EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004 Pantjar Simatupang, Sudi Mardianto dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jalan A. Yani 70 Bogor 16161
PENDAHULUAN Paket Kebijakan Harga Dasar Gabah/Beras Pembelian Pemerintah (HDPP) yang belaku saat ini ditetapkan melalui Inpres No.9, 31 Desember 2002 efektif sejak 1 Januari 2003. HDPP tersebut biasanya dikaji ulang tiap akhir tahun. Keputusan apakah HDPP tersebut perlu dinaikkan mestinya harus dibuat pula pada akhir tahun 2004 ini. Analisis singkat ini dimaksudkan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan kebijakan HDPP tersebut. Oleh karena dinilai sebagai suatu kebijakan strategis yang lingkupnya mencakup tugas dan kewenangan lintas departemen, paket kebijakan HDPP ditetapkan melalu Instruksi Presiden berdasarkan usulan dari Menteri Koordinator Ekonomi. Mengingat HDPP pada intinya adalah kebijakan pertanian, maka rumusan awal atau inisiatif perubahan paket HDPP biasanya berasal dari Menteri Pertanian. HASIL EVALUASI KEBIJAKAN 1. Kebijakan Harga Dasar Gabah Tidak Efektif di Setiap Wilayah Sepanjang Tahun Secara rata-rata, pada tahun 2004 (Januari–Oktober) harga jual gabah petani dalam bentuk gabah kering panen (GKP) mencapai Rp 1.211 per kg GKP yang berarti lebih tinggi dari HDPP yang ditetapkan pemerintah Rp 1.200 per kg GKP (Tabel 1; Gambar 1). Berbeda dengan dalam bentuk GKP, harga jual gabah petani dalam bentuk gabah kering giling (GKG) hanya Rp 1.610/kg GKG, di bawah HDPP yang ditetapkan pemerintah Rp 1.700/kg GKG. Hal yang sama berlaku pada tingkat penggilingan, harga GKP di atas HDPP, sedangkan GKG di bawah HDPP. Tidak diperoleh data mengenai harga beras di tingkat petani dan penggilingan. Namun dapat dipastikan harga beras di tingkat petani maupun di penggilingan pasti lebih rendah dari HDPP karena di tingkat konsumen saja harga beras konsisten di bawah HDPP yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 2.790/kg. Insiden anjloknya harga di bawah HDPP masih terjadi pada bulan Maret hingga April yang merupakan masa panen raya (Gambar 1). Pada bulan Maret 2003, harga gabah di tingkat petani hanya Rp 1.113/kg GKP atau sekitar 7 persen dibawah HDPP, merupakan rekor terendah dalam tiga tahun terakhir. Selama masa panen utama padi (Maret-Agustus) tahun 2004 ini, rerata harga gabah petani EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004 Pantjar Simatupang, Sudi Mardianto, dan Mohamad Maulana
1
hanya Rp 1.188/kg GKP, yang berarti lebih rendah dari HDPP, sedangkan pada periode sama tahun 2003, rerata harga gabah petani mencapai Rp 1.201/kg GKP, yang berarti sedikit di atas HDPP. Dengan demikian, pada tahun 2004 kebijakan harga dasar gabah gagal diefektifkan sepanjang tahun. Lebih daripada itu, efektifitas kebijakan HDPP pada tahun 2004 lebih rendah daripada tahun 2003. Tabel 1. Perkembangan Harga Gabah di Tingkat Penggilingan dan Petani, 2003-2004 (Rp/kg) Bulan 2003 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember 2004 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Sumber : BPS.
