ANALISIS PERMINTAAN DAGING SAPI IMPOR INDONESIA
RESTI PRASTIKA DESTIARNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Permintaan Daging Sapi Impor Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2016
Resti Prastika Destiarni NIM H351140151
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN
RESTI PRASTIKA DESTIARNI. Analisis Permintaan Daging Sapi Impor Indonesia. Dibimbing oleh SUHARNO dan NETTI TINAPRILLA. Daging sapi merupakan komoditas yang diyakini permintaannya akan terus meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan penduduk Indonesia. Hal tersebut juga ditunjukkan dari tren konsumsi penduduk Indonesia yang meningkat setiap tahunnya. Namun peningkatan konsumsi tersebut belum dapat dipenuhi sepenuhnya oleh produksi lokal. Ada defisit antara konsumsi dan produksi daging sapi di Indonesia. Padahal tingkat konsumsi daging sapi penduduk Indonesia masih tergolong rendah sebesar 2.36 kg/kapita/tahun. Adanya defisit pemenuhan kebutuhan daging sapi tersebut mendorong pemerintah untuk melakukan kegiatan impor. Selain itu, Indonesia sebagai salah satu pemain global tidak bisa dilepaskan dari kegiatan perdagangan internasional. Adanya kebijakan swasembada daging sapi yang dilakukan pemerintah diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi impor daging sapi apalagi tren impor daging sapi Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang negatif. Terdapat tiga negara yang menguasai pasar daging sapi impor Indonesia. Ketiga negara tersebut memiliki pangsa ratarata 84 persen. Secara tidak langsung, Indonesia menggantungkan kebutuhan daging sapi impornya pada tiga negara tersebut. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan analisis untuk menggambarkan keragaan permintaan daging sapi di Indonesia sehingga dapat membantu pemerintah mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan impor daging sapi Indonesia. Tujuan penelitian ini secara khusus antara lain: 1) Menganalisis keragaan bisnis komoditas daging sapi di Indonesia; 2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor daging sapi di Indonesia; dan 3) Menganalisis posisi persaingan tiga negara sumber daging sapi impor Indonesia. Berdasarkan keragaan produksi daging sapi di Indonesia, jumlah produksi daging sapi di Indonesia meningkat rata-rata sebesar 3.05 persen per tahunnya dengan sentra produksi daging sapi di Indonesia adalah Provinsi Jawa Timur. Konsumsi daging sapi per kapita Indonesia meningkat dengan tingkat kelajuan konsumsi sebesar 1.40 persen per tahun. Tingkat konsumsi ini diramalkan akan meningkat sebesar 4.8 persen sampai tahun 2024 sehingga kebutuhan daging sapi akan meningkat setiap tahunnya. Adanya fluktuasi harga daging sapi dalam negeri berbanding terbalik dengan ketersediaan pasokan daging sapi dalam negeri. Ratarata kenaikan harga daging sapi di Indonesia mencapai 13.49 persen dan diprediksi akan terus meningkat jika pasokan daging sapi belum stabil. Salah satu penyebab tingginya harga daging sapi adalah panjangnya rantai pasok daging sapi dari peternak hingga ke tangan konsumen. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap volume impor daging sapi adalah tingkat konsumsi masyarakat Indonesia, harga domestik, dan harga daging sapi impor. Semakin tinggi tingkat konsumsi daging sapi di Indonesia akan menyebabkan peningkatan volume impor daging sapi terutama jika tidak diimbangi dengan pasokan dalam negeri. Harga daging sapi
dalam negeri yang tinggi dan harga daging sapi impor yang lebih rendah akan menyebabkan peningkatan volume impor. Berdasarkan hasil analisis permintaan, Australia memiliki pangsa pasar (share) terbesar di pasar daging impor Indonesia. Diikuti oleh Selandia Baru, Rest of World (ROW), dan yang terakhir adalah Amerika Serikat dengan share terkecil. Elastisitas pengeluaran merupakan persentase perubahan pangsa atau share ekspor negara sebagai respon terhadap perubahan total impor Indonesia. Elastisitas pengeluaran Australia paling elastis. Untuk elastisitas harga sendiri, nilai elastisitas semua negara bernilai negatif. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan yang menyatakan bahwa ketika harga suatu komoditas meningkat, maka permintaan atau share terhadap produk tersebut akan turun. Nilai elastisitas silang antar negara tersebut menunjukkan bahwa komoditas ketiga negara saling bersubstitusi yang artinya antar negara sumber impor saling bersaing. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa perlu adanya upaya perbaikan sistem agribisnis komoditas daging sapi di Indonesia. Pemerintah dapat melakukan diversifikasi daging untuk mengantisipasi peningkatan konsumsi daging sapi sehingga konsumsi daging sapi yang meningkat dapat di diversifikasi pada komoditas daging lainnya. Selain itu, diperlukan kekonsistenan kebijakan dalam bentuk pengawasan yang diambil pemerintah untuk menjamin tidak ada oknum yang memanfaatkan peluang dengan melakukan penyimpangan. Kata kunci: AIDS, daging sapi, permintaan impor, regresi
SUMMARY
RESTI PRASTIKA DESTIARNI. The Demand Analysis of Indonesia Imported Meat. Supervised by SUHARNO and NETTI TINAPRILLA. Meat (meat of bovine) is a commodity which is believed that the demand will increase along the increasing of Indonesian income. It is continously showed from the increasing of consumption trend every year. However, the increasing of that consumption has not been fulfilled yet by domestic production. There is a deficit between Indonesia meat consumption and production. Whereas, meat consumption rate of Indonesian is still low around 2.36 kg/capita/year. The existence of deficit on fulfilling meat needs encourage the government to do importing. Moreover, Indonesia as one of the global player can not be separated from international trade activity. The existence of meat self-sufficient policy, which is conducted by government, is expected to be one of the method to reduce imported meat especially Indonesia imported meat trend shows a negative growth. There are three countries which dominate Indonesia imported meat market. Those countries have share approximately 84 percent. Indirectly, Indonesia rely on the meat needs on those three countries. Based on those statement, it is needed to do analyzing to describe meat demand performance in Indonesia so that it can support the government to find out some factors which affect Indonesia importing activity on meat. In particular, this research is aimed: 1) to analyze business performance of meat commodity in Indonesia; 2) to analyze some factors which affect the demand of imported meat in Indonesia; and 3) to analyze the competitive position from those three countries as the source of Indonesia imported meat. Based on meat production performance in Indonesia, the amount of meat production in Indonesia increased around 3.05 percent in average per year with the central of meat production in Indonesia is East Java Province. Meat consumption per capita in Indonesia increased with the level of consumption pace around 1.40 percent per year. This consumption level was forcasted to increase reaching 4.8 percent till 2024 so that meat necessity would increase each year. The existance of meat price fluctuation in domestic market was inversely related by the supply of domestic meat. The increasing average of meat price in Indonesia reached 13.49 percent and was predicted to increase if the meat supply was not stable yet. One of the causes on the high meat price was the lenght of meat supply chain from breeders to last consumers The result of factors analysis which was influenced imported meat demand showed that the factors which was influenced significantly on imported meat volume were the Indonesian consumption level, domestic price, and imported meat price. The higher of meat consumption level in Indonesia would lead to an increasing of imported meat volume especially if it was not balanced with domestic supply. The more expensive of domestic meat price and the cheapest of imported meat price would cause the increasing of import volume. Based on the result of demand analysis, Australia had the biggest share in Indonesia imported meat market. It was followed by New Zealand, Rest of World (ROW), and the last was United States with the smallest share there. Expenditure elasticity was the alteration percentage of export share as a respond on an alteration
of Indonesia total import. Australia expenditure elasticity was the most elastic. For own price elasticity, elasticity value from all of imported source countries were negative. It was suitable with demand law which stated that if the price of some commodities increased, demand or share on those commodities would decrease. Cross price elasticity among them showed the commodity from those countries were substituted each other which was meant that there were a competition among them. The research result showed that it is needed an improving efforts on meat agribusiness system in Indonesia. The Government can do meat diversifying to anticipate the increasing of meat consumption so that the increasing of meat consumption can be diversified on other meat commodities. Beside that, it is needed policies consistency on supervising form which is taken by the government to ensure that noones will take advantages on irregularities. Keywords: AIDS, import demand, meat, regression
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS PERMINTAAN DAGING SAPI IMPOR INDONESIA
RESTI PRASTIKA DESTIARNI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Rachmat Pambudy, MS. Penguji Wakil Program Studi
: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih pada tesis ini ialah permintaan impor, dengan judul tesis yaitu Analisis Permintaan Daging Sapi Impor Indonesia. Penyelesaian tesis ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak sehingga penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada pihak-pihak terkait. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Suharno MAdev dan Dr Ir Netti Tinaprilla MM selaku komisi pembimbing, Dr Ir Rachmat Pambudy MS selaku dosen penguji tesis, serta Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen penguji wakil program studi dan Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis. Selain itu, terima kasih juga penulis ucapkan kepada Program Studi Magister Sains Agribisnis IPB dan pihak terkait yang mendukung kelancaran penulisan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ibu dan seluruh keluarga yang telah bersabar dan senantiasa mendoakan penulis selama menempuh pendidikan magister, khususnya selama proses penyelesaian tesis ini. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala dukungan dari teman-teman Magister Sains Agribisnis angkatan 5 selama menempuh pendidikan magister. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan pengembangan sektor peternakan khususnya komoditas daging sapi.
Bogor, Oktober 2016
Resti Prastika Destiarni
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Komoditas Daging Sapi Permintaan Impor Analisis AIDS (Almost Ideal Demand System) KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional METODE PENELITIAN Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengolahan Data Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Produksi Komoditas Daging Sapi Indonesia Keragaan Konsumsi Komoditas Daging Sapi Indonesia Keragaan Harga dan Rantai Pasok Komoditas Daging Sapi Indonesia Keragaan Impor Daging Sapi Indonesia Keragaan Kebijakan Komoditas Daging Sapi Indonesia Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Daging Sapi Impor Indonesia Tingkat Persaingan Negara Sumber Daging Sapi Impor (Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat) Implikasi Kebijakan SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vi vi vii 1 1 5 7 7 8 8 8 9 12 13 13 31 33 33 33 34 41 41 44 44 47 49 53 58 62 63 63 64 65 72 79
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Konsumsi dan defisit daging sapi 2008 – 2012 Produksi daging sapi nasional 2008 – 2012 Tren proyeksi konsumsi daging sapi 2017 – 2024 Impor komoditas daging sapi tahun 2010 – 2013 Ukuran elastisitas penawaran Ukuran elastisitas permintaan Jenis dan sumber data pendukung penelitian Ukuran-ukuran elastisitas model AIDS Hasil estimasi model faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor Indonesia Hasil estimasi model posisi persaingan negara sumber daging sapi impor Indonesia Pangsa impor dan elastisitas pengeluaran negara sumber impor Perhitungan elastisitas harga sendiri negara sumber impor Perhitungan elastisitas hargasilang negara sumber impor
3 3 5 6 23 24 34 40 55 58 60 61 61
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Keseimbangan konsumen Efek substitusi dan efek pendapatan akibat adanya perubahan harga dan penurunan kurva permintaan Marshallian dan permintaan Hicksian Hubungan secara umum antara fungsi permintaan Marshallian dan Hicksian Mekanisme terjadinya perdagangan internasional (Salvatore 1997) Kerangka pemikiran operasional Perkembangan populasi sapi potong di Indonesia tahun 1984 – 2014 Sentra populasi daging sapi Indonesia 2007 – 2014 Perkembangan produksi daging sapi Indonesia Sentra produksi daging sapi Indonesia Perkembangan konsumsi daging sapi Indonesia tahun 1993 – 2014 Perkembangan harga daging sapi Indonesia Rantai pasok ternak daging sapi lokal Rantai pasok ternak dan daging sapi impor Rantai pasok daging sapi impor Perkembangan volume impor daging sapi Indonesia Proporsi perkembangan permintaan daging sapi impor 2000 – 2013
15 16 17 18 32 41 42 43 43 44 45 45 46 47 48 49
16
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Estimasi regresi berganda Uji asumsi klasik pada model Hasil regresi komponen utama Hasil uji wald Output permintaan daging sapi impor
72 72 76 77 78
PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam pemenuhan kebutuhan manusia karena hasil produksi sektor pertanian digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar manusia terutama dalam hal kebutuhan pangan. Sektor pertanian dibagi menjadi beberapa subsektor antara lain subsektor tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor perkebunan, subsektor kehutanan, subsektor perikanan (terdiri dari perikanan budidaya dan perikanan tangkap), dan subsektor peternakan. Walaupun sektor pertanian penting terutama karena menyangkut kebutuhan pangan, kontribusi sektor pertanian pada PDB (Produk Domestik Bruto) nasional semakin menurun setiap tahunnya. Pada tahun 2013, kontribusi sektor pertanian hanya 12.26 persen (BPS 2015). Selama lima tahun terakhir penurunan kontribusi sektor pertanian rata-rata mencapai 0.3 persen. Di lain pihak, sektor yang paling bertumbuh dengan pesat adalah sektor industri (manufaktur dan non manufaktur). Penurunan kontribusi tersebut berbeda dengan statistik yang ditunjukkan berdasarkan ketenagakerjaan. Sektor pertanian mampu menyerap sekitar 34.36 persen tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada di Indonesia (Kemenakertrans 2014). Hal tersebut menunjukkan bahwa penduduk Indonesia masih menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian karena kelangsungan dari sektor pertanian secara langsung berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan ketahanan pangan Indonesia. Ketahanan pangan (Food Security) menurut Undang-undang No. 18 Tahun 2012 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai perorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan menjadi perhatian negara-negara seluruh dunia seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pemenuhan kebutuhan pangan, energi, dan air. Terdapat tiga aspek penting yang harus dipenuhi dalam mewujudkan ketahanan pangan, antara lain ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan. Salah satu sektor pertanian yang menjadi fokus dalam hal membangun ketahanan pangan adalah subsektor peternakan. Subsektor peternakan merupakan salah satu subsektor yang penting dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan. Subsektor ini diyakini memiliki potensi sebagai penggerak utama ekonomi nasional (Daryanto 2007). Hal tersebut didasari kepada fakta bahwa: (1) Kuantitas dan keragaman sumber daya peternakan yang besar; (2) Industri sektor peternakan memiliki keterkaitan yang kuat dengan industri-industri lainnya baik keterkaitan ke belakang maupun kedepan; (3) Industri peternakan berbasis sumber daya lokal (resources based industries) dan (4) Memiliki keunggulan, memiliki keunggulan komparatif dari segi sumber daya ternak (Daryanto 2007), dan memiliki keunggulan kompetitif dari segi komponen biaya tenaga kerja (Daryanto 2009). Daging sapi merupakan salah satu produk hasil subsektor peternakan yang menjadi objek untuk mewujudkan ketahanan pangan. Hal tersebut dapat dilihat dari
2
upaya pemerintah dengan adanya program swasembada daging sapi. Program swasembada yang dicanangkan oleh pemerintah pada intinya didasari pada keinginan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional secara mandiri. Adanya program swasembada ini diharapkan bahwa konsumsi daging sapi dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri minimal sebanyak 90 persen (on trend), sedangkan sisanya dapat dipenuhi dari impor (Junaidi 2013). Program swasembada ini sudah direncanakan sejak tahun 2005, lalu diperbarui 2010, dan terakhir 2014 dengan program yang disebut PSDS (Program Swasembada Daging Sapi). Program Swasembada Daging Sapi 2014 merupakan program pemutakhiran dari program swasembada daging 2005 dan 2010 yang tidak berhasil, pemutakhiran yang dilakukan meliputi aspek program, organisasi pelaksana, dokumen pendukung, dan pendanaan (Ashari et al 2012). Pemenuhan pangan berasal dalam negeri disadari semakin penting sebab jika mengandalkan impor dapat menyebabkan ketahanan pangan dalam komoditas daging sapi menjadi lemah jika negara pengekspor tidak bersedia menjual produknya. Menurut Sunari et al (2010), impor sapi dapat mengganggu agribisnis sapi potong lokal disebabkan: (1) Harga daging sapi impor relatif lebih murah dibandingkan harga daging sapi lokal dan (2) Terdapat pergeseran dari kegiatan impor sapi bakalan menjadi impor sapi siap potong atau daging. Daging sapi sebagai salah satu produk hasil komoditas peternakan digemari konsumen dengan alasan pertimbangan gizi, status sosial, pertimbangan kuliner, dan pengaruh budaya barat (Jonsen 2004), disamping itu tingkat kecernaan protein daging sapi mencapai 95 – 100 persen dibandingkan kecernaan protein tanaman yang hanya 65 – 75 persen (Aberle et al 2001). Daging sapi memiliki cita rasa yang khas yang tidak bisa disubstitusi dengan daging jenis lain terutama ketika pengonsumsiannya saat memperingati hari besar keagamaan tertentu walaupun harganya mengalami peningkatan (Ilham 2006). Berdasarkan RPJMN bidang pangan dan pertanian 2015 – 2019, konsumsi daging sapi di Indonesia akan mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut disebabkan karena semakin meningkatnya jumlah penduduk. Selain itu, kenaikan konsumsi daging sapi juga disebabkan oleh citra produk (gengsi), cita rasa, serta pertumbuhan industri pengolahan daging sapi, dan industri pariwisata (hotel dan restoran). Menurut teori ekonomi, faktor lain yang mempengaruhi konsumsi daging sapi per kapita adalah pendapatan rumah tangga konsumen. Hasil analisis dengan menggunakan model LA-AIDS (Linear Approximation – Almost Ideal Demand System) memperoleh elastisitas pendapatan yang bernilai positif yaitu 1.478 yang diinterpretasikan sebagai, setiap kenaikan pendapatan rumah tangga 10 persen, konsumsi langsung daging sapi naik 14.78 persen. Hal ini menunjukkan bahwa daging sapi merupakan produk pangan mewah bagi rumah tangga konsumen. Maka selanjutnya, peningkatan pendapatan masyarakat diperkirakan dapat meningkatkan konsumsi langsung daging sapi. Konsumsi tidak langsung (untuk bahan baku industri pengolahan, bakso, dan lain-lain) juga akan terus meningkat dengan meningkatnya pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk (RPJMN bidang pangan dan pertanian 2015 – 2019).
3
Tabel 1 Konsumsi dan defisit daging sapi 2008 – 2013 Defisit Konsumsi Produksi (ton)a (ton)b Ton Persentase (%) 2008 395 244 222 656 172 588 43.67 2009 413 087 213 477 199 610 48.32 2010 440 774 349 967 90 807 20.60 2011 488 931 410 698 78 233 16.00 2012 544 896 425 495 119 401 21.91 2013 593 706 463 778 167 928 21.88 Laju (%) 8.51 17.95 Sumber: RPJMN Bidang pangan dan pertanian 2015 – 2019, Badan Pusat Statistik (2014) (diolah) a Terdiri dari konsumsi rumah tangga, penggunaan untuk industri pengolahan, dan tercecer b Produksi daging sapi ex sapi lokal Tahun
Konsumsi daging sapi setiap tahunnya menghasilkan angka yang fluktuatif dengan kecenderungan menunjukkan angka laju yang positif, artinya rata-rata konsumsi daging sapi setiap tahunnya meningkat. Tabel 1 menunjukkan jumlah konsumsi daging sapi yang berasal dari konsumen rumah tangga maupun industri dan jumlah produksi daging sapi yang berasal dari sapi potong lokal. Laju produksi yang cenderung lebih tinggi dibandingkan laju konsumsi akan berpengaruh positif terhadap penurunan defisit pemenuhan daging sapi di Indonesia. Defisit daging sapi terbesar terjadi pada tahun 2009 dengan persentase mencapai 48.32 persen namun defisit tersebut berhasil menurun mencapai 21.88 persen pada tahun 2013 yang artinya bahwa dalam waktu empat tahun dengan konsumsi yang meningkat, pemerintah dapat menurunkan tingkat defisit mencapai 45.28 persen. Selama ini defisit konsumsi daging sapi Indonesia dipenuhi oleh komoditas daging sapi impor. Berdasarkan tabel terlihat bahwa produksi merupakan faktor penting dalam mengurangi defisit yang selanjutnya akan mempengaruhi jumlah daging sapi impor yang masuk ke Indonesia. Semakin meningkatnya produksi, akan mengurangi defisit, dan akan mengurangi jumlah daging sapi yang diimpor oleh pemerintah. Naik turunnya jumlah komoditas impor akan berhubungan dengan besarnya produksi yang sanggup dilakukan oleh Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan antara jumlah (volume) impor dengan produksi adalah negatif (berlawanan). Tabel 2 Produksi daging sapi nasional 2008 – 2013 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Laju
Sapi lokal Ton 222 656 213 477 349 967 410 698 425 495 463 778
% 56.73 52.16 80.18 84.62 84.18 85.00 17.95
Sapi impor Ton % 169 844 43.27 195 823 47.84 86 485 19.82 74 635 15.38 79 982 15.82 81 843 15.00 -8.95
Total (ton) 392 500 409 300 436 452 485 333 505 477 545 621
Sumber: RPJMN Bidang pangan dan pertanian 2015 – 2019, Badan Pusat Statistik (2014) (diolah)
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa laju peningkatan produksi daging sapi di Indonesia diiringi dengan penurunan laju impor. Pada tahun 2008 – 2013, laju penurunan jumlah impor daging sapi Indonesia mencapai 8.95 persen. Hubungan negatif antara volume impor dan produksi dapat dilihat berdasarkan hasil pada Tabel 2. Pada tahun 2010, produksi daging sapi lokal meningkat hingga mencapai
4
80 persen dikarenakan adanya pembatasan impor yang diterapkan pemerintah dan rancangan program swasembada daging sapi untuk memenuhi komoditas daging sapi berdasarkan sumber daya lokal. Penurunan impor dapat mendorong dan membuka peluang bagi peternak sapi lokal untuk memproduksi lebih banyak sapi lokal. Namun pernyataan bahwa peningkatan produksi daging sapi lokal yang sangat cepat merupakan prestasi yang bagus memerlukan pertimbangan lebih lanjut. Peningkatan produksi daging sapi lokal yang sangat cepat sebagai akibat dari pembatasan impor daging sapi dapat mengancam populasi ternak sapi potong di Indonesia jika peningkatan jumlah kelahiran hidup tidak sebanding dengan peningkatan jumlah pemotongannya. Indikasi terancamnya populasi ternak sapi potong antara lain adalah semakin sulit mendapatkan ternak sapi potong jantan dengan bobot hidup 300 kg atau lebih per ekor dan meningkatnya pemotongan ternak sapi potong betina produktif, yang berarti pemusnahan (extinction) sumberdaya ternak sapi potong (RPJMN bidang pangan dan pertanian 2015 – 2019). Kebijakan pembatasan impor terutama komoditas daging sapi dalam upaya menghindari terancamnya populasi ternak sapi potong hidup harus memperhitungkan dua hal, yaitu: (1) Kebutuhan riil daging sapi untuk konsumsi rumah tangga, rumah makan, hotel, catering, industri pengolahan, dan lain-lain; dan (2) Jumlah kelahiran sapi dan jumlah sapi yang tersedia untuk dipotong. Kesalahan dalam perhitungan pemenuhan kebutuhan daging sapi akan memberikan efek domino di pasar daging sapi Indonesia. Salah satunya adalah timbul kelangkangan daging sapi di pasaran. Kelangkaan ini akan berpengaruh terhadap harga daging sapi. Pada dasarnya, perhitungan kuota impor tersebut harus dilakukan secara cermat agar tidak terjadi kekurangan stok yang menyebabkan kelangkaan dan peningkatan harga maupun kelebihan stok yang menyebabkan pasar domestik jenuh dan dapat menjatuhkan harga daging sapi. Dengan adanya perdagangan internasional, Indonesia tidak mungkin menghalangi secara absolut komoditas-komoditas yang berasal dari luar negeri untuk masuk bersaing di pasar lokal. Indonesia tidak bisa secara absolut mengelak dari kegiatan impor sebagai konsekuensi Indonesia sebagai salah satu pemain global. Sunari et al (2010) menyatakan bahwa pasar daging sapi Indonesia sebenarnya rentan terhadap pengaruh pasar global karena dipengaruhi oleh penawaran daging sapi, konsumsi dan harga daging sapi lokal, harga riil, jumlah induk dan pemotongan sapi lokal, serta jumlah dan harga daging sapi impor. Apalagi saat ini Indonesia telah menandatangani perjanjian wilayah perdagangan bebas bilateral terutama dengan negara Australia dan Selandia Baru berupa kesepakatan Asean-Australian-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA), dengan menyetujui kesepakatan ini maka tarif impor daging sapi maupun sapi hidup akan dihilangkan atau dengan kata lain daging impor dapat semakin mudah masuk ke Indonesia. Kondisi demikian memperkuat pandangan bahwa sektor peternakan khususnya daging haruslah mengedepankan kepada sumber daya lokal. Perdagangan bebas dapat mengancam sektor peternakan sapi potong lokal jika tidak dapat bersaing dengan sapi impor. Simatupang (2004) memandang dalam upaya memperoleh manfaat dari keterbukaan pasar diperlukan beberapa persyaratan, salah satunya perlu memenuhi syarat keharusan yaitu adanya keunggulan kompetitif dari produk yang dimiliki.
5
Tabel 3 Tren proyeksi konsumsi daging sapi 2017 – 2024 Tahun 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Konsumsi (kg/kapita/tahun) 2.88 3.04 3.20 3.36 3.52 3.68 3.84 4.00
Konsumsi Nasional (ton) 729 910.96 774 937.66 819 964.36 864 991.05 910 017.75 955 044.45 1 000 071.14 1 045 097.84
Sumber: Roadmap Pengembangan Sapi Potong Indonesia (Kerjasama Fakultas Peternakan UGM dan APFINDO)
Berdasarkan Tabel 3, konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia diproyeksikan akan meningkat dengan kelajuan rata-rata 4.81 persen. Adanya ketidakseimbangan pemenuhan dan ketersediaan daging sapi di Indonesia membuat pemerintah harus menemukan solusi yang tepat sehingga tidak mengancam keberadaan komoditas lokal Indonesia. Hingga saat ini, Indonesia melakukan impor daging sapi untuk dapat menjamin pasokan daging sapi bagi masyarakatnya sehingga dari kepastian pasokan tersebut dapat menjamin harga yang terjadi di pasar. Kegiatan impor juga dapat digunakan Indonesia sebagai salah satu sarana membangun dan mendukung industri peternakan untuk selanjutnya dapat memenuhi kebutuhan daging sapi dari produksi lokal. Adanya analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi Indonesia melakukan impor daging sapi dapat dijadikan acuan untuk menemukan solusi bagi Indonesia dalam mengurangi impor daging sapi. Perlu dipertanyakan faktor yang mendasari kegiatan tersebut selain fakta bahwa adanya perdagangan bebas yang hampir menghapus hambatanhambatan suatu negara untuk menjual komoditasnya ke negara lain. Pengetahuan tersebut dapat membantu pemerintah untuk menemukan solusi yang sesuai untuk dapat memberdayakan sumber daya lokal dan meningkatkan ketahanan pangan Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi. Tercapainya hal tersebut dapat menjadi tolok ukur bagi pemerintah dalam melaksanakan swasembada pada komoditas daging sapi.
