Suriah, Pusaran Pertarungan Global AS-Inggris-Perancis dan Rusia Penarikan mundur pasukan Rusia dari Suriah yang dicanangkan oleh Presiden Vladimir Putin sejak 14 Maret 2016 lalu, merupakan manuver diplomatik yang cukup elegan, sebagai prakondisi penguatan posisi Presiden Bashar al Assad di tengah-tengah berlangsungnya perundingan damai Suriah di Jenewa, Swiss. Dengan segala kontroversi menyusul pernyataan Presiden Putin untuk tarik mundur pasukannya dari Suriah dengan alasan tujuan strategis sudah tercapai, harus diakui hal ini merupakan manuver politik-diplomasi yang di luar kelaziman. Apalagi ketika krisis Suriah pada perkembangannya sudah meluas menjadi pertarungan global antara tiga negara adikuasa yaitu Amerika Serikat-Inggris-NATO pada satu sisi, dan Cina-Rusia pada kutub yang lainnya. Yang lazimnya selama ini, begitu pasukan asing mulai menempatkan kehadiran pasukannya di negara dengan dalih untuk memulihkan keamanan dan perdamaian menyusulnya adanya perang saudara, atau untuk membantu pemerintah setempat yang sedang terancam kedudukannya karena adanya aksi terorisme berskala luas, maka kehadiran militernya dirancang untuk bercokol secara permanen. Kehadiran Amerika Serikat di Afghanistan pada 2001 maupun di Irak pada 2003, terbukti bahwa hingga kini bukan saja negara Paman Sam tersebut tetap bercokol di kedua negara yang berlokasi di kawasan Timur Tengah dan kaya akan sumber daya alam minyak dan gas bumi itu. Bahkan di era pemerintahan Presiden Barrack Obama, sempat meningkatkan jumlah pasukannya di Afghanistan sebesar 30 ribu personel. Maka itu, Rusia, yang dalam pernyataan Presiden Putin maupun Menteri Pertahanan Sergei Shoigu, telah menegaskan niatnya untuk menarik mundur pasukannya dari Suriah karena tujuan strategisnya dianggap sudah tercapai, kiranya menarik untuk diulas secara lebih mendalam. Jika kita telisik secara lebih mendalam, memang pihak Rusia tidak merinci lebih jauh apa yang jadi tolok-ukur dari telah tercapainya tujuan strategisnya tersebut. Namun kenyataan yang terungkap menyusul keterlibatan militer Rusia sejak September 2015 lalu adalah keberhasilan pasukan Suriah membebaskan lebih dari 400 permukiman dan menghancurkan lebih dari 2000 militan ISIS. Kalau melihat dari tolok-ukur keberhasilan serangan udara pasukan Rusia, terungkap bahwa operasi militer gabungan Rusia-Suriah berhasil menghancurkan 200 fasilitas produksi ISIS, seraya memotong jalur pasokan teroris ISIS. Yang tentunya termasuk jalur pasok yang digunakan ISIS untuk melakukan perdagangan dan jual-beli minyak secara ilegal antara ISIS dan kroni-kroni Presiden Turki Tayib Erdogan. Sejarah Suriah Sebagai Ajang Perebutan Pengaruh Negara-Negara Adikuasa Kalau mau menelisik kembali bagaimana Suriah jadi ajang perebutan pengaruh negaranegara adikuasa, maka kita harus buka kembali berkas-berkas terkait hasil Konferensi Perdamaian di San Remo, pada 24 April 1920. Konferensi internasional yang dihadiri para negarawan Eropa tersebut, masih sangat diliputi atmosfer pasca Perang Dunia I yang mana Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, merupakan negara-negara pemenang perang. Maka
