FAZLUR RAHMAN DAN PEMBAHARUAN METODOLOGI TAFSIR 135
Fazlur Rahman dan Pembaharuan Metodologi Tafsir Alquran Bawaihi Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak: Artikel ini membahas pemikiran Fazlur Rahman, salah satu pengusung ide pembaharuan dalam Islam. Salah satu ide pokok sumbangannya adalah teori gerakan ganda. Teori yang diusulkan Rahman dalam penafsiran Alquran ini pada intinya membedakan legal spesifik dari ideal moral Alquran. Teori ini mengandaikan pergerakan dalam dua arah yang saling bertemu, yaitu dari situasi sekarang ke masa Alquran diturunkan dan kembali ke masa kini. Kata-kata Kunci: Penafsiran Alquran, pembaharuan Islam, Fazlur Rahman, gerakan ganda.
Pendahuluan Jika ada pertanyaan, siapa pemikir Muslim terbesar abad ke-20, tentu nama Fazlur Rahman layak disebut. Betapa tidak, ide-idenya tanpa disadari telah membuahkan revolusi pemikiran. Ide-ide yang diarahkan untuk mengkritisi rancang-bangun keilmuan Islam itu telah membekas dan mendatangkan ilham bagi banyak pemikir Muslim setelahnya. Selain kritis, tokoh neomodernis Islam ini juga dikenal cerdas dan bertanggung jawab. Hingga hari ini, dialah salah satu pemikir Muslim yang paling banyak dikutip. Apa signifikansi dari ide-ide Fazlur Rahman? Secara sederhana: Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
136 BAWAIHI
metodologinya. Bagaimana metodologinya? Terlebih dahulu disepakati bahwa ide besar Fazlur Rahman bertumpu pada Alquran: bagaimana memahami kitab suci umat Islam tersebut. Dengan demikian, metodologi yang dia gagas berkenaan dengan interpretasi teks. Di sinilah kemudian artikel ini selain menyajikan kisah hidup pemikir Muslim tersebut, banyak mengulas pembaharuan yang dia gagas dalam bidang metodologi tafsir.
Latar Kesejarahan Fazlur Rahman lahir di Hazara—kini bagian dari negara Pakistan— pada 21 September 1919. Situasi ketika dia lahir memberi pengaruh bagi perkembangan pemikirannya kelak. Perdebatan publik di antara berbagai golongan Muslim yang terjadi sebelum kelahirannya mewarnai kehidupan sosial negerinya. Perdebatan menanjak ketika Pakistan dinyatakan berpisah dari India. Pakistan berdaulat sebagai negara merdeka pada 14 Agustus 1947. Golongan-golongan yang berseteru pun mendapatkan momentum untuk mewujudkan ide-ide mereka memberi identitas “Islam” bagi neegeri baru tersebut. Paling tidak ada tiga kubu yang saling berseteru saat itu, yaitu kaum modernis, tradisionalis, dan kaum fundamentalis. Kalau kaum modernis merumuskan konsep kenegaraan Islam dalam bingkai term ideologi modern, kaum tradisionalis menawarkan konsep kenegaraan berdasarkan teori politik tradisional, yakni khilafah dan imamah. Sementara itu kaum fundamentalis mengusulkan konsep “kerajaan Tuhan”. Perdebatan hingga melahirkan berbagai konstitusi dengan amandemennya. Di tengah perdebatan itulah Rahman kelak tampil dan mengemukakan gagasannya. Latar belakang itu menjadi pemicu baginya untuk mendalami seluk-beluk keilmuan Islam dan menguasai berbagai metodologi keilmua. Rahman dilahirkan di tengah keluarga yang berlatar belakang mazhab Hanafi, mazhab Sunni yang relatif lebih rasional ketimbang tiga mazhab Sunni lainnya, yaitu Syafi’i, Maliki, dsan Hambali. Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
FAZLUR RAHMAN DAN PEMBAHARUAN METODOLOGI TAFSIR 137