Rumusan Masalah Indonesia melakukan kegiatan impor untuk mencukupi pasokan kebutuhan daging sapi ketika ketersediaan daging sapi lokal belum mampu memenuhi keseluruhan kebutuhan masyarakat Indonesia. Adanya program swasembada yang dirancang oleh pemerintah hingga tahun 2015 belum menemukan kata berhasil. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi daging yang rendah per kapita penduduknya dibandingkan dengan standar FAO. FAO memberikan standar konsumsi daging sapi per kapitanya yaitu 33 kg/kapita/tahun. Rata-rata konsumsi daging sapi di Indonesia mencapai 2.36 kg/kapita/tahun. Hal tersebut nampak sangat berbeda jika dibandingkan konsumsi daging sapi di Argentina (55 kg/kapita/tahun), Brazil (40 kg/kapita/tahun), dan Jerman (40 – 45 kg/kapita/tahun). Sementara untuk konsumsi daging sapi di Singapura dan Malaysia rata-rata konsumsinya adalah 15 kg/kapita/tahun.
6
Tabel 4 Impor komoditas daging sapi tahun 2010 – 2013 Tahun
Volume (ton)
Nilai (000 US$)
2010 2011 2012 2013 Total Growth Rate (%)
90 506 65 022 39 419 48 085 243 032 (19.01)
289 506 234 266 164 887 223 032 911 691 (8.33)
Sumber: BPS 2014
Sejak tahun 2010, pertumbuhan impor daging sapi Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang negatif dengan penurunan volume impor mencapai 19 persen (berdasarkan Tabel 4). Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia dapat memberdayakan sumber daya lokal untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri. Terkait dengan penurunan volume impor, perlu dilakukan analisis untuk mengetahui faktor apa yang paling signifikan mempengaruhi penurunan impor sehingga Indonesia dapat menemukan solusi berdasarkan faktor tersebut. Terlebih adanya peningkatan taraf hidup penduduk Indonesia akan membuat konsumsi daging sapi diramalkan juga akan meningkat. Sebelumnya telah dibahas bahwa subsektor peternakan merupakan salah satu penggerak ekonomi nasional karena berbasis sumber daya lokal. Dengan adanya penurunan komoditas daging sapi impor maka sumber daya lokal sebagai pembangun perekonomian negara dapat lebih berperan. Indonesia melakukan kegiatan impor pada dasarnya untuk memenuhi pasokan daging sapi sehingga ketersediaan daging sapi di pasar lokal tetap aman. Namun kegiatan impor jika tidak terkendali akan menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang terjadi dari kegiatan impor yang erat kaitannya dengan globalisasi adalah (1) menghambat pertumbuhan sektor industri (2) sektor keuangan semakin tidak stabil (3) memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi. Kondisi semakin meningkatnya impor daging sapi akan membuat perkembangan usaha perternakan rakyat menjadi terdesak sehingga perlu adanya proteksi dari pemerintah untuk mengurangi besarnya impor. Selain proteksi, untuk mengurangi impor dapat dilakukan dengan peningkatan produksi daging sapi lokal. Hal yang harus diperhatikan adalah beberapa tahun belakangan ini Indonesia yang memiliki penduduk keempat terbesar di dunia telah menjadi target pasar dunia. Hasilnya adalah Indonesia sedang mengalami food trap yaitu kecenderungan mengimpor bahan pangan. Tiga negara terbesar yang melakukan ekspor daging sapi ke Indonesia adalah Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat (USA). Ketiga negara tersebut memiliki rata-rata total pangsa pasar untuk ekspor komoditas daging sapi sebesar 84 persen. Australia menduduki posisi pertama dalam hal jumlah ekspor daging sapi ke Indonesia diikuti Selandia Baru dan Amerika Serikat. Adanya Asean-Australian-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) membuat perdagangan antara Indonesia dengan negara tersebut menjadi lebih terbuka dan hambatan perdagangan semakin menipis. Selain itu, Indonesia dalam melakukan impor daging sapi menerapkan sistem basis negara yaitu Indonesia akan mendatangkan daging sapi dari negara yang terindikasi bebas dari penyakit ternak. Amerika Serikat merupakan negara yang diindikasi ternaknya bebas dari penyakit
7
mulut dan kuku (PMK) ataupun antrax yang biasa terjadi pada ternak sapi. Adanya perjanjian perdagangan bebas terutama antara Australia, Selandia Baru, dan Indonesia sebagai salah satu negara di ASEAN membuat masuknya daging sapi impor akan semakin mudah dalam tahapannya karena berdasarkan perjanjian tersebut akan terjadi reduksi tarif komoditas impor. Indonesia bisa mendapat masalah baru terkait dengan komoditas daging sapi jika tren penurunan volume impor tidak konsisten. Terutama kebijakan impor daging sapi Indonesia saat ini masih berpusat pada tiga negara yaitu Australia, Amerika Serikat, dan Selandia baru. Hal tersebut akan merugikan Indonesia jika ketergantungan komoditas sudah spesifik mengacu pada suatu negara. Jika pada tahun 1970-an Indonesia yang diwakili oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur mampu melakukan ekspor daging sapi, diharapkan saat ini Indonesia berada di jalur keberhasilan dalam melaksanakan program swasembada daging sapi yang telah direncanakan sejak tahun 2005. Jika Indonesia tidak bisa melakukan penekanan jumlah impor daging sapi akan berakibat pada terganggunya sistem agribisnis sapi potong di Indonesia. Berdasarkan pemaparan tersebut memunculkan beberapa pertanyaan yang menjadi permasalahan untuk dianalisis. Adapaun pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana keragaan bisnis komoditas daging sapi di Indonesia? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor di Indonesia? 3. Bagaimana posisi persaingan tiga negara sumber daging sapi impor pasar Indonesia? Tujuan 1. 2. 3.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: Menganalisis keragaan bisnis komoditas daging sapi di Indonesia Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor daging sapi di Indonesia Menganalisis posisi persaingan tiga negara sumber daging sapi impor Indonesia
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan informasi bagi pengembangan agribisnis sapi potong yang menghasilkan produk daging sapi di Indonesia untuk semua pelaku agribisnis dari hulu hingga hilir dan memberikan pandangan terhadap pihak terkait mengenai permasalahan perdagingan sapi di Indonesia sehingga dapat merumuskan kebijakan yang lebih baik terkait dengan pengembangan komoditas daging sapi sebagai suatu sistem agribisnis. Selain itu, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai preferensi daging sapi impor yang dilakukan oleh Indonesia dengan pendekatan negara pengekspor sebagai pilihan impor.
8
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan model ekonometrika untuk menentukan faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor dan menentukan posisi persaingan negara pengekspor daging sapi ke Indonesia. Negara pengimpor daging sapi adalah Indonesia sedangkan negara pengekspor adalah Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Ketiga negara tersebut dipilih karena jumlah produk ekspor daging sapi yang masuk ke Indonesia memiliki jumlah yang besar dibandingkan dengan ekspor dari negara-negara lainnya (rest of world). Lingkup penelitian ini meliputi analisis permintaan impor komoditas daging sapi dengan kode SITC Rev 1 0111 (Meat of bovine animals, fresh, chilled, and frozen). Implikasi kebijakan yang dianalisis merupakan kebijakan yang diterapkan di Indonesia sebagai negara pengimpor.
TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Komoditas Daging Sapi Daging sapi merupakan salah satu hasil output dari sapi potong. Sapi potong sendiri merupakan komoditas yang tercantum dalam dokumen revitalisasi pertanian sehingga wajar komoditas ini menjadi salah satu komoditas yang diharapkan untuk dapat mencapai swasembada (Ilham 2006). Adanya wacana mewujudkan swasembada daging sapi di Indonesia membuat penelitian tentang komoditas daging sapi berkembang dengan topik penelitian yang saling berkaitan diantaranya analisis kebijakan; analisis permintaan dan penawaran; dan dinamika ketersediaan dan harga serta jaminan keamanan komoditas daging sapi. Analisis yang digunakan dalam melakukan penelitian tentang komoditas daging sapi dapat berupa analisis deskriptif, simulasi model dinamis, maupun analisis statistika. Pada umumnya analisis deskriptif dan simulasi model dinamis dilakukan untuk menganalisis dampak kebijakan terutama kebijakan dalam mewujudkan swasembada daging sapi dan analisis sosial ekonomi pencapaian swasembada daging sapi. Berdasarkan penelitian Ilham (2006), Atmakusuma et al (2014), dan Pulungan (2014), untuk dapat mewujudkan swasembada daging sapi diperlukan dukungan dari berbagai pihak, tidak hanya adanya kebijakan dari pemerintah pusat namun dari pihak peternak, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, DPR/DPRD, dan pemerintah daerah baik lintas subsektor maupun departemen. Program ini sangat penting untuk mendapat dukungan berupa program pembibitan dan pengendalian penyakit yang berkelanjutan. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan swasembada adalah dengan membatasi impor yang masuk ke Indonesia dan memberdayakan produksi lokal. Namun, penerapan pembatasan impor harus dilakukan secara cermat sehingga tidak menimbulkan gejolak baik secara ekonomi maupun politik. Salah satu sumber daging sapi impor Indonesia adalah Australia. Adanya kebijakan pembatasan impor salah satunya dengan kuota akan memiliki dampak tersendiri terhadap hubungan perdagangan antara kedua negara. Namun sebenarnya, pengurangan kuota impor daging sapi oleh pemerintah Indonesia tidak berpengaruh terhadap hubungan politik kedua Negara, namun iklim politik dalam negeri yang bergejolak akibat kelangkaan daging dipasar, begitu juga
9
dengan pemerintahan Australia yang mendapat tekanan dari para peternak karena Indonesia merupakan salah satu negara tujuan ekspor daging sapi Australia. Untuk menganalisis tren harga daging sapi studi kasus daging sapi eceran di dalam negeri, penelitian kementerian perdagangan (2013) menggunakan analisis regresi berganda dengan metode OLS. Pada dasarnya permintaan daging sapi akan meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk sehingga keberlanjutan pasokan sangat diperlukan untuk menstabilkan harga. Permasalahannya adalah produksi daging sapi belum berkesinambungan, sistem pendataan yang belum sempurna, dan sistem distribusi yang belum tertata baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi dari sisi permintaan antara lain permintaan dan penawaran daging sapi lokal, permintaan dan penawaran daging sapi impor, selera, dan hari besar keagamaan, sedangkan dari sisi penawaran antara lain harga daging sapi dalam negeri dan impor, jumlah produksi lokal, jumlah populasi, tingkat upah, suku bunga, dan harga riil sapi. Berdasarkan sisi permintaan, faktor yang paling mempengaruhi harga daging sapi adalah permintaan daging sapi sedangkan berdasarkan sisi penawaran adalah harga daging sapi dalam negeri. Penelitian Ilham (1998) dengan menggunakan pendekatan simultan metode three stage least squares (3SLS) memaparkan bahwa penawaran daging sapi dari peternakan rakyat dipengaruhi oleh selisih harga daging sapi, dan penawaran dari industri peternakan rakyat; penawaran dari industri peternakan rakyat dipengaruhi oleh harga daging sapi, harga bakalan impor, dan tingkat suku bunga; impor daging sapi dipengaruhi oleh tarif impor; permintaan daging sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi dan harga ikan; dan harga daging sapi domestik dipengaruhi oleh harga daging sapi impor, harga ternak sapi, dan penawaran sapi domestik. Penelitian-penelitian sebelumnya menggambarkan tentang tren harga, permintaan, dan penawaran daging sapi dalam negeri. Permintaan impor daging sapi juga berperan dalam pemenuhan permintaan dalam negeri. Indonesia dalam memenuhi kebutuhan daging sapi yang semakin meningkat mengandalkan penawaran impor dari negara lain salah satunya adalah Australia. Dengan menggunakan pendekatan Error Correction Model (ECM), faktor yang mempengaruhi impor daging sapi Indonesia dalam jangka panjang adalah harga daging sapi impor, harga daging domestik, nilai tukar rupiah, GDP (gross domestic product), dan krisis ekonomi Indonesia 1997 sedangkan dalam jangka pendek, hanya harga daging sapi domestik yang tidak berpengaruh.
Analisis Permintaan Impor Komoditas pertanian merupakan komoditas yang penting bagi hajat hidup suatu negara dan masyarakatnya karena komoditas pertanian memenuhi berbagai macam kebutuhan baik kebutuhan industri maupun rumah tangga. Komoditas pertanian digunakan sebagai bahan baku maupun bahan siap pakai dalam konsumsi. Dalam memenuhi kebutuhannya, suatu negara memproduksi sendiri komoditas pertaniannya. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa tidak semua komoditas pertanian dapat dihasilkan secara mandiri. Ada beberapa hal yang mempengaruhi suatu negara tidak bisa berproduksi sendiri, antara lain tidak adanya sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang mampu untuk memproduksinya; keadaan iklim dan kondisi geografis yang kurang mendukung
10
untuk dilakukannya proses produksi suatu komoditas pertanain; dan lebih besarnya permintaan yang terjadi dari sisi konsumen sehingga produksi belum dapat mencukupi semua kebutuhan konsumsi masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan produksi tersebut, pemerintah memiliki berbagai cara, salah satunya dengan impor. Impor merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Adanya permintaan impor dari suatu negara merupakan bentuk perdagangan internasional yang terjadi antara dua negara (bilateral) maupun banyak negara (multilateral). Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, para peneliti mulai menunjukkan ketertarikan untuk menganalisis permintaan impor yang dilakukan suatu negara. Penelitian-penelitian tersebut antara lain mencakup analisis permintaan impor dengan pendekatan multinegara yang dilakukan pada enam negara berkembang (Yunani, Korea, Singapura, Afrika Selatan, Pakistan, dan Filipina) (Bahmani-Oskooee 1998); analisis permintaan impor yang dilakukan berdasarkan kelompok negara seperti negara Amerika Latin dan Karibia (Ozturk and Acaravci 2009), dan negara-negara di Asia Timur (Kim and Lee 2014); analisis permintaan impor yang dilakukan pada dua negara saja seperti Amerika Serikat dan Sri Lanka (Emran and Shilpi 2010), Amerika Serikat dan China (Rifin 2013), atau Jepang dan Korea Selatan (Mutondo and Henneberry 2007); serta analisis permintaan impor yang spesifik dilakukan hanya pada satu negara saja seperti Amerika (Sulgham and Zapata 2006. Babula 2014), Jamaika (Hibbert et al 2012), Swiss (Feleke and Kilmer 2007), Indonesia (Andayani and Tilley 1997. Rifin 2010. Permani 2013. Rifin 2013), dan Jepang (Chang 2000. Chang and Nguyen 2002. Miljkovic and Jin 2006). Analisis permintaan impor yang melibatkan banyak negara (contoh: enam negara yang dianalisis) cenderung mempertimbangkan bahwa negara tersebut memiliki keadaan ekonomi yang serupa dan merupakan negara yang sedang berkembang. Begitupun dengan analisis impor kelompok negara. Pada analisis permintaan impor dua negara dilakukan berdasarkan kesamaan pasar impor. Penentuan negara tersebut berdasarkan pada kemiripan pasar komoditas impor yang dihadapi. Contohnya pada analisis permintaan impor yang melibatkan Amerika Serikat dan China dengan komoditas pilihan yaitu kelapa sawit yang didatangkan dari Indonesia. Amerika Serikat dan China merupakan pengimpor kelapa sawit terbesar bagi pasar kelapa sawit Indonesia. Sedangkan pada analisis permintaan impor satu negara dilakukan untuk melihat secara spesifik permintaan impor yang terjadi dan pasar impor yang dihadapi di negara tersebut. Penelitian mengenai permintaan impor lebih banyak berkutat menggunakan model-model dan estimasi ekonometrika. Ekonometrika merupakan sebuah ilmu untuk mempelajari analisis kuantitatif dari fenomena ekonomi yang dapat menerjemahkan permasalahan ekonomi dengan pendekatan statistik. Ekonometrika membutuhkan pemahaman multidisipliner karena mencakup teori ekonomi, matematika ekonomi, statistika ekonomi, dan matematika statistika. Secara umum, yang dikaji dalam ekonometrika lebih spesifik pada, (1) menduga hubunganhubungan ekonomi; (2) mengkonfrontasi teori ekonomi dengan fakta (data empiris), dan menguji hipotesis yang berkaitan dengan perilaku ekonomi; (3) melakukan peramalan perilaku peubah-peubah ekonomi (Juanda 2009). Analisis permintaan impor dianalisis menggunakan beberapa model dan pendekatan, antara lain model regresi linear dengan metode OLS (ordinary least square) (Raswatie 2008. Septiana 2011); an autoregressive distribution lag (ARDL) (Constant and
11
Yue 2010. Binuomote et al 2012. Grullon 2012); vector autoregressive (VAR) (Babula 2014), dan vector error correction model (VECM) (Permani 2013. Tirmazee and Naveed 2014); dan terakhir adalah an almost ideal demand system (AIDS) dengan metode SUR (seeminly unrelated regression) (Oyinho et al 2013. Rifin 2013); dan ada juga yang menggunakan data panel dinamis (Ozturk and Acaravci 2009). Model regresi linear metode OLS merupakan model yang paling umum digunakan untuk dapat menggambarkan hubungan antara suatu variabel bebas dengan variabel terikatnya. ECM (error corrrection mechanism) merupakan model yang memasukkan penyesuaian untuk melakukan koreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang. Pada umumnya, model dengan ECM digunakan untuk menunjukkan model yang dinamis dengan syarat variabelnya berkointegrasi. Kointegrasi merupakan hubungan jangka panjang antar variabel yang tidak stationer dan menghasilkan kombinasi linear sehingga tercipta kondisi yang stationer. Peubah yang saling berkointegrasi mempunyai hubungan jangka panjang. VAR (vector autoregressive) merupakan sebuah n-persamaan (nequation) dengan n-variabel (n-variabel) yang masing-masing variabel dijelaskan oleh nilai lag-nya sendiri, serta nilai saat ini dan masa lampaunya (current and past values). Dengan demikian, dalam konteks ekonometrika modern VAR termasuk ke dalam multivariate time series analysis. Metode VAR memerlukan data yang stationer dan berkointegrasi. VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi karena data tidak stationer namun berkointegrasi sehingga sering disebut sebagai sistem VAR bagi deret stationer yang memiliki hubungan kointegrasi namun tidak stationer (Juanda dan Junaidi 2012). Data panel merupakan analisis regresi dengan menggunakan dua macam data yaitu data cross section dan time series (Juanda and Junaidi 2012). Berbagai model yang berkembang pada dasarnya digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor suatu negara. Umumnya para peneliti yang melakukan analisis impor menggunakan dua variabel utama (variabel bebas) yaitu harga impor dan pendapatan negara (Kalyoncu 2006). Hal ini sejalan dengan pendapat Chani (2011) bahwa permintaan impor merupakan suatu fungsi dari aggregate income dan harga relatif. Sebagian besar studi tersebut menemukan hubungan yang negatif antara volume impor dengan harga impor dan positif dengan income. Beragam faktor yang secara umum mempengaruhi permintaan impor berdasarkan perspektif negara dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal yang mempengaruhi permintaan impor yaitu GDP riil (Manik 2012); kebijakan perdagangan (Ilham 1998); harga komoditas domestik, jumlah dan luas produksi dalam negeri (Uzonos and Akcay 2009); nilai tukar, investasi, cadangan devisa dan suku bunga (Septiana 2011); pendapatan per kapita dan inflasi (Ozturk and Acaravci 2009); tarif impor (Raswatie 2008); jumlah populasi dan konsumsi domestik (Purnamasari 2006). Sementara variabel eksternal berupa harga komoditas impor (Binuomote et al 2012) dan GDP negara pengekspor (Hutabalian 2009). Dari variabel-variabel penjelas tersebut hanya variabel jumlah produksi, harga impor, luas produksi dan kebijakan perdagangan (tarif dan kuota) yang memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan impor. Dengan kata lain apabila terjadi peningkatan misalnya pada kebijakan tarif maka volume impor akan berkurang.
