HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN: DOUBLE MOVEMENT THEORY
A. PENDAHULUAN Pada dasarnya Hermeneutika merupakan sebuah metode kritik eksploratif untuk menginterpretasikan realitas teks-teks Kitab Suci baik secara implisit maupun eksplisit di mana Kitab Suci dipandang mempunyai kedudukan sebagai ultimate truth (kebenaran yang Agung) namun dalam realitas hermeneutika merupakan suatu teori filsafat tentang interpretasi makna dikenal sebagai salah satu model spesifik analisa yakni sebagai pendekatan filosofis terhadap pemahaman manusia. Fokus analisa hermeneutika adalah persoalan makna teks atau yang dianalogikan sebagai teks. Bahasa menjadi acuan way of being bagi manusia dalam menggali kebenaran. Keterbatasan manusia dalam mengungkapkan bahasa Kitab Suci sering suatu pemahaman menjadi invaliditas dan semi validitas tetapi setiap interpreter mengakui klaim kevaliditasnya. Aplikasi hermeneutika dalam pemahaman Al-Qur'an merupakan sebuah keniscayaan sejarah sebagai sebuah evolusi metodologis dari triadik metode penafsiran yang dikembangkan oleh umat Islam, yaitu tafsir takwil hermeneutika. Artinya, sebagai sebuah perangkat metodologis pembacaan Al-Qur'an, hermeneutika merupakan bagian integral perjalanan panjang sejarah perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur'an. Sejumlah gagasan konseptual dalam tradisi hermeneutika seperti keharusan mempertimbangkan konteks sosial pembaca maupun teks, konsep teks itu sendiri, keragaman potensial makna teks, mempertimbangkan kondisi audiens sebagai sasaran teks merupakan kumpulan konsep yang erat kaitannya, bahkan tidak lain merupakan dari istilah-istilah metodologis yang terdapat dalam tradisi kajian 'Ulum Al-Qur'an. Penggunaan
hermeneutika
dalam
Al-Qur’an
memberikan
orientasi
ekspansif
pemahaman Al-Qur’an dari having religious ke being religious dan being human. Konsep having religious lebih menitik-beratkan pada formalisme agama, sedangkan being religious dan being human lebih menitikberatkan pada substansi dan nilai agama. Kemudian dilakukan suatu transformative value melalui critical thinking yang bersandar pada landasan atau perspektif kemaslahatan kontemporer. Kecenderungan Al-Qur’an dipahami selama ini lebih dominan sebagai kajian hukum Islam (fiqh) dengan pendekatan teoritis dan normatif dapat disebut melihat hukum dalam konteks law in books, yaitu suatu 0
pemahaman yang melihat hukum sebagai fenomena normatif dalam rangka pencarian atau penemuan asas dan doktrin hukum, sementara kecenderungan terapan yang bersifat sosiologis dapat dipahami sebagai model pemahaman yang melihat hukum dalam kerangka law in action, yaitu suatu pemahaman yang melihat hukum sebagai fenomena sosial. Perubahan sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan hukum yang terjadi dalam dunia Islam yang berinteraksi dengan dunia internasional non-Islam, selalu melibatkan proses dialektika yang intensif antara great tradition (tradisi besar) pada wilayah alam pikiran, konsep, ide, teori, keyakinan, dan gagasan. Sedangkan little tradition (tradisi kecil) yang merupakan wilayah aplikasi praktis di lapangan dari teori, konsep, ide, keyakinan dan gagasan tersebut dalam wilayah kehidupan konkrit pada budaya dan tatanan sejarah tertentu. Perubahan (change) akan terjadi ketika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong yang besar dibandingkan dengan tradisi keilmuan yang telah ada dan mapan sebelumnya. Jika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong yang lebih kecil dibandingkan kekuatan tradisi keilmuan yang lama, maka yang terjadi adalah tidak adanya perubahan. Oleh karena itu, perubahan yang sangat mendesak dalam Dunia Islam yaitu pengalihan pemahaman Al-Qur’an dari hukum Islam (Fiqh) yang sifatnya teoritis dan normatif berkisar pada formalisme agama Islam menjadi hukum Islam yang kontekstual sesuai dengan sosiologis legal formal sekarang ini. Teori double movement Fazlur Rahman mencoba melakukan terobosan baru dengan merekonstruksi pemahaman terhadap AlQur’an yang compatible dengan kehidupan kontemporer melalui metode penafsiran hermeneutika. B. PEMBAHASAN 1. Biografi Fazlur Rahman Fazlur Rahman merupakan intelektual muslim kontemporer yang dilahirkan pada tanggal 21 September 1919, di daerah Hazara ketika India belum terpecah menjadi India dan Pakistan, daerah tersebut sekarang terletak di sebelah Barat Laut Pakistan (Rahman, 1993 : 13) Ayahnya, Maulana Syahab al-Din, seorang ulama terkenal lulusan madrasah 1
