iii
DETEKSI SALMONELLA DAN ESCHERICHIA COLI PADA TEPUNG TELUR YANG DIIMPOR MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK, JAKARTA DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK
KAMIL RISKI SIDIK
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
iv
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deteksi Salmonella dan Escherichia coli pada Tepung Telur yang Diimpor Melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Resistensinya terhadap Antibiotik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015 Kamil Riski Sidik NIM B251130174
iv
RINGKASAN KAMIL RISKI SIDIK. Deteksi Salmonella dan Escherichia coli pada Tepung Telur yang Diimpor Melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Resistensinya terhadap Antibiotik. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN dan I WAYAN TEGUH WIBAWAN. Penelitian ini dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya cemaran Salmonella dan Eschericia coli pada produk tepung telur impor yang masuk ke Indonesia serta resistensinya terhadap antibiotik. Penelitian dilakukan menggunakan kajian lintas seksional dengan penghitungan besaran sampel menggunakan pendugaan prevalensi. Penghitungan besaran sampel menggunakan asumsi tingkat kepercayaan 95%, tingkat kesalahan 10% dengan tingkat prevalensi dugaan adalah 50% sehingga diperoleh besaran 100 sampel tepung telur impor. Pengujian dilakukan terhadap 100 sampel tepung telur yang dikolesi selama bulan Agustus 2014. Koleksi sampel dilakukan pada produk tepung telur yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dari dua negara eksportir yang berbeda yaitu Ukraina dan India. Sampel yang berhasil dikoleksi berupa whole egg powder (Ukraina n=30, India n=40) dan egg yolk powder (India n=30). Penelitian dilakukan melalui pemeriksaan fisik produk tepung telur di pelabuhan pemasukan dilanjutkan dengan pengambilan sampel dan pengujian cemaran Salmonella dan E. coli menggunakan pengujian cepat (rapid test) dan metode pengujian konvensional berupa isolasi dan identifikasi. Konfirmasi isolat bakteri terduga Salmonella dilakukan dengan metode PCR. Isolat Salmonella dan E. coli diuji resistensinya terhadap preparat antibiotik. Pengujian dilakukan terhadap 10 jenis antibiotik yaitu ampisilin, amoksisilin-asam klavulanat, oksasilin, gentamisin, kanamisin, sefalotin, sefoksitin, sefotaksim, asam nalidiksat dan tetrasiklin. Terdapat sembilan sampel yang memberikan hasil positif adanya cemaran bakteri Salmonella dan E. coli pada produk tepung telur yang diuji. Hasil positif Salmonella ditemukan pada satu sampel whole egg powder (India, 2.5%) dan pada empat sampel egg yolk powder (India, 13.3%). Hasil Positif E. coli ditemukan pada tiga sampel whole egg powder (Ukraina, n=1 [3.3%] dan India, n=2 [5%]) serta pada satu sampel egg yolk powder (India, 3.3%). Hasil pengujian resistensi antibiotik menunjukkan isolat Salmonella yang berhasil dideteksi secara umum memiliki resistensi terhadap lima jenis antibiotik (ampisilin, amoksisilin-asam klavulanat, oksasilin, sefalotin, sefoksitin) dengan 100% isolat memiliki resistensi terhadap minimal tiga jenis antibiotik. Isolat E. coli yang berhasil dideteksi secara umum memiliki resistensi terhadap enam jenis antibiotik (ampisilin, amoksisilinasam klavulanat, oksasilin, sefalotin, sefoksitin, tetrasiklin) dengan 75% isolat memiliki resistensi terhadap minimal tiga jenis antibiotik. Pengujian terhadap isolat Salmonella menunjukkan terdapat reaksi intermediet pada dua isolat (50%) dengan masing-masing isolat memberikan reaksi intermediet pada satu jenis antibiotik. Pengujian terhadap isolat E. coli menunjukkan terdapat reaksi intermediet pada dua isolat (40%) dengan masing-masing isolat memberikan reaksi intermediet pada minimal satu jenis antibiotik. Kata kunci: E. coli, resistensi antibiotik, Salmonella spp., tepung telur
iii
SUMMARY KAMIL RISKI SIDIK. Salmonella and Escherichia coli Detection on Egg Powder Imported Through Port of Tanjung Priok, Jakarta and Its Resistance Against Antibiotics. Supervised by DENNY WIDAYA LUKMAN and I WAYAN TEGUH WIBAWAN. This study was conducted to detect the presence of Salmonella and E. coli in Indonesian imported egg powder at the Port of Tanjung Priok, Jakarta and its resistance to antibiotics. The study was performed using cross sectional study and the sample size was determined based on prevalence estimation. Sample size calculated based on 95% of confidence level assumption with 10% of margin of error and 50% of predicted prevalence and resulted in a total of 100 sample for the study. A total of 100 egg powder samples were collected through August 2014 from two exporting countries, Ukraine (whole egg powder, n=30) and India (whole egg powder, n=40 and egg yolk powder, n=30). The study was performed by physical examination of the products at the entry port followed by samples collection and testing for Salmonella and E. coli contamination using rapid test and conventional methods, isolation and identification. Presumed Salmonella isolates were confirmed by PCR assay for Salmonella spp. Salmonella and E. coli isolates were then tested for antibiotic resistance. Antibiotic resistance test was performed on 10 antibiotics, i.e., ampicillin, amoxicillin-clavulanic acid, oxacillin, gentamicin, kanamycin, cephalothin, cefoxitin, cefotaxime, nalidixic acid, and tetracycline. There were 9 samples that showed positive results on the presence of Salmonella and or E. coli. There were 5 samples, i.e., 1 Indian whole egg powder (2.5%) and 4 Indian egg yolk powder (13.3%) which were positive to Salmonella and 4 samples, i.e., 1 Ukrainian whole egg powder (3.3%), 2 Indian whole egg powder (5%) and 1 Indian egg yolk powder (3.3%), were positive to E. coli. The result of antibiotic resistance test on Salmonella isolates showed that they were resistance to 5 types of antibiotics (amoxicillin, amoxicillin-clavulanic acid, oxacillin, cephalothin, cefoxitin) with 100% of the isolates having resistance to minimum of 3 types of antibiotics. Antibiotic resistance test results on detected E. coli isolates showed that they were resistance to 6 types of antibiotics tested (amoxicillin, amoxicillin-clavulanic acid, oxacillin, cephalothin, cefoxitin, tetracycline) with 75% of the isolates having resistance to minimum of 3 type of antibiotics. There were intermediate reaction results on antibiotic resistance test performed. Test performed on detected Salmonella isolates resulted that 2 isolates (50%) showed intermediate reaction with each isolate reacted intermediately to 1 type of antibiotic. Test performed on detected E. coli isolates resulted that 2 isolates (40%) showed intermediate reaction with each isolate reacted intermediately to minimum of 1 type of antibiotic. Key words: antibiotic resistance, egg powder, E. coli, Salmonella
iv
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
iii
DETEKSI SALMONELLA DAN ESCHERICHIA COLI PADA TEPUNG TELUR YANG DIIMPOR MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK, JAKARTA DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK
KAMIL RISKI SIDIK
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
iv
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi
iii
Judul Tesis : Deteksi Salmonella dan Escherichia coli pada Tepung Telur yang Diimpor Melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Resistensinya Terhadap Antibiotik Nama : Kamil Riski Sidik NIM : B251130174
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi Ketua
Prof Dr Drh I Wayan T Wibawan, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi
Tanggal Ujian: 11 Februari 2015
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Lulus:
iv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah cemaran bakteri pada produk telur olahan, dengan judul Deteksi Salmonella Dan Escherichia coli pada Tepung Telur yang Diimpor Melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Resistensinya terhadap Antibiotik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi beserta Bapak Prof Dr Drh I Wayan T. Wibawan, MS selaku dosen pembimbing serta Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi selaku dosen penguji. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH-IPB beserta staf, rekan-rekan mahasiswa pascasarjana program studi KMV 2013 baik kelas khusus maupun kelas regular. Terimakasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Badan Karantina Pertanian, atas kesempatan berharga yang telah diberikan, kepada Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok dan pihak-pihak terkait dalam pelaksanan penelitian sehingga dapat terlaksana dengan baik. Ungkapan terima kasih juga tentunya tak lupa pula disampaikan kepada istri terkasih, anak-anak tersayang, bapak, mama, mertua serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015 Kamil Riski Sidik
iii
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Keberadaan Salmonella dan E. coli pada Telur Keberadaan Salmonella dan E. coli pada Produk Olahan Telur Resistensi Antibiotik pada Salmonella dan E. coli
2 2 4 6
3 METODE Bahan Alat Waktu dan Tempat Penelitian Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel Pengujian Rapid Test terhadap Salmonella spp dan E. coli Pengujian Cemaran Salmonella spp dan E. coli Menggunakan Metode Kultur Uji Konfirmasi Isolat Salmonella Menggunakan Metode PCR Uji Kepekaan Isolat Bakteri Terhadap Antibiotik Analisa Data
6 6 7 7 8 9 9 10 10 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
11
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
18 18 19
DAFTAR PUSTAKA
19
iv
DAFTAR TABEL 1 Hasil pengujian Salmonella dan E. coli menggunakan metode kultur berdasarkan negara asal dan jenis tepung telur 2 Hasil pengujian resistensi antibiotik dengan kategori hasil resisten 3 Hasil pengujian resistensi antibiotik dengan kategori hasil intermediet
13 15 16
DAFTAR GAMBAR 1 Hasil pengujian PCR isolat yang diduga Salmonella spp.
