KUALITAS MIKROBIOLOGIK MENTEGA IMPOR DARI PERANCIS DAN SELANDIA BARU
EDI DARUDJATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan tesis Kualitas Mikrobiologik Mentega Impor dari Perancis dan Selandia Baru adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009 Edi Darudjati NIM B251064134
ABSTRACT EDI DARUDJATI. Microbiological Quality of Imported Butter from French and New Zealand. Under direction of DENNY WIDAYA LUKMAN and A WINNY SANJAYA. Foods of animal origin such as meat, eggs, and milk, are categorized as perishable and potentially hazardous foods since they could spread foodborne disease and zoonoses. Therefore, they must be safe and suitable for human consumption. Butter is one of milk product must also comply with that requirements. The aim of this research is to observe the microbiological quality of butter which is imported into Indonesia. A total of 67 butter samples imported from French (46 samples) and New Zealand (21 samples) were examined for microbiological quality (Staphylococci count, coliform count, and yeast and mold count). The result showed that the mean counts of Staphylococci, coliform, and yeast and mold of butter imported from French and New Zealand were 14±92 cfu/g, 93±318 cfu/g, and 76830±96116 cfu/g, consecutively. Comparing to the Indonesian National Standard (SNI) for Butter, 1 sample (1.5%) of butter imported from French was not in compliance with the SNI due to its higher Staphylococci count. Comparing to the standard of origin country, 14 samples of butter from French did not comply with the European standard, i.e. 1 sample (0.5%) contained higher Staphylococci count and 13 samples (28.3%) higher coliform count. Twenty samples of butter imported from New Zealand were not accordanced with the Australian-New Zealand Standard, i.e. 1 sample (4.8%) showed higher coliform count and 19 samples (90.5%) higher yeast and mold count. Based on the result, it is recommended that the examination on safety and quality of imported butter and other animal products should be considered as the animal quarantine measures. Key words: imported butter, staphylococci count, coliform count, yeast and mold count
RINGKASAN EDI DARUDJATI. Kualitas Mikrobiologik Mentega Impor dari Perancis dan Selandia Baru. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN dan A. WINNY SANJAYA. Pangan asal hewan (daging, susu, telur dan hasil olahannya) dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food) dan sebagai pangan yang berpotensi mengandung bahaya (potentially hazardous foods). Oleh karena itu, mentega sebagai salah satu pangan asal hewan harus aman dan layak untuk dikonsumsi. Keberadaan mikroorganisme dalam pangan sangat mempengaruhi kualitas dan keamanan pangan tersebut. Oleh sebab itu, pengujian mikrobiologik pada pangan perlu dilaksanakan dalam rangka jaminan keamanan dan kualitas pangan. Analisis mikrobiologik kuantitatif pada pangan merupakan salah satu pengujian yang umum dan rutin diterapkan dalam rangka pengawasan dan pengendalian kualitas dan keamanan pangan Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kualitas mikrobiologik mentega yang diimpor dari Perancis dan Selandia Baru. Kualitas mikrobiologik yang diperoleh akan dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Mentega No. 01-3744-1995 dan standar dari Eropa dan Selandia Baru. Penelitian dilakukan selama 3 (tiga) bulan mulai dari bulan September sampai dengan Nopember 2008. Pengambilan sampel dilakukan di Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS) Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta. Pengujian sampel dilakukan di laboratorium Bagian Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB). Total dari 67 sampel mentega impor dari Perancis (46 sampel) dan Selandia Baru (21 sampel) diperiksa terhadap kualitas mikrobiologi (jumlah kuman Stafilokokus, koliform dan kapang – kamir). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah kuman Stafilokokus, koliform dan kapang – kamir pada mentega impor dari Perancis dan Selandia Baru berturut-turut adalah 14±92 cfu/g, 93±318 cfu/g, dan 76830±96116 cfu/g. Dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang mentega, 1 sampel (1.5%) mentega dari Perancis tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam SNI disebabkan jumlah kuman Stafilokokus lebih tinggi. Dibandingkan dengan standar Negara asal, 14 sampel mentega Perancis tidak sesuai dengan Standar Uni Eropa, 1 sampel (0.5%) memiliki jumlah kuman Stafilokokus lebih tinggi dan 13 sampel (28.3%) memiliki jumlah koliform lebih tinggi. Dua puluh sampel mentega impor asal Selandia Baru tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Australian-New Zealand Standard, 1 sampel (4.8%) memiliki jumlah koliform lebih tinggi dan 19 sampel (90.5%) memiliki jumlah kapang dan kamir lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, disarankan kepada pihak karantina hewan untuk melakukan pemeriksaan terhadap keamanan dan kualitas mentega impor dan produk asal hewan lainnya. Kata kunci: mentega impor, jumlah stafilokokus, koliform, kapang kamir
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KUALITAS MIKROBIOLOGIK MENTEGA IMPOR DARI PERANCIS DAN SELANDIA BARU
EDI DARUDJATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto
Judul Tesis Nama NIM
: Kualitas Mikrobiologik Mentega Impor dari Perancis dan Selandia Baru : Edi Darudjati : B251064134
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. A. Winny Sanjaya, M.S Anggota
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 19 Januari 2009
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan HidayahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini bertemakan keamanan pangan pada mentega impor yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2008 dengan judul Kualitas Mikrobiologik Mentega Impor dari Perancis dan Selandia Baru. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. dan Ibu Dr. drh. A. Winny Sanjaya, M.S selaku dosen pembimbing tesis atas bimbingan, dorongan dan arahan yang diberikan; kepada Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto selaku Penguji Luar Komisi pada ujian tesis atas koreksi dan masukan, serta kepada Ibu Ir. Etih Sudarnika, M.Si atas bantuan konsultasi pengambilan contoh. Penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada Kepala Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana, pimpinan beserta staf Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta yang telah memfasilitasi selama pengumpulan dan pengujian sampel, khususnya kepada Bapak Ir. Syukur Iwantoro, M.S, MBA, Bapak Ir. Hari Priyono M.Si, Bapak drh. Hadi Wardoko MM, Bapak drh Basir Nainggolan, Bapak D. Indra Mulya, SSos, M.Si, Bapak drh. Dwi Agus Sudaryanto, Bapak drh. Fadjar Agus S. Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Tedi, Bapak Bapak Agus, Hendra, Bowo, Loisa dan Okta atas bantuannya dalam pelaksanaan pengujian di laboratorium, serta kepada rekan–rekan di kelas khusus karantina (Arief, Arum, Iswan, Duma, Endah, Era, Maya, Melani, Muji, Nunung, Tatit, Rita, Risma, dan Yoyok) atas bantuan, kerjasama dan dukungannya selama ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Yurike Elisadewi Ratnasari, ananda Rizal Pradana Reswara, ibunda Sri Wulan serta seluruh keluarga atas segala doa, dorongan semangat dan pengertian yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk Badan Karantina Pertanian khususnya dan untuk masyarakat pada umumnya.