Deoband. Meskipun berpendidikan agama sistem tradisional, Syahab al-Din sangat menghargai sistem pendidikan modern. Ada beberapa faktor yang telah membentuk karakter dan kedalaman keberagamaan Fazlur Rahman, salah satunya adalah pengajaran dari ibunya tentang kejujuran, kasih sayang, serta kecintaan sepenuh hati seorang ibu. Hal lain adalah ayahnya tekun mengajarkan agama kepada Fazlur Rahman di rumah dengan disiplin yang tinggi sehingga ia mampu menghadapi bermacam peradaban dan tantangan di dunia modern (Amiruddin, 2000 : 10) Fazlur Rahman banyak dididik ilmu agama oleh orang tuanya dengan madzhab fiqh tertentu yakni mazhab Hanafi. Selain itu ketika Fazlur Rahman hidup di Pakistan telah lebih dahulu berkembang pemikiran yang agak liberal seperti Syah Waliyullah, Syah Abdul Aziz, Sayyid Ahmad Syahid, Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali, dan Sir Muhammad Iqbal. Dari para pemikir tersebut tentunya juga mempengaruhi pola pikir Fazlur Rahman. Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan studinya ke Lahore dan memasuki sekolah modern. Pada tahun 1940 Fazlur Rahman menyelesaikan BA-nya dalam bidang sastra Arab pada Universitas Punjab. Kemudian, dua tahun berikutnya (1942) dia menyelesaikan Masternya dalam bidang yang sama pada Universitas yang sama pula. Empat tahun kemudian (1946) Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk pengembaraan intelektualnya keluar negeri dengan masuk di Universitas Oxford1 di bawah bimbingan 1
Ketika kuliah di Oxford University, Fazlur Rahman mempunyai kesempatan untuk mempelajari beberapa bahasa-bahasa Barat. Paling tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Persia, Turki, Arab, dan Urdu (Amal, 1992 : 81) Penguasaan bahasa yang bagus sangat membantunya dalam memperdalam dan memperluas ilmu pengetahuan, terutama dalam studi-studi Islam melalui penelusuran literatur-literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis dalam bahasa mereka. Dengan pengalaman ini, Fazlur Rahman tidak menjadikan apologetik, tetapi justru lebih memperlihatkan penalaran yang objektif. Dengan demikian banyak intelektual Muslim yang menjadikannya sebagai panutan dalam pemikiran Islam. Kendatipun Fazlur Rahman banyak menimba ilmu dari para sarjana Barat, tidak berarti ia selalu berfikiran sama dengan pemikiran para sarjana Barat. Ia tetap kritis dalam menilai pandangan-pandangan yang diajukan para orientalis. Bahkan sejauh formulasi yang dibentuk tidak memiliki argumen yang kuat atau karena kesalahpahaman mereka terhadap masalah yang sedang dianalisis Fazlur Rahman tidak segansegan untuk mengkritiknya. Fazlur Rahman juga mengkritisi praktik dan atausistem politik dan sosial yang dikembangkan Barat yang secara moral objektif telah jauh dari kebaikan (Amiruddin, 2000 : 11) Dengan gelar akademik yang disandangnya dan penguasaan bahasa yang sangat bagus, Fazlur Rahman benar-benar seorang Scholar yang mumpuni dalam berbagai bidang kajian keislaman. Ia menguasai secara luas dan mendalam sejarah Islam dalam bidang pemikiran, perkembangan sosial politik dan budaya. Demikian pula ia sanggup membaca dengan cermat khazanah klasik keilmuan Islam di segala bidang, betapa pun kunonya buku tersebut yang belum menggunakan bahasa yang standar.
2
Prof. S. Van Den Bergh dan H.A.R. Gibb dalam program doctor filsafat Islam (Ph.D). Pada tahun 1949 Fazlur Rahman menyelesaikan studinya dengan disertasi tentang Ibnu Sina (Sutrisno, 2006 : 62) Dua tahun kemudian disertasinya diterbitkan oleh Oxford University Press dengan judul Avecinna’s Psychology. Setelah mendapatkan gelar doctor dalam bidang Filsafat Islam (Ph.D) Fazlur Rahman tidak langsung pulang kampung, melainkan dia masih tetap tinggal di Inggris dengan ikut mengembangkan karirnya sebgai seorang dosen studi Persia dan filsafat Islam di Universitas Durham dari tahun 1950 hingga tahun 1958 (Supena, 2008 : 45) Selanjutnya pada tahun 1958 ia hijrah ke Kanada, ia di sana diangkat sebagai lector kepala (associate professor) di Institut Studi Islam Universitas Mc.Gill, Kanada. Pada tahun 1961 Fazlur Rahman diundang untuk pulang di tanah airnya, Pakistan oleh seorang Presiden Ayyub Khan yang memerintah pada waktu itu, untuk membantu pembaruan di Pakistan. Terutama di lembaga Riset Islam Pakistan dan selanjutnya ia diangkat sebagai direktur lembaga tersebut pada tahun 1961- 1969. Pada tahun 1964, Fazlur Rahman juga ditunjuk sebagai salah seorang anggota Dewan Penasehat Ideologi Negara Islam Pakistan yang salah satu tugasnya adalah meninjau seluruh hukum, baik yang telah ada maupun yang akan dibuat agar selaras dengan pesanpesan al-Qur’an dan Sunnah serta mengajukan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan daerah bagaimana seharusnya kaum muslim Pakistan menjadi muslim yang terbaik. Kedua lembaga ini yakni lembaga Riset Islam Pakistan dan Dewan Penasehat Ideologi Negara Islam Pakistan memiliki hubungan yang sangat erat, karena masing-masing dapat meminta bahan-bahan dan mengajukan saran-saran mengenai suatu rancangan undang-undang yang diajukan kepadanya. Fazlur Rahman menerima tawaran Ayyub Khan tersebut dengan harapan ia dapat mengajukan gagasan-gagasan pembaruan dalam dunia Islam. Gagasan-gagasan tersebut kemudian ia lontarkan dalam tiga jurnal yang diterbitkan lembaga riset Islam yakni Dirasah Islamiyah (Arab), Islamic Studies (Inggris) dan Fikr -O-Nazr (Urdu). Melalui jurnal tersebut, bidang-bidang kajian Islam Fazlur Rahman bukan hanya sejarah filsafat dan pemikiran Islam pada umumnya, melainkan juga bidang-bidang lain yang lebih praktis seperti riba dan bunga bank, sistem ekonomi, lembaga perkawinan dan keluarga, 3