melalui Konferensi San Remo itulah, antar negara-negara adikuasa pemenang Perang Dunia I, berbagi daerah mandat. Perancis mendapat Suriah, Inggris diserahi mandateuntuk Irak dan Palestina. Suriah, Irak, dan Palestina melalui perjanjian San Remo itu dinyatakan sebagai daerah mandate katergori A. Sejak awal, perjanjian San Remo sejatinya memang ditujukan untuk bagi-bagi daerah kaya minyak di Timur Tengah. Misalnya dalam bagi-bagi daerah di Irak atau yang dulu masih dikenal dengan nama Mesopotamia, sejak 1918, yaitu ketika Inggris dan Perancis sudah jelas-jelas muncul sebagai negara-negara pemenang Perang Dunia I, kedua negara tersebut sudah bikin kesepakatan diam-diam untuk berbagi daerah kaya minya di Irak. Misalnya Perancis sudah sepakat bahwa Mosul, salah sebuah kota terbesar di Irak yang kaya sumber-sumber minyak mentah, akan diberikan kepada Inggris. Selain itu, pada 18 April 1919, Perancis dan Inggris menandatangani sebuah perjanjian di mana Perancis menerima saham yang semula milik Jerman(negara adikuasa yang kalah dalam Perang Dunia I), dan diizinkan membuat pipa minyak melintasi daerah mandatnya dari Mosul sampai Laut Mediterania. Tentu saja perjanjian Perancis-Inggris ini hanya sekadar penanda akan adanya kesepakatan-kesepakatan susulan yang tentunya di luar topic yang disepakati oleh kedua negara di Perjanjian San Remo. Dengan kata lain, perjanjian April 1919 tersebut hanya sekadar “Mas Kawin” belaka. Buktinya pada 25 April, jadi kurang dari semingu sejak perjanjian Inggris-Perancis, Perancis menerima bagian saham sebesar 25 persen dari Perusahaan Minyak Turki (juga negara kalah dalam Perang Dunia I), dan diizinkan mengangkut minyak dengan kereta api atau pipa dari Mesopotamia (Irak) dan Iran melalui Suriah. Melalui kesepakatan ini jelas lah sudah, bahwa dari sejak pasca Perang Dunia I, Suriah nampaknya secara tersirat sudah menjadi obyek bagi-bagi kekuasaan antara Inggris dan Perancis. Terbukti bahwa pada perkembangannya kemudian Irak, Suriah dan Palestina mencium niat busuk negara-negara imperialis tersebut, dan berkeberatan dengan Perjanjian San Remo yang pada dasarnya hanya untuk melegalisasikan kontrol asing (Inggris dan Perancis) di kawasan Timur Tengah. Dan bukan dimaksudkan untuk memerdekakan negaranegara Arab tersebut. Ringkas cerita, Perjanjian San Remo yang merugikan Suriah serta Irak dan Palestina, ternyata malah menyulut perlawanan ketiga negara tersebut, meskipun secara militer Perancis dan Inggris pada akhirnya berhasil mengatasi keadaan. Namun, hal itu justru mendorong Inggris untuk menggelar kembali sebuah Konferensi Internasional di Kairo membahas masalah Timur Tengah, pada 12-24 Maret 1921. Konferensi Kairo menghasilkan beberapa keputusan antara lain: Kerajaan Irak diserahkan kepada mantan Raja Suriah Faisal, yang digulingkan Perancis pada 7 Agustus 1920 garagara menentang Perjanjian San Remo. Sedangkan Pengeran Abdullah, kakak Faisal, didukung untuk memerintah keemiran Transyordania. Pintarnya Inggris, agar tidak terkesan mengontrol negara-negara Arab itu, dan gerakan perlawanan dari kelompok-kelompok nasionalis bisa dikendalikan, maka sistem mandate yang pada kenyataannya merupakan bentuk penjajahan asing, diganti dengan istilah perjanjian aliansi, yang terlihat melalui pelantikan Faisal. Negara-negara Arab seperti Irak, Suriah dan Palestina, sebenarnya pada Perang Dunia I berhasil digalang oleh seorang aparat intelijen Inggris, Thomas Edward Lawrence, menjadi
