A small statement of conviction Pada tahun 1814, Pierre-Simon Laplace, seorang matematikawan terkenal dari Perancis; menuliskan pada bagian awal bukunya Essai philosophique sur les probabilités : ‘Seseorang yang sangat pintar, yang dimana pada saat tertentu mengetahui semua gaya fisik yang membuat alam mampu berjalan dan semua posisi bahan-bahan dimana alam mampu terbentuk; jika orang itu mampu menganalisis semua data itu, maka orang itu mampu mengetahui sebuah rumusan (secara matematis) untuk semua pergerakan di alam semesta ini dan bahkan untuk atom terkecil sekalipun. Maka untuk orang itu tidak akan ada hal yang tidak pasti, dan masa depan, seperti masa lalu, akan muncul tepat di depan matanya.’ Laplace menganggap dirinya sendiri sebagai orang itu dan membayangkan bahwa kombinasi dari gravitasi dan ilmu mekanika sebagai ‘teori asal dari segala sesuatu’ (theory of everything). Begitu pula dengan Newton, Maxwell, Faraday, bahkan Einstein. Bahkan sampai hari ini ketika partikel Higgs-boson mulai diketahui, masih belum ada yang mampu menjelaskan ‘teori asal dari segala sesuatu’ – yang bertumpu pada pernyataan Laplace. Namun, dalam pikiranku, apakah mungkin seseorang mengetahui semua gaya fisik yang membuat alam mampu berjalan? Apakah mungkin seseorang mengetahui semua lokasi dimana bahan-bahan pembentuk alam? Mungkin jawabannya ya, dan ya, dengan bantuan komputer. Kini, semua perhitungan matematis yang kita lakukan, sudah dibantu dengan komputer; melewati hitungan Petabyte pada komputer CERN. Bahkan, kita semua akan memasuki era baru: quantum computing. Tapi apakah mampu komputer bisa menghitung semuanya, sampai di titik dimana kita semua, semua benda, semua hal di dunia ini, menjadi satu kesatuan (singularity)? Apakah kita pada akhirnya mampu mencari tahu ‘teori dari segala sesuatu’?
Aku tak tahu kemana tujuan sesungguhnya pernyataan Laplace, dan aku juga tak tahu jawaban dari pertanyaan sebelumnya. Tapi darinya kuambil kesimpulan sendiri: entah gen VMAT2, the one called as the ‘God gene’, di dalam tubuh kita membuat kita percaya bahwa ada Tuhan di dunia ini; entah kehadiran Tuhan mampu dibuktikan secara sains atau tidak di dunia ini; entah orang-orang beranggapan ‘Tuhan tidak ada di dunia ini’ ‘Tuhan hanya ada untuk orang-orang kaya’ ‘Tuhan tidak pernah menghentikan malapetaka’ ‘Tuhan tidak pernah mau mengerti saya’ dan pernyataanpernyataan lainnya yang semacam; entah Tuhan itu ada atau tidak, aku hanya berpikiran : Sekuat apapun yang dikerahkan manusia, termasuk komputer; tidak akan ada komputer yang mampu menghasilkan sebuah rumusan matematis untuk semua pergerakan di alam semesta ini – tidak akan ada komputer yang mampu menjelaskan kepada kita ‘teori akan segala sesuatu’ karena komputer berasal dari manusia, dan tak mungkin manusia tidak pernah salah. Hanya sesuatu, yang berada diluar kita semua, yang sampai sekarang ini kita sebut ‘Tuhan’, entah apapun itu sebutannya di berbagai agama, entah itu dipercayai sebagai ‘kehadiran dari kesadaran kolektif’; yang mengetahui ‘teori dari segala sesuatu’. Mengapa? Karena Dia bukanlah manusia dengan segala kekurangannya. Sains yang kupelajari tidak pernah mengajarkan ‘Tuhan’ itu ada. Namun, ‘Tuhan’ ternyata menampakkan dirinya sendiri dalam seseorang yang pernah dipenuhi dengan rasa cinta – seseorang, yang justru mengembalikan kepercayaanku kepada-Nya, melalui sains. Pour l’amour de Dieu, melalui novel ini aku ingin mengingat orang itu dengan penuh kejujuran dan hasrat; karena aku takkan pernah bisa bertemu lagi dengannya – inilah hadiah terakhir yang dapat kuberikan padanya. Ignatius Edwin 2
L’amour qui dure le plus long, c’est l’amour qui n’est jamais revenue The love that lasts longest, is the love that is never returned (A Writer’s Notebook – William Somerset Maughan)
3
The Smiling Doctor
–oleh Ignatius Edwin
definitive edition
4