13
DAFTAR LAMPIRAN 1 Daftar dan jumlah sampel tepung telur yang diambil sebagai obyek penelitian 2 Hasil Pengujian sampel tepung telur terhadap cemaran Salmonella spp dan E. coli berdasarkan negara asal dan jenis tepung telur 3 Hasil pengujian resistensi antibiotik pada isolat bakteri yang berasal dari sampel tepung telur
23 24 25
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Telur adalah bahan pangan asal hewan yang memiliki kandungan nutrisi yang dibutuhkan oleh manusia. Bahan pangan ini menjadi salah satu pilihan untuk dikonsumsi sebagai sumber protein hewani selain daging, susu dan ikan. Telur seringkali disebut sebagai bahan pangan yang sempurna. Anggapan tersebut dikarenakan telur hampir semua unsur nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Kekurangan telur hanya terletak pada tidak adanya vitamin C dalam kandungannya (Damerow 2010). Secara umum komposisi telur terdiri atas 27.5-36% bagian kuning telur, 54-63% bagian putih telur, dan 9.5-11% bagian kerabang. Komposisi nutrisi utama yang terkandung dalam telur meliputi 75% air, dan sisanya meliputi hingga 12% protein dan 12% lemak (Li-Chan et al. 1995; Anton 2010; Damerow 2010).Kandungan nutrisi yang dimiliki telur tidak hanya baik bagi manusia tetapi juga menjadikan bahan ini menjadi media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Telur ayam yang berasal dari ayam yang sehat umumnya berada dalam kondisi steril saat telur dikeluarkan dari tubuh ayam. Kejadian kontaminasi mikroorganisme pada telur dapat terjadi secara vertikal dan secara horisontal. Kontaminasi secara vertikal atau dikenal dengan istilah transovari terjadi melalui induk yang terinfeksi. Bakteri yang menginfeksi telur dapat mencapai bagian dalam telur sebelum terjadinya pembentukan cangkang pada oviduk induk. Kontaminasi horisontal terjadi saat telur baru dikeluarkan dan mengalami kontak dengan lingkungan. Kontaminasi horisontal akan semakin meningkat saat telur mengalami kerusakan cangkang, berada pada kondisi lingkungan yang kotor atau telah melalui masa penyimpanan yang lama. Potensi terjadinya kontaminasi mikroorganisme pada telur membuat adanya rekomendasi untuk terlebih dulu memberikan perlakuan pada telur berupa pasteurisasi sebelum dikonsumsi. Kondisi ini ideal dan praktis pada kondisi jumlah telur yang relatif kecil. Kebutuhan akan pemanfaatan telur tidak hanya pada tingkat konsumsi individu atau skala kecil. Terdapat kebutuhan akan telur dalam jumlah besar pada skala industri. Kondisi ini mengakibatkan perlakuan berupa pasteurisasi setiap kali telur akan digunakan sebagai bahan baku bukan menjadi pilihan yang efisien dan ekonomis. Solusi bagi pihak industri yang membutuhkan telur sebagai bahan baku tersedia dalam bentuk olahan telur yang telah melalui proses pasteurisasi dan dibuat dalam bentuk tepung telur. Tepung telur yang tersedia secara komersial dapat berupa egg powder (whole egg powder), egg yolk powder, egg albumin atau bentuk lain sesuai kebutuhan industri. Berdasarkan data laporan tahunan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, sepanjang tahun 2013 dilakukan importasi tepung telur sebesar 1711854 Kg melalui 135 kali pemasukan dengan negara pengekspor adalah India (91.2%), Ukraina (7.3%) dan Amerika Serikat (1.5%) (BBKP Tanjung Priok 2014).
2 Perumusan Masalah Beberapa laporan penelitian menunjukkan bahwa telur yang telah diolah menjadi bentuk tepung telur seperti egg powder dan egg yolk powder masih memiliki potensi tercemar oleh mikroorganisme patogen. Mikroorganisme patogen yang dilaporkan masih dapat ditemukan pada tepung telur adalah Salmonella spp. dan Escherichia coli. Kondisi ini mengakibatkan perlunya dilakukan analisis terhadap kemungkinan risiko adanya cemaran. Terlebih lagi, pada tingkat pemanfaatan tepung telur pada tingkat industri atau konsumen terkadang tidak disertai proses pemanasan. Kondisi ini akan berakibat kontaminasi yang ada pada produk ini akan berpotensi menyebabkan kejadian penyakit saat hasil akhirnya dikonsumsi manusia.
Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan untuk mendeteksi tingkat kejadian cemaran serta mengkarakterisasi Salmonella spp. dan E. coli pada tepung telur yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Selain itu, mengidentifikasi isolat Salmonella dan E. coli terhadap resistensi antibiotik.
Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan manfaat berupa informasi ilmiah mengenai kejadian cemaran Salmonella spp. dan E. coli pada tepung telur yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Penelitian ini juga akan memberikan gambaran tingkat resistensi antibiotik isolat Salmonella spp. dan E. coli yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi. Informasi ini akan dapat digunakan oleh penentu kebijakan dalam hal menentukan kriteria dan persyaratan importasi terhadap komoditas tepung telur yang akan masuk ke Indonesia. Informasi yang dihasilkan juga dapat digunakan dalam pembuatan standar baku prosedur pemeriksaan serta penanganan bahan baku ini selama dilakukannya tindakan karantina di tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan.
2 TINJAUAN PUSTAKA Keberadaan Salmonella dan E. coli pada Telur Salmonella menjadi mikroorganisme utama yang menyebabkan kejadian gastroenteritis pada manusia. Bakteri ini menjadi perhatian penting dalam bidang industri makanan khususnya dari segi kesehatan masyarakat. Pemanasan atau pengolahan makanan yang tidak sempurna menjadi faktor penting yang memicu munculnya kejadian penyakit akibat pangan (foodborne illness) termasuk diantaranya adalah salmonelosis. Kondisi ini dapat terjadi pada tingkatan industri pangan maupun pada tingkatan rumah tangga (Plym dan Wierup 2006). Air dan makanan yang terkontaminasi feses hewan atau manusia pembawamerupakan
3 sumber penyebaran Salmonella. Kontaminasi silang terjadi melalui orang yang mengani makanan, pemrosesan, kontaminasi peralatan, atau kontaminasi saat penyimpanan (Carraso et al. 2012). Munculnya kejadian salmonelosis umumnya diakibatkan oleh konsumsi daging, telur atau produk susu yang terkontaminasi oleh bakteri Salmonella. Beberapa kejadian wabah salmonelosis diasosiasikan dengan pangan yang memiliki tingkat water activity (aw) yang rendah. Keberadaan bakteri ini pada pangan dengan aw rendah telah meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan pangan terkait bentuk pangan tertentu (Mattick et al. 2001). Bakteri E. coli adalah bakteri gram negatif yang secara alami berada pada saluran sistem pencernaan dan feses hewan dan manusia meskipun beberapa galur bakteri ini dapat menyebabkan kejadian penyakit yang berakibat fatal pada manusia dan hewan (Bonnet et al. 2009; Murray et al. 2013). Kejadian cemaran E. coli pada telur telah banyak dilaporkan baik pada tingkat peternakan, pada telur konsumsi maupun pada produk olahan yang menggunakan telur sebagai bahan baku (Botka-Petrak et al. 2000; Oh et al. 2011; Jones et al. 2012; Grizard et al. 2014). Bakteri E.coli umumnya ditularkan dari satu host ke host lainnya melalui rute fekal-oral. Penularan bakteri ini dapat terjadi melalui permukaan peralatan maupun ruangan yang terkontaminasi, cairan atau larutan yang terkontaminasi bakteri, dan dapat pula melalui perantaraan pekerja yang menangani bahan pangan. Kejadian penularan bakteri ini umumnya melalui konsumsi pangan maupun air yang telah terkontaminasi. Bakteri E. coli tidak membutuhkan kondisi lingkungan khusus untuk dapat mencemari lingkungan dan menginfeksi manusia (Croxen et al. 2013). Ternak unggas dan produk pangan yang berasal dari unggas menjadi salah satu sumber penularan bakteri E. coli khususnya yang bersifat patogen pada manusia. Bahan pangan yang bersumber dari unggas memiliki kecenderungan yang cukup tinggi untuk terkontaminasi oleh bakteri E. coli. Kondisi ini dikaitkan dengan berbagai studi epidemiologis yang mendukung keberadaan bakteri E. coli tersebut pada saluran cerna ternak unggas (Mellata 2013). Keberadaan bakteri ini tidak terbatas pada saluran cerna unggas hidup, tetapi juga pada area kandang tempat pemeliharaan unggas tersebut. Feses dan lingkungan kandang dapat menjadi tempat keberadaan bakteri E. coli meskipun unggas yang dipelihara tidak menunjukkan adanya gejala penyakit apapun akibat keberadaan bakteri ini (Cortes et al. 2010; Srinivasan et al. 2013). Berawal dari kondisi inilah telur yang diproduksi oleh unggas dapat membawa bakteri E. coli pada kerabangnya dan berpotensi menginfeksi dalam proses pengolahan telur tersebut.Bahan makanan yang telah melalui proses dan siap untuk dikonsumsi tetap dapat menjadi sumber penularan bakteri E. coli. Cemaran bakteri ini umumnya diawali oleh kontaminasi pada dapur atau ruangan tempat persiapan makanan kemudian melalui perantaraan pekerja yang menangani makanan sehingga dapat mencemari bahan makanan yang siap untuk dikonsumsi (Johnson et al. 2005; Hammerum dan Heuer 2009). Faktor penting yang mendukung terjadinya kejadian infeksi pangan pada manusia melalui konsumsi telur adalah penanganan bahan pangan ini pada kondisi mentah dan proses pengolahan yang dilakukan sebelum dikonsumsi. Telur adalah salah satu bahan pangan yang seringkali dikonsumsi dalam kondisi mentah atau
4 setengah matang oleh manusia. Telur seringkali juga menjadi bahan baku produksi makanan olahan yang digunakan dalam kondisi mentah. penggunaan dalam kondisi mentah seperti pada proses pembuatan es krim, imbuhan salad, mayones, atau dalam bentuk minuman seperti egg nog dan minuman keperluan diet tertentu atau untuk minuman kesehatan. Makanan lain yang mengandung telur dengan tingkat olahan yang tidak matang adalah telur untuk sarapan pagi (Braden 2006). Telur terkontaminasi oleh Salmonella melalui dua jalur kontaminasi utama yaitu secara vertikal dan horisontal. Kontaminasi secara vertikal terjadi melalui rute transovari. Rute ini terjadi pada unggas yang terinfeksi sehingga pada ovari dan oviduct terdapat Salmonella. Bakteri ini mengontaminasi telur sebelum telur tersebut diselimuti cangkang. Keberadaan S. Enteritidis pada telur menjadi contoh kejadian cemaran Salmonella melalui rute transovari. Salmonella Enteritidis memiliki fimbre SEF14 yang mengakibatkan serotipe ini memiliki kemampuan melakukan kolonisasi pada organ reproduksi. Hal ini mengakibatkan S. Enteritidis dapat ditemukan pada bagian dalam telur (Cogan dan Humphrey 2003). Kontaminasi telur oleh Salmonella secara horisontal terjadi melalui rute penetrasi cangkang telur. Salmonella berpenetrasi melewati cangkang telur. Telur memiliki tiga pertahanan fisik utama yaitu lapisan protein yang bersifat hidroponik (kutikula) yang menyelimuti cangkang, cangkang telur, dan membran yang memisahkan cangkang dan albumin. Pertahanan kimia yang terdapat pada telur antara lain zat-zat antimikroba yang terdapat di albumin. Bakteri yang mengontaminasi telur harus mampu melewati pertahanan fisik dan kimia. Kontaminasi secara horisontal ini dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik antara lain galur bakteri, suhu, kelembaban, jumlah bakteri yang terdapat pada feses, pH, dan kondisi penyimpanan telur. Faktor intrinsik yang mempengaruhi penetrasi Salmonella ke telur antara lain kondisi kutikula, kualitas cangkang, dan kondisi membran. Penetrasi Salmonella akan meningkat jika terjadi kerusakan kutikula, permukaan cangkang yang basah, dan penurunan suhu (Pui et al. 2011).
