160
VII. IMPLIKASI DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai Perancangan Model Pengembangan ”Agro-Eco-Industrial Park” (MP-AEIP) Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Hasil yang diperoleh berupa diagram alir model dan simulasi terhadap variabel-variabel dominan dari model. Berdasarkan informasi yang diperoleh tersebut, pada bab ini akan dibahas secara deskriptif implikasi dan rekomendasi kebijakan dalam rangka penerapan model.
7.1. Implikasi Kebijakan Penerapan MP-AEIP Bitung Diasumsikan bahwa MP-AEIP Bitung merupakan pengembangan dari Kawasan Industri Bitung yang saat ini sedang dalam tahapan perencanaan. Apabila industri yang akan dibangun di Kawasan Industri tersebut adalah industri berbasis perikanan laut dan kelapa maka dengan berdirinya MP-AEIP Bitung kondisi kekurangan pasokan bahan baku kedua komoditas tersebut akan semakin besar. Tetapi, karena MP-AEIP Bitung merupakan pengembangan dari Kawasan Industri tersebut maka dapat diasumsikan bahwa hal itu tidak akan memperparah kondisi pasokan bahan baku. MP-AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi Utara yang terdiri atas sub-model industri berbasis perikanan laut, sub-model industri berbasis kelapa, sub-model industri berbasis agro-kompleks, sub-model pembangkit listrik sumber energi terbarukan, dan sub-model limbah dan bahan ikutan, dibangun dalam rangka memberikan gambaran tentang prospek pengembangan industri agro dalam kerangka ekologi-industri, yaitu suatu konsep yang mengintegrasikan aspek ekonomi, ekologi dan sosial dalam pengembangan industri. Model ini dibangun dengan tujuan untuk memperlihatkan potensinya dalam rangka menurunkan limbah industri dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan. Hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Perikanan Laut menunjukkan bahwa dengan dibangunnya 3(tiga) unit industri besar dan 14 unit industri menengah dan kecil berbasis perikanan laut maka kekurangan pasokan bahan baku ikan segar di Provinsi Sulawesi Utara akan menjadi ±240.000 s/d 297.000 ton per tahun. Jumlah ini terbilang sangat besar, namun kontribusi yang diberikan oleh MP-AEIP Bitung pada kondisi tersebut relatif kecil, yaitu sekitar ±13,60 persen. Data di atas menunjukkan bahwa selama ini sebagian besar kebutuhan bahan baku perikanan laut dipasok dari luar provinsi.
161 Bentuk antisipasi yang sementara dilakukan oleh industri berbasis perikanan laut adalah dengan berproduksi pada level di bawah kapasitas produksi. Kondisi juga terjadi di hampir semua industri berbasis perikanan laut di Indonesia (Nikijuluw 2008). Diperkirakan bahwa saat ini industri berbasis perikanan laut sedang beroperasi pada level 70% dari kapasitas produksi (Komunikasi pribadi dengan Pajow 2009). Hal ini mengundang keprihatinan pihak-pihak yang terkait karena sangat menghambat investasi dalam bidang usaha tersebut. Fakta ini tidak sejalan dengan karakteristik Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)-714 yang meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera, yang merupakan wilayah tangkap yang kaya akan jenis ikan pelagis besar sehingga termasuk ke dalam wilayah yang banyak disebut sebagai golden fishing ground (Anonim 2009). Sebagai contoh, pada tahun 2008, produksi tangkap perikanan laut Sulawesi Utara adalah 204.169,9 ton atau meningkat 5,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Lalu, Harian Manado Post 29 Januari 2009). Dari jumlah tersebut, yang diekspor ke luar negeri adalah 17,53% dengan nilai US $ 94,68, selebihnya dikonsumsi secara lokal dan dalam negeri. Untuk Kota Bitung sendiri, produksi perikanan tangkap tahun 2000 adalah 119.896 ton dengan nilai Rp 692,7 juta atau merupakan 60 persen dari produksi Provinsi