Bogor, Januari 2009 Edi Darudjati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Boyolali pada tanggal 18 Maret 1970 dari ayahanda R.H. Soepardjo (Alm) dan ibunda Sri Wulan. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, menikah dengan drh Yurike Elisadewi Ratnasari dan dikaruniai satu orang putra, Rizal Pradana Reswara. Pendidikan SD ditempuh di Kunduran pada tahun 1977 dan lulus tahun 1983. Pendidikan SMP ditempuh di Kunduran pada tahun 1983 dan lulus pada tahun 1986. Tahun 1989 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Blora dan melanjutkan ke perguruan tinggi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan lulus sebagai dokter hewan pada tahun 1995. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan studi magister (S2) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian. Penulis mulai bekerja sebagai calon Medik Veteriner Pertama di Stasiun Karantina Hewan Kelas I Sam Ratulangi Manado mulai tahun 2004. Mulai tahun 2007 sampai dengan saat ini, penulis diperbantukan di Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xiv
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... Mentega ............................................................................................... Kualitas Mentega ................................................................................. Proses Pembuatan Mentega ................................................................. Evaluasi Kualitas Mentega .................................................................. Penyimpanan Mentega ........................................................................
4 4 5 5 10 10
BAHAN DAN METODE ............................................................................. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. Bahan dan Alat .................................................................................... Besaran Sampel ................................................................................... Pengujian Sampel ................................................................................
12 12 12 12 12
Analisis Data ……...............................................................................
14
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... Pengujian Mikrobiologik Mentega .................................................... Keberadaan Stafilokokus pada Mentega ............................................. Keberadaan Koliform pada Mentega .................................................. Keberadaan Kapang Kamir pada Mentega ......................................... Penyimpangan pada Mentega ……….................................................
15 15 18 19 21 22
Kerusakan pada Mentega ………….................................................... Penerapan Good Hygienic Practice pada Proses Produksi Mentega ..
23 23
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... Simpulan .............................................................................................. Saran ....................................................................................................
25 25 25
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
26
LAMPIRAN ...................................................................................................
29
PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumen saat ini semakin menuntut persyaratan kualitas pangan yang terjamin baik. Persyaratan mutu pangan yang baik dan aman dikonsumsi meliputi produk yang bebas residu, baik residu bahan hayati, residu kimia seperti pestisida, logam berat, antibiotika, hormon, dan obat-obatan lainnya, maupun terhadap cemaran mikroorganisme. Pangan asal hewan (daging, susu, telur dan hasil olahannya) dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food) dan sebagai pangan yang berpotensi mengandung bahaya (potentially hazardous foods).
Hal tersebut
karena pangan asal hewan memiliki faktor–faktor yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme, terutama bakteri, antara lain mengandung zat gizi yang baik, memiliki nilai pH yang mendekati netral, dan memiliki aktivitas air (aw) di atas 0.85. Keberadaan mikroorganisme dalam pangan sangat mempengaruhi kualitas dan keamanan pangan tersebut. Pentingnya keamanan pangan sejalan dengan semakin baiknya kesadaran masyarakat terhadap pangan asal hewan dan produknya yang berkualitas, artinya selain nilai gizi tinggi, produk tersebut tidak mengandung bahan berbahaya. Oleh karena itu, keamanan pangan asal hewan dan produknya merupakan persyaratan mutlak dan selalu merupakan isu aktual yang perlu mendapat perhatian dari produsen, konsumen, dan pemangku kebijakan. Badan Karantina Pertanian berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 22/Permentan/OT.140/4/2008 mempunyai tugas melakukan pengawasan keamanan hayati hewan dan nabati. Pengujian mikrobiologik pada pangan perlu dilaksanakan dalam rangka menjamin keamanan dan kualitas pangan. Analisis mikrobiologik kuantitatif pada pangan merupakan salah satu pengujian yang umum dan rutin diterapkan dalam rangka pengawasan dan pengendalian kualitas dan keamanan pangan (Lukman 2004). Salah satu metode menghitung jumlah mikroorganisme dalam produk makanan adalah metode hitungan cawan aerob (aerobic plate count). Jumlah mikroorganisme pada contoh bahan makanan yang diperoleh dengan metode ini merupakan gambaran populasi mikroorganisme yang terdapat pada contoh
tersebut. Metode ini merupakan metode yang sangat berguna dan dianjurkan dalam pemeriksaan rutin. Mentega sebagai salah satu produk olahan susu merupakan suatu produk emulsi, yaitu tipe emulsi air dalam minyak dengan karateristik plastis. Kualitas mentega tergantung pada kualitas krim yang digunakan dan penanganan lebih lanjut pada produk akhir. Krim yang telah mengalami kerusakan oleh kamir atau bakteri akan mempunyai rasa kurang enak yang akan terbawa ke mentega. Mentega yang dibuat dari krim yang diproses melalui pasteurisasi dengan baik, peralatan dan kualitas air yang digunakan baik, akan terhindar dari kontaminasi mikroorganisme,
sehingga
mentega
tersebut
mempunyai
kandungan
mikroorganisme pencemar sedikit atau bahkan tidak ada (Rahman et al. 1992). Proses pembuatan dan tenaga pengolah yang tidak menjaga kondisi higiene yang baik serta sanitasi peralatan pengolah mentega yang tidak baik memiliki potensi terjadinya kontaminasi mentega oleh mikroorganisme (Marth dan Steel 2001). Mentega yang dijual di Indonesia umumnya diimpor dari negara lain, terutama dari negara Selandia Baru, Perancis, Amerika Serikat, dan Jerman. Volume impor mentega ke dalam Indonesia dari beberapa negara dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1
Volume impor mentega oleh Indonesia dari beberapa negara tahun 2008
No.
Asal Negara
Jumlah (000 ton)
1.
Selandia Baru
11 020.00
2.
Perancis
3 498.90
3.
Amerika Serikat
2 737.75
4.
Jerman
2 000.00
5.
Belanda
1 250.00
6.
Irlandia
1 020.00
7.
Swedia
480.00
8.
Belgia
89.80
(Rekapitulasi Data Operasional Impor Teknik dan Metoda Karantina Hewan 2008)
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kualitas mikrobiologik mentega yang diimpor dari Perancis dan Selandia Baru
2. Membandingkan kualitas mikrobiologik yang diperoleh akan dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Mentega No. 01-3744-1995 dan standar dari masing-masing negara pengekspor.
Manfaat 1. Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pentingnya pengawasan terhadap kualitas mikrobiologik mentega impor sebagai upaya perlindungan kesehatan masyarakat. 2. Hasil penelitian diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi Badan Karantina Pertanian dalam membuat petunjuk teknis impor mentega.
Hipotesis Kualitas mikrobiologik mentega dari Perancis dan Selandia Baru baik dan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Mentega No. 01-3744-1995 dan standar dari Eropa dan Selandia Baru.
