Dinamika Kerjasama Keamanan Selandia Baru - Amerika Serikat sejak Tahun 2000 Penulis : Darang Sahdana Candra Pembimbing : Evi Fitriani Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Abstrak Kerjasama keamanan antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat, yang telah terbentuk sejak akhir Perang Dunia II, menghadapi permasalahan sehingga dihentikan pada akhir periode Perang Dingin. Akan tetapi, sejak tahun 2000, dengan terjadinya berbagai perubahan struktur internasional, berlangsung pendekatan kembali kerjasama keamanan antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat. Skripsi ini menganalisis dinamika kerjasama keamanan Selandia Baru-Amerika Serikat sejak tahun 2000 dengan menggunakan kerangka analisis realisme neoklasik dan teori balance of interest. Dalam skripsi ini, ditemukan bahwa perubahan struktur internasional, seperti kebangkitan kembali Cina, serta tanggapan politik domestik Selandia Baru terhadap fenomena-fenomena tersebut merupakan faktor-faktor yang berperan di balik pendekatan kembali kerjasama keamanan Selandia Baru dengan Amerika Serikat. Sebagai negara kecil, Selandia Baru dapat memilih bandwagoning atau distancing dalam menanggapi perubahanan struktur internasional. Kebijakan yang diambil oleh Selandia Baru adalah bandwagoning terhadap Amerika Serikat sekaligus melakukan engagement ke Cina. Kata kunci: Selandia Baru, Amerika Serikat, kerjasama keamanan, realisme neoklasik Abstract New Zealand’s security relations with the United States halted when the former’s antinuclear policies during late 1980s caused the US to suspend their security commitments. However, changes in international structure affected the once-broken security relations. Since 2000, rapproachment in security cooperation has happened between New Zealand and the US. This undergraduate thesis analyzes the underlying causes of the rapproachment since 2000 by using neoclassical realism’s paradigm and balance of interest theory. Based on the analyzed data, this thesis finds that the changes in international structure, including the reemergence of China, as well as the reactions in New Zealand’s domestic politics concerning the changes, shape New Zealand’s rapproachment to the US. As a small state, New Zealand’s respond towards the changes in international structure are bandwagoning or distancing. New Zealand chooses to bandwagon the US as well as engagement with China. Key words: New Zealand, United States, security cooperation, neoclassical realism
Pendahuluan Sebelum Perang Dunia II, urusan keamanan dan hubungan internasional Selandia Baru amat bergantung pada Inggris. Namun, ketidakmampuan Inggris untuk menjaga keamanan dan 1 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
melindungi koloninya dari serangan eksternal pada Perang Dunia II, terutama dalam kasus jatuhnya Singapura dan serangan Jepang terhadap Australia, menyebabkan pergeseran pandangan dan kebijakan keamanan Selandia Baru.
1
Selandia Baru, meski tidak
meninggalkan pola aliansi dengan Inggris sebagai bagian dari Commonwealth, mulai menaruh fokus pada kerjasama keamanan dengan sekutu sekaligus kekuatan utama di kawasan Pasifik pasca Perang Dunia II, yaitu Amerika Serikat. 2 Di sisi lain, konstelasi kekuatan yang muncul pasca Perang Dunia II membawa tatanan internasional baru berupa Perang Dingin antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dengan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Selandia Baru, sebagai bagian dari Blok Barat, kemudian terlibat dalam berbagai bentuk kerjasama keamanan internasional. Salah satu bentuk kerjasama keamanan yang dapat diidentifikasikan dengan Selandia Baru adalah ANZUS (Australia, New Zealand and United States). ANZUS, yang dibentuk pada tahun 1951, bertujuan memastikan perlindungan AS bagi Australia dan Selandia Baru dari ancaman kebangkitan kembali Jepang, Cina yang agresif, atau bentuk-bentuk lain instabilitas kawasan.3 Pada masa Perang Dingin, terjadi beberapa peristiwa penting yang mewarnai dinamika kebijakan keamanan Selandia Baru. Negara tersebut untuk pertama kali mengirimkan pasukan ke dua proxy wars, Perang Korea dan Perang Vietnam bukan sebagai sekutu Inggris seperti sebelumnya, melainkan sebagai sekutu Amerika Serikat sejalan dengan prinsip collective defence.4 Namun, pada dekade 1980an, terutama setelah Partai Buruh menguasai pemerintahan di Selandia Baru, terjadi pergeseran kebijakan keamanan negara tersebut, terutama dalam isu nuklir. Pergeseran ini disebabkan pemerintahan baru Partai Buruh menentang penggunaan dan uji coba nuklir sekaligus mengupayakan independensi politik luar negeri Selandia Baru dari pengaruh Amerika Serikat. 5 Persoalan tersebut kemudian memuncak pada 1984-1985 ketika Pemerintah Selandia Baru menolak kapal USS Buchanan milik Amerika Serikat untuk berlabuh karena dianggap memiliki ‗kapabilitas nuklir‘, yang tidak sesuai dengan undang-undang antinuklir yang baru disahkan pemerintahan Partai
1
W. David McIntyre. ‗Empire and Commonwealth – War and Empire‘, Te Ara – The Encyclopedia of New Zealand, diakses dari http://www.teara.govt.nz/en/empire-and-commonwealth/4 pada 9 September 2012 pukul 20.10 WIB. 2 Ibid. 3 Jim Rolfe, ‗New Zealand Security: Alliances and Other Military Relationships‘, Working Paper Centre for Strategic Studies, Victoria University of Wellington, No. 10/1997, hlm. 8. 4 Amy L. Catalinac, ‗Why Why New Zealand Took Itself out of ANZUS: Observing ‗‗Opposition for Autonomy‘‘ in Asymmetric Alliances‘ dalam Foreign Policy Analysis, Vol. 6, 2010, hlm. 318. 5 Derek Quigley, ‗The Evolution of New Zealand Defence Policy‘ dalam Security Challenges, Vol. 2 No. 3 (Oktober 2006), hlm.42.
