
6.4.2
Analisis Alur Tataniaga Berdasarkan hasil penelitian di Kecamatan Binong dan Kecamatan
Pusakanagara, maka dapat diketahui bahwa ada dua pola saluran tataniaga antara lain sebagai berikut: 1. Pola Tataniaga I Pola tataniaga I ini petani menjual hasil panennya kepada pedagang besar di kecamatan. Hal ini telah menjadi kebiasaan yaitu menjual hasil panen kepada pedagang tersebut. Setelah sampai ke pedagang besar maka gabah tersebut diolah hingga menjadi beras. Kemudian disalurkan ke distributor besar di Pasar Induk Jakarta, baru setelah itu disalurkan kembali melalui pedagang pengecer untuk disampaikan kepada konsumen akhir.
Presentase jumlah petani yang
menggunakan pola ini adalah 12,50 persen dari total petani. 2. Pola Tataniaga II Pada pola tataniaga II ini petani menyalurkan produknya melalui pedagang pengumpul, setelah dibeli oleh pedagang pengumpul kemudian gabah tersebut disalurkan lagi melalui pedagang besar, kemudian oleh pedagang besar gabah tersebut diolah menjadi beras.
Setelah menjadi beras kemudian disalurkan
melalui pedagang pengecer dan disampaikan kepada konsumen akhir. Presentase jumlah petani yang menggunakan pola Tataniaga II ini adalah 87,50 persen. Saluran tataniaga padi di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 tersaji pada Gambar 5.
90
Petani Pola II (87,50 %)
Pola I (12,50 %)
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar / Penyosohan beras
Pedagang Pengecer
Konsumen
Gambar 5 Saluran Tataniaga Padi di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa saluran tataniaga padi dari petani banyak yang menjual langsung ke pedagang pengumpul (tengkulak) dengan presentase 87,50 persen, sisanya 12,50 persen menjual langsung ke pedagang besar yang mempunyai perusahaan penyosohan beras. Tataniaga yang baik seharusnya menjual langsung kepada pedagang besar karena harga yang diterima tidak akan berbeda dengan petani yang lain.
Jika menjual kepada
tengkulak kemungkinan dibeli dengan harga murah lebih besar karena transaksi dilakukan antar individu tanpa ada informasi harga sebelumnya.
91
VII EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) DAN DANA PENGUAT MODAL EKONOMI PEDESAAN (DPM LUEP)
7.1 Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah yang terbaru untuk Tahun 2007 melalui kebijakan Inpres Nomor: 3 Tahun 2007 yaitu: d. Gabah petani dengan Kadar Air (KA) antara 19 - 25 persen dan Kadar Hampa (KH) antara 3 - 10 persen harga Gabah Kering Panen (GKP) adalah Rp 2.035 per kilogram. e. Gabah petani dengan KA antara 14 - 18 persen dan KH antara 4 - 6 persen harga GKP adalah Rp 2.350 per kilogram. f. Gabah petani dengan KA antara 14 - 18 persen dan KH antara 7 - 10 persen harga GKP adalah Rp 2.310 per kilogram. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, petani padi menjual hasil panen biasanya dalam bentuk GKP, KA antara 19 - 25 persen atau gabah yang baru dipanen langsung dijual. Adapun alasan petani langsung menjual hasil panennya adalah ingin segera memperoleh uang (pembayaran tunai), dapat menjual ditempat dengan harga yang relatif bagus diatas HPP, dan tidak mempunyai tempat untuk menjemur hasil panen. Petani biasanya melakukan dua kali tanam selama setahun.
Petani
Kecamatan Binong menjual hasil panennya rata-rata lebih tinggi daripada petani Kecamatan Pusakanagara. Kecamatan Pusakanagara pada musim tanam pertama petani responden menjual dengan harga rata-rata Rp 2.379 sedangkan musim
92
tanam yang kedua adalah Rp 2.471. Hal yang menyebabkan Kecamatan Binong dibeli dengan harga lebih tinggi karena panen dilakukan lebih awal dibandingkan Kecamatan Pusakanagara, sehingga harga relatif bagus dan belum masuk panen raya. Kecamatan Pusakanagara melakukan kegiatan panen ketika sudah masuk panen raya sehingga harganya lebih rendah. Walaupun demikian hasil panen petani baik di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara dibeli dengan harga diatas HPP yang telah ditetapkan. Hasil panen di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara dibeli dengan harga diatas HPP, sehingga dapat disimpulkan bahwa penetapan HPP sudah efektif. Hal ini didukung dengan nilai rasio R/C diatas satu dengan nilai Kecamatan Binong adalah 1,99 dan Kecamatan Pusakanagara 1,93.
