VII. IMPLIKASI TERHADAP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INDUSTRI
7.1. Implikasi Keberadaan Dinamika Industri Menengah Dari temuan kondisi dinamika IM dan hasil analisis, baik deskriptif maupun empiris, terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dinamika IM, dapatlah ditarik beberapa implikasi hasil penelitian ini terhadap kebijakan pembangunan industri. Pertama, dinamika IM relatif masih sangat kecil, yakni kurang dari 10 persen dari jumlah IM yang ada. Jumlah IM yang berhasil naik kelas ke IB hanya 8.2 persen sebelum krisis dan 9.0 persen sesudah krisis. Sementara itu yang turun menjadi IK adalah 18.9 persen sebelum krisis dan 12.4 persen sesudah krisis. Sehingga dinamika total ketika krisis adalah terjadi penurunan jumlah IM menjadi IK sebesar 10.7 persen dan sesudah krisis 3.4 persen. Oleh karena itu agar dinamika IM dapat ditingkatkan, dalam arti lebih banyak IM yang mampu naik skalanya menjadi IB, maka faktor pendorong yang ada harus ditingkatkan sementara faktor penghambat yang dominan harus dikurangi. Selanjutnya dari hasil analisis terhadap dinamika masing-masing kelompok industri (ISIC 2 digit) maka terlihat bahwa jenis-jenis industri yang bersifat resource based, seperti makanan (ISIC 31) dan produk karet (ISIC 36) terbukti paling sedikit yang turun kelas ketika krisis melanda, sementara industri yang bersifat capital intensive seperti besi dan baja (ISIC 37) dan mesin (ISIC 38) adalah yang paling banyak penurunannya. Oleh karena itu dukungan terhadap industri-industri yang bersifat resource based dan labor intensive tetap harus diperhatikan. Dukungan tersebut dapat dilaksanakan baik
163 melalui upaya pemerintah ataupun swasta seperti pembeli, pemasok, dan asosiasi (Kim dan Nugent, 1994). Dari hasil analisis dinamika IM antar wilayah, diperoleh hasil bahwa dinamika IM di luar Jawa relatif lebih baik daripada IM yang ada di Jawa. Di Luar Jawa, jumlah IM yang mengalami penurunan skala relatif lebih rendah daripada IM di Jawa, sementara itu yang mengalami kenaikan skala di Luar Jawa relatif lebih tinggi daripada di Jawa.
Kondisi ini menyiratkan
pemahaman bahwa IM di Luar Jawa memiliki potensi pengembangan yang lebih baik daripada IM di Jawa, sehingga sebaran distribusi pembangunan industri menengah ke Luar Jawa harus semakin ditingkatkan. Akhirnya dari hasil analisis pengaruh kondisi eksternal dan internal terhadap dinamika IM, terbukti bahwa dinamika IM lebih dipengaruhi oleh faktor internal daripada faktor eksternal.
Hal ini sejalan dengan temuan
empiris di lapangan bahwa IM relatif sudah mulai lebih tertutup daripada IK, sehingga pengaruh faktor internal lebih dominan daripada faktor eksternal terhadap dinamika IM. Berdasarkan temuan tersebut dapatlah dikemukakan bahwa kebijakan pembangunan
industri,
khususnya
untuk
industri
menengah,
harus
dilaksanakan dengan lebih hati-hati dan bijaksana serta secara tidak langsung mendorong pengembangan IM. Implikasi kebijakan ini jelas berbeda dengan kebijakan yang diarahkan untuk mendorong peningkatan jumlah IK, yang pada umumnya keberadaannya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal. Bagi IM, pemberian kemudahan untuk mengakses sumber permodalan dan pemberian insentif perpajakan, yang secara langsung maupun tidak langsung
164 akan memperbaiki kondisi internal IM, misalnya akan lebih efektif pengaruhnya daripada melaksanakan upaya perbaikan faktor eksternal dengan perbaikan iklim dan lingkungan usaha.
7.2. Keberadaan Kondisi Missing of the middle Dari temuan adanya gejala missing of the middle (MOM) pada struktur industri di Indonesia dan hasil analisis, baik deskriptif maupun empiris dapatlah ditarik beberapa implikasi kebijakan yang berkaitan dengan keberadaan gejala MOM ini. Kondisi MOM memang terjadi dalam struktur industri di Indonesia. Berbeda dengan kondisi MOM yang terjadi di negara berkembang, kondisi MOM di Indonesia yang utama adalah benar-benar berupa sedikitnya jumlah IM jika dibandingkan dengan jumlah IK. Sementara pada unsur kinerja, misalnya produktivitas tenaga kerja, IM menduduki posisi tertinggi jika dibandingkan dengan IK dan IB. Dari hasil reklasifikasi, terlihat bahwa sebagian besar IM sebenarnya masih memiliki ciri-ciri sebagai IK, sehingga keberadaan IM yang benar-benar sebagai IM dan sudah berbeda dengan IK memang sangat sedikit. Akibatnya, hasil reklasifikasi tersebut semakin menegaskan keberadaan gejala MOM. Kondisi MOM sangat dipengaruhi oleh keberadaan faktor-faktor yang dapat mendorong dan/atau menghambat kinerja IM. Semakin besar hambatan maka capaian kinerjanya akan semakin rendah, sehingga peluang IK untuk meningkat menjadi IM dan mengurangi gejala MOM semakin kecil. Untuk mengurangi kondisi MOM pada skala menengah, IK harus didorong sehingga mampu meningkatkan skalanya menjadi IM dan berbagai faktor yang akan mengakibatkan IM turun kelas harus semakin dikurangi pengaruhnya.