10 Lembaran hitam itu masih jelas nampak di depanku, tersinari oleh cahaya redup. Walaupun aku tidak mengerti dengan dunia kedokteran, aku masih bisa menangkap maksudnya : tubuhku masih sakit, banyak tulangku yang patah. Dan belum kunjung membaik sejak lima hari yang lalu. Seharusnya sudah bisa dilihat kalau aku sakit; tanganku masih di-gips, bahuku dan perutku lebam membiru. Tapi rasa sakitku yang sesungguhnya bukanlah dari fisikku. Lebam hanya sebatas saksi yang berbicara dalam diam, menunjukkan bukti betapa kuatnya keinginanku untuk bertahan dari segala trauma yang kualami dalam beberapa jam kemarin. Begitu juga dengan ototku yang masih menegang, dan sama pula dengan organ-organ tubuhku yang lain. Mereka semua menyembunyikan fakta bahwa nyawa tiga orang pernah berada di tanganku. Dan semuanya telah tiada. Apa tidak sulit untuk menjelaskan semua itu ke Letnan Jakob? Apa itu tidak menjadi beban pikiran, ketika sebenarnya nyawa ketiga orang itu bisa diselamatkan olehku, bila aku seandainya berani keluar mengintai benar-benar; bukannya hanya duduk diam di mobil van, menunggu perintah dari Letnan Jakob? Belum lagi kini ditambah teka-teki Devi dan heroin. Aku belum bisa membuktikannya. Rumit. Siang ini, ruangan dokter yang dipenuhi udara dingin membuatku mengigil ketakutan, dan bahkan kehadiran Jessica pun tidak membantu. “Kau beruntung masih belum mati, Win.” Kalimat pertama yang ia ucapkan setelah mengecek kesehatanku, muncul pula dari wajahnya yang putih bersih itu – dan suaranya memenuhi seluruh ruangan. Seakan 5
menggema di pikiranku. Tapi aku tetap menatap mata perempuan itu dalam-dalam, tak peduli dengan apa yang ia ucapkan. Yang ada di pikiranku sekarang hanyalah keluar dari tempat ini cepat-cepat. Sudah cukup aku melihat hal-hal yang menyakitkan. Tidak akan ada satupun obat peredam rasa sakit yang diberikan Jessica akan membantuku. Gambaran orang-orang mati mengenaskan seperti terukir di pikiranku, diukir dengan seksama dan detail. Tidak, sudah cukup. Aku tidak ingin Jessica melihatku dalam keadaan yang seperti begini. Lemah tidak berdaya hanya karena ketiga mentornya mati. “Dua tulang rusukmu yang didekat jantungmu patah. Kedua tanganmu nyaris remuk,” kata Jessica sambil menunjuk lembaran x-ray yang tergantung di dinding, “Kau masih beruntung jantungmu tidak tertusuk oleh tulangmu yang pecah. Tersentuh lima mili saja, kau bisa mati gagal jantung. Kau masih beruntung, Edwin – masih beruntung.” Masih beruntung. Apanya yang beruntung? Apa yang bisa disebut beruntung kalau mentorku mati semua? Apa yang bisa disebut beruntung, kalau aku bahkan tidak dapat membawa pembunuhnya untuk diadili; minimal kuadili sendiri? Apa yang disebut beruntung, kalau aku datang ke Bandung hanya untuk melapor atasanku mati? Satusatunya alasan yang mungkin bisa dikategorikan ‘beruntung’ adalah aku masih memegang kunci informasi ke misi selanjutnya. Aku hanya berhasil lari dan berhasil hidup. Hanya itu. Just a lucky escape. “Tak adakah komentar mengapa kau bisa begini? Tak ada alasan kenapa kau bisa mendapat memar-memar ini, Edwin?” tanyanya. 6
Aku sebenarnya tidak ingin menjawabnya. Pertanyaan yang ia ajukan itu seharusnya bisa dia lihat melalui laporanku. Pertanyaan klise, kenapa harus ditanya lagi. Aku tidak ingin menceritakan lagi bagaimana aku masih bisa bertahan ditodong pistol orang. Tapi aku juga tidak tahan mendengar suaranya yang kerap kali meninggi setiap ujung kalimatnya, menunjukkan kekesalannya padaku. “Tugasmu hanya memeriksa kesehatan tubuhku, ‘kan,” balasku santai dan datar, “Kalau tidak ada lagi masalah dengan badanku ini yang kau ingin ceritakan, kecuali itu sangat detail – kusarankan agar segera membuatkan resep obat untukku. Aku harus segera melanjutkan misi selanjutnya, dan lebih baik aku mempermudah pekerjaanmu sekarang ini.” Aku mungkin menjawabnya dengan santai, tapi Jessica tidak dapat menerima hal itu karena dengan sekejap matanya mengeras; memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah yang mengejang dengan cepat. Napasnya berat dengan beberapa derak dengusan, mengumpulkan segenap energi untuk melepaskan kemarahannya padaku. Walaupun kami berhadapan berdua-duaan, tapi tangannya cukup panjang untuk melewati meja, entah untuk menamparku ataupun memukulku. Rasanya pedih melihatnya begini. Aku tak ingin dia marah, namun rasanya lebih pedih lagi karena ini mantan tunanganku sendiri yang kubuat marah. Aku tak mampu menjelaskan secara logis padanya mengapa aku memilih jalan hidup ini; suatu jalan yang memaksaku untuk meninggalkannya. Seperti yang kuduga, dia mengepal, kemudian dia tinjukan kepalannya itu ke meja. Nyaris kaca penutupnya retak.