7.2 Efektivitas Dana Penguat Modal Lembaga Umum Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) DPM LUEP yang merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, dengan tujuan dalam rangka stabilisasi harga gabah dalam bentuk pemberian dana talangan LUEP. Hal ini bertujuan guna meningkatkan kemampuannya dalam membeli gabah atau beras petani, dengan harga yang wajar dan mengacu pada HPP telah ada di Kabupaten Subang. Kabupaten Subang yang merupakan salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat, mendapatkan perhatian khususnya dari pemerintah dengan adanya DPM LUEP tersebut. DPM LUEP di berikan kepada perusahaan penyosohan beras yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, persyaratan tersebut diberikan dengan pertimbangan dana yang dipinjamkan tidak sedikit, tanpa bunga dan harus dikembalikan tepat waktu. Program DPM LUEP di Kabupaten Subang
93
berjalan mulai dari Tahun 2003 sampai sekarang.
Jumlah pinjaman setiap
tahunnya mengalami kenaikan. Jumlah pinjaman dana penguat modal dan jumlah anggota LUEP di Kabupaten Subang berikut tersaji pada Tabel 22. Tabel 22 Jumlah Pinjaman Dana Penguat Modal dan Jumlah Anggota LUEP di Kabupaten Subang Tahun 2003-2007 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
Total Jumlah Pinjaman (dalam Juta Rp) 2.895 3.250 4.000 4.200 4.500
Jumlah Anggota LUEP 22 28 30 30 33
Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui bahwa besarnya nilai dana yang dipinjamkan oleh pemerintah setiap tahunnya mengalami kenaikan, seperti pada Tahun 2006 mendapatkan Rp 4.200.000.000 dan Tahun 2007 mendapatkan pinjaman Rp 4.500.000.000 alasannya adalah perusahaan penyosohan beras yang menjadi nasabah DPM LUEP melakukan pengembalian tepat waktu, sehingga setiap tahun pinjaman kepada Kabupaten Subang mengalami kenaikan. Anggota DPM LUEP tersebar di 14 dari 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Subang, jumlah perusahaan penyosohan beras yang mendapatkan DPM LUEP setiap kecamatan tidak sama, hal ini berdasarkan atas pertimbangan yang difokuskan di kecamatan sentra produksi padi (Dinas Pertanian Kabupaten Subang, 2007). Kecamatan Binong yang merupakan salah satu kecamatan yang mendapatkan DPM LUEP. Terdapat tujuh perusahaan Penyosohan Beras (PB) yang mendapatkan DPM LUEP. PB tersebut yaitu PB Bangun Citra Mandiri, KSU Anisa, PB Sigadis, PB Sri Ampeli, PB Sari Tani, PB Pusaka Saritani, dan PB Widya Jaya yang tersebar di tujuh desa yang ada di Kecamatan Binong. Pada
94
Kecamatan Pusakanagara juga terdapat tujuh Perusahaan beras yang mendapatkan DPM LUEP yaitu PB Pada Suka, PB Jambu Mete, PB H. Bakri, PB H. Aming, PB H. Sukarna, PB H Dartewi, dan PB Netiwija. Penelitian di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara tidak dilaksanakan pada seluruh petani yang menjual hasil panen ke perusahaan yang mendapatkan DPM LUEP. Hal ini disebabkan sebagian besar perusahaan yang mendapatkan DPM LUEP berada di daerah yang tidak termasuk dalam Golongan I untuk Kecamatan Binong dan Golongan IV untuk Kecamatan Pusakanagara sehingga tidak termasuk dalam daerah penelitian.
Keberadaan perusahaan
penyosohan beras yang mendapatkan DPM LUEP terkadang tidak diketahui oleh pemerintah setempat.