Harga di penggilingan GKG GKP Aktual HDPP Aktual HDPP
Harga di petani GKP GKG Aktual HDPP Aktual HDPP
1681 1552 tad 1554 1581 tad 1510 1725 1703 tad 1573 1567
1725 1725 1725 1725 1725 1725 1725 1725 1725 1725 1725 1725
1278 1296 1258 1195 1244 1218 1174 1268 1272 1273 1253 1262
1230 1230 1230 1230 1230 1230 1230 1230 1230 1230 1230 1230
1252 1271 1232 1173 1217 1182 1150 1240 1245 1251 1227 1232
1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200
1654 1535 tad 1529 1558 tad 1500 1700 1679 tad 1559 1530
1700 1700 1700 1700 1700 1700 1700 1700 1700 1700 1700 1700
1614 tad 1725 1558 1690 1715 1853 1325 tad tad
1725 1725 1725 1725 1725 1725 1725 1725 1725 1725
1314 1228 1139 1189 1261 1262 1236 1236 1256 1301
1230 1230 1230 1230 1230 1230 1230 1230 1230 1230
1287 1202 1113 1158 1228 1227 1203 1200 1220 1274
1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200
1586 tad 1700 1522 1666 1700 1821 1275 tad tad
1700 1700 1700 1700 1700 1700 1700 1700 1700 1700
(Rp/kg) 2000
GKP Aktual HDPP GKP GKG Aktual HDPP GKG
1000
Bulan
Gambar 1. Perkembangan Harga Gabah Petani, 2002-2004 (Rp/kg) Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 1, Maret 2005 : 1-11
2
Bahwa HDPP tidak efektif di semua wilayah dan sepanjang waktu juga terbukti dari hasil monitoring lapang yang dilaksanakan oleh BPS. Hingga bulan September 2004, kasus transaksi jual beli gabah di bawah HDPP di tingkat penggilingan mencapai 55,09 persen dari total observasi, sedangkan yang di atas HDPP dan yang sama dengan HDPP masing-masing 44,95 persen dan 9,96 persen. Gabah yang dijual di luar (dibawah) persyaratan kualitas mencapai 8,82 persen (Tabel 2). Prevalensi kasus transaksi jual beli gabah di bawah HDPP umumnya tinggi di wilayah sentra produksi gabah seperti Banten, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Tabel 2. Persentase Observasi Transaksi Harga Gabah Di Tingkat Penggilingan. Sama Di atas HDPP dengan HDPP (%) (%) 1. Sumatera Barat 97,22 2. Jambi 66,67 33,33 3. Lampung 57,89 4. Jawa Barat 10,89 81,19 5. Jawa Tengah 2,73 45,45 6. D.I. Yogyakarta 3,33 15,00 7. Jawa Timur 11,66 25,68 8. Banten 8,57 9. Bali 11,54 61,54 10. Kalimantan Tengah 33,33 11. Kalimantan Selatan 65,00 12. Kalimantan Timur 100,00 13. Sulawesi Tengah 100,00 14. Sulawesi Selatan 31,92 17,02 15. Sulawesi Tenggara Tingkat Penggilingan 9,96 44,95 Sumber: BPS, Laporan Monitoring s/d September 2004. Provinsi
Di bawah HDPP (%) 2,78 42,11 7,92 51,82 81,67 60,66 91,43 26,92 66,67 35,00 51,06 100,00 55,09
Di luar kelompok kualitas (%) 4,00 9,52 15,12 13,38 11,17 10,34 66,67 8,82
2. Harga Gabah yang Diterima Petani Cenderung Menurun Walau secara rerata masih sesuai HDPP, harga gabah yang diterima petani cenderung menurun dalam dua tahun terakhir. Pada periode Januari – Oktober 2004, harga gabah rata-rata Rp 1.211/kg GKP, lebih rendah daripada periode yang sama tahun 2003 yang mencapai Rp 1.222. Rekor tertinggi harga gabah petani adalah Rp 1.231 pada tahun 2002 (Tabel 3). Penurunan harga gabah petani pada tahun 2004 seolah-olah suatu fenomena “anomali”, karena pada tahun ini harga beras impor meningkat tajam, sementara pemerintah telah berusaha keras menyangga HDPP dengan berbagai instrumen tambahan seperti melarang impor beras, menyediakan dana talangan, membangun lumbung, dan sebagainya. Peningkatan harga gabah petani pada tahun 2002 dan penurunan pada tahun 2003 dapat dijelaskan sebagai konsekuensi dari peningkatan dan penurunan EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004 Pantjar Simatupang, Sudi Mardianto, dan Mohamad Maulana
3
harga beras impor. Hingga tahun 2003 harga gabah di tingkat petani bergerak searah dengan harga beras impor yang berarti pasar gabah domestik terintegrasi dengan pasar beras dunia sebagai konsekuensi dari pasar terbuka. Pada umumnya ini tidak terjadi pada tahun 2004. Tabel 3. Rerata Harga Gabah di Tingkat Petani dan Penggilingan, Januari – Oktober 2004 Uraian
2001
2002
2003
2004
1. Tingkat petani (GKP)
1.092
1.224
1.222
1.211
2. Tingkat penggilingan (GKG)
1.466
1.560
1.615
1.640
Sumber: BPS.