7
“Ini bukanlah seperti kamu sendiri, Edwin!” teriaknya padaku, “Kamu nyaris mati. Kamu nyaris mati hanya gara-gara pekerjaanmu ini. Apa kamu memilih menjadi seorang mata-mata hanya untuk gagah-gagahan nanti dengan pacar lamamu itu? Buat apa sih, Edwin? Apa sih kelebihannya? Dia itu sudah melupakanmu sekarang, untuk apa lagi kau mencoba mengejarnya? Kau ingin membuktikan kau sudah berubah? Kau masih ingin kembali –“ Cukup. Ini sudah keterlaluan. “DIAM!” Kali ini kutampar wajahnya keras-keras. Devi tidak terlibat dalam hal ini. Kenapa dia harus mengucapkannya? Aku tidak terima dikatakan seperti itu. Devi bukanlah alasanku memulai semua ini. Ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan Devi. Ketiga mentorku mati juga tak dibunuh Devi. Tidak, aku mau meyakinkan diri sendiri, Devi tidak terlibat dalam hal ini. Tanggal ‘8 Januari dan 3 Agustus’ hanyalah tanggalan biasa. Semua orang tahu itu. Semua orang dapat mencari tahu itu. Pipi Jessica benar-benar terbakar merah. Dia mencoba menahan rasa sakit dengan menempelkan telapak tangannya di tamparanku, pelan-pelan, meredam emosinya. Aku tidak ingin membantunya bahkan walau ada cold pack di depanku sekarang. Jessica sudah keterlaluan. Terlalu keterlaluan. “Apa kau masih mencintainya, Edwin? Apa dia masih tinggal di hatimu setelah sekian lama ini?” tanyanya sayup, nyaris menangis. Tak ada lagi yang seharusnya kujawab. Tak ada lagi. Tapi pertanyaan itu membangkitkan segenap emosiku, 8
memaksaku menggali ingatanku bersama Devi, mengingatkanku lagi akan senyuman perempuan itu, mengingatkanku lagi dengan kata-kata cinta yang pernah kukatakan padanya. Aku tidak ingin lagi mendengarnya. Perasaan cinta hanyalah cocok bagi orang-orang yang lemah. Perasaan cinta hanyalah cocok bagi orang-orang yang yakin dengan kekuatan cinta itu sendiri – namun aku tidak akan percaya lagi. “Tidak.” Hanya sepatah kata yang kusebut. Aku tidak terpikir jawaban yang lebih baik dari hanya sekedar menjawabnya ‘tidak’. ‘Tidak, Jessica, aku tidak mencintainya lagi’ akan terdengar lebih berbohong, lebih puitis, dan lebih tak tegas. Jessica membalasku dengan tatapannya yang marah; alisnya menukik tajam. Suaranya tak lagi meninggi, namun menghasut. “Jadi apa alasanmu untuk meninggalkanku? Aku tahu waktu kita hanya terbatas dahulu, Edwin. Aku tahu aku belum mengenalmu seluruhnya. Aku tahu bahwa kamu masih belum bisa melupakan Devi. Aku tahu itu. Aku tahu, Edwin, janganlah berbohong lagi padaku. Sudah cukup hatiku kau hancurkan. Kini aku hanya ingin mendengar apa yang sesungguhnya, Edwin...” Aku sudah kebal terhadap iba-iba yang seperti ini. “Apa kau masih tidak mengerti, Jessica,” kujawab tetap kalem, “bagaimana pikiranku ini bekerja?” Tapi Jessica kembali membanting tangannya di meja, kemudian mengkertakkan jari-jarinya menjadi sebuah kepalan. Dia tidak menatapku lagi, dia terenyuh dalam
9
perasaan kecewa dan kesal, kenapa dia harus menemui Edwin lagi dalam keadaan seperti ini. “Apa kamu tahu, Edwin, selama ini aku memikirkan kamu setelah putus,” kali ini matanya sudah memerah berair, “Aku selalu terpikir dimana kamu, sedang apa kamu, bagaimana pekerjaanmu, apapun itu, Edwin, apapun itu...apa aku masih kurang sayang kepadamu dengan semua hal yang aku telah lakukan padamu sekarang ini, sampai akhirnya kamu mau mengambil pekerjaan ini? Pekerjaan yang sewaktu-waktu bisa mengambil nyawamu, Edwin? Tolong jawab aku kali