74 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 74-81
Erizal Jamal et al.
ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH1) Erizal Jamal, Hendiarto, dan Ening Ariningsih Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161
PENDAHULUAN Komoditas pertanian strategis yang selalu menjadi isu utama pembangunan pertanian dan mendapat perhatian khusus pemerintah adalah beras. Komoditas ini sangat berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak, sehingga berbagai permasalahan yang terkait dengan beras sangat rawan untuk dipolitisir (Hardinsyah 1996). Persoalan klasik pada komoditas beras berpangkal pada dua tujuan yang harus dicapai sekaligus tetapi terkadang cenderung bertolak belakang, yaitu mempertahankan harga yang layak di tingkat produsen namun pada saat yang sama juga tidak terlalu memberatkan konsumen. Persoalan bertambah pelik karena komoditas ini ditanam secara serentak pada musim tertentu, sehingga berlebihnya pasokan pada saat panen dan langkanya pasokan pada saat paceklik menjadi fenomena rutin setiap tahun. Untuk menanggulangi masalah di atas, pemerintah telah mengeluarkan beberapa instrumen kebijakan jangka pendek yang pada intinya dimaksudkan untuk mencegah terjadinya gejolak harga. Kebijakan 1)
Naskah disarikan dari bahan Rapat Pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bulan Mei 2007.
tersebut antara lain adalah: (1) penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk padi/beras; dan (2) pengenaan tarif, kuota, dan pengaturan waktu impor serta operasi pasar untuk komoditas tersebut. Sejak tahun 2002, setiap tahun pemerintah melakukan evaluasi dan penyesuaian terhadap HPP, sesuai dengan dinamika ekonomi nasional. Sama halnya dengan kebijakan harga dasar gabah (HDG) dan setelah berbagai unsur penopang yang dimiliki Bulog dicabut, efektivitas HPP banyak dipertanyakan, lebihlebih pada saat panen raya. Kritik terhadap analisis yang telah dilakukan selama ini adalah terbatasnya wilayah yang dijadikan areal pengamatan (pengamatan langsung hanya di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan), dan pengamatan hanya dilakukan pada saat panen raya di musim hujan (Maret-April). Pengkajian umumnya dilakukan dalam waktu singkat dengan sampel yang terbatas. Selain itu, faktor-faktor lain seperti stok beras di tingkat petani, pedagang, dan penggilingan belum banyak dikaji. Beberapa kalangan mensinyalir efektivitas HPP sangat terkait dengan masalah manajemen stok. Sementara itu, besarnya variasi antarwilayah dalam penggunaan input dan output akan memberikan gambaran yang berbeda tentang efektivitas HPP, sehingga kajian
76
dingkan dengan daerah lain, karena lebih bersih atau sudah di-blower. GKP dari daerah lain biasanya masih bercampur dengan kotoran. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam melakukan perbandingan harga GKP antarwilayah. Hal lain yang menyebabkan rendahnya harga gabah di tingkat petani adalah masih dominannya sistem pembelian gabah secara tebasan, terutama di DI Yogyakarta. Pembelian gabah dengan sistem tebasan menyebabkan harga yang diterima petani jauh di bawah harga yang ditetapkan pemerintah. Perhitungan sederhana yang dilakukan pada beberapa responden yang menjual gabah secara tebasan dan datanya dikonfirmasikan kepada para penebas, didapat perbedaan harga di tingkat petani dengan harga yang diterima penebas sekitar 8%. Upaya untuk menghapus pola panen tebasan belum sepenuhnya berhasil, karena antara penebas dan petani telah lama terikat dalam berbagai kegiatan. Untuk menjamin stabilitas harga di tingkat petani, berbagai inisiatif lokal, seperti Pokja Pascapanen Bantul dan Kemitraan Sidrap, lebih efektif dibanding lembaga bentukan dari pusat (LUEP dan Bulog). Dalam jangka panjang, sejalan dengan semangat otonomi daerah, kemampuan pemerintah daerah dalam menjamin stabilitas harga produk pertanian di wilayahnya serta kecukupan pangan bagi masyarakatnya dapat menjadi salah satu kriteria utama dalam menilai kinerja pemerintah daerah. Keragaan pasar gabah dan beras di Indonesia menunjukkan masih adanya masalah yang berkaitan dengan transmisi harga antarpedagang pada berbagai level. Hal itu tercermin dari koefisien integrasi pasar jangka pendek antara pasar produsen (gabah) dan pasar konsumen (beras), yang menunjukkan bahwa dalam
Erizal Jamal et al.