Penurunan harga gabah petani pada tahun 2004 bersamaan dengan peningkatan cukup tinggi (sekitar 25%) harga beras impor. Seperti halnya harga gabah, harga beras yang dibayar konsumen di pasar domestik juga mengalami penurunan pada tahun 2004. Ini berarti, pada tahun 2004 pasar beras dan gabah domestik tersekat, tidak lagi terintegrasi dengan harga beras dunia. Akar penyebabnya ialah kebijakan pelarangan impor beras yang ditetapkan pemerintah sejak bulan Januari 2004, pada awalnya hanya pada masa panen raya, namun diperpanjang secara bertahap hingga sampai bulan Desember 2004 mendatang. Seperti yang akan diuraikan lebih lanjut, penurunan harga gabah tahun 2004 merupakan akibat dari perpaduan kesalahan kebijakan pelarangan impor dan melonjaknya produksi gabah domestik.
3.
HDPP untuk GKG dan Beras Kurang Relevan dan Terlalu Tinggi
Fakta bahwa harga GKG kerapkali di bawah HDPP dan harga beras selalu di bawah HDPP walaupun GKP di atas HDPP merupakan isu penting yang perlu dikaji lebih mendalam karena mengandung implikasi terhadap konstruksi kebijakan HDPP tersebut. Patut diduga HDPP untuk GKG dan beras kurang relevan atau terlalu tinggi relatif terhadap GKP. Pertama, pada umumnya petani menjual gabah dalam bentuk GKP, jarang dalam bentuk GKG dan praktis tidak pernah dalam bentuk beras. Oleh karena itu, HDPP untuk GKG dan beras kurang relevan dijadikan sebagai instrumen penyangga harga gabah petani. HDPP mestinya hanya untuk GKP saja. Harga GKG dan beras dibiarkan bebas berdasarkan kekuatan pasar. Kedua, dapat dipastikan HDPP untuk GKG dan beras relatif terlalu tinggi dibanding untuk GKP. Rasio harga GKG/GKP berdasarkan harga pasar (di tingkat penggilingan) adalah 1,16 sedangkan berdasarkan HDPP yang ditetapkan pemerintah 1,40. Rasio harga beras di tingkat konsumen/ GKP di tingkat penggilingan adalah 2,15, sedangkan berdasarkan HDPP yang ditetapkan Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 1, Maret 2005 : 1-11
4
pemerintah adalah 2,27. Hal inilah yang menyebabkan harga GKG dan harga beras dapat berada dibawah HDPP masing-masing, walaupun harga GKP di bawah HDPP-nya Ketiga, penetapan HDPP untuk GKG dan beras yang tidak konsisten, atau tegasnya terlalu tinggi relatif terhadap GKP, sementara transaksi GKG dan beras berdasarkan HDPP praktis hanya antara Bulog dan pengusaha kilang penggilingan padi, maka dapat dipastikan penetapan HDPP untuk GKG dan beras kurang bermanfaat bagi petani, lebih menguntungkan bagi Bulog dan mitra pengusaha kilang padinya, dan merugikan bagi negara. Keempat, penetapan tiga HDPP (untuk GKP, GKG, beras) yang tidak konsisten dapat menimbulkan kesulitan dalam monitoring dan evaluasi kinerja kebijakan HDPP tersebut. Jika harga GKP yang diterima petani selalu diatas HDPP, sementara GKG dan beras di bawah HDPP masing-masing, lantas apakah dapat disimpulkan kebijakan HDPP efektif atau tidak ? Harga produk mana yang akan diacu ? Kesulitan ini dapat diatasi dengan menetapkan HDPP untuk satu jenis produk gabah saja, yakni “Gabah Kering Panen” (GKP). Berdasarkan uraian diatas maka disarankan agar HDPP ditetapkan untuk satu produk saja, yaitu GKP. HDPP untuk GKG dan beras tidak perlu lagi ditetapkan pemerintah. Inilah salah satu usulan revisi terhadap ketentuan dalam Inpres 9/2002. Jika memang tetap akan direvisi penetapan harga pembayaran beras program Raskin oleh pemerintah kepada Bulog mestinya dilakukan berdasarkan kajian tersendiri dan tidak harus termasuk dalam ketentuan Inpres yang mengatur HDPP.