ini!” Suaranya getir dan kencang, tapi aku tetap tidak terpengaruh dan masih kujawab biasa saja. “Pekerjaan ini adalah tugas negara yang kebetulan harus kuemban. Tidak ada hubungannya denganmu, tidak ada hubungannya dengan cinta, tidak ada. Tidak ada sama sekali. Selama itu tidak bertentangan dengan kemauan dan pikiranku, aku akan menjalankannya dengan penuh hasrat; aku tidak peduli akan rintangan apapun.” Tapi mendengar itu, masih merah padam mukanya, Jessica kemudian menjulurkan tangannya kepadaku dan dengan segera terdengarlah suara yang pekik, nyaris membuat telingaku pengang. Dia juga menamparku kencang-kencang. Suara getirnya kemudian terdengar lagi dan bercampur dengan isak basah. “Tugas negara? Hanya demi tugas negara, Edwin? Tidak mungkin. Mana mungkin Edwin yang kukenal selama ini, orang yang berdedikasi sepertimu; pernah mau bekerja di pemerintahan. Mana pernah. Selama ini kau selalu menentang pemerintahan yang ada. Kau juga pernah 10
mengatakan kau tidak senang tinggal di Indonesia. Kalau kau sudah pernah mengatakan hal yang seperti itu, mana pernah kubayangkan kau akan bekerja untuk pemerintahan, kau tahu itu? Omong kosong, Edwin. Sampai saat ini, yang kau katakan hanya omong kosong!” Apa yang dikatakan Jessica benar adanya. Memang, aku pernah mengatakan padanya hal yang pernah kudambakan mengenai tinggal di Perancis. Aku tidak pernah ingin tinggal di Indonesia dengan kekacauan yang ada disini. Mau pemerintahan, mau birokrasinya, maupun masyarakatnya sendiri. Ditambah lagi, mau kaum muda maupun yang tua sama-sama nampak kacau di media. Yang tua bukannya makin bijaksana hidup, malah kelihatan suka foya-foya, suka gonta-ganti perempuan, terkadang juga melakukan korupsi yang sungguh terselubung sampai orang lain tidak tahu. Sama pula dengan orang muda, dari beberapa, masa mudanya malah digunakan untuk bersenang-senang belaka tanpa memikirkan masa depan; kata ‘belajar’ pun seakan tak ada artinya lagi dan hanya muncul sebatas kata yang tertoreh di kamus. Tidak, aku memang tidak kuat menghadapi semua ini. Aku tidak ditakdirkan untuk menjadi pemimpin yang akan mengubah keseluruhan sifat-sifat buruk ini, karena aku hanya percaya akan satu hal : yang hanya dapat mengubah orang-orang seperti itu hanyalah diri mereka sendiri. Hanya kesia-siaan yang menanti jika halhal yang baik terus dipaksakan terus-menerus, hanya dengan pengalaman akan keburukan, hati orang akan terbuka dengan segala sesuatu yang seharusnya mereka terima. Tapi aku tidak setuju dengan perkataan Jessica barusan. Jessica sepertinya hanya memakan semua perkataanku mentah-mentah di waktu dahulu. Aku benci pemerintahan, 11
bukan berarti aku hanya diam, pasrah, tidak pernah ingin mengubahnya. Bukan berarti aku pasrah karena aku tidak ditakdirkan menjadi pemimpin dan pasrah juga untuk membiarkan orang sesuai dengan keadaannya. Semua orang bisa berjuang. Tapi semua orang tidak bisa jadi pemimpin, karena bila semuanya menjadi pemimpin, siapa yang mau disuruh-suruh? Siapa yang dikomandoi pemimpin itu? Tidak, Indonesia bukanlah negara anarkis yang tidak membutuhkan pemerintahan. Indonesia bukan negara kecil dan tidak mungkin diurus sesukanya. Tidak diurus sesukanya pun, bahkan dengan pemerintahan seperti ini, masih saja banyak orang yang mencecar, apalagi diurus sesukanya? Semuanya tetap harus berjuang, dan walaupun aku pernah menolak Indonesia sebagai negaraku