50
5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan bubu di Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak ditujukan untuk menangkap ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus), ikan tambangan (Lutjanus johni) dan ikan gerot-gerot (Pomadasys sp), yang merupakan ikan ekonomis penting dengan harga yang cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang telah dilakukan menggunakan bubu bambu dan bubu jaring dengan perbedaan lama perendaman, diperoleh hasil tangkapan berupa: ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus), ikan tambangan (Lutjanus johni), ikan gerot-gerot (Pomadasys sp.), ikan kerapu (Epinephelus tauvina), ikan gulamah (Seudociena sp.) dan ikan Gebel (Platax sp.) serta udang barong (Panulirus sp.). Komposisi jumlah (individu) dan bobot (gr) hasil tangkapan selama penelitian pada bubu bambu, didominasi oleh species target (ikan kakap merah, tambangan dan gerot-gerot) yaitu sebesar 84% dan 91% (Gambar 17 dan 18). Dari hasil tersebut jelas terlihat bahwa bubu bambu sangat selektif untuk menangkap species target, baik berdasarkan komposisi jumlah (individu) maupun bobot (gr). Demikian juga dengan komposisi jumlah (individu) dan bobot (gr) hasil tangkapan pada bubu jaring, didominasi oleh species target (ikan kakap merah, tambangan dan gerot-gerot) yaitu sebesar 90% dan 95% (Gambar 19 dan 20). Dari hasil tersebut jelas terlihat bahwa bubu jaring sangat selektif untuk menangkap species target, baik berdasarkan komposisi jumlah (individu) maupun bobot (gr). Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa hasil tangkapan pada kedua jenis bubu selama penelitian di Mempawah Hilir didominasi oleh ikan kakap merah, tambangan dan gerot-gerot. Jenis ikan kakap merah umumnya termasuk ikan buas, karena pada umumnya merupakan predator yang senantiasa aktif mencari makan pada malam hari. Namun karena komposisi jumlah hasil tangkapan didominasi oleh jenis ikan kakap sendiri dan gerot-gerot, bubu yang digunakan cukup besar sehingga ikan dengan bebas bergerak dan menghindar, maka peristiwa saling memangsa tidak terjadi. Hal ini didukung dengan tidak
51 ditemukannya sisa tulang ikan yang mati di dalam bubu pada saat hauling dilakukan. Selain itu, kedua jenis bubu juga sangat selektif untuk menangkap species target, baik berdasarkan komposisi jumlah (individu) maupun bobot (gr). Selain itu, ikan-ikan hasil tangkapan bubu pada saat hauling masih dalam kondisi hidup, sehingga seleksi terhadap hasil tangkapan yang menjadi tujuan penangkapan dapat dilakukan, dan melakukan pelepasan kembali ikan-ikan yang belum layak tangkap atau dilindungi serta memberikan kesempatan untuk ikan-ikan yang belum layak tangkap tersebut menjadi dewasa, sehingga diharapkan penggunaan bubu di Mempawah Hilir dapat dikatakan sebagai salah satu alat penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan (Martasuganda, 2003). Secara keseluruhan, komposisi jumlah (individu) hasil tangkapan bubu selama penelitian diperoleh sebanyak 182 individu dengan bobot total sebesar 157.350 gr. Komposisi bobot (gr) hasil tangkapan bubu selama penelitian didominasi oleh ikan tambangan sebesar 51% (80.500 gr), ikan gerot-gerot sebesar 23% (35.450 gr) dan ikan kakap merah sebesar 19% (29.900 gr) (Tabel 8). Dari 80.500 gram bobot ikan tambangan, tiap individu ikan tambangan mempunyai bobot rerata sebesar 2.439 gram/individu dengan panjang rerata 56 cm/individu, berbeda dengan ikan gerot-gerot yang