2 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
Buruh.6 Kebijakan antinuklir yang keras di Selandia Baru tersebut pada akhirnya menimbulkan masalah bagi keberlanjutan kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat, yang merupakan salah satu negara pengguna utama teknologi nuklir. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah penangguhan kewajiban Amerika Serikat untuk melindungi Selandia Baru dalam kerangka ANZUS, yang menurut Amy L. Catalinac dipersepsikan oleh AS sebagai ‗penentangan‘ Selandia Baru terhadap bentuk aliansi Blok Barat secara umum. 7 Akan tetapi, pada dekade awal abad ke-21, kebijakan keamanan Selandia Baru dan hubungannya dengan Amerika Serikat kembali berubah. Pada tahun 1999, kajian di Committee on Foreign Affairs Defence and Trade Parlemen Selandia Baru mengenai ‘defence beyond 2000’ menghasilkan debat besar yang berujung pada perubahan kebijakan keamanan negara tersebut. 8 Berdasarkan temuan mereka, pendekatan keamanan yang menjauh dari Amerika Serikat tersebut menurunkan kapabilitas militer Selandia Baru akibat terhentinya berbagai kerjasama keamanan. 9 Kajian tersebut menjadi dasar kebijakan dalam Buku Putih Pertahanan Selandia Baru yang dikeluarkan pada tahun 2010, dengan tujuan utama upaya meningkatkan kapabilitas mliter negara tersebut. Kebijakan keamanan Selandia Baru sejak tahun 2000 cenderung mengarah pada pendekatan kembali ke Amerika Serikat. 10 Selandia Baru antara lain mendukung Amerika Serikat dengan mengirim tim pendukung atau medis pada kasus Somalia, naval interception di Teluk Persia, dan rekonstruksi Afganistan. 11 Dari sudut pandang Amerika Serikat sendiri, peningkatan hubungan dengan Selandia Baru dalam berbagai bidang, termasuk kerjasama keamanan, merupakan salah satu upaya negara tersebut dalam menanggapi perubahan lingkungan strategis di kawasan Asia-Pasifik. Sejak masa Presiden Bush, Amerika Serikat melakukan pergeseran (shift) kebijakan luar negeri dan keamanan negara tersebut ke kawasan Asia-Pasifik.12 Pergeseran tersebut semakin terlihat pada masa Presiden Obama, antara lain melalui artikel Menteri Luar Negeri Hillary Clinton di Foreign Policy yang berjudul ―America’s Pacific Century‖. Dalam artikel tersebut, Clinton menyebutkan mengenai pergeseran atau redefinisi lingkungan geostrategis 6
Amy L. Catalinac, Loc.cit. Ibid. 8 David McCraw, ‗The Defence Debate in Australia and New Zealand‘ dalam Defence Studies, Vol. 7, No. 1 (March 2007), hlm. 100. 9 Ibid. 10 Sam Bateman, ‗Coming Back to the US Fold: New Zealand Defence and Security Policies‘, dalam RSIS Commentaries nomor 146/2010 hlm. 2. 11 11 Robert Ayson and Jock Phillips. 'United States and New Zealand - Allies, 1939–1984', Te Ara - the Encyclopedia of New Zealand, diakses dari http://www.TeAra.govt.nz/en/united-states-and-new-zealand/2 pada 19 November 2012 pukul 10.32 WIB. 12 Bruce Vaughn, The United States and New Zealand: Perspectives on a Pacific Partnership, (Wellington: Fulbright New Zealand, 2012), hlm.17. 7
3 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
(geostrategic space) Amerika Serikat di kawasan Asia-Pasifik, dengan semakin pentingnya jalur pelayaran serta keamanan di kawasan tersebut. 13 Dinamika kerjasama keamanan antara kedua negara makin terlihat pada tahun 2010, saat Selandia Baru dan Amerika Serikat menandatangani Deklarasi Wellington (Wellington Declaration). Deklarasi tersebut pada intinya berisikan upaya meningkatkan kerjasama keamanan dan pertahanan Selandia Baru-Amerika Serikat, dengan kerangka berbeda dari ANZUS.14 Peningkatan kerjasama keamanan di antara kedua negara tersebut dilanjutkan dengan sejumlah latihan militer antara kedua negara serta penandatanganan Deklarasi Washington mengenai Kerjasama Pertahanan (Washington Declaration on Defence Cooperation) pada tahun 2012.15 Berbagai dinamika di atas memperlihatkan pendekatan baru dalam kerjasama keamanan antara Selandia Baru dan Amerika Serikat. Pendekatan baru tersebut antara lain ditandai dengan upaya kerjasama keamanan di berbagai bidang tanpa menyinggung kapabilitas dan penggunaan nuklir oleh Amerika Serikat. 16 Format kerjasama keamanan yang diupayakan oleh kedua negara pun berbeda dengan kerangka ANZUS. Pendekatan kembali kerjasama keamanan antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat inilah yang menjadi topik utama dalam skripsi ini. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian skripsi ini adalah: “Mengapa sejak tahun 2000 terjadi pendekatan kembali kerjasama keamanan antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat?” Lingkup penelitian difokuskan sejak tahun 2000. Batas waktu yang digunakan adalah hingga tahun 2012 sebagai waktu dilakukannya penelitian dalam skripsi ini. Fokus pembahasan dan analisis skripsi ini menggunakan sudut pandang Selandia Baru sebagai upaya melihat kasus ini dari sudut pandang kebijakan negara kecil terhadap negara besar.
