43
STAIN Palangka Raya
FAZLUR RAHMAN: KONSEPTUALISASI HADITS
Paryadi Abtrak Pergulatan pengkajian tentang Sunnah - Hadits selalu menarik perhatian para pemikir Islam karena posisinya sebagai hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an. Problematika mendasarnya pada aspek historitas munculnya Sunnah – Hadits dan hubungan keduanya pada nilai normativitasnya. Fazlur Rahman dengan pendekatan historis menjelaskan proses evolusi sunnah melalui periodeisasi. Pertama masa Rasulullah, sunnah bersifat interpretative yang menyatu dengan ijma' dan ijtihad menjadi kesatuan organik. Kedua masa semiformal setelah beliau meninggal dengan memisahkan sunnah dengan ijtihad dan ijma' karena ada berbagai kepentingan otoritas. Ketiga masa formal dengan membukukan sunnah menjadi hadits dan meniadakan ijtihad dan ijma' untuk kestabilan masyarakat, sehingga sunnah menjadi mekanistik yang kaku dan statistik. Kata kunci: Sunnah, Hadits, Evolusi
A. Pendahuluan Istilah Sunnah dan Hadits telah digunakan secara meluas dan studi-studi keislaman untuk menunjuk kepada teladan dan otoritas Nabi.1 Dalam memahami Islam dalam segala aspeknya tidak mungkin seseorang mengabaikan Sunnah dan Hadits sebab keduanya adalah sumber kedua hukum Islam setelah Al-Qur'an.2 Meskipun telah popular di kalangan masyarakat, pengertian kedua istilah tersebut tidaklah dengan serta merta menjadi jelas dan terbatas dari kontroversi. Sebagian orang Islam tidak memandang penting bahwa antara Hadits dengan Sunnah harus dibedakan karena untuk mengetahui al-Sunnah kita harus membaca buku-buku Hadits.3 Namun ada seseorang sering kali mendapatkan kata Hadits dengan kata Sunnah atau digunakan secara bergantian.4 Ulama dari masingmasing disiplin ilmu menggunakan istilah tersebut dengan didasarkan atas sudut pandang yang berbeda sehingga mengkonskwensikan munculnya pengertian keduanya secara berbeda pula. Pergulatan pemikiran kontemporer mengenai Hadits, baik yang dilakukan oleh para pemikir muslim (insider) maupun para orientalis (outsider) mengalami dinamika perkembangan yang signifikan. Hal ini nampak dari banyaknya pengkaji khususnya dari kalangan muslim yang mencoba memekarkan dan mengkritrisi pemikiran tentang Hadits, seperti Fazlur Rahman dari Indo Pakistan, Yusuf Qordawi dari mesir, Muhammad Syahrur dari Syiria, dan Musthafa al-Azami dari India. Sedangkan dari kalangan non muslimin (baca: orientalis), kajian Hadits antara lain dilakukan oleh Sprenger, Ignaz Goldziher, Montgomery Watt, Joseph Schacht dan lain sebagainya. Diakui atau tidak, Hadits selalu menjadi kajian
Penulis adalah dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Hidayatullah Balikpapan. Musahadi Ham, Evaluasi Konsep Sunnah, (Semarang: Aneka Ilmu, Semarang, 2000), h. 19. 2 Jail Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Rosda, 2000), h.40. 3 Muhammad Zuhri, Hadits Nabi telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Kencana 2003), h. 3. 4 Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam, terj. M. Maufur, (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 354 1
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
44
STAIN Palangka Raya
problematika dan menarik bagi para pemikir muslim, baik yang mengkajinya sebagai pembela maupun sebagai penentangnya.5 Oleh sebab itu, konseptualisasi hadits yang ditawarkan Fazlur Rahman menjadi penting untuk dikaji sebagai salah satu pemikir Islam yang concern dalam lapangan penelitian hukum Islam. Kajiannya mencoba membahas teori dan konsep Sunnah menuju konsep Hadits dari tinjauan historisnya. B. Kegelisahan Akademik Ada kecenderungan-kecenderungan yang kuat di dalam masyarakat kita yang, demi mereka katakan sebagai "progretivisme", ingin mengesampingkan Hadits dan Sunnah Nabi.6 Mereka pada umumnya mengingkari hadits yang tidak mereka yakini berasal dari Nabi. Kecenderungan ini di samping tidak memiliki pandangan ke depan juga