150
9 IMPLIKASI BAGI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KERAPU BUDI DAYA Pengembangan agroindustri kerapu budi daya pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan produktivitas sehingga mampu meningkatkan ekspor komoditas tersebut sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani ikan. Sasaran program pengembangan budi daya kerapu dalam periode 2005-2009 yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya - DKP adalah ekspor komoditas kerapu sebesar 8.400 ton senilai US$ 42 juta pada tahun 2005 meningkat menjadi 21.000 ton senilai US$ 105 juta pada tahun 2009. Disadari bahwa tingkat persaingan di dunia semakin ketat, sehingga penguatan daya saing perikanan budi daya perlu dilakukan baik dalam tahap pembenihan (hatchery) maupun dalam tahap pembesaran (grow out) (Nurdjana 2005). Menurut Porter (1998) keunggulan kompetitif suatu industri dapat diciptakan melalui pengembangan kegiatan berbiaya rendah atau memimpin diferensiasi untuk membedakan dirinya secara unik dengan para pesaing. Kegiatan
yang
berbiaya
rendah
merupakan
keunggulan
produktivitas
(productivity advantage), sedangkan diferensiasi merupakan bagian dari keunggulan nilai (value advantage).
Berdasarkan pengertian tersebut maka
peningkatan daya saing atau keunggulan kompetitif agroindustri kerapu budi daya nasional dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan peningkatan keunggulan nilai dibandingkan dengan produk-produk sejenis yang dihasilkan negara-negara pesaing. 9.1 Kebijakan Perbaikan Kinerja Teknis Produksi Kerapu Hasil analisis terhadap faktor-faktor yang menentukan keberhasilan dalam pengembangan agroindustri kerapu budi daya telah dilakukan pada bab terdahulu. Analisis tersebut telah dapat pula memberikan urutan kebijakan teknis yang perlu diterapkan dalam rangka meningkatkan produktivitas maupun tingkat keuntungan yang diperoleh pelaku usaha pembenihan, pembesaran dan pascapanen kerapu. Berikut akan dibahas mengenai implikasi temuan dalam penelitian ini terhadap kebijakan pengembangan agroindustri perikanan kerapu di Indonesia. 9.1.1 Perbaikan faktor produksi pembenihan kerapu Hasil analisis menggunakan model dinamis MAGRIPU telah menunjukkan faktor-faktor teknis penentu keberhasilan usaha pembenihan kerapu yang
151 berdasar urutan besarnya tingkat pengaruh terhadap produktivitas dan keuntungan usaha berturut-turut adalah (1) peningkatan frekuensi induk memijah (51,94%), (2) peningkatan fekunditas induk (25,81%), dan (3) peningkatan sintasan benih (22,25%). Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas pembenihan sangat ditentukan oleh kemampuan membuat induk ikan memijah. Berdasarkan pengamatan di lapangan, frekuensi induk memijah sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan perairan yang digunakan sebagai sumber air. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa pembenihan di Batam (dengan kondisi perairan yang buruk) mengalami kesulitan dalam memijahkan induk-induk kerapu dibandingkan dengan di Lampung maupun Situbondo yang kondisi perairannya relatif lebih baik.