masalah-masalah kesehatan pengobatan, sistem politik dan kenegaraan dan sistem pendidikan. Usaha-usaha tersebut dilakukannya dengan memberi makna baru terhadap ayat-ayat alQur’an dengan metodologi tafsir baru. Gagasan pembaruan Fazlur Rahman tersebut yang pada dasarnya adalah representative kelompok neo-modernis berkaitan dengan al-Sunnah dan al-Hadith, riba dan bunga bank, zakat, fatwa-fatwa tentang kehalalan binatang yang disembelih dengan alat mekanik dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut banyak mengundang kontroversi berskala nasional, yang puncaknya terjadi pada bulan September 1967 ketika dua bab pertama karya monumentalnya “Islam“ dipublikasikan dalam jurnal berbahasa Urdu yang bernaung di bawah lembaga Riset Islam. Dalam buku tersebut Fazlur Rahman mengatakan bahwa secara keseluruhanya al-Qur’an adalah kalam Allah SWT, dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya merupakan perkataan nabi Muhammad SAW (Rahman, 1984 : 31 dan Moosa, 2000 : 35) Pernyataan tersebut seperti bisa diduga akan menimbulkan reaksi keras oleh kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan. Bahkan tidak sedikit yang menuduh Fazlur Rahman sebagai munkiru al-Qur’an. Kondisi itu diperparah dengan terjadinya demonstrasi masa dan aksi mogok kerja yang berskala massif di beberapa kota di Pakistan pada awal September 1968. Aksi massa menurut beberapa kalangan dinilai sebagai bersifat politis, memangdalam waktu yang cukup lama belum juga bisa diredakan. Salah satu pendapat yang menyatakan aksi masa tersebut bersifat politis adalah Esposito. Menurutnya Aksi massa tersebut sebenarnya bukan hanya datangnya dari penyataan Fazlur Rahman, melainkan juga adanya faktor politik yang sebenarnya lebih ditujukan untuk menentang kepemimpinan Ayyub Khan (Esposito, 1985 : 286) Akhirnya, karena menemukan dirinya tanpa dukungan dan kurang strategis dalam mengembangkan pembaruan Islam, Fazlur Rahman mengajukan pengunduran dirinya2
2
Setidaknya terdapat beberapa faktor yang secara garis besar dapat menjelaskan terjadinya kontroversi dan oposisi terhadap Fazlur Rahman di Pakistan dan pengunduran dirinya selaku direktur Riset Islam dan Keanggotaan Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan. Ulama tradisionalisdan fundamentalis Pakistan dan oposan Fazlur Rahman yang paling setia dan tangguh selama Fazlur Rahman menetap di Pakistan, tidak pernah memaafkan “dosa” Fazlur Rahman karena mendapatkan didikan di Barat dan berhubungan dengan Barat. Lantaran alasan ini pula, mereka tidak pernah merestui penunjukkannya selaku Direktur Lembaga Riset Islam Pakistan. Bagi mereka jabatan tersebut adalah hak privilese eksklusif seorang ‘alim yang terdidik secara tradisional.
4
dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968 yang langsung dikabulkan oleh Ayyub Khan. Dan setahun kemudian pada tahun 1969 Fazlur Rahman melepaskan keanggotaannya dari Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan (A’la, 2003 : 37) Pertimbangan pengunduran dirinya dari kedua lembaga tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keputusan Fazlur Rahman untuk segera meninggalkan Pakistan di tengah hujatan dan sorotan kritik atas pandanganpandangannya sebagai seorang yang dianggap terlalu liberal. Pada musim semi tahun 1969, Fazlur Rahman diangkat menjadi guru besar tamu di Universitas California, Los Anggles dan kemudian ditarik Universitas Chicago sebagai professor pemikiran Islam. Pada tahun 1986, ia direkrut oleh Horald H. Swift menjadi guru besar di Chicago University hingga wafatnya pada Juli 1988 (Rahman, 1993 : 15) 2. Epistemologi Hermeneutika Fazlur Rahman Secara epistemologis ada beberapa poin yang bisa ditangkap dari pemikiran hermeneutika Fazlur Rahman, yaitu : Pertama, dalam memahami al Qur’an, hermeneutika Rahman lebih mendahulukan prinsip moral al Qur’an ketimbang dimensi lahiriyah teks, meskipun ia tidak meninggalkan teks sama sekali. Dalam hal ini, Rahman menunjuk pada pengalaman generasi sahabat yang mengambil kesimpulan hokum berdasarkan pengalaman generasi mereka akan totalitas ajaran al Qur’an dan baru mengutip ayat-ayat individual al Qur’an pada tahap sekunder. Bagi umat Islam yang tidak pernah hidup bersama Nabi, maka memahami totalitas al Qur’an dapat dilakukan dengan memahami latar belakang historis penurunan al Qur’an tersebut dan kemudian menyusun prinsipprinsip moral al Qur’an tersebut secara sistematis. Kedua, sumber informasi pengetahuan dalam konsep hermeneutika Rahman bukan hanya teks, melainkan mencakup tiga horizon sekaligus; dunia teks (world of view), dunia pengarang (world of the author), dan dunia pembaca (world of the reader). Pertama-tama, Demikian pula, kolaborasi Fazlur Rahman dengan pemerintahan Ayyub Khan kurang menguntungkan bagi Fazlur Rahman karena kemarahan para ulama tradisionalis dan fundamentalis kepada Ayyub Khan ditumpahkan padanya. Di samping itu gagasan-gagasan pembaruan yang dikemukakan Fazlur Rahman terlalu liberal bagi mereka dan menyudutkan kalangan tradisionalis dan fundamentalis Pakistan. Latar belakang ketidaksenangan dan penentangan kaum tradisionalis dan fundamentalis Pakistan terhadap Fazlur Rahman bersifat complicated tersebut, pada akhirnya mendorong Fazlur Rahman untuk mengembangkan pembaruan pemikiran Islam di negara lain yang dapat menerima pemikiran-pemikiran progresifnya.