sebuah aliansi militer melawan Dinasti Turki Usmani, yang pada waktu itu merupakan lawan pasukan sekutu yang dimotori oleh Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Pada Perang Dunia II, karena Perancis diduduki oleh pasukan fasisme Jerman, dan pemerintahan boneka Perancis yang dipimpin Vichy otomatis juga menguasai negara-negara jajahannya, termasuk Suriah. Akibatnya, Inggris yang pada waktu itu dalam posisi sebagai musuh Jerman pada Perang Dunia II, kemudian melancarkan serangan militer ke Suriah yang pada waktu itu dikuasai oleh pasukannya Vichy, melalui Palestina, Transyordania dan Irak. Unsur-unsur Perancis bebas yang pro Inggris yang berada dalam kepemimpinan Charles de Gaulle yang kelak jadi Presiden Perancis pasca Perang Dunia II, juga ikut dalam serangan militer Inggris menyerbu Suriah tersebut. Akhirnya pemerintahan Perancis boneka Jerman tersebut menyerah kepada pasukan sekutu yang dipimpin Inggris, dan sejak saat itu, Suriah dan Lebanon berada dalam pendudukan pasukan Inggris di bawah komando Timur Tengah Inggris sejak 14 Juli 1941. Politik Pecah Belah ala Perancis di Suriah Ada yang unik dari sejarah berdirinya Suriah sebagai negara merdeka. Pada 28 September 1941, Perancis memerdekakan Suriah yang ditandai dengan: (1) Suriah berhak menjadi negara merdeka dan berdaulat; (2) Suriah berkuasa menunjuk perwakilan diplomatiknya; (3) segala syarat terdahulu diganti dengan perjanjian Perancis-Suriah yang baru yang menjamin kemerdekaan Suriah. Sebagai langkah awal, Perancis mengangkat Sheikh Taj ad-Din sebagai Presiden Suriah. Menariknya, Inggris pun kemudian mendukung kemerdekaan Suriah yang diprakarsai oleh Perancis tersebut, dan mengangkat Jenderal Spear sebagai Duta Besar Inggris pertama di Suriah. Namun entah karena para elit politik di Suriah sendiri sarat berbagai kepentingan, atau karena dari awal proklamasi kemerdekaan Suriah itu Perancis memang mau memberi kesan bahwa kemerdekaan tersebut merupakan hadiah dari Perancis sehingga malah memprovokasi perlawanan, yang jelas pemerintahan Syeich Taj ad-Din tidak mendapat legitimasi dari rakyat Suriah sebagaimana diharapkan karena dianggap boneka Perancis. Bukan kreasi dari Rakyat Suriah. Alhasil, pemerintahan Suriah merdeka itu malah menuai perlawanan dari masyarakat. Salah satunya, datang dari blok nasional pimpinan Shukri al-Quwatli dan dua kelompok sayap kiri, sosialis dan komunis. Namun pada dasarnya, perlawanan terhadap pemerintahan Syeich Taj ad-Din sejatinya merupakan gerakan nasional menentang campur-tangan asing. Akhirnya gerakan nasional menang. Melalui pemilihan umum, blok nasional memperoleh suara terbanyak di parlemen, dan Shukri al Quwatli menjadi Presiden Republik Suriah pertama. Namun dasar Perancis memang masih ingin bercokol di Suriah dan memasang orangorangnya di pemerintahan, kemenangan para nasionalis dalam berbagai jabatan strategis di Suriah tersebut tetap saja dibayang-bayangi oleh kendali tidak langsung dari Perancis. Karena sesungguhnya mandate Perancis atas Suriah sebagaimana ditetapkan melalui perjanjian San Remo memang masih berlangsung. Sehingga Perancis masih berhak membubarkan parlemen Suriah, dan bahkan menghapus konstitusi negara dengan alasan