DPM LUEP biasanya langsung berhubungan dengan
pemilik perusahaan penyosohan beras dan tim teknis khusus yang dibentuk pemerintah kabupaten dan propinsi. Kesulitan dalam memperoleh informasi dari petani mana saja yang menjual ke LUEP juga merupakan kendala yang dijumpai pada saat penelitian dilaksanakan. Hal ini terjadi biasanya petani tidak tahu menjual hasil panennya pada perusahaan yang mendapatkan DPM LUEP atau tidak.
Petani
mengharapkan hasil panen terjual dengan harga yang bagus, dan cepat dalam mendapatkan uang tunai dari transaksi jual beli yang dilaksanakan.
Setelah
dilaksanakan penelitian baru dapat diketahui petani mana yang menjual ke LUEP dan petani yang tidak menjual ke LUEP Berdasarkan hasil perhitungan analisis usahatani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, keduanya mendapatkan nilai yang layak yaitu diatas satu. Hal ini disebabkan harga jual yang diterima petani sudah baik yaitu
95
diatas HPP, bahkan tidak ada petani yang menjual hasil panennya dengan harga dibawah HPP. Perusahaan penyosohan beras mempunyai peran dalam memberikan informasi harga terhadap petani.
Biasanya petani menanyakan harga kepada
perusahaan penyosohan beras sebagai patokan harga jual hasil panennya. Perusahaan penyosohan beras saling bertukar informasi dalam menentukan harga beli hasil panen petani, selain itu harga patokan yang telah disepakati antara perusahaan penyosohan beras yang mendapatkan DPM LUEP dan pemerintah yang memberikan dana LUEP, menjadi harga patokan dalam membeli hasil panen petani padi (surat perjanjian jual beli gabah atau beras dapat dilihat pada lampiran enam). Perusahaan yang mendapatkan DPM LUEP di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara turut serta dalam menstabilkan harga jual padi bagi petani. Hal ini tercermin dari sikap petani yang tidak mau terburu-buru menjual hasil panen jika ditawar dengan harga rendah. Petani mempunyai keyakinan hasil panennya dapat terjual dengan harga yang layak, yaitu dengan menjual langsung perusahaan penyosohan beras dengan harga yang layak. Tetapi karena alasan tidak mudah maka biasanya petani langsung menjual pada saat panen ke pedagang pengumpul yang datang ke lokasi pada saat panen dilaksanakan. Harga yang menjadi patokan petani dalam menjual hasil panen yaitu dengan menanyakan harga jual pada perusahaan penyosohan beras.
Setiap
perusahaan mempunyai patokan harga yang relatif sama, apalagi didukung dengan adanya DPM LUEP yang telah memberikan peraturan harus membeli padi petani minimal seharga HPP.
96
Petani pada umumnya tidak mengetahui adanya DPM LUEP yang diturunkan oleh pemerintah dengan tujuan stabilisasi harga jual pada saat panen. Berdasarkan hasil penelitian, petani menjual hasil panennya kepada tengkulak pada kenyataannya ada juga yang menjual langsung ke perusahaan penyosohan beras yang mendapatkan DPM LUEP tanpa petani ketahui.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan dari 40 responden, petani yang menjual hasil panen ke perusahaan penyosohan yang mendapatkan DPM LUEP adalah lima petani dan 35 menjual ke pedagang pengumpul (tengkulak). Alur tataniaga padi dari pedagang pengumpul (tengkulak) biasanya menjual lagi padi tersebut ke perusahaan penyosohan beras yang besar, atau perusahaan penyosohan beras yang mendapatkan DPM LUEP. Hal ini terjadi biasanya perusahaan penyosohan yang besar di kecamatan tersebut telah mendapatkan DPM LUEP dari pemerintah. Berdasarkan informasi diatas maka kebijakan DPM LUEP di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah dapat dikatakan efektif. Hal ini terbukti dari stabilnya harga padi di kedua kecamatan tersebut pada Tahun 2007, terbukti dengan hasil panen petani tidak ada yang dibeli dengan harga dibawah HPP. Pendapatan yang diterima petani responden antara Golongan I dan Golongan IV tidak jauh berbeda, petani Kecamatan Binong mendapatkan Rp 12.280.252 dan petani responden Kecamatan Pusakanagara mendapatkan Rp 11.977.375.
