i
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR GARAM INDONESIA (DARI NEGARA MITRA DAGANG AUSTRALIA, INDIA, SELANDIA BARU, DAN CINA)
OLEH GITA WIDYA RATNA KEMALA H14080063
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
ii
RINGKASAN GITA WIDYA RATNA KEMALA. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Impor Garam Indonesia (dari Negara Mitra Dagang Australia, India, Selandia Baru, dan Cina) (dibimbing SRI HARTOYO) Garam merupakan salah satu komoditi strategis Indonesia dimana penggunaannya tidak hanya untuk konsumsi manusia melainkan juga sebagai bahan baku industri. Garam merupakan salah satu sumber sodium dan chloride dimana kedua unsur tersebut diperlukan untuk metabolisme tubuh manusia. Sebagai negara kepulauan yang dikelililingi laut dan samudera, Indonesia dikenal sebagai penghasil garam yang cukup besar dengan kualitas yang cukup baik. Wilayah Indonesia terdiri dari 1/3 daratan dan 2/3 lautan, dimana dalam kondisi normal setiap tahunnya mengalami iklim kemarau sekitar 6 (enam) bulan dan secara geografis kondisi tersebut merupakan salah satu yang menjadi faktor pendukung produksi garam. Sementara itu produksi garam Indonesia memiliki tren yang cenderung menurun sedangkan kebutuhan pada komoditi garam semakin meningkat setiap tahunnya. Kebutuhan yang tidak disertai oleh persediaan produksi domestik menuntut adanya kebijakan untuk mengimpor garam untuk memenuhi konsumsi garam dalam negeri. Oleh karena tu penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran perkembangan ekonomi garam baik pada sisi produksi, konsumsi, harga, impor, maupun kebijakan impor garam. Kedua, untuk menganalisis faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi impor garam di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dalam periode tahun 2001 hingga 2010 dengan empat mitra dagang utama yakni Australia, India, Selandia Baru, dan Cina. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan serta analisis kuantitatif dengan regresi Ordinary Least Square data panel program Eviews 6. Dalam penelitian analisis regresi digunakan untuk melihat pengaruh variabel populasi, nilai tukar riil, harga impor garam, jumlah industri berbahan baku garam, produksi, serta dummy negara Australia, India, dan Selandia Baru terhadap volume impor garam. Hasil menunjukkan bahwa variabel harga impor, populasi, nilai tukar riil, jumlah industri berbahan baku garam, produksi, dummy Australia, dan dummy India berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan permintaan impor garam pada taraf nyata 15 persen. Sementara itu variabel dummy Selandia Baru tidak signifikan terhadap perubahan impor. Ini menunjukkan bahwa negara Australia dan India merupakan negara pengekspor garam yang cukup dominan ke wilayah Indonesia sedangkan negara Selandia Baru tergolong negara pengekspor garam yang kecil ke wilayah Indonesia. Untuk meningkatkan produksi garam domestik agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada impor adalah melalui peningkatan luas areal garam dan peningkatan produktivitas agar produksi bisa lebih meningkat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan beberapa program yang dapat menunjang kesejahteraan petani, serta pendampingan kepada petani agar dapat menghasilkan garam yang lebih optimal. Selain itu diperlukan pula kebijakan pemerintah dalam nilai tukar serta harga agar nantinya lebih berpihak ke arah petani.
iii
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR GARAM INDONESIA (DARI NEGARA MITRA DAGANG AUSTRALIA, INDIA, SELANDIA BARU, DAN CINA)
OLEH GITA WIDYA RATNA KEMALA H14080063
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
iv
Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Garam Indonesia (dari Negara Mitra Dagang Australia, India, Selandia Baru, dan Cina) Nama
: Gita Widya Ratna Kemala
NIM
: H14080063
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr.Ir. Sri Hartoyo NIP. 19500209 198203 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
v
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL, “ ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR GARAM INDONESIA (DARI NEGARA MITRA DAGANG AUSTRALIA, INDIA, SELANDIA BARU, DAN CINA)” ADALAH BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Februari 2013
Gita Widya Ratna Kemala H14080063
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Gita Widya Ratna Kemala lahir ada tanggal 9 Desember 1989 di Bandung, Jawa Barat. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak M. Dadang Kertajumena dan Ibu Neneng Johariah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 004 Samarinda pada tahun 2002 dan kemudian menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Banjarmasin. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Banjarmasin dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis sempat aktif di organisasi seperti LDK Al-Hurriyyah sebagai staf ISC, Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) sebagai staf PSDM, Badan Pengawas HIPOTESA sebagai staf pengawas, dan Dewan Perwakilan Mahasiswa sebagai Ketua Komisi III. Penulis aktif pula dalam beberapa kepanitiaan besar seperti Open House 46, Masa Perkenalan Kampus Baru (MPKMB), Salam ISC Al-Hurriyyah, Lokakarya Keluarga Mahasiswa (KM) 2009, dan Femily Day. Penulis pernah pula lolos didanai DIKTI dalam ajang Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis pada tahun 2009.
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. karena berkat rahmat dan hidayahNya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Garam Indonesia (dari Negara Mitra Dagang Australia, India, Selandia Baru, dan Cina)”. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan moril dan materil serta dukungan berbagai pihak, sehingga sebagai bentuk rasa syukur dan ucapan terimakasih, penulis ingin menyampaikannya kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan secara teoritis dan teknis kepada penulis dalam penyusunan skripsi. 2. Ibu Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama yang bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik, dan ilmu yang bermanfaat dalam skripsi ini. 3. Ibu Widyastutik, M. Si selaku dosen dari Komisi Pendidikan yang telah memberikan masukan serta kritik dalam penyusunan penulisan skripsi. 4. Kedua orang tua penulis, Bapak M. Dadang Kertajumena dan Ibu Neneng Johariah beserta saudara penulis yang telah memberikan segala doa dan dukungannya baik secara moril maupun materil kepada penulis dalam penyusunan skripsi. 5. Bapak Buchori dari Kementerian Perindustrian atas kesediaan dan bantuannya dalam pemberian data serta informasi sehingga membantu kelancaran penulis dalam penyusunan skripsi. 6. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan banyak ilmu dan bantuan kepada penulis selama kegiatan akademik. 7. Teman satu bimbingan skripsi Arif Agus Nugroho serta sahabat saya Niken Larasati Abimanyu, Cahyana Depta Wijayanti yang telah memberikan saran, kritik, bantuan serta dukungan dalam penyusunan skripsi. 8. Teman-teman Halaqoh, Keluarga An-Naba, Keluarga Salim-Salimah ,dan Keluarga D’Villae yang telah menjadi pendukung utama serta memberi motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
viii
9. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 45 khususnya Ivan yang sudah memberikan banyak bantuan, motivasi kepada penulis dalam pengolahan data serta penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari masih terdapat berbagai kekurangan baik dari keterbatasan penulis maupun kendala yang dihadapi. Untuk itu, semua saran dan kritik
yang
membangun
dari
berbagai
pihak
sangat
berharga
dalam
penyempurnaan skripsi ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Februari 2013
Gita Widya Ratna Kemala H14080063
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………….
iii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………...............….…
iv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..
v
I. PENDAHULUAN……………………………………………………..
1
1.1 LatarBelakang ………………………………………………………….
1
1.2 Perumusan Masalah …………………………........................................
3
1.3 Tujuan Penulisan ……………………………………………………….
5
1.4 KegunaanPenelitian …………………………………………………....
5
1.5 Ruang Lingkup ………………………………………………………...
5
II. TINJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ………...
6
2.1 Kerangka Teori ………………………………………………………….
6
2.1.1 Komoditi Garam ……………………………………………...…..
6
2.1.2 Teori Permintaan …………………………………………….……
7
2.1.3 Teori Perdagangan Internasional………………………………….
8
2.1.4 Impor …………………………………………………………..…
9
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor ……………………………....
10
2.2.1 Populasi ……………………………………………………………
10
2.2.2 Nilai Tukar Riil ………………………………………….………… 10 2.2.3 Harga Impor Garam …………………………………...…………..
11
2.2.4 Jumlah Industri…………...………………………………………...
13
2.3 Penelitian Terdahulu …………………………………………………….. 13 2.4 Kerangka Pemikiran …………………………………………………..…
15
2.5 Hipotesis Penelitian ……………………………………………………… 17 III. METODE PENELITIAN ……………………………………..………
19
3.1 Jenis dan Sumber Data …………………………………………………..
19
3.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data ………………………………….
19
3.2.1 Data Panel ……………………………………………………...…
19
3.2.2 Koefisien Tetap Antar Waktu dan Individu…………………...….
21
3.2.3 Model Fixed Effect (FEM) ….………………………………...….. 21
ii
3.2.4 Pemilihan Model Data Panel …………………………..…………
22
3.2.5 Koefisien Determinasi ………………………………..………......
23
3.2.6 Asumsi Kenormalan ……………………………………….…….
24
3.2.7 Pengujian Asumsi Klasik ………………………………………...
24
3.2.7.1 Uji Multikolinearitas ……………………………………..
24
3.2.7.2 Uji Heteroskedastisitas ….………………………….……
25
3.2.7.3 Uji Autokorelasi ……………………………………….....
25
3.2.8 Model Persamaan Ekonomterika ……………………….………..
26
3.2.9 Definisi Operasional ………………………………….………….
27
IV. GAMBARAN UMUM EKONOMI GARAM……………………….
29
4.1 Produksi Garam di Indonesia …………………………………………..
29
4.1.1 Sumber dan Teknologi Pembuatan Garam ………........................
32
4.1.2 Proses Produksi ………………………………………………….
34
4.2 Konsumsi Garam di Indonesia …………………………………………
36
4.3 Impor Garam di Indonesia ………………………………...…………...
38
4.4 Harga Domestik Garam ……………..………………………………….
40
4.5 Harga Impor Garam ………………………………………………........
40
4.6 Kebijakan Impor Garam ………………………………….…………….
41
V. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………...….
44
5.1 Pemilihan Model ……………………...………………..……………….
44
5.2 Hasil Estimasi dan Interpretasi Model …………………...…….............
46
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………
49
6.1 Kesimpulan ………………………………………………………..……
49
6.2 Saran …………………………………..………………………………..
49
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….
51
LAMPIRAN………………………………………………………………..
53
iii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.1 Produksi Garam Nasional dan Luas Areal Lahan Garam 2007-2011 …...
2
1.2 Konsumsi Garam Nasional dan Populasi Tahun 2007-2011………..…… 2 1.3 Volume Impor Garam Tahun 2007-2011……………………………..…. 3 1.4 Nilai Impor Indonesia terhadap Komoditi Garam Berdasarkan Asal Negara Impor Tahun 2007- 2011……………………….……………… 3.1 Selang Nilai Statistik Durbin-Watson serta Keputusannya …….…….…
4 26
4.1 Total Produksi Garam Nasional dan Perubahan Produksi ………….…… 30 4.2 Populasi, Total Konsumsi Garam Nasional dan Perubahan Konsumsi ...… 37 4.3 Volume Impor Garam Indonesia Berdasarkan Negara Pengimpor Tahun 2001-2010 ……………………………………………………………….. 39 5.1 Hasil Uji F Model Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Garam Indonesia…………………………………………………………………
47
iv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
2.1 Keseimbangan Parsial Perdagangan Internasional …………………….
9
2.2 Kerangka Teori Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor……………..
12
2.3 Kerangka Pemikiran Operasional ………………………………………
16
4.1 Grafik Perkembangan Produksi Garam Tahun 2001-2010 …………….
29
4.2 Grafik Curah Hujan Wilayah Pengamatan Sumenep Tahun 1999-2011... 30 4.3 Grafik Pertumbuhan Konsumsi Garam Indonesia Tahun 2001-2010..….. 36 4.4 Grafik Perkembangan Harga Domestik Garam Indonesia Tahun 2006-2010.................................................................................................. 40 4.5 Grafik Perkembangan Harga Impor Garam Indonesia Tahun 2006-2010.................................................................................................
41
v
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Variabel-variabel dalam Model Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Garam Indonesia………………………………………………… 2. Hasil Estimasi Sum Square pada Model PLS dan FEM ……………..…