Ayahnya adalah seorang ulama tradisional yang menanamkan pendidikan dasar keagamaan. Meski dibesarkan dalam kultur tradisional, sejak umur belasan tahun dia melepaskan diri dari lingkup pemikiran yang sempit dalam batas-batas tradisi bermazhab untuk selanjutnya mengembangkan pemikirannya. Sekolah modern dia masuki di Lahore pada 1933. Pendidikan tingginya ditempuh di Jurusan Bahasa Arab Punjab University. Dia menyelesaikan BA pada 1940. Gelar master untuk jurusan ketimuran diraih pada 1942 di universitas yang sama. Menyadari bahwa mutu pendidikan di India kala itu rendah, Rahman memutuskan memperdalam ilmunya di Inggris. Keputusan ini tergolong berani, sebab terdapat anggapan bahwa aneh jika seorang Muslim belajar Islam di Eropa. Kalaupun ada yang berhasil, orang tersebut sulit diterima kembali oleh masyarakatnya. Bahkan tidak jarang di antara mereka mengalami penindasan. Tapi anggapan itu tidak cukup menghalangi Rahman. Pada 1946 dia masuk Oxford University, dan menyandang gelar doktor di bidang sastra pada 1950. Selama studi, dia berkesempatan mempelajarai bahasa-bahasa Eropa. Dari karya-karyanya, setidaknya ia menguasai bahasa Inggris, Latin, Yunani, Prancis, Jerman, dan Turki, di samping Arab, Urdu, dan Persia. Setamat dari Oxford, Rahman tidak lantas pulang ke Pakistan. Dia memilih menjadi pengajar di Eropa. Dia menjadi dosen bahasa Persia dan filsafat Islam di Durham University, Inggris, pada 19501958. Selanjutnya, atas berbagai pertimbangan, dia pindah ke McGill University di Kanada dan menjadi associate professor pada bidang Islamic Studies. Namun tiga tahun kemudian, semangat patriotik mengalahkan segalanya. Setelah pemerintahan bergulir di tangan Ayyub Khan yang modern, Rahman terpanggil untuk membenahi negerinya. Rahman rela meninggalkan karier akademisnya demi tantangan yang menghadang di negeri sendiri. Ia lalu ditunjuk menjadi direktur Pusat Lembaga Riset Islam selama satu periode (1961-1968). Ia juga tercatat sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam, sebuah lembaga Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
138 BAWAIHI
pembuat kebijakan tertinggi di Pakistan. Saat-saat itu memberinya kesempatan untuk meninjau praktik kekuasaan dari dekat. Dia masa itu pula dia memprakarsai penerbitan Journal of Islamic Studies, tempat ia menampungkan gagasa-gagasannya. Ketika menjabat direktur lembaga itu, Rahman bekerja sangat serius. Langkah yang dia ambil adalah strategi ganda: Mengangkat beberapa orang tamatan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa Inggris sebagai anggota junior serta mencoba memberikan latihan berbagai teknik riset modern buat mereka dan, sebaliknya, merekrut anggota-anggota junior dari alumni universitas di bidang filsafat atau ilmu-ilmu sosial serta memberikan pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin pokok Islam klasik semisal Hadis dan hukum Islam.1
Rahman juga mengirim beberapa orang ke luar negeri untuk memeroleh pelatihan dan gelar dalam kajian-kajian Islam, baik ke universitas di Barat maupun Timur. Akan tetapi usaha itu tak berlangsung lama. Penunjukan Rahman sebagai direktur Pusat Lembaga Riset Islam sebenarnya tak direstui kalangan tradisional. Menurut mereka, jabatan itu selayaknya disandang orang yang benar-benar terdidik secara tradisional. Dan Rahman dianggap lebih banyak terpengaruh pemikiran Barat. Karena itu, selama kepemimpinannya, wajar lembaga tersebut kerap menuai kecaman dan serangan dari kaum tradisionalis dan fundamentalis. Puncaknya meletus ketika dua bab pertama bukunya, Islam, diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu dan dipublikasikan di jurnal Fikr-u-Nazar. Masalah sentralnya adalah persoalan hakikat wahyu Alquran. Rahman menulis bahwa Alquran secara keseluruhan adalah kalam Allah dan, dalam pengertian biasa, adalah perkataan Muhammad.2 Badai itu berlanjut hingga kondisinya diperparah ketegangan politik antara Ayyub Khan dan ulama tradisional. Rahman pun terpaksa harus hijrah. Pada mulanya Rahman mengundurkan diri dari Lembaga Riset Islam, tapi masih menjabat anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam. Keanggotaan terakhir dilepas pada 1969. Ia melihat bahwa negaranya Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
