ANALISIS PERMINTAAN IMPOR GARAM INDONESIA
AHMAD SYARIFUL JAMIL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Ahmad Syariful Jamil NIM H351140476
RINGKASAN AHMAD SYARIFUL JAMIL. Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia. Dibimbing oleh NETTI TINAPRILLA dan SUHARNO. Garam merupakan komoditas strategis yang permintaannya akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Namun, peningkatan kebutuhan garam domestik tersebut belum dapat dipenuhi oleh produksi garam domestik. Produksi domestik seakan tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan garam domestik. Adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan garam dengan produksi garam domestik mendorong pemerintah untuk melakukan impor garam dengan tren yang positif. Lebih jauh lagi, saat ini kebijakan impor telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam memenuhi kebutuhan garam domestik. Fakta tersebut memberikan gambaran bahwa Indonesia belum mampu mengelola potensi kelautannya yang besar. Oleh karena itu, diperlukan analisis untuk memberikan gambaran secara umum mengenai keragaan permintaan impor garam Indonesia. Tujuan utama tersebut diakomodasi kedalam beberapa tujuan penelitian yaitu: (1) menganalisis keragaan kebijakan impor garam di Indonesia; (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia; serta (3) menganalisis kerentanan permintaan impor garam Indonesia dari perspektif negara sumber impor garam. Pendekatan ekonometri digunakan untuk menjawab tujuan tersebut, dimana terdapat dua model perdagangan yaitu model regresi data panel dan model Almost Ideal Demand System (AIDS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabels yang berpengaruh secara signifikan terhadap volume permintaan impor garam Indonesia yaitu: produksi garam domestik, harga garam impor, Produk Domestik Bruto riil (PDB) Indonesia, PDB riil negara sumber impor dan nilai tukar riil. Hanya variabel produksi garam domestik dan harga garam impor yang memiliki hubungan negatif terhadap permintaan impor garam Indonesia. Berdasarkan perhitungan elastisitas menunjukkan diketahui bahwa Indonesia sangat tergantung secara spesifik terhadap garam impor dari Australia dan India. Selain itu, garam yang berasal dari Australia dan India saling berkomplemen sehingga akan terus mendominasi pangsa impor garam Indonesia. Beberapa fakta tersebut menunjukkan bahwa tidak diperlukan untuk menerapkan kebijakan tarif impor. Pemerintah sebaiknya lebih menekankan dan fokus dalam meningkatkan produksi garam domestik. Implikasi kebijakan yang seharusnya dapat diterapkan oleh pemerintah yaitu melakukan sinronisasi data, upaya intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Kata kunci: AIDS, permintaan impor, garam, regresi data panel
SUMMARY AHMAD SYARIFUL JAMIL. Analysis of Salt Import Demand. Supervised by NETTI TINAPRILLA and SUHARNO. Salt is a commodity which has an increasing demand of Indonesian population. However, the increasing of domestic salt necessity has not been fullfilled yet by domestic salt production. Domestic production seemsuncapable to make the increasing of domestic salt necessity balance. The imbalance between salt necessity and domestic salt production pushes the government to import salt with positive trend. Moreover, import policy has been inseparable to fullfill domestic salt necessity. Those facts gives an overview that Indonesia is still uncapable to manage its big ocean potential. therefore, it is required an analysis to give a common overview about the demand performance of salt import in Indonesia. That main purpose is accomodated into some purposes, there are: (1) to analyze the policy performance of salt import in Indonesia; (2) to analyze some factors which influence the demand of salt import in Indonesia; and (3) to analyze the sensitivity on the demand of salt import in Indonesia from salt exporter countries perspective. Econometrics approachment is used to answer those purposes which have two trade models, there are panel data regression model and Almost Ideal Demand System (AIDS) model. The research result shows that the variables which influence significantly to demand volume of salt import in Indonesia, there are: domestic salt production, import salt price, gross domestic product (GDP) of Indonesia, real GDP of exporter countries, and real exchange value. There are only two variables which have a negative relation, between domestic salt production and import salt price with salt import demand in Indonesia. Based on elasticity calculation shows, it is knownthat Indonesia is too dependent specifically on imported salt from Australia and India. Beside that, salt which is originated from Australia and India are complement each other so that they will keep dominating salt import share in Indonesia. Those facts show that it is not needed to apply import tariff policy. The government should put more emphasis and focus on increasing domestic salt production. The policy implication that should be implemented by government are to do data synchronization, land intensification and extension effort. Keywords: AIDS, Import demand, Panel data regression, Salt
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS PERMINTAAN IMPOR GARAM INDONESIA
AHMAD SYARIFUL JAMIL
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Amzul Rifin, SP. MA Penguji Wakil Program Studi : Dr Ir Burhanuddin, MM
Judul Tesis : Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia Nama : Ahmad Syariful Jamil NIM : H351140476
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Netti Tinaprilla, MM Ketua
Dr Ir Suharno, MADev Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Tanggal Ujian: 28 Agustus 2015
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia ini dapat terselesaikan. Penyelesaian tesis ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaiakan terima kasih dan penghargaan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Netti Tinaprilla, MM dan Dr Ir Suharno, MADev selaku dosen pembimbing, Dr Amzul Rifin, SP MA dan Dr Ir Burhanuddin, MM selaku dosen penguji tesis, serta Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis. Selain itu, terima kasih juga penulis ucapkan kepada Program Studi Magister Sains Agribisnis IPB dan kepada pihak beasiswa yang telah membantu terkait pendanaan selama perkuliahan, yaitu Beasiswa Unggulan Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri (BU BPKLN), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak dan ibu yang telah bersabar dan senantiasa mendoakan penulis selama ini, khususnya selama proses penyelesaian tesis ini. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala dukungan dari teman-teman MSA 4 khususnya mahasiswa program sinergi (fast track) angkatan 2 selama menempuh pendidikan magister. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan pengembangan sektor pertanian khususnya industri pergaraman nasional.
Bogor, September 2015
Ahmad Syariful Jamil
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan dan Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Permintaan Impor Kajian Mengenai Model Almost Ideal Demand System (AIDS) 3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Data Panel Kerangka Pemikiran Operasional 4 METODE PENELITIAN Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Model Regresi Panel Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Impor Garam Analisis Data Menggunakan Almost Ideal Demand System 5 GAMBARAN UMUM IMPOR GARAM INDONESIA 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Kebijakan Impor Garam Indonesia Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Impor Garam Indonesia Tingkat Persaingan Impor Australia, India dan Selandia Baru Implikasi Kebijakan Impor Garam Indonesia 7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vi vi vi 1 1 5 5 6 6 7 10 10 18 23 24 24 25 25 26 30 33 36 36 40 46 52 54 54 54 55 60 69 57 66
DAFTAR TABEL 1 Perkembangan produksi garam nasional tahun 2007-2011 2 Perkembangan kebutuhan garam nasional (dalam ton) tahun 20082011 3 Perkembangan volume dan nilai impor garam Indonesia tahun 20052014 4 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian 5 Ukuran-ukuran elastisitas model Almost Ideal Demand System (AIDS) 6 Kebijakan mengenai penetapan harga garam rakyat di titik pengumpul 7 Model estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia 8 Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk Masing-Masing Peubah Bebas dalam Model FE 9 Hasil estimasi model faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia yang baru 10 Nilai VIF untuk masing-masing faktor independen dalam model Fixed Effect 11 Pengaruh spesifik individu model Fixed Effect terpilih 12 Hasil estimasi model tingkat persaingan diantara negara sumber impor utama 13 Pangsa impor dan elastisitas pengeluaran negara sumber impor 14 Hasil perhitungan elastisitas harga sendiri pada sumber impor garam Indonesia 15 Perbandingan harga garam dan pangsa impor garam India tahun 2010-2011 16 Hasil perhitungan elastisitas harga silang
2 3 3 25 32 38 41 42 43 44 44 47 48 50 51 52
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Keseimbangan konsumen Efek substitusi dan efek pendapatan terhadap perubahan harga Kerangka Pemikiran Operasional Perkembangan produksi garam Indonesia tahun 2000-2014 (ton) Perkembangan kebutuhan garam gomestik tahun 2000-2014 (Ton) Perkembangan volume impor terhadap ketersediaan domestik (persen) Perkembangan volume impor garam (HS2501) Indonesia berdasarkan asal impor tahun 2000-2013 (ton) Grafik perkembangan harga garam domestik (harga riil dan harga dasar) Tahun 2004-2014 (Rp/kg) Perkembangan garam nasional tahun 2000-2014 (ton) Perkembangan impor garam Indonesia yang berasal dari India dalam bulan (kg) tahun 2006-2007
11 13 24 33 34 35 36 39 40 49
DAFTAR LAMPIRAN 1 Estimasi regresi data panel 2 3 4 5
Uji asumsi klasik pada model FEM dengan transformasi Uji asumsi pada model terpilih Hasil sistem permintaan impor garam
61 63 65 66 68
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian sebagai sektor unggulan tidak dapat diragukan seberapa besar kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia. Beberapa kontribusinya dapat diamati dari penyerapan tenaga kerja, pemasok bahan baku industri, penyedia pangan dan kontribusinya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Peran sektor pertanian khsusnya pada pembentukan PDB nasional menunjukkan kontribusinya yang cenderung menurun. Aviliani (2009) menyatakan bahwa kontribusi sektor pertanian pada kisaran tahun 1998 mencapai 51.6 persen terhadap PDB nasional sedangkan industri pengolahan hanya mencapai 8.5 persen. Kondisi tersebut terjadi pada saat masa pemerintahan Orde Baru (Orba) yang ditunjang oleh berbagai kebijakan yang sangat mendukung peningkatan peran sektor pertanian seperti kebijakan swasembada, bimas, pembentukan koperasi dan lain-lain. Dominansi masa lalu sektor pertanian pada PDB cenderung menurun, kondisi tersebut terjadi sejak tahun 1995, bahkan pada era tahun 2000-an kontribusi sektor pertanian tidak lebih dari 15 dari total PDB Indonesia. Kondisi penurunan peran sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dikhawatirkan dapat menganggu ketahanan pangan yang sekaligus akan berimbas pada peningkatan pengangguran dan kemiskinan, kelaparan, penurunan produktivitas dan sebagainya. Hal ini diduga disebabkan faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi sektor pertanian. Pada sisi internal penurunannya disebabkan rendahnya insentif yang diterima oleh petani sehingga ada keengganan peningkatan produksi komoditi pertanian. Pada sisi eksternal sektor pertanian menghadapi ancaman yang berasal dari adanya gelombang globalisasi dan kekuatan pasar bebas. Beberapa ancaman diantaranya adalah semakin terbukanya pasar nasional yang menyebabkan peningkatan persaingan, semakin meningkatnya tuntutan kebijakan pertanian yang berlandaskan pada mekanisme pasar dan semakin berperannya selera konsumen (demand driven) dalam menentukan aktivitas di sektor pertanian. Permasalahan tersebut pada akhirnya akan menurunkan dayasaing yang tercermin pada penurunan output sektor pertanian. Dalam hal ini, garam sebagai salah satu komoditi strategis juga tidak luput dari imbas permasalahan yang mempengaruhi sektor pertanian secara umum. Bahkan Indonesia sebagai salah satu negara maritim yang memliki garis pantai terpanjang ke empat di dunia belum mampu berdaulat dalam komoditi garam. Kondisi geografis yang dimiliki Indonesia tersebut dinilai lebih dari cukup untuk dapat berdaulat atas komoditi garam. Namun kenyataannya, dari daftar 60 negara produsen garam terbesar di dunia, Indonesia hanya berada di urutan ke 301. Hal ini salah satunya disebabkan belum maksimalnya penggarapan potensi lahan tambak garam di Indonesia. Pada tahun 2011 lahan garam Indonesia mencapai 33.854,36 hektar, dengan pemanfaatan lahan hanya mencapai 24.130,93 hektar atau sekitar 71 persen dari total tersebut (Ihsanudin 2012). 1
http://www.merdeka.com/uang/haruskah-impor-garam-2-laut-membagi-adil-asinnya.html (diakses 31 Desember 2014)
2 Secara umum garam di Indonesia diproduksi oleh petani garam dan PT Garam. PT Garam merupakan satu-satunya badan usaha milik negara (BUMN) yang membidangi komoditi garam. Perusahaan yang hanya memiliki lahan produksi di Madura tersebut menguasai lahan garam sekitar 5 130 hektar dengan produksi pada tahun 2009 mencapai 319 000 ton atau sebesar 30 persen dari total produksi garam nasional (Ihsannudin, 2012). Sementara itu, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2011 petani garam memiliki lahan yang tersebar di beberapa wilayah seperti Nanggroe Aceh Darussalam (279 ha), Jawa Barat (3 700 ha), Jawa Tengah (6 148 ha), Jawa Timur (5 184 ha), Bali (114 ha), Nusa Tenggara Timur (221 ha), Nusa Tenggara Barat (2 290 ha), Sulawesi Tengah (18 ha) dan Sulawesi Selatan (1 513 ha). Dengan kata lain, total luas lahan yang dimiliki oleh petani mencapai 70 persen dari total luas lahan garam domestik. Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi garam nasional yang diproduksi dari luasan lahan tersebut selama lima tahun (2007-2011) mengalami fluktuasi. Hal ini salah satunya disebabkan masih sangat tergantungnya kegiatan produksi garam dengan kondisi alam seperti cuaca dan iklim, sehingga produksi garam domestik cenderung berfluktuatif. Kondisi tersebut disebabkan karena seluruh produksi garam di Indonesia berasal dari penguapan air laut di meja garam, sehingga sangat tergantung terhadap iklim dan cuaca. Oleh karena itu, adanya fenomena anomali iklim dimana cuaca dan iklim tidak dapat diprediksi akan sangat mempengaruhi produksi garam nasional. Kondisi tersebut terjadi pada tahun 2010, dimana produksi nasional hanya mencapai sekitar 30 600 ton. Tabel 1 Perkembangan produksi garam nasional tahun 2007-2011 Tahun 2007 2008 2009 2010 2011
Produksi Garam Nasional (Ton) 1 352 400 1 031 000 1 155 000 30 600 1 113 118
Sumber: Kementerian Perindustrian 2012
Adanya fluktuasi produksi garam domestik mengindikasikan Indonesia belum mampu mempertahankan tingkat produksinya. Bahkan menurut Sucofindo (2012) menyatakan bahwa dari total sekitar 240 juta ton garam yang diproduksi oleh berbagai negara di dunia, Indonesia hanya mampu memproduksi garam ratarata sebesar 1.2 juta ton per tahun. Dengan kata lain, proporsi produksi garam Indonesia terhadap total produksi garam dunia tidak mencapai 1 persen. Kondisi tersebut berkebalikan dengan Thailand yang hanya memiliki panjang pantai jauh lebih pendek daripada Indonesia mampu memproduksi garam rata-rata sebesar 3 juta ton per tahun. Hal ini kontradiktif dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara maritim dengan panjang pantai terpanjang di dunia. Produksi garam nasional tersebut umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan garam domestik. Secara umum kebutuhan garam domestik dibedakan menjadi garam yaitu garam yang diperuntukkan untuk konsumsi (kandungan NaCl > 94.7 persen) dan industri (kandungan NaCl > 97 persen). Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan kebutuhan garam di Indonesia mengalami peningkatan yang
3 terutama di sumbang oleh peningkatan garam industri Chlor Alkali Plant (CAP). Proporsi kebutuhan garam industri untuk industri CAP saja pada tahun 2011 mencapai 55 persen atau sebesar 1 600 000 ton garam dari total kebutuhan nasional. Industri tersebut membutuhkan garam dengan tingkat kemurnian yang sangat tinggi yaitu memiliki kandungan NaCl lebih besar dari 97 persen. Sementara produksi garam domestik hanya mampu memproduksi garam dengan kandungan NaCL 80-95 persen. Dengan kata lain, produksi domestik hanya mampu memenuhi kebutuhan garam konsumsi. Tabel 2 Perkembangan kebutuhan garam nasional (dalam ton) tahun 2008-2011 Jenis garam Garam konsumsi Rumah tangga Aneka pangan Pengasinan ikan Garam industri Industri CAP Industri non CAP Total
Tahun 2008
2009
2010
2011
687 000 154 920 299 000
700 000 160 150 300 000
720 000 165 800 315 000
750 000 250 000 100 000
1 320 000 198 000 2 658 920
1 560 000 200 000 2 920 150
1 575 000 202 750 2 978 550
1 600 000 200 000 2 900 000
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perindustrian 2012
Ketidakseimbangan antara kebutuhan garam dengan kapasitas produksi garam nasional mendorong pemerintah untuk melakukan impor garam. Produksi garam Indonesia seakan tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhan garam nasional, khususnya untuk garam industri yang hampir 100 persen kebutuhannya dipenuhi oleh garam impor. Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) selama tahun 2006-2011 total volume impor garam tercatat mengalami fluktuasi dengan kecenderungan semakin meningkat. Dimana berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada tahun 2011 impor garam Indonesia mengalami peningkatan menjadi 2.8 juta ton. Tabel 3 Perkembangan volume dan nilai impor garam Indonesia tahun 2005-2014 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014*
Volume Impor Garam (Ton) 1.552.749.628 1.661.487.589 1.657.548.411 1.701.417.709 2.083.342.568 2.835.870.797 2.223.005.755 1.922.929.710 1.883.617.405
Nilai Impor Garam (Ribu Dollar) 50.571.315 56.300.047 71.448.554 91.066.878 109.245.226 146.490.557 107.957.552 88.711.470 87.317.454
*
data bulan November dan Desember belum tersedia Sumber: Badan Pusat Statistik (2015)
Besarnya jumlah impor garam Indonesia tersebut mengindikasikan produksi garam domestik tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan
4 garam domestik. Namun apabila lebih dicermati, persoalan fenomena besarnya impor garam tidak hanya berkaitan dengan faktor penawaran dan permintaan semata. Hal tersebut dapat diamati dari berbagai data neraca garam nasional pada tahun 2011, dimana kebutuhan garam domestik pada tahun tersebut sebesar 1 800 000 ton untuk garam industri dan 1 100 000 ton untuk garam konsumsi. Produksi domestik yang mencapai 1 113 118 ton pada tahun tersebut seharusnya telah dapat memenuhi kebutuhan garam konsumsi, sehingga kebutuhan impor garam untuk memenuhi kebutuhan domestik hanya didasarkan pada kebutuhan garam industri. Namun, realisasi impor garam Indonesia pada tahun tersebut mencapai 2 835 870 ton, dimana besarnya volume tersebut menunjukkan adanya kelebihan (excess) impor sekitar 1 juta ton. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa faktor produksi garam domestik bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi besarnya volume impor garam Indonesia. Oleh karena itu, orientasi penggunaan dan faktor yang mempengaruhi impor garam masih perlu untuk dipertanyakan. Rumusan Masalah Fenomena besarnya impor garam Indonesia juga dipengaruhi dari sisi negara sumber impor. Hal ini disebabkan adanya dinamika hubungan tertentu diantara negara-negara sumber impor. Australia merupakan satu-satunya negara yang memiliki pangsa impor terbesar di pasar garam Indonesia, terutama sejak adanya kampanye Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) pada tahun 1980an (Imran 2006). Hal tersebut dibuktikan dengan data UN Comtrade (2015) yang menunjukkan bahwa pada tahun 1989 Australia telah memiliki pangsa impor garam ke Indonesia sebesar 99.6 persen. Namun, kondisi dominansi Australia terhadap pasar Indonesia mulai menghadapi persaingan dari produsen garam dunia lainnya. Hal ini disebabkan semakin terbukanya pasar Indonesia yang ditandai dengan ikut sertanya Indonesia dalam World Trade Organization (WTO). Masuknya Indonesia menjadi anggota WTO menyebabkan pangsa impor garam Australia di pasar Indonesia terus mengalami penurunan dan mulai terdapat beberapa negara lain seperti India dan Selandia Baru yang mulai merebut pangsa impor garam Australia. Pada tahun 2010, Australia mengalami penurunan pangsa impor hingga menjadi 76.9 persen, sementara pangsa India dan Selandia Baru masing-masing meningkat menjadi 21.8 persen dan 0.05 persen (UN Comtrade 2015). Bahkan pada tahun 2011 pangsa impor Australia turun menjadi 63 persen. Kondisi tersebut diduga disebabkan adanya penurunan tarif bea masuk garam impor tahun 2003 sebesar 5 persen. Untuk menanggapi penurunan pangsa impornya, Australia bersama Selandia Baru melakukan inisiasi pembentukan Free Trade Agreement (FTA) bersama dengan ASEAN yaitu ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement. Hasil dari dibentuknya FTA tersebut adalah dikeluarkanya Pearaturan Menteri Keuangan RI tahun 2013 dengan pokok tujuan adalah penurunan tarif bea masuk impor beberapa komoditas termasuk garam didalamnya sebesar 5 persen. Penurunan tarif bea masuk impor tersebut langsung berpengaruh terhadap pangsa ekspor baik dari Australia maupun Selandia Baru. Kondisi ini didasarkan pada data UN Comtrade yang menunjukkan pada tahun 2013 terjadi peningkatan pangsa ekspor Australia dan Selandia Baru masingmasing menjadi 82 persen dan 0.08 persen.
5 Kondisi tersebut menunjukkan bahwa seiring dengan semakin tumbuhnya pasar garam Indonesia terdapat kompetisi antara negara sumber impor dalam pasar impor garam Indonesia. Dimana persaingan tersebut didominasi hanya oleh 3 negara utama yaitu Australia, India dan Selandia baru dengan rata-rata total pangsa impor garam Indonesia mencapai 98 persen (UN Comtrade 2015). Selain itu, dinamika persaingan tersebut juga mencerminkan bahwa produsen dalam negeri akan menghadapi persaingan dari negara sumber impor lainnya dengan berbagai keunggulannya baik dalam hal harga mupun kualitas. Persaingan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan harga garam lokal turun serta adanya kecenderungan pengutamaan garam impor sebagai upaya pemenuhan kebutuhan garam domestik. Oleh karena itu, adanya kompetisi dalam memperebutkan pangsa impor garam di Indonesia antara negara sumber impor tersebut dapat menjadi sebuah isu penelitian (Solomon 2004). Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa dibalik kepraktisannya, kebijakan impor memiliki dampak jangka panjang yang dapat mengurangi kedaulatan Indonesia dalam bidang pangan khususnya garam. Selain itu, besarnya permintaan garam Indonesia tersebut pada akhirnya menyebabkan ketergantungan terhadap garam impor. Buruknya lagi, apabila ketergantungan tersebut bukan hanya pada besarnya volume garam impor tetapi lebih spesifik pada ketergantungan spesifik terhadap garam suatu negara sumber impor tertentu. Dengan kondisi tersebut, memunculkan sejumlah pertanyaan sebagai permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun pertanyaan penelitian tersebut antara lain: (1) Bagaimana keragaan kebijakan industri pergaraman di Indonesia?; (2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia?; (3) Bagaimana tingkat persaingan diantara negara sumber impor di pasar impor garam Indonesia? Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan peneltian ini adalah: 1 Menganalisis keragaan kebijakan industri pergaraman di Indonesia 2 Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia 3 Menganalisis tingkat persaingan diantara negara sumber impor garam utama Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dengan memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sisi permintaan impor garam Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah dalam menyususn kebijakan impor garam. Selain itu, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai preferensi impor garam yang dilakukan oleh Indonesia dengan pendekatan negara pengekspor sebagai pilihan impor. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini difokuskan pada tujuan untuk menganalisis permintaan impor garam Indonesia dengan mengembangkan model ekonometrika. Terdapat dua model yang dipilih dalam penelitian ini, yaitu regresi data panel dan Almost
6 Ideal Demand System (AIDS). Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak dibedakannya jenis garam yang diimpor oleh Indonesia dengan kode HS 2501. Keterbatasan tersebut didasarkan pada ketidakjelasan kode pos tarif/ HS untuk garam konsumsi dan garam konsumsi pada Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI N0.58/M-DAG/PER/9/2012. Selain itu, akibat adanya keterbatasan data mengenai kebijakan perdagangan negara sumber impor, sehingga yang dianalisis hanya kebijakan negara pengimpor yaitu Indonesia.