Tinjauan Teoretis dan Kerangka Analisis: Realisme Neolasikal dan Balance of Interest Untuk membahas dinamika kerjasama keamanan antara satu negara dengan negara lain, terutama dari segi hubungan antara negara kecil dengan negara besar, sebenarnya terdapat 13
Ibid. hlm. 16. Sam Bateman, Loc.cit. 15 Robert Ayson dan David Capie, ‗Part of the Pivot? The Washington Declaration and US-NZ Relations‘, dalam Asia Pacific Bulletin, No. 172, Juli 2012, hlm. 1. 16 Dalam Deklarasi Wellington maupun Deklarasi Washington mengenai Kerjasama Pertahanan, konteks kerjasama politik serta militer antara kedua negara sama sekali tidak menyinggung kapabilitas dan penggunaan nuklir Amerika Serikat, yang pada akhir dekade 1980an justru menjadi penyebab penangguhan kerjasama keamanan Amerika Serikat-Selandia Baru dalam kerangka ANZUS. 14
4 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
beberapa pendekatan yang dapat digunakan. Akan tetapi, dalam konteks hubungan internasional, perspektif realisme merupakan perspektif yang mendominasi kajian keamanan internasional. Perspektif realisme sendiri memiliki beberapa pendekatan di dalamnya, antara lain realisme klasik, neorealisme (yang bercabang menjadi realisme ofensif dan defensif), serta realisme neoklasik. 17 Berbagai pendekatan tersebut memunculkan teori-teori yang dapat digunakan untuk membahas fenomena keamanan internasional, termasuk dalam topik kerjasama keamanan. Teori-teori yang sering digunakan antara lain adalah balance of power, balance of threat, dan balance of interests. Dalam skripsi Yeremia Lalisang, ia menjelaskan bahwa teori balance of power tidak mampu secara signifikan dan komprehensif untuk menjelaskan fenomenafenomena politik internasional apabila dibandingkan dengan dua teori lainnya. 18 Berdasarkan pembahasan Lalisang, teori balance of power yang hanya menggunakan variabel distribusi kapabilitas power kurang memiliki kemampuan penjelasan karena meninggalkan pertanyaan terkait bagaimana outcome kebijakan luar negeri terbentuk, serta bagaimana hubungan outcome dan elemen pembentuk outcome tersebut.19 Kritik atas teori tersebut menghasilkan pemahaman baru, antara lain teori balance of threat oleh Stephen Walt yang memasukkan variabel lain selain distribusi kapabilitas. 20 Walt memaparkan bahwa negara-negara melakukan balancing terhadap sumber ancaman yang potensial, bukan hanya berdasarkan kapabilitas power. Akan tetapi, kedua teori tersebut dikritik oleh Schweller karena hanya menjelaskan negara yang terancam dan mengabaikan kepentingan lain dari negara. Schweller, melalui kerangka pikir realisme neoklasik, mengajukan teori balance of interest21 yang menjanjikan pemahaman komprehensif dengan mendasarkan analisis pada ancaman dan kepentingan negara, bukan hanya pada distribusi kapabilitas. Dengan demikian, perspektif yang nampaknya paling cocok untuk menganalisis fenomena dalam skripsi ini adalah realisme neoklasik. Realisme neoklasik memiliki pandangan bahwa perilaku negara sangat dipengaruhi oleh relative power dan struktur
17
Bentuk, asumsi, karakteristik, dan pendekatan yang digunakan oleh masing-masing cabang dari Realisme dibahas Colin Elman, ‗Realism‘, dalam Paul D. Williams (ed.), Security Studies: An Introduction (New York: Routledge, 2008), hlm. 15-27. 18 Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang, Skripsi Faktor Determinan yang Memengaruhi Strategi Keamanan Cina terhadap Amerika Serikat dalam Krisis Politik Militer 2001 dan 2009 (Depok: Universitas Indonesia, 2009). 19 Ibid. hlm. 61. 20 Pembahasan mengenai teori balance of threat dalam Stephen M. Walt, ―Alliance Formation and the Balance of World Power‖, dalam International Security, Vol.9, No.4 (Spring, 1985). 21 Kerangka teori balance of interest dibangun dalam artikel Randall L. Schweller, ‗Bandwagoning for Profit: Bringing the Revisionist State Back In‘ dalam International Security, Vol. 19, No. 1 (Summer, 1994).
5 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
internasional yang anarki, sama seperti pandangan neorealisme.
22
Namun, perbedaan utama
realisme neoklasik dengan neorealisme adalah perspektif tersebut memandang pentingnya mengkaji level domestik, yang menjadi filter antara variabel independen (relative power) dan variabel dependen (kebijakan luar negeri suatu negara) dalam membahas suatu fenomena. Di sisi lain, neorealisme memandang negara sebagai black box sehingga level domestik tidak perlu dibahas. Realisme neoklasik membuka konsep negara sebagai black box tersebut melalui argumen bahwa faktor internal memiliki kontribusi pada pembentukan kebijakan luar negeri. Lebih lanjut lagi, realisme neoklasik memberikan kerangka analisis sebagai berikut dalam membahas suatu fenomena:
Gambar 1: Urutan Pembentukan Kebijakan dan Perilaku Negara Sumber: Schweller, Underbalancing‘ 23
‗Unanswered
Threats:
A
Neoclassical
Realist
Theory
of
Berdasarkan kerangka analisis tersebut, perubahan relative power yang terjadi di tataran internasional ataupun regional akan memengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara. Sesuai dengan perspektif realisme, relative power yang dimaksud di sini adalah kapabilitas militer dan politik suatu negara secara relatif dibandingkan dengan negara lain. Lebih lanjut, terdapat konsensus elite politik di level domestik yang memfilter perubahan relative power tersebut sebagai intervening variable sebelum mewujud pada kebijakan luar negeri suatu negara. Hal tersebut mampu menjelaskan suatu fenomena dalam hubungan internasional, terutama
dari segi keamanan internasional, secara
lebih
komprehensif. Konsensus elite (elite consensus) dijelaskan oleh Schweller sebagai bentuk ‗konstruksi masalah‘ (problem construction) subjektif di antara elite politik. Elite politik yang dimaksud adalah pemerintah, lebih khususnya para pembuat kebijakan luar negeri dan/atau keamanan yang memiliki kemampuan untuk memilih serta menjalankan satu bentuk 22
Pembahasan mengenai Realisme Neoklasikal yang komprehensif dapat dilihat dari Steven E. Lobell, Norrin M. Ripsman, dan Jeffrey W. Taliaferro (eds.), Neoclassical Realism, the State, and Foreign Policy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), Gideon Rose, ―Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy‖ dalam World Politics, Vol. 51, No. 1 (Oct., 1998), Ariel Ilan Roth, ―A Bold Move Forward for Neoclassical Realism‖, dalam International Studies Review, Vol. 8, No. 3 (Sep., 2006), dan Randall L. Schweller, Deadly Imbalances Tripolarity and Hitler's Strategy of World Conquest (New York: Colombia University Press, 1998). 23 Randall L. Schweller, ‗Unanswered Threats: A Neoclassical Realist Theory of Underbalancing‘ dalam International Security, Vol. 29, No. 2 (Autumn, 2004), hlm. 164.