jangka pendek pasar produsen kurang terpadu dengan pasar konsumen. Hal yang sama ditunjukkan oleh koefisien integrasi antara pasar produsen dan pasar grosir, serta antara pasar grosir dan pasar konsumen. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga pada pasar konsumen tidak ditransmisikan secara baik ke semua tingkatan pasar. Namun, dalam jangka panjang terdapat integrasi yang relatif kuat di antara berbagai tingkatan pasar tersebut. Sementara itu, kajian terhadap kemungkinan penetapan HPP yang berbeda antarwilayah, tentunya dengan mempertimbangkan kesanggupan daerah dalam melakukan penjaminan stabilitas harga, sangat layak untuk diuji coba pada wilayah yang terbatas. Hasil pengamatan pada wilayah surplus beras menunjukkan, break even point untuk usaha tani padi sangat bervariasi antardaerah, berkisar pada harga Rp1.025,6-Rp1.338,7/kg GKP. Margin keuntungan yang diperoleh petani dengan memperhitungkan biaya lahan dan tenaga kerja keluarga berkisar 18,33-34,58% dari total produksi. Margin tertinggi terdapat pada petani di Sumatera Barat. Gambaran ini memperlihatkan bahwa secara alami terdapat perbedaan dalam struktur ongkos usaha tani padi antarwilayah, sehingga kemungkinan penerapan HPP yang berbeda antarwilayah sangat direkomendasikan. Pendugaan model pasar gabah/beras menunjukkan tidak nyatanya pengaruh harga GKP terhadap luas areal panen di tingkat petani. Ini menunjukkan dalam jangka pendek, kebijakan harga gabah/ beras tidak berpengaruh terhadap performa usaha tani padi. Dengan demikian, berbagai argumen yang menyatakan bahwa peningkatan harga GKP akan merangsang peningkatan luas areal panen
78
sempitnya rata-rata penguasaan lahan di tingkat petani. Sempitnya penguasaan lahan oleh petani menyebabkan kegiatan usaha tani tidak bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Petani yang mengusahakan padi di Jawa Barat dan DI Yogyakarta dan hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, mencakup lebih 85% dari total petani. Untuk kasus DI Yogyakarta, sumbangan kegiatan pertanian padi hanya sekitar 20% dari total pendapatan keluarga. Padi yang dihasilkan petani tidak sepenuhnya dapat mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Sekitar 23,5-31,2% kebutuhan beras petani di Jawa Barat dan DI Yogyakarta dipenuhi melalui pembelian pada setiap musim, sehingga berbagai sinyalemen bahwa petani padi, terutama di Jawa, selain sebagai produsen juga net consumer betul adanya. Ini juga yang menyulitkan pemerintah bila kebijakan perberasan hanya bertumpu pada kebijakan harga. Dari sudut pandang teknologi produksi, hasil padi yang dicapai petani saat ini di beberapa sentra produksi dapat dikatakan sudah mendekati batas frontier yang bisa dicapai di lapang. Produktivitas ratarata usaha tani padi di lahan irigasi di Indonesia mencapai 6,4 t/ha, tertinggi kedua di Asia Timur dan Tenggara setelah Cina (7,6 t/ha) (Hossain and Narciso 2002). Potensi peningkatan produktivitas hanya sekitar 0,5-1,0 t/ha, itu pun dengan penambahan input yang lebih mahal. Namun, masih terbuka peluang untuk meningkatkan produksi beras secara nasional melalui peningkatan rendemen (Hendiarto 2004). Dengan kondisi seperti di atas, berbagai kebijakan jangka pendek yang terkait dengan harga gabah, pupuk, dan lainnya tidak akan banyak berpengaruh terhadap pendapatan petani padi. Kunci bagi upaya peningkatan pendapatan petani justru
Erizal Jamal et al.