53 55
3. Hasil Uji Normalitas …………………………………………………….
56
4. Hasil Estimasi Parameter Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Garam Indonesia ………………………………………………………..
57
1
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Garam merupakan salah satu komoditi strategis Indonesia dimana
penggunaannya tidak hanya untuk konsumsi manusia melainkan juga sebagai bahan baku industri serta untuk pengasinan dan aneka pangan. Selain itu garam juga merupakan salah satu sumber sodium dan chloride dimana kedua unsur tersebut diperlukan untuk metabolisme tubuh manusia. Kebutuhan akan natrium klorida didasarkan pada konsumsi air, disarankan satu gram natrium klorida untuk setiap liter air yang diminum. Seorang dewasa diperkirakan memerlukan satu milliliter air per kilokalori per hari. Oleh karena itu kebutuhan akan komoditi garam sangat penting untuk seluruh masyarakat Indonesia (Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, 2001). Sebagai negara kepulauan yang dikelililingi laut dan samudera, Indonesia dikenal sebagai penghasil garam yang cukup besar dengan kualitas yang baik. Wilayah Indonesia terdiri dari 1/3 daratan dan 2/3 lautan, dimana dalam kondisi normal setiap tahunnya mengalami iklim kemarau sekitar 6 (enam) bulan dan secara geografis kondisi tersebut merupakan salah satu yang menjadi faktor pendukung produksi garam. Menurut Kementerian Perikanan dan Kelautan tahun 2011, luas lahan garam mencapai 25.064 ha dimanfaatkan untuk memproduksi garam. Lahan tersebut tersebar di sembilan propinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (75 ha), Jawa Barat (3.700 ha), Jawa Tengah (6.148 ha), Jawa Timur (10.314 ha), Bali (114 ha), Nusa Tenggara Timur (221 ha), Nusa Tenggara Barat (2.290 ha), Sulawesi Tengah (18 ha), dan Sulawesi Selatan (1.513 ha). Produsen garam dalam negeri tersebar di sembilan propinsi potensial tersebut dengan produksi total 1.113.118 ton pada tahun 2011. Dengan potensi ini maka sangat memungkinkan bagi Indonesia untuk bisa secara mandiri menyediakan komoditi garam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Akan tetapi secara riil bisa dilihat pada Tabel 1.1 menunjukkan bahwa perkembangan produksi garam nasional pada lima tahun terakhir yakni tahun 2007-2011 mengalami fluktuasi. Demikian tren yang ditunjukkan pada produksi garam ini terlihat cenderung menurun. Berbeda dengan produksi garam, luas areal
2
untuk lahan menunjukkan cenderung tetap dengan peningkatan di tahun 2011 yakni menjadi 25.064 Ha. Tabel 1.1 Produksi Garam Nasional dan Luas Areal Lahan Garam 2007-2011 Tahun 2007 2008 2009 2010 2011
Produksi Garam Nasional (Ton) 1.352.400 1.199.000 1.371.000 30.600 1.113.118
Luas Areal Lahan (Ha) 19.658 19.658 19.658 19.658 25.064
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2012
Terdapat dua sektor pemakaian yang menentukan kebutuhan konsumsi garam, yaitu konsumsri rumah tangga dan industri. Jumlah kebutuhan untuk garam konsumsi diketahui dengan mengalikan jumlah penduduk Indonesia dengan rata-rata penggunaan tiga kilogram per kapita per tahun. Secara nasional, kebutuhan konsumsi garam terdiri dari empat kelompok yakni: 1) garam konsumsi rumah tangga dan industri aneka pangan, 2) perminyakan, 3) industri tekstil dan kulit, 4) industri Chlor Alkali Plan dan industri farmasi. Di Indonesia tingkat konsumsi pada garam cukup tinggi. Meskipun merupakan negara kepulauan dengan banyak laut, Indonesia belum dapat memenuhi pasokan konsumsi masyarakat Indonesia hingga seratus persen. Kebutuhan garam dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan industri di Indonesia. Pada Tabel 1.2 menunjukkan bahwa perkembangan konsumsi garam nasional dari tahun 20072011 mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah populasi Indonesia. Tabel 1.2 Konsumsi Garam Nasional dan Populasi Tahun 2007-2011 Tahun 2007 2008 2009 2010 2011
Konsumsi Garam Nasional (Ton) 2.706.300 2.742.000 2.783.250 2.870.000 3.405.000
Sumber : Kementrian Perindustrian dan World Bank, 2012
Populasi (Jiwa) 232.500.000 235.000.000 237.400.000 239.900.000 242.000.000
3
Garam untuk kebutuhan industri sepenuhnya diimpor karena persyaratan kandungan NaCl yang tinggi (minimal 98 persen), sementara kandungan NaCl garam produksi dalam negeri baru mencapai 70-80 persen. Menurut data World Integrated Trade Solution (WITS), selama tahun 2007-2011 total volume impor garam tercatat mengalami peningkatan. Volume terakhir impor garam pada tahun 2011 yakni mencapai sekitar 2,8 juta ton dengan nilai impornya sebesar 146.491 ribu Dollar. Tabel 1.3 Volume Impor Garam Tahun 2007-2011 Tahun
Volume Impor Garam (Ton)
2007 2008 2009 2010 2011
1.661.488 1.657.548 1.701.418 2.083.343 2.835.871
Nilai Impor Garam (Ribu Dollar) 56.300 71.449 91.067 109.245 146.491
Sumber : WITS, 2012
1.2
Perumusan Masalah Garam adalah salah satu kebutuhan pelengkap dari kebutuhan pangan dan
menjadi sumber elektrolit bagi tubuh manusia. Indonesia merupakan negara maritim, namun usaha meningkatkan produksi garam belum diminati termasuk usaha dalam meningkatkan kualitasnya. Sementara itu, kebutuhan garam dengan kualitas baik banyak diimpor dari luar negeri terutama garam beryodium dan garam industri. Kebutuhan garam nasional dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan industri. Ketergantungan Indonesia dalam pemenuhan komoditi pangan garam semakin meningkat manakala produksinya belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Hingga tahun 1997, kebutuhan garam konsumsi masih dapat memenuhi dari produksi garam lokal. Impor pada tahun tersebut hanya dilakukan untuk kebutuhan garam industri. Namun sejak tahun 1998-2001 selama empat tahun berturut-turut terjadi kondisi kemarau pendek dan basah, produksi garam menurun sehingga untuk memenuhi kebutuhan garam di dalam negeri pemerintah terpaksa membuka kran impor garam secara bebas kepada para importer produsen kecil yang tadinya pengusaha garam dalam negeri maupun importer produsen besar. Kebijakan dalam memberlakukan impor garam tidak bisa dihindari. Hal tersebut
4
didukung pula dengan keterlibatan Indonesia dalam FTA sejak lama sehingga cukup menyulitkan dalam proses proteksi terhadap komoditi pangan ini. Tabel 1.4 Nilai Impor Indonesia terhadap Komoditi Garam Berdasarkan Asal Negara Impor Tahun 2007- 2011 (Nilai dalam US$ 000 ) No
Negara
1
Australia
51.944
65.121
76.008
85.265
89.977
2 3 4 5
India Singapura Jerman Selandia Baru China Jepang Belanda Thailand USA Perancis Negaranegara lain
3.578 92
5.487 192 177
11.706 153 171
21.754 116 332
54.049 1.404 468
179
271
369
353
405
61 19 27 17 25 3 356,417
66 53 55 13 0 13,062
2.541 33 57 20 0 3 5,548
1.075 40 45 26 0 23 216,489
54 44 32 27 15 13 3,827
56.300
71.449
91.067
109.245
146.491
6 7 8 9 10 11 12
Total Sumber : BPS, 2011
2007
2008
2009
2010
2011
Outpayments atau nilai impor merupakan salah satu indikator yang merepresentasikan besar/tingkat impor suatu komoditi. Berdasarkan data pada Tabel 1.4 nilai impor garam ke Indonesia dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup besar. Negara- negara yang mendominasi ekspor garam ke wilayah Indonesia yaitu, Australia, India, China, dan Selandia Baru. Adanya peningkatan impor tersebut tentunya tidak baik bagi kesejahteraan petani lokal. Keberadaan garam impor akan memukul harga domestik garam, sehingga komoditi garam lokal jatuh di pasaran. Fakta bahwa produksi garam Indonesia memiliki tren yang cenderung menurun sedangkan kebutuhan pada komoditi garam semakin meningkat setiap tahunnya. Kebutuhan yang tidak disertai oleh persediaan produksi domestik menuntut adanya kebijakan impor garam untuk memenuhi konsumsi garam dalam negeri. Dengan demikian pernyataan yang relevan untuk dijawab terhadap permasalahan di atas adalah bagaimana gambaran perkembangan produksi, konsumsi, impor, dan harga garam Indonesia ? serta faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi impor garam Indonesia ?
5
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang disampaikan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah: 1.
Menggambarkan perkembangan produksi, konsumsi, dan impor garam di Indonesia.
2.
Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi impor garam Indonesia.
1.4
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik untuk
pemerintah maupun masyarakat. Bagi pemerintah, penelitian ini memberikan gambaran tentang keadaan perekonomian garam di Indonesia, sehingga untuk selanjutnya dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan suatu kebijakan di masa yang akan datang. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah pemahaman tentang pasar garam, dimana topik garam ini cukup menarik karena merupakan salah satu komoditas pangan yang stategis. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi analisis aliran perdagangan impor
komoditi garam (HS 2501) dengan empat mitra dagang utamanya, yaitu Australia, India, Selandia Baru, dan China. Keempat negara ini merupakan eksportir garam terbesar ke Indonesia. Periode analisis penelitian selama 10 tahun, terhitung dari tahun 2001 hingga tahun 2010.
6
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Komoditi Garam Berdasarkan informasi Pusat Survey Sumberdaya Alam Laut (2011), secara fisik garam merupakan benda padatan berbentuk kristal putih yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Klorida (>80 persen) serta senyawa lainnya seperti Magnesium Klorida, Magnesium Sulfat, Kalsium Klorida, dan lain-lain. Garam memiliki sifat/karakteristik higroskopis yang berarti mudah menyerap air, tingkat kepadatan (bulk density) sebesar 0,8-0,9 dan titik o
lebur pada tingkat suhu 801 C. Garam Natrium Klorida untuk keperluan memasak biasanya diperkaya dengan unsur iodin (dengan menambahkan 5 gram NaI per kilogram NaCl) yaitu berupa padatan kristal berwarna putih, berasa asin, tidak higroskopis. Bila mengandung MgCl2 menjadi terasa agak pahit dan higroskopis, biasanya digunakan sebagai bumbu penting untuk makanan, bahan baku pembuatan logam Na da NaOH (bahan untuk pembuatan keramik, kaca, dan pupuk), dan sebagai zat pengawet. Garam dapat bersumber dari air laut atau air danau asin (±20 persen dari total produksi dunia), deposit dalam tanah/tambang garam (±40 persen dari total produksi dunia), dan sumber air dalam tanah. Teknologi pembuatan garam yang digunakan yang bersumber dari air laut atau air danau asin adalah dengan proses penguapan (evaporasi) atau dengan proses elektrodialisa. Sementara pada tambang garam, produksi garam dihasilkan melalui proses pencucian, pengeringan, hingga kemudian dikristalkan sehingga mencapai konsentrasi tertentu. Ada tiga jenis garam berdasarkan kegunaannya, yaitu garam industri, garam konsumsi, dan garam untuk pengawetan. Kebutuhan garam industri antara lain untuk industri perminyakan, pembuatan soda dan chlor, penyamakan kulit, dan obat-obatan. Kebutuhan garam konsumsi antara lain untuk konsumsi rumah tangga, industri rumah tangga, industri makanan, industri minyak goreng, industri pengasinan dan pengawetan ikan. Untuk pengawetan, garam biasa ditambahkan
7
pada pengolahan pangan tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan kondisi tertentu yang memungkinkan enzim atau mikroorganisme yang tahan garam bereaksi dan menghasilkan produk makanan dengan karakteristik tertentu. Adapun persyaratan bagi wilayah potensial penghasil garam, yakni pertama memiliki ketersediaan bahan baku garam (air laut) yang sangat cukup, bersih, dan tidak tercemar air tawar. Kedua, memiliki iklim kemarau yang cukup panjang (tidak memiliki gangguan hujan berturut-turut selama 4-5 bulan). Ketiga, memiliki dataran rendah yang cukup luas, dengan permeabilitas (kebocoran) tanah yang rendah. Keempat, memiliki jumlah penduduk yang cukup sebagai sumber tenaga kerja.
2.1.2 Teori Permintaan Permintaan merupakan jumlah komoditi yang bersedia dibeli oleh individu/rumah tangga/perusahaan selama periode waktu tertentu. Hukum permintaan mempunyai kemiringan negatif. Semakin rendah harga suatu komoditi, maka semakin besar komoditi yang diminta (Salvatore, 2006). Menurut Lipsey (1995), konsep permintaan terkait beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni pertama, jumlah yang diminta merupakan kuantitas yang diinginkan. Ini menunjukkan berapa banyak komoditi yang ingin dibeli rumah tangga, atas harga komoditi tersebut, harga-harga lainnya, penghasilan, selera, dan sebagainya. Jumlah bisa berbeda dengan jumlah nyata yang dibeli oleh semua rumah tangga tersebut. Jika kuantitasnya tidak cukup tersedia, jumlah yang ingin dibeli rumah tangga bisa melebihi jumlah nyata yang memang secara nyata bisa dibeli. Kedua, apa yang diinginkan tidak merupakan harapan kosong, tetapi merupakan permintaan efektif. Ini artinya jumlah yang orang bersedia membelinya pada harga yang harus dibayar untuk komoditi tersebut. Ketiga, kuantitas yang diminta merupakan arus pembelian yang kontinyu. Oleh karenanya, kuantitas tersebut harus dinyatakan dalam banyaknya per satuan waktu. Sementara itu, faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah komoditi yang diminta adalah harga dari komoditi itu sendiri, penghasilan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan, selera, distribusi pendapatan, serta besarnya populasi.
8
2.1.3 Teori Perdagangan Internasional Ilmu perdagangan internasional adalah ilmu yang mengkaji bagaimana hubungan perdagangan antar negara terjadi dan tingkat ketergantungan suatu negara terhadap negara lain. Menurut Faisal Basri dan Haris Munandar (2010), secara teoritis perdagangan internasional terjadi karena dua alasan. Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya mereka berbeda satu sama lain. Setiap negara dapat memperoleh keuntungan dengan melakukan sesuatu yang relatif lebih baik. Kedua, negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi dalam produksi. Ini artinya, jika setiap negara hanya memproduksi sejumlah barang tertentu, mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien jika dibandingkan negara tersebut memproduksi segala jenis barang. Pola-pola perdagangan dunia yang terjadi mencerminkan perpaduan dari kedua motif ini. Penjelasan teoritis dari kedua motif ini dapat diperoleh dari teori perdagangan internasional klasik, modern, hingga yang mutakhir. Adam Smith dalam Teori Absolut mengemukakan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak, serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak (Hady, 2001). Sementara
itu
berdasarkan
teori
Keunggulan
Komparatif
yang
dikemukakan oleh David Ricardo menyebutkan bahwa spesialisasi internasional memberikan keuntungan komparatif. Hal ini timbul karena adanya perbedaan dalam teknologi. Hukum keunggulan komparatif, yaitu setiap negara memiliki keunggulan komparatif dalam sesuatu dan memperoleh manfaat dengan memperdagangkannya untuk ditukar dengan barang yang lain (Lendert dan Kindleberger, 1995). Model sederhana terkait keseimbangan parsial pada perdagangan internasional dirumuskan oleh Salvatore (1997) pada Gambar 2.1. Sebelum terjadinya perdagangan internasional, harga di negara A sebesar P3 sedangkan di negara B sebesar P1. Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi dari P3 sedangkan permintaan di pasar internasional
9
lebih rendah dari P1. Pada saat harga internasional (P2) sama dengan P3 maka negara B akan terjadi excess demand (ED). Jika harga internasional sama dengan P1 maka di negara A akan terjadi excess supply (ES). Dari terbentuknya kurva ES dan ED yang akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P2. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka negara A akan mengekspor komoditi sebesar X sedangkan di negara B akan mengimpor komoditi sebesar M, dimana di pasar internasional sebesar X sama dengan M yaitu Q*. Px/Py
Px/Py
Px/Py
P1
Ekspor
Q*
P2
Impor
P3
Negara A
Negara B Sumber : Salvatore (1997)
Gambar 2.1 Keseimbangan Parsial Perdagangan Internasional
2.1.4 Impor Menurut Smith dan Blakeslee (1995), impor merupakan aliran masuknya barang dan jasa ke pasar sebuah negara untuk dipakai. Negara meningkatkan kesejahteraannya dengan mengimpor berbagai macam barang dan jasa yang bermutu dengan harga yang lebih rendah daripada yang dapat diproduksi di dalam negeri. Beberapa faktor yang mempengaruhi impor komoditi oleh suatu negara antara lain harga internasional, harga domestik, jumlah permintaan domestik, harga komoditi substitusi, serta Produk Domestik Bruto negara tersebut. Selain itu, secara tidak langsung impor ditentukan pula oleh perubahan laju nilai tukar uang (exchange rate) mata uang suatu negara terhadap negara lain. Permintaan impor suatu negara merupakan selisih konsumsi domestik dikurangi produksi domestik dan dikurangi stok pada akhir tahun lalu. Secara matematik, impor dapat digambarkan sebagai berikut (Purwanti dalam Purnamasari, 2006):
10
Mt = Ct – Qt – St-1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.1) Dimana: Mt = jumlah impor pada tahun ke-t Ct = jumlah konsumsi domestik pada tahun ke-t Qt = jumlah produksi domestik pada tahun ke-t St-1 = sisa stok pada tahun ke-t Selain faktor-faktor domestik di atas, fungsi impor suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar negeri, yaitu nilai tukar atau exchangerate (ERt) dan harga impor (Pigt). Dengan demikian, secara teoritis fungsi impor komoditas pertanian suatu negara dapat ditulis: Mt = f (Qt, Ct, St-1, ERt, Pigt) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.2)
2.2
Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Garam
2.2.1 Populasi Pertambahan jumlah populasi suatu negara dapat mempengaruhi jumlah kebutuhan terhadap suatu komoditas. Pada kondisi cateris paribus, adanya peningkatan populasi, maka akan meningkatkan pula permintaan suatu komoditas yang dibutuhkan.