tidak sesuai dengan mandate Liga Bangsa-Bangsa. Perancis pun masih berwenang atas tata-tertib, pemerintah dalam negeri, politik luar negeri, pertahanan serta penyensoran pers. Menyadari hal itu, para nasionalis Suriah berkeberatan dengan hak prerogratif Perancis tersebut. Namun pemerintah Perancis yang pro sekutu dalam Perang Dunia II, tetap ngotot mencabut hak prerogratifnya tersebut dengan dalih menunggu keputusan Liga BangsaBangsa. Alhasil, para nasionalis pun semakin meningkatkan perlawanan terhadap sepakterjang Perancis tersebut. Ditangkapnya Presiden ad-Din oleh Perancis, bukannya memadamkan, malah menyulut gelombang protes yang lebih besar lagi. Dalam situasi runyam ini, Inggris yang meskipun bersekutu dengan Perancis pada periode Perang Dunia II itu, diam-diam mendukung gelombang perlawanan para nasionalis tersebut tehadap Perancis. Pada 24 Januari 1944, bahkan Presiden Syeich ad-Din dan para anggota parlemen menyatakan hendak menghapus pasal 116 konstitusi yang menyangkut wewenang mandate Perancis. Maka setelah itu, peralihan kekuasaan secara damai pun berlangsung, meskipun dalam perjanjiannya dengan Suriah, Perancis menuntut keselamatan lembaga kebudayaan Perancis di Levant, dan pengakuan atas hak-hak ekonominya, dan pengakuan atas kepentingan strategisnya di wilayah tersebut. Dari konstruksi kisah ini jelaslah bahwa kemerdekaan Suriah tetap dibayang-bayangi oleh kesepakatan informal antara Inggris dan Perancis, karena sama-sama tergabung dalam persekutuan politik dan militer melawan pasukan Jerman dalam Perang Dunia II. Suriah Pasca Perang Dunia II Situasi menjelang berakhirnya Perang Dunia II, justru mendorong Inggris dan Perancis sebagai negara-negara pemenang perang, malah mulai mengakhiri bulan madunya. Ketika perlawanan kalangan nasionalis Suriah semakin menguat sejak 1944 terhadap mandate Perancis, Inggris malah mendukung Suriah. Merasa mendapat angin dari Inggris, Suriah bersama-sama dengan Lebanon yang juga jajahan Perancis, pada 21 Juni 1945 menyerukan deklarasi bersama mengusir semua warga negara Perancis dan mengalihkan kendali kemiliteran ke dalam kendali Suriah dan Lebanon. Akhirnya pada April 1946, Perancis menarik seluruh pasukannya dari Suriah, memenuhi resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa , menyusul desakan para nasionalis Suriah dan peran aktif Amerika Serikat. Nampaknya, menyusul meredupnya campur-tangan Perancis dan Inggris di Suriah dan Timur Tengah pada umumnya, Amerika Serikat sejak 1946 mulai memainkan peran penting di Suriah. Adapun setelah berakhirnya Perang Dunia II dan ditarik mundurnya pasukan Perancis dari Suriah, pemerintahan Republik Suriah memang didomonasi oleh blok nasionalis seperti Shukri al Watli, Jamil Mardam Bey, Saadullah al Jabri, dan kawan-kawannya, yang memang punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan. Namun pada 30 Maret 1949, Kolonel Husni Zaim melancarkan kudeta tak berdarah terhadap pemerintahan Presiden Quwatli dan Perdana Menteri Khalid al Azim. Zaim kemudian membubarkan parlemen dan menjalankan pemerintahan sementara. Menariknya, kudeta tersebut justru mencerminkan reaksi karyat Suriah atas lemahnya pemerintahan rezim Quwatli. Rupanya, manuver Kolonel Zaim memperoleh dukungan dari dua kelompok, yaitu