2 TINJAUAN PUSTAKA Permintaan Impor Penelitian mengenai analisis permintaan impor komoditi telah dilakukan oleh para peneliti yang dikhususkan untuk mempelajari pemintaan impor baik di negara maju maupun negara berkembang. Analisis permintaan tersebut umumnya menggunakan pendekatan multi-negara seperti yang dilakukan Bahmani-Oskooee (1998) untuk enam negara berkembang, Gafar (1998) untuk Trinidad and Tobago, Gafer untuk 3 negara Karibian atau lebih spesifik pada satu negara yaitu Malaysia (Mohammad and Tang 2000) dan Indonesia (Maraya 2013; Manik 2012; Hutabalian 2009 dan Ilham 1998). Penelitian mengenai permintaan impor juga relatif penting untuk diteliti mengingat fenomena semakin tingginya permintaan pangan sebagai dampak atas pertumbuhan populasi penduduk khususnya di negara berkembang dan berkurangnya suplai sebagai dampak perubahan iklim. Selain itu, hasil dari penelitian tersebut mengenai keragaan impor memberikan pedoman dan masukan bagi pemerintah untuk dapat menghasilkan kebijakan yang tepat, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kedaulatan pangan suatu negara. Selain beragam pada penggunaan dilihat dari sisi negara yang dianalisis, penelitian mengenai analisis permintaan impor juga beragam dalam bentuk model estimasi. Beberapa diantaranya dapat berupa model regresi linier berganda seperti yang dilakukan Hapsari (2007), model regresi data panel dengan penggunaan data panel (Maraya 2013 dan Manik 2012) model persamaan simultan (Tseuoa et al 2012) dan model almost ideal demand system (AIDS) (Wan et al, 2010; Boonsaeng et al 2010; Satyanarayana et al 1999; Andayani dan Tilley 1997; dan Wang et al 1998). Masing-masing model tersebut diestimasi menggunakan metode ordinary Least Square (OLS), Two Stage Least Squares (2SLS) atau dan Three Stage Least Squares (3SLS) dan untuk model AIDS diestimasi menggunakan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR). Namun menurut Chang et al (2005) terdapat beberapa kelemahan dengan penelitian sebelumnya khususnya model yang menggunakan model regresi standar menggunakan metode Ordinary Least Squares (OLS) untuk mengestimasi fungsi permintaan impor. Hal tersebut disoroti, disebabkan model regresi merupakan model umum yang paling sering digunakan untuk kasus faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor suatu komoditi khususnya di Indonesia. Selain itu, penelitian tersebut mengasumsikan bahwa terdapat hubungan keseimbangan antara volume impor dan variabel penjelas dalam model. Seperti
7 yang telah ditunjukkan oleh Granfer and Newbold (dalam Chang et al 2005) yang menyatakan bahwa asumsi stasioner belum terpenuhi sebagai hasil dari metode OLS sehingga cenderung menghasilkan regresi palsu dan inferensia statistik yang tidak reliabel. Sehingga untuk mengakomodasi kelemahan tersebut digunakan error correction model (ECM) seperti yang telah dilakukan oleh Mah (2000). Maksud dimasukkannya ECM untuk dapat menyesuaikan (adjustment) untuk melakukan koreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang (Juanda 2012). Berbagai model serta perkembangannya tersebut pada dasarnya digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor suatu negara. Pada umumnya para peneliti yang melakukan analisis impor menggunakan dua variabel utama (variabel bebas) yaitu harga impor dan pendapatan negara (Kalyoncu 2006; Chang 2005 danVegh 1941). Hal ini sejalan dengan pendapat Chani (2011) bahwa permintaan impor merupakan suatu fungsi dari aggregate income dan harga relatif. Sebagian besar studi tersebut menemukan hubungan yang negatif antara volume impor dengan harga impor dan positif dengan income. Selain itu, dampak dari pendapatan riil dan harga relatif dari permintaan impor telah dilakukan oleh Adler (1945). Dengan menggunakan data dari periode 1922 hingga 1937, studi tersebut telah menemukan hubungan positif dan signifikan dari pendapatan nasional sementara variabel harga tidak signifikan. Selain itu, beragam faktor-faktor secara umum dapat dilihat dari perspektif negara yang secara umum dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal yang mempengaruhi permintaan impor yaitu GDP riil (Manik 2012), jumlah dan luas produksi dalam negeri (Hutabalian 2009; Anggsari 2008) kebijakan perdagangan (Ilham 1998), harga komoditi domestik dan nilai tukar (Anggsari 2008), pendapatan per kapita (Surifanni 2004), jumlah poulasi (Purnamasari 2006), konsumsi domestik (Purnamasari 2006), cadangan devisa (Cahyono 2009). Sementara variabel eksternal berupa harga kooditi impor dan GDP negara pengekspor (Hutabalian 2009). Dari variabel-variabel penjelas tersebut hanya variabel jumlah produksi, harga impor, luas produksi dan kebijakan perdagangan (tarif dan kuota) yang memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan impor. Dengan kata lain apabila terjadi peningkatan misalnya pada kebijakan tarif maka volume impor akan berkurang, begitu juga sebaliknya. Sementara variabel-variabel lainnya menunjukkan hubungan yang positif. Kajian Mengenai Model Almost Ideal Demand System (AIDS) Model AIDS merupakan salah satu model yang ditujukan untuk mengestimasi fungsi permintaan. Model AIDS tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Deaton dan Muelbauer (1980). Model ini merupakan pengembangan model permintaan sebelumnya yaitu model Rotterdam dan model Translog. Salah satu kelebihannya adalah model ini memberikan kemampuan pendekatan orde pertama untuk sistem permintaan yang didasarkan pada proporsi (share) anggaran yang merupakan fungsi linier dari log total pendapatan. Hal tersebut mengakomodasi hambatan-hambatan dan teori permintaan seperti aditivitas, homogenitas dan simetri yang dapat diuji secara statistik. Oleh karena itu, model AIDS umum digunakan dalam pemodelan perilaku konsumen dengan pendekatan sistem atau simultan (Deaton, 1980). Menurut Kahar (2010)
8 berdasarkan model AIDS tersebut maka harga merupakan jembatan yang menghubungkan antara sisi permintaan dan penawaran. Menurut Deaton (1980) dalam Nugraha (2001) mengajukan beberapa karakteristik spesifik dari model AIDS sebagai berikut, (1) model AIDS merupakan pendekatan orde pertama terhadap sembarang fungsi sistem permintaan, (2) dapat memenuhi aksioma perilaku pemilihan komoditi dengan tepat, (3) dapat membuat agregasi dari konsumen tanpa menerapkan kurva engel yang linier dan sejajar, (4) mempunyai bentuk fungsi yang konsisten dengan data pengeluaran rumah tangga yang dimiliki, (5) mudah disetimasi (tidak perlu menggunakan pendugaan non linier), dan (6) dapat digunakan untuk menguji restriksi homogenitas dan simetri melalui hambatan linier terhadap parameter tetapnya. Pada dasarnya karakteristik-karakteristik tersebut juga terdapat pada model permintaan sebelumnya, namun masing-masing model tersebut tidak ada yang memuat secara keseluruhan karakteristik di atas secara keseluruhan. Berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh model tersebut menyebabkan model AIDS banyak digunakan dalam mengstimasi fungsi permintaan dan sekaligus banyak dilakukan modifikasi terhadap model dasarnya. Pada dasarnya model AIDS merupakan model non linier yang disebabkan oleh adanya penggunaan indeks harga P pada modelnya. Model AIDS nonlinier tersebut telah digunakan dalam penelitian Hermanto et al (1995), Rahutami (2005), Sari (2014), Aldila (2014). Namun juga terdapat beberapa pengembangan dari model AIDS yaitu melalui pendekatan nilai indeks P dengan mengeksploitasi hubungan kolinieritas antar harga melalui penggunaan Indeks Stone (log P*= ΣkWk log Pk) seperti yang telah dilakukan oleh Pratiwi (2002) Pusposari (2012), Hindawati (2014) dan Fujii et al (1985). Dalam perkembangannya model AIDS dapat dimodifikasi menjadi model invers atau kebalikan yang identik dengan model AIDS (Eales dan Unnevhr 1994; Grant and Foster 2005, Dedah et al 2007 dan Grant 2006) serta juga perngembangan model Quadratic Almost Ideal Demand System (QUADS) dimana model ini digunakan untuk menjaga sifat-sifat positif model AIDS dan memelihara kekonsistenan kurva Engel (ketidaklinieran kurva Engel) dan pengaruh harga relatif dengan menambahkan bentuk kuadrat dari log pendapatan ke dalam model AIDS (Virgantari 2012). Menurut Wan et al (2010) secara umum terdapat dua model AIDS yaitu model statis dan model dinamis. Model statis merupakan model yang menganalisis model preferensi keseimbangan jangka panjang yaitu dengan kata lain perilaku konsumen atau responden dianggap berada di dalam keseimbangan jangka panjang atau bersifat statis. Pada kenyataannya yang terjadi sebaliknya, dimana konsumen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang membentuk perilaku konsumen yang berbeda. Selain itu, model AIDS statis juga tidak dapat mengakomodasi dinamika yang terjadi dalam jangka pendek. Hal tersebut ditambahkan oleh Eakins (2003) yang menyatakan beberapa penelitian menunjukkan terdapat bukti bahwa untuk sebagian besar harga produk dan share pengeluaran mempunyai unit root sehingga memungkinkan parameter yang diestimasi palsu (spurious). Beberapa penelitian mengenai proporsi pengeluaran konsumen umumnya merupakan penerapan model AIDS secara statis. Hal ini juga dicirikan oleh data yang digunakan umumnya berupa data cross section. Oleh karena itu, muncul model AIDS dinamis yang didasarkan pada pengembangan model ekonometrika melalui teknik error correction yang diajukan oleh Engle
9 dan Grenger untuk mengakomodasi kelemahan tersebut (Wan et al 2010). Bebebrapa penelitian yang mengaplikasikan model AIDS secara dinamis seperti yang dilakukan oleh dengan penggunaan data time series yaitu Eakins (2003), Hassan (2007) melalui pendekatan multi stage, Zhou, Yu and Herfeld (2014). Dari beberapa penjelasan di atas mengenai model AIDS tersebut, model AIDS telah banyak digunakan sebagai alat analisis penelitian yang umumnya digunakan untuk mengestimasi parameter penelitian. Hal ini disebabkan kelebihan yang ditawarkan model tersebut, sehingga model tersebut secara umum dapat digunakan untuk menganalisis sistem permintaan baik mikro maupun makro (Henneberry 2007). Penerapan secara mikro salah satunya dapat mengakomodasi keputusan konsumen dalam menentukan seperangkat komoditi secara simultan (nugraha, 2001). Beberapa penelitian lainnya yang pernah dilakukan oleh Dey (2000), Nugraha (2001), Piumsonbun et al (2003), Kahar (2010), Jabarin (2011), Jiumpanyarach (2011) dan Virgantari (2012). Beberapa penelitian tersebut bertujuan untuk mengestimasi permintaan secara simultan dari berbagai jenis komoditi di tingkat konsumen. Selain itu, parameter yang telah diestimasi dapat digunakan untuk menganalisis elastisitas masing-masing komoditi yang diestimasi. Dimana model AIDS dapat menganalisis elastisitas pengeluaran, elastisitas sendiri dan elastisitas silang. Seperti hasil penelitian Jabarin (2011) yang menunjukkan elastisitas pengeluaran, untuk komoditas tomat, timun dan kentang adalah barang normal, sedangkan untuk elastisitas sendiri bersifat elastis atau responsif terhadap harga. Pada umumnya penelitian mengenai konsumsi dengan menggunakan model AIDS dapat menggunakan ketiga jenis data yaitu data cross section, time series dan panel. Penelitian yang menggunakan data cross section telah dilakukan oleh Ramdhiani (2008), Teklu and Johnson (1987) dan Wardani (2007). Penggunaan data time series digunakan telah dilakukan oleh Jung and Koo (2005), Rahutami (2005) dan Deaton dan Muelbauer (1980) yang melakukan estimasi 8 kelompok komoditi yaitu makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar, minuman dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran lainnya di British dengan data tahun 1954-1974. Sedangkan untuk data panel telah digunakan oleh Nurkhayani (2009) dan Yuliana (2008). Beberapa tujuan penggunaan model AIDS lainnya adalah dapat digunakan secara makro dimana umumnya digunakan untuk menganalisis perdagangan internasional. Penggunaan model AIDS untuk mengestimasi persaingan antar negara dalam suatu pasar merupakan bentuk pengembangan penggunaan model AIDS. Hal ini didasarkan pada tujuan awal penemuan model AIDS yaitu untuk mengestimasi permintaan secara agregat (Deaton dan Muellbauer, 1980). Secara khusus model AIDS tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi persaingan negara eksportir di pasar dunia (Riffin 2013; Chang & Nguyen, 2002 dan Aldila, 2014) serta mengestimasi kompetisi impor di suatu negara (Wan et al, 2010; Boonsaeng et al 2010; Satyanarayana et al 1999; Andayani dan Tilley 1997; Lee et al 2008; Wang et al 1998; Mutondo and Henneberry 2007; Carew et al 2004 and Isin and Miran 2009). Pada umumnya peneltian dengan tujuan menganalisis kompetisi impor atau ekspor suatu negara menggunakan variabel dependen adalah pangsa ekspor atau pangsa impor suatu negara ke dunia atau ke suatu negara tujuan. Sedangkan variabel independennya umumnya berupa harga asal negara, nilai total dunia dan tetap mengakomodasi indeks harga geometrik Stone. Selain
10 itu beberapa penelitian menggunakan variabel independen kebijakan yang di aproksimasi menggunakan dummy (Wan et al; Sari 2014 dan Rosiana 2014). Dimana hasil dari estimasi parameter variabel tersebut dapat digunakan untuk menghitung beberapa elastisitas seperti elastisitas pengeluaran, sendiri dan silang. Sama halnya pada kasus penggunaannya untuk mengestimasi permintaan konsumen, untuk tujuan perdagangan dapat juga digunakan perbedaan model statis dan dinamis.
3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Permintaan Teori permintaan merupakan teori yang menerangkan karakteristik dari permintaan konsumen terhadap suatu komoditas yang sekaligus mencerminkan hubungannya terhadap harganya. Lipsey et al (1995) mendefinisikan permintaan sebagai jumlah komoditi yang diminta oleh konsumen pada harga tertentu. Pada dasarnya permintaan menunjukkan hubungan multivariate yaitu hubungan antara beberapa variabel (harga komoditas, pendapatan, selera, populasi, harga komoditas terkait dan faktor-faktor lainnya) yang mempengaruhi satu variabel (jumlah yang diminta). Hubungan tersebut secara fungsional disebut sebagai fungsi permintaan yang dinyatakan sebagai berikut: Qx = f ( Px, I, S, Pop, Py, U) Keterangan: Qx = jumlah komoditas X yang diminta I = tingkat pendapatan Px = harga komoditas X S = selera Pop = populasi Py = harga komoditas terkait (substitusi atau komplemen) U = faktor lainnya Pengaruh dari variabel-variabel terhadap jumlah yang diminta dapat ditelaah satu per satu, dengan menganggap variabel lannya tetap atau cateris paribus. Salah satu hubungan unik ditunjukkan oleh hubungan antara harga komoditi terhadap jumlah yang diminta yang disebut sebagai hukum permintaan. Hukum permintaan tersebut menunjukkan hubungan negatif yaitu jika suatu harga komoditi semakin rendah maka jumlah yang diminta akan semakin besar, sebaliknya adanya peningkatan harga maka akan menurunkan jumlah yang diminta oleh konsumen. Hubungan antara jumlah yang diminta sebagai respon terhadap perubahan harga dapat dinyatakan sebagai kurva permintaan yang memiliki kemiringan (slope) negatif. Kurva permintaan yang dibangun tersebut dapat memiliki respon yang berbeda terhadap variabel penjelas. Respon tersebut dapat berupa pergerakan sepanjang kurva atau pergeseran kurva. Pergerakan titik
11 sepanjang kurva hanya terjadi akibat perubahan harga, sedangkan pergeseran kurva terjadi akibat adanya perubahan variabel lain selain harga komoditi itu sendiri. Teori Utilitas Pada dasarnya permintaan timbul karena konsumen memerlukan manfaat dari komoditi yang dibeli. Manfaat tersebut secara ekonomi disebut sebagai utilitas (utility). Dengan kata lain, permintaan suatu komoditas merupakan penurunan dari utilitas yang diberikan oleh komoditi tersebut yang secara grafis ditunjukkan oleh kurva indiferen. Kurva indiferen merupakan kurva yang menghubungkan keseimbangan konsumsi dua jenis barang yang mempunyai tingkat kepuasan yang sama. Kurva indiferen menggambarkan tingkat kepuasan yang sama sepanjang kurva tersebut, menyebabkan kurva indiferen tidak dapat saling berpotongan satu sama lain. Selain itu, semakin jauh dari titik nol mencerminkan utilitas konsumen tersebut semakin tinggi. Konsumen memiliki keinginan untuk memaksimumkan utilitasnya namun dengan cara yang rasional. Rasionalitas konsumen dicerminkan dengan batasan anggaran (garis anggaran) yang dimiliki oleh masing-masing konsumen. Seacara grafis kedua konsep tersebut ditunjukkan sebagai berikut: Garis anggaran
Komoditi Y
Keseimbangan Konsumen
e
Kurvaa indiferen
A
0
0
Komoditi X
Gambar 1 Keseimbangan konsumen Sumber: Varian 2010
Gambar 1 menunjukkan dua jenis kurva yaitu kurva indiferen dan garis anggaran dimana keduanya memiliki slope yang negatif. Kurva indiferen menunjukkan kombinasi dari komoditi X dan Y yang menghasilkan kepuasan yang sama bagi konsumen. Dengan kata lain, masing-masing kurva indiferen di atas merupakan tingkat kepuasan konsumen, dimana semakin jauh dari titik asal maka konsumen tersebut memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Sedangkan kendala yang dihadapi oleh konsumen ditunjukkan oleh garis anggaran. Seorang konsumen berada dalam keseimbangan atau mencapai utilitas maksimum apabila kurva indiferen bersinggungan dengan garis anggaran (pada titik A).
12 Permintaan Marshallian dan Hicksian Secara umum teori ekonomi menyatakan bahwa permintaan konsumen dibedakan menjadi dua jenis yaitu permintaan marshallian dan Hicksian. Permintaan Hicksian atau disebut juga sebagai compensated demand merupakan permitaan yang hanya mengakomodasi efek substitusi akibat dari perubahan harga. Permintaan Marshallian atau uncompensated demand merupakan permintaan yang mengakomodasi efek substitusi dan efek pendapatan akibat perubahan harga. Kedua konsep permintaan tersebut dapat dijelaskan oleh dua mekanisme sebagai berikut: 1. Mekanisme perubahan harga terhadap kurva indiferen dan garis anggaran Menurut Varian (2010) pengaruh perubahan harga terhadap keseimbangan kepuasan konsumen secara konseptual dapat dianalisis dengan memisahkan efek pendapatan dan substitusi. Pengaruh perubahan harga terhadap jumlah yang diminta secara grafis digambarkan pada gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa konsumen berada dalam titik keseimbangan (titik A), dimana kurva indiferen bersinggungan dengan garis anggaran. Apabila terdapat penurunan harga x, maka hal tersebut membuat daya beli meningkat dan sekaligus menyebabkan garis anggaran bergerser serta menghasilkan keseimbangan konsumen baru yaitu pada titik B. Kondisi perubahan keseimbangan tersebut merupakan efek total yang terjadi akibat perubahan harga. Pengaruh total tersebut dapat dipecah menjadi dua efek yaitu dari A ke C merupakan efek substitusi dan dari C ke B merupakan efek pendapatan. 2. Teori dualitas Konsumen akan memaksimumkan utilitasnya dari suatu komoditi yang dikonsumsi secara rasional dengan memperhatikan kendala yang dihadapi yaitu anggarannya. Kondisi tersebut dapat dianalisis dengan dua pendekatan yaitu dengan memaksimumkan utilitas terhadap kendala anggaran dan meminimumkan anggaran dengan kendala utilitas yang ingin dicapai oleh konsumen. Fungsi permintaan yang diturunkan dengan memaksimumkan fungsi utilitas disebut sebagai fungsi permintaan Marshallian yang merupakan fungsi dari harga barang dan pendapatan. Sebaliknya fungsi permintaan lain yang diturunkan dari proses minimisasi fungsi anggaran dengan kendala tingjat kepuasan tertentu disebut sebagai fungsi permintaan Hicksian. Fungsi permintaan hicksian merupakan fungsi dari harga barang dan utilitas.