Keberadaan Salmonella dan E. coli pada Produk Olahan Telur Bahan olahan yang bersumber dari telur baik berupa larutan telur maupun tepung telur merupakan bahan baku yang dibutuhkan dalam bidang industri pangan. Proses produksi bahan olahan yang bersumber dari telur mencakup penerapan pemanasan berupa pasteurisasi. Terdapat dua aspek penting yang ingin dicapai melalui perlakuan pasteurisasi. Aspek pertama adalah eliminasi sebanyak mungkin mikroorganisme yang mengontaminasi telur. Aspek yang lain adalah menjaga komponen gizi yang dikandungnya khususnya protein tetap dalam kondisi yang baik (Nemeth et al. 2011). Penemuan adanya kontaminasi Salmonella pada tepung telur merujuk kembali pada awal tahun 1942 di wilayah Inggris, yang mana bakteri ini dilaporkan diisolasi dari tepung telur yang akan digunakan dalam produksi makanan. Temuan ini kemudian diperkuat oleh temuan lain yang dilaporkan oleh penelitian-penelitian yang dilakukan setelahnya. Bakteri Salmonella yang
5 ditemukan pada tepung telur diidentifikasi merupakan isolat yang identik dengan Salmonella yang ditemukan pada unggas, hewan lainnya, maupun manusia (Solowey et al. 1947). Penelitian yang dilakukan oleh Baron et al. (1999) menunjukkan bahwa bakteri Salmonella Enteritidis yang diinokulasi pada produk tepung albumin dapat hidup dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Lound et al. (2011) menunjukkan kemampuan beberapa serovar Salmonella yang mampu beradaptasi melalui proses pemanasan hingga suhu 82 °C dalam proses penanganan dan pembuatan tepung telur. Meskipun demikian, terjadinya kontaminasi Salmonella pada bahan pangan olahan lebih banyak dipengaruhi oleh adanya rekontaminasi produk pangan tersebut setelah melalui proses pasteurisasi. Kejadian rekontaminasi ini dapat muncul akibat kontaminasi langsung maupun melalui penggunaan peralatan yang terkontaminasi. Bakteri E. coli telah dilaporkan sebagai salah satu jenis bakteri yang dapat ditemukan pada telur meskipun telah dilakukan perlakuan pemanasan. Tingkat kejadian cemaran pada produk telur yang dihasilkan berkaitan langsung dengan tingkat cemaran pada bahan baku telur yang digunakan. Tingkat kejadian cemaran juga dipengaruhi oleh jenis perlakuan yang digunakan dalam proses pengolahan telur (Jin et al. 2008; Botka-Petrak et al. 2000). Meskipun demikian, belum banyak laporan yang dapat memberikan gambaran kejadian cemaran bakteri E. coli secara lebih mendalam pada produk tepung telur. Bakteri Salmonella dapat menyebabkan kejadian penyakit meskipun hanya terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit dalam bahan pangan dengan tingkat aw rendah yang dikonsumsi. Kondisi ini didukung oleh kemampuan bakteri ini bertahan lebih baik dalam proses pemanasan/pasteurisasi pada bahan pangan yang memiliki aw rendah dibandingkan dengan bahan pangan yang memiliki aw tinggi. Kondisi ini memberikan implikasi yang sangat jelas pada saat produksi makanan dilakukan menggunakan proses pemanasan untuk mengeliminasi mikroorganisme patogen dalam pangan. Melalui proses pemanasan, aw pada bahan pangan akan mengalami penurunan sehingga memungkinkan Salmonella untuk bertahan pada bahan pangan tersebut hingga saat dikonsumsi (Mattick et al. 2001). Tahun 2011 berhasil ditemukan dan diisolasi adanya bakteri Salmonella pada tepung telur yang merupakan produksi dari negara Kanada. Bakteri Salmonella berhasil ditemukan dan diisolasi pada 28 sampel dari 380 sampel tepung telur yang duji. Bakteri Salmonella yang ditemukan berada dalam jumlah yang kecil. Jumlah yang ditemukan dan berhasil diisolasi bervariasi mulai dari kurang dari satu organisme per gram sampel hingga 54 organisme per gram sampel uji. Meskipun demikian, karena keberadaan bakteri Salmonella pada bahan pangan dapat menimbulkan potensi bahaya yang fatal, jumlah yang sedikit ini tetap menjadi temuan yang sangat penting (Gibbons dan Moore 2011). Kejadian terbaru ditemukannya Salmonella pada tepung telur dilaporkan oleh lembaga pengawasan bahan pangan asal pertanian Amerika Serikat (The U.S. Department of Agriculture’s Food Safety and Inspection Service/FSIS) pada bulan Pebruari 2014. Cemaran Salmonella ditemukan saat dilakukannya pengujian oleh sebuah laboratorium rujukan (Washington State Laboratories) terhadap produk tepung telur yang diproduksi oleh suatu perusahaan produsen tepung telur di wilayah negara bagian Washington. Meskipun demikian, sampai dengan saat dilakukannnya penarikan kembali produk tepung telur yang tercemar oleh
6 Salmonella tersebut dari pasaran tidak ada laporan kejadian salmonelosis akibat konsumsi produk bahan olahan telur tersebut (FSIS 2014).
Resistensi Antibiotik pada Salmonella dan E. coli Penggunaan antibiotik selama beberapa dekade terakhir untuk penanganan infeksi pada manusia dan hewan telah memberikan pengaruh besar pada keberadaan mikroorganisme. Pengaruh yang timbul tidak terbatas hanya terhadap mikroorganisme yang bersifat patogen tetapi juga terhadap mikroorganisme komensal. Tekanan yang muncul tersebut mengakibatkan perubahan keseimbangan mikroflora khususnya yang berada dalam tubuh manusia dan hewan yang menerima terapi. Perubahan yang terjadi termasuk munculnya kemampuan adaptasi mikroorganisme terhadap senyawa antibiotik melalui ekspresi fenotipik maupun genotipik tertentu (Szmolka dan Nagy 2013). Penggunaan antibiotik yang semakin intensif khususnya dalam bidang peternakan memunculkan potensi masalah baru yang akan berdampak sangat besar. Berbagai penelitian telah menunjukkan adanya indikasi terjadinya resistensi antibiotik pada bakteri Salmonella baik yang diisolasi dari manusia maupun yang berasal dari hewan ternak. Terjadinya resistensi antibiotik pada bakteri Salmonella akan mengakibatkan keterbatasan dalam pemilihan terapi antibiotik yang dapat digunakan dalam penanganan salmonelosis. Keterbatasan ini tentunya tidak terbatas hanya pada penanganan di hewan tetapi juga terkait penanganan salmonelosis di manusia. Infeksi oleh Salmonella yang bersifat zoonotik akan semakin diperparah oleh adanya kemampuan bakteri ini untuk bertahan dari penggunaan antibiotik yang umum digunakan (de Oliveira et al. 2006). Bakteri E. coli tidak saja menarik minat para peneliti akibat cemaran dan patogenesisnya pada hewan dan manusia. Kemampuan bakteri ini bersifat resisten terhadap penggunaan senyawa antibiotik telah banyak dilaporkan (Dhanarani et al. 2009; De Jong et al. 2012; Tadesse et al. 2012). Terlebih lagi adanya laporan yang menyebutkan potensi bakteri ini yang dapat menyebarkan kemapuan resistensinya kepada bakteri lainnya (Kluytmans et al. 2013; Liebana et al. 2013). Munculnya kemampuan bakteri khususnya Salmonella dan E. coli untuk bersifat resisten terhadap penggunaan senyawa antibiotik tentunya akan menimbulkan masalah yang besar bagi manusia, hewan dan lingkungan.
3 METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tepung telur (whole egg powder dan egg yolk powder), perangkat pengujian cepat (rapid test) RIDA®COUNT Salmonella/Enterobacteriaceae, buffered peptone water (BPW) 0.1% (OXOID CM1049), standard plate count agar (PCA; OXOID CM0463), Rappaport Vassiliadis (RV) enrichment broth (OXOID CM0669), xylose lysine deoxycholate agar (XLDA) (Oxoid CM0469), triptic soy broth (MERCK 1.05459.0500), SMAC agar (OXOID), nutrient agar (NA) (Oxoid CM0003),
7 triple sugar iron agar (TSIA; OXOID CM0277), lysin iron agar (LIA; OXOID CM0381), violet red bile agar (VRBA) (OXOID CM0107), eosin methilen blue agar (EMBA) (MERCK 1.01342.0500), reagen Kovacs (MERCK 1.09293.0100), medium MR-VP broth (OXOID CM0043), larutan α-naphthol, larutan KOH 40%, indikator Methil Red, Simmon citrate agar (Oxoid CM0155), tryptone broth (OXOID LP0042), McFarland suspenssion 0.5, Muller Hinton agar (MHA) (OXOID CM0337), lempeng cakram antibiotik, aquades, dan alkohol. Jenis antibiotik yang digunakan dalam pengujian kepekaan mikroorganisme terhadap bahan antimikrobial (antibiotik) berasal dari lima golongan antibiotik. Antibiotik dari golongan β-laktam yang digunakan adalah preparat ampisilin 10 μg (AMP; OXOID CT0003B), amoksisilin-asam klavulanat 30 μg (AMC; OXOID CT0223B) dan oksasilin 5 μg (OX; OXOID CT0040B). Antibiotik dari golongan aminoglikosida yang digunakan adalah preparat gentamisin 10 μg (CN; OXOID CT0024B) dan kanamisin 30 μg (K; OXOID CT0026B). Antibiotik dari golongan sefalosporin yang digunakan adalah preparat sefalotin 30 μg (KF; OXOID CT0010B), sefoksitin 30 μg (FOX; OXOID ), sefotaksim 30 μg (CTX; OXOID CT0166B). Antibiotik dari golongan quinolon yang digunakan adalah preparat asam nalidiksat 30 μg (NA; OXOID CT0031B) dan dari golongan tetrasiklin yang digunakan adalah preparat tetrasiklin 30 μg (T; OXOID CT0031B). Dalam setiap pengujian digunakan pula cakram tanpa kandungan bahan antimikrobial (blank disc; OXOID CT0998B) sebagai kontrol negatif
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan digital, sendok sampel steril, plastik sampel, kertas label, spidol, pinset steril, gelas Erlenmeyer (250 ml), tabung reaksi (5–10 ml) steril, cawan petri steril (diameter 100 mm dan tinggi 15 mm), pipet volumetrik (0.1-1 ml), pipet mikro (10, 100, 1000 μl), pipet tips mikro (10, 100, 1000 μl), kapas, ose, needle, hockey stick, vortex atau pengocok mekanis, stomacher, autoklaf, lemari pendingin, penangas air, inkubator 35-37 °C, GeneAmp ® PCR System 9700 thermocycler.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan November 2014. Pemeriksaan fisik komoditas, pemeriksaan dokumen, dan pengumpulan data lain terkait importasi, serta pengambilan sampel dilakukan di Tempat Pemeriksaan Fisik Terpadu, Pelabuhan Tanjung Priok dan Kantor Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Jakarta. Pengujian Laboratorium dilakukan di Laboratorium Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Uji konfirmasi terhadap isolat bakteri yang berhasil ditemukan dilakukan di Laboratorium Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) Bogor. Pengambilan data menggunakan kuesioner dilakukan dengan target responden adalah petugas karantina hewan BBKP Tanjung Priok yang pernah melakukan tindakan karantina terhadap produk tepung telur impor. Target
8 pengumpulan data menggunakan kuesioner lainnya adalah pengguna jasa dalam hal ini adalah pihak importir produk tepung telur. Kuesioner yang diajukan akan meliputi pertanyaan-pertanyaan terkait jenis, kondisi dan kemasan produk, lama waktu pengiriman, tindakan dan penanganan produk selama dalam tindakan karantina.
Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel Besaran sampel yang diambil, dihitung dengan menggunakan rumus pendugaan prevalensi berdasarkan kajian lintas seksional. Besaran sampel ditentukan pada tingkat kepercayaan 95% dihitung menggunakan persamaan menurut Budiharta (2002). Pengambilan sampel akan difokuskan pada importasi tepung telur yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta selama bulan Agustus 2014. Penghitungan besaran sampel dilakukan dengan asumsi importasi produk tepung telur selama bulan yang ditentukan dianggap sebagai satu populasi. Rumus penghitungan besaran sampel menurut Budiharta (2002): n = 4 PQ (L2) keterangan: n = besaran sampel P = asumsi prevalensi Q = 1–P L = galat yang diinginkan Berdasarkan persamaan tersebut, pengambilan sampel dilakukan dengan asumsi untuk mendapatkan besaran sampel maksimal yang dapat diperoleh melalui kajian lintas seksional. Penghitungan besaran sampel menggunakan prevalensi 50%. Besaran sampel yang diperoleh dengan prevalensi 50% dan galat sebesar 10% menghasilkan sampel yang akan diambil sebesar 100 sampel. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling). Besaran sampel yang diambil pada setiap tindakan pengambilan sampel dengan juga mempertimbangkan negara asal, perbedaan jenis tepung telur dan batch produksi. Pengambilan sampel dilakukan dengan memproporsikan besaran sampel pada jenis tepung telur yang berbeda dan batch produksi yang berbeda. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung terhadap sampel tepung telur yang diperoleh dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Observasi dilakukan untuk menemukan adanya cemaran bakteri Salmonella dan E. coli pada tepung telur melalui pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium dilakukan menggunakan metode isolasi dan identifikasi pada media biakan selektif untuk Salmonella dan E. coli. Cemaran Salmonella dan E. coli yang diperoleh melalui pengujian akan dinyatakan secara kualitatif (positif atau negatif). Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran dokumen terkait importasi tepung telur dari negara asal bahan. Data sekunder juga dikumpulkan melalui penelusuran dokumen terkait proses produksi tepung telur hingga proses transportasi (pengiriman) dari negara asal dan sampai ke Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
9 Pengujian Rapid Test terhadap Salmonella spp dan E. coli Sampel tepung telur yang dikoleksi diuji menggunakan perangkat pengujian cepat (rapid test) RIDA®COUNT Salmonella/Enterobacteriaceae terhadap keberadaan Salmonella spp dan E. coli yang dalam hal ini adalah bagian dari kelompok bakteri Enterobacteriaceae. Sebanyak 1 ml suspensi sampel tepung telur yang berasal dari suspensi sampel pra-pengayaan (25 g tepung telur ditambahkan kedalam 225 ml BPW, diinkubasi 18-20 jam pada suhu 37 °C) diteteskan pada permukaan lembaran pengujian RIDA®COUNT Salmonella/Enterobacteriaceae. Lembaran pengujian RIDA®COUNT Salmonella/Enterobacteriaceae yang telah ditetesi sampel kemudian diinkubasi di inkubator dengan suhu 35 ± 2 °C. Pembacaan hasil pengujian dilakukan dengan memperhatikan perubahan warna yang timbul pada lembaran pengujian RIDA®COUNT Salmonella/Enterobacteriaceae dan dibandingkan dengan kontrol dan panduan pembacaan hasil. Kontrol yang digunakan dalam pengujian ini adalah isolat murni Salmonella ATCC 13028 dan E. Coli ATCC 25922 yang diberikan perlakuan sama dengan sampel. Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan hasil pengujian menggunakan metode biakan konvensional sebagai acuan.
Pengujian Cemaran Salmonella spp dan E. coli Menggunakan Metode Kultur Pemeriksaan cemaran Salmonella spp dan E. coli menggunakan metode kultur dilakukan mengacu pada panduan Standar Nasional Indonesia (SNI) 2897:2008 tentang Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur, dan Susu serta Hasil Olahannya (BSN 2008). Pengujian cemaran dilakukan dengan modifikasi pada media yang digunakan pada tahapan pra-pengayaan. Medium yang digunakan pada tahapan pra-pengayaan diubah menggunakan buffered peptone water (BPW) 0.1% (Musgrove et al. 2006). Secara singkat pengujian yang dilakukan sebagai berikut: sebanyak 25 gram sampel ditambahkan ke dalam 225 ml media preenrichment buffer peptone water (BPW), selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 18-20 jam. Sebanyak 1 ml larutan tersebut kemudian diambil untuk ditambahkan dalam 10 ml media selective enrichment Rappaport-Vassiliadis (RV) dan selanjutnya diinkubasikan pada suhu 42 °C selama 24 jam. Sebanyak 1 osse inokulum dari sampel yang telah diinkubasi dalam media RV kemudian diinokulasikan pada media padat xylose lysine deoxycholate agar (XLDA) dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Koloni yang tumbuh pada media XLDA kemudian dikarakterisasi penampakan pertumbuhannya. Koloni Salmonella pada media XLDA akan tampak berwarna pink hingga merah dengan bagian tengah kehitaman. Koloni E. coli pada media XLDA umumnya akan berwarna krem hingga kuning cerah dengan dikelilingi zona berwarna putih kekuningan atau kuning trasparan. Koloni yang tumbuh kemudian diisolasi dan diidentifikasi terhadap Salmonella dan E. coli berdasarkan reaksi biokimiawi pada media agar miring TSIA dan LIA. Berdasarkan reaksi biokimiawi Salmonella spp bersifat tidak memfermentasikan laktosa tetapi menghasilkan gas H2S yang berwarna hitam. Koloni terduga Salmonella spp dan
10 E. coli dikonfirmasi secara biokimia dan uji serologis untuk peneguhan identifikasi Salmonella (Noor et al. 2006).
Uji Konfirmasi Isolat Salmonella Menggunakan Metode PCR Identifikasi terhadap bakteri Salmonella tidak dapat dilakukan hanya melalui isolasi dan identifikasi yang disertai uji-uji biokimiawi. Diperlukan tahapan lebih lanjut untuk memastikan isolat diduga (presumptif) Salmonella. Konfirmasi isolat Salmonella dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR). Pengujian menggunakan PCR yang dilakukan mengacu kepada Woods et al. (2008). Pengujian yang dilakukan menggunakan pasangan primer forward 20 pasang basa (5 - GGG GTG GAT TCT ACT CAA C – 3) primer reverse (5 – AGA AGC GGA ACT GAA AGG C – 3). Pengujian dilakukan menggunakan alat GeneAmp ® PCR System 9700 dengan total volume reagen dan bahan yang digunakan sejumlah 25 µl yang di dalamnya mengandung pasangan primer masing-masing sejumlah 1 µl (10 pmol/µl), 12.5 µl Kapa Taq Extra HotStart, 5.5 µl dH2O dan 5 µl cetakan (templat) DNA dari sampel yang diuji. Siklus pengujian yang dilakukan mencakup denaturasi pada suhu 94 °C selama 5 menit dan dilanjutkan dengan 40 siklus penggandaan untai DNA. Siklus yang dilakukan terdiri atas fase denaturasi pada suhu 94 °C selama 30 detik, penempelan (annealing) pada suhu 52 °C selama 30 detik dan amplifikasi (pemanjangan) untai DNA pada suhu 72 °C selama 30 detik. Siklus penggandaan untai DNA diakhiri dengan fase amplifikasi pada suhu 72 °C selama 7 menit. Hasil PCR berupa untai DNA yang telah digandakan kemudian dibaca melalui tahapan elektroforesis pada media agarosa 1.5% dengan memberikan pewarna ethidium bromida (0.5 µg ml-1) dan divisualisasikan menggunakan lampu dengan cahaya ultraviolet.
Uji Kepekaan Isolat Bakteri Terhadap Antibiotik Pengujian kepekaan bakteri Salmonella spp dan atau E. coli terhadap antibiotik dilakukan menggunakan metode difusi cakram (disc diffusion method) merujuk pada metode yang dipublikasikan oleh Clinical and Laboratory Standards Institute CLSI (2012). Isolat bakteri yang berhasil diisolasi diinokulasikan pada media padat nutrien agar miring. Setelah diperoleh biakan yang homogen, 1 ose dari biakan tersebut dipindahkan ke dalam triptic soy broth, kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam hingga menjadi keruh. Sebanyak 0.1 hingga 1 ml bakteri yang telah dibiakkan dalam triptic soy broth kemudian disuspensikan ke dalam 9 ml BPW 0.1% dengan menggunakan vortex hingga kekeruhannya menyamai dengan 0.5 Mc Farland. Suspensi bakteri sebanyak 0.1 ml diinokulasikan secara merata pada Mueller-Hinton agar (MHA) padat dengan menggunakan hockey stick. Lempeng cakram kosong (blank disc) dan lempeng cakram antibiotik atau antibiotic disc kemudian ditempelkan pada permukaan MHA padat yang sudah diinokulasi dengan isolat bakteri.
11 Cawan petri berisi inokulum dan lempeng cakram pengujian resistensi antibiotik diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 24 jam. Setelah diinkubasikan selama 24 jam, diameter daerah hambat (DDH) pertumbuhan bakteri yang terbentuk disekitar cakram antibiotik diukur dengan penggaris dalam satuan millimeter. Isolat bakteri ditentukan kepekaannya terhadap antimikrobial dengan mengukur zona hambat yang terbentuk. Penentuan susceptible (S), intermediate (I), dan resistant (R) ditentukan melalui ukuran zona hambat yang terbentuk berdasarkan standar interpretasi diameter zona hambat antibiotik (CLSI 2012).