4. Kebijakan Pelarangan Impor “Bumerang” Bagi Petani Namun Menguntungkan Konsumen Barangkali karena gagal mencapai kesepakatan untuk meningkatkan tarif impor guna mendukung HDPP, berdasarkan rekomendasi dari Menteri Pertanian, akhirnya pada bulan Januari 2004 Menteri Perindustrian dan Perdagangan menerbitkan peraturan pelarangan impor beras dua bulan sebelum hingga sebulan sesudah musim panen raya beras atau spesifiknya dari bulan Januari hingga Juni 2004. Kebijakan ini selanjutnya diperpanjang hingga bulan Desember 2004. Kebijakan pelarangan impor sepanjang tahun sesungguhnya tidak sejalan dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Namun demikian, pelarangan impor mungkin masih dapat ditolerir sebagai mekanisme perlindungan khusus (special safeguard mechanism). Pokok masalahnya ialah apakah kebijakan pelarangan impor tersebut tepat dijadikan sebagai instrumen penyangga HDPP guna mengangkat harga gabah petani, mengingat tidak terjadi perubahan besar dalam konteks pasar beras dunia dan produksi gabah domestik ? Kebijakan pelarangan impor menimbulkan dua konsekuensi yang merugikan petani, namun menguntungkan konsumen beras. Pertama, insulasi EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004 Pantjar Simatupang, Sudi Mardianto, dan Mohamad Maulana
5
pasar domestik tatkala produksi gabah meningkat tajam (pada tahun 2004 produksi gabah melonjak 4,23%) akan menyebabkan harga gabah petani (dan harga beras konsumen) anjlok, khususnya pada masa panen padi (Maret – Agustus). Data empiris menunjukkan harga gabah pada musim panen padi anjlok dari Rp 1.201/kg GKP, berarti praktis sesuai HDPP Rp 1.200/kg GKP di tingkat petani, pada tahun 2003 menjadi Rp 1.188/kg GKP, berarti dibawah HDPP, pada tahun 2004. Dalam kondisi demikian, pasar dunia mestinya dapat dipakai sebagai tempat pelepasan efek lonjakan produksi pada pasar gabah/beras domestik sehingga penurunan harga dapat dicegah atau dikurangi. Kedua, insulasi pasar gabah dan beras domestik tatkala harga beras impor melonjak akan menghambat efek transmisi peningkatan harga beras dunia terhadap harga gabah petani dan harga beras konsumen. Artinya, petani padi kehilangan kesempatan untuk menikmati efek peningkatan harga beras impor sementara konsumen beras terhindar dari efek peningkatan harga beras. Dengan demikian, kebijakan melarang impor beras merugikan bagi petani padi, namun menguntungkan bagi konsumen beras domestik. Berdasarkan analisis diatas, penurunan harga gabah pada tahun 2004 diduga merupakan akibat dari kesalahan kebijakan: “melarang impor beras tatkala produksi gabah domestik meningkat tajam, sementara harga beras impor juga meningkat tajam”. Kebijakan larangan impor beras didasarkan pada dua pertimbangan