Dugaan ini perlu dikaji lebih jauh untuk
mengetahui parametar kualitas air yang mempengaruhi frekuensi memijah maupun tingkat sintasan larva dan benih, sehinga dengan demikian dapat dilakukan langkah-langkah perbaikan secara nyata. Hasil simulasi tingkat kritis faktor-faktor ini menunjukkan bahwa usaha pembenihan akan mengalami tingkat kritis (tidak memperoleh keuntungan) apabila dari populasi induk yang dimiliki hanya 2,95% memijah setiap bulannya. Selanjutnya, hasil simulasi menunjukkan bahwa titik kritis untuk faktor tingkat fekunditas telur adalah 221.011 butir, yang berarti bahwa apabila faktor lainnya dalam kondisi normal, maka pembenihan akan mengalami kerugian apabila induk hanya menghasilkan telur kurang dari jumlah tersebut. Titik kritis untuk sintasan benih
adalah 2,36%, yang berarti bahwa apabila kondisi faktor lain dalam
keadaan normal, maka pembenihan akan mengalami kerugian apabila sintasan benih lebih rendah dari 2,36%. Angka-angka ini dapat dijadikan indikator untuk mengukur keberhasilan usaha pembenihan atau memberikan peringatan (warning) terhadap kemungkinan kerugian yang akan dialami. 9.1.2 Perbaikan faktor produksi pembesaran kerapu Faktor-faktor teknis yang mempengaruhi keberhasilan usaha pembesaran kerapu yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sintasan ikan, padat penebaran benih, dan lama pemeliharaan (kecepatan tumbuh). Hasil simulasi menunjukkan bahwa lama pemeliharaan menempati rangking pertama ( 39,25%), diikuti oleh padat penebaran (38,55%), dan sintasan ikan (22,20%), dalam memberikan pengaruh terhadap produktivitas dan keuntungan usaha pembesaran. Hasil ini
152 mengindikasikan bahwa tingkat sintasan yang dicapai pada usaha pembesaran di lapangan telah mencapai angka yang cukup baik (berkisar antara 70% hingga 90%), sedangkan lama proses pemeliharaan, yang mencerminkan juga lambatnya pertumbuhan
ikan
kerapu,
menjadi
permasalahan
utama
yang
sangat
mempengaruhi keuntungan yang diperoleh. Semakin lama proses pemeliharaan maka semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk biaya pakan dan upah tenaga kerja. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ukuran ikan kerapu macan yang diinginkan oleh pasar adalah yang beratnya minimal 0,5 kg per ekor. Untuk mencapai ukuran tersebut maka untuk kerapu macan dibutuhkan waktu sekitar 4 hingga 6 bulan. Sementara itu tingkat padat penebaran akan mempengaruhi kecepatan tumbuh ikan dan kemungkinan kanibalisme. Implikasi dari hasil simulasi ini terhadap kebijakan pemerintah adalah perlu dikembangkannya produksi pakan buatan untuk menggantikan pakan berupa ikan rucah yang selama ini banyak digunakan oleh petani ikan kerapu. Pengembangan pakan buatan ini perlu memperhatikan ketersediaan bahan baku dan kesesuaian komposisinya sehingga dapat mempercepat laju pertumbuhan ikan, dengan rasio konversi pakan (feed conversion ratio) yang baik. Hasil analisis lain yang diperoleh dari penggunaan model MAGRIPU adalah titik kritis faktor produksi pembesaran. Menurut hasil simulasi diperoleh angka titik kritis untuk padat penebaran sebesar 141,67 ekor / KJA. Hal ini berarti keuntungan akan diperoleh apabila jumlah ikan yang ditebar lebih banyak dari angka tersebut. Titik kritis sintasan ikan pada pembesaran adalah 22,67% yang berarti bahwa usaha pembesaran kerapu akan memperoleh keuntungan apabila persentase jumlah ikan yang bertahan hidup lebih besar dari angka tersebut. Angka tersebut dicapai dengan asumsi kondisi faktor lainnya adalah normal. 9.1.3 Perbaikan faktor produksi pascapanen kerapu Usaha pascapanen kerapu merupakan lanjutan dari usaha pembesaran yang kegiatannya terdiri dari grading, rekondisi dan penampungan ikan sebelum dipasarkan dalam keadaan hidup.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
keberhasilan usaha pascapanen hampir serupa dengan kegiatan pembesaran yaitu sintasan ikan, padat penebaran dan lama proses penampungan.
Kontribusi
pengaruh faktor lama proses penampungan menduduki tempat tertinggi
153 (55,94%), kedua adalah padat penebaran (28,02%), dan terakhir sintasan ikan (16,04%).
