VII. IMPLIKASI KEBIJAKAN
Implikasi kebijakan merupakan konsekuensi logis dari penetapan suatu kebijakan.
Demikian pula halnya dalam konteks penelitian ini yang telah
merumuskan suatu model kebijakan pengelolaan irigasi terpadu melahirkan konsekuensi terhadap sesuatu yang harus dilakukan agar model yang dirumuskan dapat berjalan secara efektif. Implikasi kebijakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu (1) pembentukan kebijakan daerah; (2) konservasi sumber daya air; (3) pengelolaan jaringan irigasi; dan (4) pengembangan pertanian beririgasi.
Penjelasan terhadap setiap implikasi
kebijakan dari model yang dibangun tersebut diuraikan sebagai berikut. 7.1.
Pembentukan Kebijakan Daerah Pelaksanaan Model PKSARI-Terpadu di daerah dapat berjalan secara
lebih efektif apabila didukung oleh suatu piranti peraturan dan kebijakan yang tepat.
Dalam skala nasional peraturan dan kebijakan sudah ditetapkan baik
melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, serta kebijakan Pengembangan dan Pengelolaan Sistim Irigasi Partisipatif (PPSIP) sebagai pengganti program Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI). Namun demikian peraturan tersebut masih terlalu general dan belum menggambarkan kebutuhan lokal yang lebih spesifik dan variatif satu daerah dengan daerah lainnya. Gambaran spesifik lokal tersebut juga berlaku untuk kabupaten. Sampai saat ini di kabupaten belum dibentuk peraturan daerah yang terkait dengan bidang pengelolaan irigasi. Kondisi demikian tentunya akan menjadi kendala dalam pelaksanaan model PKSARI-Terpadu yang dihasilkan dalam penelitian ini. Beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam melakukan pembentukan peraturan daerah tentang irigasi tersebut meliputi kegiatan: (1) persiapan pembentukan tim penyusun melalui rapat antarlembaga terkait; (2) penyusunan materi peraturan daerah; (3) konsultasi publik; (4) pembahasan materi dan finalisasi draft peraturan daerah; (5) penetapan peraturan daerah; dan (6) sosialisasi peraturan daerah.
208
Tim penyusun materi peraturan daerah sekurang-kurangnya meliputi instansi Biro Hukum Setda, Bagian Keuangan Setda, Bappeda, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan, Dinas Pertanian, Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah, Dinas Perikanan dan Peternakan,
dan
Kantor Analisi Dampak Lingkungan, serta unsur dari Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Sedangkan draft materi peraturan daerah dapat disusun dengan materi: (1) Ketentuan Umum (menjelaskan pengertianpengertian konsep pengaturan yang digunakan); (2) Asas, Maksud dan Tujuan Pengaturan; (3) Fungsi dan Keberlanjutan Irigasi; (4) Prinsip Pengembangan dan Pengelolaan Sistim Irigasi Partisipatif; (5) Kelembagaan Pengelolaan Irigasi; (6) Wewenang dan Tanggung Jawab; (7) Prinsip Partisipasi Masyarakat; (8) Pemberdayaan Organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air; (9) Pengelolaan Air Baku Untuk Irigasi; (10) Pengembangan Irigasi; (11) Pengelolaan Irigasi; (12) Pengelolaan Aset Irigasi; (13) Alih Fungsi Lahan Beririgasi dan Keberlanjutan Sistem Irigasi; (14) Pembiayaan; (15) Koordinasi; (16) Pengawasan; (17) Ketentuan Peralihan; dan (18) Ketentuan Penutup. Kegiatan konsultasi publik diperlukan untuk menjaring seluruh aspirasi yang berkembang di masyarakat, khususnya masyarakat petani pemakai air sebagai masukan dalam pemantapan draft peraturan daerah tersebut. Pembahasan materi dan finalisasi draft sebaiknya dilakukan melalui rapat pembahasan yang sudah mulai melibatkan unsur-unsur dari wakil lembaga yang nonteknis seperti biro hukum, bagian keuangan, bahkan kalau diperlukan representasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat. Setelah materi peraturan daerah tentang irigasi dipandang cukup dan final, maka selanjutnya dilaksanakan penetapan hukum oleh Bupati dan DPRD Kabupaten sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pada akhirnya materi
peraturan daerah tersebut tentunya harus disosialisaikan kepada seluruh warga masyarakat di kabupaten. Implikasi kebijakan lainnya yang diperlukan adalah pembentukan Komisi Irigasi sebagai wadah koordinasi dari seluruh pemangku terkait dalam kegiatan pengelolaan irigasi di daerah. koordinasi
dan
komunikasi
Komisi irigasi kabupaten merupakan lembaga antara
wakil
pemerintah
kabupaten,
wakil
perkumpulan petani pemakai air tingkat daerah irigasi, dan wakil pengguna
209
jaringan irigasi pada kabupaten setempat.
