A. Latar Belakang Prevalensi jumlah penderita gangguan mental dilaporkan tinggi secara global. Kessler, et al. (2007) misalnya, menemukan sebanyak >75% responden di 5 negara (Columbia, Perancis, Selandia Baru, Ukraina, dan Amerika Serikat) mengalami salah satu dari gangguan mental, seperti phobia, gangguan impulsif, kecemasan, gangguan mood, dan penyalahgunaan narkoba atau alkohol. WHO (2001) juga melaporkan bahwa sebanyak 25% penduduk dunia pernah mengalami gangguan mental sepanjang hidupnya, seperti gangguan depresi, kecemasan, dan schizophrenia. Melalui rilis laporan tersebut juga diungkapkan sebanyak 24% pasien dokter umum (GP) pada layanan kesehatan primer menderita gangguan mental. Mereka datang dengan
mengeluhkan
adanya
gangguan
atau
penyakit
fisik,
tetapi
pemeriksaan tidak menemukan gangguan fisik yang dimaksud. Prevalensi gangguan mental meningkatkan beban penduduk secara global (global burden diasease/ GBD) secara progresif. WHO (2006) menjelaskan bahwa menurut hasil kajian global burden diasease yang diproyeksikan hingga tahun 2030, penyebab kematian terbesar adalah penyakit tidak menular. WHO juga menjelaskan bahwa gangguan depresi akan menjadi global burden disease kedua terbesar setelah HIV/AIDS pada tahun 2030 (Mathers & Loncar, 2006). Selanjutnya, WHO juga memaparkan gangguan neuropsychiatric sebagai penyumbang terbanyak (28%) penyakit tidak menular, bila dibandingkan dengan penyakit kardiovaskuler (22%) dan kanker (11%) (lihat bagan 1). Bagan 1.
Disability Adjusted Life Years (DALYs) proyeksi global burden disease penyakit tidak menular dari tahun 2002-2030 1
Sumber:
Mathers & Loncar (2006)
Whiteford et al. (2013) melaporkan bahwa gangguan mental dan penyalahgunaan zat adiktif/ alkohol merupakan penyebab beban penyakit secara global dengan peningkatan 37,6% dari tahun 1990-2010. Negara berkembang merupakan penyumbang penderita gangguan mental terbanyak. Lebih lanjut, Whiteford et al. (2013) menjelaskan bahwa perempuan memiliki kecenderungan prevalensi yang lebih tinggi daripada pria dan sebagian besar onset gangguan terjadi pada usia yang produktif, yakni 10-29 tahun. Prevalensi gangguan mental di Indonesia juga dilaporkan tinggi. Kementerian Kesehatan (2013) melaporkan prevalensi gangguan mental di Indonesia, seperti schizophrenia dan gangguan psikosis lainnya mencapai 1,7‰ (permil) penduduk. Artinya, terdapat 1 hingga 2 orang mengalami gangguan mental berat setiap 1.000 penduduk. Jika prevalensi tersebut diproyeksikan dengan jumlah penduduk Indonesia tahun 2015 yang mencapai 255.461.700 penduduk (bps.go.id), maka diperkirakan lebih dari 500.000 penduduk mengalami gangguan jiwa berat (severe mental illness). Persebaran prevalensi gangguan jiwa berat tertinggi berada di DI Yogyakarta dan Provinsi Aceh dengan jumlah 2,7‰ penduduk. Kementerian Kesehatan
(2013) juga melaporkan prevalensi gangguan emosional sebanyak 6% indeks nasional. Dari jumlah tersebut dapat diperkirakan lebih dari 14 juta penduduk di Indonesia mengalami gangguan emosional. Sepanjang rilis laporan tersebut, Kementerian Kesehatan (2013) masih menemukan kasus pemasungan terhadap penderita gangguan mental. Laporan tersebut menyebutkan sebanyak 14,3% kasus pemasungan ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia. Pemasungan lebih banyak ditemukan
pada
dibandingkan
pada
masyarakat masyarakat
pedesaan perkotaan
sebanyak yang
18,2%
apabila
sebanyak
10,7%.