Hal ini menunjukkan bahwa pelaku usaha pascapanen lebih
menginginkan ikan yang ditampungnya segera dapat dijual sehingga mengurangi pengeluaran untuk biaya pakan dan tenaga kerja selama penampungan. Hasil simulasi tingkat kritis faktor-faktor pascapanen menunjukkan bahwa usaha pascapanen akan mengalami tingkat kritis apabila padat penebaran lebih rendah dari 141,67 ekor / KJA, dan sintasan ikan lebih rendah dari 22,67%. Angka-angka ini dijadikan sebagai patokan bagi pengusaha pascapanen ikan kerapu macan untuk mengetahui secara dini mengenai keuntungan yang akan diperolehnya. 9.2 Kebijakan Pengembangan Program Pendukung Hasil analisis menggunakan AHP untuk kebijakan pendukung yang menurut para pakar perlu dikembangkan berturut-turut adalah penggunaan benih unggul (10,9%), pengembangan pakan buatan (10,7%), pengembangan induk unggul (10,3%), grading/seleksi ikan (9,9%), penggunaan obat/vitamin/vaksin (8,7%), pengembangan sistem informasi pasar (8,6%), sertifikasi benih (8,5%), penerapan Good Aquaculture Practices (GAP) (8,4%), pengaturan padat tebar (8,1%), perbaikan kualitas air (8,0%) , dan perawatan KJA (7,8%). 9.2.1 Penggunaan benih unggul Berdasarkan
hasil
analisis
menggunakan
metoda
AHP
yang
mengumpulkan pendapat pakar diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan benih unggul merupakan unsur yang secara keseluruhan dianggap paling penting dalam memacu pengembangan industri budi daya perikanan kerapu di Indonesia. Perhatian terhadap penyediaan benih unggul akan memberikan implikasi terhadap perlunya memperbaiki kualitas induk, memperbaiki pemberian pakan benih, dan memberikan dampak terhadap perbaikan pada sektor budi daya maupun pascapanen.
Dengan perkataan lain, kualitas benih merupakan kunci
sukses pengembangan industri perikanan kerapu. Salah satu indikator yang berkaitan dengan mutu benih adalah tingkat sintasan yang dicapai selama pemeliharaan larva dan benih. Hasil analisis titik kritis menunjukan bahwa usaha pembenihan masih dianggap menguntungkan apabila tingkat sintasan benih lebih besar dari 2,36%. Perbaikan kualitas benih
154 dilakukan selain melalui perbaikan mutu induk, juga dilakukan melalui perbaikan jenis, mutu dan cara pemberian pakan, serta pemberian obat-obatan dan vitamin selama masa pemeliharaan larva.
Kekurangan dalam pemberian pakan dan
vitamin dapat mengakibatkan terjadinya abnormalitas (terbukanya penutup insang / operculum, atau bentuk tubuh bengkok) khususnya pada pembenihan skala rumah tangga. Untuk itu perlu penyuluhan dan pembinaan secara intensif terhadap pembenihan tersebut. 9.2.2 Pengembangan produksi pakan buatan Penyediaan pakan buatan merupakan unsur yang dianggap penting untuk dikembangkan dalam rangka mendukung sukses budi daya kerapu.