pokok. Pertama, tarif impor beras yang ada tidak memadai untuk menutup disparitas antara harga beras domestik sepadan HDPP dan harga beras impor. Kedua, terjadi “kebocoran” dalam pelaksanaan kebijakan tarif impor beras berupa penyelundupan dan manipulasi dokumen sehingga sejumlah besar beras impor tidak terkena bea masuk. Dengan perkataan lain, kebijakan pelarangan impor dapat bermanfaat untuk meningkatkan harga gabah petani bila terdapat disparitas antara harga beras sepadan HDPP dan harga beras impor yang cukup besar, sementara defisit beras cukup besar pula. Dengan HDPP gabah kering panen di tingkat petani Rp 1.200/kg maka harga beras domestik di tingkat konsumen diperkirakan Rp 2.675/kg. Memang benar, sekalipun bea masuk impor beras dibayar penuh, selama periode bulan Januari – Februari 2004 harga beras impor masih jauh lebih murah daripada harga beras domestik sepadan HDPP gabah kering giling tersebut (Gambar 2, Tabel 4). Disparitas harga dan bea masuk yang cukup besar tersebut merupakan insentif yang cukup menggiurkan bagi para oportunis untuk melakukan tindakan melawan hukum menyelundupkan atau memanipulasi dokumen impor beras. Perpaduan antara peningkatan harga beras dunia, ongkos angkut kapal dan depresiasi rupiah yang terjadi serentak dan berkelanjutan telah menyebabkan harga beras impor meningkat tajam sejak bulan Januari 2004. Dengan bea masuk penuh, sejak bulan Maret 2004, harga beras impor telah lebih tinggi daripada harga beras domestik sepadan HDPP. Bahkan, kalaupun bea masuk impor beras Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 1, Maret 2005 : 1-11
6
hanya dibayar separohnya, “beras separoh nyolong”, sejak bulan Mei 2004 harga beras impor sudah lebih tinggi dari harga beras domestik sepadan HDPP. Dengan demikian, kebijakan pelarangan impor beras mestinya tidak diperpanjang. Keputusan untuk memperpanjang larangan impor merupakan kebijakan yang kurang tepat dari sisi kepentingan petani.
(Rp/kg)
3500
3000
2500
HDPP (Rp. 2.675/kg) Beras impor, bea penuh
2000
Beras impor, bea separo
1500 Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
Bulan
Gambar 2. Perkembangan Harga Beras Domestik Padanan HDPP dan Harga Beras Impor, 2004
Tabel 4. Perkembangan Harga Beras Domestik dan Harga Beras Impor, 2004 (Rp/kg). Harga Beras Domestik Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus
Sepadan HDPP 2.675 2.675 2.675 2.675 2.675 2.675 2.675 2.675
Harga Beras Impor Menurut Bea Masuk Efektif
Aktual
Rp 430
Rp 215
Nihil
2.700 2.700 2.700 2.700 2.700 2.693 2.571 2.456
2.498 2.518 2.786 2.828 2.928 2.958 2.950 3.021
2.273 2.292 2.560 2.602 2.702 2.732 2.725 2.795
2.047 2.067 2.334 2.376 2.476 2.506 2.499 2.569
Sumber : Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian.