FAZLUR RAHMAN DAN PEMBAHARUAN METODOLOGI TAFSIR 139
belum siap menyediakan lingkungan akademik yang bebas dan bertanggung jawab. Daripada berkubang di Pakistan yang kekanakkanakan secara intelektual, dia lebih memilih hijrah ke Barat yang memberikan kebebasan akademik. Muridnya selama empat tahun, Ahmad Syari’i Maarif, merekam: Bila bumi Muslim belum “peka” terhadap imbauannya, maka bumi lain, yang juga bumi Allah, telah menampungnya, dan dari sanalah ia menyusun dan merumuskan pemikiran-pemikirannya tentang Islam sejak 1970. Dan ke sana pula beberapa mahasiswa Muslim dari berbagai negari Muslimin belajar Islam dengannya.3
Pada 1970 Rahman berangkat ke Chicago dan dinobatkan menjadi guru besar dalam bidang pemikiran Islam di Universitas Chicago. Tapi sebenarnya pada 1968 Rahman sudah diterima sebagai dosen di Universitas California. Universitas Chicago memberinya tempat melahirkan banyak karya. Tempat itulah yang menjadi persinggahan terakhirnya hingga wafat pada 26 Juli 1988. Selama 18 tahun terakhirnya, selain mengajar di Universitas Chicago, ia kerap memberi kuliah di universitas lain. Dialah Muslim pertama penerima medali Giorgio Levi della Vida yang melambangkan punak prestasi dalam bidang studi peradaban Islam dari Gustave E. von Grunebaum Center for Near Eastern Studies Universitas California. Secara garis besar, dinamika pemikiran keagamaan Rahman dapat dibedakan dalam tiga periode utama. Pertama, periode awal (dekade 50-an), yang banyak menghasilkan karya-karya normatif. Pada periode ini umumnya ia hanya menghasilkan karya-karya yang lebih bersifat historis. Kedua, periode Pakistan (dekade 60-an), ketika ia baru mulai menekuni kajian Islam normatif dan terlibat dalam arus pemikiran Islam meski belum ditopang basis metodologi yang sistematis. Pemikirannya lebih sebagai upaya untuk memberi definisi “Islam” bagi Pakistan. Ketiga, periode Chicago (1970 dan seterusnya), ketika dia menetap di Chicago. Keterlibatannya dalam kajian Islam normatif yang didukung metodologi tafsir sistematis terlihat pada periode ini. Di sini karya-karya populernya bermunculan.4 Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
140 BAWAIHI
Karya Rahman yang diterbitkan dalam bentuk buku adalah Avicenna’s Psychology (1952), Propechy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958), Islamic Methodology in History (1965), Islam (1966), The Philosophy of Mulla Sadra (1975), Major Themes of the Qur’an (1980), Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982), Health and Medicine in Islamic Tradition: Change and Identity (1987), Revival and Reform in Islam (2000). Sementara jurnal yang memuat tulisannya antara lain Islamic Studies, The Muslim World, dan Studia Islamica. Sedangkan bukubuku suntingan terkemuka yang memuat karyanya antara lain Theology and Law in Islam yang diedit G.E. von Grunebaum, The Encyclopedia of Religion oleh Mircea Eliade, Approaches to Islam in Religous Studies oleh Richard C. Martin, Islam: Past Influence and Present Challenge oleh Alford T Welch & P. Cachia, dan sebagainya.