Komisi irigasi kabupaten tersebut
dibentuk dengan keputusan bupati dan berada di bawah serta bertanggung jawab
langsung
kepada
bupati
untuk
membantu
tugas-tugas
dalam
mengkoordinasikan pengembangan dan pengelolaan irigasi di kabupaten. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa komisi irigasi di beberapa kabupaten sudah dibentuk namun struktur keanggotaan Komisi Irigasi tersebut masih belum sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 31/PRT/M/2007 tentang Pedoman Mengenai Komisi Irigasi.
Oleh karena itu
diperlukan beberapa penyesuaian antara lain perlunya dibentuk bidang-bidang, misalnya bidang tata guna air, riset dan pengembangan, atau bidang lainnya sesuai kebutuhan dan kepentingan daerah.
Apabila dilihat dari struktur
keanggotaan menunjukkan gambaran yang cukup baik dan representatif terhadap komponen pemangku kepentingan terkait dengan irigasi di kabupaten yang menjadi anggota Komisi Irigasi. dipertahankan.
Hal ini sebaiknya patut untuk
Namun demikian agar dikemudian hari tidak terlalu gemuk
kepengurusannya,
maka
diperlukan
pembentukan
forum
Gabungan
Perkumpulan Petani Pemakai Air (FGP3A) sebagai wakil masyarakat petani pemakai air dalam keanggotaan Komisi Irigasi. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah terkait dengan pelaksanaan tugas Komisi Irigasi.
Pelaksanaan tugas tersebut sebaiknya diarahkan pada
fungsi tugas: (1) merumuskan rencana kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi; (2) merumuskan rencana tahunan penyediaan, pembagian, dan pemberian air irigasi yang efisien bagi pertanian dan keperluan lain; (3) merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi melalui forum musyawarah pembangunan; (4) memberikan pertimbangan mengenai izin alih fungsi lahan beririgasi; (5) merumuskan rencana tata tanam yang telah disiapkan oleh dinas instansi terkait dengan mempertimbangkan data debit air yang tersedia pada setiap daerah irigasi, pemberian air serentak atau golongan, kesesuaian jenis tanaman, serta rencana pembagian dan pemberian air; (6) merumuskan rencana pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang meliputi
prioritas
penyediaan
dana,
pemeliharaan,
dan
rehabilitasi;
(7)
memberikan masukan dalam rangka evaluasi pengelolaan aset irigasi; (8) memberikan pertimbangan dan masukan atas pemberian izin alokasi air untuk
210
kegiatan perluasan daerah layanan jaringan irigasi dan peningkatan jaringan irigasi; (9) memberikan masukan atas penetapan hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha untuk irigasi kepada badan usaha, badan sosial, ataupun perseorangan; (10) membahas dan memberi pertimbangan dalam mengatasi permasalahan daerah irigasi akibat kekeringan, kebanjiran, dan akibat bencana alam lain; (11) memberikan masukan dan pertimbangan dalam proses penetapan peraturan daerah tentang irigasi; (12) memberikan masukan dan pertimbangan dalam upaya menjaga keandalan dan keberlanjutan sistem irigasi; dan (13) melaporkan hasil kegiatan kepada Bupati mengenai program dan progres, masukan yang diperoleh, serta melaporkan kegiatan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun. Pelaksanaan tugas tersebut akan menjadi lebih baik kalau dibantu oleh sekretariat tetap untuk membantu persiapan secara rinci agenda rapat termasuk inventarisasi
materi
yang
akan
dibahas
dan
penjadualan
pertemuan
rutin/insidental yang diperlukan, serta penyusunan pelaporan kepada Bupati secara berkala (sekurang-kurangnya mengikuti kuartal anggaran kegiatan atau pertriwulan dalam setahun anggaran kegiatan). Peranan komisi irigasi kabupaten juga menjadi sangat vital dalam melakukan
koordinasi
dan
sinkronisasi
dengan
provinsi
dan
pusat.