Pemasungan yang dilakukan tidak hanya sebatas pemasungan secara tradisional, misalnya menggunakan kayu atau rantai, tetapi berupa tindakan pengekangan yang membatasi gerak dan pengisolasian. Data di atas belum mencakup mengenai gangguan mental yang tidak terlaporkan, seperti kasus bunuh diri. Prevalensi bunuh diri dilaporkan telah menjadi penyebab kematian terbesar di dunia pada usia 15-29 tahun setelah kematian akibat kecelakaan lalu lintas (WHO, 2014). WHO (2012) mengungkapkan sebanyak 804.000 jiwa meninggal dunia dengan cara bunuh diri sepanjang tahun 2012. WHO juga memperkirakan terdapat kasus kematian melalui bunuh diri sebanyak 11,4%. Permasalahan bunuh diri di Indonesia telah mengkhawatirkan. Pada tahun 2010 kematian akibat bunuh diri telah mencapai 1,8%. Jumlah tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2012 sebanyak 4,3% (WHO, 2012). Artinya, 4-5 orang dari 100.000 penduduk telah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri sepanjang tahun 2012. Melalui laporan tersebut juga diketahui bahwa wanita memiliki kecenderungan melakukan bunuh diri lebih besar 4,9% bila dibanding dengan laki-laki yang sebesar 3,7%. Berdasarkan pemaparan di atas, permasalahan kesehatan mental mendesak untuk mendapatkan perhatian
dan penanganan lebih lanjut. Selain itu, seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan
penting
untuk mendapatkan
pertolongan secara
menyeluruh. Pada
sisi
lain,
penderita
gangguan
mental
belum
seluruhnya
mendapatkan pengobatan sesuai dengan kebutuhan mereka. Upaya pelayanan kesehatan mental yang ada belum dapat berjalan dengan baik. Ketersediaan layanan kesehatan mental yang ada ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan layanan kesehatan mental. Kondisi demikian disebut dengan treatment gap (Kale, 2002). Beberapa negara di dunia juga mengalami ketimpangan layanan kesehatan mental. Penelitian yang dilakukan oleh Kohn, Saxena, Levav, & Saraceno (2004) menemukan berbagai jenis gangguan mental yang tidak tertangani di seluruh negara anggota WHO. Persentase gangguan mental yang tidak tertangani, meliputi schizophrenia dan gangguan psikosis sebanyak 32,2%, depresi 56,3%, dysthymia 56.0%, gangguan bipolar 50,2%, gangguan kepanikan 55,9%, dan gangguan kecemasan umum 57,5%, serta penyalahgunaan zat adiktif/ alkohol 78,1%. Selanjutnya, Kohn, et al. (2004) juga menemukan sebanyak 70% penduduk dunia diketahui tidak dapat mengakses layanan kesehatan mental sekunder, seperti klinik jiwa, psikolog klinis ataupun psikiater untuk mendapatkan penanganan gangguan lebih lanjut. Temuan di atas sejalan dengan kondisi treatment gap di Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Kohn, et al. (2004) menemukan bahwa treatment gap pada negara berkembang mencapai >90%. Dengan demikian, kurang dari 10% penderita gangguan mental yang mendapatkan pelayanan dari fasilitas kesehatan, sedangkan sisanya sama sekali tidak mendapatkan layanan pengobatan. Selain itu, cakupan pengobatan gangguan mental juga dinilai rendah. Sebagai contoh, Kementerian Kesehatan (2013) melaporkan bahwa
penderita gangguan psikosis yang pernah mendapatkan pengobatan sebanyak 61,8%, sementara 38,2% penderita lainnya sama sekali tidak pernah mendapatkan pengobatan. Sedangkan pada gangguan mental emosional sebesar 26,6%, sementara 73,4% penderita lainnya sama sekali tidak pernah mendapatkan pengobatan untuk penyakitnya. Ketersediaan layanan dan fasilitas kesehatan mental merupakan upaya nyata dalam mengurangi treatment gap. Layanan tersebut meliputi ketersediaan rumah sakit atau klinik jiwa, tenaga kesehatan mental, akses layanan,
dan
asuransi
kesehatan
mental
(Viora,
2015).