Secara teori, peningkatan populasi akan berpengaruh baik
dalam sisi permintaan maupun sisi penawaran. Pada sisi permintaan, peningkatan jumlah populasi akan meningkatkan permintaan komoditas impor yang diperdagangkan. Pada sisi penawaran, peningkatan jumlah populasi akan berdampak pada peningkatan jumlah komoditi yang akan diekspor pada negara importir. Populasi penduduk yang meningkat baik pada negara importir maupun negara eksportir akan mempengaruhi nilai dan volume perdagangan. Populasi yang besar mendorong peningkatan ekspor maupun impor komoditi. Hal ini dipengaruhi pula oleh tingkat produksi masing-masing negara.
2.2.2 Nilai Tukar Riil Nilai Tukar antara dua negara adalah harga yang penduduk negara-negara tersebut tukarkan satu sama lain. Sedangkan Nilai Tukar Riil merupakan harga relatif barang-barang di antara dua negara. Nilai Tukar Riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan barang- barang suatu negara untuk barang-
11
barang negara lain (Mankiw, 2006). Bila Nilai Tukar Nominal adalah harga relatif antara dua negara, maka Nilai Tukar Riil adalah harga barang relatif antara dua negara. Nilai Tukar Riil diperoleh dari nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga di dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar negeri. Nilai Tukar Riil antara dua negara dihitung dari kurs nominal dan tingkat harga di kedua negara. Jika kurs riil tinggi, barang-barang luar negeri relatif murah, dan barang-barang domestik relatif mahal. Jika kurs riil rendah, barang-barang luar negeri relatif mahal, dan barang-barang domestik relatif murah. Hubungan nilai tukar riil suatu mata uang dengan nilai tukar nominal, harga barang domestik dan harga barang luar negeri dapat dirumuskan sebagai berikut: E = e × (P/P*)………………………………………………………… (2.3) Dimana E adalah nilai tukar riil, e adalah nilai tukar nominal, P adalah tingkat harga domestik dan P* adalah tingkat harga di luar negeri. Jadi rasio tingkat harga P/P* merupakan perbandingan antara tingkat harga di dalam negeri dengan tingkat harga di luar negeri. Jika nilai tukar antara dolar AS dan rupiah adalah 9000 per dolar, maka satu dolar dapat ditukar untuk 9000 rupiah di pasar uang. Sedangkan nilai tukar riil merupakan harga relatif dari barang-barang di antara dua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat di mana pelaku ekonomi dapat memperdagangkan barang -barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Nilai tukar riil di antara kedua negara dihitung dari nilai tukar nominal dan tingkat harga di kedua negara. Nilai tukar riil yang tinggi, mengakibatkan harga barang-barang luar negeri relatif lebih murah, dan harga barang-barang domestik relatif lebih mahal. Sedangkan jika nilai tukar riil rendah, harga barang-barang luar negeri relatif lebih mahal dan harga barang-barang domestik relatif lebih murah.
2.2.3 Harga Impor Garam Harga impor merupakan salah satu komponen faktor-faktor luar negeri yang mempengaruhi fungsi impor pada suatu negara. Harga impor adalah harga produk yang ditetapkan dalam pasar internasional yang diterima oleh negara importir. Perubahan harga impor akan berdampak pada permintaan produk impor
12
suatu negara. Hal ini karena keterkaitan produk yang akan diperdagangkan atau diimpor suatu negara. Harga impor garam merupakan harga barang lain yang diduga dapat mempengaruhi permintaan garam di Indonesia. Harga impor garam diduga berhubungan negatif dengan permintaan. Bila harga impor garam turun maka permintaan garam impor akan meningkat sehingga volume impor garam akan meningkat. Harga impor garam yang masuk ke Indonesia diduga dapat mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia. Hal ini dapat dikarenakan harga impor garam lebih murah dibandingkan dengan harga garam lokal. Selain itu kualitas daripada garam impor lebih baik dibandingkan garam lokal. P DM2 SX DM1 ER
Pw
Q a
b
c
d
e
f
g
Sumber : Diolah
Gambar 2.2 Kerangka Teori Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Pada Gambar 2.2 dijelaskan bahwa kebutuhan domestik yang masih belum terpenuhi meningkatkan permintaan impor garam sehingga menjadikan adanya pergeseran kurva permintaan impor 1 (DM1) ke kurva permintaan impor 2 (DM2). Pegeseran ini terjadi sebagai akibat adanya peningkatan populasi penduduk.
13
Populasi yang kian meningkat mendorong besarnya kebutuhan pada komoditi garam. Selain itu, jumlah industri dengan bahan baku komoditi garam dituntut agar bisa terus menyediakan pasokan garam untuk proses produksi komoditi berikutnya. Dijelaskan pula pada harga dunia, pergeseran kurva permintaan secara positif meningkatkan harga dunia atau harga internasional komoditi tersebut. Perubahan kurs riil yang menurun menjadi kurva Exchange Rate (ER) menunjukkan bahwa permintaan impor semakin tinggi, begitupun sebaliknya peningkatan kurs rill akan berdampak pada menurunnya jumlah permintaan impor garam. Nilai tukar riil yang tinggi, mengakibatkan harga barang-barang luar negeri relatif lebih murah, dan harga barang-barang domestik relatif lebih mahal.Sementara itu, perubahan harga impor pada kurva permintaan DM2 menjelaskan bahwa peningkatan harga impor mengakibatkan menurunnya jumlah permintaan impor garam dan begitupun sebaliknya.
2.2.4 Jumlah Industri Pengguna Bahan Baku Garam Industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang mempunyai sifat saling mengganti. Industri berperan serta dalam pengembangan pembangunan negara. Perkembangan industri dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan. Adanya peningkatan pada industri maka menunjukkan bahwa kebutuhan akan bahan baku, dalam hal ini garam, meningkat pula. Oleh karenanya peningkatan jumlah industri akan berdampak pada peningkatan jumlah impor. Ini dikarenakan sebagian besar kebutuhan industri dipenuhi dari bahan baku impor.
2.3
Penelitian Terdahulu Hasil penelitian Rheni Tri Wahyuni (2007) dalam skripsinya yang berjudul
“Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Garam Beryodium di Indonesia” menjelaskan bahwa faktor produksi bahan baku, modal, dan energi memberikan pengaruh positif dan nyata terhadap peningkatan nilai output pada industri garam beryodium di Indonesia pada taraf nyata lima persen, sedangkan pada tenaga kerja memberikan pengaruh negatif dan nyata terhadap peningkatan nilai output industri tersebut pada taraf nyata lima persen. Peningkatan jumlah
14
output dalam jumlah yang cukup besar dapat dilakukan dengan menurunkan jumlah tenaga kerja tetapi tidak secara terus menerus. Elastsitas masing-masing faktor produksi menunjukkan besar pengaruh dari faktor produksi tersebut. Energi memiliki elastisitas yang terbesar diantara faktor produksi lainnya. Ini berarti energy memiliki penagurh yang besar terhapat nilai output industri. Selain itu penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan teknis pengolahan, pengemasan, dan pelabelan garam beryodium akan meningkatkan output produksi garam beryodium. Yulianto Parulian (2008) melakukan penelitian mengenai tingkat efesiensi industri garam di Kabupaten Kupang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah-wilayah di Kabupaten Kupang yang relatif efisien terhadap wilayah lain dengan menggunakan asumsi constant return to scale dalam usaha industri garam pada tahun 2002 adalah Kecamatan Semau, Kecamatan Nekamese, dan Kecamatan Sulamu. Pada tahun 2003 adalah Kecamatan Sabu Barat, Kecamatan Kupang Barat, Kecamatan Kupang Timur, dan Kecamatan Sulamu. Pada tahun 2004 adalah Kecamatan Raijua, Kecamatan Nekamese, Kecamatan Kupang Timur dan Kecamatan Sulamu. Pada tahun 2005 dan 2006 wilayah yang relatif efisien terhadap wilayah lain hanya kecamatan Nekamese. Sedangkan pada tahun 2007 jumlah wilayah yang relatif efisien terhadap wilayah lain adalah Kecamatan Raijua, Kecamatan Nekamese, dan Kecamatan Kupang Tengah. Wilayah-wilayah di Kabupaten Kupang yang relatif efisien terhadap wilayah lain dengan menggunakan asumsi variable return to scale dalam usaha industri garam pada tahun 2002 adalah Kecamatan Raijua, Kecamatan Sabu Timur, Kecamatan Semau, Kecamatan Nekamese, Kecamatan Kupang Timur, Kecamatan Sulamu, dan Kecamatan Amfoang Utara. Pada tahun 2003 adalah Kecamatan Raijua, Kecamatan Sabu Barat, Kecamatan Kupang Barat, Kecamatan Nekamese, Kecamatan Kupang tengah, Kecamatan Kupang Timur, dan Kecamatan Sulamu. Pada tahun 2004 adalah Kecamatan Raijua, Kecamatan sabu Barat, Kecamatan Sabu Timur, Kecamatan Semau, Kecamatan Nekamese, Kecamatan Kupang Timur, dan Kecamatan Sulamu. Pada tahun 2005 adalah Kecamatan Sabu Timur, Kecamatan Semau, Kecamatan Nekamese, dan kecamatan Kupang Tengah. Pada tahun 2006 adalah Kecamatan Sabu Timur,
15
Kecamatan Nekamese, Kecamatan Kupang Tengah, dan Kecamatan Amfoang Utara. Sedangkan pada tahun 2007 secara keseluruhan di Kabupaten Kupang merupakan wilayah yang relatif efisien yerhadap wilayah lain kecuali Kecamatan Sulamu. Faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya keragaman tingkat efisiensi antar waktu dan antar wilayah pada industri garam di Kabupaten Kupang selama 2002 sampai 2007 yakni, pertama faktor perbedaan harga wilayah. Perbedaan harga antar wilayah menyebabkan nilai input menjadi lebih besar bagi wilayah yang memiliki harga bahan/barang mahal dibandingkan dengan wilayah yang memiliki harga bahan/barang murah. Kedua, faktor teknologi pengolahan garam yang digunakan dalam memproduksi garam. Teknologi yang digunakan dengan tiga metode yaitu, teknologi garam masak dengan menggunakan kayu bakar, teknologi pengolahan tambak tradisional dan teknologi garam tambak bertingkat. Perbedaan/perubahan metode
yang
digunakan
masing-masing
pengusaha dapat menyebabkan perbedaan biaya input yang dikeluarkan dan output yang dihasilkan dalam industri garam. Hal ini dapat berdampak pada tingkat efisiensi antar wilayah dan antar waktu. Ketiga, faktor jumlah usaha industri pengolahan garam suatu wilayah. Semakin banyak suatu wilayah memiliki usaha industri garam maka semakin sulit wilayah tersebut menjadi relatif efisien terhadap wilayah lain. Keempat, faktor peranan usaha industri garam terhadap sumber pencaharian. Wilayah yang memiliki pelaku usaha yang menempatkan industri garam sebagai mata pencaharian utama lebih banyak akan berpeluan lebih besar menjadi wilayah yang relatif efisien terhadap wilayah lain dibandingkan wilayah yang menempatkan industri garam bukan sebagai mata pencaharian utama. Kelima, faktor kualitas sumber daya. Semakin berkualitas sumber daya manusia yang digunakan pada industri garam di suatu wilayah akan berpeluang lebih besar menjadikan wilayah tersebut menjadi relatif efisien terhadap wilayah lain.
2.4
Kerangka Pemikiran Garam merupakan salah satu kebutuhan yang merupakan pelengkap dari
kebutuhan pangan dan merupakan sumber elektrolit bagi tubuh manusia. Garam
16
merupakan komoditi strategis sebagai bahan pangan dan bahan baku industri dalam berbagai skala, sehingga kegiatan produksi, penyediaan, pengadaan dan distribusi garam menjadi sangat penting dalam rangka menunjang kesehatan masyarakat melalui program iodisasi, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani garam maupun dalam rangka memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Permintaan Garam di Indonesia
Produksi dalam negeri
Impor
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Garam
- Populasi domestik - Harga garam impor - GDP -Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika - Produksi Domestik - Jumlah Industri
Analisis Data
Hasil Penelitian
Rekomendasi Kebijakan Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Operasional Sebagai bahan pangan garam dikonsumsi hampir semua manusia, maka dari itu pemerintah juga menjadikan garam sebagai objek fortifikasi penambahan zat yodium yang sangat dibutuhkan bagi kesehatan tubuh dan untuk
17
penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Sebagai bahan aneka industri dalam berbagai skala, garam semakin strategis terlebih sejalan dengan berbagai penemuan ilmu dan teknologi yang menciptakan industrialisasi. Perkembangan industrialisasi secara signifikan menyebabkan permintaan terhadap garam untuk kepentingan industri meningkat dengan tajam. Hal ini karena garam dengan segala variannya merupakan bahan kimia yang dibutuhkan sebagai bahan dasar banyak industri. Pada produksi garam dalam negeri, baik mutu maupun jumlah, sampai saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan garam terutama garam sebagai bahan baku industri sehingga masih diperlukan garam yang bersumber dari impor. Adanya kelebihan permintaan atas komoditas garam ini dipenuhi dengan mengimpor dari negara lain. Untuk mengatasi permasalahan impor ini maka diperlukan suatu upaya untuk mengetahui perkembangan produksi, konsumsi dan impor garam di Indonesia selama beberapa tahun terakhir dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi volume impor garam di Indonesia. Faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi permintaan impor untuk komoditi garam negara yakni, GDP, populasi penduduk domestik, harga garam luar negeri, serta nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, produksi, dan jumlah industri dengan menggunakan bahan baku garam. Adapun kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 2.3.