kurang memahami masalah-masalah secara jelas dan sama sekali buta terhadap evolusi Hadits. Tanpa landasan ilmu pengetahuan atau tanpa wawasan tajam mereka kadang-kadang mengatakan bahwa Hadits-Hadits tidak bersifat histories, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan petunjuk sehubungan dengan Sunnah Nabi. Di kalangan orientalis telah mengakar suatu pendapat bahwa sebagian terbesar hadits merupakan hasil perkembangan Islam dalam bidang agama, politik dan social, yaitu abad pertama dan kedua. Dan, Hadits bukanlah merupakan dokumen Islam pada masa awal pertumbuhannya, melainkan merupakan salah satu efek kekuasaan Islam pada masa kejayaannya.7 Bahkan kadang-kadang kepada kita secara naïf sekali dikatakan bahwa Hadits-Hadits mungkin saja bersifat histories tapi tidak mengandung kenormatifan syari'ah; atau dengan perkataan lain: walaupun sahih namun-namun Hadits-Hadits tidak merupakan Sunnah bagi kita. Dengan berbagai himpitan pendapat di atas, Fazul Rahman merasa sangat gelisah untuk menjawab, apakah hubungan yang sesungguhnya di antara Sunnah dan Hadits? Apabila kita mencari jawaban terhadap pertanyaan ini dari kegiatankegiatan kontemporer dan desertasi yang bertele-tele mengenai Hadits maka kita tidak akan berhasil. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Fazlur Rahman mengajak kita untuk mempelajari sejarah secara mendalam dan konstruktif. C. Pentingnya Topik Penelitian Pemahaman Nabi terhadap pesan-pesan Tuhan dan teladan beliau dalam melaksanakan pesan-pesan Tuhan ini kemudian membentuk "tradisi" atau "Sunnah" ke-Nabian (al-Sunnah al- Nabawiyah). Sedangkan Hadits merupakan bentuk laporan atau reportase tentang apa yang disabdakan Nabi atau tindakan orang lain yang di diamkan beliau yang dapat dikatakan sebagai pembenaran.8 Sepeninggal Nabi, apa yang datang dari sahabat dimasukkan sebagai hadits karena sahabat adalah orang yang selalu bergaul dengan Nabi, mendengar 5
Fazlur Rahman, dkk. Wacana Study Hadits Kontenporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h.55. 6 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anis Mayuddin, (Bandung; Pustaka, 1995), h. 109. 7 M, Ajaj al-Khathib, Hadits Nabi sebelum Dibukukan, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 299. 8 Musahadi, Evaluasi …, h. 6.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
45
STAIN Palangka Raya
sabdanya dan menyaksikan perbuatannya. Kemudian fatwa yang dikeluarkan oleh generasi sesudah sahabat (generasi tabi'in) disebut hadits. Alasannya sama, karena mereka adalah orang yang paling mengetahui ajaran yang dibawa para sahabat Rasulullah.9 Kemudian catatan hadits tertua yang kini kita temukan adalah al-Muwattta' tulisan Imam Malik yang hidup antara 713-795 M (Bandingkan dengan tahun Rasulullahwafat 632 M). Ada hampir satu abad antara masa produksi hadits dengan kitab hadis tertua. Karenanya banyak orang (baca: orientalis) tidak mengetahui detail bagaimana cara para ulama hadits, seperti al-Bukhori menulis hadits, menganggap hadits atau sunnah itu lebih menggambarkan tradisi dari pikiran yang berkembang di masyarakat penulisnya, kemudian dinyatakan berasal dari Nabi.10 Sebab lainnya mengapa para penulis barat menolak bahwa sunnah Nabi merupakan konsep operatif sejak awal adalah bahwa mereka tidak menemukan term sunnat al-Rosul dalam literatur-literatur awal.11 Hal ini mungkin benar adanya karena karya sejarah nabi yang awal yaitu karya Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishaq tidak menyebutkan term tersebut. Selanjutnya ada perbedaan dalam memahami Sunnah. Di satu pihak aktifitas Nabi bisa ditafsirkan secara bebas menurut keadaan-keadaan yang berubah, sedangkan di pihak lain dikemukakan peraturan-peraturan yang tidak dapat dirubah; di satu pihak secara terus-menerus dilakukan usaha pencarian terhadap apakah yang sebenarnya yang diperjuangkan Nabi, sedangkan di pihak lain yang diajukan