Padahal,
ketersediaan fasilitas kesehatan mental yang ada di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan layanan kesehatan mental. Wang, et al. (2007) menemukan bahwa sebagian besar negara berkembang mengalami kekurangan bahkan kelangkaan tenaga kesehatan mental. Temuan tersebut sejalan dengan kondisi di Indonesia. Viora (2015) mengatakan jumlah profesional kesehatan mental tidak sebanding dengan kebutuhan. Jumlah psikiater yang ada saat ini hanya mencapai 0,32% dan psikolog klinis 0,15% (Viora, 2015). Jumlah tersebut jauh dibawah rekomendasi WHO, yakni 1:100.000 penduduk. Belum lagi, tenaga kesehatan mental yang ada hanya dapat diakses di kota-kota besar dan sebagian besar berada di pulau Jawa. Terlebih dengan jumlah fasilitas layanan kesehatan mental yang ada, seperti rumah sakit jiwa atau klinik jiwa di rumah sakit umum, dilaporkan masih minim (lihat tabel 1). Viora (2015) mengatakan bahwa hingga tahun 2015 terdapat 48 rumah sakit jiwa dengan persebaran di 26 provinsi. Selanjutnya, persebaran layanan kesehatan primer, seperti puskesmas ataupun klinik pratama yang sedikit menyediakan layanan kesehatan mental. Tentu ketersediaan layanan tersebut tidak seimbang untuk mencukupi kebutuhan layanan kesehatan mental yang lebih besar.
Tabel 1 Jumlah layanan kesehatan mental di Indonesia Jenis Fasilitas
Jumlah
Rumah Sakit Jiwa RSU dengan layanan jiwa Puskesmas dengan layanan jiwa
48 181 2702
di 26 provinsi dari 34 provinsi dari 445 RSU dari 9005 puskesmas
Sumber: Viora (2015)
Peningkatan
prevalensi
gangguan
mental
juga
disebabkan
oleh
kegagalan penderita untuk mendapatkan pertolongan medis. Wang, et al. (2007) telah melaporkan secara global bahwa penderita gangguan mental mengalami kegagalan dalam mendapatkan pertolongan profesional selama bertahun-tahun. Kohn, et al. (2004) juga menemukan 60% penderita gangguan mental mengalami keterlambatan mendapatkan pertolongan hingga 8 tahun lamanya. Wang, et al. (2007) mengemukakan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan mengalami kegagalan mendapatkan pertolongan apabila dibandingkan dengan wanita. Peneliti lainnya (Susukida, Mojtabai, & Mendelson, 2015; Kessler, Brown, & Broman, 1981) juga menjelaskan bahwa wanita lebih terbuka dengan orang lain ketika menghadapi permasalahan, sehingga wanita dinilai lebih mencari bantuan ketika mengalami krisis mental daripada laki-laki. Kegagalan mendapatkan pengobatan menurut Wang, et al. (2007) merupakan
ketidakmampuan
penderita
untuk
mencari
pertolongan
profesional (initial treatment-seeking). Kegagalan tersebut dipengaruhi oleh akses dan layanan kesehatan mental yang sulit diperoleh dan kesadaran penderita
untuk
mencari
pertolongan.
Selain
itu,
kegagalan
dalam
mendapatkan pertolongan profesional dapat memperburuk keadaan. Padahal,
keterlambatan dalam memperoleh pertolongan dapat meningkatkan resiko dan memperparah keadaan. Altamura, et al. (2008) misalnya, menemukan kecenderungan perilaku bunuh diri yang tinggi pada penderita depresi dan bipolar dengan durasi onset dan pengobatan lebih dari 2 tahun. Melihat berbagai kebutuhan yang ada, maka upaya untuk mengurangi atau menghilangkan treatment gap kesehatan mental mendesak untuk segera dilakukan. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melibatkan peran masyarakat dalam mengupayakan kesehatan mental masyarakat (Jorm, 2012; Kakuma et al., 2011; Patel, et al., 2010; WHO, 2010). Keterlibatan masyarakat tersebut berupa pemberian pertolongan kesehatan mental oleh non-profesional kesehatan mental atau masyarakat awam. WHO (2010) merekomendasikan pemberian pelatihan kesehatan mental kepada masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam menangani gangguan mental. Lebih lanjut, Kakuma, et al. (2011) menganjurkan beberapa langkah untuk mengurangi treatment gap diantaranya adalah mengintegrasikan layanan kesehatan mental pada tingkat primer, pendelegasian tugas (taskshifting), dan program layanan kesehatan mental berbasis masyarakat. Melalui taskshifting dan program layanan kesehatan mental berbasis masyarakat diharapkan masyarakat dan non-profesional dapat terlibat secara aktif dalam upaya preventif, kuratif, dan rehabilitatif kesehatan mental. Selain itu, keterlibatan tersebut diharapkan dapat menjembatani antara minimnya fasilitas layanan kesehatan mental dengan kebutuhan layanan kesehatan mental yang tinggi. Melihat kondisi di atas, keterlibatan masyarakat dalam memberikan pertolongan pada penderita gangguan mental menjadi penting untuk dilakukan. Akan tetapi, pemberian pertolongan kepada penderita gangguan