TINJAUAN PUSTAKA Mentega Mentega merupakan suatu produk emulsi, yaitu tipe emulsi air dalam minyak dengan karateristik plastis (Rahman et al. 1992). Menurut Brocklehurst dan Wilson (2000) emulsi air dalam minyak tersusun atas fase cair yang terdispersi sebagai droplet yang berbentuk sferik atau tidak beraturan dengan fase minyak yang berisi kristal lemak (Gambar 1). Emulsi air dalam lemak lem dapat terkontaminasi oleh mikroorganisme selama proses produksi di pabrik.
Tabel 2 Tipe emulsi beberapa makanan (Brocklehurst dan Wilson 2000) Tipe emulsi Minyak dalam air
Air dalam minyak
Produk
Konsentrasi lemak (%)
Mayonais
28-85
Krim salad
25
Susu
3-4
Krim susu
12-60
Mentega
80-84
Margarin
80
Lemak non globula Kristal lemak Droplet air
Globula lemak
Gambar 1 Struktur mentega (Anonim 2008a)
Petumbuhan mikroorganisme dalam makanan beremulsi menyebabkan kerusakan makanan akibat produksi gas atau metabolit oleh bakteri atau kamir atau dapat terjadi perubahan akibat pertumbuhan koloni bakteri, kamir atau kapang.
Beberapa makanan tipe emulsi menyebabkan pertumbuhan bakteri
pembentuk toksin. Komponen lemak mempunyai peranan dalam pertumbuhan mikroorganisme (Brocklehurst dan Wilson 2000).
Kualitas Mentega Mentega yang baik mempunyai kadar lemak minimal 83%, kadar air maksimum 16%, kadar protein maksimum 1%, garam maksimum 5/1000, zat warna food grade maksimum 3/10000, dan tidak boleh terdapat bahan–bahan ataupun mineral lainnya (Rahman et al. 1992) Berdasarkan proses pengolahannya, mentega diklasifikasikan menjadi: (1) mentega ripening, dan (2) mentega non-ripening;
sedangkan berdasarkan
rasanya, mentega diklasifikasikan menjadi (1) mentega asin (salted butter), dan (2) mentega tawar (unsalted butter). Nilai gizi mentega tergantung pada kandungan lemaknya dan vitaminvitamin yang larut dalam lemak. Mentega adalah sumber vitamin A yang baik dan merupakan makanan berenergi tinggi yaitu sekitar 7-8 kalori per gram. Kandungan gizi dari mentega dapat dilihat pada Tabel 3.
Proses Pembuatan Mentega Teknologi pembuatan mentega merupakan suatu rangkaian proses yang komplek (Speer dan Mixa 1995). Menurut Walstra et al. dan Kornacki et al. proses pembuatan mentega dilakukan dalam beberapa tahap (Gambar 2). Pemisahan Krim. Pemisahan krim dilakukan dengan menggunakan alat separator mekanis sentrifugal. Proses pemisahan krim dapat dilakukan pada suhu antara 40-50 oC, namun pemisahan krim pada suhu tersebut berpotensi terjadi pertumbuhan bakteri. Beberapa alat separator krim didesain untuk pemakaian pada suhu rendah (-5 oC).
Pemisahan krim dengan prinsip sentrifugal akan
membantu terpisahnya kotoran, benda asing maupun sel somatik yang mungkin terbawa dalam susu sebagai bahan baku mentega (Robinson 2002).
Tabel 3 Kandungan gizi mentega (USDA 2007) Kandungan (per 100g)
Salted
Unsalted
717
717
Kandungan air, %
15.87
17.94
Protein, g
0.85
0.85
Lemak, g
81.11
81.11
Kolesterol, mg
215
215
Karbohidrat, g
0.06
0.06
Abu, g
2.11
0.04
Vitamin A, IU
2499
2499
Vitamin E (alfa-tokoferol), mg
2.32
2.32
3
3
Niasin, mg
0.04
0.04
Riboflavin, mg
0.034
0.03
Tiamin, mg
0.005
0.005
Vitamin B6, mg
0.003
0.003
56
56
Asam pantotenat, mg
0.11
0.11
Vitamin B12, µg
0.17
0.17
Vitamin K, µg
7
7
Kalsium, mg
24
24
0.02
0.02
Magnesium, mg
2
2
Fosfor, mg
24
24
Potasium, mg
24
24
Sodium, mg
576
11
Zinc, mg
0.09
0.09
1
1
Energi, kcal
Folat, µg
Vitamin D, IU
Besi, mg
Selenium, µg
Susu segar
Pemisahan krim
Krim 35%lemak Pasteurisasi (HTST) 85oC 15 detik 5% Starter
Penambahan starter
Inkubasi 14 oC 20 jam
Pengadukan (Churning) 14 oC Susu tumbuk (buttermilk)
Air 12 oC
Pewarnaan dan penggaraman
Pemisahan
Pengepakan
Bakal mentega
Homogenisasi
Pencucian
Pematangan 10 oC 7 hari
Pengulian
Mentega
Susu tumbuk (buttermilk)
Gambar 2 Proses pembuatan mentega (Walstra 2006; Kornacki et al. 2001)
Pasteurisasi Krim. Pasteurisasi krim dilakukan pada suhu 85 oC selama 15 detik. Penggunaan suhu tinggi tidak merusak cita rasa (flavor) krim, tetapi enzim di dalam krim, khususnya lipase, mengalami kerusakan. Lipase adalah enzim yang dapat menyebabkan ketengikan pada produk (Rahman et al. 1992). Tujuan pasteurisasi krim adalah (1) membunuh bakteri, kapang dan kamir, (2) menginaktifkan enzim, (3) agar mentega yang dihasilkan mempunyai kualitas yang baik dan dapat seragam, (4) mengurangi penyimpangan-penyimpangan pada flavor yang akan dibentuk (Walstra et al. 2006). Penambahan Starter. Penambahan starter berkisar antara 3-5 persen dari volume krim. Pada pembuatan mentega yang tidak ditambah garam, persentase starter yang digunakan lebih banyak dan keasaman krim setelah pemeraman berkisar antara 0.40-0.45 persen asam laktat (Rahman et al. 1992). Menurut Varnam dan Sutherland (1994) komposisi starter yang biasa ditambahkan pada mentega adalah Lactococcus lactis subspesies lactis atau L. lactis subspesies cremoris dikombinasikan dengan L. lactis subspesies diacetyl lactis atau Leuconostoc mesenteroides subspesies cremoris. Pengadukan (Churning).
Sebelum dilakukan pengadukan sebaiknya
suhu, keasaman, dan viskositas dari krim harus diperhatikan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pengadukan adalah: 1. Pengadukan dikerjakan pada suhu 5-10 oC. Kondisi ini adalah kondisi yang optimum.