Hal ini
disebabkan karena pakan digunakan di semua subsistem produksi dari pembenihan hingga pascapanen. Selain itu faktor pakan sangat menentukan tingkat pertumbuhan serta sintasan benih atau ikan yang dipelihara, sehingga sangat menentukan tingkat keuntungan yang diperoleh pelaku usaha. Berdasarkan hasil simulasi menggunakan model MAGRIPU, titik kritis harga pakan maksimal setiap ekor benih adalah Rp 4.584,-, dengan asumsi harga jual benih sebesar Rp 6.000,-. Hal ini menunjukkan bahwa unsur pakan sangat dominan dalam memperoleh keuntungan dalam usaha pembenihan. Pada usaha pembesaran, titik kritis harga pakan adalah Rp 30.044,- dengan asumsi harga jual ikan Rp 40.000,-. Sedangkan titik kritis pakan untuk pascapanen adalah Rp 13.604,- dengan asumsi harga jual ikan Rp 60.000,-. Dalam kasus pascapanen, unsur biaya yang paling dominan adalah harga beli ikan yang mencapai Rp 40.000,-. Pakan untuk pembenihan maupun pembesaran dapat berupa pakan alami dan pakan buatan. Dalam usaha pembenihan terutama untuk stadia larva, jenis pakan alami dibutuhkan berupa plankton (phytoplankton dan zooplankton) yang dikembangbiakkan sendiri hingga sista artemia yang diimpor. Untuk stadia benih yang lebih besar hingga ikan pada proses pembesaran digunakan pakan berupa ikan rucah atau pakan buatan (pellet). Kelemahan yang masih dihadapi dalam penyediaan pakan untuk budi daya kerapu adalah pakan larva berupa sista artemia masih didatangkan dari luar negeri dan belum berkembangnya industri pakan buatan khusus untuk ikan kerapu. Kebijakan yang perlu dilaksanakan oleh
155 pemerintah menyangkut penyediaan pakan adalah mendorong pengembangan industri pakan di dalam negeri baik untuk artemia maupun pakan pellet. Teknologi produksi artemia di dalam negeri sebenarnya telah dikuasai, namun industrinya belum berkembang. Proses produksi artemia membutuhkan lokasi yang perairan pantai yang bersih dan berkadar garam tinggi. Produksi artemia bisa juga dikombinasikan dengan tambak garam karena larva artemia yang merupakan “filter feeder” dapat berfungsi sebagai filter yang membersihkan garam yang diproduksi. Untuk mendorong produksi artemia di dalam negeri perlu dikembangkan pilot percontohan yang melibatkan lembaga penelitian dan universitas. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari produsen pakan, belum berkembangnya industri pakan buatan khusus untuk ikan kerapu di dalam negeri terutama disebabkan karena volume yang diperlukan oleh industri budi daya kerapu belum mencapai kapasitas yang menguntungkan bagi produsen. Selain itu, para pembudi daya ikan telah menggunakan pakan ikan kakap yang banyak beredar di pasaran, meskipun secara teknis tidak optimal bagi pertumbuhan ikan kerapu yang dipelihara. Untuk mendorong berkembangnya industri pakan kerapu diperlukan kebijakan antara lain penyediaan insentif bagi industri yang memanfaatkan hasilhasil penelitian lembaga litbang dan perguruan tinggi. Selain itu dapat pula dikembangkan skema subsidi bunga pinjaman dan atau penurunan tarif impor barang modal bagi produsen pakan yang memproduksi pakan ikan kerapu. Selain mengembangkan produksi pakan buatan, aspek lain yang perlu dikembangkan adalah penerapan budi daya yang berbasis trophic level, yaitu yang memperhatikan jenis ikan berdasarkan jenis makanan (herbivora, dertivora, omnivora, atau carnivora). Dengan mengkombinasikan jenis ikan dalam suatu wadah akan mampu memanfaatkan makanan secara maksimal dan produktivitasnya akan tinggi (Surawidjaja, 2006). Dalam kasus budi daya ikan kerapu, maka ikan yang bersifat carnivora ini dapat dikobinasikan dalam budi dayanya dengan jenis ikan lain sehingga terjadi sinergi dan pemanfaatan kolom air secara optimal. 9.2.2 Pengembangan induk unggul. Penyediaan induk unggul menjadi faktor penting dalam mendukung keberhasilan agroindustri kerapu budi daya, khususnya bagi industri pembenihan (hatchery). Induk ikan yang digunakan dalam pembenihan selama ini masih berasal dari hasil tangkapan di alam yang hanya diketahui karakteristik