Empat Gerakan Pembaharuan Kepindahan Rahman ke Chicago adalah akibat dari fakta bahwa negaranya belum siap menampung ide-ide pembaharuannya. Sekalipun di India dan Pakistan telah terjadi pembaharuan, sifatnya masih terbatas. Rahman belum melihat perkembangan signifikan yang benar-benar selaras dengan harapannya. Pembaharuan ini memiliki tingkatan dan perkembangan. Rahman sendiri membaginya menjadi empat kelompok gerakan. Pertama, revivalisme pramodernis. Kelompok ini muncul pada abad ke-18 dan ke-19 di tanah Arab (oleh kaum Wahabiyah), India (oleh Syah Wali Allah), dan Afrika (oleh kaum Sanusiyah dan Fulaniyah). Kelompok gerakan ini merupakan geliat awal kebangkitan Muslin setelah kemerosotannya dalam beberapa abad sebelumnya. Ciri-ciri kelompok ini adalah: (i) keprihatinan terhadap kemerosotan sosio-moral umat Islam dan upaya untuk memperbaikinya; (ii) seruan untuk kembali kepada Islam sejati untuk membendung takhayul dan khurafat yang sering ditanam sufisme serta untuk mencampakkan sikap taklid buta pada mazhab-mazhab fikh dan berupaya melakukan Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
FAZLUR RAHMAN DAN PEMBAHARUAN METODOLOGI TAFSIR 141
ijtihad; (iii) seruan untuk meninggalkan sikap predeterministik; (iv) seruan untuk melaksanakan pembaruan melalui kekuatan senjata (jihad) jika diperlukan. Kelemahan kelompok ini adalah bahwa ijtihad yang didengungkan hanya berada dalam wilayah literal-tekstual. Kelompok ini hanya menekankan pada keimanan dalam arti harfiah yang terkandung dalam kitab suci tanpa mencari penafsiran yang lebih sesuai. Gerakan ini juga anti-intelektualisme dan anti-Barat. Kelompok ini, dengan demikian, sebenarnya tidak berhasil dalam melaksanakan ijtihad. Kedua, modernisme klasik. Kelompok ini mengambil alih dasar pembaruan dari kelompok pertama. Muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20, tokoh-tokohnya adalah Sayyid Ahmad Khan di India, Sayyid Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Abduh di Mesir. Kelompok ini berusaha memperluas cakupan makna ijtihad dengan mengacu pada berbagai masalah yang dianggap vital bagi masyarakat Muslim. Mereka yang termasuk di dalamnya membuka diri terhadap gagasan aktual dan Barat yang dimungkinkan perkembangannya di masa depan. Merek terfokus pada hubungan antara akal dan wahyu, pembaruan sosial, khususnya dalam bidang pendidikan, dan status hubungan wanita serta pembaruan dalam bidang politik, termasuk bentuk-bentuk pemerintahan yang representatif dan konstitusional. Menurut Rahman, kerja keras kelompok ini membuahkan prestasi yang tidak kecil, yakni ketika mereka mengaitkan pranatapranata Barat dan tradisi Islam melalui sumber Alquran dan Nabi. Mereka memang meragukan otoritas Hadis, namun keraguannya tidak didukung oleh kritisisme ilmiah. Kelompok ini tidak berkembang dengan baik, karena muncul pertentangan dari kaum tradisionalis dan revivalis. Kedua kubu ini menilai bahwa gagasan-gagasan kelompok ini bersumber dari Barat dan karena itu tidak islami. Ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis, yang muncul pada tengah abad ke-20 di Arabia, anak benua Indo-Pakistan, dan Indonesia. Kelompok ini dipengaruhi oleh kelompom Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
142 BAWAIHI
