ANALISIS RESIDU HORMON MELENGESTROL ASETAT DALAM DAGING SAPI YANG DIIMPOR DARI AUSTRALIA DAN SELANDIA BARU MELALUI PELABUHAN LAUT TANJUNG PRIOK
PLATIKA WIDIYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Residu Melengestrol Asetat dalam Daging Sapi yang Diimpor dari Australia dan Selandia Baru melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2012 Platika Widiyani NIM B251100164
ABSTRACT PLATIKA WIDIYANI. Analysis of Melengestrol Acetate Hormone Residue in Imported Meat from Australia and New Zealand through Tanjung Priok Port. Under direction of HADRI LATIF and AGATHA WINNY SANJAYA Melengestrol acetate (MGA) is an orally active progestational steroid used to improve weight gain, feed conversion efficiency, promote growth, and suppress oestrus in beef heifers. The use of MGA can leave residue in meat and may caused carcinogenic effects. The objectives of this research were to detect MGA residue in imported meat, and to analyze the presence of the MGA residue in imported meat from Australia and New Zealand. Sample size was calculated using the formula according to Canon and Roe (1982) cited by Martin et al. (1987) and selected by random sampling. All samples were analyzed using enzym linked immunosorbent assay (ELISA). The test showed that 6 out of 59 samples (10.17%) contained MGA residues in imported meat from Australia, while 2 out of 59 samples (3.39%) contained MGA residues in imported meat from New Zealand. The result showed that MGA mean concentrations in imported meat from Australia and from New Zealand were 0.256 ± 0.018 ppb and 0.315 ± 0.006 ppb. Concentration of MGA in imported meat from Australia and New Zealand did not differ (p>0,05). MGA concentrations in imported meat from Australia and New Zealand were lower than the maximum residue level (MRL) according to the Indonesian National Standard. Keyword : melengestrol acetate, residue, imported meat, ELISA
RINGKASAN PLATIKA WIDIYANI. Analisis Residu Hormon Melengestrol Asetat dalam Daging Sapi yang Diimpor dari Australia dan Selandia Baru melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan AGATHA WINNY SANJAYA. Daging merupakan produk pangan dengan kandungan gizi tinggi. Kebutuhan daging sapi di Indonesia masih belum dapat terpenuhi dari produksi dalam negeri, dan untuk mengatasi kekurangan daging masih mengimpor dari beberapa negara, antara lain Australia dan Selandia Baru. Berdasarkan laporan tahunan Balai Besar Pertanian Tanjung Priok diperoleh data bahwa volume pemasukan daging pada tahun 2010 dari Australia dan Selandia Baru masingmasing sebesar 55 415.4 ton dan 38 672.7 ton. Kedua negara tersebut memperbolehkan penggunaan hormon pertumbuhan pada ternak yang dapat mengakibatkan residu hormon dalam daging. Pemberian hormon sintetik pada sapi harus mengikuti aturan atau protokol pemberian, baik dosis maupun lama penggunaannya, sebab jika diberikan secara tidak tepat dan terus menerus dapat meninggalkan residu pada organ atau jaringan hewan pada saat dipotong. Pengawasan terhadap keberadaan residu hormon dalam makanan merupakan faktor yang penting bagi keamanan pangan asal hewan mengingat berbagai efek yang merugikan dari penggunaan hormon diantaranya efek karsinogenik, toksik maupun alergi. Keamanan pangan asal hewan dan produknya sudah seharusnya diperhatikan guna menjamin kesehatan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan membandingkan kandungan residu hormon melengestrol asetat (MGA) dalam daging sapi yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru. Manfaat penelitian ini adalah tersedianya data dan informasi tentang keberadaan dan tingkat residu hormon MGA pada daging sapi yang berasal dari Australia dan Selandia Baru. Tersedianya data tersebut sekaligus dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyempurnaan regulasi tindakan karantina di tempat pemasukan yang telah ditetapkan secara resmi oleh pemerintah. Hipotesis dari penelitian ini adalah daging sapi yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru tidak mengandung residu hormon melengestrol asetat serta tidak adanya perbedaan kandungan hormon melengestrol asetat pada daging sapi yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru Jumlah sampel dihitung menggunakan rumus deteksi penyakit (detect disease) yang ditetapkan oleh Martin et al. (1987) yaitu n = [1- (1-a) 1/D] [N-(D-1)/2] dan dengan perangkat Win Episcop 2.0 didapatkan sampel sebesar 59 sampel untuk masing-masing negara. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana hingga jumlah sampel terpenuhi. Sampel daging yang diambil merupakan daging sapi tanpa tulang. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode enzyme linked immuno assay (ELISA). Data dari penelitian ini dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui kandungan hormon MGA, serta untuk mengetahui perbedaan kandungan hormon MGA di kedua negara menggunakan uji t dan uji proporsi.
Proporsi jumlah sampel positif mengandung MGA yang berasal dari Australia adalah sebesar 6 dari 59 sampel (10.17%) dan 2 dari 59 sampel (3.39%) mengandung hormon MGA dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru. Rataan konsentrasi residu MGA dalam daging yang berasal dari Australia sebesar 0.256 ± 0.018 ppb sedangkan sampel yang berasal dari Selandia Baru sebesar 0.315 ± 0.006 ppb. Tidak terdapat perbedaan kandungan hormon MGA (p>0.05) pada sampel daging yang berasal dari Australia dan Selandia Baru. Kandungan hormon MGA yang didapatkan dari penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan batas maksimum residu yang ditetapkan oleh BSN dalam SNI 01-63662000 yaitu sebesar 25 ppb. Hasil positif pada sampel yang berasal dari Australia dan Selandia Baru mengindikasikan terdapat kemungkinan bahwa daging tersebut berasal dari sapisapi telah diberikan imbuhan pakan yang mengandung MGA atau diberikan terapi dengan menggunakan hormon progesteron maupun hormon sintetik progesteron lainnya. Imbuhan pakan yang mengandung MGA dapat diberikan dalam jangka pendek sebelum pengiriman ataupun sebelum sapi dipotong. Hasil pengujian residu hormon MGA lebih rendah dari batas maksimal residu MGA mengindikasikan penggunaan MGA di negara asal telah mengikuti protokol withdrawal time yang telah ditetapkan yaitu 48 jam sebelum pemotongan. Badan Karantina Pertanian sebagai institusi terdepan dalam pengawasan pemasukan komoditi impor perlu menyempurnakan kebijakan pengujian terhadap bahan pangan yang masuk ke Indonesia demi mencegah masuknya bahan pangan yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Berdasarkan keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian nomor 513.a/Kpts/OT.210/L/12/2008 tentang manual pengujian residu hormon pada pangan segar asal hewan, keputusan tersebut hanya berupa acuan bagi petugas karantina hewan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan keamanan pangan dan memberikan pedoman dalam melakukan pengujian pangan asal hewan terhadap kemungkinan adanya residu hormon dan belum ditetapkan menjadi persyaratan wajib dilakukan pengujian hormon. Adanya hasil sampel daging yang positif mengandung MGA pada penelitian ini dapat menjadi informasi penting tentang perlunya pengawasan yang ketat terhadap daging maupun produk pangan yang diimpor, serta pengujian residu hormon perlu ditetapkan sebagai suatu kewajiban atau persyaratan mutlak untuk dilakukan secara rutin di tiap-tiap UPT karantina yang menjadi tempat pemasukan daging impor. Kata kunci : melengestrol asetat, residu, daging sapi impor, ELISA
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS RESIDU HORMON MELENGESTROL ASETAT DALAM DAGING SAPI YANG DIIMPOR DARI AUSTRALIA DAN SELANDIA BARU MELALUI PELABUHAN LAUT TANJUNG PRIOK
PLATIKA WIDIYANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si.
Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Analisis Residu Hormon Melengestrol Asetat dalam Daging Sapi yang Diimpor dari Australia dan Selandia Baru melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok Platika Widiyani B251100164
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Hadri Latif, M.Si. Ketua
Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si.
Tanggal Ujian :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2011 sampai dengan Maret 2012 adalah Analisis Residu Hormon Melengestrol Asetat dalam Daging Sapi yang Diimpor dari Australia dan Selandia Baru melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok. Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menempuh pendidikan S2. Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Dr. drh. Hadri Latif, M.Si dan ibu Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, M.S selaku komisi pembimbing atas segala dukungan, bimbingan dan arahan terhadap penelitian dan penulisan tesis. Penulis sampaikan terima kasih kepada bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, bapak drh. Chaerul Basri, M.Epid selaku Manajer Kelas Khusus Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ibu Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si serta bapak Agus Haryanto S.E yang telah membantu kelancaran studi ini. Selain itu, terima kasih penulis ucapkan kepada bapak drh.Sujarwanto, MM (Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani), drh. Bambang Erman (Kepala Bidang Keamanan Hayati Hewani), drh. Muhlis Natsir, M.Si (Kepala Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Parepare), bapak drh. Agus Sunanto, M.P (Kepala BBKP Tanjung Priok) yang telah banyak memberikan fasilitas, kemudahan dan saran. Terima kasih juga kepada rekan-rekan kelas khusus karantina hewan atas kebersamaan dan kerjasamanya selama ini. Akhirnya terima kasih yang dalam kepada bapak, ibu dan ibu mertua atas segala doa. Suamiku tercinta, anakku Abyasa atas segala pengertian, kesabaran, doa dan kasih sayangnya. Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua. Harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk mendukung kegiatan karantina di Indonesia.
Bogor,
Juni 2012
Platika Widiyani
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 10 September 1981 dari ayah Eko Budi Supriyanto dan ibu Wiwik Listyowati. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh penulis pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, lulus pada tahun 2006. Setelah lulus dari FKH Airlangga, penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil pada Badan Karantina Pertanian, dan ditempatkan di Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Parepare. Setelah dua tahun bertugas di Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Parepare, penulis dimutasi ke Badan Karantina Pertanian, pada tanggal 30 Januari 2011. Tahun 2010, penulis mendapat beasiswa dari Badan Karantina Pertanian untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
xix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xxi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xxiii
PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................................... Rumusan Masalah ................................................................................ Tujuan Penelitian ................................................................................. Manfaat Penelitian ............................................................................... Hipotesis Penelitian .............................................................................
1 2 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Daging .................................................................................................. Hormon ................................................................................................ Hormon Melengestrol Asetat ............................................................... Farmakokinetik dan Biotransformasi Melengestrol Asetat .................. Penggunaan Melengestrol Asetat di Negara Eksportir Daging ............ Dampak Residu Hormon bagi Manusia ............................................... Dampak Residu Hormon bagi Hewan .................................................. Melengestrol Asetat sebagai Kontrasepsi ............................................. Batas Residu Melengestrol Asetat ....................................................... Penetapan Acceptable Daily Intake dan Batas Maksimum Residu ...... Metode Deteksi Residu Hormon ..........................................................
5 6 8 10 11 13 14 15 15 16 17
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. Bahan dan Alat .................................................................................... Metode Pengambilan Sampel ............................................................... Metode Pengujian ................................................................................. Analisis Data .......................................................................................