12
Analisis AIDS (Almost Ideal Demand System) Model AIDS merupakan salah satu model yang bertujuan untuk mengestimasi fungsi permintaan. Model AIDS tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Deaton dan Muellbauer (1980). Model ini merupakan pengembangan dari model permintaan yaitu, model Rotterdam dan model Translog. Kelebihannya adalah model ini memberikan kemampuan pendekatan orde pertama untuk sistem permintaan yang didasarkan pada proporsi (share) anggaran yang merupakan fungsi linear dari log total pendapatan. Hal tersebut mengakomodasi hambatan-hambatan dan teori permintaan seperti aditivitas, homogenitas dan simetri yang dapat diuji secara statistik. Deaton (1980) mengajukan beberapa karakteristik spesifik dari model AIDS yaitu, (1) model AIDS merupakan pendekatan orde pertama terhadap sembarang fungsi sistem permintaan, (2) dapat memenuhi aksioma perilaku pemilihan komoditas dengan tepat, (3) dapat membuat agregasi dari konsumen tanpa menerapkan kurva engel yang linear dan sejajar, (4) mempunyai bentuk fungsi yang konsisten dengan data pengeluaran rumah tangga yang dimiliki, (5) mudah diestimasi (tidak perlu menggunakan pendugaan non linear), dan (6) dapat digunakan untuk menguji restriksi homogenitas dan simetri melalui hambatan linear terhadap parameter tetapnya. Pada dasarnya karakteristik tersebut telah terpenuhi pada model-model sebelumnya baik model Rotterdam maupun Translog namun kesemuanya tidak terpenuhi secara simultan. Pada dasarnya, model AIDS merupakan model non linear yang disebabkan oleh adanya penggunaan indeks harga pada modelnya. Untuk mengatasi ketidaklinieran pada parameter dan variabelnya, penggunaan versi linier model AIDS telah diterapkan sebagai pendekatan dalam beberapa penelitian terapan yang lebih dikenal dengan LA/AIDS (Chang dan Nguyen 2002). Namun model tersebut dikritisi karena secara internal tidak konsisten dan kurang dalam menggambarkan pendekatan karakteristik model AIDS sehingga model AIDS nonlinear tersebut tetap digunakan dalam penelitian Chang dan Nguyen (2002). Perkembangan selanjutnya, model AIDS dapat dimodifikasi menjadi model invers atau kebalikan yang identik dengan model AIDS (Grant and Foster 2005) yang menggunakan kuantitas konsumsi sebagai pengganti harga, lalu pengembangan model Quadratic Almost Ideal Demand System (QUADS) yang digunakan untuk menjaga sifat-sifat positif model AIDS, memelihara kekonsistenan kurva Engel (ketidaklinearan kurva Engel), dan pengaruh harga relatif dengan menambahkan bentuk kuadrat dari log pendapatan ke dalam model AIDS (Virgantari 2012). Menurut Wan et al (2010) secara umum terdapat dua model AIDS yaitu model statis dan model dinamis. Model statis merupakan model yang menganalisis model preferensi keseimbangan jangka panjang dengan kata lain perilaku konsumen atau responden dianggap berada di dalam keseimbangan jangka panjang atau bersifat statis. Pada kenyataannya, konsumen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang membentuk perilaku konsumen yang berbeda. Selain itu, model AIDS statis juga tidak dapat mengakomodasi dinamika yang terjadi dalam jangka pendek. Beberapa penelitian mengenai proporsi pengeluaran konsumen umumnya merupakan penerapan model AIDS secara statis. Hal ini juga dicirikan oleh data yang digunakan umumnya berupa data cross section. Oleh karena itu, muncul model AIDS dinamis yang didasarkan pada pengembangan model ekonometrika
13
melalui teknik error correction yang diajukan oleh Engle dan Grenger untuk mengakomodasi kelemahan tersebut. Salah satu penelitian yang menerapkan model AIDS secara dinamis adalah Rifin (2010) dan Yuliastuti et al (2014). Model AIDS memiliki kelebihan bahwa dengan struktur preferensi yang dibangun melalui model berdasarkan fungsi biaya yang spesifik dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi sampai ke tingkat makro sehingga model tersebut secara umum dapat digunakan untuk menganalisis sistem permintaan baik mikro maupun makro (Mutondo and Henneberry 2007). Beberapa penelitian tersebut bertujuan selain untuk mengestimasi permintaan simultan dari berbagai jenis komoditas juga menganalisis elastisitas masing-masing komoditas yang diestimasi. Model AIDS dapat menganalisis elastisitas pengeluaran, elastisitas sendiri, dan elastisitas silang. Pada umumnya penelitian mengenai konsumsi dengan menggunakan model AIDS dapat menggunakan ketiga jenis data yaitu data cross section, time series, dan panel. Beberapa tujuan penggunaan model AIDS lainnya adalah digunakan untuk menganalisis perdagangan internasional. Penggunaan model AIDS untuk mengestimasi persaingan antar negara dalam suatu pasar merupakan bentuk pengembangan penggunaan model AIDS. Hal ini didasarkan pada tujuan awal penemuan model AIDS yaitu untuk mengestimasi permintaan secara agregat untuk mengakomodasi model Rotterdam dan model Translog (Deaton dan Muellbauer 1980). Secara khusus model AIDS tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi persaingan negara eksportir di pasar dunia (Chang and Nguyen 2002. Riffin 2013) dan mengestimasi kompetisi impor di suatu negara (Wan et al 2010. Mutondo and Henneberry 2007. Carew et al 2004). Pada umumnya penelitian dengan tujuan menganalisis kompetisi impor atau ekspor suatu negara menggunakan variabel dependen adalah pangsa ekspor atau pangsa impor suatu negara ke dunia atau ke suatu negara tujuan sedangkan variabel independennya umumnya berupa harga asal negara, nilai total dunia dan tetap mengakomodasi indeks harga geometrik Stone. Selain itu beberapa penelitian menggunakan variabel independen kebijakan yang di aproksimasi menggunakan dummy (Wan et al 2010). Hasil dari estimasi parameter variabel tersebut dapat digunakan untuk menghitung beberapa elastisitas seperti elastisitas pengeluaran, sendiri dan silang. Sama halnya pada kasus penggunaannya untuk mengestimasi permintaan konsumen, untuk tujuan perdagangan dapat juga digunakan perbedaan model statis dan dinamis.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Permintaan Teori permintaan merupakan teori yang menerangkan karakteristik dari permintaan konsumen terhadap suatu komoditas yang mencerminkan hubungan antara jumlah yang diminta terhadap harga. Pada dasarnya permintaan menunjukkan hubungan multivariate yaitu hubungan antara beberapa variabel (harga komoditas, pendapatan, selera, populasi, harga komoditas terkait, dan faktorfaktor lainnya) yang mempengaruhi satu variabel (jumlah yang diminta). Hubungan
14
tersebut secara fungsional disebut sebagai fungsi permintaan yang dinyatakan sebagai berikut: Qx = f ( Px, I, S, Pop, Py, U) Keterangan: Qx = jumlah komoditas X yang diminta I = tingkat pendapatan Px = harga komoditas X S = selera Pop = populasi Py = harga komoditas terkait (substitusi atau komplemen) U = faktor lainnya Lipsey et al (1995) mendefinisikan permintaan sebagai jumlah komoditas yang diminta oleh konsumen pada harga tertentu. Pengaruh dari variabel terhadap jumlah yang diminta dapat dianalisis satu per satu dengan menganggap variabel lainnya tetap atau cateris paribus namun bukan berarti diabaikan. Hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan tingkat harga tertentu dinyatakan dalam suatu Hukum Permintaan, yang menunjukkan hubungan negatif, yang apabila harga komoditas semakin rendah maka jumlah komoditas yang diminta akan semakin banyak, sebaliknya adanya peningkatan harga akan menurunkan jumlah yang diminta oleh konsumen. Hubungan antara jumlah yang diminta sebagai respon terhadap perubahan harga dapat dinyatakan sebagai kurva permintaan yang memiliki kemiringan negatif. Kurva permintaan dapat memiliki respon yang berbeda terhadap variabel penjelas. Respon tersebut dapat berupa pergerakan sepanjang kurva atau pergeseran kurva. Pergerakan titik sepanjang kurva hanya terjadi akibat perubahan harga, sedangkan pergeseran kurva terjadi akibat adanya perubahan variabel lain selain harga komoditas itu sendiri. Teori Utilitas Permintaan timbul karena konsumen memerlukan manfaat dari komoditas yang dibeli. Manfaat tersebut secara ekonomi disebut sebagai utilitas (utility). Utilitas didefinisikan sebagai tingkat kepuasan tertentu yang diperoleh seorang konsumen dari mengkonsumsi sejumlah barang tertentu. Permintaan merupakan penurunan dari utilitas yang diberikan oleh suatu komoditas yang digambarkan oleh kurva indiferen. Kurva indiferen merupakan kurva yang menghubungkan keseimbangan konsumsi dua jenis barang yang mempunyai tingkat kepuasan yang sama. Konsumen berkeinginan memaksimumkan utilitasnya dengan cara yang rasional. Rasionalitas konsumen dicerminkan dengan batasan anggaran (garis anggaran). Seacara grafis kedua konsep tersebut ditunjukkan sebagai berikut:
15
Y (Komoditas)
Garis Anggaran A B
C
Keseimbangan Konsumen Kurva Indiferen
X (Komoditas)
0
Gambar 1 Keseimbangan konsumen Sumber: Baye 2010
Gambar 1 menunjukkan dua jenis kurva yaitu kurva indiferen dan garis anggaran yang keduanya memiliki slope negatif. Kurva indiferen merupakan kurva yang menunjukkan kombinasi dua komoditas (X dan Y) yang memberikan konsumen kepuasan pada tingkat yang sama. Masing-masing kurva indiferen merupakan wujud tingkat kepuasan konsumen yang apabila semakin jauh dari titik asal maka konsumen memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Kendala yang dihadapi oleh konsumen ditunjukkan oleh garis anggaran. Seorang konsumen berada dalam keseimbangan atau mencapai utilitas maksimum apabila kurva indiferen bersinggungan dengan garis anggaran (pada titik C). Permintaan Marshallian dan Hicksian Secara umum teori ekonomi menyatakan bahwa permintaan konsumen dibedakan menjadi dua jenis yaitu permintaan marshallian dan Hicksian. Permintaan marshallian atau disebut juga uncompensated demand diturunkan dari prinsip utilitas dan menganggap bahwa pendapatan konsumen tetap. Permintaan ini mengakomodasi efek substitusi dan efek pendapatan akibat perubahan harga. Permintaan Hicksian atau disebut juga compensated demand diturunkan dari proses minimisasi fungsi pengeluaran dengan kendala tingkat kepuasan. Permintaan ini hanya mengakomodasi efek substitusi akibat dari perubahan harga. Menurut Varian (2010) pengaruh perubahan harga terhadap keseimbangan kepuasan konsumen secara konsep dapat dianalisis dengan memisahkan efek pendapatan dan substitusi. Pengaruh perubahan harga terhadap jumlah yang diminta secara grafis digambarkan pada Gambar 2 yang menunjukkan bahwa garis anggaran awal konsumen berada pada GA0 dan menyinggung kurva indeferen IC0 dengan titik keseimbangan yaitu E0. Jumlah barang yang dikonsumsi sebanyak XY0. Ketika harga barang X turun maka garis anggaran akan bergeser ke kanan (GA1) dan menyinggung kurva indeferen IC1. Keseimbangan konsumen berubah menjadi E1 dengan jumlah barang yang dikonsumsi XY1. Peningkatan jumlah barang tersebut disebabkan adanya efek substitusi dan pendapatan. Misalkan, turunnya harga barang X akan menyebabkan konsumsi terhadap barang X
16
meningkat dengan asumsi pendapatan tetap. Sedangkan garis anggaran GA2 sejajar dengan GA1 menyinggung kurva indiferen IC0 pada titik E2 dengan jumlah barang yang dikonsumsi XY2. GA2 menggambarkan gabungan barang yang dapat dibeli dengan pendapatan yang sama besarnya setelah harga barang X turun. Walaupun pendapatan riil tidak berubah keseimbangan konsumen bergeser dari E0 ke E2 yang menyebabkan konsumsi barang X meningkat dari XY0 ke XY2 sedangkan konsumsi barang Y berkurang. Bertambahnya konsumsi barang X (XY0 – XY2) adalah efek substitusi dan XY2 – XY1 adalah efek pendapatan. Y (Komoditas)
E1
E0 E2
IC1
IC0 GA0
0
GA1
GA2 X (Komoditas)
XY0
Y (Komoditas)
XY2
XY1
E0
P0
E1
P1
E2
DH
DM
X (Komoditas)
0
Gambar 2 Efek substitusi dan efek pendapatan akibat adanya perubahan harga dan Penurunan kurva permintaan Marshallian dan permintaan Hicksian Sumber: Bangun 2010
Pendekatan permintaan yang berbeda membuat kurva permintaan yang terbentuk juga memiliki perbedaan. Perbedaan yang paling terlihat adalah kemiringan (slope) dari permintaan Marshallian dan permintaan Hicksian berbeda. Berdasarkan Gambar 2 dapat terlihat bahwa permintaan Marshallian (DM) yang mengakomodasi efek total (efek substitusi dan pendapatan) memiliki kurva yang
17
lebih landai dibandingkan permintaan Hicksian (DH) yang mengakomodasi efek substitusi. Di lain pihak, teori dualitas menyebutkan bahwa konsumen akan memaksimumkan utilitasnya dari suatu komoditas yang dikonsumsi secara rasional dengan memperhatikan kendala yang dihadapi yaitu anggarannya. Kondisi tersebut dapat dianalisis dengan dua pendekatan yaitu dengan memaksimumkan utilitas terhadap kendala anggaran dan meminimumkan anggaran dengan kendala utilitas yang ingin dicapai oleh konsumen. Fungsi permintaan yang diturunkan dengan memaksimumkan fungsi utilitas disebut sebagai fungsi permintaan Marshallian yang merupakan fungsi dari harga barang dan pendapatan. Sebaliknya fungsi permintaan lain yang diturunkan dari proses minimisasi fungsi anggaran dengan kendala tingkat kepuasan tertentu disebut sebagai fungsi permintaan Hicksian. Fungsi permintaan hicksian merupakan fungsi dari harga barang dan utilitas.
Pengeluaran: Minimum M = pi . Xi Kendala: U = U(Xi)
Utiliti: Maksimum U(Xi) Kendala: M = pi . Xi
Maksimisasi
Minimisasi
Permintaan Marshalian XiM = X(pi . M)
Permintaan Hicksian XiH = X(pi . U)
Substitusi XiM ke U(Xi)
Substitusi XiH ke M
Utiliti tidak langsung: V = V(pi . M)
Fungsi pengeluaran minimum: e = e(pi . U)
Gambar 3 Hubungan secara umum antara fungsi permintaan Marshallian dan Hicksian Sumber: Hartono 2004
Perdagangan Internasional Pola perdagangan antar negara disebabkan oleh perbedaan bawaan faktor (factor endowment), yang apabila suatu negara akan mengekspor komoditas yang diproduksinya memerlukan faktor produksi yang secara relatif berlimpah. Dengan demikian perdagangan mendorong sumberdaya ke dalam sektor-sektor yang mempunyai keunggulan komparatif. Kondisi lainnya adalah adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar negara. Kelebihan permintaan domestik terhadap
18
penawaran domestik akan mendorong suatu negara melakukan permintaan impor, sedangkan kelebihan penawaran domestik terhadap permintaan domestik akan mendorong suatu negara untuk melakukan penawaran ekspor. Mekanisme terjadinya permintaan-penawaran domestik dan permintaan impor-penawaran ekspor, secara grafis dapat dilihat pada Gambar 4. DA
A
SA
SB ES
X
DB PB
P* M
PA ED
B 0
QA
0
Q*
Negara A
0
QB Negara B
Gambar 4 Mekanisme terjadinya perdagangan internasional Sumber: Salvatore 1997
Pada Gambar 4 dapat terlihat bahwa sebelum terjadinya perdagangan internasional, harga di negara A sebesar PA sedangkan di negara B sebesar PB. Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi dari PA sedangkan permintaan di pasar internasional lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama dengan PA maka negara B akan terjadi excess demand (B). Jika harga internasional sama dengan PB maka di negara A akan terjadi excess supply (A). Dari terbentuknya kurva ES dan ED yang akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka negara A akan mengekspor komoditas sebesar X sedangkan di negara B akan mengimpor komoditas sebesar M, yang di pasar internasional sebesar X sama dengan M yaitu Q*. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian suatu negara (Salvatore 1997). Hal ini disebabkan dengan adanya perdagangan internasional, perekonomian akan meningkat dan tercipta hubungan atau kerjasama yang saling menguntungkan diantara negara yang melakukan perdagangan. Pada hakikatnya perdagangan internasional merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara. Faktor pertama adanya perdagangan internasional adalah hasrat ingin mengusai tersebut diartikan sebagai keinginan suatu negara untuk menciptakan sebuah negaranya menjadi negara yang kuat tanpa menghiraukan mitra dagangnya. Konsep ini merupakan konsep perdagangan perdagangan pra klasik yang disebut sebagai teori merkantilisme. Pembentukan negara yang kuat diperoleh ketika suatu negara memiliki surplus neraca transaksi berjalan sehingga kegiatan ekspor-impor diletakkan sebagai lokomotif utama yang dipacu oleh suatu negara dan keuntungan negara yang kuat dapat secara langsung merugikan negara lain (zero sum game). Menurut Markussen (1995) kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah dapat mendorong atau bahkan dapat menghambat perdagangan internasional. Salah satu instrumen yang umumnya digunakan oleh pemerintah adalah kebijakan
19
hambatan perdagangan yang dapat secara langsung dapat menghambat perdagangan internasional. Kebijakan pajak dan subsidi yang diterapkan oleh pemerintah kepada komoditas atau produk ekspor dapat mendorong adanya perdagangan internasional. Kebijakan pajak konsumsi yang dikenakan ke konsumen dapat menyebabkan berkurangnya konsumsi domestik yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan ekspor. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang diterapkan tersebut dapat menimbulkan efek distorsi pada kesejahteraan masyarakat yang akhirnya akan menyebabkan berkurangnya kesejahteraan masyarakat. Faktor lain adalah adanya perbedaan dalam sumberdaya baik berupa sumberdaya manusia, alam maupun teknologi. Perbedaan sumberdaya dapat mendorong perdagangan yang dijelaskan oleh konsep keunggulan absolut, komparatif dan disempurnakan oleh teori Heckscer-Ohlin. Konsep tersebut didasarkan pada konsep dasar keunggulan absolut yang dikembangkan oleh Adam Smith. Adam Smith mengemukakan bahwa suatu negara memiliki keunggulan dalam memproduksi suatu produk apabila memiliki keunggulan dalam hal sumberdaya (input) dibandingkan dengan negara lain dan negara tersebut melakukan spesialisasi atas produk tersebut. Namun adanya asumsi yang menyatakan bahwa suatu negara hanya akan unggul akibat adanya faktor input pada negara tersebut, muncullah konsep keunggulan komparatif yang dikembangkan oleh David Ricardo yang menyatakan bahwa suatu negara dapat melakukan perdagangan internasional meskipun negara tersebut tidak memiliki keunggulan absolut untuk memproduksi produk tersebut. Dalam hal ini, suatu negara akan mengekspor komoditas atau produk yang memiliki keunggulan komparatif terbesar dan mengimpor produk yang memiliki kerugian komparatif terkecil dibandingkan dengan negara lain. Selanjutnya teori mengenai perdagangan internasional disempurnakan oleh Heckscer-Ohlin yang umumnya disebut sebagai teori H-O. Dalam teori H-O perbedaan sumberdaya tersebut diasumsikan sebagai perbedaan faktor endowment yang dimiliki oleh suatu negara. Menurut Onkvisit (2007) faktor endowment keunggulan dari faktor produksi yang dimiliki suatu negara adalah pemberian alam. Perdagangan menurut teori ini menekankan pada perbedaan faktor endowment antar negara tersebut akan mencerminkan perbedaan biaya komparatif memproduksi suatu produk dan menjadi keunggulan komparatif suatu negara. Perbedaan kelimpahan tersebut secara umum dikelompokkan menjadi 2 yaitu antara modal dan tenaga kerja yang dimiliki suatu negara. Suatu negara yang memiliki perbedaan kelimpahan faktor endowment akan mempunyai keunggulan relatif atau komparatif pada produk yang diproduksi menggunakan input yang melimpah tersebut. Negara tersebut akan mengekspor komoditas yang dalam produksinya memerlukan penggunaan intensif dari faktor produksi yang relatif berlimpah dan murah di negara tersebut dan mengimpor komoditas dimana proses produksinya memerlukan penggunaan faktor produksi yang relatif langka dan mahal di negara tersebut. Diharapkan negara-negara tersebut dapat melakukan spesialisasi yang didasarkan pada keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing negara.
20
Permintaan Impor Kegiatan impor merupakan kegiatan pembelian sekaligus pemasukan produk yang dilakukan umumnya oleh sebuah pihak (importir dalam negeri) dari luar negeri ke dalam suatu negara. Pada dasarnya alasan utama dilakukannya impor adalah adanya kesenjangan antara kebutuhan dan produksi dalam negeri akan produk tertentu yang produksi dalam negeri cenderung tidak mampu memasok kebutuhan dalam negeri. Seiring dengan semakin terintegrasinya pasar suatu negara memicu perkembangan latar belakang impor dipilih sebagai alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Beberapa diantaranya adalah harga impor yang lebih kompetitif, kualitas lebih baik hingga peraturan yang mengikat sebagai konsekuensi suatu negara bergabung membentuk suatu integrasi ekonomi. Permintaan impor suatu negara merupakan selisih antara konsumsi domestik dengan produksi domestik ditambah sisa stok pada tahun yang lalu. Permintaan impor komoditas suatu negara dapat dirumuskan sebagai berikut: Mt = Ct – (Qt + St-1) Keterangan: Mt = Jumlah impor komoditas tertentu pada tahun t Ct = Jumlah konsumsi domestik komoditas tertentu pada tahun ke-t Qt = Jumlah produksi domestik kmoditi tertentu pada tahun ke-t St-1 = Jumlah stok domestik kmoditi tertentu tahun ke t-1 Permintaan impor, secara umum, dipengaruhi oleh harga komoditas itu sendiri, harga komoditas substitusi impor, tingkat pendapatan negara pengimpor, jumlah penduduk, dan sebagainya. Fungsi permintaan impor dapat dirumuskan sebagai berikut: Mt = f (PMt,Yt,PSt, Popt,Zt) Keterangan: PMt = Harga impor komoditas tertentu pada tahun ke-t Yt = Pendapatan negara pengimpor pada tahun ke-t PSt = Harga komoditas substitusi dari komoditas impor tertentu pada tahun ke-t Popt = Jumlah penduduk negara pengimpor tahun ke-t Zt = Faktor-faktor lainnya Penawaran Ekspor Penawaran suatu komoditi adalah jumlah komoditi yang bersedia ditawarkan oleh produsen pada suatu pasar dan tingkat harga serta waktu tertentu. Faktor-faktor yang menentukan tingkat penawaran adalah harga jual komoditi yang bersangkutan. Antara harga dan jumlah komoditi yang akan ditawarkan berhubungan secara positif, dengan semua faktor yang lain tetap sama (ceteris paribus). Penawaran ekspor suatu negara merupakan selisih antara produksi domestik dan konsumsi domestik ditambah dengan jumlah stok domestik tahun lalu. Penawaran ekspor suatu komoditi dapat didefinisikan sebagai berikut: Xt
= (Qt - Ct) + St-1
21
Keterangan: Xt = Jumlah ekspor komoditi tertentu pada tahun ke-t Qt = Jumlah produksi domestik komoditi tertentu pada tahun ke-t Ct = Jumlah konsumsi domestik komoditi tertentu pada tahun ke-t St-1 = Jumlah stok domestik komoditi tertentu pada tahun ke t-1 Ekspor yang dilakukan oleh suatu negara bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik, sehingga faktor tingkat harga dan nilai tukar mata uang suatu negara akan sangat mempengaruhi tingkat ekspornya. Fungsi penawaran ekspor suatu negara atas komoditi tertentu dapat ditulis sebagai berikut: Xt
= f (Pt,Qt,ERt,Zt)
Keterangan: Pt = Harga ekspor komoditi tertentu pada tahun ke-t Qt = Jumlah produksi komoditi tertentu pada tahun ke-t ERt = Nilai tukar mata uang negara pengekspor tertentu pada tahun ke-t Zt = Faktor-faktor lainnya Pembentukan Harga Dunia Harga terbentuk karena adanya perpotongan antara kurva penawaranpermintaan antara kedua negara yang terlibat dalam perdagangan, sehingga harga relatif menggambarkan kuantitas impor yang diinginkan sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan. Oleh sebab itu, harga komoditas yang diperdagangkan di dunia (secara internasional) juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi permintaan impor, penawaran ekspor, atau karena pengaruh keduaduanya secara bersama-sama. Selain itu, harga komoditas di pasar dunia juga dipengaruhi oleh harga tahun sebelumnya. Persamaan harga komoditas di pasar internasional (dunia) dapat ditulis sebagai berikut: PWt=f(XWt, MWt, PWt-1) Keterangan: PWt = Harga komoditas tertentu di pasar dunia pada tahun ke t XWt, = Jumlah ekspor negara pengekspor komoditas tertentu tahun ke t MWt = Jumlah impor negara pengekspor komoditas tertentu tahun ke t PWt-1 = Harga komoditas tertentu di pasar dunia pada tahun ke t-1 Elastisitas Penawaran Elastisitas penawaran (Es) adalah angka yang menunjukkan berapa persen jumlah barang yang ditawarkan berubah, bila harga berubah satu persen. Elastisitas penawaran juga dapat dikaitkan dengan faktor-faktor atau variabel-variabel lain yang dianggap mempengaruhinya, seperti tingkat bunga, tingkat upah, harga bahan baku, dan harga bahan antara lainnya. Elastisitas penawaran dapat ditulis: Es=
Persentase perubahan jumlah barang yang ditawarkan Persentase perubahan harga P
Es = Q *
∂Q ∂P
atau Es =
% ∂Q % ∂P
=
∂Q/Q ∂P/P
22
Beberapa faktor yang menentukan elastisitas penawaran antara lain: 1. Jenis produk; kurva penawaran produk pertanian umumnya inelastis (lambat merespon perubahan harga), sementara kurva penawaran produk industri umumnya elastis (cepat merespon perubahan harga). 2. Sifat perubahan biaya produksi; penawaran akan bersifat inelastis bila kenaikan penawaran hanya dapat dilakukan dengan mengeluarkan biaya yang sangat tinggi, dan bila penawaran dapat ditambah dengan pengeluaran biaya tambahan yang tidak terlalu besar, penawaran akan bersifat elastis. 3. Jangka waktu; jangka panjang atau jangka pendek. Hampir semua barang (komoditas) memiliki penawaran yang lebih elastis dalam jangka panjang dibandingkan dengan jangka pendeknya karena dalam jangka panjang produsen mampu mengatasi kendala-kendala yang muncul dalam jangka pendek. Elastisitas Permintaan Elastisitas permintaan mengukur perubahan relatif dalam jumlah unit barang yang dibeli sebagai akibat perubahan salah satu faktor yang mempengaruhi nya (ceteris paribus), tiga diantaranya yang penting yaitu harga barang itu sendiri, harga barang lain, dan pendapatan. Elastisitas yang dikaitkan dengan harga barang itu sendiri disebut elastisitas harga (price elasticity of demand); elastisitas yang dikaitkan dengan harga barang lain disebut elastisitas silang (cross elasticity); dan yang terkait dengan pendapatan disebut elastisitas pendapatan (income elasticity). 1. Elastisitas harga (price elasticity of demand) Elastisitas harga (Ep) mengukur berapa persen permintaan terhadap suatu barang (komoditas) berubah jika harganya berubah sebesar satu persen. Dapat ditulis: Ep=
Persentase perubahan jumlah barang yang diminta Persentase perubahan harga P
Ep = Q *
atau Ep =
% ∂Q % ∂P
=
∂Q/Q ∂P/P
∂Q ∂P
Beberapa faktor yang menentukan tingkat elastisitas harga yaitu: a) Tingkat substitusi; semakin sulit mencari substitusi suatu barang (komoditas), maka permintaan semakin inelastis. b) Jumlah pemakai; semakin banyak jumlah pemakai, maka permintaan akan suatu barang semakin inelastis. c) Proporsi kenaikan harga terhadap pendapatan konsumen; semakin besar proporsinya, maka permintaan cenderung lebih elastis. d) Jangka waktu; tergantung jenis barang (komoditas), durabel atau nondurabel. Untuk barang (komoditas) yang habis dipakai dalam waktu kurang dari satu tahun (barang tidak tahan lama/nondurable goods), elastisitas harga lebih besar dalam jangka panjang dibandingkan jangka pendek. Sedangkan untuk barang yang masa konsumsinya lebih dari satu tahun (barang tahan lama/durable goods), permintaannya lebih elastis dalam jangka pendek, dibandingkan dengan jangka panjang. 2. Elastisitas silang (cross elasticity) Elastisitas silang (Ec) mengukur persentase perubahan permintaan suatu barang sebagai akibat perubahan harga barang lain sebesar satu persen. Dapat ditulis:
23
Ec=
Persentase perubahan jumlah barang X yang diminta Persentase perubahan harga barang Y 𝑃
Ec = 𝑄𝑌 * 𝑋
atau Ec =
% ∂𝑄𝑋 % ∂𝑃𝑌
=
∂𝑄𝑋 /𝑄𝑋 ∂𝑃𝑌 /𝑃𝑌
∂𝑄𝑋 ∂𝑃𝑌
3. Elastisitas pendapatan (income elasticity) Elastisitas pendapatan (Ei) mengukur persentase perubahan permintaan suatu barang (komoditas) sebagai akibat perubahan pendapatan sebesar satu persen. Dapat ditulis: Ei=
Persentase perubahan jumlah barang yang diminta Persentase perubahan pendapatan I
Ei = Q *
atau Ei =
% ∂Q % ∂I
=
∂Q/Q ∂𝐼/I
∂Q ∂I
Ukuran-Ukuran Elastisitas Penawaran dan Permintaan Ukuran-ukuran elastisitas penawaran dan artinya, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Ukuran elastisitas penawaran Besar Elastisitas Istilah Es Inelastis sempurna
0 < Es < 1
Inelastis
Es=1
Elastisitas unit
1 < Es < ∞
Elastis
Es = ∞
Elastis sempurna
Keterangan Jumlah yang ditawarkan tidak berubah (tetap/konstan) dengan adanya perubahan harga. Jumlah yang ditawarkan berubah dengan persentase yang lebih kecil dari pada perubahan harga. Jumlah yang ditawarkan berubah dengan persentase yang sama dengan perubahan harga. Jumlah yang ditawarkan berubah dengan persentase yang lebih besar dari pada perubahan harga. Berapapun jumlah yang ditawarkan, harga tidak berubah (tetap/konstan).
Sumber: Schaum’s Outline: Mikroekonomi (2006)
Sementara itu, ukuran-ukuran elastisitas permintaan dan artinya dapat dilihat pada Tabel 6.
24
Tabel 6 Ukuran elastisitas permintaan No Besar Elastisitas 1. Elastisitas Harga a. Ep=0
2.
Keterangan
Inelastis sempurna
Jumlah yang diminta tidak berubah (tetap/konstan) dengan adanya perubahan harga. Jumlah yang diminta berubah dengan persentase yang lebih kecil dari pada perubahan harga. Jumlah yang diminta berubah dengan persentase yang sama dengan perubahan harga. Jumlah yang diminta berubah dengan persentase yang lebih besar dari pada perubahan harga. Berapapun jumlah yang diminta, harga tidak berubah (tetap/konstan).
b. 0 < Ep < 1
Inelastis
c. Ep=1
Elastisitas unit
d. 1 < Es < ∞
Elastis
e. Es = ∞
Elastis sempurna
Elastisitas Silang a. Ec > 0 (positif)
Barang substitusi
b. Ec < 0 (negatif)
3.
Istilah
Baranng komplemen
Elastisitas Pendapatan a. Ei > 0 (positif)
Barang normal
b. Ei < 0 (negatif)
Barang inferior
c. 0 < Ei < 1
Barang kebutuhan pokok
d. Ei > 1
Barang mewah
Kenaikan harga barang substitusi berakibat meningkatnya jumlah yang diminta untuk barang yang disubstitusi Kenaikan harga barang komplemen berakibat turunnya jumlah yang diminta untuk barang yang berkomplemen
Jumlah yang diminta naik, saat pendapatan naik. Jumlah yang diminta turun, saat pendapatan naik. Jumlah yang diminta berubah dengan persentase yang lebih kecil dari pada perubahan pendapatan. Jumlah yang diminta naik, saat pendapatan naik.