5
seorang hermeneut harus memahami teks al Qur’an, mengenal tradisi masyarakat Arab ketika al Qur’an diturunkan dan seolah-olah hidup di tengah-tengah mereka. Setelah itu kembali mengajak al Qur’an dan Muhammad (sebagai penafsir otoritatif atas al Qur’an) untuk hidup kembali di masa kini. Ketiga, hermeneutika rahman lebih mengutamakan validitas pengetahuan yang bersifat intersubjektif. Hermeneutika tidak mengenal model penafsiran yang bersifat tunggal dan menjadi hak monopoli kelompok tertentu. Sebaliknya, kebenaran dan pengetahuan menjadi hak milik semua orang dan semua kelompok sehingga kebenaran dalam sudut pandang hermeneutika lebih bersifat pluralistik. Karena itu, pesan al Qur’an yang dipandang relevan dalam penggalan ruang waktu tertentu belum tentu relevan dalam penggalan ruang waktu yang lain. Keempat, intersubjektivitas yang diusung hermeneutika ini tidak akan sampai melahirkan relativisme, sebab fleksibilitas rumusan hokum Islam tersebut akan selalu dapat dikembalikan kepada prinsip-prinsip moral (ideal moral). Watak relatisme hermeneutika secara objektif selalu dipagari oleh prinsip-prinsip moral al Qur’an yang selalu dijadikan sebagai pijakan dalam merumuskan hokum islam tersebut (Supena, 2008 : 86-87) 3. Hermeneutika Fazlur Rahman : Double Movement Theory3 Fazlur Rahman sebenarnya telah merintis rumusannya tentang metodologi sejak dia tinggal di Pakistan (dekade 60-an). Namun rumusan metodologinya ini secara sistematis dan komprehensif baru diselesaikannya ketika dia telah menetap di Chicago. Metodologi yang ditawarkannya ini, yang dia sebut sebagai “double movement”, merupakan 3
Gerakan ganda yang dimaksud adalah dalam menafsirkan al-Qur’an dari situasi sekarang ke masa diturunkannya al-Qur’an, dan kembali lagi ke masa kini. Dalam penafsiran al-Qur’an dengan gerakan ganda tersebut gerakan pertama dimulai dari hal-hal yang spesifik dalam al-Qur’an ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjangnya, maka gerakan kedua harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus diformulasikan dan direalisasikan sekarang. Maksudnya, yang umum harus ditumbuhkan dalam konteks sosio-historis yang konkrit dewasa ini. Dalam konteks ini, Rahman merupakan tokoh pembaruan pemikiran yang memiliki wawasan yang cemerlang dalam menyampaikan pemikiran-pemikirannya. Dengan demikian, yang patut digarisbawahi dari pemikiran Rahman adalah al-Qur’an harus ditangkap secara utuh dan mempertimbangkannya secara kritis latar belakang sosio-kultural turunnya ayat, sehingga pemikiran-pemikiran yang merupakan konstribusi dalam menjawab tantangan zaman dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, pemikiran yang dilontarkan tetap berada pada koridor-koridor Islam.
6
kombinasi pola penalaran induksi dan deduksi; pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general), dan kedua, dari yang umum kepada yang khusus. Pada tahun pada tahun 1982 melalui bukunya yang berjudul Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (edisi Indonesianya berjudul Islam dan Modernitas: tentang Transormasi Intelektual), Rahman mengemukakan metode tafsir dalam memperoleh pemahaman Alquran, yakni a double movement method (metode sebuah gerakan ganda). Pada gerakan pertama4 dari metode sebuah gerakan gandanya terdapat dua langkah yang harus ditempuh oleh seorang penafsir Al Quran. Untuk memperjelas pemaparan atas metodenya itu, berikut ini adalah gerakan pertama dari metode tafsir Al Quran. Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan Al Quran tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik sinaran situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam khususnya di Makkah –dengan tidak mengesampingkan peperangan-peperangan Persia-Byzantium- akan harus dilakukan. Jadi, langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna Al Quran sebagai suatu keseluruhan disamping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respons terhadap situasi-situasi khusus. Rumusan gerakan pertama ini diungkapkan Rahman sebagai berikut: “Langkah pertama, orang harus memahami arti atau makna suatu pernyataan (ayat) dengan mengkaji stuasi atau problema historis di mana pernyataan Al Quran tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian situasi makro dalam batasan-batasan 4
Gerakan pertama dari dua gerakan metodis, yang terdiri dari dua langkah, pada dasarnya merupakan penjabaran dari tiga pendekatan pemahaman dan penafsiran Alquran, yaitu pendekatan historis, kontekstual, dan sosiologis. Agaknya gerakan pertama ini lebih dikhususkan terhadap ayat-ayat hukum. Dari gerakan pertama dalam metode sebuah gerakan gandanya ini, pendekatan Rahman hampir serupa dengan pendekatan historisisme yang kerap kali digunakan orientalis dalam mengkaji Islam (baca: Al Quran). Pendekatan ini menyatakan bahwa “suatu entitas, baik itu institusi, nilai-nilai maupun agama berasal dari lingkungan fisik, sosio-kultural, dan sosio-religius tempat entitas itu muncul”. Namun, pendekatan historisisme ini akan nampak sangat berbeda dengan pemikiran Rahman ini jikalau kita mengkajinya dengan seksama. Perbedaan tersebut ialah bahwa Rahman sama sekali tidak menolak adanya wahyu yang ikut membentuk suatu aturan-aturan kongkrit dalam Al Quran, justru ia melakukan metode ini untuk memilah aspek yang sifatnya illahiah dengan entitas yang dibentuk oleh sejarah.
