53
BAB IV METODOLOGI FAZLUR RAHMAN DALAM MEMAHAMI ALQURAN
A. PERKEMBANGAN METODE TAFSIR ALQURAN Demi mempermudah penjelasan mengenai perkembangan metode tafsir Alquran, peneliti akan memaparkannya berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh al Farmawi12 pada tahun 2002, yakni metode tahlili, metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i. Adapun alasan digunakannya klasifikasi ini ialah karena klasifikasinya ini cukup representatif dalam memuat pelbagai metode tafsir Alquran yang digunakan oleh para ulama tafsir klasik hingga modern. Namun demikian, klasifikasi al Farmawi ini belum mencakup metode tafsir yang bercorak sastra yang dikemukakan oleh Amin al Khuli13. Walaupun penyajian metode tafsir Alquran ala al Khuli ini menggunakan langkah yang sama seperti dalam metode maudhu’i, yakni mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan suatu topik pembahasan, perlu kiranya ditambahkan metode tersebut dalam pembahasan di sini. Adapun alasan disertakannya metode tafsir ini ialah untuk menunjukan letak perbedaan antara metode tafsir ini dengan metode tafsir Alquran yang dikemukakan oleh Rahman.
12
Prof. Dr. Abdul Hayy al Farmawi adalah guru besar pada Fakultas Ushuluddin Universitas al Azhar, Mesir. Lihat Shihab (1996: 114). 13 Syaikh Amin al Khuli pernah menjabat sebagai dosen bahasa Arab di Fakultas Adab Universitas Mesir (Universitas Kairo), dan kemudian menjadi Direktur Umum Kebudayaan di Mesir sampai dengan awal bulan Mei 1955. Selanjutnya lihat al Banna (2005: 197).
54
1. Metode Tahlili Metode tahlili berarti melakukan penjelasan ayat-ayat Alquran melalui penelitian atas seluruh aspek di dalam ayat-ayat tersebut sehingga dapat menemukan maksudnya (al-Farmawi, 2002: 23-24). Aspek-aspek yang dimaksud tersebut ialah uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antarpemisah (munasabat) sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al-munasabat) dengan bantuan asbabun nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., sahabat, dan tabi’in. Metode ini pun kerap kali disebut sebagai tafsir tajz’i yang berarti tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian atau tafsir parsial (Shihab et al, 2008: 172). Dalam praktiknya, metode tafsir tahlili dibedakan menjadi tiga bentuk, yakni pertama, tafsir bi al ma’tsur (tafsir bi al riwayah) adalah penafsiran Alquran melalui penelusuran riwayat-riwayat penjelasan dari Nabi saw., para sahabat ataupun para tabi’in. Kedua, tafsir bi al ra’y atau tafsir bi al dirayah adalah penjelasan ayat-ayat Alquran yang dilakukan melalui ijtihad atau akal pikiran yang dalam praktiknya dilakukan dengan cara mengerahkan segenap ilmu yang dimiliki oleh mufassir. Ketiga, tafsir isyary adalah penafsiran Alquran yang berpijak bukan pada makna lahir (tekstual, dhahirnya atau makna yang jelas), melainkan makna tersirat yang nampak bagi para ulama atau orang-orang yang menekuni bidang sufi atau tasawuf (Nawawi dan Hasan, 1989; 150-156). Sedangkan dalam penyajiannya, metode ini memiliki corak sufi atau tasawuf, fiqh, filsafat, ilmu, dan al Adabi al Ijtimali. Adapun penjelasan corak-corak tafsir tersebut ialah sebagai berikut.
55
a. Corak Sufi atau Tasawuf “Di dalam menafsirkan Alquran, para sufi cenderung menakwilkan ayatayat-Nya sesuai pikiran, perilaku dan pancaran ruhani mereka” (al Usiy, 2002: 253). Para sufi menjadikan Alquran sebagai landasan bagi langkah dan jalan (tariqah) yang mereka tempuh (Syurbasyi, 1999: 159). Adapun salah seorang ulama yang menyajikan tafsir Alquran dengan corak tafsir ini adalah Ibnu Arabi. Sebagai contoh, ia menafsirkan surat ar Rahmaan ayat 19 yang berbunyi “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu”. Ia menafsirkannya bahwa “yang dimaksudkan dengan dua lautan oleh ayat tersebut ialah lautan substansi raga yang asin dan pahit dan lautan ruh yang murni, yang tawar dan segar yang keduanya saling bertemu di dalam wujud manusia” (dalam al Usiy, 2002: 154). Menurut azd Dzahabi (dalam al Banna, 2005: 67-68), tafsir Alquran dengan corak sufi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni sufistik-simbolik, dan sufistik-teoritik. Tafsir sufistik-teoretis dibangun atas premis-premis ilmiah yang sudah terbangun dalam pikiran seorang sufi dan kemudian diterjemahkan menjadi tafsir Alquran pada tahap selanjutnya. Sedangkan tafsir sufistik-simbolik adalah kebalikan dari tafsir sufistik-teoritik, sebagaimana diungkapkan al Banna bahwa. tafsir sufistik-simbolik tidak terfokus pada premis ilmiah tertentu, tapi berdiri di atas kegiatan olah spiritual yang ditetapkan seorang sufi, sampai pada taraf di mana dia berhasil meyakini bahwa ungkapan-ungkapan Alquran itu merupakan simbol-simbol suci yang hinggap pada hatinya setelah melewati fase yang gaib, sehingga ayat-ayat tersebut menampilkan pengetahuan-pengetahuan yang Maha Suci (2005: 68).
56
b. Corak Fiqh Tafsir bercorak fiqh lahir dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu fiqh dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqh yang kemudian masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/tafsir_alqur'an.htm, 7/11/2008). Namun demikian, terkadang terdapat suatu pendapat di antara tiap golongan tersebut yang bersepakat dalam suatu kesimpulan hukum, dan sering pula mereka berselisih pendapat tentang pemahaman suatu ayat14. Perbedaan pendapat ini lama kelamaan meluas setelah lahirnya mazhab-mazhab fiqh, dan munculnya fanatisme pengikut setiap mazhab tersebut terhadap imam mazhabnya. Sebagai puncak perbedaan tiap pendapat tersebut dalam kelompok Syi’ah muncul mazhab Ismailiyah, Zaidiyah, ataupun Itsna Asy’ariyah (Syi’ah 12 Imam). Sedangkan dalam kelompok Sunni muncul mazhab Hanafiah, Syafi’i, Hambali ataupun Maliki. Dalam mazhab Hanafi muncul Abu Bakar ar Razi atau dikenal dengan al Jashshash yang menulis sebuah buku Ahkam Alquran, dari mazhab Syafi’i muncul nama Abul Hasan ath Thabari yang dikenal sebagai al Kiya al Hirasyi dengan kitabnya yang berjudul Ahkam Alquran, dari mazhab Maliki muncul Abu Bakar bin al Arabi yang menulis buku berjudul Ahkam Alquran, dan dari mazhab Syi’ah atau Imamiyah muncul Miqad as Siwari dengan bukunya yang berjudul Kanz al Furqon fi Fiqh Alquran (al Usiy, 2002: 258). 14
Perbedaan pendapat ini ini dapat dilihat dari pemahaman mereka terhadap surat an Nisa (4) ayat 24. Satu golongan menyebutkan bahwa ayat tersebut melegitimasi adanya praktik nikah mut’ah (nikah kontrak), sedangkan golongan lainnya menyatakan bahwa ayat tersebut bukan ayat yang melegitimasi praktik mut’ah, melainkan tentang pemberian mahar atau maskawin dalam pernikahan.
57
c. Corak Filsafat Munculnya tafsir Alquran bercorak filsafat dilatarbelakangi oleh perkembangan kebudayaan dan pengetahuan umat Islam, dan diterjemahkannya karya-karya intelektual Yunani, Romawi dan Hellenis ke dalam bahasa Arab pada masa dinasti Abbasiyyah15 (al Farmawi, 2002: 32). Di antara buku-buku tersebut ialah buku filsafat dan kemudian dipelajari oleh sebagian umat Islam. “Penafsiran filosofis memiliki hubungan dengan penafsiran Mu’tazilah karena keduanya meyakini antinomi antara akal dan iman” (Hanafi, 2005: 168). Di antara mufassir yang menafsirkan Alquran dengan corak filsafat ini ialah al Farabi, Ibnu Sina, al Kindi dan sebagainya. Salah satu bentuk tafsir Alquran bercorak filsafat ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Sina berkenaan ash Shamad dalam surat al Ikhlash ayat 2. Ia menafsirkannya sebagai berikut Dari segi bahasa, kata ash Shamad memiliki dua penafsiran. Salah satu diantaranya adalah yang tidak mempunyai rongga (al jawf), dan yang kedua adalah tuan (as sayyid). Penafsiran yang pertama tidak tepat karena mengisyaratkan penafian substansi, karena setiap yang memiliki substansi pastilah memiliki rongga dan perut (al bathn). Padahal ada maujud yang tidak memiliki perut. Bila Dia dianggap ada, maka Dia tidak sesuai dengan ketiadaan. Dan sesungguhnya, sesuatu yang berasal dari-Nya adalah ada dan tidak sesuai dengan ketiadaan. Dan karena itu pula, ash shamad adalah yang haq yang mutlak harus ada dari segala segi. Sedangkan penafsiran yang kedua, sifatnya adalah penisbatan. Karena Dia adalah raja segala sesuatu, maka Dia juga awal bagi segala sesuatu (dalam al Usiy, 2002: 253).
