40
STAIN Palangka Raya
ETOS KERJA PEREMPUAN SUKU DAYAK DI PINGGIRAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KAHAYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH (Studi Pada Perempuan Suku Dayak Desa Tangkahen Kecamatan Banama Tingang Kabupaten Gunung Mas) Hj. Rahmaniar dan Ajahari
Abstraksi Wilayah alam Kalimantan Tengah yang begitu luas yakni 153.564 Km2 atau 28 % dari luas kepulauan Indonesia dan lapangan pekerjaan yang tidak terkonsentrasi pada satu bidang pekerjaan serta banyaknya wilayah yang tidak tergarap memberikan kesan seolah-olah masyarakat Kalimantan Tengah sangat dimanjakan oleh alam tidak memiliki etos kerja yang tinggi. Untuk membuktikan apakah masyarakat Dayak Kalimantan Tengah memang tidak memiliki etos kerja yang tinggi dan sangat dimanjakan oleh alam, maka disinilah perlunya dilakukan penelitian secara mendalam Ada tiga hal yang menjadi fokus penelitian ini adalah : 1) Bagaimana pola kerja perempuan Dayak di Desa Tangkahen; 2) Bagaimana etos kerja perempuan Dayak di Desa Tangkahen, dan 3) Apa saja faktor pendukung maupun faktor penghambat etos kerja perempuan Dayak di desa Tangkahen. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologis. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan meliputi : 1) Participant Observation (pengamatan terlibat), 2) Depth Interview (wawancara mendalam), dan 3) Dokumentasi. Setelah melakukan penelitian di lapangan menunjukan bahwa : Pertama, berkaitan dengan pola kerja perempuan Dayak di Desa Tangkahen tampaknya menunjukan pola kerja yang relatif homogen dan dalam beberapa kasus tertentu polanya sedikit bervariasi. Secara umum perempuan Suku Dayak tergolong sebagai tipe pekerja dan pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang dilakukan di luar rumah. Menyadap karet merupakan pekerjaan utama mereka di samping sebagai pedagang, dan ada beberapa orang sebagai ibu rumah tangga, akan tetapi jumlahnya relatif kecil. Pekerjaan menyadap karet mereka lakukan pada waktu pagi hari sekitar pukul 05.00-12.00 Wib. Sementara pada sore hari mereka gunakan untuk melakukan pekerjaan sampingan, mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan. Sedangkan pada malam hari mereka melakukan kegiatan domestik. Kedua, dilihat dari etos kerja perempuan suku Dayak yang tinggal di DAS (Daerah Aliran Sungai) Kahayan tampaknya menunjukan etos kerja yang relatif tinggi. Hal ini terbukti bahwa mereka rata-rata sebagai pekerja di luar rumah. Mereka juga sangat tekun dan rajin serta memiliki keuletan dalam bekerja. Bagi mereka bekerja di luar rumah merupakan suatu kebiasaan atau tradisi yang dilakukan secara turun temurun dan bahkan ada satu pandangan bahwa bekerja merupakan salah satu ciri perempuan masyarakat Dayak. Ketiga, faktor-faktor yang mendorong mereka memiliki etos kerja yang tinggi tersebut antara lain faktor teologis yakni melaksanakan ajaran agama, kesadaran akan arti dan hakikat hidup, keinginan untuk hidup yang lebih layak, faktor tuntutan hidup dan lingkungan, dan faktor tradisi yang memberikan keleluasaan bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah serta tersedianya sumber daya alam. Sedangkan faktor penghambat adalah ketergantungan mereka terhadap musim, tingkat pendidikan yang masih relatif rendah, belum adanya infrastruktur yang layak dan belum terbentuknya wadah organisasi yang dapat membina potensi dan keterampilan serta menyalurkan aspirasi yang mereka miliki. Kata Kunci : Etos Kerja, Perempuan, Suku Dayak
Rahmaniar adalah tetap pada jurusan Dosen Dakwah STAIN Palangka Raya dan Ajahari adalah dosen tetap jurusan Tarbiyah STAIN Palangka Raya.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
STAIN Palangka Raya
41
A. Pendahuluan
Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya suatu persepsi bahwa pola hidup suku Dayak termasuk perempuannya dimanjakan oleh alam lingkungan tepat hidup mereka. Karena alam telah menyediakan segala-galanya bagi orang Dayak dan mereka tinggal menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan memetik hasil dari alam untuk keperluan hidup. Meskipun pada kenyataannya setelah dilakukan penelitian anggapan tersebut tidak benar karena perempuan Dayak yang tinggal di daerah pedesaan atau di pinggiran daerah aliran sungai Kahayan menunjukan bahwa pada umumnya mereka terlibat secara aktif dalam membantu memenuhi ekonomi keluarga dalam berbagai sektor seperti bertani, berdagang, nelayan, pegawai, dan industri rumah tangga. Penelitian ini memfokuskan pada tiga rumusan masalah; (1) Bagaimana pola kerja perempuan Dayak di Desa Tangkahen; (2) Bagaimana etos kerja mereka dan (3) Apa saja faktor yang mempengaruhi, baik faktor yang mendukung, maupun faktor yang menghambat etos kerja perempuan Dayak di desa Tangkahen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana etos kerja perempuan Dayak di pinggiran Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan khususnya di desa Tangkahen yang meliputi : jenis pekerjaan, cara kerja, waktu bekerja dan hasil kerja, pola hidup, perilaku ekonomi mereka sehari-hari dan faktor-faktor yang menunjang dan menghambat terhadap etos kerja yang mereka lakukan. Penelitian ini mengambil lokasi di desa Tangkahen yang merupakan salah satu dari empat lokasi penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti STAIN Palangka Raya yang meneliti tentang etos kerja perempuan suku Dayak di pinggiran Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan tahun 2005. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan antara lain lokasi tersebut mayoritas dihuni oleh suku Dayak Muslim dan relatif terjangkau. Subjek penelitian ini adalah perempuan suku Dayak yang berada di desa Tangkahen dan bekerja dalam berbagai sektor kegiatan dan mempunyai tujuan untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Penentuan subyek ini dilakukan secara purposive sampling (sample bertujuan) dengan ketentuan: 1) Usia subyek antara 23-60 tahun; 2) Penduduk asli desa Tangkahen; 3) Stratifikasi sosial (mata pencaharian) ada/sama pada semua lapisan masyarakat; 4) Beragama Islam dan memiliki pendidikan minimal SD/Sederajat dan 5) Subjek bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai dan diobservasi. Adapun jumlah subyek dalam penelitian ini sebanyak 11 orang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi partisipan dan dokumentasi. Analisis data dilakukan melalui tahapan : 1) Data Reduction, 2) Data Display data, dan 3) Data Conclusion. B. Landasan Teori Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos), yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu.1 Kata etos dikenal juga dengan kata etika, etiket yang pengertiannya hampir sama dengan akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk (moral), watak, kesusilaan atau adat.2 Sehingga dalam pengertian etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu dengan optimal, lebih baik bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja sempurna.