Sulawesi Utara (Anonim 2001). Potensi hasil tangkap tersebut di atas dapat diupayakan untuk ditingkatkan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil tangkap perikanan laut adalah menekan aktivitas perikanan IUU (illegal, unreported, unregulated) (Nikijuluw 2008) dan sekaligus penegakan hukum terhadap penjualan ikan ditengah laut kepada nelayan asing. Aktivitas perikanan IUU menyebabkan kehilangan produksi tangkapan perikanan laut yang sangat besar. Handoko (2004) dalam Nikijuluw (2008) menduga jumlah devisa yang hilang akibat perikanan IUU di Indonesia berkisar Rp 19 trilyun/tahun. Karena jumlah kerugian tersebut sangat besar maka pengorbanan besar yang harus dikeluarkan untuk mengatasinya mendapat legitimasi yang kuat. Nikijuluw (2008) menulis bahwa ada tujuh strategi yang dapat dilakukan untuk memerangi perikanan IUU, yaitu: (1) pengembangan perikanan rakyat, (2) pengembangan industri perikanan terpadu, (3) kerjasama internasional, (4) regionalisasi pengelolaan perikanan, (5) perbaikan sistem perizinan, (6) pengembangan sistem pengawasan, dan (7) pengembangan sistem peradilan
162 perikanan. Pengembangan perikanan rakyat dimaksudkan agar nelayan lokal memiliki kemampuan perkapalan penangkap ikan yang lebih baik sehingga aktivitasnya dapat sekaligus berperan sebagai pengawas laut dari illegal fishing. Pengembangan industri perikanan terpadu dimaksudkan untuk melawan sistem yang sama tapi yang dipasok dengan bahan baku dari perikanan IUU. Melalui sistem ini maka harga produk perikanan laut legal akan menjadi semakin kompetitif sehingga dapat mengurangi pangsa pasar produk perikanan dari perikanan IUU. Kerjasama internasional harus dilakukan mengingat IUU merupakan kejahatan lintas negara. Hal ini tidak dapat dilakukan sendiri dan efektif oleh Indonesia. Kerjasama tersebut terutama perlu dilakukan dengan negara tetangga yang memiliki kesamaan visi dan kepentingan. Dilain pihak, regionalisasi pengelolaan perikanan diperlukan mengingat luasnya wilayah perairan Indonesia. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah juga perlu berperan dalam menekan perikanan IUU yang sangat merugikan keberlanjutan aktivitas sektor industri manufaktur di daerah. Fakta
menunjukkan
bahwa
selama
ini,
orientasi
pemberian
izin
penangkapan ikan adalah untuk meningkatkan pendapatan negara. Sistem perizinan tersebut perlu dirubah sehingga sesuai dengan tujuan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Sistem pengawasan terhadap IUU sangat tergantung pada dua hal utama, yaitu peralatan pengawasan dan manusia sebagai pengawas. Peralatan pengawasan dapat berupa kapal patroli atau pengawasan melalui sarana satelit dan elektronik yang dikenal dengan vessel monitoring system (VMS). Pengawasan juga dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat nelayan. Dalam rangka mengefektifkan peradilan terhadap pelaku IUU maka sesuai dengan UU No. 31/2004 tentang Perikanan maka peradilan khusus perikanan telah dibangun di lima tempat, yaitu: Belawan, Jakarta Utara, Pontianak, Bitung, dan Tual. Salah satu sasaran dari peradian ini adalah peradilan yang cepat dan sanksi hukum yang tegas sehingga dapat memberikan efek jera. Penerapan
Sertifikasi
Hasil
Tangkapan
(Catch
Certification)
dari
Masyarakat Uni Eropa sejak 1 Januari 2010 perlu mendapat dukungan semua pihak. Regulasi ini menguntungkan dan memperkuat upaya Indonesia dalam memerangi praktek “IUU Fishing” (Nikijuluw 2008). Mekanisme yang dibangun
