7. PEMBAHASAN UMUM
7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Terdapat 3 komponen utama dalam kegiatan penangkapan ikan, yaitu 1) teknologi (sumberdaya manusia dan armada), 2) sumberdaya ikan, 3) lingkungan. Interaksi diantara ketiga komponen tersebut akan menentukan perkembangan status perikanan tangkap. Tidak ada kegiatan perikanan tangkap yang bersifat statis, dimana pada
umumnya perikanan akan berada dalam status belum berkembang dan
berkembang. Status belum berkembang merupakan keadaan dimana pemanfaatan sumberdaya ikan rendah, sedangkan status berkembang, pemanfaatan sumberdaya ikan meningkat dengan meningkatnya upaya penangkapan (Garcia et al. 1999). Dalam tahapan berkembang beragam tindakan dilakukan oleh pelaku usaha perikanan tangkap (nelayan) untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi. Tindakan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penangkapan dengan berbagai cara, antara lain penggunaan teknologi alat bantu penangkapan, merubah dimensi alat tangkap, meningkatkan jumlah hari operasi. Berbagai tindakan efisiensi operasi penangkapan ikan tersebut menciptakan peluang yang lebih besar untuk meningkatkan produksi ikan. Pada sumberdaya ikan, tekanan terhadap ketersediaan untuk perikanan juga akan semakin meningkat. Fungsi ekologi dan fisiologi dalam aktivitas ikan menyebabkan distribusi ikan tersebar secara terbatas di perairan, dimana terdapat lokasi tertentu yang memiliki konsentrasi ikan yang tinggi dibandingkan lokasi lainnya. Operasi penangkapan ikan akan dilakukan pada lokasi yang memiliki konsentrasi ikan yang tinggi, konsentrasi ikan yang tinggi berada pada perairan yang juga memiliki produktivitas biologi tinggi (Garcia et al. 1999; Jennings et al. 2001). Dampaknya akan terjadi intensitas penangkapan ikan yang tinggi pada lokasi penangkapan tertentu. Sehingga fluktuasi produksi ikan merupakan dampak dari intensitas penangkapan pada setiap wilayah perairan yang juga menunjukkan dinamika armada penangkapan (Hilborn 1985; Sadhatomo 1991; Atmaja dan Nugroho 2006).
175
Trend intensitas penangkapan di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan yang dievaluasi berdasarkan upaya penangkapan adalah gambaran intensitas kegiatan perikanan tangkap pada suatu wilayah perairan yang menjadi lokasi penangkapan.
Trend upaya penangkapan signifikan meningkat di setiap zona,
dimana zona A lebih besar dibandingkan zona B dan C. Upaya penangkapan rata-rata dalam kurun waktu tahun 1977-2006 di zona A sebesar 1 172 unit; zona B sebesar 622 unit; dan zona C sebesar 150 unit. Produksi rata-rata dalam kurun waktu tahun 1977-2006, di zona A sebesar 32 876,9 ton; zona B sebesar 7 906,6 ton; dan zona C sebesar 3 955,9 ton. Perbedaan jumlah upaya penangkapan dan produksi ikan mengindikasikan ketersediaan ikan pelagis kecil untuk perikanan di zona A lebih besar dibandingkan zona B dan C. Secara sederhana ketersediaan ikan pelagis kecil antara zona dapat diketahui. Pada zona B, upaya penangkapan sebesar 622 unit menghasilkan produksi sebesar 9 000 ton. Pada zona A dengan upaya penangkapan setara zona B mampu menghasilkan produksi ikan sebesar 25 000 ton. Pada zona C, total upaya penangkapan maksimal dalam kurun waktu tahun 1977-2006 sebesar 470 unit menghasilkan produksi 4 029,6 ton.
Pada zona A, setara dengan upaya
penangkapan di zona C merupakan jumlah upaya penangkapan minimal dan menghasilkan produksi sebesar 24 571,4 ton.