Sebagaimana yang diatur dalam undang-undang sumber daya air bahwa terdapat pengelompokan kewenangan pengelolaan irigasi berdasarkan luas lahan pertanian beirigasi, antara lain adalah bahwa di bawah 1000 ha menjadi kewenangan kabupaten, 1000 – 3000 ha dan irigasi lintas kabupaten menjadi kewenangan provinsi, dan di atas 3000 dan strategis nasional serta lintas provinsi menjadi kewenangan pusat. Berkaitan dengan hal tersebut tentunya perlu dibangun sinkronisasi dan koordinasi komisi irigasi kabupaten dengan komisi irigasi provinsi, yang dapat diatur dalam melaksanakan tugas-tugas pengelolaan irigasi pada 6 (enam) daerah irigasi (DI Ciheulang, DI Susukan Gede, DI Cipadang/Cibeleng, DI Cimenteng, DI Cibalagung, dan DI Cikawung) sebagai berikut: mengusulkan rumusan rencana kebijakan kepada gubernur untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi; merumuskan rencana tahunan penyediaan, pembagian dan pemberian air irigasi bagi pertanian dan keperluan
211
lainnya; merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi melalui forum
musyawarah
pembangunan
untuk
diteruskan
kepada
gubernur;
merumuskan rencana tata tanam yang telah disiapkan oleh dinas instansi terkait dengan mempertimbangkan data debit air yang tersedia pada setiap daerah irigasi,
pemberian air serentak atau golongan, kesesuaian jenis tanaman,
rencana pembagian dan pemberian air untuk diteruskan
kepada gubernur;
merumuskan rencana pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang meliputi prioritas penyediaan dana, pemeliharaan, dan rehabilitasi untuk diteruskan kepada gubernur; memberikan masukan dalam rangka evaluasi pengelolaan aset irigasi untuk diteruskan kepada gubernur; memberikan pertimbangan dan masukan atas pemberian izin alokasi air untuk kegiatan perluasan daerah layanan jaringan irigasi dan peningkatan jaringan irigasi untuk diteruskan kepada gubernur; memberikan masukan kepada Bupati, atas penetapan hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha air untuk irigasi kepada badan usaha, badan sosial, ataupun perseorangan; membahas dan memberikan pertimbangan dalam mengatasi permasalahan daerah irigasi akibat kekeringan, kebanjiran, dan akibat bencana alam lain; memberikan masukan dan pertimbangan dalam proses penetapan peraturan daerah tentang irigasi; memberikan masukan dan pertimbangan dalam upaya menjaga keandalan dan keberlanjutan sistem irigasi; dan melaporkan hasil kegiatan kepada Bupati, mengenai program dan progres, masukan yang diperoleh, serta melaporkan kegiatan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun. Sedangkan koordinasi dan sinkronisasi yang perlu dibangun oleh komisi irigasi kabupaten dengan pusat melalui dewan sumber daya air dan atau Departemen Pekerjaan Umum untuk pengelolaan DI Cihea menyangkut hal-hal terkait dengan: usulan rumusan kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi kepada Menteri; perumusan rencana tahunan penyediaan, pembagian, dan pemberian air irigasi bagi pertanian serta keperluan lainnya; merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi melalui forum musyawarah pembangunan untuk diteruskan kepada Menteri; merumuskan rencana tata tanam yang telah disiapkan oleh dinas instansi terkait dengan mempertimbangkan data debit air yang tersedia pada setiap daerah irigasi,
pemberian air serentak atau golongan, kesesuaian jenis tanaman,
212
rencana pembagian dan pemberian air untuk diteruskan
kepada Menteri