6 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
kebijakan yang dianggap sesuai untuk merespons ancaman (hasil dari konstruksi masalah sebelumnya). Namun, konsensus elite tersebut akan melalui ‗rintangan mobilisasi‘ (mobilization hurdle) terlebih dahulu sebelum mewujud dalam kebijakan luar negeri dan/atau keamanan negara tersebut. Yang dimaksud sebagai rintangan mobilisasi adalah kemungkinan pergantian kepemimpinan atau rezim yang sedang berkuasa apabila kebijakan yang diambil mengakibatkan tentangan serius dari oposisi (yang kemudian dapat mengalahkan pemegang kekuasaan). Oleh karena itu, kebijakan luar negeri dan/atau keamanan suatu negara harus memperhitungkan faktor rintangan ini. Dalam negara demokrasi, rintangan tersebut memiliki banyak aktor seperti partai oposisi, kelompok kepentingan, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan kekalahan pemegang kekuasaan dalam pemilu. Teori yang berbasis perspektif realisme neoklasik dan mampu menjelaskan fenomena hubungan antara negara kecil dengan negara besar, berikut dinamika perubahan kebijakan yang terjadi adalah balance of interest. Teori ini dibangun oleh Randall L. Schweller, sebagai kritik terhadap teori balance of power serta balance of threat. Contoh penggunaan teori ini antara lain digunakan dalam buku Tripolarity and Hitler‘s Strategy of World Conquest. 24 Dalam Bab 3 buku tersebut yang berjudul States Responses to Threats and Opportunities, Schweller menjelaskan mengenai enam strategi utama yang dilakukan oleh negara dalam merespons ancaman serta kesempatan dalam konteks teori balance of interest dengan menggunakan contoh kasus negara-negara pemain utama pada Perang Dunia II.
Metode Penelitian: Operasionalisasi Teori Balance of Interest Dalam teori balance of interest, Schweller mengkategorisasi tujuan dan perilaku negara dilihat dari kapabilitas kekuatan dan kepentingan negara tersebut. Menurut kategorisasi tersebut, negara-negara dapat dikelompokkan sesuai dengan kapabilitas kekuatan serta perilaku mereka, dan pengelompokkan tersebut dapat digunakan untuk memprediksi kebijakan yang dapat diambil oleh suatu negara. Lebih lanjut lagi, Schweller memaparkan kategorisasi negara-negara tersebut dalam sebuah ilustrasi, yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
24
Randall L. Schweller, Deadly Imbalances Tripolarity and Hitler's Strategy of World Conquest, Op. Cit.
7 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
Gambar 2: Spektrum Kategorisasi Negara dalam Teori Balance of Interest25 Dari gambar 2 di atas, dapat dilihat bahwa terdapat dua spektrum utama, yaitu n positif dan n negatif, yang menunjukkan status suatu negara (mendukung status quo atau revisionis). Variabel kepentingan negara (n) ditentukan atas dasar seberapa besar negara memandang tindakan revisionis (x) dikurangi dengan seberapa besar negara menjunjung status quo (y). Jadi fungsi x minus y merupakan dasar kategorisasi negara-negara dalam teori balance of interest. Apabila x lebih kecil dari y, maka negara akan cenderung mengarah ke mempertahankan status quo, dan sebaliknya apabila x lebih besar dari y maka negara akan mengarah ke kategori revisionis. Negara-negara yang memiliki kepentingan pro status quo memiliki tujuan selfpreservation dan perlindungan dari nilai-nilai (values) mereka. Negara tipe ini merupakan security-maximizers (fokus pada maksimalisasi keamanan), bukan power-maximizers (fokus pada maksimalisasi kekuatan). Negara tipe ini akan menghindari agresi, ekspansi, serta penggunaan instrumen militer untuk mencapai tujuan tersebut. Sementara itu, negara yang condong ke arah revisionis adalah negara-negara yang lebih menghargai apa yang mereka inginkan dibandingkan apa yang sudah mereka miliki. Negara-negara tipe ini diasumsikan akan mengutamakan kekuatan militer untuk mencapai tujuan (mengubah status quo dan memperluas values mereka). Schweller menggunakan perhitungan kuantitatif (dengan bersumber pada data Correlates of War/COW serta data-data lain) untuk menghitung kapabilitas kekuatan (power) suatu negara sebelum dihubungkan dengan kepentingan (interest) negara tersebut. Dalam buku Deadly Imbalances yang membahas mengenai negara-negara utama pada masa 25
Randall L. Schweller, ‗Bandwagoning for Profit: Bringing the Revisionist State Back In‘, Loc. Cit. hlm. 100.
8 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
menjelang Perang Dunia II, Schweller menggunakan rumus berikut ini untuk mengukur power suatu negara, seperti yang dapat dilihat di bawah ini.26
POWER = Critical Mass + Economic Capability + Military Capability
Penjelasan lebih lanjut mengenai rumus tersebut adalah sebagai berikut: 1. Critical Mas = kemampuan demografi + teritori (nilai maksimum 100) 2. Economic Capability = Kapabilitas ekonomi yang diukur berdasarkan potensi kemampuan untuk kepentingan militer, yaitu capital goods production dan per–capita capital goods production (nilai maksimum 150) 3. Military Capability = Kapabilitas militer, diukur dari kemampuan tempur + kapasitas angkatan laut + anggaran militer (total poin 250) A. Kemampuan tempur = (total jumlah divisi + jumlah tank + pesawat—all dalam manpower equivalents) dikali dengan Combat Effectiveness Value (nilai maksimum 100) B. Kapasitas angkatan laut = agregat tonase dari seluruh kapal perang (nilai maksimum 50) C. Anggaran Militer = total anggaran militer suatu negara (nilai maksimum 100) Nilai power dari suatu negara tersebut kemudian disederhanakan dengan poin antara 0-5. Negara dengan poin 0,01 – 0,25 dikategorikan sebagai small power. Negara dengan poin 0,25 – 0, 75 dikategorikan sebagai medium power. Negara dengan poin antara 0,76 – 2,5 dikategorikan sebagai lesser great power. Dan, negara dengan poin 2,6 – 5 dikategorikan sebagai great power (atau pole karena menjadi kutub dalam struktur polaritas internasional). Pembahasan Fenomena kerjasama keamanan antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat menarik untuk dibahas karena menunjukkan dilema hubungan antara negara kecil dengan negara besar. Sebagai negara kecil, secara historis Selandia Baru selalu membutuhkan patron yang dianggap mampu melindungi keamanan negara tersebut. Sejak paruh kedua abad ke-20, Selandia Baru memiliki hubungan kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat yang merupakan kekuatan utama di kawasan Pasifik Selatan. Perubahan terjadi saat kebijakan 26
Disimpulkan dari Randall L. Schweller, Deadly Imbalances Tripolarity and Hitler's Strategy of World Conquest, Op. Cit. Appendix 1.
9 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
antinuklir Selandia Baru pada dekade 1980an mengakibatkan penangguhan kerjasama keamanan antara kedua negara. Namun, sejak tahun 2000, dengan terjadinya berbagai perubahan dalam struktur internasional, terjadi pendekatan kembali antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat dalam bidang kerjasama keamanan. Pendekatan kembali tersebut adalah topik yang diteliti dalam skripsi ini.