21 21 21 22 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Residu Melengestrol Asetat dalam Daging yang Berasal dari Australia ............................................................................................... Residu Melengestrol Asetat dalam Daging yang Berasal dari Selandia Baru ........................................................................................ Perbandingan Residu Melengestrol Asetat dalam Daging yang Berasal dari Australia dan Selandia Baru ............................................. Bahaya Residu Hormon dalam Daging Sapi Impor Terhadap Kesehatan Masyarakat ..........................................................................
26 27 28 30
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan .............................................................................................. Saran ....................................................................................................
33 33
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
35
LAMPIRAN ..................................................................................................
43
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Data impor daging sapi melalui Pelabuhan Tanjung Priok Tahun 2009-2010 ..................................................................................
6
2 ......................................................................................................... Pengg olongan hormon alami dan hormon sintetik ........................................ 8 3
4
Batas maksimum residu melengestrol asetat pada pangan segar asal hewan.............................................................................................
16
Perhitungan sampel berdasarkan data daging sapi yang diimpor Melalui Pelabuhan Tanjung Priok tahun 2010 .....................................
22
5 ......................................................................................................... Hasil pengujian MGA dalam daging yang diimpor dari Australia ............... 26 6 ......................................................................................................... Hasil pengujian MGA dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru ........................................................................................ 27 7 ......................................................................................................... Perban dingan keberadaan residu MGA dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru ............................................ 28
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Struktur dasar hormon steroid .............................................................
7
2
Struktur kimia melengestrol asetat, chlormadinone asetat, megestrol asetat, medroksiprogesteron asetat dan 17α-hidroksiprogesteron asetat .............................................................
9
3
Kurva standar ELISA untuk hormon MGA ...........................................
25
4
Struktur kimia hormon progesteron dan melengestrol asetat ...............
30
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Hasil pengujian sampel daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru .................................................................................
45
2
Gambar pengambilan sampel daging.....................................................
47
3
Gambar ekstraksi sampel ......................................................................
48
4
Gambar evaporasi dan clean up sampel ................................................
49
5
Gambar pengujian MGA dengan metode ELISA ..................................
50
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kesadaran konsumen terhadap kualitas dan keamanan pangan yang semakin meningkat serta penerapan sistem perdagangan bebas, mendorong setiap negara untuk memberlakukan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan, khususnya pangan asal hewan (daging dan jeroan). Faktor keamanan pangan tidak hanya ditentukan oleh tingkat cemaran mikrobanya, tetapi juga tingkat residu hormon yang terkandung dalam bahan pangan asal hewan (Rasyid 2010). Setiap tahunnya dibutuhkan sebanyak 480 000 ton daging untuk memenuhi konsumsi nasional. Pada tahun 2010 produksi daging sapi dalam negeri hanya mampu memenuhi kebutuhan permintaan sebesar 435 300 ton, sehingga terdapat kekurangan ketersediaan daging sebesar 44 700 ton (Ditjennak 2010). Permintaan akan daging sapi yang belum dapat dipenuhi oleh produksi lokal mengharuskan pemerintah melakukan kebijakan impor daging. Daging yang diimpor umumnya berasal dari Australia dan Selandia Baru. Berdasarkan laporan tahunan Balai Besar Pertanian Tanjung Priok diperoleh data bahwa volume pemasukan daging pada tahun 2010 dari Australia dan Selandia Baru masingmasing sebesar 55 415.4 ton dan 38 672.7 ton (BBKP Tanjung Priok 2010). Daging impor berisiko mengandung bahaya kimiawi yang berbahaya bagi kesehatan manusia, termasuk residu hormon. Hal ini disebabkan karena daging sapi yang diimpor berasal dari negara-negara yang memperbolehkan penggunaan hormon sintetik sebagai pemacu pertumbuhan. Pemberian hormon sintetik pada sapi harus mengikuti aturan atau protokol pemberian, baik dosis maupun lama penggunaannya, sebab jika diberikan secara tidak tepat dan terus menerus dapat meninggalkan residu pada organ atau jaringan hewan pada saat dipotong (Naume et al. 2001). Pengawasan terhadap keberadaan residu hormon dalam makanan merupakan faktor yang penting bagi keamanan pangan asal hewan mengingat berbagai efek yang merugikan dari penggunaan hormon yang tidak sesuai aturan pemberian, diantaranya efek karsinogenik, toksik maupun alergi. Beberapa hormon dapat mempengaruhi keseimbangan fungsi alami hormonal pada manusia dan hewan (Maravelias et al. 2005; Mahgoub et al. 2006).
2
Rumusan Masalah Produksi daging di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga masih harus mengimpor dari beberapa negara. Australia, Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Kanada merupakan negara pengekspor daging sapi ke Indonesia yang menggunakan 6 jenis hormon yaitu 3 jenis hormon steroid yang berasal dari alam (17β-estradiol, progesteron dan testosteron) dan 3 jenis hormon sintetik yaitu trenbolon asetat (sintetik androgen/testosteron), melengestrol asetat (sintetik progesteron), dan zeranol (sintetik estrogen) sebagai pemacu pertumbuhan pada sapi (Toews dan McEwen 1994). Dokumen daging impor tidak mencantumkan hasil pengujian residu hormon dari negara pengekspor maupun keterangan penggunaan jenis hormon pada masa pemeliharaan. Keberadaan hormon, termasuk hormon melengestrol asetat (MGA), dapat menjadi ancaman keamanan pangan asal hewan khususnya daging, sehingga pengujian terhadap keberadaan MGA sudah seharusnya menjadi perhatian dalam menjamin keamanan pangan asal hewan yang diimpor dari negara lain.
Tujuan Tujuan dari penelitian adalah menganalisis dan membandingkan kandungan residu hormon MGA dalam daging sapi yang berasal dari Australia dan Selandia Baru.
Manfaat Manfaat penelitian ini adalah tersedianya data dan informasi tentang keberadaan dan tingkat residu hormon MGA pada daging sapi yang berasal dari Australia dan Selandia Baru. Tersedianya data tersebut sekaligus dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyempurnaan regulasi tindakan karantina di tempat pemasukan yang telah ditetapkan secara resmi oleh pemerintah.
3
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah 1.
H0 : Daging sapi yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru tidak mengandung residu hormon melengestrol asetat. H1 : Daging sapi yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru mengandung residu hormon melengestrol asetat.
2.
H0 : Tidak adanya perbedaan kandungan hormon melengestrol asetat pada daging sapi yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru. H1 : Terdapat perbedaan kandungan hormon melengestrol asetat pada daging sapi yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru.
4
5
TINJAUAN PUSTAKA Daging Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan sembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Temasuk dalam definisi tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi (edible offals), sedangkan offal adalah seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain karkas, yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala, ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing dan alat reproduksi (Lukman et al. 2007). Daging merupakan sumber pangan penting bagi manusia yang memiliki nilai gizi tinggi dan kaya akan protein, energi, vitamin serta mineral. Komposisi nilai protein, lemak, karbohidrat dan mineral pada daging masing-masing secara berurutan sebesar 19%, 2.5%, 1.2% dan 0.65% (Soeparno 2005; Mahgoub et al. 2006). Nilai gizi yang lengkap dan seimbang pada daging mengakibatkan tingginya angka konsumsi daging di masyarakat. Data Direktorat Jenderal Peternakan menunjukkan volume impor ternak dan hasil ternak mengalami peningkatan. Impor sapi bakalan pada tahun 2007 mencapai 414 200 ekor, tahun 2008 sebesar 570 100 ekor dan tahun 2009 sebesar 657 300 ekor. Impor daging sapi pada tahun 2007 mencapai 39 400 ton, tahun 2008 sebesar 45 708 ton dan tahun 2009 sebesar 67 908 ton (Ditjennak 2010). Impor daging sapi melalui pelabuhan laut Tanjung Priok pada tahun 2010 berasal dari Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat secara berturut-turut sebesar 55 415.4 ton, 335.76 ton, 38 672.7 ton, dan 4 837.8 ton (BBKP Tanjung Priok 2010). Volume dan frekuensi impor daging sapi yang melalui pelabuhan Tanjung Priok disajikan pada Tabel 1.
6
Tabel 1 Data impor daging sapi melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok tahun 2009-2010. Tahun 2009 No
Negara
Volume (kg)
Tahun 2010
Frekuensi
Volume (kg)
Frekuensi
1
Australia
53 865 663
6 366
55 415 399
7 706
2
Selandia Baru
28 329 265
5 981
38 672 695
8 463
3
Kanada
503. 93
21
355 7 65
15
4
USA
214.478
28
4 837 831
370
82 912. 99
12 396
99 281 690
16 554
Jumlah
Sumber : BBKP Tanjung Priok 2010. Hormon Kata hormon berasal dari bahasa Yunani yang berarti menimbulkan atau membangkitkan. Hormon adalah suatu zat kimia yang bertugas membawa pesan (chemical messenger), disekresikan oleh jaringan dalam jumlah yang sangat kecil dan dibawa oleh darah menuju target jaringan untuk merangsang aktivitas biokimia atau fisiologis yang khusus (Lehninger 1993). Murray et al. (2003) membagi hormon berdasarkan komposisi kimia menjadi dua yaitu hormon glikoprotein dan steroid. Hormon glikoprotein dihasilkan oleh neurohipofisa, adenohipofisa, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, dan pulau Langerhans. Hormon ini tersusun dari asam amino, dan produksinya bergantung pada substrat, suplai energi serta rangsangan biologis. Hormon glikoprotein merupakan hormon molekul hidrofilik yang berikatan dengan reseptor pada permukaan sel target. Berbagai macam hormon glikoprotein yaitu insulin (polipeptida), glukagon (peptida), growth hormon (peptida), thyroid stimulating hormon (glikoprotein), follicle stimulating hormon (glikoprotein), dan adenocorticotropic hormon (peptida). Hormon steroid terbagi menjadi hormon steroid kelamin (estrogen, progestin dan androgen) dan steroid adrenal (glukokortikoid, mineralkortikoid, dan androgen). Hormon steroid dapat menstimulasi laju pertambahan berat badan, pertumbuhan otot, meningkatkan efisiensi pakan, dan menurunkan perlemakan,
7
termasuk lemak intramuskular (Murray et al. 2003; Nazli et al. 2005). Terdapat berbagai jenis hormon steroid yang umumnya digunakan sebagai pemacu pertumbuhan, yaitu estrogen (estradiol, heksoestrol, dietilstilbestrol, dienoestrol dan zeranol), gestagen (progesteron, medroksiprogesteron asetat, megoestrol asetat, melengestrol asetat, altrenogest), dan androgen (testosteron, nortestosteron, trenbolon, metiltestosteron, klorotestosteron asetat, stanzolol, bodenan) (Soeparno 2005; Murray et al. 2003). Hormon steroid memiliki struktur kimia yang kompleks, mempunyai kerangka karbon berupa empat cincin yang disebut staeran, serta memiliki inti dasar
cyclopentana-perhydrophenanthrene
yang
terdiri
dari
3
cincin
phenantherene (A, B, dan C) dengan 6 atom karbon dan cincin D beranggotakan 5 atom karbon (Murray et al. 2003). Struktur dasar hormon steroid disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur dasar steroid secara umum.