adalah sebuah system yang kaku, tegas dan tetap, sebuah sistem yang ditempa sebagai sebuah kerangka yang kokoh.12 Oleh sebab itu dengan konseptualisasi Hadits Fazlur Rahman ini, berusaha mengoreksi pandangan para orientalis dengan menegaskan bahwa temuan-temuan mereka mengenai Sunnah hanya benar sehubungan dengan kandungannya tapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya. Sunnah Nabi, demikian tegasnya, tetap merupakan konsep yang memiliki validitas dan operatif sejak awal sejarah Islam hingga kini. D. Hasil Penelitian Terdahulu Di anak benua Indo-Pakistan, tempat kelahiran Fazlur Rahman terjadi tendensi skeptisisme Hadits. Hal ini bermula dari Sir Sayyid dan koleganya mengotak-atik Hadits. Skeptisisme Sir Sayyid ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kalangan modernis di anak benua tersebut, diantaranya andalah skeptisisme Pawez dalam formula "Islam" Konstitusi 1965. Parwez tampaknya mengelaborasi lebih jauh skeptisisme Sir Sayyid untuk memberi definisi "Islam" bagi Pakistan yang semata-mata bertumpu pada Al-Qur'an. Bagi Parwez, Hadits tak dapat dipandang sebagai sumber hukum kedua Islam. Dengan mengembangkan metode kritik matan Sir Sayyid, ia sampai pada kesimpulan yang ekstrem bahwa karena hadis banyak mengandung hal-hal yang tidak masuk 9
Muhammad Zuhri, Hadits Nabi … h. 8. Ibid, h. 28 11 Musahadi, Evaluasi …, h. 93. 12 Fazlur Rahman, Membuka …, h. 41. 10
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
46
STAIN Palangka Raya
akal, terlalu antropomorfis, bahkan memalukan secara moral, maka ia tidak dapat dipandang sebagai sumber dari Nabi.13 Kemudian di antara sarjana-sarjana Barat Modern ada Ignaz Goldziher, seorang ahli yang pertama sekali mempelajari evolusi Hadits, menyatakan bahwa begitu Nabi Muhammad tampil maka segala perbuatan dan tingkah lakunya merupakan Sunnah bagi masyarakat Muslim yang masih baru tersebut idealitas Sunnah dari orang-orang Arab sebelum Islampun berakhir.14 Maka dia mengatakan sunnah adalah istilah animis, kemudian dipakai oleh orang Islam, apalagi didukung oleh data bahwa kata-kata sunnah terdapat dalam syair-syair Jahiliyah.15 Goldziher berpendapat bahwa fenomena Hadits kembali pada masa – masa permulaan Islam dan bahkan ia mengakui kemungkinan adanya Hadits "tidak resmi" yang merekam peristiwa pada zaman Nabi, kendati ia mengemukakan ketidakpercayaan mengenai beberapa rekaman yang dikeluarkan (shahifah) pada masa itu.16 Dukungan untuk pendapat ini adalah fakta adanya sejumlah teks hadits yang muncul dengan pesatnya, padahal hadits-hadits itu tidak pernah ada sebelumnya. Jika ditelusuri dalam sejarah, fakta ini bias jadi benar adanya, karena setelah wafat Rasulullah banyak riwayat yang muncul dengan sandaran Rasulullah tetapi kenyataannya bukan sama sekali.17 Dia juga berpandangan bahwa sumber ini bukanlah sumber yang asli, tetapi sumber yang merefleksikan perkembangan-perkembangan teoritis yang belakangan dan karenanya pada awalnya sunnah semata-mata merujuk pada tradisi-tradisi lokal yang berpengaruh dominan di pusat-pusat wilayah, kemudian menjadi dominant di dunia Islam yaitu Madinah (Hijaz), Kufah (Irak) dan Damaskus (Syria).18 Di lain pihak Goldziher mengakui unsur normative sunnah dan fakta bahwa Hadits bisa jadi merekam sunnah atau tidak dan sunnah tidak harus terekam dalam bentuk hadits.19 Inilah yang dikatakan Fazlur Rahman bahwa penggambaran Ignaz ini di belakang hari penggambarannya berubah dengan cara yang tidak kentara.20 Sementara sarjana Belanda Snouk Hurgronje juga mengadakan penelitian terhadap evolusi hadits dan mengambil kesimpulan bahwa sunnah (aturan–aturan normatif) yang terdapat dalam berbagai hadis, di dalam kenyataannya merupakan postulat-postulat dogmatis kaum muslimin sendiri.21 Dia juga menyatakan bahwa kaum muslimin sendiri menambah-nambah Sunnah Nabi, sehingga semua hasil pemikiran dan praktek muslimin dianggap Sunnah Nabi.