1 2
Lihat Tasmara, Etos Kerja Islami. Jakarta : Gema Insani Press. 2002. hal., 15. Lihat Nata. Akhlak Tasawuf, Jakarta : Rajawali Press. 1997. hal,.87
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
42
STAIN Palangka Raya
Adapun dimaksud dengan bekerja bagi seorang Muslim adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh, dengan mengarahkan segala asset, pikir dan zikir untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khairul ummah) atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.3 Dengan demikian yang dimaksud dengan etos kerja adalah semangat yang amat kuat untuk mengerjakan suatu pekerjaan secara optimal dan sungguh-sungguh sebagai realisasi dari tugas manusia sebagai khalifah dan hamba Tuhan (Allah) di muka bumi. Teori etos kerja telah dikemukakan oleh Max Weber seorang sosiolog Jerman. Weber menjelaskan bahwa orang-orang Protestan atau Calvin lebih banyak disemangati oleh kapitalisme. Salah satu ajaran Protestan adalah konsep panggilan atau beruf (bahasa Jerman), calling (bahasa Inggris). Panggilan merupakan konsepsi agama tentang tugas yang ditentukan oleh Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas dimana harus bekerja. Menurut konsep yang menjadi doktrin Calvinisme ini, jalan hidup yang diterima Tuhan tidak melewati moralitas duniawi dengan menjalani hidup yang menjauhi kesenangan jasmani di biara, tetapi dengan melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang sesuai dengan posisinya di dunia. Konsep panggilan ini berkaitan erat dengan doktrin takdir. Dalam doktrin Calvinisme, takdir yang menyangkut keselamatan seseorang sudah dipastikan oleh Tuhan, tetapi tidak diketahui oleh yang bersangkutan. Jadi, takdir adalah suatu misteri dari ketidakpastian. Menghadapi situasi ini, Calvinisme agar setiap orang merasa dirinya "terpilih" untuk mendapatkan keselamatan dengan cara menghilangkan kebimbangan. Kebimbangan bahwa dirinya adalah orang yang terpilih, merupakan akibat dari lemahnya iman dan pertanda dari kurangnya rahmat Tuhan. Melaksanakan kewajiban dengan kerja keras adalah jalan untuk membangun dan memperoleh kepercayaan diri, menghilangkan kebimbangan dan memberi pengertian rasa syukur. Itulah sebabnya dalam doktrin Calvinisme, kerja tidak diletakkan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan, tetapi sebagai suatu tugas suci. Sikap hidup keagamaan yang dikehendaki oleh doktrin Calvinisme adalah innerwordly ascetisme, yaitu intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja.4 Dalam kerangka pikir teologis semacam itulah, maka semangat kapitalisme bertemu pasangannya dengan semangat agama sehingga terjadi rasionalisasi terhadap gejala kegiatan duniawi yang berakibat pada penghapusan usaha-usaha yang hanya bersifat magis (supranatural), kemudian doktrin tersebut akhirnya berpengaruh terhadap tindakan ekonomi. Menurut perspektif Islam bekerja merupakan tugas manusia sebagai khalifah dan merupakan ibadah serta bagian dari pengabdian kepada Allah. Bekerja juga merupakan bukti rasa syukur kepada-Nya dan memenuhi panggilan Allah agar mampu menjadi umat yang terbaik karena bumi diciptakan oleh Allah sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos kerja.5 Bahkan Allah mendorong kepada umat manusia untuk memiliki semangat kerja baik untuk kepentingan di dunia maupun di akhirat.6 Asad (1999) dalam Psikologi Industri menjelaskan bahwa pendorong yang sangat penting dan menyebabkan manusia bekerja adalah adanya kebutuhan yang harus 3 4
5 6
Tasmara. Etos…, hal., 25. Lihat Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1998. hal., 101-103. Lihat Q.S. Al-Kahfi [18]: 7 Lihat Q.S. al-Qoshash [28] : 77
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
43
STAIN Palangka Raya
dipenuhi. Kebutuhan tersebut meliputi : pertama, kebutuhan primer yang umumnya merupakan kebutuhan faal seperti lapar, haus, seks tidur dan sebagainya yang muncul dengan sendirinya dan sudah ada sejak seseorang lahir. Kedua kebutuhan sekunder, yang muncul akibat adanya interaksi orang dengan lingkungan seperti kebutuhan untuk bersaing, bergaul, bercinta, harga diri dan sebagainya dan kebutuhan inilah yang banyak berperan dalam memotivasi seseorang.7 Maslow sebagaimana yang dikutip Asad (1999) menyebutkan bahwa kebutuhan manusia dapat digolongkan dalam 5 (lima) tingkat yakni : 1) Physiological Needs (kebutuhan yang bersifat biologis) misalnya, sandang, pangan, tepat berlindung, seks, kesejahteraan individu. 2) Safety Needs (kebutuhan rasa aman). 3) Social Needs (kebutuhan sosial). 4) Esteem Needs (kebutuhan akan harga diri). 5) Self Actualization (ingin berbuat yang lebih baik).8 Adapun faktor yang menghambat etos kerja antara lain : 1) Faham fatalisme yaitu suatu paham yang berpandangan bahwa manusia tidak mempunyai daya untuk berbuat. Manusia laksana wayang yang digerakkan oleh dalang, apa maunya dalang itulah yang terjadi. Faham ini dapat mengakibatkan berkurangnya semangat kerja karena menurut faham ini nasib seseorang sudah ditentukan oleh Tuhan. 9 2) Pandangan yang kurang positif terhadap dunia dan harta terutama kaum sufi yang menganggap bahwa kehidupan dunia adalah racun pembunuh dan penghalang perjalanan. Karena itu nafsu dunia harus dimatikan agar ia bebas menuju tujuan, mencapai kenikmatan yang hakiki. 10 3) Maqam Zuhud dalam tasawuf Islam ya ng cenderung dipahami secara textual/literal yaitu suatu maqam meninggalkan dunia dan hidup kematerian. 11 Terkait dengan pola kerja yang dilakukan oleh kaum perempuan menurut Sajogja pada dasarnya lebih berat dari kaum laki-laki. Perempuan pedesaan melakukan kegiatan biasanya meliputi pekerjaan rumah tangga dan laki-laki biasanya bekerja hanya diluar rumah. Apabila perempuan ikut bekerja di luar rumah tangga maka pekerjaan rumah tangga akan ditanggung oleh laki-laki juga.12 Selanjutnya mengenai pola kerja penduduk Kalimantan Tengah pada umumnya usaha yang berhubungan dengan usaha agraris yang meliputi : pertanian pangan dalam bentuk sawah pasang surut/ladang, perkebunan, pengumpul hasil hutan, pendulang emas, berburu dan usaha kayu. Yang berhubungan dengan keadaan modern dewasa ini adalah sebagai : pegawai negeri/swasta, buruh, pedagang, pengusaha (perusahaan, industri) diberbagai bidang produksi dan jasa.13 Adapun usaha yang dilakukan perempuan di Kalimantan tengah yang sebagian besar berada dipedesaan melakukan usaha : 1) Bertani/berladang; 2) Berkebun; 3) Berternak dan 4) Berusaha seperti mencari rotan, menyadap karet, mengumpulkan hasil hutan. Pekerjaan ini tidak dikerjakan sendiri tetap dibantu oleh keluarga baik bapak ataupun anak-anak.14
7 8 9 10 11 12 13
14
Lihat Anoraga, Panji. Jakarta : Rineka. 1998. hal,. 35. Anoraga, Panji. .., hal., 45-50. Azra, Kontek Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam. Jakarta : PT. Saptotadi. 1999. hal., 18) Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 1994. hal., 67-68. Nasution. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1983. hal.,64. Sajogyo. Peranan wanita dalam perkembangan Masyarakat Desa,. Jakarta : CV. Rajawali. 1995. hal.,122. Hariwung. Perubahan Peranan Wanita Pedesaandi Kalteng dalam Konteks Pembangunan Desa. Palangka Raya : Depdikbud.1996. hal., 58. Nusan. Fungsi Keluarga dalam meningkatkan Kualitas SDM di Kalimantan.. Palangka Raya : Depdikbud. 1996. hal,. 72-74.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
44
STAIN Palangka Raya
C. Pola Kerja Perempuan Suku Dayak Desa Tangkahen Kecamatan Banama Tingang Kabupaten Gunung Mas
Sebagaimana pada daerah-daerah aliran sungai yang lain di wilayah Kalimantan Tengah yang umumnya sebagai petani karet, maka masyarakat Dayak yang berada di desa Tangkahen kecamatan Banama Tingang kabupaten Pulang Pisau tampaknya juga menjadikan pekerjaan petani karet sebagai pekerjaan utama. Profesi sebagai petani karet atau istilah orang Dayak mamantat atau menyadap karet ini menurut penuturan informan bernama Nafsiah (umur 52 tahun) dan Ane (umur 56 tahun) merupakan pekerjaan utama baik laki-laki maupun perempuan yang dilakukan secara turun temurun. Dilihat dari jauh dekatnya kebun karet yang disadap sangat bervariasi. Ada yang berada di belakang rumah dan ada juga yang jaraknya cukup jauh dengan menempuh perjalanan 20-60 menit. Apabila karet yang disadap lokasinya di belakang rumah, maka untuk mencapai lokasi tersebut mereka biasanya berjalan kaki sedangkan lokasinya berada jauh dari perkampungan biasanya mereka menggunakan Jukung (perahu atau sampan yang terbuat dari kayu) atau Ces (perahu kecil yang digerakkan oleh mesin). Menurut penuturan informan yang bernama Nafsiah (52 tahun) dan Arnah (32 tahun) kebun karet yang disadap terdiri dari kebun milik sendiri dan kebun milik orang lain. Kebun yang dimiliki sendiri mereka mengistilahkan dengan kebun pribadi dan kebun proyek. Kebun pribadi maksudnya adalah kebun yang ditanam oleh mereka sendiri dan di atas tanah atau ladang sendiri serta pembibitannya dilakukan secara mandiri. Sedangkan kebun proyek maksudnya adalah kebun yang ditanam sendiri dan di atas tanah sendiri tetapi bibitnya merupakan bantuan dari pemerintah. Hasil sadapan karet milik sendiri sepenuhnya untuk yang menyadap sedangkan karet yang disadap milik orang lain hasilnya dibagi tiga, dua bagian untuk yang mengerjakan dan satu bagian untuk pemilik kebun. Besarnya penghasilan yang diperoleh untuk sekali sadap cukup bervariasi dan tergantung kepada banyaknya jumlah dan usia pohon karet yang disadap serta tenaga yang menyadap. Menurut pengakuan Ibu Ati (25 tahun) hasil perhari yang dia dan suaminya peroleh berkisar antara 25 – 30 Kg. Adapun harga per kilogram rata-rata antara Rp. 4.000,- (empat ribu rupiah ) sampai dengan Rp. 4.200,- (empat ribu dua ratus rupiah ). Dengan demikian hasil rata-rata yang diperoleh apabila harga per kilogram Rp. 4.000,- (empat ribu rupiah) berkisar antara Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah ) sampai Rp. 120.000,- (seratus dua puluh ribu rupiah) untuk 2 orang atau Rp. 