163 dalam Regulasi tersebut adalah dengan melarang masuknya produk perikanan yang berasal dari kegiatan “IUU Fishing” ke pasar Uni Eropa. Hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Berbasis Kelapa menunjukkan bahwa dengan dibangunnya 3 (tiga) unit industri besar berbasis kelapa dan 37 unit industri menengah dan kecil berbasis kelapa maka kekurangan pasokan bahan baku kelapa (setara kopra) di Provinsi Sulawesi Utara akan berkisar antara 184.724 ton s/d 269.089 ton per tahun. Jumlah ini terbilang sangat besar, namun kontribusi yang diberikan oleh MP-AEIP Bitung pada kondisi tersebut relatif kecil, yaitu sekitar ±3,38 persen. Dengan kata lain, kondisi kekurangan pasokan bahan baku juga sedang dialami oleh industri berbasis kelapa yang sedang beraktivitas di Provinsi Sulawesi Utara dan selama ini sebagian besar kebutuhan bahan baku dipasok dari luar provinsi. Bentuk antisipasi yang sementara dilakukan oleh industri berbasis perikanan laut adalah dengan berproduksi pada level di bawah kapasitas produksi. Sama seperti pada industri berbasis perikanan laut, diperkirakan bahwa saat ini industri berbasis kelapa sedang beroperasi pada level 70% dari kapasitas produksi (Komunikasi pribadi dengan Pajow 2009). Tidak seperti sektor perikanan laut yang dapat meningkatkan ketersediaan bahan baku ikan segar dengan mengimport dan atau menekan IUU dan penjualan ikan di tengah laut, kekurangan pasokan kelapa secara siknifikan hanya dapat diatasi dengan cara mengimpor kelapa dari luar Provinsi. Upayaupaya lainnya seperti intensifikasi produksi dapat dilakukan tapi hanya akan memberikan peningkatan produksi yang tidak siknifikan. Upaya ekstensifikasi usaha sulit dilakukan karena keterbatasan lahan yang dapat dikonversi menjadi perkebunan. Kontradiktif, saat ini banyak lahan perkebunan kelapa yang mengalami konversi penggunaan menjadi permukiman dan bisnis karena tuntuan kebutuhan. Karena pertimbangan kondisi pasokan bahan baku kelapa tersebut maka orientasi industri berbasis kelapa perlu diubah ke arah industri produk nonkonvensional, yaitu industri yang dapat memanfaatkan produk turunan kelapa menjadi produk kesehatan atau perawatan tubuh. Jenis industri ini tidak mengandalkan pasokan bahan baku dalam jumlah besar.
Produk-produk
demikian dapat meningkatkan nilai tambah kelapa beberapa kali lipat. Sebagai contoh, konversi arang tempurung menjadi arang aktif memberikan peningkatan
164 nilai tambah tiga sampai empat kali lipat (Wawancara pribadi dengan Perera 2009). Dari hasil kajian terhadap Sub-Model Industri Agro-Kompleks diketahui bahwa Industri Peternakan Ayam dan Penggemukan Sapi menyerap pakan ternak yang dipasok oleh industri pakan ternak yang terdapat di dalam MP-AEIP. Keterkaitan
ini
potensial
menguntungkan
kedua
pihak
industri
karena
berkurangnya biaya transportasi dan biaya sosial terhadap lingkungan karena dimanfaatkannya bahan-bahan ikutan di dalam pembuatan pakan ternak. Sebagai pembanding, studi tentang penerapan Eco-Industrial Networks (konsep yang sama seperti EIP) di Vancouver, Canada memprediksi bahwa lalu lalang kendaraan untuk semua keperluan kawasan industri (angkutan produk, peralatan dan mesin, tenaga kerja, dan lain lain) akan berkurang sebesar 25% (Anonim 2002). Penurunan lalu lalang kendaraan tersebut akan meningkatkan efisiensi kawasan industri dan kualitas lingkungan secara keseluruhan. Selanjutnya, eksistensi Rumah Potong Hewan (RPH) sangat potensial meningkatkan nilai tambah produk dan jaminan atas tingkat keamanan ternak potong serta dapat menciptakan peluang ekspor. Industri pengomposan juga memberikan kontribusi pada pemeliharaan lingkungan karena pemanfaatannya terhadap kotoran dan urin yang dihasilkan oleh Industri Peternakan Ayam, Industri Penggemukan Sapi, serta limbah cair, yaitu darah ikan yang dihasilkan oleh Industri Berbasis Perikanan Laut. Kompos yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk pemeliharaan Ruang Terbuka Hijau dan Taman yang terdapat di dalam kawasan industri.
