BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK
RITA SARI DEWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Babesiosis Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2009 Rita Sari Dewi NIM B251064054
ABSTRACT RITA SARI DEWI. Babesiosis in Australian Cattle imported via Tanjung Priok. Under direction of UMI CAHYANINGSIH and A. WINNY SANJAYA This study was carried out to determine the prevalence of Babesia sp in Australian cattle by blood smear method, parasitaemia level, Average Daily Gain (ADG), Pack Blood Cell (PCV), Red Blood Cell (RBC) count, and the related factor that influence incidence of babesiosis such as breed, sex, age, farm location and country origin. Four hundred and nine samples were taken from 4 different farms. The Average prevalence of babesiosis was 10,5% with a low parasitaemia level 0,05% (42 heads) and 1% (1 head). The average daily gain (ADG) from 95 cattle were checked with the statistic analyzed result were not significant (20 cattle have ADG under weight gain (<1,2kg/day ). PCV and RBC counted from 163 cattle with statistic analyze result were not significant. The average PCV from cattle with babesiosis were lower (37,0%) than cattle without babesiosis (42,2%) and RBC counted have the same result (8,8 x 106 /ul). Breed factor had significant result to babesiosis (OR= 1.96;SK95%=0,101-0,379). Babesiosis prevalence in Santa gertrudis breed were higher (24%) than Brahman cross (5,8%). Sex, age, farm location and country origin could not use as a parameter in this study, caused they were in the same condition. Keyword : Babesiosis, Babesia sp, Australian Cattle
RINGKASAN RITA SARI DEWI. Babesiosis Pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan A. WINNY SANJAYA Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat sesuai dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi yang cukup. Jumlah ternak sapi di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan protein hewani khususnya daging sapi maka importasi sapi menjadi salah satu langkah yang diambil. Negara Australia adalah salah satu negara yang mengekspor sapi ke Indonesia pada saat ini. Impor hewan hidup memiliki resiko penyebaran penyakit yang lebih besar jika dibandingkan dengan mengimpor bentuk karkas. Babesiosis adalah salah satu penyakit yang dapat terbawa oleh sapi impor. Babesiosis pada sapi termasuk dalam Hama Penyakit Hewan Karantina Golongan II (Peraturan Menteri Pertanian No. 110/Kpts/TN.530/2/2006 tentang penggolongan jenis-jenis hama penyakit hewan karantina) yaitu jenis penyakit yang sudah diketahui cara penanganannya dan telah dinyatakan ada di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia. Pemeriksaan terhadap babesiosis pada sapi impor Australia belum pernah diteliti sehingga dipandang perlu untuk memeriksa parasit darah tersebut pada sapi potong asal Australia. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui adanya infeksi dan prevalensi Babesia sp. pada sapi potong Australia berdasarkan pada pemeriksaan ulas darah dan analisa darah (PCV dan jumlah sel darah merah) yang dikaitkan dengan faktor-faktor bangsa/breed, jenis kelamin, umur, lokasi pengambilan sampel dan daerah asal sapi. Dalam penelitian ini diambil sampel dari 4 kali pemasukan hewan pada bulan September dengan jumlah sampel menggunakan rumus Thrusfield (2005). Berdasarkan prevalensi babesiosis di Australia 7.5% (Jonsson et al. 2008) dengan asumsi sekali kedatangan sapi dianggap sebagai satu populasi ternak. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan ulas darah untuk menghitung prevalensi babesiosis dan tingkat parasitemia. Sampel darah diambil melalui vena coccigealis lalu dibuat preparat ulas darah dan dilihat melalui mikroskop untuk menghitung prevalensi babesiosis. Pemeriksaan tingkat parasitemia Babesia sp. untuk melihat tingkat keparahan infeksi maka dilakukan dengan menghitung jumlah Babesia sp. pada 200 sel darah merah. Pemeriksaan selanjutnya Pack Cell Volume (PCV) dan jumlah butir darah merah (BDM) dengan menggunakan alat Automated Hematology Analyzer. Dilakukan pula pengamatan terhadap rata-rata kenaikan berat badan harian (Average daily gain/ADG) terhadap 95 ekor sapi yang dipilih secara acak dengan membandingkan selisih berat badan awal (pertama kali masuk kandang) dan berat badan akhir (setelah satu bulan setengah) dibagi dengan waktu pemberian pakan (Day of feed/DOF). Peubah yang digunakan bangsa (breed), jenis kelamin, umur, lokasi pengambilan sampel dan daerah asal (Australia). Pengambilan data dengan menggunakan kuisioner. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji chi-square (x2) untuk menganalisis signifikansi asosiasi antara kejadian penyakit dan faktor resiko dan
uji-t (t-test) untuk menganalisis perbedaan data kontinyu (jujuh) berdasarkan dua kategori (Martin et al. 1987). Prevalensi babesiosis dari setiap perusahaan pengimpor berbeda-beda. Prevalensi tertinggi yaitu didapat dari Teluk Naga, Tangerang sebanyak 25% sedangkan terendah yaitu 1% dari Cileungsi, Bogor. Rata-rata prevalensi babesiosis sapi potong asal Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok adalah 10,5% yaitu dari 409 sampel didapat hasil positif Babesia sp sebanyak 43 sampel. Tingkat parasitemia yang didapat cukup rendah yaitu 0,5% pada 42 ekor sapi dan 1 % pada 1 ekor sapi. Pengamatan gejala klinis juga dilakukan, pada hewan yang diamati tidak nampak adanya gejala babesiosis seperti kelemahan, demam atau kekuningan. Hal ini dikarenakan tingkat parasitemia yang terjadi rendah yaitu 0,5% dan 1%. Pemeriksaan kenaikan rata-rata berat badan (BB) harian dilakukan terhadap 95 ekor sapi. Kenaikan rata-rata berat badan harian yang diharapkan (standar) adalah 1,2 – 1,4 kg /hari. Pada 20 ekor sapi yang kenaikan berat badannya tidak mencapai 1.2 kg/hari yaitu 3 ekor sapi terinfeksi Babesia sp, 11 ekor terinfeksi parasit darah lain (theileriosis/anaplasmosis) dan 6 ekor sisanya tidak teinfeksi parasit darah. Nilai PCV normal pada sapi yaitu 24 – 46% sedangkan jumlah sel darah merah normal yaitu 5,0 – 10,0 106 /ul. Dari tabel diatas tampak bahwa nilai PCV yang dibawah normal adalah 8,6% (14 sampel) dan 4 sampel menunjukkan positif Babesia sp, sedangkan jumlah sel darah merah yang dibawah normal sebanyak 1,8% (3 sampel) dan 1 sampel menunjukkan positif Babesia sp. Hasil analisa statistik menunjukkan tidak berbeda nyata nilai PCV dan sel darah merah antara sapi terinfeksi babesiosis dan sapi yang tidak terinfeksi, tingkat parasitemia pada hewan yang rendah yaitu 1% dan 0,5% sehingga kerusakan sel darah merah dan perubahan PCV tidak berbeda nyata. Sampel diambil dari 2 jenis bangsa sapi yang berbeda yaitu 309 ekor bangsa Brahman cross dan 100 ekor bangsa Santa gertrudis. Prevalensi babesiosis pada Santa gertrudis lebih tinggi dibandingkan pada Brahman cross. Faktor resiko bangsa/ras secara signifikan berpengaruh terhadap terjadinya infeksi Babesia sp (OR= 1.96;SK95%=0,101-0,379). Kejadian babesiosis yang lebih banyak pada sapi Santa gertrudis (25%) dibandingkan pada sapi Brahman cross (5,8%). Peubah lain yang juga diamati adalah umur, jenis kelamin dan daerah asal sapi. Pada penelitian ini umur sapi yang diamati masuk kelompok antara 1 – 3 tahun dan semua sapi yang diimpor berjenis kelamin jantan serta berasal dari Australia Utara sehingga dapat dianggap sama dan tidak dapat dijadikan sebagai faktor peubah. Kata kunci : babesiosis, Babesia sp., sapi Australia
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK
RITA SARI DEWI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Skripsi : Babesiosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok Nama : Rita Sari Dewi NIM : B251064054
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Drh. Umi Cahyaningsih, M.S. Ketua
Dr.Drh. A. Winny Sanjaya, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Drh. Denny Widaya. Lukman, MSi. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 15 Januari 2009
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Drh. Rr. Sri Utami Handajani, MS.
PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai November 2008 ini ialah Babesiosis dengan judul Kajian Prevalensi Babesiosis pada Sapi Potong asal Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Drh. Umi Cahyaningsih, MS. dan Dr. Drh. A. Winny Sanjaya, MS. selaku pembimbing, Kepala Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan ini, Kepala Balai Karantina Pertanian Soekarno Hatta dan Staf, Kepala Balai Karantina Pertanian Tanjung Priok dan staf, khususnya kepada Bapak Ir. Syukur Iwantoro, MS.,MBA, Drh. Basir Nainggolan, Drh. Hadi Wardoko, MM, D. Indra Mulya, S.sos, Msi. dan Drh. Dwi Agus Sudaryanto atas segala sarana dan prasarana dan dukungan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Laboratorium protozologi dan staf serta Kepala laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner dan staf di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman seangkatan (Risma, Nunung, Era, Arif, Muji, Duma, Maya, Edi, Tatit, Melani, Arum, Iswan, Endah dan Yoyok) dan teman-teman kantor untuk segala kebersamaan yang telah diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Suami, Faiz, Fasha, Ayahanda Noerdin serta Ibunda Salbiah, adik dan kakakku serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya Badan Karantina Pertanian. Bogor, Januari 2009 Rita Sari Dewi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Baturaja, Sumatera Selatan pada tanggal 29 September 1974 dari Bapak Noerdin Marsub dan Ibu Salbiah. Penulis merupakan anak ke empat dari delapan bersaudara. Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri 33 Cengkareng Jakarta Barat dan Pada tahun yang sama penulis lulus memasuki Institut Pertanian Bogor Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis lulus sebagai sarjana kedokteran hewan pada tahun 1997 dan lulus dokter hewan pada tahun 1999. Penulis pernah bekerja sebagai karyawati di perusahaan swasta pada tahun 1999 sampai 2003 kemudian diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Balai Besar Karantina Pertanian sejak tahun 2003 sebagai Medik Veteriner di Balai Karantina Hewan Tanjung Priok sampai tahun 2005 yang kemudian bertugas di Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta hingga sekarang. Penulis menikah pada tahun 2000 dengan Putut Eko Wibowo dan telah dikaruniai dua anak M. Faiz Febriandana Putra dan Fasha Ratu Rayani.