Pengadukan secara lambat dikerjakan pada suhu 10 oC selama
semalam atau secara cepat pada suhu 3-4 oC selama 3 jam. 2. Jumlah krim yang dimasukkan churner adalah 1/3 sampai ½ kapasitas isi churner untuk krim berkadar lemak 30-33%. 3. Keasaman krim harus 0.4-0.5%; (4) Kadar krim yang ideal adalah antara 3033%. Apabila kadar krim lebih dari 40% maka akan terjadi banyak kehilangan lemak (Rahman et al. 1992). Pada proses pengadukan, partikel-partikel mentega akan terbentuk terpisah dengan serumnya yang disebut buttermilk. Serum harus dibuang (dikeluarkan dari churner) diganti dengan air yang suhunya kurang lebih sama dengan suhu mentega. Jumlah air yang ditambahkan kurang lebih sama dengan jumlah serum
yang dibuang. Kemudian diadakan proses pengadukan yang kedua, caranya sama dengan pengadukan sebelumnya. Serum yang terbentuk dibuang lagi, kemudian dicuci dengan air seperti semula. Demikian seterusnya proses pengadukan dan pencucian ini diulang 4 atau 5 kali (Rahman et al. 1992). Pengulian (Working). Tujuan dari pengulian adalah: (1) membentuk bahan mentega lebih kompak dan masif, (2) menghomogenkan garam yang ditambahkan ke seluruh bagian mentega, (3) mengeluarkan serum atau butter milk yang mungkin masih tersisa, dan (4) mengatur kadar air mentega. Alat yang digunakan untuk proses pengulian mentega dapat berupa churner atau alat yang bekerja dengan prinsip kneading untuk mengaduk seperti alat pembuat roti (Rahman et al. 1992). Penambahan Zat Warna. Warna mentega sangat bervariasi karena warna ini dipengaruhi oleh pakan hewan, misalnya bila pemberian hijauan kurang maka untuk memperjelas warna dari mentega biasanya ditambahkan zat warna pada krim. Warna yang digunakan untuk mentega bervariasi antara kuning sampai kuning keemasan. Zat warna yang biasa digunakan untuk mentega adalah: - Zat warna yang diekstrak dari tumbuh-tumbuhan misalnya Bixa orellana yaitu bixin untuk zat warna kuning dan ocellin untuk warna merah. - Karoten yang diekstrak dari wortel atau yang sintetis. Penggunaan karoten tidak memberikan warna yang baik pada mentega tetapi dapat meningkatkan kandungan nutrisi dari produk. - Zat warna yang berbentuk tablet. Zat warna ini mengandung pula pati, gula, garam, soda dan flavor. Zat warna standar ada bermacam-macam tergantung dari konsentrasi kalium bikromat yang ada dalam sulfur (Rahman et al. 1992) Penggaraman.
Penambahan garam hanya dilakukan apabila diinginkan
mentega yang rasanya asin.
Jumlah garam yang ditambahkan harus
diperhitungkan agar mentega yang dihasilkan mempunyai kadar garam 1-2%. Apabila penambahan garam terlalu banyak, maka komponen-komponen cita rasa dan aroma akan hilang. Selain sebagai pembentuk rasa asin, garam juga berfungsi sebagai pengawet.
Gambar 3 Mesin pengaduk mentega (churner) (Anonim 2008a)
Evaluasi Kualitas Mentega Fennema et al. (1985) menyatakan evaluasi kualitas mentega setelah selesai diproduksi biasanya dilakukan baik oleh industri sendiri maupun oleh pihak yang berwenang melakukan pemeriksaan kualitas mentega.
Evaluasi yang biasa
dilakukan oleh produsen adalah: kualitas susu dan krim yang dipergunakan khususnya terhadap pH dan rasa, kandungan air, kandungan lemak juga kandungan garam (khusus untuk salted butter), persyaratan tingkat mutu yang dikehendaki pasar dan jenis mentega Adapun evaluasi yang biasa dilakukan oleh pihak yang berwenang melakukan pemeriksaan kualitas mentega adalah pemeriksaan organoleptik yang meliputi keadaan fisik, rasa, bau dan tekstur, serta kandungan air dan pH.
Penyimpanan Mentega Salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi
kualitas
mentega
adalah
penyimpanan. Penyimpanan yang baik dapat menjaga kualitas mentega. Untuk mencegah terjadinya kerusakan seperti tengik, melindungi mentega dari panas, cahaya maupun udara sebaiknya mentega disimpan di refrigerator. Mentega dapat disimpan di refrigerator sekitar 2 minggu pada suhu di bawah 4.4 °C (40 °F). Penyimpanan pada suhu yang lebih tinggi akan menyebabkan perubahan bau. Mentega sebaiknya tidak disimpan pada suhu ruangan lebih dari 2 hari. Apabila
mentega akan dipergunakan untuk jangka waktu lebih dari 2 minggu, sebaiknya penyimpanan dilakukan pada suhu beku -17.5 oC(Schmutz et al. 2007).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan, mulai bulan September sampai dengan November 2008.
Sampel diambil dari Instalasi Karantina Hewan
Sementara Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta dan pengujian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel mentega, agar Vogel Johnson (Pronadisa 1092.00), agar violet red bile (Pronadisa 1079.00), agar potato dextrose (Pronadisa 1056.00), buffered peptone water (Bacto 1807-17-4), dan tellurite 1% (1Merck 05164.0100). Alat yang digunakan meliputi timbangan digital, spatel, botol (150 ml) atau tabung reaksi (20-50 ml) steril, shaker (pengocok mekanis), pipet steril 1, 5, 10 dan 11 ml, cawan petri steril (diameter 100 mm, tinggi 15 mm), penangas air, inkubator 35 °C, alat penghitung, Quebec colony counter, termometer, kantung plastik, label, dan spidol.
Besaran Sampel Dari data yang diperoleh, rata rata frekuensi pemasukan mentega yang dilalulintaskan melalui Bandara Soekarno Hatta setiap bulannya menunjukkan bahwa frekuensi pemasukan mentega dari negara Perancis dua kali lebih banyak daripada frekuensi pemasukan dari negara Selandia Baru. Dengan demikian, rasio pengambilan sampel mentega antara Perancis dan Selandia Baru adalah 2:1. Sampel mentega yang diambil adalah mentega tanpa garam (unsalted butter). Setiap satu kali pemasukan mentega, sampel yang diambil sebanyak 7 sampel. Total jumlah sampel yang diambil sebanyak 67 sampel meliputi: 46 sampel mentega asal Perancis (6 kali pengapalan) dan 21 sampel mentega asal Selandia Baru (3 kali pengapalan).
Jumlah sampel yang diambil dari setiap
negara pengekspor dilakukan secara proporsional dengan metode probability
proportional to size (McGeen 2004). Penentuan 7 sampel mentega yang diambil di instalasi dilakukan secara acak (random).