Kelebihan pasokan
kompos yang diproduksi dapat dijual kepada petani palawija, hortikultura, atau kepada rumah tangga-rumah tangga untuk budidaya dan atau pemeliharaan tanaman pekarangan. Industri pengomposan memiliki prospek yang cerah karena meningkatnya kecenderungan penggunaan pupuk organik, sebagai susbtitusi terhadap pupuk sintetis yang telah terbukti kurang ramah lingkungan. Hasil kajian terhadap Sub-Model Pembangkit Listrik Sumber Energi Terbarukan menunjukkan bahwa potensi alam, seperti tenaga angin dan tenaga surya di Kota Bitung, dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik terbarukan yang ramah lingkungan. Namun demikian, beberapa kajian terakhir menunjukkan bahwa pembangkitan energi tersebut belum menguntungkan secara finansial, seperti yang dilaporkan oleh Ardana (2009) yang meneliti pembangkit listrik tenaga angin dan surya di Nusa Penida, Bali. Juga, Negara
165 China yang sementara membangun beberapa pembangkit dengan kapasitas 1,5 MW per kincir angin mengalami hal yang sama (Prabowo 2009). Walaupun saat ini belum menguntungkan namun dalam jangka panjang, prospek pembangkit listrik tenaga angin dan surya akan menjadi lebih baik. Ini akan terjadi pada saat bahan bakar fosil menjadi langka sehingga akan memicu peningkatan harganya. Disamping
itu,
pembangunan
pembangkit
listrik
terbarukan
merupakan
pernyataan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan karena secara nyata akan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), seperti NO x, CO x , dan SO x. Hasil simulasi terhadap Sub-model Limbah dan Bahan Ikutan memberikan beberapa informasi penting yang terkait dengan pemanfaatan limbah dan bahan ikutan serta potensi manfaat lingkungan yang dihasilkan. Hasil simulasi terhadap Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Industri Perikanan Laut menunjukkan bahwa bahan ikutan yang dihasilkan oleh Industri Berbasis Perikanan Laut dapat memenuhi hampir semua kebutuhan untuk pembuatan tepung ikan dan pakan ternak. Bahkan, di tahun 2024 ketika semua industri berbasis perikanan laut telah selesai dibangun, sisa pasokan bahan ikutan yang tidak terserap oleh industri pengguna adalah sekitar 11 ribu ton. Informasi ini menunjukkan bahwa pada tahun itu, kapasitas produksi industri tepung ikan dan pakan ternak dapat ditingkatkan. Hasil simulasi terhadap produksi darah ikan dan urine ternak sapi menunjukkan bahwa tingkat penggunaannya masih rendah. Hal ini dapat diatasi dengan cara meningkatkan penggunaannya pada Industri Pakan Ternak. Namun jumlah penggunaannya pada Industri Pakan Ternak sangat tergantung pada kuantitas bahan ikutan yang dihasilkan oleh industri berbasis perikanan laut dan industri berbasis kelapa. Darah dan urine yang tidak termanfaatkan harus diolah terlebih dahulu di Pusat Pengolahan Limbah Cair sebelum dibuang ke lingkungan. Hasil Simulasi Ketersediaan, Penggunaan, dan Sisa Bahan Ikutan Air Kelapa menunjukkan bahwa di tahun-tahun akhir dari simulasi, penggunaan bahan ikutan air kelapa melampaui ketersediaan air kelapa yang dihasilkan oleh industri Kelapa Parut Kering (KPK). Namun, kekurangan pasokan ini dapat disuplai oleh industri KPK yang terletak di sekitar MP-AEIP Bitung yang belum memanfaatkan bahan ikutan air kelapa secara optimal. Hasil simulasi terhadap ketersediaan, penggunaan, dan sisa bahan ikutan tempurung kelapa menunjukkan bahwa sejak tahun 2016, jumlah pasokan
166 tempurung kelapa (setara arang tempurung)
tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku arang tempurung untuk industri arang aktif. Misalnya, di tahun 2024, kekurangan pasokan tempurung kelapa (setara arang tempurung) adalah sebesar 1.512 ton. Namun, kekurangan pasokan tersebut dapat diatasi dengan cara melakukan sosialisasi yang lebih luas dan intensif kepada petani kelapa untuk memasok tempurung kelapa. Sosialisasi yang baik yang disertai dengan jaminan pembelian bahan baku dengan harga yang kompetitif akan meningkatkan secara siknifikan pasokan bahan baku dari petani kelapa. Hasil simulasi terhadap ketersediaan, penggunaan, dan sisa feces ternak sapi dan ayam dan urine ternak sapi menunjukkan bahwa pasokannya untuk industri pengomposan lebih kecil dari kebutuhan, dengan kisaran antara 132 ton s/d 395,3 ton per tahun. Sisa feces dan urine ternak untuk produksi kompos menjadi positif mulai tahun 2023. Kekurangan pasokan feces dan urine tersebut dapat diatasi dengan cara menyesuaikan kapasitas produksi kompos atau mendatangkannya dari luar MP-AEIP Bitung. Pemanfaatan limbah tersebut secara siknifikan akan menurunkan biaya penanganan limbah dan sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan. Secara keseluruhan penerapan MP-AEIP Bitung akan menurunkan limbah dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan seperti yang tercantum pada Tabel 7.1. Tabel 7.1. Hasil Simulasi Penurunan Limbah dan Peningkatan Penggunaan Bahan Ikutan di dalam MP-AEIP No
Komponen
1
Darah ikan
2 3
Urine ternak sapi Feces ternak sapi dan ayam Limbah cair total
-
Bahan ikutan perikanan laut Bahan ikutan air kelapa
24.290.500 kg (93,59%) 11.803.600 liter (93,01%) 2.160.000 kg (>100%)
4
5 6 7
Bahan ikutan tempurung kelapa
Peningkatan Penggunaan bahan ikutan -
-
Penurunan limbah cair
Ket
161.950 ltr (24,96%) 161.950 ltr (6,25%) 2.015.733 kg (94,40%) 12.127.500 liter (1% dari limbah cair total) -
-
-
-
-
Perlu pasokan dari luar
-
-
167 Data di dalam Tabel 7.1. menunjukkan bahwa walaupun penurunan limbah cair dan peningkatan penggunaan bahan ikutan cukup siknifikan namun secara keseluruhan hanya berkontribusi pada penurunan limbah cair total sebesar 1% dari kuantitas limbah cair yang dihasilkan oleh kawasan industri.
Kecilnya
persentasi penurunan limbah cair tersebut disebabkan oleh sangat besarnya kuantitas limbah cair yang dihasilkan terutama oleh industri perikanan laut. Sebagai contoh, setiap kilogram ikan segar membutuhkan air cuci sebanyak 20 liter. Data hasil simulasi Tahun 2024 menunjukkan bahwa total limbah cair yang dihasilkan oleh kawasan industri adalah 1.329.844 m3 atau sebesar 3.594 m3/hari. Data ini hampir dua kali lipat dibandingkan dengan limbah cair yang dihasilkan Eco-industrial networks (EIN) di Vancouver, Canada, yaitu sebesar 740.915 m3/tahun (Anonim 2002). Limbah cair di EIN tersebut diprediksi dapat diturunkan sampai sebesar 25% atau jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil simulasi dalam MP-AEIP Bitung. Ini berarti perlu dilakukan upaya untuk menurunkan penggunaan air cuci atau memanfaatkan limbah cair sebelum atau sesudah diolah di Pusat Pengolahan Limbah Cair. Upaya tersebut dapat berupa inovasi teknologi untuk menurunkan penggunaan air per satuan berat bahan baku dan atau pemanfaatannya untuk tujuan-tujuan tertentu.
7.2. Implikasi terhadap Keberlanjutan Aktivitas Industri Agro Tingkat keberlanjutan aktivitas industri agro di Kota Bitung dapat dilihat dari beberapa segi. Dari segi pasokan bahan baku dapat dinilai bahwa aktivitas industri agro sedang beroperasi pada kondisi kekurangan pasokan bahan baku. Hal itu ditunjukkan oleh hasil simulasi MP-AEIP Bitung. Untuk industri eksisting, kekurangan pasokan bahan baku tersebut diantisipasi dengan cara menurunkan kapasitas produksi dan atau mendatangkan bahan baku dari luar wilayah Provinsi Sulawesi Utara. Sesuai dengan prinsp-prinsip ekologi industri maka keberlanjutan aktivitas industri dapat diupayakan dengan beberapa cara. Pertama, kerjasama antar perusahan dalam hal pertukaran materi dan limbah sehingga produksi limbah industri dan bahan ikutan dapat diupayakan seminimal mungkin. Hasil simulasi MP-AEIP Bitung menunjukkan bahwa kerjasama antar industri berpotensi menurunkan limbah dan meningkatkan penggunaan bahan ikutan secara siknifikan.