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Babesiosis Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2009 Rita Sari Dewi NIM B251064054
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………………..………………………………………… DAFTAR GAMBAR …………………………….…………………………
ii iii
PENDAHULUAN Latar Belakang …………..…………………………………………... Tujuan Penelitian ………..…………………………………………... Manfaat Penelitian ……….…………………………………………. Permasalahan …………….…………………………………………… Hipotesis ………………………………………………………………
1 2 2 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Importasi Sapi Pedaging di Indonesia … ….………………………… Babesiosis ……………….…………………………………………… Etiologi ….…………………………………..……………................. Siklus Hidup ……..………………………….……………................. Patogenesa …….…………………………..………………................ Penularan…………………………………..………………................ Diagnosis…………………………………..………………................ Gambaran darah Pada Sapi Babesiosis………….…………………… Pencegahan dan Kontrol ………………………………….…………. Babesiosis di Indonesia…..…………………………………………… Babesiosis di Australia ……..…………………………………………
4 5 7 8 9 10 10 11 12 12 13
MATERI DAN METODE Waktu dan tempat penelitian …….………………………………… Penentuan Jenis sampel ..…..……………………………………… Alat ………………………………………………………………... Bahan ………………………………………………………………... Metode Penelitian ……….…………………………………………
15 15 16 16 16
Pemeriksaan Ulas Darah untuk Menghitung Prevalensi Babesiosis dan Tingkat Parasitemia ………………......................................... Pemeriksaan Pack Cell Volume (PCV) dan Jumlah Sel Darah Merah (Red Blood Cell/RBC) ………………….………………….……… Pemeriksaan Rata-rata Kenaikan Berat Badan …………………….. Peubah ……………………………………………....…………….... Pengolahan Data ……………………………………..………………
16 16 17 17 17
ii
HASIL DAN PEMBAHASAN Halaman Prevalensi Babesiosis ………………………………………………... 18 Tingkat Parasitemia ……..…………………………………………... 20 Kenaikan Rata-rata Berat Badan Harian .…………………………… 21 Nilai Pack Blood Cell (PCV) dan Jumlah Sel Darah Merah (RBC) .. 22 Bangsa/breed ……….………………………………………………... 24 Umur, Jenis kelamin, Lokasi Pengambilan Sampel dan Daerah Asal Hewan ………………………………………………………………
26
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan …..………………………………………………………. 26 Saran ……………………………………………………………….. 26
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….…….
27
LAMPIRAN…………………………………………………………………. .
30
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat sesuai dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi yang cukup. Jumlah ternak sapi di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan protein hewani khususnya daging sapi maka importasi sapi menjadi salah satu langkah yang diambil. Negara Australia adalah salah satu negara yang mengekspor sapi ke Indonesia pada saat ini. Impor hewan hidup memiliki resiko penyebaran penyakit yang lebih besar jika dibandingkan dengan mengimpor bentuk karkas. Kebutuhan daging asal ruminansia besar paling banyak disumbangkan oleh sapi potong, yang diikuti kerbau dan sapi perah (jantan dan betina afkir) dengan jumlah sekitar 24% dari total konsumsi daging nasional. Sampai saat ini Indonesia belum bisa swasembada daging sapi sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan impor baik dalam bentuk daging ataupun sapi potong bakalan sebesar 35% dari total kebutuhan (Anonim 2007). Babesiosis adalah salah satu penyakit yang dapat terbawa oleh sapi impor. Babesiosis pada sapi termasuk dalam Hama Penyakit Hewan Karantina Golongan II
(Peraturan
Menteri
Pertanian
No.
110/Kpts/TN.530/2/2006
tentang
penggolongan jenis-jenis hama penyakit hewan karantina) yaitu jenis penyakit yang sudah diketahui cara penanganannya dan telah dinyatakan ada di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia. Pemeriksaan terhadap babesiosis pada sapi impor Australia belum pernah diteliti sehingga dipandang perlu untuk memeriksa parasit darah tersebut pada sapi potong asal Australia. Babesiosis berasal dari nama dari Victor Babes yang pertama kali mengidentifikasi protozoa pada Butir Darah Merah pada tahun 1888.
Babes
menemukan protozoa intra eritrosit pada sapi yang mengalami haemoglobinuria pada tahun 1893. Smith dan Killbourne pada tahun 1893 menemukan protozoa tersebut ditularkan oleh caplak dan merupakan penyebab Texas cattle fever. Pada tahun 1957 terjadi kasus pertama babesiosis pada manusia yaitu peternak sapi di Yugoslovakia.
Kasus pertama yang dilaporkan di Amerika yaitu di
Massachussettes tahun 1969 (Cunha dan Barnett 2006), ditemukan infeksi
Babesia microti pada manusia di kepulauan Nantucket (Massachusetts, Amerika Serikat). Kejadian babesiosis di Amerika sesuai dengan tempat penyebaran caplak (tick) yaitu arthropoda pengisap darah yang endemis di daerah tersebut, serta di sebelah selatan Connecticutt, juga pernah dilaporkan dari Wisconsin dan Minnessota. Caplak biasanya menghisap darah rusa, manusia atau hewan lain, caplak ini menularkan parasit Babesia selanjutnya akan memasuki Butir Darah Merah (intraerythrocytic protozoa) seperti parasit malaria (Lubis 2006).
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui adanya infeksi dan prevalensi Babesia sp. pada sapi potong impor dari Australia berdasarkan pada pemeriksaan ulas darah dan analisa darah (PCV dan jumlah BDM) yang dikaitkan dengan faktor-faktor
bangsa/breed, jenis kelamin, umur, lokasi pengambilan
sampel dan daerah asal sapi.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat antara lain untuk : 1.
Memperoleh data jumlah sapi impor asal Australia yang terinfeksi Babesia sp. serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya insidensi penyakit babesiosis yaitu bangsa/breed, jenis kelamin, daerah asal, umur dan lokasi pengambilan sampel.
2.
Informasi tersebut dipakai untuk menetapkan tindakan karantina dalam hubungannya dengan tugas pokok dan fungsi karantina hewan yaitu mencegah masuknya babesiosis ke dalam wilayah Indonesia.
Permasalahan Impor sapi telah lama dilakukan di Indonesia, tetapi pemeriksaan terhadap babesiosis belum dilakukan secara optimal. Indonesia merupakan negara beriklim tropis dan vektor penyakit babesiosis banyak terdapat di Indonesia. Apabila sapi potong yang diimpor terinfeksi babesiosis maka dapat menjadi sumber penyakit yang akan menularkan di wilayah tempat-tempat pemasukan sapi.
Kejadian babesiosis pada sapi di Australia tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain, diharapkan dengan penelitian ini petugas karantina dapat melakukan tindakan karantina (perlakuan/treatment) yang tepat disesuaikan dengan informasi awal baik itu berupa daerah asal, umur, jenis kelamin ataupun musim, sehingga perlakuan yang diberikan akan lebih efektif dan efisien.
Hipotesis Adanya infeksi Babesia sp. pada sapi – sapi potong asal Australia mengingat belum bebasnya negara tersebut dari caplak sebagai vektor dari Babesia sp.
TINJAUAN PUSTAKA Importasi Sapi Pedaging di Indonesia Standar kecukupan masyarakat
dalam memenuhi konsumsi protein
hewani (daging) yaitu 6 gram/kapita/hari atau 10,3 kg/kapita/tahun, sedangkan rataan konsumsi yang baru terpenuhi oleh masyarakat Indonesia yaitu 4,1 gram/kapita/hari, angka itu lebih rendah dari angka standar kecukupan. Menteri Pertanian menyebutkan populasi sapi potong di Indonesia sebesar 11 juta hanya memenuhi produksi daging nasional sebesar 306 ribu ton atau 1,5 juta ekor/tahun. Angka ini belum memenuhi kebutuhan nasional sehingga pemerintah masih memerlukan importasi sapi bakalan sebanyak 408 ekor/tahun atau setara dengan 56 ribu ton daging (Depkominfo 2005), dengan pertimbangan nilai tambah maka pemerintah menggariskan kebijakan impor sapi bakalan untuk digemukkan selama 2 – 3 bulan sehingga akan ada nilai tambah
dan dapat
menggerakkan perekonomian di pedesaan. Data menunjukkan jumlah impor sapi bakalan dari luar negeri terus meningkat, pada tahun 1994 sebanyak 78.000 ekor kemudian tahun 1997 menjadi 349.000 ekor, terjadi penurunan pada tahun 1998 menjadi 49.000 ekor karena krisis ekonomi, kemudian meningkat kembali pada tahun 2000 mencapai angka 296.000 ekor (Abidin 2002, diacu dalam Harjono 2008). Jumlah impor sapi potong dari Australia tahun 2002 sampai 2005 rata-rata 325.000 – 375.000 ekor sapi, tahun 2006 dan 2007 meningkat menjadi 496.000 ekor sapi (Boediyana 2008). Sapi yang diekspor ke Indonesia terutama jenis sapi Bos indicus seperti sapi jenis Brahman atau jenis campuran silang seperti sapi jenis Branford dan Droughtmaster. Sapi-sapi jenis ini sangat berhasil diternakkan di daerah tropis. Sapi ini mempunyai ciri yang dimiliki sapi jenis Bos indicus seperti tahan panas, tahan terhadap kekeringan dan serangan kutu, juga mempunyai ciri sapi jenis Bos taurus misalnya laju pertumbuhannya tinggi, produksinya banyak dan tingkat kesuburannya tinggi (LAI 1999).