Penelitian usahatani sebelumnya yang dilakukan oleh Sinis
Munandar Tahun 1978 dengan judul “Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Usahatani Padi di Berbagai Keadaan Irigasi” Fakultas Pascasarjana Institut
97
Pertanian Bogor menyatakan bahwa pendapatan petani Golongan I jauh lebih tinggi dibanding petani Golongan IV, karena harga jual pada saat panen sangat rendah sehingga pendapatan yang diperoleh rendah. Pendapatan rata-rata per hektar petani tipe irigasi Golongan I adalah Rp 98.185 sedangkan petani Golongan IV adalah Rp 43.964. Perbandingan pendapatan rata-rata per hektar petani padi Golongaan 1 dan Golongan IV dari hasil penelitian pada Tahun 1978 dan Tahun 2007 tersaji pada Tabel 23. Tabel 23 Perbandingan Pendapatan Rata-rata Per Hektar Petani Padi Golongan I dan Golongan IV Dari Hasil Penelitian Pada Tahun 1978 dan Tahun 2007 Keterangan Golongan I (Rupiah) Golongan IV (Rupiah) Persentase Golongan IV terhadap Golongan I Berdasarkan
Munandar, 1978 98.185 43.964 44,77
Yulisa, 2008 12.280.252 11.977.375 97,53
Tabel 23 dapat diketahui bahwa kebijakan DPM LUEP
memberikan pengaruh terhadap stabilnya harga jual padi.
Pendapatan yang
diterima petani Golongan I dan Golongan IV setelah adanya kebijakan DPM LUEP tidak jauh berbeda, bahkan persentase pendapatan Golongan IV terhadap Golongan I mendekati 100 persen yaitu 97,53 persen. Hal ini berbeda dengan persentase pendapatan petani Golongan IV terhadap Golongan I tahun 1978 sebelum adanya kebijakan DPM LUEP hanya 44,77 persen. Perbedaan tersebut disebabkan pengaruh kebijakan DPM LUEP yang dilaksanakan oleh pemerintah, harga jual hasil panen tetap stabil sehingga pendapatan petani Golongan I dan Golongan IV tidak berbeda jauh
98
VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah terhadap pendapatan petani di Kecamatan Binong yang termasuk Golongan I dalam mendapatkan air irgasi dan Kecamatan Pusakanagara yang termasuk dalam Golongan IV adalah sebagai berikut: 1. Usahatani padi yang dikembangkan oleh petani pada Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara memberikan keuntungan karena nilai pendapatan atas biaya tunai dan biaya totalnya memiliki nilai positif. Selain itu nilai R/C rasio atas biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh lebih dari satu, hal ini berarti usahatani yang dilaksanakan layak untuk dikembangkan oleh petani baik di Kecamatan Binong maupun Kecamatan Pusakanagara. 2. HPP yang telah ditetapkan oleh pemerintah di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif, karena hasil panen petani dibeli dengan harga rata-rata diatas HPP. Hal ini didukung dengan nilai rasio R/C diatas satu dengan nilai Kecamatan Binong 1,99 dan Kecamatan Pusakanagara 1,93. 3. Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) sudah ada di Kabupaten Subang semenjak Tahun 2003. Jumlah pinjaman setiap tahun nilainya meningkat, hal ini disebabkan DPM LUEP di Kabupaten Subang dikembalikan tepat pada waktunya. Peranan DPM
99
LUEP terhadap pendapatan petani dapat diketahui dari stabilnya harga padi di dua lokasi penelitian tersebut. Hasil panen petani tidak ada yang dibeli dengan harga dibawah HPP, pendapatan yang diterima petani responden antara Golongan I dan Golongan IV tidak jauh berbeda, petani responden Kecamatan Binong mendapatkan Rp 12.280.252 dan petani responden Kecamatan Pusakanagara mendapatkan Rp 11.977.375. Berdasarkan hal tersebut maka kebijakan DPM LUEP di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif tercermin dari stabilnya harga padi pada lokasi penelitian.
