ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI OUTPUT SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN KOTA TASIKMALAYA PERIODE TAHUN 2002-2008
OLEH DEPY MUHAMAD PAUZY H14070045
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
DEPY MUHAMAD PAUZY. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Output Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008 (dibimbing oleh TANTI NOVIANTI).
Kegiatan pembangunan industri bertujuan untuk menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat, menyediakan lapangan perkerjaan, menaikan devisa negara serta menaikan prestise nasional. Kegiatan industri merubah wajah suatu negara dari negara agraris menjadi wajah yang disebut dengan negara modern. Karakteristik negara agraris ditandai dengan tenaga kerja yang melimpah dan sebagian besar mengganggur sedangkan negara industri ditandai dengan padat modal dan padat karya serta pengangguran yang relatif sedikit. Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Kota Tasikmalaya. Berdasarkan pada PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi paling tinggi kedua pada PDRB Kota Tasikmalaya setelah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Perkembangan sektor industri pengolahan tidak terlepas dari semua perkembangan faktor-faktor produksi yang mempengaruhinya. Selama periode penelitian faktor-faktor produksi yang mencakup tenaga kerja, nilai investasi, bahan baku, bahan bakar minyak dan listrik menunjukan fluktuasi pada penggunaannya meskipun dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Laju pertumbuhan pada tenaga kerja, nilai investasi serta bahan baku mampu melaju positif sedangkan laju pertumbuhan pada bahan bakar minyak dan listrik menunjukan hal yang sebaliknya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi (tenaga kerja, nilai investasi, bahan baku, bahan bakar minyak dan listrik) terhadap pencapaian nilai output, menganalisis elastisitas dan skala usaha (return to scale) dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi CobbDouglas, serta menganalisis nilai tambah, efisiensi serta produktivitas tenaga kerja dari industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Adapun metode analisis yang digunakan yaitu metode analisis regresi berganda dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Data diolah dengan menggunakan perangkat lunak (software) E-Views 6 dan Microsoft Office Excel 2007. Hasil penelitian ini menunjukan faktor produksi yaitu investasi serta bahan bakar minyak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya. Berbeda dengan faktor produksi tenaga kerja, bahan baku dan listrik yang tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya. Pada analisis skala usaha (return to scale) menunjukan kondisi increasing return to scale, artinya laju pertumbuhan output lebih besar dari laju pertumbuhan input.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI OUTPUT SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN KOTA TASIKMALAYA PERIODE TAHUN 2002-2008
Oleh DEPY MUHAMAD PAUZY H14070045
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Output Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008
Nama Mahasiswa
: Depy Muhamad Pauzy
NIM
: H14070045
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Tanti Novianti, M.Si NIP. 1972 1117 1998022005
Mengetahui, Ketua Departemen
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 1964 1022 1989031003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2011
Depy Muhamad Pauzy H14070045
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Depy Muhamad Pauzy lahir tanggal 19 Juni 1989 di Ciawi, Tasikmalaya, sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Barat. Penulis merupakan anak ke-2 dari tiga bersaudara, dari pasangan H. Ade Sopyan dan Hj. Siti Rokayah, S.Pd. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Kurniabakti, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Ciawi dan lulus pada tahun 2004. Pada Tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 1 Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melajutkan studinya ke jenjang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga sumber daya berguna bagi pembangunan kota tercinta. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Himalaya (Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya).
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Output Sektor Industri Pengolahan
Kota
Tasikmalaya
Periode
Tahun
2002-2008”.
Industri
merupakan topik yang menarik karena sebagian besar perekonomian Indonesia ditopang oleh sektor ini. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan industri, khususnya di daerah Kota Tasikmalaya. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Kedua orang tua penulis, Bapak H. Ade Sopyan dan Hj. Siti Rokayah, S.Pd, yang telah memberikan doa dan restu kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
2.
Asep Diki Purniawan, S.E dan Aneta. R, S.E selaku kakak yang telah memberikan
semangat
dan
dorongannya
kepada
penulis
dalam
menyelesaikan skripsi. 3.
Tanti Novianti, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan semangat kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
4.
Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama yang telah memberikan banyak saran yang membangun demi kebaikan skripsi ini.
5.
Ranti Wiliasih selaku dosen penguji komisi pendidikan yang turut memberikan saran atas berbagai penulisan skripsi.
6.
Resti Lestari yang telah memberikan semangat dan bantuan terhadap penyelesaian skripsi ini.
7.
Dedi Budiman Hakim, Ph.D sebagai ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
8.
Seluruh staf TU Departemen Ilmu Ekonomi, FEM IPB atas bantuan yang diberikan demi kelancaran seminar dan sidang skripsi ini.
viii
9.
Irvan Prasetya dan Dian Nurdiana yang telah bersedia menjadi teman diskusi penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.
10. Yaya Sunarya atas semangat dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 11. Yuhana Rahayu dan Ari Kusuma atas segala saran yang diberikan selama proses penyelesaian skripsi ini. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan. Besar harapan penulis agar penelitian ini memiliki manfaat bagi pembaca.
Bogor, Juli 2011
Depy Muhamad Pauzy H14070045
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv I.
PENDAHULUAN........................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 5 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 6 1.4. Kegunaan Penelitian .............................................................................. 7 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .......................................... 7
II.
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 9 2.1. Tinjauan Teoritis ..................................................................................... 9 2.1.1. Industri ......................................................................................... 9 2.1.2. Industri Pengolahan .................................................................. 11 2.1.3. Pengertian Produksi .................................................................... 15 2.1.3.1.Konsep Fungsi Produksi ................................................ 17 2.1.3.2. Faktor-Faktor Produksi ................................................. 23 2.1.4. Fungsi Produksi Cobb-Douglas .................................................. 26 2.1.5. Skala Usaha (Return to Scale) .................................................... 30 2.1.6. Nilai Tambah dan Efisiensi ........................................................ 32 2.1.7. Produktivitas ............................................................................... 33
x
2.2. Tinjauan Empiris ................................................................................... 34 2.2.1. Penelitian Terdahulu .................................................................. 34 2.2.2. Kerangka Pemikiran Konseptual ............................................... 36 III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 38 3.1. Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 38 3.2. Metode Analisis ................................................................................... 39 3.2.1. Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas .................................... 39 3.2.2. Analisis Nilai Tambah dan Efisiensi .......................................... 40 3.2.3. Analisis Regresi Berganda ......................................................... 41 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN DI KOTA TASIKMALAYA ........................................ 49 4.1. Gambaran Umum ................................................................................. 49 4.1.1. Letak Geografis ......................................................................... 49 4.1.2. Gambaran Perekonomian Kota Tasikmalaya ............................ 50 4.2. Gambaran Umum Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya .. 52 V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 56 5.1. Perkembangan Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ....... 56 5.1.1. Perkembangan Output Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya .............................................................................. 56 5.1.2. Perkembangan Faktor-Faktor Produksi (Input) Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ............................................... 57 5.2. Hasil Estimasi Model Persamaan Regresi Fungsi Produksi CobbDouglas ................................................................................................. 60 5.2.1. Analisis Ekonometrika ............................................................... 61 5.2.2. Analisis Statistik dan Kriteria Ekonomi ..................................... 64 5.3. Elastisitas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ......................................................... 72
xi
5.4. Skala Usaha (Return to Scale) Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya .......................................................................................... 73 5.5. Nilai Tambah Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya .......... 74 5.6. Efisiensi Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya .................. 75 5.7. Produktivitas Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya........... 75 5.8. Peran Pemerintah daerah Kota Tasikmalaya dalam Upaya Pengembangan Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ....... 76 5.8.1 Kebijakan Sektoral ...................................................................... 77 5.8.2 Kebijakan Anggaran .................................................................... 78 VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 81 6.1. Kesimpulan ........................................................................................... 81 6.2. Saran..................................................................................................... 82 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 84 LAMPIRAN ......................................................................................................... 87
xii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1.
PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Persentase PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2008 .............................................................................. 2
1.2.
Perkembangan Nilai Input dan Output Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2006-2008 ............................................................ 5
2.1.
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2009 Sektor Industri Penolahan Non-Migas ..................................................................... 14
4.1.
Jumlah Industri Besar atau Sedang Persubsektor Kota Tasikmalaya Tahun 2008 ................................................................................................... 52
5.1.
Perkembangan Output Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ............................................ 56
5.2.
Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ........................... 57
5.3.
Perkembangan Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ........................................ 58
5.4.
Perkembangan Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ........................................ 59
5.5.
Uji Kenormalan ............................................................................................. 60
5.6.
Heteroskedasticity Test: White ..................................................................... 61
5.7.
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test............................................... 62
5.8.
Covariance Analisys ..................................................................................... 63
5.9.
Analisis Kriteria Statistik Fungsi Produksi ................................................... 64
5.10. Realisasi Belanja Daerah Dinas Perindustrian Kota Tasikmalaya Tahun Anggaran 2008 .............................................................................................. 79
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1.
Elastisitas Produksi dan Daerah-Daerah Produksi Pada Jangka Pendek .................................................................................................... 18
2.2.
Gambar Kerangka Pemikiran Konseptual ............................................. 37
4.1.
PDRB Kota Tasikmalaya Tahun 2001-2008 Atas Dasar Harga Konstan 2000 ......................................................................................... 50
4.2.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tasikmalaya dan beberapa wilayah sekitar Tahun 2006-2008 Atas Dasar Harga Konstan 2000 ..... 51
5.1.
Nilai Tambah Riil pada Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008 ...................................................................... 74
5.2.
Nilai Efisiensi pada Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008 ...................................................................... 75
5.3.
Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008 ................................................ 76
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Tabel PDRB dan Persentase PDRB Kota Tasikmalaya Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2002-2008 menurut Lapangan Usaha ........... 88
2.
Lanjutan lampiran 1 ................................................................................... 89
3.
Data Statistik Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 20022008 ............................................................................................................ 90
4.
Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 .................................................................. 91
5.
Data nominal faktor-faktor produksi yang memengaruhi Output Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya tahun 2002-2008 ..................... 92
6.
Data riil faktor-faktor produksi yang memengaruhi Output Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya tahun 2002-2008 .................................. 93
7.
Data Nilai Tambah nominal Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya tahun 2002-2008 ........................................................................................ 94
8.
Data Nilai Tambah riil Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya tahun 2002-2008 ........................................................................................ 95
9.
Data efisiensi Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 20022008 ............................................................................................................ 96
10.
Data variabel dependen dan independen OLS ( di Ln-kan) ....................... 97
11.
Covariance Analisys .................................................................................. 98
12.
Uji Statistik Fungsi Produksi ..................................................................... 99
13.
Uji Normalitas Error Term ........................................................................ 100
1
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Salah satu teori ekonomi pembangunan yang menjadi rujukan bagi negara
yang sedang berkembang adalah teori perubahan struktural (structural change theory). Teori ini menekankan bahwa suatu negara akan berkembang dengan pesat jika
mampu
perekonomian
mentransformasikan
struktur
pertanian
tradisional
subsisten
perekonomiannya, berbasis
dari
pedesaan
pola
menjadi
perekonomian yang lebih modern berbasis perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh (Chenery dalam Todaro dan Smith, 2006). Sejarah berdirinya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonomi tidak terlepas dari sejarah berdirinya Kabupaten Tasikmalaya sebagai daerah kabupaten induknya, maka rangkaian sejarah ini merupakan bagian dari perjalanan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya sampai terbentuknya Pemerintah Kota Tasikmalaya. Semenjak berlakunya otonomi daerah, maka setiap daerah lebih mampu menggali potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya untuk dapat menggerakkan roda perekonomian wilayahnya dengan perencanaan yang lebih terarah dan berkesinambungan. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya, telah menjadi dasar hukum bagi Pemerintah Kota Administratif Tasikmalaya menjadi Daerah Otonomi Kota Tasikmalaya, dengan diberlakukannya Undang-undang tersebut Kota Tasikmalaya
2
menjadi daerah yang mempunyai kewenangan dalam mengatur rumah tangga sendiri. Secara umum bidang-bidang ekonomi yang ada di Kota Tasikmalaya dibagi ke dalam sembilan sektor atau lapangan usaha yaitu: (1)pertanian, (2)pertambangan dan penggalian, (3)industri pengolahan, (4)listrik, gas kota dan air bersih, (5)konstruksi atau bangunan, (6)perdagangan, hotel dan restoran (7)pengangkutan dan komunikasi, (8)keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan (9)jasa-jasa. Tabel 1.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Persentase PDRB Atas Harga Konstan 2000 Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2008 Kota Tasikmalaya No
Sektor
Kabupaten Tasikmalaya
PDRB
Persentase
PDRB
Persentase
(juta)
(%)
(juta)
(%)
295,204.03
8.51
2,325,521.28
47.51
196.93
0.01
12,185.07
0.25
1
Pertanian
2
Pertambangan dan Penggalian
3
Industri Pengolahan
621,586.84
17.91
378,693.39
7.74
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
57,112.97
1.65
49,782.83
1.02
5
Bangunan
360,041.49
10.38
36,945.57
0.75
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
1,036,979.45
29.88
1,082,152.92
22.10
7
Pengangkutan dan Komunikasi
306,170.95
8.82
239,527.63
4.89
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
365,102.47
10.52
193,154.52
3.95
9
Jasa-jasa
427,846.77
12.33
577,840.51
11.80
4,895,803.74
100.00
Total 3,470,241.90 100.00 Sumber: BPS Kota Tasikmalaya Tahun 2008 (diolah)
3
Tabel 1.1 menyajikan PDRB atas dasar harga konstan 2000 Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya menurut lapangan usaha pada tahun 2008. Terdapat perbedaan yang signifikan pada struktur perekonomian Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan Tabel 1.1 perekonomian Kota Tasikmalaya ditopang oleh 3 sektor utama yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor industri pengolahan dan sektor jasa-jasa yang masing-masing menyumbang 29.88 persen; 17.91 persen dan 12.33 persen terhadap PDRB Kota Tasikmalaya, sedangkan Kabupaten Tasikmalaya ditopang oleh 3 sektor utama yaitu sektor pertanian yang menyumbang 47.51 persen; sektor perdagangan, hotel dan restoran yang menyumbang 22.10 persen serta sektor jasa-jasa yang menyumbang 11.80 persen terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya. Kontribusi sektor industri pengolahan di Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya terdapat perbedaan. Tabel 1.1 menjelaskan bahwa sektor industri pengolahan berperan besar terhadap PDRB Kota Tasikmalaya yang mampu menyumbang 17.91 persen terhadap PDRB Kota Tasikmalaya dibandingkan dengan peran sektor industri pengolahan di Kabupaten Tasikmalaya yang hanya berkontribusi 7.74 persen terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya. Kecilnya kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya lebih dikarenakan Kabupaten Tasikmalaya sebagai lumbung padi nasional dengan peran sektor pertanian yang sangat mendominasi. Industri pengolahan sebagai salah satu sektor utama di Kota Tasikmalaya diharapkan dapat berkembang dan lebih maju seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, sehingga proses percepatan pembangunan di Kota Tasikmalaya akan berjalan lebih cepat.
4
Pembangunan sektor industri pengolahan bagi Kota Tasikmalaya pada masa sekarang diarahkan untuk dapat memberikan sumbangan yang nyata dan optimal dalam pencapaian sasaran utama pembangunan jangka panjang. Sasaran yang dimaksud adalah tercapainya kondisi ekonomi yang seimbang dimana terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang lebih maju dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kota Tasikmalaya. Berbagai kendala dan rintangan muncul sejak tahun 2006, seperti melambungnya harga minyak dunia, krisis energi yang berkepanjangan serta fenomena alam yang sering kali tidak mendukung telah mempengaruhi kinerja perekonomian Kota Tasikmalaya. Peningkatan harga minyak dunia memengaruhi hampir semua sektor perekonomian karena bahan bakar minyak merupakan salah satu input produksi bagi semua sektor ekonomi khususnya sektor listrik, gas dan air bersih, juga sektor industri pengolahan. Krisis keuangan pula telah memengaruhi sektor Perbankan serta fenomena alam yang sering kali tidak mendukung akan memengaruhi kinerja sektor pertanian di Kota Tasikmalaya (lampiran 2, halaman 89). Kondisi ekonomi yang terjadi selama kurun waktu 2006 sampai 2008 telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar dari output produksi pada sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya merupakan pangsa pasar ekspor. Adanya resesi ekonomi di Amerika dan negara maju lainnya berakibat pada penurunan permintaan impor akan barang produksi industri
5
pengolahan di Indonesia maupun Kota Tasikmalaya, sehingga berpengaruh pula pada penggunaan input serta pencapaian output sektor industri pengolahan. Tabel 1.2 Perkembangan Nilai Input dan Output Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 Output (Nominal)
Input (Nominal)
Nilai
Laju Pertumbuhan
Nilai
Laju Pertumbuhan
(Ribu Rupiah)
(%)
(Ribu Rupiah)
(%)
2006
196,467,183,900
*
142,199,848,772
*
2007
159,026,336,980
-23.54
76,010,737,054
-87.08
2008
156,607,053,603
-1.54
104,626,254,116
27.35
Total
512,100,574,483
-25.09
322,836,839,942
-59.73
107,612,279,981
-29.86
Tahun
Rata170,700,191,494 -12.54 rata Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2006-2008
Keterangan: * : Perhitungan data tidak mendukung Kondisi perekonomian di Kota Tasikmalaya berpengaruh terhadap penggunaan nilai input serta pencapaian nilai output pada industri pengolahan di Kota Tasikmalaya tercermin pada Tabel 1.2. Pengunaan input cenderung mengalami penurunan dengan rata-rata 29.86 persen begitu pula pencapaian nilai output yang mempunyai kecenderungan yang sama dengan laju pertumbuhan ratarata -12.54. 1.2.