Babesiosis Babesiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit darah yang penyebarannya meluas di dunia. Parasit ini bersifat intraerythrocytic dan sering disebut piroplasmosis, bentuknya seperti buah pear (the pear shaped form) didalam Butir Darah Merah yang terinfeksi (Homer et al. 2000). Babesiosis ditularkan melalui gigitan caplak (Boophilus sp.) disebut juga tick fever atau red water (Lubis 2006). Sapi yang terkena babesiosis sangat lemah kadang-kadang kolaps dan mati saat dalam perjalanan. Aborsi terjadi bila infeksi cukup parah pada sapi betina bunting. Gejala klinis lain yaitu anoreksia, depresi, respiratory rate meningkat terutama setelah beraktifitas, tremor otot, suhu tubuh meningkat bersamaan dengan parasitemia hingga mencapai 41–42oC dalam 2–3 hari, haemoglobinemia dan haemoglobinuria akan terjadi diikuti jaundice dan ada yang memperlihatkan gejala kerusakan otak seperti berputar-putar, sakit kepala dan konvulsi (Sevinc et al. 2001). Mortalitas babesiosis
mencapai 5 – 10% walaupun sapi tersebut
diobati, bila tidak diobati dapat mencapai 50 – 100% pada kasus yang disebabkan B. bovis (CFED 2008). Masa inkubasi babesiosis 2 – 3 minggu pada infeksi alam tetapi dapat lebih singkat 4 – 5 hari (B. bigemina) dan 10 – 14 hari (B. bovis) pada inokulasi percobaan tergantung dari ukuran inokulum. Masa inkubasi pada infeksi alami yang disebabkan B. bovis lebih lama dibandingkan B. bigemina (CFED 2008). Babesiosis, anaplasmosis dan tripanosomiasis perlu dipertimbangkan sebagai penyebab terjadinya kematian sapi dan kerbau impor (Payne et al. 1990). Banyak faktor yang mempengaruhi kerentanan sapi terhadap babesiosis, secara umum disebutkan bahwa sapi muda kurang rentan dibandingkan sapi dewasa terhadap infeksi Babesia (Benavides dan Sacco 2007).
Umur adalah
faktor penting yang mempengaruhi tingkat keparahan penyakit babesiosis, anak sapi yang berumur kurang dari dua bulan dan lahir dari induk yang tidak terinfeksi maka anak sapi tersebut akan tahan terhadap infeksi babesiosis, baik oleh B. bigemina maupun oleh B. bovis. Pada sapi muda yang memiliki antibodi pasif dari induknya (kolostrum) akan lebih tahan terhadap infeksi babesiosis (CFED 2008). Anak-anak sapi di daerah endemik biasanya mempunyai antibodi foetal dan
maternal, dengan bertambahnya umur hewan kepekaan terhadap penyakit ini semakin meningkat.
Kekebalan yang didapat pada ternak di alam umumnya
adalah premunitas dan dapat bersifat kekebalan steril (Siswansyah 1990). Sapi Bos indicus juga kurang rentan bila dibandingkan dengan Bos taurus (Benavides dan Sacco 2007). Bos indicus dan silangannya lebih tahan terhadap infeksi B. bigemina dibandingkan terhadap sapi Bos taurus. Pada observasi yang dilakukan ditemukan bahwa kejadian wabah B. bigemina lebih banyak sepuluh kali lebih besar pada Bos taurus dibandingkan pada Bos indicus di Australia (Bock et al. 1999, diacu dalam Geleta 2005). Menurut Benavides dan Sacco (2007) terdapat tiga macam gejala klinis pada induk semang sapi (Bos taurus) akibat infeksi Babesia bovis yaitu : 1.
Hewan rentan (susceptible) yaitu hewan dengan gejala klinis dan membutuhkan pengobatan untuk menghindari kematian, dengan frekuensi 45,4%.
2.
Intermediate yaitu hewan dengan gejala klinis parasitaemia, penurunan packed cell volume (PCV) ≥ 21.5% dan suhu tubuh meningkat, tidak dilakukan pengobatan dan hewan dapat sembuh dengan sendirinya, dengan frekuensi 26,7%.
3.
Resistant yaitu hewan tanpa gejala klinis tetapi terdapat B. bovis pada ulas darahnya, penurunan PCV <21.5% dengan kenaikan suhu tubuh hanya sedikit atau tidak terjadi dan tidak membutuhkan pengobatan babesiosis dengan frekuensi 27,9%. Tick fever adalah penyakit penting di dunia peternakan Australia dengan 7
juta sapi berpotensi untuk terpapar pada daerah endemik. Mortalitas yang terjadi akibat dari anaplasmosis dan babesiosis di Australia pada tahun 1998 menyebabkan kehilangan produksi sebesar 22 juta dollar selain pengeluaran dalam pembelian desinfektan untuk akarisida dan vaksin sebesar 8.5 juta dollar (Mcleod dan Kristjanson 1999, diacu dalam Bock dan Vos 2001). Infeksi yang disebabkan oleh Babesia bovis, Babesia bigemina dan Anaplasma marginale juga sangat berpotensi menyebar pada sapi saat ekspor ke negara Asia bagian timur dan selatan yang endemik babesiosis (Bock dan Vos 2001).
Etiologi Klasifikasi Babesia sp Phylum
: Apicomplexa
Class
: Sporozoasida
Order
: Eucoccidiorida
Sub order
: Piroplasmorina
Family
: Babesiidae
(Anonim 2005) Babesia bovis termasuk dalam Babesia kecil berukuran 2 x 1-5 µm sedangkan Babesia bigemina termasuk dalam Babesia besar berukuran 4-5 x 2 µm (Ristic dan Kreier 1981), bentuknya bulat atau oval dalam eritrosit dan merupakan parasit hewan liar maupun hewan peliharaan seperti kelinci, kuda, biri-biri, anjing, rusa, dan tikus hutan. Hewan-hewan tertular parasit melalui gigitan caplak (tick), berbagai jenis caplak dapat menjadi intermediate host pada babesiosis (Lubis 2006).
Gambar 1 Babesia sp (Anonim 2005)
Babesia sp yang menyerang sapi adalah Babesia bovis, Babesia bigemina, Babesia divergens dan Babesia jakimovi. Babesia bovis dan Babesia bigemina adalah spesies Babesia yang telah menyebar di dunia. B. bigemina adalah penyebab Texas Fever di Amerika dan diidentifikasi sebagai penyebab ”red water” di Australia. Pada sebagian besar negara B. bovis lebih penting peranannya dalam menyebabkan penyakit (Ristic dan Kreier 1981).
Dikenal lebih 100 spesies Babesia yang sering dipersoalkan, B. microti di Amerika Serikat, B. divergen dan B. bovis di Eropa, B. mayor menginfeksi sapi, B. equi pada kuda dan B. canis pada anjing, B. felis pada tikus, dan B. microti pada binatang mengerat (rodent), juga binatang menyusui kecil dan jenis kera, sedangkan B. divergen pada tikus dan gerbil (sejenis tikus yang kaki belakang dan ekornya panjang) yang sering terdapat di dalam rumah. Belakangan ini dilaporkan spesies yang dulu tidak disebut sebagai spesies Babesia yaitu Babesia (WA-1) berhasil diisolasi dari seorang penderita dengan gejala babesiosis di Washington. Spesies Babesia baru yang juga sudah dilaporkan yaitu Babesia (MO1) terdapat di negara bagian Missouri (Lubis 2006).