2.5
Hipotesis Penelitian
1.
Faktor Populasi Domestik memiliki hubungan positif terhadap volume impor garam. Semakin banyak populasi negara Indonesia maka akan semakin meningkatkan volume impor garam.
2.
Faktor Harga Garam Impor memiliki hubungan negatif terhadap volume impor garam. Semakin rendah harga garam impor maka akan semakin meningkatkan volume impor garam.
3.
Faktor Nilai Tukar Riil Rupiah terhadap Dolar memiliki hubungan positif terhadap volume impor garam. Semakin tinggi nilai tukar Rupiah maka akan meningkatkan volume impor garam.
18
4.
Faktor Jumlah Industri yang Menggunakan Bahan Baku Garam memiliki hubungan positif terhadap volume impor garam. Semakin banyak jumlah industri yang menggunakan bahan baku garam maka akan semakin meningkatkan volume impor garam.
5.
Faktor GDP (Growth Domestic Product) memiliki hubungan positif terhadap volume impor garam. Semakin besar GDP maka emakin meningkat volume impor garam.
6.
Dummy Negara Australia mempunyai hubungan yang positif terhadap volume impor kedelai. Impor garam dari negara Australia yang semakin tinggi mengakibatkan peningkatan jumlah volume impor garam ke Indonesia.
7.
Dummy Negara India mempunyai hubungan yang positif terhadap volume impor kedelai. Impor garam dari negara Australia yang semakin tinggi mengakibatkan peningkatan jumlah volume impor garam ke Indonesia.
8.
Dummy Negara Selandia Baru mempunyai hubungan yang positif terhadap volume impor kedelai. Impor garam dari negara Australia yang semakin tinggi mengakibatkan peningkatan jumlah volume impor garam ke Indonesia.
19
III.
3.1
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dalam
bentuk deret waktu (time series) periode waktu sepuluh tahun yakni tahun 2001 hingga tahun 2010 dan data cross section untuk perdagangan komoditi garam antara negara Indonesia dengan negara Australia, India, serta Selandia Baru. Jenis data yang dikumpulkan berupa volume beserta nilai impor garam, harga garam impor, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, pendapatan per kapita dan populasi negara Indonesia/negara pengimpor. Data tersebut diperoleh dari berbagai instansi yakni, BPS, World Integrated Trade Solution (WITS), Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, World Bank serta beberapa sumber lain yakni jurnal atau skripsi penelitian terdahulu dan media cetak.
3.2
Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dan metode kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan gambaran perkembangan produksi, konsumsi, serta impor garam. Analisis secara kuantitatif digunakan untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi impor garam. Metode ini menggunakan regresi data panel.
3.2.1
Data Panel Untuk menduga suatu model ekonometrik, diperlukan data contoh untuk
melihat adanya hubungan antara variabel bebas dengan variabel tak bebas. Data panel merupakan bagian dari pengumpulan gabungan dua jenis bentuk data yakni data runtut waktu (time series) dan data silang (cross section) . Data runtut waktu biasanya meliputi satu objek/individu, tetapi meliputi beberapa periode. Data silang terdiri dari atas beberapa atau banyak objek, sering disebut responden dengan beberapa jenis data dalam suatu periode waktu tertentu. Penggunaan data panel dilakukan bila dalam suatu penelitian ditemukan keterbatasan dalam data baik dalam bentuk pengamatan waktu (time series) maupun dalam bentuk
20
pengamatan objek (cross section). Kedua kondisi tersebut dapat diatasi dengan menggunakan data panel yang bertujuan untuk memperoleh hasil estimasi yang lebih baik (efisien). Regresi dengan menggunakan data panel disebut model regresi data panel. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan data panel. Pertama, data panel merupakan gabungan data data time series dan cross section mampu menyediakan data yang lebih banyak sehingga akan menghasilkan degree of freedom yang lebih besar. Kedua, menggabungkan informasi dari data time series dan cross section dapat mengatasi masalah yang timbul ketika ada masalah penghilangan variabel (ommited-variable). Baltagi menjelaskan beberapa keuntungan dalam menggunakan Data Panel : 1. Mengontrol heterogenitas individu. 2. Data Panel memberikan lebih banyak memberikan informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degrees of freedom dan lebih efisien 3. Data Panel lebih baik untuk mempelajari dynamics of adjustment. 4. Data Panel baik digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur dampak yang tidak mudah terdeteksi bila hanya menggunakan data Time Series ataupun Cross Section. 5. Model Data Panel membantu kita membangun dan menguji perilaku model yang lebih sulit dibandingkan hanya menggunakan data Time Series ataupun Cross Section. 6. Micro panel data yang terkumpul pada individu, perusahaan, dan rumah tangga dapar lebih akurat terukur dibandingkan dengan variabel terukur yang sama pada tingkat makro. Sedangkan keterbatasan dalam penggunaan Data Panel, yakni : 1. Masalah desain dan pengumpulan data. 2. Distorsi pengukuran eror. 3. Masalah selektivitas. 4. Dimensi pendek time series 5. Ketergantungan Cross Section
21
3.2.2
Koefisien Tetap Antar Waktu dan Individu : Ordinary Least Square Teknik ini tidak ubahnya dengan membuat regresi dengan data cross section
atau time series. Akan tetapi untuk data panel, sebelum membuat regresi maka harus menggabungkan data cross-section dengan data time series (pool data). Kemudian data gabungan ini diperlakukan sebagai suatu kesatuan pengamatan untuk mengestimasi model dengan metode OLS. Metode ini dikenal dengan estimasi Common Effect. Akan tetapi, dengan menggabungkan data, maka kita tidak dapat melihat perbedaan baik antar individu maupun antar waktu. Atau dengan kata lain, dalam pendekatan ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu. Diasumsikan bahwa perilaku data antar perusahaaan sama dalam berbagai kurun waktu. Bila terdapat asumsi bahwa α dan β akan sama (konstan) untuk setiap data time series dan cross section, maka α dan β dapat diestimasi dengan model berikut menggunakan NxT pengamatan Yit = α + β Xit + εit ; i = 1,2,....,N; t = 1,2,….., T …………….……………(3.1)
3.2.3
Model Fixed Effects (FEM) Model Fixed Effects (FEM) merupakan metode dengan menggunakan
variabel dummy untuk menangkap adanya perbedaan intersep. Metode ini mengasumsikan bahwa koefisien regresi (slope) tetap antar perusahaan dan antar waktu, namun intersepnya berbeda antar perusahaan namun sama antar waktu (time invariant). Namun metode ini membawa kelemahan yaitu berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya mengurangi efisiensi parameter.Pendekatan tersebut dapat dituliskan pada persamaan sebagai berikut: Y = βjx
+ αi + uit ……………………………………………………(3.2)
dimana: Y
= variabel terikat di waktu t untuk unit cross sectioni
α
= intersep yang berubah-ubah antar cross section unit
x
= variabel bebas j di waktu t untuk unit cross sectioni
β
= parameter untuk variabel ke-j it
= komponen error di waktu t untuk unit cross section
22
3.2.4
Pemilihan Model Data Panel Untuk membuat keputusan dalam penggunaan model data panel (FEM dan
REM) maka bisa ditentukan dengan membuat spesifikasi yang dikembangkan oleh Hausmann. Spefikasi tersebut memberikan penilaian dengan menggunakan chi square statistics atau Uji F. Terdapat tiga pengujian statistik yang digunakan dalam data panel untuk menentukan model mana yang paling baik untuk dipilih. 1. Uji F atau chi square statistics Uji Statistik F digunakan untuk memilih antara metode OLS tanpa variabel dummy atau Fixed Effect. Setelah melakukan regresi dua model yaitu model dengan asumsi bahwa slope dan intersep sama dan model dengan asumsi bahwa slope sama tetapi beda intersep. Keputusan apakah sebaiknya menambah variabel dummy untuk mengetahui bahwa intersep berbeda antar perusahaan dengan metode Fixed Effect dapat diuji dengan uji F statistik. Uji F Statistik disini merupakan uji perbedaan dua regresi sebagaimana uji Chow. Sekarang uji F kita gunakan untuk mengetahui apakah teknik regresi data panel dengan fixed effect lebih baik dari model regresi data panel tanpa variabel dummy dengan melihat residual sum of squares (RSS). Adapun uji F statistiknya adalah sbb: F0 = (RRSS-URSS)/(N-1) ………………………………..………………… (3.3) URSS/(NT-N-K) dimana: RRSS = Restricted Residual Sum Square (Sum of Square Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode PLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum of Square Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode FEM) N
= Jumlah data cross section
T
= Jumlah data time series
K
= Jumlah variabel penjelas Apabila nilai Chow Statistics (F-Stat) hasil pengujian lebih besar dari F-
tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap Ho sehingga model yang digunakan adalah model FEM, begitu juga sebaliknya. 2. Hausmann Test
23
Hausmaan Test merupakan pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan model FEM atau REM. Berikut hipotesis pengujian: Ho : Model REM H1 : Model FEM Dasar penolakan Ho menggunakan pertimbangan statistic chi square. Hausmann Test dengan bahasa pemrograman EViews sebagai berikut: Jika hasil dari Hausmann Test signifikan (probability dari Hausmann < α) maka tolak Ho, artinya model FEM digunakan. 3. LM Test LM Test atau Breusch-Pagan LM Test merupakan pertimbangan statistic dalam pemilihan model REM atau PLS. Uji hipotesis: H0 : Model PLS H1 : Model REM Dasar penolakan Ho yakni dengan cara membandingkan nilai statistic LM dengan nilai Chi-Square. Jika hasil perhitungan nilai LM lebih besar dari
-
tabel maka cukup bukti untuk melakukan tolak H0sehingga model yang akan digunakan adalah model REM, begitu juga dengan sebaliknya.
3.2.5
Koefisien Determinasi Koefisien determinasi merpakan besaran yang digunakan untuk mengukur
kelayakan suatu model. Koefisien determinasi dikenal dengan istilah R2. Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui proporsi varians variabel tidak bebas yang dijelaskan oleh variabel bebas secara bersama-sama atau secara verbal R2mengukur proporsi (bagian) atau persentase total variasi dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi (Gujarati, 2003). R2 diperoleh dengan rumus : R2 =
……………………………………………..………………(3.4)
Dimana : RSS : Jumlah Kuadrat Regresi TSS : Jumlah Kuadrat Total
24
R2 memiliki rentang antara 0
3.2.6
Asumsi Kenormalan Untuk mengetahui apakah error term medekati distribusi normal atau
tidak maka dilakukan pengujian kenormalan. Uji normalitas error term dilakukan dengan menggunakan uji Jarque Bera dengan hipotesisnya sebagai berikut: H0 : α = 0, error term terdistribusi normal H1 : α ≠ 0, error term tidak terdistribusi normal Uji normalitas diaplikasikan dengan menggunakan uji Jarque Bera bila nilai probabilitas yang diperolh lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka terima H0 yang berarti error term dalam model sudah menyebar normal. 3.2.7
Pengujian Asumsi Klasik Untuk menghasilkan model yang efisien, fisibel, dan konsisten maka
diperlukan pendektesian berbagai bentuk pelanggaran asumsi yaitu gangguan antara waktu (time-related disturbance), gangguan antar individu (cross sectional disturbance), dan gangguan akibat keduanya. 3.2.7.1 Uji Multikolinearitas Multikolinearitas merupakan kondisi dimana terdapat hubungan linier antara variabel independen. Sedangkan ciri dari hasil dugaan Best Linier Unbiasedd Estimation (BLUE) mensyaratkan tidak adanya hubungan linear antar variabel
independen
atau
tidak
ada
multikolinearitas.
Multikolinearitas
ditunjukkan dengan adanya nilai R2 yang tinggi, tetapi variabel yang signifikan sedikit. Multikolinearitas akan berdampak adanya kesulitan untuk memisahkan efek suatu variable independent terhadap variable dependen dengan efek dari variabel independen yang lain, serta distribusi parameter regresi menjadi sangat
25
sensitif terhadap korelasi yang terjadi antar variabel independen dan galat baku regresi. Cara mengatasi kolinearitas ganda adalah dengan memanfaatkan informasi sebelumnya, mengeluarkan variabel dengan kolinearitas tinggi, melakukan transformasi terhadap variabel-variabel dalam model dengan bentuk pembedaan pertama untuk data deret waktu, serta menggunakan regresi komponen utama. (Juanda, 2009) 3.2.7.2 Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi bila ragam sisaan tidak sama untuk setiap pengamatan dari variabel-variabel bebas dalam model regresi. Dampak yang ditimbulkan dari heteroskedastisitas adalah dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tetap tidak bias dan masih konsisten dan penduga OLS tidak efisien lagi. Keberadaan Heteroskedastisitas dapat diuji dengan Park test, Goldfelt-Quandt test, Breusch-Pagan-Godfrey Test, dan White General Heteroscedasticity (Gujarati, 2003). Permasalahan heteroskedastisitas dapat diatasi dengan metode Kuadrat Terkecil Terboboti (WLS, Weighted Least Squares) yang merupakan kasus khusus dari teknik ekonometrika yang lebih umum, yang disebut dengan GLS (Generalized Least Squares). Selain itu dapat juga dilakukan dengan pembobotan Cross Section SUR. 3.2.7.3 Uji Autokolerasi Autokorelasi merupakan gejala adanya korelasi antara serangkaian observasi yang diurutkan menurut deret waktu (time series). Jika antar sisaan tidak bebas maka dapat dikatakan model mengalami gejala autokorelasi. Dampak yang akan terjadi bila suatu model mengalami autokorelasi adalah dugaan parameter menjadi tidak bias, konsisten, memiliki standar eror yang bias ke bawah serta tidak efisien. Keberadaan autokorelasi dapat dideteksi dengan menggunakan uji Durbin-Watson. Berikut Tabel 3.1 yang mengidentifikasikan ada tidaknya autokorelasi.