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) per orang. Dengan demikian kalau kebun tersebut milik sendiri, dan rata–rata masyarakat petani karet memperoleh hasil sebagaimana yang diperoleh ibu Ati dan suaminya, maka disimpulkan bahwa pekerjaan sebagai petani karet ini merupakan sebuah pekerjaan yang cukup menjanjikan atau paling tidak memberi peluang kepada para pekerjanya untuk tidak berada di bawah garis kemiskinan. Beberapa informan yang diwawancarai mengatakan bahwa pekerjaan sebagai petani karet ini merupakan pekerjaan utama dan penyangga ekonomi masyarakat Dayak desa Tangkahen secara keseluruhan. Hasil pekerjaan sebagai petani karet ini biasanya digunakan untuk biaya anak sekolah, untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari baik pangan, sandang maupun untuk membeli bahan-bahan atau peralatan rumah terutama bagi yang tidak memiliki rumah sendiri. Di samping itu sebagiannya lagi ditabung serta disisihkan untuk mengisi arisan. Hal yang sangat menarik di desa Tangkahen dijumpai ada beberapa kepala keluarga yang mendiami satu rumah dan bahkan satu rumah ada yang 5 sampai 7 kepala keluarga. Kepala keluarga yang mendiami rumah seperti ini biasanya masih dalam ikatan satu keluarga terutama sekali anak-anak mereka yang tidak atau belum memiliki rumah dan sudah berkeluarga. Oleh karena itu tidak heran kalau ada Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
45
STAIN Palangka Raya
beberapa rumah penduduk termasuk penduduk muslim di desa Tangkahen yang berukuran berukuran besar. Setelah mereka mampu mendirikan rumah barulah mereka keluar dari rumah orang tuanya. Karena belum memiliki rumah inilah menurut informan Bawi ( 23 tahun) merupakan salah satu faktor pendorong munculnya semangat kerja keras, lebih-lebih kalau sudah punya anak juga ada perasaan malu apabila masih tergantung/hidup serumah dengan mertua atau orang tua Meskipun menyadap karet merupakan pekerjaan kebanyakan masyarakat Dayak Desa Tangkahen termasuk perempuan, namun ada juga yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan mengasuh anak di rumah sebagaimana yang dilakukan oleh ibu Masrah (35 tahun). Ia mengakui memiliki anak 4 orang yang masih kecil yakni 1 orang usia kelas 6 SD, 1 orang usia kelas 2 SD sedangkan yang 2 orangnya masih kecil-kecil dan belum sekolah. Menurut pengakuannya keinginan untuk bekerja sebagaimana yang dilakukan ibu-ibu yang lain sebenarnya ada, namun di sisi yang lain ia juga dituntut untuk mengasuh anak-anaknya yang masih kecil. Kalaupun ia bekerja mamantat (menyadap karet) hal ini dilakukan ketika anaknya libur sekolah, sehingga anaknya yang masih kecil bisa diasuh oleh kakaknya. Kebutuhan rumah tangga sepenuhnya ditopang oleh suaminya sendiri yang bekerja sebagai penambang emas musiman dengan hasil perhari 3 sampai 4 gram dengan harga per gram antara Rp.90.000,- (sembilan puluh ribu rupiah) sampai Rp.100 .000,- ( seratus ribu rupiah ). Sebagai ibu rumah tangga di samping mengasuh dan merawat anak di rumah, pekerjaan lain yang dilakukan adalah memasak dan menyiapkan sarapan serta perbekalan suaminya yang ingin berangkat mencari emas termasuk anaknya yang mau berangkat sekolah, mencuci dan menjemur serta merapikan pakaian, membersihkan perabot rumah tangga, mengatur biaya dan kebutuhan hidup, membersihkan rumah dan lingkungannya seperti mengepel, menyapu, merapikan tempat tidur. Ia juga mengakui bahwa dalam kehidupan sosial sesekali ia juga berkunjung ke rumah tetangga-tetangganya untuk bersilaturahmi atau menyaksikan acara televisi atau menyaksikan acara perlombaan yang diselenggarakan di desanya atau terkadang ikut bela sungkawa/ta'ziah ke tempat tetangga yang terkena musibah. Sementara di sisi yang lain dalam kehidupan sosial dan keagamaan ia juga terlibat seperti gotong royong. Namun ia juga mengakui keterlibatan dalam arisan yasinan sangat kurang dengan alasan tidak mampu membayar arisan dan mengasuh anak di rumah. Pekerjaan lain di samping sebagai penyadap karet dan sebagai ibu rumah tangga, ada juga di antara perempuan Dayak di desa Tangkahen yang menjadikan pekerjaan utama sebagai pedagang sebagaimana yang dilakukan oleh ibu Hariyati (usia 40 tahun). Pekerjaan sebagai pedagang baru dilakukannya sekitar satu setengah tahun yang lalu. Barang-barang yang dijual berupa bahan makanan pokok sehari-hari dan makanan ringan serta beberapa kebutuhan yang sangat diperlukan di desa. Menurutnya pekerjaan ini dilakukan setiap hari guna membantu suaminya yang berprofesi sebagai penampung hasil karet masyarakat sebelum di jual ke Tuke (Bos getah di Banjarmasin). Biasanya para langganan (penyadap karet) sebelum mereka menjual hasil karetnya, maka untuk memenuhi kebutuhan hidup seringkali mengambil barang ditempatnya dengan cara berhutang dengan perjanjian setelah mereka menjual hasil karetnya kepada suaminya hutang mereka langsung dipotong atau dilunasi. Di samping untuk membantu para petani karet, kegiatan berjualan atau berdagang ini juga ia lakukan untuk membantu menyediakan kebutuhan hidup para pencari emas dengan cara menghutangi para pekerja emas sebelum mereka menjual hasil tambangnya kepada pihak pembeli dengan perjanjian setelah mereka menjual hasil emasnya hutang mereka akan dibayar. Pekerjaan sebagai pedagang ini ia lakukan sejak mulai pukul 05.00 WIB pagi hari hingga menjelang pukul 21.00 Wib malam hari baru ditutup. Khusus untuk Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
46
STAIN Palangka Raya
bulan Ramadan kegiatan berdagang ini dilakukan sejak pukul 05.00 WIB pagi sampai menjelang subuh yakni sekitar jam 04.00 WIB sistem kerjanya dilakukan dengan cara bergiliran antara dia, suami dan anak-anaknya. Hasil kotor yang diperoleh setiap hari antara Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) sampai Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) perhari dengan keuntungan bersih berkisar antara Rp. 50.000,- (Lima Puluh Ribu) sampai Rp. 80.000,- (delapan puluh ribu rupiah ) per hari. Atau Rp.1.500.000,(satu juta lima ratus ribu rupiah) per bulan. Hasil kotor ataupun keuntungan per hari ini menurutnya sangat tergantung kepada musim dan keadaan. Ketika musim panas hasil lebih meningkat, karena hasil dari pekerjaan menyadap karet juga meningkat. Sementara kalau musim hujan hasil yang diperoleh pun agak berkurang karena masyarakat terutama masyarakat penyadap karet tidak dapat bekerja dengan baik. Di samping profesinya sebagai pedagang ia juga berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang bertugas mengurus keluarga dan mengatur kebutuhan serta biaya hidup keluarga seperti mengasuh anak, mengurus rumah juga terlibat pada kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan dan keagamaan seperti ikut perkumpulan arisan Yasinan. Kadang ia juga berkunjung ke rumah tetangga untuk bersilaturahmi, atau bertakziah apabila ada tetangga yang meninggal dan terkena musibah tanpa memandang agamanya. Menurutnya serta dikuatkan oleh ibu Nafsiah, tingkat toleransi dan perhatian masyarakat apabila ada yang meninggal cukup tinggi terlepas dia beragama non Muslim atau Muslim. Apabila ada tetangga yang beragama Kristen atau Hindu Kaharingan yang meninggal mereka juga mengunjungi serta membawa seperti beras, gula atau kelapa atau memberi sumbangan uang dan bahkan ikut mengantar ke kuburan. Demikian juga kalau ada orang Islam yang meninggal mereka yang beragama Islam atau tidak melakukan hal yang sama. Hal ini menurutnya di samping karena merupakan tradisi sejak dahulu juga karena antara masyarakat yang Muslim dan non Muslim sebagiannya masih ada ikatan hubungan kekerabatan/kekeluargaan. Selain mengerjakan pekerjaan utama sebagai penyadap karet rata-rata sebagian perempuan Dayak di desa Tangkahen juga