8.2 Saran Berdasarkan kesimpulan di atas dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah, yang diukur menggunakan ilmu usahatani diperoleh hasil keuntungan petani yang bernilai positif. Peran pemerintah dan instansi-instansi terkait, yang aktif memberikan pengetahuan dan teknologi terbaru kepada petani tetap harus dipertahankan, sehingga keberadaan petani semakin baik dan tetap melakukan produksi usahatani padi. 2. DPM LUEP sebaiknya jangan dihapuskan, karena berperan dalam menstabilkan harga gabah petani. Adanya kontrak harga beli gabah antara pemerintah dengan perusahaan penyosohan beras menjadi patokan harga jual gabah, sehingga petani merasa harga gabah dibeli dengan harga tinggi (harga psikologis), apabila DPM LUEP dihapuskan maka tidak ada kontrak harga antara perusahaan penyosohan dengan pemerintah sehingga
100
kemungkinan besar perusahaan penyosohan beras yang menentukan harga dan petani merasa dirugikan. 3. Penelitian ini hanya terbatas pada efektivitas penetapan HPP dan DPM LUEP di Kabupaten Subang yang difokuskan berdasarkan golongan air irigasi. Oleh karena itu dianjurkan adanya penelitian lanjutan yang khusus meneliti efektivitas penetapan DPM LUEP tidak hanya berdasarkan golongan air, sehingga dapat membandingkan antara petani yang menjual ke perusahaan yang mendapatkan DPM LUEP dan petani biasa (tidak menjual hasil panen ke perusahaan penyosohan beras yang mendapatkan DPM LUEP).
101
DAFTAR ISTILAH Bawon adalah sistem pengupahan dengan menggunakan gabah sebagai alat pembayaran pada saat panen DPM LUEP (Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan) adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, dengan tujuan dalam rangka stabilisasi harga gabah dalam bentuk pemberian dana talangan kepada Lembaga Umum Ekonomi Pedesaan (LUEP), untuk meningkatkan kemampuannya dalam membeli gabah atau beras petani, dengan harga yang wajar dan mengacu pada HPP HPP (Harga Pembelian Pemerintah) adalah kebijakan pemerintah untuk melakukan pembelian (khususnya panen raya) dengan jumlah yang telah ditentukan (sebesar kebutuhan untuk program jaring pengaman sosial) pada tingkat harga pasar Mopok adalah kegiatan membersihkan sawah dari rerumputan, diperbaiki dan membuat galengan lebih tinggi, fungsi galengan disaat awal untuk menahan air selama pengolahan tanah agar tidak mengalir keluar petakan Nampingan adalah kegiatan pencangkulan setelah dilakukan perbaikan galengan dan saluran air Paceklik adalah musim kemarau yang berkepanjangan sehingga timbul kesulitan pangan dimana-mana Perusahaan Penyosohan Beras adalah perusahaan penggilingan padi Pedagang besar adalah pedagang yang mempunyai perusahaan penyosohan beras Pedagang pengumpul (tengkulak) adalah pedagang yang biasa membeli hasil panen petani untuk dijual lagi ke pembeli selanjutnya
102
DAFTAR PUSTAKA Amang, Beddu dan M. Husein Sawit. Nasional. IPB Press. Bogor.
1999.
Kebijakan Beras dan Pangan
Badan Pusat Statistik. 2006. Statistika Pertanian. Departemen Pertanian Ministry of Agriculture Republik Of Indonesia. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2006. Statistika Indonesia. BPS. Jakarta. Indonesia. Badan Pusat Statistik. 2006. Kabupaten Subang dalam Angka Tahun 2005. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. Subang. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2007. Laporan Tahunan 2006. Pemerintah Kabupaten Subang. Subang. Disti, V. Citra. 2006. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Padi Program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu di Kabupaten Subang. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Etzioni, Amitai. 1985. Organisasi organisasi Modern. UI Press. Jakarta. Femina, V. Dohana. 2006. Dampak Kebijakan Harga Gabah terhadap Produksi Padi di Pulau Jawa. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Hernanto, F. 1991. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Hutauruk, Julia. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Harga Dasar Padi dan Subsidi Pupuk terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 3. 2007. Kebijakan Perberasan. Departemen Pertanian. Jakarta. Irianto, G.E. Sumarni dan E. Pasandaran. 2004. Dinamika Iklim dan Sumberdaya Air untuk Budidaya Padi dalam Ekonomi padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Limbong, WH dan Panggabean S. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Lipsey, G.R. Courant, N.P. Purvis, D.D. Steiner, O.P. 1995. Pengantar Mikroekonomi (Jilid Satu). Binarupa Aksara. Jakarta.