7
masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga bahkan keseluruhan kehiupan masyarakat di Arabia pada saat Islam datang dan khususnyas di Makkah dan sekitarnya, harus dilakukan terlebih dahulu. Langkah kedua, adalah menggeneralisasikan respon-respon spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan moral sosial umum, yang dapat disaring dari ungkapan ayat-ayat spesifik dalam sinar latar belakang sosio-historis dan dalam sinar "rationes leges" ('illat hukm) yang sering digunakan. Benarlah bahwa langkah pertama yaitu memehami makna dari suatu pernyataan spesifik –sudah memperlihatkan ke arah langkah kedua – dan membawa kepadanya. Selama proses ini perhatian harus ditujukan kepada ajaran Al Quran sebagai suatu keseluruhan, sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan, dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. Al Quran sendiri menda'wakan secara pasti bahwa "ajaran tidak mengandung kontradiksi", melainkan koheren dengan keseluruhan” (Rahman, 1979 : 221). Ide pokok yang terkandung dalam gerakan pertama,s ebagaimana dikutip di atas adalah penerapan metode berpikir induktif : "berpikir dari ayat-ayat spesifik menuju kepada prinsip", atau dengan kata lain adalah "berpikir dari aturan-aturan legal spesifik menuju pada moral sosial yang bersifat umum yang terkandung di dalamnya. Terdapat tiga perangkat untuk dapat menyimpulkan prinsip moral-sosial. Pertama adalah prangkat ilat hukum5 (ratio leges) yang dinyatan dalam Al Quran secara eksplisit; kedua, ilat hukm yang dinyatakan secara implisit yang dapat diketahui dengan cara menggeneralisasikan beberapa ungkapan spesifik yang terkait; ketiga adalah perangkat sosio-historis yang bisa berfungsi untuk menguatkan ilat hukum implisit untuk menetapkan arah maksud
5
Mengenai ilat (ratio logis, alasan hukum) dan hikmat (sasaran), pada prinsipnya Rahman sependapat dengan Syaikh Yamani, bahwa kedua kata tersebut mengandung implikasi makna yang berbeda jika dikaitkan dengan aspek ibadah (religious), tetapi jika dikaitkan dengan aspek muamalah (pranata sosial), eduanya memiliki pengrtian yang erat. Namun Rahman tidak sependapat jika dikatakan bahwa dalam aspek ibadah tidak terkandung hikamat dan dalam aspek muamalah tidak terkandung ni;ai religius, atau sematamata dikatakan sekuler. Hal ini sebagaimna dikatakan oleh mayorits muslim sekularis yang mengidentifikasikan "aspek religius" sebagai hal-hal yang bersifat abadi, tidak dapat diubah karena terkandung hikmah di dalamnya, sedangkan muamalah dipandang sebagai hal-hal yang mutlak, dan bebas mengalami perubahan. Menurut Rahman (1979 : 220), di dalam aspek ibadah terdapat hikmah sebagaimana terdapat dalam aspek muamalah. Namun antara keduanya mempunyai kualifikasi (standar) yang berbeda. Standar hikmah dalam aspek muamalah adalah nilai logis, sebaliknya spek-aspek sosial juga mengandung nilai-nilai religius yang bersifat abadi, tida semata-mata bersifat sekuler. Nilai nilai moral-sosial yang terkadang dalam aspek muamalah adalah bersifat religius dan abadi. Bahkan hukum-hukum yang ditarik dari nilai-nilai moral-sosial tersebut sebagai respon terhadap zaman apapun juga brsifat religius, sekalipun ia tidak bersifat abadi. Dengan bahasa lain, aturan (hukum) sosial bisa saja sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan tujuan moral-sosial. Perubahan hukum yang melanggar nilai-nilai dan tujuan moral-sosial tidak dapat dibenarkan secara Islam. Rahman sendiri tidak pernah mempermasalahkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral-sosial tersebut apakah sebagai ilat ataupun sebagai hikmah.