26
Tabel 3.1 Selang Nilai Statistik Durbin-Watson serta Keputusannya Nilai Durbin-Watson DW < 1,10 1,10 < DW < 1,54 1,55 < DW < 2,46 2,46 < DW < 2,90 DW > 2,91
Keterangan Ada Autokorelasi Tanpa Kesimpulan Tidak ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Ada autokorelasi
Sumber: Firdaus, 2004
3.2.8
Model Persamaan Ekonometrika Perumusan model ekonometrika mengukur hubungan volume permintaan
impor garam akan berhubungan positif dengan pendapatan per kapita riil, jumlah penduduk, dan harga impor serta memiliki hubungan negatif dengan Kurs Riil. Dalam model, variabel yang digunakan adalah variabel Pendapatan Per Kapita Riil, populasi, nilai tukar riil, dan harga impor sebagai variabel independen, sedangakn variabel dependennya adalah volume impor garam. Cakupan negara diantaranya adalah Indonesia, Autralia, India, China, dan Selandia Baru. Ada tiga m3odel yang dianalisis pada penelitian ini hingga akhirnya menentukan satu model yang terbaik yang mampu menginterpretasikan faktor-faktor yang memengaruhi impor garam. Model 1 : ln Y b b ln IND
b ln PM b ln Pop b ln KURS b ln GDP b ln P b D1 b D2 b D3 ε ……………………...…(3.5)
Model 2 : ln Y b ln P
b
b ln PM b ln Pop b ln KURS b ln IND b D1 b D2 b D3 ε ……………………………………..…(3.6)
Model 3 : ln Y b ln P
b
b ln PM b ln KURS b ln GDP b ln IND b D1 b D2 b D3 ε ………………………….……….……(3.7)
dimana: b
= intersep
b , b , … , b = Parameter masing-masing variabel yang diuji secara statistik dan ekonometrik
27
t
= (1,…,T) mulai tahun 2001-2010,
i, j
= (1,…,N) perdagangan bilateral negara i dengan negara j
Y
= Volume Impor Garam HS 2501 (Ton)
Pop
= Populasi negara Indonesia pada tahun t (Jiwa)
GDP
= Pendapatan Nasional pada tahun t (Milyar Rupiah)
IND
= Jumlah Industri yang menggunakan bahan baku garam (Satuan)
KURS = Kurs mata uang riil negara i pada tahun t(Rupiah/Dolar) PM
= Harga impor garam pada tahun t (Dolar/Ton)
D1
= Dummy negara Australia (nilai 1 untuk Australia dan nilai 0 untuk lainnya)
D2
= Dummy negara India (nilai 1 untuk India dan nilai 0 untuk lainnya)
D3
= Dummy negara Selandia Baru (nilai 1 untuk Selandia Baru dan nilai 0 untuk lainnya)
ε
= Galat (pengaruh dari variabel lain yang tidak termasuk dalam model)
3.2.9 Definisi Operasional 1. Negara i adalah negara pengimpor komoditi garam (negara Indonesia) dari negara j (negara pengekspor komoditi garam). 2. Volume impor komoditi garam merupakan total impor garam yang tercatat oleh Departemen Perindustrian dari negara ekspor dalam jangka waktu tahun 2001 hingga 2010, dinyatakan dalam satuan ton. 3. Populasi penduduk negara pengimpor adalah total penduduk negara Indonesia dalam satu tahun terhitung sejak tahun 2001 hingga tahun 2010, dinyatakan dalam satuan orang. 4. Gross Domestic Product adalah Produk Domestik Bruto yang dihasilkan Indonesia terhitung sejak tahun 2001 hingga tahun 2010. 5. Jumlah Industri yang dimaksud di sini adalah total industri yang menggunakan bahan baku komoditi garam dalam satu tahun terhitung sejak tahun 2001 hingga 2010. 6. Nilai Tukar Riil Rupiah terhadap Dollar adalah perbandingan mata uang Rupiah terhadap mata uang Dollar yang dinyatakan dalam satuan Rupiah per US$.
28
7. Harga Impor Garam adalah harga komoditi garam yang dilakukan dalam transaksi perdagangan internasional. Harga impor diperoleh dari hasil pembagian nilai impor dengan kuantitas impor. Harga impor dinyatakan dalam satuan Dollar Amerika.
29
VI.
4.1
GAMBARAN UMUM EKONOMI GARAM INDONESIA
Produksi Garam di Indonesia Secara umum, produksi garam Indonesia memiliki tren yang cenderung
menurun. Berdasarkan Tabel 4.1 produksi garam nasional dari tahun 2001 hingga tahun 2004 mengalami peningkatan. Pada tahun 2001 produksi garam sebesar satu juta ton meningkat di tahun 2002 sebesar 1.091.200 ton. Kenaikan produksi kembali terjadi pada tahun 2003 yakni menjadi 1.344.000 ton. Pada tahun 2004 produksi garam meningkat sebesar 1.382.980. Dibandingkan produksi pada tahun 2004, produksi pada tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 1.150.000 ton. Penurunan drastis terjadi pada tahun 2010 yakni produksi sebesar 30.600 ton. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut terjadi musim hujan yang cukup panjang sehingga menghambat produksi garam nasional. Pada Gambar 4.2 menurut stasiun pengamatan wilayah Sumenep, dimana wilayah ini merupakan salah satu wilayah penghasil produksi, pada tahun 2010 menunjukkan bahwa Hujan Tahunan (HT) serta Hujan Musim Produksi (MP) memiliki nilai curah hujan yang tertinggi bila dibandingkan dengan tahun lainnya.
1,600,000 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : Kementerian Perindustrian, 2012 (Diolah)
Gambar 4.1 Grafik Perkembangan Produksi Garam Tahun 2001-2010 (Ton)
30
Tabel 4.1 Total Produksi Garam Nasional dan Perubahan Produksi Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Produksi (ton) 1.000.000 1.091.200 1.344.500 1.382.980 1.150.000 1.288.000 1.352.400 1.199.000 1.371.000 30.600
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2012 2500 2000 1500 1000 500 0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
HT
MP
Sumber : BMKG,2012 (Diolah)
Gambar 4.2 Grafik Curah Hujan Wilayah Pengamatan Sumenep Tahun 19992011 Sebagian besar garam dihasilkan oleh tambak-tambak daerah pesisir. Namun di beberapa tempat garam juga dibuat dengan cara merebus air laut yang mengalami proses seperti yang dilakukan di Aceh. Di Indonesia terdapat Sembilan sentra produksi garam dimana dahulu hanya terbatas pada wilayah pulau Jawa dan Madura. Sentra produksi garam tersebut terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Bali, dan pantai timur Aceh. Produksi garam di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh rakyat. Garam rakyat hampir memasok hampir 70 persen dari produksi garam nasional. Pelaku
31
usaha produksi garam di Indonesia umumnya adalah penggarap kecil dengan luas areal lahan garam mayoritas di bawah dua hektar per penggarap. Penggunaan teknologi yang sangat sederhana mengakibatkan produktivitas lahan rata-rata hanya sekitar 60 ton/ha/tahun dan kualitas garam umumnya masih belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Selain diproduksi oleh usaha garam rakyat, garam juga diproduksi oleh PT Garam (Persero). Perusahaan yang berbasis di Madura ini menguasai lahan garam sekitar 5.130 hektar dengan produksi pada tahun 2009 mencapai 319.000 ton atau 30 persen dari produksi garam nasional. Total produksi garam nasional pada tahun 2009 mencapai 1.371.000 ton, naik kurang lebih 15 persen dari tahun sebelumnya. Data dari Departemen Perindustrian (2009) menyebutkan total produksi garam rakyat dari berbagai kualitas (I,II,III) berkisar 1.155.000 ton. Jumlah ini sebagian besar hanya mencukupi kebutuhan garam konsumsi, industri aneka pangan, dan aneka pemakaian lainnya (pengasinan ikan, pakan ternak). Kebutuhan untuk industri, khususnya industri chlor alkali harus dipenuhi melalui impor. Impor garam pada tahun 2009 mencapai 1.738.000 ton (BPS, 2009). Kebutuhan garam di Indonesia meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan berkembangnya jumlah industri pemakai garam. Sementara itu produksi garam nasional cenderung tetap. Keterbatasan daya dukung faktor produksi dan permodalan menyebabkan luas lahan garam di Indonesia relatif tidak berubah dari tahun ke tahun. Selain itu ada tiga persyaratan utama yang harus dipenuhi untuk memproduksi garam dengan bahan baku air laut dan menggunanakan teknologi pengeringan seperti yang saat ini dilakukan di Indonesia. Pertama, air laut sebagai bahan baku harus berkadar garam relatif tinggi dan jernih. Ini artinya pantai harus tidak mempunyai muara sungai, dengan pasang surut mencapai permukaan daratan sekitar dua meter. Kedua, pantai atau daratan sebagai sarana produksi utama, yaitu sebagai lahan garam. Tanahnya harus tidak porous sehingga air laut tidak masuk ke dalam tanah. Permukaan lahan harus datar dengan tinggi maksimum tiga meter di atas permukaan laut, dan harus cukup luas yaitu minimal satu hektar/orang atau minimal 4.000 hektar untuk perusahaan. Ketiga, penyinaran matahari sebagai sumber energi untuk penguapan. Curah hujan maksimum 1.000-1.300 mm/tahun, dengan kemarau kering kontinyu
32
minimum empat bulan. Dengan kata lain, kondisi cuaca sangat berpengaruh pada kenaikan atau penurunan produksi garam, semakin panjang musim kemarau maka semakin tinggi produksi garam yang dihasilkan pada tahun bersangkutan. Berdasarkan sumber dari Pusat Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati (2001), dijelaskan sumber dan teknologi pembuatan garam serta proses produksi sebagai berikut. 4.1.1 Sumber dan Teknologi Pembuatan Garam a. Sumber Garam Sumber garam di Indonesia sebagian besar berasal dari air laut dan dalam jumlah yang relatif sangat kecil didapat dari sumber air garam tanah seperti yang mungkin dijumpai di daerah Purwodadi. Teknologi pembuatan garam dari air laut dilakukan melalui proses penguapan dengan tenaga matahari (solar evaporation). Selama ini garam di Indonesia diproduksi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam hal ini PT Garam Persero, dan petani-petani garam atau yang dikenal sebagai pegaraman rakyat. b. Areal Pembuatan Garam di Indonesia PT Garam Persero memiliki jumlah areal yang relatif luas dan menyatu atau tidak terpencar-pencar. Hal ini memungkinkan untuk menerapkan system pengelolaan secara korporasi melalui kristalisasi bertahap. Berbeda dengan yang dimiliki oleh petani garam rakyat, dimana meskipun total area pegaraman rakyat seluruh Indonesia adalah relatif lebih luas namun karena merupakan milik pribadi dengan luas kepemilikan masing-masing dengan rata-rata kurang dari tiga hektar dan letaknya terpencar-pencar, maka satu tahapan proses produksi dilakukan pada lahan yang sama. Hal ini tentu saja mempengaruhi kualitas produksi yang dihasilkan. c. Teknologi Pembuatan Garam Hampir keseluruhan garam di Indonesia diperoleh dengan Teknologi Penguapan Air Laut dengan Tenaga Sinar Matahari (Solar Evaporation). Dalam jumlah yang sangat kecil diperoleh dari sumber air tanah seperti yang terdapat di Purwodadi-Grobogan, Jawa Tengah. Sedangkan garam dari deposit dalam tanah/tambang garam sampai saat ini belum ditemukan
33
di Indonesia. Dalam proses pembuatan garam yang bersumber dari air laut, maka factor sumber daya alam dominan, yang berpengaruh baik kualitas maupun kuantitas garam yang dihasilkan adalah sebagai berikut : 1. Air laut -
Kandungan garam relatif tinggi dan tidak tercampur aliran muara sungai tawar
-
Jernih, tidak tercampur dengan lumpur dan sampah
-
Mudah masuk ke dalam areal/ lading garam Faktor lokasi berpengaruh secara langsung terhadap kualitas maupun kuantitas penyediaan air laut. Lokasi yang sangat bagus untuk dipilih adalah yang jauh dari pengaruh air tawar atau muara sungai besar. Tempat yang berdekatan dengan muara sungai akan memberikan air laut dengan mutu rendah (konsentrasi rendah). Adapun lokasi di teluk yang tertutup akan memberikan air laut dengan mutu yang relatif baik (konsentrasi tinggi). Guna menjamin kontinuitas ketersediaan bahan baku, maka lebih baik memilih lokasi yang aliran lautnya tidak terganggu oleh selat yang sempit, sehingga pasang surut air laut berjalan dengan normal. Pasang surut air laut sangat mempengaruhi pengadaan air laut bagi lahan-lahan pegaraman, untuk antisipasi dapat dibuat waduk-waduk penampungan air laut tersebut. 2. Lahan/Areal/Tanah - Topografi Tanah Kondisi topografi tanah sangat berpengaruh terhadap pengaturan lay out maupun sirkulasi air di pegaraman. Topografi tanah yang ideal adalah yang permukaannya landai dengan tingkat kemiringan yang kecil. Ketinggian tanah maksimal tiga meter di atas permukaan air laut dengan luas minimal satu hektar.
-
Sifat Fisis Tanah Tanah harus kedap air sehingga air yang ditampung di atasnya tidak bocor ke dalam tanah. Tanah liat memiliki tingkat permeabilitas yang kecil tetapi pada kondisi tingkat kelembaban yang rendah akan mudah retak/pecah sehingga tingkat kebocorannya tinggi.
34
-
Kehidupan Lahan/areal yang digunakan sebagai pegaraman sebaknya tida terdapat kehidupan (baik flora maupun fauna). Terdapatnya binatang yang hidup di tanah akan merusak pegaraman, sedangkan tumbuh-tumbuhan akan menghalangi sinar matahari. Dengan demikian kedua hal tersebut sangat mempengaruhi produktifitas areal.
3. Kondisi Iklim -
Hujan merupakan faktor negatif Kondisi iklim yang baik adalah memiliki curah hujan yang sngat kecil (antara 1.000-1.400 mm/tahun). Musim kemaraunya panjang dan kering (minimal 4-5 bulan) tanpa hujan berturut-turut.
-
Penguapan Suhu udara yang dimiliki ralatif tinggi dengan penyinaran matahari yang cukup. Memiliki kelembaban udara yang rendah/kering sehingga proses penguapan semakin cepat.