Hasil Penelitian Skripsi ini menggunakan kerangka analisis realisme neoklasik dan teori balance of interest, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengkategorisasikan Selandia Baru sesuai dengan tipologi yang ditawarkan oleh Schweller. Hasil dari kategori tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif untuk melihat pendekatan di bidang kerjasama keamanan antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat. Tabel 1: Perhitungan Power antara Ketiga Negara Critical Mass
Kapabilitas Ekonomi untuk Perang
Kapabilitas Militer
Total
60
112
250
422
Selandia Baru
1,63
0,6
0,87
3,1
0,03
Cina
100
150
59,97
309,97
3,09
Negara Amerika Serikat
Poin (Power/100) 4,22
Berdasarkan hasil perhitungan power antara ketiga negara, dapat dilihat bahwa Amerika Serikat dan Cina merupakan negara dengan power yang amat besar, dan secara garis besar dapat dikategorikan sebagai great power. Sementara itu, Selandia Baru memiliki power yang amat kecil dibandingkan dengan kedua negara lainnya sehingga dikategorikan sebagai small power. Kemudian, nilai power masing-masing negara dikonversikan menjadi poin antara 1-5 seperti yang dilakukan oleh Schweller untuk mengkategorikan tipe masing-masing negara. Sesuai dengan pembahasan mengenai dinamika kebijakan dan respons masing-masing negara terhadap perubahan yang terjadi dalam struktur internasional (lihat bab 3, subbab 3.1), Amerika Serikat dengan poin 4,22 (great power atau pole) adalah negara yang pro status quo dan ingin mempertahankan posisinya sebagai negara unipolar. Dengan demikian Amerika Serikat dapat dikategorikan sebagai negara lion. Sementara itu, Selandia Baru sebagai negara dengan poin 0,03 (small power) hanya dapat dikategorikan sebagai lamb atau jackal. Namun, dari pembahasan di bab sebelumnya (lihat naskah skripsi bab 2 untuk studi historis, dan bab 3 buntuk kebijakan-kebijakan 10 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
Selandia Baru sejak tahun 2000), Selandia Baru merupakan negara yang tidak memiliki karakter ‗agresif‘ serta memiliki kepentingan utama untuk mempertahankan negara tersebut, bukan ekspansi. Oleh karena itu, Selandia Baru cenderung pro status quo atau mendukung struktur internasional yang sedang berlaku selama hal tersebut menjamin keamanan dan kedaulatan Selandia Baru. Dari dua pilihan kategori negara yang dapat diberikan ke Selandia Baru, lamb adalah yang paling cocok. Berbeda dengan kedua negara di atas, Cina adalah negara yang sedang bangkit, dan ingin meningkatkan power negara tersebut serta kurang puas dengan keadaannya sekarang. Karakter kebijakan Cina antara lain diperlihatkan dengan adanya sengketa teritorial dengan berbagai negara serta upaya negara tersebut untuk memperluas pengaruhnya di negara-negara kecil Kepulauan Pasifik Selatan. Dengan poin 3,09, Cina adalah great power yang berperilaku condong ke arah revisionis sehingga dapat dikategorikan sebagai negara wolf. Dari analisis di atas, kategori ketiga negara dapat dilihat dengan lebih sederhana pada tabel 4.10 di halaman berikutnya. Tabel 4.10 Kategori Ketiga Negara berdasarkan Teori Balance of Interest Negara
Power
Poin (Power/100)
Kategori
Amerika Serikat
418,25
4,22
Lion
Selandia Baru
3,56
0,03
Lamb
Cina
359,18
3,09
Wolf
Dengan telah dipastikannya kategori ketiga negara, analisis yang lebih fokus mengenai kebijakan keamanan yang diambil oleh suatu negara berdasarkan teori balance of interest dapat dilakukan. Bagian selanjutnya merupakan analisis terhadap kebijakan keamanan Selandia Baru terhadap Amerika Serikat dengan mengikuti pola-pola yang disampaikan dalam teori balance of interest.
Analisis Kebijakan Keamanan Selandia Baru terhadap Amerika Serikat Dari hasil kategorisasi negara di atas dengan hasil Amerika Serikat sebagai negara lion, Selandia Baru sebagai negara lamb, serta Cina sebagai negara wolf, analisis terhadap kebijakan keamanan Selandia Baru terhadap Amerika Serikat pun dapat dilakukan dengan basis yang lebih kuat. Bagian ini menganalisis kebijakan kerjasama keamanan Selandia Baru sebagai negara lamb terhadap Amerika Serikat sebagai negara lion, dengan dimulai pada kebijakan keamanan Selandia Baru sebelum tahun 2000, dan kemudian mengenai kebijakan keamanan Selandia Baru sejak tahun 2000. Faktor kebangkitan kembali Cina sebagai negara 11 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
wolf turut dibahas dalam melihat kebijakan keamanan Selandia Baru sejak tahun 2000 karena signifikansinya di kawasan Asia-Pasifik. Seperti yang telah dipaparkan pada bab 2 skripsi, Selandia Baru sebagai negara small power dengan kategori lamb cenderung lebih sering melakukan kebijakan bandwagoning pada negara great power. Pada awalnya, Selandia Baru melakukan bandwagoning ke negara mantan penjajahnya, yaitu Inggris. Kemudian, ketidakmampuan Inggris melindungi Selandia Baru pada periode Perang Dunia II serta bergesernya pola perimbangan kekuatan dalam struktur internasional menjadi bipolar yang berpusat di Amerika Serikat dan Uni Soviet, mengakibatkan perubahan dalam kebijakan bandwagoning Selandia Baru. Perang Dingin pun menjadi struktur internasional yang baru. Dalam periode Perang Dingin tersebut, Selandia Baru tetap menganggap penting Inggris dari segi politik dan budaya. Namun, dari segi kebijakan keamanan, Selandia Baru, bersama Australia, melakukan bandwagoning ke Amerika Serikat yang antara lain diformalkan dalam kerangka kerjasama keamanan ANZUS. Selandia Baru melakukan bandwagoning tipe contagion, yang disebabkan oleh efek domino bersekutunya negara-negara ‗demokratis‘ ke Amerika Serikat. Sebagai perbandingan, negaranegara Eropa yang bergabung dalam NATO pada masa Perang Dingin juga melakukan hal yang sama, tetapi ditambah alasan untuk melakukan balancing terhadap Uni Soviet. 27 Sementara itu, dari sudut pandang Selandia Baru, kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat tersebut bersifat proaktif (lihat tinjauan pustaka di bab1) karena ancaman dari Uni Soviet sebenarnya tidak semendesak seperti di Eropa. Selama melakukan bandwagon terhadap Amerika Serikat di masa Perang Dingin, Selandia Baru bertindak sebagai sekutu yang mendukung berbagai kebijakan keamanan Amerika Serikat, antara lain dengan keikutsertaan negara ini dalam Perang Vietnam. Namun, dinamika politik domestik di Selandia Baru kemudian memengaruhi kebijakan keamanan negara tersebut terhadap Amerika Serikat, yang bergeser dari bandwagoning menjadi distancing. Pada masa pemerintahan Partai Buruh di dekade 1980an, Selandia Baru mengeluarkan kebijakan antinuklir yang menyebabkan penangguhan kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan pemerintah Selandia Baru pada masa itu, antara lain menurunnya persepsi ancaman dari Uni Soviet, penentangan publik terhadap kebijakan Selandia Baru periode sebelumnya yang terlibat di Perang Vietnam, hingga keinginan untuk menghemat anggaran. Pergeseran kebijakan dari bandwagoning menjadi distancing yang dilakukan oleh Selandia Baru tersebut sesuai dengan 27
Thomas S. Mowle dan David H. Sacko, The Unipolar World: An Unbalanced Future (New York: Palgrave MacMillan, 2007),hlm. 69.