Hormon steroid bersifat hidrophobik atau lipofilik, molekul hormon berdifusi secara bebas masuk sel target yang mengandung sitoplasmik ataupun nukleus protein yang bertindak sebagai reseptor hormon. Melengestrol asetat termasuk hormon steroid non alami, yang merupakan bahan asing bagi tubuh, sedangkan progesteron termasuk hormon steroid yang diproduksi secara alami oleh tubuh (Murray et al. 2003). Santoso (2001) menggolongkan hormon menjadi 3, yaitu hormon seksual alami, steroid anabolik sintetik dan anabolik sintetik tanpa struktur steroid. Hormon seksual alami secara normal ada dalam tubuh, contohnya 17β estradiol (estrogen), progesteron (progestin) dan testosteron (androgen). Hormon steroid anabolik sintetik, antara lain trenbolon, metiltestosteron dan etinil estradiol,
8
sedangkan hormon anabolik sintetik tanpa struktur steroid seperti dietilstilbestrol (DES), stilbestrol, diebestrol, heksestrol, dan zeranol. Penggolongan hormon alami dan hormon sintetik disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Penggolongan hormon alami dan hormon sintetik Hormon alami
Hormon sintetik
Testosteron
Trenbolon asetat
Estrogen
Zeranol
Progesteron
Melengestrol asetat Hormon Melengestrol Asetat
Melengestrol asetat (MGA) merupakan hormon sintetik anabolik steroid yang digunakan sebagai pemacu pertumbuhan dan menekan estrus pada penggemukan
sapi
dara
di
peternakan
(Ducket
dan
Andrae
2000;
Schiffer et al. 2001). Terapi MGA sering digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan, dikarenakan sapi potong betina memiliki tingkat pertumbuhan dan tingkat efisiensi pakan yang lebih rendah dibandingkan dengan pejantan (Cook et al. 2001). Efek penggunaan MGA dapat menyebabkan penambahan jaringan otot pada sapi potong (Ducket dan Andrae 2000; Schiffer et al. 2001). Beberapa negara pengekspor daging menggunakan MGA sebagai bahan imbuhan pakan pada sapi dara, seperti di Amerika Serikat dan Kanada (USFDA 2006). Sebagian besar steroid anabolik sintetik memiliki metabolisme yang kurang baik dan berbeda dengan hormon steroid alam, sehingga tersimpan dalam keadaan tidak berubah dalam hati, ginjal, otot, dan lemak hewan. Meskipun pada manusia sebagian besar dikeluarkan melalui urin (Lekic et al. 2007). Mekanisme hormon MGA belum diketahui dengan jelas, namun MGA dapat merangsang sintesis ovarium dari anabolik steroid estradiol (WHO 2009). Melengestrol asetat sebagai sintetik progestogen, memiliki kemampuan untuk menstimulasi anabolik steroid lain seperti estradiol dan meningkatkan efisiensi produksi hewan. Sintetik progesteron lain yang sering digunakan pada peternakan sapi sebagai pemacu pertumbuhan yaitu chlormadinone asetat (CMA), megestrol asetat (MEGA), medroksiprogesteron asetat (MPA) dan 17 α -hidroksiprogesteron
9
asetat. Struktur dari keempat progestogen tersebut sangat mirip kecuali terdapat perubahan pada rantai C6 (Peng et al. 2008b). Struktur kimia MGA, CMA, MEGA dan MPA disajikan pada Gambar 2. H3C CH3
H
O
CH3
O O CH3
CH3
CH3
H3C
CH3
O
CH3
H
O
O
CH3
Cl
(a) Melengestrol asetat
(b) Chlormadinone asetat
H3C
H3C
O
O
CH3
CH3
OCOCH3
OCOCH3
CH3
CH3
O
O
CH3
CH3
(c) Megestrol asetat
(d) Medroksiprogesteron asetat
H3C CH3
O OCOCH3
CH3
O
(e) 17α-hidroksiprogesteron asetat Gambar 2 Struktur kimia melengestrol asetat, chlormadinone asetat, megestrol asetat, medroksiprogesteron asetat, dan 17α-hidroksiprogesteron asetat.
10
Potensi bioaktivitas meningkat 10-100 kali lebih tinggi bila pemberian MGA dilakukan peroral dibandingkan dengan chlormadinone asetat (CMA) ataupun medroksiprogesteron asetat (MPA), sedangkan pemberian secara parenteral memberikan aktivitas hormon MGA 125 kali lebih tinggi daripada progesteron. Melengestrol asetat memiliki sifat sangat lipofilik sehingga terakumulasi dalam lemak 200 kali lipat lebih tinggi daripada di dalam plasma darah. Melengestrol asetat juga sangat stabil dalam cairan pelarut (WHO 2009). Tingkat clearance MGA sangat dipengaruhi oleh tingkat clearance saluran pencernaan dan komposisi tubuh dari hewan (Daniel et al. 2001). Asupan MGA sangat bervariasi antar hewan kemungkinan dikarenakan adanya hasil clearance sirkulasi metabolik dari MGA yang berbeda-beda antar individu. Afinitas reseptor progesteron lebih besar pada MGA dan MGA mampu menghambat ovulasi pada konsentrasi rendah, sedangkan pada konsentrasi tinggi MGA juga menunjukkan aktivitas estrogen (Perry et al. 2005). Selain pemberian MGA secara oral, penggunaan MGA secara implan selama 14 hari menunjukkan adanya perkembangan rahim, peningkatan sekresi luteinizing hormon dan superovulasi pada masa pubertas (Roberts 2000). Luteinizing Hormon (LH) adalah hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus dan memiliki fungsi mengatur produksi hormon kelamin (gonadotropin), termasuk hormon glikoprotein dengan berat molekul 2,8 x 104 yang tersusun dari 2 sub unit α dan β. Mekanisme kerja LH dengan memacu ovulasi, pembentukan korpus luteum dan memproduksi progesteron (Montgomery et al. 1993). Peningkatan ovulasi di masa pubertas dirangsang oleh sekresi LH, melalui penurunan umpan balik negatif estradiol di hipotalamus yang diperlukan untuk perkembangan folikel pada tahap preovulasi sapi dara (Roberts 2000).
Farmakokinetik dan Biotransformasi Melengestrol Asetat Terapi MGA pada sapi betina menyebabkan peningkatan pelepasan LH secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa MGA menghambat siklus LH dan bersinergis dengan FSH untuk memproduksi estrogen. Melengestrol asetat tidak
11
memiliki aktivitas androgenik dan hanya sedikit memiliki aktivitas estrogenik (Stephany 2010). Waktu paruh MGA yang diberikan secara oral diperkirakan sebesar 3.5 hari dengan dosis 3-5 mg pada wanita. Metabolisme MGA relatif lebih cepat dibandingkan dengan hormon lainnya. Sebanyak 74% MGA diekresikan dalam urin dan feses. Dua bentuk metabolit MGA yg dapat teridentifikasi dalam urin dan feses adalah derivat 2α-hidroksi dan 6-hidroksimetil. Konsentrasi MGA di lemak dapat mencapai <25 ppb. Efek MGA dapat memblokir ovulasi dan siklus menstrusi maupun siklus estrus pada wanita. Melengestrol asetat juga memiliki kemampuan untuk meningkatkan konsentrasi prolaktin dalam serum tikus yang diberikan imbuhan pakan MGA sebesar 0.2-0.8 mg/hari. Pemberian MGA pada wanita dapat mengakibatkan penundaan onset menstruasi bila diberikan dengan dosis 7.5-10 mg/hari. Dosis minimal efektif MGA bagi wanita adalah sebesar 0.7 mg. Konsentrasi MGA dan metabolitnya paling banyak ditemukan di hati. Studi pada sapi betina bunting yg diberikan pakan MGA sebanyak 0.4 mg/ekor/hari menunjukkan konsentrasi MGA antara 10-20 ppb dalam lemaknya (SCVPH 1999).
Penggunaan Melengestrol Asetat di Negara Eksportir Daging Berdasarkan laporan, sebanyak 30 negara menggunakan satu atau lebih hormon implan maupun dalam bentuk bahan imbuhan pakan untuk meningkatkan pertumbuhan ternak, seperti di Amerika Serikat, Australia dan Kanada. Pemberian hormon yang berisi progesteron pertama kali digunakan tahun 1956 untuk meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan dan mengurangi lemak pada karkas sapi. Penggunaan MGA secara oral dapat meningkatkan marbling karkas atau menambah kandungan lemak karkas di sapi dara. Selanjutnya dikembangkan implant lain dengan kandungan testosteron, zeranol, trenbolon dan kombinasi dengan hormon MGA. Saat ini terdapat 5 hormon (progesteron, testosteron, estradiol 17, zeranol dan trenbolone) yang disetujui sebagai implan pada sapi di Amerika Serikat dan 1 hormon (melengestrol asetat) sebagai bahan imbuhan pakan (Stephany 2010).
12
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh USFDA pada tahun 1999 sebesar 97% sapi potong di Amerika Serikat menerima sedikitnya satu macam terapi hormon selama masa pemeliharan, misalnya hormon estrogen atau androgenik lain (USFDA 2003). Selain Amerika Serikat, Kanada menerapkan pemberian hormon MGA sebagai tambahan pakan dalam bentuk premiks di peternakanpeternakan sapi potong. Laporan badan inspeksi pangan Kanada menunjukkan bahwa 6 dari 7.697 sampel daging sapi positif mengandung MGA (CFIA 2011). Acceptable daily intake (ADI) dari estradiol, progesteron, dan testosteron secara berturut-turut adalah 0.05, 30 dan 2 μg/kg berat badan (Doyle 2000), sedangkan ADI bagi MGA adalah 0-0.03 μg/kg berat badan (CAC 2009). Dosis MGA yang diperbolehkan pada penggemukan sapi adalah 0.25-0.50 mg/ekor per hari dengan masa henti obat (withdrawal time) 48 jam setelah pemberian terakhir. Umumnya MGA diberikan pada akhir periode penggemukan sapi (90-150 hari). Toleransi terhadap MGA ditetapkan sebesar 25 ppb dalam daging hewan (FDA 2000; WHO 2009). Salah satu kekurangan penggunaan MGA adalah MGA harus diberikan selama 14 hari dan terdapat kesulitan untuk memastikan keseragaman dalam konsumsi MGA pada sapi-sapi di peternakan bila diberikan secara per oral (Funston et al. 2001). Schiffer et al. (2001) melaporkan bahwa MGA dapat ditemukan atau diukur dalam feses sapi yang telah diberikan bahan imbuhan pakan. Delapan puluh enam persen hasil metabolit MGA dikeluarkan bersama feses. Studi pada ternak menunjukkan bahwa residu MGA terbanyak terdapat pada hati dan lemak sebesar 80% kemudian di otot sebesar 45%. Analisa residu hormon MGA pada 258 ekor sapi yang diberikan MGA dan tanpa withdrawal time menunjukkan hasil konsentrasi residu sebesar < 10 ppb pada 216 ekor, 35 ekor diantaranya mengandung residu 10-25 ppb dan 7 ekor sapi mengandung residu lebih dari 25 ppb (Hoffman dan Evers 1986). Penggunaan hormon sebagai growth promotor ataupun sebagai terapi telah dilarang di Uni Eropa, disebabkan sistem terapi hormon yang cukup panjang dapat menyebabkan terjadinya residu dalam bahan pangan yang akan berdampak peningkatan resiko kejadian kanker bagi konsumen. Pelarangan penggunaan hormon ini sebagai hasil dari penetapan peraturan residu hormon yang
13
menetapkan tidak diperbolehkan adanya kandungan hormon dalam susu dan daging (Anadon dan Larranaga 1999; Gombíková dan Škarbova 2004; Martemucci dan D’Alessandro 2011). Kajian ilmiah yang dilakukan oleh JEFCA (2006) menunjukkan bahwa sapi yang terpapar MGA dikarenakan dosis penggunaan hormon yang tidak tepat, dapat mempengaruhi perkembangan masa pubertas dan meningkatkan kejadian kanker kelenjar mammae. Pemberian terapi hormon pada tikus menyebabkan penurunan kualitas spermatogenesis dan mengakibatkan infertilitas, namun jika hormon diberikan pada fase post menopause tidak hanya mengakibatkan efek negatif di saluran reproduksi tetapi juga dapat menyebabkan gangguan sistem kardiovaskular dan susunan saraf pusat. Selain itu, pemberian progesteron menginduksi proliferasi sel abnormal yang menyebabkan hiperplasia dan neoplasia. Bukti ilmiah lain menunjukkan bahwa pada manusia yang diberikan terapi hormon progesteron menunjukkan peningkatan kejadian kanker endometrium, payudara dan kanker ovarium pada wanita. Kombinasi estrogen dengan progesteron selama tujuh hari setiap bulan dapat meningkatkan risiko kanker endometrium. Pada pria terapi hormon progesteron mengakibatkan kanker testis dan prostat (EFSA 2007).