;merumuskan rencana pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang meliputi prioritas penyediaan dana, pemeliharaan, dan rehabilitasi untuk diteruskan
kepada Menteri; memberikan masukan dalam rangka evaluasi
pengelolaan aset irigasi untuk diteruskan
kepada Menteri; memberikan
pertimbangan dan masukan atas pemberian izin alokasi air untuk kegiatan perluasan daerah layanan jaringan irigasi dan peningkatan jaringan irigasi; memberikan masukan kepada Bupati, atas penetapan hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha air untuk irigasi kepada badan usaha, badan sosial, ataupun perseorangan; membahas dan memberi pertimbangan dalam mengatasi permasalahan daerah irigasi akibat kekeringan, kebanjiran, dan akibat bencana alam lainnya; memberikan masukan dan pertimbangan dalam proses penetapan peraturan daerah tentang irigasi; memberikan masukan dan pertimbangan dalam upaya menjaga keandalan dan keberlanjutan sistem irigasi; dan melaporkan hasil kegiatan kepada Bupati mengenai program dan progres, masukan-masukan yang diperoleh serta kegiatan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun. Komisi irigasi kabupaten juga mengkawal perencanaan pengelolaan irigasi agar dapat sinkron dengan hasil musyawarah rencana pembangunan daerah (musrenbangda). Mengingat dalam musrenbangda adalah perumusan rencana seluruh sektor pembangunan, maka fungsi tugas komisi irigasi juga memberikan rekomendasi skala prioritas perencanaan dan pengelolaan irigasi sebagaimana yang ditetapkan dalam rencana strategis daerah di bidang irigasi, penetapan skala prioritas kegiatan, analisis dan rekomendasi pembiayaan pengelolaan irigasi, dan klarifikasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait dengan pengelolaan irigasi. Gambaran sinkronisasi fungsi komisi irigasi dalam proses mekanisme musyawarah rencana pembangunan daerah dapat dilihat pada Gambar 50.
213
RAPBD KOMISI IRIGASI
Rekomendasi Kegiatan PPSIP
Sidang DPRD
BUPATI
DPRD Panitia Anggaran
APBD
Sinkronisasi Program Irigasi (PPSIP) dengan: -Renstrada irigasi -Skala Prioritas -Analisis biaya -Klarifikasi SKPD, dll.
Musrenbang Kabupaten
BAPPEDA
Musrenbang Kecamatan Penyusunan Propeda, Retapeda, perencanaan, koordinasi dan penganggaran pembangunan daerah
DINAS PKT
Penyiapan Perumusan penyiapan dan pelaksanaan kebijakan teknis dibidang perhutanan dan konservasi tanah
Musrenbang Desa
DINAS PERTANIAN
DINAS PSDAP
Penyiapan Perumusan penyiapan dan pelaksanaan kebijakan teknis dibidang pengairan dan pertambangan
Penyiapan Perumusan penyiapan dan pelaksanaan kebijakan teknis dibidang pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan.
Usulan Kegiatan
P3A/GP3A/IP3A Sinkronisasi Usulan Kegiatan
Gambar 50 Sinkronisasi tugas Komisi Irigasi dalam proses Musrenbangda Secara operasional, keberadaan Komisi Irigasi perlu ditegaskan dalam Keputusan Bupati untuk mendukung program kegiatannya yang mencakup rapat rutin 2 kali setahun (musim hujan dan musim kemarau); proses penetapan Rencana Pembagian Air (RPA), Rencana Tata Tanam Global (RTTG), Rencana Tata Tanam Detail (RTTD), intensitas tanam, pola dan tata tanam, koordinasi pendanaan melalui kredit (KUR, KUM, dan lainnya), dan penanganan konflik. Kemudian tindak lanjutnya adalah melakukan sinkronisasi PPSIP dalam program musyawarah
perencanaan
rekomendasi,
penyusunan
pembangunan beritas
acara
daerah,
serta
kesepakatan,
dan
memberikan kerjasama
kelembagaan. 7.2.