melakukan pekerjaan sampingan yang cukup bervariasi seperti pergi ke kebun atau ke ladang terutama bagi yang memiliki kebun dan ladang. Pekerjaan pergi kebun atau ke ladang menurut ibu Rumaidah (45 tahun) dilakukan setelah pulang dari menyadap karet dan ada juga yang secara kebetulan kebun/ladang mereka berada di samping kebun karet yang disadap, mereka tidak pulang ke rumah atau ke desa tetapi langsung ke kebun hingga sore hari. Pergi ke ladang/kebun biasanya tidak dilakukan setiap hari, tetapi menyesuaikan dengan kondisi fisik. Pekerjaan yang dilakukan di ladang antara lain membersihkan kayu-kayu yang masih berserakan setelah dibakar, membersihkan rumput yang tumbuh, menanam/menyemai bibit padi, menjaga dari gangguan binatang buas serta menanam sayur-sayuran dan karet atau pohon buah-buahan. Kebiasaan pergi ke ladang biasanya dilakukan pada musim tanam yakni bulan September sampai bulan Pebruari. Sedangkan ke kebun di samping membersihkan kebun juga menanam sayur-sayuran, buah-buahan, memetik sayur atau memanen buah bila sudah musimnya. Pekerjaan sampingan lainnya yang sering dilakukan oleh perempuan desa Tangkahen adalah memelihara ternak berupa ayam sebagaimana yang dilakukan oleh Ibu Nafsiah. Ayam yang dipelihara dengan menggunakan cara dikurung dalam kandang dan ada juga yang dilepas begitu saja. Menurutnya ayam yang dipelihara dan dikurung dalam kandang biasanya dilepas dan diberi makan sebelum berangkat menyadap karet atau kalau tidak sempat, maka yang diberi tugas untuk memberi makan ternak tersebut adalah anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah. Pekerjaan memberi makanan ternak juga dilakukan pada sore hari menjelang senja. Ternak yang dipelihara biasanya untuk Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
47
STAIN Palangka Raya
konsumsi sendiri, terkadang dijual kalau ada yang membeli. Hasil jualan ternak tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Selain itu juga mereka membantu suami untuk menangkap ikan, membantu suami membuka/membersihkan ladang sebelum ditanam, memasak untuk suami yang bekerja menambang emas, selain itu ada juga yang bekerja menganyam rotan membuat lanjung atau Keba15 (bahasa Dayak). Pekerjaan di atas menurut keterangan beberapa informan dilakukan hanya untuk keperluan sendiri, namun kalau ada kelebihannya atau ada orang yang memesan baru dijual. Sementara kegiatan mencari rotan dalam hutan biasanya untuk dijual dan hasil dari penjualan juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Demikian juga halnya dengan membuat kue hanya sekedar memenuhi kebutuhan keluarga dan ada juga yang dijual. Apa yang dilakukan oleh kaum perempuan suku Dayak merupakan pekerjaan yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat di pedesaan yang beban kerja mereka lebih berat dari laki-laki. Perempuan pedesaan melakukan pekerjaan atau kegiatan meliputi pekerjaan rumah tangga (domestik) dan diluar rumah tangga (publik) Pudjiwati Sajogyo lebih rinci lagi mengatakan bahwa pola kerja di rumah tangga yang mereka lakukan adalah kegiatan mengambil air, mencuci alat rumah tangga, pakaian, mengasuh anak, menyiapkan makanan, membersihkan rumah dan lain-lainnya. Namun apabila perempuan ikut bekerja di luar rumah, maka semua pekerjaan di rumah tangga akan ikuti ditanggung kaum laki-laki.16 Hal ini seirama dengan pendapat Harawung bahwa pola kerja penduduk Kalteng pada umumnya berhubungan dengan usaha agraris yang meliputi : pertanian seperti sawah, ladang, perkebunan, perikanan, peternakan, berburu, usaha kayu dan mendulang emas. 17 Dalam kehidupan sosial perempuan di desa Tangkahen juga biasanya seringkali terlibat baik sebagai anggota pengurus PKK, pengurus arisan Yasinan sekaligus sebagai anggota arisan, terlibat saat ada kegiatan gotong royong, membantu apabila ada tetangga yang melaksanakan acara walimah atau perkawinan, atau berkunjung ke rumah tetangga dan kerabat baik untuk sekedar silaturahmi maupun apabila ada tetangga yang terkena musibah atau sakit. Jika ada tetangga yang terkena musibah (meninggal dunia) termasuk juga jika ada diantara warga Muslim yang melangsungkan perkawinan menurut informan bernama Rumaidah ( 45 tahun), mereka biasanya tidak bekerja (meliburkan diri) selama satu hari, sedangkan jika ada acara perkawinan di samping ada yang libur satu hari saat acara walimah berlangsung, tetapi ada juga yang dua hari sejak H-1. Hal ini merupakan tradisi masyarakat setempat yang sudah turun temurun sekaligus mencerminkan kegotong-royongan dan kebersamaan. Selanjutnya apabila yang melangsungkan acara walimah non Muslim biasanya mereka tidak libur dan setelah datang dari bekerja barulah mereka menghadiri undangan tanpa ikut makan. Sudah menjadi tradisi warga setempat (khususnya perempuan) apabila ada warga muslim yang meninggal di samping takziah mereka juga ada yang bertugas membantu dalam penyelenggaraan jenazah seperti memandikan, mengapani (apabila yang meninggal perempuan) dan bahkan sampai mengantar ke kuburan. Di samping itu perempuan yang ada di desa Tangkahen juga biasanya membantu keluarga yang terkena musibah dengan memberi bahan pokok berupa beras, gula, atau kelapa dan ada juga yang berupa uang. Besar dan jenis bantuan yang diberikan menurut kemampuan masing15
16
17
Lanjung atau keba adalah semacam peralatan untuk membawa hasil tanaman dari ladang baik sayuran maupun buha-buahan yang diletakkan di atas pundak bagian belakang dan terbuat dari rotan Sajogyo, Putjiwati, 1995. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa, CV. Rajawali, Jakarta hal. 122 Harawung, Harawung, A.J. dkk., 1996. Perubahan Peranan Wanita Pedesaan di Kal-Teng dalam Konteks Pembangunan Desa, Depdikbud, hal. 58.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
48
STAIN Palangka Raya
masing dan hal ini menurutnya sudah merupakan tradisi/adat kebiasaan masyarakat setempat sejak zaman dahulu. Kalau tidak membawa juga ada perasaan tidak enak dengan orang lain atau tetangga yang terkena musibah. Bantuan seperti ini dilakukan bukan hanya bagi yang muslim tetapi juga bagi mereka yang non Muslim. Dalam kegiatan kegiatan sosial keagamaan para perempuan juga rata-rata terlibat baik pada acara arisan Yasinan maupun pada kegiatan PHBI. Untuk acara arisan Yasinan biasa dilakukan rutin pada hari Jumat . Pada acara tersebut diisi dengan kegiatan pembacaan surat yasin dan shalawat, pembacaan do'a serta diisi dengan pengundian arisan. Kelompok arisan terdiri dari dua, yakni kelompok Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) dan kelompok Rp. 50.000,-. (lima puluh ribu rupiah). Peserta yang mengikuti kelompok arisan di atas menurut pengakuan salah seorang informan Bawi (23 tahun) menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Untuk mengisi arisan tersebut uangnya diperoleh dari hasil menyadap karet. Walaupun musim penghujan dan tidak dapat menyadap karet, arisan tetap berjalan sebagaimana biasanya dan uang untuk mengisi arisan diambil dari tabungan pribadi. Tetapi hal ini sangat jarang, karena biasanya dalam satu minggu tidak terus menerus hujan tetapi ada beberapa hari yang tidak hujan dan masih dapat bekerja walaupun hujan dipagi hari yang menyebabkan tidak dapat menyadap karet, tetapi bekerja dapat dilakukan sore hari menuggu pohon karet menjadi kering. Khusus untuk acara PHBI di samping mendengarkan ceramah/nasihat agama para perempuan juga bertugas untuk menyiapkan konsumsi bagi jamaah yang hadir. Konsumsi dan biaya penyelenggaraan PHBI biasanya dilakukan secara gotong royong dengan mengedarkan les sumbangan baik berupa uang maupun material terutama kepada warga yang beragama Islam. Menurut pengakuan salah seorang pengurus masjid Tomy Toyaman (40 tahun). Semangat kebersamaan, toleransi dan kegotong royongan warga Muslim di desanya sangat tinggi lebih-lebih dalam acara keagamaan seperti PHBI, sehingga meskipun jumlah umat Muslim di desanya tidak terlalu banyak yakni sekitar 200 Jiwa atau 56 KK (dari jumlah penduduk kurang lebih 1.300 Jiwa). Meskipun jumlah masyarakat Islam sedikit, tetapi dalam hal meminta sumbangan untuk kegiatan keagamaan termasuk sarana sosial tidak mengalami kesulitan. Hal ini menurutnya dibuktikan dengan berdirinya masjid yang permanen ditengah-tengah desa dengan ukuran cukup besar dan megah yang biayanya sebagian besar bersumber dari sumbangan warga Muslim. Tingginya semangat kebersamaan dan kegotongroyongan terutama sesama Muslim di desa Tangkahen menurut Tomy Toyaman disebabkan karena secara kuantitas jumlah penduduk Muslimnya cukup sedikit sehingga rasa kepedulian dan persatuan sangat kuat. Di samping itu juga karena terjadi persaingan antar pemeluk agama terutama dalam kegiatan pelaksanaan ibadah dan pendirian rumah ibadah. Dari beberapa keterangan informan di atas, maka tampaknya bentuk-bentuk pekerjaan yang dilakukan perempuan Dayak di desa Tangkahen cukup beragam. Pekerjaan yang dilakukan tersebut kebanyakan dilakukan di luar rumah Pekerjaan sebagai penyadap karet nampaknya merupakan pekerjaan utama di samping sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pedagang. Tetapi kedua jenis pekerjaan yang disebut terakhir ini jumlahnya relatif kecil. Di samping mengerjakan pekerjaan utama, perempuan suku Dayak desa Tangkahen juga melakukan pekerjaan sampingan antara lain sebagai pedagang, mengurus kebun atau ladang, membantu suami menambang emas, sebagai nelayan, membuat industri rumah tangga atau berbagai kerajinan. Sebagai bagian dari warga masyarakat, mereka juga tampaknya terlibat secara aktif baik pada kegiatankegiatan sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