Perbandingan sederhana tersebut
menegaskan bahwa ketersediaan ikan pelagis kecil di zona A lebih besar dibandingkan zona B dan C. Trend menurun pada hubungan upaya penangkapan dengan CPUE, baik linear di zona A dan B, dan eksponensial di zona C mengindikasikan intensitas penangkapan di setiap zona cenderung mempengaruhi ketersediaan ikan pelagis kecil. Perubahan CPUE yang menurun akibat meningkatnya upaya penangkapan juga telah terjadi di berbagai perairan di Indonesia yang dapat menjadi pengalaman penting. Sebagai contoh Laut Jawa, salah satu wilayah perairan yang telah mengalami lebih tangkap akibat peningkatan upaya penangkapan. Perikanan pelagis kecil di Laut Jawa yang dianalisis mulai tahun 1976-1986 menunjukkan tingkat pengusahaan di perairan pantai telah mendekati maksimum, dimana jenis ikan pelagis kecil yang berada dekat pantai telah mengalami tekanan yang cukup tinggi dibandingkan jenis
176
ikan pelagis kecil yang bersifat oseanik (Nurhakim et al. 1995). Selanjutnya tahun 1983 nelayan pukat cincin mulai memperluas daerah penangkapan dan pada tahun 1998 biomassa ikan pelagis kecil di Laut Jawa telah mengalami penurunan sebesar 66% dari biomassa awal tahun 1976 dan hingga tahun 2004 biomassa ikan pelagis kecil terus mengalami penurunan. Selain perluasan daerah penangkapan juga menggunakan teknologi alat bantu penangkapan berupa rumpon dan lampu, dimana intensitas lampu yang digunakan dapat mencapai daya sebesar 20 000 watt (Atmaja dan Nugroho 2006). Contoh lainnya di Selat Malaka, dimana perikanan pelagis kecil telah fully exploited (Nurhakim et al. 2007). Kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil dengan pukat cincin berpangkalan di Tanjung Balai dan beroperasi di Selat Malaka, melakukan perluasan daerah penangkapan ikan sampai ke perairan Aceh Timur selama periode 2003-2005. Perluasan daerah penangkapan ikan dilakukan, karena perairan yang menjadi lokasi penangkapan selama ini, hasil tangkapan mulai berkurang. Perluasan daerah penangkapan ikan, selain meningkatkan tekanan upaya penangkapan, komposisi hasil tangkapan dominan juga berubah. Pada tahun 1997 jenis ikan pelagis kecil yang dominan tertangkap pukat cincin di Selat Malaka adalah jenis bayar dan kembung sebesar 56%. Pada periode tahun 2003-2004 jenis ikan yang dominan adalah layang sebesar 49%. Jenis ikan layang adalah ikan pelagis kecil yang bersifat oseanik, sedangkan jenis ikan kembung lebih dekat ke pantai (Hariati 2006). Perubahan produksi ikan pelagis kecil di Laut Jawa dan Selat Malaka adalah pelajaran penting untuk kegiatan perikanan tangkap pelagis kecil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Ketika efisiensi penangkapan dilakukan dengan merubah dimensi alat maupun kapal dan menambah kekuatan mesin, serta penggunaan alat bantu penangkapan akan menyebabkan kapasitas penangkapan meningkat. Namun ketika kapasitas penangkapan meningkat tanpa memperhatikan potensi produksi ikan pelagis kecil, maka kasus Laut Jawa dan Selat Malaka akan terjadi di semua perairan yang merupakan lokasi penangkapan termasuk kawasan perairan zona A, perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Jika memperhatikan kondisi perairan, perairan pantai
177
barat Sulawesi Selatan pada zona A, Laut Jawa dan Selat Malaka memiliki kemiripan, yaitu berada pada bagian paparan benua (continental shelf) yang relatif dangkal. Wilayah continental shelf merupakan wilayah distribusi ikan pelagis kecil (Longhutst dan Pauly 1987; Widodo 1997). Kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan dilakukan oleh berbagai jenis alat tangkap, namun dari upaya penangkapan dan produksi, terdapat alat tangkap yang dominan di setiap zona, yaitu payang, pukat cincin, dan bagan perahu. Pola operasi unit penangkapan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan adalah one day trip. Struktur armada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa dicirikan oleh pukat cincin, baik ukuran kecil maupun besar. Pukat cincin berukuran besar (large seiners) mampu beroperasi sampai ke Selat Makassar (Januari-April) dan Laut Cina Selatan (Mei-Juni) dan pada bulan Agustus kembali terkonsentrasi di Laut Jawa (Potier dan Petit 1995). Pergerakan pukat cincin besar di Laut Jawa bergerak bebas mengikuti pergerakan migrasi ikan layang, sehingga terjadi perluasan daerah penangkapan ikan. Kemampuan pergerakan pukat cincin Laut Jawa didukung oleh armada yang mampu berada di laut 8-10 hari.