Siklus Hidup Secara umum ada 3 tahap reproduksi yaitu (i) Gamogoni (formasi dan fusi gamet di dalam usus caplak) (ii) Sporogoni (reproduksi aseksual dalam kelenjar ludah) (iii) Merogoni (reproduksi aseksual pada inang vertebrata) (Homer et al. 2000). Caplak yang terinfeksi Babesia sp. akan menggigit mamalia, sporozoit akan masuk melalui kelenjar ludah caplak dengan cepat penetrasi ke dalam eritrosit mamalia. Parasit akan tumbuh di dalam butir darah merah berubah menjadi bentuk tropozoit. Tropozoit berdiferensiasi dan bertunas dua atau empat membentuk merozoit. Merozoit yang sudah tumbuh penuh dengan ukuran panjang 1-5 µm parasit tersebut akan merusak butir darah merah kemudian pindah ke butir darah merah yang baru. Siklus ini terus berlanjut sampai infeksi yang terjadi tidak terkontrol lagi dan mamalianya mati. Ketika caplak menghisap darah inang yang mengandung parasit, sebagian merozoit akan rusak di dalam saluran pencernaan caplak sedangkan sebagian merozoit lain berubah menjadi gametosit akan matang dan menjadi jantan dan betina yang akan fusi dan membentuk zigot (ookinet) yang motil. Gametosit yang berkembang di dalam eritrosit induk semang (sapi) akan berbentuk oval atau bulat yang pada saat tertentu akan berhenti tumbuh. Gametosit adalah prekursor pada saat perkembangan seksual parasit yang akan memperbanyak diri di dalam caplak (tick). Zigot akan menjadi ookinet yang bermigrasi ke hemolymph dan kemudian masuk ke berbagai organ caplak, kadang
ke dalam telur caplak yang akan diturunkan ke generasi selanjutnya melalui transovarial transmission. Ookinet yang lain akan menjadi oosit yang mengandung sporozoit di dalam kelenjar ludah caplak. Sporozoit dalam kelenjar ludah akan memindahkan penyakit ke induk semang sapi melalui gigitannya (Acha et al. 1980). Waktu yang diperlukan Babesia sp dari mulai menginfeksi sampai terlihat diperedaran darah adalah 7-10 hari (Schuster 2002).
Keterangan : A. Sporozoit masuk ketika menghisap darah inang Vetebrata B. Piroplasma membelah (binary fission) di dalam eritrosit C. Piroplasma teringesti ketika caplak mengingesti eritrosit inang vertebrata D. Schizogoni dalam epithelium intestinal caplak E. Generasi ke dua schizogoni dalam epithelium caplak F. Transmisi Transovari G. Gamogoni dalam epithelium intestinal caplak H. Fertilisasi (Fusi gamet) i. Zigot berkembang menjadi oosit bersporulasi. Sporo zoit keluar dan bermigrasi ke kelenjar ludah
Gambar 2 Siklus Hidup Babesia sp.(Anonim 2007)
Patogenesa Babesia sp. merupakan parasit di dalam butir darah merah (intraeritrosit). Pada fase eksoeritrositik tidak ada keluhan dan gejala seperti yang terjadi pada malaria. Parasit Babesia berbiak secara aseksual, dengan tumbuh di dalam Butir Darah Merah, biasanya menjadi 2 - 4 tunas. Bila butir darah merah yang terinfeksi pecah, parasit menginfeksi butir darah merah lain dan memulai siklus baru. Faktor
yang paling penting dalam Babesiosis adalah invasi dan kerusakan eritrosit oleh parasit (Mc Cosker 1981, diacu dalam Anonim 2005). Kerusakan eritrosit tersebut akan menyebabkan gejala seperti hemoglobinemia, hemoglobinuria dan kuning (jaundice), babesiosis pada hewan berlangsung menahun setelah terjadi gejala akut karena parasit mampu mengubah spesifisitas antigen di permukaan sel hingga berubah kepekaannya terhadap antibodi (Lubis 2006).
Penularan Babesia ditularkan secara alamiah oleh Ixodes, caplak berkulit keras. Parasit tertelan oleh
caplak saat mengisap darah. Parasit selanjutnya
memperbanyak diri di dalam sel epitel saluran cerna yang kemudian menyebar ke seluruh tubuh caplak Babesia menginvasi indung telur caplak kemudian melalui telur, parasit berada di dalam larva (transovarial transmission)(Lubis 2006). Boophilus microplus adalah vektor babesiosis di Australia dan infeksi menyebar di area yang endemik caplak (Steward et al. 1986). Vektor tick fever sangat berperan dalam kejadian penyakit, ada tiga jenis organisme yang dapat ditularkan oleh Boophilus microplus yaitu Babesia bovis, Babesia bigemina dan Anaplasma marginale (Jonsson et al. 2008). Menurut Wilson dan Ronohardjo (1984) diacu dalam Sukanto et al. (1993), Boophilus microplus adalah vektor primer dari Babesia bovis, Babesia bigemina dan Anaplasma marginale di Indonesia. Penelitian terhadap caplak dilakukan di Switzerland, caplak dikoleksi dan sebanyak 700 caplak di analisa dengan metode PCR untuk mendeteksi adanya Babesia sp., didapatkan sebanyak 26 positif Babesia sp. Caplak-caplak tersebut dikoleksi tidak hanya dari ruminansia domestik tetapi juga dari ruminansia liar (Hilpertshauser et al. 2006).
Diagnosis Pemeriksaaan terhadap Babesia sp. dapat menggunakan pemeriksaaan mikroskopis yaitu dengan
preparat ulas darah tipis yang diambil dari ujung
telinga sapi kemudian difiksasi dengan methyl alkohol dan diwarnai dengan pewarnaan giemsa selama 45 menit. Cuci dengan air kemudian keringkan pada
suhu ruang. Periksa dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000 x. Metode lain yang dapat digunakan yaitu Indirect Immunoflourescent Antibody Assay yang belakangan ini digunakan untuk pemeriksaan pada manusia (Sevinc et al. 2001, Lubis 2006). Pemeriksaan Polymerase Chains Reaction (PCR) dilakukan untuk diagnostik penyakit tetapi tidak dapat membedakan infeksi khronis atau akut. Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA) immunoglobulin M (IgM), pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, urinalisis dan direct combs dilakukan untuk membantu diagnosa (Hedayati 2007).
Gambaran Darah pada Sapi Babesiosis Babesia bigemina dan Babesia bovis adalah parasit protozoa intra eritrositik yang dapat menyebabkan anemia karena terjadi kerusakan eritrosit (Goes et al. 2007). Jumlah eritrosit dapat menurun sampai 2.1 x 106/mm3. Penurunan kadar PCV dan hemoglobin juga terjadi. PCV dapat turun hingga 20% pada infeksi B. bigemina. Jumlah leukosit mulai turun (lekopenia) sampai 8 juta/mm3 lalu naik sampai 33.600/mm3 (lekositosis) (Mahoney 1979, diacu dalam Astyawati 1987). Anemia dipercaya bertanggung jawab terhadap gejala klinis yang muncul pada hewan ataupun manusia yang terinfeksi Babesia sp. Butir Darah Merah akan rusak ketika merozoit terlepas yaitu sesudah tahap merogony. Mekanisme perusakan anemia tidak diketahui secara pasti, secara teori disebutkan immune mediated hemolytic anemia disebabkan cairan antigen parasit (soluble parasite antigen) berikatan dengan permukaan Butir Darah Merah baik melalui antibodi atau complement mediated hemolysis (Homer et al. 2000). Anemia terjadi karena adanya kerusakan pada eritrosit yang tidak terinfeksi (non infected erytrocyte) yang disebabkan oleh antibodi antieritrosit yang banyak ditemukan pada serum sapi terinfeksi (Goes et al. 2007). Babesia adalah organisme yang mudah menyesuai-kan diri dan beradaptasi pada inang vertebrata. Hampir disetiap kasus yang diuji,
hewan-hewan akan membentuk proteksi respon imun setelah
terjadinya infeksi atau pada tahap penyembuhan dan imunisasi. Protektif immun respon tersebut tidak dapat mencegah infeksi berulang tetapi menurunkan derajat
parasitemia, morbiditas dan mortalitas ketika terjadi paparan berulang parasit (Homer et al. 2000). Kekebalan silang (Cross immunity) diantara spesies Babesia yang berbeda juga sudah dipelajari, Wright et al. (1987) diacu dalam Geleta (2005) melaporkan imunitas B. bigemina
juga dapat melindungi sapi terhadap
infeksi B. bovis (cross protected).
Pencegahan dan Kontrol Kontrol terhadap
babesiosis yaitu dengan kombinasi antara
kontrol
terhadap penyakit dan vektor caplak. Kontrol terhadap caplak dilakukan dengan spray dan dipping yang banyak dilakukan di area endemik.
Akarisida yang
digunakan seperti komponen pyrethoids, amitraz dan beberapa organophosphate. Dipping yang dilakukan pada area terinfeksi berat periodik 4-6 minggu sekali. Pada area endemik caplak peternak mengganti memelihara bangsa sapi dengan Bos indicus karena jenis sapi ini lebih resisten terhadap infeksi caplak. Vaksin terhadap babesiosis juga dapat digunakan dan efektifitasnya cukup tinggi (Anonim 2000). Vaksinasi terhadap sapi impor sebaiknya dilakukan di negara asal (Payne et al. 1989). Vaksinasi menggunakan parasit hidup yang dilemahkan berhasil dilakukan pada beberapa negara seperti Argentina, Brazil, Israel, Afrika selatan dan Uruguay (Anonim 2005).
Babesiosis di Indonesia Babesiosis pertama kali dilaporkan di Indonesia selama terjadinya wabah Texas fever pada tahun 1896 (De does 1905, diacu dalam Sukanto et al. 1993). Pada tahun 1982 dilaporkan 710 kasus, tahun 1983 dilaporkan 3.563 kasus sedangkan pada tahun 1984 meningkat menjadi 5.579 kasus (Anonim 1986, diacu dalam Astyawati 1987). Dalam Payne et al. (1988) dilakukan penelitian terhadap sampel darah sapi dan kerbau lokal dan impor di daerah Aceh, Yogyakarta dan Garut dengan menggunakan uji ELISA untuk mendeteksi Trypanosoma evansi, Babesia bovis, dan Anaplasma marginale.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Aceh
merupakan daerah endemik terhadap ketiga parasit tersebut. Pada Kerbau Lokal di daerah Yogyakarta dan garut ditemukan positif terhadap Trypanosoma evansi .