12 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
karakteristik negara lamb yang tidak ingin terlalu banyak berkorban, dan memilih kebijakan distancing saat negara tersebut tidak terlalu terancam (less-threatened). Kebijakan distancing terhadap Amerika Serikat ini sebenarnya berupaya diubah oleh pemerintahan Partai Nasional pasca berakhirnya Perang Dingin. Namun, struktur internasional yang menempatkan Amerika Serikat sebagai unipolar serta ketiadaan ancaman besar menyebabkan pihak Amerika Serikat sendiri tidak terlalu memperhatikan kebijakan keamanan dengan Selandia Baru dalam periode tersebut. Kebijakan keamanan Selandia Baru terhadap Amerika Serikat kembali berubah sejak tahun 2000, yang merupakan dinamika yang diteliti dalam bab 3 skripsi ini. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perubahan kebijakan keamanan Selandia Baru tersebut. Faktor pertama addalah perubahan struktur internasional, yang antara lain diwarnai dengan unipolaritas Amerika Serikat sebagai negara lion dan tantangan yang muncul dari kebangkitan kembali Cina sebagai negara wolf merupakan faktor eksternal yang berpengaruh pada perubahan kebijakan keamanan Selandia Baru. Selain itu, pengaruh dari berkembangnya isuisu keamanan non-tradisional seperti terorisme turut mengubah kebijakan keamanan Selandia Baru. Faktor lain yang juga turut berpengaruh dalam perubahan kebijakan keamanan Selandia Baru adalah tanggapan politik domestik dari partai yang sedang menguasai pemerintahan. Dalam subbab 3.2.1. di naskah skripsi dapat dilihat pembahasan mengenai dinamika yang terjadi pada masa pemerintahan Partai Buruh di Selandia Baru. Pada awal masa pemerintahan Partai Buruh, hubungan dengan Amerika Serikat belum menjadi hal yang diperjuangkan. Namun, setelah peristiwa 9/11 dan Bom Bali I, perhatian pemerintah Selandia Baru pada ancaman keamanan non-tradisional berupa terorisme mendekatkan kembali negara tersebut dengan Amerika Serikat yang melancarkan ‗perang melawan terorisme‘. Upaya pendekatan kembali dengan Amerika Serikat juga dilakukan oleh pemerintahan Partai Buruh dengan mengirimkan pasukan bantuan dalam invasi AS ke Afganistan, serta mengirimkan tim rekonstruksi untuk mendukung upaya normalisasi setelah perang usai. Namun, kebijakan antinuklir, yang telah menjadi kebijakan bipartisan, tetap menjadi ganjalan dalam perbaikan hubungan antara kedua negara. Kemenangan tipis Partai Buruh pada pemilu 2005 menambah tekanan untuk perbaikan hubungan dengan AS. Perbaikan hubungan antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat yang dilakukan pada masa pemerintahan Partai Buruh tersebut kemudian semakin meningkat setelah Partai Nasional memenangi pemilu 2008. Pada masa pemerintahan Partai Nasional ini, Selandia 13 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
Baru melakukan bandwagoning ke Amerika Serikat dalam upaya meningkatkan kapabilitas militer serta keamanan negara tersebut, yang cenderung menurun pada masa dilakukannya distancing ke AS. Deklarasi Wellington dan Deklarasi Washington merupakan dua dokumen resmi yang menunjukkan ‗kembalinya‘ Selandia Baru pada kerangka kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat. Kerangka kerjasama keamanan tersebut berbeda dengan ANZUS, antara lain karena masih adanya ganjalan dari kebijakan antinuklir Selandia Baru. Namun, mendekatnya kembali Selandia Baru pada AS tersebut secara garis besar telah mengembalikan kebijakan bandwagoning Selandia Baru pada AS. Terdapat beberapa hal yang menarik untuk dibahas dalam kasus perubahan kebijakan keamanan Selandia Baru terhadap Amerika Serikat menurut analisis balance of interest. Sesuai dengan asumsi kebijakan yang dilakukan oleh negara kategori lamb, Selandia Baru menjalankan upaya low cost dalam menghindari dan mengalihkan ancaman. Akan tetapi, kebijakan yang dilakukan oleh Selandia Baru tidak serta-merta hanya melakukan bandwagoning ke AS dalam menghadapi kebangkitan kembali Cina sebagai negara wolf yang revisionis. Kebijakan Cina di kawasan Pasifik yang dapat mengancam keamanan Selandia Baru turut direspons dengan melakukan kebijakan kebijakan engagement pada Cina melalui kerjasama FTA bilateral, serta kerjasama multilateral dengan Cina seperti dalam APEC, ARF, EAS, dan sebagainya. Kebijakan bandwagoning sekaligus engagement tersebut merupakan upaya low cost untuk menjaga hubungan dengan AS, negara besar great power kategori lion, sembari tetap mengajak Cina sebagai sumber ancaman potensial untuk bekerjasama. Selain itu peran dari faktor eksternal, yaitu adanya kepentingan dari Amerika Serikat dan juga pengaruh Australia, sebagai sekutu Selandia Baru sekaligus sekutu Amerika Serikat, juga turut berperan dalam pendekatan kembali kerjasama keamanan antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat. Adanya kepentingan dari AS untuk mendekat ke Selandia Baru berdasarkan kebijakan Pivot Asia, serta peran Australia untuk membantu pendekatan hubungan antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat merupakan faktor pendukung perubahan kebijakan keamanan Selandia Baru terhadap Amerika Serikat. Pada akhirnya, perubahan kebijakan keamanan Selandia Baru dalam bentuk pendekatan kembali dengan Amerika Serikat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Kerangka analisis realisme neoklasikal dan teori balance of interest memberikan gambaran untuk menganalisis dinamika Selandia Baru sebagai negara kecil dalam menanggapi berbagai faktor tersebut.