militer dan para reformasi muda yang menginginkan perubahan radikal di Suriah. Misalnya dari Partai Sosial-Nasional Suriah pimpinan Saadeh cabang Hama (yang mendukung Suriah Raya) dan Partai Rakyat (yang lebih erat dengan Irak) konservatif, namun berprinsip demokratis. Haluan politik luar negeri pemerintahan Zaim cenderung dekat dengan Mesir(waktu itu kasih di bawah raja Farouk) dan Arab Saudi yang dikuasai dinasti Ibnu Saud. Kebijakannya yang pro Arab Saudi dan Raja Farouk Mesir yang waktu itu keduanya pro blok Amerika Serikat dan Barat, maka colonel Zaim boleh dikatakan bersikap konservatif dan mengabaikan desakan blok nasionalis untuk Rencana Pembentukan Suriah Raya. Dengan kata lain, dalam pertarungan sengit antara dinasti Ibnu Saud (Arab Saudi) dan Dinasti Hashimiyah (Irak dan Yordan) yang sebetulnya sama-sama binaan Inggris, Kolonel Zaim cenderung memihak kepentingan dinasti Ibnu Saud. Berarti, Kolonel Zaim mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Namun gagalnya gagasan penyatuan Irak dan Yordania yang mengikutsertakan Suriah, telah menuai perlawanan dari dalam negeri terhadap pemerintahan Zaim. Gara-gara semakin mendapat gelombang perlawanan, Zaim terpaksa melarang semua kegiatan politik maupun partai politik pada 1949. Tentu saja, rakyat jadi semakin membenci pemerintahan Zaim. Agaknya, kudeta yang diawali era Kolonel Zaim, kemudian jadi tradisi. Pada 14 Agustus 1949, Zaim dan Perdana Menteri Mushin al Barazi digulingkan melalui kudeta militer yang dipimpin Kolonel Sam Hinnawi. Dalam pernyataannya, Hinnawi mengatakan kudeta ini untuk meluruskan hal-hal yang melenceng di era Zaim. Hinnawi kemudian meminta mantan Presiden Republik, Hashim Bey Atassi, untuk membentuk pemerintah sipil sementara. Kudeta militer pimpinan Sam Himawi, rupanya merupakan momentum bagi Partai Rakyat untuk berkuasa. Pada pemilu November 1949, Partai Rakyat memperoleh 42 kursi dari total 114 sehingga menjadi partai terbesar di dalam Majelis Konstituante. Berbeda dengan Zaim, Kolonel Hinnawi selain mempertahankan hubungan baik dengan Mesir dan Arab Saudi, juga mulai merintis hubungan dengan Irak dan Yordania yang dikuasai oleh Kelompok Hashimiyah pimpinan Syarif Hussein bin Ali. Sehingga rencana penyatuan dengan Irak dan Yordania menjadi agenda prioritas untuk dibahas. Namun sekelompok klik di dalam tentara, tidak setuju gagasan tersebut. Alhasil, untuk menggagalkan rencana penyatuan Suriah dan Irak, Kolonel Adib Shishakli menggulingkan Hinnawi. Sepanjang periode fase-fase awal Republik Suriah itu, garis politik luar negeri Suriah pada dasarnya pro Arab Saudi dan Kerajaan Mesir di bawah Raja Farouk yang konservatif, dengan dukungan sepenuhnya dari Inggris dan Amerika Serikat. Bahkan pada 1950, Raja Ibnu Saud Arab Saudi memberi bantuan kepada Suriah, asalkan mendukung pemerintahanpemerintahan yang anti Hashimiyah yang berpusat di Irak dan Yordania. Namun, ketika Amerika Serikat semakin memperlihatkan dukungan terbukanya kepada Israel sejak berdirinya negara tersebut pada 1948, maka kebijakan pro AS yang dirintas sejak era Kolonel Zaim, mulai ditinggalkan. Bahkan beberapa anggota pemerintahan Perdana Menteri Khaliud al-Azem, secara terang-terangan mulai mendukung Pemerintahan Uni Soviet.