Keputusan untuk memperpanjang pelarangan impor beras setelah masa puncak panen raya Mei 2004 justru menjadi tidak bermanfaat terhadap upaya menopang HDPP. Isolasi pasar domestik tatkala produksi beras domestik melonjak, sementara harga beras dunia melonjak, telah menyebabkan harga beras EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004 Pantjar Simatupang, Sudi Mardianto, dan Mohamad Maulana
7
(dan gabah petani) domestik menurun sejak bulan Juni 2004. Penurunan harga beras domestik tersebut bukanlah akibat maraknya penyelundupan beras sebagaimana diberitakan media masa pada bulan Juni 2004 lalu. Disadari atau tidak, tidak dapat dipungkiri keputusan untuk memperpanjang kebijakan larangan impor beras dari sebelumnya hanya sampai bulan Juni 2004 menjadi hingga bulan Desember 2004 bermanfaat untuk meredam dampak peningkatan harga beras dunia terhadap harga beras domestik yang amat membantu bagi konsumen beras domestik. Tidak saja berhasil sempurna menahan efek peningkatan harga beras dunia, harga beras domestik bahkan mengalami penurunan akibat tekanan peningkatan produksi gabah domestik. Kebijakan tersebut telah amat membantu menjaga stabilitas harga beras domestik pada masa hari-hari besar keagamaan yang terjadi beruntun sejak bulan November 2004 hingga Januari 2005. Menjaga harga beras stabil pada level yang cukup rendah demi untuk kepentingan konsumen domestik juga merupakan kewajiban pemerintah. Dalam perspektif ini, kebijakan untuk memperpanjang kebijakan pelarangan impor merupakan keputusan tepat yang harus diambil oleh pemerintah. Namun demikian, sejak semula, tujuan kebijakan pelarangan impor beras adalah untuk menopang kebijakan HDPP dalam mengangkat harga gabah petani. Oleh karena itu, dan mengingat pula bahwa hari raya keagamaan akan berakhir pada bulan Januari 2005 mendatang, maka kebijakan pelarangan impor beras yang saat ini berlaku hingga Desember 2004 tidak perlu diperpanjang kalau maksudnya hanya untuk menopang harga gabah petani. 5. Disparitas HDPP dan Harga Beras Impor Telah Berbalik dan Tarif Impor Beras Tidak Perlu Dinaikkan Akar penyebab dari masalah kronis harga gabah petani persisten di bawah HDPP pada rejim perdagangan terbuka adalah karena tarif impor beras terlalu rendah sehingga terjadi disparitas harga yakni harga beras domestik sepadan HDPP terlalu tinggi dibandingkan harga beras impor. Artinya, konstruksi paket kebijakan tidak sepadan; tarif impor relatif terlalu rendah dibanding HDPP. Di sisi lain, secara absolut tarif impor beras sudah cukup tinggi sehingga cukup menggiurkan bagi para oportunis untuk berbuat tindakan melawan hukum mengimpor beras secara ilegal dengan menyelundupkan beras atau memanipulasi dokumen beras impor. Perhitungan yang ditampilkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa dengan tarif berlaku Rp 430/kg, disparitas antara harga beras domestik sepadan HDPP dan harga beras impor memang masih cukup besar hingga bulan Februari 2004, namun sejak bulan Maret 2004 sudah berbalik arah, harga beras impor sudah lebih tinggi dari harga beras domestik sepadan HDPP. Bahkan kalaupun bea masuk impor hanya dibayarkan separuh (Rp 215/kg), sejak bulan Mei 2004 harga beras impor sudah lebih tinggi daripada harga beras domestik sepadan HDPP. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 1, Maret 2005 : 1-11
8
Dengan demikian, tarif impor beras yang berlaku saat ini, yaitu Rp 430/kg masih cukup memadai untuk menopang HDPP berdasarkan Inpres 9/2002 yang menetapkan Rp 1.230/kg GKP di tingkat penggilingan atau Rp 1.200/kg GKP di tingkat petani. Artinya, jika HDPP tidak dinaikkan maka tarif impor beras tidak perlu pula dinaikkan. Sudah barang tentu, kesimpulan ini hanya berlaku dalam konteks harga beras dunia, ongkos pengapalan dan nilai rupiah yang berlaku dalam beberapa bulan terakhir. Asumsi ini tentu amat labil dan bersifat jangka pendek. 6.