Tidak terdapat
pergeseran operasi penangkapan dari selatan ke utara atau sebaliknya di perairan pantai barat Sulawesi Selatan, sebagaimana yang dilakukan pukat cincin besar Laut Jawa yang melakukan pergeseran timur ke barat dan sebaliknya.
Pola operasi
penangkapan ikan pelagis kecil antara Laut Jawa dan perairan pantai barat Sulawesi Selatan dalam perspektif ekologi, yaitu konsep pemangsaan, dimana alat tangkap adalah predator akan memburu mangsanya dengan bergerak bebas dikemukakan oleh Gillis dan Peterman (1998); Jennings et al. (2001); Gillis (2003); Walters dan Martell (2004); Hilborn (2007). Dari perspektif ekologi tersebut dapat dipahami mengapa dinamika armada penangkapan ikan berbeda pada setiap wilayah perairan. Evaluasi tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil yang dilakukan pada akhir tahun 1970-an (Dwiponggo 1983), DKP-LIPI (2001), dan Nurhakim et al. (2007) menyimpulkan tingkat pemanfaatan ikan pelagis di Selat Makassar, Sulawesi Selatan, telah maksimum atau moderate. Jika memperhatikan kajian tersebut dengan hasil penelitian ini yang juga menunjukkan status perikanan pelagis kecil di zona A dan B
178
telah mencapai optimum. Apakah status fully exploited atau over explioited tidak akan terjadi di perairan pantai barat Sulawesi Selatan, karena secara alami akan terjadi penyesuaian, baik upaya penangkapan ikan maupun sumberdaya ikan pelagis kecil. Sulit untuk memastikan karena membutuhkan kajian ekologi, biologi dan ekonomi yang tidak dilakukan dalam penelitian ini, agar secara komprehensif dapat menjawab status perikanan pelagis kecil di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Namun yang dapat dilakukan adalah mempertahankan upaya penangkapan di setiap zona sebagaimana hasil analisis dalam penelitian ini. Perikanan pelagis kecil di zona C mempunyai keunikan karena karakteristik pantai yang terbuka dengan topografi kedalaman yang berbeda dari perairan pantai di zona A dan B. Pada perairan zona C dominan ikan layang, sehingga perikanan ikan pelagis kecil di zona C cenderung multispesies terbatas. Seyogianya akan lebih mudah untuk melakukan tindakan pengelolaan. Merujuk pada kesimpulan penelitian Najamuddin (2004) tingkat pemanfaatan ikan layang di Mamuju sebesar 27,32% dan Majene 77,52% (kedua daerah ini adalah zona C dalam penelitian ini). Pemanfaatan ikan layang di perairan zona C secara umum masih dapat dikembangkan namun seharusnya lebih dikonsentrasikan pada daerah Mamuju. Namun perubahan tahunan CPUE ikan pelagis kecil yang lebih besar di zona C dibandingkan zona A dan B perlu mendapat perhatian lebih konprehensif khususnya keadaan stok ikan pelagis kecil. Pertimbangan ini perlu dilakukan mengingat kawasan perairan zona C saat ini sudah menjadi wilayah pemekaran provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Barat. Kecenderungan selama ini dalam wilayah administrasi baru adalah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pemanfaatan sumberdaya alam. Status perikanan pelagis kecil di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan yang dipetakan menggunakan kurva produksi surplus, cenderung ke arah kanan kurva. Pemetaan dengan kurva produksi lestari, zona A dan B sudah mencapai titik optimum dibandingkan zona C. Status perikanan tangkap pelagis kecil tersebut mengindikasikan intensitas penangkapan ikan di setiap zona berbeda. Status perikanan di setiap zona memberikan perhatian kepada pengelola perikanan dalam hal ini adalah sehubungan dengan pembangunan perikanan untuk meningkatkan
179
produksi ikan dari kegiatan penangkapan ikan. Misalnya di zona B, jika pemberian insentif hanya berdasar pada trend produksi yang signifikan meningkat dalam kurun waktu tahun 1977-2006, maka dapat terjadi kekeliruan. Skala produksi perikanan berdasarkan kurva surplus di zona B, berada pada 8 000 ton, dengan upaya penangkapan 600 unit.