4. Sumber Daya Manusia Diperlukan jumlah tenaga yang cukup sebagai pelaksana pembuatan garam, karna pembuatan garam di Indonesia masih belum sepenuhnya menggunakan peralatan mekanisasi. 4.1.2 Proses Produksi a. Proses Produksi Garam Rakyat Produksi garam Indonesia dilakukan secara tradisional oleh pembudidaya penghasil garam di tambak rakyat di beberapa daerah pantai di Indonesia. Garam diproduksi dengan cara menguapkan air laut pada sebidang tanah pantai dengan bantuan angin dan sinar matahari sebagai sumber energi penguapan. Pemisahan garam dengan pasir dilakukan dengan proses pencucian dengan air laut bersih pada sebuah bak beton yang kemudian untuk selanjutnya dilakukan penjemuran dalam keadaan cuaca normal memerlukan waktu dua hari (Dirjen PKKP, 2003). Total areal pergaraman rakyat di seluruh Indonesia relatif lebih luas dan letaknya terpencar-pencar. Luas kepemilikan lahan secara
35
pribadi rata-rata sekitar kurang dari tiga hektar. PT Garam meskipun luasnya tidak terpencar-pencar, tetapi letaknya menyatu. Oleh karena itu, system pergaraman rakyat sebagian besar, mengunakan Sistem Kristalisasi Total yaitu satu tahapan proses produksi dilakukan pada lahan yang sama, sehingga berpengaruh terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Permasalahan terkait dalam hal teknologi produksi, mutu garam yang dihasilkan, penyimpanan, pemasaran, dan pengaruh perubahan iklim yang tidak menentu merupakan sebagian dari masalah yang harus diperhatikan untuk terjaminnya persediaan garam nasional. Melalui
Surat
Keputusan
Menteri
Perindustrian
Nomor
77/M/SK/5/1995, pemerintah berusaha untuk meningkatkan mutu garam rakyat dengan mengeluarkan standar mutu yang dicantumkan dalam Standar Nasional Indoensia (SNI). Upaya peningkatan mutu tersebut anatara lain dengan melakukan pembinaan pembudidaya garam tentang cara produksi yang baik.
b. Proses Produksi PT Garam PT
Garam
(Persero)
merupakan
perusahaan
peninggalan
Pemerintah Belanda. Areal pembuatan garam perusahaan ini berupa kesatuan lahan yang cukup lusa (minimal 1000 hektar) sedangkan areal yang dimiliki oleh rakyat atau swasta berupa petak-petak yang relatif sempit umumnya berkisar 0,5 - 3 hektar. PT Garam menggunakan sistem pembuatan garam sebagai berikut : a. Tata letak : petakan komplek b. Luas areal : minimal 100 hektar c. Pungutan : pungutan garam di atas lantai garam (lantai garam umur 30 hari) d. Umur pungutan garam : 10 hari e. Cara pungutan : padat karya f. Pengangkutan dan handing : dump truck, bel conveyor Produktivitas garam PT Garam dan Pergaraman Rakyat masih relatif rendah dibandingkan dengan produktivitas garam Australia yang
36
mencapai 200-300 ton/hektar/tahun, demikian pula dengan kandungan NaCl garam impor dari Australia yang mencapai 99 – 99,5 persen. (Dirjen PKKP, 2003)
4.2
Konsumsi Garam di Indonesia Menurut data yang diperoleh dari Kementerian Perindustrian pada tahun
2012, konsumsi garam di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pertumbuhan rata-rata konsumsi garam baik untuk industri maupun konsumsi setiap tahunnya meningkat sebesar 3,1 persen. Pertumbuhan konsumsi garam ini sejalan dengan peningkatan jumlah populasi penduduk negara Indonesia. Peningkatan populasi penduduk mengakibatkan bertambahnya jumlah kebutuhan dalam konsumsi garam. Berikut dijelaskan pada Gambar 4.3 serta Tabel 4.2. 3,500,000 3,000,000 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : Kementerian Perindustrian, 2012 (Diolah)
Gambar 4.3 Grafik Pertumbuhan Konsumsi Garam Indonesia Tahun 2001-2010 (Ton) Garam mengandung senyawa Kalium Iodat (Garam Beryodium) merupakan salah satu nutrisi penting yang harus dikonsumsi secara teratur oleh manusia. Jumlah garam yang harus dikonsumsi per hari untuk setiap orang kurang lebih adalah sembilan gram. Untuk masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia, garam diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan nurisi serta yodium. Selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi secara langsung, garam digunakan juga sebagai bahan baku maupun penolong dalam rangkaian proses produksi bidang industri.
37
Tabel 4.2 Populasi, Total Konsumsi Garam Nasional dan Perubahan Konsumsi Konsumsi Garam (Ton) Perubahan (%) Tahun Populasi 2.111.752 2001 219.000.000 2.145.000 1,6 2002 221.800.000 2.285.000 6,5 2003 224.600.000 2.485.434 8,8 2004 227.300.000 2.530.992 1,8 2005 229.900.000 2.589.250 2,3 2006 232.500.000 2.706.300 4,5 2007 235.000.000 2.742.000 1,3 2008 237.400.000 2.783.250 1,5 2009 239.900.000 2.870.000 3,1 2010 216.200.000 Perubahan Rata-rata 3,1 Sumber : World Bank dan Kementrian Perindustrian (Diolah)
Pada dasarnya, terdapatpengelompokkan kegunaan dan jenis garam di Indonesia (SNI) dengan spesifikasi sebagai berikut (Ditjen PKKP, 2003) 1. Garam Konsumsi Garam dengan kadar NaCL sebesar 97 persen atas dasar persen berat kering (dry basis), kandungan impurities (Sulfat, Magnesium dan Kalsium) sebesar dua persen dan kotoran lainnya (lumpur,pasir) sebesar satu persen serta kadar air maksimal sebesar tujuh persen. Garam konsumsi dipakai untuk konsumsi langsung oleh tubuh manusia di Indonesia (diperkirakan sebanyak 3,5-4 kg/tahun/orang) diproses oleh industri aneka pangan maupun untuk pengasisnan/pengawetan ikan. Berdasarkan rata-rata kualitas (kandungan kimia) garam produksi dalam negeri (Rakyat dan PT Garam) dan persyaratan minimal kualitas, maka produk dalam negeri tersebut hanya dapat memenuhi kelompok kebutuhan garam konsumsi. Kelompok kebutuhan Garam Konsumsi antara lain untuk konsumsi rumah tangga, industri makanan, industry minyak goreng, industri pengasinan dan pengawetan ikan. Garam konsumsi ini masih dibagi menjadi tiga jenis : food grade, medium grade dan low grade.
Food atau high grade yaitu garam konsumsi mutu tinggi dengan kandungan NaCl 97 persen, kadar air dibawah 0,05 persen, warna putih bersih, butiran umumnya berupa kristal yang sudah dihaluskan. Garam
38
jenis ini digunakan untuk garam meja, industri makanan mutu tinggi, industri sosis dan keju, industri minyak goreng serta industri mentega.
Medium grade yaitu garam konsumsi kelas menengah dengan kadar NaCl 94,7- 97 persen dan kadar air 3 – 5 persen untuk garam dapur, dan industri makanan menengah seperti kecap, tahu, pakan ternak.
Low grade, yaitu garam konsumsi mutu rendah dengan kadar NaCl 90 – 94.7 persen, kadar air 5 –10 persen, warna putih kusam, digunakan untuk pengasinan ikan.
2. Garam Industri Garam dengan kadar NaCl sebesar 97.5 persen dengan kandungan impurities (Sulfat, Magnesium, dan kalsium serta kotoran lainnya) yang sangat kecil. Penggunaan garam industri antara lain : industri perminyakan, industri kulit, industri tekstil, pabrik es, industri Chlor Alkali Plant (CAP) dan industri Farmasi. Saat ini penggunaan garam sebagai konsumsi sangat kecil bila dibandingkan dengan penggunaannya sebagai bahan baku untuk pengolahan / industri (terutama untuk pabrik pulp dan industri yang membutuhkan banyak chlor dan soda). Menurut kajian PKSPL-IPB (2006), penggunaan garam untuk industri secara nasional diperkirakan mencapai sekitar 1,9 - 2 juta ton / tahun, sedangkan untuk konsumsi hanya membutuhkan sekitar 0,8 juta ton / tahun, sehingga kebutuhan nasional akan garam mencapai 2,7 - 2,8 juta ton / tahun. Kekurangan suplai garam (terutama untuk industri) tersebut dipenuhi dengan impor garam sebanyak kurang lebih 1,7 - 1,8 juta ton / tahun. Untuk pengadaan garam untuk industri seluruhnya berasal dari impor, namun untuk garam konsumsi hanya sebagian kecil saja dari impor.
4.2
Impor Garam di Indonesia Sangat ironis, sejak sepuluh tahun terakhir Indonesia justru menjadi
pengimpor garam terbesar di dunia (Dahuri, 2012). Selain menghamburkan devisa, kebijakan itu juga akan menghancurkan usaha dan industri garam nasional dengan segala dampaknya. Padahal, garam merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok dan bahan baku berbagai macam industri. Produktivitas garam
39
rendah padahal kebutuhan yang harus dipenuhi banyak dan kemampuan produksi maka produksi nasional hanya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi saja. Belum lagi bahwa dari seluruh kualitas produksi nasional belum tentu dapat seluruhnya langsung dikonsumsi dan kebanyakan masih memerlukan proses pengolahan lanjutan untuk dapat memenuhi persyaratan konsumsi. Permasalahan yang timbul saat ini adalah bahwa kebutuhan garam nasional cenderung mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan pertumbuhan penduduk dan industri. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, impor Indonesia terhadap komoditi garam mengalami fluktuasi. Namun demikian tren yang ditunjukkan cenderung meningkat. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 4.3 yang diolah dari data Kementerian Perindustrian tahun 2012. Impor cukup tinggi terjadi pada tahun 2004 yakni sebesar 2.181.247 ton dan pada tahun 2010 sebesar 2.835.871 ton. Tabel
4.3 Volume Impor Garam Indonesia Berdasarkan Negara Pengimpor Tahun 2001-2010 (dalam Ribu Ton)
Tahun
Dunia
Australia
2001 1596 1282 2002 1553 1153 2003 1426 1294 2004 2181 2090 2005 1404 1277 2006 1553 1390 2007 1661 1518 2008 1658 1445 2009 1701 1391 2010 2083 1603 Share 100 85,88 (persen) Sumber : WITS, 2012 (Diolah)
India
Selandia Baru
China
Negara lain
193 270 90 19 125 162 136 211 258 455
0.13 0.15 0.25 0.19 0.20 0.35 0.55 0.84 1.12 1.06
0.73 0.41 0.55 40.86 0.18 0.36 0.18 0.19 51.04 20.16
120 130 42 30 1.57 0.52 7.03 0.76 0.72 4.62
11.40
0.03
0.68
2
Perkembangan konsumsi hingga tahun 1997 dapat dipenuhi dari produksi garam domestik. Impor yang dilakukan pada tahun tersebut hanya untuk pemenuhan kebutuhan garam industri. Namun pada saat ini, karena adanya perubahan iklim menyebabkan produksi garam nasional menurun sehingga untukmemenuhi kebutuhan dalam negeri maka dilakukan impor. Selain itu alasan utama masih dilaksanakannya impor garam disebabkan kurang memenuhinya kualitas produksi. Standar kualitas garam untuk industri (impor) adalah kadar NaCl minimal persen, sedangkan kualitas garam rakyat kadar NaCl < 94,7 persen
40
sehingga garam rakyat tersebut harus terlebih dahulu dilakukan pencucian dan pengeringan. Pada Tabel 4.3 dapat digambarkan pula bahwa perkembangan impor garam tahun 2001- 2010 dilihat dari negara pengimpor garam ke Indonesia yang menunjukkan peningkatan volume impor. Tren peningkatan impor ditunjukkan pada keempat negara pengimpor yang terdiri dari Australia, India, Selandia Baru, dan China. Impor terbesar berasal dari negara Australia dan India. Share impor yang diberikan sebesar 85.88 persen untuk Australia dan 11.40 pesen untuk India. 4.4
Harga Domestik Garam Harga suatu komoditi dikaitkan dengan besarnya permintaan komoditi
tersebut. Begitu pula sama halnya dengan komoditi garam dimana banyanknya permintaan dikaitkan dengan tingkat harga. Pada perkembangannya, harga domestik mengalami tren yang cenderung meningkat. Peningkatan harga merupakan sebagai akibat dari adanya peningkatan permintaan yang terus meningkat atas komoditi garam. 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 0 2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2012 (diolah)
Gambar 4.4 Grafik Perkembangan Harga Domestik Garam Indonesia Tahun 2006-2010 (Rp/Ton) 4.5
Harga Impor Garam Sementara itu, perkembangan harga impor garam mengalami fluktuasi.
Namun demikian tren yang ditunjukkan adalah cenderung meningkat.Peningkatan harga dari garam impor lebih besar dibandingkan dengan peningkatan harga
41
domestik. Tingginya harga impor tidak menurunkan permintaan karena terdapat kelangkaan terhadap produksi garam. Kualitas yang belum memenuhi kebutuhan industri dalam negeri serta adanya anomali musim menjadi faktor kebijakan impor tetap diberlakukan. 500,000 450,000 400,000 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 -
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2012 (diolah)
Gambar 4.5 Grafik Perkembangan Harga Impor Garam Indonesia Tahun 20062010 (Rp/Ton) 4.6
Kebijakan Impor Garam Kebutuhan garam nasional Indonesiasejalan dengan perkembangan industri
global di mana berbagai industri yang bergerak di bidang kimia menyeraplebih dari 55 persen produksi garam dunia terutama untuk industri manufaktur chlorine yang menghasilkan polyvinyl chloride (PVC) yaitu plastik yang terbuat dari chlorine, dan caustic soda (sodium hydroxide) yang menghasilkan paperpulpingchemical(http://minerals.er.usgs.gov/minerals/pubs/commodity/salt/58049 7.pdf). Selain itu dalam perkembangannya praktik impor garam juga mencakup garam konsumsi yang secara langsung didistribusikan ke pasar ataupun sebagai bahan campuran untuk memproses lebih lanjut garam rakyat menjadi garam konsumsi. Dengan demikian, tidak mengherankan jika dari waktu ke waktu volume impor garam terus meningkat dan bahkan realitas dilapangan menunjukkan eksistensinya dalam mendominasi dunia pergaraman nasional di Indonesia. Kebijakan Impor Garam menurut Dirjen Perdagangan Luar Negeri (2007), importasi garam dilakukan dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan industri
42
pengguna barang di dalam negeri (pabrik kertas, pulp, kaustik soda dan pengeboran minyak) yang selama ini menggunakan garam impor dengan alasan garam dalam negeri kualitasnya tidak memenuhi syarat dan harganya relatif mahal serta untuk beberapa jenis garam belum dapat diproduksi di dalam negeri. Kedua, garam konsumsi dalam negeri, tidak dapat bersaing dengan garam konsumsi impor karena petani di negara pengekspor di beri subsidi oleh pemerintahnya (seperti India dan Cina) dikarenakan pemerintah Indonesia tidak memiliki dana untuk memberikan subsidi. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani sehingga mampu meningkatkan produksi dan produktivitas garam. Kemudian menjamin pemenuhan kebutuhan garam di dalam negeri pada tingkat harga yang wajar. Selain itu mendorong industri pengguna garam di dalam negeri untuk menggunakan garam produksi dalam negeri serta sebagai bentuk ketahanan pangan (Dirjen Perdagangan Luar Negeri, 2007). Kebijakan impor adalah tidak ada kuota khusus, ijin untuk IP non yodisasi dan IT didasarkan pada kebutuhan industri pengguna garam.Berdasarkan Permendag. No. 44/M-DAG/PER/1012007 Tentang Ketentuan impor Garam yang diperbolehkan impor garam adalah Importir Produsen Non Iodisasi (APIP -APIT), Importir Garam Iodisasi dan Importir Terdaftar (API-P atau API-T) dan Importir Terdaftar (API-U). IP Garam lodisasi dilarang mengimpor Garam tambang dan garam lainnya dalam masa satu bulan sebelum panen raya garam rakyat, selama panen raya garam rakyat dan dua bulan setelah panen raya garam rakyat. Penetapan masa pelarangan impor dapat diperpanjang atau diperpendek sesuai pencapaian produksi pada masa panen raya, agar persediaan garam tetap dapat memenuhi kebutuhan nasional. Penetapan tersebut ditentukan oleh Menteri Perdagangan dengan mempertimbangkan pendapat Menteri Perindustrian atau pejabat yang ditunjuk. Impor garam untuk kebutuhan industri garam iodisasi dilarang apabila harga rata-rata garam bentuk curah di atas truk dititik-titik pengumpul berada di bawah harga garam KP1 dan KP2 yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Penentuan jumlah garam yang dapat di impor untuk memenuhi kebutuhan industri garam iodisasi , dihitung berdasarkan hasil kesepakatan antar instansi
43
teknis lembaga dan asosiasi terkait di bidang garam, dikecualikan garam untuk memenuhi kebutuhan industri aneka yang secara teknis tidak dapat menggunakan garam petani. Jumlah garam dialokasikan kepada IP Garam lodisasi secara proporsional berdasarkan besarnya pembelian garam petani. Pembelian garam petani dibuktikan dengan surat pernyataan perolehan garam dari petani garam yang
dibuat
oleh
IP
Garam
lodisasi
dan ditandasahkan oleh Dinas
Kabupaten/Kota yang membidangi perindustrian dan asosiasi petani garam atau jika tidak ada asosiasi petani garam , disahkan oleh kelompok petani garam yang menyatakan jumlah garam yang dibeli serta harga pembelian di tingkat petani minimal sama dengan harga garam KP1 dan KP2. Berdasarkan
Keputusan
Dirjen
Perdagangan
Luar
Negeri
No
07/DAGLU/PER/7/2008, penetapan harga garam ditingkat petani untuk jenis garam KP1 dan KP2 yang dijual secara curah di atas truk di titik pengumpul ditetapkan sebagai berikut: a. KP1, harga terendah sebesar Rp. 325.000,- (tiga ratus dua puluh lima ribu rupiah) per ton; dan b. KP2, harga terendah sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per ton. Pada tanggal 5 Mei 2011 telah ditetapkan melalui Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri No 02/DAGLU/PER/5/2011 tentang Penetapan Harga Penjualan Garam di Tingkat Petani Garam, pada pasal 2, harga penjualan untuk jenis garam KP1 dan KP2 yang dijual dalam bentuk curah di atas truk di titik pengumpul ditetapkan KP1 sebesar Rp 750,-/kg dan KP2 sebesar Rp. 550,-/kg.