14 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
Kesimpulan Berdasarkan data-data dan teori yang digunakan dalam skripsi ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadinya pendekatan kembali Selandia Baru dengan Amerika Serikat di bidang kerjasama keamanan adalah respons terhadap perubahan struktur internasional dan juga karena adanya dorongan dari politik domestik negara Selandia Baru. Terdapat pula faktor eksternal lain yaitu tekanan Australia, yang merupakan tetangga dekat Selandia Baru sekaligus sekutu Amerika Serikat. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab 2, kerjasama keamanan antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat, yang paling terlihat dalam bentuk ANZUS, awalnya dimulai sebagai tanggapan atas perubahan struktur internasional pasca Perang Dunia II. Hubungan kerjasama keamanan, yang dapat dinillai sebagai perilaku bandwagoning Selandia Baru terhadap Amerika Serikat, tersebut mengalami masalah pada dekade 1980an, yang diakibatkan oleh kebijakan antinuklir yang dikeluarkan oleh pemerintahan Partai Buruh di Selandia Baru. Penangguhan kerjasama keamanan antara kedua negara, yang dilanjutkan dengan posisi Selandia Baru yang kuat dalam isu antinuklir membuat Selandia Baru menjalani kebijakan distancing terhadap Amerika Serikat. Kebijakan distancing tersebut tetap bertahan meski pada dekade 1990an pemerintahan Partai Nasional berupaya mendekat kembali ke Amerika Serikat. Penyebabnya, struktur internasional yang telah berganti menyebabkan Amerika Serikat melihat kurangnya signifikansi upaya tersebut. Akan tetapi, sejak tahun 2000, faktor eksternal berupa perubahan struktur internasional turut memengaruhi kerjasama keamanan antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat. Berkembangnya isu terorisme dan munculnya fenomena kebangkitan kembali Cina ditanggapi Selandia Baru dengan upaya mendekat kembali ke Amerika Serikat. Terdapat perbedaan tanggapan dari politik domestik Selandia Baru saat dikuasai oleh pemerintahan Partai Buruh dan saat dikuasai oleh pemerintahan Partai Nasional dalam menanggapi perubahan struktur internasional tersebut. Seperti yang terlihat di bagian 3.2, pemerintahan Partai Buruh lebih reluctant dalam upaya mendekat dengan Amerika Serikat, sementara pemerintahan Partai Nasional lebih proaktif. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan persepsi dan fokus elit politik kedua partai dalam memandang kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat. Secara tradisional, seperti terlihat dalam studi historis di bab 2, Partai Nasional cenderung mendukung kedekatan Selandia Baru ke Amerika Serikat atas dasar keuntungan militer dan keamanan. Di sisi lain, meski memperhatikan isu terorisme serta keamanan nontradisional dalam platform kebijakannya, Partai Buruh tidak menjadikan militer serta 15 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
keamanan sebagai platform utama kebijakan partai tersebut sehingga upaya untuk mendekat dengan AS tidak seserius dibandingkan Partai Nasional. Selain itu, terdapat pula dua faktor eksternal yang turut memengaruhi pendekatan kembali kerjasama keamanan antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat, yaitu adanya kepentingan AS sendiri untuk mendekat, dan juga pengaruh dari Australia. Dalam konteks kepentingan AS, pada pembahasan masa kepemimpinan Partai Nasional di akhir bab 3 skripsi ini, dapat dilihat bahwa AS melaksanakan kebijakan Pivot Asia untuk mendekati negaranegara di kawasan Asia-Pasifik, termasuk Selandia Baru, dalam rangka menanggapi kebangkitan kembali Cina. Sementara itu, Australia sebagai sekutu AS juga turut memengaruhi Selandia Baru agar mendekat kembali dengan AS. Dalam analisis di bab 4, terlihat bahwa perubahan kebijakan keamanan Selandia Baru terhadap Amerika Serikat tersebut secara garis besar sesuai dengan teori balance of interest. Pada analisis pertama, dilakukan kategorisasi tiga negara, yaitu Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Cina, dengan pendekatan kuantitatif berdasarkan indikator power dari Schweller. Analisis kuantitatif tersebut menghasilkan nilai power ketiga negara, yang kemudian dihubungkan dengan interest masing-masing negara. Amerika Serikat, dengan poin 4,22 (great power atau pole), serta memiliki karakteristik kebijakan yang pro status quo, merupakan negara tipe lion. Sementara, Selandia Baru sebagai negara dengan poin 0,03 (small power) serta cenderung pro status quo merupakan negara tipe lamb. Berbeda dengan kedua negara di atas, Cina, dengan poin 3,09 adalah great power yang berperilaku condong ke arah revisionis sehingga dapat dikategorikan sebagai negara wolf.