sendiri; jika pada akhirnya keadaannya berubah, aku pun turut senang. Sampai saat itu terjadi, semua orang harus bisa berjuang dengan caranya sendiri. Baik itu dalam keluarga, baik itu dalam pertemanan, baik itu dalam perjuangan politik, apapun hubungannya. Bahkan aku masih percaya sampai sekarang, aku tidak pernah menolak untuk menjadi dosen karena aku pun berjuang dengan caraku sendiri untuk mengubah Indonesia. Aku menganggap menjadi dosen adalah salah satu caranya, salah satu tahap awal untuk mengubah pikiran orang. Namun aku sekarang ditugaskan tidak lagi menjadi dosen, tapi orang yang langsung turun ke lapangan untuk melihat celah keamanan Indonesia. Apa tugas yang telah dibebankan padaku itu bukan tugas negara yang penting? Aku masih ingat pula dengan tawaran Johan dan Maria yang mendatangiku sewaktu makan. Mereka menawariku pekerjaan ini. Dalam pikiranku, hanya keraguan yang ada – terlepas dari ancaman mereka bahwa akan 12
menyalahgunakan informasi yang mereka dapat tentangku – apakah aku harus menjadi seorang agen mata-mata? Apakah menjadi seorang agen mata-mata adalah jawaban atas semua pertanyaan hidup yang selama ini kucari? Apakah menjadi seorang agen mata-mata akan mengembalikan gairah hidupku yang memudar seiring waktu berjalan? Apakah menjadi seorang agen mata-mata akan mengubah hidupku sekali lagi, menjadi lebih baik? Betul-betul pertanyaan yang membingungkan, namun aku teringat dengan pemikiranku mengenai perjuangan mandiri. Dari sana aku mulai perlahan tapi pasti meyakini, aku memang berjuang untuk orang lain. Hanya – lagi-lagi hanya – caranya yang berbeda. Oleh karena itu, aku juga yakin bahwa mentor-mentorku, termasuk Salmon, adalah orang-orang yang bertujuan sama denganku. Dan aku sedih, karena mengingat-ingat mereka telah mati untuk memperjuangkan hal yang setujuan denganku : memperjuangkan Indonesia dengan cara masing-masing. Aku tidak ingin menjawab hal ini pada Jessica. Sebenarnya aku ingin membiarkan Jessica menyimpulkan semuanya sendirian – walaupun dia orang yang cukup penting dalam hidupku, walaupun dia menemaniku dengan erat setelah Devi meninggalkanku. Serasa, tak ada gunanya aku menjelaskan lebih lanjut. Penjelasanku akan lebih sulit untuk dia terima. Aku akhirnya menjawab Jessica dengan serius, tak ada keraguan untuk disimpan – aku juga tidak tahan lagi dengan pipiku yang makin terasa panas. “Ya, Jessica. Hanya demi tugas negara, aku bisa memperjuangkan badanku. Ini benar-benar tidak ada sangkut pautnya denganmu, apalagi Devi.” 13
Namun mata Jessica kini berhadapan dengan mataku, sirnalah tangisannya, dan kali ini, matanya tajam. Hilang langsung getirnya. Dia masih belum puas, tentunya. Suaranya jelas bening dapat terdengar di telingaku. “Terserah kamu kalau begitu. Terserah alasanmu apa. Kamu juga bukan orang yang terlalu penting lagi di dalam hidupku. Aku sedih pun kau juga tidak peduli lagi. Kau jawab saja terus dengan santainya memakai tubuhmu itu. Tidak, aku tidak peduli lagi mau kamu memar-memar atau apapun, deh. Yang aku tahu sekarang, aku ditugaskan oleh Letnan Jakob atasanmu itu untuk menjadi dokter pribadimu. Hanya itu saja hubungan yang tersisa dari kita berdua. Aku hanya meminta kejelasan sekarang. Jelaskan padaku kalau begitu kenapa kau dulu memutuskanku, kalau bukan karena persoalan pekerjaanmu ini. Jelaskan kenapa kau tega untuk memutuskanku. Jelaskan semuanya sekarang; karena kamu tidak