103
Lubis, K. Indah. 2005. Efektivitas Penyaluran Kredit Ketahanan Pangan Dan Analisis pendapatan Petani Pengguna Kredit (Studi Kasus: Pada Petani Tebu Anggota Koperasi Madusari, Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar, Solo). Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Bogor. Malian et al. 2003. Dampak Perubahan Harga Beras terhadap Produksi, Konsumsi, dan Inflasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Masyhudi, M.F. 1992. Penerapan Bioteknologi dalam Pengembangan Padi Bulu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Jakarta. Munandar, Sinis. 1978. Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Usahatani Padi di Berbagai Keadaan Irigasi. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor Riyanto. 2005. Analisis Pendapatan Cabang Usahatani dan Pemasaran Padi (Kasus : Tujuh Desa, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah). Skripsi. Program Studi Ekstensi Manajemen Agribisnis. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Sakinah, Nur. 2006. Analisis Sistem dan Efisiensi Tataniaga Komoditas Damar Mata Kucing (Shorea javanica) untuk Meningkatkan Farmer Share Petani. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Soeharjo, A dan Dahlan, P. 1973. Sendi-Sendi Pokok Usahatani. Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Soekartawi, A. Soeharjo, Jhon, L. Dillon dan J. Brian Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta. Suryana, A. S. Mardianto dan M Ikhsan. 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta. Unit Penyuluhan dan Pelatihan Pertanian. 2007. Program Penyuluhan Pertanian Kecamatan Binong Tahun 2007. Unit Penyuluhan dan Pelatihan Pertanian. Subang. Unit Penyuluhan dan Pelatihan Pertanian. 2007. Program Penyuluhan Pertanian Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007. Unit Penyuluhan dan Pelatihan Pertanian. Subang. Walpole, RE. 1995. Pengantar Statistika (Edisi ke-3). Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
104
LAMPIRAN
105
Lampiran 1 Petani Responden dan Tingkat Pendidikan No Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Nama Harto Nuroso Ade Jaka Suteja Maman Abdurohman Soleh Daspi Dani Sanusi Carli Abdurohim Dirya Wastim Gadzali Kusid Agus Ana Suana Cita Camad Bajuri Ali Basah Taram Ade Ismail Sobirin Didi Suhendi Jayadi Ratiman Atong Tardi Karpan Roni Sahroni Darba Sutisna Jamali Mumun Carimun Kasnila Yusuf Sudini Tontoni Tafsir Mulyono Kasmin Irsad
Tingkat Pendidikan SLTA PT (Sarjana) Tidak Sekolah SD SLTP SLTP SD SD SD Tidak Sekolah Tidak Sekolah SLTP Tidak Sekolah SLTP SD SD SD SLTA SLTA Tidak Sekolah SLTP SLTP SLTA SD Tidak Sekolah SD SLTP SD SD Tidak Sekolah SD SLTA SLTA Tidak Sekolah SLTA SLTA SD SLTA SD Tidak Sekolah
Umur (Tahun) 50 34 52 65 62 40 45 52 44 50 40 55 55 31 55 47 60 72 37 47 30 41 45 40 50 60 39 50 41 70 60 42 43 50 56 56 50 38 61 50
106
Lampiran 2 Penerimaan Usahatani Padi di Kecamatan Binong Tahun 2007
90
No Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jumlah Rata-rata
Hasil Panen 1 5.500 5.000 5.000 5.600 4.500 6.500 4.200 4.900 5.000 5.600 4.200 4.900 4.000 5.200 6.000 7.000 3.500 5.600 4.900 5.600 102.700 5.135
Harga (Rupiah) 2.700 2.900 2.600 2.200 2.150 2.700 2.400 2.250 2.600 2.000 2.900 2.100 2.300 2.500 2.300 2.600 2.200 2.800 2.000 2.400 48.600 2.430