Pengujian Sampel Pemeriksaan mikrobiologik sampel mentega impor meliputi jumlah stafilokokus, jumlah koliform, dan jumlah kapang kamir. Analisis kuantitatif mikrobiologik dilakukan dengan metode hitungan cawan dengan cara tuang (Lukman et al. 2007). Sampel mentega sebanyak 10 gram diencerkan secara desimal dalam larutan buffered peptone water (BPW) 90 ml bersuhu 40 °C, kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri (diameter 10 cm) sebanyak 1.0 ml, dan kemudian dituangkan media agar cair sebanyak 12-15 ml (45 °C), dibiarkan memadat, dan diinkubasi. Pengujian jumlah stafilokokus.
Sampel mentega diencerkan secara
desimal dengan buffered peptone water 0.1% (suhu 40 °C). Sebanyak 1.0 ml sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam cawan petri steril, lalu dituangkan ke dalamnya 10-15 ml agar Vogel-Johnson yang telah ditambah tellurite 1%. Setelah agar memadat, cawan petri diinkubasi dalam inkubator bersuhu 35+1 °C selama 24-48 jam. Koloni stafilokokus yang dihitung adalah koloni kecil berwarna hitam dengan zona terang Pengujian jumlah koliform. Sampel mentega diencerkan secara desimal dengan buffered peptone water 0.1% (suhu 40 °C). Sebanyak 1.0 ml sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam cawan petri steril, lalu dituangkan ke dalamnya 5-10 ml agar violet red bile. Setelah agar memadat, tuangkan kembali 5-10 ml agar violet red bile di atas media yang memadat, cawan petri diinkubasi dalam inkubator bersuhu 35+1 °C selama 24-48 jam. Koloni koliform yang dihitung adalah koloni kecil berwarna kemerahan Pengujian jumlah kapang-kamir.
Sampel mentega diencerkan secara
desimal dengan buffered peptone water 0.1% (suhu 40 °C). Sebanyak 1.0 ml sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam cawan petri steril, lalu dituangkan ke dalamnya agar potato dextrose. Setelah agar memadat, cawan petri diinkubasi dalam inkubator bersuhu 35+1 °C selama 5 hari. Koloni kapang-kamir berwarna hitam
Analisis Data Data yang dihasilkan dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan statistika deskripsi. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) statistika deskripsi adalah bidang statistika yang membicarakan cara atau metode mengumpulkan, menyederhanakan dan menyajikan data sehingga bias memberikan informasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Mikrobiologik Mentega Sampel mentega yang menjadi bahan penelitian adalah mentega impor dari Perancis dan Selandia Baru. Total jumlah sampel mentega yang diambil sebanyak 67 sampel meliputi: 46 sampel mentega asal Perancis (6 kali pengapalan) dan 21 sampel mentega asal Selandia Baru (3 kali pengapalan).
Pemeriksaan
mikrobiologik sampel mentega impor meliputi jumlah stafilokokus, jumlah koliform, dan jumlah kapang kamir. Secara umum hasil pengujian mikrobiologis terhadap mentega yang diimpor dari Perancis dan Selandia Baru diperoleh rata-rata jumlah stafilokokus, koliform, dan kapang-kamir berturut-turut adalah 14±92 cfu/g, 93±318 cfu/g, 76830±96116 cfu/g. Jumlah ketiga jenis mikroorganisme (stafilokokus, koliform, dan kapangkamir) pada mentega asal Perancis relatif lebih tinggi dibandingkan dengan mentega asal Selandia Baru, khususnya jumlah kapang-kamir (112605±99307 cfu/g). Secara rinci, jumlah ketiga jenis mikroorganisme pada mentega yang diimpor dari Perancis dan Selandia Baru dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4
Jumlah stafilokokus, koliform, dan kapang-kamir mentega yang diimpor dari Perancis dan Selandia Baru Jumlah stafilokokus (cfu/g)
Jumlah koliform (cfu/g)
Jumlah kapangkamir (cfu/g)
21±112
113±353
112605±99307
Selandia Baru (n = 21)
<10
61±259
3577±2236
Total (n = 67)
14±92
93±318
76830±96116
Asal negara Perancis (n = 46)
Jika dibandingkan dengan batas maksimum cemaran mikroba yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3744-1995 tentang Mentega, maka terdapat 1 sampel (2.2%) mentega asal Perancis memiliki jumlah stafilokokus (720 cfu/g) lebih tinggi dari batas maksimum (jumlah stafilokokus
maksimum 100 cfu/g). SNI untuk mentega hanya menetapkan batas maksimum untuk jumlah stafilokokus (Tabel 5). Tabel 5
Persentase sampel mentega yang diimpor dari Perancis dan Selandia Baru yang tidak memenuhi persyaratan mikrobiologis dalam SNI No. 01-3744-1995 tentang mentega Jumlah sampel (%) yang tidak memenuhi SNI Perancis (n=46)
Selandia Baru (n=21)
Total (n=67)
Batas maksimum SNI No. 01-3744-1995
1 (2.2%)
0
1 (1.5%)
100 cfu/g
Jenis uji Jumlah stafilokokus
2,5
2,2
Persentase
2 1,5 1 0,5 0 0
Perancis Selandia Baru
Gambar 4 Persentase sampel dari Perancis dan Selandia Baru yang tidak memenuhi standar SNI SNI No. 01-3744-1995 tentang Mentega Pengujian mikrobiologik pada sampel mentega yang diimpor dari Perancis menunjukkan bahwa 14 sampel (28.8%) mentega tidak memenuhi standar Eropa (the Council of the European Communities 1992).
Standar dari the Council
directive 92/46/EEC hanya menetapkan batas maksimum jumlah stafilokokus dan koliform. Keempat belas sampel mentega asal Perancis yang tidak memenuhi persyaratan terdiri dari 1 sampel (0.5%) mentega mengandung jumlah stafilokokus (720 cfu/g) lebih tinggi dari batas maksimum (100 cfu/g) dan 13 sampel (28.3%) mentega mengandung jumlah koliform lebih tinggi daripada batas
maksimum yaitu 10 cfu/g. Jumlah sampel mentega asal Perancis yang memenuhi standar Eropa sebanyak 71.2% (Tabel 6).
Tabel 6 Persentase sampel mentega yang diimpor dari Perancis yang tidak memenuhi persyaratan mikrobiologis dalam the Council Directive 92/46/EEC Jumlah sampel (%) mentega asal Perancis yang tidak memenuhi standar Eropa (n=46)
Batas maksimum Eropa
1 (0.5%)
100 cfu/g
Jumlah koliform
13 (28.3%)
10 cfu/g
Total
14 (28.8%)
-
Jenis uji Jumlah stafilokokus
Pengujian mikrobiologik pada sampel mentega yang diimpor dari Selandia Baru menunjukkan bahwa 20 sampel (95.3%) mentega tidak memenuhi standar dari Microbiological Reference Criteria for Food. Standar ini menetapkan batas maksimum jumlah stafilokokus, koliform, dan kapang-kamir. Kedelapan sampel mentega asal Selandia Baru yang tidak memenuhi persyaratan terdiri dari 1 sampel (4.8%) mentega mengandung jumlah koliform (1190 cfu/g) lebih tinggi daripada batas maksimum (500 cfu/g) dan 19 sampel (90.5%) mentega mengandung jumlah kapang-kamir lebih tinggi dari batas maksimumnya, yaitu 500 cfu/g. Jumlah sampel mentega asal Selandia Baru yang memenuhi standar Australia Selandia Baru sebanyak 4.7% (Tabel 7).