memiliki bobot rerata sebesar 695 gram/individu dengan panjang rerata 39 cm/individu dan ikan kakap merah dengat bobot rerata sebesar 399 gram/individu dengan panjang rerata 31 cm (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa ikan tambangan yang diperoleh memiliki ukuran terbesar dibandingkan dengan hasil tangkapan lainnya. Penentuan layak tangkap ikan kakap merah (Lutjanus sp.) salah satunya berdasarkan ukuran panjang. Pada umumnya ikan kakap merah berukuran panjang antara 25–50 cm, walaupun tidak jarang mencapai 90 cm (Gunarso, 1995). Ratarata ikan kakap merah akan mencapai tingkat kedewasaan yang pertama setelah mencapai panjang 43-51% dari panjang total tubuh ikan tersebut, ikan jantan akan mengalami kematangan gonad pada ukuran lebih kecil dari ikan betina (Heemstra dan Randall, 1993). Menurut Karyaningsih dan Suhendrata (1992), ikan kakap merah betina matang gonad pada panjang total 54,46-56,20 cm. Djamal (1993) menambahkan bahwa jenis ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus) pada ukuran
52 bobot di atas 2,75 kg telah mencapai tingkat kematangan III ke atas dengan fekunditas antara 4,5-9,0 juta telur. Selain species target (ikan kakap merah, tambangan dan gerot-gerot), juga diperoleh by catch seperti: ikan kerapu, gulamah, gebel dan udang barong, walaupun dengan jumlah yang relatif sedikit. Dari keempat hasil sampingan tersebut, hanya dua spesies saja yang secara rutin dimanfaatkan oleh agen, yaitu ikan kerapu dan udang barong. Walaupun dengan jumlah yang relatif sedikit, namun udang barong yang diperoleh memiliki bobot rerata sebesar 775 gram/individu dengan panjang 38 cm/individu, dan ini merupakan ukuran yang cukup besar untuk udang barong. Hasil tangkapan pada bubu jaring sebanyak 110 individu dengan bobot sebesar 81.250 gr. Dari hasil tersebut, komposisi hasil tangkapan species target yang layak tangkap sebesar 54,55% (60 individu) dengan bobot sebesar 84,92% (69.000 gr). Hasil tangkapan yang tidak layak tangkap pada sebesar 44,55% (49 individu) dengan bobot sebesar 13,97% (11.350 gr), terdiri atas species target sebesar 36,36% (40 individu) dengan bobot sebesar 11,02% (8.950 gr) dan by catch sebesar 8,18% (9 individu) dengan bobot sebesar 2,95% (2.400 gr) (Lampiran 9). Hal ini berarti bahwa komposisi hasil tangkapan yang tidak layak tangkap pada bubu jaring terhadap species target lebih besar daripada by catch berdasarkan jumlah (individu) dan bobot (gr). Pada bubu bambu, hasil tangkapan sebanyak 72 individu dengan bobot sebesar 76.100 gr. Dari hasil tersebut, komposisi hasil tangkapan species target yang layak tangkap sebesar 66,67% (48 individu) dengan bobot sebesar 89,42% (68.050 gr). Hasil tangkapan yang tidak layak tangkap pada sebesar 30,56% (22 individu) dengan bobot sebesar 8,21% (6.250 gr), terdiri atas species target sebesar 22,22% (16 individu) dengan bobot sebesar 5,45% (4.150 gr) dan by catch sebesar 8,33% (6 individu) dengan bobot sebesar 2,76% (2.100 gr) (Lampiran 9). Hal ini berarti bahwa komposisi hasil tangkapan yang tidak layak tangkap pada bubu bambu terhadap species target lebih besar daripada by catch berdasarkan jumlah (individu) dan bobot (gr). Species target yang layak tangkap pada kedua jenis bubu memiliki bobot minimal 450 gr/individu yang secara rutin dimanfaatkan agen untuk di ekspor ke