Sumber: Schaum’s Outline: Mikroekonomi (2006)
Nilai Tukar Nilai tukar erat kaitannya dengan perdagangan internasional karena nilai suatu komoditas ekspor dinilai dengan satu satuan mata uang asing. Nilai tukar antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan (Mankiw 2007). Nilai tukar dibedakan menjadi dua yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Sedangkan nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang-barang diantara kedua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat
25
dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barangbarang dari negara lain, sehingga nilai tukar riil sering disebut terms of trade. Secara matematis nilai tukar riil dapat dirumuskan sebagai berikut: Nilai tukar riil =
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑢𝑘𝑎𝑟 𝑛𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑙 rasio tingkat harga
;
∈ =𝑒∗
P P′
Keterangan: ∈ = Nilai tukar riil e = Nilai tukar nominal (nilai mata uang pengimpor per mata uang pengekspor) P = Tingkat harga di negara pengekspor P` = Tingkat harga di negara pengimpor Jika nilai tukar riil tinggi, maka harga barang-barang di negara pengimpor relatif lebih murah dibanding harga barang-barang di negara pengekspor. Begitupun sebaliknya jika nilai tukar riil rendah, maka harga barang-barang di negara pengimpor relatif lebih mahal dibanding harga barang-barang di negara pengekspor. Dalam perekonomian yang hanya terdapat dua negara (negara I dan II), apresiasi nilai tukar negara II terhadap nilai tukar perdagangan akan meningkatkan permintaan impor barang oleh negara II. Peningkatan ini terjadi karena harga barang di negara II relatif lebih mahal dari pada harga barang di negara I, sehingga kondisi ini akan memacu negara II untuk memenuhi kebutuhan domestiknya dengan meningkatkan impor dari negara I. Permintaan impor yang semakin besar di negara II akan menggeser kurva permintaan di negara tersebut. Regresi Linear Analisis regresi adalah teknik statistika yang berguna untuk memeriksa dan memodelkan hubungan-hubungan diantara variabel-variabel. Dalam regresi linear berganda terdapat lebih dari satu variabel yang menjelaskan. Oleh karena itu analisis mengenai ketergantungan satu variabel pada lebih satu variabel yang menjelaskan dikenal sebagai analisis regresi berganda (multiple regression analysis). Untuk menduga model populasi regresi berganda digunakan metode kuadrat terkecil (Least square method). Suatu statistik dikatakan sebagai penduga parameter yang konsisten apabila ada peluang untuk memperoleh perbedaan statistik dan parameter yang makin mendekati nol bila jumlah individu sampel bertambah banyak. Pendugaan nilai koefisien regresi dengan metode kuadrat terkecil ditujukan untuk mencapai kondisi statistik yang baik. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, metode kuadrat terkecil akan menghasilkan pendugaan yang baik apabila asumsi-asumsi yang mendasarinya terpenuhi. Model populasi regresi linear berganda dengan data time series dapat dituliskan sebagai berikut: Yt = α + β1X1t + β2X2t + . . . . + βk Xkt + εt
(1)
Dengan Yt adalah variabel dependen, X1i, X2i, . . . . . Xki adalah himpunan variabel independen, α dan βk adalah parameter yang nilainya tidak diketahui dan εt adalah komponen sisaan.
26
Jika model regresi berganda diestimasi dengan teknik OLS memenuhi suatu asumsi (Gauss-Markov) maka parameter yang diperoleh bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Parameter dikatakan best berarti memiliki varians terkecil dibandingkan parameter yang diperoleh dengan metode linier lain selain OLS. Linier mempunyai makna berupa Y (variabel dependen) merupakan kombinasi linier terhadap X (variabel independen). Unbiased berarti jika estimasi dilakukan terhadap sampel berulang maka rata-rata estimasi akan mendekati populasi. Oleh karena itu, asumsi yang diperlukan untuk mendapatkan parameter tersebut, sebagai berikut: Rata-rata nilai t sama dengan nol. Hal ini akan selalu dipenuhi karena inilah t yang positif dan negatif akan saling meniadakan. Error t tidak berkorelasi dengan variabel bebas [Cov (t, Xt) = 0]. Tidak ada kesalahan spesifikasi model. Antar variabel independen tidak saling berkorelasi (tidak ada multicollinearity) Varian t adalah konstan, artinya tidak ada kecenderungan et semakin besar dengan nilai variabel bebas yang makin besar. Tidak ada autokorelasi antara ei dan ej untuk i ≠ j, artinya observasi ke i tidak mempengaruhi nilai observasi ke j. Pada prinsipnya dilakukan dua jenis pengujian yaitu pengujian hipotesis individual yang apakah suatu parameter regresi telah sesuai dengan hipotesis dan pengujian hipotesis berganda yang apakah beberapa parameter regresi secara bersama telah memenuhi suatu hipotesis. Asumsi yang digunakan agar pengujian valid adalah uji normalitas. Bila asumsi terpenuhi ditambah dengan asumsi Gauss-Markov maka disebut Classical Linier Model (CLM) sehingga aturan pengujian dapat dilakukan dengan menghitung t-hitung. Selanjutnya, pengujian hipotesis berganda bersifat dua arah dengan prosedur pengujiannya membandingkan F-hitung dengan F-tabel. Kelaiksuaian regresi linear berganda ditentukan dengan menghitung koefisien determinasinya (R2) yang apabila semakin besar nilai R2 dari model, maka akan semakin baik atau sesuai model tersebut. Semakin banyak variabel bebas dimasukkan dalam model, maka R2 cenderung semakin besar. Untuk mengatasi hal tersebut, dikembangkan suatu instrumen pengukuran kelaiksuaian dengan melibatkan faktor koreksi sehingga nilai R2 tidak dipengaruhi oleh bertambahnya variabel bebas. Ukuran R2 yang telah dikoreksi disebut sebagai R2 adjusted. Untuk mendapatkan model dengan parameter yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator) perlu dilakukan uji asumsi klasik. Uji tersebut antara lain uji normalitas, uji multikolineritas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi sehingga memenuhi syarat OLS. 1. Uji normalitas Asumsi normalitas dari populasi akan dipenuhi jika residual data sampel berdistribusi normal εi~NID (0,σ ). Menurut Suliyanto (2011), metode yang digunakan untuk melihat kenormalan suatu distribusi ada dua macam yaitu: a. Uji Normalitas dengan Analisis Grafik Analisis grafik dengan histogram dilakukan dengan cara menggambarkan variabel dependent sebagai sumbu vertikal dan nilai residual terstandarisasi sebagai sumbu horizontal. Jika Histogram Standardized Regression Residual membentuk kurva seperti lonceng maka nilai residual tersebut
27
2.
dinyatakan normal. Analisis grafik dengan Normal Probability Plot dilakukan dengan cara membandingkan distribusi kumulatif dari data sesungguhnya dengan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal digambarkan dengan sebuah garis diagonal lurus dari kiri bawah ke kanan atas, sedangkan distribusi kumulatif dari data sesungguhnya digambarkan dengan ploting. Jika data berdistribusi normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti ke garis diagonalnya. b. Uji Normalitas dengan Jarque-Bera (JB Test) JB Test merupakan uji normalitas dengan berdasarkan pada koefisien keruncingan (kurtosis) dan koefisien kemiringan (skewness). Residual dikatakan normal jika nilai Jarque-Bera (JB) ≤ X2 tabel. Pelanggaran atas asumsi normalitas akan menimbulkan konsekuensi yaitu nilai prediksi yang diperoleh akan bias dan tidak konsisten. Menurut Suliyanto (2011), jika asumsi normalitas tidak terpenuhi maka dapat dilakukan beberapa metode treatment untuk mengatasi pelanggaran tersebut, diantaranya adalah: (1) Penambahan data, Penambahan data mengakibatkan nilai residual yang memiliki nilai ekstrem akan semakin berkurang. Hal ini dikarenakan semakin banyak jumlah data maka pembagi nilai ekstrem akan semakin besar sehingga nilai rata-ratanya akan mendekati nilai tengah; (2) Transformasi variabel, Dengan melakukan transformasi maka selisih antara nilai terbesar dengan nilai terkecil akan semakin pendek, sehingga nilai ekstrem akan mendekati nilai rata-ratanya. Uji multikolineritas Multikolinieritas yakni situasi terdapat korelasi atau hubungan linier antar variabel bebas sehingga variabel-variabel bebas tersebut tidak bersifat ortogonal. Variabel-variabel bebas yang bersifat ortogonal memiliki nilai korelasi nol diantara sesamanya. Adanya multikolinieritas menyebabkan nilai dari koefisien-koefisien regresi tidak dapat ditaksir, sehingga dapat menyesatkan interpretasi dan nilai standar error setiap koefisien regresi menjadi tak terhingga sehingga tingkat signifikansi variabel bebasnya buruk. Ciri-ciri suatu persamaan regresi mengandung multikolinieritas adalah: a. Nilai standar errornya memiliki nilai yang tak terhingga atau cukup besar. b. Nilai koefisien determinasi R² tinggi tetapi variabel bebas banyak yang tidak signifikan. c. Nilai koefisien korelasi antar variabel bebas cukup tinggi atau lebih besar dari 0.8 (r > 0.8). d. Nilai VIF (Variance Inflation Factors) > 10. Penyembuhan multikolinieritas dapat dilakukan dengan beberapa cara. Diantaranya adalah: a. Mengeluarkan variabel bebas yang mengandung multikolinieritas dari model. b. Transformasikan variabel c. Penambahan data baru atau ukuran observasi. d. Kombinasikan data cross section dengan data time series. e. Menggunakan analisis komponen Utama.
28
3.
4.
Uji heterokedastisitas Dalam analisis regresi linier berganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut bersifat BLUE adalah var (ui) = σ2 (konstan), yaitu semua sesatan mempunyai variansi yang sama. Apabila var (ui) ≠ σ2, maka varians bersifat heteroskedastisitas. Apabila terjadi heteroskedastisitas, penaksir OLS tetap linier dan tak bias, tetapi tidak lagi mempunyai variansi minimum yang terbaik sehingga penaksir-penaksir OLS menjadi tidak efisien. Deteksi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: (1) Metode Grafik, scatter plot didapat dengan cara memetakan nilai ZPRED (prediksi) dengan SRESID (residual). Model yang baik didapatkan jika tidak terdapat pola tertentu pada grafik; (2) Uji Park, Uji Park dilakukan dengan cara meregresikan kembali variabel independen awal dengan variabel dependen diganti dengan log dari residual kuadrat; (3) Uji white, Uji White dilakukan dengan cara meregresikan residual kuadrat sebagai variabel dependen dengan variabel dependen ditambah dengan kuadrat variabel independen, kemudian ditambahkan lagi dengan perkalian dua variabel independen; (4) Uji Glejser, Uji Glejser dilakukan dengan cara meregresikan absolute residual sebagai variabel dependen dan variabel independent diambil dari variabel independent pada model awal; (5) Uji korelasi rank spearman. Beberapa alternatif solusi jika model menyalahi asumsi heteroskedastisitas adalah: a. Transformasi variabel, baik variabel respon, variabel penjelas, maupun keduanya. Beberapa transformasi yang digunakan adalah ln, log, √, dll. Transformasi log/ln dan √ hanya bisa digunakan jika semua data bernilai positif. b. Menggunakan metode Weighted Lesat Square (WLS). Uji autokorelasi Dalam model regresi tidak boleh ada korelasi serial antara sisaan (εt) yang artinya sisaan menyebar bebas atau Cov (εi, εj) = E (εi, εj) = 0 untuk semua i ≠ j dan dikenal juga sebagai bebas serial (serial independence). Masalah autokorelasi yang biasa terjadi dalam regresi linear adalah masalah autokorelasi ordo kesatu (first-order serial correlation), yaitu sisaan dalam suatu periode waktu berkorelasi langsung dengan sisaan dalam periode waktu berikutnya. Nilai autokorelasi dapat positif maupun negatif. Apalabila dalam suatu model, diketahui dugaan parameternya mengandung autokorelasi, menyebabkan: a. Masih tetap tidak bias, artinya bahwa rata-rata atau nilai harapan dari dugaan koefisiennya sama dengan nilai sebenarnya. E(bi) = βi b. Masih konsisten, artinya dugaan makin mendekati nilai sebenarnya (parameter koefisien) jika ukuran contoh makin besar. Jika n mendekati ∞ maka bi mendekati βi c. Mempunyai standar error yang bias ke bawah, atau lebih kecil dari nilai yang sebenarnya, sehingga nilai statistik uji-t tinggi (overestimate). Hal ini berimplikasi ke kesimpulan bahwa dugaan parameter koefisiennya lebih tepat dari yang sebenarnya, atau cenderung menolak hipotesis H0 meskipun seharusnya tidak ditolak, atau cenderung memutuskan H1
29
d. Sebagaimana halnya dengan masalah heterokedastisitas, penduga OLS tidak efisien lagi atau ragamnya tidak lagi minimum jika ada autokorelasi. Masalah autokorelasi dapat dideteksi dengan cara, yaitu: a. Memplotkan data et pada sumbu vertikal dan waktu (t) pada sumbu horizontal sehingga dapat dilihat polanya apakah bebas atau tidak bebas (punya pola tertentu). b. Menguji dengan statistik uji Durbin-Wattson, dengan kriteria terima H0 yang artinya tidak ada autokorelasi pada model tersbut. Selang nilai statistik Durbin-Watson yang harus terpenuhi agar terbebas dari autokorelasi adalah du < DW < 4 - du c. Pengujian dapat dilakukan juga dengan uji Breusch-Godfrey (BG). Uji ini dilakukan dengan meregresi variabel pengganggu Ut menggunakan autoregresive model dengan orde p Untuk mengatasi adanya autokorelasi, apabila ρ diketahui maka prosedur ini dapat menggunakan pembedaan secara umum (generalized differencing) untuk mengubah model linear ke dalam bentuk model persamaan yang sisaannya bebas. Namun kasus nilai ρ diketahui terlebih dahulu jarang terjadi sehingga alternatif lain adalah menggunakan prosedur Cochrane-Urcutt atau Hilderth-Lu untuk menduga ρ. Kedua prosedur tersebut menghasilkan dugaan parameter koefisien dengan sifat yang diinginkan (efisien dan konsisten) jika ukuran contohnya besar. Selain itu, prosedur alternatif yang lebih sulit perhitungannya yaitu dengan metode pendugaan maksimum lengkap (full maximum-likelihood) Model Almost Ideal Demand System Model AIDS merupakan model yang diperkenalkan oleh Deaton dan Muellbauer pada tahun 1980. Deaton (1980) menyatakan bahwa AIDS merupakan suatu pengembangan dari kurva Engel dan persamaan Marshall yang diturunkan dari teori maksimisasi utilitas. Model ini menyatakan hubungan antara pendapatan (yang didekati dari pengeluaran) dengan tingkat konsumsi, dengan fungsi awal sebagai berikut: Wi = αi + βi log x
(1)
Selain itu, Model ini merupakan pendekatan orde pertama dari suatu fungsi permintaan dengan titik awalnya adalah sebuah kelas preferensi individu yang spesifik yang dimungkinkan pengagregasian yang tepat dari konsumen, sebagai gambaran dari permintaan pasar yang merupakan hasil pengambilan keputusan konsumen secara rasional. Kelas preferensi tersebut dikenal sebagai PIGLOG Class ditunjukan melalui fungsi biaya atau pengeluaran, yang menentukan pengeluaran minimum yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat utilitas khusus pada tingkat harga tertentu. Dengan kata lain, model tersebut didasarkan pada fungsi biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam memaksimumkan utilitasnya pada tingkat harga tertentu. Kita dapat menotasikan fungsi tersebut c(u,p) untuk u adalah utilitas dan p adalah vektor harga, dan mendefinisikan PIGLOG Class sebagai berikut: Log c (u,p) = (1-u) log [a(p)] + u log [b(p)]
(2)
Dengan syarat bahwa u berada di antara 0 (subsisten) dan 1 (kemewahan) sehingga fungsi linear positif homogen dari a(p) dan b(p) dapat dikatakan sebagai
30
biaya subsisten dan kemewahan. Selanjutnya digunakan bentuk fungsi yang khusus dari fungsi log a(p) dan log b(p). Bentuk logaritmanya dengan sejumlah k komoditas tersebut dapat ditulis : 1
Log c (u, p) = α0 + ∑ 𝑗 αj log pj + 2 ∑ 𝑖 ∑ 𝑗 yij * log pilogpj + u β0 Ԥj pj β
(3)
Dimana α, β dan y adalah parameter Agar fungsi biaya yang dihasilkan menjadi bentuk fungsi yang fleksibel, fungsi tersebut harus memiliki sejumlah parameter yang mencukupi, sehingga pada sembarang titik, turunan ∂c/∂p, ∂c/∂u, ∂2c/∂pipj, ∂2c/∂u2 dapat dianggap sama dengan fungsi-fungsi biaya yang berubah. Dengan kata lain dilakukan derivasi parsial terhadap harga 𝜕ln c (u, p) / 𝜕ln pi = qi
(4)
Dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan pi/c(u,p) maka pi qi/c(u,p) = wi, sehingga persamaan (3) menghasilkan fungsi permintaan berupa budget share komoditas i atau dinotasikan wi: Wi = αi + ∑ 𝑗 yij log pj + βi u β0 Ԥj pj β
(5)
Berdasarkan tujuan memaksimalkan kepuasan konsumen, total pengeluaran X sama dengan c (u,p), sehingga u dan budget share dapat dinyatakan sebagai fungsi dari pengeluaran dan harga dalam bentuk : 𝑥
Log P = αi +∑ 𝑗 yij log pj + βi log (𝑝 )
(6)
keterangan: x/p adalah pendapatan yang dibagi oleh indeks harga P. Dimana dengan bentuk fungsional sebagai berikut: 1
log P = α0+ ∑ 𝑗 αj log pi + 2 ∑ 𝑖 ∑ 𝑗 yij log pi log pj
(7)
Indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan AIDS yang cenderung non linear, sehingga nilai P (Price indeks) diestimasi dengan Stone’s Price indeks : Log P = ∑𝑖 𝑤 i log pi
(8)
Dengan demikian persamaan (6) menjadi model Linear Approximation AIDS: Log P = αi +∑ 𝑗 yij log pj + βi log x - βi ∑𝑖 𝑤 i log pi
(9)
Secara umum model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dengan model restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan. Tiga restriksi yang harus dimasukkan ke dalam model agar asumsi maksimasi kepuasan dapat terpenuhi adalah : 1. Aditivitas/ Adding Up Suatu syarat yang menunjukkan bahwa total pengeluaran pada fungsi permintaan sama dengan total pendapatan. Secara matematis bisa dituliskan sebagai berikut: ∑𝑖 𝑝 i = I Dimana pi adalah harga komoditas ke-i, qi adalah kuantitas komoditas ke-i dan I adalah pendapatan. 2. Homogenitas
31
Persyaratan yang menyebutkan bahwa jika pendapatan dan harga berubah dalam proporsi yang sama, maka permintaan terhadap suatu komoditas tidak akan berubah. Hal ini merupakan implikasi dari sifat fungsi permintaan yang homogen berderajat nol terhadap harga dan permintaan. Bentuk matematisnya adalah sebagai berikut: ∑𝑖 𝜀ij + ℮iI = 0 Keterangan : 𝜀 ij = elastisitas harga silang komoditas ke–i terhadap harga komoditas ke–j ℮iI = elastisitas pendapatan komoditas ke–i 3. Simetris Yij = Yji Selain itu, fungsi biaya AIDS yang berbentuk fleksibel yang diturunkan dari fungsi permintaan persamaan merupakan first order approximation dari perilaku konsumen dalam memaksimumkan kepuasaannya. Dalam hal maksimasi kepuasaan tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first order approximation terhadap fungsi permintaan secara umum.
Kerangka Pemikiran Operasional Daging sapi merupakan salah satu komoditas yang tercantum dalam dokumen revitalisasi pertanian. Komoditas ini berperan dalam mencukupi kebutuhan protein penduduk Indonesia. Daging sapi pada dasarnya digemari karena cita rasa yang khas yang tidak bisa disubstitusi dengan daging jenis lainnya. Konsumsi daging sai diyakini akan mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beebrapa faktor antara lain citra produk (gengsi), cita rasa, pertumbuhan industri pengolahan daging sapi, dan adanya peningkatan pendapatan penduduk Indonesia. Produksi daging sapi di Indonesia berfluktuatif namun belum mampu memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia secara keseluruhan. Adanya program swasembada yang direncanakan oleh pemerintah bagi komoditas daging sapi belum mampu mengurangi persentase impor sampai dibawah 10 persen. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu pemain global yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan perdagangan bebas antar negara. Adanya perdagangan bebas secara internasional dengan berbagai macam perjanjian membuat hambatan produk ekspor berkurang. Salah satu komoditas yang diimpor oleh pemerintah Indonesia adalah daging sapi. Komoditas ini diimpor pada dasarnya untuk mencukupi kebutuhan daging sapi dalam negeri sehingga ketersediaan pasokan dapat terjamin dan peningkatan harga masih dapat dijangkau oleh konsumen. Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia, jumlah konsumsi daging sapi diramalkan akan meningkat dari tahun ke tahun sehingga merupakan pasar yang besar bagi produk ekspor. Dengan demikian perlu dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor dan berada dimanakah posisi atau tingkat persaingan negara pengekspor tersebut di pasar Indonesia. Hal ini berguna sebagai saran atau informasi bagi pemerintah dalam menentukan strategi
32
kebijakan yang tepat dalam rangka menjaga keran impor Indonesia yang sudah ada, serta harapannya untuk meningkatkan produksi lokal dengan memberdayakan potensi lokal. Oleh sebab itu, dilakukan analisis permintaan daging sapi impor yang terdiri atas analisis faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor Indonesia dan analisis permintaan daging sapi impor Indonesia. Analisis faktor yang mempengaruhi permintaan akan didekati dengan model regresi linear berganda dengan variabel terikat berupa volume impor daging sapi Indonesia. Analisis permintaan daging sapi di Indonesia dengan bersumber pada tiga negara pengekspor terbesar yaitu Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat dengan mengadopsi model AIDS (Almost Ideal Demand System). Analisis model AIDS ini menggunakan pendekatan pangsa pasar (share). Kerangka pemikiran operasional selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.
a. b. c. d.
Kondisi Agribisnis Sapi Potong Indonesia Produksi berfluktuatif dan belum mampu memenuhi kebutuhan domestik Adanya perjanjian perdagangan bebas yang mengurangi hambatan masuknya produk ekspor Impor daging sapi dalam bentuk segar, awetan, dan beku untuk memenuhi kebutuhan pasar dan penyetabilan harga Indonesia sebagai pasar utama dan besar bagi negara pengekspor
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor dan posisi (tingkat persaingan) negara asal daging sapi impor di pasar Indonesia
Keragaan komoditas daging sapi Indonesia
Analisis faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor Indonesia (Analisis regresi linear)
Analisis permintaan impor daging sapi di Indonesia yang berasal dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat (Analisis Almost Ideal Demand System)
Implikasi kebijakan
Gambar 5 Kerangka pemikiran operasional
33
METODE PENELITIAN Waktu Penelitian
Penelitian berjudul Analisis Permintaan Daging Sapi Impor Indonesia sebagian besar menggunakan pendekatan ekonometrika disamping menganalisis hasil secara deskriptif. Pendekatan ekonometrika digunakan untuk menangkap fenomena daging sapi impor kedalam sebuah model ekonometri sehingga dapat dianalisis parameter yang berkaitan dengan komoditas. Pendekatan tersebut dimungkinkan dengan melakukan analisis terhadap data-data empirik. Data-data tersebut mulai dikumpulkan pada bulan Maret sampai bulan April 2016.
Jenis dan Sumber Data Pada penelitian, data yang digunakan adalah data deret waktu (time series). Data time series merupakan data selama 32 tahun berdasarkan ketersediaan data yang dapat dihimpun dari sumber-sumber terkait yaitu mulai tahun 1983 hingga tahun 2014 untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor Indonesia dan data selama 48 tahun dari tahun 1967 hingga tahun 2014 untuk analisis permintaan daging sapi impor Indonesia yang berasal dari tiga negara sumber. Pengambilan tiga negara sumber daging sapi impor Indonesia yaitu Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru disebabkan negara tersebut memiliki pangsa impor rata-rata 84 persen dari total pangsa impor daging sapi Indonesia. Data perdagangan yang digunakan menggunakan data impor daging sapi dengan kode SITC Rev 1 0111 (Meat of bovine animals, fresh, chilled, and frozen). Penggunaan kode tersebut untuk menggambarkan permintaan impor daging sapi Indonesia secara menyeluruh. Kode SITC (Standard International Trade Classification) dibuat oleh United Nations (UN) dan digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan SITC merupakan suatu pengklasifikasian barang-barang yang digunakan untuk mengelompokkan ekspor dan impor dari suatu negara yang dapat dibandingkan dengan negara dan tahun yang berbeda. Pengelompokkan komoditi berdasarkan kode SITC adalah berdasarkan: (1) material yang digunakan dalam produksi; (2) tahap proses produksi; (3) praktek dan penggunaan komoditi di pasar perdagangan; (4) tingkat kepentingan komoditi di perdagangan internasional, dan (5) perubahan teknologi. Data yang dibutuhkan dalam penelitian antara lain data populasi domestik, konsumsi domestik, harga domestik, PDB domestik, produksi domestik, kurs, volume dan nilai impor, PDB negara asal impor, harga impor daging sapi yang berasal dari ketiga negara tersebut dan rest of world (negara selain tiga negara pengimpor terbesar), serta kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah berkaitan dengan komoditas daging sapi. Data makro berkaitan dengan komoditas daging sapi diperoleh dari berbagai sumber yang secara detail jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 7.