156 morfologis dan daerah asalnya. Keunggulan biologisnya baru diketahui setelah induk tersebut dipijahkan (dikawinkan) dan menghasilkan keturunan, sehingga ada unsur “trial and error”. Di lapangan juga ditemukan kondisi di mana induk alam yang dijadikan pasangan berasal dari garis keturunan yang sama sehingga terjadi perkawinan seketurunan (inbreeding) yang menghasilkan keturunan yang abnormal. Untuk menciptakan induk unggul seyogyanya dilaksanakan program produksi induk yang terencana dengan baik sehingga induk yang dihasilkan benar-benar unggul dan mampu menghasilkan keturunan yang unggul pula. Proses produksi induk unggul tersebut dilakukan dengan mengumpulkan stok induk, menyilangkan induk tersebut dengan induk yang berasal dari perairan yang berbeda, kemudian menyeleksi keturunan yang dihasilkan untuk dipilih yang memiliki kriteria unggul (cepat tumbuh, tahan penyakit, dan bentuk morfologis normal). Keturunan pertama (F-1) ini kemudian dikawinkan dengan calon induk unggul dari garis keturunan yang berbeda untuk menghasilkan keturunan kedua (F-2), demikian seterusnya proses seleksi dilakukan sehingga diperoleh induk yang benar-benar unggul karena melalui pembiakkan terseleksi. Proses produksi induk unggul ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena satu generasi ikan kerapu membutuhkan waktu 3 hingga 4 tahun. Biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan (pakan, obat-obatan, listrik, air dan tenaga kerja) juga cukup besar sehingga akan menjadi beban berat apabila diserahkan kepada pembenihan untuk melaksanakannya. Memperhatikan hal tersebut di atas, maka program produksi induk unggul ini perlu disponsori oleh pemerintah dengan dimotori oleh unit-unit pembenihan milik pemerintah pusat yang ada di berbagai lokasi, dan didukung oleh lembaga litbang dari berbagai instansi pemerintah dalam suatu kerjasama jangka panjang. Opsi kedua untuk penyediaan induk unggul adalah dengan memperbaiki penyediaan induk dari penangkapan di alam. Pembenahan yang dapat dilakukan adalah melalui perlindungan (konservasi) terhadap perairan yang biasanya digunakan oleh ikan untuk memijah (spawning ground). Pada musim-musim tertentu, ikan kerapu akan berkumpul di perairan tertentu untuk melakukan pemijahan. Perairan tersebut mempunyai karakteristik fisik, kimia dan biologi yang sesuai untuk ikan kerapu melakukan pemijahan. Perlindungan perlu dilakukan dengan pelarangan penangkapan ikan pada perairan tertentu dan pada periode waktu tertentu melalui penerbitan peraturan pemerintah, memperkuat aturan adat/tradisi yang melarang penangkapan ikan di daerah tertentu, serta memfasilitasi penyediaan kawasan budi daya bagi nelayan/petani ikan.
157 9.2.3 Penggunaan obat-obatan dan vitamin Salah satu penyebab tingginya angka kematian larva pada pembenihan maupun pembesaran ikan kerapu adalah timbulnya penyakit.
Penyebab
timbulnya penyakit dikelompokkan dalam penyebab non hayati, yaitu rendahnya kualitas air, pakan yang kurang tepat dan kelainan genetik, serta penyebab hayati, yaitu virus, bakteri, protozoa, jamur, dan parasit (Kamiso 2002).
Untuk
mengatasi penyakit yang disebabkan oleh faktor hayati, para petani ikan menggunakan obat-obatan atau cara-cara tradisional untuk mencegah atau mengobati ikan yang sakit. Cara yang paling sederhana dalam menghilangkan bibit penyakit pada tubuh bagian luar ikan ikan kerapu adalah dengan cara merendam ikan selama beberapa menit ke dalam larutan formalin atau iodium, atau merendam dalam air tawar. Cara yang lebih ideal untuk menjaga agar ikan tetap sehat adalah dengan menciptakan kekebalan tubuh pada ikan dengan menggunakan vaksin.