15
Penerjemah besar karya-karya asing pada masa dinasti Abbasiyyah ialah Hunayn Ibn Ishaq, seorang cendikiawan Kristen. Hunayn tidak hanya menerjemahkan karya-karya asing, Ia juga menghasilkan karya-karya tulisnya, baik betemakan filsafat, astronomi ataupun meteorologi. Selanjutnya lihat Saefudin (2002: 155).
58
d. Corak Ilmu Tafsir bercorak ilmu pertama kali dimulai ketika ditemukannya penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan pengetahuan ilmiah yang berdasarkan pada akal dan eksperimen (Hanafi, 2005: 169). Selain itu, munculnya tafsir ini disebabkan oleh adanya keinginan para penafsir Alquran untuk memperluas cakupan penafsiran Alquran dan kemudian berpendapat bahwa Alquran mencakup seluruh ilmu pengetahuan dan mengisyaratkan semua persoalan dapat diselesaikan dengan Alquran (Syurbasyi, 1999: 154). Benih-benih tafsir ilmu sudah muncul semenjak dinasti Abbasiyyah, yakni pada masa pemerintahan Khalifah al Ma’mun. Adapun tokoh yang paling gigih berpegang teguh menggunakan tafsir Alquran yang bercorak ilmu ini ialah al Ghazali melalui karya-karyanya seperti Ihya Ulum ad Din dan Jawahirul Qur’an (Shihab, 1996: 101). Melalui bukubuku tersebut, ia mengatakan bahwa cabang-cabang atau segala ilmu itu semuanya berasal dari Alquran dan semua ilmu itu bukan berada di luar Alquran tetapi digali dari Alquran (Syurbasyi, 1999: 154-155). Selain al Ghazali, muncul pula nama Muhammad Taufiq Sidqi yang menafsirkan Alquran dengan corak ilmu ini. Berkenaan dengan surat al Mulk (67) ayat 3 yang berbunyi “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” dan surat Haqqah (69) ayat 17 yang berbunyi “Dan malaikat-malaikat berada di penjurupenjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung Arasy
59
Tuhanmu di atas (kepala) mereka”. Dalam hal ini, ia menafsirkannya sebagai berikut: Soal tujuh langit yang banyak diperbincangkan di dalam Alquran itu adalah tujuh planet, sebab kata as sama yang sering disebut-sebut di dalam Alquran itu, secara kebahasan berarti “setiap yang meninggi di atas manusia atau yang melampaui ketinggiannya” … langit terdiri dari lapisan-lapisan yang bertingkat-tingkat, sebab poros tiap-tiap mereka berada di atas lainnya … poros itu tidak lain adalah al arsy atau sandaran (kursi) langit dan bumi (dalam al Banna, 2005: 177).
Walaupun terkesan menunjukan kesempurnaan dan kemukjizatan Alquran, corak tafsir ini tidak terlepas dari kekurangan. Tafsir ini memberikan informasi yang keliru kepada umat Islam bahwa Alquran sudah mencakup semua penemuan ilmiah (Hanafi, 2005: 169). Pendapat senada pun diungkapkan Jalaludin Rakhmat (2002: 228) yang mengungkapkan bahwa “tafsir ilmi itu sebenarnya bukan tafsir Alquran, tetapi ilmu yang ditafsirkan oleh Alquran”. Kebenaran ilmiah tidaklah tepat dan dapat berubah-ubah, dan karenanya rambu-rambu yang harus diperhatikan untuk mufassir ketika hendak menafsirkan Alquran dengan corak ilmu hendaknya harus yakin bahwa fakta ilmiah tersebut sudah tetap, menguasai bahasa Arab, dan Alquran adalah pendorong pencipta kitab sains dan teknologi bukan sebagai kitab sains dan teknologi (Rakhmat, 2002: 323).
e. Corak al Adabi al Ijtimali Peletak dasar tafsir Alquran yang bercorak al Adabi al Ijtimali adalah Muhammad Abduh, seorang intelektual Muslim yang dikenal sebagai tokoh Islam Modern pada awal abad ke-20. Dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, penafsir selalu menghubungkan ayat-ayat Alquran dengan keadaan masyarakat dalam
60
usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan (Shihab, 1994: 55). Melalui tafsir ini, manusia diingatkan bahwa Alquran merupakan kitab Allah swt. yang mampu mengatur perkembangan zaman dan kemanusiaan. Dalam uraiannya, tafsir ini menggunakan pelbagai argumentasi untuk mempertahankan atau menjawab tuduhan-tuduhan yang mendiskreditkan Alquran yang dinilai tidak dapat memecahkan masalah yang dialami oleh umat Islam dan keragu-raguan atasnya. Menurut Hanafi (2005: 170), tafsir ini mengajak ke arah perubahan sosial dengan
mempertimbangkan
persoalan-persoalan
utama
dunia
Muslim,
menggabungkan teori dengan praktik, melampaui penafsiran klasik untuk menghubungkan teks dengan kondisi saat ini. Salah satu contoh bentuk tafsir Alquran yang bercorak al adabi al ijtimali ini adalah tafsir yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh berkenaan surat Abbasa (80) ayat 38-42 yang berbunyi. 38. Banyak muka pada hari itu berseri-seri, 39. Tertawa dan gembira ria, 38. dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, 39. dan ditutup lagi oleh kegelapan, 40. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka (Shihab, 1994: 46) Kemudian Abduh menafsirkan ayat-ayat tersebut sebagai berikut. Yang berseri-seri wajahnya adalah mereka yang menuntut kebenaran dengan hujah, sehingga tidak mempercayai sesuatu kecuali berdasarkan dalil –bukan karena pendapat si A atau pendapat terdahulu (kecuali pendapat Rasulullah saw.)- kemudian keyakinan itu diamalkan dengan sebenarnya. Adapun yang mengecilkan akalnya dan rela mengikuti orangorang tuanya atau pemimpin-pemimpin pendahulunya, maka di hari kemudian wajah-wajah mereka dipenuhi dengan debu serta ditutupi oleh kegelapan (dalam Shihab, 1994: 46).
61
2. Metode Ijmali Metode tafsir ijmali adalah tafsir Alquran yang penafsirannya didasarkan pada urutan-urutan ayat secara ayat-per-ayat, dengan suatu uraian yang ringkas dan bahasa yang mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat (Syurbasyi, 1999: 232-233). Menurut sebagian besar pakar tafsir Alquran, metode tafsir ini adalah metode yang pertama kali muncul dalam sejarah perkembangan metode tafsir Alquran. Dalam menafsirkan Alquran, penafsir menjelaskan kosakata Alquran dengan kosakata yang ada di dalam Alquran sendiri, sehingga para pembaca yang melihat uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks Alquran, tidak keluar dari muatan makna yang dikandung oleh kosakata yang serupa dalam Alquran, dan adanya keserasian antara bagian Alquran yang satu dan bagian lain. Langkah awal yang dilakukan mufassir dalam menggunakan metode ini adalah dengan membahas ayat demi ayat sesuai urutan yang tertuang dalam mushaf Alquran, kemudian mengemukakan arti global (keseluruhan) ayat-ayat tersebut. Sedangkan bahasa yang digunakan dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut diupayakan lafadznya mirip dengan ayat aslinya, sehingga pembacanya akan merasakan bahwa uraian tafsirnya tidak jauh berbeda dnegan lafadz yang digunakan Alquran (Saleh, 2007: 46). Dalam penggunaan metode tafsir ini, penafsir menjelaskan Alquran dengan bantuan sebab turun ayat (asbabun nuzul), peristiwa sejarah, hadis nabi, atau pendapat para ulama. Oleh karena itu, keunggulan dari tafsir ini ialah dapat membendung unsur-unsur dari luar Islam, seperti israiliyat dan nasraliyat. Selain itu, keunggulan lainnya ialah jika metode ini dibandingkan dengan pelbagai
62
metode lainnya terletak pada karakternya yang simplistis dan mudah dimengerti. Adapun tafsir Alquran yang termasuk ke dalam metode tafsir ini ialah tafsir Jalalain karya Jalal ad Din al Mahalli dan Jalal ad Din al Suyuti. Berikut ini adalah contoh tafsir dari Tafsir Jalalain16 pada surat al Fatihah (1) ayat 2. (Segala puji bagi Allah) Lafal ayat ini merupakan kalimat berita, dimaksud sebagai ungkapan pujian kepada Allah berikut pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu bahwa Allah Taala adalah yang memiliki semua pujian yang diungkapkan oleh semua hamba-Nya. Atau makna yang dimaksud ialah bahwa Allah Taala itu adalah Zat yang harus mereka puji. Lafal Allah merupakan nama bagi Zat yang berhak untuk disembah. (Tuhan semesta alam) artinya Allah adalah yang memiliki pujian semua makhlukNya, yaitu terdiri dari manusia, jin, malaikat, hewan-hewan melata dan lain-lainnya. Masing-masing mereka disebut alam. Oleh karenanya ada alam manusia, alam jin dan lain sebagainya. Lafal 'al-`aalamiin' merupakan bentuk jamak dari lafal '`aalam', yaitu dengan memakai huruf ya dan huruf nun untuk menekankan makhluk berakal/berilmu atas yang lainnya. Kata 'aalam berasal dari kata `alaamah (tanda) mengingat ia adalah tanda bagi adanya yang menciptakannya (2008: http://maktabahalhidayah.blogspot.com/2008/07/terjemah-tafsir-jalalain.html, 15/01/ 2008).