13 Garis anggaran
Komoditi Y
Kurvaa indiferen
A
B C
0
Komoditi X
Gambar 2 Efek substitusi dan efek pendapatan terhadap perubahan harga Sumber: Varian 2010
Perdagangan Internasional Perdagangan internasional diartikan sebagai transaksi dagang antara subjek ekonomi negara yang satu dengan subjek negara yang lain. Subjek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang terdiri dari warga negara, perusahaan swasta dan perusahaan negara ataupun pemerintah yang dapat digambarkan dari neraca perdagangan. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian suatu negara (Salvatore 1998). Hal ini disebabkan dengan adanya perdagangan internasional, perekonomian akan meningkat dan tercipta hubungan atau kerjasama yang saling menguntungkan diantara negara yang melakukan perdagangan. Pada hakikatnya perdagangan internasional merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara. Pada umumnya suatu negara melakukan perdagangan didasarkan pada beberapa alasan seperti hasrat ingin menguasai, kebijakan pemerintah dan perbedaan sumberdaya yang dimiliki. Faktor yang pertama adalah hasrat ingin mengusai tersebut diartikan sebagai keinginan suatu negara untuk menciptakan negaranya menjadi negara yang kuat tanpa menghiraukan mitra dagangnya. Konsep ini merupakan konsep perdagangan perdagangan pra klasik yang disebut sebagai teori merkantilisme. Pembentukan negara yang kuat diperoleh ketika suatu negara memiliki surplus neraca perdagangan. Oleh karena itu, kegiatan ekspor-impor diletakkan sebagai lokomotif utama yang dipacu oleh suatu negara. Dimana keuntungan negara yang kuat dapat secara langsung merugikan negara lain (zero sum game). Selain itu, cara untuk mendapatkan keunggulan tersebut umumnya melalui penjajahan. Secara umum dalam sektor perdagangan luar negeri, kebijakan merkantilis berpusat pada dua ide pokok (Salvatore 1998), yaitu: Pemupukan logam mulia. Logam mulia dianggap identik dengan kemakmuran. Pemilikan logam mulia berarti kemakmuran dan juga kekuasaan.
14 Merkantilisme juga menganjurkan akumulasi emas, karena emas dianggap sebagai kekayaan negara yang sebenarnya. Pada tingkat analisa yang lebih canggih, ada alsan-alasan yang lebih rasional. Dengan emas, raja dapat melengkapi serdaduserdadu, membeli persediaan-persediaan dan mempertahankan angkatan laut yang diperlukan untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dan memperoleh kolonikoloni. Lebih banyak emas berarti lebih banyak mata uang emas dalam sirkulasi dan lebih besar aktivitas perekonomian. Untuk mengakumulasikan emas, negara harus mendorong ekspornya dan membatasi/melarang impor, dengan demikian merangsang produksi nasional dan memperluas lapangan kerja. Mempertahankan kelebihan nilai ekspor atas nilai impor. Bagi negaranegara yang tidak memiliki tambang-tambang logam mulia sendiri, sumber logam mulia adalah kelebihan nilai ekspor atas nilai impor. Karena itu suatu negara wajib berusaha untuk memperoleh suatu neraca perdagangan yang menguntungkan (favourable balance of trade). Untuk memperoleh neraca perdagangan yang menguntungkan, ekspor harus didorong, sedangkan impor harus dibatasi. Ekspor logam mulia harus dilarang, karena tujuan utama perdagangan luar negeri ini adalah untuk memperoleh tambahan logam mulia. Faktor kedua menurut Markussen (1995) adalah kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah dapat mendorong atau bahkan dapat menghambat perdagangan internasional. Salah satu instrumen yang umumnya digunakan oleh pemerintah adalah kebijakan hambatan perdagangan yang dapat secara langsung dapat menghambat perdagangan internasional. Kebijakan pajak dan subsidi yang diterapkan oleh pemerintah kepada komoditas atau produk ekspor dapat mendorong adanya perdagangan internasional khususnya ekspor. Kebijakan pajak konsumsi yang dikenakan ke konsumen dapat menyebabkan berkurangnya konsumsi domestik yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan ekspor. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang diterapkan tersebut dapat menimbulkan efek distorsi pada kesejahteraan masyarakat yang akhirnya akan menyebabkan berkurangnya kesejahteraan masyarakat. Faktor yang terakhir adalah adanya perbedaan dalam sumberdaya baik berupa sumberdaya manusia, alam maupun teknologi. Perbedaan sumberdaya dapat mendorong perdagangan yang dijelaskan oleh konsep keunggulan absolut, komparatif dan disempurnakan oleh teori Heckscher-Ohlin. Dimana konsepkonsep tersebut didasarkan pada konsep dasar keunggulan absolut yang dikembangkan oleh Adam Smith. Adam Smith mengemukakan bahwa suatu negara memiliki keunggulan dalam memproduksi suatu produk apabila memiliki keunggulan dalam hal sumberdaya (input) dibandingkan dengan negara lain dan negara tersebut melakukan spesialisasi atas produk tersebut. Namun teori ini digantikan akibat adanya asumsi yang menyatakan bahwa suatu negara hanya akan unggul akibat adanya faktor input pada negara tersebut. Maka muncullah konsep keunggulan komparatif yang dikembangkan oleh David Ricardo yang menyatakan bahwa suatu negara dapat melakukan perdagangan internasional meskipun negara tersebut tidak memiliki keunggulan absolut untuk memproduksi produk tersebut. Dalam hal ini, suatu negara akan mengekspor komoditas atau produk yang memiliki keunggulan komparatif terbesar dan mengimpor produk yang memiliki kerugian komparatif terkecil dibandingkan dengan negara lain. Selanjutnya teori mengenai perdagangan internasional disempurnakan oleh Heckscer-Ohlin yang umumnya disebut sebagai teori H-O. Dalam teori H-O
15 perbedaan sumberdaya tersebut diasumsikan sebagai perbedaan faktor endowment yang dimiliki oleh suatu negara. Menurut Onkvisit (2007) faktor endowment adalah keunggulan dari faktor produksi yang dimiliki suatu negara adalah pemberian alam. Perdagangan menurut teori ini menekankan pada perbedaan faktor endowment antar negara, dimana perbedaan tersebut akan mencerminkan perbedaan biaya komparatif memproduksi suatu produk dan menjadi keunggulan komparatif suatu negara. Perbedaan kelimpahan tersebut secara umum dikelompokkan menjadi 2 yaitu antara modal dan tenaga kerja yang dimiliki suatu negara. Suatu negara yang memiliki perbedaan kelimpahan faktor endowment akan mempunyai keunggulan relatif atau komparatif pada produk yang diproduksi menggunakan input yang melimpah tersebut. Negara tersebut akan mengekspor komoditi yang dalam produksinya memerlukan penggunaan intensif dari faktor produksi yang relatif berlimpah dan murah di negara tersebut dan mengimpor komoditi dimana proses produksinya memerlukan penggunaan faktor produksi yang relatif langka dan mahal di negara tersebut. Diharapkan negara-negara tersebut dapat melakukan spesialisasi yang didasarkan pada keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing negara. Permintaan Impor Kegiatan impor merupakan kegiatan pembelian sekaligus pemasukan produk yang dilakukan umumnya oleh sebuah pihak (importir dalam negeri) dari luar negeri ke dalam suatu negara. Pada dasarnya alasan utama dilakukannya impor oleh suatu negara akibat adanya kesenjangan antara kebutuhan dan produksi dalam negeri akan produk tertentu. Dimana cenderung produksi dalam negeri tidak mampu memasok kebutuhan dalam negeri. Namun seiring dengan semakin terintegrasinya pasar suatu negara telah memicu perkembangan latar belakang impor dipilih sebagai alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Beberapa diantaranya adalah harga impor yang lebih kompetitif, kualitas lebih baik hingga peraturan yang mengikat sebagai konsekuensi suatu negara bergabung membentuk suatu integrasi ekonomi. Berbagai alasan tersebut dapat dipastikan bahwa permintaan impor suatu komoditi pada negara tertentu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi impor komoditi oleh suatu negara antara lain harga internasional, harga domestik, jumlah permintaan domestik, harga komoditi substitusi, serta Produk Domestik Bruto negara tersebut. Selain itu, secara tidak langsung impor ditentukan pula oleh perubahan laju nilai tukar uang (exchange rate) mata uang suatu negara terhadap negara lain. Permintaan impor suatu negara merupakan selisih konsumsi domestik dikurangi produksi domestik dan dikurangi stok pada akhir tahun lalu. Secara matematik, fungsi permintaan impor dapat digambarkan sebagai berikut (Purwanti dalam Purnamasari, 2006): Mt = f(Ct , Qt, St-1) Dimana: Mt : jumlah impor pada tahun ke-t Ct : jumlah konsumsi domestik pada tahun ke-t Qt : jumlah produksi domestik pada tahun ke-t St-1 : sisa stok pada tahun ke-t
16 Selain faktor-faktor domestik di atas, fungsi impor suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar negeri, yaitu nilai tukar atau exchange rate (ERt) dan harga impor (Pigt). Dengan demikian, secara teoritis fungsi impor Komoditas pertanian suatu negara dapat ditulis: Mt = f (Qt, Ct, St-1, ERt, Pigt) Produk Domestik Bruto (PDB) Mankiw (2007) menyatakan bahwa produk domestik bruto dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian suatu negara. Kinerja perekonomian tersebut umumnya dapat dilihat melalui dua pendekatan yaitu pada satu sisi dilihat sebagai pendapatan total dari setiap orang di dalam perekonomian dan sisi lainnya dipandang sebagai pengeluaran total atas output barang dan jasa perekonomian. Dimana jumlah keduanya benar-benar sama untuk perekonomian secara keseluruhan. Pracoyo (2005) menambahkan bahwa pada prinsipnya PDB merupakan nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi, atau jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi dalam kurun waktu tertentu di suatu wilayah (negara). Para ahli ekonomi membagi PDB menjadi tiga yaitu (Mankiw 2007): 1. PDB Nominal PDB nominal merupakan PDB yang diukur berdasarkan harga berlaku yang menggambarkan nilai barang dan jasa akhir yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Ukuran PDB nominal tidak secara akurat mencerminkan sejauh mana perekonomian dapat memuaskan permintaan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Hal ini diakibatkan ukuran ini tidak memeasukkan adanya inflasi yang terjadi (peningkatan harga). 2. PDB Riil PDB riil dapat dikatakan sebagai ukuran ekonomi yang lebih baik untuk menghitung output barang dan jasa perekonomian dibandingkan dengan PDB nominal. Hal ini disebabkan, ukuran ini telah mengakomodasi kelemahan akibat perubahan harga. Dengan kata lain, PDB riil diukur dengan menggunakan data konstan. 3. PDB Deflator PDB deflator disebut juga sebagai deflator harga implisit untuk PDB yang didefinisikan sebagai rasio antara PDB nominal terhadap PDB riil. PDB deflator mencerminkan apa yang sedang terjadi pada seluruh tingkat harga dalam perekonomian. Secara umum PDB yang merupakan gambaran pendapatan total dari setiap orang dalam perekonomian akan secara langsung mempengaruhi permintaan impor suatu produk, dimana PDB mempengaruhi secara positif. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa dengan adanya peningkatan pendapatan pada setiap individu dalam perekonomian, maka individu tersebut mendapatkan kesempatan untuk membeli lebih banyak keperluannya melalui impor (cateris paribus), sebaliknya maka akan menurunkan permintaan impor.
17 Nilai Tukar Menurut Mankiw (2006) kurs (exchange rate) antara dua negara merupakan tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Lipsey (1995) menambahkan bahwa kurs merupakan harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam bentuk mata uang lain yang dapat dibeli dan dijual. Selain itu, secara lebih sederhana kurs merupakan sebagai jumlah uang domestik yang dibutuhkan untuk ditukarkan dengan satu unit mata uang asing. Berdasarkan jenisnya kurs dibedakan menjadi dua yaitu kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal merupakan harga relatif dari mata uang dua negara. Sedangkan kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Oleh karena itu, kurs merupakan faktor penentu yang mempengaruhi perdagangan internasional. Dengan kata lain, kurs akan mempengaruhi kebijakan perdagangan antara negara-negara yang melakukan perdagangan internasional. Nilai kurs secara langsung (positif) mempengaruhi besarnya volume perdagangan khsusnya impor. Apabila kurs tinggi maka harga barang/ jasa dalam negeri seolah-olah relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga produk impor, sehingga masyarakat domestik memiliki keinginan untu mengkonsumsi barang impor. Sebaliknya apabila kurs rendah maka barang-barang impor luar negeri seolah-olah relatif lebih mahal dibandingkan dengan barang/jasa dalam negeri, sehingga masyarakat domestik lebih memilih untuk mengkonsumsi produk/ jasa dalam negeri. Produksi Domestik Produksi merupakan aktivitas ekonomi yang mengkobinasikan beberapa input untuk menghasilkan suatu produk atau jasa yang bernilai dimata konsumen. Pada dasarnya produksi suatu komoditi dalam suatu negara diduga dapat mempengaruhi permintaan impor produk tersebut. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa umumnya suatu negara mengimpor komoditi akibat adanya excess demand, dimana kelebihan permintaan tersebut akibat adanya kesenjangan antara kebutuhan yang lebih besar dibandingkan dengan produksi dalam negeri. Oleh karena itu, dapat disumpulkan bahwa faktor produksi memiliki hubungan yang negatif terhadap permintaan impor suatu produk. Dengan kata lain, adanya peningkatan produksi domestik akan menyebabkan penurunan permintaan impor produk tersebut dan juga sebaliknya. Harga Domestik dan Harga Impor Secara umum definisi tentang harga merupakan jumlah uang yang dibayarkan oleh konsumen untuk memperoleh suatu produk atau jasa. Harga secara teoritis ditentukan akibat adanya keseimbangan antara kurva permintaan dan penawaran. Selain itu, harga memiliki hubungan negatif antara harga dengan permintaan suatu barang. Namun dalam menganalisis perdagangan internasional harga dibedakan menjadi dua yaitu harga domestik dan harga internasional. Harga domestik merupakan harga dari suatu produk/ jasa yang diproduksi di dalam negeri, sebaliknya harga impor adalah harga produk yang ditetapkan dalam pasar internasional yang diterima oleh negara importir.
18 Harga impor bersama dengan harga domestik merupakan salah satu komponen faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi impor pada suatu negara. Perubahan harga impor akan berdampak pada permintaan produk impor suatu negara. Hal ini karena keterkaitan produk yang akan diperdagangkan atau diimpor suatu negara. Dalam menganalisis perdagangan internasional khsusunya permintaan impor bukan hanya besarnya salah satu harga yang mempengaruhi permintaan impor, tetapi juga perlu diperhatikan mengenai hubungan antara harga domestik dan harga impor. Apabila harga impor lebih rendah dibandingkan dengan harga domestik maka permintaan impor akan semakin tinggi (positif). Sebaliknya tingginya harga impor akan secara langsung mengurangi permintaan impor suatu produk. Pembentukan Harga Dunia Harga terbentuk karena adanya perpotongan antara kurva penawaranpermintaan antara kedua negara yang terlibat dalam perdagangan, sehingga harga relatif menggambarkan kuantitas impor yang diinginkan sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan. Oleh sebab itu, harga komoditi yang diperdagangkan di dunia (secara internasional) juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi permintaan impor, penawaran ekspor, atau karena pengaruh kedua-duanya secara bersama-sama. Selain itu, harga komoditi di pasar dunia juga dipengaruhi oleh harga tahun sebelumnya. Persamaan harga komoditi di pasar internasional (dunia) dapat ditulis sebagai berikut: PWt = f(XWt, MWt, PWt-1) Dimana: PWt=Harga komoditi tertentu di pasar dunia pada tahun ke t XWt,=Jumlah ekspor negara pengekspor komoditi tertentu tahun ke t MWt = Jumlah impor negara pengekspor komoditi tertentu tahun ke t PWt-1= Harga komoditi tertentu di pasar dunia pada tahun ke t-1 Data Panel Data panel merupakan data sebagai hasil dari penggabungan data deret waktu (time series) dan data kerat lintang (cross section) atau sebagai studi terhadap suatu unit objek/ individu.yang sama dari waktu ke waktu. Penggunaan data panel umumnya dilakukan untuk mengakomodasi kekurangan atau keterbatasan dari kedua data tersebut apabila digunakan secara terpisah. Penggunaan data cross section saja yang diamati pada satu titik waktu tidak dapat menangkap suatu perkembangan misalnya ekonomi suatu wilayah. Sebaliknya, apabila hanya menggunakan data time series mempunyai kelemahan tersendiri bahwa peubah-peubah yang diobservasi secara agregat dari satu unit individu tertentu tersebut yaitu menimbulkan bias (Firdaus 2011). Oleh karena itu, dengan menggunakan data panel akan diperoleh hasil estimasi yang lebih baik. Menurut Baltagi dalam Gujarati (2013) terdapat beberapa keuntungan dari penggunaan data panel: 1. Mampu mengatasi heterogenitas suatu seubjek 2. Mampu memberikan lebih banyak informasi, sedikit kolinieritas antarvariabel, lebih banyak degree of freedom dan lebih efisien. 3. Dapat digunakan untuk mempelajari dinamika perubahan
19 4. Data panel paling baik untuk mendeteksi dan mengukur dampak yang secara sederhana tidak bisa dilihat pada data cross section murni atau time series murni. 5. Data panel memudahkan untuk mempelajari model perilaku yang rumit 6. Mampu meminimumkan bias akibat keterbatasan atau kurangnya data. Sama halnya dengan data cross section atau time series, data panel juga dapat menggunakan pendekatan regresi dengan yang disebut model regresi data panel. Dalam melakukan analisis regresi menggunakan data panel terdapat tiga kemungkinan model yang akan terbentuk: Model OLS pooled, model fixed effects (FEM), dan model random effect (REM). Namun sebelum membahas mengenai beberapa model tersebut perlu untuk memahami model umum regresi panel. Model umum regresi data panel adalah sebagai berikut (Juanda 2012): Yit = α + βXit + µit................................................(1) Dimana: i = 1, 2,. . ., N menunjukkan data cross section (dimensi subjek) t = 1, 2, . . ., N menunjukkan dimensi waktu α =koefisien intersep yang merupakan skalar β =koefisien slope dengan dimensi K x 1, dimana K adalah banyaknya peubah bebas Yit =Peubah tak bebas untuk unit individu ke-i dan unit waktu ke-t Xit: =Peubah bebas untuk unit individu ke-i dan unit waktu ke-t Umumnya dalam mengaplikasikan data panel digunakan komponen sisaan satu arah (one way error component model) untuk ganguan (disturbance) dengan µit = µi + ʋit .....................................................(2) dimana µi menunjukkan efek spesifik individu yang tidak terobservasi (unobservable) dan ʋit menunjukkan faktor gangguan (disturbance) sisanya. Model Koefisien Konstan (Pooled Least Square/PLS) Model ini merupkan model regresi data panel yang paling sederhana. Dimana dalam analisis ini data time series dan cross section digabungkan menjadi suatu kesatuan pengamatan dan mengestimasi model tersebut dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Hal ini menjadikan model tersebut mengasumsikan setiap unit individu (unit cross section) memiliki intersep dan slope yang sama. Namun menurut Gujarati (2012) dengan menggabungkannya maka kita mengasumsikan bahwa model tersebut telah menutupi heterogenitas (individualitas atau keunikan) yang bisa terjadi diantara individu atau waktu. Sebagai konsekuensinya, cukup besar kemungkinan bahwa error term berkorelasi dengan beberapa variabel independen dalam model. Sehingga hal tersebut akan melanggar asumsi model regresi klasik bahwa tidak boleh terjadi korelasi antara variabel independen dengan galat atau error term. Dengan kata lain, model ini mengasumsikan subjek atau individu memiliki perilaku yang sama dalam berbagai kurun waktu. Dan hingga saat ini belum didapatkan model koefisien konstan yang secara tepat mengakomodasi heterogenitas dari unit observasi.