Kedua, sistem produksi industri di dalam MP-AEIP Bitung yang
mempertimbangkan tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan juga akan
168 berperan bagi keberlanjutan aktivitas industri. Dari sisi ekonomi, aktivitas industri menguntungkan, dari segi sosial mendapatkan dukungan masyarakat sekitar karena melibatkan masyarakat secara siknifikan, dan dari segi lingkungan memberikan kontribusi pada pemeliharaan kualitas lingkungan.
7.3. Rekomendasi Kebijakan 7.3.1. Implementasi MP-AEIP Bitung Berdasarkan hasil kajian mengenai keterkaitan antara sub-sub elemen tujuan program, maka prioritas tujuan program adalah Membangkitkan energi listrik dengan sumber terbarukan (T10) dan Meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela (T13). Berdasarkan tujuan tersebut, serta dengan mempertimbangkan adanya kendala kunci berupa: Pemahaman terhadap konsep AEIP yang masih kurang (K3) dan Rencana lokasi kawasan industri adalah lahan pertanian subur (K5), maka implementasi AEIP Bitung dapat dicapai melalui tahapan-tahapan program sebagai berikut: A. Program Persiapan: (1) Penyusunan master plan kawasan industri; (2) Pembentukan POKJA Pengembangan AEIP; (3) Sosialisasi AEIP;
(4)
Program penyiapan dan pembebasan lahan dengan pembelian atau penyertaan sebagai pemegang saham; (5) Pendirian perusahan pengelola kawasan industri; (6) Perumusan tata tertib kawasan industri; (7) Penetapan pola harga kapling industri; dan (8) Penyiapan sistem rekruitmen tenant. B. Program Penyiapan Fasilitas Pendukung: (9) Pembangunan infrastruktur kawasan industri; (10) Pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi
terbarukan;
(11)
Pembangunan
fasilitas
daur
ulang;
(12)
Pembangunan fasilitas riset; (13) Pembangunan fasilitas perbaikan dan rekayasa;
(14)
Pembangunan
fasilitas
laboratorium
pengujian;
(15)
Pembangunan fasilitas training; (16) Pembangunan pusat promosi dan bisnis; (17) Penyiapan sistem transportasi bersama; (18) Pembangunan klinik kesehatan; (19) Pembangunan pengolahan limbah cair terpusat; (20) Pembangunan fasilitas pusat penyimpanan produk; dan (21) Pembangunan perumahan karyawan. C. Keterkaitan antar industri: (22) Program kerjasama pertukaran materi dan limbah. D. Keterkaitan dengan masyarakat sekitar: (23) Program pengembangan masyarakat (CSR).
169
7.3.2. Percepatan Implementasi MP-AEIP Bitung Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mempercepat penerapan MP-AEIP Bitung, Provinsi Sulawesi Utara adalah: 1. Realisasi pembangunan Kawasan Industri (KI) di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung. Saat ini (pada saat survei lapangan), rencana pembangunan tersebut sudah sampai pada tahap Penyiapan Masterplan dan Studi AMDAL yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Kementerian Perindustrian. Tahapan selanjutnya dari rencana tersebut akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Pihak Pengembang. Pada tahapan ini, peran aktif dari Pemerintah Daerah sangat krusial. Hal itu dapat dinyatakan dalam bentuk alokasi dana dalam APBD dan segenap daya dan upaya untuk merealisasikan KI tersebut, melalui sosialisasi program. Langkah strategis yang perlu ditempuh Pemda adalah mewujudkan KI pada lahan 98 ha terlebih dahulu, sehingga perluasan KI menjadi sekitar 512 ha akan menjadi relatif lebih mudah.
Cara ideal
untuk menyiapkan lahan
industri di wilayah ini, dengan tipikal adanya kelangkaan lahan, adalah dengan menyertakan pemilik lahan sebagai pemegang saham KI, seperti yang diamanatkan oleh PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri. 2. Penetapan Kota Bitung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yang saat ini sedang diperjuangkan di tingkat Pemerintah Pusat. Salah satu persyaratan bagi suatu wilayah untuk ditetapkan sebagai KEK adalah tersedianya lahan seluas minimal 500 ha. Penetapan sebagai KEK akan memberi insentif yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan lahan tersebut. 3. Peningkatan kesadaran lingkungan dari pelaku industri dan pemberian tekanan untuk meningkatkan kinerja lingkungan KI baik dari Pemerintah maupun masyarakat. Juga, meningkatkan kerjasama antar industri secara sukarela, yang saat ini tergolong masih rendah, yaitu 23,64% menjadi sekurang-kurangnya 42,3%, sesuai dengan nilai median kerjasama antar industri yang disarankan oleh Hardy dan Graedel (2002). Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Li (2005) yang menulis bahwa konsep EIP dapat membantu meningkatkan keuntungan kompetitif KI apabila kendalakendala seperti kurangnya kesadaran lingkungan dari pelaku industri serta lemahnya kerjasama antar industri dapat dihilangkan.