3. Metode Muqaran Metode muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Alquran dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir. Selain itu, metode ini memiliki pengetian yag lebih luas, yakni membandingkan ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang tema tertentu, atau membandingkan ayat-ayat Alquran dengan hadis-hadis Nabi, termasuk dengan hadis-hadis yang makna tekstualnya tampak kontradiktif dengan Alquran, dan melakukan perbadingan tafsir seorang mufassir tertentu dengan mufassir lainnya. Menurut Saleh (2007: 52), metode tafsir ini diduga dirintis oleh al Farra. Adapun latar belakang munculnya metode tafsir muqaran ini 16
Kalimat yang di dalam tanda kurung adalah terjemahan asli dari ayat al Fatihah tersebut, sedangkan kalimat yang diluar tanda kurung adalah tafsir yang dikemukakan dalam Tafsir Jalalain.
63
adalah pertama adanya klaim dari Alquran sendiri yang menyatakan bahwa kitab itu mencakup segala sesuatu seperti yang dinyatakan dalam surat al Baqarah (2) ayat 38 yang menyatakan bahwa Kami berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Kedua, adanya pernyataan Alquran yang menyebutkan kitab itu tidak memiliki kontradiksi di dalamnya, seperti disebutkan dalam surat an Nisaa (4) ayat 82 yang menyatakan bahwa “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. Ketiga, mustahil kiranya jika terdapat hadis shahih yang kandungannya bertentangan dengan ayat Alquran, mengingat Muhammad saw. Tidak mengucapkan segala sesuatu menuruti hawa nafsunya melainkan wahyu yang diwahyukan, seperti dinyatakan dalam surat an Najm ayat 3 yang menyatakan bahwa “dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya” (Bagir, 2002: 267-268). Adapun bentuk penafsiran Alquran dengan metode tafsir muqaran ini ialah berkenaan dengan surat al An’am (6) ayat 151 yang salah satu pembahasannya mengenai pelarangan membunuh anak-anak yang disebabkan ketakutan akan kemiskinan, dan surat al Isra (17) ayat 31 yang memiliki maksud yang sama dengan surat di atas. Sasaran atau subjek yang dituju dalam ayat pertama adalah orang miskin, sedangkan ayat kedua adalah orang kaya yang takut miskin. Ayat pertama dimaksudkan untuk menghilangkan kekhawatiran si miskin yang tidak
64
mampu memberikan nafkah kepada anak-anaknya dan Allah swt. akan memberinya rezeki agar mampu menafkahi anak-anaknya. Sedangkan pada ayat kedua dimaksudkan untuk memberikan peringatan kepada si kaya bahwa Allah swt.-lah yang akan memberikan rezeki kepada anak-anak itu, bukan si kaya. Dengan demikian, kesimpulan dari kedua ayat tersebut adalah pada ayat pertama dimaksudkan untuk menumbuhkan keyakinan atau optimisme, dan ayat ketua dimaksudkan untuk memberi peringatan.
4. Metode Maudhu’i Metode maudhu’i ialah menghimpun seluruh ayat Alquran yang memiliki rujukan dan tema yang sama. Metode tafsir maudhu’i digagas oleh Abu Ishaq alSyatibi dan kemudian diterapkan oleh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas al Azhar, Mesir. Cikal-bakal munculnya metode tafsir maudhu’i ini sudah dimulai pada tafsir yang ditulis oleh Fakr ar Razi, al Qurtubi, dan Ibn Arabi (al Farmawi, 2002, 46). Dalam golongan Syi’ah, Muhammad Baqir ash Shadr17 (ulama Syi’ah asal Irak) merupakan salah seorang ulama yang menggunakan metode ini. Dalam kajiannya, tafsir maudhu’i mencoba memastikan pandangan Alquran dengan tujuan agar pesan Islam yang berkaitan dengan masalah-masalah kehidupan dan dunia agar menjadi jelas (Ash Shadr, 1993: 58). Secara umum, metode maudhu’i memiliki dua bentuk kajian, yakni
17
Lihat bukunya yang berjudul Sejarah dalam Perspektif Alquran: Sebuah Analisis (1993). Pada buku ini, Shadr memaparkan pentingnya metode tafsir maudhu’i dan latar belakang diperlukannya metode tersebut. Menurutnya, tafsir maudhu’i tidak hanya dilakukan dalam menafsirkan tema-tema fikih tetapi bisa juga diterapkan dalam masalah teologis.
65
a. pembahasan atau penafsiran Alquran dilakukan berdasarkan satu surat secara utuh dengan menjelaskan maksudnya yang umum dan spesifik dan menerangkan antara pelbagai persoalan yang dimuatnya sehingga surat itu surat itu tampak dalam bentuknya yang utuh. Contoh penafsirannya misalnya dalam surat al Khafi yang secara terminologi berarti gua. Dalam menafsirkan surat ini, mufassir akan menegaskan bahwa gua tersebut digunakan oleh para pemuda dalam berlindung dari kekejaman penguasa di zamannya. Dari nama surat ini, kemudian diperkirakan bahwa surat tersebut dapat memberi perlindungan bagi siapa saja yang mengayati, dan mengamalkan pesan-pesannya. Kemudian, setiap ayat yang terkandung dalam surat al Khafi tersebut diusahakan untuk dikaitkan dengan makna perlindungan terebut (Saleh, 2007: 52). b. mengkoreksi sejumlah ayat dari pelbagai surat yang membahas satu persoalan tertentu yang sama, lalu ayat-ayat itu ditata dan diletakan pada suatu tema yang sama, dan selanjutnya ditafsirkan secara tematik. Sebagai contoh, diambil tema mengenai Khalifah, kemudian langkah berikutnya melacak dan mengkoleksi pelbagai ayat yang berhubungan dengan tema tersebut, menata ayat-ayat tersebut secara kronologis (asbabun nuzulnya, mendahulukan ayat yang diturunkan di Mekkah ketimbang yang diturunkan di Madinah), menyusun tema bahasa dalam kerangka yang sistematis (seperti memberikan sub topik arti kata khalifah, arti kekhalifahan di bumi, sifat-sifat terpuji seorang khalifah, dan ruang
66
lingkup tugas-tugas khalifah), dan melengkapi pembahasan tersebut dengan hadis-hadis terkait.
Latar belakang lahirnya metode tafsir maudhu’i ialah adanya kegagalan dalam menjelaskan Alquran dalam satu kesatuan yang integral, penafsiran Alquran yang terpotong-potong, dan adanya bias pada penafsir (Bagir, 2002: 265). Sedangkan yang menjadi dasar pemikiran metode tafsir ini ialah kajian pesan Alquran secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat-ayat atau surat-surat Alquran menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan. Adapun manfaat yang didapat ketika menerapkan metode tafsir ini, menurut Subhani (dalam Rakhmat, 1996: 25), ialah … kita memperoleh manfaat lain dari pengumpulan ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu dengan tetap berpijak pada pandangan qur’ani yang utuh tentang topik tersebut. Seringkali kita mengalami kesulitan untuk memahami ayat atau mengetahui tujuannya karena jarak kita jauh dari zaman wahtu, dan karena kita tidak mengetahui konteks turunya ayat itu atau petunjuk-petunjuk situasional yang berlaku pada masyarakat Islam saat itu. Mengumpulkan ayat-ayat dalam hubungannya satu sama lain, dapat membantu kita dalam menghilangkan kekaburan dan ketidakjelasan.
5. Metode Tafsir Sastra Amin al Khuli adalah tokoh utama dari tafsir sastra ini, berkenaan dengan tafsirnya ini ia memandang bahwa Alquran merupakan kitab berbahasa Arab yang agung, oleh karenanya metode yang tepat dalam menafsirkan Alquran adalah dengan menggunakan pendekatan metode sastra. Menurut Saleh (2007: 56), metode ini dilakukan dengan cara memperhatikan aspek-aspek dalam Alquran dengan melakukan analisis atas bahasa, latar belakang sejarah, sosiologi dan
67
antropologi yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Arab praIslam dan selama proses wahyu Alquran berlangsung. Karena disejajarkan dengan studi sastra umumnya, al Khuli menyuguhkan dua prinsip metodologis, yakni studi terhadap apa yang mengitari teks Alquran, dan studi teks Alquran itu sendiri. Studi pertama, menurut Sadili (dalam http:// islamlib.com/id/artikel/pendekatankritik-sastra-terhadap-alquran/, investigasi
terhadap
latar
3/11/2008), belakang
diarahkan
Alquran,
sejak
untuk
melakukan
proses
pewahyuan,
perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai obyek wahyu, serta kodifikasi dan variasi cara bacaannya. Sedangkan pada studi kedua, menurut Sadili (2007: http://islamlib.com/id/artikel/pendekatan-kritik-sastra-terhadap-alqu ran/, 3/11/2008), diarahkan pada penafsiran makna kata-kata tunggal (mufradât) yang digunakan saat ia diwahyukan, perkembangan, dan cara pemakaiannya di dalam Alquran. Cara ini dilanjutkan dengan pengamatan terhadap kata-kata jamak dan analisis tentang pengetahuan gramatikal Arab. Untuk melakukan tugas penafsiran yang baik, menurut al Khuli (dalam Radiana dan Munir, 2002: 298), maka yang harus dilakukan oleh mufassir adalah sebagai berikut 1.