20
Fixed Effect Model (FEM) Keunikan atau heterogenitas antarsubjek baru dapat diakomodasi pada model Fixed Effect. Hal ini sejalan dengan Gujarati (2013) dan Juanda (2012) yang menyatakan bahwa heterogenitas antar subjek tersebut dicerminkan dari nilai intersep yang unik dari masing-masing subjek. Dimana dalam membedakan masing-masing intersep tersebut digunakan peubah dummy, sehingga model ini juga dikenal sebagai model Least Square Dummy Variable (LSDV). Oleh karena dalam model ini menggunakan variabel dummy sebanyak unit cross section dikurangi satu (n-1) maka hal ini menyebabkan berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom) sehingga akan mengurangi efisiensi parameter. Bentuk Model Fixed Effect sebagai berikut: Yit = β0i + β1X1it+ β2X2it + µit...........................(3) i = 1,2 ,3,....,N (sebanyak jumlah unit cross section) t = 1, 2, 3,..., N (sebanyak jumlah unit time series) Random Effect Model (REM) Model Random Effect muncul salah satunya disebabkan oleh tanggapan dari Kemnta dalam (Gujarati 2013) yang menyatakan bahwa penggunaan variabel dummy dan konsekuensinya dengan berkurangnya degree of freedom benar-benar memiliki dampak yang berarti salah satunya adalah menurunnya tingkat efisiensi dari parameter yang akan diestimasi. Sehingga hal tersebut memunculkan suatu saran untuk mewakili keterbatasan pengetahuan bukan dengan dummy tetapi dengan menyatakannya dalam bentuk galat. Dimana Juanda (2012) menyatakan bahwa β0i pada persamaan (3) tidak lagi dianggap konstan, namun dianggap sebagai peubah random dengan suatu nilai rata-rata dari β1 (tanpa subscript i). Nilai masing-masing individu dapat dinyatakan sebagai: β0i = β0 + ℮i ..................................................(4) dimana ℮i adalah sisaan acak (error term) dengan rata = 0 dan ragam = 𝜎2. Dengan mensubtitusikan persamaan (4) ke persamaan (3) maka menjadi: Yit = β0 + β1X1it+ β2X2it + ℮it + µit...........................................(5) = β0 + β1X1it+ β2X2it + wit Dimana wit = ℮it + µit ..................................................(6) error gabungan wit terdiri atas dua komponen: ℮it yaitu komponen error yang cross section atau spesifik individu dan µit yaitu komponen error gabungan antara time series dan cross section. Model Almost Ideal Demand System Model AIDS merupakan model yang diperkenalkan oleh Deaton dan Muellbauer pada tahun 1980. Deaton (1980) menyatakan bahwa AIDS merupakan suatu pengembangan dari kurva Engel dan persamaan Marshall yang diturunkan dari teori maksimisasi utilitas. Dimana model ini menyatakan hubungan antara
21 pendapatan (yang didekati dari pengeluaran) dengan tingkat konsumsi, dengan fungsi awal sebagai berikut: Wi = αi + βi log x ..................................................(1) Selain itu, Model ini merupakan pendekatan orde pertama dari suatu fungsi permintaan dengan titik awalnya adalah sebuah kelas preferensi individu yang spesifik. Dimana dimungkinkan pengagregasian yang tepat dari konsumen, sebagai gambaran dari permintaan pasar yang merupakan hasil pengambilan keputusan konsumen secara rasional. Kelas preferensi tersebut dikenal sebagai PIGLOG Class yang ditunjukan melalui fungsi biaya atau pengeluaran, yang menentukan pengeluaran minimum yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat utilitas khusus pada tingkat harga tertentu. Dengan kata lain, model tersebut didasarkan pada fungsi biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam memaksimumkan utilitasnya pada tingkat harga tertentu. Kita dapat menotasikan fungsi tersebut c(u,p) untuk u adalah utilitas dan p adalah vektor harga, dan mendefinisikan PIGLOG Class sebagai berikut: Log c (u,p) = (1-u) log [a(p)] + u log [b(p)]............................(2) Dengan syarat bahwa u berada di antara 0 (subsisten) dan 1 (kemewahan) sehingga fungsi linier positif homogen dari a(p) dan b(p) dapat dikatakan sebagai biaya subsisten dan kemewahan. Selanjutnya digunakan bentuk fungsi yang khusus dari fungsi log a(p) dan log b(p). Bentuk logaritmanya dengan sejumlah k komoditi persamaan (2)tersebut dapat ditulis : Log c (u, p) = α0 +
1
𝑗αj log pj + 2
𝑖
𝑗 yij * log pilogpj + uβ0 Ԥj pj β ....(3)
Dimana α, βdan y adalah parameter Agar fungsi biaya yang dihasilkan menjadi bentuk fungsi yang fleksibel, fungsi tersebut harus memiliki sejumlah parameter yang mencukupi, sehingga pada semabarang titik, turunan ∂c/∂p, ∂c/∂u, ∂2c/∂pipj, ∂2c/∂u2 dapat dianggap sama dengan fungsi-fungsi biaya yang berubah. Dengan kata lain dilakukan derivasi parsial terhadap harga 𝜕ln c (u, p) / 𝜕ln pi = qi ..........................................(4) Dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan pi / c(u,p) maka pi qi / c(u,p) = wi, sehingga persamaan (3) menghasilkan fungsi permintaan berupa budget share komoditi i atau dinotasikan wi: Wi = αi +
𝑗yij log pj + βiuβ0 Ԥj pj β ...............................(5)
Berdasarkan tujuan memaksimalkan kepuasan konsumen, total pengeluaran X sama dengan c (u,p), sehingga u dan budget share dapat dinyatakan sebagai fungsi dari pengeluaran dan harga dalam bentuk :
22 𝑥
Log P = αi + 𝑗yij log pj + βilog (𝑝 )............................... (6) keterangan: x/p adalah pendapatan yang dibagi oleh indeks harga P. Dimana dengan bentuk dungsional sebagai berikut: log P = α0+
1
𝑗αj log pi + 2
𝑖
𝑗 yij log pi log pj .................(7)
Indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan AIDS yang cenderung non linear, sehingga nilai P (Price indeks) diestimasi dengan Stone’s Price indeks : Log P =
𝑖
𝑤 i log pi ............................................(8)
Dengan demikian persamaan (6) menjadi model Linier Approximation AIDS: Log P = αi + 𝑗yij log pj + βilog x - βi
𝑖
𝑤 i log pi ...................(9)
Dimana secara umum model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dimana model restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan. Tiga restriksi yang harus dimasukkan ke dalam model agar asumsi maksimasi kepuasan dapat terpenuhi adalah : 1. Aditivitas/ Adding Up Suatu syarat yang menunjukkan bahwa total pengeluaran pada fungsi permintaan sama dengan total pendapatan. Secara matematis bisa dituliskan sebagai berikut: ai= 1, 𝑖 Yij=0, 𝑗 βi= 0 ...................................(10) 𝑖 Dimana pi adalah harga komoditi ke-i, qi adalah kuantitas komoditi ke-i dan I adalah pendapatan. 2. Homogenitas Persyaratan yang menyebutkan bahwa jika pendapatan dan harga berubah dalam proporsi yang sama, maka permintaan terhadap suatu komoditas tidak akan berubah. Hal ini merupakan implikasi dari sifat fungsi permintaan yang homogen berderajat nol terhadap harga dan permintaan. Bentuk matematisnya adalah sebagai berikut: Yij = 0 .............................................(11) 𝑖 Keterangan : 𝜀 ij = elastisitas harga silang komoditas ke–i terhadap harga komoditas ke–j ℮iI = elastisitas pendapatan komoditas ke–i 3. Simetris Yij = Yji ............................................................................................(12) Selain itu, fungsi biaya AIDS yang berbentuk fleksibel yang diturunkan dari fungsi permintaan persamaan merupakan first order approximation dari perilaku konsumen dalam memaksimumkan kepuasaannya. Dalam hal maksimasi
23 kepuasaan tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first order approximation terhadap fungsi permintaan secara umum. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ini didasarkan pada fakta bahwa selama manusia membutuhkan pangan maka kebutuhan garam akan terus meningkat. Garam merupakan salah satu bahan pokok yang sangat dibutuhkan oleh manusia sebagai mineral esensial yang sangat dibutuhkan tubuh sehingga kebutuhan garam tidak dapat disubtitusi dan pada akhirnya meningkat positif sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan industri yang membutuhkan garam. Peningkatan kebutuhan tersebut tidak diikuti oleh peningkatan produksi garam domestik. Dengan kata lain, terdapat kesenjangan atau gap antara kebutuhan dan produksi garam domestik. Produksi garam domestik hanya mampu memasok kebutuhan garam konsumsi. Oleh karena itu, pemerintah memberlakukan impor garam untuk memenuhi kebutuhan nasional. Kebijakan impor garam tersebut pada awalnya telah berlangsung cukup lama dan menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Namun fakta yang mengemuka adalah adanya ketidaksinkronan antara volume selisih antara kebutuhan dan produksi garam domestik dengan volume garam yang di impor oleh Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa faktor produksi nasional bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi permintaan impor Indonesia. Dengan kata lain, masih banyak faktor lain yang dapat menjelaskan besarnya volume permintaan impor garam Indonesia. Faktorfaktor yang diduga mempengaruhi permintaan garam impor disintesis dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu GDP Indonesia, GDP riil Negara sumber impor, harga impor, produksi garam domestik dan nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara sumber impor. Fakta lain menunjukkan bahwa semakin tumbuhnya pasar garam Indonesia akibat peningkatan kebutuhan juga mencerminkan adanya kompetisi diantara negara eksportir garam. Permintaan impor garam Indonesia sebagian besar didominasi oleh 3 negara pengekspor utama dengan share ekspor lebih dari 95 persen. Dimana ketiga negara tersebut secara stabil mengekspor garamnya ke Indonesia sejak tahun 1997. Sehingga kedua hal tersebut menimbulkan suatu pertanyaan penelitian yang dijadikan pedoman dalam penelitian ini yaitu mengapa Indonesia tidak mampu berdaulat akan garam? Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu dilakukan analisis deskriptif mengenai keragaan kebijakan pegaraman di Indonesia, analisis kuantitatif mengenai permintaan impor garam Indonesia mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia dan juga menganalisis tingkat persaingan negara sumber impor di pasar impor Indonesia serta kerentanan dan hubungan elastisitas antara ketiga negara pengekspor garam di Indonesia. Berbagai hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi permintaan impor garam secara makro yang pada akhirnya dapat memberikan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah sebagai pemangku kebijakan.
24
1. 2. 3. 4. 5.
Permasalahan Sektor Pergaraman Indonesia Kebutuhan garam akan terus meningkat Produksi domestik belum mampu memenuhi kebutuhan garam industri Impor garam telah menjadi bagian penting dari pemenuhan kebutuhan garam Indonesia Swasembada garam konsumsi tahun 2012, Indonesia tetap mengimpor Kompetisi diantara negara eksportir menunjukkan pola pengeluaran impor Indonesia
Mengapa Indonesia sebagai negara maritim dengan panjang pantai terpanjang keempat did unia belum mampu berdaular akan garam atau masih mengandalkan impor garam?
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia 1. Produksi garam domestik 2. GDP riil Indonesia 3. GDP riil negara sumber impor 4. Harga garam impor 5. Nilai tukar riil rupiah terhadap mata uag negara sumber impor
Analisis tingkat persaingan diantara negara sumber impor garam utama 1. Harga garam impor (Australia, India dan Selandia Baru) 2. Pangsa impor 3. Total pengeluaran impor garam Indonesia
Keragaan kebijakan impor garam Indonesia
Keragaan permintaan impor garam Indonesia
Implikasi kebijakan impor garam Indonesia
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Operasional
4 METODE PENELITIAN Waktu Penelitian Penelitian yang berjudul Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia ini sebagian besar menggunakan pendekatan ekonometri, dimana pendekatan ekonometri digunakan untuk menangkap fenomena impor garam kedalam sebuah model ekonometri. Pendekatan tersebut dimungkinkan dengan melakukan analisis
25 terhadap data-data empirik. Data-data tersebut dikumpulkan oleh peneliti pada bulan Maret sampai bulan April 2015. Jenis dan Sumber Data Pada penelitian ini seluruh data yang digunakan berupa data sekunder. Data tersebut dikelompokkan menjadi dua bagian. Hal tersebut didasarkan pada model ekonometrika yang dibangun untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data kelompok pertama berupa data panel yaitu gabungan data antara data cross section dan data time series dan kelompok kedua adalah data deret waktu (time series). Data panel terdiri dari data time series selama 10 tahun yaitu mulai tahun 2004 hungga tahun 2013 dan data cross section sebanyak 7 negara. Ketujuh negara tersebut adalah Australia, India, Selandia Baru, Tiongkok, Singapura, Jerman dan Belanda. Pengambilan jumlah negara sebanyak 7 tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan total volume garam yang diimpor oleh Indonesia. Hal tersebut disebabkan ketujuh negara terpilih memiliki pangsa impor rata-rata hampir 100 persen yaitu 99.99 persen dari total pangsa impor garam Indonesia. Sementara untuk data time series untuk alat analisis kedua sejumlah 33 buah, mulai dari kuartal pertama tahun 2006 hingga kuartal pertama tahun 2014. Data tersebut terdiri dari data perdagangan, data makroekonomi dan data neraca garam domestik. Data perdagangan yang digunakan menggunakan data impor garam dengan kode pos tarif/ HS 4 digit yaitu 2501. Penggunaan HS 4 digit dimaksudkan untuk menggambarkan permintaan impor garam Indonesia secara menyeluruh Data makro dan neraca garam diperoleh dari berbagai sumber, dimana secara detail jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian No Jenis Data 1 Populasi 2 Konsumsi garam domestik, produksi garam domestik dan harga garam domestik 3 CPI Indonesia, CPI negara sumber impor, Nilai tukar rupiah terhadap LCU, GDP riil Indonesia dan GDP riil negara sumber impor 4 Volume dan nilai impor garam dari negara sumber impor utama 5 Kebijakan tarif impor garam
Sumber Data Badan Pusat Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Perindustrian World Bank
Trademap dan UN Comtrade Kementerian Keuangan
Metode Analisis Data Data-data empirik yang telah dikumpulkan tersebut kemudian akan dilakukan analisis dengan hasil akhir berupa jawaban dari pertanyaan penelitian. Metode untuk menganalisis data tersebut berupa analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif (deskriptif) digunakan untuk menggambarkan keragaan atau
26 perfroma permintaan impor garam Indonesia. Indikator yang digunakan untuk melihat keragaan adalah tren produksi garam domestik, kebutuhan garam domestik, tren impor garam Indonesia dan berbagai kebijakan terkait dengan impor garam indonesia yang meliputi awal mula masuknya impor garam ke Indonesia hingga berbagai kebijakan legalisasi impor garam. Selain itu, analisis deskriptif juga dilakukan untuk mendeskripsikan hasil pengolahan data kuantitatif. Eksplorasi data-data tersebut dilakukan dengan penyajian ringkasan dalam angka, tabel maupun grafik. Analisis kuantitatif pada penelitian ini didekati dengan menggunakan dua alat analisis yaitu analisis regresi data panel dan analisis model Almost Ideal Demand System (AIDS). Alat analisis regresi data panel digunakan untuk menjawab tujuan dalam penelitian ini yaitu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam secara umum. Penggunaan analisis regresi panel dimaksudkan untuk menganalisis secara agregate (fungsi klasik permintaan impor) permintaan impor garam Indonesia sehingga didapatkan inferensi dari masing-masing faktor independen tersebut (Green 1976 dalam Solomon 2004). Selain itu, penggunaan alat analisis regresi panel juga dimaksudkan akibat minimnya ketersediaan data time series mengenai faktor faktor domestik. Sedangkan model AIDS digunakan untuk menganalisis tingkat persaingan antara negara sumber impor garam utama di Indonesia yang digambarkan dari pangsa impor dari masing-masing negara tersebut. Tingkat kompetisi diantara negara sumber impor tersebut dimungkinkan dapat digambarkan oleh model tersebut. Hal ini disebabkan model AIDS menghasilkan n (n=banyak negara) persamaan yang secara teknis dijalankan secara simultan, sehingga peningkatan pangsa impor dari salah satu negara maka akan secara langsung mengurangi pangsa impor dari negara lainnya. Penggunaan model AIDS juga digunakan untuk menganalisis pengaruh faktor ekonomi (harga dari masing-masing negara sumber impor dan total pengeluaran impor dari Indonesia) terhadap posisi persaingan diantara negara sumber impor tersebut. Hasil tersebut juga dapat menggambarkan perilaku permintaan impor Indonesia yang didekati dengan hubungan elastisitas harga dan pengeluaran impor Indonesia. Oleh karena itu, kedua alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini digunakan secara komplemen atau saling melengkapi untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai keragaan permintaan impor garam Indonesia. Berikut penjelasan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini: Model Regresi Panel Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Impor Garam Model regresi panel digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia. Formulasi model dilakukan sebagai langah awal sebelum dilakukan estimasi model regresi panel. Pada penelitian ini perumusan model regresi panel diawali dengan spesifikasi model dengan melakukan penentuan variabel-variabel (faktor) terikat dan bebas. Penentuan variabel dalam model tersebut merupakan pengembangan dari fungsi agregate permintaan impor suatu komoditas.
27 Variabel terikat dalam model regresi panel merupakan besarnya volume impor suatu komoditi yang dalam hal ini adalah garam. Selain itu, variabel bebas dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai referensi baik berupa hasil penelitian maupun berdasarkan teori antara lain: populasi (purnamasari 2009), Konsumsi domestik (Purnasari 2009), harga impor (Kalyoncu 2006), produksi domestik (Hutabalian 2009), harga komoditi domestik (Anggasari 2008), nilai tukar riil, kebijakan perdagangan (Ilham 1998), Gross Domestic Product (GDP) riil Indonesia (Manik 2012) dan GDP riil negara sumber impor Masing-masing variabel yang telah ditentukan tersebut kemudian dilakukan estimasi model awal. Hasil estimasi pada model regresi panel menunjukkan bahwa terdapat kesalahan spesifikasi akibat berbagai pelanggaran terhadap asumsi regresi klasik. Oleh karena itu, dilakukan respesifikasi dengan hasil akhir yaitu adanya pengurangan jumlah variabel bebas yang menyebabkan model estimasi tidak baik. Adapun variabel bebas yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor garam Indonesia yaitu produksi garam domestik, harga garam impor, GDP riil Indonesia, GDP riil negara sumber impor dan nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara sumber impor. Secara matematis persamaan model tersebut sebagai berikut: ln IMPit = β0 + β1lnProdt + β2lnGindot + β3lnGDPjit + β4lnPINTit + β5lnFERit + µ Dimana: β0 = intersep IMPit = Volume impor garam dari negara asal i tahun t (ton) Prodt = Produksi garam Indonesia pada tahun t (ton) Gindot = GDP riil Indonesia pada tahun t (US$) GDPjit = GDP rii negara sumber impor pada tahun t (US$) PINTit = Harga garam impor negara sumber impor pada tahun t (US$/ton) Kurst = nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang sumber impor pada tahun t (Rupiah/LCU) µ = galat (pengaruh dari variabel lain yang tidak masuk dalam model) Pengujian Model Regresi Data Panel Pada analisis model regresi panel dikenal 3 model yang telah diuraikan pada kerangka teoritis, dimana ketiganya merupakan kemungkinan model yang akan dipilih dalam penelitian ini. Namun dalam pemilihan tersebut dibutuhkan kriteria pengujian agar dapat ditentukan model yang paling tepat untuk mengestimasi parameter regresi data panel. Menurut Juanda (2012) terdapat tiga jenis pengujian yang dapat digunakan untuk memilih model estimasi terbaik: 1. Pemilihan antara Model PLS dengan FEM Untuk mengetahui apakah Fixed Effect Model (FEM) lebih baik dibandingkan dengan model Pooled Least Square (PLS) dapat dilakukan dengan melihat signifikansi model FEM dapat dilakukan dengan uji statistik F. Pengujian seperti ini dikenal juga dengan istilah Uji Chow atau Likelihood Test Ratio. Hipotesis nol (H0) yang digunakan adalah intersep dan slope adalah sama. Adapun uji F statistiknya adalah sebagai berikut:
28
F hitung =
𝑅𝑆𝑆𝑝 −𝑅𝑆𝑆𝑓 𝑛 −1
(𝑅𝑆𝑆𝑓 )/(𝑛𝑇 −𝑛 −𝐾)
..................................(7)
Dengan n adalah jumlah individu; T merupakan jumlah periode waktu; K adalah banyaknya parameter model FEM; serta RSSp dan RRSf berturut-turut adalah residual sum of squares untuk model PLS dan model FEM. Apabila nilai Chow Statistics (F-Stat) hasil pengujian lebih besar dari F tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap Ho sehingga model yang digunakan adalah model FEM, begitu juga sebaliknya. 2. Pemilihan antara PLS dengan REM Untuk mengetahui apakah Random Effect Model (REM) lebih baik dibandingkan model PLS, dapat digunakan uji Lagrange Multiplier (LM) yang dikembangkan oleh Bruesch-Pagan. Pengujian ini didasarkan pada nilai residual dari model PLS. Hipotesis nol (H0) yang digunakan adalah intersep bukan merupakan peubah random atau stokastik. Dengan kata lain, varian dari residual pada persamaan (5) bernilai nol atau yang digunakan adalah model PLS. Dasar penolakan Ho yakni dengan cara membandingkan nilai statistik LM dengan nilai Chi-Square. Jika hasil perhitungan nilai LM lebih besar dari X2 tabel maka cukup bukti untuk menolak Ho atau dengan kata lain model yang tepat adalah model REM. 3. Pemilihan antara model FEM dan REM Uji mengenai pemilihan antara model FEM dan REM menggunakan uji Hausman. Dengan mengikuti kriteria Wald, nilai statistik Hausman akan mengikuti distribusi chi-square sebagai berikut. W = 𝓍 2 [K] = [β, βGLS]
1
[β-βGLS] ................................(8)
Statistik uji Hausman tersebut mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas (p). Hipotesis nol ditolak jika nilai statistik Hausman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-square. Hal ini berarti bahwa model yang tepat untuk regresi data panel adalah model FEM. Pengujian Model melalui Asumsi Klasik Setelah dilakukan estimasi dan pemilihan model terbaik yang dapat menggambarkan fenomena faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam, dilakukan uji asumsi regresi klasik. Uji asumsi regresi klasik tersebut dimaksudkan untuk memperoleh estimasi model yang memenuhi sifat Best Linier Unbias Estimation (BLUE). Adapun pengujian asumsi regresi klasik yang harus dilakukan sebagai berikut: 1. Uji Normalitas Uji normalitas data diperlukan untuk mengetahui apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak. Uji normalitas diaplikasikan dengan melakukan tes Jarque Bera, jika nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka error term dalam model sudah menyebar normal.
29 2. Uji Homoskedastisitas Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas, dalam hasil olahan data panel dengab bantuan software Eviews dengan menggunakan metode General Least Squared (Cross Section Weight), caranya adalah dengan membandingkan nilai sum squared resid pada weighted statistic dengan sum squared resid pada unweighted statistic. Jika sum squared resid pada weighted statistic lebih kecil daripada sum squared resid pada unweighted statistic maka model sudah homoskedastisitas. Langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah heterosedastisitas adalah dengan mengestimasi General Least Squared (GLS) dengan white heterocedasticity. Selain itu dapat juga dilakukan dengan pembobotan Cross Section SUR. 3. Uji Autokorelasi Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi adalah dengan melihat nilai dari Durbin – Watson (DW) statistiknya. Jika nilai DW lebih dari 1,55 atau kurang dari 2,46 maka dapat dikatakan tidak dapat terdapat autokorelasi pada model. 4. Uji Multikolinearitas Suatu model dapat dikatakan mengandung multikolinearitas apabila nilai R2 tinggi tetapi banyak variabel yang tidak signifikan. Untuk mengatasi masalah multikolinearitas dalam model maka dapat digunakan beberapa cara berikut ini: adanya informasi apriori; penggabungan data cross section dengan time series; mengeluarkan suatu variabel atau lebih dan kesalahan spesifikasi; transformasi variabel-variabel, dan penambahan data baru. Hipotesis Penelitian Berdasarkan studi penelitian terdahulu dan kerangka teoritis, maka dalam penelitian ini, diajukan beberapa hipotesis sementara yang digunakan dalam mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia antara lain: 1. GDP riil Indonesia berpengaruh positif terhadap nilai impor garam Indonesia. Peningakatan pada GDP riil Indonesia akan berdampak pada peningkatan nilai impor garam Indonesia dari negara tujuan. 2. GDP riil negara eksportir berpengaruh positif terhadap nilai impor. Peningkatan nilai GDP negara eksportir akan berdampak pada peningkatan nilai impor garam Indonesia. 3. Produksi mempunyai hubungan yang negatif terhadap volume impor garam. Semakin tinggi produksi garam Indonesia maka akan menyebabkan volume impor garam Indonesia berkurang. 4. Nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara asal impor mempunyai hubungan yang negatif terhadap volume impor garam Indonesia. Meningkatnya rasio nilai tukar antara rupiah terhadap mata uang asing (terdepresiasi) menyebabkan barang luar negeri lebih mahal, sehingga menurunkan volume impor garam. 5. Harga Garam Impor memiliki hubungan negatif terhadap volume impor garam. Semakin rendah harga garam impor maka akan semakin meningkatkan volume impor garam.