Hasil dari analisis
kuantitatif tersebut menunjukkan bahwa Selandia Baru merupakan negara kecil yang berada dalam lingkungan negara-negara besar. Berdasarkan kategorisasi negara-negara di atas, dan analisis terhadap kebijakan keamanan Selandia Baru sebagai dengan kategori negara lamb, ditemukan sejumlah hal. Selandia Baru sebagai negara dengan kategori lamb memang cenderung melakukan upaya low cost dalam menghindari dan mengalihkan ancaman. Namun, kebijakan yang dilakukan oleh Selandia Baru tidak serta-merta hanya melakukan bandwagoning ke AS dalam menghadapi kebangkitan kembali Cina sebagai negara wolf yang revisionis. Kebijakan Cina di kawasan Pasifik yang dapat mengancam keamanan Selandia Baru turut direspons dengan melakukan kebijakan kebijakan engagement pada Cina melalui kerjasama FTA bilateral, serta kerjasama multilateral dengan Cina seperti dalam APEC, ARF, EAS, dan sebagainya. Kebijakan bandwagoning sekaligus engagement tersebut merupakan upaya low cost untuk menjaga 16 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
hubungan dengan AS, negara besar great power kategori lion, sembari tetap mengajak Cina sebagai sumber ancaman potensial untuk bekerjasama. Satu hal yang menarik, engagement dalam kerangka teori balance of interest seharusnya dilakukan oleh negara dengan kategori dove. Namun, dari hasil analisis skripsi ini, Selandia Baru yang menurut perhitungan kuantitatif berkategori lamb melakukan kebijakan engagement terhadap Cina. Hal tersebut menunjukkan adanya deviasi kebijakan yang dilakukan oleh Selandia Baru apabila dihubungkan dengan teori balance of interest. Sebagai kesimpulan, pendekatan kembali kerjasama keamanan antara Selandia Baru dengan Amerika Serikat disebabkan oleh perubahan relative power dalam struktur internasional, serta tanggapannya dari politik domestik Selandia Baru. Meski dalam intensitas dan fokus yang berbeda, pemerintah Partai Buruh dan Partai Nasional menanggapi sejumlah perubahan relative power di level internasional dan regional, seperti kebangkitan kembali Cina, melalui kebijakan bandwagoning terhadap AS. Adanya kebijakan Pivot Asia dari Amerika Serikat, serta pengaruh dari Australia juga merupakan faktor pendukung kebijakan yang diambil Selandia Baru dalam kasus ini. Di sisi lain, Selandia Baru juga melakukan kebijakan engagement dengan Cina, yang nampaknya tidak sesuai dengan teori balance of interest Schweller mengenai perilaku kerjasama keamanan. Dalam tipologinya, Schweller tidak memperhitungkan kemungkinan negara tipe lamb untuk melakukan kebijakan engagement dalam merespons negara revisionis seperti Cina. Hasil analisis dinamika kebijakan keamanan Selandia Baru terhadap Amerika Serikat ini menunjukkan bahwa teori balance of interest Schweller memiliki kekurangan dalam memprediksikan perilaku negara kecil, yang dalam kasus ini mampu melakukan kebijakan engagement.
Rekomendasi Skripsi ini membahas mengenai dinamika hubungan keamanan antara negara kecil dengan negara besar, yaitu hubungan keamanan Selandia Baru-Amerika Serikat. Dalam skripsi ini, dapat dilihat bahwa negara kecil dapat bertindak independen dari negara besar, seperti saat dilakukannya kebijakan antinuklir Selandia Baru yang mengubah perilaku negara tersebut dari bandwagoning ke distancing terhadap Amerika Serikat. Namun, negara kecil juga tidak terlepas dari dinamika perubahan struktur internasional, seperti terlihat dari berbagai faktor eksternal yang membuat Selandia Baru mengubah kembali kebijakan keamanannya dengan mendekat pada Amerika Serikat.
17 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
Faktor menarik lain yang ditemukan dalam skripsi ini adalah adanya peranan perbedaan tanggapan dari partai politik yang menguasai pemerintahan terhadap kebijakan keamanan Selandia Baru. Adanya peranan Australia juga menarik untuk diteliti lebih lanjut. Studi mengenai hubungan antara negara kecil dengan negara besar ini tentu masih harus dilengkapi dengan studi-studi lebih lanjut. Alangkah baiknya apabila studi tersebut juga dikaitkan dengan konteks hubungan Indonesia dengan negara-negara lain, baik dalam konteks Indonesia sebagai negara besar yang berhubungan dengan negara kecil ataupun Indonesia sebagai negara ‗menengah‘ (middle power) yang berhubungan dengan negara besar.
Daftar Referensi Ayson, Robert dan David Capie. (2012). Part of the Pivot? The Washington Declaration and US-NZ Relations. Asia Pacific Bulletin, No. 172, 1-2. Ayson, Robert dan Jock Phillips. (2012). United States and New Zealand - Allies, 1939–1984. 19 November 2012. Te Ara - the Encyclopedia of New Zealand. http://www.TeAra.govt.nz/en/united-states-and-new-zealand/2 Bateman, Sam. (2010). Coming Back to the US Fold: New Zealand Defence and Security Policies. RSIS Commentaries, No. 146/2010, 1-2. Catalinac, Amy L. (2010). Why Why New Zealand Took Itself out of ANZUS: Observing ‗‗Opposition for Autonomy‘‘ in Asymmetric Alliances. Foreign Policy Analysis, Vol. 6, 317-338. Elman, Colin. (2008). Realism. Dalam Paul D. Williams (ed.). Security Studies: An Introduction (hlm. 15-28). London: Routledge. Lalisang, Ardhitya Eduard Yeremia. (2009). Faktor Determinan yang Memengaruhi Strategi Keamanan Cina terhadap Amerika Serikat dalam Krisis Politik Militer 2001 dan 2009. Skripsi Sarjana Sosial. Depok: Universitas Indonesia. Lobell, Steven E., Norrin M. Ripsman, dan Jeffrey W. Taliaferro (eds.). (2009). Neoclassical Realism, the State, and Foreign Policy. Cambridge: Cambridge University Press. McIntyre, W. David. (2012). Empire and Commonwealth – War and Empire. Te Ara – The Encyclopedia of New Zealand. 9 Sepetember 2012. http://www.teara.govt.nz/en/empire-and-commonwealth/4 Mowle, Thomas S. dan David H. Sacko. (2007). The Unipolar World: An Unbalanced Future. New York: Palgrave MacMillan. Rolfe, Jim. (1997). New Zealand Security: Alliances and Other Military Relationships. Working Paper Centre for Strategic Studies, Victoria University of Wellington, No. 10/1997. Schweller, Randall L. (1994). Bandwagoning for Profit: Bringing the Revisionist State Back In. International Security, Vol. 19, No. 1, 72-107. _____. (1998). Deadly Imbalances Tripolarity and Hitler's Strategy of World Conquest. New York: Colombia University Press.
18 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013
_____. (1993). Tripolarity and the Second World War. International Studies Quarterly, Vol. 37, No. 1, 73-103. _____. (2004). Unanswered Threats: A Neoclassical Realist Theory of Underbalancing. International Security, Vol. 29, No. 2, 159-201. Quigley, Derek, (2006). The Evolution of New Zealand Defence Policy. Security Challenges, Vol. 2 No. 3, 41-61. Vaughn, Bruce. The United States and New Zealand: Perspectives on a Pacific Partnership. Wellington: Fulbright New Zealand. 2012. Walt, Stephen M. (1985). Alliance Formation and the Balance of World Power. International Security, Vol.9, No.4, 3-43.
19 Dinamika Kerjasama ..., Darang Sahdana Candra, FISIP UI, 2013