Perumusan Masalah Masalah umum yang sering dihadapi oleh sektor industri pengolahan
adalah teknologi industri yang dimiliki pada umumnya masih menggunakan
6
teknologi sederhana dan tingkat inefisiensi manajemen yang relatif tinggi. Penggunaan teknologi yang masih sederhana berdampak pada produktivitas yang rendah jika dibandingkan dengan penggunaan teknologi canggih dengan mesinmesin otomatis. Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menghambat sektor industri pengolahan untuk mencapai tingkat output yang efisien. Tingginya harga bahan baku dan tarif listrik yang sangat penting dalam menjalankan dunia usaha juga menambah beban biaya sehingga menurunkan tingkat efisiensi pada sektor industri pengolahan. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan bahwa permasalahanpermasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana perkembangan output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya selama periode 2002-2008? 2. Bagaimana perkembangan faktor-faktor produksi (input) sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya selama periode 2002-2008? 3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat output industri pengolahan di Kota Tasikmalaya dan berapa besar pengaruh masingmasing faktor tersebut? 4. Kebijakan apa yang dapat dilakukan pemerintah daerah Kota Tasikmalaya dalam rangka meningkatkan output sektor industri pengolahan di wilayah tersebut? 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka dapat
dirumuskan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut ini:
7
1. Mengidentifikasi perkembangan output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya selama periode 2002-2008. 2. Mengidentifikasi perkembangan faktor-faktor produksi (input) sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya periode 2002-2008. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat output industri pengolahan di Kota Tasikmalaya pada periode 2002-2008 serta menganalisis besarnya pengaruh dari masing-masing faktor tersebut. 4. Mengkaji kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Kota Tasikmalaya) dalam rangka meningkatkan output sektor industri pengolahan di wilayah tersebut. 1.4.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak.
Bagi Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dan bahan pertimbangan dalam peran Kota Tasikmalaya dalam
upaya
peningkatan
perkembangan
industri
pengolahan
di
Kota
Tasikmalaya, sedangkan bagi pihak lainnya hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi tambahan dan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan. 1.5.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Industri pengolahan merupakan industri yang sangat kompleks karena
kegiatannya sangat beragam dan saling berkait. Keberadaan industri ini akan memengaruhi nilai output produksi, pendapatan daerah, kesempatan kerja, upah, pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi pemerintah,
8
investasi, net ekspor dan sebagianya. Peneliti hanya mengkaji tentang faktorfaktor yang memengaruhi output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Peneliti juga hanya memfokuskan pada nilai agregasi setiap model penduga (variabel) pada industri pengolahan di Kota Tasikmalaya tanpa mengkaji lebih mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi setiap model penduga pada setiap subsektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Industri Industri adalah sekelompok perusahaan yang menawarkan suatu produk yang memiliki substitusi yang dekat satu sama lain. Menurut BPS (2002), industri merupakan kumpulan dari beberapa perusahaan yang melakukan kegiatan atau aktivitas produksi yang sejenis seperti industri pengolahan. Hasibuan (1993) mengatakan industri dapat dibagi ke dalam industri makro dan industri mikro. Secara mikro, industri adalah kumpulan dari perusahaan yang menghasilkan barang sejenis. Sedangkan secara makro, industri adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan nilai tambah. Selama ini ada empat masalah yang dihadapi oleh sektor industri pengolahan, masalah-masalah tersebut seperti diuraikan berikut ini: 1. Orientasinya yang terlalu mengarah kepada pemenuhan permintaan dalam negeri. Hal ini, telah mengakibatkan rendahnya nilai ekspor produk-produk industri. Dibandingkan dengan negara lain yang meletakan ekspor industri pengolahannya sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonominya, maka nilai ekspor produk-produk industri sebagai persentase ekspor barang dan jasa masih sangat tergolong rendah. 2. Pertumbuhan industri yang pesat selama ini tidak bisa terlaksana berkat adanya kebijakan perdagangan luar negeri yang protektif, yang bertujuan untuk mendorong perkembangan industri substitusi impor.
10
3. Pertumbuhan sektor industri pengolahan selama ini tidak banyak menyumbang perluasan kesempatan kerja, sebagai contoh tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian tidak sepenuhnya mampu ditampung oleh sektor industri. 4. Pertumbuhan sektor industri selama ini ditopang oleh adanya devisa yang cukup besar untuk impor bahan baku yang diperlukan. Disamping itu, perkembangan sektor ini tidak ditunjang oleh perkembangan teknik dan teknologi serta tidak didukung oleh keterkaitan yang kuat dengan sektor-sektor lainnya. Untuk menjawab persoalan yang dinyatakan diatas, ada tiga strategi yang dapat digunakan. Ketiga strategi tersebut menjelaskan bahwa industrialisasi di Indonesia harus didasarkan pada: 1. Keunggulan komparatif, yaitu dilihat dari sumberdaya alam yang tersedia di Indonesia. 2. Keterkaitan antar sektor terutama sektor hulu dan hilir. Dari kedua strategi ini diharapkan timbul suatu keterkaitan dimana pertumbuhan yang terjadi pada sektor industri pemakai akan ikut menumbuhkan industri komponen. Efek selanjutnya adalah terciptanya penghematan devisa, meningkatkan pendapatan, keahlian, dan kesempatan kerja. 3. Teknologi yang tinggi dan selalu berkembang untuk pembangunan industri hulu secara simultan. Faktor industri hulu harus merupakan pertimbangan yang dominan karena apabila industri hulu menggunakan teknologi yang tinggi dan efisien, maka industri hilirnya tidak mengalami biaya tinggi dan ini sesuai dengan sasaran untuk mengembangkan industri yang kompetitif untuk ekspor (Zain, 2005).
11
2.1.2. Industri Pengolahan Pengertian industri pengolahan diartikan sebagai suatu kegiatan ekonomi yang melakukan aktivitas mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi atau setengah jadi, atau suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir (BPS, 2002). Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2002, industri pengolahan dibagi kedalam 2 kelompok besar yaitu: 1. Industri Migas a) Industri pengilangan minyak bumi b) Industri Gas alam cair 2. Industri Bukan Migas a) Industri makanan, minuman, dan tembakau b) Industri textil, barang kulit dan alas kaki c) Industri barang kayu dan hasil hutan lain d) Industri barang kertas dan barang cekatan e) Industri pupuk, kimia, dan barang dari karet f) Industri semen dan barang galian bukan logam g) Industri logam dasar besi dan baja h) Industri alat angkutan, mesin dan peralatan i) Industri barang lainnya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2002) industri pengolahan terdapat dalam berbagai sektor, yaitu sektor pertanian, sektor peternakan, perikanan,
12
kehutanan, pertambangan, farmasi, dan pengolahan. Pada garis besarnya industri terdiri dari: a) Industri Primer (Industri Hulu) Industri primer merupakan industri yang mengolah bahan-bahan pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, dan pertambangan, industri ini juga disebut dengan industri hulu. Karakteristik dari industri hulu adalah penggunaan teknologi yang tinggi yang mengubah bahan-bahan dari alam menjadi barang setengah jadi, kebutuhan investasi yang tinggi sebagai konsekuensi dari belanja teknologi yang dibutuhkan dalam proses produksi (padat modal), penggunaan mesinmesin yang berjalan otomatis sehingga peran tenaga kerja tidak begitu dominan. Penggunaan mesin-mesin yang berjalan otomatis membuat produktivitas pada industri hulu sangat tinggi. b) Industri Sekunder (Industri Antara) Industri sekunder atau industri antara merupakan industri yang mengolah hasil-hasil industri primer dan bahan-bahan lain yang tidak termasuk industri primer. Karakteristik dari industri ini adalah penggunaan teknologi semi otomatis sehingga peranan teknologi serta tenaga kerja berjalan secara seimbang (padat modal dan padat karya). Artinya, setiap penambahan modal pada industri ini akan diimbangi pula dengan penyerapan tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja dari industri sekunder cukup tinggi karena faktor penggunaan mesin-mesin yang berjalan semi otomatis dengan penyerapan tenaga kerja yang relatif tinggi pula.
13
c) Industri Tersier (Industri Hilir) Industri tersier atau industri hilir merupakan industri yang merubah bahan setengah jadi menjadi barang konsumsi. Karakteristik dari industri ini adalah peranan tenaga kerja yang dominan (padat karya). Poduktivitas tenaga kerja dari industri hilir rendah. Besarnya peranan tenaga kerja dalam industri tersier adalah sebagai akibat dari penggunaan teknologi yang masih sederhana. Industri bagi pemerintah dan masyarakat mempunyai arti yang sangat penting, karena merupakan bagian dari kekuatan ekonomi yang menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Industri merupakan salah satu sumber dan sarana yang efektif bagi pemerintah untuk menjalankan kebijakan pembagian pendapatan nasional. Oleh sebab itu, pemerintah pada dasarnya mempunyai kepentingan dan ikut bertanggung jawab atas kelangsungan dan keberhasilan setiap industri. Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga pihak yaitu pengusaha, pekerja atau serikat pekerja dan pemerintah mempunyai kepentingan atas jalannya dan keberhasilan industri. Berhasilnya industri akan meningkatkan keuntungan yang diterima oleh industri tersebut sedangkan bagi pekerja keberhasilan industri akan meningkatkan tingkat upah yang akan diterima atau terbukanya kesempatan kerja baru bagi masyarakat. Bagi pemerintah keberhasilan industri akan meningkatkan pendapatan nasional yang diperoleh. BPS
(2002),
mengklasifikasikan
subsektor
industri
pengolahan
berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2 digit seperti yang disajikan Tabel 2.1.
14
Tabel 2.1. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Tahun 2002 Sektor Industri Pengolahan No
Kode KBLI
1
15
Industri Makanan dan Minuman
2
16
Industri Pengolahan Tembakau
3
17
Industri Tekstil
4
18
Industri Pakaian Jadi
5
19
Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki
6
20
Industri Kayu, Barang dari Kayu, Barang-barang anyaman dari rotan
7
21
Industri Kertas, Barang dari Kertas dan sejenisnya
8
22
Industri Penerbitan, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman
9
23
Industri Batu Bara, Pengilangan Minyak Bumi, barang-barang dari hasil pengilangan minyak bumi dan bahan baku nuklir
10
24
Industri kimia dan barang-barang dari kimia
11
25
Industri Karet, barang dari Karet dan barang dari plastik
12
26
Industri barang galian logam
13
27
Industri Logam Dasar
14
28
Industri Barang dari Logam, kecuali mesin dan peralatannya
15
29
Industri mesin dan peralatannya
16
30
Industri mesin dan peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data
17
31
Industri pengolahan lainnya dan perlengkapannya
18
32
Industri radio, televisi, peralatan komunikasi, serta peralatannya
19
33
Industri peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam dan lonceng
20
34
industri kendaraan bermotor
21
35
Industri alat angkutan
22
36
Industri furnitur dan industri pengolahan lainnya
Deskripsi Sektor Industri Pengolahan
23 37 Daur Ulang Sumber: BPS Kota Tasikmalaya Tahun 2002
15
2.1.3. Pengertian Produksi Menurut Sanimah (2006), produksi adalah hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Produksi menurut Tasliah (2006) adalah merujuk pada transformasi dari berbagai macam input atau sumberdaya menjadi output berupa barang dan jasa. Input menurutnya adalah berbagai sumberdaya yang digunakan dalam produksi barang dan jasa. Dengan demikian, proses produksi adalah mengkombinasikan berbagai macam input atau masukan untuk menghasilkan output. Setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan baik itu perorangan maupun perusahaan (industri) bertujuan untuk mendapatkan hasil yang terbaik, begitu pun dalam hal berproduksi. Untuk menghasilkan output yang optimal maka setiap input harus digunakan secara efisien. Pada
sebuah
proses
produksi,
sebuah
industri
atau
perusahaan
membutuhkan input produksi yang dalam teori mikroekonomi disebut dengan faktor produksi (factors of production). Faktor produksi jika dilihat secara keseluruhan terdiri dari tenaga kerja (labor), bahan dasar (raw materials), dan investasi modal (capital). Faktor buruh dalam beberapa kasus dapat dibedakan menjadi tenaga kerja yang mempunyai keahlian (skilled labor) dan yang tidak memiliki keahlian (unskilled labor). Bahan dasar biasanya mengacu pada barangbarang yang diolah oleh perusahaan untuk kemudian dijadikan produk akhir (output), sedangkan modal mengacu pada bangunan, alat-alat yang digunakan untuk pengolahan (equipment) dan inventaris lainnya. Secara teoritis hubungan dari berbagai faktor produksi tersebut yang menghasilkan sebuah output disebut
16
dengan fungsi produksi. Dengan kata lain, fungsi produksi menghubungkan input dengan output. Produksi atau memproduksi adalah menambah kegunaan (nilai guna) suatu barang. Kegunaan suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih dari bentuk semula. Untuk memproduksi dibutuhkan faktor-faktor produksi, yaitu alat atau sarana untuk melakukan proses produksi. Faktor-faktor produksi yang dimaksudkan dalam ilmu ekonomi adalah manusia (tenaga kerja = TK), modal (uang atau alat modal seperti mesin = M), SDA (tanah = T), dan skill (teknologi = S). Yang dimaksud fungsi produksi adalah hubungan teknis antara faktor produksi (input) dan hasil produksi (output). Secara matematis hubungan teknis itu dapat ditulis O = f(TK, M, T, S). Hubungan teknis yang dimaksud adalah bahwa produksi hanya bisa dilakukan dengan menggunakan faktor produksi yang dimaksud. Bila faktor produksi tidak ada, maka tidak ada juga produksi. Faktor-faktor produksi yang dimaksud dalam pemanfaatannya harus dikombinasikan, baik sebagai variabel atau pun tetap. Faktor produksi yang paling utama adalah manusia dan tanah (SDA) (Putong, 2003). Produksi adalah proses kombinasi dan koordinasi material-material dan kekuatan-kekuatan (input, faktor, sumberdaya, atau jasa-jasa produksi) dalam pembuatan suatu barang dan jasa (output atau produk). Kata input dan output hanya memiliki pengertian dalam hubungannya dengan proses produksi tertentu (Beattie dan Taylor, 1994). Dalam produksi dikenal istilah nilai output dan biaya input. Nilai output terbentuk dari berbagai komponen seperti barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, jasa industri yang diberikan pada pihak lain, selisih nilai stok barang
17
setengah jadi, dan penerimaan lain dari jasa non-industri. Biaya input adalah semua biaya yang dipakai untuk memproduksi suatu barang seperti bahan baku; bahan bakar; tenaga listrik dan gas; dan barang lainnya (diluar bahan baku atau bahan penolong); perbaikan dari jasa industri; sewa gedung; mesin dan alat-alat serta jasa non-industri (BPS, 2002). 2.1.3.1. Konsep Fungsi Produksi Hubungan penggunaan faktor-faktor produksi atau input dan produk atau output yang dihasilkan disebut fungsi produksi. Menurut Debertin, D.L. (1986) dalam Machmud (1997), fungsi produksi menguraikan suatu teknik hubungan yang mentransformasikan input (sumberdaya) ke dalam output (komoditi). Secara matematik fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Y = f ( X1, X2, X3,….. Xn)
............................................................................ (2.1)
Dimana : Y
= output
Xn
= input atau faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi Y
f
= bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input dalam output. Fungsi produksi menghubungkan antara input yang dalam proses produksi
dengan kuantitas output yang dihasilkan (Lipsey, at al., 1995). Hubungan fisik antara input dan output sering disebut dengan fungsi produksi. Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara masukan produksi (input) dan keluaran produksi atau output. Analisis fungsi produksi sering digunakan oleh para peneliti karena
18
mereka menginginkan informasi bagaimana sumberdaya yang terbatas seperti tanah, tenaga kerja dan modal dapat dikelola dengan baik agar produksi maksimum dapat diperoleh (Soekartawi, 1993). Fungsi produksi adalah sebuah deskripsi matematis atau kuantitatif dari berbagai macam kemungkinankemungkinan produksi teknis yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Fungsi produksi memberikan output maksimum dalam pengertian fisik dari tiap-tiap tingkat input dalam pengertian fisik (Baettie dan Taylor, 1994). Fungsi produksi dapat dinyatakan pula dalam grafik, dengan asumsi bahwa hanya satu faktor produksi saja yang berubah sedangkan faktor produksi lainnya dianggap tetap atau cateris paribus. Kebaikan fungsi produksi dinyatakan dalam grafik adalah mudah menganalisis peranan faktor produksi terhadap produk yang dihasilkan.