Sejak Februari 1950, Perdana Menteri Khalid al Azem yang pada dasarnya memang berasal dari kalangan independen, menyatakan bahwa Suriah akan menganut politik berdiri sendiri di atas kaki sendiri tanpa mencari bantuan dari AS. Suriah pun menolak PBB yang disponsori AS yang akan memberi bantuan pada pengungsi Palestina. Maka sejak itu, kerusuhan anti-Amerika kerap melanda kota-kota Suriah, bahkan di halaman depat Kedutaan Besar AS pernah diledakkan bom. Pemicunya, karena dukungan terbuka AS terhadap Israel meskipun tetap menjanjikan bantuan untuk Timur Tengah. Dengan begitu, di era pemerintahan Adib Shishakli inilah, meski dia memerintah dari belakang layar, dan membiarkan orang-orang sipil menjalankan pemerintahan, pada hakekatnya berhaluan nasionalis dan mengambil jarak tehadap AS dan blok Barat. Dalam sebuah pidatonya, Shishakli menyebut Damaskus sebagai ibukota Arabisme masa kini dan jantung bangsa Arab. Pada akhirnya, rezim pemerintahan Shishakli berhasil dikudeta oleh Kolonel Mustafa Hamdun. Dalam kekosongan pemerintahan itu, Hashim al-Atassi ditunjuk kembali sebagai presiden, kabinet baru terbentuk dipimpin oleh Perdana Menteri Sabri al Assali, yang berhaluan nasionalis, namun didominasi oleh kelompok populis. Dan menganut politik luar negeri anti Barat. Uni Soviet dan Politik Luar Negeri Partai Baath Pemerintahan Suriah pimpinan Perdana Menteri Sabri al-Assali sejak Februari 1955, menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Suriah sejalan dengan Pakta Arab; bahwa Suriah, dalam kondisi khusus, dapat berhubungan dengan Barat; dan bahwa Suriah menolak pakta Turki-Irak. Sebagai gantinya, Suriah menandatangani perjanjian segitiga Suriah-Arab Saudi dan Mesir. Situasi ini mengecewakan bagi Turki, sehingga insiden perbatasan kedua negara seringkali terjadi. Alhasil, di mata Suriah, Turki merupakan ancaman nasional, khususnya bagi integritas wilayah Suriah. Menghadapi ancaman dari Turki yang mendapat dukungan dari AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara(NATO), Suriah merasa lega ketika Uni Soviet, melalui Menteri Luar Negeri Molotov pada akhir Maret 1955, menyatakan bahwa Rusia tidak akan berpangku tangan bila Turki menyerang Suriah. Pada titik inilah, praktis Uni Soviet memasuki pentas pertarungan di Timur Tengah, sebagai kekuatan penyeimbang. Di sinilah, peran Pertai Kebangkitan Sosialis Arab (Baath) harus diperhitungkan. Partai inilah yang sejak 1956 mendukung Pan Arabisme, yang mana semakin mempererat hubungannya dengan Mesir yang kala itu sejak 1952, sudah beralih menjadi Republik, di bawah pemerintahan Jenderal Gamal Abdel Nasser. Karena Mesir di bawah kendali Nasser menganut politik luar negeri Non Blok, yang secara alami menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, maka para elit politik Partai Baath yang sejatinya mendukung ideologi Arab Nasionalisme-nya Nasser, juga menjalin hubungan mesra dengan Soviet. Namun pada era 1956, pemerintahan Suriah masih berada di tangan Partai Populis, yang pada dasarnya berwatak konservatif. Namun pada semester kedua 1956, Partai Baath mulai memainkan peran, setelah mendapat dua pos penting di kabinet, kementerian luar negeri dan Ekonomi Nasional. Sejak itu, Menteri Luar Negeri Saleh al Bitar mulai semakin mempererat hubungan dengan Mesir dan Uni Soviet, seraya menghapus segala pengaruh Barat, serta