Dampak Residu Hormon bagi Manusia Residu merupakan akumulasi obat atau bahan kimia dan/atau metabolitnya yang terdapat pada produk hewan sebagai akibat dari pemakaian atau terkontaminasi obat hewan, hormon, pestisida dan cemaran logam berat pada hewan dan/atau produk hewan baik sebelum proses produksi, dalam proses produksi maupun setelah proses produksi (BSN 2000). Salah satunya penggunaan hormon, yang berfungsi sebagai pembawa pesan kimiawi antar sel atau antar kelompok sel yang berfungsi memberikan sinyal ke sel target yang selanjutnya akan melakukan suatu tindakan atau aktivitas tertentu. Hormon memiliki sifat penting bagi proses fisiologis tubuh, namun intake yang berlebihan dapat menyebabkan efek samping. Dampak kesehatan akibat residu hormon dilaporkan oleh lembaga International Agency for Research on Cancer (IARC) yaitu terjadi peningkatan aktifitas berbagai jenis sel kanker. Diketahui bahwa progesteron meningkatkan kejadian tumor pada ovarium, uterus,
14
dan mammary serta gangguan reproduksi lainnya. Pemberian hormon yang tidak sesuai aturan dosis dapat mengakibatkan penurunan fertilitas dan maskulinitas pada wanita dan anak-anak. Efek negatif lainnya adalah gangguan kardiovaskular, disfungsi hepatik, dan tumor hati (Maravelias et al. 2005). Pemberian sintetik progesteron secara oral menyebabkan bioavailabilitas yang rendah pada gastrointestinal dan dimetabolisme dengan cepat di hati (Doyle 2000). Penggunaan kontrasepsi atau terapi hormon yang mengandung estrogen maupun progesteron akan meningkatkan risiko kanker payudara lebih tinggi daripada hanya pemberian estrogen saja. Konsumsi secara terus menerus juga dapat meningkatkan gejala asma pada manusia (Doyle 2000). Dampak negatif residu hormon pada manusia yang ditimbulkan oleh residu hormon
anabolik
dapat
berupa
reaksi
alergik
seperti
urtikaria
atau
hipersensitivitas pada kulit, efek teratogenik, dan karsinogenik. Residu yang terdapat di dalam produk hewan dapat mengakibatkan reaksi keracunan (Santoso 2001).
Dampak Residu Hormon bagi Hewan Pemberian progesteron oral sebesar 100 mg/kg berat badan pada tikus percobaan akan menginduksi pembentukan mikronuclei di sel hati tikus dan berefek lanjut meningkatkan carsinogenesis pada jaringan reproduksi. Tingkat progesteron yang pernah dilaporkan dalam daging/otot pada sapi jantan sekitar 0.21-1.2 mg/kg (Doyle 2000). Pemberian MGA tidak hanya khusus bagi sapi betina, namun juga diberikan pada pejantan untuk menginduksi hormon alamiah pada pejantan (Jackson et al. 2006). Sapi jantan yang diberikan terapi MGA mengalami penurunan berat testis secara signifikan, sedangkan pemberian MGA dengan dosis 5μg/kg berat badan menyebabkan gangguan siklus menstruasi pada monyet Cynomolgus sp. (WHO 2009). Pemakaian MGA dapat membentuk folikel persisten di ovarium pada sapi potong dan pada domba menyebabkan pembentukan corpus luteum persisten (Perry 2002; Martemucci dan D’Alessandro 2011). Terapi dengan MGA dapat menyebabkan penurunan fertilitas pada sapi betina (Jackson et al. 2006).
15
Pemberian MGA secara subkutan dapat menyebabkan cystic ovarium dan infertilitas pada sapi potong betina (Izquierdo et al. 2006). Progesteron sintetik mampu memacu pertumbuhan kelenjar ambing dan menyebabkan lesi pada uterus. Hal ini akan menyebabkan pyometra, kanker uterus, dan kanker mammae. Paparan MGA secara signifikan juga dapat meningkatkan risiko hiperplasia endometrium,
polip
endometrium,
dan
endometriosis
pada
kucing
(Munson 2006).
Melengestrol Asetat sebagai Kontrasepsi Melengestrol asetat (MGA) merupakan sediaan konstrasepsi progestin komersial yang umum digunakan di peternakan, selain megestrol acetate (MA) dan medroxyprogesterone acetate (MPA). Terdapat tiga kemungkinan mekanisme yang dapat menginduksi kontrasepsi progestin dalam tubuh hewan. Mekanisme pertama melalui umpan balik negatif pada hipotalamus dan kelenjar pituitari yang dapat menekan sekresi GnRH, FSH atau LH serta menyebabkan kegagalan folikulogenesis ataupun ovulasi. Kemungkinan mekanisme lain dengan terjadinya perubahan kemampuan endometrium dalam menerima oosit yang dapat menyebabkan kegagalan implantasi serta adanya penghambatan perkembangan folikel atau ovulasi. Pemilihan MGA sebagai kontrasepsi disebabkan MGA memiliki kemampuan kontrasepsi longterm, reliable dan bersifat reversible pada hewan. Dosis MGA tunggal yang diberikan secara implan, baik subcutan (SC) maupun
intramuscular
(IM)
adalah
sebesar
3-40
mg/kg
berat
badan
(Munson 2006).
Batas Residu Melengestrol Asetat Batas maksimal residu melengestrol asetat menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah sebesar 5ppb dalam daging/jeroan, sedangkan dalam lemak sapi sebesar 8 ppb. Badan Standarisasi Nasional menetapkan batas maksimal residu (BMR) MGA dalam SNI 01-6366-2000 adalah sebesar 25 ppb. Selandia Baru melalui New Zealand Food Safety Autorithy (NZFSA) menetapkan batas maksimum residu MGA dalam daging maupun offal sebesar 1 ppb. Batas maksimum residu MGA menurut BSN, CAC, dan NZFSA disajikan pada Tabel 3.
16
Tabel 3 Batas maksimum residu melengestrol asetat pada pangan asal hewan Lembaga
Pangan Asal Hewan
BMR (ppb)
BSN
Daging
25
CAC
Daging/jeroan sapi
5
Lemak sapi
8
Daging ayam
1
Lemak ayam
18
Daging/offal
1
NZFSA
Sumber : BSN 2000; CAC 2006; CAC 2009; NZFSA 2008.
Penetapan Acceptable Daily Intake dan Batas Maksimum Residu Obat-obatan maupun imbuhan pakan yang mengandung hormon semakin banyak digunakan di peternakan sapi potong. Penggunaan imbuhan pakan ini harus memperhitungkan adanya residu yang ditinggalkan pada bahan pangan dan mengakibatkan ditetapkannya batas maksimum residu (BMR) di tiap-tiap negara guna melindungi konsumen dari resiko residu dalam bahan pangan yang masuk dari negara lain. Penetapan BMR melalui serangkaian pendekatan penilaian, contohnya dengan ditetapkan terlebih dahulu acceptable daily intake. Angka ADI merupakan suatu batas keamanan bahan tambahan pangan yang ditambahkan dalam makanan, kadar yang diinginkan ditambahkan pada makanan dan kadar maksimum yang boleh dipakai tanpa menimbulkan gangguan kesehatan. Nilai ADI menunjukkan total residu dan seluruh metabolit yang aman dikonsumsi sehari-hari selama masa hidup hewan percobaan. Penetapan ADI ditentukan dari NOEL (No observed effect level), yaitu suatu dosis yang tidak mempunyai suatu efek pada hewan percobaan, dan faktor-faktor keamanan pangan (identifikasi bahaya maupun karakteristik bahaya). Pendekatan ADI adalah untuk memperhitungkan efek berdasarkan toksikologi dan biasanya digunakan sebagai standar toksisitas pada hewan percobaan laboratorium, sedangkan NOEL merupakan parameter toksikologi pada spesies hewan percobaan yang paling sensitif dan digunakan sebagai nilai awal penetapan ADI (Anadon dan Larranaga 1999).
17
Nilai ADI dihitung dengan memperhitungkan faktor keamanan yang telah disesuaikan bagi konsumen, pada umumnya 1/100 kadar maksimum yang tidak memberikan pengaruh negatif, dengan asumsi bahwa pada manusia 10 kali lebih sensitif bila dibandingkan dengan hewan percobaan dan 10 kali lipat lebih sensitif pada populasi manusia. Hasil identifikasi dari profil residu dan hewan terapi tersebut menghasilkan angka BMR. Angka BMR sebagai basis data toksikologi yang tetap dan relevan mengenai infomasi absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi pada hewan percobaan dan efek toksik akut maupun kronik (Anadon dan Larranaga 1999). Beberapa negara dalam menetapkan ADI dan MRL untuk MGA berbedabeda, hal ini disebabkan penetapkan ADI dan MRL bergantung pada faktor risiko yang timbul pada setiap warga negara dan berhubungan dengan faktor kebiasaan mengkonsumsi daging, berat badan, dan umur. Badan Standar Nasional (BSN) menetapkan batas maksimum residu (BMR) MGA dalam SNI No. 01-6366-2000 untuk daging sebesar 25 ppb. Angka BMR ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan batas maksimum residu MGA yang ditetapkan Codex Alimentarius Commission (CAC) untuk daging sebesar 5 ppb. Perbedaan BMR yg ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) Indonesia dengan CAC disebabkan BSN masih mengacu pada Join Expert Committee on Food Authority (JECFA) sebagai pedoman untuk menentukan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan (Zahid et al. 2000).