Sumber: Debertin, D.L. (1986) dalam Machmud (1997). Gambar 2.1. Elastisitas Produksi dan Daerah-Daerah Produksi pada Jangka pendek
19
Keterangan: MPP
= Produk Marjinal (Marginal Physical Product)
APP
= Produk Rata-Rata (Average Physical Product)
TPP
= Produk Total (Total Physical Product)
A
= Inflection Point
B
= Titik Singgung Kurva TPP
C
= Titik Maksimum TPP
Produk Total (TP) adalah jumlah total yang diproduksi selama periode tertentu. Jika semua input kecuali satu faktor dijaga konstan, produksi total akan berubah menurut banyak sedikitnya variabel yang digunakan. Produk rata-rata (AP) adalah produk total produk total dibagi jumlah unit variabel yang digunakan untuk memproduksinya. Dalam Gambar 2.1. dengan makin banyaknya faktor variabel yang digunakan, produk rata-rata kemudian meningkat dan kemudian menurun. Tingkat output dimana produk rata-rata mencapai maksimum disebut titik berkurangnya produktivitas rata-rata (point of diminishing average productivity). Sampai dengan titik ini rata-rata produktivitas terus naik, diluar ini produktivitas rata-rata akan terus turun. Produk marjinal (MP), kadang-kadang disebut juga produk incremental (incremental product) atau produk fisik marjinal (MPP), adalah perubahan dalam produk total sebagai akibat penambahan satu unit penggunaan variabel. Tingkat output
dimana
produk
marjinal
mencapai
maksimum
dinamakan
titik
berkurangnya produktivitas marjinal (point of diminishing marginal productivity) (Lipsey, et al.1995). MP =
=
= f (X) ................................................................ (2.2)
20
=
AP =
...................................................................................... (2.3)
Untuk melihat perubahan dari jumlah produksi yang disebabkan oleh faktor produksi yang dipakai dapat dinyatakan dengan elastisitas produksi. Elastisitas produksi (EP) adalah persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan dari input, atau dapat diartikan sebagai rasio tambahan relatif produk yang dihasilkan dengan perubahan relatif jumlah faktor produksi yang dipakai. Secara Matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
EP =
∆
∆
....................................................................................................... (2.4)
atau
EP =
∆ ∆
. =
Karena ∆
........................................................................................... (2.5)
∆
adalah MP, maka besarnya EP tergantung dari besar
kecilnya MP dari suatu input. Adapun hubungan antara MP dan TP adalah: 1. Bila TP tetap naik, maka MP positif 2. Bila TP mencapai maksimum, maka nilai MP menjadi nol 3. Bila TP sudah mulai menurun, maka nilai MP menjadi negatif 4. Bila TP naik pada tahapan increasing rate, maka MP bertambah pada decreasing rate. Apabila AP didefinisikan sebagai perbandingan antara TP per jumlah input, maka rumus untuk mencari AP adalah: AP = ................................................................................................................ (2.6)
21
Dengan demikian hubungan antara MP dan AP adalah: 1. Bila MP lebih besar dari AP, maka posisi AP masih dalam keadaan menaik. Sebaliknya , bila MP lebih kecil dari pada AP, maka posisi AP dalam keadaan menurun. 2. Bila terjadi MP sama dengan AP maka AP dalam keadaan maksimum. Pada
Gambar
2.1
menunjukan
grafik
fungsi
produksi
yang
menggambarkan hubungan fisik antara satu faktor produksi dengan produksi, cateris paribus. Menurut Debertin, D.L (1986) dalam Machmud (1997), fungsi produksi terbagi dalam tiga daerah yang dibedakan elastisitas produksi dari faktor-faktor, yaitu daerah produksi dengan elastisitas produksi lebih besar dari satu (daerah I), daerah produksi dengan elastisitas antara nol dan satu (daerah II) dan daerah produksi dengan elastisitas produksi lebih kecil dari nol (daerah III). Daerah I adalah yang terletak antara titik asal dan X2. Daerah ini produksi marjinal (MP) mencapai titik maksimum dan kemudian mengalami penurunan tetapi marjinal masih lebih besar dari produk rata-rata (AP). Elastisitas produksi pada daerah I bernilai lebih besar dari satu, artinya penambahan faktor produksi sebanyak satu persen akan menyebabkan penambahan produksi selalu lebih besar dari satu persen. Pada daerah ini keuntungan maksimum belum tercapai karena masih selalu dapat ditingkatkan dengan penambahan input (faktor produksi). Dengan demikian, daerah ini merupakan daerah irasional (irrational region). Daerah II adalah daerah yang terletak antara X2 dan X3. dengan elastisitas produksi antara nol dan satu, artinya setiap penambahan faktor produksi satu persen akan menyebabkan penambahan produksi sebesar nol dan satu persen.
22
Daerah ini dikatakan daerah decreasing diminishing returns karena setiap penambahan faktor produksi akan meningkatkan jumlah produksi yang peningkatannya semakin lama semakin berkurang. Pada suatu tingkat tertentu dari penggunaan input akan memberikan keuntungan maksimum yaitu pada saat Nilai Produk Marjinal (Value Marginal Product atau VMP) untuk faktor produksi sama dengan biaya Korbanan Marjinal (Marginal Factor Costatau atau MFC). Jika harga faktor produksi (P) tetap maka keuntungan maksimum dicapai pada saat VMP = MFC = P. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan faktor produksi di daerah ini sudah optimal, maka dikatakan di daerah II merupakan daerah rasional (rational region). Daerah III ini adalah daerah dengan elastisitas produksi dengan nilai kurang dari nol. Pada daerah ini produksi total mengalami penurunan yang ditunjukan oleh MP yang bernilai negatif. Dengan demikian, setiap penambahan faktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan, sehingga daerah III ini disebut daerah irasional (irrational region). Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi produksi, yaitu hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (The Law of Diminishing Returns), sehingga informasi yang diperoleh dapat dipakai untuk melakukan upaya agar setiap upaya penambahan masukan produksi dapat menghasilkan tambahan produksi yang lebih besar. Adapun bunyi hukum tersebut yaitu jika satu input ditambahkan terus menerus dalam proses produksi, sedangkan input lain tetap, tambahan
output
persatuan
input
akan
berkurang.
Hukum
menggambarkan kenaikan yang negatif dalam kurva fungsi produksi.
ini
akan
23
Ada dua hal penting dari hukum ini: 1. Hukum ini menunjukan adanya input variabel dalam jumlah tertentu harus dikombinasikan dengan input tetap. Perusahaan atau industri tidak boleh menggunakan input terlalu banyak atau terlalu sedikit. 2. Hukum ini mensyaratkan bahwa metode produksi tidak berubah ketika input variabel yang digunakan bertambah. Dalam banyak kenyataan, penelitian melupakan asumsi tersebut, karena berbagai alasan, antara lain: 1. Orang tidak mengetahui secara pasti bagaimana sebenarnya keadaan usaha yang dilakukannya, apakah dalam keadaan decreasing, constant, increasing of returns. 2. Orang menginginkan bagaimana pengaruh masing-masing masukan produksi dalam keadaan skala berbeda. 3. Orang melakukan pendugaan dengan fungsi Cobb-Douglas sebagai dasar untuk mendapatkan fungsi pendugaan dengan model yang lain. 2.1.3.2. Faktor-Faktor Produksi a. Nilai Investasi atau Modal Modal merupakan jumlah total mesin-mesin, bangunan-bangunan dan sumber manufaktur non-labor yang ada dalam suatu waktu. Kekayaan suatu perusahaan atau industri (assets) mencerminkan bagian dari suatu output ekonomi diwaktu lalu yang tidak dikonsumsi, melainkan disisihkan untuk kegiatan produksi masa yang akan datang (Nicholson, 1998).
24
Sebuah perusahaan atau industri yang memenuhi aturan maksimal laba akan melakukan ekspansi kapital dengan cara melakukan investasi. Investasi dapat dilakukan dengan cara menyewa mesin dengan tingkat sewa yang berlaku atau membeli mesin baru. Menurut Mubyarto (1986) dalam Timor (2008), modal adalah barang atau uang yang bersama-sama faktor-faktor produksi lainnya digunakan untuk menghasilkan barang-barang baru, dalam hal ini adalah hasil produksi. Modal dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1. Modal tidak bergerak (modal tetap), merupakan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang tidak habis dalam satu kali proses produksi. Modal tetap dapat berupa tanah, bangunan dan mesinmesin yang digunakan. 2. Modal bergerak (modal variabel), adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi dan habis dipakai dalam satu proses produksi. Modal bergerak dapat berupa biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan baku atau bahan-bahan penunjang produksi, atau biaya yang dikeluarkan untuk gaji tenaga kerja. Investasi merupakan komponen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang paling mudah berubah (volatile). Jika pengeluaran terhadap barang dan jasa turun selama resesi maka penurunannya berkenaan dengan jatuhnya dalam pengeluaran untuk investasi. Ada tiga tipe pengeluaran investasi diantaranya: (1)investasi dalam barang tetap yang melingkupi peralatan dan struktur dimana dunia usaha membelinya untuk dipergunakan dalam proses produksi; (2)investasi perumahan melingkupi perumahan baru dimana dunia usaha membelinya untuk
25
disewakan; (3)investasi inventori meliputi bahan baku dan bahan penolong, barang setengah jadi dan barang jadi. Perusahaan atau industri akan merubah kapital jika marginal produk dari kapital lebih besar dari biaya sewanya sehingga: ∆K =
(r+ ) ....................................................................... (2.7)
Dimana: ∆K
= penambahan kapital = investasi = harga kapital
P
= harga barang
r
= suku bunga = depresiasi
Jadi total pengeluaran terhadap investasi dalam barang tetap adalah jumlah netto ditas ditambah dengan penggantian kapital rusak (depresiasi) sehingga: I = ∆K + =
............................................................................................ (2.8) (r+ )]+
.................................................................. (2.9)
Dari persamaan diatas maka dapat diketahui bahwa investasi tergantung dari marginal produk kapital, depresiasi dan tingkat suku bunga. b. Tenaga Kerja Tenaga kerja adalah bagian dari penduduk yang mampu bekerja untuk memproduksi sejumlah barang atau jasa. Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa
26
(PBB, 1992) yang termasuk tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 15-64 tahun. Indonesia menggolongkan penduduk yang berusia 10 tahun ke atas sebagai tenaga kerja, dengan alasan bahwa banyak penduduk yang berusai 10-14 tahun dan 65 tahun yang bekerja. Banyaknya tenaga kerja yang berusia 10-14 tahun maka kondisi ini menjadi perhatian pemerintah karena pada usia tersebut merupakan usia berada di sekolah. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan dengan menetapkan batas bekerja menjadi usia 15 tahun. Dengan berlakunya Undang-undang tersebut, mulai tanggal 1 Oktober 1998 tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berusia 15 tahun ke atas. c. Bahan Baku Bahan baku dibedakan menjadi dua, yaitu bahan baku utama dan bahan baku penolong. Bahan baku utama merupakan faktor yang paling utama karena tanpa bahan baku produksi tidak akan berjalan, sedangkan bahan baku penolong sebagai penolong, pelengkap dan penyempurna saja. Tanpa bahan baku penolong, produksi bisa berjalan tapi mutu atau kualitasnya berkurang. 2.1.4. Fungsi Produksi Cobb-Douglas Pengamatan pengaruh beberapa faktor produksi terhadap output secara keseluruhan dalam keadaan yang sebenarnya adalah tidak mungkin (Soekartawi, 1993). Oleh karena itu, hubungan antara faktor produksi dengan output perlu disederhanakan dalam suatu model. Untuk mendapatkan suatu model berbentuk fungsi produksi sebaiknya dapat dipertanggungjawabkan, mempunyai logik secara fisik maupun ekonomi, mudah dianalisis dan mempunyai implikasi ekonomi.
27
Bentuk fungsi produksi yang digunakan dalam menduga parameterparameter yang mempengaruhi produk ada beberapa macam, seperti fungsi kuadratik, model elastisitas substitusi yang konstan (CES), model trasendental dan fungsi Cobb-Douglas. Fungsi produksi kuadratik dan transendental memiliki persamaan yang rumit dan parameternya bukan merupakan elastisitas dari faktorfaktor produksi. Jika menggunakan fungsi CES sulit untuk mempertahankan elastisitas yang konstan. Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah Douglas, P.H., pada tahun 1928 melalui artikel di majalah ilmiah American Economic Review 18 (Suplement) halaman 139 sampai 165. Fungsi Cobb-Doglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel; variabel yang satu disebut dengan variabel dependen, yang dijelaskan (Y), dan yang lain disebut variabel independen, yang menjelaskan (X), (Soekartawi, 1993). Secara matematis persamaan fungsi Cobb-Douglas dirumuskan sebagai berikut: Y=
X
X
X …… X
...................................................................... (2.10)
Bila fungsi Cobb-Douglas tersebut dinyatakan oleh hubungan X dan Y, maka: Y = f (X1, X2, X3,…. Xn) .................................................................................. (2.11) dimana: Y
= variabel yang dijelaskan,
X
= variabel yang menjelaskan,
a,bi
= besaran yang diduga,
u
= kesalahan (disturbance term), dan
e
= logaritma natural, e = 2,718.
28
Untuk memudahkan pendugaan terhadap Ep maka persamaan tersebut diubah menjadi bentuk linier berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut adalah: Log Y = Log a + b1 Log X1 + b2 Log X2 +……+ bn Log Xn + v ..................... (2.12) atau Y* = a* + b1
+
+ v* ..................................................................................... (2.13)
dimana: Y*= Log Y; X*= Log X; v* = Log v; dan a* = Log a ....................................... (2.13) Persamaan diatas dapat dengan mudah diselesaikan dengan cara regresi berganda. Pada persamaan tersebut terlihat bahwa nilai b1 dan b2 tetap walaupun variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal ini dapat dimengerti bahwa b1 dan b2 pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus menunjukan elastisitas X terhadap Y. Karena penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaitmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linier, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum seseorang menggunakan fungsi Cobb-Douglas. Persyaratan ini antara lain (Soekartawi, 1993): 1. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari bilangan nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite). 2. Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan (non-neutral difference in the respective technology), ini artinya jika fungsi Cobb-Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan; dan bila diperlukan analisis yang merupakan lebih dari satu model (katakan dua model), maka perbedaan model tersebut terletak pada intersept dan bukan pada kemiringan garis (slope).
29
3. Tiap variabel X adalah prefect competition. 4. Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah tercakup pada faktor kesalahan, u. Dari semua fungsi produksi di atas, fungsi Cobb-Douglas merupakan salah satu bentuk yang banyak digunakan, karena memiliki kelebihan didasarkan pada pertimbangan, yaitu (1)Mengurangi terjadinya heteroskedastisitas, (2)Koefisien pangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas sekaligus menunjukan besarnya elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang digunakan terhadap output, (3)Jumlah elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi merupakan pendugaan terhadap skala usaha dari proses produksi, dan (4)Perhitungannya sederhana menjadi bentuk linear dan dapat dilakukan dengan menggunakan program komputer. Adapun kelemahan dari model Cobb-Douglas yaitu elastisitas produksinya dianggap konstan, nilai dugaan elastisitas produksi yang dihasilkan berbias bila faktor produksi yang digunakan tidak lengkap. Selain itu, tidak dapat digunakan untuk menduga tingkat produksi pada taraf penggunaan faktor produksi sama dengan nol dan pada fungsi Cobb-Douglas sering terjadi multikolinearitas. Hubungan yang membuktikan bahwa koefisien pangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan nilai elastisitasnya dapat dilihat dalam penjelasan dibawah ini, dengan menurunkan rumus dari persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas yang dicontohkan sebelumnya. Sebagai contoh perhitungan yang dilakukan adalah terhadap faktor produksi tenaga kerja (X1).
Y= X X
X
.................................................................................. (2.14)
30
maka:
e x1 =
.
................................................................................................. (2.15)
= bX X
=
X
X X X
X X
X .
X
X
X
................................................(2.16)
....................................................................................... (2.17)
= b1 ........................................................................................................... (2.18) dimana:
e x1
= elastisitas tenaga kerja, = perubahan output (Y) terhadap tenaga kerja (X1),
Y
= nilai riil output yang dihasilkan dalam industri (ribu rupiah),
X1
= jumlah tenaga kerja yang bekerja pada industri (orang atau jiwa),
X2
= bahan baku riil yang digunakan dalam proses produksi (ribu rupiah) dan
X3
= nilai riil energi terdiri dari bahan bakar, listrik dan gas (ribu rupiah). Jadi, koefisien dari tenaga kerja (X1) merupakan nilai elastisitas dari
tenaga kerja (X1) dengan nilai b1. Cara yang sama digunakan untuk menghitung nilai elastisitas dari faktor produksi yang lainnya, maka akan diperoleh hasil yang sama yaitu nilai koefisien pangkat dari bahan baku menunjukan nilai elastisitas dari bahan baku (X2) tersebut. Demikian pula dengan faktor lainnya, seperti energi (X3). 2.1.5. Skala Usaha (Return to Scale) Konsep skala usaha (return to scale) menjelaskan suatu keadaan dimana output meningkat sebagai respon adanya kenaikan yang proporsional dari seluruh
31
input. Konsep ini memiliki tiga kemungkinan keadaan. Pertama, sebuah fungsi produksi dikatakan menunjukan skala hasil konstan (constant returns to scale) jika peningkatan seluruh input sebanyak dua kali lipat berakibat pada peningkatan output sebanyak dua kali lipat pula. Kedua, jika penggandaan seluruh input menghasilkan output yang kurang dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi tersebut dikatakan menunjukan skala hasil menurun (decreasing returns to scale). Ketiga, jika penggandaan seluruh input menghasilkan output lebih dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi mengalami skala hasil meningkat (increasing returns to scale) (Nicholson, 2002). Jika parameter peubah bebas dari fungsi produksi Cobb-Douglas dilambangkan dengan bi, skala usaha dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: 1. Decreasing returns to scale, bila (b1 + b2 + b3)
1. Dalam keadaan demikian,
dapat diartikan bahwa proprosi penambahan masukan produksi melebihi proporsi penambahan produksi atau setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama justru akan menurunkan produksi. 2. Contant returns to scale, bila (b1 + b2 + b3)
1. Dalam keadaan demikian,
penambahan masukan produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh atau tambahan ke atas faktor-faktor produksi tidak memberikan dampak naik atau turun terhadap produksi. 3. Increasing returns to scale, bila (b1 + b2 + b3)
1. Artinya bahwa proporsi
penambahan masukan produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar atau setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama akan memberikan tambahan kepada produksi (Soekartawi, 1993).