Dengan demikian jika insentif diberikan melebihi skala
perikanan di zona B dapat berdampak terhadap produktivitas penangkapan, baik nelayan maupun sumberdaya ikan pelagis kecil. Demikian juga skala perikanan di zona C yang menunjukkan status perikanan yang belum mencapai optimum, namun harus memperhatikan gejala trend CPUE dan hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan. Trend CPUE di zona C menunjukkan perubahan tahunan yang lebih besar dibandingkan zona A dan B sebagaimana koefisien regresi, demikian juga trend hubungan CPUE dengan upaya penangkapan yang menunjukkan koefisien regresi yang lebih besar dibandingkan zona A dan B. Perbedaan ekosistem di perairan pantai barat Sulawesi Selatan juga berdampak terhadap kegiatan perikanan tangkap pelagis. Dampak tersebut sebagaimana dinamika hasil tangkapan dalam kurun waktu 30 tahun (1977-2006), sehingga status perikanan pelagis kecil di zona A, B, dan C berbeda.
Ikan pelagis kecil merupakan unit
fungsional dalam suatu ekosistem, namun setiap spesies yang menyusun masingmasing komunitas pada suatu ekosistem berbeda sesuai daerah geografik (Odum 1994; Nybakken 1982). Secara geografis semakin tinggi lintang, maka suhu juga semakin meningkat (Longhurst dan Pauly
1987), sehingga dalam hubungan
fungsional dengan faktor lingkungan merupakan pembatas distribusi ikan pelagis kecil pada suatu kawasan perairan. Hubungan fungsional tersebut yang menyebabkan adanya perbedaan pada setiap zona, dimana besarnya produksi di zona A dibandingkan zona B dan C, mengindikasikan ketersediaan ikan yang berbeda akibat hubungan fungsional sebagaimana tersebut di atas.
Dengan demikian kegiatan
perikanan tangkap yang ditentukan oleh ketersediaan ikan, dalam pengembangannya harus mempertimbangkan kawasan dengan ekosistem yang berbeda.
Sebagai
gambaran, jika kondisi perikanan pelagis kecil di zona A diterapkan pada zona C yang dianggap belum optimum tanpa mempertimbangkan prinsip kehati-hatian maka
180
dapat menyebabkan perikanan pelagis kecil di zona C akan mengarah pada perikanan lebih tangkap. 7.2 Pola Distribusi dan Kelimpahan Ikan Pelagis Kecil Perairan pantai barat Sulawesi Selatan merupakan perairan Selat Makassar dengan sistim arus utama mengalir dari utara ke selatan, namun pada bagian selatan di lapisan permukaan pergerakan massa air dipengaruhi munson. Ketika munson barat aliran massa air berasal dari Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, sedangkan pada munson timur aliran massa air berasal dari Laut Banda. Aliran massa air pada lapisan permukaan Selat Makassar berkorelasi dengan arah angin regional, dimana pada saat munson barat aliran massa dari Laut Jawa bergerak ke arah timur dengan salinitas rendah dan klorofil rendah mempengaruhi keadaan fisik lapisan permukaan Selat Makassar pada bagian selatan, sedangkan pada bulan Juli hingga September aliran massa air berasal dari Laut Banda dengan salinitas tinggi dan klorofil tinggi (Masumoto dan Yamagata 1993; Gordon et al. 2003; Gordon 2005). Pola aliran massa air di Selat Makassar akan mempengaruhi terhadap keadaan biofisik perairan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Kondisi biofisik perairan dalam penelitian ini adalah suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil. SPL dan klorofil merupakan variabel utama yang mempengaruhi aktivitas ikan (Nybakken 1982). Suhu dapat digunakan untuk mendeterminasi distribusi ikan, serta mempengaruhi pertumbuhan larva (Laevastu dan Hayes 1981; Peltonen et al. 2007; Martin et al. 2008). Klorofil adalah indikator produktivitas primer berkaitan dengan rantai makanan, dimana ikan pelagis kecil umumnya pemakan plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton (Grahame 1987; Odum 1994; Nybakken 1982; Gaol et al. 2004; Fréon et al. 2005; Peltonen et al. 2007; Martin et al. 2008). Penggunaan skala waktu yang berbeda dalam analisis hubungan SPL dan klorofil dengan aspek perikanan (produksi, produktivitas, dan densitas), karena respon ikan tidak terjadi sesaat terhadap perubahan SPL dan klorofil, tetapi dapat saja respon ikan dapat terjadi kemudian, sebagai akibat, misalnya klorofil hubungannya dengan rantai makanan. Ikan pelagis kecil memiliki mobilitas tinggi dan cenderung terkonsentrasi pada area yang sesuai dengan kebutuhan kondisi