pernah menjelaskannya secara lengkap dulu. Tentunya waktu kita putus sudah lama, dan kau sudah pasti memikirkan alasannya matang-matang seiring waktu berjalan. Hanya itu yang aku mau sekarang ini.” Pertanyaan yang sama, berulang. Aku terpaksa harus mengikuti kemauannya kali ini, padahal tadinya aku mau cepat-cepat keluar. Kupikir, apa yang dikatakannya barusan tidaklah terlalu penting karena aku sudah pernah mengucapkannya bertahun-tahun yang lalu. Aku bisa merasakan udara sekeliling yang semakin terasa pengap. Aku tidak dapat menahan keinginan untuk berbicara dan melepaskan udara-udara aneh yang hinggap di rongga badanku. “Yah, karena memang kita tidak cocok, Jessica,” kujawab halus, “Aku tidak merasakan adanya gairah untuk 14
mencintaimu, bahkan setelah perhatian yang kau berikan padaku; aku benar-benar tidak merasakan gairahnya. Aku hanya dapat merasakan hidup yang monoton...aku minta maaf sekali lagi jika penjelasan ini juga tidak memuaskanmu, Jessica.” Jessica menggeleng kepalanya di depanku. Aku sudah tahu dia tidak akan puas. “Walaupun aku berjuang untuk hal itu?” katanya sambil menepuk-nepuk dada. Aku hanya bisa mengangguk-angguk dan menjawab pasrah, aku masih belum terpikirkan jawaban lain. “Lagi-lagi ya, Jessica. ‘Gairah’ itu hanya aku sendiri yang dapat rasakan. Kamu mungkin sudah berjuang banyak, tapi sepertinya perjuangan itu belum aku rasakan sepenuhnya; ini bukan berarti aku tidak menerima perjuanganmu. Aku menerima perjuanganmu, aku sungguh menerima. Mungkin ini salah pikiranku yang masih...” “Masih teringat si Devi maksudmu?” potong Jessica cepat, kali ini nadanya mulai memarah. Aku hanya bisa kemarahannya.
menghela
napas
mendengar
“Mungkin, Jessica. Devi mungkin hanya satu-satunya perempuan yang dapat menjelajahi seluruh isi pikiranku bahkan sampai sekarang ini,” jawabku. Aku sadar bahwa aku pernah mengobrol dengan Julia mengenai ini. Perkataan yang sama juga kuucapkan pada Julia. Aku teringat pesannya, bahwa yang aku dan Devi butuhkan, adalah waktu. Sejak itu perasaanku untuk mendekati Devi malah tumbuh kembali; tapi dalam 15
pikiranku serasa ada pertarungan yang keras muncul kembali, membuat hatiku sesak, dan akhirnya sikapku hanya netral terhadap Devi. Aku tidak pernah mengharap Devi kembali, dan aku juga tidak berharap lagi aku kembali pada Devi. Jessica berkata-kata keras menjawabku. “Kamu tahu dia tidak butuh kamu lagi untuk bahagia, Edwin? Bagi dia, kamu itu hanya orang biasa saja. Tak ada yang lebih dari itu.” Ya, itu betul. Aku mengangguk pada Jessica. “Lalu apa yang kamu harapkan lagi, Edwin? Apa kehadiranku dulu tidak menjadi penghiburan bagimu? Apa aku hanya benar-benar dianggap sebagai pelarian?” lanjut Jessica bertanya. Aku tidak ingin berbohong padanya. “Anggap saja ya kalau kau bertanya seperti itu,” kujawab, “Mungkin aku telah melakukan sebuah pelarian untuk mencari penghiburan yang semu. Mungkin selama ini aku mencari lagi orang yang sama dengan Devi. Mungkin. Dan aku tidak menemukannya. Aku tidak menemukan orang yang seunik Devi – lagi.” Jessica kemudian menjawabku dengan suara yang sangatsangat halus, seakan menyindir. “Apa sih kelebihannya Devi sampai kamu ingin kembali, Win? Kamu sendiri yang bilang dia murahan. Kamu juga sendiri yang bilang, dia sudah menyakiti hati kamu dalamdalam. Dia juga bebal, kamu bilang, karena tidak mau berubah. Pokoknya banyak yang kamu sebutkan tentang kekurangannya dia. Kamu tidak kecewa untuk dikecewakan lagi? Kamu mau berharap apa lagi dari 16