32
2.1.6. Nilai Tambah dan Efisiensi Nilai tambah adalah nilai tambah bruto yang sesuai dengan harga pasar atau nilai tambah sebelum dikurangi pajak dan dapat juga diperoleh dari selisih antara nilai output dan biaya input. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam hubungan berikut: Nilai Tambah Bruto (NTB) = Nilai Output – Biaya Input Nilai output merupakan penjumlahan dari nilai-nilai barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, jasa industri yang diberikan pada pihak lain, selisih nilai stok barang setengah jadi, dan penerimaan lain dari jasa non-industri. Biaya input merupakan penjumlahan dari nilai bahan baku dan penolong yang digunakan oleh perusahaan industri besar dan sedang baik yang berasal dari luar negeri (impor) atau dalam negeri, nilai bahan bakar yang dipakai, tenaga listrik dan gas yang dibeli, sewa gedung, mesin dan alat-alat serta jasa non-industri. Semua perusahaan industri dalam kegiatannya untuk membuat produk akan berupaya semaksimal mungkin untuk menekan semua input. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi kinerja perusahaan tersebut. Untuk menilai tingkat keberhasilan suatu perusahaan dalam proses produksi maka salah satu indikator yang bisa menggambarkan keadaan tersebut yaitu nilai efisiensi. Nilai efisiensi ini merupakan perbandingan antara biaya produksi (biaya input) dengan nilai outputnya (BPS, 2002). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
Efisiensi =
33
Efisiensi diartikan sebagai perbandingan antara nilai hasil terhadap nilai masukan (Lipsey, et. al., 1995). Suatu metode produksi dikatakan lebih efisien dari metode produksi lainnya, apabila menghasilkan produk lebih tinggi nilainya untuk tingkat korbanan yang sama, atau dapat mengurangi korbanan untuk memperoleh output dalam jumlah yang sama. Seorang pengusaha telah mencapai keuntungan yang maksimum bila telah menentukan kombinasi faktor-faktor produksi secara optimal (Nicholson, 1995). 2.1.7. Produktivitas Dalam istilah sehari-hari produktivitas tenaga kerja biasanya dimaksudkan sebagai produktivitas rata-rata per pekerja. Jika ada yang mengatakan produktivitas kerja industri naik, maksudnya adalah output per tenaga kerja mengalami peningkatan (Nicholson, 2001). Jika produktivitas tenaga kerja naik maka barang dan jasa meningkat sehingga keuntungan dan pendapatan meningkat. Definisi produk rata-rata tenaga kerja adalah:
=
......................................................................................................... (2.19)
Keterangan: : Produk rata-rata tenaga kerja (Produktivitas tenaga kerja) Q
: Output
T
: Tenaga Kerja Jika Produktivitas tenaga kerja naik, berarti bahwa setiap tenaga kerja
dapat memproduksi lebih banyak, biaya satuan produksinya akan turun selama tingkat upah tidak naik sampai pada batas yang sama pada tingkat
34
produktivitasnya. Biaya yang lebih rendah pada umumnya akan diikuti dengan harga yang lebih rendah pula. Perusahaan yang bersaing akan menurunkan harganya dalam usaha untuk merebut pasar dan hasil akhir dari persaingan ini adalah turunnya biaya produksi yang diikuti dengan turunnya harga (Lipsey, 1995). 2.2. Tinjauan Empiris 2.2.1. Penelitian Terdahulu Ardina (2005) dalam penelitiannya dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Logam Dasar di Indonesia” dengan menggunakan Analisis Ordinary Least Square menerangkan bahwa faktor produksi bahan baku, biaya sewa modal, memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan output industri logam dasar di Indonesia. Nilai elastisitas bahan baku sebesar 0.424955. Artinya, jika terjadi peningkatan penggunaan bahan baku dalam proses produksi sebesar satu persen maka akan terjadi peningkatan output yang dihasilkan industri logam dasar sebesar 0.424955 persen. Nilai elastisitas biaya sewa modal sebesar 0, karena biaya sewa modal ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap output, sedangkan nilai elastisitas pada bahan bakar dan energi, dan tenaga kerja masing-masing sebesar 0.212785 dan 0.468099. Skala hasil usaha industri logam dasar berada dalam kondisi increasing returns to scale dengan nilai sebesar 1.11087. Nilai tambah industi logam dasar cenderung mengalami peningkatan selama periode penelitian (19832008) walaupun sempat terjadi penurunan nilai tambah setelah terjadi krisis moneter pada tahun 1997/1998. Tingkat efisiensi produksi yang tertinggi terjadi
35
pada tahun 1987 dimana perbandingan antara input dan outputnya adalah sebesar 0.419387016 yang merupakan rasio paling kecil. Sulistyono (2005) dengan penelitiannya dengan judul “Analisis Fungsi Produksi Industri Kerajinan Genteng di Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten”. Berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa faktor produksi modal kerja, dan jumlah tenaga kerja secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama berpengaruh positif dan nyata terhadap nilai produksi yang dihasilkan. Industri kecil kerajinan genteng di Kecamatan Cawas berada pada kondisi Decreasing Return to Scale. Hal ini berarti bahwa penambahan semua faktor produksi dalam proporsi yang sama akan menghasilkan penambahan nilai produksi dalam proporsi yang lebih kecil. Fitriani (2005) dalam penelitiannya dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Ban di Indonesia Periode tahun 1984-2002” menggunakan Analisis Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglas menerangkan bahwa faktor produksi bahan baku, tenaga kerja dan bahan bakar memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan output industri ban di Indonesia. Nilai elastisitas bahan baku sebesar 0.699. Artinya jika terjadi peningkatan penggunaan bahan baku dalam proses produksi sebesar satu persen maka akan terjadi peningkatan output yang dihasilkan industri logam dasar sebesar 0.699 persen. Nilai elastisitas faktor produksi modal memberikan pengaruh yang negatif dan tidak nyata yaitu sebesar 0.04, karena faktor produksi modal ini tidak efisien lagi untuk meningkatkan nilai output, sedangkan nilai elastisitas pada bahan bakar dan tenaga kerja berada pada daerah II (0< eq<1). Hal ini menunjukan bahwa penggunaan faktor produksi tenaga kerja, bahan baku dan bahan bakar masih
36
rasional. Skala usaha industri ban berada dalam kondisi increasing returns to scale dengan nilai sebesar 1.215. Legiman (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Efisiensi Pemanfaatan Input dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Industri kecil (Studi kasus pada sentra industri kecil keramik Kabupaten Klaten)”, diketahui bahwa faktor-faktor produksi tenaga kerja, tanah liat, dan kayu bakar berpengaruh positif terhadap produksi keramik di sentra industri keramik di Kabupaten Klaten. Faktor modal, tingkat pendidikan, dan pengalaman kerja pengusaha berpengaruh positif terhadap nilai efisiensi produksi keramik. Pemakaian faktor-faktor input ditinjau dari harga faktor produksi terhadap harga output belum efisien. Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada sejauh mana faktor-faktor produksi memberikan pengaruh pada output sektor Industri pengolahan Kota Tasikmalaya. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada penggunaan estimasi Cobb-Douglas, elastisitas dari masing-masing input dan bagaimana skala usahanya serta nilai tambah dan efisiensinya. Untuk menjawab semua permasalahan diatas digunakan Analisis regresi dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). 2.2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual Sektor Industri Pengolahan diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata baik pada sisi pendapatan yang terindikasi dalam PDRB maupun pada sisi penyerapan tenaga kerja. Peningkatan output sektor industri yang diimbangi dengan kenaikan input mengindikasikan peningkatan kapasitas produksi. Peningkatan output yang disertai dengan penurunan penggunaan input produksi mengindikasikan telah terjadinya proses efisiensi pada aktivitas produksinya,
37
sehingga dapat diartikan dengan peningkatan produktivitas. Peningkatan PDRB sektor industri diharapkan dapat berbanding lurus dengan peningkatan jumlah tenaga kerja sehingga peningkatan sektor industri pengolahan dapat dinikmati oleh semua elemen sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial.
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual
38
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik, berupa data input-input dari sektor industri pengolahan, yaitu bahan baku, investasi, tenaga kerja, bahan bakar, energi, listrik, data PDRB industri pengolahan dalam bentuk data time series periode 2002-2008, data Indeks Harga Perdagangan Besar (2000=100) untuk kategori sektor industri, serta datadata lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang diperoleh dari sumber-sumber lainnya. Data-data nominal yang dikumpulkan kemudian dideflasi dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB), kemudian diolah dengan menggunakan piranti lunak Eviews 6.1 yang sebelumnya proses perhitungan data dibantu dengan piranti lunak Microsoft Excel 2003. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tasikmalaya, Graha Kadin Kota Tasikmalaya, Dinas UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasikmalaya dan dinas terkait yang berhubungan dengan penelitian ini. Penggunaan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sebagai deflator dimaksudkan agar semua agregat dinilai atas harga dasar harga konstan suatu tahun. Dalam penelitian ini, IHPB yang digunakan adalah IHPB tahun dasar 2000 (2000=100) dan harga dianggap tetap sehingga adanya perkembangan terhadap agregat dari tahun ke tahun disebabkan oleh perkembangan riil, bukan fluktuasi kenaikan harga (Ajireswara, 2009).
39
3.2. Metode Analisis 3.2.1. Analisis Fungsi produksi Cobb-Douglas Output ditentukan oleh sejumlah input yang digunakan. Menurut Syahruddin (1989) dalam Kurniawan (2008), fungsi produksi adalah suatu daftar (schedule) yang memperlihatkan besarnya jumlah barang dan jasa secara maksimum dapat dihasilkan oleh sejumlah masukan (input) tertentu pada tingkat teknologi tertentu. Model yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara input dan output pada industri pengolahan adalah fungsi produksi Cobb-Douglas, yang secara matematis dapat ditulis : Y=
b X
X
3 4 5 3 4 5
................................................................................... (3.1)
Yang dapat dilinearkan dalam bentuk: LnY = Lna+b1LnX1+b2LnX2+ b3LnX3+ b4LnX4+ b5LnX5+u ........................... (3.2) dimana: Y
= Output riil yang dihasilkan dalam industri pengolahan (ribu rupiah)
X1
= Tenaga Kerja yang bekerja pada industri pengolahan (orang)
X2
= Modal yang dikeluarkan oleh industri pengolahan ( rupiah)
X3
= Bahan Baku riil yang digunakan dalam proses produksi (ribu rupiah)
X4
= Bahan bakar minyak yang digunakan pada industri pengolahan (ribu rupiah)
X5
= Listrik yang dipakai pada industri pengolahan (ribu rupiah)
a
= intersep
bi
= koefisien regresi penduga(b1,….,b5)
u
= residual (kesalahan atau error)
e
= 2.1782 (logaritma natural).
40
Variabel-variabel pada persamaan dianalisis dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang telah dilinearkan dengan analisis regresi linear berganda dan metode Ordinary Least Square (OLS). Nilai masing-masing koefisien regresi penduga pada persamaan adalah sama dengan nilai elastisitas masing-masing input terhadap output sektor industri pengolahan. Nilai skala hasil usaha dapat diperoleh melalui penjumlahan nilai koefisien dari masing-masing koefisien regresi penduga. terdapat tiga alternatif penilaian tentang skala hasil usaha, yaitu (Soekartawi, 1993) : 1.
Decreasing return to scale, bila (b1+b2) < 1. Yaitu proporsi penambahan input akan menghasilkan tambahan output yang proporsinya lebih kecil daripada penambahan input.
2.
Constant return to scale, bila (b1+b2) = 1. Yaitu proporsi penambahan input akan menghasilkan tambahan output yang proporsional dengan penambahan input.
3.
Increasing return to scale, bila (b1+b2) > 1. Yaitu proporsi penambahan input akan menghasilkan tambahan output yang proporsinya lebih besar daripada penambahan input.
3.2.2. Analisis Nilai Tambah dan Efisiensi Nilai tambah digunakan untuk menganalisis pertumbuhan suatu industri. Nilai tambah industri pengolahan yang semakin meningkat mencerminkan pertumbuhan industri pengolahan yang positif. Secara matematis, nilai tambah bruto dapat dihitung dengan rumus (Sanimah, 2006) : Nilai tambah = nilai output – biaya input
41
tingkat efisiensi produksi pada industri pengolahan menunjukan alokasi input yang efisien untuk menghasilkan sejumlah output pada industri pengolahan dan menunjukan tingkat penciptaan nilai tambah oleh industri pengolahan. Secara matematis, dapat dituliskan rumus efisiensi (Dumairy, 1996) :
Efisiensi =
3.2.3. Analisis Regresi Berganda Analisis regresi berganda adalah suatu metode yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh variabel-variabel independen yang mempengaruhi variabel dependennya. Penyelesaian persamaan tersebut dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (ordinary least square = OLS). Metode OLS diperkenalkan oleh seoarang ahli matematika berkebangsaan Jerman yang bernama Carl Frederich Gauss (Gurajati, 1978). Model umum yang digunakan dalam analisis regresi berganda : Yi =
+
X1 +
X2 + …… +
Xi +
i
................................................... (3.3)
Keterangan: Yi
= Peubah Dependent (Peubah terikat) = Konstanta = Slope atau koefisien pengaruh
Xi i
= Peubah Bebas (independent Variabel) = Eror
Menurut Gauss dan Markov dalam Gujarati (1978) dalam menggunakan Ordinary Least Square (OLS), penduga koefisien regresi harus bersifat BLUE
42
(Best Linier Unbiased Estimated), apabila persyaratan tersebut dipenuhi maka metode Ordinary Least Square (OLS) memberikan penduga koefisien yang baik. Akan tetapi, sifat tersebut didasarkan pada berbagai asumsi yang tidak boleh dilanggar agar penduga tetap bersifat BLUE. Teorema tersebut dikenal dengan sebutan Teorema Gauss-Markov. Asumsi-asumsi atau persyaratan yang melandasi koefisien regresi dengan metode Ordinary Least Square (OLS) berdasarkan teori Gauss-Markov adalah sebagi berikut: 1. E(µ ) = 0 atau E(µ | ) atau E( ) =
+
µ menyatakan variabel-variabel lain yang mempengaruhi
akan tetapi
tidak terwakili dalam model. 2. Tidak ada korelasi antara µ dan µ {cov(µ , µ Artinya pada saat
= 0};I tidak samadengan j.
sudah terobservasi, deviasi
(mean) tidak menunjukan pada pola {E(µ , µ
dari rata-rata populasi
= 0}
3. Homoskedastisitas yaitu besarnya µ sama dengan varian (µ = 4. Kovarian antara varian µ
nol, {cov(µ , µ
= 0};
Asumsi tersebut sama artinya bahwa tidak ada korelasi antara µ Dengan perkataan lain bila 5.
non random maka E(µ , µ
.
=0
Model regresi dispesifikasikan secara benar. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: a. Model harus berpijak pada landasan teori b. Perhatikan variabel-variabel yang diperlukan c. Bagaimana bentuk fungsinya
43
Menurut teorema Gauss-Markov, OLS dapat menjadi suatu Analisis regresi yang kuat dengan menggunakan beberapa asumsi, yaitu: 1. Nilai rata-rata hitung deviasi yang berhubungan dengan setiap variabel independennya harus sama dengan nol 2. Tidak ada korelasi berurutan (autokorelasi) dalam setiap variabel dalam model 3. Analisis homoskedastisitas, atau penyebaran yang sama. Dengan kata lain, berarti bahwa populasi Y yang berhubungan dengan nilai X mempunyai varians yang sama 4. Tidak terdapat multikolinearitas, yang berarti tidak terdapat hubungan yang pasti antara variabel independen. Menurut Koutsoyianis (1997), terdapat beberapa kelebihan metode Ordinary Least Square (OLS), seperti berikut: 1. Hasil estimasi parameter diperoleh dengan metode OLS memiliki beberapa kondisi optimal (BLUE) 2. Tata cara pengolahan data metode Ordinary Least Square (OLS) relatif lebih mudah daripada metode ekonometrika yang lain, serta tidak membutuhkan data yang lebih banyak 3. Metode Ordinary Least Square (OLS) telah banyak digunakan dalam penelitian ekonomi dengan berbagai macam hubungan antar variabel dengan hasil yang memuaskan 4. Mekanisme pengolahan data dengan metode Ordinary Least Square (OLS) mudah di pahami
44
5. Ordinary Least Square (OLS) juga merupakan bagian dari kebanyakan metode ekonometrik yang lain meskipun dengan penyesuaian dibeberapa bagian. Sifat yang dimiliki oleh estimator pada model regresi OLS dengan memenuhi asumsi-asumsi diatas adalah BLUE. Ragam minimum (efisien) dan koefisien yang berasal dari model linear. Selain itu, nilai estimasi dari contoh (sample) akan mendekati nilai populasi. Pengambilan keputusan diterima atau ditolaknya model ini didasarkan pada hasil pengujian terlebih dahulu karena variabel-variabel yang digunakan dalam model masih penduga. Suatu model ekonometrika harus memenuhi tiga kriteria yaitu kriteria ekonometrik, statistik dan ekonomi yang akan dijelaskan sebagai berikut: A. Analisis Kriteria Ekonometrika Untuk dapat diterima sebagai model yang baik, maka suatu model ekonometrika harus dapat memenuhi kriteria ekonometrika. Pengujian tersebut dapat dilakukan melalui beberapa pengujian, diantaranya: a) Uji Heteroskedastisitas Asumsi penting model klasik adalah bahwa varian tiap unsur disturbance µ , tergantung
pada
Heteroskedastisitas H0:
=0
H1:
≠0
nilai
yang
dipilih
dari
variabel
yang
menjelaskan
45
Kriteria Uji: Probabitity Obs*R-squared < α, maka tolak Probabitity Obs*R-squared > α, maka terima Jika
ditolak, maka terdapat gejala heterokedastisitas pada model. Sebaliknya
jika
diterima maka tidak terdapat gejala heterokedastisitas.