Analisa Data Data yang diperoleh dalam bentuk hasil pengujian rapid test akan dianalisa dan disajikan secara deskriptif dan dihubungkan dengan ada tidaknya kejadian cemaran Salmonella dan atau E. coli pada tepung telur impor menggunakan metode kultur. Hasil analisa data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk menggambarkan kejadian cemaran Salmonella dan E. coli pada tepung telur yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Selama bulan Agustus 2014, berhasil dikumpulkan 100 sampel tepung telur yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sampel yang diperoleh berasal dari enam kali pengiriman yang berbeda. Sampel tersebut berasal dari dua negara produsen yaitu Ukraina dan India. Pemeriksaan dokumen yang menyertai importasi produk tepung telur yang menjadi obyek penelitian menunjukkan telah sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan. Importasi didukung oleh adanya sertifikat kesehatan/sanitasi (health certificate) dari negara asal yang mendeklarasikan bahwa produk tersebut telah diperiksa oleh pihak yang berwenang di negara asal dan dinyatakan bebas dari penyakit hewan khususnya Salmonella. Importasi juga disertai dengan kelengkapan dokumen lain yang dipersyaratkan seperti Sertifikat Halal, Certificate of Origin, Bill of Lading, Packing List, Invoice dan Certificate of Quality. Pemeriksaan fisik komoditi di Pelabuhan Tanjung Priok menunjukkan kesesuaian jenis produk, jumlah dan kemasan tepung telur impor dengan dokumen yang menyertainya. Keseluruhan importasi yang diperiksa menggunakan kontainer jenis dry/bulk container yang tidak dilengkapi instalasi pendingin. Pemeriksaan fisik menunjukkan nomor identifikasi kontainer dan segel yang digunakan dalam importasi sesuai dengan nomor identifikasi yang tercantum pada dokumen kelengkapan impor dan segel kontainer dalam keadaan utuh. Produk tepung telur yang diimpor dikemas dalam dua lapisan kemasan. Kemasan primer tepung telur yang berasal dari Ukraina menggunakan kantong plastik tebal transparan diamankan (disegel) dengan membuat simpul/ikatan pada bagian ujung yang terbuka. Kemasan primer kemudian dimasukkan ke dalam kemasan sekunder berupa kantong (bag) berbahan karton berlapis plastik dan aluminium foil yang kemudian dijahit. Kemasan primer tepung telur yang berasal dari India
12 juga menggunakan kantong plastik tebal transparan yang kemudian disegel menggunakan plastic strap. Kemasan primer dimasukkan ke dalam kemasan sekunder berupa kotak kardus. Bahan olahan yang bersumber dari telur baik berupa larutan telur maupun tepung telur merupakan bahan baku yang dibutuhkan dalam bidang industri pangan. Proses produksi bahan olahan yang bersumber dari telur mencakup pemanasan berupa pasteurisasi. Terdapat dua aspek penting yang ingin dicapai melalui perlakuan pasteurisasi. Aspek pertama adalah eliminasi sebanyak mungkin mikroorganisme yang mengontaminasi telur. Aspek yang lain adalah menjaga komponen gizi yang dikandungnya khususnya protein tetap dalam kondisi yang baik (Nemeth et al. 2011). Aktifitas mengurangi kandungan air dalam bahan pangan dilakukan hingga mencapai level dimana pertumbuhan mikroorganisme tidak lagi akan terjadi. Aktiifitas ini juga akan menurunkan laju reaksi kimia pada bahan pangan. Metode ini akan mengakibatkan bahan pangan mengalami dehidrasi sehingga dapat menjadi salah satu cara untuk pengawetan bahan pangan. Proses dehidrasi menjadi salah satu pilihan dalam mengawetkan telur dan telah berkembang hingga pada skala industri (Berquist 1995). Kualitas mikrobiologis tepung telur akan sangat dipengaruhi oleh perlakuan pasteurisasi bahan baku yang digunakan dan kontrol yang baik terhadap sanitasi dalam proses produksi. Whole egg powder dan egg yolk powder umumnya akan melalui proses pasteurisasi saat masih dalam bentuk cair sebelum kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan. Kombinasi antara perlakuan pasteurisasi dan pemanasan pada proses pengeringan akan membuat tepung telur yang dihasilkan memiliki cemaran bakteri yang sangat rendah. Karakteristik populasi mikrobiologi pada telur juga akan mengalami perubahan akibat dilakukannya proses dehidrasi atau pengeringan. Penghitungan total bakteri akan mengalami penurunan jumlah yang signifikan setelah dilakukannya pengeringan telur. Perubahan ini tetap dipengaruhi oleh jenis bakteri yang ada pada telur sebelum proses pengeringan. Proses pengeringan telur tidak dapat dijadikan sebagai pengganti proses pateurisasi telur dalam hal mengeleminasi cemaran mikrobiologi yang ada pada telur (Berquist 1995). Hasil pengujian menggunakan perangkat uji cepat RIDA®COUNT Salmonella/Enterobacteriaceae menunjukkan bahwa tidak terdapat sampel tepung telur yang menunjukkan reaksi positif terhadap Salmonella. Perangkat uji cepat yang digunakan masih menunjukkan hasil yang lebih baik dalam pendeteksian kemungkinan adanya cemaran bakteri lainnya dari kelompok Enterobacteriaceae yang dalam hal ini salah satu diantaranya adalah jenis bakteri E. coli. Terdapat sembilan sampel yang memberikan hasil positif adanya cemaran bakteri Salmonella dan E. coli pada produk tepung telur yang diuji (Tabel 1). Hasil positif Salmonella ditemukan pada 1 sampel whole egg powder (India, 2.5%) dan pada 4 sampel egg yolk powder (India, 13.3%). Hasil Positif E. coli ditemukan pada 3 sampel whole egg powder (Ukraina, n=1 [3.3%] dan India, n=2 [5%]) serta pada 1 sampel egg yolk powder (India, 3.3%).
13 Table 1
Hasil pengujian Salmonella dan E. coli menggunakan metode kultur berdasarkan negara asal dan jenis tepung telur Jenis tepung telur Whole egg powder Whole egg powder Egg Yolk Powder Total
Asal negara Ukraina India
Jumlah sampel
Jumlah sampel positif Salmonella E. coli
30
0
1 (3.3%)
40
1 (2.5%)
2 (5%)
30
4 (13.3%)
1 (3.3%)
100
5 (5%)
4 (4%)
Pengujian Salmonella pada produk pangan memiliki perbedaan yang signifikan dengan pengujian Salmonella pada kasus klinis. Bakteri Salmonella umumnya berada pada jumlah yang kecil pada bahan pangan. Kondisi tersebut mengakibatkan pengujian cemaran Salmonella pada pangan membutuhkan sampel yang relatif lebih besar. Meskipun demikian, penggunaan sampel pangan dalam jumlah banyak secara langsung pada media selektif pengujian Salmonella akan mengurangi selektifitas media tersebut dalam mendeteksi bakteri ini. Bakteri Salmonella pada produk pangan seringkali berada pada kondisi fisiologis yang buruk sehingga akan menyulitkan pada saat akan diisolasi atau diidentifikasi. Pengujian Salmonella membutuhkan proses pengayaan sampel yang akan diuji ke dalam media non-selektif. Proses ini akan memungkinkan terjadinya proses perbaikan kondisi bakteri yang sedang dalam kondisi fisiologis yang buruk. Perbaikan kondisi fisiologis bakteri tentunya akan memudahkan pada saat diisolasi dan diidentifikasi (Andrews et al. 2001). Pengujian konfirmasi terhadap isolat yang diduga Salmonella menggunakan metode PCR menunjukkan bahwa keseluruhan isolat terduga benar merupakan bakteri Salmonella. Hasil elektroforesis terhadap produk yang dihasilkan melalui amplifikasi PCR ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Hasil pengujian PCR isolat yang diduga Salmonella spp. Pengujian PCR yang dilakukan menggunakan pasangan primer yang berasal dari segmen DNA origin of replication (oriC) bakteri dari genus Salmonella. Segmen tersebut merupakan segmen spesifik pembeda bakteri genus Salmonella dari bakteri lainnya. Pasangan primer ini telah divalidasi menggunakan material
14 genetik bakteri Salmonella dari 72 serovar Salmonella subspesies I dan 80 serovar yang termasuk kedalam subspesies II, IIIa, IIIb, IV, dan VI serta S. bongori (Woods et al. 2008). Salmonella dan E. coli merupakan mikroorganisme utama yang menyebabkan kejadian gastroenteritis pada manusia. Bakteri ini menjadi perhatian penting dalam bidang industri makanan khususnya dari segi kesehatan masyarakat. Pemanasan atau pengolahan makanan yang tidak sempurna menjadi faktor penting yang memicu munculnya kejadian penyakit akibat pangan (foodborne illness) termasuk diantaranya adalah salmonelosis dan infeksi akibat bakteri E. coli. Kondisi ini dapat terjadi pada tingkatan industri pangan maupun pada tingkatan rumah tangga (Plym dan Wierup 2006). Air dan makanan yang terkontaminasi feses hewan atau manusia carier merupakan sumber penyebaran Salmonella dan bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae lainnya termasuk E. coli. Kontaminasi silang terjadi melalui orang yang menangani makanan, pemrosesan, kontaminasi peralatan, atau kontaminasi saat penyimpanan (Carraso et al. 2012). Kontrol terhadap terjadinya cemaran Salmonella bergantung pada tingkat pemahaman konsumen dan implementasi program kontrol kualitas oleh laboratorium secara memadai pada industri pangan (Gast 2005). Bakteri E. coli dan Enterobacteriaeae lainnya khususnya yang bersifat patogen ditemukan di dalam feses yang dikeluarkan oleh hewan berdarah panas. Eschericia coli sejatinya adalah bakteri yang bersifat komensal didalam tubuh manusia dan hewan. Terdapat jenis patogen dari bakteri ini yang menyebabkan kejadian infeksi pada intestinal maupun ekstra intestinal. Kejadian infeksi yang disebabkan bakteri ini termasuk gastroenteritis, infeksi traktus urinaria, meningitis, peritonitis, dan septisemia (Tadesse et al. 2012). Pengujian cemaran E. coli pada awalnya dikembangkan sebagai metode pengujian standar cemaran bakteri pada air. Penggunaan E. coli dan kemudian dijabarkan sebagai kelompok besar koliform sebagai organisme yang menjadi indikator sanitasi mengacu pada sumber keberadaannya pada feses. Penggunaannya sebagai indikator sanitasi kemudian digunakan pada pengujian sanitasi susu pasteurisasi dan produk susu lainnya. Penggunaan E. coli dan koliform secara umum sebagai indikator sanitasi kemudian meluas pada berbagai jenis makanan lainnya (Kornacki dan Johnson 2001). Beberapa kasus, penggunaan E. coli, koliform atau Enterobacteriaceae secara umum tidak dapat menjadi penentu utama kondisi sanitasi suatu produk pangan. Telah dilaporkan bahwa Salmonella dapat berada pada produk pangan meskipun pengujian dan penghitungan E. coli dan koliform menunjukkan nilai yang sangat rendah. Aplikasi utama bakteri E. coli, koliform atau Enterobacteriaceae pada pengujian sanitasi adalah sebagai penilaian kualitas secara umum dan memberikan gambaran tingkat higiene yang ada pada saat proses produksi pangan terjadi (Kornacki dan Johnson 2001). Infeksi pada telur dapat terjadi melalui tiga rute yang berbeda yaitu transovari, transoviduk, dan melalui penetrasi cangkang telur. Kejadian infeksi transovari terjadi saat telur masih masih melekat pada ovarium. Bagian utama yang menjadi target infeksi adalah kuning telur. Infeksi transoviduk terjadi melalui membran vitelin dan atau albumin saat telur yang sedang dipersiapkan bergerak melalui oviduk. Infeksi melalu penetrasi cangkang terjadi akibat adanya