30 Analisis Data Menggunakan Almost Ideal Demand System Model Permintaan Almost Ideal Demand System Kelompok data kedua yang berupa data time series digunakan untuk menganalisis tingkat persaingan diantara tiga negara utama sumber impor. Ketiga negara tersebut merupakan Australia, India dan Selandia Baru. Pemilihan ketiga negara tersebut didasarkan pada nilai pangsa impor yang terbesar dan stabil sepanjang tahun. Data-data tersebut kemudian akan diestimasi menggunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS) dengan model dasar sebagai berikut:
x wi i ij ln Pj i ln * ....................... (13) j 1 p n
Dimana: w : pangsa ekspor negara eksportir ke-i di Indonesia p : harga asal negara eksporitr x : nilai impor total Indonesia p : indeks harga geometrik Stone = 𝑤𝑖. 𝑝𝑖 Terdapat tiga persamaan model AIDS pada penelitian ini. Persamaan pertama yaitu merupakan persamaan Australia dengan variabel dependennya berupa pangsa pasar impor Australia dan peubah independennya berupa harga garam Australia, India, Selandia Baru, ROW, begitu juga untuk persamaan India dan Selandia Baru. Ketiga persamaan tersebut adalah sebagai berikut: Waus = 1+ 1 Ln Paus + 2 Ln Pind + 3 Ln Pnew + 4 Ln Prow + 1 Ln(x/P*) Wind = 2 + 5 Ln Paus + 6 Ln Pind + 7 Ln Pnew+ 8 Ln Prow + 2 Ln (x/P*) Wnew = 3+ 9 Ln Paus+ 10 Ln Pind+ 11 Ln Pnew + 12 Ln Prow+ 3 Ln (x/P*) Keterangan : 1, 2, 3 = Intercept 1,…, 12; 1, 2, 3 = Koefisien Paus = Harga garam (nilai impor per volume impor) Australia Pind = Harga garam (nilai impor per volume impor) India Pnew = Harga garam (nilai impor per volume impor) Selandia Baru Prow = Harga garam negara sumber impor lainnya Rest of World Koefisien regresi pada model AIDS diduga dengan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR). Ketiga persamaan dalam penelitian ini direstriksi dengan menggunakan kendala homogenity, dan symmetry, sedangkan sifat adding up telah terpenuhi dalam model dengan sendirinya sebagai keunggulan dari model AIDS. Penggunaan restriksi tersebut didasarkan pada bentuk dasar model AIDS itu sendiri. Dimana model AIDS merupakan sistem permintaan yang terdiri dari sejumlah fungsi permintaan yang saling terkait. Oleh karena itu, diperlukan restriksi sebagai sifat/ syarat utama dari fungsi permintaan.
31 Teori konsumen digunakan dalam mengestimasi model AIDS tingkat persaingan garam impor akibat permintaan impor merupakan bagian dari permintaan domestik. Kondisi ini dimungkinkan meskipun seluruh garam yang diimpor Indonesia merupakan permintaan industri garam domestik. Menurut Henneberry dan Curry (1995) permintaan impor merupakan perbedaan antara permintaan domestik dan produksi domestik ketika barang domestik yang diimpor adalah substitusi sempurna. Dengan kata lain, permintaan impor suatu komoditas merupakan fungsi dari permintaan domestik, dimana ketika terjadi pergeseran dalam fungsi permintaan domestik akan menyebabkan bergesernya pada fungsi permintaan impor. Hal tersebut mencerminkan bahwa peubah penjelas dari fungsi permintaan impor didasarkan pada teori konsumen yang menekankan pada maksimisasi utilitas. Penjelasan tersebut memberikan pembenaran bagi penelitian ini dalam menggunakan restriksi sifat utama fungsi permintaan sebagai bagian dari penerapan teori konsumen. Dari parameter-parameter AIDS yang telah diestimasi ditentukan nilai elastisitas-elastisitas untuk Australia, India dan Selandia Baru. Nilai elastisitas tersebut dihitung untuk menggambarkan tingkat persaingan diantara ketiga negara tersebut. Adapun nilai-nilai elastisitas tersebut yaitu: (1) elastisitas harga sendiri, (2) elastisitas harga silang, dan (3) elastisitas pengeluaran Indonesia atas impor garam. Elastisitas-elastisitas tersebut dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
ˆij ˆ w j i .........................................(14) wi wi ˆ eij* ij ij w j .................................................(15) wi ˆ i 1 i .............................................................(16) wi
Elastisitas Uncompensated eij ij Elastisitas Compensated
Elastisitas pengeluaran . Keterangan: Knocker delta (dimana ij = 1 dan ij = 0 untuk i tidak sama dengan j)
Pada penelitian ini perhitungan nilai elastisitas permintaan sendiri menggunakan rumus elastisitas uncomensated atau Marshallian. Perhitungan nilai elastisitas harga silang menggunakan rumus elastisitas i atau Hicksian. Elastisitas compensated digunakan untuk lebih menggambarkan kompetisi diantara negara sumber impor. Penetapan elastisitas-elastisitas tersebut didasarkan pada penelitian Wan (2010). Adapun ukuran-ukuran elastisitas dan artinya, dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.
32 Tabel 5 Ukuran-ukuran elastisitas model Almost Ideal Demand System (AIDS) No 1.
2.
Besar Elastisitas Istilah Elastisitas Harga Sendiri
Keterangan
a. Ep=0
Inelastis sempurna
Pangsa pasar garam negara pengekspor tidak berubah (tetap/konstan) dengan adanya perubahan harga graram negara pengekspor tersebut.
b. 0 < Ep < 1
Inelastis
Pangsa pasar garam negara pengekspor berubah dengan persentase yang lebih kecil dari pada adanya perubahan harga garam negara pengekspor tersebut.
c. Ep=1
Elastisitas unit
Pangsa pasar garam negara pengekspor berubah dengan persentase yang sama dari pada adanya perubahan harga garam negara pengekspor tersebut.
d. 1 < Ep< ∞
Elastis
Pangsa pasar garam negara pengekspor berubah dengan persentase yang lebih besar dari pada adanya perubahan harga garam negara pengekspor tersebut.
e. Ep = ∞
Elastis sempurna
Berapapun pangsa pasar garam suatu negara pengekspor, harga garam negara pengekspor tersebut tidak berubah (tetap/konstan).
Elastisitas Silang a. Ec > 0 (positif)
Barang substitusi
Kenaikan harga barang substitusi garam dari suatu negara pengekspor tertentu berakibat pada meningkatnya pangsa pasar garam suatu negara pengekspor tersebut.
Barang komplemen
Jumlah yang diminta pendapatan naik.
b. Ec < 0 (negatif) 3
Elastisitas Pengeluaran c. Ei > 0
d. Ei < 1
turun,
saat
Pangsa pasar garam suatu negara pengekspor garam tertentu naik, sejalan dengan kenaikan nilai impor garam Indonesia Pangsa pasar garam suatu negara pengekspor tertentu turun, sementara nilai impor garamIndonesia naik.
33
5 GAMBARAN UMUM IMPOR GARAM INDONESIA Pada dasarnya suatu negara melakukan impor akibat tidak mampunya produksi dalam negeri dalam memenuhi permintaan komoditi tertentu. Seiring dengan semakin terintegrasinya perdagangan dunia memunculkan alasan baru bagi negara tertentu untuk melakukan impor yaitu salah satunya adanya perbedaan harga. Adanya perbedaan harga tersebut didasarkan pada keunggulan komparatif masing-masing negara terhadap komoditi tertentu, sehingga negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif komoditi tersebut akan meningkatkan impornya. Bahkan negara tersebut akan mengandalkan impor untuk memenuhi permintaan domestik akan komodti tersebut. Garam sebagai salah satu komoditi potensial di Indonesia juga mengalami kondisi dimana produksi garam dalam negeri belum memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan produsen di belahan dunia lain. Produksi dalam negeri hanya mampu berproduksi rata-rata sekitar 1.2 juta ton per tahun (Sucofindo 2012). Selain itu, produksi garam domestik belum mampu memenuhi kebutuhan garam industri akibat adanya ketidaksesuaian kualitas, sehingga hampir seluruh kebutuhan garam industri dipasok melalui impor. 3000000
Produksi (ton)
2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Tahun
Gambar 4 Perkembangan produksi garam Indonesia tahun 2000-2014 Sumber: Kementerian Kelautan dan perikanan, 2015 (diolah)
Berdasarkan Gambar 4 produksi garam nasional mengalami fluktuasi dari tahun 2000 hingga tahun 2009. Namun pada tahun 2010 produksi garam domestik mengalami penurunan drastis, produksi domestik hanya mampu memproduksi sekitar 30.600 ton. Kondisi tersebut terjadi akibat adanya anomali iklim, dimana iklim pada tahun tersebut tidak dapat diprediksi atau terjadi musim hujan yang panjang. Oleh karena itu, pada tahun 2011 pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan kebijakan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) untuk meningkatkan pasokan garam dalam negeri. Hasil dari kebijakan tersebut adalah terjadi peningkatan produksi pada tahun 2012, dimana
34 produksi domestik mencapai sekitar 2.4 juta ton atau terjadi swasembada garam konsumsi. Namun, peningkatan yang terjadi pada produksi domestik juga diikuti oleh peningkatan permintaan domestik terhadap garam. Kondisi tersebut terjadi akibat garam merupakan komoditi strategis yang tidak dapat disubtitusi, sehingga permintaannya akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan industri yang membutuhkan garam. Kondisi peningkatan permintaan garam domestik dubuktikan denga data pada Gambar 5 yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kebutuhan garam domestik setiap tahunnya, bahkan pada tahun 2014 kebutuhan domestik mencapai 3.611.990 ton. Sedangkan jumlah produksi domestik pada tahun 2014 hanya mencapai 2.501.891 ton. Adanya kesenjangan antara produksi dan permintaan tersebut menyebabkan pemerintah melakukan impor garam. 4000000
Kebutuhan (ton)
3500000 3000000 2500000 2000000 1500000
1000000 500000 0
Tahun
Gambar 5 Perkembangan kebutuhan garam gomestik tahun 2000-2014 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015 (diolah)
Importasi garam yang dilakukan oleh Indonesia nampaknya telah menjadi upaya yang tidak dapat terpisahkan dalam memenuhi kebutuhan garam domestik. Kondisi tersebut dibuktikan dengan fakta bahwa sejak tahun 1980an Indonesia telah melakukan impor garam dengan kecenderungan yang semakin meningkat (UN Comtrade 2015). Importasi garam tetap terjadi bahkan ketika Indonesia telah mencapai swasembada garam konsumsi pada tahun 2012. Tercapainya swasembada garam tersebut seharusnya dapat menghentikan impor garam khususnya impor garam konsumsi. Namun kenyataannya, Indonesia tetap melakukan importasi garam konsumsi hingga mencapai 495.073 ton (Susanto 2013). Selain itu, ketergantungan Indonesia terhadap garam impor juga dapat dilihat dari perkembangan proporsi volme impor terhadap ketersediaan garam domestik. Porporsi rata-rata impor garam Indonesia dari tahun 2000 hingga 2014 mencapai 57 persen. Berdasarkan Gambar 6 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi proporsi volume impor terhadap ketersediaan garam Indonesia. Penurunan
35 proporsi impor terjadi hanya pada tahun 2012 dan 2014 yaitu mencapai dibawah 50 persen. Meskipun demikian proporsi impor garam di Indonesia masih relatif besar, karena 49 persen ketersediaan garam domestik dipasok oleh garam impor. 1
Proporsi impor (persen)
0,9
0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
Tahun
Gambar 6 Perkembangan proporsi volume impor terhadap ketersediaan domestik tahun 2000-2014 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015
Besarnya realisasi impor garam tersebut secara rata-rata dipasok oleh 7 negara sumber impor garam yaitu Australia, India, Selandia Baru, Tiongkok, Jerman, Singapura dan Belanda. Berdasarkan Gambar 6 menunjukkan bahwa volume impor garam Indonesia memiliki kecenderungan yang meningkat. Volume impor tertinggi yang pernah dilakukan Indonesia terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 2.835.870.797 ton. Adanya impor garam yang besar terjadi ditujukan untuk melakukan perbaikan stok garam nasional akibat pada tahun 2010 telah terjadi gagal panen garam. Besarnya volume impor garam tersebut paling besar dipasok oleh Australia. Australia merupakan negara eksportir garam ke Indonesia dengan rata-rata ekspor mencapai 1.4 juta ton pertahun atau 88 persen per tahun terhadap total pangsa impor Indonesia. Pada tahun 2004, ketika semua negara eksportir lain mengalami penurunan volume ekspor garamnya di Indonesia, Australia bahkan mampu meningkatkan volume ekspornya. Australia bersama dengan India dan Selanidia Baru merupakan negara eksportir yang stabil mengekspor garamnya ke Indonesia dan ketiga negara tersebut memiliki pangsa impor Indonesia mencapai 97 persen.
36
Volume impor (ton)
2500000 2000000 Australia 1500000
india Selandia Baru
1000000
China Jerman
500000
Singapura 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
0
Belanda
Tahun
Gambar 7 Perkembangan volume impor garam (HS2501) Indonesia berdasarkan negara asal impor tahun 2000-2013 (ton) Sumber: UN Comtrade 2015
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Kebijakan Impor Garam Indonesia Pada awalnya masuknya impor garam ke Indonesia diawali dengan adanya kampanye internasional untuk memerangi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) pada tahun 1980an oleh World Health Organization (WHO). Hasil dari kampanye tersebut adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1994 mengenai pengadaan garam beryodium. Kebijakan tersebut secara eksplisit mewajibkan kepada para produsen garam konsumsi untuk melakukan fortifikasi yodium pada garam konsumsi. Sebagai tindak lanjut penerapan Keppres tersebut, dikeluarkan peraturan pendukung diantaranya adalah Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 21/M/SK/2/1995 mengenai pengesahan dan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan penggunaan tanda SNI secara wajib terhadap 10 macam pokok produk industri termasuk diantaranya adalah garam konsumsi dengan nomor SNI 01-3556-1994. Pada sisi teknis dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 77/M/SK/5/1995 mengenai persyaratan teknis pengolahan (pencucian dan iodisasi), pengemasan danpelabelan garam beriodium. Dampak dari diterapkannya berbagai kebijakan tersebut menimbulkan efek yang beragam pada semua tingkat baik dari sisi pemerintah maupun sisi produsen. Pada tingkat pemerintah, pemerintah tidak mempunyai cukup dana dan sumberdaya manusia untuk menjalankan pengawasan terhadap penyebaran garam beryodium. Selain itu, pemerintah terkesan tidak kunjung melakukan upaya menyeluruh dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa industri garam rakyatnya
37 telah mampu menerapkan peraturan tersebut. Lain halnya di tingkat produsen, terjadi peningkatan ketimpangan antara produsen kecil dan berskala besar. Dimana, hanya industri garam berskala besar yang mampu bersaing, sedangkan petani garam rakyat terpinggirkan. Hasil produksi garam rakyat yang melimpah tidak mampu diserap oleh pabrik garam dan secara langsung menyebabkan produksi garam yodium domestik tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional. Adanya kesenjangan tersebut mendorong pemerintah pada saat itu untuk melakukan impor garam. Permintaan impor tersebut umumnya dipasok oleh Australia sebgai negara yang ditunjuk oleh WHO dalam mengatasi masalah GAKY di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia di dalamnya (Imran 2006). Kondisi di atas telah menunjukkan bahwa Indonesia telah melakukan impor garam sejak tahun 1980an, yang salah satunya akibat kampanye GAKY tersebut. Namun kebijakan formal yang mengatur mengenai legalisasi impor garam Indonesia baru dikeluarkan pada tahun 2004. Kebijakan legalisasi tersebut tercermin dari adanya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.360/MPP/Kep/6/2004 yang mengatur berbagai hal diantaranya: 1. Larangan impor garam sebulan sebelum masa panen raya garam rakyat hingga dua bulan setelah musim panen (SK Menperindag Np.422/MPP/Kep/5/2004: 1 Juli sampei 31 Desember) 2. Larangan impor garam apabila harga kualitas K1, K2 dan K3 masing-masing berada dibawah harga dasar garan di titik pengumpul yang ditetapkan pemerintah masing-masinng sebesar Rp. 145.000/ton, Rp.100.000/ton dan Rp.70.000/ton dalam bentuk curah. 3. Perusahaan yang ingin mengimpor garam wajib memenuhi perolehan garam paling sedikit 50 persen berasal dari garam rakyat. Pada dasarnya kebijakan tersebut merupakan langkah protektif yang diambil oleh pemerintah untuk menyelamatkan industri pergaraman domestik akibat semakin banyaknya impor garam. Namun belum sepenuhnya kebijakan tersebut diterapkan dengan baik, pemerintah melakukan inkonsistensi kebijakan. Inkonsistensi kebijakan tersebut tercermin dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.455/MPP/Kep/2004 yang mengecualikan larangan impor garam apabila impor garam tersebut diperuntukkan sebagai upaya memenuhi permintaan garam industri dalam negeri. Adanya kebijakan tersebut menimbulkan celah bagi oknum importir garam untuk mengeruk keuntungan melalui penyimpangan peruntukan impor garam. Hal ini disebabkan dengan adanya SK tersebut maka importir akan lebih leluasa melakukan impor garam dengan dalih bahwa garam yang diimpor tersebut adalah garam industri, padahal sebenarnya garam impor tersebut adalah garam konsumsi. Penyimpangan peruntukan tersebut terjadi akibat tidak jelasnya kode pos tarif atau HS antara garam konsumsi dan industri dalam Keputusan Menteri Perdagangan RI N0.58/M-DAG/PER/9/2012. Kondisi tersebut secara eksplisit dalam pasal 1 menyatakan bahwa kode pos tarif/ HS untuk garam konsumsi dengan kadar NaCl paling rendah 94.7 persen yaitu 2501.00.90.10, sedangkan kode pos tarif untuk garam industri dengan kadar NaCl paling rendah 97 persen yaitu 2501.00.90.10. Kesamaan pos tarif tersebut menimbulkan celah bagi para importir untuk melakukan penyimpangan meskipun hanya dibedakan dalam hal
38 kadar NaCl. Kondisi inilah yang tampak di ruang publik akibat Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2011 melakukan pembongkaran terhadap gudang penyimpanan garam yang berisi garam impor konsumsi yang akan dilempar ke pasar untuk menurunkan harga garam di tingkat petani di Madura2. Tabel 6 Kebijakan mengenai penetapan harga garam rakyat di titik pengumpul Bentuk Kebijakan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.360/MPP/Kep/6/2004 Peraturan Menteri Perdagangan No.20/M-Dag/Per/9/2005 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.44/MDAG/PER/10/2007 Keputusan Dirjen Perdagangan Luar Negeri No.07/DAGLU/PER/7/2008 Keputusan Dirjen Perdagangan Luar Negeri No.02/DAGLU/PER/5/2008 Peraturan Menteri Perdagangan No.58/M-DAG/PER/9/2012
Penetapan Harga Dasar Garam Rakyat K1: Rp145.000/ton K2:Rp100.000/ton K3: Rp70.000/ton K1: Rp200.000/ton K2:Rp150.000/ton K3: Rp80.000/ton K1: Rp200.000/ton K2:Rp150.000/ton K3: Rp80.000/ton K1: Rp325.000/ton K2: Rp250.000/ton K1: Rp750.000/ton K2:Rp550.000/ton K1: Rp750.000/ton K2:Rp550.000/ton
Sumber: Kementerian Perdagangan 2015
Inkonsistensi pemerintah juga terus berlanjut ketika berbagai kebijakan yang dikeluarkan tidak sepenuhnya diterapkan atau lemah dalam bentuk pengawasan. Kondisi ini terlihat dari penerapan harga dasar garam di titik pengumpul yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui keputusan menteri. Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa mulai tahun 2004 hingga tahun 2012 pemerintah telah menetapkan harga dasar garam rakyat pembelian di titik pengumpul. Harga tersebut juga merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan impor garam bagi perusahaan garam. Namun kondisi tersebut jarang terjadi, harga di tingkat petani umumnya berada di bawah harga dasar tersebut. Menurut Alham (2013) dan Jamil (2014) menyatakan bahwa penentuan harga di tingkat petani sepenuhnya ditentukan oleh perusahaan garam bersama dengan mata rantainya (pedagangan pengumpul). Gambar 7 menunjukkan bahwa secara umum harga garam di lapangan yang diterima oleh petani lebih rendah dari harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, penentuan harga yang diterima petani sepenuhnya tidak berdasarkan atas kualitas yang telah ditetapkan dalam peraturan harga dasar pemerintah. Secara eksplisit dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa penetapan kualitas garam dibedakan menjadi 3 kualitas yaitu KP1, KP2 dan KP3. Namun di lapangan penentuan kualitas garam milik petani sepenuhnya ditetapkan oleh pabrik garam dengan kriteria penentuan tertentu. Pabrik garam menetapkan setiap KP menjadi 3 sub KP yaitu KP1a, KP1b dan KP1c. Konsekuensi dari 2
“Fadel Geram Mari Pangestu Impor Garam”,http://regional.kompas.com/read
39 penetapan kualitas tersebut menyebabkan harga yang diterima oleh petani semakin rendah. Peraturan mengenai minimal 50 persen penyerapan garam rakyat sebagai syarat bagi perusahaan garam domestik untuk dapat melakukan impor garam juga tidak pernah ada jaminan terealisasi dari pemerintah. Kondisi tersebut terjadi umumnya akibat lemahnya pengawasan. Menurut Alham (2013) yang terjadi di lapangan, garam rakyat harus bersaing dengan garam yang diproduksi oleh PT Garam. Dari total kapasitas produksi PT Garam sebesar 340.000 ton, hanya sekitar 10 persen saja yang diolah menjadi garam beryodium. Sedangkan 90 persen lagi dijual ke perusahaan lain sebagai bahan baku. 800
Harga garam (Rp/kg)
700 600 500 400 300 200 100 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Tahun
Keterangan : : Harga dasar pemerintah; : Harga di lapangan Gambar 8 Grafik perkembangan harga garam domestik di tingkat titik pengumpul Tahun 2004-2014 Sumber : Kementerian Perdagangan 2015
Berbagai fakta mengenai kebijakan di atas akhirnya relatif tidak memberikan dampak yang berarti terhadap upaya pemerintah dalam melakukan pengurangan volume impor garam yang masuk ke Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut seakan hanya digunakan sebagai alat untuk menarik popularitas elit politik yang jarang terdapat realisasi yang nyata. Kondisi tersebut ditunjukkan pada Gambar 8 bahwa volume impor garam cenderung memiliki tren yang positif, mengikuti pertumbuhan kebutuhan domestik. Dimana besarnya impor garam cenderung tidak berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan protektif yang telah dilakukan oleh pemerintah. Kondisi tersebut terjadi pada tahun 2004 ketika dikeluarkannya kebijakan mengenai legalisasi impor garam terjadi kenaikan impor garam dengan besaran hampir mencapai 90 persen dari total kebutuhan domestik. Rochwulaningsih (2013) menambahkan bahwa keinginan pemerintah sebagaimana tercermin dalam berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut tidak serta merta dapat diimplementasikan sesuai dengan harapan. Hal ini akibat pemerintah pada kenyataannya tidak memiliki kontrol terhadap para pemain di
40 pasar garam. Dimana sebagian besar pasar garam domestik hanya didominasi oleh beberapa perusahaan garam besar dan memiliki rantai pemasaran yang kuat. Kuatnya dominansi perusahaan garam domestik ditunjukkan dengan adanya temuan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) bahwa terjadinya kasus kartel garam pada tahun 2005 di Sumatera Utara, dimana garam rakyat tidak dapat masuk ke wilayah tersebut (Dharmayanti 2013). Oleh karena itu, persoalan impor garam masih akan terus berlangsung meskipun pemerintah telah memberikan proteksi apabila tanpa pengawasan yang sungguh-sungguh. 4000000 3500000 Volume (ton)
3000000 2500000 2000000
impor
1500000
produksi
1000000
kebutuhan
500000
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
Tahun
Gambar 9 Perkembangan garam nasional tahun 2000-2014 Sumber: Berbagai Sumber (diolah)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Impor Garam Indonesia Pemodelan Regresi Data Panel Model regresi data panel dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi volume permintaan impor garam Indonesia. Pemodelan regresi data panel pada penelitian ini dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu Model Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa ketiga model tersebut sebagian besar memiliki veriabel penjelas yang tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hanya PINT (harga garam impor) yang pada masing-masing model memiliki pengaruh yang nyata terhadap variabel terikat. Selain itu, ketiga model tersebut memiliki nilai R square yang berbeda masing-masing sebesar 77.47 persen untuk PLS, 94.04 persen untuk FEM dan 59.37 persen untuk REM. Dimana nilai R square tersebut menunjukkan nilai keragaman variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh keragaman variabel bebas. Nilai 77.47 persen untuk PLS menyatakan bahwa keragaman variabel terikat dapat dijelaskan oleh keragaman variabel bebas sebesar 77.47 persen, sedangkan sisanya dijelaskan oleh veriabel atau faktor lain di luar model.