Tabel 7
Persentase sampel mentega yang diimpor dari Selandia Baru yang tidak memenuhi persyaratan mikrobiologis dalam Microbiological Reference Criteria for Food (n = 21)
Jenis uji Jumlah stafilokokus Jumlah koliform Jumlah kapang-kamir Total
Jumlah sampel (%) mentega asal Selandia Baru yang tidak memenuhi standar Australia-Selandia Baru
Batas maksimum
0
0
1 (4.8%)
500 cfu/g
19 (90.5%)
500 cfu/g
20 (95.3%)
Keberadaan Stafilokokus pada Mentega Stafilokokus dapat ditemukan pada saluran pernafasan, kulit, dan pada lesi baik manusia maupun hewan (Anonim 1985).
Secara normal bakteri
Staphylococcus aureus terdapat pada saluran pernafasan dan permukaan kulit manusia sekitar 30–35%.
Seseorang dengan penyakit pernafasan dapat
mencemari makanan melalui bersin, batuk atau muntah.
Stafilokokus dapat
mencemari bahan makanan, peralatan, maupun produk akhir pada saat seseorang terlibat dalam proses pengolahan makanan. Selain manusia, hewan juga dapat bertindak sebagai reservoar stafilokokus. Susu yang dihasilkan oleh sapi dengan ambing yang terinfeksi stafilokokus dapat menyebabkan pencemaran pada susu dan produk olahan susu (Anonim 2003).
Gambar 5 Koloni bakteri Staphylococcus aureus pada media agar Vogel Johnson Stafilokokus dapat mencemari makanan apabila setelah proses pemanasan mengalami penanganan oleh pekerja atau terjadi kontak dengan peralatan maupun udara yang tercemar (Anonim 1985). Oleh karena itu, pekerja yang menangani pengolahan mentega sebelumnya harus memakai penutup kepala, masker, baju yang bersih dan tangan terlebih dahulu harus dibersihkan (Rahman 1992). Sedikitnya jumlah stafilokokus pada mentega asal Perancis dan Selandia Baru menandakan praktek higiene dala;m produksi mentega cukup baik.
Pengaruh Toksin Staphylococcus aureus terhadap Kesehatan Manusia Jenis makanan yang selama ini ditemukan kasus toksin Staphylococcus aureus diantaranya adalah daging dan produk olahannya, daging ayam dan telur,
salad telur, tuna, ayam, kentang dan makaroni, susu dan produk olahannya (Walderhaug 2007). Dosis infektif toksin S. aureus kurang dari 1.0 mikrogram. Dosis tersebut pada makanan dapat menimbulkan gejala intoksikasi. Toksin dapat terbentuk apabila jumlah S. aureus pada makanan yang terkontaminasi lebih dari 100 000 per gram (Walderhaug 2007). Bakteri S. aureus dapat dibunuh dengan perlakuan pemanasan, namun toksin S. aureus relatif tahan panas. Oleh karena itu, pengendalian pertumbuhan S. aureus perlu dilakukan sebelum perlakuan dengan pemanasan.
Bakteri S.
aureus tidak dapat tumbuh dengan baik pada suhu rendah atau refrigerator (Anonim 2006). Onset intoksikasi S. aureus terjadi antara 30 menit sampai dengan 8 jam setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi dengan toksin.
Pada
sebagian besar kasus, onset penyakit terjadi antara 2–4 jam. Enterotoksin S. aureus dapat menyebabkan gastroenteritis yang parah. Gejala umum dari Onset intoksikasi S. aureus adalah nausea, kram abdominal, berkeringat, pulsus rendah, respirasi dangkal, dan suhu tubuh sub normal. Proses kesembuhan pada kasus intoksikasi S. aureus akan terjadi dalam waktu 24-48 jam (Anonim 2004). Beberapa kasus intoksikasi S. aureus dilaporkan karena konsumsi susu atau produk olahan susu yang tidak disimpan pada suhu dingin. Wabah intoksikasi S. aureus terbesar terjadi pada tahun 1977 dan 1981 di Kalifornia, yaitu sekitar 500 siswa keracunan setelah mengonsumsi susu cokelat (Anonim 2003). Pada tahun 1983 di Amerika Serikat dilaporkan terjadi 7 082 kasus foodborne illness dan 127 kasus menjadi wabah, yang mana dari 1 257 kasus intoksikasi S. aureus terdapat 14 kasus yang menjadi wabah. Selanjutnya pada tahun 1984 terdapat 1 153 kasus dimana 11 kasus menjadi wabah, pada tahun 1985 dari 421 kasus terjadi 14 kasus menjadi wabah, pada tahun 1986 dari 250 kasus 7 kasus menjadi wabah dan pada tahun 1987 dilaporkan terdapat satu wabah dari 100 kasus foodborne illness (Walderhaug 2007).
Keberadaan Koliform pada Mentega Koliform merupakan bakteri Gram negatif, dapat tumbuh dengan baik pada media yang mengandung zat makanan (Jay 2003). Koliform dapat ditemukan
pada susu segar, sayuran, daging, produk asal unggas, dan beberapa makanan olahan. Bakteri ini mudah mati dengan proses pemanasan. Bakteri ini dapat ditemukan dalam makanan karena kontaminasi setelah proses pemanasan atau disebabkan proses pengolahan yang tidak higienis (Anonim 1985).
Gambar 6 Koloni kuman koliform pada media agar violet red bile
Bakteri koliform dapat bertindak sebagai bakteri indikator sanitasi pada industri pengolahan pangan dari pencemaran pangan (Fardiaz 1992). Tingginya jumlah koliform pada mentega yang diuji memberikan indikasi bahwa praktek sanitasi produksi mentega tersebut kurang memadai. Kontaminasi koliform dapat terjadi melalui peralatan pengolahan mentega, pekerja pengolah mentega, susu berasal dari ambing sapi yang tercemar koliform, air, dan udara yang terkontaminasi koliform (Haq et al. 2001). Bakteri koliform dapat bertindak sebagai bakteri indikator sanitasi pada industri pengolahan pangan dari pencemaran pangan. Proses pencucian yang menggunakan air yang tidak disanitasi dengan baik dapat berisiko terkontaminasi oleh bakteri koliform pada mentega melalui air (Rahman et al. 1992). Tingginya jumlah koliform pada mentega yang diuji dalam penelitian ini (Perancis 113 cfu/gram dan Selandia Baru 63 cfu/g) memberikan indikasi bahwa praktek sanitasi produksi mentega tersebut kurang memadai. Kontaminasi koliform dapat terjadi melalui peralatan pengolahan mentega, pekerja pengolah mentega, susu berasal dari ambing sapi yang tercemar koliform, air dan udara yang terkontaminasi koliform (Haq et al. 2001).