Pendeteksian heterokedastisitas menggunakan Eviews dilakukan dengan melihat White Heteroscedasticity Test. Jika probabilitas Obs*R-squared dari White Heteroscedasticity Test lebih besar dari taraf nyata (α) yang digunakan maka model terbebas dari heteroskedastisitas. Adanya heteroskedastisitas dapat mengakibatkan: i)
Estimasi penggunaan OLS tidak akan memiliki varians yang minimum atau tidak efisien.
ii)
Prediksi (nilai X dan Y tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan memiliki varians yang tinggi sehingga prediksi menjadi tidak efisien.
iii)
Tidak dapat diterapkan uji nyata tidaknya koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians.
b) Uji Auto Korelasi Autokorelasi dalam Gujarati (1993), adalah korelasi antara eror masa lalu (
) dengan masa sekarang
. Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi, dapat
menggunakan uji Durbin Watson, yakni:
46
d hit
=∑
∑
.................................................................................... (3.4)
Pada Eviews, uji autokorelasi dapat menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitasnya, jika nilai probabilitas obs*squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka persamaan tidak mengalami permasalahan autokorelasi dan sebaliknya. Adanya autokorelasi dapat menyebabkan adanya: i) Dugaan parameter tak bias ii) Nilai galat baku terautokorelasi sehingga ramalan tidak efisien iii) Ragam galat bias iv) Terjadi pendugaan ragam pada galat (standar error underestimated) sehingga SB underestimated, maka t overestimated atau t cenderung lebih besar dari yang sebenarnya dan tadinya tidak signifikan menjadi signifikan (Gujarati, 1993). c)
Uji Multikolinear Multikolinear adalah suatu situasi dimana adanya keadaan korelasi variabel-
variabel diantara satu dengan yang lainnya. Variabel-variabel bebas yang bersifat orthogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi diantara sesamanya sama dengan nol. Jika terdapat korelasi sempurna diantara sesama variabel bebas ini sama dengan satu, maka konsekuensinya adalah koefisien-koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir, nilai standar error setiap koefisien regresi menjadi tak terhingga (Gujarati 1993).
47
B. Analisis Kriteria Statistik a. Koefisien Determinasi (R²) Melihat untuk sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Uji koefisien determinasi ini juga digunakan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukan kedalam model dapat menerangkan model (Gujarati,1999). Dua sifat R² yaitu: a) Merupakan besaran non negatif b) Batasnya adalah 0
R²
1. Jika R² bernilai 1 berarti suatu kecocokan
sempurna, sedangkan jika R² bernilai 0, berarti tidak ada hubungan antara variabel bebas dan terikatnya. R²=
∑
²
∑
²
...................................................................................... (3.5)
b. Uji t (Uji Parsial) Pengajian ini digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas secara parsial berpengaruh pada variabel terikatnya (Gujarati, 1999). Melalui uji ini akan diuji apakah koefisien regresi satu persatu secara statistik signifikan atau tidak. Nilai t adalah:
=
................................................................................................ (3.6)
48
| <
bila |
Tolak
, artinya variabel signifikan berpengaruh pada taraf
nyata yang digunakan pada model. c. Uji F (Uji Serentak) Pengujian ini digunakan untuk melihat apakah variabel-variabel bebas secara serentak berpengaruh terhadap variabel terikatnya, (Gujarati,1999).
=
=
=…=0
=
≠o ²
F=
²
Tolak
bila
.................................................................................... (3.7)
>
.
C. Analisis Kriteria Ekonomi Dalam kriteria ekonomi, hasil pendugaan tersebut dicocokkan dengan teori ekonomi. Kesesuaian model dengan kriteria ekonomi dilihat dari tanda parameter dugaan. Tanda tersebut diharapkan sesuai dengan hipotesis. Tanda positif menunjukkan bahwa perubahan variabel bebas akan berpengaruh positif terhadap variabel terikat. Tanda negatif artinya perubahan variabel bebas akan menyebabkan perubahan variabel terikat dengan perbandingan terbalik. Adanya perbedaan tanda antara hasil dan hipotesis dapat diterima jika dapat dijelaskan dan didukung dengan alasan yang sesuai dengan teori ekonomi dan kondisi sosial pada ruang lingkup penelitian. Besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dari besarnya elastisitas dan dinyatakan dalam persen (Gujarati, 1999).
49
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN DI KOTA TASIKMALAYA
4.1. Gambaran Umum Lokasi 4.1.1. Letak Geografis Kota Tasikmalaya secara geografis berada di bagian tenggara wilayah Provinsi Jawa Barat dengan jarak dari ibukota provinsi, Bandung, kurang lebih 105 km dan dari ibukota negara, Jakarta, kurang lebih 225 km. Wilayah ini berada pada posisi 108° 08’38” BT - 108° 24’02” BT dan 7°10’LS – 7°26’32” LS dengan batas-batas wilayah administratif sebagai berikut: •
Utara
: Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis
•
Timur
: Kabupaten Tasikmalaya
•
Selatan
: Kabupaten Tasikmalaya
•
Barat
: Kabupaten Tasikmalaya
Kota Tasikmalaya terdiri atas 69 kelurahan yang berada pada 10 kecamatan (sesuai Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya No. 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kecamatan Bungursari dan Kecamatan Purbaratu). Luas wilayah keseluruhan 171.56 km² dengan jumlah penduduk pada tahun 2006 sebanyak 630,191 jiwa, maka kepadatan penduduknya mencapai sekitar 3,673 jiwa/km². Berdasarkan bentang alamnya Kota Tasikmalaya termasuk ke dalam kategori dataran sedang, dengan ketinggian wilayah berada pada kisaran 201 mdpl (terendah, di kelurahan Urug Kecamatan Kawalu) sampai dengan 503 mdpl (tertinggi, kelurahan Bungursari Kecamatan Bungursari). Dilihat dari kemiringan
50
lahannya (kelerengan) terdapat beberapa wilayah yang memiliki kemiringan lahan cukup tinggi, diantaranya Kecamatan Kawalu dan Kecamatan Cibeureum, sehingga perkembangan kegiatan perkotaan pada dua wilayah tersebut perlu dilakukan secara selektif. 4.1.2. Gambaran Perekonomian Kota Tasikmalaya Semenjak tahun 2001, PDRB Kota Tasikmalaya mulai terpisah dengan PDRB Kabupaten Tasikmalaya. Pada tahun 2001 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Kota Tasikmalaya mencapai sebesar 2,479 triliun rupiah dan meningkat menjadi 3,470 triliun rupiah pada tahun 2008. Peningkatan pencapaian PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Kota Tasikmalaya terus mengalami peningkatan yang signifikan seiring dengan terus berkembangnya Kota Tasikmalaya.
PDRB Kota Tasikmalaya Atas Dasar Harga Konstan 2000 (juta rupiah) 4,000,000.00 3,500,000.00 3,000,000.00 2,500,000.00 2,000,000.00 1,500,000.00 1,000,000.00 500,000.00 ‐ 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber: Bappeda dan BPS Kota Tasikmalaya, Publikasi PDRB Tahun 2008 Gambar 4.1 PDRB Kota Tasikmalaya Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2001-2008
51
Berdasarkan Gambar 4.1 terlihat jelas bahwa PDRB Kota Tasikmalaya terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan PDRB ini seiring dengan peningkatan hampir semua sektor ekonomi yang terus berkembang di Kota Tasikmalaya. Pada Tabel 1.1 tentang persentase terhadap PDRB Kota Tasikmalaya Atas Dasar Harga Konstan 2000, aktivitas perekonomian Kota Tasikmalaya ditopang oleh 3 sektor utama, diantaranya sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; sektor Industri Pengolahan; dan sektor Jasa-jasa.
7 6 5
Jawa Barat
4
Kota Tasikmalaya Kota Banjar
3
Kabupaten Tasikmalaya
2
Kabupaten Ciamis
1 0 2006
2007
2008
Sumber: BPS Kota Tasikmalaya Tahun 2008 Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tasikmalaya dan beberapa wilayah sekitar Tahun 2006-2008 Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Persen) Apabila dibandingkan dengan wilayah Kota atau Kabupaten yang ada di sekitar Kota Tasikmalaya, laju perekonomian Kota Tasikmalaya masih lebih baik. Berdasarkan Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tasikmalaya masih lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi wilayah tetangganya seperti Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar walaupun jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi di jawa barat secara keseluruhan masih lebih rendah.
52
4.2. Gambaran Umum Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Kota Tasikmalaya merupakan satu daerah yang memiliki potensi yang cukup besar untuk mengembangkan sektor perekonomiannya tidak terkecuali pada sektor Industri Pengolahan, karena kota Tasikmalaya memiliki brand yang kuat dalam berbagai macam industri, seperti bordir, mendong, alas kaki, batik, kayu, payung geulis, meubel serta industri makanan lainnya. Tabel 4.1 Jumlah Industri Besar Atau Sedang Per Sub Sektor Kota Tasikmalaya Tahun 2008 No
Sub sektor industri
Jumlah perusahaan
Persentase
1
Industri Makanan dan Minuman
14
8.43
2
Industri Tekstil
83
50.00
3
Industri Pakaian Jadi
17
10.24
4
Industri Kulit, Barang Kulit dan Alas Kaki
17
10.24
5
Industri Kayu dan Barang dari Kayu
25
15.06
6
Industri Kimia
4
2.41
7
Industri Karet dan Barang Plastik
2
1.20
8
Industri Barang Galian bukan Logam
2
1.20
9
Industri barang dari logam
1
0.60
10
Industri Furniture Pengolahan Lainnya
1
0.60
166
100.00
dan
Industri
Jumlah Industri Kota Tasikmalaya Sumber: BPS Kota Tasikmalaya Tahun 2008
Berdasarkan Tabel 4.1 perkembangan sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya hanya terdapat sektor industri pengolahan non migas yang didominasi oleh subsektor industri tekstil 50 persen, industri kayu dan barang dari
53
kayu 15.06 persen, serta industri pakaian jadi dan industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki masing-masing 10.24 persen. Tidak berkembangnya sektor industri migas di Kota Tasikmalaya lebih dikarenakan ketiadaan faktor sumberdaya alam migas sehingga industri pengolahan migas tidak berkembang di Kota Tasikmalaya. Pada setiap wilayahnya, Kota Tasikmalaya memiliki ciri khas masingmasing seperti industri tekstil yang terkenal dengan industri bordir yang berkembang di Kecamatan Kawalu , batik di Kecamatan Cipedes dan Indihiang, industri kayu, barang dari kayu, barang-barang anyaman dari rotan (industri mendong) di Kecamatan Cibeureum dan Purbaratu, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki di Kecamatan Taman sari dan Mangkubumi, serta industri furnitur di Kecamatan Taman sari. Selain itu, tersedianya sumberdaya manusia secara kultural yang cukup mampu menggerakkan sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya, ditambah lagi dengan bahan baku pendukung industri serta transportasi yang cukup mudah menjadikan nilai lebih bagi perekonomian di Kota Tasikmalaya. Berbagai jenis industri pengolahan berkembang di Kota Tasikmalaya (BPS, 2008). Salah satu yang menjadi Brand Image industri pengolahan di Kota Tasikmalaya adalah pada subsektor Industri Tekstil terutama pada industri bordir. Hasil olahan bordir Kota Tasikmalaya telah dikenal luas. Berikut data potensi industri bordir di Kota Tasikmalaya pada tahun 2008 menurut hasil publikasi potensi industri Kota Tasikmalaya Tahun Anggaran 2009 oleh Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan : Jumlah Unit Usaha
: 1199 unit
54
Nilai Investasi
: Rp. 89,638,857,000
Jumlah Tenaga Kerja
: 11.674 orang
Nilai Produksi
: Rp. 539,338,237,000
Sektor Industri Pengolahan adalah salah satu solusi yang tepat dalam menjawab permasalahan yang menyangkut perekonomian yang berkaitan dengan perkembangan ekonomi daerah, penyerapan tenaga kerja serta yang pada akhirnya berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun disamping semua potensi yang mendukung terhadap perekonomian di Kota Tasikmalaya khususnya di sektor Industri Pengolahan, masih banyak permasalahan klasik yang menghambat perkembangan industri pengolahan di Kota Tasikmalaya diantaranya permodalan, managemen pemasaran serta kualitas sumber daya manusia yang kurang mendukung. Sebagian besar industri pengolahan di Kota Tasikmalaya merupakan jenis usaha Home Industry serta industri skala menengah. Hal tersebut menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan industri ini yang kurang terintegrasi satu sama lainnya walaupun jenis usaha yang dilakukan hampir sama. Pihak perbankan yang selama ini diharapkan menjadi katalisator pertumbuhan industri pengolahan di Kota Tasikmalaya, masih setengah hati dalam upaya penyaluran kredit kepada pengusaha-pengusaha yang terlibat pada sektor Industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Hal ini disebabkan karena kurangnya pandangan positif bagi prospektif industri pengolahan untuk mengembangkan usahanya. Tidak terintegrasinya subsektor-subsektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya menyebabkan lemahnya sistem managemen pemasaran hasil industri pengolahan Kota Tasikmalaya yang implikasinya adalah pangsa pasar hasil Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya yang relatif kecil.
55
Selain itu sumberdaya manusia yang masih rendah juga masih menjadi penghambat dalam perkembangan industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Rendahnya tingkat pendidikan sumberdaya manusia berakibat pula pada rendahnya pengetahuan sumberdaya manusia di Kota Tasikmalaya terhadap tata kelola keuangan, pemasaran serta kualitas hasil industri pengolahan Kota Tasikmalaya. Tentunya semua permasalahan yang menghambat perkembangan Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya perlu campur tangan pemerintah daerah sebagai regulator untuk mengatasi semua permasalahan-permasalahan yang ada.
56
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Perkembangan Sektor Industri Pengolahan di Tasikmalaya 5.1.1. Perkembangan Nilai Output Sektor Industri Pengolahan Berikut disajikan perkembangan nilai output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya selama tahun 2002 sampai 2008: Tabel 5.1 Perkembangan Output Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 Nilai Output No
Tahun
Nilai
Laju Pertumbuhan
(Ribu Rupiah)
(%)
1
2002
368,718,857
*
2
2003
460,001,418
19.84
3
2004
626,605,529
26.59
4
2005
711,560,912
11.94
5
2006
1,007,524,020
29.38
6
2007
729,478,610
-38.12
7
2008
573,652,211
-27.16
Rata-rata 524,383.51 Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2002-2008
3.74
Keterangan: * : Perhitungan data tidak mendukung Tabel 5.1 menunjukan perkembangan nilai output sektor industri pengolahan tahun 2002 sampai tahun 2008 Kota Tasikmalaya. Selama periode penelitian, pencapaian nilai output di Kota Tasikmalaya mengalami fluktuasi. Pencapaian tertinggi dicapai pada tahun 2006 dengan nilai output sebesar
57
1,007,524,020 ribu rupiah sedangkan terendah pada tahun 2002 dengan nilai output sebesar 368,718,857 ribu rupiah. Begitu pula dengan laju pertumbuhan nilai outputnya yang mengalami fluktuasi selama periode yang sama dengan ratarata laju pertumbuhannya sebesar 3.74 persen setiap tahunnya. Selama periode tahun 2006 sampai 2008 nilai output cenderung mengalami penurunan, hal ini sangat erat kaitannya dengan kondisi ekonomi yang terjadi di Kota Tasikmalaya maupun secara global yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. 5.1.2. Perkembangan Faktor–faktor Produksi (Input) Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya. Selama periode penelitian, faktor-faktor produksi (input) mengalami fluktuasi.