41 Tabel 7 Model estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia Faktor PROD PINT Gindo GDPj FER c R2
Model PLS Koefisien Nilai p -0.0946 0.6308 -1.676** 0.0000 1.0999** 0.0406 0.1055** 0.0002 0.0683 0.7099 -13.928 0.3534 77.47%
Model FE Model RE Koefisien Nilai p Koefisien Nilai p -0.1020 0.3492 -0.08083 0.4496 -1.2169** 0.0000 -1.23909** 0.0000 0.7892 0.3571 1.020302** 0.0009 0.5556 0.5621 0.151887* 0.0867 1.5868 0.3159 0.155012 0.7926 -28.014 0.1443 -15.7519 0.1166 94.04% 59.37%
Keterangan: (**) nyata pada taraf 5 persen (0.05) (*) nyata pada taraf 10 persen (0.1)
Pemilihan kesesuaian diantara ketiga model tersebut digunakan dua uji yaitu Uji Likelihood Ratio untuk pemilihan model PLS dan FE dan Uji Hausman untuk pemilihan model FE dan RE. Hasil dari pengujian Likelihood Ratio menunjukkan p value yang diperoleh lebih kecil dari taraf nyata 5% atau dengan kata lain tolak Ho atau terima H1, dimana H1 merupakan model FE (Lampiran 1). Hasil dari pengujian Hausman diperoleh nilai p value sebesar 1, dengan menggunakan taraf nyata 5% maka taraf nyata tersebut lebih besar dari p-value sehingga keputusannya adalah cukup bukti untuk menerima Ho, dimana Ho merupakan model REM (Lampiran 1) Namun berdasarkan output software Eviews tersebut menunjukkan bahwa uji Hausman yang dilakukan tidak valid, sehingga hanya digunakan uji Likelihood Ratio. Oleh karena itu, hasil dari kedua uji tersebut menyimpulkan bahwa model estimasi terpilih yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan impor garam Indonesia adalah model FE. Pengujian Asumsi Regresi Klasik Setelah model terbaik telah didapatkan yaitu model Fixed Effect, maka dilakukan pengujian asumsi klasik untuk mendapatkan model dengan penduga yang BLUE (Best, Linier and Unbiased Estimation). Hal ini disebabkan model FE diestimasi dengan Ordinary Least Square (OLS), sehingga diperlukan pengujian terkait dengan asumsi regresi klasik. Beberapa asumsi yang diuji adalah kenormalan, bebas dari hubungan linier antara peubah bebas (multikolinieritas), ragam sisaan yang homogen (homoskedastisitas) dan sisaan yang bebas dari autokorelasi. Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat sebaran residual data menggunakan histogram-normality test (Jarque-Bera) pada Eviews 7. Hasil dari uji Jarque-Bera untuk model tersebut sebesar 0.623 atau p-value sebesar 0.732104 (p>0.05), sehingga kesimpulannya adalah belum cukup bukti untuk tolak Ho (terima Ho) yang berarti residual dalam model sudah menyebar normal (Lampiran 2). Uji untuk melihat adanya hubungan linier antar peubah bebas dilakukan pemeriksaan dengan melihat korelasi antar peubah bebas dalam model. Berdasarkan pada Lampiran 2, koefisien korelasi setiap variabel bebas lebih rendah dari nilai koefisien determinasi (R2) yaitu sebesar 94.04%, sehingga dapat
42 disimpulkan bahwa model tidak mengalami masalah multikolinieritas. Selain itu, dilakukan uji nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk setiap peubah bebas. Nilai VIF untuk setiap peubah bebas kurang dari 10 (Tabel 7). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa asumsi multikoliniertas telah terpenuhi. Tabel 8 Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk Masing-Masing Peubah Bebas dalam Model FE Peubah Bebas PROD PINT gindo GDP j FER
VIF 1.024528 1.763202 1.029223 1.539485 1.364672
Masalah heteroskedastisitas dapat dideteksi secara deskriptif yaitu dengan melihat residual graph, dimana residual cenderung menyebar di sekitar nol. Oleh karena itu, dapat disimpulkan ragam residual homogen (Lampiran 2). Autokorelasi dalam model tersebut diuji dengan melihat nilai Durbin watson hitung sebesar 1.615829 (Lampiran 2). Nilai DW tabel dengan jumlah observasi sebanyak 70 dan 5 peubah penjelas diperoleh nilai dL= 1.46 dan dU= 1.77. Nilai DW model FE yang diperoleh berada diantara dL < d < dU, maka berdasarkan kriteria keputusan uji DW hitung berada di wilayah tidak ada kesimpulan. Oleh karena itu, dilakukan uji formal lainnya yaitu uji Run menggunakan perangkat SPSS dan didapatkan nilai p-value sebesar 0.030 atau p-value < 0.05 (Lampiran 2). Sehingga dapat disimpulkan cukup bukti untuk menolak Ho, dimana Ho menyatakan bahwa residual tidak random (terdapat autokorelasi). Hasil dari uji Run tersebut menunjukkan bahwa model FE masih mengandung masalah autokorelasi. Penanganan Asumsi Regresi Klasik pada Model Terpilih Model FE atau pengaruh tetap terpilih melanggar asumsi bebasnya residual dari autokorelasi. Adanya masalah autokorelasi menyebabkan variansi sampel tidak dapat menggambarkan variansi populasi, model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk menduga nilai variabel terikat dari nilai variabel bebas tertentu. Dengan kata lain, penduga yang diperoleh dengan menggunakan OLS tidak lagi BLUE, sekalipun tidak bias dan konsisten (Nachrowi 2006). Penanganan yang dilakukan terhadap asumsi autokorelasi yang dilanggar adalah melakukan transformasi data menggunakan metode Cochran Orcutt. Selain itu, digunakan pembobotan cross section weight dan Coefficient covariance method yaitu White Cross-section untuk mengatasi keheterogenan ragam residual. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa model terpilih sudah tidak mengandung heteroskedastisitas. Hasil pemodelan baru dengan dilakukan pembobotan dan transformasi data dapat dilihat pada Tabel 8
43 Tabel 9 Hasil estimasi model faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia yang baru Faktor PROD PINT Gindo GDPj FER C R-squared Prob (F stat) R-squared Durbin Watsonstat
Koefisien t-statistik -0.040967** -2.023928 -1.087371** -5.168081 0.837945** 6.758602 0.117788** 2.201509 -0.714251** -3.366833 -3.969891* -1.906601 Weighted Statistics 0.978428 Residual Sum Squared 0.000000 Durbin Watsonstat Unweighted Statistics 0.924894 Residual Sum Squared 1.877756
Prob 0.0476 0.0000 0.0000 0.0317 0.0014 0.0615 54.93544
65.07352
Keterangan: (**) nyata pada taraf 5 persen (0.05) (*) nyata pada taraf 10 persen (0.1)
Berdasarkan Tabel 8 nilai p-value, uji F model baru sebesar 0.00 < 0.05, yang berarti secara keseluruhan model layak digunakan atau minimal ada satu variabel bebas yang tidak sama dengan nol. Selain itu, berdasarkan uji t, terdapat perubahan tingkat signifikansi pada masing-masing varabel bebas, dimana semua variabel bebas berpengaruh secara siginifikan terhadap volume impor garam pada taraf nyata 5%. Model FE baru yang dihasilkan juga meningkatkan nilai R2 menjadi 97.84 %. Artinya keragaman variabel volume impor garam Indonesia dapat dijelaskan oleh keragaman variabel penjelas dalam model sebesar 97.84% dan sisanya dapat dijelaskan oleh variabel penjelas di luar model. Pengujian asumsi klasik kembali dilakukan terhadap model FE yang baru. Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai VIF untuk masing-masing variabel bebas dibawah 10, sehingga dapat dsimpulkan bahwa asumsi multikolinieritas terpenuhi. Pengujian asumsi kenormalaan sisaan ditunjukkan dari nilai p-value sebesar 0.814006 > 0.05, yang berarti belum cukup bukti untuk menolak Ho. Dimana Ho merupakan residual telah menyebar normal (Lampiran 3). Pendeteksian heteroskedastisitas dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan residual grapf, dimana residual cenderung menyebar di sekitar nol atau ragam sisaan homogen (Lampiran 4). Selain itu, pendeteksian heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan membandingkan nilai residual sum squared pada weighted dan unweighted statistics. Nilai residual sum squared pada weighted statistics lebih kecil dari nilai unweighted statistics (54.93544 < 65.07352) sehingga dapat disimpulkan bahwa model tersebut tidak mengalami masalah heteroskedastisitas (Tabel 8). Asumsi bebasnya autokorelasi pada model ditunjukkan dengan nilai Durbin Watson model sebesar 1.77479. Angka tersebut berada di wilayah dU < d < 4-dU yang artinya model telah terbebas dari autokorelasi. Hasil yang sama juga ditunjukkan dari hasil uji Run dengan nilai p-value sebesar 0.9 > 0.05, yang berarti tidak ada autokorelasi (Lampiran 4). Pengujian untuk melihat adanya multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai VIF. Dimana berdasarkan Tabel 9 nilai VIF semua peubah bebas kurang dari 10, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah multikolinieritas. Berbagai uji yang telah dilakukan
44 tersebut pada akhirnya membawa pada kesimpulan bahwa model FE tersebut telah memenuhi asumsi klasik sehingga estimatornya bersifat BLUE. Tabel 10 Nilai VIF untuk masing-masing faktor independen dalam model Fixed Effect Peubah Bebas PROD PINT gindo GDP j FER
VIF 1.024528 1.763202 1.029223 1.539485 1.364672
Selain itu, model FE yang telah didapatkan mempunyai kelebihan yaitu dapat memberikan informasi mengenai pengaruh spesifik dari masing-masing negara eksportir garam ke Indonesia, yang digambarkan dengan adanya perbedaan intersep. Berdasarkan Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai pengaruh spesifik negara yang terbesar dimiliki oleh Australia yaitu sebesar -0.48334 (3.486554+ (-3.96989)). Intersep tersebut memiliki arti bahwa apabila diasumsikan variabel bebas tidak berubah maka volume impor garam Indonesia hanya akan bergantung pada pengaruh spesifik individu sebesar -0.48334. Selandia Baru memiliki pengaruh spesifik individu yang paling kecil yaitu sebesar -6.17769, yang berarti apabila variabel bebas semuanya diasumsikan tidak berubah maka volume impor garam Indonesia hanya akan bergantung dari pengaruh spesifik individu dari Selandia Baru sebesar -6.17769. Nilai tersebut juga mengindikasikan bahwa Australia relatif lebih berpengaruh terhadap perubahan volume impor garam dalam tingkat hubungan kerja sama bilateral, kebutuhan terhadap garam Australia sehingga dapat meningkatkan volume impor garamnya (cateris paribus). Tabel 11 Pengaruh spesifik individu model Fixed Effect terpilih Negara Australia Belanda China India Jerman Selandia Baru Singapura
Pengaruh Spefisik Individu 3.486554 -0.063086 -0.762154 -1.128717 0.926033 -2.207803 -0.250827
Interpretasi Model Permintaan Impor Garam Indonesia Model regresi data panel yang telah didapatkan menunjukkan pengaruh dari masing-masing faktor-faktor (variabel bebas) terhadap permintaan impor garam Indonesia. Pengaruh dari masing-masing faktor diuraikan sebagai berikut: a) Gross Domestic Product (GDP) Riil Indonesia (gindo) Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa variabel bebas GDP riil Indonesia (gindo) memiliki p-value sebesar 0.0000 < 0.05, yang berarti peubah GDP riil Indonesia berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen terhadap volume impor garam Indonesia. Koefisien dari variabel GDP riil Indonesia memiliki hubungan yang positif terhadap volume
45 impor garam Indonesia. Kondisi tesebut telah sesuai dengan hipotesis awal yang telah diajukan. Koefisien tersebut sebesar 0.837945, yang berarti bahwa setiap peningkatan GDP riil Indonesia sebesar 1 persen maka volume impor garam meningkat sebesar 0.837945 persen, begitupun sebaliknya (cateris paribus). Hal itu terjadi karena GDP menunjukkan economic size suatu negara sehingga ketika terjadi kenaikan GDP Indonesia maka akan meningkatkan pendapatan total masyarakat. Dengan demikian meningkatnya GDP suatu negara berarti terjadi peningkatan daya beli yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai impornya. Meningkatnya permintaan impor garam tersebut terutama disumbang oleh peningkatan kebutuhan untuk kebutuhan industri (garam industri). Pada tahun 2012, kebutuhan garam impor untuk garam industri mencapai 75 persen atau sekitar 1.5 juta ton. Kebutuhan tersebut akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah industri yang membutuhan garam tersebut. Bahkan berdasarkan Kementerian Perindustrian (2012) dalam Alim (2014) menyatakan bahwa dalam jangka waktu yang tidak akan lama akan mencapai 10 juta ton per tahun. Hal tersebut disebabkan produksi garam domestik belum mampu memenuhi kebutuhan garam industri atau hampir 100 persen kebutuhan garam industri dipasok dari garam impor. b) Gross Domestic Product (GDP) Riil Negara Asal Impor (GDP j) Variabel bebas GDP riil negara asal impor memiiki pengaruh secara siginifikan pada taraf nyata 5 persen terhadap volume impor garam Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat pada p-value variabel tersebut lebih kecil dari taraf nyatanya (0.0317 < 0.05). Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan nilai koefisien GDP riil negara asal sebesar 0.117788, yang berarti bahwa setiap peningkatan GDP riil negara asal impor sebesar 1 persen maka akan meningkatkan volume impor garam sebesar 0.117788 persen, begitu juga sebaliknya (cateris paribus). Hasil tersebut sesuai dengan hipotesis penelitian yang diajukan. Menurut Mankiw (2007) GDP sering digunakan sebagai suatu indikator dalam menentukan arah pembangunan. Hal ini disebabkan GDP riil merupakan nilai total barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara. Oleh karena itu, barang dan jasa yang diproduksi tersebut secara tidak langsung memengaruhi jumlah penawaran domestik negara tersebut, sehingga besarnya produksi dalam negeri tersebut pada akhirnya akan meningkatkan penawaran ekspor komoditi tersebut. c) Nilai Tukar Rupiah Riil terhadap Local Currency Unit (LCU) (FER) Berdasarkan p-value pada Tabel 8 menunjukkan bahwa variabel bebas nilai tukar memiliki pengaruh siginifikan terhadap volume impor garam pada taraf nyata 5 persen. Hal ini disebabkan p-value yang didapatkan lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Koefisien variabel bebas tersebut didapatkan sebesar -0.714251, yang berarti bahwa setiap kenaikan rasio nilai tukar rupiah terhadap LCU atau dengan kata lain terjadi depresiasi sebesar 1 persen maka akan menurunkan permintaan impor garam Indonesia yang digambarkan oleh besarnya volume impor garam Indonesia. Tanda dari koefisien tersebut telah sesuai dengan hipotesis yang telah diajukan. Hal ini disebabkan ketika terjadi depresiasi pada nilai mata
46 uang riil suatu negara (importir) maka serasa barang-barang (garam) luar negeri relatif lebih mahal sedangkan barang-barang domestik relatif lebih murah. Oleh karena itu kondisi tersebut akan menurunkan permintaan impor garam Indonesia dari negara eksportir. d) Produksi Garam Domestik (PROD) Variabel bebas produksi garam domestik Indonesia memiliki pvalue sebesar 0.0476. Dimana angka tersebut kurang dari taraf nyata 5 persen sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel produksi memiliki pengaruh signifikan terhadap volume impor garam Indonesia. Selain itu, variabel produksi domestik memiliki koefisien sebesar -0.040967, yang berarti peningkatan sebesar 1 persen pada produksi garam domestik maka akan menurunkan permintaan volume impor garam Indonesia sebesar 0.040967 persen. Tanda dari koefisien tersebut telah sesuai dengan hipotesis penelitian. Pada dasarnya impor terjadi ketika produksi garam domestik tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional. Oleh karena itu, peningkatan produksi garam domestik Indonesia akan menurunkan volume impor garam. e) Harga Garam Impor masing-masing Negara Eksportir (PINT) Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel bebas harga garam impor masing-masing eksportir berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata 5 persen, karena p-value lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0.0000 < 0.05). Koefisien variabel tersebut sebesar -1.087371, yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan harga impor sebesar 1 persen maka akan menurunkan volume impor garam Indonesia sebesar 1.087371 persen. Hubungan negatif antara harga impor dan volume impor tersebut telah sesuai dengan hipotesis penelitian. Kondisi tersebut sesuai dengan teori permintaan dimana ketika suatu harga komoditas tertentu naik maka akan secara langsung menurunkan permintaan akan komoditi tersebut atau dengan kata lain terdapat hubungan negatif. Tingkat Persaingan Impor diantara negara sumber impor utama (Australia, India dan Selandia Baru) Pendugaan Parameter Model Sistem Permintaan Model AIDS yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sebuah sistem permintaan yang menggambarkan persaingan diantara ketiga sumber impor garam di Indonesia. Sebagai fungsi permintaan, model penduga AIDS harus memenuhi beberapa persyaratan dasar yaitu symmtry dan homogeinity, sedangkan sifat adding up sudah terpenuhi secara otomatis dalam model dugaan (Deaton 1980). Kedua persyaratan tersebut direstriksi ke dalam model AIDS yang diestimasi dengan pertimbangan bahwa asumsi tersebut merupakan sifat utama dari suatu fungsi permintaan. Namun dalam penelitian ini tidak lakukan uji untuk mengecek pengaruh dari restriksi tersebut pada model yang diestimasi. Berdasarkan Tabel 11 didapatkan nilai R square untuk masing-masing model AIDS berturut-turutsebesar 69.12 persen untuk Australia, 69.14 persen untuk India dan 15.35 persen untuk Selandia Baru. Nilai tersebut menunjukkan kemampuan menjelaskan variabel bebas pada keragaman nilai proporsi impor suatu negara. Salah satunya yaitu Australia yang memiliki nilai R square sebesar
47 69.12 persen yang berarti keragaman proporsi (pangsa) impor dari Australia pada pasar impor Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel bebas sebesar 69.12 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Selain itu, p-value F(statistik) model Australia yang signifikan pada taraf nyata 5 persen (0.0000<0.05) menunjukkan bahwa variabel bebas tersebut secara serentak dapat menjelaskan variabel proporsi/ pangsa impor Australia, sedangkan p-value model pangsa impor Selandia Baru sebesar 0.2420. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata 5 persen yang berarti bahwa semua parameter dalam model memiliki nilai nol (tidak signifikan). Tabel 12 Hasil estimasi model tingkat persaingan diantara negara sumber impor utama Peubah Australia Bebas Koefisien P-value Pa 0.244** 0.000 Pi -0.248** 0.000 Pn -0.006** 0.022 Pr 0.010** 0.024 x -0.165** 0.000 C 1.774** 0.000 Model AIDS Australia F(stat) Model AIDS India F(stat) Model AIDS Selandia Baru F(stat)
India Koefisien P-value -0.248** 0.000 0.245** 0.000 0.003* 0.080 -0.0004 0.924 0.183** 0.000 -0.918** 0.002 R2 = 69.12% P-value = 0.0000 R2 = 69.14% P-value = 0.0000 R2 = 15.35% P-value = 0.2420
Selandia Baru Koefisien P-value -0.006** 0.022 0.003* 0.080 0.002* 0.099 -0.0002 0.669 -0.001 0.351 0.01 0.386
Keterangan: 1. Pa: Harga garam impor Australia; Pi: harga garam impor India; Pn: Harga garam impor Selandia Baru; Pr: Harga Impor Rest of World (ROW); dan x: total pengeluaran impor Indonesia 2. Signifikan pada taraf nyata: **5% dan *10%
Variabel bebas harga dari masing-masing negara pada ketiga persamaan tersebut umumnya signifikan pada taraf nyata 5 persen dan 10 persen. Hanya terdapat beberapa variabel bebas harga yang tidak signifikan pada taraf nyata 10 persen yaitu harga ROW pada persamaan India dan peubah harga ROW dan total pengeluaran impor Indonesia pada persamaan Selandia Baru. Selain itu, terdapat beragam pengaruh harga yang terlihat dari tanda dari masing-masing koefisien harga baik pada harga sendiri maupun harga silang. Pengaruh harga yang positif berarti apabila terjadi kenaikan harga negara tertentu maka akan meningkatkan proporsi/ pangsa impor negara tersebut, begitu juga sebaliknya. Koefisien total pengeluaran impor Indonesia dapat bertanda negatif maupun positif. Tanda tersebut adalah pengaruh total pengeluaran impor Indonesia terhadap pangsa impor masing-masing negara dimana apabila bernilai positif berarti ketika terjadi peningkatan pengeluaran impor garam Indonesia maka akan meningkatkan pangsa impor garam negara tersebut, begitu juga sebaliknya. Estimasi Elastisitas Permintaan Kepekaan respon kuantitas suatu komoditas yang diminta terhadap berbagai perubahan seperti harga dan pendapatan merupakan faktor penting yang