Konservasi Sumber Daya Air Sebagaimana halnya pembentukan peraturan daerah dan komisi irigasi,
maka model PKSARI-Terpadu juga berimplikasi pada kebutuhan-kebutuhan
214
program konservasi sumber daya air. Hal ini perlu diwujudkan mengingat lahan kritis di kabupaten cukup luas dan kawasan hutan lindung yang belum memenuhi target yang diharapkan. Sebagai rangkaian menciptakan keberlanjutan sumber daya air, maka pengelolaan sumber air di hulu sungai dalam suatu kawasan daerah aliran sungai (DAS) mutlak diperlukan sehingga dapat mencegah dan mengurangi tingkat kerusakan catchment area akibat pengelolaan sumber daya hutan dan lahan yang tidak terkontrol dan dapat membahayakan dampak yang cukup serius terhadap keberlangsungan pemanfaatan sumber masyarakat.
air bagi
Oleh karena itu model PKSARI-Terpadu perlu didukung oleh
kondisi sumber air yang lestari, yaitu hutan dan daerah tangkapan air. Pelaksanaan kegiatan konservasi sebaiknya juga memperhatikan kondisi masyarakat di sekitar wilayah hutan dan daerah tangkapan air. Hal ini perlu diperhatikan karena selama ini komunitas masyarakat tersebut kurang mendapat perhatian.
Selayaknya mereka mendapatkan insentif atas upayanya untuk
menjaga kelestarian hutan.
Dengan demikian upaya konservasi tersebut
sekaligus juga dapat menjadi program pengentasan kemiskinan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah hutan dan daerah tangkapan air. Program ini dimaksudkan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang mampu berfungsi menjadi daerah konservasi sumber daya air secara berkelanjutan serta sekaligus dapat meningkatkan kegiatan partisipatif masyarakat di sekitar hutan dalam mencapai kesejahteraannya. Berdasarkan hal tersebut, maka strategi kebijakan yang perlu ditempuh adalah melalui mekanisme insentif, yaitu berupa pemberian akses kepada masyarakat untuk mengelola lahan Negara untuk kepentingan konservasi maupun budidaya tanaman pangan.
Pendekatan insentif dimaksudkan agar
masyarakat penerima program mempunyai kesempatan dan kemampuan melakukan usaha-usaha pemeliharaan dan perbaikan erosi tanah secara berkelanjutan berdasarkan potensi sumber daya yang dimilikinya.
Dengan
demikian pendekatan ini diharapkan dapat menjamin biaya rehabilitasi menjadi lebih murah dibandingkan strategi konvensional program rehabilitasi lahan yang selama ini dijalankan dan cenderung bersifat jangkat pendek, top-down dalam proses perencanaannya serta berorientasi fisik atas bentuk kegiatannya.
215
Melalui mekanisme pemberian insentif dalam program konservasi sumber daya air dengan cara memberikan akses pengelolaan lahan kepada masyarakat, maka biaya pengembangan dapat dikurangi karena masyarakat petani akan melakukan perluasan kegiatan penanaman pada lahan yang dimilikinya (kebun dan pekarangan) dengan teknologi agroforestry.