Perspektif Kebijakan HDPP 2005
Isu pertama dan utama ialah apakah HDPP sebagaimana diatur dalam Inpres 9/2002 perlu diubah (dinaikkan) ? Isu ini hendaklah dikaji dengan pertimbangan ekonomi politik maupun ekonomi positif. Dari segi ekonomi politik menaikkan HDPP tentunya bermanfaat untuk mengangkat popularitas politik pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – Wakil Presiden Jusuf Kalla (SBY – JK) yang baru saja terbentuk. Revisi Inpres 9/202 dapat dijadikan sebagai salah satu implementasi Program 100 Hari pemerintahan SBY-JK. Dilihat dari kebiasaan masa lalu, harga dasar gabah memang selalu dinaikkan paling sedikit sekali dalam dua tahun. Kalau tidak melakukan revisi Inpres 9/2002 pada akhir tahun 2004 ini maka pemerintahah SBY-JK mungkin akan dikritik kurang peduli kepada petani, karena menjadi pemerintahan yang pertama kali tidak menaikkan harga dasar gabah dalam dua tahun. Keputusan mengenai HDPP juga amat penting dikaitkan dengan keberlanjutan kebijakan subsidi pupuk. Pencabutan atau pengalihan subsidi pupuk, seperti yang sudah mulai diwacanakan pemerintah, akan meningkatkan harga pupuk di tingkat petani. Kalau pun nilai subsidi tidak berkurang serta dapat disalurkan lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan pendapatan petani dan memacu pertumbuhan sektor pertanian, peningkatan harga pupuk, akibat alih subsidi tersebut, mungkin saja akan diprotes petani beserta para pendukungnya. Oleh karena itu, bila pemeritah berniat sungguh-sungguh mencabut atau mengalihkan subsidi pupuk, maka akan muncul desakan politik untuk menaikkan harga dasar gabah. Namun secara ekonomi positif, harga dasar gabah tidak mendesak untuk ditingkatkan pada tahun 2005. Pertama, harga beras impor telah meningkat tajam dan terus bertahan tinggi sebagai akibat dari peningkatan harga beras dunia, peningkatan ongkos angkut kapal dan depresiasi rupiah. Dalam beberapa bulan terakhir, jika bea masuk dibayar penuh, harga beras impor di tingkat pedagang domestik telah mencapai sekitar Rp 3.000/kg atau sepadan dengan harga gabah di tingkat petani sekitar Rp 1.350/kg GKP atau 12,50 persen lebih tinggi dari harga dasar yang berlaku saat ini Rp 1.200/kg GKP. Dengan demikian, daripada meningkatkan HDPP, pilihan kebijakan yang lebih baik ialah mengusahakan agar peningkatan harga beras dunia dapat ditransmisikan sempurna hingga ke harga gabah di tingkat petani. EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004 Pantjar Simatupang, Sudi Mardianto, dan Mohamad Maulana
9
Kedua, jika HDPP ditingkatkan maka agar efektif, tarif impor beras harus ditingkatkan pula. Secara historis, pemeritah (para menteri) sangat sukar mencapai kesepakatan mengenai peningkatan tarif impor. Selain itu, peningkatan tarif impor diperkirakan akan semakin merangsang praktek impor beras illegal yang tidak saja akan membuat HDPP tidak dapat diefektifikan, tetapi juga menimbulkan masalah tersendiri yang harus ditangani pemerintah. Ketiga, peningkatan HDPP akan meningkatkan beban anggaran subsidi Program Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin) dan atau ongkos operasi pengamanan kebijakan HDPP yang keduanya harus dipikul pemerintah. Hal ini tentu akan semakin mempersulit masalah beban anggaran belanja yang kini sudah cukup berat. Keempat, peningkatan HDPP akan mendorong peningkatan harga beras di tingkat konsumen sehingga akan memberatkan penduduk miskin. Penelitian menunjukkan peningkatan harga beras di tingkat konsumen dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin. Peningkatan HDPP bersifat dilematis, di satu sisi perlu untuk meningkatkan pendapatan petani dan pemantapan ketahanan pangan, di sisi lain dapat meningkatkan penduduk miskin, khususnya yang bermukim di wilayah perkotaan. Kebijakan perberasan terkait lainnya yang disarankan sebaiknya