49
STAIN Palangka Raya
D. Etos Kerja Perempuan Suku Dayak Desa Tangkahen Kecamatan Banama Tingang Kabupaten Gunung Mas
Sebagaimana dipaparkan di atas, bahwa pekerjaan utama perempuan Dayak di Desa Tangkahen adalah sebagai penyadap karet, sebagai pedagang dan sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan pekerjaan sampingan antara lain berkebun atau berladang, mencari ikan, berternak kecil-kecilan, membuat anyaman dari rotan, membuat kue, membantu suami menambang emas di sungai Kahayan atau di dalam hutan (mengatu : bahasa masyarakat)18. Mereka juga terlibat secara aktif pada kegiatan sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan. Di sela-sela waktu tidak sibuk bekerja para ibu-ibu juga menggunakannya untuk berkunjung ke rumah tetangga untuk bersilaturahmi, berolah raga seperti bola Volley, atau menyaksikan acara televisi terutama di malam hari. Pekerjaan menyadap karet biasanya juga dilakukan oleh para remaja yang sudah putus sekolah, lebih-lebih yang sudah berkeluarga. Anak-anak yang berusia SD dan SMP dan bahkan yang masih sekolah pun kerap kali diajak untuk bekerja menyadap karet terutama pada waktu liburan sekolah. Melibatkan anak untuk bekerja pada saat libur menurut informan bertujuan untuk melatih mereka supaya terampil dan tidak selamanya bergantung dengan orang tuanya. Di sisi lain ada juga yang anaknya yang masih sekolah, ketika hari libur, ditugaskan untuk menjaga adik-adiknya di rumah, sementara ibunya bekerja menyadap karet atau ikut suaminya ke dalam hutan dan sungai untuk menambang emas. Dari hasil wawancara tanggal 15 Juni 2005 terungkap bahwa rata-rata perempuan Dayak desa Tangkahen yang menjadi subjek sudah berkeluarga dan mempunyai anak Sebagai contoh ibu Arnah dengan 2 orang anak, ibu Masrah dengan 4 orang anak, ibu Ane dengan 4 orang anak , Bawi dengan 1 orang anak. dan bahkan ada yang sudah mempunyai cucu sekaligus menjadi tanggungannya (sebagaimana ibu Nafsiah). Dari sudut pendidikan, perempuan di desa Tangkahen yang menjadi subjek penelitian ini kebanyakannya lulusan SD dan SMP. Di samping itu ada beberapa orang yang sudah tamat SMU dan bahkan pernah mengikuti kuliah S1 namun menjelang mengakhiri studi, berhenti karena tidak memiliki biaya sebagaimana yang dialami oleh ibu Ati. Berkenaan dengan etos kerja perempuan suku Dayak desa Tangkahen Kecamatan Banama Tingang Kabupaten Gunung Mas, maka hal ini sangat terkait dengan penggunaan waktu mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dilihat dari waktu bekerja perempuan Desa Tangkahen di atas, baik pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan dapat dideskripsikan sebagai berikut : Bagi yang berprofesi sebagai penyadap karet, sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai pedagang biasanya mereka bangun pagi-pagi, sekitar pukul 03.00 Wib. Satu jam menjelang waktu subuh tiba, mereka gunakan untuk mempersiapkan perbekalan antara alat penyadap karet, menyiapkan sarapan pagi termasuk perbekalan lain yang dibutuhkan. Selanjutnya ketika datang waktu subuh atau kira-kira pukul 04.00 Wib menurut sebagian informan mereka melakukan salat subuh. Pada saat salat tersebut mereka juga senantiasa berdo'a kepada Allah SWT antara lain minta dimurahkan rejeki, panjang umur serta mudah-mudahan cuaca hari itu baik/tidak hujan. Berdoa menurut mereka sangat perlu karena yang memberi rejeki, mengatur alam ini adalah Allah, oleh sebab itu wajar kalau meminta kepada-Nya. Persoalan dikabulkan atau tidak kata mereka merupakan urusan
18
Mengatu adalah istilah yang digunakan warga masyarakat untuk pekerjaan mencari/menambang emas di tengah hutan dengan menggunakan bantuan mesin disel
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
50
STAIN Palangka Raya
Allah. Akan tetapi yang jelas menurut mereka di samping berdo'a mereka juga tetap berusaha. Melaksanakan sholat Subuh tampaknya tidak semua dilakukan oleh para perempuan sebelum berangkat bekerja, ada juga yang mengaku hanya kadang-kadang saja dan bahkan ada yang tidak melaksanakan dengan alasan ingin cepat berangkat bekerja dan karena faktor kesibukan lain. Selanjutnya sekitar pukul 04.15 atau 05.30 Wib, mereka berangkat ke tempat bekerja terutama bagi mereka yang tempat bekerjanya cukup jauh dari perkampungan. Mengingat cuaca masih gelap, maka untuk mengatasi hal tersebut mereka seringkali menggunakan obor sebagai penerangan. Sedangkan bagi yang tempat kerjanya tidak jauh dari rumah mereka berangkat sekitar pukul 05.00 atau jam 06.00 Wib sambil menunggu hari agak terang. Kegiatan yang dilakukan sambil menunggu cuaca terang, antara lain memberi makan ternak. Jika mereka tidak sempat, maka yang ditugaskan adalah anak-anaknya sebelum mereka berangkat ke sekolah. Sedangkan bagi perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, yang dilakukan setelah selesai mempersiapkan perbekalan suaminya yang mau berangkat adalah membersihkan rumah seperti menyapu, mencuci piring, membersihkan tempat tidur, mengumpulkan pakaian yang mau dicuci dan menyiapkan keperluan anaknya berangkat ke sekolah. Waktu selesainya pekerjaan menyadap karet, tidak sama antara satu orang dengan yang lain. Hal ini tergantung pada jauh dekatnya lokasi dan banyaknya karet yang disadap. Akan tetapi biasanya menurut informan rata-rata berakhir sekitar pukul 10.00 atau pukul 11.00 dan maksimal pukul 12.00 Wib. Karet yang disadap ada yang diambil langsung pada hari itu setelah ditunggu sekitar 30- 60 menit (1 jam). Saat menunggu tersebut ada yang melakukan aktivitas seperti mencari rotan, atau sayur bagi yang dekat dengan kebun, tetapi ada juga yang menggunakannya untuk istirahat. Selanjutnya getah yang dikumpulkan di masukkan dalam tempat khusus berbentuk kotak yang dibuat dari papan untuk di kentalkan dengan menggunakan obat, dan ada juga yang dibiarkan sampai 2 hari baru diambil. Waktu pengerjaan hasil karet sampai benar-benar kental adalah sekitar 30 menit. Selanjutnya setelah selesai mereka mandi, makan dan ada yang melanjutkan dengan sholat zhuhur. Waktu yang digunakan untuk mandi, makan dan sholat sekitar 1 jam atau baru berakhir sekitar pukul 13.00 Wib. Setelah pukul 13.00 Wib, aktivitas yang dilakukan para wanita di desa Tangkahen cukup beragama, antara lain mengasuh anak (bagi yang punya anak kecil), pergi kehutan atau keladang/kebun, ada juga yang membuat kue, mengikuti pengajian atau arisan Yasinan, mencari ikan di sungai, atau menganyam dan ada juga yang menggunakannya untuk istirahat dan melakukan pekerjaan rumah. Pekerjaan sampingan pergi ke kebun/ladang atau mencari ikan, atau mengayam biasanya baru selesai sekitar pukul 16.00 atau 17.00 Wib. Sedangkan pekerjaan membuat kue, mengikuti arisan Yasinan memerlukan waktu 1 - 2 jam. Acara arisan Yasinan dilaksanakan sekali seminggu yakni pada hari Jumat pukul 14.00 – 16.00 Wib. Pekerjaan sampingan selain memasak dan mengasuh anak sebagaimana disebutkan di atas hanya sewaktu-waktu. Selanjutnya dari pukul 17.00 - 18.00 WIB digunakan untuk kegiatan mandi, makan malam dan ada juga diantara mereka yang melakukan sholat Magrib secara berjamaah di rumah atau di masjid dan mengajari anak-anaknya untuk membaca alQur'an serta membimbing anaknya belajar dan melaksanakan sholat Isya. Kemudian dari pukul 19.00 – 21.00 atau 22.00 WIB digunakan untuk menyaksikan acara televisi atau istirahat, ada juga yang mengisi waktu tersebut sambil menganyam atau mengasah pahat, dan menyiapkan perbekalan yang akan dipergunakan besok hari. Mulai pukul 22.0003.00 WIB mereka gunakan untuk tidur malam. Mereka bangun kembali sekitar pukul Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
51
STAIN Palangka Raya