181
lingkungan (Fréon et al. 2005). Dalam batas tertentu, prilaku ikan dapat berubah sebagai respons terhadap fluktuasi kondisi lingkungan (Agenbag et al. 2003). Analisis produksi, produktivitas, dan densitas hubungannya dengan fluktuasi SPL dan klorofil dilakukan pada setiap zona, karena setiap zona memiliki keunikan ekosistem, selain itu penyebaran ikan tidak terbatas pada areal yang sempit. Perubahan kondisi oseanografi di perairan Indonesia di pengaruhi munson, sehingga akan terjadi perubahan yang tetap dalam setahun, namun setiap perairan memiliki variasi perubahan yang berbeda (Birowo, 1982). Sebagaimana di zona A, Selat Makassar pada bagian selatan di pengaruhi munson, sedangkan zona C sepanjang tahun massa air mengalir secara tetap dari utara ke selatan (Birowo 1982; Nontji 1987; Masumoto dan Yamagata
1993). Keunikan ekosistem, dimana variasi
perubahan SPL dan klorofil di setiap zona berbeda sebagaimana ditunjukkan koefisien keragaman dan hasil citra satelit berdasarkan analisis GIOVANNI (Lampiran 14 dan 15). Keunikan ekosistem dalam kesatuan geografi menjadi penting untuk menganalisis kawasan perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Variasi perubahan SPL dan klorofil-a harus dapat didefinisikan agar dengan tepat dapat mengklarifikasi hubungannya dengan kelimpahan ikan pada suatu wilayah perairan. Berbagai penelitian sebelumnya yang memanfaatkan data citra satelit untuk mendefinisikan perubahan kondisi oseanografi hubungannya dengan kelimpahan ikan di berbagai perairan Indonesia, selama ini dilakukan dengan menggunakan parameter statistik mean, antara lain dilakukan oleh Rahardjo et al. (1998), Halid et al. (2004), Gaol et al. (2004), Hendiarti et al. (2005), Amri et al. (2006), Almuas dan Jaya (2006), Anggraini (2008), Amri (2008). Selain itu variasi data perubahan kondisi oseanografi seharusnya juga dapat didefinisikan menggunakan parameter statistik lainnya, baik ukuran pemusatan data maupun ukuran penyebaran data. Penggunaan mean untuk mendefinisikan serangkaian data tentu mempunyai keunggulan, yaitu sifat objektif dari individu berlainan akan dihasilkan nilai yang sama.
Namun
kelemahan mean adalah mudah dipengaruhi oleh nilai ekstrim, baik besar maupun kecil (Budiyuwono 1995).
Dengan demikian penggunaan berbagai parameter
statistik lainnya penting diketahui, sehingga dapat diketahui parameter statistik yang
182
tepat untuk digunakan dalam mengklarifikasi fluktuasi SPL dan klorofil hubunganganya dengan kelimpahan ikan. Khususnya dalam mengevaluasi perubahan dalam suatu kawasan perikanan yang luas dan dalam jangka waktu yang panjang. Analisis menggunakan grafik biplot dengan mengkategorikan keberadaan ikan pada tinggi dan rendahnya SPL digunakan untuk mengetahui respon ikan yang juga dapat digunakan dalam peramalan daerah penangkapan ikan dengan cara yang cepat. Sebagaimana di zona A, parameter statistik ukuran pemusatan data mean, median, dan modus pada skala waktu musim menunjukkan keberadaan ikan berdasarkan produktivitas berada pada SPL rendah sampai tinggi dengan klorofil rendah (tipe 10). Tipologi ini mengindikasikan bahwa untuk zona A, tingginya klorofil tidak selalu dapat diasosiasikan dengan keberadaan ikan yang banyak. Hasil analisis korelasi pada skala waktu kuartal kategori kalender di zona A, signifikan kelimpahan ikan dengan fluktuasi SPL dengan produktivitas, sedangkan di zona B kelimpahan ikan signifikan dengan fluktuasi klorofil. Pada skala waktu kuartal kategori musim, kelimpahan ikan di zona A signifikan dengan fluktuasi SPL dan klorofil yang diklarifikasi dengan parameter statistik modus dan produktivitas. Pada skala waktu kuartal kategori musim, kelimpahan ikan di zona B signifikan dengan fluktuasi klorofil. Perbedaan signifikan antara skala waktu kuartal kategori kalender dan musim pada zona A, mengindikasikan adanya perbedaan respons ikan terhadap variasi fluktuasi SPL dan klorofil.
