38
6 PEMBAHASAN
6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna Berdasarkan data statistik Palabuhanratu tahun 1997-2011, hasil tangkapan Yellowfin Tuna mengalami fluktuasi.
Jika dilihat berdasarkan data hasil tangkapan
perbandingan jumlah hasil tangkapan pada tahun 1997 dengan tahun 2011 mengalami perbedaan yang sangat jauh. Pada tahun 1997 jumlah hasil tangkapan sebesar 393.246 kg, sedangkan tahun 2011 sebesar 1.069.438 kg. Tahun 1997 data hasil tangkapan seluruh jenis tuna masih dijadikan satu data sehingga jika dilakukan perbandingan antara 3 jenis tuna yang didaratkan di Palabuhanratu maka untuk jenis tuna Yellowfin akan mengalami jumlah yang lebih sedikit dari jumlah total hasil tangkapan tuna yang didaratkan di Palabuhanratu pada tahun 1997.
Jika dilakukan perbandingan antara jumlah hasil
tangkapan pada tahun 1997 dengan tahun 2011 maka dapat dikatakan bahwa hasil tangkapan tuna mengalami peningkatan.
Peningkatan ini disebabkan karena mulai
berkembang dan meningkatnya jumlah alat tangkap untuk menangkap tuna. Menurut data statistik PPN Palabuhanratu alat penangkap tuna mulai berkembang pada tahun 2003 dan 2004 seperti alat tangkap tonda dan long line. Tetapi untuk hasil tangkapan Yellowfin Tuna tidak bisa hanya dilakukan perbandingan antara tahun 1997 dengan 2011 saja tetapi harus dilihat pertahunnya agar terlihat perkembangan dari hasil tangkapan. Tahun 1997 hasil tangkapan tuna sebesar 393.246 kg, kemudian mengalami penurunan terus menerus selama empat tahun yaitu pada tahun 1998-2001, sehingga pada tahun 2001 hasil tangkapan tuna menjadi 86.183 kg (-17,63%). Data tersebut untuk seluruh jenis tuna, jadi ketika dilakukan perbandingan kembali untuk tiga jenis tuna yang didaratkan maka untuk Yellowfin Tuna berada pada jumlah yang lebih sedikit atau dapat dikatakan mengalami penurunan yang cukup tinggi. Tahun 2002 jumlah hasil tangkapan tuna mengalami peningkatan menjadi 177.926 kg (106,45%). Data tuna pada tahun 2003 sudah dibagi berdasarkan jenisnya sehingga mulai tahun 2003 bisa terlihat fluktuasi dari hasil tangkapan Yellowfin Tuna.
Tahun 2003-2005 hasil tangkapan Yellowfin Tuna
mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2003 sebesar 178.089 kg (0,09%) sedangkan pada tahun 2005 menjadi 1.495.105 kg (132,99%). Tetapi pada tahun 2006-2009 yaitu selama empat tahun hasil tangkapan Yellowfin Tuna mengalami penurunan hingga menjadi 542.584 kg atau -8,12% (tahun 2009). Kemudian pada tahun 2010 hasil
38
39
tangkapan mengalami peningkatan menjadi 1.730.949 kg (219,02%), tetapi peningkatan ini tidak bertahan lama karena pada tahun 2011 langsung mengalami penurunan menjadi 1.069.438 kg (-38,22%). Fluktuasi produksi hasil tangkapan Yellowfin Tuna terjadi pula di Kabupaten Pacitan. Menurut Ma’arif (2011) data produksi tuna di Kabupaten Pacitan dari tahun 2006-2009 terus mengalamipeningkatan. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 20062007, yaitu sebesar1.453,58%. Data terbaru tahun 2010 memperlihatkan bahwa produksi tuna mengalami penurunan yaitu sebesar 5,84%. Jumlah produksi tuna di Pacitan tahun 2009 adalah sebesar 1.688.588 kg dan tahun 2010 sebesar 1.589.989 kg. Selain itu, di PPN Prigi Trenggalek Jawa Timur, produksi hasil tangkapan tuna mengalami fluktuasi pula.