sebelumnya. Itu terlihat dari dukungan mereka terhadap ide bahwa Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia dan terhadap ideide demokrasi serta menerapkan bentuk pendidikan Islam yang telah dimodernisasi. Namun berbeda dari modernisme klasik, kelompok ini tampil dalam bentuk gerakan sosial-politik yang terorganisasi. Karena kelompok ini anti-Barat, kelahirannya lebih merupakan reaksi terhadap modernisme klasik. Mereka menuduh kaum modernis telah dipengaruhi secara kuat oleh pemikiran Barat. Menurut Rahman, kelompok ini tidak bertahan lama, sebab mereka tidak mampu merumuskan suatu metodologi untuk menegaskan posisinya kecuali hanya berusaha membedakan Islam dari Barat. Keempat, neomodernisme. Kelompok ini tentu saja tidak lepas dari pengaruh neorevivalisme. Kelompok ini tidak menjaga jarak dengan Barat, tetapi mengembangkan sikap kritis terhadapnya secara objektif. Pada posisi inilah Rahman berdiri bahkan mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya. Menurut Rahman, upaya kaum modernis klasik untuk melihat fakta yang ada dan kemudian mencarikan solusinya dalam Alquran adalah upaya yang sangat tepat. Namun karena kehampaan metodologi, mereka pada akhirnya tidak konsisten dalam analisis. Dalam konteks tersebut, Rahman kemudian mencanangkan suatu penyusunan metodologi yang tepat dan logis untuk mengkaji Alquran. Rahman yakin bahwa metodologi yang dia maksudkan semaksimal mungkin terhindar dari ijtihad yang tidak bertanggung jawab. Metodologi ini diandaikan mampu menjawab kebutuhan dan permasalahan Islam kontemporer, tanpa bertekuk lutut pada Barat atau menafikannya. Karena itu, Rahman sangat kritis terhadap kajian Barat atau orientalis, di samping mengapresiasi sebagian. Menurut Rahman, berbekal metode dan analisis yang cermat, penelitian para orientalis itu unggul. Dan Rahman tidak menafikan kontribusi mereka, misalnya dalam hal pembahasan historis Alquran. Bahkan temuan mereka lebih representatif ketimbang apa yang dilakukan ulama Muslim. Karena itu Rahman beberapa kali memberi rekomendasi beberapa karya Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
FAZLUR RAHMAN DAN PEMBAHARUAN METODOLOGI TAFSIR 143
mereka, semisal Noldeke-Schwally, Rudi Paret, H. Grimme, Kenneth Cragg, Thomas O’Shaughnessy, dan Toshihiko Izutsu. Namun, di samping itu, bahkan kebanyakan mereka justru dianggap Rahman membawa petaka bagi keilmua Islam. Dalam pandangan Rahman, banyak di antara orientalis yang karena tidak mengetahui maupun karena prasangka buruk mereka, telah menafsirkan ajaran Islam secara keliru. Orang-orang semisal John Wansbrough, John Burton, dan Ignaz Goldziher, dalam batas-batas tertentu masuk dalam daftar mereka yang membawa petaka. Karena itu mengkritisi dan bahkan menolak karya mereka menjadi niscaya.5 Selain kritis terhadap Barat yang merupakan outsider, Rahman juga kritis terhadap munculnya fenomena dan interpretasi keliru dari kalangan Muslim sendiri (insider). Hampir semua kalangan tradisional berada dalam kritisismenya, semisal teolog, sufi, filsuf, serta ulama fikh. Fokusnya adalah ketidaksesuaian ajaran mereka dan Alquran. Tak semata mengkritik, Rahman pun membuat metodologinya sebagai tawaran. Namun, sebelum melihat ide-ide teoretis Rahman, hal mendasar yang perlu dikemukakan adalah konsep epistemologinya. Hal ini penting karena epistemologi merupakan persoalan paling mendasar dalam setiap bangunan keilmuan.