Respons ikan terhadap perubahan
lingkungan untuk menyesuaikan peran fungsional dalam suatu ekosistem, jika tidak sesuai atau tidak dapat menyesuaikan, maka ikan akan mencari habitat yang sesuai dengan kebutuhan atau peran fungsionalnya (Odum 1994; Laevastu dan Hayes 1981; Agenbag et al. 2003). Tataran dalam peran fungsional ikan pelagis kecil pada suatu ekosistem berkaitan dengan tingkatan tropik. Sebagaimana kesimpulan penelitian Hatta (2010), bahwa biomassa pada populasi plankton tidak dapat secara efektif langsung dimanfaatkan oleh ikan omnivor dan ikan karnivor, sehingga harus melewati ikan planktivor. Penelitian tingkatan tropik tersebut dilakukan pada bagan rambo yang di operasikan pada perairan Barru.
Kategori ikan planktivor adalah ikan teri dan
183
tembang, sedangkan ikan omnivor adalah pepetek, layang, dan kembung.
Dari
penelitian tersebut menunjukkan dalam lokasi yang terbatas setiap spesies memiliki peran fungsional yang berbeda, dimana dalam setiap tingkatan tropik ada proses yang terjadi. Dengan demikian hubungan dengan signifikansi SPL dan klorofil pada skala waktu yang berbeda, karena adanya peran fungsional dalam tingkatan tropik, dimana tinjauan tersebut tidak dilakukan dalam penelitian ini. Fluktuasi kelimpahan ikan di laut adalah fenomena
umum, karena ikan
cenderung berada atau terkonsentrasi pada kondisi lingkungan sesuai aktivitas, dimana faktor lingkungan ikan berkaitan dengan faktor biologi dan nonbiologi (Rounsefell 1975; Laevastu dan Hayes 1981; Nybakken 1982). Penentuan kelimpahan ikan digunakan data hasil tangkapan, karena unit penangkapan ikan akan beroperasi pada lokasi atau area dimana ikan terkonsentrasi.
Namun teori
penangkapan juga menunjukkan populasi ikan akan berubah dengan meningkatnya upaya penangkapan. Sehingga fluktuasi populasi ikan merupakan fungsi dari besaran populasi dan kapasitas lingkungan. Kapasitas lingkungan berkaitan dengan rekruitmen dan mortalitas alami, dimana kesimbangan populasi akan berubah dengan meningkatnya intensitas penangkapan (Sette 1961 dalam Rounsefell 1975). Kompleksitas dalam mekanisme ekosistem untuk menilai signifikansi perubahan kondisi oseanografi dengan kelimpahan ikan harus dilakukan pada kawasan yang memiliki intensitas penangkapan ikan yang relatif tinggi. Intensitas penangkapan tinggi sebagaimana zona A, mengindikasikan kestabilan hubungan kelimpahan ikan dengan fluktuasi perubahan lingkungan. Selain itu evaluasi hubungan kelimpahan ikan dengan fluktuasi perubahan biofisik lingkungan seharusnya dilakukan dengan pendekatan kawasan, karena perubahan kondisi biofisik lingkungan laut berkaitan dengan sirkulasi massa air. Seperti zona A dan B, walaupun berada pada aliran massa air Selat Makassar yang mengalir dari utara ke Selatan, di lapisan permukaan di pengaruhi munson. Dengan demikian kajian dalam penelitian ini dapat menjadi acuan untuk mengamati kegiatan perikanan tangkap pada kondisi ekosistem yang berbeda kaitannya dengan perubahan kondisi oseanografi. Penelitian ini juga memperlihatkan
184