Di
beberapa negara maju seperti Jepang, vaksin untuk ikan telah diproduksi secara komersial. Melalui penelitian Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Kementerian Riset dan Teknologi, telah dikembangkan vaksin vibriosis untuk ikan kerapu dan telah diujicobakan keefektifannya dalam mencegah penyakit. Kebijakan yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan pencegahan terhadap timbulnya penyakit pada industri budi daya kerapu, maka setiap pembenihan kerapu diwajibkan untuk memberikan vaksin terhadap benih sebelum diedarkan ke pasaran. Dengan cara ini maka pencegahan penyakit dapat dilakukan secara lebih efektif. Upaya ini perlu didukung oleh “law enforcement” sehingga menjadi gerakan nasional dalam menghadapi tuntutan pasar global yang sangat memperhatikan aspek keamanan pangan. 9.2.4 Penerapan prosedur operasi terstandar. Aspek aspek penggunaan benih bermutu, pengaturan padat tebar, perbaikan kualitas air, perawatan KJA, grading/seleksi ikan, sertifikasi benih dan penerapan GAP,
dapat dikelompokkan menjadi aspek penerapan prosedur
operasi terstandar. Pelaksanaan kegiatan operasional pembenihan, pembesaran, maupun pascapanen ikan kerapu oleh masyarakat pada umumnya belum menerapkan prosedur operasi secara ketat. Sebagai contoh, untuk mencegah timbulnya penyakit pada larva yang dipelihara di pembenihan, sebaiknya ruangan
158 untuk memelihara larva benar-benar steril sehingga tidak semua orang dapat masuk ke dalam ruangan tersebut tanpa melalui jalur sterilisasi terlebih dahulu. Selain itu, larva ikan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan sehingga kedisiplinan pegawai dalam memonitor dan menjaga kualitas air dalam bak larva perlu ditekankan. Dalam kegiatan operasional pembesaran dan pascapanen, kematian pada ikan dapat terjadi apabila lingkungan tempat hidup ikan tidak terjaga dengan baik. Bertumpuknya kotoran dan hewan air pada jaring dapat mengakibatkan penyumbatan pada mata jaring yang dapat mengganggu sirkulasi air dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian ikan karena kekurangan oksigen. Untuk itu perlu ditetapkan jangka waktu berapa lama jaring harus dibersihkan atau diganti untuk mencegah penumpukan.
Demikian pula jadwal yang tetap untuk pemberian
pakan perlu ditentukan sehingga menjamin keberhasilan kegiatn produksi. Untuk mengatasi hal ini maka pemerintah dapat menginformasikan kepada masyarakat tentang prosedur operasi terstandar kegiatan pembenihan atau pembesaran melalui kerjasama dengan lembaga penelitian. Dari segi teknologi, perlu dikembangkan penelitian yang mengarah pada penciptaan sistem otomatisasi untuk memonitor kualitas air, otomatisasi pemberian pakan, dan peralatan yang dapat meningkatkan ketelitian dan presisi dalam kegiatan budi daya ikan kerapu. 9.3 Kebijakan Penciptaan Iklim Kondusif Selain kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan efisiensi teknis operasional, dalam pengembangan agroindustri kerapu budi daya diperlukan pula kebijakan yang bersifat non teknis yang mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi pengembangan agroindustri perikanan kerapu di masa yang akan datang. 9.3.1 Aspek perdagangan dan pemasaran Ditinjau dari aspek perdagangan, hal yang perlu diperhatikan adalah aspek pemilihan spesies kerapu yang menjadi spesialisasi Indonesia. Hal ini diperlukan mengingat bahwa spesies ikan kerapu yang diperdagangkan di pasaran Asia yang berasal dari kawasan Oceania (termasuk Australia) cukup beragam. Masing-masing negara memiliki spesialisasi spesies karena lingkungan ekologis yang berbeda.