8
tujuannya, juga dapat berfungsi untuk membantu mengungkapkan ilat hukum beserta tujuannya yang sama sekali tidak dinyatakan (Rahman, 1979 : 222). Langkah kedua6 adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio historis dan ratio-legis yang sering dinyatakan. Rumusan gerakan kedua ini dinyatakan Rahman sebagai berikut : “Gerakan kedua harus dilakukan dari pandangan umum (yaitu yang telah disistematisasikan melalui gerakan pertama) menjadi pandangan-pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang ini. Artinya, ajaranajaran yang bersifat umum tersebut harus dirumuskan dalam konteks sosio-historis yang konkrik sekarang ini. Sekali lagi kerja ini memerlukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur komponennya, sehingga kita dapat menilai situasi sekarang yang diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mererapkan nilai-nilai Al Quran secara baru pula”. Dari kutipan di atas, terlihat bahwa dalam gerakan kedua ini terdapat dua kerja yang saling terkait. Pertama adalah kerja merumuskan prinsip umum Al Quran menjadi rumusan-rumusan spesifik, maksudnya yang berkaitan dengan tema-tema khusus, misalnya prinsip ekonomi Qurani; prinsip demokrasi Qurani; prinsip hak-hak asasi Qurani dan lain-lain, di mana rumusan prinsip-prinsip tersebut harus mempertimbangkan konteks sosio-historis yang konkrit, dan bukan rumusan spekulatif yang mengawang-awang, kerja pertama tidak mungkin terlaksana kecuali disertai kerja kedua yaitu pembahasan secara akurat terhadap kehidupan aktual yang sedang berkembang dalam segala aspeknya; ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain. Kenyataan kehidupan aktual suatu masyarakat atau bangsa memiliki corak-corak tertentu yang bersifat situasional dan kondisional. Selain itu, ia sarat akan perubahanperubahan. Oleh karena itu, tanpa pencermatan situasi dan kondisi aktual, akan cenderung kepada upaya pemaksaan prinsip-prinsip Qurani, sedangkan yang diinginkan Rahman 6
Gerakan kedua merupakan upaya perumusan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan-tujuan Al Quran yang telah disis tematisasikan melaui gerakan pertama terhadap situasi dan atau kasus aktual sekarang. Gerakan kedua ini befungsi sebagai pengkoreksi atas hasil-hasil yang dilakukan pada gerakan pertama, yakni pada tahap penafsiran dan pemahaman atas wahyu Al Quran. Apabila terjadi kegagalan dalam pengaktualisasian pemahaman yang dihasilkan dari gerakan pertama pada masa sekarang, Rahman mengklaim bahwa terdapat kesalahan atau kegagalan dalam memperoleh pemahaman atau menilai masa kini atau situasi masa sekarang ataupun kegagalan dalam memahami pesan Al Quran (Rahman, 2005: 8)
9
bukanlah seperti itu, melainkan hanyalah "perumusan" prinsip umum Al Quran dalam konteks sosio-historis aktual. Bahkan suatu prinsip tidak dapat diterapkan sebelum ia dirumuskan kembali. Pada langkah pertama dari gerakan pertama ini, Rahman hendak menempatkan wahyu Al Quran dalam konteks kesejarahannya atau konteks lingkungan di mana wahyu tersebut turun dan menjadi solusi terhadap pelbagai permasalahan yang dialami masyarakat Arab ketika itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ia hendak membatasi isi pesan dalam Al Quran dalam konteks masyarakat Arab ketika itu. Langkah pertama dari sebuah gerakan gandanya ini, menempatkan wahyu sebagai pelbagai respon dari Allah swt. melalui Muhammad SAW atas stimulus-stimulus yang datang dari problem-problem historis masyarakat Arab ketika itu. Pada langkah kedua, seorang penafsir Al Quran harus membuat generalisasi atas solusisolusi yang diberikan kepada masayarakat Arab ketika itu dengan dilandasi oleh alasanalasan yang terdapat dalam Al Quran ketika memberikan solusi-solusi tersebut. Rahman menyadari bahwa langkah kedua ini adalah implikasi dari langkah pertama. Langkah kedua dari gerakan pertama ini merevisi langkah pertama yang membatasi wahyu Al Quran dalam konteks kesejarahannya, karena pada langkah kedua ini Rahman hendak mengambil makna moral-sosial yang tidak dibatasi oleh oleh ruang dan waktu. Maksudnya, jika pada langkah pertama ia membatasi wahyu Al Quran dalam konteks historis atau sosial tertentu di mana wahyu dinyatakan sebagai solusi-solusi atas problem historis, maka pada langkah kedua ia hendak mengambil makna dari suatu solusi-solusi tersebut yang dinilainya merupakan sesuatu hal yang trans-historis atau melampaui batas kesejarahan pewahyuan. Menurut Rahman, tidaklah mungkin jika pada masa lalu berhasil diterapkan, namun pada masa kini tidak dapat diterapkan. Oleh karenanya, ia menyarankan diperlukannya “jihad intelektual”, yang dilakukan dengan cara melakukan usaha terus-menerus dalam memahami makna dari suatu teks atau pernyataan dari masa lampau tersebut (Al Quran) yang mempunyai suatu aturan, dan kemudian mengubah aturan tersebut yang disesuaikan pada masa kini atas dasar nilai-nilai yang terkandung dalam teks berserta konteks historisnya. 10
Moosa (2000 : 31) memandang bahwa metode sebuah gerakan ganda ini terpengaruh oleh tokoh hermeneutika objektif asal Italia, Emilio Betti. Menurutnya, metode Rahman tersebut tersebut adalah ringkasan dari empat kaidah7 penafsiran yang dikemukakan oleh Betti. Walaupun terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kaidah-kaidah penafsiran teks dalam hermeneutika Betti telah diringkas oleh Rahman dalam wujud metode sebuah gerakan ganda, terdapat perbedaan yang cukup sifnifikan antara keduanya. Betti percaya pada makna yang hidup kembali karena penegasan tujuan dalam pikiran penafsir orisinal. Sedangkan dalam metode sebuah gerakan ganda, Rahman menyakini bahwa terdapat kebutuhan dalam mengetahui maksud dalam pikiran penafsir, bahkan menegaskan bahwa konteks sejarah penafsir dengan semua kesulitannya harus diselidiki. Fazlur Rahman yakin bahwa dengan penerapan teori “double movement” nya ini di dalam penafsiran teks, ijtihad dapat dihidupkan kembali. Apabila hal ini dapat dilakukan, pesan-pesan al-Qur’an dapat ‘hidup’ dan menjadi efektif sekali lagi. Gerakan ganda seperti yang dikemukan oleh Fazlur Rahman memang strategis dalam upaya mengaitkan kerelevanan teks al-Qur’an pada konteks kekinian, terutama untuk merumuskan kembali hukum dari al-Qur’an. Lebih lanjut, Fazlur Rahman memastikan perlunya pendekatan multidisiplinary dalam mengkaji pesan-pesan Al-Qur’an, karena pesan al-Qur’an seringkali kompleks sehingga rawan untuk ditafsirkan sewenang-wenang oleh kelompok tertentu yang berkepentingan dengan model penafsiran tunggal8.