Hasil kegiatan tumpangsari
yang dilakukan oleh masyarakat hutan di lahan Negara menjadi sumber pendapatannya untuk melakukan kegiatan pengelolaan di lahan lainnya. Dengan demikian biaya fasilitasi dapat dikurangi sampai penaksiran angka 50% dari biaya input kegiatan rehabilitasi yang dijalankan. Pada jangka panjang, kelompok masyarakat konservasi yang menerima insentif
berupa
pengelolaan
lahan
dan
didukung
oleh
kondisi
sosial,
kelembagaan, ekonomi dan ekologi yang semakin baik akan melakukan kegiatan penanaman kayu dan jenis tanaman keras lainnya untuk fungsi konservasi. Pemberian insentif berupa akses pengelolaan lahan perlu dilakukan melalui pendekatan kelompok atau organisasi sejenis yang dibentuk dan dilegitimasi oleh masyarakat petani anggotanya. Insentif perlu dilaksanakan melalui kerjasama pengelolaan lahan antara pemerintah kabupaten dengan masyarakat yang diwakili oleh kelompok masyarakat konservasi hutan selama jangka waktu tertentu (dapat dipertimbangkan selama 15 tahun).
Lahan yang tersedia
kemudian dialokasikan kepada setiap individu petani terpilih untuk mengelola lahan seluas tertentu (dapat dipertimbangkan setiap petani mengelola lahan seluas 25 hektar). Surat perjanjian kesepakatan tersebut bukan sebagai alat bukti pemilikan lahan yang tidak dapat diagunkan dan dipindahtangankan karena status pemilikan lahannya tetap menjadi milik Pemerintah. Pengembangan program konservasi sumber daya air perlu ditunjang pendanaan melalui akses kredit yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM) melalui Kredit Usaha Mikro (KUM) dan Kredit Konservasi Masyarakat Hutan (KMKH) kepada masyarakat di sekitar hutan dan kawasan lahan kritis. Kredit tersebut ditujukan untuk menunjang kegiatan usahatani yang dilakukan oleh kelompok masyarakat hutan dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarganya. Hal ini diperlukan karena masyarakat petani di hulu tidak mendapat manfaat langsung dari kegiatan konservasi sumber daya air tersebut. Sehingga perlu diberikan kompensasi untuk meningkatkan pendapatannya melalui kegiatan
216
usahatani di lahan yang sudah disediakan dan disepakati dalam program kesepakatan konservasi desa sebelumnya. Selain faktor pembiayaan, hal lainnya yang dibutuhkan dalam program konservasi sumber daya air adalah kerjasama dan koordinasi antar kelembagaan terkait.
Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi gejala kerusakan hutan dan
peningkatan luasan lahan kritis sebagai faktor determinan ketersediaan air di sumbernya. Fungsi kerjasama dan koordinasi tersebut juga harus melibatkan warga
masyarakat
sekitar
untuk
menumbulkan
pemanfaatan hutan secara ekonomi.
sense
of
control
atas
Pengendalian masyarakat menjadi
sedemikian penting karena komunitas tersebut seharinya-harinya berada dalam lingkungan kawasan hutan, sehingga akan lebih mudah dalam menjalankan fungsi pengendalian hutan agar tetap lestari.
7.3.
Pengelolaan Jaringan Irigasi Implikasi kebijakan dari model PKSARI-Terpadu pada aspek pengelolan
jaringan irigasi perlu dikembangkan dalam program rencana induk pengairan. Beberapa
program
yang
dapat
dilaksanakan
dalam
kaitannya
dengan
peningkatan kinerja sektor pengairan di kabupaten antara lain dengan ekstensifikasi
pertanian
beririgasi
dan
intensifikasi
pengelolaan
dan
pemeliharaan jaringan irigasi. Program perluasan lahan (ekstensifikasi) daerah irigasi di kabupaten dengan mengandalkan lahan untuk dimanfaatkan sebagai kawasan
pertanian.
Sedangkan
pengembangan
secara
intensifikasi
mengarahkan pada program pengelolaan dan pemeliharaan terhadap jaringan irigasi yang sudah ada. Dalam pengembangan ekstensifikasi daerah irigasi terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Lahan. Dalam RTRW Kabupaten masih terdapat lahan yang dapat dijadikan lahan pertanian lahan basah yang belum dimanfaatkan secara optimal. Namun perlu diantisipasi pula mengenai perubahan guna lahan yang disebabkan adanya perkembangan penduduk dengan segala aktivitasnya yang dapat mengakibatkan perubahan pola tata guna lahan, terutama perubahan budidaya (pertanian) menjadi kawasan non pertanian.