Epistemologi Qurani Dalam bahasan umum, terdapat tiga sumber pengetahuan: akal, indra, dan intuisi. Ketiganya membentuk formasi yang paralel. Namun dalam Islam paralelitas itu tidak ditemukan. Paralelitas tidak ada, kecuali hanya hierarki. Ketiganya malah dikategorikan sumber sekunder. Sumber utamanya adalah Teks, yakni Alquran.6 Alquran memiliki validitas paling sahih dibanding sumber lainnya. Sifatnya otoritatif, karena agama Islam adalah agama wahyu. Di sini wahyu sebagai yang lebih tinggi, sedangkan akal, apalagi indra dan intuisi, tidak lebih dari sekadar pendukung atau pelengkap dari wahyu. Karena itu, ketika berbicara tentang epistemologi Islam, pembicaraan awal tertuju pada pola hubungan antara wahyu dan akal. Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
144 BAWAIHI
Dan, sekali lagi, hubungan keduanya bukanlah hubungan yang setara atau sebanding. Wahyu berfungsi sebagai pokok (asl), sedangkan akal adalah cabang (furu’). Dan cabang bagaimanapun harus tunduk pada pokok. Dalam kategorisasi Abid al-Jabiri tentang struktur nalar ArabIslam, prosedur cabang yang tunduk pada pokok disebut epistemologi bayani, berlawanan dengan burhani (mengandalkan akal) dan irfani (intuisi).7 Bagi Rahman, Alquran merupakan sumber utama ajaran Islam. Alquran membantu manusia dalam menghasilkan pengetahuan, karena Alquran sendiri menyebut dirinya sebagai kitab petunjuk (huda). Posisi Alquran begitu tinggi, sebab Alquran tidak hanya sebagai doktrin deskriptis bagi agama, tapi juga alat analisis yang bahkan dapat menjadi alat kritis. Banyak warisan keilmuan dari ulama klasik yang dikritisi oleh Rahman dengan murni menggunakan perspektif qurani. Rahman sendiri acap disebut koranik atau pemegang Alquran yang amat teguh. Dengan Alquran, Rahman memfurifikasi ajaran Islam dari segala pengaruh asing yang tidak berasal dari Alquran. Rahman menulis: Memang para filsuf, dan sering kali para sufi, memahami Alquran sebagai satu kesatuan, tetapi kesatuan ini dikenakan kepada Alquran (dan Islam pada umumnya) dari luar, bukan diperoleh dari kajian atas Alquran sendiri. Sistem dan orientasi pemikiran tertentu diadopsi dari sumber-sumber luar (tidak dengan sendirinya semua bertentangan dengan Alquran, tetapi pasti asing dan tak jarang tidak sesuai dengan Alquran), yang disesuaikan dengan lingkungan mental Islam, namun bagaimanakah pulasan yang tipis ini bisa menyembunyikan kenyataan bahwa struktur gagasan-gagasan dasarnya tidak diambil dari Alquran sendiri. Dengan demikian, sangat jelas sikap Rahman dalam memberlakukan Alquran. Lebih-lebih dengan fakta pola tidak setara yang diberlakukan ulama terhadap sumber-sumber pengetahuan, Rahma dipastikan berada di garda terdepan. Ia menggagas purifikasi doktrin Islam berdasarkan Alquran semata. Ia adalah koranik.
Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
FAZLUR RAHMAN DAN PEMBAHARUAN METODOLOGI TAFSIR 145
Gerakan Ganda Pada 1970, Rahman menulis sebuah artikel yang menjadi pokok pemikirannya dalam bidang penafsiran, yakni “Islamic Modernism: Its Scope, Method, and Alternative”. Di dalam artikel itu dikemukakan sebuah metodologi yang cermat untuk memahami dan menafsirkan Alquran, dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Pendekatan historis yang serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks Alquran. Aspek metafisis dari ajaran Alquran boleh jadi tidak menyediakan dirinya untuk dikenakan penanganan historis, tetapi bagian sosiologisnya pasti butuh penanganan seperti itu. Pertama-tama, Alquran harus dikaji dalam tatanan kronologis. Memulai dengan penelitian terhadap wahyu-wahyu paling awal akan memberikan persepsi yang cukup akurat tentang dorongan dasar dari gerakan Islam, yang dibedakan dari ketetapan-ketetapan dan institusi-institusi yang dibangun belakangan. Maka, orang mesti mengikuti apa yang dipaparkan Alquran melalui karier dan perjuangan Muhammad. Metode historis ini akan menyelamatkan kita dari ekstravagansa dan kepalsuan penafsiran Alquran kaum modernis. Terlepas dari penetapan makna yang rinci, metode ini juga akan menghasilkan makna yang menyeluruh pesan Alquran dalam suatu cara yang sistematis dan koheren. b . Kemudian orang siap untuk membedakan ketetapan legal Alquran dengan sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan yang menyebabkan terciptanya hukum-hukum ini. Di sini orang akan dihadapkan pada bahaya subjektivitas. Namun ini dapat direduksi hingga tingkat yang paling rendah dengan menggunakan Alquran itu sendiri. Non-Muslim dan juga Muslim sering kali melupakan bahwa Alquran biasanya memberikan alasan bagi pernyataan legas spesifiknya. Kesaksian dua orang wanita sebagai ganti seorang laki-laki, mengapa?