perempuan yang kamu sebut murahan itu? Setahu aku dari ceritamu, Devi itu tidak bisa apa-apa. Aku tidak tahu mengenai pikiran Devi yang sesungguhnya, tapi yang aku tahu, dia tidak akan pernah dipuaskan siapa-siapa, dia hanya bisa memuaskan dan dipuaskan dirinya sendiri. Mau membandingkan aku dengannya? Bahkan Devi tidak dapat menuruti kemauanmu dan orangtuamu, hanya aku yang bisa melakukan hal itu. Aku bahkan dapat dijadikan bahan untuk menyombong di hadapan teman-temanmu, bahwa aku terlihat lebih cantik. Apapun yang Devi lakukan, aku juga bisa lakukan. Terus kamu mau apa lagi, Win? Belum cukup waktu untuk melupakannya sampai kamu harus memutuskanku, begitu?” Jujur, sebenarnya itu pertanyaan yang mudah bagiku untuk menjawabnya. Aku sudah pernah untuk mencoba kembali pada Devi, sebelum terjadi kejadian yang di Pronto. Aku melihat ketegasan sudah muncul di dalam dirinya; dan itulah yang kuharapkan dari seorang Devi yang seharusnya bisa membawa dirinya sendiri, sebelum dia bisa membimbingku sebagai seorang pacarnya. Aku menganggap Devi pantas untuk diperjuangkan kembali. Tapi Devi menolakku mentah-mentah dan malah mengingat semua kesalahanku yang telah kuperbaiki selama masa berpacaran, ditambah dia pernah mengatakan, selama aku tidak ada, dia lebih bahagia untuk melakukan hal yang lain, dan bisa melupakan kenangannya yang buruk pada saat bersamaku. Pada saat itu aku pun berpikir: ternyata Devi berbohong padaku dari awal berpacaran. Dia hanya mengandalkan perasaannya selama ini, bukan berpegang pada keinginan dan alasannya dulu mencintaiku. Tentunya aku benar-benar merasa dikhianati karena aku selalu berpegang teguh pada alasanku untuk mencintainya – namun, tetap ini bukanlah 17
berarti Devi adalah pilihan wanita terakhirku. Devi justru menyadarkanku untuk tidak melihat lagi bagaimana aku telah dicintai olehnya. Tidak, aku tidak bisa kembali kalau caranya begitu. Hanya mengandalkan perasaan dalam percintaan bisa diumpamakan sebagai mengandalkan semut untuk mendorong sebuah mobil, hanya kesia-siaan yang menunggu. Aku tidak bisa kembali pada Devi sebelum dia mengubah hal itu. Dan setelah aku berpikir begitu, dalam waktu yang cukup lama, ternyata Devi ingin kembali, dan aku terpaksa harus menolaknya – walaupun aku masih menganggap dia pantas untuk diperjuangkan, walaupun perasaanku pernah tumbuh untuk kembali; penolakan sebelumnya kepadaku seperti memberi cap besar di dalam hatiku: jangan pernah kembali pada Devi, biarkan dia menikmati lagi kesakitan hati yang pernah kualami selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Sungguh, pisau yang tajam telah masuk ke dalam perasaanku dan menggoresgoresnya sampai berdarah-darah. Tapi walaupun begitu keadaannya, aku masih menghargai Devi. Aku tidak bisa melupakannya. Aku ingin, namun aku tidak mampu. Aku adalah bukti nyata dari perubahan yang ia picu untukku. Perubahan yang mengubah seluruh hidupku; seluruh kelakuan dan perilakuku. Selama bukti itu masih hidup, aku tidak akan pernah melupakan Devi. Bukan waktu lagi yang aku butuhkan, tapi sebuah penyadaran akan kenyataan. Penyadaran bahwa aku tidak akan kembali pada Devi. Tetap aku tidak dapat lari dari kenyataan, tapi aku seperti tidak peduli akan hal itu. Kurasa aku harus menjawab Jessica seperti ini, dengan alasan yang ia katakan sebelumnya.