13
Taufiq Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas Study atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman,(Bandung: Mizan, 1989), h. 5 14 Ibid, h. 6. 15 Zuhri, Hadits Nabi …, h. 7. 16 Fazlur Rahman, Islam. terj. Asin Muhammad, (Jakarta: Bina Aksara 1987), h. 96. 17 Yasin Dutton, 2003, h. xvi. 18 Ibid, h. 376. 19 Ibid, h. 256. 20 Fazlur Rahman, Membuka …, h. 164. 21 Taufiq Adnan, Islam …, h. 164.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
47
STAIN Palangka Raya
Beberapa ahli terkenal lainnya seperti Lammens dan Morgholiouth berpendapat, Nabi Muhammad sama sekali tidak meninggalkan Sunnah maupun Hadits, dan bahwa Sunnah yang dipraktekkan kaum muslimin pada zaman awal sama sekali bukan Sunnah Nabi, melainkan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra Islam yang telah dimodifikasi Al-Qur'an. Mereka berdua sepertinya memandang Sunnah semata-mata sebagai karya-karya orang Arab, baik dari sebelum kedatangan Islam maupun sesudahnya dan mereka ini mengetengahkan kontinuitas di antara kedua periode ini. Konsep Sunnah mereka tolak baik secara implicit maupun eksplisit. Joseph Schacht mengemukakan pandangan yang sama seperti Margoliouth dan Lammens di dalam karyanya yang berjudul Origins of Muhammendan Jurisprudence. Di dalam buku ini ia mempertahankan pendapatnya bahwa konsep "Sunnah Nabi" hanya timbul di kemudian hari, sedang bagi generasi awal muslim di masa lampau Sunnah berarti praktek kaum muslimin itu sendiri.22 Oleh karena itu para sahabat menyebarluaskan pengetahuan Sunnah dan juga memerintahkan mereka melakukan hal itu. E. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah pada makalah ini hanya konseptualisasi Sunnah dan Hadits dalam tinjauan histories. Kita tidak membahas implikasi hukum atau aspek yang lain dari konseptualisasi Sunnah dan Hadits, tidak mengkaji pembagian Sunnah dan Hadits dan tidak juga meneliti perkembangan Sunnah dan Hadits di era modern ini Biografi Fazlur Rahman Fazlur Rahman lahir pada 21 September 1919 M (1338 H) di daerah Hazara, daerah ini sekarang terletak sebelah Barat Laut Pakistan.23 Saat itu Pakistan belum menjadi sebuah negara terpisah dari India. Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan tradisi mazhab Hanafi, sebuah mazhab Sunni yang lebih bercorak rasional dibandingkan tiga mazhab Sunni yang lain.24 Hal ini terbukti dengan kiprah dan karyanya di kemudian hari. Suasana keluarganya juga kental dengan warna tradisional serta sempat mengenyam pendidikan di Madrasah Deobang.25 Namun pandangannya terlihat sangat inklusif dan egaliter. Ia dikenal sebagai intelektual yang mempunyai pengetahuan luas dan mendalam tentang sejarah Islam-baik dalam bidang pemikiran, perkembangan sosial politik dan kehidupan pada umumnya-serta kemampuannya membaca khasanah klasik Islam secara cermat serta merefleksikan nuansa dan pesan-pesan al-Qur'an secara akurat.26 Hal ini Nampak jelas, di saat Fazlur Rahman baru berumur belasan tahun, ia sudah merasa skeptis terhadap Hadits, walaupun wacana atau pengetahuan yang 22
Musthafa Azami, Methodologi Kritik Hadits, Terj. A. Yamin, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), h. 79. 23 Taufiq Adnan, Islam …, h. 79. 24 Gufron A., Study Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 1998), h. 15. 25 Fazlur Rahman, 1992, h. 59. 26 Nurkholis Majid, 1993, h. 23.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
48
STAIN Palangka Raya
melingkupi dirinya penuh dengan nuasa intelektual tradisional-hasil didikan bapaknya, yang sejak kecil mengajarkan Hadits dan pendidikan formal. Tapi justru dalam keadaan seperti itulah Fazlur Rahman tertantang untuk mengekspresikan intelektualnya. Fazlur Rahman setelah menyelesaikan pendidikan menengah, ia melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran Punjab. Kemudian pada tahun 1842, ia berhasil menyelesaikan pendidikan akdemisnya di Universitas tersebut dengan mendapatkan gelar M. A. dalam bidang sastra Arab.27 Kemudian berangkat dari kesadarannya akan masih kurangnya ilmu pengetahuan serta rendahnya mutu pendidikan di India, Fazlur Rahman memutuskan untuk hijrah ke Inggres untuk melanjutkan pendidikannya yaitu di Oxford University. Di universitas inilah ia mengikuti kuliah-kuliah formal juga giat mempelajari bahasa-bahasa Barat Penguasaan terhadap