03.00 WIB atau 04.00 WIB. Kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan di atas merupakan kegiatan rutin yang dilakukan perempuan Desa Tangkahen Menonton acara televisi tidak dilakukan secara terus menerus. Acara yang ditonton juga bervariasi disesuaikan menurut selera masing-masing. Hal ini dapat dimaklumi karena menurut salah seorang informan, dan dikuatkan dari hasil observasi tim peneliti bahwa hampir setiap rumah di desa Tangkahen, memiliki televisi dan bahkan ada beberapa rumah yang sudah mempunyai digital. Untuk kegiatan sholat Magrib, membimbing anak membaca al-Qur'an dan belajar serta sholat Isya tampaknya juga tidak semua perempuan Dayak yang ada di desa Tangkahen melakukannya. Hal ini tergantung dari kebiasaan yang dilakukan, ilmu yang dimiliki dan tingkat kesibukan. Bagi perempuan yang berprofesi sebagai pedagang sebagaimana yang dilakukan ibu Haryati (40 tahun), setelah sholat Subuh, atau kira-kira jam 05.00 WIB, aktivitas yang dilakukan adalah membuka warung. Warung dibuka sampai pukul 22.00 WIB malam hari. Pekerjaan ini menurutnya rutin dilakukan selama ia menjalankan dagangannya kurang lebih 3 tahun berjalan dan bahkan kalau bulan Ramadhan buka selama 24 jam. Disela-sela aktivitas melayani pembeli, ibu yang mempunyai 1 anak ini juga melakukan aktivitas sebagaimana ibu rumah tangga yang lain antara lain memasak, menyapu, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya dan sewaktu-waktu ikut kegiatan sosial keagamaan dan kemasyarakatan lainnya. Bagi perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan mempunyai anak, maka setelah bangun pagi sekitar pukul 04.00 WIB, mereka menyiapkan makanan untuk sarapan pagi bagi suaminya. Di samping itu mereka juga membantu menyiapkan perbekalan dan peralatan yang akan dibawa bekerja. Pekerjaan yang dilakukan sambil menunggu cuaca terang adalah merapikan tempat tidur, menyapu dan membersihkan peralatan makan, menyusui anak dan menyiapkan sarapan pagi untuk anaknya yang akan berangkat ke sekolah. Pekerjaan ini dilakukan sekitar 1 jam yakni dari pukul 05.00 06.00 WIB. Selanjutnya pukul 06.00 - 07.30 WIB dilanjutkan dengan mencuci pakaian. Setelah mencuci pakaian dilanjutkan dengan menyiapkan dan memberi makanan anak yang masih bayi/kecil yakni dari pukul 07.30 - 08.30 WIB, kemudian baru dilanjutkan dengan mencari rempah-rempah/sayuran dan lauk pauk sekaligus memasak untuk makanan siang hingga sampai pukul 10.00 WIB. Selanjutnya dari pukul 10.00 - 12.00 WIB digunakan untuk menidurkan anak dan menyiapkan hidangan untuk suami yang baru pulang bekerja dan terkadang mereka sempatkan untuk sholat Zhuhur. Pada pukul 12.00 – 16.00 WIB digunakan untuk mengasuh anak, membangkitkan dan melipat pakaian dan kadang digunakan juga untuk berkunjung ke rumah tetangga atau jalan soresore serta untuk mengerjakan pekerjaan sampingan lainnya. Selanjutnya pada pukul 16.00 – 19.00 WIB digunakan untuk memandikan bayi bagi yang memiliki bayi, memasak untuk makan malam, menyapu rumah dan makan malam bersama dengan suami dan anak-anak dan terkadang memasukan ternak ke kandangnya. Di atas pukul 19.00 -21.00 WIB digunakan untuk membimbing anak belajar, menonton acara televisi atau berdiskusi dengan suami tentang hal ihwal pekerjaan dan anak dan setelah itu tidur hingga pukul 04.00 atau 05.00 WIB. Pekerjaan seperti ini menurut informan bernama Bawi sudah merupakan pekerjaan ibu rumah tangga yang memiliki anak kecil/bayi. Untuk kegiatan menyadap karet atau pergi ke ladang dan mencari ikan ada yang melakukannya sendiri dan ada juga dilakukan secara bersama-sama suami atau anak mereka. Pekerjaan sebagaimana di atas menurut beberapa informan saat dilakukan wawancara tidak sampai mengganggu/menelantarkan anak dan menjadikan suaminya tidak terarus. Bahkan menurut penuturan mereka, mereka seringkali mendapat dorongan/dukungan dari suami. Mengingat pekerjaan di atas, merupakan pekerjaan Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
52
STAIN Palangka Raya
rutin, maka soal pembagian waktu tidak terlalu menyulitkan. Hasil dari pekerjaan utama maupun sampingan biasanya digunakan untuk membantu kebutuhan rumah tangga, membeli peralatan rumah bagi yang belum memiliki rumah, membeli pakaian baru, membiayai anak sekolah, membeli perabot rumah tangga, mengisi arisan, ditabung dan sesekali memberikan sumbangan untuk kegiatan sosial keagamaan. Selanjutnya mengenai ada atau tidak keinginan mereka untuk beralih kepada profesi lain, tampaknya juga cukup beragam. Ada yang mengatakan punya keinginan beralih profesi seperti berdagang, atau memelihara ikan. Keinginan seperti ini ada pada mereka yang tidak memiliki lahan tambang emas atau kebun karet sendiri. Namun ada juga sebagian besar dari mereka yang tidak mau beralih profesi dan tetap bertahan pada pekerjaan yang telah ditekuninya dengan alasan, pekerjaan baru yang diinginkan belum pasti dapat memperoleh penghasilan sebagaimana pekerjaan yang sudah ada. Di samping itu mereka berpendapat bahwa keterampilan yang mereka miliki hanyalah sebatas keterampilan yang mereka geluti sekarang. Mengenai pilihan antara bekerja di rumah dengan di luar rumah, menurut informan kalau pekerjaan di rumah dapat meningkatkan penghasilan, maka lebih baik di rumah, tetapi kalau pekerjaan itu berada di luar rumah dan dapat meningkatkan pendapatan, maka bekerja diluar lebih baik. Bekerja sebagai petani karet, pedagang maupun pekerjaan sampingan lainnya dilakukan atas kesadaran sendiri, dilakukan dengan senang hati, yang bertujuan untuk membantu ekonomi dan nafkah keluarga. Selanjutnya mereka juga mengakui dengan mengatakan "kalau kami tidak bekerja, maka ada perasaan malu dengan tetangga yang lain, demikian juga kalau ada remaja yang sudah tidak sekolah, tetapi tidak bekerja (menjadi pengangguran) perasaan tidak enak dan malu". Namun hal ini sangat jarang karena para remaja maupun yang sudah berkeluarga rata-rata pagi hari bekerja menurut profesinya masing-masing. Alasan lainnya adalah karena dengan bekerja badan menjadi sehat, tidak sakit-sakitan. Sebelum dan sesudah bekerja sebagian informan mengatakan selalu mengawali dengan ucapan bismillah dan mengakhirnya dengan bacaan syukur alhamdulillah. Hal ini mereka lakukan dengan alasan karena kalau ingat dengan Allah, mudah-mudahan rejeki meskipun sedikit jadi berkah dan memohon kepada Allah mudah-mudahan rejeki kami diluaskan lagi. Sebab bagaimanapun kita bekerja menurut mereka kalau Allah belum menghendaki rejeki, maka tetap saja kita tidak akan berhasil dengan berbagai sebab seperti turun hujan saat kita menyadap karet. Tetapi dengan ingat kepada Allah dan dekat kepadanya seperti melalui ucapan tadi mungkin saja Allah akan menambah rejeki kita dan cuaca jadi bersih, selamat dalam melakukan kegiatan dan perasaanpun menjadi senang dan bahagia. Mereka juga mengakui bahwa keterlibatan mereka bekerja dengan berbagai macam profesi sebagaimana digambarkan di atas akan sangat bermanfaat didalam membantu tugas suami untuk mencari nafkah sekaligus sangat membantu didalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka juga berkeyakinan apapun yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari selama pekerjaan itu halal, insya Allah akan mendapat ganjaran dari Allah SWT Tuhan yang maha kuasa. Apa yang dipahami dan dilakukan oleh perempuan suku Dayak di atas, menunjukan bahwa keyakinan dan kepercayaan mereka kepada Allah begitu tinggi, Hal ini juga menunjukan bahwa pemahaman mereka terhadap ajaran agama terutama yang terkait dengan konsep bekerja dan tawakal cukup baik. Terkait dengan berdo’a sebelum bekerja ini juga dapat dipahami dari hadis Nabi Saw yang artinya : “Setiap urusan yang tidak diawali dengan menyebut nama Allah, maka akan terputus”. Harapan para perempuan Dayak desa Tangkahen kepada aparat pemerintah antara lain agar dapat meningkatnya harga karet atau emas dan harga bahan pokok menjadi lebih murah. Hal ini disebabkan karena antara harga karet dengan pemenuhan kebutuhan Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
53
STAIN Palangka Raya