Metode Deteksi Residu Hormon Secara kualitatif deteksi residu hormon dapat menggunakan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Pengujian residu secara kuantitatif dilakukan dengan teknik high performance liquid chromatography (HPLC) (Yesalis dan Bahrke 2005). Metode yang banyak digunakan sebagai uji tapis residu kimiawi dalam bahan makanan termasuk residu hormon adalah metode ELISA. Uji ELISA memiliki
keunggulan
yaitu
sederhana,
sensitif,
efektif
dan
cepat
(Gardner et al. 1996; Peng et al. 2008a). Prinsip ELISA secara umum adalah mendeteksi adanya antibodi atau antigen dalam sampel. Adanya ikatan antara antigen dan antibodi yang
18
berpasangan ditandai dengan menggunakan enzim spesifik dan dideteksi melalui penambahan substrat yang dapat dilihat secara visual melalui perubahan warna atau dengan bantuan alat yang dikenal dengan ELISA reader dengan panjang gelombang tertentu. Metode ELISA terdiri dari beberapa konfigurasi antara lain : ELISA langsung, ELISA tidak langsung, ELISA penangkap antigen atau ELISA sandwich, ELISA penangkap antibodi, dan ELISA kompetitif atau ELISA pemblok (Crowther 1995). Enzyme linked immunosorbent assay langsung merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Antigen secara langsung diadsorbsikan ke substrat padat. Permukaan substrat dicuci dan antibodi yang ditempeli enzim digunakan untuk menunjukkan adanya antigen. Hasilnya akan terlihat bila ditambah substrat. Konfigurasi ini memerlukan antiserum yang spesifik untuk antigen tertentu. Antiserum spesifik harus dikonjugasikan pada enzim. Keterbatasan konfigurasi ini berkaitan dengan sifat pengikatan substrat padat dan kualitas antibodi indikator. Konfigurasi ini biasanya digunakan dalam pengujian untuk mendeteksi suatu antigen. Adanya kontaminasi antigen dapat ditunjukkan dengan adanya warna pada supernatan. Warna yang ditunjukkan tergantung dari substrat yang digunakan (Burgess 1995). Konfigurasi ELISA tidak langsung merupakan konfigurasi yang dapat digunakan untuk mengukur titer antibodi. Antigen teradsorbsi pada substrat padat. Antibodi primer tidak berlabel dan dapat diperoleh dari serum atau cairan tubuh lainnya. Antibodi sekunder terikat pada enzim yang sesuai. Antibodi sekunder ini biasanya disebut sebagai konjugat. Hasil akan tampak bila ditambahkan substrat. Antigen dan antibodi sekunder biasanya dibuat konstan dan yang berubah adalah antibodi primer. Kerapatan densitas (optical density) berhubungan dengan konsentrasi antibodi primer. Variasi sensitivitas dan spesifisitas dapat diperoleh dengan menentukan antigen dan konjugat indikator. Kelemahan utama konfigurasi ini terletak pada tidak adanya spesifisitas akibat bereaksi dengan antigen yang tidak murni (Crowther 1996). Metode ELISA penangkap antigen atau ELISA sandwich merupakan konfigurasi yang menggunakan antibodi yang terikat pada fase padat (well) untuk menangkap antigen secara spesifik. Tingkat antibodi yang terdapat dalam tubuh
19
harus di ukur. Konfigurasi sisanya serupa dengan ELISA tidak langsung. Antibodi penangkap, antigen dan sistem indikator dibuat konstan dan yang berubah adalah titer antibodi primer untuk antigen spesifik. Jika antigen yang diukur, dapat digunakan konfigurasi serupa atau sistem indikatornya menggunakan antibodi terkonjugasi spesifik untuk antigennya. Antibodi monoklonal makin banyak dipakai untuk antibodi penangkap dan dalam sistem indikator. Penggunaan antibodi monoklonal yang digabung dengan antigen murni atau antigen yang sudah diubah dapat memperbaiki spesifisitas. Prinsip kerja ELISA penangkap antibodi adalah menggunakan antiglobulin yang terikat pada substrat padat. Antibodi sampel yang diuji ditangkap dan sistem indikator menempel pada antigen berlabel (Burgess 1995). Teknik ELISA kompetitif adalah adanya kompetisi antara antigen dan antibodi. Pengujian kompetisi antibodi membutuhkan antigen untuk menangkap antibodi secara langsung maupun antibodi spesifik ke substrat padat. Antibodi yang telah dilabel bersaing dengan antibodi bebas atau antibodi yang tidak dilabel untuk mendapatkan tempat penempelan pada antigen. Semakin banyak antigen dalam sampel, semakin sedikit antibodi yang dapat terikat pada antigen yang menempel pada permukaan well. Antibodi yang telah dilabel dapat dideteksi menggunakan antibodi spesifik (Burgess 1995). Keberadaan residu MGA pada daging dan offal juga dapat dideteksi menggunakan
gas chromatography mass spektrometri (GC‐MS) dan liquid
chromatography mass spektrometri (LC-MS) (Daxenberger et al. 1999; Hageleit et al. 2001). Pemeriksaan dengan GC-MS menggunakan filter massa ion, namun kelemahan metode ini adalah repeatabilitas yang rendah akibat efek matriks. Limit deteksi dari GC-MS adalah sebesar 0,2-1 ppb. Metode LC-MS banyak digunakan sebagai uji komplemen dari GC-MS terhadap analisa residu hormon dikarenakan memiliki kelebihan dapat menentukan polar dan non polar atau non volatil compound (EFSA 2007). Metode LC-MS dilakukan dengan evaporasi ekstraksi sampel lemak hewan, kemudian dilarutkan pada fase cair dan dianalisa dengan LC-MS (USDA 2003). Limit deteksi LC-MS bagi pengujian progesteron adalah sebesar 0,1 ppm (Doyle 2000).
20
High performance liquid chromatography (HPLC) telah dikembangkan dan dapat digunakan untuk mengkuantifikasi residu MGA dalam lemak dan hati sapi. Teknik HPLC merupakan salah satu teknik kromatografi residu MGA untuk zat cair yang disertai dengan tekanan tinggi. Prinsip kerja HPLC adalah pemisahan analit-analit berdasarkan kepolarannya, dengan alat yang terdiri dari kolom sebagai fasa diam dan larutan tertentu sebagai fasa gerak. Campuran analit akan terpisah berdasarkan kepolaran dan kecepatannya untuk mencapai detektor (waktu retensinya), dengan bantuan detektor serta integrator akan diperoleh kromatogram yang memuat waktu tambat serta tinggi puncak suatu senyawa (Evans 2004). Optimalisasi sinyal secara manual dihasilkan dengan menyuntikkan cairan solvent blank dan standar untuk menguji stabilitas dan intensitas sinyal atau peak areas. Pembacaan hasil menggunakan kurva regresi linier terkalibrasi dengan membandingkan rasio konsentrasi dan standar peak area serta interpolasi konsentrasi residu. Limit deteksi HPLC adalah sebesar 5 ppb. Metode HPLC banyak dipilih untuk skrining residu karena memiliki akurasi dan sensitivitas yang baik. Teknik HPLC sangat berguna untuk memisahkan beberapa senyawa sekaligus karena setiap senyawa mempunyai afinitas selektif antara fase diam tertentu dan fase gerak tertentu. Kekurangan metode ini adalah membutuhkan waktu yang lama, mahal, dan membutuhkan personil yang terlatih (Zahid et al. 2000; Evans 2004).
21
MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan
pada bulan Agustus 2011-Maret 2012.
Pengambilan sampel daging sapi impor dilakukan di Pelabuhan Laut Tanjung Priok dan pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok.
Bahan dan Alat Bahan-bahan
yang
digunakan
berupa
Kit
ELISA
(r-Biopharm
Melengestrolacetat Art.No : R6502), petroleum ether (Merck no. 1.59542.19500), metanol (Merck no. 1.00983.2500), 20 mM tris-HCL (Merck no. 1.08382.0100), distilled water, tween 20 (Merck No. 8.22184.0500) serta 67 mM fosfat buffer pH 7.2. Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu microtiter plate, freezer (-60 °C), waterbath (40 °C dan 60 °C), ultra turrax, mikropipet berukuran 20 μl -200 μl dan 200-1000 μl, vortex, shaker, ELISA reader (Thermoscientific skanit software 2.5.1), evaporator dengan nitrogen.
Metode Pengambilan Sampel Sampel yang diambil adalah daging sapi impor dari Australia dan Selandia Baru yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana hingga jumlah sampel terpenuhi. Sampel daging yang diambil merupakan daging sapi tanpa tulang. Jumlah sampel yang diambil dihitung dengan menggunakan rumus deteksi penyakit (detect disease) yang ditetapkan oleh Martin et al. (1987) : n = [1- (1-a) 1/D] [N-(D-1)/2] Keterangan : N n a D
= Jumlah populasi = Ukuran sampel = Tingkat kepercayaan (95%) = Nilai dugaan populasi yang sakit (D=PxN, dengan asumsi P: 5%)
22
Perhitungan sampel berdasarkan jumlah daging sapi yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 2010 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Perhitungan sampel berdasarkan data daging sapi yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Priok tahun 2010 Negara Asal
Jumlah Impor Daging (kg)
Konversi (box)
Jumlah sampel yang dibutuhkan (n)
Australia
55 415 399
2 037 330
59
Selandia Baru
38 672 695
1 421 790
59
Hasil perhitungan dengan perangkat Win Episcop 2.0 didapatkan sampel sebesar 59 sampel untuk masing-masing negara. Unit sampling yang dipilih berdasarkan box kemasan, dengan konversi 1 box sama dengan 27.2 kg. Setiap sampel diambil sebanyak 250 g, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik steril yang telah diberi label kode sampel, negara asal dan tanggal pengambilan.
Metode Pengujian Sampel yang dikumpulkan diuji dengan metode ELISA dan dilakukan secara duplo dan dianalisa mengunakan Kit ELISA. Pengujian sampel daging dengan metode ELISA dibagi menjadi 2 yaitu preparasi sampel dan pengujian sampel. a.
Preparasi sampel Sampel daging (50 g) ditambahkan 50 ml fosfat buffer, kemudian dihancurkan dengan stomacher. Sampel daging yang telah tercampur rata diambil sebanyak 8 g dan ditambahkan 8 ml petroleum ether, diekstraksi selama 16 jam didalam waterbath dengan suhu 40 °C. Larutan yang telah diekstraksi, didinginkan dalam freezer (-60 °C) dan disentrifus dengan suhu -15 °C selama 15 menit. Kemudian lapisan petroleum ether diambil dan dipindahkan ke tabung baru, didinginkan dalam freezer (-60 °C), disentrifus dan dievaporasi pada suhu 60 °C menggunakan evaporator dengan nitrogen. Hasil residu yang telah dievaporasi dilarutkan kembali dengan 2 ml metanol. Supernatan diambil dan dilarutkan dengan 5 ml aquabides,
23
selanjutnya larutan supernatan dimasukkan ke kolom rida C 18 dengan kecepatan 1 tetes per detik dan eluate ditampung pada microtube. Kolom rida C 18 sebelumnya telah dicuci dengan 1 ml (20/80 v/v metanol/20 mM Tris-HCl pH 8.5). Setelah sampel masuk pada kolom, kolom dicuci dua kali dengan 1 ml (20/80 v/v metanol/20 mM Tris-HCl pH 8.5). Kemudian dilakukan
pencucian
kolom
dua
kali
dengan
1
ml
(40/60)
metanol/aquabides, selanjutnya dibuang dan dikeringkan. Pencucian kembali kolom dengan 1 ml (80/20) metanol/aquabides dan ditampung ke dalam tabung hingga kolom kering, kemudian eluate diencerkan 1:1 dengan aquabides untuk mendapatkan larutan (40/60) metanol/aquabides. b.