2.
3.
18
mengumpulkan setiap ayat yang membicarakan objek kajian yang dipilih, sehingga tidak berpusat pada satu ayat saja dengan melupakan ayat-ayat lainnya yang membicarakan tentang objek yang sama, memaknai secara hati-hati arti setiap kata, bukan hanya dengan kajian leksikal, melainkan menampilkannya pada paralelitas pengungkapannya dalam Alquran tentang objek yang sama beserta kata-kata derivatnya, Menganalisis bagaimana Alquran mengombinasikannya dalam suatu kalimat18.
Terdapat satu aspek lagi dalam menafsirkan Alquran, seperti yang dinyatakan oleh istri Amin al Khulli (Bint al Syathi), yakni menata ayat-ayat berdasarkan sebab
68
Penyajian tafsir Alquran ala al-Khuli ini menggunakan metode tafsir tematik (tafsîr maudhu’i). Sebagaimana dikatakannya bahwa “gagasan yang paling tepat dalam penafsiran adalah menafsirkan Alquran secara tema-per-tema (tematik), bukan penafsiran atas susunan ayat di dalam mushaf dan ayat-demi-ayat atau potongan-demi potongan ayat” (dalam al Banna, 2005: 198). Menurutnya, hal ini dilakukan karena urutan ayat dan surat-surat pada Alquran tidak disusun berdasarkan kronologinya, dan karena itu suatu informasi yang dimuatnya bertebaran tidak hanya pada satu surat saja.
B. LATAR BELAKANG KEHIDUPAN FAZLUR RAHMAN Fazlur Rahman Malak dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Wilayah Anak Benua Indo-Pakistan sudah tidak diragukan lagi telah melahirkan banyak pemikir Islam yang cukup berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ahmad Khan, hingga Sir Muhammad Iqbal. Malak adalah nama keluarganya, namun nama tersebut tidak pernah digunakan dalam daftar referensi baik di Barat ataupun di Timur. Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Kereligiusan ini membawanya pada kepribadian yang taat kepada ajaran-ajaran agama dengan mempraktekan ibadah-ibadah fundamental dalam ajaran Islam seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun (Rahman,
turunnya demi melacak situasi, waktu dan tempat, seperti diisyarakan dalam riwayat asbabun nuzul (konteks yang menyertai turunnya ayat tersebut dan berpegang pada keumuman lafadz bukan sebabnya yang khusus.
69
1992: 59). Dengan latar belakang kereligiusan yang cukup tinggi ini, menjadi wajar kiranya ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Tidak hanya membentuk keyakinan awal keagamaannya, keluarganya ini membentuk wataknya. Melalui ibunya, ia memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan cinta. Rahman memperoleh pelajaran dari ayahnya yang memandang bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan dan kesempatan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melalui tempaan ayahnya, kemudian hari Rahman menjadi sesosok orang yang cukup tekun dalam mendapatkan pengetahuan dari pelbagai sumber, dan melalui ibunya kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinannya dalam melakukan pembaruan Islam. Rahman dapat mengekspresikan gagasan-gagasannya secara terbuka dan bebas. Walaupun hidup di tengah-tengah keluarga yang bermazhab Hanafi (bagian dari kelompok Sunni), ia mampu melepaskan diri dari sekat-sekat yang membatasi perkembangan intelektualitas dan keyakinan-keyakinannya. Seperti pendapatnya mengenai shalat wajib yang dilakukan tiga waktu oleh penganut Syi’ah, ia berpandangan bahwa praktek tersebut dibenarkan secara historis karena Muhammad saw. pernah melakukannya tanpa alasan apa pun (Rahman, 2003: 41). Pada tahun 1933, Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, ia pun mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisional berupa kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang didapatkannya ketika menempuh pendidikan di Darul
70
Ulum Deoband, di wilayah utara India19. Ketika berumur empat belas tahun, Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir (A’la, 2003: 34). Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, Rahman melanjutkan pendidikannya dengan mengambil bahasa Arab sebagai konsentrasi studinya di Departemen Ketimuran Universitas Punjab, dan pada tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama gerakan neomodernisme Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab. Ketika ia sedang di Lahore dan tengah belajar untuk menempuh pendidikan doktoralnya, ia pernah diajak oleh Abul A’la Mauwdudi, yang kelak menjadi “musuh” intelektualitasnya, untuk bergabung di Jama’at al Islami dengan syarat meninggalkan pendidikannya (Amal, 1996: 80). Namun, ia kemudian lebih memilih untuk melanjutkan studinya tersebut. Pada tahun 1946, Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University20. Keputusannya untuk melanjutkan studi di Inggris ini dinilai cukup berani, menimbang terdapat pandangan atau citra yang buruk dari sebagian besar umat Islam pada masa itu atau bahkan hingga kini terhadap seseorang yang “nyantri” di Barat, terlebih jika orang-orang tersebut kemudian
19
Ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, ayahnya mendapatkan pelajaran dari Mahmud Hasan atau Syaih al Hind, Maulana Rasyid Ahmad Gangogi. Melalui pendidikan yang diajarkan oleh ayahnya secara privat, Rahman menguasai kurikulum DarseNizami yang terdapat di Darul Ulum Deoband. Selanjutnya lihat Moosa (2000: 1-2). 20 Pilihan Rahman untuk tidak melanjutkan studinya di Anak Benua India atau di Timur Tengah ialah karena di sana tidak terdapat suatu dasar intelektual yang jelas dan kajian Islam dan studi Islam di sana tidak memiliki kekritisan. Selanjutnya lihat A’la (2003: 34).
71
menerapkan metode kritis dan analisis modern terhadap materi-materi keislaman. Di bawah bimbingan Profesor S. Van den Berg dan H.A.R. Gibb, para orientalis kenamaan, ia berhasil menyelesaikan studi doktoralnya dan memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 1949 dengan disertasi tentang Ibnu Sina. Selama menempuh pendidikan di Barat, Rahman menyempatkan diri untuk belajar pelbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasainya, seperti bahasa Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan Urdu. Penguasaan pelbagai bahasa ini membantunya dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi keislaman) melalui penelusuran pelbagai literatur. Setelah menyelesaikan studinya di Oxford University, Rahman tidak langsung pulang ke negeri asalnya (Pakistan ketika itu sudah melepaskan diri dari India), karena memutuskan untuk tinggal beberapa saat di Inggris dan sempat mengajar di Durham University. Ia pun kemudian pindah mengajar di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuannya, selama menempuh studi pascasarjana di Oxford University dan ketika mengajar di Durham University, konflik
antara pendidikan modern yang diperolehnya di
Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di negeri asalnya mulai menyeruak (Rahman, 1992: 60). Konflik ini kemudian membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan oleh studinya dalam bidang filsafat.
72
Rahman mengajar di McGill University hanya selama tiga tahun, hal ini dikarenakan adanya permintaan dari penguasa Pakistan ketika itu, Ayyub Khan, untuk membangun negerinya tersebut. Permintaan Khan kepadanya ini bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittahnya berupa negara yang bervisi Islam (Moosa, 2000: 2). Selanjutnya pada tahun 1962, ia diminta oleh Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute)21 dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology)22. Motivasinya untuk menerima tawaran dari pemerintah Pakistan ini dapat dilacak pada keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Alquran yang dinilainya telah terkubur dalam “puing-puing” sejarah (Rahman, 1992: 63). Ketika terlibat dalam pemerintahan inilah tahap yang paling menentukan bagi perkembangan pemikirannya yang pada awalnya lebih tertarik pada kajiankajian mengenai pelbagai sejarah pemikiran Islam klasik kemudian menjadi concern pada aturan-aturan ajaran Islam yang bersifat sosiologis (Islam normatif). Adapun penyebab berubahnya concern pemikirannya ini ialah sebagai berikut 1. adanya perebutan pengaruh dari pelbagai golongan Islam yang hendak memberikan pemahamannya atas Islam sebagai landasan ideologis di Pakistan di mana ia sendiri ikut terlibat di dalamnya, 2. adanya kontak yang intens dengan Barat ketika ia menetap di sana dan kemudian menyadarkan dirinya pada tantangan Islam pada zaman modern. 21
Bertugas menafsirkan Islam dalam istilah-istilah rasional dan ilmiah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat modern yang progresif (Amal, 1996: 77) 22 Bertugas meninjau seluruh hokum, baik yang telah ada maupun yang akan dibuat dengan bertujuan untuk menyelaraskannya dengan Alquran dan Sunnah, mengajukan rekomendasi-rekomendasi kepada Pemerintah Pusat dan provinsi-provinsi tentang bagaimana seharusnya kaum Muslim Pakistan dapat menjadi Muslim-Muslim yang lebih baik (Amal, 1996: 76)
73
Kursi panas yang diduduki Rahman akhirnya menuai pelbagai reaksi keras dari kalangan ulama tradisional. Mereka menolak seseorang yang berpendidikan Barat menduduki jabatan tersebut dan menganggapnya tidak layak untuk mendudukinya dan hanya ulama-ulama berpendidikan tradisional saja yang berhak (Sibawaihi, 2007: 20). Hinaan ulama-ulama tradisional Pakistan terhadap orang berpendidikan Barat dinyatakannya sebagai maghrib zadah atau orang yang mengidap penyakit Barat. Penentangan tersebut akhirnya mencapai klimaksnya ketika jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan tulisan Rahman yang kemudian menjadi dua bab pertama bukunya yang berjudul Islam23. Pada tulisan tersebut, ia mengemukakan
pikiran
kontroversialnya
mengenai
hakikat
wahyu
dan
hubungannya dengan Muhammad saw. Dalam jurnal tersebut ia mengatakan bahwa Alquran sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah swt., dan dalam arti biasa, Alquran juga merupakan perkataan Muhammad saw. (Rahman, 2003: 33). Akibat pernyataan-pernyataannya tersebut, ia dinyatakan sebagai munkir-iQuran (orang yang tidak percaya Alquran). Menurut Amal (1994: 14-15), kontroversi dalam media masa Pakistan mengenai pemikiran Rahman tersebut bergejolak hingga kurang lebih satu tahun, yang pada akhirnya kontroversi tersebut membawa pada gelombang demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada September 1968.