hidup sehari-hari dengan standar harga sekarang, kurang mencukupi. Di samping itu mereka juga berharap lancarnya transportasi antara desa dengan ibu kota kecamatan dan kabupaten termasuk provinsi, sehingga memudahkan pemasaran hasil karet atau hasil pekerjaan lainnya yang di hasilkan oleh masyarakat dan kepada aparat pemerintah agar dapat lebih memperhatikan nasib rakyat /masyarakat yang ada di daerah pedesaan. Dilihat dari pola dan bentuk pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dayak Muslim di desa Tangkahen, kecamatan Banama Tingang Kabupaten Pulang Pisau sebagaimana paparan data di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa rata-rata mereka dalam kesehariannya sebagai tipe perempuan pekerja, baik bekerja di dalam rumah maupun di luar rumah (domestik dan publik). Demikian juga dilihat dari sisi penggunaan waktu, tampaknya juga dalam keseharian tidak banyak waktu yang terbuang dengan percuma tetapi waktu tersebut digunakan semaksimal mungkin baik untuk melakukan pekerjaan utama seperti menyadap karet, berdagang dan sebagai ibu rumah tangga maupun untuk pekerjaan sampingan seperti pergi ke ladang, berkebun, mencari rotan, membantu suami mencari ikan dan lain sebagainya. Dilihat dari pola kerja perempuan Dayak di Tangkahen, maka etos kerja yang mereka lakukan karena dorongan ekonomi keluarga, kesadaran akan tanggung jawab terhadap keluarga yang berhubungan dengan sandang, pangan dan papan. Tampaknya hal inilah yang menjadi motivasi kuat dan fundamental mereka giat bekerja. Sebagai pribadi Muslim bekerja adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset, pikir dan zikir untuk mengaktualisasikan diri sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khairu ummah). Dengan perkataan lain bahwa dengan bekerja manusia memanusiakan dirinya.19 Dalam Islam bekerja merupakan ibadah dan merupakan pengabdian serta rasa syukur kepada ilahi agar mampu menjadi umat yang terbaik sekaligus wujud dari kesadaran diri tentang “bumi diciptakan oleh Allah sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos yang terbaik sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an pada surat alKahfi [18] ayat 7 :“Sesungguhnya kami telah ciptakan apa-apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, supaya kami menguji mereka siapa yang terbaik amalnya”. Menurut Supardi (2005) prinsip kerja yang baik dan sesuai dengan ajaran Islam adalah kerja kecil yang melingkupi kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Dalam kiatan dengan kerja keras ajaran Islam yang termaktub al-Qur’an dan Hadis sangat jelas mengecam sifat pemalas, tidak mau bekerja. Sebaliknya Islam memuji mereka yang suka bekerja keras, berinisiatif meraih kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman dalam surat al-Qashash, [28] ayat 77 : “ Carilah padanya apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi”. Hasil penelitian ini juga paling tidak membantah adanya suatu anggapan bahwa masyarakat dayak adalah masyarakat yang pemalas, mempunyai kebiasaan suka melakukan ladang berpindah sehingga banyak hutan menjadi gundul ternyata tidak selamanya benar. Sebab dari hasil pengamatan dan wawancara menunjukan bahwa ketika mereka membuka ladang, maka bekas ladang yang mereka buka ternyata tidak mereka tinggalkan begitu saja, tetapi mereka tanami dengan berbagai jenis tanaman antara lain tanaman karet dan pohon buah-buahan dan sayur-sayuran. Bekas ladang yang telah mereka tanami pohon karet dan buah-buahan serta sayur-sayuran tadi justru mereka 19
Tasmara, 2002, Etos…, hal. 25
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
54
STAIN Palangka Raya
kelola dan mereka pelihara sampai pohon karet tersebut benar-benar dapat dipanen dengan memakan waktu 10 sampai 15 tahun lamanya. E. Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Perempuan Suku Dayak Desa Tangkahen Kecamatan Banama Tingang Kabupaten Gunung Mas Melihat cukup tingginya semangat perempuan Dayak dalam bekerja, nampaknya tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut ada yang sifatnya berasal dari diri individu, dari pemahaman ajaran agama, faktor budaya, faktor lingkungan sosial tempat tinggal, pengaruh informasi dan transportasi yang berkembang dan lain sebagainya. Faktor tersebut antara lain: Pertama, Mereka bekerja karena sebuah kesadaran dari diri mereka sendiri, bekerja merupakan suatu keharusan orang hidup dan kalau tidak mau bekerja berarti kita tidak susah hidup. Orang hidup, perlu makan, perlu pakaian, perlu tempat tinggal, perlu hiburan dan lain sebagiannya, maka untuk dapat memenuhi keperluan tersebut mau tidak mau kita harus bekerja. Dengan bekerja berarti kita juga berusaha untuk tidak bergantung selamanya kepada orang lain seperti ayah dan ibu serta saudara-saudara. Proses perjalanan hidup sebenarnya telah mengajarkan kepada seseorang untuk tidak selamanya bergantung pada orang lain . Hal ini tergambar dari awalnya kita tidak bisa makan sendiri, berjalan sendiri, memakai baju sendiri, namun setelah dilatih dan kita dewasa kita dituntut untuk melakukan itu semua secara mandiri. Kedua, Faktor agamapun nampaknya merupakan salah satu faktor yang mendorong para perempuan Dayak Muslim bekerja. Hal ini terungkap dari penuturan beberapa informan yang mengatakan bahwa " Tuhan jadi manantu akan umur itah, jodoh itah, rajaki itah. Namun itah jida hatawan sikuweh razaki tanau, pere razaki itah, makae itah harus manggau rajaki itahna lewat bausaha. Ujan jatun manjatu bara langit mun jatun prosese, Tuhan jatun merobah nasib uluh, mun uluh jida maubah nasib itah kabuat Rajaki jatun mungkin dumah kabuat. Bagawipun inyuhu awi Tuhan". Maksudnya adalah Tuhan telah menentukan umur kita, jodoh kita, rejeki kita, tetapi karena kita tidak tahu dimana rejeki kita, seberapa besar rejeki itu, maka untuk kita harus menuntutnya dengan cara bekerja. Hujan tidak akan datang dari langit secara tiba-tiba tanpa ada prosesnya. Tuhan tidak akan merobah nasib kita sebelum kita berusaha untuk merobah nasib dengan cara bekerja dan rezki kita akan mungkin datang sendirinya. Bekerja juga merupakan perintah Allah. Ketiga, Alasan lain yang mendorong mereka bekerja adalah alasan kesehatan. Mengingat bahwa mereka sudah terbiasa bekerja, maka kalau tidak bekerja menurut mereka badan terasa tidak enak dan sakit. Hal ini disebabkan ketika mereka bekerja lebih-lebih harus berjalan jauh, biasanya keringat akan keluar sehingga terjadi pembakaran dalam tubuh dengan sebab itu badan tidak kaku, darah menjadi lancar dan badan terasa sehat, tidur jadi enak Sebaliknya jika mereka yang sudah biasa bekerja, menggerakan otot kalau tidak bekerja, badan terasa kaku, sehingga kerapkali muncul berbagai penyakit. Keempat, sudah menjadi budaya dan kebiasaan yang turun temurun masyarakat setempat untuk bekerja terutama menyadap karet. Oleh karena itu kalau ada yang tidak bekerja lebih-lebih apabila sudah punya tanggungan, maka dianggap sebagai orang yang aneh dan kerap kali menjadi buah bibir masyarakat. Di samping itu tradisi di masyarakatpun memungkinkan memberikan keleluasaan bagi pihak perempuan untuk bekerja di luar rumah. Kelima, Alasan lain yang menuntut mereka harus bekerja karena rata-rata mereka mempunyai tanggungan yang harus diongkosi baik yang belum sekolah maupun yang Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
55
STAIN Palangka Raya
sudah sekolah serta memiliki penghasilan yang kurang menguntungkan dibanding dengan orang lain. Maka untuk membantu suami memenuhi keperluan anak sekolah, juga menjadi daya dorong mereka bekerja, lebih-lebih di antara informan mengakui bahwa diantara mereka ada yang berpenghasilan pas-pasan dan kadang hasil dalam sebulan tidak mencukupi untuk menutupi keperluan sebulan. Oleh karena itu mau tidak mau kondisi seperti ini juga merupakan salah satu faktor yang menuntut para perempuan untuk bekerja. Di samping itu mereka juga mengakui bahwa mereka bekerja karena ingin membeli perabotan rumah tangga, membeli barang elektronik, ingin mendirikan rumah dan membeli perhiasan sedikit demi sedikit untuk persiapan hari tua serta membeli pakaian. Keinginan untuk memiliki rumah ini biasanya ada pada mereka yang sudah berumah tangga tetapi masih menumpang di rumah orang tuanya. Bagi anak yang baru berkeluarga, atau yang sudah lama berkeluarga dan tidak mampu untuk membuat rumah sendiri, biasanya mereka masih tetap tinggal di rumah orang tuanya. Namun kalau terus menerus ikut dengan orang tua menurut mereka ada perasaan malu, sehingga dengan demikian mendorong mereka untuk sedikit demi sedikit mengumpulkan uang dan peralatan agar dapat mendirikan rumah sendiri. Agar uang terkumpul caranya antara lain dengan ikut arisan. Bagi mereka yang ingin membeli barang perabot rumah tangga atau perhiasan biasanya ada juga karena terpengaruh dengan tetangga yang memiliki perhiasan dan perabot, sementara keinginan membeli barang elektronik disebabkan antara lain agar anak mereka betah di rumah dan tidak menonton di rumah tetangga. Keenam, selain faktor di atas, yang mendorong mereka bekerja adalah karena bekerja terutama sebagai penyadap karet merupakan pekerjaan yang cukup menjanjikan, ditambah lagi kalau ditunjang dengan cuaca yang baik dan harga yang cukup menjanjikan. Di samping itu karena keterampilan yang mereka miliki juga rata-rata sebagai petani karet. Alasan lain ada juga sebagiannya karena sebelumnya telah meminjam uang kepada pembeli karet dengan perjanjian utang tersebut dibayar saat menjual hasil karet. Ketujuh, dilihat dari sisi antropologis dan teologis, ada beberapa semboyan sekaligus sebagai prinsip hidup yang masih dipegang oleh sebagian masyarakat Dayak termasuk kaum perempuan di desa Tangkahen Semboyan ini lahir dari sebuah pengalaman hidup, juga lahir dari sebuah pemahaman agama yang memacu semangat mereka untuk bekerja lebih gigih sehingga tidak ketinggalan dengan orang lain dan menuntut mereka harus pagi-pagi bangun pagi-pagi untuk bekerja yakni ". Aweh jidia misik pagi-pagi atau aweh lambat misik, ie jidia buah bagian rezki ji imbagi malaikat rahmat", Pagi-pagi huma imbuka, supaya ada rajaki tame huma'', "uluh tau bagawi buahen itah jidia tau bagawi, ". Maksud nya adalah "Siapa yang tidak bangun pagi-pagi atau siapa yang terlambat bangun, maka dia tidak akan mendapat bagian rezeki yang dibagikan malaikat rahmat". Pagi-pagi rumah harus dibuka supaya rezeki masuk rumah", Orang bisa bekerja kenapa kita tidak bisa bekerja". Kedelapan, ada juga sebagai informan, bekerja karena dorongan agar dapat mengubah nasib menjadi lebih baik dan dapat hidup layaknya orang-orang di perkotaan. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa rata-rata perempuan Dayak di desa Tangkahen bekerja, setidaknya sebagai ibu rumah tangga. Kalaupun ada yang tidak bekerja disebabkan karena sakit atau karena ada kegiatan lain seperti ada para tetangga yang terkena musibah seperti kematian, ada tetangga yang melaksanakan acara walimah. Karena bekerja merupakan kebiasaan masyarakat setempat, maka ketika bekerja baik yang kasar maupun yang halus sudah biasa dan tidak ada perasaan minder dengan orang lain dan bahkan muncul rasa senang dan bahagia karena sudah dapat berkarya seperti layaknya masyarakat yang ada di lingkungan. Informan juga mengakui Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