memandang persekutuan dengan Irak sebagai penghianatan bangsa karena dianggap pro AS dan Barat. Sedangkan persekutuan Suriah-Mesir Uni Soviet sebagai kebijakan “Netralisme Positif.” Tak lama kemudian, Suriah mengakui secara resmi keberadaan Republik Rakyat Cina. Ketika Mesir dan Presiden Nasser menyatakan akan menasionalisasi Terusan Suez, Dan Suriah, sebagai bentuk kesetiakawanan dengan Mesir dan Nasser, yang dikepung oleh InggrisIsrael-Perancis, juga semakin mempererat hubungannya dengan Uni Soviet. Bahkan pada September 1956, Suriah mengadakan perjanjian militer dengan Soviet, mendahului perjanjian Soviet-Mesir. Bahkan pada 20 Agustus 1956, seiring dengan semakin meningkatnya sentiment anti AS dan Barat di Damaskus menyusul nasionalisasi Terusan Suez oleh Nasser, Suriah menandantangani perjanjian pendidikan dan kebudayaan dengan Rusia. Bahkan beberapa saat kemudian, sebagai bentuk solidaritas kepada Mesir, Suriah memutuskan aliran pipa Perusahaan Minyak Irak yang memasok kebutuhan bahan bakar Barat dengan kapasitas 25 juta ton setahun. Meskipun pemerintahan Presiden Quwatli menganut politik luar negeri “Netralisme Positif” namun di mata AS Suriah terancam oleh pengaruh Soviet. Lebih celaka lagi, ketika di era pemerintahan Dwight Eisenhower dan Menteri Luar Negeri John Foster Dulles, menganggap negara-negara yang menganut politik luar negeri yang netral, adalah immoral. Alias dianggap pro Soviet atau RRC. Tentu saja hal ini malah semakin memicu kemarahan dan antipati pemerintah dan rakyat Suriah. Sehingga tiga anggota kedutaan AS diusir oleh pemerintah Suriah. Bahkan di elemen ketentaraan, khususnya angkatan darat, pengaruh Pan Arabisme dan Nasionalisme Arab semakin menguat, dengan diangkatnya Jenderal Afif Bizri sebagai Kepala Staf Angkatan Darat Pada Agustus 1957. Pandangan yang sempit dan dangkal dari pihak AS dan blok Barat, bahwa pro Pan Arabisme dan Nasionalisme Arab berarti pro Soviet, justru malah merugikan bagi keberadaan dan kiprah AS dan blok Barat di Suriah, Mesir dan Libya, ketika Kolonel Moammar Khadafi berhasil merebut kekuasaan dari Raja Idris. Gerakan memproklamasikan Federasi Suriah dan Mesir, pada perkembangannya memperkuat pengaruh dan kekuasaan Partai Baath di dalam negeri Suriah. Karena para pemain kunci di Partai Baath lah yang sejatinya mendesak Nasser untuk secepatnya memproklamasikan persatuan kedua negara dilandasi gagasan gerakan besar menuju Pan Arabisme dan Nasionalisme Arab. Maka pada 1 Februari 1955, persatuan Mesir-Suriah diproklamasikan oleh Presiden Gamal Abdel Nasser dan Presiden Quwatli. Pada 1961, Suriah kembali memisahkan diri dari Federasi Mesir-Suriah, menyusul kudeta angkatan darat. Dalam pemerintahan yang dibentuk tentara, hanya dua politisi yang diminta bergabung mendukung pemerintahan Perdana Menteri Maamun Kuzbari. Yaitu Menteri Dalam Negeri Adnan Quwatli dan Menteri Keuangan Leon Zamariya. Meski tidak lagi berkomitmen dengan Pan Arabisme, namun pemerintahan Kuzbari tetap menyatakan kesetiaannya terhadap cita-cita persatuan Arab seraya menekankan karakter
Arabnya. Hanya saja harus didasari atas dasar persamaan, dan bukan dominasi satu pihak atas pihak lainnya. Kesetiaan terhadap prinsip sosialisme juga ditegaskan dengan menjunjung tinggi dan meningkatkan standar hidup. Dalam kebijakan luar negerinya, Suriah berlandaskan netralisme, hidup berdampingan secara damai, dan nonblok. Orientasi politik luar negeri Suriah sejak saat itu hingga, tampilnya Hafez al Assad, tetap dalam kerangka kebijakan tersebut. Yang berarti menjaga keseimbangan antara AS-Inggris-Perancis di satu sisi, dan Uni Soviet dan RRC pada sisi lainnya. Sementara itu Parta Baath, yang basis ideologinya adalah Nasionalisme dan Sosialisme Arab, tetap mewarnai konstalasi politik Suriah, dan semakin mengkonsolidasikan kekuasaannya. Hingga mencapai titk kulminasinya, ketika Hafez al Assad, tampil ke tampuk kepresidenan memimpin suriah sejak 1971. Sejak era Hafez al Assad, yang kemudian digantikan putranya, Bashar al Assad pada 2000, praktis perpolitikan Suriah ditopang oleh dua pilar yaitu militer dan Partai Baath. *) Hendrajit