—‘supaya wanita yang satu dapat mengingatkan yang lain jika ia melupakannya’ (QS. Al-Baqarah [2]: 282). Ini adalah komentar tentang latar sosiologis Arabia Nabi dan tuntutan agar kesaksian yang benar haruslah dikemukakan sebijak mungkin. Apakah bentuk perintah inisebegitu sulit penerapannya sampai-sampai umat Islam merasa kesulitan dewasa ini? c . Sasaran-sasaran Alquran mestinya dipahami dan ditentukan, sembari tetap memberi perhatian penuh pada latar sosiologisnya, yakni lingkungan tempat Nabi bergerak dan bekerja. Ini akan Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
146 BAWAIHI mengakhiri penafsiran-penafsiran yang subjektif, baik yang muncul di era pertengahan maupun modern—sekalipun penafsiran-penafsiran ini terlihat koheren. Orang seperti Mr. G.A. Parvez, misalnya, bisa saja secara sistematis melahirkan dari Alquran sejenis ndoktrin komunis dan menggunakan segala perangkat yang dianggap cocok baginya. Namun pendekatan historis-sosiologis akan menunjukkan kekeliruannya. Jika orang dibatasi untuk tidak menyatakan obsesi-obsesi pribadinya ke dalam Alquran, maka pendekatan ini akan sangat bermanfaat. Dan, kami yakin pendekatan ini menjadi harapan nyata satusatunya untuk penafsiran Alquran yang berhasil dewasa ini. Tetapi, dalam pengertian makroskopik, semua penafsiran dan pendekatan pada kebenaran adalah subjektif, dan ini tidak bisa dihilangkan. Setiap pendapat punya titik pandang, dan itu tidak berbahaya. Asalkan titik pandang itu tidak mendistorsi objek pandang dan juga terbuka bagi pandangan orang yang memandang. Perbedaan pendapat adalah sehat, sepanjang pendapat tersebut masuk akal. 8
Ketiga langkah prosedural tersebut, yang sengaja dikutip utuh di sini, dapat diringkas menjadi dua bagian. Pertama, pentingnya pendekatan historis sembari memerhatikan aspek sosiologisnya— yang kemudian disingkat menjadi pendekatan sosio-historis—dalam memahami ayat-ayat Alquran, khususnya yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial (diringkas dari poin a dan c). Kedua, pentingnya pembedaan antara ketetapan legal spesifik dengan tujuan atau “Ideal moral” Alquran—yang kemudian disebut teori gerakan ganda (double movement) (diringkas dari poin b). Pembedaan legal spesifik dari ideal moral mengandaikan pergerakan dalam dua arah yang saling bertemu, yaitu dari situasi sekarang ke masa Alquran diturunkan dan kembali ke masa kini. Lebih jelas tentang gerakan ganda ini, pernyataan Rahman berikut penting dicermati, yang akan menutup artikel ini: Gerakan pertama terdiri dari dua langkah: (1) orang harus memahami arti atau makna suatu pernyataan tertentu dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji teks-teks spesifik dalam sinaran situasi spesifiknya, suatu kajian umum mengenai situasi makro berkenaan dengan masyarakat, agama, adat, dan kebiasaan kehidupan secara menyeluruh di Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
FAZLUR RAHMAN DAN PEMBAHARUAN METODOLOGI TAFSIR 147 Arabia pada saat datangnya Islam, dan terutama di Makkah dan sekitarnya, harus dilakukan. Jadi, langkah pertama dari gerakan pertama ini terdiri atas pemahaman makna Alquran secara keseluruhan serta berkenaan dengan ajaran-ajaran spesifik yang merupakan respons atas situasi-situasi spesifik. (2) Menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu dan dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari teks-teks spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan rationes legis (illat hukum) yang sering dinyatakan. Sesungguhnya langkah pertama itu—pemahaman makna teks spesifik—sendiri mengimplikasikan langkah kedua dan akan mengantar ke arah itu.... ... adapun gerakan kedua merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang, yakni yang umum harus diwujudkan dalam konsteks sosio-historis konkret sekarang. Ini sekali lagi memerlukan pengkajian teliti terhadap situasi sekarang dan analisis terhadap berbagai unsur komponennya. Sehingga, kita dapat menilai situasi mutakhir dan mengubah yang sekarang sejauh yang diperlukan, dan sehingga kita bisa menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimpelementasikan nilainilai Alquran secara baru pula. 9