Produksi hasil tangkapan tuna di PPN Prigi cenderung
mengalami penurunan dari tahun 2000 sampai 2010. Penurunan terjadi pada tahun 20002003 (dari 508 ton menjadi 138 ton), 2005-2008 (dari 1.179 ton menjadi 323 ton) dan 2009-2010 (dari 691,9 ton menjadi 503,3 ton). Sedangkan peningkatan produksi tuna hanya terjadi pada tahun 2004 (sebesar 560 ton), 2005 (sebesar 1.179 ton) dan 2009 (sebesar 691,9 ton) (Ross 2011). Produksi hasil tangkapan yang menurun dapat disebabkan adanya variabilitas parameter oseanografi dan curah hujan sehingga Yellowfin Tuna harus beradaptasi dengan lingkungan perairan. Karena variabilitas parameter oseanografi dan curah hujan berkaitan erat dengan lingkungan perairan yang menyebabkan perubahan biologis ikan dan akhirnya mempengaruhi perekrutan, pertumbuhan dan perilaku penangkapan ikan. Selain itu, pola migrasi Yellowfin Tuna erat dengan kondisi laut yang sesuai dengan habitat fisik seperti suhu dan sumber makanan yang memadai. Menurut Miller (2007) climate variability berdampak nyata pada kelimpahan, konsentrasi, lokasi dan penangkapan sumberdaya tuna. 6.2 Komposisi Ukuran Yellowfin Tuna Yellowfin Tuna merupakan salah satu jenis tuna yang didaratkan di PPN Palabuhanratu. Jenis kapal perikanan yang digunakan untuk menangkap tuna di PPN Palabuhanratu ada beberapa macam yaitu kapal gillnet, kapal pancing ulur dan tonda, kapal purse seine dan kapal rawai tuna (long line), tetapi yang beroperasi pada saat melakukan penelitian adalah kapal tonda dan rawai tuna (long line). Jenis tuna yang banyak didaratkan pada saat penelitian adalah Yellowfin Tuna karena jenis kapal yang
39
40
sering beroperasi dan mendaratkan tuna setiap harinya adalah kapal tonda. Kapal tonda merupakan jenis kapal perikanan yang beroperasi hanya beberapa hari dengan hasil tangkapan utama adalah ikan tuna yang berada di lapisan permukaan perairan atau homogen. Ukuran Yellowfin Tuna yang banyak tertangkap di PPN Palabuhanratu berada pada selang panjang 102-110 cm sebanyak 80 ekor dan berat antara 8-24 kg sebanyak 235 ekor. Data length at maturity dan weigth at maturity yang digunakan adalah data menurut Nootmorn, Yakoh dan Kawises (2005) karena literatur tersebut merupakan length at maturity dan weigth at maturity terbaru dibandingkan dengan literatur lainnya. Berdasarkan data length at maturity Yellowfin Tuna terdapat 184 ekor (62,16%) ikan layak tangkap dan 112 ekor (37,84%) ikan tidak layak tangkap. Sedangkan untuk weigth at maturity terdapat 61 ekor (20,61%) ikan layak tangkap dan 235 ekor (79,39%) ikan tidak layak tangkap. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa Yellowfin Tuna yang banyak tertangkap sudah mencapai matang gonad 110 cm untuk panjang, tetapi untuk berat banyak yang belum mencapai matang gonad yaitu kurang dari 25 kg.
Pada
penelitian ini layak atau tidak layaknya Yellowfin Tuna untuk ditangkap berdasarkan dari ukuran panjang Yellowfin yaitu telah mencapai matang gonad dengan ukuran 110 cm. Hal ini dikarenakan Yellowfin Tuna pertama kali matang gonad dilihat berdasarkan ukuran panjang, yaitu 57 cm bukan berdasarkan ukuran berat (Yesaki 1983 diacu dalam Simbolon 2011). Data hasil lenght at maturity dan weight at maturity Yellowfin Tuna menunjukkan bahwa daerah penangkapan ikan sudah mulai tidak potensial karena meskipun berdasarkan data panjang ikan layak tangkap lebih banyak jumlahnya, tetapi selisihnya sedikit dengan jumlah ikan yang tidak layak tangkap.