bahasa-bahasa tersebut, pada akhirnya sangat membantu upayanya memperdalam dan memperluas dalam wawasan keilmuannya khususnya dalam studi keislaman lewat penelusurannya sebuah literatus yang ditulis para orientalis dalam bahasa-bahasa mereka. Tapi perlu dicatat, meskipun Fazlur Rahman banyak menimba pengetahuan dari para sarjana Barat, ia sangat kritis terhadap pandangan mereka berkaitan dengan dunia keislaman.28 Pada tahun 1950, ia berhasil menyelesaikan studi kedoktorannya di oxford dengan sebuah disertasi tentang Ibnu Sina. Dua tahun berikutnya Oxford University Press menerbitkan terjemahan Inggris Fazlur Rahman dari karya monumental Ibnu Sina yaitu kitab al-Nejt yang merupakan ringkasan Ibnu Sina sendiri tentang karya agungnya kitab asy- Syifa’.29 Setelah meraih gelar doktor of Philosophy (D. Phill) dari Oxford ini, ia mengebangkan intelektualnya dengan mengajar selama beberapa tahun di Durham University Inggris. Kemudian di Institute Islamic Studies Mc. Gill University Kanada. Ia menjabat sebagai Associate Professor of Philoshopy. Di University Mc. Gill, Fazlur Rahman menjalin persahabatan dengan seorang orientalis W. C. Smitt, yang pada waktu itu menjabat sebagai Direktur Institute of Islamic Studies Mc. Gill.30 Fazlur Rahman sebagai intelektual Muslim menghasilkan karya-karya yang menjadi kontribusinya dalam pengembangan studi keislaman. Karya Prophecy in Islam : Philosophy and Ortodoxy terbit 1958 kemudian disusul buku kedua hasil disertasinya Avicennass De Anima (1959). Pada fase selanjutnya, Fazlur Rahman menulis tiga buah buku: Islamic Methodology in History (1965) yang pada mulanya kumpulan artikelnya pada jurnal Islamic studies 1962-1963. buku ini menjadi rujukan penting bagi studi keislaman, karena ia memberikan gambaran mengenai kemunculan dan
27
Ebrahim Moosa, “Pengantar” dalam Kebangkitan dan Pembaharuan dalam Islam, terj. Munir, (Bandung : Pustaka, 2001), h. 1-2. 28 Taufiq Adnan, Islam …, h. 82. 29 Fazlur Rahman, Islam …, h. 19 30 Taufiq Adnan, Islam …, h. 83.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
49
STAIN Palangka Raya
perkembangan konsep-konsep sumber hukum atau sumber pemikiran Islam. Buku ini dianggap sebgai sumbangan terbesar Fazlur Rahman dalam hidupnya.31 Kemudian menyusul buku-bukunya yang lain yaiti Islam yang terbit pada tahun 1966. selected Letters of Syeikh Ahmad Sirkindi (1968). Baru pada tahun 1975 ia menulis kembali buku The Philosophy of Mulla Sadra yang mengkaji persoalan metafisika yang disampaikan oleh Filosof Muslim India tersebut dalam bukunya Asfar. Major Themes of The Qur’an yang merupakan karya Fazlur Rahman di bidang tafsir al-Qur’an, lebih dekat untuk dikatakan sebagai sebuah tafsir tematis karena di dalamnya membahas tema-tema tertentu dengan mengedepankan ayatayat al-Qur’an pada tema tersebut. Karya itu terbit pada tahun 1980. Kemudian disusul terbitnya buku hasil penelitihannya yaitu Islam and Modernity: Transformasion of Intelectual pada tahun 1982. Buku terakhir yang bisa dikatakan sebagai buku yang konon tidak sempat diselesaikan almaehum yaitu Revival and Reform in Islam yang diedit oleh salah seorang intelektual Muslim Afrika Selatan yaitu Ebrahim Moosa.32 F. Metodologi Penelitian Fazlur Rahman melakukan penelusuran histories terhadap konsep Sunnah dan Hadits untuk menjadi alternative yang tepat untuk menguji dan mengklarifikasi masing-masing definisi dan asal usulnya. Sehingga diharapkan dengan penelusuran histories akan mendapatkan pengertian yang lebih komprehensif terhadap konsep Sunnah dan Hadits. Sebelumnya Fazlur Rahman menjelaskan bahwa Sunnah adalah sebuah konsep perilaku maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang actual tetapi sebagai praktek normative dari masyarakat tersebut.33 Jadi unsur kenormatifan secara logis harus ada sebelumnya dan tidak kita lepaskan Sunnah juga berarti "tingkah laku yang merupakan teladan" dan bahwa kepatuhan yang aktual kepada "teladan" tersebut bukanlah sebagian dari arti Sunnah (walaupun untuk menyempurnakannya Sunnah tersebut perlu dipatuhi). Hal relevan dengan perkataan sanna yang diterjemahkan "ia membuat sebuah teladan". Dari konsep tingkah laku normative atau teladan tersebut lahirlah konsep tingkah laku standart atau benar sebagai sebuah pelengkap yang diperlukan.34 Jadi pengertian sunnah harus ada ada unsur kelurusan atau kebenaran untuk diikuti oleh orang lain atau masyarakat. Oleh sebab itu, Fazlur Rahman mengkritik landasan-landasan bagi perkembangan study-study Islam di Barat dan menerangkan kekeliruan konsepsional mereka mengenai Sunnah. Menurut Fazlur Rahman yang menyebabkan sarjana-sarjana tersebut menolak konsep Sunnah Nabi adalah karena mereka menemukan bahwa:
31
Ihsan Ali Fauzi : 1993, h. 36. Ebrahim Moosa, Kebangkitan …, h. vii. 33 Fazlur Rahman, Islam …, h. 2. 34 Ibid, h. 4. 32
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
50
STAIN Palangka Raya
1. Sebagian dari kandungan Sunnah merupakan kontinuitas langsung dari kebiasaan dan adat istiadat Arab dari masa sebelum Islam. 2. Jelas sekali sebagian besar dari kandungan Sunnah adalah hasil pemikiran ahli-ahli hukum-hukum Islam yang dengan ijtihad pribadi mereka telah menarik kesimpulan-kesimpulan dari Sunnah atau praktek yang ada dan- yang terpenting di antara semuanya-telah memasukkan unsur-unsur luar, terutama sekali praktek-praktek pemerintahan Bizyantum dan Parsi. 3. Di kemudian hari ketika Hadits berkembang menjadi sebuah gerakan yang besar dan berubah menjadi fenomena massal pada akhir abad kedua dan terutama sekali pada abad ketiga hijriyah seluruh kandungan Sunnah pada masa itu dikatakan bersumber dari Nabi Muhammad sendiri di bawah perlindungan konsep "Sunnah Nabi".35 Bahwa Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesungguhnya semasa hidup Nabi Muhammad adalah wajar sekali jika kaum Muslimin membicarakan apakah yang dilakukan dan yang dikatakan Nabi, terutama yang berkenaan dengan masyarakat. Sehingga wajar kalau kaum Muslimin tidak melengahkan sedikitpun terhadap perbuatan dan perkataan Nabi dengan menghafalkan, menyampaikan kepada keluarga, orang lain dan berusaha untuk melaksanakan perbuatan Nabi (Sunnah) Kemudian Fazlur Rahman dengan pendekatan historis melakukan periodisasi terjadinya sunnah menjadi hadits yang dikenal dengan evolusi sunnah. Kata evolusi di sini dimaksudkan untuk menyusun sebuah strata perkembangan hadits secara periodik, sebagai upaya intelektual dalam rangka mengetahui secara benar dan akurasi periwayatannya dengan dipertanggungjawabkan dengan mengutamakan dinamika dalam memahami hadits. Pertama periode Rasulullah. Tetapi semasa hidup Nabi sendiri HaditsHadits umumnya hanya dipergunakan di dalam kasus-kasus informal karena satusatunya peranan Hadits adalah memberikan bimbingan di dalam praktek aktual kaum Muslimin dan kebutuhan ini telah dipenuhi oleh Nabi.36 Hal ini sesuai dengan pernyataan Hasan al-Basri bahwa Sunnah Nabi lebih merupakan petunjuk arah daripada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Sifat otoritas Nabi lebih cenderung kepada "konsep pemayung yang bersifat umum (a general umbrella concept)" daripada ia mempunyai sebuah kandungan baru yang harus dipegangi apa adanya.37 Periode kedua yaitu setelah Nabi wafat tampaknya Hadits Nabi memiliki status semi-formal.38 Hal ini sangat wajar karena para sahabat sebagai generasi awal berusaha mempelajari dan meneruskan tradisi kehidupan Nabi. Namun yang perlu diperhatikan bahwa dalam fase ini tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Hadits-Hadits tersebut telah dihimpun, karena fungsi Hadits saat itu hanya sebagai sarana penyiaran Sunnah Nabi. Tujuan praktisnya yaitu sebagai sarana yang dapat menciptakan dan dapat dikembangkan kaum Muslimin. 35
Ibid, h. 6. Ibid, h. 45. 37 Gufron A, Study …, h. 137. 38 Musahadi, Evaluasi …, h. 126. 36
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
51
STAIN Palangka Raya
Kemudian Hadits-Hadits tersebut secara bebas ditafsirkan oleh masingmasing individu penguasa dan hakim sesuai dengan situasi yang sedang mereka hadapi dan akhirnya terciptalah apa yang dinamakan "Sunnah yang Hidup".39 Hidup di sini dengan pengertian terus bergerak untuk semakin disempurnakan. Penafsiran-penafsiran pribadi tersebut tetap disandarkan pada Nabi, baik melalui tradisi yang hidup maupun melalui sejumlah kecil cerita verbal dari Nabi atau proses ijma' Madinah-Irak bahkan daerah-daerah lain yang terdapat perbedaan walaupun ada opinion generalis. Konsekuensi dari proses penafsiran masing-masing pribadi yang menyesuaikan situasi yang dihadapi oleh masing-masing penguasa dan hakim walaupun disandarkan