34
Tabel 7 Jenis dan sumber data pendukung penelitian No 1 2
3 4
Jenis Data Volume dan nilai impor daging sapi Tingkat konsumsi domestik, produksi daging sapi domestik, harga domestik GDP Indonesia, Nilai tukar rupiah terhadap LCU Kebijakan komoditas daging sapi
Sumber Data Trademap; UN Comtrade Direktorat jenderal peternakan; Kementeriaan Pertanian; Badan Pusat Statistik World Bank Kementeriaan Perdagangan; Kementeriaan Pertanian
Metode Pengolahaan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif (deskriptif) dan kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan data-data yang diperoleh dari hasil analisis yang dilakukan menggunakan metode kuantitatif. Selain itu, metode deskriptif juga digunakan untuk menggambarkan keragaan atau performa permintaan daging sapi impor Indonesia. Metode kuantitatif pada penelitian didekati dengan menggunakan analisis regresi linear berganda dan analisis model AIDS. Model regresi linear berganda digunkan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor di Indonesia. Model ini dapat mengestimasi signifikansi hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Model AIDS digunakan untuk menganalisis kerentanan atau hubungan elastisitas permintaan impor daging sapi Indonesia dari sudut pandang negara pengekspor utama. Model AIDS dipilih karena model ini dapat melihat kompetisi diantara negara-negara pengekspor atau sumber impor dari komoditas tertentu, melalui share masing-masing negara tersebut atau pangsa pasarnya. Selain itu pada model AIDS, secara teknis, persamaan dari negara-negara pengekspor tersebut dijalankan bersamaan, tidak diolah terpisah per masing-masing negara pengekspor. Dengan kata lain bukan model yang terpisah. Model AIDS pada penelitian ini juga dimodifikasi dengan menambahkan variabel-variabel independen lain yang terkait, selain yang memang sudah menjadi variabel-variabel independen umum di dalam model AIDS. Analisis model regresi linear berganda dan model AIDS hasil pada akhirnya dimaksudkan untuk dapat menjadi sumber informasi dalam penetapan strategikebijakan yang berhubungan dengan impor daging sapi ke Indonesia. Program (software) komputer yang digunakan untuk melakukan analisis-analisis ini adalah Microsoft Excel, Eviews, Minitab, dan STATA. Model Regresi Linear Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Daging Impor Indonesia Model regresi linear berganda digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor di Indonesia. Formulasi model dilakukan sebagai langah awal sebelum dilakukan estimasi model. Pada penelitian
35
ini perumusan model regresi diawali dengan spesifikasi model atau penentuan peubah terikat dan peubah bebas. Peubah terikat dalam model regresi merupakan besarnya volume impor komoditas daging sapi. Selain itu, peubah bebas dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai referensi baik berupa hasil penelitian maupun berdasarkan teori antara lain: konsumsi domestik (Purnamasari 2006), harga dan produksi domestik (Uzonos dan Akcay 2009), harga impor (Binuomote et al 2008), nilai tukar riil (kurs) (Anggasari 2008), dan PDB riil Indonesia (Manik 2012). Masing-masing peubah yang telah ditentukan tersebut kemudian dilakukan estimasi model awal. Secara matematis persamaan model tersebut sebagai berikut: ln VIMP = β0 + β1lnGDP + β2lnKONS + β3lnKURS + β4lnPDOM + β5lnPROD + β6lnPW + μ
Dimana: β0 VIMP GDP KONS KURS PDOM PROD PW μ
= intersep = Volume impor daging sapi Indonesia (kg) = PDB riil Indonesia (US$) = Tingkat konsumsi daging sapi Indonesia (kg/kapita/tahun) = Nilai tukar riil rupiah terhadap US$ (Rupiah/LCU) = Harga daging sapi dalam negeri (Rupiah/kg) = Produksi daging sapi Indonesia (kg) = Harga daging sapi dunia (US$/kg) = galat (pengaruh dari variabel lain yang tidak masuk dalam model)
Pengujian Koefisien Regresi Menurut Gujarati (2013), uji-F ini digunakan untuk pengujian koefisien regresi secara keseluruhan, dengan prosedur sebagai berikut : H0 : b1 = b2 = b3 =....= bn = 0 H1 : tidak semua koefisien regresi bernilai 0
𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔
𝑅 2⁄ (𝑘 − 1) = (1 − 𝑅 2 ) ⁄(𝑁 − 𝑘)
Keterangan: k : jumlah parameter yang diduga N : jumlah pengamatan Jika Fhitung > F (k-1, N-k)(α/2) maka tolak H0, artinya peubah bebas yang diuji secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas pada tingkat kepercayaan tertentu sehingga model layak untuk dijadikan model penduga parameter dari persamaan. Jika Fhitung < F (k-1, N-k)(α/2) maka terima Ho, artinya peubah bebas yang diuji secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas pada tingkat kepercayaan tertentu.
36
Sedangkan untuk mengetahui peubah bebas mana yang digunakan dalam model secara sendiri-sendiri memberikan pengaruh nyata terhadap peubah tak bebas maka dilakukan uji-t. Kriteria ujinya yaitu : Jika thitung > ttabel maka tolak H0, artinya peubah bebas tersebut berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas pada tingkat kepercayaan tertentu. Jika thitung < ttabel maka terima H0, artinya peubah bebas yang diuji tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas pada tingkat kepercayaan tertentu. Umumnya pengujian signifikansi suatu koefisien regresi dari peubah bebas menggunakan nilai α pada taraf kepercayaan tertentu. Disamping cara tersebut pengujian nyata tidaknya nilai koefisien regresi dapat juga dilakukan dengan menggunakan p-value yang aturannya yaitu : Jika p-value < α maka tolak H0, sedangkan jika p-value > α maka terima H0. Jika hasil pengujian menolak H0 maka model yang digunakan tepat untuk menduga pengaruh antara peubah-peubah bebas baik secara keseluruhan maupun individu terhadap peubah tak bebas Uji Koefisien Determinasi (R2 atau Adj. R2) Menurut Gujarati (2013) koefisien determinasi atau R2 mengukur bagian atau persentase total variasi Y yang dijelaskan oleh model regresi. Nilai R2 yang besar menunjukkan bahwa model yang didapat semakin baik. Namun tidak dapat dipungkiri ada kalanya dalam penggunaan koefisien determinasi terjadi bias terhadap satu variabel independen yang dimasukkan dalam model. Nilai R2 dapat dihitung dengan persamaan: 𝑅2 =
2 [∑(𝑌𝑡 − 𝑌̅) (𝑌̂𝑡 − 𝑌̅)]
2 ∑(𝑌𝑡 − 𝑌̅)2 ∑(𝑌̂𝑡 − 𝑌̅)
Adj. R2 lebih baik untuk digunakan dalam analisis ekonometrika daripada R2. Hal ini karena R2 cenderung untuk memberikan gambaran yang terlalu baik terhadap hasil regresi. Hal ini terutama terjadi saat jumlah variabel bebas dalam model cukup besar atau mendekati jumlah pengamatan. Dengan demikian untuk kasus analisis linier berganda, uji koefisien determinasi model yang digunakan adalah R2 yang dikoreksi (adj. R2). R2 selain dipengaruhi oleh banyaknya variabel bebas juga dipengaruhi oleh banyaknya observasi. Semakin banyak observasi maka nilai R2 semakin kecil. Pengujian Model melalui Asumsi Klasik Setelah dilakukan estimasi dan pemilihan model terbaik yang dapat menggambarkan fenomena faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor daging sapi, dilakukan uji asumsi regresi klasik. Uji asumsi regresi klasik tersebut dimaksudkan untuk memperoleh estimasi model yang memenuhi sifat Best Linear Unbias Estimation (BLUE). Adapun pengujian asumsi regresi klasik yang harus dilakukan sebagai berikut: 1. Uji Normalitas Uji normalitas data diperlukan untuk mengetahui apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak. Uji normalitas diaplikasikan dengan melakukan
37
2.
3.
4.
tes Jarque Bera, jika nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka error term dalam model sudah menyebar normal. Hipotesis yang disusun, yaitu: H0: Residual (error atau gangguan) berdistribusi normal. H1: Residual (error atau gangguan) tidak berdistribusi normal. Uji Multikolinearitas Suatu model dapat dikatakan mengandung multikolinearitas apabila nilai R2 tinggi tetapi banyak variabel yang tidak signifikan. Menurut Mason dan Lind (1999), korelasi antara variabel-variabel independen yang berada pada selang -0.70 sampai dengan 0.70 tidak menyebabkan masalah. Adanya multikolinearitas juga dapat diuji berdasarkan nilai VIF (Variance Inflation Factors) nya. Menurut Lind et al (2007), VIF yang lebih besar dari sepuluh (10) dianggap tidak memuaskan, yang mengindikasikan sebaiknya variabel bebas tersebut dibuang. Oleh sebab itu, jika nilai korelasi antar variabel independen berada pada selang -0.7 sampai 0.7 dan nilai VIF setiap variabel tersebut lebih kecil dari sepuluh, maka disimpulkan tidak terdapat multikolinearitas pada model regresi linear. Uji Heterokedastisitas Uji yang digunakan untuk melihat ada atau tidaknya sifat heteroskedastisitas pada model adalah Uji Heteroskedastisitas Umum White. Hipotesis yang disusun yaitu: H0 : Tidak ada heteroskedastisitas. H1 : Ada heteroskedastisitas. Jika nilai probabilitas Obs*R-squared (Uji White) lebih besar dari taraf nyata (α) yang digunakan, maka disimpulkan terima H0. Atau dengan kata lain, disimpulkan tidak terdapat heteroskedastisitas pada model. Uji Autokorelasi Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi adalah dengan melihat nilai dari Durbin – Watson (DW) statistiknya. Jika nilai DW lebih dari 1.909 atau kurang dari 2.091 maka dapat dikatakan tidak dapat terdapat autokorelasi pada model. Uji lain yang digunakan untuk melihat ada atau tidaknya autokorelasi pada model adalah Uji Breusch-Godfrey Serial Correlation Lagrange Multiplier. Hipotesis yang disusun yaitu: H0 : Tidak ada autokorelasi. H1 : Ada autokorelasi. Jika nilai probabilitas Obs*R-squared (Uji Breusch-Godfrey Lagrange Multiplier) lebih besar dari taraf nyata (α) yang digunakan, maka disimpulkan terima H0. Atau dengan kata lain, disimpulkan tidak terdapat autokorelasi pada model.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan studi penelitian terdahulu dan kerangka teoritis, maka beberapa hipotesis yang digunakan dalam mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor Indonesia antara lain: 1. GDP riil Indonesia berpengaruh positif terhadap nilai impor Indonesia. Peningakatan pada GDP riil Indonesia akan berdampak pada peningkatan nilai impor daging sapi Indonesia dari negara tujuan.
38
2.
3.
4.
5.
6.
Tingkat konsumsi penduduk Indonesia akan berpengaruh positif terhadap nilai impor karena peningkatan konsumsi akan menyebabkan kebutuhan daging sapi meningkat sehingga nilai impor meningkat. Nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara asal impor mempunyai hubungan yang negatif terhadap volume impor Indonesia. Meningkatnya rasio nilai tukar antara rupiah terhadap mata uang asing (terdepresiasi) menyebabkan barang luar negeri lebih mahal, sehingga menurunkan volume impor. Harga daging sapi dalam negeri mempunyai hubungan yang positif terhadap peningkatan volume impor. Semakin tinggi harga komoditas dalam negeri maka barang komoditas impor akan semakin terasa murah sehingga meningkatkan volume impor. Produksi mempunyai hubungan yang negatif terhadap volume impor. Semakin tinggi produksi Indonesia maka akan menyebabkan volume impor Indonesia berkurang. Harga komoditas Impor memiliki hubungan negatif terhadap volume impor. Semakin rendah harga impor maka akan semakin meningkatkan volume impor.
Permintaan Impor dengan Model AIDS Selanjutnya akan dianalisis tingkat persaingan atau posisi diantara tiga negara sebagai sumber impor terbesar daging sapi bagi Indonesia. Ketiga negara tersebut adalah Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Pemilihan ketiga negara tersebut didasarkan pada kekontinyuan dalam memeasok daging sapi impor ke Indonesia sehingga memiliki nilai pangsa impor yang besar. Adapun model AIDS negara pengekspor yaitu Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat di pasar impor daging sapi Indonesia adalah sebagai berikut: n x wi i ij ln Pj i ln * j 1 p
Dimana: wi p x p*
: pangsa ekspor negara eksportir ke-i di Indonesia (persen) : harga asal negara eksporitr (US$) : nilai impor total Indonesia (ton) : indeks harga geometrik Stone =∑ 𝑤𝑖. 𝑝𝑖
Terdapat tiga persamaan model AIDS pada penelitian ini. Persamaan pertama yaitu merupakan persamaan Australia dengan variabel dependennya berupa pangsa pasar impor Australia dan peubah independennya berupa harga daging sapi Australia, Amerika Serikat, Selandia Baru, ROW, begitu juga untuk persamaan Amerika Serikat dan Selandia Baru. Ketiga persamaan tersebut adalah sebagai berikut: Wnew = 1+ 1 Ln Paus+ 2 Ln Pusa+ 3 Ln Pnew + 4 Ln Prow+ 1 Ln (x/P*) Wusa
= 2 + 5 Ln Paus + 6 Ln Pusa + 7 Ln Pnew+ 8 Ln Prow + 2 Ln (x/P*)
Waus
= 3+ 9 Ln Paus + 10 Ln Pusa + 11 Ln Pnew + 12 Ln Prow + 3 Ln(x/P*)
39
Keterangan : 1, 2, 3 = Intercept 1,…, 12; 1, 2, 3 = Koefisien Pnew = Harga daging sapi (nilai impor per volume impor) Selandia Baru (US$) Pusa = Harga daging sapi (nilai impor per volume impor) Amerika Serikat (US$) Paus = Harga daging sapi (nilai impor per volume impor) Australia (US$) Prow = Harga daging sapi negara sumber impor lainnya Rest of World (US$) Sedangkan untuk menghitung elastisitas permintaan dari model Almost Ideal Demand System (AIDS) yaitu: Elastisitas harga sendiri
Elastisitas harga silang
Elastisitas pengeluaran
ˆij ˆ w j i wi wi ˆ eij* ij ij w j wi ˆ i 1 i wi eij ij
Koefisien regresi pada model AIDS diduga dengan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR). Ketiga persamaan dalam penelitian ini direstriksi dengan menggunakan kendala homogenity, dan symmetry, sedangkan sifat adding up telah terpenuhi dalam model dengan sendirinya sebagai keunggulan dari model AIDS. Penggunaan restriksi tersebut didasarkan pada bentuk dasar model AIDS itu sendiri. Dimana model AIDS merupakan sistem permintaan yang terdiri dari sejumlah fungsi permintaan yang saling terkait. Oleh karena itu, diperlukan restriksi sebagai sifat/syarat utama dari fungsi permintaan. Berdasarkan output pengolahan model AIDS tersebut, ditentukan nilai elastisitas-elastisitas untuk Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, yaitu: (1) elastisitas harga sendiri, (2) elastisitas harga silang, dan (3) elastisitas pengeluaran dunia atas ekspor daging sapi atau dengan kata lain elastisitas nilai impor daging sapi di Indonesia. Elastisitas-elastisitas tersebut dihitung berdasarkan rumus yang telah dijelaskan di atas. Pada penelitian ini perhitungan nilai elastisitas permintaan sendiri menggunakan rumus elastisitas uncompensated atau Marshallian. Perhitungan nilai elastisitas harga silang menggunakan rumus elastisitas compensated atau Hicksian. Elastisitas compensated digunakan untuk lebih menggambarkan kompetisi diantara negara sumber impor. Adapun ukuran-ukuran elastisitas dan artinya, dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
40
Tabel 8 Ukuran-ukuran elastisitas model AIDS No Besar Elastisitas Istilah 1. Elastisitas Harga Sendiri a. Ep=0 Inelastis sempurna
2.
b. 0 < Ep < 1
Inelastis
c. Ep=1
Elastisitas unit
d. 1 < Ep < ∞
Elastis
e. Ep = ∞
Elastis sempurna
Elastisitas Silang a. Ec > 0 (positif)
b. Ec < 0 (negatif) 3
Barang substitusi
Barang komplemen Elastisitas Pengeluaran a. Ei > 0
b. Ei < 0
Keterangan Pangsa pasar daging sapi negara pengekspor tidak berubah (tetap/konstan) dengan adanya perubahan harga daging sapi negara pengekspor tersebut. Pangsa pasar daging sapi negara pengekspor berubah dengan persentase yang lebih kecil dari pada adanya perubahan harga daging sapi negara pengekspor tersebut. Pangsa pasar daging sapi negara pengekspor berubah dengan persentase yang sama dari pada adanya perubahan harga daging sapi negara pengekspor tersebut. Pangsa pasar daging sapi negara pengekspor berubah dengan persentase yang lebih besar dari pada adanya perubahan harga daging sapi negara pengekspor tersebut. Berapapun pangsa pasar daging sapi suatu negara pengekspor, harga daging sapi negara pengekspor tersebut tidak berubah (tetap/konstan). Kenaikan harga barang substitusi daging sapi dari suatu negara pengekspor tertentu berakibat pada meningkatnya pangsa pasar daging sapi suatu negara pengekspor tersebut. Jumlah yang diminta turun, saat pendapatan naik. Pangsa pasar daging sapi suatu negara pengekspor daging sapi tertentu naik, sejalan dengan kenaikan nilai impor daging sapi Indonesia Pangsa pasar daging sapi suatu negara pengekspor tertentu turun, sementara nilai impor daging sapi Indonesia naik.
41
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Produksi Komoditas Daging Sapi Indonesia
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
(Juta Ekor)
Daging sapi merupakan komoditas yang turut andil dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat Indonesia terutama dalam hal kecukupan protein hewani. Seiring dengan adanya peningkatan jumlah penduduk dan perbaikan taraf hidup penduduk Indonesia, permintaan produk-produk penunjang pemenuhan gizi salah satunya daging sapi mengalami peningkatan permintaan. Pemenuhan kebutuhan daging sapi ini salah satunya dipenuhi oleh para peternak lokal. Para peternak lokal ini sebagian besar merupakan peternak dengan skala rumah tangga. Bisnis ternak sapi potong skala rumah tangga telah marak digerakkan dengan cara konvensional, peternak sapi potong kelas rumah tangga mampu mengembangkan usahanya dengan keuntungan yang memadai. Jika menganalisis mengenai perkembangan komoditas daging sapi tidak lepas dari peran komoditas utamanya yaitu sapi potong. Kecukupan produksi daging sapi dalam negeri bergantung pada kecukupan atau ketersediaan sapi yang siap untuk di potong. Secara umum, perkembangan populasi sapi potong di Indonesia baik di Jawa maupun luar Jawa selama periode tahun 1984 – 2014 meningkat 1.76 persen. Pada periode sebelum terjadinya krisis moneter (tahun 1984 – 1997), perkembangan populasi sapi potong di Indonesia mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2.02 persen per tahun, namun pada periode krisis dan sesudahnya yaitu tahun 1998 – 2014 perkembangan populasi sapi naik rata-rata sebesar 1.82 persen per tahun.
Tahun Indonesia
Jawa
Luar Jawa
Gambar 6 Perkembangan populasi sapi potong di Indonesia tahun 1984 – 2014 Sumber: Kementan 2015
Populasi sapi potong di Indonesia sebagian besar berasal dari luar Jawa. Pada tahun 2014, persentase rata-rata jumlah populasi sapi potong di luar Jawa adalah sebesar 56.62 persen selebihnya adalah sapi potong di Jawa. Pada periode 1984 – 2014, pertumbuhan populasi sapi potong di Jawa lebih tinggi daripada di luar Jawa yaitu 2.10 persen di Jawa dan 1.67 persen di luar Jawa. Berdasarkan data
42
rata-rata populasi sapi potong tahun 2010 – 2014, produksi dari 10 provinsi sentra memberikan kontribusi hingga 78.49 persen dari total populasi daging sapi potong di Indonesia. Sentra populasi sapi potong di Indonesia terbesar adalah Jawa Timur dengan kontribusi 29.32 persen. Berkembangnya populasi sapi potong di Indonesia diharapkan sejalan dengan perkembangan komoditas daging sapi sebagai produk turunan dari sapi potong. Dengan meningkatnya komoditas sapi potong maka kebutuhan konsumsi daging sapi yang semakin meningkat pula dapat dipenuhi oleh peternak lokal. SHARE (%) Jawa Timur Jawa Barat
21%
29%
Jawa Tengah Aceh
5%
Bali
8%
3% 6%
12% 5%
4%
4%
3%
Sum. Utara NTT NTB Sul. Selatan Lampung Lainnya
Gambar 7 Sentra populasi daging sapi Indonesia (2007 – 2014) Sumber: Kementan 2014
Perkembangan produksi daging sapi di Indonesia pada periode tahun 1984 – 2014 secara umum memiliki pola yang sama baik di Jawa maupun luar Jawa, yaitu cenderung meningkat. Selama periode tersebut, produksi daging sapi di Indonesia meningkat rata-rata sebesar 3.05 persen per tahun, 2.90 persen di Pulau Jawa dan 4.03 persen per tahun di luar Pulau Jawa. Produksi daging sapi di Indonesia pada tahun 1984 tercatat sebesar 248.48 ribu ton meningkat menjadi 539.97 ribu ton pada tahun 2014. Meskipun populasi sapi potong di luar Jawa lebih banyak dibandingkan dengan di Jawa namun produksi daging sapi di Jawa lebih tinggi dibandingkan di luar Jawa.
43
600,00 ( 000 Ton)
500,00 400,00 300,00 200,00 100,00 -
Tahun Indonesia
Jawa
Luar Jawa
Gambar 8 Perkembangan produksi daging sapi Indonesia Sumber: Kementan 2014
Sentra produksi daging sapi di Indonesia adalah Jawa Timur merupakan yang tertinggi dengan kontribusi 22.31 persen. Jawa Barat dengan kontribusi 15.12 persen dan Jawa Tengah dengan kontribusi 11.93 persen. Posisi keempat sebagai sentra produksi daging sapi adalah Banten dengan kontribusi 6.35 persen, selanjutnya Sumatera Barat dan Sumatera Utara kontribusi produksi 4.45 persen dan 4.09 persen. DKI Jakarta memiliki posisi yang menarik, meskipun memiliki populasi sapi potong yang sangat kecil namun produksinya cukup tinggi yang hal ini disebabkan karena konsumsi daging sapi di DKI sangat tinggi (konsumsi rumah tangga dan non rumah tangga seperti hotel, restaurant dan sebagainya). Daerah penyangga sapi potong di DKI berasal dari berbagai daerah yaitu Bali, NTB, NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung bahkan Sulawesi Selatan. SHARE (%) Jawa Timur; 22
Lainnya; 25
Lampung; 2 Sul. Selatan; 3 Jakarta; 3 Jawa Barat; 15 Sum. Selatan; 3 Sum. Utara; 4 Sum. Barat; 5
Banten; 6
Jawa Tengah; 12
Gambar 9 Sentra produksi daging sapi Indonesia Sumber: Kementan 2015
44
Keragaan Konsumsi Komoditas Daging Sapi Indonesia Jumlah daging sapi yang harus tersedia ditentukan oleh kebutuhan konsumsi daging sapi secara nasional, disisi lain kebutuhan konsumsi daging sapi ditentukan oleh jumlah penduduk dan konsumsi daging sapi per kapita. Memang awalnya komoditas daging sapi lekat dengan komoditas yang mewah karena hanya golongan ekonomi tertentu saja seperti masyarakat kelas pendapatan tinggi yang mengonsumsi komoditas ini sedangkan golongan lain seperti masyarakat kelas pendapatan yang lebih rendah pada umumnya mengonsumsi daging sapi pada saat tertentu saja maupun adanya hari besar keagamaan. Namun, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pentingnya protein hewani makin meningkat sehingga kebutuhan daging sapi nasional akan semakin meningkat. Tercatat konsumsi daging sapi Indonesia per kapita pada tahun 2014 hanya mencapai 2.36 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ini tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara maju karena bahkan tingkat konsumsi daging sapi Indonesia masih kalah dari negara Singapura, Malaysia, maupun Thailand. Walaupun demikian Indonesia belum bisa menjadi negara swasembada daging sapi, untuk mencukupi permintaan daging sapi terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, masih banyak diperoleh dari impor.