Sebagai contoh, Australia dengan “great barrier reef”
nya
159 mempunyai spesialisasi pada jenis kerapu sunu. Indonesia sebenarnya memiliki spesialisasi pada kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan (Epinephelus striatus). Spesialisasi spesies ini perlu dikaji baik dari segi potensi sumbedayanya maupun dari prospek pasarnya.
Dengan spesialisasi maka
kegiatan penelitian dan pengembangan akan dapat dilakukan secara lebih terfokus. Mulai berkembangnya konsumsi ikan kerapu untuk “sashimi” di negara Jepang, merupakan salah satu pertanda baik bagi perkembangan permintaan pasar kerapu yang selama ini dikonsumsi dalam keadaan hidup. Untuk pembuatan sashimi tidak diperlukan kerapu hidup, sehingga pasar ikan kerapu dapat berkembang untuk kerapu yang diawetkan dalam es.
Untuk mengantisipasi
perkembangan ini maka diperlukan penelitian lebih lanjut tentang jenis-jenis kerapu dan persyaratan mutu yang harus dipenuhi sehingga Indonesia dapat memanfaatkan peluang pasar tersebut secara maksimal. Pengembangan produk unggulan perlu pula didukung oleh informasi yang akurat tentang preferensi masyarakat terhadap produk yang dihasilkan dan volume permintaan yang diinginkan. Melalui pengembangan informasi pasar, didukung oleh promosi di luar dan dalam negeri diharapkan akan mampu memacu peningkatan permintaan eskpor maupun di dalam negeri, yang pada gilirannya akan memacu peningkatan produksi kerapu melalui pembenihan dan budi daya serta industri pendukungnya. Aspek penting lain yang perlu diperhatikan dalam ekspor produk perikanan adalah adanya embargo dari negara importir, dengan menggunakan isue keamanan pangan dan kandungan bahan berbahaya.
Untuk produk
perikanan kerapu yang diperdagangkan dalam keadaan hidup perlu terus dijaga agar terhindar dari penggunaan bahan kimia dan obat-obatan yang dilarang. Untuk mengatasi penyakit sebaginya digunakan vaksin yang tidak memberikan efek kandungan zat berbahaya yang dipermasalahkan negara pengimpor. 9.3.2 Pengaturan kapasitas produksi agregat Ditinjau dari aspek produksi, hal yang perlu mendapat perhatian adalah masalah pengaturan kapasitas industri secara agregat. Harga jual kerapu hidup yang relatif mahal mengundang pada investor untuk memasuki bidang usaha ini tanpa mengetahui secara pasti berapa besar skala yang harus dikembangkan.
160 Kecenderungan terjadinya “rush” tersebut dapat mengakibatkan berlebihnya produksi, atau kelangkaan input produksi (benih) karena permintaan.
Perlu
kebijakan yang mengarahkan kapasitas produksi secara nasional untuk pembenihan, pembesaran dan pascapanen.
Penetapan kapasitas tersebut
didasarkan pada proyeksi pasar yang akurat dan diterapkan untuk setiap spesies yang dibudidayakan berdasarkan masing-masing permintaan pasar. Perencanaan kapasitas dan spesialisasi jenis kerapu budi daya akan dapat menciptakan suatu industri perikanan kerapu nasional yang tangguh. Penelitian ini telah menyediakan piranti yang dapat digunakan untuk memperediksi kapasitas produksi optimal pembenihan, pembesaran dan pascapanen untuk ikan kerapu macan melalui proses simulasi. Hasil simulasi menunjukkan bahwa apabila permintaan pasar kerapu macan di masa yang akan datang meningkat sesuai dengan kecenderungan (trend) saat ini, maka kapasitas produksi yang harus disediakan pada akhir 2008 adalah 1.271.976 ekor ( 638 ton) kerpu macan hidup khusus untuk pasar Hong Kong. Dengan memperhitungkan angka mortalitas selama pembesaran dan pascapanen, maka jumlah benih yang harus disediakan adalah sebanyak 1.938.144
ekor per tahun.