pada Nabi maka terjadi senantiasa perbedaan-perbedaan pendapat diantara mereka. Disinilah terjadi proses penafisiran dan pemikiran baru berlanjut yang kemudian ada pencapaian ijma' yang membentuk pendapat umum (opinion publica). Jadi, adalah suatu kenyataan bahwa sunnah nabi telah melewati proses panjang sebelum dibakukan menjadi- riwayat-riwayat hadits. Pada saat itu, yaitu ketika hadits belum, para sahabat, tabi'in, khususnya mereka yang berprofesi sebagai hakim, ahli hokum, teoritisi, politikus dan lain-lain, berusaha menjabarkan dan menafsirkan sunnah Nabi demi kepentingan umat Muslimin pada saat itu. Hal penjabaran dan pemahaman tersebutjuga dianggap sebagai sunnah.40 Kemudian periode ketika pada abad ketiga karena alasan ada kebutuhan untuk menciptakan standarisasi dan keseragaman dalam dunia Islam terutama untuk prosedur-prosedur dan tugas-tugas di bidang pemerintahan dan hukum. Gerakan yang menghendaki keseragaman ini tidak sabar terhadap proses ijma' yang lambat laun demokratis. Hal ini tampaknya menghentikan proses kreatif, namun Hadits-Hadits mulai terciptakan.41 Hubungan organik di antara ijma' dengan ijtihad menjadi rusak karena membalikkan urutan ijtihad-ijma' yang wajar menjadi ijma'-ijtihad. Ijma' tidak lagi merupakan sebuah proses yang mneghadap ke masa depan–sebagai produk dari ijtihad secara bebas. Ijma' menjadi statis dan menghadap ke masa lampau. Dengan demikian segala sesuatu yang harus dilaksanakan pada saat ini seolaholah telah terlaksana di masa lampau. Kegeniusan al-Syafi'I memang berhasil menciptakan suatu mekanisme yang menjamin kestabilan pada struktur sosial– relegius kaum muslimin pada zaman pertengahan, tetapi dalam jangka panjang akan menghilangkan kreativitas dan originalitas mereka.42 Secara ringkas Fazlur Rahman memberikan kesimpulan bahwa konsep Sunnah ternyata mengalami evolusi yang cukup panjang sebelum ia kemudian diidentikkan Hadits. 1. Bahwa konsep Nabi tetap merupakan konsep yang memiliki validitas dan operatif sejak awal sejarah Islam hingga kini. 2. Bahwa kandungan Sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan untuk bersifat spesifik secara mutlak. 39
Fazlur Rahman, Islam …, 1995, h. 46. Gufron A., Study …, h. 89. 41 Fazlur Rahman, Islam …, h. 29. 42 Ibid, h. 33 40
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
52
STAIN Palangka Raya
3. Bahwa konsep Sunnah sesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup Sunnah dari Nabi tetapi juga penafsiran penafsiran terhadap Sunnah dari Nabi. 4. Bahwa Sunnah di dalam pengertian terakhir ini sama luasnya dengan ijma' yang pada dasarnya merupakan proses yang semakin meluas secara terus menerus. 5. Bahwa setelah gerakan pemurnian Hadits dengan pembukuan yang besarbesaran hubungan organis di antara Sunnah, ijtihad dan ijma' menjadi rusak. Allah sengaja memilih dan memberikan keistmewaan kepada Muhammad dengan watak yang mulia dan patut dijadikan teladan maka apakah masuk akal jika kaum muslimin sejak semula tidak memandangnya sebagai sebuah konsep.43 Oleh sebab itu berbagai pendapat penulis barat tentang Sunnah dan Hadits tidak terkonsep justru tidak berdasar. Sunnah merupakan bagian dari tradisi, apa-apa yang telah dikaji mengenai tradisi dalam kaitannya dengan Hadits berlaku sama pada sunnah: walaupun sunnah dan Hadits seringkali saling meliputi, tetapi mungkin saja sunnah terekam dalam hadits mungkin juga tidak, dan hadits mungkin saja terekam dalam sunnah atau mungkin juga tidak.44 G. Kontribusi Pengembangan Keilmuan Kontribusi akademik yang disumbangkan oleh Fazlur Rahman adalah teori "evolusi sunnah" yang dihasilkan melalui pendekatan historis dengan membagi periode menjadi tiga bagian. Pertama masa informal yaitu pada zaman Rasulullah masih hidup. Ada kesatuan organic antara sunnah, ijma' dan ijtihad. Ketiganya membentuk satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan bergerak secara dinamis. Pada masa inilah sunnah sangat interpretatif. Kedua masa semiformal yaitu pada abad ketiga dengan memisahkan sunnah, ijma' dan ijtihad. Ketiganya masih ada tapi ada kekakuan hubungan ketiganya. Bahkan ijtihad mulai dilarang karena ada konflik kepentingan, interest dan otoritas agama. Ketiga masa formal dengan meniadakan ijtihad dan ijma serta memformalisasikan sunnah menjadi sebuah kitab hadits. Hal ini