Catatan: 1 . Sibawaihi, Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 19. 2 . Lihat dalam Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsim Mohammad (Bandung: Pustaka, 1984), terutama dua bab awal, yakni “Muhammad” dan “Al-Qur’an”, hlm. 1-50. 3 . Ahmad Syafi’i Maarif, “Fazlur Rahman, al-Qur’an, dan Pemikiran Islam”, pengantar buku Fazlur Rahman, Islam, hlm. viii. 4 . Bandingkan denga Sibawaihi, Hermeneutika Alquran, hlm. 21. 5 . Khusus karya Wansbrough dapat dibaca dalam tulisan Andrew Rippin, “Analisis Sastra Terhadap Al-Qur’an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin (ed), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002), h. 201-222. Dalam klasifikasi Rahman mengenai literatur Barat modern tentang Alquran, karya-karya mereka dapat digolongkan ke dalam karya yang berusaha mencari pengaruh Yahudi-Kristen dalam Alquran. Baca dalam Rahman, Tema Pokok Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
148 BAWAIHI
6.
7.
8.
9.
Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, cet. II 1996), h. x-xi. Bandingkan dengan Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Quran, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LkiS, cet. II 2002), h. 1-2. Nasr Hamid menyebut peradaban Islam sebagai peradaban teks, karena kuatnya pengaruh teks. Sementara Mohamad Arkoun menyebut masyarakat Islam sebagai masyarakat kitab. Lihat dalam Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur’an, terj. Hidayatullah (Bandung: Pustaka, 1998). Lebih jauh bahasan tentang Arkoun, baca dalam John Hendrik Meuleman (peny), Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun (Yogyakarta: LKiS, cet. II 1996). Tentang bayani, irfani, dan burhani, lebih jauh baca dalam Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql ‘Arabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyyah, 1989). Rahman, “Islamic Modernism: Its Scope, Method, and Alternative”, dalam International Journal of Middle Eastern Studies, 1, 1970. Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, cet. II 1995), hlm. 7.
Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
FAZLUR RAHMAN DAN PEMBAHARUAN METODOLOGI TAFSIR 149
DAFTAR PUSTAKA Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Quran, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LkiS, cet. II 2002) al-Jabiri, Muhammad Abid, Takwin al-Aql ‘Arabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyyah, 1989). Arkoun, Mohammed, Kajian Kontemporer Al-Qur’an, terj. Hidayatullah (Bandung: Pustaka, 1998). Maarif, Ahmad Syafi’i, “Fazlur Rahman, al-Qur’an, dan Pemikiran Islam”, pengantar buku Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsim Mohammad (Bandung: Pustaka, 1984). Meuleman, John Hendrik (peny), Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun (Yogyakarta: LKiS, cet. II 1996). Rahman, Fazlur, “Islamic Modernism: Its Scope, Method, and Alternative”, dalam International Journal of Middle Eastern Studies, 1, (1970). Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, cet. II 1995), hlm. 7. Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsim Mohammad (Bandung: Pustaka, 1984). Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, cet. II 1996). Rippin, Andrew, “Analisis Sastra Terhadap Al-Qur’an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin (ed), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002): 201-222. Sibawaihi, Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutra, 2007).
Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013