170 4. Fasilitasi oleh Badan Pemerintah yang sengaja dibentuk untuk itu. Badan Pemerintah
tersebut
dapat
diisi
oleh
para
pakar
dalam
bidang
pengembangan industri manufaktur, pelaku industri yang berpengalaman, ahli hukum, dan tenaga ahli bidang lainnya yang relevan. Badan ini dapat bekerja sama secara harmonis dengan Perusahan Kawasan Industri atau Perusahan Pengelola Kawasan Industri yang memiliki fungsi operasional di dalam kawasan industri. 5. Pemberian kesempatan dan insentif dari Perusahan Pengelola AEIP Bitung kepada tenan untuk bertindak seirama (Ayres and Ayres 2002). Tindakan seirama tersebut terdiri atas dua hal, yaitu: (a) Perencanaan Kawasan Industri (KI) yang merangsang kinerja lingkungan yang lebih baik bagi KI secara keseluruhan. Ini menyangkut lay out fisik yang harmonis dengan bentang alam, perencanaan infrastruktur untuk pengangkutan dan penyimpanan bahan kimia, pendirian bangunanbangunan yang hemat energi, penyediaan sumber energi yang tepat (termasuk energi yang terbarukan), perencanaan posisi dari perusahanperusahan yang memudahkan pertukaran kelebihan energi dan limbah, pembangunan pusat daur ulang, dan menyisakan lahan kosong untuk habitat alami; (b) Mempromosikan prosedur organisasi untuk memfasilitasi manajemen lingkungan yang lebih baik pada level pabrik, membangun mekanisme untuk pertukaran kelebihan energi dan limbah, dan membangun sistem informasi dan komunikasi untuk perusahan sehingga mereka dapat menemukan penyelesaian masalah lingkungan sendiri.
Fasilitas ini
dibangun untuk mempercepat terjadinya sinergi antara pabrik-pabrik, didasarkan pada kerjasama sukarela bukan karena tekanan.
Tanpa
mekanisme tersebut maka pengaturan sinergi dan simbiotik akan lambat terjadi. Percepatan adopsi MP-AEIP Bitung dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 7.1.).
171
Adopsi konsep Ekologi Industri PERENCANAAN KAWASAN INDUSTRI: (1) Lay out yang harmonis dengan bentang alam (2) Infrastruktur untuk pengangkutan dan penyimpanan bahan kimia dan bahan baku serta bahan penolong (3) Bangunan yang di desain hemat energi (4) Sumber energi terbarukan (5) Posisi pabrik yang memudahkan pertukaran kelebihan energi dan limbah (6) Fasilitas umum (daur ulang, penanganan limbah, kantin, pusat kesehatan, pusat penyimpanan, pusat pendidikan/pelatihan) (7) Habitat alami
Membangun kerjasama antara perusahan secara sukarela bukan karena tekanan atau
PROSEDUR KAWASAN INDUSTRI: (1) Fasilitasi manajemen lingkungan yang lebih baik pada level pabrik (2) Membangun mekanisme pertukaran kelebihan energi dan limbah (3) Membangun sistem informasi dan komunikasi
intimidasi
Kinerja lingkungan yang lebih baik bagi KI secara keseluruhan
Gambar 7.1. Percepatan adopsi konsep ekologi industri (Ayres dan Ayres 2002). Gambar 7.1. menunjukkan keterkaitan antar perencanaan KI dengan prosedur kawasan industri yang dapat menghasilkan kerjasama antar perusahan secara sukarela sehingga adopsi terhadap konsep ekologi industri dapat terjadi bagi peningkatan kinerja lingkungan yang lebih baik bagi KI secara keseluruhan.