53 Singapura dan Malaysia. Secara keseluruhan, komposisi jumlah (individu), hasil tangkapan yang tidak layak tangkap pada kedua jenis bubu menunjukkan nilai yang cukup besar, namun berdasarkan bobot (gr) cukup kecil. Selain itu, komposisi hasil tangkapan yang tidak layak tangkap pada species target lebih besar daripada by catch baik dalam komposisi jumlah (individu) maupun bobot (gr). Komposisi hasil tangkapan yang tidak layak tangkap pada bubu jaring lebih besar daripada bubu bambu berdasarkan jumlah (individu) dan bobot (gr). Bobot ikan yang tidak layak tangkap pada kedua jenis bubu berkisar antara 100-400 gr dengan panjang antara 18-34 cm. Hasil tangkapan ini secara rutin dimanfaatkan oleh nelayan sebagai pangan bersama keluarganya. 5.2 Pengaruh Lama Perendaman dan Jenis Bubu terhadap Hasil Tangkapan Berdasarkan bobot (gr) hasil tangkapan ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus) pada bubu bambu dan bubu jaring selama penelitian menunjukkan bahwa kedua jenis bubu dengan lama perendaman lima hari efektif menangkap ikan kakap merah sebesar 7.350 gr (Gambar 21). Meskipun demikian, ternyata produktivitas hasil tangkapan ikan kakap merah pada bubu jaring dengan lama perendaman dua hari sebesar 314 gr/hari, lebih tinggi daripada lama perendaman lainnya dan jenis bubu bambu (Gambar 22). Berdasarkan hasil Analisis Ragam yang dilakukan terhadap lama perendaman dan jenis bubu pada ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus), diperoleh F hitung pada perlakuan lama perendaman dan kelompok jenis bubu sebesar 2,58 dan 3,08 lebih kecil daripada F tabel 5% (tingkat kepercayaan 95%) sebesar 9,28 dan 10,13. Hal ini berarti bahwa tidak ada pengaruh antara lama perendaman dan jenis bubu terhadap hasil tangkapan ikan kakap merah, sehingga untuk menangkap ikan kakap merah dapat dilakukan dengan lama perendaman dua, tiga empat dan lima hari dengan bubu bambu maupun bubu jaring. Namun, karena produktivitas hasil tangkapan ikan kakap merah pada bubu jaring dengan lama perendaman dua hari lebih tinggi daripada lama perendaman lainnya dan tidak ada perbedaan antara lama perendaman serta jenis bubu terhadap hasil tangkapan ikan kakap merah, maka lama perendaman dua hari pada bubu jaring
54 merupakan pilihan yang tepat untuk menangkap ikan kakap merah, tentunya hal ini perlu ditunjang dengan tingkat kelayakan usaha. Bobot (gr) hasil tangkapan ikan tambangan (Lutjanus johni) pada bubu bambu dan bubu jaring selama penelitian menunjukkan bahwa bubu bambu dengan lama perendaman empat hari efektif menangkap ikan tambangan sebesar 36.100 gr lebih tinggi daripada bubu jaring sebesar 20.900 gr (Gambar 23). Berdasarkan produktivitas hasil tangkapan ikan tambangan pada bubu bambu dengan lama perendaman empat hari sebesar 1.289 gr/hari, lebih tinggi produktivitasnya daripada lama perendaman lainnya dan jenis bubu jaring (Gambar 24). Bubu jaring dan bubu bambu efektif menangkap ikan kakap merah dengan lama perendaman lima hari, sedangkan untuk menangkap ikan tambangan, kedua jenis bubu efektif direndam selama empat hari. Hal ini terjadi diduga karena tingkah laku dan ruaya ikan pada saat penelitian dilakukan. Gambaran secara langsung akan diperoleh jika penelitian dilakukan setidaknya dalam kurun waktu satu tahun. Selain itu, hal ini juga diduga karena pada pengoperasian bubu selama penelitian tanpa menggunakan umpan, sehingga memerlukan waktu yang lebih lama bagi ikan untuk berkumpul dalam bubu, dan ini mulai terjadi pada lama perendaman dua hari, dan semakin meningkat jumlahnya pada hari lima hari untuk ikan kakap merah. Berbeda dengan ikan tambangan