Wabah akibat penyakit haemoparasitik sangat jarang terjadi di Indonesia, walaupun terdapat laporan morbiditas dan mortalitas sapi di Sumatra Barat dan Aceh mengindikasikan Babesia, Trypanosoma dan Anaplasma memungkinkan sebagai faktor penyebab. Investigasi dilakukan dengan menggunakan metode Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi antibodi Babesia (Sukanto et al. 1993). Sebanyak 1448 sampel serum dikoleksi dari sapi berbagai umur dan bangsa di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Sumba dan Timor. Rata-rata prevalensi antibodi keseluruhan 96% yang mengindikasikan area yang disurvey adalah endemik Babesia bovis. Tercatat terjadi peningkatan rata-rata prevalensi antibodi sesuai dengan umur (Sukanto et al. 1993). Prevalensi Babesia bigemina di Kalimantan Selatan yaitu 23,7%, Jika diamati berdasarkan bangsa sapi maka diperoleh prevalensi Babesia bigemina pada sapi Brahman 33,8%, pada sapi Bali 30,5%, pada sapi Sahiwal Cross 15,8%, pada Sapi lokal 29,8% dan sapi Peranakan ongole (PO) 14,3% (Siswansyah 1990).
Babesiosis di Australia Tick fever adalah penyakit penting di dunia peternakan Australia dengan 7 juta sapi berpotensi untuk terpapar pada daerah endemik. Mortalitas yang terjadi akibat anaplasmosis dan babesiosis di Australia pada tahun 1998 menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 22 juta dollar selain biaya pembelian desinfektan untuk akarisida dan vaksin sebesar 8,5 juta dolar (Bock dan Vos 2001), sedangkan menurut Jonsson et al. 2001 biaya yang dikeluarkan oleh industri susu Queensland untuk mengatasi caplak di sapi adalah 4.096.000$, 49% adalah biaya untuk kontrol penyakit sedangkan 51% akibat kehilangan produksi. Infeksi yang disebabkan oleh Babesia bovis, Babesia bigemina dan Anaplasma marginale juga sangat berpotensi menyebar pada saat ekspor ke negara Asia bagian barat daya dimana parasit tersebut endemik (Bock dan Vos 2001). Tick-borne disease pada sapi di Australia yang paling banyak terjadi adalah babesiosis yang disebabkan oleh Babesia bigemina dan Babesia bovis, dengan satu-satunya vektor yaitu Boophilus microplus. Caplak sapi Boophilus microplus pertama kali masuk bagian utara Australia. Distribusi dari caplak sapi tersebut (termasuk penyakit yang menyertainya) ditentukan oleh faktor iklim.
Boophilus microplus membutuhkan kelembaban yang tinggi dan temperatur 15 – 20oC untuk bertelur dan menetas, yaitu di bagian utara dan utara barat Australia. Penelitian menyebutkan Insidensi penyakit di Queensland sekitar 75% wabah babesiosis disebabkan oleh
B. bovis, 5 – 10% oleh B. bigemina. Distribusi
babesiosis di daerah endemik tidak seragam, diagnosa babesiosis banyak dijumpai di Queensland selatan pada musim gugur ketika aktifitas caplak pada puncaknya. Dalam rangka pencegahan terhadap babesiosis dilakukan vaksinasi. Vaksinasi telah dilakukan lebih dari satu abad. Vaksin ini mengandung strain B. bovis dan B. bigemina dan Anaplasma marginale yang telah dilemahkan dan ditumbuhkan pada sapi splenektomi dan telah digunakan di Australia sejak tahun 1964.
Penggunaan vaksin pada area endemik tersebut merupakan strategi
manajemen resiko yang berdasarkan pada kecenderungan pendedahan (likelihood of exposure). Vaksinasi yang direkomendasikan yaitu dosis tunggal pada umur 6 – 9 bulan akan menghasilkan proteksi yang kuat dan waktu yang panjang. Vaksinasi yang dapat digunakan yaitu vaksin trivalent (mengandung B. bovis, B. bigemina dan A. marginale
atau bivalen (mengandung B. bovis dan A.
marginale). Trivalent vaksin lebih direkomendasi untuk bangsa Bos taurus, sapi pemacek/bibit dan sapi yang original berasal dari daerah yang bebas caplak, sedangkan bivalent vaksin untuk Bos indicus, dan cross breed di area yang terinfeksi caplak (Bock dan Vos 2001).
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan dari bulan Juli 2008 sampai dengan November 2008. Pengambilan sampel dilakukan di Instalasi Karantina Hewan Sementara milik importir sapi yang masuk melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok berlokasi di sekitar wilayah Jakarta. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUS KP) Jakarta dan Laboratorium Protozologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB), Bogor.
Penentuan Jumlah Sampel Jumlah sampel untuk menduga prevalensi penyakit pada tingkat kepercayaan 95% dihitung menggunakan rumus menurut Thrusfield (2005) dengan asumsi sekali kedatangan sapi dianggap sebagai satu populasi ternak. Penentuan sampel di kandang dilakukan secara acak (random). Rumus menurut Thrusfield (2005) : n = 1,962 Pexp (1-Pexp) d2 Ket : n
= ukuran contoh
Pexp
= Prevalensi
d
= tingkat kesalahan
Kemudian ukuran sampel di sesuaikan dengan formula : nadj = Ket : n
Nxn N + n* = ukuran contoh
n*
= ukuran contoh pada populasi besar
N
= ukuran populasi
Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Mikroskop cahaya, Pipet 10 ml, erlenmeyer 50 ml, gelas baker 1500 ml, botol gelas tertutup 500 ml, bak pewarna, pipet pasteur, stop watch, objek glass, cover objek glass, tabung venoject, Automated Hematology Analyzer.
Bahan Bahan penelitian adalah metanol absolut (95%) untuk fiksasi preparat apus darah, larutan Giemsa sebagai zat pewarna dan minyak emersi.
Metode Penelitian Pemeriksaan Ulas Darah untuk Menghitung Prevalensi Babesiosis dan Tingkat Parasitemia Sampel darah diambil melalui vena coccigealis lalu dibuat ulas darah yang tipis. Preparat ulas tersebut kemudian difiksasi dengan menggunakan
metil
alkohol 95% selama 2-3 menit, keringkan dan diwarnai dengan Giemsa 10% selama 45 menit, kemudian dicuci dengan air dan dikeringkan pada suhu ruang setelah itu dilihat dibawah mikroskop menggunakan minyak emersi dengan pembesaran 100 x 10 untuk melihat morfologi parasit. Penelitian positif bila ditemukan Babesia sp. di dalam Butir Darah Merah. Ukuran Babesia bovis adalah panjang 2.4 mikron dan lebar 1.5 mikron, panjang Babesia bigemina adalah 4 – 5 mikron dan lebar 2 mikron (Soulsby 1971, diacu dalam Astyawati 1987). Pemeriksaaan tingkat parasitemia Babesia sp. untuk melihat tingkat keparahan infeksi maka dilakukan dengan menghitung jumlah Babesia sp. pada 200 Butir Darah Merah (Garcia 2001). Tingkat parasitemia dihitung pada semua sampel ulas darah.
Pemeriksaan Pack Cell Volume (PCV) dan Jumlah Butir Darah Merah (BDM) Sampel darah diambil dengan menggunakan tabung EDTA, diperiksa Pack Cell Volume (PCV) dan jumlah Butir Darah Merah Perhitungan dilakukan dengan menggunakan alat Automated Hematology Analyzer.
Pemeriksaan Rata-rata Berat Badan Harian Dilakukan pengamatan terhadap rata-rata kenaikan berat badan harian (Average daily gain/ADG) terhadap 95 ekor sapi yang dipilih secara acak dengan membandingkan selisih berat badan awal (pertama kali masuk kandang) dan berat badan akhir (setelah satu bulan setengah) dibagi dengan waktu pemberian pakan (Day of feed/DOF).
Peubah Peubah yang digunakan bangsa (breed), jenis kelamin, umur, lokasi pengambilan sampel dan daerah asal (Australia). Pengambilan data dengan menggunakan kuisioner.
Pengolahan Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji chi-square (x2) untuk menganalisis signifikansi asosiasi antara kejadian penyakit dan faktor resiko dan uji-t (t-test) untuk menganalisis perbedaan data kontinyu (jujuh) berdasarkan dua kategori (Martin et al. 1987).