23
Penentangan dan kontroversi atas pemikiran Rahman tidak hanya seputar permasalahan hakikat wahyu, melainkan pula pada pernyataannya mengenai hadis yang dianggapnya interpretasi kreatif atas Sunnah Nabi saw., yang kemudian membawanya dicap munkir-i-Sunnah hingga dianggap kafir; kontroversi atas pendapatnya tentang control kelahiran atau keluarga berencana; diperbolehkannya praktik riba dengan kondisi tertentu; dan lain sebagainya. Selanjutnya lihat Amal (1996: 86-93).
74
Menurut sebagian besar pengkaji pemikiran Rahman, penolakan atasnya bukanlah ditujukan secara langsung untuk menggeser kedudukannya, melainkan untuk menentang pemerintahan Khan. Misalnya Ebrahim Moosa yang menganggap bahwa partai politik-partai politik dan kelompok-kelompok yang beroposisi dengan gagasan reformasi pemerintahan Khan tahu bahwa satu cara untuk menggagalkan orientasi reformasi pemerintahannya adalah dengan mengarahkannya pada pengagas ide reformasi, Rahman, sebagai objek kritikan dan hujatan. Oleh karenanya, musuh-musuh politik Khan menggulingkan isu kontroversial yang diusulkan oleh pemerintah ke dalam tuduhan perdebatan politik dengan target Rahman (Moosa, 2000: 3). Setelah kontroversi mencapai puncaknya, akhirnya pada akhir tahun 1969 Rahman meninggalkan Pakistan24 sembari memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles, dan langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam. Mata kuliah yang diajarkannya di sana meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernisme Islam, kajian tentang al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lain sebagainya. Salah satu alasan yang menjadikannya memutuskan untuk mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur di Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya keterbukaan atas pelbagai gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan. 24
Walaupun meninggalkan Pakistan dengan penuh kekecewaan, Rahman tidak begitu saja melupakan tanah airnya itu. Selama di Chicago, Rahman mengikuti dan mengamati terus perkembangan negeri tersebut, contohnya kritik yang dia lontarkan pada salah satu pemimpin Zia ul Haq. Ia menganggap pemerintahan Zia ul Haq tidak demokratis karena selalu menunda diadakannya pemilu. Selanjutnya lihat Wan Daud (1991: 111)
75
Selama di Chicago, Rahman mencurahkan seluruh kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan pribadi di basement rumahnya, yang terletak di Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari University of Chicago. Ia menggambarkan aktitivitasnya itu laiknya ikan yang naik ke permukaan hanya untuk mendapatkan udara (Wan Daud, 1991: 108). Dari konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya Rahman mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan berskala internasional. Pengakuan tersebut diantaranya ialah pada tahun 1983 ia menerima penghargaan Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von Grunebaum Center for Near Eastern Studies Universitas California, Los Angeles, dan pada tahun 1986 ia dianugerahi Harold H. Swift. Distingushed Service Professor di University of Chicago. Pada pertengahan dekade 1980-an, kesehatan tokoh utama neomodernisme Islam tersebut mulai terganggu, diantaranya mengidap penyakit kencing manis dan jantung. Konsistensi Rahman untuk terus berkarya pun ditandai oleh lahirnya karya yang berjudul Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism. Walaupun baru diterbitkan setelah beliau wafat, pengerjaannya dibantu oleh anaknya ketika sakit beliau makin parah. Akhirnya, pada 26 Juli 1988 profesor pemikiran Islam di University of Chicago itu pun tutup usia pada usia 69 tahun setelah beberapa waktu sebelumnya dirawat di rumah sakit Chicago. Secara keseluruhan, buku-buku yang Rahman hasilkan berjumlah sepuluh buah, namun ini bukan berarti bahwa ia hanya menulis buku an sich. Sepanjang karir intelektualitasnya, doktor lulusan Oxford University tahun 1950 tersebut
76
menulis pelbagai artikel di beberapa jurnal ilmiah dan sebagian dari artikel-artikel tersebut dikumpulkan menjadi beberapa buku. Adapun buku-buku yang dihasilkannya ialah sebagai berikut. 1. Avicenna’s Psycology diterbitkan pada tahun 1952, 2. Propecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy diterbitkan oleh George Allen and Unwin Ltd, London, pada tahun 1958, 3. Avicennas’s De Anima, being the Psycological Part of Kitab al Shifa diterbitkan pada tahun 1959, 4. Islamic Methodology in History, diterbitkan untuk pertama kalinya oleh Central Islamic Research Institution pada tahun 1965 5. Islam, pertama kali diterbitkan oleh Holt, Rinehart dan Winston pada tahun 1966, 6. The Philosophy of Mulla Shadra, pertama kali diterbitkan oleh State University of New York Press pada tahun 1975, 7. Major Times of the Qur’an, pertama kalinya diterbitkan oleh Bibliotheca Islamica pada tahun 1980, 8. Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition, pertama kali diterbitkan oleh The University of Chicago Press pada tahun 1982, 9. Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism, diterbitkan oleh Oxford: Oneworld Publications pada tahun 2000, 10. Health and Medicine in Islamic Tradition, pertama kalinya diterbitkan oleh Crossroad pada tahun 1987.
77
C. PANDANGAN FAZLUR RAHMAN ATAS ALQURAN DAN LATAR BELAKANG PERUMUSAN METODOLOGI MEMAHAMI ALQURAN Sebelum membahas mengenai metodologi dalam memahami Alquran yang dikemukakan oleh Rahman, akan dibahas terlebih dahulu mengenai pandangannya atas Alquran dan latar belakang yang mendorongnya merumuskan metodologinya itu. Pembahasan ini akan mengantarkan kita pada pemahaman yang komprehensif dan menemukan karakteristik dari pemikiran-pemikirannya tersebut. Selain itu, pembahasan ini akan menunjukkan kepada kita kelemahan atau kekurangan metode tafsir yang pernah berkembang sebelumnya yang kemudian membuat Rahman tertarik untuk merumuskan sebuah metode yang berbeda dengan yang pernah ada sebelumnya. Bagi Rahman, Alquran adalah firman Allah swt. yang disampaikan kepada Muhammad saw. dan harus diyakini oleh umat Islam (Rahman, 1994: 35). Bagi seorang intelektual Muslim, keyakinan atas posisi atau kedudukan Alquran tersebut haruslah kemudian menjadikannya sebagai motivasi untuk terus menerus “menemukan” kebenaran-kebenaran yang dikandungnya. Pencarian kebenaran Alquran sudah dilakukan oleh umat Islam dalam perkembangan sejarahnya, seperti menyatakan bahwa wahyu Alquran (teks dan maknanya) diberikan kepada Muhammad saw. melalui malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu (Rahman, 2003: 32). Muhammad saw. hanya menyampaikan wahyu Alquran yang diberikan Allah swt. melalui Jibril. Oleh karenanya, wahyu Alquran ini bersifat ekternal. Begitupun Rahman, sebagai seorang intelektual Muslim, ia hendak mencari kebenaran dan pemahaman yang lebih dalam atas Alquran. Untuk
78
menunjukkan kebenaran Alquran, ia berpandangan bahwa Alquran diturunkan dan ditanamkan dalam hati Muhammad saw. Selain itu, ia pun memandang bahwa adalah mustahil jika wahyu Alquran yang diturunkan ke dalam hatinya tersebut bukanlah bagian dari dirinya. Pernyataannya ini adalah bentuk konsekuensi dari pernyataan Alquran yang menyebutkan bahwa wahyu Alquran diturunkan ke dalam hati Muhammad saw. seperti yang diungkapkan dalam surat Asy Syuraa (26) ayat 193-194 yang berbunyi “dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orangorang yang memberi peringatan”, dan surat al Baqarah (2) ayat 97 yang berbunyi Katakanlah: Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman (Rahman, 2003: 33).