Angka-angka
prediksi ini dapat dihitung untuk jenis ikan lainnya dengan cara yang sama. 9.3.3 Pengembangan kawasan budi daya kerapu Untuk menghindarkan terjadinya pencemaran lingkungan perairan untuk budi daya perikanan oleh kegiatan lain yang menghasilkan limbah, diperlukan kebijakan yang mengatur tersedianya kawasan yang dikhususkan untuk budi daya kerapu.
Kawasan tersebut perlu diobservasi kesesuaian fisiknya untuk budi
daya kerapu dan diperhitungkan daya dukungnya untuk menampung sejumlah karamba jaring apung (KJA). Pengaturan jumlah KJA yang diperbolehkan pada suatu kawasan perlu ditetapkan untuk menghindarkan terjadinya kepadatan yang berlebih (over crowding) yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas perairan. Kepadatan yang berlebih akan berakibat lebih buruk pada perairan yang tidak mengalir seperti teluk, sebaliknya pada perairan selat kepadatan KJA dapat lebih tinggi karena lebih sering terjadi pergantian air karena adanya arus. Berdasarkan hasil simulasi dapat diprediksikan jumlah KJA yang harus tersedia untuk memasok kebutuhan tersebut. Khusus untuk memasok kebutuhan kerapu macan untuk pasaran Hong Kong harus tersedia 2.019 unit KJA
161 pembesaran dan 532 unit KJA pascapanen yang berproduksi secara kontinyu. Unit-unit KJA ini membutuhkan kawasan budi daya dengan kondisi perairan yang baik dan memiliki akses yang baik untuk pemasarannya. Untuk mendorong pengembangan kawasan budi daya kerapu, pemerintah dapat mengembangkan model percontohan pengembangan kawasan bekerjasama dengan pemerinah daerah. Pengembangan kawasan budi daya dapat ditetapkan pada suatu perairan di bawah pengawasan sejenis otorita yang mengatur jumlah KJA yang diperbolehkan, monitoring kualitas air, penyediaan sarana dan prasarana produksi dan pemasaran hasil. Melalui pola ini maka risiko yang dihadapi oleh pembudidaya baik dari aspek teknis maupun aspek keamanan dapat diperkecil. 9.3.4 Pengembangan industri alat dan mesin produksi Kegiatan agroindustri kerapu budi daya baik pembenihan, pembesaran maupun usaha pascapanen membutuhkan peralatan dan mesin untuk mencapai produksi maksimal. Usaha pembenihan lebih banyak menggunakan peralatan dan mesin karena proses pemeliharaan ikan dan larva dilakukan dalam lingkungan buatan (bak) sehingga memerlukan alat bantu seperti pompa air, kompressor, pembangkit listrik, serta perlengkapan produksi seperti tanki sirkular dan sistem perpipaan. Salah satu aspek penting dalam instalasi pembenihan adalah pengelolaan kualitas air, sementara itu sumber air yang digunakan berupa air laut pada umumnya berkualitas rendah. Untuk itu sebaiknya unit pembenihan kerapu memiliki perlengkapan untuk resirkulasi air (water recirculation system) karena disamping dapat menjaga kualitas air juga menghindarkan masuknya bibit penyakit dari luar. Pada usaha pembesaran dan pascapanen, peralatan yang digunakan pada umumnya berupa KJA yang rata-rata masih terbuat dari kerangka kayu dan pelampung dari styrofoam atau drum plastik. Perlengkapan seperti ini memiliki daya tahan rendah sehingga harus sering diganti. Untuk memenuhi kebutuhan perlengkapan budi daya ini sebaiknya pemerintah mendorong pengembangan industri alat mesin budi daya melalui kerjasama antara lembaga litbang dan universitas dengan industri swasta.