165 Sebagaimana ditemukan oleh Tybout (1998), ada kecenderungan bahwa IK memang tidak mau (atau tidak bisa) tumbuh dan berkembang menjadi IM, sehingga kondisi ini lebih mendorong terjadinya gejala MOM dalam struktur industri.
7.3. Skala Usaha Dari temuan dan analisis terhadap faktor skala usaha, dapatlah ditarik implikasi kebijakan bahwa restrukturisasi industri melalui penetapan skala usaha yang tepat akan memungkinkan dilaksanakannya dukungan dan upaya pembinaan yang tepat sasaran. Lieberman (1994) bahkan menegaskan bahwa restrukturisasi industri akan meningkatkan keunggulan kompetitif sektor industri dalam menghadapi era perdagangan global. Kondisi IM dengan batasan tenaga kerja 20 sampai 99 orang ketika direklasifikasi ternyata menunjukkan bahwa jumlah IM yang tenaga kerjanya 20 sampai 49 orang sebesar 64.6 persen. Data ini menunjukkan bahwa IM (klasifikasi BPS) sebenarnya masih dekat dengan IK. Kondisi ini semakin jelas ketika klasifikasi BI diterapkan, jumlah IM yang memiliki omset kurang dari 1 milyar (atau seperti IK) masih sebesar 60.9 persen. Oleh karena itu agar kebijakan pembangunan industri, khususnya kebijakan untuk pambangunan industri menengah, dapat lebih terarah dan tepat sasaran maka struktur industri yang ada harus direklasifikasi kembali sehingga dapat mengambarkan kondisi yang lebih riil. Karena faktor batasan skala usaha akan sangat penting bagi upaya indentifikasi keberadaan masing-masing kelompok skala industri secara tepat, penelitian ini menemukan batasan untuk industri menengah yang diharapkan
166 lebih sesuai dengan kondisi IM yang sebenarnya.
Batasan untuk industri
menengah yang diusulkan adalah: 1. untuk tenaga kerja adalah antara 50 sampai 149 orang, dan/atau 2. untuk total penjualan memiliki total penjualan antara 1 sampai 10 milyar rupiah per tahun.
7.4. Sumber Pertumbuhan Industri Menengah Dari temuan dan analisis terhadap sumber-sumber pertumbuhan, dapatlah ditarik beberapa implikasi kebijakan sebagai berikut. IM memiliki potensi menjadi industrial ladder bagi IK untuk naik ke IM dan selanjutnya IB. Pertumbuhan output industri menengah senantiasa lebih tinggi daripada pertumbuhan output industri besar, meskipun pertumbuhan output industri kecil.
masih tetap di bawah
Dengan potensinya sebagai industrial
ladder tersebut, maka keberadaan IM harus senantiasa diperhatikan dan didukung.
Jika selama ini dukungan lebih banyak diarahkan kepada IK,
terutama karena alasan bahwa IK perlu dilindungi karena masih kecil, lemah dan sebagainya, maka untuk ke depan dukungan terhadap IM harus lebih diperbesar. Dukungan terhadap IM tersebut perlu lebih ditingkatkan, bukan karena IM juga lemah dan perlu dukungan tetapi karena IM memiliki potensi yang besar untuk menjadi motor penggerak struktur industri di Indonesia dan sekaligus menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Hasil analisis terhadap sumber-sumber pertumbuhan menunjukkan bahwa sumber-sumber pertumbuhan utama IM adalah tenaga kerja dan teknologi. Meskipun pada dasarnya kedua sumber tersebut sifatnya adalah substitusi, tetapi mengingat masih melimpahnya tenaga kerja di Indonesia,
167 maka langkah yang tepat adalah dengan mengembangkan teknologi maju yang masih memerlukan banyak tenaga kerja (labor intensive). Meskipun salah satu sumber pertumbuhan IM adalah tenaga kerja, yang dimaksud dengan tenaga kerja disini adalah tenaga kerja madya yang lebih berpendidikan dan memiliki keterampilan yang tinggi di bidang pekerjaan yang ditanganinya (Isaksson, 2002).