Pengujian sampel Larutan standar dan reagen uji lainnya telah disediakan di dalam Kit ELISA. Seluruh reagen di dalam kit harus diadaptasikan pada suhu ruang (23 °C) sebelum digunakan. Sebanyak 20 μl larutan standar dan 20 μl sampel dimasukkan ke dalam microtiter plate. Kemudian ditambahkan 50 μl enzim konjugate dan 50 μl anti MGA antibodi, serta dicampur perlahan dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu ruang. Cairan dalam well dibuang dan dicuci dengan larutan pencuci (wash solution) 2 kali, kemudian dikeringkan. Selanjutnya ditambahkan 50 μl substrat dan 50 μl Chromogen. Kemudian dihomogenkan, ditutup dan diinkubasi 30 menit pada suhu ruang serta dalam keadaan gelap. Selanjutnya ditambahkan 100 μl stop solution. Pembacaan absorbansi dilakukan kurang dari 30 menit setelah penambahan stop solution dengan ELISA reader Thermoscientific skanit software 2.5.1 pada panjang gelombang 450 nm. Hasil konsentrasi MGA dinyatakan dalam part per biliion (ppb).
Analisa Data Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisa deskriptif dengan menyajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk menggambarkan kandungan residu MGA. Perbedaan kandungan residu MGA dianalisa dengan uji proporsi dan uji t (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
24
25
HASIL DAN PEMBAHASAN Daging berperan penting dalam pemenuhan nutrisi bagi manusia. Namun saat ini banyak digunakan hormon sebagai pemacu pertumbuhan di peternakanpeternakan sapi sehingga berisiko meninggalkan residu hormon dalam daging. Keberadaan residu hormon dalam daging menyebabkan daging tidak aman dikonsumsi. Perlu dilakukan pengujian hormon untuk melindungi kesehatan konsumen (Nazli 2003). Metode pengujian residu hormon dengan menggunakan Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan metode uji residu hormon yang sensitif, akurat, relatif murah, dan mudah pengerjaannya (Indriani et al. 2002; Mahgoub et al. 2006). Hasil pengujian ELISA pada residu MGA dilakukan dengan mengkalkulasikan hasil uji sampel dengan kurva standar uji ELISA. Kurva standar memiliki peranan penting sebagai acuan dalam menetapkan besarnya residu MGA. Limit deteksi ELISA yang digunakan untuk mendeteksi residu MGA adalah 0.075 ppb. Limit deteksi merupakan tingkat konsentrasi terendah yang dapat dideteksi dari suatu substansi. Kurva standar MGA disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Kurva standar ELISA untuk hormon MGA.
26
Residu Melengestrol Asetat dalam Daging yang Berasal dari Australia Pengujian sampel daging yang berasal dari Australia terhadap residu MGA dengan ELISA didapatkan hasil sebanyak 6 dari 59 sampel (10.17%) positif mengandung MGA. Kisaran (range) kandungan residu MGA dengan ELISA yang terdeteksi
pada
sampel
daging
yang
berasal
dari
Australia
sebesar
0.222-0.342 ppb, dengan nilai rata-rata residu MGA sebesar 0.256±0.018 ppb. Hasil pengujian sampel daging yang diimpor dari Australia disajikan pada Tabel 5. Tabel 5
Hasil pengujian MGA dalam daging yang diimpor dari Australia
Negara Asal
N
n positif
% positif
Kode sampel
Konsentrasi (ppb)
Australia
59
6
10.17 %
A7
0.243
A10
0.255
A53
0.342
A57
0.224
A58
0.249
A59
0.222
Australia menggunakan hormon pemacu pertumbuhan (hormonal growth promotants/HGPs) di peternakan sapi dengan tujuan untuk meningkatkan berat badan dan mengurangi biaya pada masa penggemukan sapi (Read dan Tudor 2004). Tidak tersedia data mengenai penggunaan hormon MGA di Australia. Hasil uji ELISA menunjukkan 6 sampel daging yang positif mengandung MGA, dapat mengindikasikan kemungkinan penggunaan MGA sebagai imbuhan pakan di peternakan sapi di Australia. Hormon yang umum digunakan di Australia yaitu Progro H (oestradiol dan testosterone), Progro T-S (trenbolone acetate), Progro TE-S (estradiol dan trenbolone acetate), Ralgro, Synovex dengan trenbolone acetate, Synovex C-Calf GP, Synovex H-Heifer G dan FI, Synovex S-Steer G dan FI, Progro S (estradiol dan progesterone). Kombinasi terapi progesteron dan estradiol tersebut secara rutin digunakan untuk mengobati anestrus pada sapi di Australia dan di Selandia Baru (Macmillan et al. 2003). Terapi kombinasi estradiol dan progesteron juga dapat diberikan pada sapi pejantan yang berusia
27
6 minggu (Read dan Tudor 2004). Namun kombinasi terapi tersebut memiliki kekurangan
yaitu
dapat
mengakibatkan
atresia
dini
folikel
ovarium
(Macmillan et al. 2003). Kandungan residu MGA dalam sampel yang diperoleh pada pengujian ELISA lebih rendah bila dibandingkan dengan BMR MGA yang ditetapkan oleh BSN sebagaimana tercantum dalam SNI No. 01-6366-2000 untuk daging yaitu sebesar 25 ppb. Kandungan residu MGA tersebut juga lebih rendah bila dibandingkan dengan batas maksimum residu MGA yang ditetapkan CAC untuk daging yaitu sebesar 5 ppb.
Residu Melengestrol Asetat dalam Daging yang Berasal dari Selandia Baru Dua dari 59 sampel daging (3.39%) yang berasal dari Selandia Baru menunjukkan hasil positif mengandung MGA. Nilai rata-rata kandungan residu MGA dalam daging sebesar 0.315±0.006 ppb. Hasil pengujian sampel daging yang diimpor dari Selandia Baru disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil pengujian MGA dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru Negara Asal
N
n positif
% positif
Kode sampel
Konsentrasi (ppb)
2
3.39
S58
0.321
S59
0.309
Selandia Baru 59
Selandia Baru merupakan salah satu negara yang memperbolehkan penggunaan hormon MGA di peternakan sapi. Nilai kandungan residu MGA yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan batas maksimum residu MGA yang ditetapkan dalam SNI No. 01-6366-2000 untuk daging yaitu sebesar 25 ppb. Kandungan residu MGA tersebut juga lebih rendah bila dibandingkan dengan batas maksimum residu MGA yang ditetapkan CAC untuk daging sebesar 5 ppb. Kandungan residu MGA dalam sampel yang positif juga lebih rendah bila dibandingkan dengan Maximum Permissible Level (MPL) MGA dalam daging sapi dan offal yang ditetapkan pemerintah Selandia Baru yaitu sebesar 1 ppb.
28
Beberapa hormon pemacu pertumbuhan (hormonal growth promotants/HGPs) lain yang umum digunakan di Selandia Baru yaitu 17α-19-nortestosteron, boldenon,
trenbolon,
β-agonist
(ractopamin),
altrogenest
(progesteron),
delmadione, dienoestrol (estrogen), flugestone dan megestrol (NZFSA 2008; DAFF 2009).
Perbandingan Residu Melengestrol Asetat dalam Daging Sapi yang Berasal dari Australia dan Selandia Baru Sampel daging yang berasal dari Australia menunjukkan hasil positif mengandung MGA sebesar 6 dari 59 sampel (10.17%) sedangkan sampel yang berasal dari Selandia Baru menunjukkan hasil 2 dari 59 sampel (3.39%) positif mengandung MGA. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah sampel yang positif mengandung MGA lebih banyak ditemukan dalam daging yang berasal dari Australia dibandingkan dengan daging yang berasal dari Selandia Baru. Rataan (mean) residu MGA pada sampel dari Selandia Baru memiliki nilai yang lebih tinggi daripada sampel dari Australia. Rataan residu MGA untuk daging yang berasal dari Australia sebesar 0.256±0.018 ppb, sedangkan daging dari Selandia Baru sebesar 0.315±0.006 ppb. Hasil perbandingan nilai rata-rata, tingkat minimum dan maksimum pada sampel daging yang positif mengandung residu MGA disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Perbandingan keberadaan residu MGA dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru Negara Asal
N
Sampel positif n
(%)
Konsentrasi MGA (ppb) Min
Max
Mean
Australia
59
6
10.17
0.222 0.342
0.256±0.018
Selandia Baru
59
2
3.39
0.309 0.321
0.315±0.006
Pengujian kandungan MGA dalam daging yang berasal dari Australia dan Selandia Baru, menunjukkan angka yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Nilai kandungan residu MGA tersebut dapat dinyatakan lebih rendah bila dibandingkan dengan batas maksimum residu MGA yang ditetapkan SNI No. 01-6366-2000
29
untuk daging yaitu sebesar 25 ppb. Kandungan residu MGA tersebut juga lebih rendah bila dibandingkan dengan batas maksimum residu MGA yang ditetapkan CAC untuk daging sebesar 5 ppb. Keberadaan
residu
hormon
dalam
daging
pada
penelitian
ini
mengindikasikan bahwa terdapat kemungkinan bahwa daging yang positif mengandung MGA pada penelitian ini berasal dari sapi-sapi telah diberikan imbuhan pakan yang mengandung MGA atau diberikan terapi dengan menggunakan hormon progesteron maupun hormon sintetik progesteron lainnya. Imbuhan pakan yang mengandung MGA dapat diberikan dalam jangka pendek sebelum pengiriman ataupun sebelum sapi dipotong. Hasil pengujian residu hormon MGA lebih rendah dari batas maksimal residu MGA mengindikasikan penggunaan MGA di negara asal telah mengikuti protokol withdrawal time yang telah ditetapkan yaitu 48 jam sebelum pemotongan (Mahgoub et al. 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Peng et al. (2008a) menunjukkan bahwa pada pakan hewan yang mengandung progestogen ataupun progesteron < 10 ppb tidak mengakibatkan akumulasi residu hormon dalam jaringan hewan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar progestogen maupun progesteron akan dimetabolisme secara cepat dan menyeluruh di hati (Whisnant 2006; Peng et al. 2008a). Pengaruh MGA pada masing-masing hewan coba menunjukkan hasil yang bervariasi tergantung pada tingkat eliminasi dan absorpsi saluran pencernaan masing-masing hewan coba, sehingga sulit untuk memperkirakan efek dan kerja MGA jika MGA diberikan secara oral (Alvarez et al. 2007). Penelitian Fritsche dan Steinhart (1998) mendapatkan hasil konsentrasi progesteron sebesar 0.06 ppb pada daging sapi yang berasal dari sapi pejantan yang dikastrasi. Progesteron dalam serum dapat berbentuk komponen yang bebas ataupun berikatan dengan protein (Doyle 2000). Konsentrasi progesteron pada sapi betina tergantung umur, status kebuntingan status fisiologis, serta status hormonal sapi betina sebelum pemotongan (Toews dan McEwen 1994). Daging yang berasal dari sapi pejantan dan sapi betina dapat dibedakan dengan membandingkan hormon progestron dengan prekursor pregnenolone dalam jaringan menggunakan metode GC-MS yang dapat membedakan struktur hormon
30
dan komponen metabolit dalam bahan pangan (Fritsche dan Steinhart 1998; Doyle 2000). Melengestrol asetat memiliki aktifitas progestasional dan glukokortikoid. Aktivitas progestasional MGA secara in vivo pada sapi telah terbukti sekitar 125 kali lebih besar bila dibandingkan dengan progesteron (WHO 2009). Sapi jantan yang diterapi dengan MGA pada fase awal penggemukan menunjukkan peningkatan berat tubuh secara signifikan (Roberts 2000). Senyawa MGA memiliki kemiripan bentuk rantai dengan progesteron, akan tetapi berbeda pada proses metabolisme dalam tubuh. MGA secara cepat dimetabolisme di hati sedangkan progesteron pada dosis rendah tidak hanya dimetabolisme dihati tetapi juga dimetabolisme dalam mukosa gastrointestinal (Golub et al. 2006; Simon 1995). Struktur kimia progesteron dan MGA tersaji pada Gambar 4. H3C
H3C
CH3
O
CH3 CH3
O
CH3
O
CH3
O CH3
CH3 H
H
O
O
CH3
(a) Progesteron
(b) Melengestrol asetat
Gambar 4 Struktur kimia progesteron dan melengestrol asetat.