Jumlah 14.850.000 14.500.000 13.000.000 12.320.000 9.675.000 17.550.000 10.080.000 11.025.000 13.000.000 11.200.000 12.180.000 10.290.000 9.200.000 13.000.000 13.800.000 18.200.000 7.700.000 15.680.000 9.800.000 13.440.000 250.490.000 12.524.500
Hasil panen 2 6.100 4.900 4.300 3.500 6.500 3.500 4.900 4.620 5.200 4.200 4.000 4.200 4.200 4.900 5.000 8.500 6.300 3.500 3.500 5.040 96.860 4.843
Harga (Rupiah) 2.800 2.700 2.600 2.350 2.500 2.400 2.250 2.570 2.600 2.200 2.700 2.400 2.450 2.300 2.300 2.600 2.450 3.000 2.550 2.600 50.320 2.516
Jumlah 17.080.000 13.230.000 11.180.000 8.225.000 16.250.000 8.400.000 11.025.000 11.873.400 13.520.000 9.240.000 10.800.000 10.080.000 10.290.000 11.270.000 11.500.000 22.100.000 15.435.000 10.500.000 8.925.000 13.104.000 244.027.400 12.201.370
Total Penerimaan 31.930.000 27.730.000 24.180.000 20.545.000 25.925.000 25.950.000 21.105.000 22.898.400 26.520.000 20.440.000 22.980.000 20.370.000 19.490.000 24.270.000 25.300.000 40.300.000 23.135.000 26.180.000 18.725.000 26.544.000 494.517.400 24.725.870
107
Lampiran 3 Penerimaan Usahatani Padi di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 No Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jumlah Rata-rata
Hasil Panen 1 6.000 5.600 4.000 5.600 5.000 5.600 5.500 4.200 3.080 5.600 5.000 4.200 5.600 6.000 4.200 5.600 4.200 5.600 5.600 96.180 5.062
Harga (Rupiah) 2.200 2.100 2.300 2.300 2.600 2.300 2.300 2.000 2.000 2.500 2.600 3.000 2.200 2.200 2.300 2.400 3.000 2.500 2.400 45.200 2.379
Jumlah 13.200.000 11.760.000 9.200.000 12.880.000 13.000.000 12.880.000 12.650.000 8.400.000 6.160.000 14.000.000 13.000.000 12.600.000 12.320.000 13.200.000 9.660.000 13.440.000 12.600.000 14.000.000 13.440.000 228.390.000 12.020.526
Hasil panen 2 8.000 7.000 4.500 5.687 5.600 5.900 6.000 7.000 5.320 5.600 5.800 6.000 4.900 5.000 5.600 5.600 5.600 4.500 4.900 108.507 5.711
Harga (Rupiah) 2.500 2.500 2.400 2.500 2.500 2.600 2.500 2.550 2.500 2.500 2.400 2.700 2.500 2.300 2.500 2.400 2.300 2.300 2.500 46.950 2.471
Jumlah 20.000.000 17.500.000 10.800.000 14.217.500 14.000.000 15.340.000 15.000.000 17.850.000 13.300.000 14.000.000 13.920.000 16.200.000 12.250.000 11.500.000 14.000.000 13.440.000 12.880.000 10.350.000 12.250.000 268.797.500 14.147.237
Total Penerimaan 33.200.000 29.260.000 20.000.000 27.097.500 27.000.000 28.220.000 15.000.000 30.500.000 21.700.000 20.160.000 27.920.000 29.200.000 24.850.000 23.820.000 27.200.000 23.100.000 26.320.000 22.950.000 14.000.000 25.690.000 497.187.500 24.859.375
91
108
Lampiran 4 Pendapatan Petani LUEP dan Bukan LUEP Tahun 2007 Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Pendapatan (Rupiah) LUEP Bukan LUEP 19.143.000 14.424.167 12.573.083 10.337.714 20.468.143 15.237.400 14.371.286 14.696.400 8.061.000 11.230.000 11.949.200 10.738.600 8.532.333 11.768.143 9.135.000 8.351.714 10.889.750 12.354.714 21.617.333 10.898.100 14.562.000 9.624.000 15.434.000 17.862.000 9.659.000 15.594.750 12.870.000 15.037.571 5.680.143 17.024.000 13.211.000 7.676.000 14.630.429 16.309.905 8.967.000 9.476.500 12.658.667 10.592.672 7.244.000 13.992.000 -
Lampiran 5 Peta Indikasi Potensi Air Tanah dan Daerah Irigasi Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat
93
110
Lampiran 6 Surat Perjanjian Jual Beli Gabah atau Beras antara LUEP dengan Kelompok Tani