terletak pada upaya pengembangan usaha yang tidak berbasis lahan di pedesaan. Hanya dengan cara demikian, jumlah petani yang menggantungkan hidupnya pada lahan dapat dikurangi sehingga rata-rata penguasaan lahan di tingkat petani meningkat. Revitalisasi pedesaan merupakan jawaban yang lebih tepat dengan sasaran pengembangan kegiatan nonpertanian di pedesaan, atau peningkatan kemampuan sumber daya manusia di pedesaan untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja terampil di perkotaan atau pasar tenaga kerja di pasaran global. Tingginya ketergantungan terhadap beras sebagai bahan pangan utama merupakan hal lain yang mempersulit berbagai kebijakan di bidang perberasan. Berdasarkan data tahun 2004, tingkat konsumsi beras per kapita di Indonesia rata-rata sekitar 128 kg/tahun. Sebagai perbandingan, pada saat yang sama konsumsi beras per kapita di Thailand, sebagai salah satu produsen utama beras di dunia, hanya mencapai 79 kg/tahun dan Malaysia 63 kg/tahun (Wang and Hossain 2007). Selain tingkat konsumsi per kapita yang terus meningkat, dari sekitar 105 kg/ tahun (1971) menjadi sekitar 128 kg/tahun (2004), cakupan wilayah konsumsi eksklusif beras juga bertambah. Pada tahun 1979 hanya ada tiga provinsi yang penduduknya eksklusif mengkonsumsi beras, tetapi pada tahun 1996 meningkat menjadi 11 provinsi dan pada saat ini boleh dikatakan hampir semua provinsi di Indonesia penduduknya eksklusif mengkonsumsi beras (Saliem et al. 2005). Pasar gabah sangat dipengaruhi oleh sifat produksi (panen) usaha tani padi, sifat gabah, dan karakteristik petani. Produksi padi bersifat musiman dan rentan terhadap risiko alam (anomali iklim dan serangan
80
Erizal Jamal et al.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Berkaitan dengan berbagai persoalan di atas, disarankan beberapa kebijakan jangka pendek (sampai tahun 2009) dan jangka menengah/panjang (2020 atau 2025). Kebijakan jangka pendek terkait dengan manajemen stok, kebijakan harga dan impor, serta diversifikasi produksi dan konsumsi. Untuk jangka panjang ditambahkan hal yang berkaitan dengan upaya peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas dan luas panen. Hal yang mendesak untuk dilihat dan dikaji dalam jangka pendek adalah masalah data. Diperlukan koordinasi lintas sektor untuk memperbaiki sistem manajemen data (pengumpulan, pencatatan, dan pelaporannya). Dalam jangka panjang perlu dilakukan proyeksi tentang konfigurasi ruang dan lahan yang ada, serta kebutuhan terhadap produk yang terkait dengan penggunaan lahan. Dengan demikian diharapkan dapat diperkirakan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang serta upaya antisipasinya. Produktivitas merupakan persoalan jangka panjang, karena pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas banyak berkaitan dengan kondisi infrastruktur (saluran irigasi, ketersediaan input usaha tani dan lainnya). Produktivitas juga terkait dengan efisiensi usaha tani. Bila efisiensi dikaitkan dengan besarnya curahan tenaga kerja, bisa dibuat perbandingan dengan negara lain. Sebagai gambaran, tingkat curahan tenaga kerja pada lahan sawah di Indonesia pada tahun 1978 sekitar 1.252 jam orang kerja (JOK) dan pada tahun 2005/2006 berkisar antara 745-949,3 JOK. Ini berarti selama 28 tahun terjadi pengurangan penggunaan tenaga kerja manusia di lahan sawah sebesar
32,34%. Bila dibandingkan dengan negara lain, misalnya Korea Selatan, pada tahun 1981-2001 jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk setiap hektar sawah berkurang dari 930 JOK menjadi hanya 280 JOK atau pengurangan sebesar 70%. Berkaitan dengan manajemen stok, kebijakan dalam jangka pendek lebih difokuskan pada desentralisasi penanganannya pada level kabupaten atau provinsi. Pada level rumah tangga diupayakan peningkatan jumlah stok yang disimpan minimal 20% dari produksi. Untuk kepentingan jangka panjang, sangat mendesak untuk diawali proyeksi tentang konfigurasi lahan dan ruang serta kebutuhan terhadap bahan pangan serta aspek lain yang terkait dengan penggunaan lahan. Hasil dari kedua proyeksi tersebut dapat menjadi basis bagi perencanaan berbagai program. Untuk jangka panjang, upaya pengurangan ketergantungan terhadap beras harus diawali dengan penetapan komoditas alternatif secara jelas, sehingga kebijakan pengembangan komoditas alternatif dapat dilakukan secara proporsional. Sejalan dengan upaya ini, diversifikasi produksi merupakan jalan bagi peningkatan pendapatan rumah tangga. Kebijakan harga harus dapat mendukung diversifikasi konsumsi dan produksi. Penetapan komoditas alternatif pada level provinsi atau kabupaten sedapat mungkin dapat mendukung pengembangan agroindustri di pedesaan. Bisa saja komoditas itu terkait dengan buah-buahan dan sayuran, namun lebih disarankan komoditas pangan alternatif seperti sagu dan jagung. Dalam jangka panjang, pengembangan bahan pangan yang dapat disimpan lama seperti tepung layak dipertimbangkan. Hal lain yang perlu dimasyarakatkan adalah sudah saatnya ditentukan target secara kuantitatif, seperti pengu-