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini diambil sampel dari 4 kali pemasukan hewan pada bulan September dengan jumlah sampel menggunakan rumus Thrusfield (2005). Berdasarkan prevalensi babesiosis di Australia 7.5% (Jonsson et al. 2008) dengan asumsi sekali kedatangan sapi dianggap sebagai satu populasi ternak. Jumlah sampel yang diambil sebagai berikut :
Tabel 1 Pengambilan sampel darah dari 4 lokasi Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS)
NO
Lokasi Pengimpor Sapi
Jumlah impor sapi (ekor) 3044
Jumlah sampel (ekor)
Jenis Kelamin
Umur (th)
Jantan
Betina
1
1-3
3
100
100
-
-
100
-
2732
109
109
-
-
109
-
2
Teluk Naga, Tangerang Legok, Tangerang
3
Lebak, Banten
1682
98
98
-
-
98
-
4
Cileungsi, Bogor
4226
102
102
-
-
102
-
409
409
1
TOTAL SAMPEL
409
Prevalensi babesiosis Pada tabel 2 prevalensi dari setiap perusahaan pengimpor berbeda-beda. Prevalensi tertinggi yaitu didapat dari Teluk Naga, Tangerang sebanyak 25% sedangkan terendah yaitu 1% dari Cileungsi, Bogor. Rata-rata prevalensi babesiosis sapi potong asal Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok adalah 10,5% yaitu dari 409 sampel didapat hasil positif Babesia sp sebanyak 43 sampel Pada penelitian ini semua sapi berasal dari Australia bagian utara. Kejadian tick fever banyak terjadi di bagian utara Australia yang mempunyai kelembaban tinggi dan suhu 15–20 oC. Kondisi tersebut sangat cocok untuk perkembangan caplak (vektor babesiosis) terutama untuk bertelur dan menetas (Anonim 2005). Didalam sertifikat kesehatan yang menyertai berkas impor yang diterbitkan oleh pemerintah Australia disebutkan bahwa di Australia tidak terjadi
wabah atau gejala klinis yang terlihat dalam 6 bulan terakhir dan disebutkan pula hewan-hewan diberi perlakuan dengan pemberian parasitisida baik dengan ”systemic pour on” maupun dipping dalam waktu 14 hari sebelum impor dan pemberian ivermectin atau obat endoparasit lain dalam waktu 40 hari sebelum ekspor. Adanya perlakuan-perlakuan tersebut dapat menjelaskan prevalensi babesiosis pada sapi potong asal Australia ini hanya 10,5%. Dengan terdeteksinya Babesia sp pada sapi potong asal Australia tersebut memberikan penjelasan bahwa Australia belum bebas babesiosis tetapi kejadian babesiosis di Australia adalah sub klinis (tanpa gejala). Tick fever adalah penyakit penting di dunia peternakan Australia, Babesia bovis dilaporkan sebagai penyebab yang penting dalam kejadian babesiosis sebanyak 80%, sedangkan sebanyak 10% disebabkan oleh Babesia bigemina ( De Vos 1991). Infeksi yang disebabkan oleh Babesia bovis, Babesia bigemina dan Anaplasma marginale juga sangat berpotensi menyebar pada sapi saat ekspor ke negara Asia bagian timur dan selatan yang endemik babesiosis (Bock dan Vos 2001).
Tabel 2 Prevalensi babesiosis sapi potong asal Australia pada bulan September 2008 Jumlah Jumlah sampel NO Lokasi Pengimpor Sapi Prevalensi (%) sampel positif Babesia sp. 1 Teluk Naga, Tangerang 102 7 6,9 2
Legok Tangerang
109
10
9,2
3
Lebak, Banten
100
25
25,0
4
Cileungsi, Bogor
98
1
1,0
Prevalensi rata-rata
409
43
10,5
Prevalensi babesiosis 10.5% adalah hal yang tidak dapat diabaikan karena dapat menjadi sumber penularan, apabila terjadi penurunan daya tahan tubuh sapi atau stres, pada kondisi tersebut parasit dapat berkembang dan menular ke sapi yang ada di lingkungan sekitar kandang. Indonesia merupakan negara tropis dan banyak ditemukan caplak sebagai vektor babesiosis. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan pencegahan agar lingkungan kandang bebas dari caplak seperti
pemberian akarisida dengan cara dipping atau spray, menjaga kebersihan lingkungan kandang dan perbaikan manajemen pemeliharaan. Peranan manajemen peternakan dalam mempertahankan kondisi hewan agar tidak menurun dan stres yang penting, mulai dari saat pembongkaran kapal, transportasi (perjalanan menuju lokasi kandang), manajemen kandang yang baik seperti kecukupan pakan dan minum dengan jadwal teratur dan pemeliharaan kebersihan.
pemberian
vitamin
yang
cukup
harus
diperhatikan
untuk
meminimalkan tingkat stres pada hewan.
Gambar 3 Babesia sp pada Butir Darah Merah sapi
Tingkat Parasitemia Untuk melihat tingkat keparahan penyakit maka dilakukan pemeriksaan tingkat parasitemia. Pada babesiosis hemolisis BDM terjadi karena
parasit
memperbanyak diri (multiplication) di dalam butir darah merah tersebut . Jumlah BDM yang lisis proporsional dengan tingkat parasitemia yang terjadi (Ristic dan Kreier 1981). Tingkat parasitemia yang didapat cukup rendah yaitu 0,5% pada 42 ekor sapi dan 1% pada 1 ekor sapi. Pengamatan gejala klinis juga dilakukan, pada hewan yang diamati tidak nampak adanya gejala babesiosis seperti kelemahan atau kekuningan. Hal ini dikarenakan tingkat parasitemia yang terjadi rendah yaitu 0,5% dan 1%. Menurut Siswansyah (1996) jika parasitemia mencapai 1%
baru akan tampak gejala awal seperti demam, peningkatan temperatur tubuh ini sangat erat kaitannya dengan meningkatnya parasitemia.
Tabel 3 Tingkat parasitemia dari sapi yang positif Babesia sp. No. 1 2 3 4
Lokasi IKHS Teluk NagaTangerang Legok-Tangerang Lebak- Banten Cileungsi-Bogor Jumlah Total
Tingkat Parasitemia 0,5% 1%
Jumlah Sampel (ekor)
Jumlah Positif Babesia sp. (ekor)
102
7
7
-
109 100 98 409
10 25 1 43
10 24 1 42
1 1
Kenaikan Rata-Rata Berat Badan Harian Pemeriksaan kenaikan rata-rata berat badan (BB) harian
dilakukan
terhadap 95 ekor sapi di IKHS yang berlokasi di Lebak-Banten. Kenaikan ratarata berat badan harian yang diharapkan (standar) adalah 1,2 – 1,4 kg /hari. Pada 20 ekor sapi yang kenaikan berat badannya tidak mencapai 1.2 kg/hari yaitu 3 ekor sapi terinfeksi Babesia sp, 11 ekor terinfeksi parasit darah lain (Theileriosis/Anaplsamosis) dan 6 ekor sisanya tidak teinfeksi parasit darah. Tujuh puluh ekor lainnya dapat mencapai kenaikan rata-rata berat badan >1,2 Kg/hari.
Tabel 4 Kenaikan rata-rata berat badan harian Sapi selama 1,5 bulan NO 1 2
Rata-rata kenaikan BB harian >1,2 (Normal) <1,2 (Tidak normal)
Jumlah sapi (ekor)
Nilai rata-rata kenaikan BB (Kg)
75
1,35
20
0.91
Kejadian babesiosis dihubungkan dengan rata-rata kenaikan berat badan harian tidak berbeda nyata (P>0.05). Dari 95 ekor yang dihitung 21,1% dari sapi tersebut tidak mencapai rata-rata berat badan harian yang diharapkan (dibawah 1,2 kg/hari). Pemeriksaan terhadap kenaikan berat badan ini perlu dilakukan mengingat babesiosis juga dapat menurunkan produksi seperti penurunan berat
badan bahkan dapat menyebabkan kematian sehingga akan merugikan secara ekonomi (Benavides dan Sacco 2007). Pengamatan dari gambaran darah memperlihatkan infeksi Babesia sp. yang terjadi bersifat subklinis dengan tingkat parasitemia rendah sehingga belum mempengaruhi kesehatan sapi.
Nilai Pack Cell Volume (PCV) dan Jumlah Butir Darah Merah (BDM) Gambaran darah yang diperiksa adalah PCV dan jumlah butir darah merah. Pada babesiosis terjadi kerusakan Butir Darah Merah dan penurunan hematokrit maka pemeriksaan diarahkan pada BDM dan PCV. Pemeriksaan gambaran darah dilakukan pada sapi (n = 163 ekor) dengan hasil sebagai berikut : Tabel 5 Hasil pemeriksaan PCV dan BDM pada sapi (n= 163 ekor) NO
Jenis Pemeriksaan
1.
PCV
2.
Jumlah Butir Darah Merah
24 – 46% (Normal)
Jumlah Sapi (ekor) 149
91,4
< 24% (tidak normal)
14
8,6
Nilai
5,0 -10,0 x 106/ul (Normal) < 5,0 x 106/ul (Tidak Normal)
160 3
%
98,5 1,8
Nilai PCV normal pada sapi yaitu 24 – 46% sedangkan jumlah butir darah merah normal yaitu 5,0 – 10,0 x 106 /ul (Schalm et al. 1975). Dari tabel diatas tampak bahwa nilai PCV yang dibawah normal adalah 8,6% (14 sampel) dan 4 sampel menunjukkan positif Babesia sp, sedangkan jumlah butir darah merah yang dibawah normal sebanyak 1,8% (3 sampel) dan 1 sampel menunjukkan positif Babesia sp. Hasil analisa statistik menunjukkan tidak berbeda nyata nilai PCV dan butir darah merah antara sapi terinfeksi babesiosis dan sapi yang tidak terinfeksi, tingkat parasitemia pada hewan yang rendah yaitu 1% dan 0,5% sehingga kerusakan butir darah merah dan perubahan PCV tidak berbeda nyata. Menurut Siswansyah (1996) pada saat parasitemia menunjukkan lebih dari 10% akan terjadi penurunan hematokrit, jumlah eritrosit dan hemoglobin, pada penelitian ini tidak tampak karena parasitemia belum mencapai lebih dari 10%.