Berikut
perkembangan
faktor-faktor
produksi
(input)
yang
memengaruhi nilai output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Tabel 5.2. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 Jumlah Tenaga Kerja No
Tahun
Nilai Investasi
Nilai
Laju Pertumbuhan
Nilai
Laju Pertumbuhan
(orang)
(%)
(Rupiah)
(%)
1
2002
70,601
*
95,885,424,000
*
2
2003
62,994
-12.08
161,906,914,000
40.78
3
2004
58,706
-7.30
173,040,202,000
6.43
4
2005
50,596
-16.03
186,147,776,000
7.04
5
2006
70,232
27.96
234,555,846,000
20.64
6
2007
83,993
16.38
249,630,196,000
6.04
7
2008
80,720
-4.05
265,825,118,000
6.09
Rata-Rata 68,263.14 0.81 195,284,496,571 Sumber: Dinas Perindustrian Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008
14.50
58
Keterangan: * : Perhitungan data tidak mendukung Tabel 5.2 menunjukan perkembangan jumlah penyerapan tenaga kerja dan nilai investasi. Perkembangan penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan selama kurun waktu 2002 sampai 2008 mengalami fluktuasi dengan rata-rata laju pertumbuhan jumlah tenaga kerja sektor industri pengolahan mencapai 0.81 persen setiap tahunnya. Namun hal yang berbeda ditunjukan pada perkembangan nilai investasi sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya, selama kurun waktu yang sama mampu konsisten melaju positif dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahunnya mencapai 14.50 persen. Tabel 5.3. Perkembangan Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 Bahan Baku No
Tahun
BBM
Nilai
Laju Pertumbuhan
Nilai
Laju Pertumbuhan
(Ribu Rupiah)
(%)
(Ribu Rupiah)
(%)
1
2002
24,658,478,056
*
7,226,068,008
*
2
2003
15,381,689,050
-60.31
5,414,992,960
-33.45
3
2004
29,240,705,840
47.40
8,548,045,944
36.65
4
2005
50,792,231,086
42.43
11,356,305,932
24.73
5
2006
114,522,541,575
55.65
17,408,716,065
34.77
6
2007
59,234,488,248
-93.34
7,264,667,970
-139.64
7
2008
89,177,827,284
33.58
5,010,632,991
-44.99
54,715,423,019.86
4.23
8,889,918,552.86
-20.32
Rata-Rata
Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2002-2008 Keterangan: * : Perhitungan data tidak mendukung
59
Pada Tabel 5.3 disajikan perkembangan penggunaan faktor-faktor produksi pada sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya pada tahun 2002 sampai 2008. Pada tabel tersebut terlihat jelas bahwa penggunaan faktor-faktor produksi pada sektor industri pengolahan mengalami fluktuasi. Pada periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2008 penggunaan bahan baku berfluktuasi dengan rata-rata laju pertumbuhan pertahun sebesar 4.23 persen. Hal yang berbeda ditunjukan pada penggunaan bahan bakar minyak. Penggunaan bahan bakar minyak terus mengalami fluktuasi selama periode penelitian dengan kecenderungan penurunan pada penggunaannya dengan laju pertumbuhan sebesar -20.32 persen setiap tahunnya. Tabel 5.4. Perkembangan Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 Listrik No
Tahun
Nilai
Laju Pertumbuhan
(Ribu Rupiah)
(%)
1
2002
2,862,141,960
*
2
2003
1,158,958,060
-146.96
3
2004
3,995,699,992
70.99
4
2005
6,812,546,988
41.35
5
2006
10,263,868,095
33.63
6
2007
9,499,908,080
-8.04
7
2008
10,415,906,046
8.79
Rata-Rata 6,429,861,317.29 Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2002-2008 Keterangan: * : Perhitungan data tidak mendukung
-0.04
60
Begitu pula dengan penggunaan listrik pada sektor indutri pengolahan yang terus mengalami fluktuasi seperti yang ditunjukan pada Tabel 5.4. Penggunaan energi listrik pada sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya melaju negatif dengan laju pertumbuhan setiap tahunnya mencapai -0.04 persen. 5.2. Hasil Estimasi Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas Menurut Gauss dan Markov dalam Gujarati (1978) dalam menggunakan Ordinary Least Square (OLS), penduga koefisien regresi harus bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimated), bila persyaratan tersebut dipenuhi maka metode Ordinary Least Square (OLS) memberikan penduga koefisien yang baik sifat tersebut didasarkan pada berbagai asumsi yang tidak boleh dilanggar agar penduga tetap bersifat BLUE. Pengambilan keputusan diterima atau ditolaknya model ini didasarkan pada hasil pengujian terlebih dahulu karena variabel-variabel yang digunakan dalam model masih penduga. Untuk menjawab semua permasalahan berikut hasil pengolahan data menggunakan E-Views. Tabel 5.5. Uji Kenormalan OUTPUT
TK
INV
BB
BBM
LSTRK
Mean
20.23103
11.11776
25.95052
26.29166
17.68953
17.22274
Median
20.25583
11.15956
25.94981
26.32803
17.88068
17.45713
Maximum
20.73076
11.33849
26.30610
27.09879
18.30724
17.77890
Minimum
19.72555
10.83163
25.28642
25.49666
16.72536
16.00325
Std. Dev.
0.327888
0.178273
0.349133
0.498401
0.537864
0.603627
Jarque-Bera
0.160385
0.381038
0.957204
0.039946
0.689700
1.941912
Probability
0.922939
0.826530
0.619649
0.980225
0.708327
0.378721
7
7
7
7
7 Observations Sumber: E-Views (data diolah)
7
61
Uji kenormalan (normalitas) digunakan untuk mengetahui apakah setiap model peubah memiliki sebaran normal atau tidak. Suatu model menunjukan sebaran normal jika nilai p-value (probability) menunjukan lebih dari nilai α sebesar 5 persen. Pada Tabel 5.5 menunjukan bahwa nilai p-value (probability) untuk nilai output sektor industri pengolahan sebesar
0.922939, p-value
(probability) untuk tenaga kerja sebesar 0.826530, p-value (probability) untuk nilai investasi sebesar 0.619649, p-value (probability) untuk bahan baku sebesar 0.980225, p-value (probability) untuk bahan bakar minyak sebesar 0.708327 sedangkan p-value (probability) untuk listrik sebesar 0.378721. Nilai p-value (probability) semua peubah menunjukan melebihi dari nilai α sebesar 5 persen, maka dapat disimpulkan bahwa semua peubah memiliki sebaran normal. 5.2.1. Analisis Ekonometrika Untuk dapat diterima sebagai model yang baik, suatu model ekonometrika harus dapat memenuhi kriteria ekonometrika. Berikut ini diberikan fungsi hasil pendugaan model persamaan menggunakan data-data dari tahun 2002 sampai 2008 dengan melihat kriteria suatu model ekonometrika. a. Uji Heteroskedastisitas Suatu model terbebas dari masalah heteroskedastisitas jika probabilitas Chi-Square lebih besar dari nilai
yang ada pada model. Berikut hasil analisis
untuk melihat hasil Uji Heteroskedastitas menggunakan e-views. Tabel 5.6. Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS Sumber: E-Views (data diolah)
0.343498 4.424093 0.081479
Prob. F(5,1) Prob. Chi-Square(5) Prob. Chi-Square(5)
0.8513 0.4901 0.9999
62
Pada Tabel 5.6 menunjukan bahwa nilai 0.9999, lebih besar dari tingkat signifikasinya sebesar 0.05 (
= 5 %). Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil
estimasi persamaan fungsi produksi pada penelitian ini tidak mengandung heteroskedastisitas. b. Uji Autokorelasi Autokorelasi dalam Gujarati (1993), adalah korelasi antara error masa lalu (
) dengan masa sekarang
. Berikut hasil analisis untuk melihat
Autokorelasi pada setiap peubah dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test pada eviews. Tabel 5.7. Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test F-statistic
0.174189
Prob. F(1,1)
0.7483
Obs*R-squared
1.038438
Prob. Chi-Square(1)
0.3082
Sumber: E-Views (data diolah)
Suatu model terbebas dari masalah Autokorelasi jika nilai probabilitas Chi-Square dari Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test lebih besar dari pada nilai
yang digunakan. Pada Tabel 5.7 nilai probabilitas dari Breusch-
Godfrey Serial Correlation LM Test menunjukan angka 0.3082 lebih besar dari tingkat signifikasinya sebesar 0.05 (
5% . Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai
estimasi pada persamaan ini tidak mengandung autokorelasi. c. Uji Multikoliniearitas Salah satu asumsi dalam model regresi linear berganda adalah tidak ada hubungan sempurna atau korelasi sempurna antar peubah bebas. Ketika terjadi korelasi sempurna maka disebut dengan perfect multicolinearity, dan jika terjadi
63
multikolinearitas sempurna, maka minimal ada satu peubah bebas yang dapat direpresentasikan sebagai kombinasi linear dari peubah bebas lainnya. Multikolinear adalah suatu situasi dimana adanya keadaan korelasi variabelvariabel diantara satu dengan yang lainnya. Tabel 5.8. Covariance Analysis Covariance Analysis: Ordinary Date: 06/28/11 Time: 21:28 Sample: 2002 2008 Included observations: 7 Correlation Probability Ln_OUTPUT Output
Ln_TK
Ln_INV
Ln_BB
1.000000
TK
-0.009125 1.000000
INV
0.754099 0.340319
1.000000
BB
0.803015 0.169953
0.559487 1.000000
BBM
Ln_BBM Ln_LSTRK
0.299497 -0.630187 -0.385869 0.226354
LSTRK 0.727367 0.181872 Sumber: E-Views (data diolah)
0.529761 0.906137
Keterangan: Ln_OUTPUT : Nilai Ln Output Ln_TK
: Nilai Ln Tenaga Kerja
Ln_INV
: Nilai Ln Investasi (Modal)
Ln_BB
: Nilai Ln Bahan Baku
Ln_BBM
: Nilai Ln Bahan Bakar Minyak
Ln_LSTRK
: Nilai Ln Listrik
1.000000 0.124952
1.000000
64
Jika terdapat korelasi sempurna diantara sesama variabel bebas ini sama dengan satu, dari hasil Covariance Analysis menunjukan bahwa korelasi, nilai output sektor industri dengan tenaga kerja adalah -0.009125, korelasi antara nilai output sektor industri dengan nilai investasi adalah 0.754099, korelasi antara nilai output sektor industri dengan bahan baku adalah 0.803015, korelasi antara nilai output sektor industri dengan bahan bakar minyak adalah 0.299497, korelasi antara nilai output sektor industri dengan listrik adalah 0.727367,. Korelasi antar peubah bebas tidak begitu kuat mendekati 1, maka diasumsikan tidak ada multikolinieritas. 5.2.2. Analisis Kriteria Statistik dan Ekonomi Untuk meliahat analisis kriteria statistik dilakukan 3 uji yaitu: analisis koefisien determinasi, uji F dan uji t. Analisis Koefisien Determinasi (R²) digunakan untuk melihat untuk sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Uji t (Uji Parsial) digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas secara parsial berpengaruh pada variabel terikatnya (Gujarati, 1999). Sedangkan Uji F digunakan untuk melihat apakah variabel-variabel bebas secara serentak berpengaruh tergadap variabel terikatnya, (Gujarati,1999). Tabel 5.9 Analisis Statistik Fungsi Produksi Variable
Coefficient
Prob.
TK INV BB BBM LSTRK C
0.188658 0.879573 -0.044993 0.437649 0.100395 -12.97975
0.1104 0.0086 0.3242 0.0161 0.0975 0.0220
Adjusted R-squared Prob(F-statistic)
0.999129 0.020457
65
Persamaan Fungsi Produksi: Ln_OUTPUT=β1Ln_TK+β2Ln_INV+β3Ln_BB+β4Ln_BBM+β5Ln_LSTRK+β0 Ln_OUTPUT=0.188658*Ln_TK+0.879573*Ln_INV-0.044993*Ln_BB+ 0.437649*Ln_BBM + 0.100395*Ln_LSTRK - 12.97975 (Koefisien betha sudah termasuk koefisien elastisitas). Kelayakan model berdasarkan kriteria statistik ditentukan melalui dua pengujian yaitu uji serentak (uji F) dan uji parsial (uji t). Uji F digunakan untuk melihat apakah variabel-variabel bebas berpengaruh nyata secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Uji t digunakan untuk mengetahui signifikasi pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikatnya. Artinya, untuk mengetahui signifikansi variabel yang berpengaruh terhadap output sektor industri pengolahan, perlu dilakukan uji signifikasi dari masing-masing variabel tersebut. Pengujiannya dapat dilakukan dengan cara melihat nilai probability dari masingmasing variabel tersebut. Kriteria ekonomi digunakan untuk menguji kesesuaian tanda dan mengetahui besarnya pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Suatu model telah memenuhi kriteria ekonomi jika tanda parameter dugaan variabel-variabel bebas sesuai dengan hipotesis. Besarnya pengaruh variabel-variabel bebas ditunjukan oleh besarnya elastisitas tersebut. Dari Tabel 5.9 terlihat bahwa nilai probabiltas uji F menunjukan nilai 0.020457. Nilai Probabilitas lebih kecil dari pada nilai
sebesar 5 persen, artinya
model secara keseluruhan signifikan. Berdasarkan uji t tenaga kerja terhadap nilai output sektor industri pengolahan diperoleh t-hitung sebesar 5.711176, dan probabilitas 0.1104 lebih besar daripada nilai
sebesar 5 persen artinya tenaga
66
kerja tidak berpengaruh nyata terhadap nilai output sektor industri pengolahan. Pada uji t nilai investasi terhadap nilai output sektor industri pengolahan diperoleh t-hitung sebesar 74.41391, dan probabilitas 0.0086 lebih kecil daripada nilai sebesar 5 persen artinya nilai investasi berpengaruh nyata terhadap nilai output sektor industri pengolahan. Pada uji t bahan baku terhadap nilai output sektor industri pengolahan diperoleh t-hitung sebesar -1.790775, dan probabilitas 0.3242 lebih besar dari pada nilai
sebesar 5 persen artinya bahan baku tidak
berpengaruh nyata terhadap nilai output sektor industri pengolahan. Pada uji t bahan bakar minyak terhadap nilai output sektor industri pengolahan diperoleh thitung sebesar 39.39976, dan probabilitas 0.0161 lebih kecil dari pada nilai sebesar 5 persen artinya bahan bakar minyak berpengaruh nyata terhadap nilai output sektor industri pengolahan, sedangkan pada uji t listrik terhadap nilai output sektor industri pengolahan diperoleh t-hitung sebesar 6.478789, dan probabilitas 0.0975 lebih besar dari pada nilai
sebesar 5 persen artinya listrik
tidak berpengaruh nyata terhadap nilai output sektor industri pengolahan. Pada koefisien determinasi (R2) menunjukan pada taraf 99.98 persen. Artinya, keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor tenaga kerja, nilai investasi, bahan baku, bahan bakar minyak dan listrik terhadap nilai output sebesar 99.98 persen sedangkan sisanya 0.02 persen mampu dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Pada uji kriteria statistik fungsi produksi menunjukan koefisien untuk nilai investasi sebesar 0.879573. Artinya, setiap kenaikan 1 persen pada nilai investasi akan meningkatkan nilai output sebesar 0.879573 persen sedangkan koefisien pada bahan bakar minyak sebesar 0.437649. Artinya, setiap penambahan 1 persen
67
pada penggunaan bahan bakar minyak akan meningkatkan nilai output sebesar 0.437649 persen. Pada tenaga kerja, bahan baku dan listrik tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan nilai output. Perkembangan suatu industri di suatu daerah tidak terlepas dari perkembangan faktor-faktor pendukung dalam proses produksi. Penggunaan input produksi yang meningkat seringkali dikaitkan dengan adanya indikator peningkatan aktivitas produksi pada kegiatan industri di daerah tersebut, selama peningkatan aktivitas produksi diimbangi pula dengan peningkatan output pada kegiatan produksi. Seiring perkembangan industri yang signifikan, proses efisiensi menjadi hal yang penting dalam kegiatan produksi, dimana penggunaan input yang minim diharapkan mampu menghasilkan output yang besar yang pada akhirnya diharapkan pula menghasilkan pendapatan yang besar pula pada sektor industri pengolahan. Pada tahun 2003 serta tahun 2007 terjadi penurunan yang signifikan pada nilai output serta faktor-faktor produksi (input) pada sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya seperti yang ditunjukan pada Tabel 5.1 tentang perkembangan nilai output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya (Halaman 56), Tabel 5.2 (Halaman 57), serta Tabel 5.3 (Halaman 58) tentang faktor-faktor produksi (input) sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Penurunan nilai output serta faktor-faktor produksi (input) tersebut tidak terlepas dari kondisi ekonomi global yang berdampak pada kinerja sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya pada tahun 2003 serta tahun 2007. Pada tahun 2003 terjadi gejolak harga minyak dunia serta belum pulihnya kondisi perekonomian Indonesia secara umum yang berdampak pada penurunan kinerja sektor industri pengolahan.