48 harus dipahami dalam ilmu ekonomi. Tingkat kepekaan atau elastisitas dapat dijadikan suatu informasi penting bagi pelaku ekonomi baik produsen, konsumen dan pemerintah dalam mengambil suatu keputusan. Pada dasarnya menurut Virgantari (2012) dari fungsi permintaan dapat diproleh gambaran mengenai bagaimana pengaruh perubahan-perubahan kondisi ekonomi (harga dan pendapatan) terhadap kuantitas permintaan. Namun dalam prakteknya, seringkali informasi tersebut tidak cukup hanya sekedar mengetahui apakah kuantitas permintaan tersebut naik atau turun sebagai akibat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, diperlukan pengukuran elastisitas untuk mengetahui ukuran kepekaan kuantitas terhadap berbagai faktor tersebut. Perhitungan ketiga elastisitas tersebut dibahas secara detail pada negara Australia dan India. Hal ini didasarkan pada p-value model Selandia Baru yang tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen, yang berarti semua peubah bebas dalam model tersebut memiliki nilai nol. Menurut Gheblawi et al (2013) model AIDS yang memiliki p-value yang tidak signifikan dapat menyebabkan adanya biasa interpretasi. Terdapat tiga bentuk elastisitas yang dibahas dalam penelitian ini yaitu elastisitas pengeluaran, elastisitas sendiri dan elastisitas silang. Elasititas sendiri digunakan pengukuran Elastisitas Marshallian (Uncomepensated), Elasititas silang didapatkan dari elastisitas Hicksian (Compensated). a) Elastisitas Pengeluaran Berdasarkan Tabel 12 menunjukkan bahwa negara sumber impor garam utama ke Indonesia memiliki rata-rata pangsa impor sebesar 98 persen, sedangkan negara lainnya yang ditunjukkan dari nilai pangsa rest of world (ROW) sebesar 2 persen. Australia merupakan negara sumber impor yang memiliki pangsa impor terbesar dalam memenuhi permintaan impor garam Indonesia yaitu sebesar 82.2 persen, sedangkan India dan Selandia Baru secara berturut-turut menempati posisi kedua dan ketiga dalam hal kepemilikan pangsa impor terbesar dengan nilai masing-masing sebesar 15.9 persen dan 0.4 persen dari rata-rata total pangsa impor garam Indonesia. Kondisi tersebut juga memberikan informasi bahwa negara yang paling rajin mengekspor garamnya ke Indonesia adalah Australia. Tabel 13 Pangsa impor dan elastisitas pengeluaran negara sumber impor Negara Sumber Impor Australia India Selandia Baru Rest of World
Share Rata-rata
Elastisitas Pengeluaran
0.822 0.159 0.004 0.01
0.80 2.15 0.60 0.88
Selain itu, dari tabel 13 didapatkan tanda dari nilai elastisitas pengeluaran dari masing-masing negara sumber impor positif. Hal ini mengindikasikan bahwa garam yang berasal dari ketiga negara sumber impor di atas merupakan barang normal. Australia memiliki nilai elastisitas pengeluaran sebesar 0.80 yang berarti apabila terjadi penambahan pengeluaran impor garam dari Indonesia sebesar 1 persen maka pengeluaran impor tersebut akan meningkatkan permintaan impor
49 garam dari Australia sebesar 0.8 persen. Nilai elastsitas pengeluaran Australia tersebut juga mencerminkan elastisitas pengeluaran yang inelastis karena nilai mutlaknya kurang dari satu. India memiliki nilai elastisitas pengeluaran yang elastis karena lebih besar dari 1 yaitu sebesar 2.15 yang berarti peningkatan pengeluaran impor garam Indonesia sebesar 1 persen maka akan meningkatkan permintaan garam impor dari India sebesar 2.15 persen. Sedangkan garam yang berasal dari Selandia Baru bernilai 0.60, yang berarti apabila terjadi peningkatan pengeluaran impor Indonesia sebesar 1 persen maka akan meningkatkan permintaan garam impor yang berasal dari Selandia Baru sebesar 0.60 persen. Besaran nilai elastisitas tersebut juga menunjukkan bahwa garam yang berasal dari Australia tidak sensitif (inelastis) terhadap perubahan total pengeluaran, sebaliknya India lebih sensitif terhadap perubahan total pengeluaran impor garam Indonesia. Kondisi ini diduga diakibatkan oleh timbulnya kejenuhan pasar Indonesia akan garam impor yang berasal dari Australia. Kejenuhan pasar garam dari kedua negara tersebut diakibatkan Australia dan Selandia Baru telah melakukan ekspor garamnya ke Indonesia sejak tahun 1980an hingga sekarang. Dengan kata lain, Indonesia cenderung mengalami ketergantungan pada garam impor yang berasal dari kedua negara tersebut khususnya Australia. Selain itu, kejenuhan pasar impor Indonesia terhadap garam Australia dibuktikan dengan nilai pengaruh spesifik individu (model data panel) Australia yang paling besar dibandingkan dengan negara lainnya. 70000000 60000000 Volume (kg)
50000000 40000000 30000000
20000000 10000000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan
Gambar 10 Perkembangan impor garam Indonesia yang berasal dari India tahun 2006-2007 Sumber: Trademap (2015)
Berdasarkan Gambar 9 menunjukkan bahwa permintaan impor garam dari India cenderung sangat fluktuatif. Selain itu, terdapat beberapa bulan dimana Indonesia tidak mengimpor garam yang berasal dari India. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa permintaan garam yang berasal dari
50 India sangat sensitif terhadap perubahan total pengeluaran impor garam Indonesia. Sehingga ketika terjadi kenaikan total pengeluaran untuk impor garam Indonesia maka pangsa impor garam dari India akan meningkat lebih besar dari peningkatan pengeluaran itu sendiri. Kondisi kerentanan permintaan garam dari India juga dapat dilihat dari koefisien total pengeluaran pada persamaan pangsa impor India yang bernilai positif terhadap pangsa impor India. Kondisi besarnya nilai elastisitas pengeluaran garam impor dari India juga diduga akibat perbedaan jenis garam yang diimpor oleh Indonesia. Garam yang diimpor oleh Indonesia sebagian besar merupakan garam konsumsi. Fakta tersebut diperkuat oleh Boenarco (2012) yang menyatakan bahwa India memproduksi garam konsumsi sekitar 11 juta ton setiap tahunnya. Dimana jumlah tersebut melebihi kebutuhan garam konsumsi domestik yang hanya sebesar 5.4 juta ton. Oleh karena itu, sebagian besar produksi garam domestik tersebut diperuntukkan untuk ekspor ke berbagai negara termasuk Indonesia. b) Elastisitas Harga Sendiri Tabel 13 menunjukkan besaran elastisitas harga sendiri untuk masing-masing negara sumber impor di Indonesia. Berdasarkan tanda besaran elastisitas masing-masing negara tersebut menunjukkan bahwa elastisitas harga sendiri Australia bertanda negatif. Dimana besaran nilainya sebesar -0.537, yang berarti ketika terjadi 1 persen kenaikan harga barang tersebut maka akan mengakibatkan penurunan permintaan garam impor yang berasal dari Australia sebesar 0.537 persen. Tanda dari kedua negara tersebut telah sesuai dengan teori permintaan, yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara permintaan terhadap harga. Namun elastisitas harga sendiri garam dari India bertanda positif yaitu sebesar 0.357 yang berarti apabila terjadi kenaikan harga sendiri sebesar 1 persen maka akan meningkatkan permintaan impor garam yang berasal dari India sebesar 0.357 persen. Tabel 14 Hasil perhitungan elastisitas harga sendiri pada sumber impor garam Indonesia Negara Australia India Selandia Baru
Australia
India -0.537 -
Selandia Baru 0.357 -
-0.384
Ketidaksesuaian tanda elastisitas harga sendiri India diduga diakibatkan jenis garam impor yang berasal dari India sebagian besar berupa garam konsumsi 3 4 , dimana kebutuhan garam konsumsi pada dasarnya masih dapat dipenuhi oleh garam domestik. Oleh karena itu, impor garam konsumsi umumnya dilakukan ketika produksi domestik 3
http://www.bumn.go.id/pelindo1/berita/1772/Sumut.Impor.8.700.Ton.Garam.dari.India (diakses tanggal 28 Juni 2015) 4 http://saltcomindia.gov.in/industry_india.html?tp=Salt (diakses tanggal 28 Juni 2015)
51 tidak mampu memenuhi kebutuhan garam domestik. Dengan kata lain, Indonesia akan melakukan impor garam konsumsi hanya pada keadaan yang terpaksa, sehingga akan tetap mengimpor meskipun harga garam tersebut cenderung meningkat. Salah satu contohnya terjadi pada tahun 2010 dimana produksi garam domestik hanya sebesar 30.600 ton, sehingga seluruh kebutuhan garam baik untuk konsumsi maupun industri dipenuhi oleh garam impor. Tabel 15 Perbandingan harga garam dan pangsa impor garam India tahun 2010-2011 Tahun Q1 Q2 2010 Q3 Q4 Q1 Q2 2011 Q3 Q4
Harga Garam India (US$)/ton 46.12 43.50 44.82 51.49 51.89 54.80 58.38 41.88
Pangsa Impor India (%) 0.13 0.10 0.21 0.30 0.37 0.45 0.32 0.23
Kondisi tersebut juga dijelaskan pada tabel 14 yang menunjukkan bahwa pertumbuhan peningkatan pangsa impor garam dari India pada saat terjadi anomali iklim (tahun 2010) sejalan dengan peningkatan harga garam dari India. Pada kuartal dua pada tahun 2011 menunjukkan bahwa Indonesia tetap meningkatkan impor garam dari India meskipun harga garam impor dari India tersebut meningkat. Kondisi sebaliknya terjadi pada kuartal empat tahun 2011, penurunan harga garam impor India diikuti oleh penurunan pangsa impor garam India. Hal ini diakibatkan pada tahun 2011 Indonesia telah mencanangkan Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) dengan hasil swasembada garam konsumsi pada tahun 2012, sehingga menurunkan permintaan impor garam dari India. c) Elastisitas Harga Silang Berdasarkan Tabel 15 menunjukkan nilai elastisitas harga silang antara garam impor yang berasal dari ketiga negara tersebut di Indonesia. Tanda tersebut menyatakan hubungan diantara kedua sumber impor tersebut. Hubungan yang negatif atau komplementer ditunjukkan oleh hubungan antara garam impor yang berasal dari Australia dan India. Nilai elastisitas silang antara Australia dan India sebesar -0.143, yang berarti ketika terjadi kenaikan harga garam impor yang berasal dari India maka akan menurunkan pangsa impor India sebesar 0.143 persen. Hubungan komplementer yang terjadi antara komoditi impor dari dua negara tertentu menunjukkan bahwa kedua komoditi yang berasal dari kedua negara tersebut berbeda dan saling melengkapi (Medelin 2001). Pernyataan Medelin tersebut menguatkan bahwa jenis garam impor yang berasal dari Australia dan India berbeda sehingga kedua garam impor tersebut saling melengkapi dalam memenuhi permintaan impor garam Indonesia. Dimana sebagian besar impor garam yang berasal dari India
52 berupa garam konsumsi sebaliknya Australia berupa garam industri. Selain itu, garam impor Australia juga memiliki hubungan yang saling melengkapi dengan garam impor dari Selandia Baru. Hubungan saling substitusi ditunujkkan antara garam impor yang berasa dari India dengan Selandia Baru. Besaran nilai elastisitas silang antara keduanya sebesar 0.029 yang berarti ketika terjadi kenaikan harga garam impor India sebesar 1 persen maka akan meningkatkan pangsa impor garam dari Selandia Baru sebesar 0.029 persen. Tabel 16 Hasil perhitungan elastisitas harga silang Negara Australia India Selandia Baru
Australia
India -
Selandia Baru -0.143 -0.003 0.029 -
Implikasi Kebijakan Impor Garam Indonesia Besarnya jumlah impor garam Indonesia yang cenderung mengalami tren peningkatan menyebabkan Indonesia sangat tergantung terhadap garam impor baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal tersebut tercermin dari hasil perhitungan ketiga elastisitas. Hasil perhitungan elastisitas pengeluaran garam yang berasal dari India memiliki nilai elastisitas tertinggi dibandingkan dengan Australia dan Selandia Baru. Hal tersebut mencerminkan bahwa jika total pengeluaran impor garam Indonesia meningkat maka permintaan terhadap garam India akan meningkat lebih besar dibandingkan dengan garam yang berasal dari kedua negara lainnya. Perhitungan elastisitas harga sendiri menunjukkan bahwa ketiga negara tersebut bersifat tidak responsif terhadap perubahan harganya (inelastis), dimana Australia memiliki nilai yang tertinggi. Besarnya nilai tersebut berarti bahwa Australia akan kehilangan pangsa pasar impornya lebih besar apabila menaikkan harganya. Selain itu, nilai elastisitas harga sendiri tersebut menunjukkan bahwa garam impor dari negara tersebut cenderung mengarah kepada barang pokok, dimana permintaanya tidak responsif terhadap perubahan harganya. Hasil perhitungan elastisitas tersebut juga menunjukkan bahwa India memiliki keunggulan kompetitif di pasar impor garam Indonesia, dimana India memiliki nilai elastisitas pengeluaran yang elastis dan memiliki nilai elastisitas harga sendiri yang inelastis. Penentuan tersebut didasarkan pada pendapat Yang dan Koo (1994) yang menyatakan bahwa suatu produk impor dari suatu negara tertentu memiliki keunggulan kompetitif apabila nilai elastisitas pengeluaran bersifat elastis dan elastisitas harga sendiri bersifat inelastis. Hubungan saling melengkapi antara garam impor dari Australia dan India juga membuktikan bahwa garam dari kedua negara tersebut secara umum berbeda jenis dalam memenuhi permintaan total impor garam Indonesia. Indonesia sebagian besar mengimpor garam konsumsi dari India dan garam industri dari Australia. Kondisi tersebut menunjukkan persaingan antara negara sumber impor yang dihadapi India dan Australia hanya berasal dari sumber impor ROW, dengan rata-rata pangsa impor hanya sebesar 1.4 persen. Dengan kata lain, persaingan
53 pangsa impor yang dihadapi Australia dan India tidak mendapatkan persaingan yang berarti dari negara lain. Pada akhirnya garam yang berasal dari Australia dan India tetap akan mendominasi pasar impor garam Indonesia. Selain itu, nilai elastisitas harga sendiri yang bersifat inelastis dari ketiga negara tersebut menunjukkan bahwa Indonesia telah bergantung secara spesifik pada garam impor yang berasal dari ketiga negara tersebut. Indonesia sangat tergantung dalam memenuhi kebutuhan garam domestik dari Australia dan India. Sifat inelastis tersebut juga sangat menguntungkan bagi kedua negara terhadap kebijakan perdagangan pemerintah Indonesia untuk melindungi industri garam nasional. Dimana upaya tersebut umumnya berupa kebijakan tarif impor yang secara langsung akan menaikkan harga riil dari garam impor tersebut. Adanya kebijakan tarif tersebut justru akan menaikkan pangsa impornya khususnya untuk India. Sebaliknya kebijakan tarif tersebut hanya akan menurunkan pangsa impor dengan proporsi yang lebih kecil dibandingkan peningkatan harga riilnya. Peggunaan kebijakan tarif hanya akan memberikan dampak yang relatif kurang memberikan pengaruh terhadap upaya dalam mengurangi impor garam. Selain karena adanya anjuran pengurangan instrumen tarif dalam organisasi perdagangan internasional, juga didasarkan pada hasil analisis pada pembahasan sebelumnya. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyadari bahwa untuk menyelamatkan industri garam nasional cenderung tidak diperlukan intervensi kebijakan perdagangan khususnya kebijakan tarif impor. Namun kebijakan tersebut sebaiknya lebih menitikberatkan pada pembenahan industri pergaraman nasional. Pada sisi kebijakan dalam negeri, hal pertama yang seharusnya pemerintah benahi adalah mengenai ketersediaan data garam nasional. Selama ini, data mengenai garam domestik baik data produksi garam domestik dan kebutuhan garam domestik belum dapat dipercaya. Faktanya, masing-masing kementerian yang membidangi garam yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan memiliki perbedaan data garam nasional. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya melakukan penataan melalui sinkronisasi data mengenai garam domestik. Sinkronisasi tersebut khususnya perlu dilakukan dalam berbagai Kementerian yang membidangi garam. Hal tersebut dimaksud untuk memberikan transparansi mengenai kebutuhan garam yang harus diimpor setelah melalui perhitungan kemampuan produksi garam domestik dalam memenuhi kebutuhan garam domestik tersebut. Kebijakan lain yang harus dilakukan adalah melakukan revisi pada SK Menteri Perdagangan RI Nomor 58 tahun 2012 khususnya pada penetapan kode pos tarif antara garam konsumsi dan garam industri. Pemerintah harus melakukan pemecahan kode pos tarif antara 2 jenis garam tersebut untuk meminimalkan bentuk penyimpangan bagi oknum-oknum importir garam. Selain itu, diperlukan pemberian subsidi pada sektor pergaraman nasional khususnya dalam bentuk bantuan non modal pada petani rakyat untuk dapat meningkatkan produksi garam baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini dimungkinkan untuk mengurangi biaya produksi petani rakyat sehingga mampu bersaing dengan garam impor. Pemerintah juga perlu melakukan berbagai riset mengenai garam untuk dapat meningkatkan produksi dan mutu garam domestik seperti yang telah dilakukan oleh India dengan Central Salt and Marine Chemicals Research Institute. Peningkatan produksi juga perlu dilakukan dengan melakukan ekstensifikasi lahan
54 khususnya di wilayah dengan intensitas penyinaran tinggi seperti Nusa Tenggara Timur. Peningkatan kuantitas dan kualitas produksi domestik tersebut dilakukan sebagai upaya mempersiapkan produksi domestik dalam menghadapi persaingan dari garam impor khususnya yang berasal dari Australia dan India. Upaya meningkatkan produksi faktor domestik didasarkan pada analisis model regresi panel yang menyatakan bahwa peningkatan produksi garam domestik mampu mengurangi volume permintaan impor garam Indonesia. Pada akhirnya setelah berbagai kebijakan tersebut direalisasikan, pemerintah sebagai pemangku kebijakan seharusnya melakukan pengawasan agar upaya yang dilakukan efektif dan berkelanjutan.
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
Berbagai kebijakan mengenai impor garam yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia belum sepenuhnya diterapkan. Hal ini diakibatkan lemahnya pengawasan dalam penerapan kebijakan tersebut. Hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan secara umum bahwa faktorfaktor yang signifikan berpengaruh terhadap volume permintaan impor garam Indonesia adalah produksi garam domestik, GDP riil Indonesia, GDP riil negara sumber impor, harga garam impor dan nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara sumber impor. Berdasarkan hasil dari perhitungan elastisitas dari model AIDS menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami ketergantungan secara spesifik terhadap garam impor khususnya pada garam impor Australia dan India. Kondisi tersebut diperparah dengan ditemukan bahwa terjadi hubungan saling melengkapi antara kedua negara tersebut (komplemen), sehingga produksi garam domestik menghadapi persaingan ketat dari garam impor dari kedua negara tersebut. Saran
Merujuk pada hasil diskusi mengenai implikasi kebijakan impor garam di atas maka disarankan: 1. Pemerintah seharusnya melakukan sinkronisasi data pergaraman nasional, khususnya dalam data mengenai produksi dan kebutuhan garam domestik untuk menggambarkan kebutuhan impor secara jelas dan transparan. 2. Melakukan upaya peningkatan produksi secara kualitas dan kuantitas melalui pemberian subsidi maupun dalam bentuk riset. 3. Diperlukan kekonsistenan kebijakan dalam bentuk pengawasan yang diambil pemerintah untuk menjamin tidak ada oknum yang memanfaatkan peluang dengan melakukan penyimpangan. 4. Bagi penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan unsur domestik dan komoditas impor lain dalam model AIDS untuk mendapatkan gambaran secara riil mengenai tingkat persaingan antara garam domestik dari negara
55 sumber impor lain dan persaingan komoditi garam dengan komoditas lain dalam suatu kelompok komoditas.
DAFTAR PUSTAKA Adler JH. 1945. "United States Import Demand during the Interwar Period", The AmericanEconomic Review, 35(3), pp. 418-430 Aldila HF. 2014. Persaingan Ekspor Kopi Indonesia di Pasar Negara Amerika Serikat. Prosiding Konferensi Nasional XVII: Bogor, 28-29 Agustus 2014. Bogor: Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. Alham F. 2013. Analisis Pemasaran Garam di Kabupaten Sumenep Jawa Timur. [Thesis]. Bogor: Departemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor. Aligori A. 2013. Efisiensi Produksi Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Indramayu. [Thesis] Bogor: Departemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor. Andayani SRM., Tilley DS. 1997. Demand and Competition Among Supply Sources : The IndonesianFruit Import Market. Journal ofAgricultural and Applied Economics.29(2):279-289. Anggasari P. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Impor Kedelai Indonesia. Bogor: IPB Aviliani. 2009. Pengangguran dan Kemiskinan: Berdayakan Sektor Pertanian. Jurnal Sekretariat Negara RI, No14 Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Impor Komoditi. http://www.bps.go.id/all_newtemplate.php (diakses 23 Desember 2014) Bahmani-Oskooee M, Rhee HJ. 1997. Structural Change in Import Demand Behavior, the Korean Experience: A Reexamination,” Journal of Policy Modeling. 19: 187-193. Bahmani-Oskooee M. 1998. Cointegration Approach to Estimate the Long-Run Trade Elasticities in LDCs. International Economic Journal. 12(3), 89-96 Boenarco IS. 2012. Kebijakan Impor Garam Indonesia (2004-2010): Implikasi Liberalisasi Perdagangan Terhadap Sektor Pergaraman Nasional. [thesis]. Depok: UI Boonsaeng T, Fletcher SM, Carpio CE. 2008. Journal of Agriculturaland Applied Economics. 40(3):.941-951. Cahyono H. 2009. factor-Faktor yang mempengaruhi Permintaan Impor Indonesia dari Amerika serikat 1985-200. Surakarta : Universitas Sebelas Maret Carew R, Florkowski WJ, He S. 2004. Demand for Domestic and Imported Table Wine in British Colombia: A Source-Differentiated Almost Ideal Demand System Approach. Canadian Journal of Agricultural Economics. 52: 183199. Chand T, Ho YH, Huang CJ. 2005. A Reexamination of South Korea’s Aggregate Import Demand Function: The Bounds Test Analysis. Journal of Economic Development.30(1) Chang HS, Nguyen C. 2002. Elasticityof Demand for Australian Cotton inJapan. The Australian Journal ofAgriculture and ResourceEconomics. 46(1): 99113.