(kg/kapita/tahun)
Tingkat Konsumsi 5 4 3 2 1 0
(Tahun)
Gambar 10 Perkembangan konsumsi daging sapi Indonesia tahun 1993 – 2014 Sumber: Kementan 2015
Keragaan Harga dan Rantai Pasok Komoditas Daging Sapi Indonesia Harga daging sangat bergantung pada jenis dan kualitasnya, meskipun di tingkat pasar tradisional konsumen belum memperhatikan jenis daging yang akan dibeli. Namun demikian secara umum terdapat sedikit perbedaan harga diantara jenis atau kualitas daging yang dipasarkan. Secara umum perkembangan harga daging sapi di tingkat konsumen sejak tahun 1983 hingga tahun 2014 sedikit berfluktuasi dan cenderung meningkat. Selama periode tersebut, harga daging sapi di tingkat konsumen naik sebesar 13.49 persen per tahun. Harga konsumen daging sapi pada tahun 2014 tercatat sebesar Rp99 056.00 per kilogram, hal ini di disebabkan karena keberadaan sapi di luar jawa tidak dapat memenuhi kebutuhan pasar sentra serta kurangnya daging impor yang masuk ke Indonesia. Trend harga daging sapi hampir selalu naik dan tidak pernah kembali ke posisi awal. Perilaku ini disebabkan peternak tidak mampu merespon perubahan
45
harga yang terjadi karena siklus produksi yang lama, teknologi budidaya yang rendah dan usaha yang sambilan. Perlu ada pengendalian agar kenaikan harga daging sapi tidak melonjak tajam dan tidak mempercepat pengurasan populasi yang menyebabkan makin langkanya sumber daya sapi lokal. Harga Daging Sapi 120.000
Rupiah/kg
100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013
Tahun
Gambar 11 Perkembangan harga daging sapi Indonesia Sumber: Kementan 2014
Rantai pasok daging sapi dapat dibedakan antara daging sapi asal ternak sapi lokal, daging sapi asal ternak sapi impor (dari Australia) dan daging sapi asal daging beku impor (dari Australia, New Zealand, dll). Daging sapi lokal berasal dari berbagai bangsa ternak sapi yang dikembangbiakkan di daerah-daerah perdesaan di Indonesia. Konsumen Tukang bakso, restoran, warung makan, katering Pengecer Daging Pasar Tradisional
Jagal sapi/RPH
Pasar hewan
Pedagang ternak besar
Blantik
Peternak
Gambar 12 Rantai pasok ternak daging sapi lokal Sumber: Direktorat Pangan dan Pertanian 2013
46
Ternak sapi milik petani dijual kepada pedagang sapi di tingkat desa (Blantik) atau di Pasar Hewan terdekat. Selanjutnya, sapi tersebut dijual ke Pedagang Besar Sapi atau ke Jagal (pedagang yang membeli sapi hidup dan memotong sapi tersebut untuk dijual dagingnya). Pedagang Besar menjual sapi ke daerah-daerah lain. Sapi yang sudah di tangan Jagal kemudian dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) milik pemerintah atau milik swasta, atau Tempat Pemotongan Hewan (TPH) milik perseorangan. Hasil pemotongan sapi terdiri dari daging, jeroan (usus, hati, paru, jantung, dll), kepala, buntut, kulit dan kaki. Di RPH atau TPH sudah ada Pengecer daging yang membeli daging dari Jagal untuk dijual di pasar tradisional kepada berbagai jenis pembeli yaitu konsumen rumah tangga, restoran/warung makan, dan tukang bakso. Konsumen Akhir
Tukang bakso, warung makan
Pengecer Daging Pasar Tradisional
Pengecer daging Pasar swalayan
Hotel, restoran Jagal sapi/RPH
Feedlotter Indonesia
Eksportir Sapi
Gambar 13 Rantai pasok ternak dan daging sapi impor Sumber: Direktorat Pangan dan Pertanian 2013
Ternak sapi dipesan oleh perusahaan penggemukan sapi potong (feedloter) yang tergabung ke dalam organisasi APFINDO (Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia) dan importir di Indonesia. Jumlah sapi yang diimpor harus mendapat persetujuan dari Kementan. Menurut ketentuan pemerintah, bobot ternak yang diimpor tidak boleh lebih dari 350 kg/ekor supaya dapat digemukkan selama 90-100 hari di Indonesia sehingga dari segi ekonomi timbul multiplier effect berupa terciptanya nilai tambah berupa peningkatan bobot daging, penyerapan tenaga kerja, pemanfaatn jasa angkutan, pemanfaatan limbah industri untuk pakan, dan lain-lain. Namun dalam keadaan mendesak untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, bobot ternak yang diimpor bisa melebihi ketentuan dan dapat langsung dipotong setelah tiba di Indonesia. Ternak sapi milik perusahaan penggemukan dan importir ada yang dipotong sendiri oleh perusahaan tersebut dan ada pula yang dijual kepada Jagal di RPH milik pemerintah atau swasta. Daging yang diperoleh dari hasil pemotongan oleh perusahaan penggemukan dijual di pasar
47
swalayan, hotel dan pasar tradisional. Sementara daging dari Jagal dijual di pasar tradisional. Selanjutnya, rantai pasok daging sapi asal daging sapi beku impor dapat dilihat pada Gambar 14. Daging beku sapi dipesan dari negara sumber impor atau oleh perusahaan importir daging yang tergabung ke dalam organisasi ASPIDI (Asosiasi Perusahaan Importir Daging Indonesia). Daging beku impor tersebut kemudian langsung dijual ke industri pengolahan daging yang tergabung kedalam oganisasi NAMPA (National Meat Processor Association), pasar swalayan, hotel berbintang, dan agen (tidak boleh masuk ke pasar tradisional). Mutu daging yang dijual ke industri pengolahan pada umumnya adalah second class, sementara yang dijual ke hotel berbintang dan pasar swalayan adalah first class (prime cut). Produkproduk olahan yang dihasilkan oleh industri pengolahan adalah sosis, daging asap, burger, dan lain-lain. Produk olahan kemudian dijual ke pasar swalayan. Pasar swalayan menjual daging segar kepada restoran/catering, dan menjual produk olahan kepada konsumen. Agen daging impor menjual daging sapi kepada restoran/catering. Konsumen
Restoran/katering
Pasar swalayan
Agen
Importir daging sapi (ASPIDI)
Industri pengolahan daging (NAMPA)
Hotel berbintang
Eksportir Daging
Gambar 14 Rantai pasok daging sapi impor Sumber: Direktorat Pangan dan Pertanian 2013
Keragaan Impor Daging Sapi Indonesia Trend produksi daging sapi di Indonesia menunjukkan perkembangan yang positif karena setiap tahunnya menunjukkan persentase yang positif. Peningkatan produksi daging sapi ini tidak luput dari peningkatan populasi sapi potong yang merupakan komoditas sumber daging sapi. Adanya peningkatan produksi ini diiringi dengan adanya peningkatan konsumsi pada masyarakat Indonesia. Semakin meningkatnya taraf kehidupan masyarakat dan semakin sadarnya masyarakat terhadap kebutuhan gizi dan protein hewani membuat daging sapi sebagai salah satu komoditas sumber protein hewani mengalami peningkatan permintaan.
48
Kenyatannya, peningkatan produksi ini belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Keduanya sama-sama mengalami peningkatan, namun peningkatan konsumsi lebih tinggi lajunya dibandingkan produksi. Hal tersebut yang menyebabkan pemerintah masih melakukan impor sebagai salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap daging sapi. Tidak tercukupinya kebutuhan konsumen akan daging sapi yang merupakan indikasi bahwa permintaan lebih besar dari penawaran merupakan salah satu penyebab tingginya harga daging sapi. Pasokan daging sapi tidak lancar yang membuktikan bahwa alur distribusi komoditas daging sapi masih belum berjalan lancar. Hal itu juga yang menyebabkan kran impor daging sapi dibuka oleh pemerintah. Indonesia yang diwakili oleh daerah Nusa Tenggara pada tahun 1970-an merupakan salah satu penghasil daging sapi yang bahkan merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia. Namun, hal teresbut tidak berlaku lagi saat ini. Adanya program swasembada daging sapi yang dicanangkan oleh pemerintah dan dilakukan pembaruan beberapa kali untuk menyempurnakan konsepnya nampaknya beberapa kali pula menunjukkan ketidakberhasilan. Swasembada diharapkan dapat menekan volume impor daging sapi sampai kurang dari 10 persen, namun hingga saat ini rata-rata volume impor Indonesia masih berada diangka 15 persen. Ketika pemerintah menerapkan adanya pembatasan impor, pada dasarnya merupakan sebuah kebijakan yang tepat jika diiringi dengan kesiapan dari pelaku agribisnis daging sapi dan sapi potong. Pembatasan impor merupakan sebuah solusi bukan menjadi pemicu munculnya masalah baru. Adanya pembatasan impor justru membuat populasi ternak baik sapi potong produktif maupun sapi perah menurun karena peternak melihat bahwa harga daging sapi meningkat sehingga lebih memilih untuk menjual ternak atau bahkan memotong ternak mereka. Selain itu, harga daging sapi di pasaran juga meningkat dan sangat sulit untuk turun akibat pasokan daging sapi yang terbatas.
Volume Impor 100000000
(kg)
80000000 60000000 40000000 20000000 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
0
Tahun
Gambar 15 Perkembangan volume impor daging sapi Indonesia Sumber: UN Comtrade 2015
Volume impor daging sapi Indonesia menunjukkan angka yang berfluktuatif, namun ketika dilihat trennya dapat disimpulkan bahwa kegiatan impor daging sapi Indonesia cenderung meningkat. Impor tertinggi yang dilakukan oleh Indonesia dalam kurun waktu 24 tahun terakhir adalah pada tahun 2010 yang mencapai 90 500 ton atau mencapai proporsi 21 persen dari total produksi pada
49
tahun yang sama. Besarnya impor daging sapi yang dilakukan Indonesia mengindikasikan adanya ketidakberdayaan industri dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Hal ini juga disebabkan oleh struktur industri persapian domestik yang masih didominasi oleh peternak rakyat. Peternak rakyat tersebut umumnya berskala kecil (2 – 4 ekor), berpola tradisional yang tidak berorientasi profit (Tawaf 2006). Oleh karena itu, relatif sulit bagi Indonesia untuk dapat berdaulat dalam daging. Kondisi diatas diperparah dengan fakta yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan harga daging impor. Daging sapi impor yang masuk ke pasar Indonesia mayoritas berasal dari tiga negara, yaitu Australia, Amerika Serikat, dan Selandia Baru. Ketiga negara tersebut merupakan eksportir daging sapi terbesar di Indonesia. Ketiga negara tersebut menguasai hampir 85 persen pasar daging sapi impor di Indonesia. Diantara ketiga negara tersebut, Australia merupakan negara asal daging sapi impor terbesar di Indonesia. Amerika Serikat merupakan negara dengan jumlah ekspor daging sapi paling sedikit ke Indonesia dibandingkan dua negara lainnya. Namun Indonesia masih melakukan impor dari Amerika Serikat dengan daging sapi jenis premium (bagian sirloin, terderloin, dan cube roll) yang pada umumnya digunakan sebagai bahan baku pada restaurant atau hotel. 70000000 60000000
(kg)
50000000 40000000 30000000 20000000 10000000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
(Tahun) Australia
Selandia Baru
USA
Lainnya
Gambar 16 Proporsi perkembangan permintaan daging sapi impor tahun 2000 – 2013 Sumber: UN Comtrade 2015, diolah
Keragaan Kebijakan Komoditas Daging Sapi Indonesia Daging adalah bagian-bagian hewan yang disembelih atau dibunuh dan lazim dimakan manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan dengan cara lain daripada pendinginan atau bagian-bagian hewan potong yang disembelih termasuk isi rongga perut dan dada yang lazim dimakan manusia (Manual Kesmavet 1993). Karkas adalah bagian dari hewan potong yang disembelih setelah kepala dan kaki
50
dipisahkan, dikuliti, serta isi rongga perut dan dada dikeluarkan (Manual Kesmavet 1993). Seekor sapi akan mampu menghasilkan 45 – 55 persen karkas dari berat hidupnya. Dari karkas, akan dihasilkan daging tanpa tulang (boneless) sekitar 75 persen dari berat karkas. Daging yang dihasilkan belum termasuk jeroan, kaki, dan kepala. Daging sapi merupakan komoditas yang strategis karena merupakan komoditas bagian dari revitalisasi pertanian. Komoditas ini diharapkan dapat menjadi salah satu komoditas mandiri bagi Indonesia melalui adanya program swasembada. Pemerintah Indonesia ingin mengembalikan kejayaan komoditas daging sapi pada tahun 1970-an pada saat Indonesia menjadi salah satu eksportir daging sapi di dunia, namun pada satu dekade berikutnya, memasuki tahun 1980an Indonesia mulai melakukan impor pada komoditas ini untuk mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakatnya. Bahkan, kegiatan impor tersebut hingga saat ini dilakukan dan menunjukkan tren yang positif. Pada dasarnya, kegiatan impor yang seharusnya dilakukan oleh Indonesia berkutat pada komoditas sapi potong. Impor sapi potong itu dapat dalam bentuk bibit/benih, indukan, maupun bakalan. Impor komoditas sapi potong ini diharapkan dapat membantu kelangsungan agribisnis sapi potong di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Namun, Indonesia tidak hanya mengimpor dalam bentuk sapi hidup tetapi juga berupa daging sapi. Impor dalam bentuk daging (fresh, chilled, and frozen) diperbolehkan pada saat khusus untuk sesegera mungkin memenuhi kebutuhan dalam negeri terutama untuk stabilisasi harga komoditas. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 22/MDAG/PER/5/2013, Impor hewan dapat dilakukan untuk: 1. Meningkatkan mutu dan keragaman genetik 2. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi 3. Mengatasi kekurangan benih, bibit, dan/atau bakalan ternak potong di dalam negeri 4. Memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan Impor hewan dan produk hewan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapatkan penetapan sebagai IT-hewan dan produk hewan oleh Menteri Perdagangan. Persetujuan impor didapat setelan memperoleh rekomendasi. Impor daging potongan primer (primer cuts) hanya dapat dilakukan melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta, Ngurah Rai, dan Polonia Medan. Impor komoditas strategis dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai. Hal tersebut didasarkan pada peraturan Menteri Keuangan, yaitu: Nomor 267/PMK.010/2015, ternak merupakan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas impor dan/atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Ternak yang dimaksud adalah sapi indukan dengan syarat: sehat, memiliki organ dan kemampuan reproduksi yang baik, berumur 2 sampai 4 tahun, dan bebas dari segala cacat genetik dan fisik. Sapi asal impor harus memeiliki sertifikat kesehatan hewan (health certificate) dan sertifikat asal ternak (certificate of origin). Nomor 5/PMK.010/2016, rincian ternak yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai salah satunya komoditas sapi (ternak dewasa), dengan proses tanpa diolah, disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas/tanpa dikemas, dalam bentuk bakalan, ternak hidup, karkas dan non karkas; segar/dingin/beku.
51
Indonesia perlu melakukan impor daging sapi disamping untuk memenuhi kebutuhan konsumen juga untuk menjaga stabilitas harga komoditas. Setiap tahunnya produksi daging sapi meningkat karena peternak mulai menggeliat untuk melakukan bisnis pada komoditas sapi potong. Namun peningkatan produksi ini masih lebih kecil dibandingkan peningkatan konsumsi sehingga impor merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah karena dengan impor pada dasarnya pemerintah dapat melakukan beberapa pekerjaan sekaligus yaitu, memenuhi kebutuhan konsumsi, menjamin stabilitas harga komoditas, dan mengembangkan agribisnis sapi potong dengan pasokan sapi indukan atau bakalan dari luar negeri yang selanjutnya akan dikembangkan di peternakan-peternakan yang ada di dalam negeri. Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 58/Permentan/PK.210/11/2015 mengatur tentang pemasukan karkas, daging, dan/atau olahannya ke dalam wilayah negara RI. Pemasukan karkas, daging, dan/atau olahannya harus menemui persyaratan (1) jenis karkas, daging, dan/atau olahannya; (2) masa penyimpanan karkas dan daging sampai tiba di wilayah NRI; (3) negara asal dan unit usaha; (4) kemasan, label, dan pengangkutan. Masa penyimpanan karkas dan daging, untuk beku (frozen) maksimal enam bulan sejak waktu pemotongan ternak hingga batas waktu tiba di wilayah NRI pada temperatur penyimpanan maksimum -180C dan untuk segar dingin (chilled) paling lama tiga bulan sejak waktu pemotongan ternak hingga batas waktu tiba di wilayah NRI pada temperatur penyimpanan maksimum 40C. Persyaratan Negara Asal impor harus bebas dari: Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Rift Valley Fever (RVF), Contagious Bovine Pleuropneumonia, dan Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE). Pemasukan daging besar dari negara dengan status risiko BSE dapat dikendalikan (controlled BSE risk), dapat dipertimbangkan sebagai Negara Asal. Daging dari negara dengan status risiko BSE dapat dikendalikan (controlled BSE risk) berupa: (a) daging tanpa tulang (boneless/deboned meat), kecuali yang dipisahkan secara mekanis (mechanically separated meat/MSM dan mechanically deboned meat/MDM); atau (b) daging dengan tulang (bone-in meat). Daging dengan tulang harus berasal dari: (a) ternak yang lahir dan dibesarkan di Negara Asal dan sepanjang hidupnya tidak pernah diberikan pakan yang mengandung bahan asal ruminansia; (b) ternak berumur maksimal 30 (tiga puluh) bulan; (c) ternak yang telah lulus pemeriksaan ante mortem dan tidak dipingsankan (stunning) dengan cara menyuntikkan udara atau gas bertekanan ke rongga kepala; dan (d) karkas telah lulus pemeriksaan post mortem dan telah dilakukan tindakan pencegahan terkontaminasi oleh Specified Risk Material (SRM). Berikut merupakan keputusan Menteri Perdagangan terkait impor daging sapi dalam upaya menjaga ketersediaan dan stabilitas harga di dalam negeri. Nomor 699/M-DAG/KEP/7/2013, stabilisasi harga daging sapi dilakukan dengan cara menjaga ketersediaan daging sapi di seluruh Indonesia. Cara pemasokan dilakukan dengan mengimpor sapi dalam jumlah yang cukup yang akan dilakukan secara bertahap untuk tujuan stabilisasi harga daging sapi. Pengajuan impor dilakukan oleh industri pemotongan hewan, feedlotter yang terintegrasi, dan rumah potong hewan dengan mengajukan permohonan kepada Kementerian Perdagangan. Nomor 4493/KPTS/PD.410/7/2013 bahwa untuk mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat, stabilisasi harga, dan operasi pasar daging sapi di dalam
52
negeri maka disusun rekomendasi persetujuan pemasukan dan pengeluaran ke dalam dan keluar wilayah negara RI dengan dilakukannya pemasukan sapi siap potong dari luar negeri. Pemasukan tersebut harus melalui tindakan karantina di negara asal dan di atas alat angkut selama perjalanan. Indonesia dalam melakukan impor daging sapi mayoritas mendatangkan dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Ketiga negara tersebut merupakan negara yang menguasai pasar daging impor Indonesia dengan Australia sebagai negara sumber impor utama Indonesia, diikuti Selandia Baru dan Amerika Serikat. Negara lain yang umumnya mengimpor daging sapi ke Indonesia jika pasokan dari ketiga negara tersbut belum mencukupi adalah Kanada dan Jepang. Australia menjadi negara sumber impor terbesar selain karena Australia memiliki peternakan yang luas dan daging sapi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan negara tersebut, Indonesia dan Australia, bersama-sama dengan Selandia Baru juga, memiliki perjanjian multilateral yang disusun dalam AANZFTA (ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement). Perjanjian tersebut merupakan salah satu wujud dari perdagangan bebas antar negara yang saat ini seolah tanpa batas lagi. Perjanjian ini mengatur tarif komoditas yang diperdagangkan antar negara. Untuk Indonesia, sejak tahun 2010 akan ada eliminasi tarif sebesar lima persen kecuali tarif lima persen pada daging tanpa tulang (boneless fresh, chilled, and frozen) berdasarkan EIF dan akan tereliminasi sampai 0 persen pada 2020, dan potongan daging lainnya (frozen) yang tidak termasuk dalam komitmen tarif. Selain itu, Indonesia dalam mengimpor sapi potong dan daging sapi mengacu pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang pada pasal 36 E berbunyi: 1. Dalam hal tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional dapat dilakukan pemasukan ternak dan/atau produk hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan ternak dan/atau produk hewan. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai dalam hal tertentu dan tata cara pemasukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan tersebut menyebabkan Indonesia dalam mengimpor daging sapi mengacu pada sistem country based (berdasarkan negara) dibandingkan zone based (berdasarkan zona). Maksud sistem tersebut adalah Indonesia akan mengimpor komoditas sapi potong ataupun daging sapi dari negara yang bebas dari PMK (Penyakit Kuku dan Mulut) dan zoonis lainnya berdasarkan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Sebaliknya, sistem zone based merupakan sistem yang menyebutkan bahwa suatu negara asal impor belum bebas sepenuhnya dari PMK dan zoonosis lainnya namun ada zona-zona tertentu yang merupakan bagian dari negara tersebut yang telah bebas dari penyakit tersebut berdasarkan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Adanya peraturan tersebut membuat Indonesia praktis hanya dapat melakukan impor dari Australia dan Selandia Baru karena negara-negara bagian Afrika dan Amerika Selatan termasuk India dan Cina (sebagai negara penghasil daging sapi terbesar di Asia) merupakan negara-negara yang belum bebas sepenuhnya dari PMK dan zoonosis. Untuk mengimpor dari
53
negara lain misalkan dari Benua Eropa, populasi ternak sapi potongnya tidak mencukupi untuk melakukan ekspor dalam jumlah besar ke Indonesia. Tertanggal 10 Maret 2016, Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2016 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan telah ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah itu tentang pemasukan ternak dan/atau produk hewan dalam hal tertentu yang berasal dari negara atau zona dalam suatu negara asal pemasukan. Peraturan tersebut bertujuan untuk memperluas zona impor sapi dari selama ini berlandasan basis negara (country based) menjadi basis zona (zone based). Peraturan baru tersebut juga mengatur bahwa pemasukan produk hewan dapat berasal dari negara yang bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), zona bebas PMK dan negara yang belum bebas PMK namun telah memiliki program pengendalian PMK yang telah diakui oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, Australia dan Selandia Baru yang merupakan negara bebas PMK dan zoonosis bukan lagi merupakan negara pemasok utama daging sapi ke Indonesia. Brazil yang merupakan negara zona bebas PMK dan zoonosis dan India yang merupakan negara yang belum bebas PMK tetapi memiliki program pengendalian PMK dapat mengekspor daging sapi ke Indonesia. Dalam implementasinya, hanya BUMN dan BUMD yang berwenang mengimpor daging sapi. Impor dari negara berbasis zona baru bisa dilakukan dalam kondisi tertentu seperti, adanya kenaikan harga sapi di atas 30 persen dari harga patokan pasar (HPP), bencana alam, dan wabah penyakit.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Daging Sapi Impor Indonesia Analisis regresi merupakan pengolahan suatu data untuk mengukur kekuatan hubungan antara variabel dependen (Y) dengan variabel independen (X), dapat juga digunakan untuk mengetahui pengaruh suatu atau beberapa variable independen terhadap variabel dependen. Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi suatu variabel independen. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa faktor yang digunakan yaitu, volume impor Indonesia sebagai variabel dependen, produk domestik bruto Indonesia, konsumsi, produksi daging sapi di Indonesia, nilai tukar rupiah, harga daging sapi domestik, dan harga daging sapi dunia sebagai variabel independen. Sebelum dilakukan analisa yang lebih lanjut, terlebih dahulu model persamaan dilakukan pengujian Ordinary least Square (OLS) untuk melihat apakah variabel ini layak untuk di analisis lebih lanjut. Uji asumsi yang dilakukan terhadap model regresi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor Indonesia meliputi uji normalitas (menggunakan uji Jarque-Bera), heteroskedastisitas (menggunakan uji Hetereskedastisitas Umum White), autokorelasi (menggunakan uji Durbin-Watson dan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation Lagrange Multiplier), dan multikolinearitas (melihat nilai Variance Inflation Factors). Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, maka disimpulkan bahwa pada model:
54
1.
Residual (error atau gangguan) terdistribusi dengan normal atau dengan kata lain asumsi normalitas terpenuhi (nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata yang digunakan: 0.936823 lebih besar dari 5 persen). 2. Tidak terdapat heteroskedastisitas (nilai probabilitas Obs*R-squared uji White, baik yang no cross terms, maupun cross terms lebih besar dari taraf nyata yang digunakan: 0.2748 lebih besar dari 5 persen dan 0.3202 lebih besar dari 5 persen). 3. Metode uji berikutnya adalah melihat dari nilai Durbin-Watson (DW), nilai DW yang harus terpenuhi agar tidak terkendala autokorelasi antara 1,909 dan 2,091. Batas nilai du adalah 1.909 dan nilai dL adalah 1.041. Nilai DW pada model adalah 1,298649 yang artinya terdapat pada daerah ragu-ragu sehingga untuk menentukan ada atau tidaknya autokorelasi secara pasti digunakan uji lain yaitu uji Breusch-Godfrey Serial Correlation Lagrange Multiplier. Berdasarkan uji tersebut, tidak terdapat autokorelasi (nilai probabilitas Obs*Rsquared uji Breusch-Godfrey Serial Correlation Lagrange Multiplier lebih besar dari taraf nyata yang digunakan: 0.0830 lebih besar dari 5 persen). 4. Model belum terbebas dari multikolinearitas. Berikut ini akan dilakukan pengujian multikolinearitas terhadap model. Menurut Nugroho (2005) mendeteksi multikolinearitas dapat dilakukan dengan melihat nilai VIF (variance inflation factors), nilai VIF yang lebih dari 10 menunjukan data terjadi multikolinearitas. a. Multikolinearitas dapat diperiksa dengan melihat hubungan korelasi antar variabel bebas atau dengan melihat R2 hasil regresi antar variabel bebas. Ketika hasil R2 antar variabel bebas lebih besar dari R2 model maka variabel tersebut merupakan variabel penyebab multikolinearitas. Adanya multikolinearitas dapat menyebabkan variabel independen pada model secara individu tidak berpengaruh terhadap variabel dependennya. Walaupun secara bersama-sama seluruh variabel independen tersebut berpengaruh terhadap variabel dependen. Dari pengolahan data yang dilakukan menunjukkan bahwa model mengalami multikolinearitas dengan variabel penyebab multikolinearitas adalah variabel GDP, kurs, dan harga domestik. b. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi multikolinearitas pada model adalah dengan menghilangkan variabel yang menyebabkan multikolinearitas atau dengan metode Regresi Komponen Utama sehingga memperoleh nilai VIF < 10 c. Penghilangan variabel bebas dilakukan dengan cara uji wald. Jika F-statistik signifikan (probabilitas < 0.05) maka penghilangan variabel bebas tidak diperbolehkan, sedangkan jika F-statistik tidak signifikan (probabilitas > 0.05) maka penghilangan variabel bebas dapat dilakukan. Berdasarkan uji wald, variabel GDP dan kurs dapat dihilangkan. Hasil regresi tanpa variabel GDP dan kurs bebas dari multikolinearitas namun hasil interpretasinya tidak sesuai dengan teori ekonomi. d. Cara lain adalah dengan pengolahan menggunakan metode Regresi Komponen Utama (RKU) sehingga diperoleh hasil VIF kurang dari 10. Namun, setelah dilakukan regresi komponen utama, tanda yang muncul pada hasil estimasi tidak sesuai dengan teori ekonomi. Hanya variabel kurs yang sesuai dengan teori dan hipotesis. Maka dari itu, disimpulkan bahwa multikolinearitas pada model ini akan diabaikan. Ketika ada multikolinearitas, parameter OLS tidak
55
bias tetapi ketidakbiasan tersebut terjadi dalam suatu sampel yang berulang. Adanya multikolinearitas tidak akan merusak ciri varian yang minimum, akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa rata-rata nilai varian akan kecil. Perlu dipahami bahwa multikolinearitas merupakan fenomena sampel bukan fenomena populasi. Blanchard dalam Gujarati (2013) menyatakan bahwa multikolinearitas pada dasarnya adalah problem defisiensi data dan terkadang tidak ada pilihan terhadap data yang tersedia bagi analis empiris. Setelah dilakukan pengujian terhadap permasalahan yang dapat mengganggu kesesuaian mode dan telah ditentukan solusinya, maka dapat dikatakan bahwa model yang diajukan cukup baik untuk dapat digunakan untuk analisa selanjutnya dengan pengujian selanjutnya yang dilakukan adalah pengujian statistik dari model persamaan yang dilakukan. Nugroho (2005) mengatakan bahwa nilai koefisien determinasi yang baik jika diatas 0.5 persen (50 persen) karena nilai determinan berkisar antara 0 hingga 1. Hasil pengujian statistik terhadap persamaan ini menunjukan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 93.15 persen dengan nilai adjusted-R2 sebesar 91.50 persen. Hal ini berarti keragaman variabel dependen volume impor daging sapi Indonesia dapat dijelaskan oleh keragaman variabel independen dalam model sebesar 93.15 persen sedangkan sisanya sebesar 6.85 persen dapat dijelaskan oleh variabel independen lain di luar model. Tabel 9 Hasil estimasi model faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor Indonesia Faktor GDP KONS KURS PDOM PROD PW C R2 Adjusted-R2 F-hitung P-value DWstat
Koefisien 0.508408 0.810104 -0.745124 1.340118 -0.690663 -0.457321 12.84834
** * ** **
t-Statistik 0.375566 3.636668 -1.976251 2.621861 -0.621241 -2.191199 0.594540 0.931468 0.915021 56.63250 0.000000 1.298649
Prob. 0.7104 0.0013 0.0593 0.0147 0.5401 0.0380 0.5575
Keterangan: (**) nyata pada taraf 5 persen (0.05) (*) nyata pada taraf 10 persen (0.1)
Berdasarkan Tabel 9 nilai p-value, uji F model sebesar 0.00 < 0.05 dengan nilai F-hitung 56.63250, yang berarti secara keseluruhan model layak digunakan atau minimal ada satu variabel bebas yang tidak sama dengan nol, secara simultan (bersama-sama) faktor-faktor yang digunakan dalam model berpengaruh nyata terhadap permintaan daging sapi impor Indonesia. Berdasarkan uji-t, terdapat perubahan tingkat signifikansi pada masing-masing variabel bebas pada taraf nyata 5 persen dan 10 persen.