jiwa masih menghadapi hambatan. Setidaknya terdapat 3 hal yang dapat diuraikan (Suarez, 2011; Safitri, 2011). Pertama, pengetahuan kesehatan jiwa yang rendah mengakibatkan penilaian yang salah pada gangguan jiwa. Masyarakat masih menilai gangguan jiwa bukan dilihat sebagai gangguan biologis, melainkan masih dianggap sebagai pengaruh kekuatan magis. Selanjutnya, mengarahkan
kesalahan
dalam
masyarakat
untuk
memahami
gangguan
mendapatkan
jiwa
tersebut
pertolongan
dengan
pendekatan magis atau supranatural. Pasien dan keluarga merasa terbebani dengan pengobatan yang tidak sesuai dan justru memperparah keadaan pasien. Jarak durasi onset dengan pertolongan pertama kali yang panjang dapat memperparah kondisi penderita. Terakhir, pemahaman yang keliru tersebut membuat masyarakat tidak mengetahui bagaimana memperlakukan penderita gangguan jiwa. Hingga pada akhirnya banyak ditemukan penderita gangguan jiwa juga mengalami perlakuan yang tidak manusiawi, seperti pengurungan dan pemasungan. Pada temuan yang lain, masyarakat justru memiliki jarak dengan seseorang yang diindikasi memiliki masalah kejiwaan (Rüsch, Angermeyer, & Corrigan,
2005).
Ketidakmampuan
seseorang
untuk
menyediakan
pertolongan kesehatan mental dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, keterbatasan pengetahuan seseorang mengenai kesehatan mental membuat seseorang tidak tahu bantuan apa yang dapat diberikan dan bagaimana cara memberikan bantuan (Kitchener & Jorm, 2008). Keterbatasan pemahaman mengenai gangguan mental juga dapat membuat penderita terlambat mendapatkan pertolongan (Wang et al., 2007). Selain itu, beberapa peneliti menemukan bahwa pemahaman yang keliru (miskonsepsi) mengenai gangguan mental turut membuat seseorang tidak memberikan pertolongan (Quinn et al., 2009; Veltman, Cameron, Stewart, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Veltman, Cameron, & Stewart (2002) menemukan bahwa pandangan sosial dan komunitas terhadap gangguan mental memengaruhi kondisi keluarga atau caregiver gangguan mental. Keluarga melaporkan bahwa mereka tidak mendapatkan bantuan atau dukungan dari komunitas dan mereka merasa ditinggalkan oleh teman atau saudara mereka. Keluarga juga menjelaskan bahwa memiliki anggota dengan gangguan mental merasa lebih memiliki beban sosial daripada memiliki anggota keluarga dengan gangguan atau sakit fisik. Quinn et al. (2009)
mengatakan
bahwa
perilaku
penderita
yang
dinilai
aneh
mengakibatkan reaksi masyarakat dengan menjauhi penderita. Reaksi tersebut mendorong masyarakat untuk tidak memberikan pertolongan dan mengeluarkan penderita dari pergaulan (ex-communicate). Pada level sosial, telah ditemukan pemahaman yang keliru mengenai gangguan mental pada masyarakat umum atau stigma gangguan mental. Pemahaman masyarakat mengenai gangguan mental dipengaruhi oleh keyakinan dan sikap kelompok yang berbeda antarbudaya (Angermeyer & Dietrich, 2006). Stigma tersebut dapat berupa penilaian gangguan mental sebagai pengaruh supranatural seperti, balasan dari Tuhan atas perbuatan buruk, pengaruh roh jahat, sifat kekanak-kanakan, dan perilaku yang buruk (Rüsch, Angermeyer, & Corrigan, 2005) daripada faktor biopsikososial (WHO, 2001). Seiring dengan berkembangnya kekeliruan pemahaman tersebut, masyarakat kemudian mendorong sikap dan tindakan negatif terhadap penderita gangguan mental. Lebih lanjut, Corrigan & Watson (2002) menjelaskan bahwa penilaian terhadap gangguan mental akan memberikan dampak buruk bagi penderita, berupa sikap negatif (prejudice) dan diskriminatif dalam kehidupan mereka. Beberapa peneliti menjelaskan bahwa stigma gangguan mental erat kaitannya dengan stereotip, prejudice, dan