56 Chani MI, Pervaiz Z, Chaudhary AR. 2011. Determination of Import Demand in Pakistan: The Role of Expenditure Components. Theoretical and Applied Economics.18(8): 93-110 Dedah C, Keithly WR, Diop H, Kazmierczak RF. 2007. An Inverse Almost Ideal Demand System for Oysters in the United States: AN Empirical Investigation of the Impact of Mandatory Labels. Southern Agrigultural Economics Association Annual Meetings. US: Mobil Alabama: February 3-6, 2007. Dey MM. 2000. Analysis of Demand for Fish in Bangladesh. Journal ofAquaculture Economics and Management. 4(1/2):63-81. Deaton A, Muellbauer J. 1980. AnAlmost Ideal Demand System. TheAmerican Economic Review. 70(3):312-326. Eales J, Unnevehr L. 1994. The Invers Almost Ideal Demand System. Proceedings of the NCR-134 Conference on Applied Commodity Price Analysis, Forecasting and Market Risk Management. US: Chicago Eakins JM, Gallagher LA. 2003. Dynamic Almost Ideal Demand System: An Empirical Analysis of Alcohol Expenditure in Ireland. Applied Economics. 35(9):1025-1036 Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika Untuk Data Panel Dan Time Series. Bogor [ID]: IPB Press. Fujii ET, Khaled M, Mak J. 1985. An Almost Ideal Demand System for Visitor Expenditures. Journal of Transport Economics and Policy. Gheblawi MS, Alashry MK, Sherif S, Basarir A, Ul-Haq Z. 2013. Analyzing UAE’S Imports of Fresh Fruits Utilizing An Almost Ideal Demand System. Bulgarian Journal of Agricultural Science. 19(4). Grant JH, Foster KA. 2005. An Inverse Almost Ideal Demand System for Fresh Tomatoes in The US. American Agricultural Economics Association Annual Meeting. US: Rhode Island, July 24-27, 2005. Grant JH, Lambert DM, Foster KA. 2010. A Seasonal Inverse Almost Ideal Demand System for North American Fresh Tomatoes. Canadian Journal of Agricultural Economics. 58:215-234 Gafar JS. 1988. The Determinants of Import Demand in Trinidad and Tobago: 1967-1984. Applied Economics. 20: 303-13. Gujarati DN, Porter DC. 2013. Dasar-dasar Ekonometrika Jilid 2. Ed ke-5. Mangunsong, penerjemah; Halim D A dan Febrina L, editor. Jakarta (ID): Salemba Empat. Terjemahan dari: Basic Econometrics 5th. Jamil AS. 2014. Analisis Sistem Tataniaga Garam Rakyat (Studi Kasus: Desa Lembung, Kecamatan Galis, Pamekasan Jawa Timur). [skripsi]. Bogor: IPB Hassan AR. 2007. A Multi-Stage Almost Ideal Demand System: the Case of Beef Demand in Colombia. Uiversidad EAFIT:Carrera Hapsari NT. 2007. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Volume Impor Gula Indonesia Periode 1983-2006. [skripsi]. Program Studi Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Henneberry SR, Hwang SH. 2007.Meat Demand in South Korea : An Application of The Restricted Source Differentiated AIDS Model. Journal of Agricultural and Applied Economics. 39(1):1-25. Hermanto. 1985. Pola Konsumsi di Daerah Pedesaan Jawa timur. Pusat Penelitian
57 Agro Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. departemen Pertanian, Jakarta Hindawati RH. 2014. Analisis Pola Konsumsi Bahan Pangan Sumber Protein Hewani Berdasarkan Golongan Pendapatan di Kabupaten Cirebon [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hutabalian M. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Daging Sapi Potong Domestik.[Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ilham N. 1998. Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ihsannudin. 2012. Pemberdayaan Petani Penggarap Garam Melalui Kebijakan Berbasis Pertanahan. Activita, Jurnal Pemberdayaan Mahasiswa dan Masyarakat UNS. Vol 2. Isin F, Miran B. 2009. An Analysis of Turkey’s Import for Cotton with Special Emphasis on US cotton. Journal of Food, Agricultural & Environment. 7(3&4):295-300. Imran M et al. 2006. Petambak Garam Indonesia: dalam Kepungan Kebijakan dan Modal. Jakarta: Ininnawa Juanda B, Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu. Bogor: IPB Press Johnson J, Oksanen E, Veall M, Fretz D. 1992. Short-run and long-run elasticitiesfor Canadian consumption of alcoholic beverages: An errorcorrectionmechanism/cointegration approach. Review of Economics and Statistics, 74: 64-74. Jabarin AS, Al-Karablieh EK. 2011. Estimating the fresh vegetables demand system in Jordan: alinear approximate almost ideal demand system. Journal of Agricultural Science andTechnology. 5(3): 322-331. Jiumpanyarach W. 2011. Estimation of demand system in an AIDS model: The opportunity ofexporting thai agricultural products. European Journal of Business and Economics. 5: 63-67. Jung J, Koo WW. 2000. An Econometric Analysis of Demand for Meat and Fish Products in Korea. Agricultural Economics Report No. 439.North Dakota State University, North Dakota Kalyoncu H. 2006. An Aggregate Import Demand Function for Turkey. MPRA Paper No. 4260. [Online]Available: http://mpra.ub.uni-menchu.de/4260/. Kahar M. 2010. Analisis pola konsumsi daerah perkotaan dan perdesaan serta keterkaitannya dengan karakteristik sosial ekonomi di Provinsi Banten [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lipsey et.al. 1995. Pengantar Mikroekonomi Edisi Kesepuluh. Penerjemah: Jaka Wasana dan Kirbrandoko. Binarupa Aksara, Jakarta. Terjemahan dari:Economic 10th Edition. Mah JS. 1993. Structural Change in Import Demand Behavior: The Korean Experience. Journal of Policy Modeling. 15: 223-227 Manik L. 2012. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aliran Perdagangan Impor Bawang Merah dan Kentang Indonesia (Periode Tahun 2001-2010). [skripsi]. Bogor: IPB
58 Mankiw GN. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Liza Fitria, Nurmawan Imam, penerjemah; Hardani Wibi, Bardani Devri, Saat Suryadi, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics 6th . Maraya GQ. 2013. Faktor-faktor yang mempengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Markusen J et al. 1995. International trade and Evidence. McGraw-Hill: Singapore. Medelin J. 2001. Caribbean Demand of US and Rest of the World Starchy Food (Wheat, Rice, Corn and Fresh Potatoes): A Restricted Source Differentiated Almost Ideal Demand System. Lecturas de Economia. No 55 Mohammad HA, Tang TC. 2000. Aggregate Imports and Expenditure Components in Malaysia: A Cointegration and Error Correction Analysis. ASEAN Economic Bulletin. 17(1): 257-269. Mutondo JE, Henneberry S. 2007.Competitiveness of U.S. Meats in Japan and South Korea : A Source Differentiated Market Study. Prosiding American Agricultural Economics Association Annual Meeting : Oregon, 29 Juli-1 AgustuS 2007. Portland : AmericanAgricultural Economics Association. Nachrowi ND, Usman H. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Depok: LP-FEUI Nugraha A. 2001. Diversifikasi PanganPokok di Indonesia: PenerapanModel Almost Ideal Demand SystemUntuk Permintaan Pangan Pokok[skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor. Nurkhayani E. 2009. Analisis Permintaan Pangan dan Gizi di Indonesia [tesis]. Depok: Universitas Indonesia Onkvisit, S & Shaw John. 2007. International Marketing: Analysis and strategy [4th edition]. Routlede. New York. Piumsombun S, Dey MM, Paraguas FJ. 2003. Analysis of Demand for Fish Consumed at Home in Thailand. WorldFish Center, Bangkok. Pratiwi LD. 2002. Pola Konsumsi Daging dan Telur Rumaah Tangga di Kabupaten Rembang Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Pracoyo TK, Pracoyo A. 2005. Aspek Dasar Ekonomi Makro di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo. Purnamasari R. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia. [skripsi]. Bogor: IPB Pusposari F. 2012. Analisis pola Konsumsi Pangan Masyarakat di Provinsi Maluku [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Rahutami AI. 2005. Analisis Permintaan Bahan Pangan Hewani: Pendekatan Error Correction Linear Approximation Almost Ideal Demand System. Jurnal Media Ekonomi Trisakti. Jakarta. Ramdhiani H. 2008. Analisis permintaan telur ayam ras dan ayam buras di Provinsi DKI Jakarta: penerapan model AIDS dengan data SUSENAS 2005 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Riffin A. 2013. Competitiveness of Indonesia’s Cocoa Beans Export in the world Market. International Journal of Trade, Economics and Finance. 4(5). Rochwulaningsih Y. 2013. Tata Niaga Garam Rakyat dalam Kajian Struktural. Jurnal Sejarah Citra Lekha. 17(1): 59-66.
59 Salvatore, D. 1998. International Economics, Prentice Hall; London. Sucofindo. 2010. Pemetaan Potensi Lahan Pegaraman dan Kebutuhan Garam Nasional. PT Sucofindo: Jakarta. Suherman T, Fauziyah E, Hasan F. 2011. Analisa Pemasaran Garam Rakyat (Studi Kasus Desa Kertasada, Kecamatan Kalianget, Kbaupaten Sumenep). Embryo. 8(2):73-81. Satyanarayana V, Wilson WW, Johnson DD. 1999. Import Demandfor Malt in Selected Countries : ALinear Approximation of AIDS. Canadian Journal of AgriculturalEconomics. 47: 137-149. Sari PN. 2014. Kompetisi Negara Eksportir Kedelai di Indonesia dengan Model AIDS. Prosiding Konferensi Nasional XVII: Bogor, 28-29 Agustus 2014. Bogor: Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. Solomon OG, Nazemzadah A. 2004. Demand Trends and Seasonality in Colombia Wheat Import Market: An Econometric Analysis. Southwest Business and Economics Journal. Surifanni DM. 2004. Permintaan Impor Kedelai Indonesia dari Amerika Serikat dan Aliran Impor Kedelai ke Indonesia. [skripsi]. Bogor: IPB Susanto DL. 2013. Analisis Atas Pengawasan Intern Terhadap Kegiatan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. [skripsi]. Depok: UI Teklu, Johnson. 1988. Demand System from Cross-Section Data: An Application to Indonesia. Canadian Journal of Agricultural Economics. 36:83-101. Tseuoa T, Yusman S, Dedi BH. 2012. The Impact of Australia and New Zealand Free Trade Agreement on The Beef Industry in Indonesia. Journal ISSAAS. 18(2): 70-82. [Uncomtrade] United Commodity Trade. 2014. Commodity Statistic. http://comtrade.un.org/db. U.S.Geological Survey. 2013. Mineral Commodity Summaries 2013. U.S Geological Survey Varian HR. 2010. Intermediate Microeconomics: A Modern Approach 8th. Norton and Company: New York. Vegh ID. 1941. Imports and Income in the United States and Canada. The Review of Economics and Statistics. 23(3): 130-146 Virgantari F. 2012. Analisis Permintaan Produk Perikanan di Indonesia: Suatu Studi Cross-Sectional [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wan Y, Sun C, Grebner DL. 2010.Analysis of Import Demand forWooden Beds in the U.S. Journal ofAgricultural and Applied Economics. 42(4): 643-658. Wang Q, Fuller F, Haye D, Halbrendt T. 1998. Chineese Consumer Demand for AnimalProducts and Implications for U.S.Pork and Pultry Exports. Journal ofAgricultural and Applied Economics. 30(1): 127-140 Wardani TPK. 2007. Analisis Pola Konsumsi Dan Permintaan Buah Pada Tingkat Rumah Tangga Di Pulau Jawa. Bogor: IPB Yang SR, Koo WW. 1994. Japanese Meat Import Demand EstimationWith The Source Differentiated AIDS Model. Journal of Agricultureand Resource Economics. 19(2): 396-408. Zhou D, Yu X, Herzfeld T. 2014. Dynamic Food Demand in Urban China. Global Food Discussion Paper. Georg-August-University of Gottingen: Germany.
60
LAMPIRAN
61 Lampiran 1 Estimasi Regresi Data Panel Model Pooled Least Square (PLS) Dependent Variable: VM Method: Panel Least Squares Date: 06/24/15 Time: 10:39 Sample: 2004 2013 Periods included: 10 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 70 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PROD PINT GINDO GDPJ FER C
-0.094655 -1.676237 1.099971 0.105507 0.068314 -13.92869
0.195996 0.191866 0.526407 0.027084 0.182854 14.89937
-0.482945 -8.736518 2.089581 3.895629 0.373602 -0.934851
0.6308 0.0000 0.0406 0.0002 0.7099 0.3534
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.774782 0.757187 1.885527 227.5336 -140.5838 44.03393 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
7.999279 3.826459 4.188108 4.380836 4.264662 0.517085
Model Fixed Effect Model Dependent Variable: VM Method: Panel Least Squares Date: 06/24/15 Time: 10:41 Sample: 2004 2013 Periods included: 10 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 70 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PROD PINT GINDO GDPJ FER C
-0.102042 -1.216985 0.789244 0.555616 1.586827 -28.01446
0.108112 0.151334 0.850155 0.952977 1.568684 18.93015
-0.943851 -8.041693 0.928354 0.583032 1.011566 -1.479886
0.3492 0.0000 0.3571 0.5621 0.3159 0.1443
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.940444 0.929149 1.018521 60.16836 -94.02849 83.26133 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
7.999279 3.826459 3.029386 3.414842 3.182494 1.615829
62
Model Random Rffect Dependent Variable: VM Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 06/24/15 Time: 10:42 Sample: 2004 2013 Periods included: 10 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 70 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PROD PINT GINDO GDPJ FER C
-0.080834 -1.239092 1.020302 0.151887 0.155012 -15.75194
0.106248 0.148701 0.293124 0.087309 0.586968 9.903565
-0.760806 -8.332747 3.480783 1.739639 0.264089 -1.590532
0.4496 0.0000 0.0009 0.0867 0.7926 0.1166
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
2.195844 1.018521
Rho 0.8229 0.1771
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.593711 0.561970 1.010393 18.70467 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1.160906 1.526646 65.33724 1.491530
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.749211 253.3676
Mean dependent var Durbin-Watson stat
7.999279 0.384629
Uji Likelihood Ratio Ho = PLS H1 = FEM Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic 26.888950 93.110592
d.f.
Prob.
(6,58) 6
0.0000 0.0000
63
Uji Hausman H0 = REM H1 = FEM Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
0.000000
5
1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
Lampiran 2 Uji Asumsi Klasik pada Model Uji Korelasi VM PROD PINT GINDO GDPJ FER
VM 1.000 -0.027 -0.836 0.115 0.680 -0.433
PROD -0.027 1.000 -0.030 -0.149 -0.004 0.014
PINT -0.836 -0.030 1.000 0.034 -0.580 0.502
GINDO 0.115 -0.149 0.034 1.000 0.034 -0.023
GDPJ 0.680 -0.004 -0.580 0.034 1.000 -0.383
Uji Heteroskedastisitas 3
2
1
0
-1
-2
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 7 7 7 7 7
-
04 06 08 10 12 04 06 08 10 12 04 06 08 10 12 04 06 08 10 12 04 06 08 10 12 04 06 08 10 12 04 06 08 10 12
-3
Standardized Residuals
FER -0.433 0.014 0.502 -0.023 -0.383 1.000
64 Uji Autokorelasi (Run Test) Runs Test VAR00001 a
Test Value
-.03
Cases < Test Value
35
Cases >= Test Value
35
Total Cases
70
Number of Runs
27
Z
-2.167
Asymp. Sig. (2-tailed)
.030
a. Median
Ho: Residual Random H1: Residual tidak random Uji Normalitas 14
Series: Standardized Residuals Sample 2004 2013 Observations 70
12 10 8 6 4 2 0 -2.5
-2.0
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
Ho: Residual menyebar normal H1: Residual tidak menyebar normal
1.0
1.5
2.0
2.5
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-1.27e-17 -0.032660 2.289623 -2.493765 0.933812 -0.138553 3.370189
Jarque-Bera Probability
0.623666 0.732104
65 Lampiran 3 FEM dengan Transformasi Dependent Variable: Y Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/14/15 Time: 17:52 Sample: 2004 2013 Periods included: 10 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 70 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (no d.f. correction) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PROD PINT GINDO GDPJ FER C
-0.040967 -1.087371 0.837945 0.117788 -0.714251 -3.969891
0.020242 0.210401 0.123982 0.053503 0.212143 2.082182
-2.023928 -5.168081 6.758602 2.201509 -3.366833 -1.906601
0.0476 0.0000 0.0000 0.0317 0.0014 0.0615
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.978428 0.974337 0.973223 239.1518 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
10.62672 9.934169 54.93544 1.774791
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.924894 65.07352
Mean dependent var Durbin-Watson stat
7.307079 1.877756
66 Lampiran 4 Uji Asumsi pada Model Terpilih Uji Normalitas 16
Series: Standardized Residuals Sample 2004 2013 Observations 70
14 12 10 8 6 4 2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-9.04e-17 -0.045814 2.003831 -2.610133 0.892281 -0.083403 3.336582
Jarque-Bera Probability
0.411576 0.814006
0 -2.5
-2.0
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
Ho: Residual menyebar normal H1: Residual tidak menyebar normal Uji Heteroskedastisitas 3
2
1
0
-1
-2
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 7 7 7 7 7
-
04 06 08 10 12 04 06 08 10 12 04 06 08 10 12 04 06 08 10 12 04 06 08 10 12 04 06 08 10 12 04 06 08 10 12
-3
Standardized Residuals
67 Uji Autokorelasi (Run Test) Runs Test VAR00001 a
Test Value
.07
Cases < Test Value
31
Cases >= Test Value
32
Total Cases
63
Number of Runs
32
Z
-.125
Asymp. Sig. (2-tailed) a. Median
Ho: Residual Random H1: Residual tidak random
.900
68 Lampiran 5 Hasil Sistem Permintaan Impor Garam Constraints: ( 1) [aus]Pi ( 2) [aus]Pn ( 3) [ind]Pn ( 4) [aus]Pa ( 5) [ind]Pa ( 6) [new]Pa Equation aus ind new
+ + +
[ind]Pa [new]Pa [new]Pi [aus]Pi [ind]Pi [new]Pi
= = = + + +
0 0 0 [aus]Pn + [aus]Pr = 0 [ind]Pn + [ind]Pr = 0 [new]Pn + [new]Pr = 0
Obs
Parms
RMSE
"R-sq"
chi2
P
33 33 33
4 4 4
.058628 .0591726 .0023224
0.6912 0.6914 0.1535
83.41 77.92 5.47
0.0000 0.0000 0.2420
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
aus Pa Pi Pn Pr x _cons
.2443338 -.2488036 -.0063237 .0107935 -.1652715 1.774267
.0561812 .0559962 .0027558 .0047689 .0454863 .2877181
4.35 -4.44 -2.29 2.26 -3.63 6.17
0.000 0.000 0.022 0.024 0.000 0.000
.1342207 -.3585542 -.0117249 .0014467 -.2544231 1.210349
.3544468 -.1390531 -.0009225 .0201403 -.07612 2.338184
Pa Pi Pn Pr x _cons
-.2488036 .2453577 .0038926 -.0004466 .183269 -.918303
.0559962 .056337 .0022205 .004711 .0460788 .2919276
-4.44 4.36 1.75 -0.09 3.98 -3.15
0.000 0.000 0.080 0.924 0.000 0.002
-.3585542 .1349391 -.0004595 -.0096801 .0929562 -1.490471
-.1390531 .3557762 .0082447 .0087868 .2735818 -.3461354
Pa Pi Pn Pr x _cons
-.0063237 .0038926 .0026048 -.0001737 -.0017014 .0104647
.0027558 .0022205 .0015776 .0004069 .0018259 .0120598
-2.29 1.75 1.65 -0.43 -0.93 0.87
0.022 0.080 0.099 0.669 0.351 0.386
-.0117249 -.0004595 -.0004871 -.0009711 -.0052801 -.013172
-.0009225 .0082447 .0056968 .0006237 .0018773 .0341015
ind
new
69 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pamekasan pada tanggal 16 Desember 1991 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Kusairi dan Ibu Elly Sulistiowati. Penulis menyelsaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Pamekasan pada tahun 2010. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Program Sarjana IPB di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen dan lulus pada tahun 2014. Program Pascasarjana ditempuh penulis melalui jalur sinergi S1-S2 (Fast Track) dengan memperoleh sponsor berupa Beasiswa Unggulan Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri (BU BPKLN), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan baik dalam kepanitiaan maupun organisasi. Kepanitiaan yang pernah diikuti diantaranya sebagai anggota divisi logistik dan transportasi (logtrans) Agrination 2012, Masa Perkenalan Departemen (MPD) Agribisnis 2012 sebagai komisi disiplin, Syaria Economy Business Competition (SEBC) dan Seminar Internasional Ekonomi syaria 2012 sebagai ketua logtrans dan konsumsi. Sedangkan untuk organisasi yang diikuti yaitu bergabung dengan organisasi Keluarga Mahasiswa Madura (GASISMA) tahun 2010-2015. Dalam jenjang pascasarjana penulis mengikuti organisasi Gita Swara Pascasarjana sebagai pengurus periode 2014-2015. Selain itu, penulis juga pernah aktif menjadi asisten praktikum biologi umum TPB IPB pada tahun 2012. Penulis pernah mendapatkan pendanaan DIKTI pada Program Kreativitas Mahasiswa bidang kewirausahaan pada tahun 2013 dengan judul Vefruit cupcakes (Cupcakes sayuran isi buah) dan pada tahun yang sama penulis juga memperoleh pendanaan pada bidang Gagasan Tertulis (PKM –GT) dengan judul Green Mart. Penulis juga pernah mendapatkan juara 1 pada Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional yang diselenggarakan oleh POPMASEPI tahun 2012 di Universitas Sriwijaya dan lolos seleksi presentasi karya tulis ilmiah pada seminar internasional “Green Campus Summit” yang diselenggarakan di India tahun 2013. Pada tahun 2013 penulis juga pernah mendapatkan juara 3 pada Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN). Penelitian skripsi penulis telah diterima dan akan diterbitkan dalam Jurnal Forum Agribisnis periode Oktober 2015. Selain itu, pada tahun 2015 dua makalah ilmiah penulis diterima untuk dipresentasikan pada Seminar Nasional dan peluncuran buku Kristalisasi Paradigma Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi dan Pendidikan Tinggi Memperingati 70 tahun Prof Bungaran Saragih.