56
Interpretasi Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Daging Sapi Impor Indonesia Analisis regresi yang telah dilakukan menunjukan pengaruh dari masingmasing faktor-faktor (variabel independen) terhadap permintaan daging sapi impor Indonesia. Pengaruhnya selain dapat dilihat dari koefisien, dapat juga dilihat nilai p-valuenya. Pengaruh dari masing-masing faktor dapat diuraikan sebagai berikut: a. Gross Domestic Product (GDP) Negara Indonesia (LNGDP) Berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa variabel independen GDP Indonesia (LNGDP) memiliki p-value sebesar 0.7104 > 0.05 dan 0.7104 > 0.1, yang artinya peubah GDP Indonesia tidak berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen terhadap volume impor daging sapi Indonesia. Adanya perubahan GDP Indonesia tidak mengakibatkan perubahan naik atau turunnya volume impor daging sapi secara signifikan. Koefisien dari variabel GDP Indonesia memiliki hubungan yang positif terhadap volume impor daging sapi Indonesia. Kondisi tersebut sesuai dengan hipotesis awal. Besarnya koefisien adalah 0.508408, yang artinya bahwa setiap peningkatan GDP Indonesia sebesar 1 persen maka volume impor daging sapi akan meningkat sebesar 0.508408 persen, begitupun sebaliknya (cateris paribus). Hal itu terjadi karena GDP menunjukkan economic size suatu negara sehingga ketika terjadi kenaikan GDP Indonesia maka akan meningkatkan pendapatan total masyarakat. Dengan demikian meningkatnya GDP suatu negara berarti terjadi peningkatan daya beli yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai impor. b. Tingkat Konsumsi Masyarakat Indonesia (LNKONS) Berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa variabel independen tingkat konsumsi masyarakat Indonesia (LNKONS) terhadap daging sapi memiliki pvalue sebesar 0.0013 < 0.05, yang artinya bahwa peubah tingkat konsumsi berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen terhadap volume impor daging sapi Indonesia. Koefisien tingkat konsumsi masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang positif terhadap volume impor daging sapi Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis awal. Besarnya koefisien adalah 0.810104, yang artinya bahwa setiap peningkatan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia sebesar 1 persen maka volume impor daging sapi akan meningkat sebesar 0.810104 persen, begitupun sebaliknya (cateris paribus). Jika tidak diiringi dengan kemampuan produksi dalam negeri, adanya peningkatan konsumsi daging sapi akan semakin meningkatkan impor daging sapi Indonesia. Semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan gizi dan membaiknya perekonomian masyarakat Indonesia membuat hasil peralaman tingkat konsumsi terhadap komoditas daging sapi menunjukkan tren yang positif. c. Nilai Tukar Rupiah Terhadap Local Currency Unit (LNKURS) Berdasarkan p-value pada Tabel 9 menunjukkan bahwa variabel independen nilai tukar rupiah terhadap local currency unit memiliki pengaruh siginifikan terhadap volume impor daging sapi Indonesia pada taraf nyata 10 persen (0.0593 < 0.1). Hal ini disebabkan p-value yang didapatkan lebih kecil dari taraf nyata 10 persen. Koefisien variabel independen tersebut didapatkan sebesar -0.745124, yang artinya bahwa setiap kenaikan rasio nilai tukar rupiah terhadap LCU atau dengan kata lain terjadi depresiasi sebesar 1 persen maka akan menurunkan permintaan impor daging sapi Indonesia yang digambarkan
57
d.
e.
f.
oleh besarnya volume impor daging sapi Indonesia. Tanda dari koefisien tersebut telah sesuai dengan hipotesis yang telah diajukan. Hal ini disebabkan ketika terjadi depresiasi pada nilai mata uang suatu negara (importir) maka barang-barang (daging sapi) luar negeri relatif lebih mahal sedangkan barangbarang dalam negeri relatif lebih murah. Oleh karena itu kondisi tersebut akan menurunkan permintaan impor daging sapi Indonesia dari negara eksportir. Harga Daging Sapi Dalam Negeri (LNPDOM) Berdasarkan p-value pada Tabel 9 menunjukkan bahwa variabel independen harga daging sapi dalam negeri memiliki pengaruh siginifikan terhadap volume impor daging sapi Indonesia pada taraf nyata 5 persen (0.0147 < 0.05). Hal ini disebabkan p-value yang didapatkan lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Koefisien variabel independen tersebut didapatkan sebesar 1.340118, yang artinya bahwa setiap peningkatan harga daging sapi dalam negeri sebesar 1 persen maka volume impor daging sapi akan meningkat sebesar 1.340118 persen, begitupun sebaliknya (cateris paribus). Tanpa melihat negara asl impor daging sapi, ketika harga daging sapi menagalami peningkatan maka akan meyebabkan volume impor daging sapi Indonesia mengalami penginkatan yang lebih besar. Hal tersebut karena volume impor daging sapi Indonesia bersifat elastis. Produksi Daging Sapi Dalam Negeri (LNPROD) Variabel bebas produksi daging sapi dalam negeri Indonesia memiliki p-value sebesar 0.5401. Angka tersebut lebih dari taraf nyata 5 persen dan 10 persen sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel produksi memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap volume impor daging sapi Indonesia. Selain itu, variabel produksi daging sapi dalam negeri memiliki koefisien sebesar -0.690663, yang berarti peningkatan sebesar 1 persen pada produksi daging sapi dalam negeri akan menurunkan permintaan volume impor daging sapi Indonesia sebesar 0.690663 persen. Tanda dari koefisien tersebut telah sesuai dengan hipotesis penelitian. Pada dasarnya impor terjadi ketika produksi daging sapi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional. Oleh karena itu, peningkatan produksi daging sapi dalam negeri akan menurunkan volume impor daging sapi. Produksi yang tidak signifikan berhubungan dengan rencana pemerintah terkait swasembada daging sapi. Peningkatan produksi tidak akan berpengaruh pada perubahan jumlah impor Indonesia sehingga adanya program swasembada tidak akan banyak membantu dalam mengurangi impor daging sapi. Program swasembada akan berdampak mahal baik dalam hal biaya pengembangan maupun terhadap kelangsungan populasi sapi potong di Indonesia. Harga Daging Sapi Impor (LNPW) Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel independen harga daging sapi impor berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata 5 persen karena p-value lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0.0380 < 0.05). Koefisien variabel tersebut sebesar -0.457321, yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan harga impor sebesar 1 persen maka akan menurunkan volume impor daging sapi Indonesia sebesar 0.457321 persen. Hubungan negatif antara harga impor dan volume impor tersebut telah sesuai dengan hipotesis penelitian. Kondisi tersebut sesuai dengan teori permintaan yang menyebutkan bahwa ketika suatu harga komoditas tertentu naik maka akan
58
secara langsung menurunkan permintaan akan komoditi tersebut atau dengan kata lain terdapat hubungan negatif.
Tingkat Persaingan Negara Sumber Daging Sapi Impor (Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat) Model AIDS yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sebuah sistem permintaan yang menggambarkan persaingan diantara ketiga sumber impor daging sapi Indonesia. Sebagai fungsi permintaan, model penduga AIDS harus memenuhi beberapa persyaratan dasar yaitu symmetry dan homogenity, sedangkan sifat adding up sudah terpenuhi secara otomatis dalam model dugaan (Deaton 1980). Kedua persyaratan tersebut direstriksi ke dalam model AIDS yang diestimasi dengan pertimbangan bahwa asumsi tersebut merupakan sifat utama dari suatu fungsi permintaan. Namun dalam penelitian ini tidak lakukan uji untuk mengecek pengaruh dari restriksi tersebut pada model yang diestimasi. Berdasarkan Tabel 10 didapatkan nilai R2 untuk masing-masing model AIDS berturut-turut sebesar 22.30 persen untuk Selandia Baru, 26.16 persen untuk Amerika Serikat, dan 24.78 persen untuk Australia. Nilai tersebut menunjukkan kemampuan menjelaskan variabel bebas pada keragaman nilai proporsi impor suatu negara. Salah satunya yaitu Selandia Baru yang memiliki nilai R2 sebesar 22.30 persen yang berarti keragaman proporsi pangsa impor dari Selandia Baru pada pasar impor Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel bebas sebesar 22.30 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Selain itu, p-value Fstat model Selandia Baru yang signifikan pada taraf nyata 5 persen (0.0039 < 0.05) menunjukkan bahwa variabel bebas tersebut secara serentak dapat menjelaskan variabel proporsi atau pangsa impor Selandia baru. Interpretasi tersebut juga berlaku pada kedua negara lain yaitu Australia dan Amerika Serikat yang menunjukkan variabel bebas negara-negara tersebut secara serentak dapat menjelaskan variabel proporsi atau pangsa impor di Australia dan Amerika Serikat. Tabel 10 Hasil estimasi model posisi persaingan negara sumber daging sapi impor Indonesia Selandia Baru Peubah Bebas Koefisien p-value Pnz -0.1353941 ** 0.002 Pusa 0.0347867 0.149 Paus 0.0464814 0.245 Prow 0.0541259 * 0.064 X 0.0242961 ** 0.008 Cons 0.0932408 0.223 Model AIDS Selandia Baru Model AIDS Amerika Serikat Model AIDS Australia
Amerika Serikat Koefisien p-value 0.0347867 0.149 -0.0408872 ** 0.049 -0.0012507 0.962 0.0073511 0.714 -0.0261043 ** 0.000 0.3414075 ** 0.000 R2 22.30 % Fstat 0.0039 R2 26.16 % Fstat 0.0006 R2 24.78 % Fstat 0.0007
Australia Koefisien p-value 0.0464814 0.245 -0.0012507 0.962 -0.1151751 * 0.061 0.0699443 * 0.061 0.0361551 ** 0.000 0.0361551 0.737
Keterangan: (1) Pnz: Harga daging sapi impor Selandia Baru; Pusa: harga daging sapi impor Amerika Serikat; Paus: Harga daging sapi impor Australia; Prow: harga impor rest of world (ROW); dan x: total pengeluaran impor Indonesia; (2) Signifikansi pada taraf nyata: ** 5 persen; * 10 persen
59
Variabel bebas harga dari masing-masing negara pada ketiga persamaan tersebut ada yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dan ada pula yang signifikan pada taraf nyata 10 persen. Terdapat beberapa variabel bebas harga yang tidak signifikan pada taraf nyata 10 persen antara lain, harga Amerika Serikat dan harga Australia pada persamaan Selandia Baru, harga Selandia Baru, harga Australia, dan harga ROW pada persamaan Amerika Serikat, dan harga Selandia Baru dan harga Amerika Serikat pada persamaan Australia. Selain itu, terdapat beragam pengaruh harga yang terlihat dari tanda dari masing-masing koefisien harga, baik pada harga sendiri maupun harga silang. Pengaruh harga yang positif berarti apabila terjadi kenaikan harga negara tertentu maka akan meningkatkan proporsi atau pangsa impor negara tersebut, begitu juga sebaliknya. Koefisien total pengeluaran impor Indonesia dapat bertanda negatif maupun positif. Tanda tersebut adalah pengaruh total pengeluaran impor Indonesia terhadap pangsa impor masing-masing negara dimana apabila bernilai positif berarti ketika terjadi peningkatan pengeluaran impor daging sapi Indonesia maka akan meningkatkan pangsa impor daging sapi negara tersebut, begitu juga sebaliknya. Estimasi Elastisitas Permintaan Tingkat kepekaan atau elastisitas dapat dijadikan suatu informasi penting bagi pelaku ekonomi baik produsen, konsumen dan pemerintah dalam mengambil suatu keputusan. Pada dasarnya, dari fungsi permintaan dapat diperoleh gambaran mengenai bagaimana pengaruh perubahan-perubahan kondisi ekonomi (harga dan pendapatan) terhadap kuantitas permintaan (Virgantari 2012). Namun dalam prakteknya, seringkali informasi tersebut tidak cukup hanya sekedar mengetahui apakah kuantitas permintaan tersebut naik atau turun sebagai akibat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, diperlukan pengukuran elastisitas untuk mengetahui ukuran kepekaan kuantitas terhadap berbagai faktor tersebut. Perhitungan ketiga elastisitas tersebut dibahas secara detail pada ketiga negara sumber impor yaitu, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Australia. Terdapat tiga bentuk elastisitas yang akan dibahas yaitu, elastisitas pengeluaran, elastisitas sendiri, dan elastisitas silang. Elasititas sendiri digunakan pengukuran Elastisitas Marshallian (Uncompensated) sedangka Elasititas silang didapatkan dari Elastisitas Hicksian (Compensated). a. Elastisitas Pengeluaran Berdasarkan Tabel 11 menunjukkan bahwa negara sumber impor daging sapi utama ke Indonesia memiliki rata-rata pangsa impor sebesar 84.38 persen, sedangkan negara lainnya yang ditunjukkan dari nilai pangsa rest of world (ROW) sebesar 15.62 persen. Australia merupakan negara sumber impor yang memiliki pangsa impor terbesar dalam memenuhi permintaan impor daging sapi Indonesia yaitu sebesar 42.87 persen, sedangkan Selandia Baru dan Amerika Serikat secara berturut-turut menempati posisi kedua dan ketiga dalam hal kepemilikan pangsa impor terbesar dengan nilai masing-masing sebesar 29.39 persen dan 12.12 persen dari rata-rata total pangsa impor daging sapi Indonesia. Kondisi tersebut juga memberikan informasi bahwa negara dengan jumlah ekspor daging sapi terbesar ke Indonesia adalah Australia.
60
Tabel 11 Pangsa impor dan elastisitas pengeluaran negara sumber impor Negara sumber impor Selandia Baru Amerika Serikat Australia Rest of world
b.
Share rata-rata (%) 29.39 12.12 42.87 15.62
Elastisitas Pengeluaran 1.08266870 0.78456095 1.08433511 0.78014788
Selain itu, dari tabel 11 didapatkan tanda dari nilai elastisitas pengeluaran dari masing-masing negara sumber impor positif. Hal ini mengindikasikan bahwa daging sapi yang berasal dari ketiga negara sumber impor di atas merupakan barang normal. Selandia Baru memiliki nilai elastisitas pengeluaran sebesar 1.083 yang artinya apabila terjadi penambahan pengeluaran impor daging sapi dari Indonesia sebesar 1 persen maka pengeluaran impor tersebut akan meningkatkan permintaan impor daging sapi dari Selandia Baru sebesar 1.083 persen. Nilai elastisitas pengeluaran Selandia Baru tersebut juga mencerminkan elastisitas pengeluaran yang elastis karena nilai mutlaknya lebih dari satu. Amerika Serikat memiliki nilai elastisitas pengeluaran yang inelastis karena kurang dari 1 yaitu sebesar 0.785 yang berarti peningkatan pengeluaran impor daging sapi Indonesia sebesar 1 persen maka akan meningkatkan permintaan daging sapi impor dari Amerika Serikat sebesar 0.785 persen. Sedangkan daging sapi yang berasal dari Australia bernilai 1.084, yang berarti apabila terjadi peningkatan pengeluaran impor Indonesia sebesar 1 persen maka akan meningkatkan permintaan daging sapi impor yang berasal dari Australia sebesar 1.084 persen. Elastisitas pengeluaran antara Selandia Baru dan Australia memiliki nilai yang berdekatan sehingga memiliki kepekaan yang sama pada pasar daging sapi impor Indonesia. Berdasarkan nilai elastisitas pengeluaran dapat dilihat bahwa tanda elastisitas adalah positif sehingga dapat disimpulkan bahwa komoditas impor ini merupakan barang normal yang artinya apabila ada peningkatan pendapatan per kapita atau terjadi peningkatan pengeluaran pada negara Indonesia akan meningkatkan volume impor pada negara sumber impor. Selain itu, daging sapi impor yang berasal dari Australia dan Selandia Baru merupakan barang mewah yang jumlahnya akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan karena nilai elastisitasnya lebih dari 1. Sedangkan daging sapi impor yang berasal dari Amerika serikat termasuk dalam barang kebutuhan pokok karena memiliki nilai elastisitas antara 0 dan 1 yang jumlah yang diminta berubah dengan persentase yang lebih kecil dari pada perubahan pendapatan. Elastisitas Harga Sendiri Tabel 12 menunjukkan besaran elastisitas harga sendiri untuk masingmasing negara sumber impor di Indonesia. Berdasarkan tanda besaran elastisitas masing-masing negara tersebut menunjukkan bahwa elastisitas harga sendiri Selandia Baru bertanda negatif yang besaran nilainya sebesar -1.167, yang artinya ketika terjadi 1 persen kenaikan harga barang tersebut maka akan mengakibatkan penurunan permintaan daging sapi impor yang berasal dari Selandia Baru sebesar 1.167 persen. Tanda dari negara tersebut telah sesuai dengan teori permintaan, yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara permintaan terhadap harga. Elastisitas harga sendiri
61
yang terjadi pada Amerika Serikat dan Australia juga memiliki tanda yang negatif dengan besaran -1.216 untuk Amerika Serikat dan -0.84 untuk Australia. Diantara ketiga negara tersebut, yang memiliki nilai elastisitas secara mutlak kurang dari satu adalah Australia yang artinya daging sapi impor dari Australia bersifat inelastis. Inelastis artinya pangsa pasar daging sapi negara pengekspor dalam hal ini Australia, berubah dengan persentase yang lebih kecil dari pada perubahan harga daging sapi negara pengekspor tersebut. Tabel 12 Perhitungan elastisitas harga sendiri negara sumber impor Negara Selandia Baru Amerika Serikat Australia c.
Selandia Baru -1.166788 -
Amerika Serikat -1.2162746 -
Australia -0.839949
Elastisitas Harga Silang Berdasarkan Tabel 13 menunjukkan nilai elastisitas harga silang antara daging sapi impor yang berasal dari ketiga negara tersebut di Indonesia. Tanda tersebut menyatakan hubungan diantara kedua sumber impor tersebut. Hubungan yang negatif atau komplementer yang terjadi antara komoditi impor dari dua negara tertentu menunjukkan bahwa kedua komoditi yang berasal dari kedua negara tersebut berbeda dan saling melengkapi (Medelin 2001). Selain itu, hubungan yang positif atau substitusi yang terjadi antara komoditi impor dari dua negara tertentu menunjukkan bahwa kedua komoditi yang berasal dari kedua negara tersebut sama dan saling menggantikan sehingga ketika suatu negara tidak mampu memasok daging sapi dalam jumlah yang cukup maka Indonesia mempunyai alternatif lain untuk mendapatkan daging sapi impor dari negara lain karena sifat komoditas yang sama. Hubungan subtitusi ini menunjukkan adanya persaingan antar negara dalam menguasai pasar negara tujuan ekspor. Daging sapi impor antar ketiga negara menunjukkan tanda yang positif sehingga antar ketiga negara tersebut terdapat hubungan substitusi. Besaran nilai elastisitas silang antara Selandia Baru dan Amerika Serikat sebesar 0.108, antara Selandia Baru dan Australia sebesar 0.123, dan antara Amerika Serikat dan Australia sebesar 0.082, yang artinya ketika terjadi kenaikan harga daging sapi impor di salah satu negara sumber impor sebesar 1 persen maka akan meningkatkan pangsa impor daging sapi dari negara sumber impor lainnya sebesar koefisien tersebut. Tabel 13 Perhitungan elastisitas harga silang negara sumber impor Negara Selandia Baru Amerika Serikat Australia
Selandia Baru -
Amerika Serikat 0.108347 -
Australia 0.122715 0.082038 -
62
Implikasi Kebijakan Besarnya jumlah impor daging sapi Indonesia yang cenderung mengalami tren peningkatan salah satunya diakibatkan karena adanya pendapatan penduduk Indonesia dan peningkatan konsumsi daging sapi menyebabkan Indonesia bergantung terhadap daging sapi impor. Hal tersebut tercermin dari hasil perhitungan ketiga elastisitas. Hasil perhitungan elastisitas pengeluaran daging sapi yang berasal dari Australia dan Selandia Baru memiliki nilai elastisitas yang berdekatan dengan Australia unggul tipis dibandingkan Selandia Baru. Hal tersebut mencerminkan bahwa jika total pengeluaran impor daging sapi Indonesia meningkat maka permintaan terhadap daging sapi Australia akan meningkat lebih besar dibandingkan dengan daging sapi yang berasal dari negara lainnya terutama Amerika Serikat. Perhitungan elastisitas harga sendiri menunjukkan bahwa Australia merupakan satu-satunya negara yang bersifat tidak responsif terhadap perubahan harganya (inelastis), sedangkan Selandia Baru dan Amerika Serikat bersifat elastis dengan Amerika Serikat memiliki nilai elastistas tertinggi. Besarnya nilai tersebut berarti bahwa Amerika Serikat akan kehilangan pangsa pasar impornya lebih besar apabila menaikkan harganya. Hasil perhitungan elastisitas tersebut juga menunjukkan bahwa Australia memiliki keunggulan kompetitif di pasar impor daging sapi Indonesia karena memiliki nilai elastisitas pengeluaran yang paling elastis dan memiliki nilai elastisitas harga sendiri yang inelastis. Australia sebagai negara dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia menguasai pasar komoditas daging sapi Indonesia dan secara tidak langsung menyebabkan Indonesia bergantung pada daging sapi impor negara ini dibandingkan dengan kedua negara lainnya. Daging sapi impor dari ketiga negara tersebut saling bersubstitusi satu dengan yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat kompetisi diantara ketiga negara tersebut dalam memasukkan daging sapi produk lokal negara masingmasing ke Indonesia. Amerika serikat menghadapi persaingan yang lebih ketat karena kualitas daging sapi Amerika berbeda dari Australia dan Selandia Baru. daging sapi Amerika Serikat termasuk dalam kualitas grain-fed beef sedangkan daging sapi Australia dan Selandia Baru termasuk dalam kualitas grass-fed beef (Yang dan Koo 1994). Untuk Indonesia, daging sapi yang lebih banyak dikonsumsi yang merupakan kualitas grass-fed beef yang sama dengan yang diternakkan di Australia dan Selandia Baru sehingga adanya kemiripan kualitas daging sapi itu, Indonesia mengimpor daging sapi lebih banyak dari Australia dan Selandia Baru. Daging sapi impor yang masuk ke Indonesia pada dasarnya merupakan antisipasi untuk mengamankan ketersediaan pasokan dalam negeri sehingga ketika pasokan terjamin maka harga komoditas di pasar juga akan aman dan tidak terlampau berfluktuatif. Hal pertama yang seharusnya diperbaiki oleh pemerintah adalah mengenai ketersediaan data daging sapi baik dari populasi, produksi, maupun konsumsi secara nasional. Selama ini, data mengenai daging sapi masih bisa diperdebatkan yang berkaitan dengan kekinian data produksi dan konsumsi dan . Oleh karena itu, pemerintah seharusnya melakukan penataan melalui sinkronisasi data mengenai data daging sapi. Sinkronisasi tersebut khususnya perlu dilakukan dalam untuk bagian yang membidangi output peternakan. Hal tersebut dimaksud
63
untuk memberikan transparansi mengenai kebutuhan daging sapi yang harus diimpor setelah melalui perhitungan kemampuan produksi daging sapi domestik. Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan menyebabkan Indonesia dalam mengimpor daging sapi mengacu pada sistem country based (berdasarkan negara) dibandingkan zone based (berdasarkan zona). Adanya peraturan tersebut membuat Indonesia praktis hanya dapat melakukan impor dari Australia dan Selandia Baru karena negara-negara bagian Afrika dan Amerika Selatan termasuk India dan Cina (sebagai negara penghasil daging sapi terbesar di Asia) merupakan negara-negara yang belum bebas sepenuhnya dari PMK dan zoonosis. Untuk mengimpor dari negara lain misalkan dari Benua Eropa, populasi ternak sapi potongnya tidak mencukupi untuk melakukan ekspor dalam jumlah besar ke Indonesia. Untuk menghindari semakin ketergantungannya Indonesia terhadap komoditas daging sapi impor spesifik pada satu negara, pemerintah tertanggal 10 Maret 2016 melakukan revisi kebijakan. Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2016 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan disahkan bertujuan untuk memperluas zona impor sapi dari selama ini berlandasan basis negara (country based) menjadi basis zona (zone based). Adanya peraturan ini bukan semata-mata untuk meningkatkan volume impor Indonesia namun menghindarkan Indonesia dari ketergantungan spesifik terhadap suatu negara yang hal tersebut dapat mempengaruhi bidang lain selain perdagangan. Kegiatan impor yang dilakukan Indonesia tetap merupakan kegiatan untuk mencukupi ketersediaan dan stabilisasi harga di pasar. Untuk memenuhi kebutuhan penduduk, Indonesia tetap harus memberdayakan sumber daya lokal dan menciptakan ketahanan pangan pada komoditas daging sapi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Berdasarkan keragaan produksi daging sapi di Indonesia, jumlah produksi daging sapi di Indonesia meningkat rata-rata sebesar 3.05 persen per tahunnya. Sentra produksi daging sapi di Indonesia adalah Provinsi Jawa Timur sehingga hampir 22.31 persen pemenuhan daging sapi di Indonesia berasal dari provinsi ini. Konsumsi daging sapi per kapita Indonesia menyentuh angka 2.36 kg/kapita/tahun dengan tingkat kelajuan konsumsi sebesar 1.40 persen per tahun. Tingkat konsumsi ini diramalkan akan meningkat sebesar 4.8 persen sampai tahun 2024 sehingga kebutuhan daging sapi akan meningkat setiap tahunnya. Adanya fluktuasi harga daging sapi dalam negeri berbanding terbalik dengan ketersediaan pasokan daging sapi dalam negeri yang ketika pasokan lebih sedikit dibandingkan kebutuhan konsumsi maka harga komoditas daging sapi akan berangsur-angsur meningkat. Rata-rata kenaikan harga daging sapi di Indonesia mencapai 13.49 persen dan diprediksi akan terus meningkat jika pasokan daging sapi belum stabil. Salah satu penyebab tingginya harga daging
64
2.