7.3.3. Rekruitmen Tenan Jenis dan karakteristik tenan yang akan direkrut perlu direncanakan secara matang terlebih dahulu. Proses perencanaan melibatkan Badan Pemerintah (point 4 di atas), Perguruan Tinggi dan atau Lembaga Litbang. Tenan yang direkrut akan memberikan “warna” bagi kawasan industri.
Sebagai contoh,
mengingat mulai terkendalanya pasokan bahan baku, terutama pada industri berbasis kelapa, rekruitmen dapat dilakukan terhadap tenan yang menguasai teknologi modern dari industri kelapa.
Kriteria yang dapat digunakan untuk
proses rekruitmen adalah: (1) rekrut tenan yang mempraktekan produksi bersih,
172 HACCP, atau ISO (2) rekrut tenant yang mau bekerjasama di dalam program pemanfaatan bahan ikutan/limbah industri, (3) bangun visi menciptakan keberagaman industri supaya dapat saling terkait dalam memanfaatkan bahan ikutan dan limbah industri, (4) selaraskan sumberdaya alam (pasokan bahan baku, energi, air, dan ketersediaan lahan industri) dengan jumlah tenan dan jumlah produksi.
7.3.4. Kelembagaan Penerapan MP-AEIP Bitung Kelembagaan atau institusi merupakan “batasan-batasan buatan manusia yang memberi struktur pada interaksi politik, ekonomi dan sosial“ (North 1991). Institusi yang efektif, menurut North, adalah institusi yang “meningkatkan faedah bagi solusi-solusi kooperatif atau meningkatkan biaya dari tidak-bekerja-sama (defection).” Sesuai dengan bahasan sebelumnya maka kelembagaan yang diperlukan untuk menerapkan MP-AEIP Bitung adalah: 1. Pokja
AEIP
Bitung
atau
Badan
Khusus
yang
dibentuk
oleh
Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk mempromosikan penerapan MP-AEIP. 2. Perusahan Pengelola AEIP. 3. Tata tertib AEIP. 4. Sistem kerjasama antar industri dalam pemanfaatan materi dan limbah. 5. Sistem rekruitmen tenan, dan 6. Program pengembangan masyarakat (CSR).
7.3.5. Kebijakan Strategis dan Operasional Penerapan MP-AEIP Bitung A. Kebijakan Strategis 1. Konsistensi
penerapan
peraturan
perundangan
dalam
bidang
pengembangan industri dan lingkungan, seperti Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Industri atau AMDAL. 2. Penegakan hukum yang konsekuen bagi perikanan IUU (illegal, unreported, unregulated) seperti illegal fishing, penangkapan ikan dengan teknologi yang tidak sah, dan penjualan ikan ditengah laut kepada nelayan asing. 3. Mendorong dan atau mendukung penerapan ketentuan Uni Eropa bagi Sertifikasi Tangkapan Ikan (Catch Certification) untuk memerangi IUU. 4. Menerapkan hambatan ekspor bahan baku ikan laut segar dan kelapa. 5. Pengembangan industri turunan kelapa non-konvensional.
173 B. Kebijakan Operasional 1. Program insentif bagi tenan Agro-Eco-Industrial Park (AEIP), yang dapat berupa keringanan pajak, harga lahan industri yang terjangkau, penyediaan
sarana
dan
prasarana
penunjang,
dan
kemudahan
pengurusan dokumen usaha industri. 2. Pengembangan budidaya perikanan laut, seperti pertambakan dan budidaya rumput laut. 3. Menghilangkan hambatan-hambatan investasi dan menerapkan sistem investasi terpadu, yang dapat menjamin bahwa prosedur investasi tidak dilakukan secara berbelit-belit, misalnya dengan menerapkan sistem investasi satu atap/terpadu. 4. Mempertahankan dan atau meningkatkan tingkat produksi Kelapa Dalam. 5. Penetapan ”ceiling price” yang logis dari lahan industri untuk merangsang investasi. 6. Penetapan sistem sewa lahan industri atau pelibatan pemilik lahan pertanian sebagai pemegang saham kawasan industri. 7. Pengkajian tentang penurunan penggunaan air bersih pada industri perikanan laut dan kelapa untuk menurunkan beban limbah cair yang harus diolah pada pusat pengolahan limbah cair.