68
Begitu pula dengan tahun 2007, krisis energi yang ditandai dengan melambungnya harga minyak dunia, krisis ekonomi di Amerika yang terjadi secara tidak langsung telah berpengaruh pada kinerja sektor industri pengolahan di Indonesia serta Kota Tasikmalaya. Terjadinya kenaikan harga minyak dunia serta krisis ekonomi yang terjadi di Amerika serta beberapa negara maju lainnya telah berdampak pada penurunan permintaan impor akan hasil produksi sektor industri pengolahan di Indonesia maupun secara khusus di Kota Tasikmalaya. Penurunan permintaan impor berdampak pada pengurangan kapasitas produksi yang akhirnya menurunkan juga pada nilai output yang dihasilkan serta penggunaan input yang dipergunakan. Begitu pula dengan nilai efisiensi yang dicapai seperti yang ditunjukan oleh Gambar 5.2 (Halaman 75), nilai efisiensi pada tahun 2003 serta tahun 2007 merupakan tahun terbaik dalam pencapaian nilain efisiensi. Hal ini menunjukan bahwa para pelaku industri melakukan proses efisiensi yang ketat guna bertahan pada kondisi ekonomi yang sedang bergejolak. Jika kita perhatikan pada Tabel 5.2 (Halaman 57) tentang perkembangan faktor produksi tenaga kerja serta nilai investasi, seringkali pesatnya laju pertumbuhan pada nilai investasi tidak mampu diimbangi oleh pesatnya laju pertumbuhan pada jumlah penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan. Pada Tabel 5.2 laju pertumbuhan rata-rata untuk jumlah penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan sebesar 0.81 persen setiap tahunnya sedangkan laju pertumbuhan pada nilai investasi mampu melaju sebesar 14.50 persen setiap tahunnya. Hal yang paling masuk akal untuk menjelaskan kondisi tersebut adalah jenis industri yang berkembang di Kota Tasikmalaya adalah jenis industri padat modal, dimana faktor produksi investasi lebih dominan daripada
69
faktor produksi tenaga kerja. Tingginya kebutuhan nilai investasi pada sektor industri sebagai konsekuensi belanja teknologi sebagai kebutuhan dasar pada kegiatan produksinya. Penggunaan teknologi modern dengan peran mesin-mesin yang semi otomatis maupun otomatis akan menggantikan peran tenaga kerja pada kegiatan produksinya sehingga laju pertumbuhan pada jumlah tenaga kerja pada sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya cenderung lambat. Begitu pula jika kita perhatikan pada penggunaan faktor-faktor produksi lainnya seperti bahan baku, bahan bakar minyak serta listrik. Penggunaan bahan baku pada sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan laju pertumbuhan pertahunnya sebesar 4.23 persen. Pada penggunaan bahan bakar minyak selama periode tahun 2002 sampai 2008 cenderung mengalami penurunan dengan laju pertumbuhan sebesar -20.32 persen setiap tahunnya, sedangkan penggunaan listrik oleh sektor industri pengolahan mengalami hal yang sama seperti pada penggunaan bahan bakar minyak dengan laju pertumbuhan sebesar -0.04. Peningkatan pada bahan baku pada sektor industri pengolahan mengindikasikan telah terjadinya peningkatan aktivitas produksi pada sektor tersebut. Namun dengan penggunaan bahan bakar minyak yang cenderung mengalami penurunan hal ini menguatkan dugaan pembahasan sebelumnya tentang jenis industri yang berkembang adalah jenis industri padat modal. Peran bahan bakar minyak yang terus menurun mengindikasikan penggantian bahan bakar minyak sebagai sumber energi utama dalam proses produksi oleh bahan bakar alternatif lainnya. Penggunaan energi listrik pun semakin menguatkan dugaan ini, meskipun laju pertumbuhan rata-rata selama periode penelitian
70
mengalami penurunan sebesar 0.04 persen setiap tahunnya, namun jika dilihat penggunaan setiap tahunnya terus mengalami peningkatan seiring dengan penurunan yang terjadi pada penggunaan bahan bakar minyak. Hal ini bisa diasumsikan bahwa penggunaan bahan bakar minyak sebagai energi utama pada sektor industri pengolahan digantikan oleh energi listrik sebagai bahan energi utamanya. Pada koefisien elastisitas tenaga kerja dan koefisien nilai investasi pun semakin membuktikan bahwa jenis industri yang berkembang di Kota Tasikmalaya adalah jenis industri padat modal. Nilai koefisien elastisitas pada nilai investasi berpengaruh nyata positif daripada nilai koefisien pada tenaga kerja yang tidak berpengaruh nyata terhadap nilai output. Artinya, penambahan nilai investasi lebih berpengaruh terhadap peningkatan nilai output daripada tenaga kerja. Namun hal yang berbeda ditunjukan pada nilai elastisitas bahan baku, bahan bakar minyak dan listrik. Pada Tabel 5.9 (Halaman 64), menunjukan bahwa faktor produksi bahan bakar minyak secara nyata berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya daripada faktor bahan baku dan listrik. Artinya, setiap penambahan 1 persen bahan bakar minyak akan mampu meningkatkan output daripada penambahan 1 persen pada bahan baku dan listrik. Lebih berpengaruhnya faktor produksi bahan bakar minyak daripada faktor produksi listrik menandakan bahwa penggunaan bahan bakar minyak sebagai sumber energi utama dalam proses produksi pada industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Hal ini memunculkan dugaan lain yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa jenis industri yang berkembang di Kota
71
Tasikmalaya adalah jenis industri padat modal, tetapi juga jenis industri yang berkembang di Kota Tasikmalaya adalah jenis industri padat karya. Pada industri padat modal penggunaan mesin-mesin begitu dominan menggantikan peran manusia sebagai konsekuensi pengoperasian mesin-mesin secara otomatis. Penggunaan mesin-mesin secara otomatis akan berdampak pula pada penggunaan listrik yang besar pada kegiatan produksi industri padat modal sebagai sumber energi utamanya, sedangkan pada industri padat karya penggunaan bahan bakar minyak akan lebih dominan daripada penggunaan listrik sebagai akibat dari penggunaan teknologi yang masih sederhana sehingga penggunaan bahan bakar minyak akan lebih besar daripada penggunaan listrik sebagai energi utamanya. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa bukan hanya jenis industri padat modal yang berkembang di Kota Tasikmalaya tetapi juga jenis industri padat karya. Perpaduan jenis industri padat modal serta padat karya merupakan salah satu karakteristik dari jenis industri sekunder atau industri antara yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Artinya, industri yang berkembang di Kota Tasikmalaya adalah jenis industri yang mengolah bahan setengah jadi hasil dari industri primer (industri hulu) menjadi bahan setengah jadi yang merupakan input bagi industri tersier (industri hilir). Pada Tabel 4.1, semakin membuktikan bahwa jenis industri yang berkembang di Kota Tasikmalaya adalah jenis industri sekunder, karena pada Tabel 4.1 menunjukan bahwa 50 persen jenis industri menurut subsektor di Kota Tasikmalaya didominasi oleh suksektor industri tekstil. Industri tekstil merupakan salah satu contoh dari industri sekunder atau industri antara, karena industri tekstil membutuhkan input dari industri hulunya berupa
72
benang, kain dan lain sebagainya dan akan menghasilkan
output yang akan
menjadi input bagi industri hilirnya seperti input yang dibutuhkan oleh industri garmen. 5.3. Elastisitas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Nilai koefisien regresi dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi. Penjumlahan dari setiap jumlah koefisien dalam model fungsi produksi dapat digunakan untuk mengetahui kondisi skala usaha dalam produksi. Tabel 5.9 (Halaman 64), menunjukan bahwa hampir semua elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi mempunyai nilai yang lebih dari nol (positif) kecuali faktor produksi bahan baku, nilai elastisitasnya kurang dari nol (negatif). Berdasarkan Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa faktor produksi tenaga kerja, nilai investasi, bahan bakar minyak dan listrik berada pada daerah I (eq > 1). Hal ini menunjukan bahwa penggunaan faktor produksi tenaga kerja, nilai investasi, bahan bakar minyak dan listrik tidak rasional. Artinya, setiap penambahan faktor produksi sebanyak 1 persen akan menyebabkan penambahan nilai output yang selalu lebih besar dari satu persen. Pada daerah ini keuntungan maksimum belum tercapai, karena produksi masih selalu dapat ditingkatkan dengan penambahan input (faktor produksi tenaga kerja, nilai investasi, bahan bakar minyak dan listrik). Faktor produksi bahan baku berada pada daerah III (Gambar 2.1), karena memiliki nilai elastisitas kurang dari nol (eq < 0) yaitu sebesar -0.0437649. Hal ini menunjukan bahwa kenaikan input secara terus menerus akan menurunkan jumlah output yang pada akhirnya akan berpengaruh pada pencapaian nilai output sektor
73
industri pengolahan. Dengan kata lain berdasarkan adanya hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (the law of diminishing return) yang mempengaruhi bentuk fungsi produksi, maka jika penggunaan bahan baku tersebut ditambahkan terus menerus tanpa memperhatikan faktor produksi lain (faktor produksi lain dibiarkan tetap) maka akan menyebabkan pengurangan penambahan output bahkan dapat menurunkan output industri pengolahan. Untuk meningkatkan nilai output sektor industri pengolahan secara signifikan dapat dilakukan dengan cara penambahan nilai investasi dan bahan bakar minyak dalam proses produksi. Keputusan ini merupakan hal yang paling efisien karena nilai investasi dan bahan bakar minyak mempunyai nilai elastisitas yang berpengaruh nyata, sehingga dapat memberikan pengaruh yang signifikan pada pencapaian nilai output. 5.4. Skala Usaha (Return to Scale) Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Skala usaha (return to scale) menjelaskan bagaimana suatu kenaikan proporsional dari suatu faktor-faktor produksi (input) terhadap outputnya. Besarnya skala usaha ditentukan dari penjumlahan parameter peubah bebasnya. Berdasarkan hasil estimasi fungsi produksi kelima variabel bebasnya ( ∑ 1 ) yaitu sebesar 1.56128. Nilai skala usaha yang lebih dari satu menunjukan bahwa skala usaha industri pengolahan berada pada kondisi increasing return to scale. Artinya, bahwa setiap proprosi penambahan input produksi akan menghasilkan output produksi yang proporsinya lebih besar atau setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama akan memberikan tambahan kepada produksi.
74
5.5. Nilai Tambah Nilai tambah industri pengolahan merupakan selisih antara nilai output yang dihasilkan dengan biaya input yang dikeluarkan. Peningkatan nilai tambah mengindikasikan adanya peningkatan aktivitas produksinya. Nilai tambah pada industri pengolahan di Kota Tasikmalaya pada periode tahun 2002-2008 mengalami fluktuasi seperti yang ditunjukan pada Gambar 5.1.
Nilai Tambah Riil Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Periode 2002-2008 ( Rupiah)
380,805,504,248 319,331,538,654 291,077,913,700 278,294,026,297 275,082,221,468 190,405,858,927 88,409,458,234
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 Gambar 5.1. Nilai Tambah Riil pada Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008 Gambar 5.1 menunjukan nilai tambah pada industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Pada periode tahun 2002 sampai tahun 2008, nilai tambah mengalami fluktuasi. Nilai tambah riil tertinggi dicapai pada tahun 2007 sebesar 380,805,504,248 rupiah, sedangkan nilai tambah terendah dialami pada tahun 2002 dengan nilai tambah sebesar 88,409,458,234 rupiah.
75
5.6. Efisiensi Nilai efisiensi digunakan untuk melihat keberhasilan industri pengolahan. Perkembangan
nilai
efisiensi
industri
pengolahan
dihitung
berdasarkan
perbandingan antara biaya input dengan nilai output Industri pengolahan dari tahun ke tahun, yang dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Efisiensi Produksi Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2002‐2008 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2008 (diolah) Gambar 5.2 Nilai Efisiensi pada Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008 (diolah)
Nilai efisiensi yang merupakan rasio biaya input dengan nilai output pada industri pengolahan mengalami fluktuasi selama periode 2002 sampai 2008. Nilai efisiensi tertinggi terjadi pada tahun 2003 dengan nilai efisiensi 0.367224, dan yang paling rendah pada tahun 2002 dengan nilai efisiensi 0.760225. 5.7. Produktivitas Pencapaian
prestasi
perusahaan
seringkali
dilihat
berdasarkan
produktivitas yang dicapainya. Meningkatnya produktivitas mengindikasikan adanya peningkatan nilai output setiap tenaga kerja. Berikut hasil produktivitas
76
tenaga kerja sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya periode tahun 2002 sampai tahun 2008.
Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002‐2008 (Ribu Rupiah per Orang) 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2008 (diolah) Gambar 5.3 Produktifitas Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008(diolah)
Pada Gambar 5.3 terlihat jelas bahwa produktivitas tenaga kerja sektor industri pengolahan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Rata-rata nilai produktivitas tenaga kerja selama periode 2002 sampai 2008 menunjukan nilai 1,700,202.12. Artinya, setiap tenaga kerja dari sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya mampu menghasilkan output sebesar 1,700,202.12 ribu rupiah per tahun (Lampiran 4). 5.8.
Peran Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya dalam Upaya Pengembangan Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Berbagai cara telah dilakukan pemerintah dalam upaya peningkatan
perkembangan industri ini. Pemerintah bekerja sama dengan KADIN setempat
77
telah berupaya memperkecil faktor-faktor penghambat perkembangan industri ini seperti yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Dukungan pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan perkembangan industri pengolahan dilakukan melalui berbagai program pemberdayaan dan pembinaan seperti pelatihan, bantuan alat serta pendirian pusat promosi dan pemasaran. 5.8.1. Kebijakan Sektoral Dilihat dari sisi kebijakan, Pemerintah Daerah terus bekerja keras dalam pengembangan industri pengolahan, khususnya pada subsektor yang menjadi brand image yang kuat bagi Kota Tasikmalaya. Berikut realisasi kebijakan Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya dalam dukungan peningkatan sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. 1. Penggunaan produk payung geulis sebagai gapura di setiap pintu masuk OPD, BUMN, dan BUMD 2. Penggunaan barang-barang kerajinan Kota Tasikmalaya di setiap OPD, BUMN, dan BUMD 3. Penggunaan pakaian batik Kota Tasikmalaya untuk seragam dinas setiap hari Jum’at 4. Penggunaan pakaian bordir Kota Tasikmalaya untuk seragam dinas pada hari Kamis Disamping sisi kebijakan yang terealisasikan seperti yang telah diuraikan pada
pembahasan
dilaksanakan
sebelumnya,
pemerintah
Kota
berikut
adalah
Tasikmalaya
kegiatan-kegiatan
dalam
perkembangan industri pengolahan Kota Tasikmalaya
upaya
yang
peningkatan
78
1. Mengikuti even pameran baik lokal, regional dan nasional 2. Menyelenggarakan Tasik Fair dan Tasik Craft and Culture Festival 3. Pembuatan Gapura sentra di setiap sentra produksi 4. Pelatihan Pengolahan makanan dan pelatihan design kaos dan bordir 5. Memfasilitasi mesin IK mendong dan konveksi 6. Pembentukan Komunitas Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya 7. Penerapan gugus kendali mutu pada IKM 5.8.2. Kebijakan Anggaran Perkembangan sektor industri pengolahan tidak terlepas dari peranan pemerintah daerah selaku regulator. Kebijakan-kebijakan pemerintah sangat berperan besar dalam keberlangsungan sektor industri pengolahan. Pemerintah diharapkan mampu memberikan solusi atas semua permasalahan-permasalahan yang seringkali menjadi penghambat dalam proses investasi. Arah kebijakankebijakan senantiasa memberikan dampak langsung maupun tidak langsung pada proses industrialisasi. Kebijakan-kebijakan pemerintah memberikan dasar hukum bagi semua pelaku industri dalam menjalankan proses industrinya sehingga pada perkembangannya, pemerintah mampu memberikan kepastian hukum kepada pelaku industri, melindungi tenaga kerja, serta menyediakan semua kelengkapankelengkapan lainnya yang mampu mendorong perkembangan industri di daerahnya. Peranan pemerintah dalam perkembangan industri seringkali terlihat dalam besaran anggaran yang dialokasikan untuk perkembangan industri. Berikut Realisasi Belanja Daerah Kota Tasikmalaya untuk Dinas Perindustrian Kota Tasikmalaya.
79
Tabel 5.10. Realisasi Belanja Daerah Dinas Perindustrian Kota Tasikmalaya Tahun Anggaran 2008 Persentase Program / Kegiatan
Anggaran (Rp)
Dinas Perindustrian
APBD
Belanja Tidak Langsung
7,479,676,000
54.49
1.116
Belanja Langsung
3,212,380,000
23.40
0.479
Program Pelayanan Administrasi Perkantoran
1,052,994,000
7.67
0.157
Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur
292,218,000
2.13
0.044
Program Peningkatan Disiplin Aparatur
15,875,000
0.12
0.002
Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Aparatur
120,631,000
0.88
0.018
Program Peningkatan Pengembangan Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan
65,393,000
0.48
0.010
Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah
357,635,000
2.61
0.053
Program Pengembangan Sentra-Sentra Industri Potensial
291,450,000
2.12
0.043
Program Peningkatan Pengawasan Peredaran Barang dan Jasa
325,353,000
2.37
0.049
Program Promosi Produk Unggulan Daerah Dalam Acara Pameran Bidang Perindustrian
487,500,000
3.55
0.07
Program Perencanaan Pembangunan Daerah
25,550,000
0.19
0.00
13,726,655,000
100.00
2.05
Total
Sumber: Bappeda Kota Tasikmalaya Tahun 2008 Tabel 5.10 menunjukan realisasi belanja daerah Dinas Perindustrian Kota Tasikmalaya Tahun 2008. Pada tabel tersebut dapat terlihat jelas bahwa sektor industri mendapatkan alokasi 2.05 persen dari total anggaran belanja pemerintah
80
daerah Kota Tasikmalaya pada tahun 2008. Jika diperhatikan dalam struktur belanja Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya tahun 2008 tersebut 54.49 persen teralokasi untuk belanja tidak langsung Dinas Perindustrian Kota Tasikmalaya yang terdiri dari 27.25 persen untuk belanja pegawai, 25.86 persen untuk gaji dan tunjangan pegawai dinas perindustrian dan 1.39 persen digunakan untuk tambahan penghasilan PNS. Belanja langsung memperoleh alokasi 23.40 persen, pendayagunaan aparatur yang mencapai 11.28 persen dan sisanya untuk pengembangan sektor industri sebesar 10.84 persen. Apabila kita perhatikan struktur
realisasi
belanja
pemerintah
daerah
Dinas
Perindustrian
Kota
Tasikmalaya sungguh ironi, karena anggaran untuk pengembangan sektor industri pengolahan mendapat prioritas paling kecil pada kebijakan anggarannya yang hanya sebesar 10.84 persen. Pada Tabel 5.10 tidak ada satu pun kebijakan pemerintah yang mengarah pada program peningkatan output pada sektor industri. Pada program-program yang telah terealisasi pada tahun 2008, hanya terfokus pada kebijakan-kebijakan yang bersifat ceremonial serta program-program pemberdayaan lainnya yang tidak menyangkut pada program peningkatan output sektor industri pengolahan. Pemerintah daerah seharusnya merubah kebijakan anggaran untuk sektor industri pengolahan mengingat peranan yang sangat besar terhadap perekonomian Kota Tasikmalaya.