yang mulai berkumpul dalam bubu mulai pada hari ketiga, dan meningkat jumlahnya pada hari keempat, sedangkan pada hari kelima jumlah ikan tambangan relatif menurun diduga disebabkan ikan dalam bubu berhasil meloloskan diri. Selain itu ikan yang masuk ke dalam bubu diduga sebagai akibat ikan menjadikan bubu sebagai tempat berlindung dan beristirahat sewaktu melakukan migrasi serta karena sifat thigmotaksis dari ikan itu sendiri (Martasuganda, 2003). Hasil penelitian ini sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Anung dan Barus (2000) yang menunjukkan bahwa hasil tangkapan terbanyak terjadi pada lama perendaman satu hari daripada tiga hari, menggunakan bubu bermulut dua dengan umpan ikan demersal (remang). Hal ini di duga disebabkan penggunaan jenis umpan ikan demersal lebih menarik akibat bau yang khas (anyir), selain itu bubu bermulut dua memiliki peluang masuknya ikan lebih tinggi
55 dan lama perendaman satu hari memberikan peluang bagi ikan untuk lolos yang lebih kecil daripada bubu yang direndam selama tiga hari. Berdasarkan hasil Analisis Ragam yang dilakukan terhadap lama perendaman dan jenis bubu pada ikan tambangan (Lutjanus johni), diperoleh nilai F hitung pada perlakuan lama perendaman sebesar 14,81 dan kelompok jenis bubu sebesar 0,38. Nilai F hitung perlakuan lama perendaman lebih besar dari F Tabel 5% (tingkat kepercayaan 95%) sebesar 9,28, sedangkan F hitung kelompok jenis bubu lebih kecil dari F Tabel 5% sebesar 10,13. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat nyata antara lama perendaman terhadap hasil tangkapan ikan tambangan, meskipun jenis bubu tidak. Lama perendaman empat hari sangat berbeda nyata dengan lama perendaman dua, tiga dan lima hari. Karena bubu bambu dengan lama perendaman empat hari memiliki produktivitas yang lebih tinggi dan berbeda sangat nyata dengan lama perendaman lainnya (walaupun jenis bubu tidak), maka bubu bambu dengan lama perendaman empat hari merupakan pilihan yang tepat untuk menangkap ikan tambangan. Berdasarkan analisis ragam, jenis bubu tidak beda nyata terhadap hasil tangkapan pada kedua jenis ikan (ikan kakap merah dan tambangan). Namun berdasarkan scatter plot pada Gambar 25, menunjukkan bahwa ikan kakap merah banyak tertangkap dengan bubu jaring pada seluruh lama perendaman. Di sisi lain, scatter plot pada Gambar 26 menunjukkan bahwa ikan tambangan banyak tertangkap pada bubu jaring dengan lama perendaman tiga hari, sedangkan pada lama perendaman empat hari ikan tambangan banyak tertangkap pada bubu bambu. Dalam hal ini, terjadi perbedaan antara hasil analisis ragam pada jenis bubu dan scatter plot pada hasil tangkapan bubu. Analisis ragam hasil tangkapan ikan kakap merah dan tambangan pada kedua jenis bubu tidak berbeda nyata nyata, namun hasil scatter plot yang dilakukan ternyata jenis bubu menunjukkan perbedaan yang nyata dalam menangkap ikan kakap merah dan tambangan. Hal ini diduga karena pada analisis statistik menggunakan selang kepercayaan data sebesar 95%, terdapat sisa 5% yang masih dapat diterima/ditoleransi sehingga tidak terjadi perbedaan antara kedua jenis bubu, sedangkan pada scatter plot digunakan data sebanyak 100% yang diplotkan pada grafik sehingga