56
STAIN Palangka Raya
kalau orang lain bekerja sementara kita tidak bekerja, maka ada perasaan malu kepada masyarakat, demikian juga kalau ada anak yang tidak bersekolah dan menjadi pengangguran juga ada perasaan malu. Sebagai orang tua, kalau ada anak yang tidak bekerja, maka mereka berusaha untuk mencari pekerjaan untuk anaknya antara lain dengan memberi bantuan modal. Selanjutnya kalau dilihat dari sisi yang menghambat dalam melakukan pekerjaan utama ada yang berasal dari alam dan kesulitan pemasaran. Dari alam seperti banjir dan hujan, karena pada saat banjir biasanya pohon karet banyak yang tergenang air sehingga menyadap karet tidak memungkinkan dilakukan. Demikian juga ketika terjadi hujan, biasanya karet yang telah disadap akan mengalami kegagalan karena air getah akan terbawa hanyut oleh air hujan. Sementara kalau dari sisi pemasaran, juga ada mengalami kesulitan karena biasanya mereka yang menjadi petani karet hanya menjual hasilnya sebatas dengan pembeli yang ada di desa, sementara untuk menjual langsung ke pabrik cukup sulit karena jalan yang kurang baik dan harus menempuh jarak yang cukup jauh (ke Banjarmasin). Akibatnya harga yang dipatok pembeli di desa dengan harga pabrik ada perbedaan. Oleh karena itu, kepada pemerintah Kalteng diharapkan dapat mendirikan pabrik getah seperti di Palangka Raya. Karena menurut mereka dilihat dari hasil getah yang ada disepanjang sungai Kahayan per bulan memungkinkan untuk didirikannya pabrik getah/karet. Ketika ditanya tentang keinginan mereka untuk pindah ke kota nampaknya tidak ada yang berminat dengan alasan mereka merasa sudah senang hidup di desa dengan pekerjaan yang ditekuni, sementara hidup di kota, belum tentu mereka dapat bekerja sebagaimana sekarang. Selanjutnya mengenai keinginan untuk menambah usaha seperti memelihara ikan, nampaknya juga ada sebagian yang berminat tetapi kendalanya adalah kurangnya permodalan. Mengenai kegagalan yang mereka alami saat bekerja hanyalah ketika saat bekerja turun hujan, sehingga air getah yang sudah di sadap tadi kebanyakan hilang percuma. namun hal ini mereka mengatakan hal in I adalah biasa. Kalaupun sedikit yang diperoleh itulah re dilakukan dengan senang hati rezeki yang diberikan Tuhan. Hikmah lain menurut mereka dengan adanya hujan turun berarti Tuhan pun menyuruh kita untuk beristirahat atau menyuruh melakukan pekerjaan lain. Semua itu ada hikmah dan manfaatnya bagi manusia. F. Penutup Dilihat dari bentuk/pola kerja perempuan Dayak di desa Tangkahen dapat dikelompokkan maka secara umum mereka menjadikan pekerjaan menyadap karet sebagai pekerjaan utama di samping sebagai ibu rumah tangga. Sementara pekerjaan ke ladang atau ke kebun, membuat berbagai kerajinan, mencari rotan, sebagai nelayan, beternak merupakan pekerjaan sampingan. Motivasi mereka bekerja yang utama adalah untuk membantu suami memenuhi kehidupan rumah tangga. Bekerja bagi perempuan Dayak di desa Tangkahen juga merupakan suatu tradisi yang sudah mengakar dari waktu ke waktu dan dilakukan secara turun temurun. Mereka juga cukup ulet dan sabar dalam bekerja dan keadaan alam juga seolah-olah tidak membuat mereka menyerah begitu saja. Hal ini terbukti sejak pagi-pagi sebelum cuaca benar-benar terang mereka sudah banyak yang berangkat ke hutan. Semangat bekerja inipun dapat terlihat, ketika mereka harus bangun rata-rata jam 03.00 WIB guna mempersiapkan peralatan dan keperluan untuk bekerja termasuk mempersiapkan keperluan anak-anak mereka yang akan berangkat ke sekolah. Terkadang jam 04.00 atau jam 05.00 WIB mereka sudah berada di sungai mendayung sampan untuk Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
57
STAIN Palangka Raya
menuju lokasi pekerjaan dan baru pulang ke rumah rata-rata jam 11.00 atau 12.00 WIB dan tidak jarang ada yang sampai jam 13.00 atau jam 14.00 WIB. Sedangkan waktu sore dari jam 13.00 atau jam 15.00 WIB sampai menjelang waktu Magrib mereka mengisi dengan kegiatan sampingan atau kegiatan social kemasyarakatan dan social keagamaan dan tentu saja untuk mengurus keperluan pribadi dan keperluan rumah tangga juga tidak mereka lupakan. Sedangkan waktu malam ada juga yang menggunakan waktunya untuk mengajari anak-anak mereka membaca al-Qur'an, memberikan bimbingan belajar atau sekedar untuk menghibur diri dengan menyaksikan acara televisi guna menghilangkan kepenatan setelah bekerja seharian. Di samping bekerja, mereka juga tampaknya tidak melupakan berbagai kewajiban untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan ibadah seperti sholat dan berdo'a. Dilihat dari faktor yang mempengaruhi etos kerja mereka antara lain (1) Mereka bekerja karena sebuah kesadaran dari diri mereka sendiri guna memenuhi keperluan hidup; (2) Faktor agama yakni bekerja merupakan ibadah; (3) Faktor kesehatan; (4) Kultur atau tradisi dan kebiasaan masyarakat setempat; (5) Tuntutan hidup dan pengaruh lingkungan. Sedangkan faktor penghambat adalah : (1) ketergantungan mereka terhadap musim; (2) Tingkat pendidikan yang masih relatif rendah; (3) Belum adanya infrastruktur yang layak; (4) Belum terbentuknya wadah organisasi seperti koperasi yang dapat menampung dan memasarkan hasil pekerjaan mereka, belum adanya pembinaan terhadap potensi dan keterampilan yang mereka; (6) Masih sulitnya jalur transportasi.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007
58
DAFTAR PUSTAKA
STAIN Palangka Raya
Abdullah, Taufik, 1979. Tesis Weber dan Islam di Indonesia, dalam Taufik Abdullah (ed), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta.
Anoraga, Panji, 1998, Jakarta Arikonto, Suharsimi. 1995. Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta. Asad, M., 1999. Psikologi Industri, Liberty, Yogyakarta Asmaran AS., 1994. Pengantar Studi Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Azra, Azumardi, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, PT. Saptodadi, Jakarta. Baidan, Nashruddin, 2003. Konsep Teologi Islam dalam Pengentasan Kemiskinan, dalam Teologi Islam Terapan, PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo. Dananjaja, J. 1990, "Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah", dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta Depdikbud, 1979. Monografi Daerah Kal-Teng Harawung, A.J. dkk., 1996. Perubahan Peranan Wanita Pedesaan di Kal-Teng dalam Konteks Pembangunan Desa, Depdikbud. Ihromi, TO. 1995. Kajian wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Lee, Supardi, 2005. Kerja Kecil: Kerja Keras, Cerdas dan Ikhlas, BritZ Publisher, Jakarta. Lembaga Penelitian UNPAR Palangka Raya, 2005. Sejarah Kalimantan Tengah, Kerjasama Lembaga Penelitian UNPAR dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Muhajir, Noeng, 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta. Nasution, Harun, 1983. Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Nusan, Timoteus, dkk., 1996. Fungsi Keluarga dalam Meningkatkan Kualitas SDM di Kalimantan Tengah, Depdikbud. Qadir, A., 1999. Metodologi Riset, STAIN Palangka Raya Qardawi, Yusuf, 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam, terjemah Dahlia Husein, Gema Insani Press, Jakarta. Sajogyo, Putjiwati, 1995. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa, CV. Rajawali, Jakarta Tasmara, Toto, 2002. Etos Keja Islami, Gema Insani Press, Jakarta --------, 1995. Etos Kerja Pribadi Muslim, PT. Drama Bhakti Wakaf, Yogyakarta Usman, Sunyuto, 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Yayasan Betang Borneo Kalteng, 2001. Menengok ke Tengah Tanah Borneo (Saat Masyarakat Dayak Ot-Danum Mengelola Alamnya), Yayasan Betang Borneo Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2007