3.
sapi adalah panjangnya rantai pasok daging sapi dari peternak hingga ke tangan konsumen. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap volume impor daging sapi adalah tingkat konsumsi masyarakat Indonesia, harga domestik, dan harga daging sapi impor. Semakin tinggi tingkat konsumsi daging sapi di Indonesia akan menyebabkan peningkatan volume impor daging sapi terutama jika tidak diimbangi dengan pasokan dalam negeri. Harga daging sapi dalam negeri yang tinggi dan harga daging sapi impor yang lebih rendah akan menyebabkan peningkatan volume impor. Berdasarkan hasil analisis permintaan, Australia memiliki pangsa pasar (share) terbesar di pasar daging impor Indonesia. Diikuti oleh Selandia Baru, Rest of World (ROW), dan yang terakhir adalah Amerika Serikat dengan share terkecil. Elastisitas pengeluaran merupakan persentase perubahan pangsa atau share ekspor negara sebagai respon terhadap perubahan total impor Indonesia. Elastisitas pengeluaran Australia paling elastis. Untuk elastisitas harga sendiri, nilai elastisitas semua negara bernilai negatif. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan yang menyatakan bahwa ketika harga suatu komoditas meningkat, maka permintaan atau share terhadap produk tersebut akan turun. Nilai elastisitas silang antar negara tersebut menunjukkan bahwa komoditas ketiga negara saling bersubstitusi. Saran
Berdasarkan hasil analisis mengenai implikasi kebijakan komoditas daging sapi impor di atas maka disarankan: 1. Pemerintah seharusnya melakukan sinkronisasi data terkait komoditas daging sapi dalam skala nasional, khususnya dalam data mengenai produksi dan konsumsi daging sapi dalam negeri sehingga dapat menggambarkan kebutuhan impor secara jelas dan transparan. 2. Adanya upaya perbaikan sistem agribisnis komoditas daging sapi. 3. Pemerintah dapat melakukan diversifikasi daging untuk mengantisipasi peningkatan konsumsi daging sapi sehingga konsumsi daging sapi yang meningkat dapat di diversifikasi pada komoditas daging lainnya. 4. Diperlukan kekonsistenan kebijakan dalam bentuk pengawasan yang diambil pemerintah untuk menjamin tidak ada oknum yang memanfaatkan peluang dengan melakukan penyimpangan. 5. Bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan analisis disarankan untuk mempertimbangkan keadaan ekonomi tiap wilayah di negara Indonesia sehingga dapat diperolah gambaran tingkat konsumsi di tingkatan ekonomi tertentu terkait komoditas daging sapi dan mempertimbangkan jarak ekonomis dalam sebagai pertimbangan melakukan kegiatan impor.
65
DAFTAR PUSTAKA ________________ . 2015. Roadmap Pengembangan Industri Sapi Potong di Indonesia. Jogjakarta: Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Aberle ED, Forrest JC, Gerrard DE, dan Mills EW. 2001. Principles of Meat Science. fourth edition. Kendal/Hunt Publishing Company. Andayani SRM, Tilley DS. 1997. Demand and Competition Among Supply Sources: The Indonesian Fruit Import Market. Journal of Agricultural and Applied Economics, vol. 29 no. 2, pg. 279–289. Anggasari P. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Impor Kedelai Indonesia. Bogor: IPB Ardiyati A. 2014. Penawaran Daging Sapi di Indonesia (Analisis Proyeksi Swasembada Daging Sapi 2014) [Thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Ashari, Ilham N, Nuryanti S. 2012. Dinamika program swasembada daging sapi: Reorientasi konsepsi dan implementasi. Analisis Kebijakan Pertanian, vol. 10, no. 2, pg. 181-198. Atmakusuma J, Harmini, Winandi R. 2014. Mungkinkah Swasembada Daging Terwujud?. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, Vol. 1, No. 2, Agustus 2014, pg. 105–109. Babula RA. 2014. A Dynamic Quarterly Model of U.S. Soft Wheat Demand With A Futures Market Linkage. Journal Of International Agricultural Trade and Development, Vol. 9, No.1. Badan Pusat Statistik. 2015. Watermark Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik Impor Komoditi. http://www.bps.go.id/ (diakses 16 Januari 2016) Bahmani-Oskooee M. 1998. Cointegration Approach to Estimate the Long-Run Trade Elasticities in LDCs. International Economic Journal, vol. 12, no. 3, pg. 89-96. Bangun W. 2010. Teori Ekonomi Mikro. Bandung: Refika Aditama. Baye MR. 2010. Managerial Economics and Business Startegy 7th ed. New York: McGraw-Hill Irwin. Binuomote SO, Odeniyi KA, Farayola CO. 2012. Econometric Estimation of Rice Import Demand in Nigeria (1970–2008): An Application of Autoregressive Distributed Lags (ARDL) Modelling Approach to Cointegration. Continental J. Agricultural Economics vol. 6, no. 12, pg. 1– 8, issn: 2141–4130. Carew, R, Florkowski, W J and He, S. 2004. Demand for Domestic and Imported Table Wine in British Colombia: A Source-Differentiated Almost Ideal Demand System Approach. Canadian Journal of Agricultural Economics. Vol. 52, pg. 183-199. Chang HS. 2000. An Econometric Analysis of The Competitive Position of Australian Cotton in The Japanese Market. http://www.une.edu.au/febl/EconStud/wps.htm [Internet]. 15 Maret 2015. Chang HS, Nguyen C. 2002. Elasticity of Demand For Australian Cotton in Japan. The Australian Journal of Agricultural And Resurce Economics, vol. 46, no. 1, pg. 99–113.
66
Chani, M I, Pervaiz, Z dan Chaudhary, A R. 2011. Determination of Import Demand in Pakistan: The Role of Expenditure Components. Theoretical and Applied Economics, vol. 18, No. 8(561), pg 93-110 Constant NBZS, Yue Y. 2010. An Econometric Estimation of Import Demand Function for Cote D’Ivore. International Journal of Business and Management, vol. 5, no. 2. Daryanto A. 2007. Peningkatan Daya saing Industri Peternakan. Jakarta: Permata Wacana Lestari. Daryanto A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. Bogor: IPB Press Deaton A, Muellbauer J. 1980. An Almost Ideal Demand System. The American Economic Review, vol. 70, no. 3, pg. 312–326. Direktorat Pangan dan Pertanian. 2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pertanian 2015 – 2019. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Emran MS, Shilpi F. 2010. Estimating Import Demand Function In Developing Countries: A Structural Econometric Approach with Applications to Amerika Serikat and Sri Lanka. www.gwu.edu/~iiep/assets/docs/papers/Emran_IIEPWP10.pdf [Internet]. 10 Maret 2015. Feleke ST, Kilmer RL. 2007. Analysis of The Demand for Imported Meat in Switzerland Using A Dynamic Spesification: Implication for The European Union. Agribusisness, vol. 23, no. 4, pg. 497–510, doi: 10.1002/agr.20138. Firman, A. 2001. Peran Subsektor Peternakan Dalam Struktur Perekonomian Indonesia (Analisis Input-Output) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ginting KH. 2014. Analisis Posisi Daging sapi Putih Indonesia di Pasar Daging sapi Putih Dunia [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Grant, J H, Lambert, D M and Foster, K A. 2010. A Seasonal Inverse Almost Ideal Demand System for North American Fresh Tomatoes. Canadian Journal of Agricultural Economics, vol. 58, pg. 215-234. Grullon S. 2012. A Cointegration Analysis of The Dominican Republic’s Aggregate Import Demand Function Under A Floating Exchange Rate Regime. Asian Economic and Financial Review, vol. 2, no. 2, pg. 282 – 289. Gujarati DN, Porter DC. 2013. Dasar-dasar Ekonometrika Jilid 2. Ed ke-5. Mangunsong, penerjemah; Halim D A dan Febrina L, editor. Jakarta (ID): Salemba Empat. Terjemahan dari: Basic Econometrics 5th Hartono J. 2004. Teori Ekonomi Mikro: Analisis Matematis. Yogjakarta: Penerbit Andi. Hayandani S. 2013. Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong dan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hibbert K, Thaver R, Hutchinson M. 2012. An Econometric Analysis of Jamaica’s Import Demand Function With The US and UK. The International Journal of Business and Finance Research, vol. 6, no.1.
67
Hutabalian M. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Daging Sapi Potong Domestik [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ilham N. 1998. Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Ilham N. 2006. Analisis Sosial Ekonomi dan Strategi Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2010. Pertemuan Koordinasi Teknis Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia, Ditjen Peternakan. 27 April 2006. Bogor. Irawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: Penerbit Andi. Jamil AS. 2015. Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Jonsen GD. 2004. Prospek dan Preferensi Masyarakat Terhadap Konsumsi Daging Sapi Olahan Di Indonesia. Seminar FGW Food Conference, Jakarta 6 – 7 Oktober 2004. Juanda B. 2009. Ekonometrika: Permodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press. Juanda B, Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu. Bogor: IPB Press. Juarno O. 2012. Daya Saing dan Strategi Peningkatan Ekspor Udang Indonesia di Pasar Internasional [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Junaidi A. 2013. Menggagas Terwujudnya Swasembada Daging Sapi di Indonesia. Makalah disampaikan pada Pidato Ilmiah Dies Natalis ke-67 Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 20 September 2013. Kalyoncu H. 2006. An Aggregate Import Demand Function for Turkey. MPRA Paper No. 4260. http://mpra.ub.uni-menchu.de/4260/ [Internet]. 16 Maret 2015. Kementerian Perdagangan. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Harga Eceran Daging Sapi Dalam Negeri. Jakarta: Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan. Kementerian Pertanian. 2015. Outlook Komoditas Pertanian Sub Sektor Peternakan: Daging Sapi. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Sekretariat Jenderal. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2014. Data dan Informasi Produktivitas Tenaga Kerja. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan. Kim CM, Lee ES. 2014. Soybean Import Demand Analysis in East Asia: Korea, China, and Japan. Management Reviewed. An International Journal, vol. 9, no. 1. Lind DA, Marchal WG, Wathen SA. 2008. Teknik-teknik Statistika dalam Bisnis dan Ekonomi Menggunakan Kelompok Data Global Buku 2. Ed 13. Sungkono C, penerjemah. Jakarta (Indonesia): Salemba Empat. Terjemahan dari: Statistical Techniques in Business and Economics with Global Data Sets, 13th ed. Lipsey RC, Steiner PO, Purvis DD. 1995. Pengantar Mikroekonomi Edisi Kesepuluh. Penerjemah: Jaka Wasana dan Kirbrandoko. Binarupa Aksara, Jakarta. Terjemahan dari: Economic 10th Edition. Markusen J et al. 1995. International trade and Evidence. McGraw-Hill: Singapore.
68
Manalu, DST. 2014. Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah [Thesis]. Bogor: Institut pertanian Bogor. Manik L. 2012. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aliran Perdagangan Impor Bawang Merah dan Kentang Indonesia (Periode Tahun 2001-2010). [skripsi]. Bogor: IPB Mankiw GN. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Liza Fitria, Nurmawan Imam, penerjemah; Hardani Wibi, Bardani Devri, Saat Suryadi, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics 6th . Mason RD, Lind DA. 1999. Teknik Statistika untuk Bisnis dan Ekonomi Jilid 2. Ed 9. Wikarya U, Soetjipto W, Sugiharso, penerjemah; Sihombing T, editor. Jakarta (Indonesia): Erlangga. Terjemahan dari: Statistical Techniques in Business and Economics. Medelin J. 2001. Caribbean Demand of US and Rest of the World Starchy Food (Wheat, Rice, Corn and Fresh Potatoes): A Restricted Source Differentiated Almost Ideal Demand System. Lecturas de Economia. No 55 Miljkovic D, Jin H. 2006. Import Demand for Quality in The Japanese Beef Market. Agricultural and Resource Economics Review. October, 2006, 35, 2 (ProQuest), pg. 276. Mutondo JE, Henneberry S. 2007. Competitiveness of U.S. Meats in Japan and South Korea: A Source Differentiated Market Study. American Agricultural Economics Assosiation Annual Meeting, Portland. Oregon. Nefri J. 2000. Optimalisasi dan Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nugroho,A. 2005. Strategi Jitu memilih Metode statistic Penelitian dengan SPSS, Andi Jogyakarta Onkvisit S, Shaw J. 2007. International Marketing: Analysis and strategy [4th edition]. New York: Routlede. Oyinho O, Omolehin RA, Adulsalam. 2013. Analysis Demand for Rice in Kaduna State, Nigeria. Agri on-line Papers In Economics and Informatics, vol. 5, no. 3. Ozturk I, Acaravci A. 2009. An Aggregate Import Demand Function: An Empirical Investigation by Panel Data for Latin American and Caribbean Countries. The IUP Journal of Applied Economics, vol. 8, no. 5–6. Pakpahan ARS. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Memepengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia.Economics Development Analysis Journal, EDAJ 1 (2). Permani R. 2013. Determinants of Relative Demand for Imported Beef And A review of Livestock Self-Sufficiency in Indonesia. Journal of Southeast Asian Economics, vol. 30, no. 3, pg. 294–308. Pulungan RE. 2014. Dampak Kebijakan Indonesia Memebatasi Kuota Daging Sapi Impor Dari Australia. Jom FISIP, vol. 1, no. 2, Oktober 2014. Purba RP. 2004. Analisis Perubahan Pola Konsumsi Daging di Indonesia [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Purnamasari R. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
69
Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan. 2014. Data dan Informasi Produktivitas Tenaga Kerja. Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Raswatie FD. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rifin A. 2010. An Analysis of Indonesia’s Palm Oil Position in The World Market: A Two Stage Demand Approach. Oil Palm Indutry Economic Journal, vol. 10, no. 1. Rifin A. 2013. Analysis of Indonesia’s Market Position in Palm Oil Market in China and Amerika Serikat. Journal of Food Products and Marketing, vol. 19, no. 4, pg. 299–310, doi: 10.1080/10454446.2013.726950. Rifin A. 2013. Competitiveness of Indonesia’a Cocoa Beans Export in The World Market. International Journal of Trade and Finance, vol. 4, no. 5. Rouf AA. 2014. Analisis Daya Saing Komoditas Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Sahara D. 2011. Perilaku Produksi dan Konsumsi Rumah Tangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional Jilid 1. Edisi ke-5. Munandar H, penerjemah; Sumiharti Y, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: International Economic. Salvatore D. 2006. Schaum’s Outline: Mikroekonomi. Edisi ke-4. Munandar H, Sitompul R, penerjemah; Barnadi D, Hardani W, Saat S, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Schaum’s Outline: Microeconomics Fourth Edition. Septiana R. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Impor Indonesia dari Cina Tahun 1985 – 2009 [Skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro. Simatupang P. 2004. Pengembangan pertanian industrial dengan pendekatan kuasi organisasi agribisnis. Seminar Nasional Klinik Teknologi Pertanian Sebagai Basis Pertumbuhan Usaha Agribisnis Menuju Petani Nelayan Mandiri; 2004 Jun 9 – 10; Manado, Indonesia. Bogor (ID); PSEKP Kementan. Hlm 429 – 444. Sulgham AK, Zapata HO. 2006. A Dynamic Approach to Estimate Theoritically Consistent US Meat Demand System. Southern Agricultural Economics Association Annual Meeting, Orlando. Florida. Sunari A, Avianto N, Ritinov MN. 2010. Strategi dan Kebijakan dalam Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2014. Darajati W, Editor. Jakarta (ID): BAPPENAS. Suliyanto. 2011. Ekonometrika Terapan: Teori & Aplikasi. Yoyakarta: Penerbit Andi. Tawaf R, Kuswaryan S. 2006. Kendala kecukupan daging 2010. Di dalam: Suryanto B, Isbandi, Mulyatno BS, Sukamto B, Rianto E, Legowo AM, editor. Pemberdayaan Masyarakat Peternakan di Bidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional 2006; 2006 Ags 3; Semarang, Indonesia. Semarang (ID). BP UNDIP. pg. 7 − 8 . Tirmazee ZS, Naveed R. 2014. Reviewing Pakistan’s Import Demand Function: A Time-Series Analysis, 1970–2010. The Labore Journal Economics 19: SE (September, 2014), pg. 371–393.
70
Ueno M. 2007. A Dynamic Semi-Non Parametric Demand System: An Application To U.S. Pork Import Demand [Thesis]. Canada: The University of Guelph. Uzonos M, Akcay Y. 2009. Factors Affecting The Import Demand of Wheat in Turkey. Bulgarian Journal of Agricultural Science, Vol. 15 No. 1, pg. 60 – 66. [Uncomtrade] United Commodity Trade. 2015. Commodity Statistic. http://comtrade.un.org/db. Varian HR. 2010. Intermediate Microeconomics: A Modern Approach 8th. Norton and Company: New York. Virgantari F. 2012. Analisis Permintaan Produk Perikanan di Indonesia: Suatu Studi Cross-Sectional [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wan Y, Sun C, Grebner DL. 2010. Analysis of Import Demand for Wooden Beds in the U.S. Journal of Agricultural and Applied Economics, vol. 42, no. 4, pg. 643-658. Yang SR, Koo WW. 1994. Japanese Meat Import Demand Estimation With The Source Differentiated AIDS Model. Journal of Agriculture and Resource Economics. 19(2): 395-408. Yazici M. 2012. Turkish Agricultural Import and Export Demand Functions: Estimates From Bounds Testing Approach. Economic Research, vol. 25, no. 4, pg. 1005–1016. Yuliastuti ER, Dwiastuti R, Hanani N. 2014. Analisis Dinamis Permintaan BuahBuahan di Indonesia Pendekatan Model Error Correction-Linear Approximation Almost Ideal Demand System. Agrise vol. 14, no. 3. Yusdja Y, Ilham N. 2004. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agribisnis Sapi Potong. AKP volume. 2, no. 2, Hlm 183 – 203.
71
LAMPIRAN
72
Lampiran 1 Estimasi regresi berganda Method: Least Squares Sample: 1983 2014 Included observations: 32 Variable
Coefficient
LNGDP LNKONS LNKURS LNPDOM LNPROD LNPW C
0.508408 0.810104 -0.745124 1.340118 -0.690663 -0.457321 12.84834
R-squared 0.931468 Adjusted R-squared 0.915021 S.E. of regression 0.448876 Sum squared resid 5.037251 Log likelihood -15.82403 F-statistic 56.63250 Prob(F-statistic) 0.000000
Std. Error
t-Statistic
1.353711 0.375566 0.222760 3.636668 0.377039 -1.976251 0.511132 2.621861 1.111746 -0.621241 0.208708 -2.191199 21.61058 0.594540 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.7104 0.0013 0.0593 0.0147 0.5401 0.0380 0.5575 15.97968 1.539822 1.426502 1.747131 1.532781 1.298649
Lampiran 2 Uji asumsi klasik pada model Uji Normalitas 10
Series: Residuals Sample 1983 2014 Observations 32
8
6
4
2
0 -1.00
-0.75
-0.50
-0.25
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-1.07e-14 -0.004809 0.805654 -0.872843 0.403103 0.081158 2.732522
Jarque-Bera Probability
0.130521 0.936823
73
Uji Multikolineritas Variance Inflation Factors Sample: 1983 2014 Variable LNGDP LNKONS LNKURS LNPDOM LNPROD LNPW C
Coefficient Uncentered Centered Variance VIF VIF 1.832532 0.049622 0.142158 0.261256 1.235979 0.043559 467.0170
362172.4 4.442640 2811.204 6887.596 137974.9 792.1763 135561.7
60.72297 4.120294 19.03563 65.36735 12.74145 1.584545 NA
Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
2.118440 4.977815
Prob. F(2,23) Prob. Chi-Square(2)
0.1431 0.0830
Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Sample: 1983 2014 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNGDP LNKONS LNKURS LNPDOM LNPROD LNPW C RESID(-1) RESID(-2)
-0.038042 0.017761 -0.017654 0.016808 0.035867 0.053811 -0.153168 0.394168 -0.263974
1.217113 0.306987 0.441862 0.572698 1.119749 0.260692 23.82151 0.205524 0.216213
-0.031256 0.057855 -0.039953 0.029348 0.032031 0.206416 -0.006430 1.917871 -1.220896
0.9753 0.9544 0.9685 0.9768 0.9747 0.8383 0.9949 0.0676 0.2345
R-squared 0.155557 Adjusted R-squared -0.138163 S.E. of regression 0.430049 Sum squared resid 4.253673 Log likelihood -13.11878 F-statistic 0.529610 Prob(F-statistic) 0.822045
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-1.07E-14 0.403103 1.382424 1.794662 1.519069 1.883403
74
Uji Heterokedastisitas Heteroskedasticity Test: White (No Cross Term) F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
1.281589 7.527337 3.979883
Prob. F(6,25) Prob. Chi-Square(6) Prob. Chi-Square(6)
0.3014 0.2748 0.6794
Std. Error
Prob.
Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Sample: 1983 2014 Variable
Coefficient
C LNGDP^2 LNKONS^2 LNKURS^2 LNPDOM^2 LNPROD^2 LNPW^2
10.83081 -0.023696 0.120092 -0.014201 0.026272 0.011580 -0.008269
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.235229 0.051684 0.205000 1.050624 9.255591 1.281589 0.301368
t-Statistic
4.725011 2.292230 0.009446 -2.508597 0.121805 0.985937 0.011535 -1.231054 0.012190 2.155156 0.013538 0.855396 0.007370 -1.121883 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.0306 0.0190 0.3336 0.2298 0.0410 0.4005 0.2726 0.157414 0.210512 -0.140974 0.179655 -0.034695 2.825553
75
Heteroskedasticity Test: White (Cross Term) F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
1.560399 27.73428 14.66378
Prob. F(25,6) Prob. Chi-Square(25) Prob. Chi-Square(25)
0.3033 0.3202 0.9489
Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Sample: 1983 2014 Collinear test regressors dropped from specification Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNGDP LNGDP^2 LNGDP*LNKONS LNGDP*LNKURS LNGDP*LNPDOM LNGDP*LNPROD LNGDP*LNPW LNKONS LNKONS^2 LNKONS*LNKURS LNKONS*LNPDOM LNKONS*LNPROD LNKONS*LNPW LNKURS LNKURS^2 LNKURS*LNPDOM LNKURS*LNPROD LNKURS*LNPW LNPDOM LNPDOM^2 LNPDOM*LNPROD LNPDOM*LNPW LNPROD*LNPW LNPW LNPW^2
22956.01 -1962.903 38.86053 1.477986 20.77520 -39.62224 3.305981 9.408896 159.6502 -0.971129 -7.753875 6.745592 -8.454014 -4.290293 -513.7417 0.869089 -6.949993 3.494859 -5.514435 950.1098 6.794225 -1.322658 4.827330 -12.69382 59.05143 -3.411759
10414.27 890.8118 18.99387 7.565486 10.90520 16.72831 1.641683 4.272152 138.1445 0.610686 4.987935 5.205636 5.159662 2.185445 265.7863 2.625083 5.350119 4.852581 1.917280 395.1857 4.225934 4.891134 2.943721 4.616106 68.35318 1.288108
2.204283 -2.203499 2.045952 0.195359 1.905073 -2.368574 2.013775 2.202379 1.155675 -1.590228 -1.554526 1.295825 -1.638482 -1.963121 -1.932913 0.331071 -1.299035 0.720206 -2.876176 2.404211 1.607745 -0.270420 1.639873 -2.749897 0.863916 -2.648658
0.0697 0.0698 0.0867 0.8516 0.1054 0.0556 0.0907 0.0699 0.2918 0.1629 0.1711 0.2426 0.1524 0.0973 0.1014 0.7518 0.2416 0.4985 0.0282 0.0530 0.1590 0.7959 0.1521 0.0333 0.4208 0.0381
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.866696 0.311264 0.174704 0.183130 37.20672 1.560399 0.303346
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.157414 0.210512 -0.700420 0.490491 -0.305667 2.956172
76
Lampiran 3 Hasil regresi komponen utama Regresi Komponen Utama Regression Analysis: LNVIMP versus PCGDP; PCKURS; ... The regression equation is LNVIMP = 9,07 + 0,683 PCGDP - 0,0032 PCKURS + 0,231 PCPROD + 0,233 PCKONS + 0,993 PCPDOM + 1,31 PCPW Predictor Constant PCGDP PCKURS PCPROD PCKONS PCPDOM PCPW
Coef 9,07192 0,68334 -0,00316 0,2312 0,2325 0,9926 1,3131
SE Coef 0,07935 0,03762 0,08095 0,1548 0,2472 0,4782 0,8479
R-Sq = 93,1%
S = 0,448876
T 114,33 18,17 -0,04 1,49 0,94 2,08 1,55
P 0,000 0,000 0,969 0,148 0,356 0,048 0,134
VIF 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
R-Sq(adj) = 91,5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source PCGDP PCKURS PCPROD PCKONS PCPDOM PCPW
Obs 4
DF 6 25 31
DF 1 1 1 1 1 1
Seq SS 66,486 0,000 0,449 0,178 0,868 0,483
PCGDP -3,27
LNVIMP 6,0058
SS 68,465 5,037 73,503
MS 11,411 0,201
F 56,63
P 0,000
Fit 6,8787
SE Fit 0,1802
Residual -0,8728
St Resid -2,12R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,29865
77
Lampiran 4 Hasil uji Wald Wald Test: GDP Test Statistic t-statistic F-statistic Chi-square
Value
df
Probability
0.375566 0.141050 0.141050
25 (1, 25) 1
0.7104 0.7104 0.7072
Value
Std. Err.
0.508408
1.353711
Null Hypothesis: C(2)=0 Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) C(2)
Restrictions are linear in coefficients. Wald Test: Kurs Test Statistic t-statistic F-statistic Chi-square
Value
df
Probability
-1.976251 3.905569 3.905569
25 (1, 25) 1
0.0593 0.0593 0.0481
Value
Std. Err.
-0.745124
0.377039
Null Hypothesis: C(4)=0 Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) C(4)
Restrictions are linear in coefficients. Wald Test: Pdom Test Statistic t-statistic F-statistic Chi-square
Value
df
Probability
2.621861 6.874157 6.874157
25 (1, 25) 1
0.0147 0.0147 0.0087
Value
Std. Err.
1.340118
0.511132
Null Hypothesis: C(5)=0 Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) C(5)
Restrictions are linear in coefficients.
78
Lampiran 5 Output permintaan daging sapi impor
79
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pamekasan pada tanggal 12 Desember 1991 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Sudarmoko (alm.) dan Ibu Retno Prasetiyowati. Pada tahun 2009, penulis diterima masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Program Sarjana Departemen Agribisnis dan lulus pada tahun 2013. Pada tahun 2014, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan jenjang pasca sarjana dengan diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Magister Sains Agribisnis. Selama menempuh masa pendidikan pasca sarjana, penulis aktif membuat tulisan ilmiah dan ada yang telah dipresentasikan pada Seminar Nasional dan peluncuran buku Kristalisasi Paradigma Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi dan Pendidikan Tinggi Memperingati 70 tahun Prof Bungaran Saragih, International Conference Strenghtening Indonesian Agribuisness Rural Development and Global Market Linkage, serta tulisan pada jurnal ilmiah terakreditasi.