dipilih pemerintah dalam waktu dekat ini ialah: 1. Mencabut larangan impor beras per Januari 2005. Pencabutan larangan impor ini dipandang perlu karena disatu sisi sudah tidak bermanfaat untuk menopang harga gabah petani. Sementara disisi lain tidak sejalan dengan ketentuan WTO. Dengan begitu, sifat kebijakan larangan impor beras tidak terkesan permanen dan dapat diterapkan lagi dikemudian hari bila dipandang perlu. Kebijakan ini disarankan baru akan diberlakukan per Januari 2005 dengan pertimbangan menjaga stabilitas harga beras pada hari-hari besar keagamaan. 2. Melaksanakan kampanye nasional pencegah-tangkalan praktek impor beras ilegal. Sesungguhnya pencegah-tangkalan impor beras illegal merupakan kunci utama keberhasilan kebijakan HDPP. Selain melalui peningkatan disiplin petugas keamanan, melibatkan seluruh komponen masyarakat luas, khususnya organisai petani atau lembaga swadaya masyarakat lainnya, mungkin lebih efektif dalam pemberantasan praktek impor beras illegal. Hal ini telah terbukti pada tataniaga gula dimana organisasi petani tebu cukup berperan dan berhasil mencegah-tangkal impor gula ilegal. 3. Mengintegrasikan program Raskin dalam paket instrumen penyangga HDPP. Bila tidak diintegrasikan secara harmonis dengan paket instrumen penyangga HDPP, program Raskin memang dapat berdampak negatif Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 1, Maret 2005 : 1-11
10
terhadap harga gabah petani. Sebagaimana telah dinyatakan oleh sebagian pakar, sesungguhnya program Raskin dapat dijadikan sebagai bagian dari instrumen penyangga harga gabah petani dengan cara: a. Mewajibkan Bulog bahwa beras yang disalurkan dalam program Raskin haruslah beras dari pengadaan dalam negeri, yakni hasil operasi pembelian gabah petani dalam rangka pengamanan HDPP. b. Sejalan dengan butir (a), Bulog tidak diberi hak istimewa untuk mengimpor beras. c. Mengharuskan Bulog agar program Raskin dilaksanakan dengan prinsip “tanpa menambah pasokan”, setidaknya di wilayah surplus gabah. Artinya, beras yang disalurkan berasal dari wilayah sendiri. Prinsip ini tidak saja menetralisir efek negatif terhadap harga petani, tetapi juga bermanfaat dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas operasional program Raskin. Sudah pasti, dengan cara ini maka ongkos transportasi lebih murah, mutu beras lebih terjamin dan administrasi operasional lebih transparan. PENUTUP Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) untuk gabah dan beras sebenarnya hanyalah merupakan salah satu komponen saja dari paket kebijakan ekonomi perberasan yang tercantum dalam Inpres No. 9 Tahun 2002. Namun karena langsung berkaitan dengan tingkat pendapatan yang diterima petani, kebijakan HDPP lebih banyak disorot oleh masyarakat, dibanding empat diktum lain yang terdapat dalam Inpres tersebut. Relatif rendahnya harga gabah yang diterima petani, memang dikhawatirkan akan dapat menurunkan insentif petani untuk menggunakan teknologi produksi, khususnya benih bermutu dan pupuk, secara optimal. Apabila hal ini tidak segera diatasi, maka dikhawatirkan akan berdampak pada : (a) stagnasi atau bahkan penurunan produktivitas, (b) penurunan luas tanam/panen padi karena petani beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan, dan (c) alih fungsi lahan sawah, baik karena dijual atau digunakan untuk peruntukan lain yang non pertanian. Apabila hal tersebut benarbenar terjadi maka akan dapat mengancam kemandirian pangan beras nasional. Untuk itu, pemerintah perlu lebih mengoptimalkan lagi pelaksanaan kebijakan perberasan yang telah ditetapkan, sehingga upaya meningkatkan produksi pangan beras domestik, sekaligus meningkatkan pendapatan petani dapat terwujud.
EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004 Pantjar Simatupang, Sudi Mardianto, dan Mohamad Maulana
11