217
2. Letak topografi lahan. Kondisi topografi lahan diatas 0-2% dapat dijadikan areal persawahan dengan persyaratan adanya ketersediaan pasokan air yang memadai. 3. Kesuburan tanah. Tingkat kesuburan tanah yang layak dijadikan areal persawahan yaitu mempunyai jenis tanah podsolik kuning dengan tingkat kesuburan sedang. 4. Ketersediaan debit air. Sumber air yang diperlukan untuk irigasi adalah dari air tanah dengan debit rata-rata 12 m3/detik dan sumber mata air lainya ratarata 1.65 m3/detik. Sumber air unggulan dari 253 buah sungai, waduk Cirata dan situ/rawa sebanyak 22 buah dengan total catchment area 17,500 ha. Berdasarkan hal tersebut diatas maka daerah irigasi di Kabupaten mempunyai kemungkinan dapat dikembangkan secara ektensifikasi, serta harus juga pengembangan intensifikasi yaitu mengoptimalkan operasional dan pemeliharaan
daerah
irigasi
yang
disertasi
rehabilitasi,
perbaikan
dan
pembangunan bangunan utama berupa bendung permanen, saluran pembawa serta
bangunan
lainya
yang
diperlukan.
Untuk
mendukung
efektifitas
pembangunan jaringan irigasi diperlukan identifikasi mengenai debit air sungai yang akan disadap secara lebih rinci. Kebutuhan program pengelolaan jaringan irigasi dituangkan dalam rencana pengembangan jaringan irigasi. Program yang penting adalah: (1) meningkatkan kapasitas prasarana jaringan irigasi; (2) terjaganya kondisi dan kelestarian fungsi prasarana irigasi; (3) meningkatkan investasi dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan daerah irigasi; (4) terciptanya keterpaduan pengelolaan melalui kerjasama antar lembaga; (5) tercapainya alokasi air sesuai hasil kesepakatan; (6) meningkatnya kemampuan profesionalisme aparat dalam pengelolaan daerah irigasi; (7) meningkatkan keterbukaan dan tranparasi dalam kegiatan; (8) meningkatkan waduk, danau dan bangunan penunjang lainnya; (9) terwujudnya pengelolaan jaringan irigasi sepeunuhnya oleh kelembagaan irigasi; (10) ekstensifikasi daerah irigasi. Implikasi kebijakan yang penting untuk pengembangan program tersebut adalah dengan cara pendanaan yang cukup baik untuk pengelolaan irigasi baik kegiatan operasi, pemeliharaan, maupun rehabilitasi.
Dana operasi dan
pemeliharaan yang cukup mencapai sebesar Rp 160,000 per hektar, sedangka
218
pembiayaan rehabilitasi jaringan irigasi mencapai sebesar Rp 1,500,000 per hektar. Selain itu juga perlu dikembangkan Kerjasama Pengelolaan Irigasi (KSP) dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang dituangkan dalam bentuk Dokumen Operasi dan Pemeliharaan Partisipatif (DOPP).
Kerjasama
juga perlu dikembangkan dalan kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi melalui Program Disain dan Konstruksi Partisipatif (PDKP) yang dituangkan dalam dokumen Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan (SP3) dan dana stimulan (initial maintenance) untuk kegiatan rehabilitasi ringan. Rencana pengembangan jaringan irigasi tersebut membutuhkan kerjasama dan koordinasi diantara lembaga terkait. Wadah yang dapat menjalankan fungsi tersebut adalah komisi irigasi. Oleh karena itu komisi irigasi perlu dikembangkan dan diselaraskan baik struktur maupun fungsi tugasnya sesuai dengan perkambangan kebijakan terbaru. 7.4.