diskriminasi gangguan mental (Corrigan & Watson, 2002; Corrigan, Markowitz, Watson, Rowan, & Kubiak, 2003) dan memasukkan ketiga hal tersebut sebagai rantai stigma gangguan mental yang terkait erat (lihat bagan 2) (Corrigan, 2004; Rüsch, Angermeyer, & Corrigan, 2005). Stigma gangguan mental mengarah pada dampak buruk bagi pasien gangguan mental. Pasien yang harus mampu mengelola diri untuk kesembuhan dan kualitas hidupnya, harus berhadapan dengan pandangan masyarakat yang dinilai tidak membantu mereka (Rüsch, Angermeyer, & Corrigan, 2005). Stigma juga berkembang pada bagaimana memperlakukan penderita gangguan mental secara diskriminatif dan melanggar batas-batas kemanusiaan (Safitri, 2011; Corrigan, Markowitz, Watson, Rowan, & Kubiak, 2003). Ulasan wartawan BBC melalui bbc.com (2016) melaporkan kondisi pemasungan pada penderita gangguan mental sangat memprihatinkan. Praktik pemasungan selain dilakukan oleh keluarga juga dilakukan oleh lembaga, seperti panti rehabilitasi gangguan mental. Selain praktik yang tidak manusiawi, pemasungan yang dilakukan oleh lembaga diketahui melakukan pengobatan yang jauh dari nilai rehabilitasi psikososial dan medis. Stigma gangguan mental turut memengaruhi pemberian pertolongan. Angermeyer & Matschinger (1996) menemukan bahwa stigma gangguan mental dapat menurunkan intensitas memberikan pertolongan. Calon pemberi bantuan memiliki emosi takut, cemas, dan marah ketika berhadapan dengan penderita gangguan mental. Hal tersebut memengaruhi seseorang untuk tidak peduli dengan penderita gangguan mental. Pemahaman yang keliru mengenai gangguan mental ditemukan telah menurunkan kepercayaan pada pengobatan (Masuda & Latzman, 2011). Masyarakat seringkali menilai pengobatan tidak memiliki efek kesembuhan apapun. Selain itu, stigma yang ada juga membuat seseorang mempertimbangkan untuk memberikan
pertolongan atau tidak. Pada masyarakat tertentu, konsep mengenai gangguan mental turut memengaruhi pemberian pertolongan (Corrigan, 2004). Barney, Griffiths, Jorm, & Christensen (2006) mengungkapkan bahwa sikap masyarakat terhadap gangguan mental memengaruhi bagaimana penderita mencari pertolongan atau pengobatan. Penilaian dan sikap negatif masyarakat dapat menjadi penghalang penderita gangguan mental untuk mencari pertolongan. Dengan demikian, stigma memiliki keterkaitan yang erat pada intensitas mencari pertolongan dan memberikan pertolongan. Melihat berbagai temuan di atas, maka memberikan pertolongan kesehatan mental merupakan sikap dan perilaku positif dalam menjembatani kebutuhan
layanan kesehatan mental
dengan keterbatasan
layanan
kesehatan mental yang ada. Berdasarkan pemaparan di atas pula sikap memberi pertolongan merupakan bentuk keterlibatan dan kepedulian masyarakat mengenai isu kesehatan mental. Penelitian ini mendesak untuk dilakukan
mengingat
memberikan
pertolongan
dapat
mengurangi
keterlambatan penderita gangguan mental dalam mendapatkan pertolongan. Penelitian mengenai sikap memberikan pertolongan kesehatan mental belum banyak dilakukan di Indonesia. Selain itu, penelitian yang ada lebih banyak dilakukan di negara barat dan belum banyak dilakukan di Indonesia. Mencermati perbedaan konteks pada negara barat dengan kondisi di Indonesia seperti kolektivitas dan keberagaman masyarakat, maka perlu untuk dilakukan penelitian ini. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui apakah pengetahuan kesehatan mental mendorong seseorang untuk memiliki sikap memberikan pertolongan kesehatan mental. Penelitian ini juga hendak menjawab apakah stigma publik memiliki hubungan dengan sikap memberikan pertolongan kesehatan mental.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stigma publik gangguan mental dengan sikap memberikan pertolongan kesehatan mental.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian ilmiah mengenai sikap memberikan pertolongan kesehatan mental dan stigma publik gangguan mental dalam bidang kesehatan mental.
2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk layanan kesehatan mental bagi pemegang kebijakan, profesional, non-profesional, dan komunitas layanan kesehatan mental dalam merumuskan program promosi kesehatan mental.