Bahaya Residu Hormon dalam Daging Sapi Impor Terhadap Kesehatan Masyarakat Progesteron secara alamiah diproduksi dalam tubuh manusia, namun konsentrasinya berbeda-beda tergantung dari jenis kelamin, umur, gizi makanan, aktivitas (exercise), serta pada wanita berhubungan erat dengan kehamilan dan siklus menstruasi. Asupan kalori juga mempengaruhi kadar progesteron dalam serum darah wanita premenopause (Doyle 2000). Pada beberapa studi menunjukkan bukti adanya kemungkinan pengaruh konsumsi progesteron yang
31
dapat meningkatkan kejadian asma pada pasien yang diberikan terapi progesteron dan kanker prostat pada pria (Doyle 2000; WHO 2009; Stephany 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Lange et al. (2002) menunjukkan efek kesehatan yang muncul pada manusia terhadap hormon sintetik berupa gangguan fungsi endokrin dan mempengaruhi reproduksi. Risiko terbesar akibat konsumsi hormon sintetik yang terkandung dalam produk makanan (daging) adalah dapat mengakibatkan efek teratogenik. Hal ini dikarenakan hormon sintetik dapat menembus plasenta dan dapat dideteksi pada jaringan fetal kelinci (WHO 2009). Progesteron berperan dalam peningkatan jumlah dan tingkat pembelahan sel. Selain itu, progesteron (hormon steroid) memiliki sifat karsinogenik, dikarenakan steroid mampu mendorong terjadinya mutasi gen dalam sel tubuh yang dapat mengakibatkan terjadinya perkembangan sel abnormal dan pembentukan sel kanker. Konsentrasi dalam plasma darah manusia setelah mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung MGA sebanyak 0.03 ppb adalah sebesar 0.5-1 pg/ml atau setara dengan 4000 kali dosis yang diperlukan untuk merangsang proliferasi sel MCF-7 sebagai penanda adanya aktifitas estrogenik (EFSA 2007; WHO 2009). Penggunaan hormon pada ternak telah dilarang di Indonesia sejak tahun 1983, serta penggunaan hormon diizinkan hanya untuk penanganan gangguan reproduksi dan tujuan terapi dengan pengawasan dokter hewan termasuk pengontrolan masa henti obat (withdrawal time). Hormon termasuk dalam golongan obat keras. Obat keras adalah obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter. Obat keras ini berkhasiat keras dan jika pemakaiannya tidak berdasarkan resep dokter akan mengakibatkan efek berbahaya, meracuni tubuh atau menyebabkan kematian (RI 2009). Masalah keamanan pangan di Indonesia diatur dalam Udang-undang RI nomor 7 tahun 1996 (RI 1996) tentang pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan (RI 2004). Lukman et al. (2007) mendefinisikan keamanan pangan sebagai jaminan agar bahan pangan tidak membahayakan konsumen pada saat disiapkan dan atau dimakan menurut kebutuhannya, sedangkan menurut Undangundang nomor 7 Tahun 1996 keamanan pangan adalah kondisi daya upaya yang
32
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya residu dan cemaran biologis, kimia dan fisik atau benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pada UU Nomor 7 Tahun 1996 mengatur pelarangan penggunaan bahan tambahan pangan yang telah dinyatakan terlarang, dan bagi bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya serta dapat digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan setelah memperoleh persetujuan pemerintah (RI 1996). Badan Karantina Pertanian sebagai institusi terdepan dalam pengawasan pemasukan komoditi impor perlu menyempurnakan kebijakan pengujian terhadap bahan pangan yang masuk ke Indonesia demi mencegah masuknya bahan pangan yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian nomor 513.a/Kpts/OT.210/L/12/2008 tentang manual pengujian residu hormon pada pangan segar asal hewan, keputusan tersebut hanya berupa acuan bagi petugas karantina hewan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan keamanan pangan dan memberikan pedoman dalam melakukan pengujian pangan asal hewan terhadap kemungkinan adanya residu hormon dan belum ditetapkan menjadi persyaratan wajib dilakukan pengujian hormon (Barantan 2008). Adanya hasil sampel daging yang positif mengandung MGA pada penelitian ini dapat menjadi informasi penting tentang perlunya pengawasan yang ketat terhadap daging maupun produk pangan yang diimpor, serta pengujian residu hormon perlu ditetapkan sebagai suatu kewajiban atau persyaratan mutlak untuk dilakukan secara rutin di tiap-tiap UPT karantina yang menjadi tempat pemasukan daging impor.
33
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru mengandung residu MGA
dengan
konsentrasi
rata–rata
secara
berurutan
sebesar
0.256±0.018 ppb dan 0.315±0.006 ppb. 2. Tidak terdapat perbedaan kandungan residu MGA pada sampel daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru. 3. Jumlah sampel daging yang mengandung residu MGA dari Australia dan Selandia Baru secara berurutan sebanyak 10.17% dan 3.39% sampel. 4. Daging sapi yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru mengandung residu melengestrol asetat (MGA) dalam jumlah tidak melebihi batas maksimal residu yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional.
Saran 1. Hasil positif pada pengujian dengan ELISA dapat dikonfirmasikan lebih lanjut dengan menggunakan metode HPLC, LC-MS atau GC-MS. 2. Perlu adanya persyaratan pengujian hormon di rumah potong hewan (RPH) di negara asal, sebelum daging dikirimkan ke Indonesia sehubungan dengan pengawasan waktu henti obat (withdrawal time) pada industri peternakan sapi di negara asal. 3. Diperlukan pengawasan dan pemeriksaan secara rutin terhadap residu hormon dalam daging sapi baik impor maupun domestik sebagai bagian dari tindakan karantina untuk melindungi kesehatan masyarakat. 4. Daging sapi yang diimpor dari negara yang menggunakan hormon sebaiknya disertai pemberian label bahwa produk tersebut berasal dari hewan yang diberikan hormon selama masa pemeliharaan.
34
35
DAFTAR PUSTAKA Alvarez LEM, Ceron JH, Padilla EG, Marin GP, Valencia J. 2007. Serum LH peak and ovulation following synchronized estrus in goats. Small Ruminat Research, 69:124–128. Anadon A, Larranaga MRM. 1999. Residues of antimicrobial drugs and feed additives in animal product : regulatory aspect. Livestock and Production Science, 59:183-198. [Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2008. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian nomor 513.a/Kpts/OT.210/L/12/2008. Manual pengujian residu hormon pada pangan segar asal hewan. Departemen Pertanian. Jakarta. [BBKP Tanjung Priok] Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. 2010. Laporan Tahunan Tahun 2009-2010. Jakarta. Badan Karantina Pertanian. Burgess GW. 1995. Teknologi ELISA dalam Diagnosa dan Penelitian. Gajah Mada University Pr, penerjemah Artama WT. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research. [BSN] Badan Standar Nasional. 2000. SNI No. 01-6366-2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2006. Compendium of methods of analysis identified as suitable to support codex MRLs developed by the codex committee on residues of veterinary drugs in foods. www.codexalimentarius.net. [9 September 2011]. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2009. Maximum residue limits for veterinary drugs in foods. Updated as at the 32nd Session of the Codex Alimentarius Commission (02-2009). www.codexalimentarius.net [9 September 2011]. [CFIA] Canadian Food Inspection Agency. 2011. Medicating ingredients by brand name. www.inspection.gc.ca. [1 Oktober 2011]. Cook RB, Popp JD, McAllister TA, Kastelic JP, Harland R. 2001. Effects of imminization againts GnRH, melengestrol acetate, and a trenbolon acetate/estradiol implant on growth and carcass characteristics of beef heifers. Theriogenology, 55:973-981. Crowther JR. 1996. ELISA Theory and Practice, Methods in Molecular Biology. Vol.42. New Jersey. United Kingdom. Singapore Humana Pr.
36
[DAFF] Department of Agriculture, Fisheries and Foresty. 2009. Annual Report National Residue Survey. Australia. Daniel JA, Sterle SW, McFadin-Buff EL, Keisler DH. 2001. Breeding ewes out of season using melengestrol acetate, one injection of progesterone, or controlled internal drug releasing device. Theriogenology 56:105-110. Daxenberger A, Meyer K, Hageleit M, Meyer HHD. 1999. Detection of melengestrol acetate residues in plasma and edible tissues of Heifers. Veterinary Quarterly, 21:154-158. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Statistik Peternakan 2010. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Doyle E. 2000. Human Safety of Hormone Implants Used to Promote Growth in Cattle-A Review of the Scientific Literature. Food Research Institute. United States of America. University of Wisconsin. Duckett SK, Andrae JG. 2000. Implant strategies in an integrated beef production system. Jornal Animal Science, 5:110-117. [EFSA] European Food Safety Autorithy. 2007. Opinion of the scientific panel on contaminants in the food chain on a request from the european commission related to hormone residues in bovine meat and meat product. EFSA Journal, 510:1-62 Evans G. 2004. A Hand Book of Bioanalysis and Drug Metabolism. New York:Chem Rubber Comp Pr. hlm:45-68. [FDA] Food and Drug Administration. 2000. Supplemental aprroval. United States Department of Health and Human Services. www.hhs.gov. [12 Agustus 2011]. Funston RN, Ansotegui RP, Lipsey, Geary TW. 2000. Synchronization of estrus in beef heifers using either melengestrol acetate (MGA)/prostaglandin or MGA/select sync. Theriogenology, 57:1485-1491. Fritsche S, Steinhart H. 1998. Differrences in natural steroid hormone pattern of beef from bulls and steers. Journal Animal Science, 76:1621-1625. Gardner IA, Cullor JS, Galey FD, Sischo W, Salman M, Slenning B, Erb HN, Tyler JW. 1996. Alternatives for the validation of diagnostic assay used to detect antibiotic residues in milk. Jornal Animal Veterinary Medicine, 209:46-52.