44
V.
5.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemilihan Model Persamaan model permintaan impor pada penelitian ini menggunakan
pengestimasian software Eviews 6. Komoditas yang diamati adalah garam dengan kode HS 2501. Periode pengamatan yang digunakan selama sepuluh tahun yakni tahun 2001 hingga tahun 2010. Pada penelitian ini terdapat tiga model persamaan yang diteliti hingga kemudian dipilih satu model terbaik yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi impor garam Indonesia. Pemilihan kesesuaian model dilakukan dengan menggunakan uji Chow (Lampiran 2 ). F-stat yang dihitung untuk pemilihan model PLS atau FEM dengan menggunakan rumus Persamaan 3.1. Hasil yang diperoleh dari pengujian Chow pada ketiga model menunjukkan bahwa F-stat yang diperoleh lebih kecil dari taraf nyata sepuluh persen (0 < 0.1). Sehingga sudah cukup bukti untuk terima H0 dimana H0 merupakan model Pooled Least Square (PLS), sehingga model yang dipilih adalah PLS. Model PLS pada penelitian ini merupakan model estimasi terbaik untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi impor garam Indonesia. Uji F terhadap model permintaan impor garam signifikan pada taraf nyata sepuluh persen karena nilai probabilitas pada F-stat (0,0000) lebih kecil dari nilai taraf nyata tersebut. Artinya minimal ada satu peubah independen yang berpengaruh nyata dalam model. Pada model 1, nilai R2 yang diperoleh sebesar 97,74 persen menunjukkan bahwa model sudah fit atau baik. Besar nilai 97,74 persen keragaman permintaan impor garam yang dapat dijelaskan oleh variabel harga impor, GDP, populasi, jumlah industri yang menggunakan bahan baku garam, dan nilai tukar riil. Sedangkan sisanya sekitar 2,26 persen dijelaskan dengan faktor lain di luar persamaan. Besar nilai 97,70 persen pada model 2 menunjukkan keragaman permintaan impor garam yang dapat dijelaskan oleh variabel harga impor, GDP, populasi, jumlah industri yang menggunakan bahan baku garam, dan nilai tukar riil. Sedangkan sisanya sekitar 2,30 persen dijelaskan dengan faktor lain di luar persamaan. Sedangkan pada model 3, besar nilai 97,72 persen keragaman permintaan impor garam yang dapat dijelaskan oleh variabel
45
harga impor, GDP, populasi, jumlah industri yang menggunakan bahan baku garam, dan nilai tukar riil. Sisanya sekitar 2,28 persen dijelaskan dengan faktor lain di luar persamaan. Berdasarkan hasil uji normalitas, diperoleh bahwa residual dalam model telah men yebar secara normal (Lampiran 3). Nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata sepuluh persen yakni 0,607 > 0,1 pada model 1 ; 0,716> 0,1 pada model 2 ; 0,587 > 0,1 pada model 3. Dengan demikian dapat diputuskan bahwa ketiga model ini telah cukup bukti untuk menerima H0 yaitu residual telah menyebar normal. Pengujian asumsi dilakukan untuk mendapatkan model yang terbebas dari masalah yang sering ditemui dalam persamaan regresi seperti Multikolinearitas, Autokorelasi,
dan
Heteroskedastisitas.
Indikasi
adanya
permasalahan
Multikolinearitas dapat ditunjukkan dengan nilai R2 yang tinggi namun variabel independen banyak yang tidak berpengaruh pada variabel dependen. Pengujian selanjutnya adalah uji Heteroskedastisitas dan uji Autokorelasi. Hasil estimasi model pada penelitian ini (Lampiran 4) diberikan perlakuan pembobotan cross section SUR, sehingga asumsi adanya heteroskedastisitas sudah terselesaikan. Hal ini tercermin dari nilai SumSquared Residual pada weighted statistic yang lebih besar dibandingkan nilainya pada unweighted statistic.
Selanjunya
pemeriksaan
adanya
indikasi
pelanggaran
asumsi
autokorelasi bisa dilihat pada Tabel 5.1 dari besarnya nilai Durbin-Watson (DW) pada weighted statistic. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa besarnya nilai menurut distribusi selang nilai DW statistik pada Tabel Durbin Watson, nilai DW statistik berada pada rentang 1,55 < DW < 2,46, maka berdasarkan kriteria keputusan uji statistik DW tidak ada autokorelasi pada model. Model 1 pada hasil estimasi menjelaskan bahwa model sudah terbebas dari masalah Auotokorelasi, dan Heteroskedastisitas. Akan tetapi terindikasi bahwa model ini mengalami masalah Multikolinearitas.Ini ditunjukkan dengan adanya hasil dimana nilai R2 yang tinggi namun variabel independen banyak yang tidak berpengaruh pada variabel dependen. Secara umum model ini kurang begitu baik. Pada Model 2 dijelaskan bahwa pengujian asumsi dilakukan untuk mendapatkan model yang terbebas dari masalah yang sering ditemui dalam
46
persamaan
regresi
seperti
Multikolinearitas,
Autokorelasi,
dan
Heteroskedastisitas. Indikasi adanya permasalahan Multikolinearitas dapat ditunjukkan dengan nilai R2 yang tinggi namun variabel independen banyak yang tidak berpengaruh pada variabel dependen. Dari lima variabel independen yang dianalisis, dengan R2 yang tinggi, hanya terdapat satu variabel yang tidak signifikan. Oleh karena itu, model ini sudah terbebas dari Multikolinearitas. Pengujian selanjutnya adalah uji Heteroskedastisitas dan uji Autokorelasi.Hasil estimasi model pada penelitian ini diberikan perlakuan pembobotan cross section SUR, sehingga asumsi adanya heteroskedastisitas sudah terselesaikan. Hal ini tercermin dari nilai SumSquared Residual pada weighted statistic yang lebih besar dibandingkan nilainya pada unweighted statistic. Selanjunya pemeriksaan adanya indikasi pelanggaran asumsi autokorelasi bisa dilihat pada Tabel 5.1 dari besarnya nilai Durbin-Watson (DW) pada weighted statistic. Pada tabel tersebut menunjukkan distribusi selang nilai DW statistik pada Tabel Durbin Watson, nilai DW statistik berada pada rentang 1,55< DW < 2,46, maka berdasarkan kriteria keputusan uji statistik DW tidak ada autokorelasi pada model. Demikian halnya dengan Model 3. Pada model ini uji asumsi yang didapatkan terbebas dari masalah pelanggaran asumsi. Namun berdasarkan Tabel 5.1 hasil estimasi yang diperoleh, Model 2 menunjukkan hasil yang terbaik. Pertama, sudah terbebas dari permasalahan pelanggaran asumsi. Kedua, bila dilihat dari nilai probabilitas pengujian variabel produksi. Nilai estimasi pada uji variabel produksi dengan pengujian satu arah pada Model 2 memiliki nilai sebesar 0.1138 sehingga signifikan pada taraf nyata 15 persen. Sedangkan pada Model 3, nilai estimasi uji variabel produksi memiliki nilai sebesar 0.4194 yang menunjukkan tidak signifikan pada taraf nyata 15 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Model 2 memiliki hasil estimasi yang lebih baik bila dibandingkan Model 3. Sebagai tambahan pada Model 2 besar R2 dan Adj-R2 memperlihatkan hasil yang tinggi medekati nilai satu.
5.2
Hasil Estimasi dan Interpretasi Model Dari hasil uji kesesuaian model dapat disimpulkan bahwa Model 2 layak
digunakan untuk menjelaskan perilaku hubungan faktor-faktor yang memengaruhi
47
impor garam Indonesia. Pada Tabel 5.1 nilai koefisien harga impor negatif (1.8991) menunjukkan bahwa harga impor berhubungan negatif dengan volume impor garam. Probabalitas sebesar 0,0000 menjelaskan bahwa hubungan ini berpengaruh signifikan. Sehingga membuktikan secara nyata bahwa semakin murah atau rendah harga garam yang diimpor maka volume impor akan semakin meningkat. Dugaan parameter variabel populasi negara pengimpor (Indonesia) memiliki hubungan positif dengan volume impor. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian dimana semakin besar populasi penduduk Indonesia maka semakin besar volume garam yang diimpor. Probabilitas pada variabel ini memiliki nilai sebesar 0,0000 yang kurang dari taraf nyata sepuluh persen. Ini artinya variabel populasi berpengaruh secara nyata terhadap perubahan volume impor garam. Peningkatan volume impor garam dipengaruhi oleh besarnya populasi negara pengimpor. Tabel 5.1 Hasil Pendugaan Parameter Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Garam Indonesia Variable LNPM_2 LNPOP_3 LNKURS_4 LNGDP_5 LNIND_6 LNP_7 Australia India Selandia Baru C R2 Adj-R2 F-statistic DW
Model 1 Coef. Prob*
-1.8666 0.0000 -0.2285 0.4969 1.8864 0.0268 7.9393 0.1088 0.8608 0.0671 -0.0030 0.4816 4.8467 0.0000 2.1391 0.0001 0.3387 0.1260 -112.56 0.4080 0.9774 0.9707 0.0000 1.6776 *Keterangan : Pengujian Satu Arah
Model 2 Coef. Prob*
-1.8991 2.6987
0.0000 0.0000 0.0005
-
-
36.788
1.0993 0.0267 -0.0575 0.1138 4.8093 0.0000 2.0936 0.0001 0.3673 0.1046 -719.1144 0.0000 0.9770 0.9711 0.0000 1.6304
Model 3 Coef. Prob*
-1.8530
0.0000
-
-
1.8736 0.0027 7.7935 0.0000 0.8908 0.0424 -0.0090 0.2097 4.8623 0.0000 2.1580 0.0001 0.3268 0.1370 -115.0023 0.0000 0.9772 0.9713 0.0000 1.6788
Sumber: Lampiran 4
Pada pengujian variabel Produksi Domestik menunjukkan bahwa variabel ini secara signifikan berpengaruh negatif terhadap permintaan impor sebesar -
48
0,0575. Hal ini telah sesuai dengan hipotesis dimana semakin menurun jumlah produksi yang dihasilkan maka permintaan impor semakin meningkat. Variabel Jumlah Industri (pengguna bahan baku garam) Negara Pengimpor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permintaan impor komoditi garam Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh variabel ini. Bisa dilihat pada Tabel 5.1 yang menjelaskan bahwa probabilitasnya mencapai 0,0534 kurang dari taraf nyata sepuluh persen. Selain itu hasil regresi menunjukkan pula bahwa adanya hubungan positif antara jumlah industri Indonesia yang menggunakan bahan baku garam dengan besar volume impor. Ini sesuai dengan hipotesis dimana semakin meningkat jumlah industri maka semakin meningkat pula volume garam yang diimpor. Sementara itu variabel nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar dalam hubungan dengan permintaan impor garam menunjukkan bahwa nilai tukar riil memiliki hubungan positif terhadap peningkatan volume impor dan berpengaruh secara nyata. Hal ini sudah sesuai dengan hipotesis dimana semakin tinggi nilai tukar riil, maka permintaan impor juga semakin besar. Pada pengujian variabel dummy diperoleh hasil dimana dummy negara Australia dan India signifikan berpengaruh secara positif terhadap perubahan permintaan impor garam. Sedangkan dummy negara Selandia Baru tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan permintaan impor. Hal ini menunjukkan bahwa negara Australia dan India mendominasi ekspor komoditi garam ke wilayah Indonesia
49
VI.
6.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kesimpulan pada penelitian ini adalah : 1. Produksi garam negara Indonesia tahun 2001 hingga 2010 mengalami fluktuasi. Namun demikian, tren yang ditunjukkan adalah cenderung menurun. 2. Konsumsi komoditi garam mengalami peningkatan setiap tahunnya. Besarnya tingkat konsumsi garam tidak diiringi dengan besarnya produksi yang dihasilkan. Oleh karena itu untuk menutupi kebutuhan konsumsi diperlukan importasi garam yang memiliki kecenderungan meningkat pula dalam perkembangannya. 3. Variabel harga impor, populasi, kurs riil, produksi, dan jumlah industri pengguna bahan baku garam berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan permintaan impor garam. 4. Dummy negara Australia dan India signifikan berpengaruh secara positif terhadap perubahan permintaan impor garam. Sedangkan dummy negara Selandia Baru tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan permintaan impor.