Pengembangan Pertanian Beririgasi Implikasi
kebijakan
dari
model
PKSARI-Terpadu
pada
aspek
pengembangan pertanian beririgasi perlu diselenggarakan dalam program pembangunan
pertanian
kabupaten.
Program
pembangunan
pertanian
sebaiknya diarahkan dalam pencapaian: (1) peningkatan kesejahteraan petani; (2) peningkatan ketahanan pangan; (3) peningkatan pemasaran hasil produksi pertanian; (4) penerapan teknologi pertanian secara tepat guna; (5) peningkatan produksi pertanian; dan (6) pemberdayaan penyuluhan pertanian. Pencapaian kegiatan tersebut perlu didorong melalui upaya menumbuhkan kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat petani agar dapat memberikan manfaat bagi peningkatan pendapatan petani melalui kegiatan usahatani yang dilakukannya. Pentingnya pendapatan usahatani diindikasikan dari hasil pendapatan usaha tani irigasi menghasilkan laba hampir 2 kali lebih besar dari usaha tani non irigasi. Hal ini dikarenakan kesuburan dan kecukupan air di lahan beririgasi sehingga dapat berproduksi lebih baik dari lahan non irigasi. Usaha tani yang berada di kawasan areal irigasi pun masih belum dapat merasakan manfaat irigasi secara optimal karena debit air yang cenderung fluktuatif dan tidak merata antara hulu dan hilir. Peranan sistem irigasi yang baik sangat mendukung dalam peningkatan pendapatan dan kesejahteraan usaha tani. Sehingga diperlukan
219
upaya dalam meningkatkan pengaturan mengenai irigasi yang lebih baik dan efektif. Berkaitan dengan hal tersebut dibutuhkan kegiatan-kegiatan yang menunjang program peningkatan pendapatan usahatani.
Beberapa upaya
tersebut perlu dilakukan melalui kegiatan: (1) perluasan arean tanam; (2) penyebarluasan penerapan teknologi; (3) pengembangan sarana dan prasarana pertanian; (4) pengembangan kelambagaan melalui pemaduan kelompok tani dengan organisasi P3A/GP3A/IP3A; (5) pengembangan pemasaran hasil usahatani; (6) pengembangan jasa/usaha untuk peningkatan nilai tambah hasil pertanian; (7) penguatan permodalan pada usaha tani melalui penyediaan dana bergulir atau kredit tanpa agunan dengan bunga ringan; dan (8) peningkatan peran serta petani dalam investasi yang kindusif. Upaya peningkatan ketahanan pangan diarahkan untuk peningkatan produksi komoditas padi, palawija (kedele, jagung dan kacang tanah), sedangkan sayuran diantaranya pengembangan usahatani cabe, bawang daun, tomat, wortel, serta buah-buahan (pisang, mangga, dan durian).
Pengembangan
komoditas hortikultura difokuskan pada komoditas yang bernilai ekonomi, mempunyai peningkatan sebaran luas dan permintaan pasar tinggi baik pasar domestik maupun pasar ekspor. Daya dukung lainnya yang diperlukan dalam menunjang program pengembangan pertanian beririgasi adalah pemberian skim kredit melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) maupun Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E). Keputusan penting yang dibutuhkan dalam kelancaran dukungan kredit tersebut adalah adanya Keputusan Bupati yang menunjang dan mengatur mekanisme skim kredit untuk menunjang perogram peningkatan pendapatan petani. Peningkatan pendapatan usahatani tentunya diharapkan dapat memberikan umpan balik pada partisipasi pembiayaan dari petani melalui iuran pengelolaan irigasi, sehingga keberlanjutan pengelolaan irigasi, khususnya pada tingkat tersier dapat terjaga terus. Selain itu pengembangan pertanian beririgasi juga membutuhkan kerjasama dan koordinasi yang sangat baik diantara berbagai pemangku kepentingan terkait baik di lingkungan pemerintahan daerah maupun dengan lembaga penelitian dan pengembangan serta kelembagaan masyarakat setempat.