81
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Penelitian mengenai Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Periode tahun 2002 sampai 2008 menghasilkan beberapa kesimpulan, diantaranya: 1. Perkembangan output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya tumbuh berfluktuatif selama periode penelitian dengan rata-rata laju pertumbuhan per tahunnya mencapai 3.74 persen. 2. Perkembangan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi nilai output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya pun menunjukan perkembangan yang signifikan terbukti laju pertumbuhan masing-masing per tahunnya sebesar 0.81 persen untuk tenaga kerja, 14.50 persen untuk nilai investasi, 4.23 persen untuk bahan baku, -20.32 untuk bahan bakar minyak dan -0.04 persen untuk laju pertumbuhan listrik. 3. Pada pengujian OLS melalui E-Views penduga koefisien regresi tidak menunjukan
gejala
Autokorelasi,
Multikolinearitas,
dan
Heteroskedastisitas. Pada pengujian statistik persamaan regresi pada penelitian ini menunjukan bahwa hanya dua faktor produksi yang berpengaruh nyata positif terhadap perkembangan nilai output sektor industri pengolahan yaitu nilai investasi dengan koefisien elastisitas sebesar 0.879573 dan bahan bakar minyak dengan koefisien elastisitas sebesar 0.437649. Artinya, setiap penambahan satu persen pada nilai
82
investasi akan meningkatkan 0.879573 persen pada nilai output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya, sedangkan setiap penambahan satu persen pada bahan bakar minyak akan meningkatkan 0.437649 persen pada nilai output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya 4. Pemerintah Kota Tasikmalaya sebagai regulator belum memberikan peran yang nyata terhadap perkembangan sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Pada kebijakan sektoral pemerintah Kota Tasikmalaya hanya memfokuskan diri pada kebijakan-kebijakan yang bersifat ceremonial dengan minimnya tindakan nyata dalam membantu perkembangan sektor industri di Kota Tasikmalaya. Pada kebijakan anggaran pun sektor industri pengolahan mendapat alokasi yang sangat minim. 6.2. Saran Dari kesimpulan yang telah dijelaskan maka dapat diajukan beberapa saran guna peningkatan perkembangan sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya diantaranya: 1. Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya sebagai regulator hendaknya mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga mampu menarik
para
investor
domestik
maupun
investasi
asing
untuk
menanamkan investasinya di Kota Tasikmalaya. 2. Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya diharapkan mampu menjadi jembatan antara pelaku industri di Kota Tasikmalaya dengan pihak penanam modal termasuk dengan pihak perbankan sebagai pemberi kredit modal sehingga permasalahan klasik para pelaku industri yang sebagian
83
besar
merupakan industri kecil dan menengah mengenai keterbatasan
modal dapat teratasi. 3. Peran aktif Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya diharapkan bukan hanya sebatas peran aktif yang bersifat ceremonial tetapi juga diharapkan lebih peran aktif yang nyata dalam membantu perkembangan sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam mendukung keberlangsungan sektor industri pengolahan seperti penyediaan sarana dan infrastruktur yang memadai guna mendukung pertumbuhan sektor industri serta menciptakan pasar yang terintegrasi sehingga pertumbuhan sektor industri tidak hanya dimiliki oleh pemilik modal tetapi semua elemen yang terkandung dalam Industrial relation mampu menikmati hasil perkembangan industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. 4. Pada sisi kebijakan anggaran Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya diharapkan mampu merubah kebijakan anggaran belanja daerah sehingga besarnya anggaran untuk belanja langsung dan tak langsung untuk pengembangan sektor industri tidak terjadi ketimpangan yang besar.
84
DAFTAR PUSTAKA
Ajireswara, A. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Mobil di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ardina, Anindyo Riswari. 2010. Analisis Faktor-kaktor yang Mempengaruhi Output Industri Logam Dasar di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Tasikmalaya. 2008. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2008-2012. Kota Tasikmalaya. Badan Pusat Statistik. 2002-2008. Statistik Industri Besar dan Sedang Jawa Barat Volume 2. BPS, Bandung. Badan Pusat Statistik. 2002-2008. Suseda Jawa Barat. Bandung. Badan Pusat Statistik. 2008. Tasik dalam Angka 2008. Tasikmalaya. Beattie, B.R. dan C.R. Taylor. 1994. Ekonomi Produksi. John Wileye Sions, Inc [Penejemah]. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Yogyakarta. Fitriani, Astrisia. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Ban di Indonesia Periode 1984-2002. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gujarati, D. 1993. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarsono [Penerjemah]. Erlangga. Jakarta. Gujarati. D. 1978. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta. Gujarati. D. Dan Sumarsono, Z. 1999. Ekonometrika Dasar. Cetak ke Enam. Jakarta: Erlangga. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri. Jakarta: LP3ES. Koutsoyiannis, A. 1997. Theory Of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics Methods. Second Edition. The Macmillan Press Ltd. United Kingdom.
85
Kurniawan, D. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Output Sektor Industri Sepeda Motor di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Legiman. 2003. Analisis Efisiensi Pemanfaatan Input dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Efisiensi Industri Kecil (Studi Kasus pada sentra industri kecil keramik Kabupaten Klaten). Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lipsey, Richard. Paul Courant, Douglas Purvis, dan Peter Steiner. 1995. Pengantar Makroekonomi. Jilid I. Bina Rupa Aksara, Jakarta. Lipsey, at al. 1995. Pengantar Makroekonomi. Jilid I. Bina Rupa Aksara, Jakarta. Machmud. 1997. Analisis Efisiensi Faktor-faktor Produksi Industri Tahu Sumedang (Studi Kasus di Kota Sumedang Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nicholson, Walter. 2002. Teori Ekonomi Mikro, Prinsip Pengembangannya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Dasar
dan
Putong, I. 2003. Pengantar Mikro dan Makro. Edisi ke-2. Ghalia Indonesia, Jakarta. Sanimah. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Memperngaruhi Output Industtri Semen di Indonesia Periode 1983-2003. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi PertanianTeori dan Aplikasi Edisi Revisi 2002. PT. Rajagrapindo Persada, Jakarta. Sulistyono. 2005. Analisis Fungsi Produksi Industri Kerajinan Genteng di Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tasliah, Elsa. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Output Industri Tepung Terigu di Indonesia Periode Tahun 1986-2003. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Timor, S.D. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Produksi dan Impor Jagung di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Todaro, Michael P dan Smith, Stephen C. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid I. Edisi Kesembilan. Haris Munandar dan Puji, A.L. [Penerjemah]. PT. Gelora Aksara Pratama, Jakarta.
86
Zain, W. 2005. Pokok-pokok Masalah dan Pemikiran Mengenai Industrialisasi: sebuah Tinjauan Umum. Prima No.1 Tahun XV. Jakarta.
Lampiran 1
Tabel PDRB dan Persentase PDRB Kota Tasikmalaya Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2002-2008 Menurut Lapangan Usaha (Milyar Rupiah) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tahun
Lapangan Usaha
2002
2003
2004
2005
Pertanian Pertambangan dan Penggalian
278,403.08
10.77
281,021.68
10.41
283,689.30
10.01
285657
9.69
177.65
0.01
180.25
0.01
183.31
0.01
186.91
0.01
Industri Pengolahan Listrik. Gas dan Air Bersih
430,050.28
16.63
455,189.57
16.87
492,350.11
17.38
525,271.00
17.82
37,208.93
1.44
38,003.71
1.41
39,460.38
1.39
44489.41
1.51
Bangunan Perdagangan, Hotel dan restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Keuangan
247,647.23
9.58
255,038.73
9.45
258,871.08
9.14
262124.54
8.89
794,693.55
30.73
809,902.41
30.01
817,750.98
28.86
824451.19
27.97
266,579.13
10.31
272,560.36
10.10
278,235.25
9.82
283281.82
9.61
156,992.20
6.07
211,174.26
7.83
281,244.09
9.93
331157.02
11.24
372,380.09
14.40
375,564.27
13.92
381,582.09
13.47
390609.14
13.25
2,586,134.14
99.92
2,698,635.24
100.00
2,833,366.59
100.00
2947228.42
100.00
Jasa-jasa PDRB Kota Tasikmalaya
Sumber: BPS Kota Tasikmalaya Tahun 2008
88
Lampiran 2 Lanjutan Lampiran 1 Tabel PDRB dan Persentase PDRB Kota Tasikmalaya Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2002-2008 Menurut Lapangan Usaha (Milyar Rupiah) No 1
Lapangan Usaha
Pertanian Pertambangan dan 2 Penggalian 3 Industri Pengolahan Listrik. Gas dan Air 4 Bersih 5 Bangunan Perdagangan, Hotel 6 dan restoran Pengangkutan dan 7 Komunikasi Keuangan, Persewaan 8 dan Jasa Keuangan 9 Jasa-jasa PDRB Kota Tasikmalaya
2006 283,411.97
9.15
Tahun 2007 294,732.38
8.98
2008 295,204.03
8.51
190.41
0.01
193.55
0.01
196.93
0.01
554,357.32
17.89
591,910.42
18.03
621,586.84
17.91
49,582.08
1.60
53,883.98
1.64
57,112.97
1.65
292,479.80
9.44
322,787.98
9.83
360,041.49
10.38
883,383.08
28.51
954,786.44
29.08
1,036,979.45
29.88
293,972.06
9.49
299,567.51
9.12
306,170.95
8.82
326,652.94
10.54
345,678.99
10.53
365,102.47
10.52
413,938.71 3,097,968.38
13.36 100.00
419,714.56 3,283,255.81
12.78 100.00
427,846.77 3,470,241.90
12.33 100.00
Sumber: BPS Kota Tasikmalaya Tahun 2008
89
Lampiran 3
Data Statistik Industri Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 (Termasuk Industri Besar, Sedang dan UMKM)
No
Tahun
1
2002
Unit Usaha 2643
2
2003
2912
3
2004
3103
4
2005
3248
5
2006
3426
6
2007
3556
7
2008
3726
Sumber: Dinas Kopersi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasikamlaya Tahun 2008
90
Lampiran 4
Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 Nilai Output Tenaga Kerja Produktivitas No Tahun (Ribu Rupiah) (Orang) (Ribu Rupiah/ orang) 1 2002 45,721,138,268 70,601 647,599.02 2 2003 59,800,184,340 62,994 949,299.68 3 2004 85,218,351,944 58,706 1,451,612.30 4 2005 112,426,624,096 50,596 2,222,045.70 5 2006 196,467,183,900 70,232 2,797,402.66 6 2007 159,026,336,980 83,993 1,893,328.46 7 2008 156,607,053,603 80,720 1,940,127.03 Rata-rata 116,466,696,162 68,263 1,700,202.12 Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2002-2008 (diolah)
91
Lampiran 5
Data Nominal Faktor-faktor Produksi (Input) yang Memengaruhi Output Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 Tenaga Output Nilai Investasi Bahan Baku BBM Listrik Kerja No Tahun (Ribu Rupiah) (Orang) (Rupiah) (Ribu Rupiah) (Ribu Rupiah) (Ribu Rupiah) 1 2002 45,721,138,268 70,601 95,885,424,000 24,658,478,056 7,226,068,008 2,862,141,960 2 2003 59,800,184,340 62,994 161,906,914,000 15,381,689,050 5,414,992,960 1,158,958,060 3 2004 85,218,351,944 58,706 173,040,202,000 29,240,705,840 8,548,045,944 3,995,699,992 4 2005 112,426,624,096 50,596 186,147,776,000 50,792,231,086 11,356,305,932 6,812,546,988 5 2006 196,467,183,900 70,232 234,555,846,000 114,522,541,575 17,408,716,065 10,263,868,095 6 2007 159,026,336,980 83,993 249,630,196,000 59,234,488,248 7,264,667,970 9,499,908,080 7 2008 156,607,053,603 80,720 265,825,118,000 89,177,827,284 5,010,632,991 10,415,906,046 Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2002-2008 (diolah)
92
Lampiran 6
Data Riil Faktor-faktor Produksi (Input) yang Memengaruhi Output Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 Tenaga Output Nilai Investasi Bahan Baku BBM Listrik IHPB Kerja No Tahun (2000=100) (Ribu Rupiah) (Orang) (Rupiah) (Ribu Rupiah) (Ribu Rupiah) (Ribu Rupiah) 1 2002 124 368,718,857 70,601 95,885,424,000 198,858,694 58,274,742 23,081,790 2 2003 130 460,001,418 62,994 161,906,914,000 118,320,685 41,653,792 8,915,062 3 2004 136 626,605,529 58,706 173,040,202,000 215,005,190 62,853,279 29,380,147 4 2005 158 711,560,912 50,596 186,147,776,000 321,469,817 71,875,354 43,117,386 5 2006 195 1,007,524,020 70,232 234,555,846,000 587,295,085 89,275,467 52,635,221 6 2007 218 729,478,610 83,993 249,630,196,000 271,717,836 33,324,165 43,577,560 7 2008 273 573,652,211 80,720 265,825,118,000 326,658,708 18,353,967 38,153,502 Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2002-2008 (diolah) Keterangan: IHPB
: Indeks Harga Perdagangan Besar
93
94
Lampiran 7
Data Nilai Tambah Nominal Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 Output Input Nilai Tambah No Tahun (Ribu Rupiah) (Ribu Rupiah) (Ribu Rupiah) 1 2002 45,721,138,268 34,758,365,447 10,962,772,821 2 2003 59,800,184,340 21,960,055,559 37,840,128,781 3 2004 85,218,351,944 41,789,262,660 43,429,089,284 4 2005 112,426,624,096 68,963,633,104 43,462,990,992 5 2006 196,467,183,900 142,199,848,772 54,267,335,128 6 2007 159,026,336,980 76,010,737,054 83,015,599,926 7 2008 156,607,053,603 104,626,254,116 51,980,799,487 Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2002-2008 (diolah)
95
Lampiran 8
Data Nilai Tambah Riil Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 IHPB Tahun Output Riil Input Riil Nilai Tambah Riil (2000=100) 2002 124 368,718,857.00 280,309,398.77 88,409,458.23 2003 130 460,001,418.00 168,923,504.30 291,077,913.70 2004 136 626,605,529.00 307,273,990.15 319,331,538.85 2005 158 711,560,912.00 436,478,690.53 275,082,221.47 2006 195 1,007,524,020.00 729,229,993.70 278,294,026.30 2007 218 729,478,610.00 348,673,105.75 380,805,504.25 2008 273 573,652,211.00 383,246,352.07 190,405,858.93 Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2002-2008 (diolah) Keterangan: IHPB
: Indeks Harga Perdagangan Besar
96
Lampiran 9
Data Efisiensi Produksi Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 Output Input Efisiensi No Tahun (Ribu Rupiah) (Ribu Rupiah) (input/output) 1 2002 45,721,138,268 34,758,365,447 0.7602252867 2 2003 59,800,184,340 21,960,055,559 0.3672238773 3 2004 85,218,351,944 41,789,262,660 0.4903786767 4 2005 112,426,624,096 68,963,633,104 0.6134101567 5 2006 196,467,183,900 142,199,848,772 0.7237842267 6 2007 159,026,336,980 76,010,737,054 0.4779757775 7 2008 156,607,053,603 104,626,254,116 0.6680813648 Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2002-2008 (diolah)
97
Lampiran 10
Data Variabel Dependen dan Independen OLS (di-Ln-kan) Tenaga Nilai Bahan No Tahun Output BBM Kerja Investasi Baku 1 2002 19.73 11.16 25.29 19.11 17.88 2 2003 19.95 11.05 25.81 18.59 17.54 3 2004 20.26 10.98 25.88 19.19 17.96 4 2005 20.38 10.83 25.95 19.59 18.09 5 2006 20.73 11.16 26.18 20.19 18.31 6 2007 20.41 11.34 26.24 19.42 17.32 7 2008 20.17 11.30 26.31 19.60 16.73 Ket: Data diolah
Listrik 16.95 16.00 17.20 17.58 17.78 17.59 17.46
98
Lampiran 11
Covariance Analysis: Ordinary Date: 06/28/11 Time: 21:28 Sample: 2002 2008 Included observations: 7 Covariance Correlation t-Statistic Probability Observations OUTPUT
OUTPUT 0.092152 1.000000 --------7
TK
TK
-0.000457 -0.009125 -0.020406 0.9845 7
0.027241 1.000000 --------7
INV
0.073994 0.754099 2.567478 0.0502 7
0.018156 0.340319 0.809282 0.4551 7
0.104480 1.000000 --------7
BB
0.112481 0.803015 3.012950 0.0297 7
0.012943 0.169953 0.385637 0.7156 7
0.083447 0.559487 1.509401 0.1916 7
0.212917 1.000000 --------7
0.045273 -0.051794 0.299497 -0.630187 0.701915 -1.814866 0.5141 0.1293 7 7
-0.062109 -0.385869 -0.935261 0.3926 7
0.052011 0.226354 0.519629 0.6255 7
0.247969 1.000000 --------7
0.095696 0.529761 1.396672 0.2213 7
0.233666 0.906137 4.790215 0.0049 7
0.034773 0.124952 0.281609 0.7895 7
BBM
LSTRK
0.123396 0.727367 2.370051 0.0639 7
0.016775 0.181872 0.413576 0.6963 7
INV
BB
BBM
LSTRK
0.312314 1.000000 --------7
99
Lampiran 12
Dependent Variable: OUTPUT Method: Least Squares Date: 06/28/11 Time: 21:29 Sample: 2002 2008 Included observations: 7 White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
TK INV BB BBM LSTRK C
0.188658 0.879573 -0.044993 0.437649 0.100395 -12.97975
0.033033 0.011820 0.025125 0.011052 0.015496 0.449649
5.711176 74.41391 -1.790775 39.59976 6.478789 -28.86643
0.1104 0.0086 0.3242 0.0161 0.0975 0.0220
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.999855 0.999129 0.009679 9.37E-05 29.34283 1376.972 0.020457
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
20.23103 0.327888 -6.669381 -6.715744 -7.242416 3.159381
100
Lampiran 13
Uji Normalitas Error Term 3
Series: Residuals Sample 2002 2008 Observations 7 2
1
0 -0.0075
-0.0050
-0.0025
0.0000
0.0025
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-7.36e-15 0.000620 0.004477 -0.007375 0.003951 -0.807282 2.804880
Jarque-Bera Probability
0.771426 0.679966
0.0050