Oleh karenanya, sangatlah wajar dan logis kiranya jika Rahman kemudian mengemukakan pandangan kontroversialnya bahwa “Alquran adalah firman Tuhan, dan dalam arti kata yang biasa, seluruhnya adalah perkataan Muhammad saw.” (Rahman, 2003: 33). Namun demikian, dalam pernyataan lainnya ia menyatakan bahwa wahyu Alquran tidak serta merta lahir dalam hati Nabi saw. tetapi pula dalam pikiran atau idenya juga. Menurutnya, wahyu Alquran benarbenar diturunkan oleh Allah swt. ke dalam hati Muhammad saw., dan penyampaian wahyu-wahyu oleh Muhammad saw. tersebut menggunakan katakata yang lahir dari dalam pikiran Muhammad sendiri (Rahman, 1994: 37-39). Pendapatnya ini dapat dilacak akar-akar pemikirannya melalui pendapat intelektual Muslim asal Pakistan sebelumnya, yakni Syah Wali Allah dan
79
Muhammad Iqbal25. Selain itu, pendapat Rahman ini pun mirip dengan pendapat seorang orientalis yang bernama William Muir yang menyebutkan bahwa Alquran tidak lain adalah kata-kata Muhammad saw. sendiri. Kata-kata itu dihimpun dari segudang pengalamannya dalam karir publiknya, pandangan keagamanya dan karakteristik pribadinya (dalam Rusmana, 2006: 127). Padangan Rahman atas proses pewahyuan kepada Muhammad saw. ini sangat berbeda dengan pandangan populer sebelumnya yang menganggap bahwa wahyu Alquran yang diturunkan Allah swt. kepada Muhammad saw. berbentuk kata-kata atau teks-teks Arab, dan memiliki sifat yang absolut. Harun Nasution (1986: 23) mengungkapkan bahwa sebelum pewahyuan tidak ada pengetahuan apapun yang berhubungan dengan wahyu dalam diri Muhammad saw., tetapi kemudian Nabi saw. terpaksa menyampaikan atau mengucapkan kata-kata wahyu tersebut. Pendapat senada pun dikemukakan oleh Thabathaba’i (1989: 82), ia mengatakan bahwa wahyu Alquran yang diturunkan kepada Nabi saw. lafadznya adalah firman Allah swt. Selanjutnya ia mengatakan bahwa terdapat tiga bentuk cara pewahyuan yang diberikan Allah swt. kepada utusannya (nabi dan rasul), yakni a. Berfirman tanpa ada perantara antara Allah swt dan manusia, b. Berfirman dibalik tirai, seperti pohon Thur, dan Musa mendengar firman Allah swt. dari pohon itu, c. Firman yang dibawa oleh Malaikat dan disampaikannya kepada manusia, sehingga dia mendengar perkataan malaikat sebagai wahyu ketika malaikat itu menirukan firman Allah swt (Thabathaba’1989: 110).
25
Untuk penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dari kutipan panjang lebar yang diberikan Rahman dalam melegitimasi pendapatnya tentang proses pewahyuan kepada Muhammad saw. dalam Rahman (1994: 37-40).
80
Menurut Thabathaba’i, pewahyuan kepada Muhammad saw. dilakukan melalui cara yang disebutkan terakhir ini. Dengan demikian, Allah swt. ketika menurunkan wahyu Alquran kepada Nabi saw. dilakukan melalui perantara malaikat Jibril atau ar Ruh al Amin, seperti yang ditunjukkan dalam Alquran dalam surat Asy Syu’araa (26) ayat 192-195 yang menyatakan bahwa 192. Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, 193. dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), 194. ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, 195. dengan bahasa Arab yang jelas (Thabathaba’i, 1989: 82).
Pendapat Rahman mengenai wahyu Alquran yang diturunkan dalam hati dan pikiran Muhammad saw. ini kemudian tidak serta merta menyamakannya dengan pengetahuan lainnya yang lahir ditangkap melalui alat pengetahuan manusia tersebut. Pembedaan yang dilakukannya ini bertujuan agar memunculkan “kelainan” atau “keunikan” wahyu dengan pengetahuan yang lahir dan didapat manusia lainnya. Maksudnya, agar terlihat jelas perbedaan antara pengetahuanpengetahuan yang bersifat illahiah dan pengetahuan-pengetahuan atau proses kreatif yang manusia lainnya. Untuk menjelaskan posisi illahiah wahyu yang lahir dalam hati dan pikiran Nabi saw. ini, ia mengemukakan pandangannya bahwa Elan dasar Alquran adalah moral, dari mana penekanannya yang tegas terhadap monoteisme maupun keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi ia merupakan Perintah Tuhan; manusia tidak dapat membuatnya atau memusnahkan hukum moral itu; ia harus menyerahkan dirinya pada hukum tersebut; penyerahan diri ini disebut Islam dan penerapannya dalam kehidupan adalah ibadah. Disebabkan penekanan Alquran yang tegas terhadap hukum moral inilah sehingga Tuhan Alquran tampak bagi kebanyakan orang sebagai Tuhan Yang Maha Adil. Tetapi hukum moral dan nilai-nilai spiritual, agar bisa diterapkan, haruslah diketahui. Adapun dalam hal kekuatan perspektif kognitif, manusia memiliki perbedaan tegas
81
antara satu dengan lainnya hingga tingkat hingga tingkat yang tak terbatas … Nah, seorang Nabi adalah seseorang yang seluruh karakter, [dan] perilaku aktualnya, rata-rata jauh lebih unggul ketimbang manusia pada umumnya … ketika persepsi moral Muhammad mencapai titik tertinggi dan menjadi identik dengan hukum moral itu sendiri (sesungguhnya dalam saat-saat semacam ini perilakunya sendiri berada di bawah kritisisme Alquran), maka Kalam diberikan bersama-sama dengan inspirasi itu sendiri, dengan demikian, Alquran adalah murni Kalam Illahi; tetapi, tentu saja, secara bersamaan berkaitan erat dengan kepribadian Nabi Muhammad yang kaitannya dengan Kalam Illahi itu tidak dapat dibayangkan secara mekanis seperti sebuah perekam. Kalam Illahi tersebut mengalir melalui hati Nabi (dalam Saleh, 2007: 107-108).
Jadi, karakteristik wahyu Alquran dalam pandangan Rahman adalah terletak pada hukum moral yang ditekankan pada monoteisme dan keadilan sosial. Menjadi sesuatu yang lumrah kiranya jika kemudian ia mengatakan bahwa Alquran adalah dokumen untuk manusia, yang daripadanya manusia diseru untuk mengubah tingkah laku mereka (dalam Khuza’i, 2002: 286). Menurut Rahman (2003: 2-3), memang benar sebelum kehadiran Nabi saw. terdapat sekelompok orang Arab yang telah mencapai konsepsi agama yang monoteistis. Namun demikian, tidak terdapat alasan atau bukti yang kongkrit bahwa Tuhan tunggal dalam agama monoteistis pra-Islam tersebut memiliki pemahaman yang sama atau identik dengan Tuhan Yang Maha Esa yang ditekankan atau diserukan Muhammad saw., yang memiliki
hubungan atau
keterkaitan dengan suatu rasa humanisme dan keadilan sosial-ekonomi dan intensitasnya seimbang dengan ide monoteisme tersebut. Menurutnya (Rahman, 2005: 16-17), dimulainya dakwah Nabi saw. dalam menegakkan Keesaan Tuhan dan menyampaikannya kepada orang-orang Arab ketika itu bukanlah semata-mata menghancurkan pluralitas tuhan, melainkan juga suatu upaya yang terus-menerus
82
dalam mencapai keadilan sosial-ekonomi. Dengan demikian, ia menganggap bahwa ide tentang monoteisme adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan atau konsekuensi logis dengan rasa keadilan sosial-ekonomi26. Berkenaan dengan proses penyampaian wahyu kepada masyarakat Arab ketika itu, Rahman mengungkapkan bahwa mustahil Alquran diturunkan secara total sekaligus, tetapi diberikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang timbul (Rahman, 1994: 55). Dengan demikian, ia memandang penyampaian wahyu Alquran dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus, dan terdapat konteks-konteks yang membuat suatu ayat Alquran tersebut disampaikan. Oleh karenanya, kemudian ia menyatakankan bahwa setiap bentuk legislasi atau penyampaian Alquran selalu mempunyai latar belakang konteks atau sebab-sebab turunnya wahyu (asbabun nuzul) (Rahman, 2005: 18-19). Namun, sebab-sebab turunnya wahyu tersebut kerap kali bertentangan27 antara satu riwayat yang satu dengan lainnya. 26
Lihat misalnya Ali Shodiqin beranggapan bahwa kultur politeistis yang berlaku menghasilkan tatanan sosial yang diskriminatif. Dari keyakinan tersebut kemudian munculnya stratifikasi sosial yang mengakibatkan ketimpangan ekonomi, politik, dan sosial. Dengan Alquran, Muhammad saw. kemudian menegakkan keadilan sosial, ekonomi, dan politk yang didasarkan atas monoteisme. Selanjutnya lihat Sodiqin (2008: 90). Mengenai penjelasan sifat personalitas agama hanif dapat dilihat dari penjelasan yang dikemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, menurutnya agama hanif yang dianut oleh salah satu penganutnya ialah Zaid bin Amr bersikap keras terhadap masyarakat Arab lainnya, ia sangat berlebih-lebihan dalam memisahkan diri dari kaumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama hanif ini menjauhkan diri dari masyarakat dan tidak begitu peduli dengan masyarakat sekitar. Selanjutnya lihat Abu Zayd (2005: 70). Menurut Toshihiko Izutsu, adalah fakta sejarah yang tidak dapat diragukan bahwa sebelum periode Muhammad saw. telah ada keyakinan monoteisme. Tokoh utama atau besar dari keyakinan monoteisme yang kerap kali disebut sebagai agama hanif ini adalah Umayyah bin Abi al Salt. Namun, seperti yang dinyatakan oleh Rahman sebelumnya bahwa tidak ada kesatuan antara monoteisme dan keadilan sosial-ekonomi, para pemeluk agama hanif tidak melakukan kontak sosial yang intensif dengan masyarakat Arab ketika itu, tetapi menjauhinya. Tujuan mereka terbatas kepada keselamatan personal, bukan keselamatan orang lain, apalagi keselamatan umat manusia secara keseluruhan. Selanjutnya lihat Izutsu (2003: 118-123). 27 Menurut Thabathaba’i, terdapat dua kemungkinan berkenaan adanya pertentangan dalam asbabun nuzul ini; pertama, asbabun nuzul didasarkan pada ijtihad atau penalaran, bukan