7
Kaidah-kaidah penafsiran tersebut ialah sebagai berikut : a. Kaidah mengenai otonomi objek hermeneutik, artinya pelbagai bentuk yang bermakna harus dipahami berdasarkan perkembangan logika mereka sendiri, hubungan yang diharapkan, kepentingan, koherensi dan kesimpulannya. Pada langkah ini seorang penafsir harus melihat suatu objek yang tercipta dari pengarang dan harus dipandang dari sudut pandang pengarang serta rangsangan-rangsangan yang membentuknya dalam proses-proses kreatif, b. Kaidah mengenai koherensi makna (prinsip kemutlakan), artinya keseluruhan dan sebagian dalam pelbagai bentuk yang bermakna saling berhubungan. Makna keseluruhannya harus diambil dari unsurunsur individual, dan unsur individual harus dipahami dengan mengacu pada totalitas, yang menembus makna keseluruhan di mana ia merupakan bagiannya, c. Kaidah mengenai aktualitas pemahaman. Artinya, melacak kembali proses kreatif, merekonstruksinya dalam dirinya sendiri, menerjemahkan kembali pemikiran yang tak berkaitan dengan sebuah “yang lain”, sebuah bagian dari masa lalu, sebuah peristiwa yang dapat diingat, yang menjadi aktualitas hidup seseorang, d. Kaidah keharmonisan atau korespondensi hermeneutik dari makna (ketepatan-makna dalam memahami). Artinya, penafsir harus berusaha membawa aktualitas yang hidup ke dalam harmoni yang paling erat dengan stimulasi yang ia terima dari objek dengan suatu cara sehingga satu sama lain beresonansi secara harmonis (Supena, 2012 : 56). 8 Abdullah Saeed (2006 : 58) menulis:
11
4. Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman dalam Interpretasi Al-Qur'an a) Hak istri untuk bercerai dalam keadaan tertentu (khulu’) Contoh sederhana dari teori gerak gandanya Rahman dalam hal hak istri untuk bercerai dalam keadaan tertentu (khulu’) dalam analisisnya terhadapa ayat yang digunakan mayoritas ulama dalam peniadaan hak wanita ini adalah QS. Al Nisa’ [IV] : 3 dan QS. Al Baqarah [II] : 28, yang menerangkan superioritas lelaki atas wanita. Pada gerak pertamanya Rahman mencoba mengangkat aspek historis ayat dengan latar belakang sosial budaya yang berlaku tentang status wanita pada waktu turunnya ayat. Menurutnya masyarakat Arab ketika itu didominasi oleh kaum lelaki dan posisi kaum wanita sangat lah rendah sehingga wajar saja ketika bunyi teks al-Qur’an menyesuaikan dengan kondisi zaman dan konteks turunnya ayat dan hal ini dirasakan sangat bersifat temporal. Dengan mengambil nilai yang lebih universal dari gerak pertamanya yaitu tentang persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan Rahman beranjak ke gerakan kedua, Menurut Rahman, adalah sangat pelik untuk mempertahankan keadaan berdasarkan ayat-ayat tersebut bahwa masyarakat harus tetap seperti masyrakat Arrab abad ke-7 M, atau masyrakat abad pertengahan pada umumnya, dia berpandangan bahwa anggapan mayoritas ulama tentang monopoli kaum laki-laki atas hak cerai sama sekali tidak dicuatkan dari al-Qur’an dan bahwa ketentuan mengenai hak cerai kaum wanita adalah positif (Amal, 1992 : 90) b) Poligami Ayat yang berkaitan dengan poligami adalah QS. Al-Nisâ [4] : 3 dengan konteks ayat yang berkaitan dengan permasalahan gadis-gadis yatim yang telah berusia dewasa. QS. Al-Nisâ [4] : 2, di mana wali mereka tidak berkenan menyerahkan harta kekayaan anak yatim yang dikuasainya. QS. Al-Nisâ [4] : 3 memang menganjurkan poligami dengan disertai syarat bahwa para suami mampu berbuat adil, dengan diiringi penekanan "jika
“The importance of Rahman’s ‘double-movement’ approach is that he takes into account both the conditions of the time of the revelation and those of the modern period in relating the text to the community. In utilising this double movement theory, it is expected that not only the traditional ulama, who should determine what is Islamically acceptable and what is not, will be involved, but that it will also involve other ‘specialists’ of relevance from fields as diverse as history, philosophy, law, ethics, sociology, and anthropology to assist in the process of deriving Islamic law that is meaningful, relevant and appropriate.”
12
engkau kuatir tidak mampu berbuat adil, cukuplah hanya dengan seorang istri". Selanjutnya sebagaimana pada ayat kedua, yang memerintahkan berbuat adil pada anakanak yatim. QS. Al-Nisâ [4] : 129 juga menegaskan "Kamu sekali-kali tidak akan mampu berbuat adil kepada isteri-isterimu walaupun sesungguhnya kamu sangat menghendaki untuk berbuat demikian-(jika engkau tidak mampu berbuat adil sepenuhnya)–maka setidak-tidaknya janganlah kamu cenderung sepenuhnya kepada salah satunya sehingga yang lain terkatung-katung". Rahman mencoba mendekati nas ini dengan menggali nilai yang terkandung di dalam teks formalnya bedasarkan sosio-historis dan kulturalnya. Rahman tidak sependapat bahwa frasa "berlaku adil" dalam ayat 3 surat Al-Nisâ hanya terbatas pada perlakuan lahiriah. Jika frase tersebut hanya bermakna demikian, niscaya tidak mungkin ada penegasan pada peringatan ayat 129 surat Al-Nisâ. Frase tersebut hanya tepat jika ditafsirkan dalam aspek psikis,cinta kasih. Ia beralasan dengan ayat-ayat yang mengatur poligami sudah menjadi semacam endemic dalam struktur sosial Arab pada masa itu, maka Alquran secara bijaksana menerima status quo tersebut dengan disertai langkahlangkah perbaikan melalui sejumlah rancangan hukum. Tetapi bersamaan dengan itu Alquran juga mengemukakan rancangan moral di mana masyarakat secara gradual dianjurkan menuju ke arah tersebut, yaitu "monogamy". Dengan memandang izin poligami bersifat temporer dan memandang bahwa maksud yang hendak dituju oleh Alquran yang sebenarnya adalah menegakkan "monogami", akan menyelamatkan ayat 3 dan ayat 129 surat Al-Nisâ dari pengertian yang kontradiktif. Masalah poligami berkaitan erat dengan konteks keadilan sosial terhadap wanita.
C. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dalam memahami dan menafsirkan sumber utama Islam dalam hal ini Al Qur’an, Rahman menggunakan teori double movement (gerak ganda) dengan pendekatan ‘sosio-historis’ dan ‘sintetis-logis’. Pendekatan historis disertai dengan pendekatan sosiologis, yang khusus memotret kondisi sosial yang terjadi pada masa al-Qur’an diturunkan. Pendekatan ini digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat hukum. Sedangkan sintetis-logis adalah pendekatan yang membahas suatu tema dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan 13
tema yang dibahas. Pendekatan ini digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat metafisisteologis. Jelas, di sini ditekankan keterpaduan wahyu. Hubungan yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam al Qur’an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profane disisi yang lain. Dua unsur inilah yang menjadi tema sentral metode Rahman. Permasalahannya ada pada bagaiman cara mendialogkan antara dua sisi tersebut agar nilai-nilai kewahyuan bisa selalu sejalan dengan sejarah umat manusia. Gerakan ganda (double movement) adalah masuk ke akar sejarah untuk menemukan ideal moral suatu ayat dan membawa ideal moral itu ke dalam konteks kekinian. Gerak pertama pada teori Rahman menghendaki adanya memahami makna al-Quran dalam konteks kesejarahannya baik secara spesifik dimana kejadian itu berlangsung (mikro) maupun secara global bagaimana kondisi sekitar kejadian itu pada umumnya (makro). Dari sini bisa diambil pemahaman yang utuh tentang konteks normative dan historisnya suatu ayat maka timbullah istilah legal specific (praktis temporal) dan moral ide (normative universal) Kemudian gerak kedua yang dilaklukan adalah upaya untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam konteks penafsiran pada era kontemporer yang tentunya mensyaratkan sebuah pemahaman yang kompleks terhadap suatu permasalahan. Disini terlihat keberanjakan Rahman dari metodologi ushul fiqh lama yang cenderung literalistik dan menurutnya perlunya penguasaan ilmu-ilmu bantu yang bersifat kealaman maupun humaniora agar para penafsir terhindar dari pemahaman yang salah. Sangat jelas bahwa gagasan yang ditawarkannya bersifat paradigmatik yang berusaha menghindarkan pemahaman intelektual dari dogma dan batas batas dimensi cultural yang membelenggu. Dengan ijtihadnya tersebut sesungguhnya Fazlur Rahman telah berjasa besar dalam merumuskan sebuah pemikiran Islam yang sistematis dan komprehensif. Pemikiran Fazlur Rahman ini dalam kajian ilmu-ilmu keislaman memiliki arti penting, di antaranya: 1. Menawarkan metodologi baru dalam pengembangan keilmuan Islam: Hermeneutika Fazlur Rahman adalah hermeneutika yang memadukan akar tradisional Islam dengan hermeneutika Barat modern. Dinamakan hermeneutika al-Qur’an karena hermeneutika difungsikan sebagai alat untuk menafsirkan kitab suci al-Qur’an. 14
2. Perubahan paradigma dari metafisik-teologis kepada etis-antropologis. 3. Menegakkan etika sosial dalam Islam modern. Pergeseran paradigma dari dari wilayah metafisik-teologis ke wilayah etis-antropologis merupakan pembaharuan atas tujuan etis; tujuan yang akan mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai mahluk luhur.
D. PENUTUP Demikianlah makalah ini penulis buat. Penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis memohon kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Semoga bermanfaat. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA A’la. Abd. 2003. Dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina. Amal, Taufiq Adnan. 1992. Islam dan Tantangan Modernitas; Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Cet III, Bandung : Mizan Amiruddin, M. Hasbi. 2000. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta: UII Press Esposito, John L. 1985. Pakistan : Pencarian Identitas Islam, dalam Islam dan Perubahan Sosial Politik di Negara Berkembang, Terjemahan Wardah Hafiz, Yogyakarta : PLP2M. Moosa, Ebrahim. 2000. Introduction dalam Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam : A Study of Islamic Fundamentalism. Oxford : Oneworld Publication. Rahman, Fazlur. 1979. Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law : Syeikh Yamani on Public interest Islamic Law, International and Politic Vol. 12 15
---------------, 1984. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual. Terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka. ---------------, 1993. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, terjm. Taufiq Adnan Amal, Bandung : Mizan. Saeed, Abdullah. 2006. Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-Legal Content of the Qur’an,dalam Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectual and the Qur’an. London: Oxford University Press and The Institute of Isma’ili Studies. Sibawaihi, 2007. Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta: jalasutra. Sutrisno. 2006. Fazlur Rahman: Kajian Terhadap Metode, Epistomologi dan Sistem Pendidikan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Supena, Ilyas. 2008. Desain Ilmu-ilmu Keislaman dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman, Semarang : Walisongo Press ------------------, 2008. Reformasi Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman. Semarang : Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang ------------------, 2012. Bersahabat dengan Makna Melalui Hermeneutika. Semarang : Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang
16