15 kejadian yang menyebabkan berpindahnya bakteri dari permukaan luar telur ke bagian dalam (Board dan Tranter 1995; Pui et al. 2011). Kerabang telur mendapatkan cemaran bakteri pertama kali saat bergerak keluar melalui kloaka. Cemaran pada telur kemudian akan bertambah dari lingkungan terutama akibat kontak dengan bidang permukaan yang memiliki cemaran bakteri. Terdapat variasi jumlah bakteri yang mengontaminasi pada permukaan kerabang telur mulai dari hanya sejumlah ratusan hingga jutaan bakteri pada setiap kerabang telur. Bakteri E. coli merupakan salah satu jenis bakteri yang secara umum selalu ditemukan pada kerabang telur meskipun tidak selalu dalam jumlah yang besar (Board dan Tranter 1995). Telur yang terinfeksi Salmonella telah dianggap sebagai sumber utama penyebab kejadian salmonelosis pada manusia. Penyebaran salmonelosis melalui telur pada awalnya diasosiasikan dengan kondisi telur dengan cangkang yang retak atau kotor. Lebih jauh akhirnya diketahui bahwa Salmonella dapat pula berada pada telur dengan kondisi baik dan bersih. Kejadian penyebaran Salmonella dalam kasus ini terjadi akibat telur yang terinfeksi oleh Salmonella sejak awal proses pembentukan telur di saluran reproduksi unggas (Gast 2005). Pada Tabel 2 disajikan data hasil pengujian resistensi antibiotik terhadap isolat yang berhasil dideteksi dan diisolasi dari sampel tepung telur impor yang diuji. Pengujian resistensi antibiotik dilakukan terhadap 10 jenis antibiotik dari lima golongan yang berbeda. Table 2 Hasil pengujian resistensi antibiotik dengan kategori hasil resisten Jumlah isolat yang resisten berdasarkan jenis antibiotik* Isolat bakteri AMP AMC OX CN K KF FOX CTX NA T E. coli (n=4) 2 1 4 0 0 2 3 0 0 2 Salmonella 2 1 5 0 0 3 3 0 0 0 (n=5) * AMP: ampisilin; AMC: amoksisilin-asam klavulanat; OX: oksasilin; CN: gentamisin; K: kanamisin; KF: sefalotin; FOX: sefoksitin; CTX: sefotaksim; NA: asam nalidiksat; T: tetrasiklin. Hasil pengujian resistensi antibiotik menunjukkan isolat Salmonella yang berhasil dideteksi secara umum memiliki resistensi terhadap lima jenis antibiotik dengan 100% isolat memiliki resistensi terhadap minimal tiga jenis antibiotik. Isolat E. coli yang berhasil dideteksi secara umum memiliki resistensi terhadap enam jenis antibiotik dengan 75% isolat memiliki resistensi terhadap minimal tiga jenis antibiotik. Selain menunjukkan hasil resisten, terdapat isolat bakteri yang menunjukkan hasil pengujian berupa tingkat penghambatan intermediet. Hasil pengujian resistensi antibiotik terhadap isolat bakteri yang memberikan hasil intermediet ditunjukkan pada Tabel 3.
16 Table 3 Hasil pengujian resistensi antibiotik dengan kategori hasil intermediet Jumlah isolat dengan reaksi intermediet berdasarkan jenis antibiotik* AMP AMC OX CN K KF FOX CTX NA T E. coli (n=4) 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 Salmonella 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 (n=5) * AMP: ampisilin; AMC: amoksisilin-asam klavulanat; OX: oksasilin; CN: gentamisin; K: kanamisin; KF: sefalotin; FOX: sefoksitin; CTX: sefotaksim; NA: asam nalidiksat; T: tetrasiklin. Isolat bakteri
Pengujian terhadap isolat Salmonella menunjukkan terdapat reaksi intermediet pada dua isolat (50%) dengan masing-masing isolat memberikan reaksi intermediet pada satu jenis antibiotik. Pengujian terhadap isolat E. coli menunjukkan terdapat reaksi intermediet pada dua isolat (40%) dengan masingmasing isolat memberikan reaksi intermediet pada minimal satu jenis antibiotik. Resistensi terhadap senyawa antibiotik sejatinya telah ada sejak awal ditemukannya senyawa antibiotik. Sifat resistensi ini dibutuhkan oleh organisme yang memproduksi antibiotik agar dapat melindungi diri mereka sendiri dari produk antibiotik yang mereka hasilkan sendiri. Sifat resistensi ini juga dimiliki oleh organisme yang awalnya bersifat peka tetapi kemudian beradaptasi untuk dapat bertahan sehingga bisa bersaing di alam. Sifat resisten dapat muncul secara spontan akibat adanya mutasi atau merupakan sifat yang dipindahkan dari bakteri lain yang telah memiliki sifat resisten. Galur maupun spesies mikroorganisme yang telah bersifat resisten akan berkembang dan menjadi dominan serta menyebar pada populasi. Semakin tinggi penggunaan antibiotik, maka kecenderungan munculnya sifat resisten akan semakin tinggi. Kemunculan sifat resisten ini dapat terjadi pada bakteri patogen maupun bakteri yang bersifat komensal (Phillips et al. 2004). Kemunculan bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae yang memiliki sifat resisten terhadap antibiotik dari golongan β-laktam tingkat lanjut (extended spectrum β‑lactamases/ESBL) telah menjadi hal yang umum ditemukan di India. Beberapa penelitian yang difokuskan pada daerah India Selatan menunjukkan pola resistensi bakteri kelompok Enterobacteriaceae diantaranya adalah Salmonella Typhi yang bersifat resisten terhadap siprofloksasin (Kumar et al. 2013). Evolusi kemampuan resistensi terhadap senyawa antibiotik pada bakteri Salmonella khususnya Salmonella Typhi and Salmonella Paratyphi telah menjadi perhatian para peneliti. Kejadian resistensi Salmonella pada akhir tahun 1987 telah mulai dilaporkan walaupun infeksi bakteri ini masih tetap dapat ditangani menggunakan preparat antibiotik utama saat itu yaitu ampisilin, kloramfenikol dan kotrimoksazol. Awal tahun 1988 terjadi perubahan yang sangat drastis yang mana preparat antibiotik pilihan utama untuk pengobatan terhadap infeksi Salmonella menjadi penggunaan preparat floroquinolon. Awal dekade 1990an ditandai dengan munculnya sifat resistensi Salmonella terhadap preparat kloramfenikol. Masa selanjutnya, seiring dengan semakin intensifnya penggunaan preparat floroquinolon sebagai pilihan utama dalam pengobatan infeksi Salmonella, terjadi kecenderungan peningkatan kejadian resistensi Salmonella
17 terhadap preparat floroquinolon dan membaiknya kembali efektifitas penggunaan kloramfenikol dalam penanganan salmonelosis (Raghunath 2008). Kemampuan resistensi antibiotik pada Salmonella telah banyak dilaporkan memiliki pola resistensi terhadap lebih dari satu jenis antibiotik (Bajaj et al., 2003; Suresh et al., 2005; Bouchrif et al. 2008). Kemampuan resistensi antibiotik pada Salmonella sangat dipengaruhi oleh perbedaan serotipe. Secara umum Salmonella menunjukkan pola resistensi terhadap lebih dari satu jenis antibiotik dengan serotipe yang paling banyak dilaporkan bersifat resisten adalah Salmonella Typhimurium (Musgrove et al. 2006; Bouchrif et al. 2008). Munculnya sifat resistensi terhadap antibiotik tidak hanya dikaji pada organisme yang bersifat patogen. Kajian juga telah dilakukan pada jenis bakteri komensal seperti E. coli. Terdapat banyak isolat E. coli yang telah dilaporkan memiliki resistensi terhadap senyawa antibiotik. Resistensi yang dimiliki E. coli minimal terjadi terhadap satu jenis antibiotik. Beberapa kajian menunjukkan E. coli mampu bersifat resisten terhadap lebih dari satu jenis antibiotik (Musgrove et al. 2006; Raghunath 2008). Bakteri E. coli seringkali digunakan sebagai sentinel di dalam pemantauan resistensi antibiotik pada jenis bakteri yang bersumber dari feses. Kondisi ini disebabkan karena E. coli lebih sering ditemukan pada hospes yang bervariasi serta dapat menunjukkan resistensi dengan mudah. Bakteri ini dapat menjadi indikator terhadap kejadian resistensi pada bakteri Salmonella. Hasil survei menggambarkan bahwa resistensi yang dihasilkan oleh E. coli secara konsisten paling tinggi terjadi pada jenis antibiotik yang telah lama digunakan pada manusia dan hewan. Dua dekade terakhir menunjukkan terjadinya peningkatan kejadian dan penyebaran bakteri yang bersifat resisten terhadap lebih dari satu jenis antibiotik. Peningkatan kejadian resistensi juga terjadi pada jenis antibiotik yang lebih baru seperti pada golongan fluoroquinolon dan beberapa jenis dari golongan sefalosforin (Tadesse et al. 2012). Gambaran tersebut dapat pula terlihat pada hasil pengujian resistensi antibiotik yang ditunjukkan oleh isolat E. coli yang diuji. Isolat E.coli yang diperoleh menunjukkan resistensi pada seluruh antibiotik golongan β-laktam serta antibiotik golongan tetrasiklin yang diujikan. Isolat E. coli yang diperoleh juga menunjukkan resistensi terhadap jenis antibiotik yang lebih baru yaitu sefalotin dan sefoksitin dari golongan sefalosporin. Bakteri yang telah memiliki kemampuan untuk bersifat resisten terhadap antibiotik khususnya melalui ekspresi genotipik tertentu akan menjadi potensi bahaya. Bakteri tersebut akan dapat bertahan dari penggunaan senyawa antibiotik tertentu dan kemudian akan dapat menyebarkan sifat resistensi tersebut pada bakteri lain dalam lingkungan dan populasi hewan serta manusia yang dicemarinya. Penyebaran sifat resistensi ini akan semakin didukung oleh fakta bahwa beberapa senyawa antibiotik digunakan secara bersamaan untuk terapi infeksi baik pada manusia dan hewan (Szmolka dan Nagy 2013). Infeksi yang disebabkan oleh bakteri dengan kemampuan resistensi terhadap antibiotik menjadi semakin sulit atau bahkan mustahil untuk disembuhkan mengunakan senyawa antibiotik yang ada saat ini. Kondisi ini tentunya menjadikan tingkat kejadian infeksi maupun tingkat kejadian kematian akibat infeksi bakteri resisten semakin meningkat. Pengobatan yang dapat dilakukan tentunya harus menggunakan senyawa antibiotik dengan tingkatan lebih tinggi sehingga menimbulkan biaya yang lebih besar. Kejadian resistensi antibiotik