Keberadaan bakteri koliform pada sampel mentega asal Perancis dan Selandia Baru mengindikasikan bahwa dalam proses pembuatan mentega pada produsen di kedua negara telah terjadi kontaminasi kapang dan kamir melalui udara ataupun melalui peralatan yang tidak dilakukan sanitasi dengan baik.
Keberadaan Kapang-Kamir pada Mentega Penghitungan jumlah kapang dan kamir dapat dipergunakan sebagai salah satu standar mikrobiologik produk olahan susu, termasuk mentega (Anonim 1985). Keberadaan kapang-kamir pada mentega dapat menyebabkan kerusakan dengan mekanisme penguraian dan pelepasan asam dan gas yang menyebabkan perubahan pada bau dan rasa mentega (El-Diasty dan Salem 2007). Kapang termasuk organisme yang dapat menjadi penyebab kerusakan pada mentega karena mampu bertahan dan melakukan lipolisis pada suhu rendah. Beberapa kapang yang dapat menyebabkan kerusakan pada mentega antara lain Candida lipolyticum, Torulopsis, Cryptococcus, dan Rhodotula, sedangkan kamir penyebab kerusakan pada mentega termasuk dalam genus lipolitik diantaranya Aspergillus, Cladosporium, Geotrichum, dan Penicillium (Varnam dan Sutherland 1994). Kamir yang termasuk dalam genus Cladosporium, Alternatia, Aspergillus, Mucor, dan Rhizopus dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna pada mentega (Haq et al. 2001).
Gambar 7 Koloni kapang pada media agar potato dextrose
Kapang dan kamir terdapat secara luas di alam dan dapat mencemari makanan melalui peralatan yang tidak disanitasi dengan baik atau melalui udara (airborne contamination).
Kapang dan kamir dapat tumbuh dominan dalam
makanan pada kondisi antara lain: makanan tersebut memiliki aw dan pH yang rendah, kandungan garam tinggi atau memiliki kandungan gula yang tinggi (Anonim 1985). Permasalahan yang berkaitan dengan kamir dapat diminimalisasi dengan mengurangi kontaminasi dari udara dan meningkatkan higiene bahan pengemas (Varnam dan Sutherland 1994). Untuk mencegah pertumbuhan kapang dan kamir pada saat pengolahan mentega tingkat kelembaban diusahakan tidak lebih dari 60% (Marth dan Steele 2001). Tingginya jumlah kapang kamir dalam sampel mentega, khususnya asal Perancis, memberikan indikasi kualitas udara dalam ruangan pengolahan relatif kurang baik.
Penyimpangan pada Mentega Beberapa penyimpangan dapat ditemukan pada mentega. Penyimpangan tersebut berupa perubahan bau, rasa, konsistensi dan penampilan (Weber 1998). Menurut Rahman et al. (1992) mentega yang dibuat dari krim yang telah mengalami fermentasi oleh kamir menyebabkan bau kamir (yeasty odour) pada mentega. Bau seperti buah (fruit like odour) merupakan perubahan bau pada mentega yang disebabkan oleh kapang atau bakteri. Adapun perubahan pada rasa mentega yang mungkin dapat terjadi pada mentega adalah: 1. Barny (cowy) flavor yang disebabkan karena krim yang dipergunakan mempunyai kandungan bakteri yang tinggi. 2. Tallowi flavor atau oxidizied flavor disebabkan terjadi oksidasi kandungan lemak mentega. 3. Bitter flavor disebabkan karena krim yang dipergunakan sebagai bahan mentega telah mengalami dekomposisi oleh bakteri. 4. Cheese like flavor disebabkan karena mentega dibuat dari krim yang diberi starter dalam jumlah berlebihan. 5. Surface taint flavor disebabkan karena terjadi kontaminasi oleh bakteri Pseudomonas.
Perubahan yang terjadi adalah bau busuk yang terdapat di
permukaan mentega dan secara perlahan akan masuk ke dalam mentega. Perubahan konsistensi dan penampilan mentega dapat berupa:
1. Crumbly yang disebabkan karena pemberian makanan kering pada sapi atau penyimpanan krim yang terlalu lama pada temperatur rendah sebelum diolah. 2. Gummy merupakan perubahan konsistensi dan penampilan mentega yang lebih parah daripada crumbly. 3. Leaky adalah perubahan yang disebabkan karena air tidak bersatu secara sempurna dengan lemak mentega atau karena distribusi garam yang tidak merata ke seluruh bagian mentega.
Kerusakan Mentega Kerusakan mentega yang diakibatkan oleh mikroorganisme tergantung keberadaan mikroorganisme pada fase pencucian, jumlah garam yang ada pada mentega dan suhu penyimpanan. Mentega dapat terkontaminasi selama proses pengolahan apabila air yang dipergunakan terkontaminasi, udara yang tercemar, serta peralatan pengolahan mentega yang tidak dilakukan sanitasi dengan baik. Kontaminasi dari lingkungan pada mentega paling sering terjadi pascapasteurisasi (Marth dan Steele 2001). Penghitungan jumlah koliform, kapang dan kamir yang dilakukan pada beberapa tahapan pengolahan mentega dapat mendeteksi asal sumber kontaminasi (Wehr 2004). Menurut Wehr (2004) koliform, kapang dan kamir tidak dapat bertahan selama proses pasteurisasi dan jarang ditemukan pada pengolahan mentega yang dilakukan pada kondisi sanitasi yang baik (Wehr 2004).
Penerapan Good Hygienic Practice pada Proses Produksi Mentega Good hygienic practice (GHP) adalah seluruh praktek yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan dan kelayakan pangan pada seluruh tahapan dalam rantai pangan (Anonim 2005). Penerapan GHP pada penyediaan pangan asal hewan merupakan hal yang penting dikarenakan pangan asal hewan termasuk pangan yang mudah rusak (perishable food) dan berpotensi berbahaya (potentially hazardous foods) (Lukman 2007). Menurut Code of Hygienic Practice for Milk and Milk Products CAC/RCP 57-2004 GHP sebaiknya diterapkan pada proses produksi untuk memastikan bahwa susu dan produk olahannya aman dan layak untuk dikonsumsi.