dilakukan karena untuk menjaga kestabilan masyarakat dan meminimilisasikan keberagaman umat Islam. Sehingga keberadaan sunnah menjadi baku, kaku, statis, rigid, dan bersifat mekanistik. Dengan konsepsinya itu, Rahman mengajukan kritisme terhadap ajakan "kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah" secara harfiah.45 Bukan hanya kembali kepada Al-Qur'am dan Sunnah sebagaimana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman yang benar terhadap keduanya yang akan memberikan bimbingan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali ke liang kubur. Dan, ketika kita kembali kepada generasi Muslim awal, pasti akan kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur'an dan Sunnah. H. Kesimpulan
43
Fazlur Rahman, Islam …, h. 9. Yasin Dutton, Asal …, h. 353. 45 Fazlur Rahman, Islam …, h. 143. 44
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
53
STAIN Palangka Raya
Berdasarkan kajian historis yang telah dilakukan Fazlur Rahman dapat disimpulkan bahwa Sunnah dan Hadits pada mulanya merupakan dua konsep yang berbeda. Sunnah lebih menunjuk pada model prilaku dan praktek Nabi, sedangkan Hadits merupakan repotase atau laporan tentang hal yang sama. Artinya, Sunnah merupakan praktek Nabi dan kaum muslimin awal yang telah memperoleh kualitas normative dan prinsip praktis, sedangkan Hadits merupakan laporan tentang praktek tersebut. Secara singkat, teori Fazlur Rahman bahwa bermula dari teladan Nabi kemudian dipraktekkan oleh para sahabat bersamaan dengan itu pula terjadi interprestasi personal terhadap teladan Nabi yang menghasilkan pendapat umum, kemudian mentradisi menjadi Sunnah. Setelah muncul gerakan Sunnah (formalisasi Sunnah) maka konsep Sunnah menjadi konsep Hadits. Jadi Hadits adalah bentuk formalisasi dari evolusi Sunnah Nabi. Walaupun dua konsep Sunnah dan Hadits terjadi perbedaan berdasarkan kajian histories. Namun keduanya menunjukkan wahana transmisi bagi teladan Nabi dan sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al Qur'an. Sehingga untuk mengetahui teladan Nabi, generasi awal dapat menggunakan dua saluran, yakni pertama saluran Sunnah (tradisi pratikal), atau praktik masyarakat yang telah mapan dan merupakan kristalasasi dari proses interprestasi. Proses interprestasi dan elaborasi secara kreatif terhadap teladan Nabi oleh generasi awal muslim melalui mekanisme ra'yi. Kedua saluran Hadits, yakni laporan verbal tentang ucapan, tindakan, dan ketetapan Nabi.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008
54
STAIN Palangka Raya
DAFTAR PUSTAKA Amal, Taufiq Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas Study atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1989 Azami, Musthafa. Methodologi Kritik Hadits, terj. A. Yamin, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 A. Mas'adi, Gufron. Study Pembaharuan Hukum Islam Jakarta : Grafindo Persada, 1998 Dutton, Yasin. Asal Mula Hukum Islam, terj. M. Maufur, Yogyakarta: Islamika, 2003 Fauzi, Ihsan Ali. Mempertimbangkan Fazlur Rahman, jurnal Islamika no. 2, Oktober-Desember, 1993. al-Khathib, Muhammad Ajaj. Hadits Nabi Sebelum dibukukan, Jakarta: Gema Insani, 1999. Musahadi Ham. Evaluasi Konsep Sunnah, Semarang: Aneka Ilmu, , 2000 Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : Rosda, 2000 Moosa, Ebrahim. “Pengantar” dalam Kebangkitan dan Pembaharuan dalam Islam, terj. Munir, Bandung : Pustaka, 2001. -------------------, ‘Kata Pengantar’, dalam Ebrahim Moosa (peny.), Gelombang Perubahan dalam Islam : Studi Tentang Fundamentalis Fazlur Rahman, terj. Aam Fahmia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000) Rahman, Fazlur. Islam dan modernis, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka 1985 ------------------. Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anis Mayuddin, Bandung: Pustaka, 1995, ------------------. Islam. terj. Asin Muhammad, Jakarta: Bina Aksara, 1987. -----------------, “Membangkitkan Kembali Visi al-Qur’an: Sebuah Catatan Otobiografi, “ terj. Ihsan Ali fauzi, al- Hikmah, no. 6 (1992) Rahman, Fazlur dkk. Wacana Study Hadits Kontenporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002 Zuhri, Muhammad. Hadits Nabi telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Kencana, 2003.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 2, Desember 2008