18 banyak melibatkan bakteri patogen yang umum menginfeksi manusia. Resistensi antibiotik yang terjadi pada bakteri menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang semakin meluas. Kondisi ini muncul akibat semakin majunya mobilisasi manusia, hewan dan bahan pangan beresiko serta didukung oleh perdagangan dunia. Paparan senyawa antibiotik pada bakteri yang berada di lingkungan maupun hadirnya bakteri yang telah memiliki sifat resisten terhadap antibiotik tentunya akan meningkatkan skala kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik yang telah ada. Kondisi ini akan memperbesar potensi bahaya resistensi antibiotik pada bakteri melalui percepatan laju evolusi faktor-faktor resisten yang dimunculkan, dan penyebaran faktor-faktor resisten tersebut diantara bakteri yang ada (Finley et al. 2013). Terdapat perbedaan besar penggunaan senyawa antibiotik pada manusia dan hewan khususnya hewan yang dipelihara sebagai sumber bahan pangan bagi manusia atau umum disebut sebagai hewan ternak/konsumsi. Penggunaan senyawa antibiotik pada manusia umumnya dilakukan secara langsung pada orang yang menderita infeksi karena bakteri. Penggunaan senyawa antibiotik pada hewan ternak/konsumsi sering kali tidak terbatas pada hewan yang menderita infeksi. Penggunaan senyawa antibiotik dapat juga diberikan pada keseluruhan hewan dalam kelompok yang sama dengan hewan yang terinfeksi. Kondisi lain yang terjadi adalah penggunaan senyawa antibiotik tidak terbatas pada penanganan infeksi, tetapi juga untuk tujuan pencegahan maupun sebagai bahan imbuhan pakan sebagai komponen perangsang pertumbuhan. Penggunaan senyawa antibiotik untuk keperluan selain pada penanganan infeksi umumnya diberikan pada kadar yang lebih rendah dari kadar yang digunakan untuk keperluan penanganan infeksi (Bonnet et al. 2009; Szmolka dan Nagy 2013). Manusia dan hewan terkoneksi melalui lingkungan yang dihuni bersama. Resistensi antibiotik yang terjadi pada bakteri sangat penting untuk dipadang dan diintegrasikan sebagai bagian dari konsep One Health jika ingin penanganannya berhasil dengan sempurna. Resistensi antibiotik pada bakteri membutuhkan strategi penanganan secara menyeluruh yang mencakup komunikasi dan kerja bersama lintas disiplin ilmu pengetahuan (Bonnet et al. 2009; Finley et al. 2013; Szmolka dan Nagy 2013).
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Terdapat kejadian cemaran Salmonella dan E. coli pada tepung telur yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Tingkat kejadian cemaran Salmonella mencapai 5% sedangkan kejadian cemaran E. coli mencapai 4% pada sampel tepung telur impor yang diuji. Isolat Salmonella dan E. coli yang berhasil dideteksi dan diisolasi menunjukkan kemampuan resistensi terhadap beberapa jenis antibiotik. Isolat Salmonella memiliki resistensi terhadap lima jenis antibiotik dengan 100% isolat memiliki resistensi terhadap minimal tiga jenis antibiotik. Isolat E. coli memiliki resistensi terhadap enam jenis antibiotik dengan 75% isolat memiliki resistensi terhadap minimal tiga jenis antibiotik. Isolat
19 Salmonella menunjukkan reaksi intermediet pada dua isolat (50%) dengan masing-masing isolat memberikan reaksi intermediet pada satu jenis antibiotik. Isolat E. coli menunjukkan terdapat reaksi intermediet pada dua isolat (40%) dengan masing-masing isolat memberikan reaksi intermediet pada minimal satu jenis antibiotik.
Saran Diperlukan penyusunan suatu standar baku penanganan dan pengujian produk tepung telur impor dalam pelaksanaan tindakan karantina. Pengujian terhadap cemaran Salmonella dan E. coli pada produk tepung telur masih memerlukan kajian untuk dapat memberikan hasil yang akurat dalam waktu yang lebih singkat. Pemerintah selayaknya menerbitkan pedoman dan standar yang akan digunakan dalam pengawasan sanitasi produk dan tata laksana impor serta perdagangan produk tepung telur.
DAFTAR PUSTAKA Andrews WH, Flowers RS, Silliker J, Bailey JS. 2001. Salmonella. Di dalam: Downes FP and K Ito, editor. Compendium of Methods for The Microbiological Examination of Foods, 4th Ed. Washington (US): American Public Health Association. Anton M. 2010. Composition and Structure of Hen Egg Yolk. Di dalam: Huopalahti R, R Lopez-Fandino, M Anton, R Schade, editor. Bioactive Egg Compounds. Heidelberg, Berlin (DE): Springer. Bajaj BK, Sharma V, Thakur RL. 2003. Prevalence and antibiotic resistance profiles of Salmonella spp. in poultry eggs. J Food Sci Technol. 40:682–684. Baron F, Gautier M, Brule G. 1999. Rapid growth of Salmonella Enteritidis in egg white reconstituted from industrial egg white powder. J Food Prot. 62(6): 585-91. [BBKP Tanjung Priok] Balai Besar karantina Pertanian tanjung Priok. 2014. Jakarta (ID) Laporan Tahunan BBKP Tanjung Priok 2013. Jakarta (ID); BBKP Tanjung Priok. Berquist DH. 1995. Egg Dehydration. Di dalam: Stadelman WJ and OJ Coterril, editor. Egg Science and Technology, 4th Ed. New York (US): Food Product Pr. Bonnet C, Diarrassouba F, Brousseau R, Masson L, Topp E, Diarra MS. 2009. Pathotype and antibiotic resistance gene distributions of Escherichia coli isolates from broiler chickens raised on antimicrobial-supplemented diets. Appl Environ Microbiol. 75(22): 6955–6962. Botka-Petrak K, Petrak T, Medic H, Novakovic P. 2000. Bacteriological contamination of egg products after thermal preservation processes. Acta Aliment Hung. 29: 315-322.
20 Bouchrif B, Paglietti B, Murgia M, Piana A, Cohen N, Ennaji MM, Rubino S, Timinouni M. 2008. Prevalence and antibiotic-resistance of Salmonella isolated from food in Morocco. J Infect Developing Countries. 3(1):35-40. Braden CR. 2006. Salmonella enterica serotype Enteritidis and eggs: a national epidemic in the United States. Clin Infect Dis. 43:512–517. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 2897:2008 tentang Metode Pengujian Cemaran Mikroba Dalam Daging, Telur, dan Susu Serta Hasil Olahannya. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Indonesia. Budiharta S. 2002. Kapita Selecta Epidemiologi Veteriner. Yogyakarta (ID): Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH UGM. Carraso E, Morales-Rueda A, García-Gimeno RM. 2012. Cross-contamination and recontamination by Salmonella in foods: a review. Food Res Int. 45: 545-556. doi:10.1016/j.foodres.2011.11.004 [CFSAN] The U.S. Food and Drug Administration, Center for Food Safety and Applied Nutrition. 2001. Bacteriological Analitical Manual Online. Maryland (US): The U.S. Food and Drug Administration, Center for Food Safety and Applied Nutrition. [CLSI] Clinical and Laboratory Standards Institute. 2012. Performance Standards for Antimicrobial Susceptibility Testing; Twenty Second Informational Supplemant. West Valley (US): Clinical and Laboratory Standards Institute. Cogan TA, Humphrey TJ. 2003. The rise and fall of Salmonella Enteritidis in the UK. J App Microbiol. 94 (1):114-119. Cortes P, Blanc V, Mora A, Dahbi G, Blanco JE, Blanco M, Lopez C, Andreu A, Navarro F, Alonso MP, Bou G, Blanco J, Llagostera M. 2010. Isolation and characterization of potentially pathogenic antimicrobial-resistant Escherichia coli strains from chicken and pig farms in Spain. Appl Environ Microbiol. 76(9): 2799–2805. Croxen MA, Law RJ, Scholz R, Keeney KM, Wlodarska M, Finlay BB. 2013. Recent Advances in Understanding Enteric Pathogenic Escherichia coli. Clin Microbiol Rev. 26(4): 822-880. Damerow G. 2010. Storey’s Guide to Raising Chickens; Care, Feeding, Facilities, 3rd ed. North Adams, Massachusset (US): Storey Pub. de Oliveira FA, Brandelli A, Tondo EC. 2006. Antimicrobial resistance in Salmonella Enteritidis from foods involved in human salmonelosis outbreaks in southern Brazil. New Microbiol. 29: 49-54. Finley RL, Collignon P, Larsson DGJ, Mc Ewen SA, Li XZ, Gaze WH, ReidSmith R, Timinouni M, Graham DW, Topp E. 2013. The scourge of antibiotic resistance: the important role of the environment: review article. Clin Infect Dis. 57 (5): 704-710. [FSIS] The U.S. Department of Agriculture’s Food Safety and Inspection Service .2014. Washington firm recalls dried egg products due to possible salmonella contamination, news release [internet]. Washington D.C. (US): FSIS. [diunduh 2014 April 14]. Tersedia pada: http://www.fsis.usda.gov/wps/portal/fsis/topics/recalls-and-public-healthalerts/current-recalls-and-alerts. Gast RK. 2005. Bacterial Infection of Eggs. Di dalam: GC Mead, editor. Food Safety Control in The Poultry Industry. Cambridge (UK): Woodhead Pub.