Selain itu, data berat ikan
menunjukkan ikan tidak layak tangkap lebih banyak jumlahnya dibandingkan ikan yang layak tangkap dan memiliki selisih yang cukup tinggi. Keadaan yang hampir sama terjadi di Kabupaten Pacitan, karena menurut Ma’arif (2011) di Kabupaten Pacitan ikan yang tidak layak tangkap lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan ikan yang tidak layak tangkap. Yellowfin Tuna yang tidak layak tangkap sebanyak 102 ekor (68%), sedangkan yang layak tangkap sebanyak 48 ekor (32%). Hal yang serupa terjadi pula di Sadeng Yogyakarta, menurut Wiratama (2011) tuna yang didaratkan di Sadeng lebih besar jumlahnya yang tidak layak tangkap
40
41
dibandingkan dengan yang layak tangkap.
Jumlah
ikan yang tidak layak tangkap
sebanyak 148 ekor, sedangkan yang layak tangkap sebanyak 6 ekor.
Hal ini
menunjukkan bahwa daerah penangkapan ikan memang sudah mulai tidak potensial karena banyak ikan-ikan yang masih berukuran kecil atau belum matang gonad tertangkap oleh nelayan. Panjang dari mata pancing dapat menjadi salah satu faktor banyaknya ikan-ikan yang masih berukuran kecil tertangkap oleh nelayan, karena panjang mata pancing berhubungan erat dengan kedalaman suatu perairan. 6.3 Parameter Oseanografi dan Curah Hujan Parameter oseanografi yang diteliti adalah suhu permukaan laut, klorofil dan tinggi paras laut dengan pertambahan data curah hujan. Salinitas tidak diteliti pada penelitian ini karena untuk data salinitas perairan selama 15 tahun terakhir (1997-2011) NASA tidak memilikinya. Satelit yang digunakan NASA untuk salinitas masih terbilang baru dan untuk data salinitas tidak bisa digunakan untuk penelitian karena masih ada perbaikan setiap waktunya untuk data tersebut. Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh suhu permukaan laut tahun 1997 mengalami kondisi maksimum sebesar 29oC dan kondisi minimum sebesar 27oC, sedangkan tahun 2011 kondisi maksimum menjadi 30oC dan minimum sebesar 28oC. Klorofil-a pada tahun 1997 jumlah konsentrasinya mengalami kondisi minimum pada kisaran 0,17 mg/m3 dan kondisi maksimum berada pada kisaran 0,43mg/m3, sedangkan tahun 2011 kondisi minimum dan maksimum klorofil-a mengalami peningkatan yaitu menjadi 0,30 mg/m3 dan 0,47 mg/m3. Selain itu, peningkatan pun terjadi pada tinggi paras laut. Tahun 1997 tinggi paras laut mengalami kondisi maksimum sebesar 16 mm dan kondisi minimum sebesar -0,12 mm, sedangkan tahun 2011 kondisi maksimum dan minimum tinggi paras laut mengalami peningkatan yaitu menjadi 45 mm dan 24 mm. Selain itu, rata-rata curah hujan mengalami peningkatan pada tahun 2009 sebesar 191 mm dari tahun 1997 yang hanya 138 mm. Peningkatan yang terjadi pada klorofil-a mengindikasikan bahwa tingkat kesuburan perairan Indonesia cenderung meningkat sehingga akan mengakibatkan ikanikan pelagis kecil akan berkumpul disekitar perairan subur tersebut, dan secara tidak langsung maka akan menarik ikan-ikan pelagis besar seperti Yellowfin Tuna untuk berkumpul pada perairan yang sama. Selain itu, perubahan yang terjadi pada suhu akan mengakibatkan perubahan sumberdaya Yellowfin Tuna, karena Yellowfin Tuna akan
41
42
berada di suatu perairan yang memiliki suhu sesuai dengan habitatnya.
Menurut
o
Laevastu dan Hela (1970) habitat Yellowfin Tuna berada pada kisaran 18-31 C. Peningkatan parameter oseanografi yang terlihat lebih berpengaruh pada Yellowfin Tuna adalah tinggi paras laut, karena peningkatan tinggi paras laut akan berdampak pada kedalaman lapisan homogen perairan yang menjadi lapisan renang Yellowfin Tuna.