18
“Justru karena kamu selalu mengikuti apa kata hatiku dan kedua orangtuaku, karena kamu selalu mengikuti kemauanku – aku tidak merasakan adanya perlawanan. Aku hanya bisa merasakan kepasrahan. Aku hanya bisa merasakan kalau kamu membiarkan diri kamu untuk dicintai, bukan ‘kamu yang sesungguhnya’ mencintaiku. Inilah kenapa kubilang, sepertinya tidak ada gairah dalam hubungan kita. Hanya ada kesenangan demi kesenangan yang tanpa henti. Monoton, dan tidak ada perkembangannya baik bagi diri kita sendiri maupun orang lain. Mungkin aku harus mengatakan, bahwa kita sekarang berada pada keadaan yang sama dengan masa lalu; denganku mencoba kembali pada Devi. Aku pernah mengatakan; aku ingin berjuang kembali pada Devi, tapi Devi menolaknya dan mengatakan semuanya sudah terlambat. Penolakan itu telah membuat hatiku sakit dalam-dalam. Mungkin aku juga harus mengatakan itu, semuanya sudah terlambat, walaupun kamu merasa belum seperti itu, tapi mungkin sekarang yang dapat kupikirkan adalah kata-kata itu : semuanya sudah terlambat. Aku terlambat untuk memberitahumu mengenai hal ini. Aku terlambat untuk memimpin kamu lebih jauh. Tapi kamu masih belum terlambat untuk mencari orang lain. Kamu lebih pantas mendapat seorang laki-laki yang bisa memimpin kamu dengan caranya sendiri. Kamu pantas mendapat yang lebih baik, Jessica. Jangan sia-siakan hidupmu dengan seorang laki-laki yang keras kepala seperti yang kau lihat di hadapanmu ini, carilah orang lain. Aku selalu berdoa untuk hal itu, karena aku percaya kamu benar-benar pantas untuk hal itu. Aku tidak berbohong ketika aku mengatakan alasanku mencintai kamu, dan aku juga percaya kalau kamu tidak berbohong ketika kamu mengatakan alasanmu untuk mencintaiku. Tapi sepertinya untuk sekarang kamu harus menghilangkan alasan itu 19
perlahan-lahan, Jessica. Biarlah dosaku terhadapmu kutanggung sendirian.” Mendengar itu, tak berubah lagi raut wajah Jessica. Mukanya datar, seakan telah mengerti yang kuucapkan. Berat untukku untuk mengatakan semua hal itu, tapi itu mungkin hal terbaik yang dapat kulakukan padanya. Akhirnya Jessica hanya tersenyum padaku, dan mengatakan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan di kepalaku sebelumnya. Aku tidak akan menyangka Jessica mau menerima apa yang baru saja kukatakan padanya. “Terima kasih karena telah menjawabku dengan baik, Edwin,” salah satu tangannya kemudian mengelus pipiku yang baru ditamparnya, sungguh saat itu kurasakan jarijemari tangannya menyentuh halus seperti sutra – padahal seorang dokter, “Boleh aku memegang tanganmu untuk terakhir kalinya?” Kenapa tidak? Kudekatkan badanku ke meja dan kusodorkan telapak tangan kananku, lemas, terlentang di kaca meja. Aku ingin tersenyum padanya, karena akhirnya aku bisa mengatakan hal-hal yang ingin kuutarakan sejak dulu tanpa perlawanan – tapi senyuman itu tertutupi oleh bibir Jessica yang ternyata menciumku dengan cepat. Aku bisa merasakan sedikit liur yang masuk ke dalam mulut, dan rasanya manis di lidah. Jari-jemarinya yang halus itu seperti menggerayang di tangan kananku, nyaris menggelitik, padahal hanya telapakku yang ia genggam erat-erat. “Aku akan tetap menunggumu, Edwin,” bibirnya beralih dan kemudian berbisik padaku di telinga, “Apapun pekerjaanmu, aku akan tetap memegang tanganmu, karena 20
aku percaya kamu sedang menjalani hidup yang Tuhan berikan padamu. Aku tidak akan pernah menghalangimu, Edwin, karena aku sungguh mencintaimu, dan kita tidak pernah benar-benar mengatakan selamat tinggal. Aku mau berkorban untukmu, seperti kamu pernah mau berkorban untukku. Pengorbanan yang sama, yang seperti kau ingin berikan pada Devi. Pengorbanan itu cukup bagiku untuk tetap menempatkan kamu di dalam pikiranku. Kamu tetap orang penting bagiku, Edwin, terlepas dari ucapanku sebelumnya. Semoga misi kamu selanjutnya sukses. Aku akan menunggu kamu kembali disini. Jangan terlalu terpengaruh dengan kematian mentormu, kamu sekarang harus berjuang lebih keras lagi.” Hatiku serasa terenyuh pada saat itu, sungguh apa yang diucapkan Jessica seperti sebuah kesaksian yang bisa menggetarkan hatiku; aku tidak bisa tertawa, tidak bisa menangis, tidak bisa tersenyum, aku benar-benar tidak bisa mengungkapkan perasaan yang bercampur aduk di raut wajahku saat itu. Jessica memberiku penguatan untuk misiku selanjutnya; lagi-lagi sesuatu yang tidak kuduga. Sesungguhnya aku tidak ingin berpikir tentang perempuan lagi saat ini, siapapun itu orangnya, tapi – sudahlah. Hanya Tuhan yang tahu rencana hidupku bagaimana selanjutnya, dan di hari esok aku masih tetap harus melanjutkan perjalananku.
21