6.2
Saran Adapun saran pada penelitian ini : 1. Dalam menekan laju peningkatan impor garam maka diperlukan upaya peningkatan produksi garam domestik agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada impor adalah melalui peningkatan luas areal garam dan peningkatan produktivitas agar produksi bisa lebih meningkat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan beberapa program yang dapat menunjang kesejahteraan petani, serta pendampingan kepada petani agar dapat menghasilkan garam yang lebih optimal. Diperlukan pula adanya upaya pensejahteraan serta pemberdayaan petani garam rakyat agar kemudian mendapatkan pengalaman serta pembelajaran untuk
50
menghasilkan garam yang lebih berkualitas serta dalam skala yang besar sehingga kemudian mencapai kemandirian pangan. 2. Adanya kebijakan pemerintah dalam nilai tukar serta harga agar nantinya lebih berpihak ke arah petani. 3. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut komoditi garam secara lebih spesifik terkait pada sisi produksi serta kebijakan harga. 4. Dalam kerangka institusi perapihan secara baik terkait data-data yang mendukung penelitian garam sangat diperlukan untuk mendukung penelitian-penelitian berikutnya.
51
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Nilai Impor Indonesia terhadap Komoditi Garam Berdasarkan Asal Negara Tahun 2007-2011. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Pendapatan Per Kapita Riil 2001-2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Jumlah Industri Tahun 2001-2010 . Badan Pusat Statistik, Jakarta. Baltagi. 2005. Econometric and Analysis of Panel Data 3rd Edition. John Wiley and Sons, Inggris. Basri, F. dan Munandar, H. 2010. Dasar-dasar Ekonomi Internasional : Pengenalan dan Aplikasi Metode Kuantitatif. Kencana, Jakarta. BMKG. 2012. Data Curah Hujan Wilayah Pengamatan Sumenep Tahun 19992011. BMKG, Jakarta. Ditjen PKKP. 2003. Pemberdayaan Garam Rakyat. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Firdaus, M. 2004. Ekonomtrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara, Jakarta. Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zain. [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Hady, H. 2001. Ekonomi Internasional : Teori Kebijakan Perdagangan Internasional. Ghalia Indonesia, Jakarta. Halwani, H. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Ghalia Indonesia, Jakarta. Juanda, B. 2009. Ekonometrika : Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor. Kementerian Perindustrian. 2012. Data Harga Domestik Garam Indonesia Tahun 2001-2010. Kementerian Perindustrian, Jakarta. Kementerian Perindustrian. 2012. Data Harga Impor Garam Indonesia Tahun 2001-2010. Kementerian Perindustrian, Jakarta. Kementerian Perindustrian. 2012. Data Produksi Garam Indonesia Tahun 20012010. Jakarta : Kementerian Perindustrian. Kementerian Perindustrian. 2001-2010. Kementerian Perindustrian, Jakarta.
Data
Impor
Garam
Indonesia.
Kementerian Perindustrian. 2001-2010. Data Konsumsi Garam Indonesia. Kementerian Perindustrian, Jakarta.
52
Kementerian Perindustrian. 2012. Data Luas Lahan Garam Indonesia Tahun 2001-2010. Kementerian Perindustrian, Jakarta. Lindert, P.H. dan Kindleberger, C.P..1995. Ekonomi Internasional 8th Edition. Erlangga, Jakarta. Lipsey, R.G. 1995. Pengantar Mikroekonomi Jilid 1. Alih Bahasa Oleh A. Jaka Wasana dan Kirbrandoko. Binarupa Aksara, Jakarta. Mankiw, N.G. 2006. Teori Makroekonomi. Imam Nurmawan, S.E. [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Parulian, Y. 2008. Tingkat Efisiensi Industri Garam Di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur Tahun 2002-2007. Skripsi. Program Studi Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Peraturan Menteri Perdagangan DAG/PER/9/2005.
Republik
Indonesia
Nomor:
20/M
Peraturan Menteri Perdagangan DAG/PER/10/2007.
Republik
Indonesia
Nomor:
44/M
PKSPL. 2006. Analisis Ekonomi Kelautan dan Arah Kebijakan Pengembangan Jasa Kelautan. IPB, Bogor. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati. 2001. Proceeding: Forum Pasar Garam Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Pusat Survey Sumberdaya Alam Laut. 2011. Informasi Geospasial Lahan Garam Indonesia. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Jakarta. Salvatore, D. 2006. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta. Samuelson, P.A. dan Nordhaus, W.D. 2003. Ilmu Makroekonomi Edisi ke 17. PT Media Global Edukasi, Jakarta. Smith, Michael B dan Merritt R. Blakeslee. 1995. Bahasa Perdagangan. ITB, Bandung. Supranto, J. 2004. Analisis Multivariate: Arti dan Interpretasi. Rineka Cipta, Jakarta. USGS. 2010. Minerals. http://minerals.er.usgs.gov/minerals/pubs/commodity /salt/580497.pdf [29 Agustus 2012) Wahyuni, R.T. 2007.Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Garam Beryodium di Indonesia. Skripsi. Program Studi Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. World Bank. 2001-2010. Data Populasi Indonesia. World Bank, USA. World Integrated Trade Solution. 2012. Import Trade. http://www.wits.org [ 3 Juli 2012]
53
Lampiran 1. Variabel-variabel dalam Model Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Garam Indonesia Negara Australia Australia Australia Australia Australia Australia Australia Australia Australia Australia India India India India India India India India India India Selandia Baru Selandia Baru Selandia Baru Selandia Baru Selandia Baru
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2001 2002 2003 2004 2005
LnVM_1 20.97202 20.86535 20.98105 21.46076 20.9681 21.05254 21.14061 21.09117 21.05302 21.19507 19.07709 19.41349 18.31065 16.78178 18.64391 18.90039 18.72669 19.16762 19.36811 19.93499 11.74404 11.89136 12.41308 12.16525 12.22588
LnPM_2 3.304976 3.21094 3.133785 3.17748 3.449037 3.493944 3.532826 3.808347 4.001082 3.973965 2.941414 2.994336 3.081381 2.884941 3.226866 3.268861 3.271249 3.258097 3.815229 3.868052 5.123964 5.14849 5.173878 5.272839 5.658662
LnPop_3 LnKurs_4 LnGDP_5 LnIND_6 LnP_7 D_1 19.19171 9.474122 14.21815 9.173884 13.81551 1 19.20458 9.280494 14.26019 9.153664 13.90279 1 19.21729 9.157044 14.30476 9.128154 14.11153 1 19.22983 9.164208 14.35155 9.159047 14.13975 1 19.24178 9.18037 14.40403 9.175231 13.95527 1 19.25315 9.031091 14.45412 9.491677 14.0686 1 19.2644 8.995112 14.51205 9.463198 14.11739 1 19.2751 8.998756 14.56631 9.379577 13.997 1 19.28526 9.017001 14.60689 9.374498 14.13105 1 19.29573 8.849599 14.66388 9.345221 10.32876 1 19.19171 9.474122 14.21815 9.173884 13.81551 0 19.20458 9.280494 14.26019 9.153664 13.90279 0 19.21729 9.157044 14.30476 9.128154 14.11153 0 19.22983 9.164208 14.35155 9.159047 14.13975 0 19.24178 9.18037 14.40403 9.175231 13.95527 0 19.25315 9.031091 14.45412 9.491677 14.0686 0 19.2644 8.995112 14.51205 9.463198 14.11739 0 19.2751 8.998756 14.56631 9.379577 13.997 0 19.28526 9.017001 14.60689 9.374498 14.13105 0 19.29573 8.849599 14.66388 9.345221 10.32876 0 19.19171 9.474122 14.21815 9.173884 13.81551 0 19.20458 9.280494 14.26019 9.153664 13.90279 0 19.21729 9.157044 14.30476 9.128154 14.11153 0 19.22983 9.164208 14.35155 9.159047 14.13975 0 19.24178 9.18037 14.40403 9.175231 13.95527 0
D_2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0
D_3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1
54
Selandia Baru 2006 Selandia Baru 2007 Selandia Baru 2008 Selandia Baru 2009 Selandia Baru 2010 China 2001 China 2002 China 2003 China 2004 China 2005 China 2006 China 2007 China 2008 China 2009 China 2010 Keterangan :
12.75881 5.80874 19.25315 9.031091 14.45412 9.491677 14.0686 13.21476 5.787108 19.2644 8.995112 14.51205 9.463198 14.11739 13.63638 5.781319 19.2751 8.998756 14.56631 9.379577 13.997 13.92705 5.799662 19.28526 9.017001 14.60689 9.374498 14.13105 13.87 5.810801 19.29573 8.849599 14.66388 9.345221 10.32876 13.49393 3.882573 19.19171 9.474122 14.21815 9.173884 13.81551 12.92708 4.731086 19.20458 9.280494 14.26019 9.153664 13.90279 13.21404 3.931926 19.21729 9.157044 14.30476 9.128154 14.11153 17.52575 2.770022 19.22983 9.164208 14.35155 9.159047 14.13975 12.10093 5.896204 19.24178 9.18037 14.40403 9.175231 13.95527 12.79388 5.796415 19.25315 9.031091 14.45412 9.491677 14.0686 12.10073 5.819632 19.2644 8.995112 14.51205 9.463198 14.11739 12.13685 5.867116 19.2751 8.998756 14.56631 9.379577 13.997 17.7481 3.90762 19.28526 9.017001 14.60689 9.374498 14.13105 16.81907 3.97606 19.29573 8.849599 14.66388 9.345221 10.32876 LnVM_1 : Logaritma Natural Volume Impor Garam Indonesia (HS 2501) LnPM_2 : Logaritma Natural Harga Impor Garam LnPop_3 : Logaritma Natural Populasi Indonesia (Negara Pengimpor) LnKurs_4 :Logaritma Natural Kurs Riil Indonesia LnGDP_5 : Logaritma Natural Gross Domestic Bruto LnInd_6 : Logaritma Natural Jumlah Industri Berbahan Baku Garam Indonesia LnP_7 : Logaritma Natural Produksi Domestik Indonesia D_1 : Dummy Negara Australia D_2 : Dummy Negara India D_3 : Dummy Negara Selandia Baru
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
55
Lampiran 2. Hasil Estimasi Sum Square pada Model PLS dan FEM Model Estimasi Restricted Sum Square (PLS) Unrestricted Sum Square (FEM)
Model 1
Model 2
Model 3
33.65958
34.31119
33.95001
33.65958
34.31119
33.95001
56
Lampiran 3. Hasil Uji Normalitas 8
Series: Standardized Residuals Sample 2001 2010 Observations 40
7 6 5 4 3 2 1
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-1.52e-14 0.052479 1.548289 -2.409856 0.929014 -0.295784 2.502547
Jarque-Bera Probability
0.995686 0.607840
0 -2
-1
0
1
Gambar 1. Hasil Uji Normalitas Model 1
6
Series: Standardized Residuals Sample 2001 2010 Observations 40
5
4
3
2
1
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-8.97e-13 0.105162 1.596571 -2.473815 0.937963 -0.223673 2.552294
Jarque-Bera Probability
0.667598 0.716198
0 -2
-1
0
1
Gambar 2. Hasil Uji Normalitas Model 2
7
Series: Standardized Residuals Sample 2001 2010 Observations 40
6 5 4 3 2 1 0 -2
-1
0
1
Gambar 3. Hasil uji Normalitas Model 3
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
1.40e-13 0.023964 1.525847 -2.407716 0.933013 -0.304338 2.482503
Jarque-Bera Probability
1.063815 0.587483
57
Lampiran 4. Hasil Estimasi Parameter Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Garam Indonesia Model 1 Dependent Variable: LNVM_1 Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 01/02/13 Time: 22:54 Sample: 2001 2010 Periods included: 10 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 40 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPM_2 LNPOP_3 LNKURS_4 LNGDP_5 LNIND_6 LNP_7 D_1 D_2 D_3 C
-1.866600 -0.228543 1.886434 7.939368 0.860810 -0.003033 4.846787 2.139129 0.338771 -112.5646
0.193504 29.20384 0.938822 6.302611 0.559191 0.065138 0.356835 0.474626 0.290016 479.6250
-9.646319 -0.007826 2.009362 1.259695 1.539384 -0.046568 13.58272 4.506980 1.168112 -0.234693
0.0000 0.9938 0.0536 0.2175 0.1342 0.9632 0.0000 0.0001 0.2520 0.8160
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.977491 0.970738 1.059238 144.7529 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
58.78653 29.72653 33.65958 1.677640
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.969588 15.81983
Mean dependent var Durbin-Watson stat
16.69528 1.623010
58
Model 2 Dependent Variable: LNVM_1 Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 01/02/13 Time: 17:53 Sample: 2001 2010 Periods included: 10 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 40 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPM_2 LNPOP_3 LNKURS_4 LNIND_6 LNP_7 D_1 D_2 D_3 C
-1.899160 36.78849 2.698754 1.099334 -0.057537 4.809367 2.093648 0.367381 -719.1144
0.186932 4.268779 0.751032 0.547504 0.046743 0.352173 0.469381 0.286461 87.03723
-10.15961 8.618036 3.593394 2.007902 -1.230925 13.65628 4.460440 1.282484 -8.262148
0.0000 0.0000 0.0011 0.0534 0.2276 0.0000 0.0001 0.2092 0.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.977059 0.971139 1.052052 165.0381 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
56.86277 26.24696 34.31119 1.630402
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.969488 15.87145
Mean dependent var Durbin-Watson stat
16.69528 1.584421
59
Model 3 Dependent Variable: LNVM_1 Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 12/17/12 Time: 14:34 Sample: 2001 2010 Periods included: 10 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 40 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPM_2 LNKURS_4 LNGDP_5 LNIND_6 LNP_7 D_1 D_2 D_3 C
-1.853051 1.873673 7.793587 0.890830 -0.009047 4.862357 2.158054 0.326866 -115.0023
0.199622 0.625746 0.887664 0.500134 0.044137 0.361269 0.479655 0.293491 17.47611
-9.282785 2.994301 8.779881 1.781184 -0.204973 13.45910 4.499181 1.113719 -6.580541
0.0000 0.0054 0.0000 0.0847 0.8389 0.0000 0.0001 0.2740 0.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.977263 0.971396 1.046500 166.5552 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
59.36678 34.34884 33.95001 1.678896
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.969635 15.79535
Mean dependent var Durbin-Watson stat
16.69528 1.630205