Semakin dalamnya lapisan homogen maka semakin panjang alat
tangkap atau pancing yang digunakan oleh nelayan. Alat tangkap atau pancing yang tidak disesuaikan dengan kedalaman lapisan homogen akan menyebabkan baby tuna atau tuna yang belum matang gonad tertangkap oleh nelayan. Penangkapan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi sumberdaya dari Yellowfin Tuna tersebut. Perubahan yang terjadi pada suhu permukaan laut akan berhubungan dengan curah hujan, karena ketika suhu permukaan laut berada pada kondisi hangat (anomali positif) maka akan menyebabkan berkurangnya curah hujan, dan sebaliknya ketika suhu permukaan laut pada kondisi dingin (anomali negatif) maka akan mengakibatkan meningkatnya curah hujan (NOAA 2000).
Kondisi ini berpengaruh kepada hasil
tangkapan Yellowfin Tuna karena Yellowfin akan berada di lingkungan perairan yang memiliki suhu sesuai dengan habitatnya.
6.4 Hubungan Parameter Oseanografi dan Curah Hujan dengan Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna Penyebaran Yellowfin Tuna dipengaruhi oleh parameter oseanografi.
Jumlah
Yellowfin di perairan dan upaya penangkapan akan berdampak kepada jumlah hasil tangkapan yang didaratkan. Sehingga peningkatan yang terjadi pada beberapa parameter oseanografi dan curah hujan akan berdampak kepada sumberdaya Yellowfin di perairan. Parameter oseanografi (suhu permukaan laut, klorofil-a dan tinggi paras laut) dan curah hujan dengan produksi hasil tangkapan dilakukan tahapan uji statistik yaitu uji normalitas, uji kolinearitas, koefisien keragaman dan analisis regresi linier berganda. Berdasarkan uji normalitas, hasil yang didapatkan seluruh variabel memiliki sebaran normal kecuali SPL (suhu permukaan laut). Hal tersebut terjadi karena SPL memiliki data yang relatif sama pada beberapa tahun yaitu tahun 2000-2009 sebesar 33oC, sedangkan untuk variabel klorofil-a, TPL dan curah hujan cenderung memiliki data yang
42
43
variatif selama 15 tahun. Uji kolinearitas terhadap parameter oseanografi dan curah hujan menunjukkan bahwa variabel tersebut tidak memiliki linier atau korelasi yang tinggi karena masing-masing variabel memiliki nilai VIF lebih kecil dari 10. Berdasarkan hasil koefisien keragaman, menunjukkan bahwa variabel yang memiliki tingkat keragaman tertinggi adalah TPL dengan nilai 59,19%, sedangkan tingkat keragaman terendah adalah SPL dengan nilai 6,10%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa variabilitas tertinggi terdapat pada variabel TPL sedangkan variabilitas terendah terdapat pada variabel SPL. Rendahnya koefisien keragaman dari SPL dapat disebabkan karena SPL memiliki variasi data yang sedikit, hal tersebut diperkuat dengan hasil uji normalitas yang dilakukan yaitu SPL memiliki sebaran yang tidak normal. Hubungan parameter oseanografi dan curah hujan dengan hasil tangkapan diketahui dengan menggunakan analisis statistik regresi linier berganda.
Hasil yang
didapatkan yaitu parameter oseanografi dan curah hujan berpengaruh signifikan terhadap hasil tangkapan karena memiliki p-value < 0,05 yaitu 0,012. Sehingga ketika terjadi perubahan pada parameter oseanografi dan curah hujan maka akan mempengaruhi jumlah produksi hasil tangkapan. Model regresi yang didapatkan adalah: Y = 2.470.429 – 112.793 X1 + 937.609 X2 + 36.936 X3+ 236 X4 Dimana, Y : Produksi Hasil tangkapan X1 : Suhu permukaan laut X2 : Klorofil-a X3 : Tinggi paras laut X4 : Curah hujan Nilai R2=69,6%, artinya besarnya tingkat hasil tangkapan 69,6% dipengaruhi oleh parameter oseanografi dan curah hujan dan sisanya 30,4% dipengaruhi oleh faktor lain atau error. Nilai R2 yang didapatkan < 80 %, hal ini disebabkan karena variabel X yang digunakan dan jumlah sampel yang didapat sedikit sehingga mempengaruhi dari nilai R2
43