56 mencerminkan hasil yang sesungguhnya. Hal inilah yang diduga menyebabkan scatter plot lebih akurat daripada analisis ragam yang dilakukan secara statistik. 5.3 Pendapatan Usaha 5.3.1 Harga Ikan Hasil tangkapan bubu selama penelitian, baik pada bubu bambu maupun bubu jaring dengan perbedaan lama perendaman (dua, tiga, empat dan lima hari), diperoleh ikan/udang yang seluruhnya masih dalam kondisi hidup (saat hauling). Oleh karena itu, maka seluruh hasil tangkapan bubu dengan bobot minimal 450 gr/individu secara rutin dimanfaatkan oleh agen untuk di ekspor ke Singapura dan Malaysia. Harga suatu produk perikanan merupakan tujuan utama kegiatan penangkapan ikan di laut dan perairan umum. Harga produk perikanan yang tinggi merupakan salah satu alasan bagi nelayan untuk menangkap produk tersebut. Demikian halnya terjadi pada nelayan bubu di Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak dimana ikan yang menjadi tujuan penangkapan adalah ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus), ikan tambangan (Lutjanus johni), ikan gerotgerot (Pomadasys sp), yang mempunyai harga jual relatif tinggi (genus Lutjanus) dibandingkan jenis ikan demersal lainnya. Selain itu juga diperoleh hasil samping yang juga dimanfaatkan oleh agen, yaitu ikan kerapu (Epinephelus tauvina) dan udang barong (Panulirus sp.). Walaupun merupakan hasil sampingan, namun ikan kerapu dan udang barong memiliki harga jual yang cukup tinggi, terlebih udang barong yang mempunyai harga jualnya paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari harga jual genus Lutjanus (Rp. 40.000,-/kg, Lampiran 8). Selain itu, apabila udang barong pada kondisi masih hidup harganya akan jauh lebih tinggi lagi daripada kondisi mati, yaitu sekitar Rp. 140.000,-/kg. Dengan harga udang barong yang sangat tinggi tersebut hendaknya menjadikan salah satu alasan bagi nelayan untuk berusaha agar udang barong tetap hidup. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh nelayan agar udang barong tetap hidup adalah dengan menampung udang di dalam bak dan diberi aerator (Hartati et al., 2004), sehingga walaupun udang barong sebagai by catch hanya sebesar 2% (3.100 gr) namun dapat memberikan nilai jual yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan nilai jual udang barong yang telah mati. Artinya dengan
57 menambahkan sedikit usaha (pemakaian bak dan aerator) maka hasil yang akan diperoleh menjadi maksimal (nilai jual tinggi). Tabel 8 menunjukkan bahwa berat total hasil tangkapan bubu bambu dan bubu jaring sebesar 157.350 gr, namun dari berat total tersebut sebesar 87,1% (137.050 gr) saja yang dimanfaatkan oleh agen. Hal ini terjadi karena hasil tangkapan yang akan dimanfaatkan oleh agen untuk di ekspor ke Singapura dan Malaysia, sehinggga hanya hasil tangkapan dengan bobot yang cukup (minimal 450 gr/individu) yang dimanfaatkan, sedangkan ikan lain yang tidak mencapai bobot tersebut, lebih banyak dimanfaatkan sendiri oleh nelayan sebagai pangan bersama keluarganya. Agen melakukan kegiatan ekspor hasil tangkapan bubu ke Singapura dan Malaysia disebabkan agen memiliki kemampuan materi dan jaringan yang luas. Sulit bagi nelayan untuk dapat meningkatkan distribusi/alokasi hasil tangkapan untuk tujuan pasar ekspor karena tidak memiliki materi dan jaringan tersebut. Untuk menyediakan kebutuhan melaut saja (biaya per trip) seperti solar, oli, minyak tanah, bahan makanan dan rokok, seluruhnya dipenuhi/disiapkan Toke, nelayan hanya melakukan kegiatan penangkapan ke laut. Alur distribusi hasil tangkapan dapat dilihat pada Gambar 29.
Biaya per trip
Nelayan
Hasil tangkapan
Toke
Kebutuhan lokal
Agen/Pengumpul
Kebutuhan ekspor
Gambar 29 Alur distribusi hasil tangkapan bubu di lokasi penelitian.