83
Rahman kecewa terhadap sebagian ulama terdahulu yang tidak begitu memandang penting arti konteks historis (sebab-sebab turnnya wahyu atau asbabun nuzul) ketika wahyu itu diturunkan. Mereka memandangnya bahwa setiap ayat Alquran walaupun diturunkan pada suatu konteks atau kondisi tertentu, lafadz atau pernyataan tersebut tetap bersifat universal atau umum. Menurutnya (2004: 19), salah satu prinsip dalam asbabun nuzul ini dapat dianggap cukup baik, asalkan itu berarti bahwa dengan suatu perintah, yang dimaksudkannya adalah bukan semata-mata terletak pada kata-kata harfiahnya28. “Keabadian kandungan legal spesifik Alquran terletak pada ketentuan harfiah atau lafadznya … legal spesifik Alquran hanya berlaku pada masanya. Yang berlaku secara universal adalah aspek ideal moralnya” (Sibawaihi, 2007: 62). Oleh karenanya, kemudian Rahman (1996: 56) beranggapan bahwa Alquran berisi komentar-komentar dan solusi-solusi terhadap masalah yang dihadapi Nabi saw. dan masyarakat dalam konteks kesejarahannya. Memahami Alquran dengan konteks historis seperti ini bukan berarti kemudian “mengkrangkeng” pesan-pesan yang dikandungnya dalam masa dan masa tersebut. Memahami Alquran dan makna pesannya adalah hal
melalui periwayatan. Dan setiap perawi berusaha menghubungkan suatu cerita, yang sebenarnya tidak ada dalam kenyataan, dengan suatu ayat. Kedua, semua asbabun nuzul ini, atau sebagian besarnya, adalah rekaan belaka. Selanjutnya lihat Thabathaba’i (1989: 122). Sebagai contoh pertentangan dalam isi asbabun nuzul, dalam surat an Nisaa (4) ayat 3, yang menjadi sebab turunya adalah ketika terjadi perang Authas dan di antara sahabat ada yang hendak “bercampur” tawanan perang wanita, namun pada riwayat lainnya dikatakan bahwa perang tersebut adalah perang Hunain, namun ada riwayat lagi yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun dilatarbelakangi adat kebiasaan orang Hadlrami yang membebani kaum lelaki membayar maskawin dengan harapan dapat memberatkannya sehingga pihak yang memberikan maskawin tidak dapat membayarnya dengan lunas dan kemudian mendapatkan tambahan daripadanya (Shaleh et al, 1998: 128). 28 Menurut peneliti, di sini Rahman bermaksud mengatakan bahwa yang seharusnya diperhatikan bukanlah kata-kata harfiahnya, melainkan makna atau kandungan dari pernyataan Alquran. Di sini jelas perbedaan padangan wahyu Alquran yang diungkapkannya dengan pandangan umat Islam sebelumnya yang mengatakan bahwa wahyu tidak terlepas dari sisi makna dan kata-kata harfiahnya, karena keduanya adalah wahyu Allah swt.
84
yang berbeda dengan membatasi makna pesannya pada konteks kesejarahan tertentu, oleh karenanya kedua hal ini jangan dicampuradukkan. Menurutnya, adalah mustahil melakukan penguniversalan pesan-pesan harfiah Alquran tanpa menguniversalkan makna dibalik kandungnya itu (Rahman, 1994: 56). Dengan demikian, Rahman beranggapan bahwa makna dan lafadz dalam penyataan Alquran adalah terpisah. Makna dari penyataan bersifat trans-historis (melampaui ruang dan waktu) atau tidak terbatas oleh ruang atau konteks historis tertentu, sedangkan lafadz Alquran memiliki batasan konteks historis dan dianggapnya sebagai sebuah metode dari pengaktualisasian makna-makna tersebut. Ketidakmampuan perangkat tafsir Alquran dalam menggali lebih dalam atas kandungan Alquran dianalogikan oleh Rahman seperti laiknya gunung es terapung. Sembilan puluh persen kandungan Alquran masih terendam dalam air sejarah, dan puncaknya yang tampak adalah sepuluh persen saja dari kandungannya. Dengan mengatakan bahwa kandungan Alquran terendam dalam air sejarah, Rahman bermaksud untuk memahami Alquan secara komprehensif dengan cara meletakkannya pada konteks kesejarahannya. Tidak tercapainya pemahaman yang komprehensif atas kandungan Alquran, menurut Rahman, disebabkan oleh keterbatasan metode tafsir Alquran dan tidak adanya metode yang memadai. Terdapat kesalahan umum yang mendasari pemahaman atas Alquran sehingga menimbulkan pemahaman yang tidak menyeluruh atasnya, yakni berpegang teguh pada ayat-ayat secara terpisah-
85
pisah (atomistik dalam bahasa Rahman)29. Oleh karenanya, Rahman kemudian mengharapkan adanya sebuah metodologi tafsir Alquran yang mampu mengungkap kandungan Alquran yang selama ini tersembunyi atau tidak terjamah oleh metode tafsir sebelumnya. Kegagalan memahami Alquran sebagai suatu kesatupaduan yang berkelindan ini terjadi dalam bidang hukum, teologi maupun sufisme, dan kegagalan tersebut berlanjut hingga Rahman mengemukakan metodologinya (Amal, 1994: 20). Oleh karenanya, kemudian ia memandang penting suatu metodologi dalam memahami atau menafsirkan Alquran yang dianggapnya mampu menggali kandungan Alquran yang terendam dalam air sejarah dan menimbulkan pelbagai kegagalan. Ketika menganalisis perkembangan pembaruan Islam dari abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, Rahman mengemukakan bahwa tidak terdapat usaha dari pelbagai gerakan tersebut untuk kembali kepada ajaran inti Alquran dengan cara atau metode yang tepat dalam memahaminya. Tidak adanya metode yang sistematis dalam berijtihad kemudian menimbulkan ijtihad yang sewenangwenang. Ini dapat terlihat dari usaha yang dilakukan oleh gerakan modernisme klasik yang dilakukan oleh Sir Sayyid Ahmad Khan di anak benua India, dan Muhammad Abduh di Mesir yang kerap kali disebut memiliki sikap yang “kebarat-baratan” atau yang “dibaratkan” karena mereka kerap kali membahas 29
Menurut Sibawaihi (2007: 122) metode tafsir Alquran yang Rahman maksud dan kritisi ialah seluruh metode tafsir Alquran yang telah dipaparkan pada pembahsan sebelumnya, yakni metode tafsir tahlili dengan pelbagai corak penafsirannya, metode tafsir ijmali, metode tafsir muqaran dan metode tafsir maudhu’i. Menurutnya, walaupun terdapat kemiripan antara metode maudhu’i dengan metode sintesis-logis, namun keduanya berbeda karena dalam metode sintesislogis Rahman mengajukan sebuah metode yang tidak hanya membahasa suatu tema an sich melainkan menghubungkannya dengan tema lainnya agar tema yang dibahas menjadi suatu konsep yang utuh. Sedangkan metode maudhu’i tetap saja bersifat parsial karena hanya membahasa suatu tema an sich (Sibawaihi, 2007: 69-70).
86
dan mendukung masalah penting di Barat, seperti demokrasi dan status wanita (Rahman, 1985: 33). Oleh karenanya, menjadi wajar ketika kelompok-kelompok oposisi menyebut mereka sebagai agen “pembaratan” yang akhirnya kemudian melahirkan sebuah gerakan pembaruan Islam yang baru, yakni neo-revivalis atau revivalisme pasca modernis. Gerakan ini hendak membedakan Islam dan Barat dengan memilih permasalahan-permasalahan tertentu seperti bunga bank, pelembagaan kembali hukum Islam dan lain-lain. Dengan demikian, menurut Rahman (1985: 35), tidak adanya metode yang sistematis dan masuk akal akan menimbulkan mengikuti atau mengalah kepada Barat ataupun menegasikan sama sekali apa-apa yang berasal daripadanya atau berlaku adil pada pengetahuan daripadanya. Untuk mencegah pertumbuhan ijtihad yang sewenang-wenang dan liar, Rahman memandang penting metode yang tepat dalam menafsirkan Alquran. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam memahami Alquran adalah dengan menafsirkan hubungan Tuhan dengan manusia dan alam, dan peran-Nya dalam sejarah manusia dan masyarakat. Menurutnya, memahami hakikat pentingnya Tuhan bagi eksistensi manusia akan berdampak pada dimungkinkannya suatu analisis sistematis tentang ajaran-ajaran moral dan hukum Alquran. Langkah berikutnya ialah dengan mensistematisasikan ajaran-ajaran moral yang didasarkan baik prinsip-prinsip umum yang dinyatakan secara eksplisit dalam Alquran maupun prinsip-prinsip yang tertanam dalam ucapan resmi Alquran (Rahman, 1985: 36).