Tabel 6 Nilai rata-rata PCV dan jumlah BDM Rata-rata PCV (%)
Rata-rata jumlah Butir Darah Merah (106/ul)
No
Uraian
Jumlah sapi (ekor)
1
Sapi terinfeksi Babesia sp
31
37,0
8,8
2
Sapi tidak terinfeksi Babesia sp
41
42,2
8,8
Pada tabel diatas tampak bahwa pada sapi yang terinfeksi Babesia sp memiliki nilai rata-rata PCV lebih rendah bila dibandingkan dengan pada sapi yang tidak terinfeksi sedangkan nilai rata-rata jumlah butir darah merah antara sapi yang terinfeksi
dan tidak terinfeksi sama. Pada sapi babesiosis terjadi
penurunan nilai PCV hingga 20%, sedangkan jumlah butir darah merah dapat turun sampai 2,1 x 106/ul (Mahoney 1979 diacu dalam Astyawati 1987), disebutkan pula anemia bertanggung jawab terhadap gejala klinis yang muncul pada hewan ataupun manusia yang terinfeksi Babesia sp. karena butir darah merah akan rusak ketika merozoit terlepas (Homer et al. 2000)
Bangsa (breed) Infeksi babesiosis juga dipengaruhi oleh bangsa hewan, sapi Bos indicus lebih tahan/resisten jika dibandingkan dengan Bos taurus (Benavides dan Sacco 2007). Menurut DPIF (2007) dan McGregor (2006), Bos indicus merupakan jenis sapi Asia yang biasanya hidup di daerah tropis bahkan sering disebut dengan tropical breed, memiliki tingkat resistensi yang lebih baik dalam menahan berkembangnya caplak pada tubuh sapi sebagai vektor dibandingkan Bos taurus. Pada penelitian ini sampel yang diambil adalah sapi dari bangsa Bos indicus yaitu Santa gertrudis dan Brahman cross.
Tabel 7 Prevalensi babesiosis, nilai rata-rata PCV dan rata-rata jumlah butir darah merah berdasarkan bangsa /ras.
NO BANGSA
Sampel (ekor)
Positif Babesia sp. (ekor)
Prevalensi
rataan PCV (%)
Rataan BDM (x 106/ul)
1
Santa gertrudis
100
25
25%
39,40
9,17
2
Brahman cross
309
18
5.8%
41,64
10,05
Sampel diambil dari 2 jenis bangsa sapi yang berbeda yaitu 309 ekor bangsa Brahman cross dan 100 ekor bangsa Santa gertrudis. Prevalensi babesiosis pada Santa gertrudis lebih tinggi dibandingkan pada Brahman cross. Faktor resiko bangsa/ras secara signifikan berpengaruh terhadap terjadinya infeksi Babesia sp (OR= 1.96;SK95%=0,101-0,379). Dari tabel diatas tampak nilai ratarata PCV dan jumlah rata-rata butir darah merah pada sapi Santa gertrudis lebih rendah dibandingkan dengan Brahman cross, sesuai dengan kejadian babesiosis yang lebih banyak pada sapi Santa gertrudis. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa pengaruh bangsa/ras dari sapi memang memberikan pengaruh terhadap kejadian babesiosis. Derajat imunitas setelah terpapar Babesia bovis pada Bos indicus lebih besar daripada Bos taurus. Bos indicus memiliki tingkat parasitemia yang lebih rendah dibandingkan Bos taurus dengan derajat infeksi yang sama. Pada Bos taurus yang mendapat imunitas secara pasif tidak dapat mencegah infeksi subklinis, sedangkan pada Bos indicus imunitas tersebut dapat bertahan selama beberapa bulan dan berkontribusi secara potensial pada situasi yang tidak stabil (Anonim 2005, Jonsson et al. 2008).
Kondisi Alat Angkut Pengamatan dilakukan di alat angkut kapal.
Pengangkutan sapi dari
Australia memerlukan waktu 5 – 7 hari. Jumlah sapi yang diangkut 2000 sampai 20.000 ekor tergantung dari kapasitas kapal. Sanitasi atau kebersihan kapal cukup baik, terlihat dengan tidak ditemukannya caplak di kapal. Ventilasi kapal ada dan dalam kondisi yang cukup baik, berupa jendela di dek atas dan berupa exhouse fan di dek bawah. Ventilasi ini sangat diperlukan untuk pertukaran udara di kapal
karena kotoran dan urin sapi mengeluarkan amoniak yang harus dikeluarkan ke udara terbuka, pengumpulan amoniak yang berlebih di dalam kapal dapat menyebabkan kesehatan sapi terganggu selama dalam perjalanan. Pemberian pakan dilakukan secara manual dengan jumlah yang cukup dan waktu pemberian yang teratur berupa hijauan kering dalam bentuk pelet, sedangkan minum diberikan dengan kran otomatis dengan jumlah ad libitum. Tempat pakan dan minum terbuat dari plastik. Konstruksi kandang pada kapal dalam kondisi baik yang terbuat dari bahan yang kuat dan mudah dibersihkan yaitu dari besi dengan lantai tanpa alas. Antar kandang dibatasi tiang besi. Kapasitas kandang < 2 – 3 m2/ekor sapi. Dari pengamatan di kapal sapi-sapi dalam keadaan baik dengan kondisi kandang yang cukup bersih, ventilasi cukup, pakan dan minum cukup sehingga kondisi sapi dapat terjaga dari stress perjalanan. Stress perjalanan pasti terjadi pada sapi tetapi harus diminimalkan dengan memberikan kenyamanan selama dalam perjalanan.
Kondisi Kandang Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS) Pengamatan terhadap kondisi kandang IKHS dilakukan pada empat lokasi pengambilan sampel. Empat lokasi tersebut memiliki kondisi yang hampir sama yaitu konstruksi kandang terbuat dari bahan yang permanen dan kuat, memiliki batas antar kandang berupa pagar besi, lantai terbuat dari semen cor dan naungan dari asbes. Kapasitas kandang <2 - 3 m2/ekor sapi. Sanitasi kandang dipelihara dengan baik, kotoran sapi secara berkala dibersihkan dan dikumpulkan pada tempat pengolahan khusus untuk dijadikan kompos. Tidak ditemukan populasi caplak di sekitar kandang sapi. Tempat pakan dan minum dibuat permanen dari semen cor.
Pakan diberikan 2 kali sehari berupa konsentrat dan hijauan
sedangkan minum diberikan adlibitum.
Populasi ruminansia lain di sekitar
kandang tidak ditemukan. Pengobatan dilakukan hanya pada hewan sakit yaitu pemberian antibiotik sedangkan vaksinasi yang dilakukan adalah vaksinasi Septisemia Epizootika (SE).
Umur, Jenis Kelamin dan Daerah Asal Hewan. Peubah lain yang juga diamati adalah umur, jenis kelamin dan daerah asal sapi. Pada penelitian ini umur sapi yang diamati masuk kelompok antara 1 – 3 tahun dan semua sapi yang diimpor berjenis kelamin jantan dan berasal dari Australia utara sehingga dapat dianggap sama dan tidak dapat dijadikan sebagai faktor peubah.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sapi potong impor dari Australia yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok belum bebas babesiosis dengan prevalensi 10,5%. Tingkat parasitemia babesiosis yang didapat cukup rendah yaitu berkisar 0,5% - 1%. Kenaikan ratarata berat badan harian dan nilai PCV serta jumlah BDM tidak berbeda nyata. Prevalensi babesiosis pada bangsa sapi Santa gertrudis lebih tinggi dibandingkan Brahman cross. Faktor bangsa/ras ini berpengaruh terhadap kejadian babesiosis. Nilai PCV dan jumlah BDM pada Santa gertrudis lebih rendah dibandingkan pada Brahman cross.
Saran Adanya Babesia sp. pada sapi potong impor dari Australia disarankan agar diperhatikan sapi yang diimpor harus sapi yang bebas Babesia sp., sapi harus sudah divaksin sebelum diekspor ke Indonesia dan diberi insektisida (spraying/dipping), jenis sapi yang diimpor harus diperhatikan yaitu sapi yang tahan terhadap infeksi Babesia sp. Sapi impor dari bangsa Santa gertrudis harus dilakukan pengamatan yang lebih intensif terhadap babesiosis karena sapi tersebut lebih peka terhadap penyakit ini. Untuk mencegah berkembangnya Babesia sp di sekitar instalasi karantina hewan maka sebaiknya lokasi IKHS jauh dari peternakan ruminansia lokal, dilakukan pengawasan caplak dengan pemeriksaan rutin dan disediakan fasilitas dipping.
DAFTAR PUSTAKA Acha N, Pedro, Szyfres B. 1980. Zoonoses and communicable diseases common to man and animals 3rd Ed Vol. III Parasitoses. Pan American Health Organization. Washington DC. USA. Astyawati T. 1987. Diagnosis Piroplasmosis Pada Sapi Perah dengan Metode Flouresein Antibodi Tidak Langsung dibandingkan dengan Giemsa May Grunwald. Institut Pertanian Bogor. [Anonim]. 2000. Tick Fever (Bovine Babesiosis). http://www.petalia.com.[26 Oktober 2007] [Anonim]. 2002. Bovine Babesiosis. http://www.spc.int/rahs/manual/bovine babesiosis.htm[17 November 2007] [Anonim]. 2005. Dissertation Babesiosis in Africa. University of Preforia ets. Tannesen. http://upted.up.ac.za/thesis/available/etd. [21 November 2007] [Anonim]. 2007. Haruskah terus impor susu dan daging sapi. http://www.agrina online. com/show_article.php?rid=108&aid=1002. Bock R ,Vos AD. 2001. Immunity following use of Australian tick fever vaccine: a review of the evidence. Tick Fever Research Centre, Animal and Plant Health Service. Queensland Departement of Primary Industries. Benavides MV, Sacco MS. 2007. Differential Bos Taurus cattle response to Babesia bovis infection. Vet. Parasitology 150:54-64. Boediyana T. 2008. Industri Sapi Potong Indonesia.www.agribisnews.com[10 Oktober 2008] Cunha BA, Barnett B. 2006. Babesiosis. Emedicine from WebMDD. http://www.emedicine.com/Babesiosis [27 November 2007]. [CFED] Committee on Foreign and Emerging Diseases of the United States Animal Health Association. 2008. Foreign Animal Diseases. Ed ke-7. Canada: Boca Publication Group, Inc. [Depkominfo] Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. 2005. http: www.depkominfo.g.id/portal/?act=detail&mod=berita&view =1&idBRT07112209 [16 Februari 2008]. De Vos AJ. 1991. Distribution Economic Importance and Control Measure for Babesia and Anaplasma; Dolan TT, editor. Recent Development in The Control of Anaplasmosis, Babesiosis and Cowdriosis. Kenya, Nairobi: The International Laboratory for Research on Animal Disease. Hlm 3 – 12.