58 5.3.2 Penerimaan Bobot total hasil tangkapan pada kedua jenis bubu selama penelitian sebesar 157.350 gr, sedangkan yang dimanfaatkan oleh agen sebesar 87,1% (137.050 gr). Nilai penjualan total hasil tangkapan pada bubu bambu yang dimanfaatkan oleh agen sebesar Rp. 1.450.500, sedangkan pada bubu jaring sebesar Rp. 1.339.500. Penerimaan per trip pada kedua jenis bubu dengan perbedaan lama perendaman secara lengkap dapat di lihat pada Lampiran 8. Pada penelitian yang dilakukan menggunakan sebanyak 24 unit bubu. Masing-masing perlakuan (lama perendaman) menggunakan enam unit bubu, terdiri dari tiga unit bubu bambu dan tiga unit bubu jaring. Penerimaan dari hasil tangkapan yang diperoleh pada masing-masing perlakuan tersebut dibedakan antara bubu bambu dan bubu jaring, sehingga penerimaan tersebut merupakan hasil tangkapan dari tiga unit bubu per tripnya, dan hal ini tidak pernah dilakukan oleh nelayan bubu di Mempawah Hilir (sekali trip penangkapan hanya untuk mengangkat tiga unit bubu). Selama ini nelayan bubu di Mempawah Hilir dalam sekali trip penangkapan minimal mengangkat 12 unit bubu bahkan lebih hingga 20 unit bubu. Hal ini dilakukan agar hasil tangkapan dapat menguntungkan, dan hal ini pula yang menyebabkan pada perhitungan penerimaan dalam sekali trip dilakukan berdasarkan minimal 12 unit bubu yang diangkat, sehingga hasil tangkapan tiga unit bubu dikalikan dengan empat (12 unit bubu). Informasi yang diperoleh dari pemilik kapal (toke) bahwa selama ini operasi penangkapan bubu di Mempawah Hilir masih menguntungkan. 5.3.3 Pendapatan Usaha Keberlanjutan atau pengembangan unit usaha perikanan bubu di Mempawah Hilir dapat dicapai dengan memanfaatkan secara efisien dan efektif sumberdaya dan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang ada secara optimal, perlu didukung dengan analisis pendapatan usaha. Pendapatan usaha tergantung dari besarnya biaya yang dikeluarkan selama operasi penangkapan dan harga ikan yang berdampak pada tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Tabel 10 memperlihatkan bahwa nilai R/C Ratio terbesar 3,76 pada bubu bambu dengan lama perendaman empat hari, diikuti oleh bubu jaring dengan lama perendaman empat, tiga dan lima hari masing-masing sebesar 2,33, 1,58 dan 1,04.
59 Ini berarti bahwa usaha perikanan bubu bambu dengan lama perendaman empat hari dan bubu jaring dengan lama perendaman tiga, empat dan lima hari layak dilanjutkan atau dikembangkan usahanya, sedangkan yang lainnya tidak layak dikembangkan. Telah diketahui sebelumnya bahwa produktivitas hasil tangkapan ikan kakap merah pada bubu jaring dengan lama perendaman dua hari lebih tinggi daripada lama perendaman lain dan jenis bubu bambu. Namun ternyata nilai R/C Ratio bubu jaring dengan lama perendaman dua hari hanya sebesar 0,14, sehingga dapat dikatakan bahwa bubu jaring dengan lama perendaman dua hari telah mengalami kerugian atau tidak layak dikembangkan. Di sisi lain, bubu bambu dengan lama perendaman empat hari memiliki produktivitas yang tinggi dan berbeda sangat nyata dengan lama perendaman lainnya. Hal ini juga di dukung oleh nilai R/C Ratio sebesar 3,76 sehingga dapat dikatakan bahwa bubu bambu dengan lama perendaman empat hari masih memberikan keuntungan dan layak dikembangkan.