pentingnya mendefinisikan perubahan kondisi oseanografi menggunakan parameter statistik dengan pendekatan skala waktu yang berbeda. Selain itu resolusi data juga penting menjadi perhatian, misalnya data produksi ikan dalam bulanan akan lebih baik untuk mendefinisikan perubahan kondisi oseanografi. sehingga perubahan keberadaan atau distribusi ikan pelagis kecil dapat terpantau untuk kepentingan tindakan pengelolaan perikanan tangkap. Dengan demikian perubahan dalam kegiatan perikanan tangkap, baik karena upaya penangkapan maupun kondisi oseanografi dapat dievaluasi guna tindakan pengelolaan perikanan tangkap. Akhir-akhir ini perubahan iklim menjadi perhatian dunia termasuk dampaknya terhadap perikanan (Barange 2002; Brander 2007; Syahailatua 2008). Selain trend, para peneliti memfokuskan monitoring terhadap anomali dari parameter lingkungan, misalnya suhu dan curah hujan. Anomali tersebut dipahami sebagai penyimpangan nilai rata-rata. Dalam penentuan pola distribusi ikan dikaitkan dengan SPL dan klorofil, penelitian ini menggunakan pendekatan sederhana yaitu dengan menerapkan 2 kategori hasil pengukuran relatif tinggi dan rendah, sehingga menghasilkan 11 tipologi (Gambar 52, hal 122). Penelitian selanjutnya dapat menerapkan pendekatan yang membagi hasil pengukuran parameter lingkungan menjadi 3 kategori, yaitu 1) diatas normal; 2) normal; 3) di bawah normal, sehingga akan terbentuk 9 kuadran. Kombinasi dari distribusi ikan dalam 9 kuadran tersebut akan menghasilkan lebih banyak tipe distribusi dari yang dihasilkan penelitian sekarang. Hasil penelitian lanjutan tersebut diharapkan menjawab dampak perubahan iklim terhadap distribusi ikan. Penelitian ini memiliki keunikan tersendiri, karena menganalisis hasil tangkapan ikan pelagis kecil berdasarkan kondisi ekosistem yang berbeda pada perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Selain itu melakukan eksplorasi hubungan SPL dan klorofil dengan aspek perikanan menggunakan biplot dengan 4 kuadran dan juga parameter statistik. Penelitian sebelumnya lebih menekankan pada perairan pantai barat secara keseluruhan, namun kenyataanya memiliki tipikal perairan pantai yang berbeda dari utara ke selatan. Perbedaan tipikal perairan pantai akan berdampak terhadap distribusi ikan sebagai akibat adanya interaksi antara biotik dan yang
185
menyusun suatu ekosistem. Sistem kehidupan dalam suatu ekosistem menyebabkan adanya aliran energi sehingga membentuk hubungan fungsional dalam suatu tatanan dalam tingkatan tropik (Nybakken 1982), dimana akan berbeda pada setiap perairan. Mengklarifikasi perubahan SPL dan klorofil untuk mengetahui hubungannya dengan aspek perikanan menggunakan parameter statistik dalam penelitian ini menunjukkan bah bukan hanya parameter statistik mean saja yang dapat digunakan sebagaimana sering digunakan dalam penelitian ini. Namun parameter statistik modus juga dapat digunakan untuk mengklarifikasi hubungan SPL dan klorofil dengan aspek perikanan. Aspek perikanan adalah produksi, produktivitas, dan densitas, dimana yang tepat dapat digunakan sesuai hasil penelitian ini adalah produktivitas. Produktivitas adalah ukuran kemampuan suatu unit penangkapan untuk mendapatkan sejumlah produksi, dengan demikian produktivitas adalah proporsional dari sejumlah ikan yang menjadi tujuan penangkapan dalam suatu perairan. Variabel yang telah digunakan dalam penelitian ini, baik aspek perikanan maupun kondisi oseanografi dapat menjadi rujukan untuk digunakan dalam tindakan pengelolaan perikanan tangkap, khususnya perikanan pelagis kecil.