Garcia LS. 2001. Diagnostic Medical Parasitology, ed 4. ASM Press. Washington DC. Geleta AR. 2005. Antibody response to Babesia bigemina and Babesia bovis by vaccinated and unvaccinated cattle in an endemic area of South Africa [tesis] University of Pretoria. Goes TS, Goes VS, Ribeiro MFB, Gontijo CM. 2007. Bovine Babesiosis: Antyerytrhrocyte Antibodies Purification from The Sera of Naturally Infected Cattles. Vet. Immunology Immunopathology 116: 215-218. Harjono M. 2008. Penggemukan Sapi Australia untuk Peternak di sekitar perusahaan dengan Pola Inti Plasma pada Perusahaan Kadila Lestari Jaya Cijapati Bandung. Karya Tulis Ilmiah. Program studi peternakan. Politeknik Pertanian Universitas Andalas. Hedayati T. 2007. Babesiosis. eMedicine Web MD. http://www.emedicine/com /med/topic 195.htm [21 oktober 2007] Hilpertshauser H, Deplzes P, Schnyder M, Gern L, Mathis A. 2006. Babesia spp. Identified by PCR in Ticks Collected from Domestic and Wild Ruminants in Southern Switzerland. Applied and Enviromental Microbiology 72:6503-6507. Homer MJ, Delfin IA, Telford SR, Krause PJ, Persing DH. 2000. Babesiosis. Clin. Microbiology Review 3:451-469. Jonsson NN, Davis R, De Witt M. 2001. An estimate of the Economic Effect of Cattle Tick (Boophilus microplus) infestation on Queensland dairy farms. Aust Vet J.79(12):826-831. Jonsson NN, Bock RE, Jorgensen WK. 2008. Productivity and health effects of anaplasmosis and babesiosis on Bos indicus cattle and their crosses, and the effect of differing intensity of tick control in Australia. Vet. Parasitology 03(022):1-9. [LAI] Lembaga Australia Indonesia. 1999. Pertanian Australia. Geografi Australia. Lubis FY. 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran 152:2729. Mosqueda J, McElwain TF, Stiller D, Palmer GH. 2002. Babesia bovis Merozoite Surface Antigen 1 dan Rhoptry-Associated Protein 1 are Expressed in Sporozoites, and Specific antibodies Inhibit Sporozoit Attachment to Erythrocytes. Infection and Immunity 70(3):1599-1603.
Payne RC, Sukanto IP, Husein A, Khadjatun, Toewes DW. 1989. Determination of the Causes of Death and ill Health, with Particular Reference of Trypanosomiasis, Babesiosis and Anaplasmosis, in Cattle and Buffaloes Imported into Indonesia. Maj. Parasitol. Ind. 3, 1990 (Edisi Khusus):99107. Ristic M, Kreier JP. 1981. Babesiosis. Academic Press Inc. New York. Sevinc F, Sevinc M, Bindane FM, Altinoz F. 2001. Prevalence of Babesia bigemina in Cattle. Revue Med. Vet. 152, 5;395-398. Schuster FL. 2002. Cultivation of Babesia and Babesia-Like Blood Parasites: Agents of an Emerging Zoonotic Disease. Clin. Microbiol Rev 15(3): 365373. Schalm OW, Jain NC, Caroll EJ. 1975. Veterinary Hematology. Lea and Febriger. Philadelphia Siswansyah DD. 1990. Prevalensi Theileriosis, Babesiosis dan Anaplasma pada Sapi dan Kerbau di Kalimantan Selatan. Penyakit Veteriner XXII(39):5054. Siswansyah DD. 1996. Studi Patogenitas Theileiria orientalis Pada Sapi Perah Friesian Holstein. Tesis Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Steward NP, Dalgliesh RJ, De Vos AJ. 1986. Effect of Different Methods of Maintenance on The development and Morphology of Babesia bigemina in the gut of Boophilus microplus. Research in Veterinery Science 40:9498. Sukanto IP, Payne RC, Partoutomo S. 1993. Bovine Babesiosis in Indonesia. Preventive Veterinary Med. 16:151-156. Thrusfield M. 2005. Veterinary Epidemiology. 3rd Ed. Veterinary Clinical studies Royal (Dick) School of Veterinary Studies. University of Edinburgh.
DAFTAR ISIAN KUESIONER A.
TRANSPORTASI PERJALANAN
1.
Nama kapal
2.
Tanggal keberangkatan kapal : ……………………………………………...
3.
Pelabuhan muat/asal : ………………………………………………………
4.
Jumlah sapi yang dibawa dalam kapal :……………………………….. .ekor
5.
Bangsa/breed sapi :
: ……………………………………………………………..
a. Brahman b. Brahman cross c. Shorthon d. Angus 6.
Hewan lain dalam kapal : a. Ada : …………………Jenis hewan:…………. b. Tidak ada
7.
Keterangan komoditi : Jumlah sapi
< 1 tahun
Kelompok umur 1-3 tahun
> 3 tahun
Jumlah
Jantan Betina Jumlah total 8.
Jumlah kematian selama perjalanan dari negara asal :……………ekor
9.
Penyebab kematian : a. Diinjak/trauma fisik b. Dehidrasi/kurang makan c. Sakit : a. infeksius
10.
b. non infeksius
Kondisi kapal : 1. Sanitasi : a. Kandang dibersihkan a.……x/hari b.……x/minggu c.……x/bulan b. Ventilasi : a. Ada : a. ada exhouse fan b. ada Jendela b. Tidak ada 2. Pakan dan air minum : a. Jumlah pakan : ………………………….(ton/ekor) b. Waktu pemberian pakan : a. 1x/hari b. 2x/hari c. Waktu pemberian minum : a. 1x/hari b. 2x/hari
c. tak terbatas c. tak terbatas
d. Jenis pakan : a. konsentrat b. pelet c. lainnya………………….. 3. Konstruksi kandang a. Batas antar kandang : a. ada b. tidak ada b. Alas lantai : a. karet b. kayu c. tanpa alas c. Bahan konstruksi : a. mudah dibersihkan b. tidak mudah dibersihkan 4. Kapasitas kandang sapi panjang x lebar perekor a. 2 – 3 m2/ekor b. < 2 – 3 m2/ekor 5. Populasi caplak : a. tidak ada b. kurang dari 50 caplak/lokasi c. lebih dari 50/lokasi 6. Letak/posisi caplak : a. Antar teracak/perineal b. Ventral tubuh/dada c. Dorsal tubuh/punggung d. Kepala 7. Keterangan waktu : Waktu kegiatan
Tanggal
Jam
Kedatangan kapal Pembongkaran sapi Tiba di instalasi B.
KANDANG (IKHS) 1. Nama importir
: ……………………………………………………
2. Nama eksportir
: ……………………………………………………
3. Lokasi instalasi
: ……………………………………………………
4. Kondisi instalasi : 1. Sanitasi : a. Kandang dibersihkan : a.……x/hari b……x/minggu c……x/bulan b. Sinar matahari : a. masuk ke kandang b. tidak masuk ke kandang 2. Pakan dan air minum : a. Jumlah pakan : ………………………….(ton/ekor) b. Waktu pemberian pakan : a. 1x/hari b. 2x/hari c. tak terbatas c. Waktu pemberian minum : a. 1x/hari b. 2x/hari c. tak terbatas
3. Jenis pakan : a.konsentrat b. pelet c. hijauan segar d. hijauan kering 4. Konstruksi kandang a. Batas antar kandang : a.ada b.tidak ada b. Lantai kandang : a.semen b.tanah c. Bentuk naungan : a.atap asbes b.paranett c.atap aluminium 5. Bahan konstruksi : a. Permanen b. Tidak permanen : a.kayu b. bambu c. setengah permanen 6. Kapasitas kandang sapi panjang x lebar perekor a. 2 – 3 m2/ekor b. < 2 – 3 m2/ekor 7. Populasi caplak : a. tidak ada c.lebih dari 50 caplak/lokasi
b. kurang dari 50 caplak/lokasi
8. Letak/posisi caplak : a. Antar teracak/perineal b. Ventral tubuh/dada c. Dorsal tubuh/punggung d. Kepala 5.
Populasi ruminansia lain sekitar kandang a. Ada :…………Jenis : …………….., Jarak : ………meter b. Tidak ada
6.
Jenis obat-obatan yang pernah diberikan : a. Jenis vaksinasi :….…………………………. b. Jenis antibiotika : ……………………………..
7.
Waktu pemberian obat : a. sebelum pengapalan
8.
Waktu pengambilan sampel darah : a. Tanggal :……………………………………… b. Jumlah sampel :…………………………………………
b.sesudah tiba di instalasi