37
Golub MS, Kaufman FL, Campbell MA, Li LH dan Donald JM. 2006. Natural progesterone: Information on fetal effects. Birth Defects Research Development Reproduction Toxicology, 77:455–470. Gombíková M, Škarbová M. 2004. Kontrola rezíduí hormonálnych látok u zvierat produkujúcich potraviny. Rizikové faktory potravového reťazca, IV,7:10. Hageleit M, Daxenberger A and Meyer HHD. 2001. A sensitive enzyme immunoassay (EIA) for the determination of melengestrol acetate (MGA) in adipose and muscle tissues. Food Additives Contaminant. 18(4):285291. Hoffman B, Evers P. 1986. Anabolic Agents with Sex Hormones-Like Activities : Problems of Residues. Drug Residues in Animal. Florida, Academic Pr. hlm:111-144. Indriani R, Abduladjid RM, Darminto, Hamid H. 2002. Pengembangan teknik Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap virus infectious laryngotracheitis (ILT) dalam serum ayam. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, hlm:435-439. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/semnas/pronas 02-95.pdf. [10 April 2012]. Izquierdo C A, Martinez AD, Garcia HG. 2006. Synchronization of the oestrus in bovine females of meat under condition of tropic humid mexican. Jornal Animal and Veterinary Advances, 5(4):322-324. Jackson DJ, Fletcher CM, Keisler DH, Whitley NC. 2006. Effect of melengestrol acetate (MGA) treatment or temporary kid removal on reproductive efficiency in meat goats. Small Ruminant Research, 66:253–257. JEFCA [Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives]. 2006. Consideration of maximum residue limits (MRL) for veterinary drugs. 66th JECFA meeting. CX/RVDF 06/16/7, Add 1. Food Standards Programme Codex Committee on Residues of veterinary Drugs in Foods. www.fao.org [30 Mei 2012]. Lange IG, Daxenberger A, Meyer HHD, Meyts E, Rajpert-De, Skakkeback NE, Veeramachaneni DNR. 2002. Quantitative assessment of foetal exposure to trenbolon acetate, zeranol, and melengestrol acetate following maternal dosing in rabbits. Xenobiotica, 32:641-654. Lehninger AL. 1993. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta. Penerbit Erlangga.hlm: 45-76. Lekic M, Korac F, Sober M, Marjanovic A. 2007. Planar chromatography of steroid hormones and anabolics. Journal Acta Chemical Slovenia, 54:88-91.
38
Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Soedjoedono RR, Purnawarman T, Latif H. 2007. Higiene Pangan. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner. Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Mahgoub O, Kadim IT, Mothershaw A,Al Zadjali SA, Annamalai K. 2006. Use of Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay (ELISA) for detection of antibiotic and anabolik residues in goat and sheep meat. World Journal of Agriculture Science, 2(3) : 298-302. Maravelias C, Dona A, Stefanidou, Spiliopoulou C. 2005. Adverse effect of anabolic steroid in-athletes-a constant threat. Toxicology Letter, 158:167175. Martemucci G, D’Alessandro AG. 2011. Synchronization of oestrus and ovulation by short time combined FGA,PGF2α, GnRH, eCG treatments for natural service or AI fixed-time. Animal Reproduction Science, 123:32-39. Martin SW, Meek AH, Willeberg P. 1987. Veterinary Epidemiology : Principles and Methods. United State of America. Iowa State University Pr. hlm: 35-37. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor : Jurusan Statistik FMIPA IPB. IPB Pr. hlm 282. Macmillan KL, Segwagwe BVE, Pino CS. 2003. Associations between the manipulation of patterns of follicular development and fertility in cattle. Animal Reproduction Science, 78:327-344. Montgomery R, Dryer RL, Conway TW, Spector AA. 1993. Biokimia Suatu Pendekatan Berorientasi Kasus Jilid 2. Yogjakarta. Fakultas Kedokteran. Universitas Gajahmada. Gajahmada University Pr. hlm:1193-1195 Munson L. 2006. Contraception in felids. Theriogenology, 66:126–134. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Jakarta. Buku Kedokteran EGC. Naume D, Le Bizec B, Pouponneau K, Deceuninck Y, Solere V, Paris A, Antignac JP, Andre F. 2003. Modification of 17β-estradiol metabolite profile in steer edible tissues after estradiol implant administration. Analitic Chemistry Acta, 483:289-297.
39
Nazli B, Colak H, Aydin A, Hampikyan H. 2005. The presence of some residue in meat and meat products soil in Istanbul. Turki. Journal Veterinary Animal Science, 29:691-699. [NZFSA] New Zealand Food Safety authorithy. 2008. Animal product (contaminant specification) Notice 2008. New Zealand Food Safety Authorithy. Peng CF, Chen YW, Chen HQ, Xu CL, Jin ZY. 2008a. A rapid and sensitive enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method and validation for progestogen multi-residues in feed. Journal Animal and Feed Science, 17:434-441. Peng CF, Chen YW, Chen W, Xu CL , Kim JM, Jin ZY. 2008b. Development of a sensitive heterologous ELISA method for analysis of acetylgestagen residues in animal fat. Food and Chemistry, 109:647-653. Perry GA, Kojima FN, Salfen BE, Bader JF, Patterson DJ, Smith. 2002. Effect of an orally active progestin on follicular dynamics in cycling and anestrous post partum beef cows. Journal Animal Science, 80:1932-1938. Perry GA, Welshons WV, Bott RC, Smith MF. 2005. Basis of melengestrol acetate action as a progestin. Domestic Animal Endocrinology, 28:147-161. Rasyid KA. 2010. Kajian residu trenbolon pada daging dan hati sapi impor dan eks impor sapi bakalan dengan Teknik ELISA [disertasi]. Yogyakarta: Program Sain Veteriner, Universitas Gajah Mada. Read D, Tudor G. 2004. Hormonal growth promotants for use in beef cattle. ISSN 0726-934 X. www.agric.wa.gov.au [30 Desember 2011]. [RI] Republik Indonesia. 1996. Undang-undang RI nomor 7 tahun 1996. Pangan. Jakarta. [RI] Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004. Keamanan, mutu dan gizi pangan. Jakarta. [RI] Republik Indonesia. 2009. Undang-undang RI nomor 18 tahun 2009. Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta. Roberts JC. 2000. The additive effect of melengestrol acetat (MGA) priming and sodium monensin on reproductive performance in beef heifers [Thesis]. Lousiana:The School of Animal Sciences, Faculty of the Louisiana State University, Agricultural and Mechanical College. Santoso EB. 2001. Analisis Residu dalam Makanan Asal Hewan. Yogyakarta. Fakultas Kedokteran Hewan.
40
Schiffer B, Daxenberger A, Meyer K, Meyer HM. 2001. The fate of TBA and MGA after application as growth promoters in cattle : environmental studies. Environment Health Perspective, 109:1145-1151. Simon JA. 1995. Micronised progesterone: vaginal and oral uses. Clinical Obstetric and Gynecology, 38: 902–914. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. Gajah Mada University Pr. hlm:1-5. Stephany RW. 2010. Hormonal growth promoting agents in food producing animals. Handbook of Experimental Pharmacology. Berlin. hlm:335-367. [SCVPH] Scientific Committee on Veterinary Measures Relating to Public Health. 1999. Opinions of the scientific committee on veterinary measures relating to public health.: Assessment of potential risks to human health from hormone residues in bovine meat and meat products. European commission XXIV/B3/SC4. Toews DW, McEwen SA. 1994. Residues of hormonal substance in food of animal origin : a risk assessment. Preventive Veterinary Medicine, 20: 235 247. [USDA] United State Department of Agricultural. 2003. Confirmation of melengestrol acetate by APCI/LC/MS. SOP No: CLG-MGA1.00. United States Department of Agriculture Food Safety and Inspection, Service Office of Public Health Science. [USFDA] United State Food and Drug Administration. 2002. The use of steroid hormones for growth promotion in food-producting animals. US Food and Drug Administration. www.fda.gov/cvm/hormones.htm. [10 April 1012]. [USFDA] United State Food and Drug Administration. 2006. Screen for melengestrol acetate in fat using ELISA. SOP No: CLG-MGA2.01. United States Department of Agriculture Food Safety and Inspection Service Office of Public Health Science. Whisnant CS. 2006. Development of methods for determining the estrogen content of swine wastes. Reserach Report Public Health. North Carolina State University. [WHO] World Health Organization. 2009. Toxicological Evaluation of Certain Veterinary Drug Residues in Food. WHO food additives series:61. International Programme on Chemical Safety. hlm:70-89. Yesalis CE, Bahrke MS. 2005. Anabolik-androgenic steroid : incidence of use and health implications. Research Digestive, 5:5.
41
Zahid M, Lee NA, Kumar N, Iskander G. 2000. Pengembangan metode ELISA untuk analisis cepat dan mudah terhadap residu antibiotik enrofloksasin dalam makanan aasal hewan dan laut. http://bbpmsoh.info [10 April 2012].
42
43
LAMPIRAN
44
45
Lampiran 1
Hasil pengujian sampel daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru
No
Kode sampel
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A14 A15 A16 A17 A18 A19 A20 A21 A22 A23 A24 A25 A26 A27 A28 A29 A30 A31 A32 A33 A34 A35 A36 A37 A38 A39 A40 A41 A42
Konsentrasi (ppb)
No
Kode sampel
<0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 0,243 <0.075 <0.075 0,255 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15 S16 S17 S18 S19 S20 S21 S22 S23 S24 S25 S26 S27 S28 S29 S30 S31 S32 S33 S34 S35 S36 S37 S38 S39 S40 S41 S42
Konsentrasi (ppb) <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075
46
No 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59
Kode sampel A43 A44 A45 A46 A47 A48 A49 A50 A51 A52 A53 A54 A55 A56 A57 A58 A59
Konsentrasi (ppb) <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 0,342 <0.075 <0.075 <0.075 0,224 0,249 0,222
No 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59
Kode sampel S43 S44 S45 S46 S47 S48 S49 S50 S51 S52 S53 S54 S55 S56 S57 S59 S60
Konsentrasi (ppb) <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 < 0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 <0.075 0,321 0,309
47
Lampiran 2
Gambar pengambilan sampel daging
Pengambilan sampel daging
Sampel daging yang telah ditimbang
48
Lampiran 3
Gambar ekstraksi sampel
Sampel yang telah ditambahkan petroleum eter
Ekstraksi sampel pada suhu 40 °C
49
Lampiran 4
Gambar evaporasi dan clean up sampel
Evaporasi sampel dengan nitrogen
Clean up dengan menggunakan Kolom Rida C 18
50
Lampiran 5
Pengujian MGA dengan metode ELISA
Pengujian MGA dengan ELISA
Pengujian MGA dengan ELISA