21 Gibbons NE, Moore RL. 2011. Dried whole egg powder: XI. occurrence and distribution of Salmonella organisms in Canadian powder. Abstracs. Can J Res. 22(3): 48-57. DOI: 10.1139/cjr44f-007. Grizard S, Dini-Andreote F, Tieleman BI, Salles JF. 2014. Dynamics of bacterial and fungal communities associated with eggshells during incubation. Ecol Evol. 4(7): 1140–1157. Hammerum AM, Heuer OE. 2009. Human health hazards from antimicrobialresistant Escherichia coli of animal origin. Clin Infect Dis. 48:916–921. Jin T, Zhang H, Boyd G, Tang J. 2008. Thermal resistance of Salmonella Enteritidis and Escherichia coli K12 in liquid egg determined by thermaldeath-time disks. J Food Eng. 84: 608–614. Johnson JR, Kuskowski MA, Smith K, O’Bryan TT, Tatini S. 2005. Antimicrobial-resistant and extraintestinal pathogenic Escherichia coli in retail foods. J Infect Dis. 191:1040-1049. Jones DR, Anderson KE, Guard JY. 2012. Prevalence of coliforms, Salmonella, Listeria, and Campylobacter associated with eggs and the environment of conventional cage and free-range egg production. Poult Sci. 91 :1195–1202. Kornacki JL, Johnson JL. 2001. Enterobacteriaceae, Coliforms,and Eschericia coli as Quality and Safety Indicators. Di dalam: Downes FP and K Ito, editor. Compendium of Methods for The Microbiological Examination of Foods, 4th Ed. Washington (US): American Public Health Association. Kumar SG, Adithan C, Harish BN, Sujatha S, Roy G, Malini A. 2013. Antimicrobial resistance in India: a review. J Nat Sci Biol Med. 4 (2): 286291. Li-Chan EC, Powrie WD, Nakai S. 1995. The Chemistry of Eggs and Egg Products. Di dalam: Stadelman WJ and OJ Coterril, editor. Egg Science and Technology, 4th Ed. New York (US): Food Product Pr. Lound L, Plem S, Favre L, Genaro V, Martinez F, Giannuzzi L. 2011. Acid/heat resistance of Salmonella Serotypes in powdered egg albumin. XXII Latin American Poultry Congress 2011. Buenos Aires, Argentina. Mattick KL, Jorgensen F, Wang P, Pound J, Vandeveden MH, Ward LR, Legan JD, Lappin-Scott HM, Humprey TJ. 2001. Effect of challenge temperature and solute type on heat tolerance of Salmonella serovars at low water activity. Appl Environ Microbiol. 67(9):4128-4136. DOI: 10.1128/AEM.67.9.4128-4136.2001. Mellata M. 2013. Human and avian extraintestinal pathogenic Escherichia coli: infections, zoonotic risks, and antibiotic resistance trends. Foodborne Pathog Dis. 10(11): 916-932. Murray D, Feldman C, Lee L, Schuckers C. 2013. An exploratory study of food safety and food handling: examining ready-to-eat foods in independent delicatessen operations. Adv Biosci Biotechnol. 4:430-436. Musgrove MT, Jones DR, Northcutt JK, Cox NA, Harrison MA, Fedorka-Cray PJ, Ladely SR. 2006. Antimicrobial Resistance in Salmonella and Escherichia coli isolated from commercial shell eggs. Poult Sci. 85:1665– 1669. Németh C, Mráz B, Friedrich L, Suhajda A, Janzsó B, Balla C. 2011. Microbiological measurements for the development of a new preservation procedure for liquid egg. Czech J Food Sci. 29:569–574.
22 Noor SM, Poeloengan M, Andriani. 2006. Kepekaan isolat Salmonella enteritidis dan Salmonella hadar yang diisolasi dari daging ayam terhadap antibiotik. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006. Bogor (ID): Balitvet. Oh JY, Kang MS, Kim JM, An BK, Song EA, Kim JY, Shin EG, Kim MJ, Kwon JH, Kwon YK. 2011. Characterization of Escherichia coli isolates from laying hens with colibacillosis on 2 commercial egg-producing farms in Korea. Poult Sci. 90 :1948–1954. Phillips I, Casewell M, Cox T, De Groot B, Friis C, Jones R, Nightingale C, Preston R, Waddell J. 2004. Does the use of antibiotics in food animals pose a risk to human health?A critical review of published data. J Antimicrob Chemother. 53 (1): 28–52. Plym FL, Wierup M. 2006. Salmonella contamination; a significant challenge to the global marketing of animal food Products. Rev sci tech Off int Epiz. 25(2): 541-554. Pui CF, Wong WC, Chai LC, Tunung R, Jeyaletchumi P, Noor HMS, Ubong A, Farinazleen MG, Cheah YK, Son R. 2011. Salmonella: A foodborne pathogen. Int Food Res J. 18:465-473. Raghunath D. 2008. Emerging antibiotic resistance in bacteria with special reference to India; J Biosci. 33: 593–603. Szmolka A, Nagy B. 2013. Multi drug resistant commensal Escherichia coli in animals and its impact for public health: review article. Front Microbiol. 4 (258):1-13 Solowey M, Mc Farlane VH, Spaulding EH, Chemerda C. 1947. Microbiology of spray-dried whole-egg powder. II. Incidence and types of Salmonella. Am J Pub Health 37:971-982. Srinivasan P, Balasubramaniam GA, Murthy TRGK, Balachandran P. 2013. Bacteriological and pathological studies of egg peritonitis in commercial layer chicken in Namakkal area. Asian Pac J Trop Biomed. 3(12): 988-994. Suresh T, Hatha AAM, Sreenivasan D, Sangeetha N, Lashmanaperumalsamy P. 2005. Prevalence and antimicrobial resistance of Salmonella Enteritidis and other salmonellas in the eggs and egg-storing trays from retail markets of Coimbatore, South India. Food Microbiol. 23:294–299. Tadesse DA, Zhao S, Tong E, Ayers S, Singh A, Bartholomew MJ, McDermott PF. 2012. Antimicrobial drug resistance in Escherichia coli from humans and food animals, united states, 1950–2002. Emerg Infect Dis. 18 (5):741749. Woods DF, Reen FJ, Gilroy D, Buckley J, Frye JG, Boyd EF. 2008. Rapid Multiplex PCR and real-time TaqMan PCR assays for detection of Salmonella enterica and the highly virulent serovars Choleraesuis and Paratyphi C. J Clin Microbiol. 46: 4018–4022.
23 Lampiran 1 Shipment
Daftar dan jumlah sampel tepung telur yang diambil sebagai obyek penelitian
#1
Negara asal Ukraina
Jenis komoditi Whole Egg Powder
#2
Ukraina
Whole Egg Powder
#3
India
Whole Egg Powder
Egg Yolk Powder #4
India
Whole Egg Powder Egg Yolk Powder
#5
India
Whole Egg Powder
Egg Yolk Powder
#6
India
Whole Egg Powder
Jumlah komoditi & keterangan Kontainer # TGHU-2323904 Batch # 4/02.05.14 Net. 12500 Kg, 625 bags, @ 20 Kg Kontainer # WHLU-2342385 Batch # 22/11.05.14 Net. 12500 Kg, 625 bags, @ 20 Kg Kontainer # WHLU-2344686 Batch # 26/13.05.14 Net. 12500 Kg, 625 bags, @ 20 Kg Kontainer # RWAU-2401320 Batch # W12-14820, W1214822, W12-14847 Net. 6000 Kg, 240 ct, @ 25 Kg Kontainer # RWAU-2401320 Batch # Y11-14841, Y11-14843 Net. 6550 Kg, 262 ct, @ 25 Kg Kontainer # CAIU-3620115 Batch # W12-14816, Net. 2550 Kg, 102 ct, @ 25 Kg Kontainer # CAIU-3620115 Batch # Y11-14831, Y1114833, Y11-14835 Net. 10000 Kg, 400 ct, @ 25 Kg Kontainer # SIKU-3076253 Batch # W12-14818, W1214819, W12-14820 Net. 6000 Kg, 240 ct, @ 25 Kg Kontainer # SIKU-3076253 Batch # Y11-14835, Y1114837, Y11-14839 Net. 6550 Kg, 262 ct, @ 25 Kg Kontainer # TEMU-4985810 Batch # W12-14762, W1214813, W12-14814, W12-14816 Net. 12550 Kg, 502 ct, @ 25 Kg Jumlah Sampel Total :
Jumlah sampel 10 Sampel
10 Sampel
10 Sampel
10 Sampel
10 Sampel
10 Sampel
10 Sampel
10 Sampel
10 Sampel
10 Sampel
100 Sampel
24 Lampiran 2 Hasil Pengujian sampel tepung telur terhadap cemaran Salmonella spp dan E. coli berdasarkan negara asal dan jenis tepung telur Negara asal Ukraina
India
Jenis tepung telur
Shipment
Jumlah sampel
Jumlah sampel positif Salmonella
E. coli
Whole Egg Powder
#1
10
0
0
Whole Egg Powder
#2
10
0
0
Whole Egg Powder
#2
10
0
1
Whole Egg Powder
#3
10
0
1
Egg Yolk Powder
#3
10
0
0
Whole Egg Powder
#4
10
0
1
Egg Yolk Powder
#4
10
0
0
Whole Egg Powder
#5
10
1
0
Egg Yolk Powder
#5
10
4
1
Whole Egg Powder
#6
10
0
0
100
5%
4%
Jumlah total sampel/prevalensi
25 Lampiran 3 Hasil pengujian resistensi antibiotik pada isolat bakteri yang berasal dari sampel tepung telur
No.
Nomor sampel
Jenis bakteri
Hasil pengujian resistensi antibiotik berdasarkan jenis antibiotik yang digunakan* A A F C O C K N M M K O T X N F A P C X X
T
1
25
E. coli
R
S
R
S
S
S
S
S
S
R
2
42
E. coli
R
S
R
S
S
S
S
S
S
R
3
66
Salmonella spp.
S
S
R
S
S
R
R
S
S
S
4
71
Salmonella spp.
R
S
R
S
S
R
R
S
S
S
5
72
Salmonella spp.
R
R
R
S
S
R
R
S
I
S
6
73
Salmonella spp.
S
S
R
S
S
R
R
S
S
S
7
75
E. coli
I
I
R
S
S
R
R
S
S
S
8
80
Salmonella spp.
S
S
R
S
S
I
R
S
S
S
9
87
E. coli
I
R
R
S
S
R
R
S
S
S
* AMP: ampisilin; AMC: amoksisilin-asam klavulanat; OX: oksasilin; CN: gentamisin; K: kanamisin; KF: sefalotin; FOX: sefoksitin; CTX: sefotaksim; NA: asam nalidiksat; T: tetrasiklin; R: resisten; I: intermediet; S: susceptible (Peka)
26
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Kendari, 8 Januari 1980, anak kedua dari empat bersaudara anak dari pasangan Sidik Talui dan Nuryati Badu. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah di SMUN I Kendari, Sulawesi Tenggara pada tahun 1997 dan melanjutkan pendidikan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama. Penulis lulus program Sarjana Kedokteran Hewan tahun 2001 dan melanjutkan ke Program Profesi Dokter Hewan pada tempat dan waktu yang sama. Penulis lulus dan memperoleh gelar Dokter Hewan pada tahun 2003. Penulis masuk Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor tahun 2013 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur beasiswa dari Badan Karantina Pertanian, Kementrian Pertanian Republik Indonesia. Penulis merupakan Dokter Hewan Karantina yang bertugas di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Jakarta.