Keuntungan penerapan GHP adalah menjamin kualitas dan keamanan pangan, meningkatkan kepercayaan dalam keamanan produk dan produksi, mengurangi kerugian dan pemborosan, menjamin efisiensi penerapan HACCP, diakui secara internasional dan memenuhi persyaratan/peraturan/spesifikasi/ standar. Prinsip–prinsip penerapan GHP pada tahapan proses produksi, pengolahan dan handling susu dan produk olahannya menurut Code of Hygienic Practice for Milk and Milk Products CAC/RCP 57-2004 adalah sebagai berikut: 1. Dari tahapan penyediaan bahan dasar produk olahan susu sampai dikonsumsi, harus dilakukan pengawasan dan pengawasan yang dilakukan harus dapat memastikan bahwa telah tercapai tingkatan yang aman dalam perlindungan terhadap konsumen. 2. GHP sebaiknya diterapkan pada setiap tahapan proses produksi susu dan produk olahannya sehingga dapat dipastikan aman dan layak untuk dikonsumsi 3. Program pengawasan terhadap proses produksi susu dan produk olahannya sebaiknya selalu divalidasi. 4. Produsen harus memastikan bahwa pada tingkat peternakan, prinsip higiene juga dilaksanakan dengan baik. 5. Distributor, penyedia transportasi dan pengecer sebaiknya memastikan bahwa susu dan produk olahannya berada dalam penanganan dan penyimpanan yang baik dan sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh perusahaan yang memproduksi susu dan produk olahannya. Menurut Lukman (2007) prinsip higiene yang dapat diterapkan pada penyediaan pangan asal hewan adalah terhadap bangunan dan fasilitasnya (bahan, desain, tata letak), tempat proses produksi makanan, fasilitas dan peralatan yang dipergunakan untuk proses produksi, personal yang menangani (kontak langsung) dengan makanan, bahan baku dan tambahan yang diperlukan selama proses produksi, penyimpanan, penanganan/pengolahan dan distribusi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Mentega yang diimpor dari Perancis dan Selandia Baru hampir semuanya memenuhi persyaratan mikrobiologik, khususnya jumlah stafilokokus, yang ditetapkan oleh SNI nomor 01-3744-1995 tentang Mentega. Hanya 1 sampel mentega asal Perancis yang tidak memenuhi SNI.
Jumlah mikroorganisme
sampel mentega yang diimpor dari Selandia Baru lebih rendah dibandingkan dengan mentega yang diimpor dari Perancis. Mentega yang diimpor dari Perancis umumnya (71.2%) memenuhi standar yang ditetapkan oleh the Council of European Communities, khususnya tidak memenuhi syarat dalam koliform. Mentega yang diimpor dari Selandia Baru sebagian besar (95.3%) memenuhi standar yang ditetapkan oleh the Australian New Zealand Standards Code dan khususnya tidak memenuhi syarat dalam kapang-kamir.
Saran Dari penelitian ini dapat diajukan beberapa saran, antara lain: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang karakteristik kualitas selain mikrobiologik terhadap mentega yang diimpor. 2. Pemerintah perlu menetapkan batas maksimum mikrobiologis dalam SNI untuk jumlah koliform dan kapang-kamir mengingat perbedaan geografis negara. 3. Pemerintah perlu menetapkan keamanan dari pangan asal hewan dan produk olahannya yang diimpor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Jumlah stafilokokus, koliform, dan kapang kamir mentega mentega yang diimpor dari Perancis Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 Rataan Simpangan baku
Jumlah stafilokokus 720.0 0 0 10.0 10.0 0 20.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.0 30.0 0 0 50.0 0 10.0 10.0 0 0 0 0 10.0 0 0 0 0 0 10.0 0 0 0 21.5 112.2
Jumlah koliform 0 0 0 0 0 0 0 10.0 0 0 0 0 0 0 0 1800.0 100.0 0 0 0 10.0 20.0 10.0 30.0 0 30.0 0 320.0 0 120.0 0 120.0 0 0 1010.0 0 0 0 40.0 0 20.0 0 60.0 0 30.0 0 0 113.0 353.1
Kapang Kamir 186400.0 77800.0 218000.0 95600.0 109600.0 138400.0 105200.0 107200.0 230400.0 11800.0 246800.0 258000.0 0 96000.0 168000.0 4400.0 7000.0 8000.0 20400.0 6400.0 5800.0 6800.0 6100.0 0 0 154000.0 129000.0 72000.0 71000.0 229000.0 106000.0 103000.0 96000.0 86000.0 516000.0 238000.0 241000.0 176000.0 79000.0 69000.0 81000.0 75000.0 65000.0 12900.0 70000.0 59000.0 0 112604.7 99306.7
Lampiran 2
Jumlah stafilokokus, koliform, dan kapang kamir mentega mentega yang diimpor dari Selandia Baru
Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Rataan Simpangan baku
Jumlah stafilokokus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah koliform
Kapang Kamir
20.0 50.0 0 0 0 0 0 0 1190.0 0 0 0 10.0 20.0 0 0 0 0 0 0 0
5360.0 6200.0 1790.0 1420.0 2660.0 2840.0 3480.0 4880.0 4320.0 1310.0 2130.0 1790.0 6000.0 2310.0 6160.0 5480.0 8200.0 3030.0 5600.0 60.0 100.0
61.4 258.9
3577.1 2235.7
Lampiran 3
Standar mikrobiologik mentega (Council Directive 92/46/EEC) yang dikeluarkan oleh the Council of the Europe Communities Jenis mikroorganisme
Standar maksimum (cfu/g)
Stafilokokus
100
Koliform
10
Lampiran 4
Standar mikrobiologik mentega (microbiological reference Criteria for food) yang dikeluarkan oleh the Australian New Zealand Food Standard Jenis mikroorganisme
Stafilokokus
Standar maksimum (cfu/g) 0
Koliform
500
Kapang kamir
500
Lampiran 5 Standar mutu mentega (SNI 01-3744-1995) Syarat Mutu No 1. 1.1. 1.2. 1.3. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kriteria Uji Keadaan : Bau Rasa Penampakan pada suhu dibawah 30oC Air Lemak susu Asam lemak bebas sebagai asam butirat Bilangan Reichert Meissel Bilangan Polenske Garam dapur (NaCl) Bahan tambahan makanan
Satuan
Persyaratan
% b/b % b/b % b/b
Normal Normal Normal Maks. 16.0 Min. 80.0 Maks. 0.5 23-32 1.6-3.5 Maks. 4
% b/b --
Sesuai SNI 01-
0222-1995 dan Peraturan Men.Kes No. 722/Men.Kes/Per/IX/88
9. 9.1. 9.2. 9.3. 9.4. 9.5. 9.6. 10. 11.
Mineral : Besi (Fe) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Raksa (Hg) Timah (Sn) Arsen Cemaran mikroba : 11.1. S. aureus 11.2. Salmonella
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks.1.5 Maks.0.1 Maks.0.1 Maks.40.0 Maks.0.03 Maks.40.0/250 Maks.0.1
koloni/g koloni/100 g
Maks. 1.0 x 102 Negatif