87
D. METODOLOGI
FAZLUR
RAHMAN
DALAM
MEMAHAMI
ALQURAN Rahman, seperti yang diungkapkan oleh peneliti pada pembahasan di atas, melakukan pembagian atas metode dalam memahami Alquran yang didasarkan pada tema-tema yang dibahas. Pada tema-tema teologis dan metafisis, ia menawarkan metode yang terlepas dari konteks historis wahyu tersebut diturunkan. Sedangkan pada tema-tema yang berkenaan dengan ajaran-ajaran Islam yang bersifat sosiologis, ia menggunakan pendekatan kronologis dan kontekstual. Berikut ini adalah metodologi yang ia ajukan dalam memahami Alquran.
1. Metode Sintesis-Logis Rahman mengungkapkan bahwa dalam melakukan penafsiran atas ayatayat Alquran yang bertemakan metafisis dan teologis tidak begitu penting menggunakan pendekatan kronologis. Maksudnya, pada tema-tema ini, Alquran tidak perlu ditafsirkan melalui pemahaman atas kronologi atau urutan pewahyuan atas tema-tema tersebut, termasuk konteks kapan wahyu itu diturunkan ataupun penyebab-penyebab wahyu tersebut disampaikan. Menurutnya, penggunaan metode kronologis dalam menafsirkan ayat-ayat metafsis dan teologis ini hanya dapat menjelaskan gagasan-gagasan awal dari konsep-konsep induk semula (Rahman, 1996: x). Maksudnya, ayat-ayat bertemakan teologis dan metafisik tidaklah memiliki suatu perkembangan atau evolusi yang cukup berarti. Selain itu, ditempuhnya langkah penafsiran ayat-ayat metafisis dengan mengabaikan latar
88
belakang spesifik ini karena ajaran Alquran boleh jadi tidak menyediakan dirinya untuk dikenakan penanganan historis (dalam Sibawaihi, 2007: 50). Metode yang tepat untuk digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat bertema teologis dan metafsis ialah dengan cara melakukan sintesis atas pelbagai tema dalam Alquran secara logis (Rahman, 1996: ix). Dengan kata lain, ia melakukan suatu pendekatan yang membahas suatu tema teologis dan metafisis dengan cara melakukan evaluasi atas ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas atau tema-tema revelan lainnya. Namun yang perlu diingat di sini ialah bahwa tema yang merupakan bahasan utama haruslah melandasi tema-tema lainnya. Contoh dari bentuk penafsiran ini ialah bahwa Tuhan diekpresikan melalui penciptaannya, pemeliharaan, dan rezeki yang Ia berikan kepada makhluk-Nya, tertuama sekali manusia.penciptaan manusia dan pencitaan alam untuk manusia adalah bentuk kemurahan Allah swt. yang paling awal. Oleh karenanya, kekuasaan, penciptaan, dan kepengasihan-Nya selain sama-sama luas juga meliputi dan identik. Manusia dapat secara bebas melakukan perbuatan baik ataupun buruk. Dalam proses ini manusia menghadapi ujian yang amat berat. Untuk itu, kasih Allah swt. ditampakan dengan mengutus para rasul, mewahyukan kitab-kitab-Nya dan memberikan petunjuk (hidayah). Dari contoh yang diuraikan di atas dapat dilihat bahwa dalam menafsirkan tema teologi, yang dalam hal ini Tuhan, Rahman tidak hanya membahas mengenai hakikat-Nya melainkan dihubungkan dengan tema-tema lainnya, seperti kenabian, dan karsa bebas (free will) manusia. Namun, yang perlu diingat di sini ialah bahwa dalam penafsiran sintesis-logis, walaupun menghubungkan tema induk
89
dengan tema-tema lainya yang relevan, pembahasan haruslah mengacu pada pembahasan atau tema utama. Jika kembali pada salah satu metode tafsir Alquran yang pernah ada sebelumnya, maka metode yang Rahman tawarkan di sini hampir mirip dengan metode tafsir maudhu’i. Bahkan, kerap kali terdapat pendapat yang menyebutkan bahwa Rahman menggunakan metode tafsir tersebut pada tema-tema ini. Menurut peneliti, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara keduanya, yakni jika pada metode sintesis-logis suatu tema dalam Alquran dihubungkan melalui penafsiran dengan tema-tema lainnya yang relevan dan yang pasti urutan kronologis pewahyuan tidak dibutuhkan. Sedangkan pada metode tafsir maudhu’i, ayat-ayat Alquran yang membahas mengenai suatu tema tertentu kemudian dihubungkan dengan ayat lainnya yang memiliki kaitan diantaranya dan diperlukan kronologi pewahyuan. (al Farmawi, 2002: 51). Jadi, adalah keliru ketika menyamakan metode Rahman ini dengan metode tafsir maudhu’i30. Metodologi yang Rahman gunakan dalam tema-tema metafisis dan teologis ini cukup memberikan harapan akan munculnya kepuasan religiusitas dan intelektualitas dalam menangkap ajaran agama secara menyeluruh. Namun, ketika penafsiran dilaksanakan, metodenya ini akan cukup sulit untuk membedakan unsur subjektif dan kandungan yang sebenarnya dalam Alquran tersebut sehingga kandungan Alquran yang sebenarnya menjadi kabur dan samar. Tidak disertakannya latar belakang spesifik atau historis dan kronologisnya ketika ayat30
Misalnya Rakmat yang menyatakan bahwa metode sintesis-logis yang Rahman gunakan dalam ayat-ayat Alquran ini adalah tafsir maudhu’i juga, dan pendapat Saleh yang menyatakan bahwa Rahman yang menggunakan metode ini (Tema Pokok Alquran) ke dalam kitab tafsir yang menggunakan satau tergolong metode tafsir maudhu’i. Selanjutnya lihat Rakhmat (1996: 26), dan Saleh (2007: 54).
90
ayat tersebut disampaikan akan membawa pada subjektifitas karena sepenuhnya akan bersandar pada penggunaan logika (A’la, 2003: 88). Rahman pun tidak menampik adanya unsur subjektifitas dalam menafsirkan Alquran dengan metode sintesis-logis ini. Menurutnya, setiap pendapat memiliki sudut pandang, dan hal tersebut tidak berbahaya asalkan sudut pandang tersebut tidak mendistorsi objek pandangan dan juga terbuka bagi pandangan orang yang memandang (dalam Sibawaihi, 2007: 51). Menurutnya, perbedaan pendapat dan sudut pandang tertentu adalah sehat selama masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual dan keagamaan. Hujan kritik diarahkan kepada Rahman atas metodenya itu, misalnya yang dikemukakan oleh Taufik Adnan Amal yang mengatakan bahwa langkah metodenya yang mengabaikan kronologis pewahyuan pada pembahasan tematema metafisis dan teologis ini perlu dipertanyakan. Menurutnya, tema-tema teologis dan metafisis dapat dikaji secara historis dan kronologis agar pandangan ini dapat dipahami dan diapresiasi secara utuh, karena tanpa langkah ini banyak ajaran teologis dan metafisis Alquran akan tampak tidak konsisten dan membingungkan (Amal, 1996: 204). Kritik senada pun diberikan oleh Jalaludin Rakhmat, ia mempertanyakan pendapat Rahman mengenai tidak dibutuhkannya kronologis ayat-ayat metafisis dan teologis, dan bagaimana caranya ketika tidak terdapat latar belakang turunnya ataupun ketika terdapat keterangan-keterangan yang kacau balau atau bertentangan satu sama lainnya (Rakhmat, 1996: 31). Walaupun terdapat banyak kritik seputar pandangan Rahman yang menilai tidak dibutuhkannya kronologi wahyu dalam tema-tema metafisis dan teologis
91
ini, tidak kemudian menjadikan metodenya ini tidak dapat diterima sebagai sebuah solusi dalam penafsiran Alquran. Metode yang ia gunakan dalam menafsirkan Alquran pada tema-tema teologis-metafisis ini adalah sebuah usaha dalam memberikan nuansa baru dalam penafsiran konsep-konsep teologi Islam. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya yang tidak melulu menginterpretasikan suatu tema teologis semata tanpa menghubungkannya dengan tema-tema lainnya, dan yang lebih penting lagi bahwa ia merumuskan itu semua dengan melandaskannya pada kitab suci umat Islam, Alquran.
2. Metode Sebuah Gerakan Ganda (A Double Movement Method) Rahman tidak serta merta merumuskan metode sebuah gerakan ganda, tetapi secara bertahap selama 12 tahun. Rumusan awal metodenya itu dapat dilacak pada artikel yang berjudul Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternative yang ditulisnya pada tahun 1970. Metode yang ditawarkan dalam artikel itu diperlukan demi kriteria ketepatan ilmiah, dan oleh kebutuhan untuk menghindari pendapat yang arbitrary (sewenang-wenang), dan agar usaha ijtihad dapat diletakkan pada dasar-dasar yang tepat (Rahman, 1985: 36). Menurutnya, ajaran-ajaran moral harus disistematiskan, berdasarkan prinsip-prinsip umum yang terdapat di dalam Alquran pada suatu penyataan eksplisitnya ataupun prinsip-prinsip yang tertanam dalam ucapan resmi Alquran. Adapun uraian lebih jelas mengenai metode tersebut ialah sebagai berikut a. Pendekatan historis yang serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks Alquran. Aspek metafisis dari ajaran Alquran boleh jadi tidak menyediakan dirinya untuk dikenakan pandangan historis, tetapi bagian sosiologisnya pasti butuh penanganan seperti itu. Pertama-
92
tama, Alquran harus dikaji dalam tatanan kronologis. Memulai dengan penelitian terhadap wahyu-wahyu paling awal akan memberikan persepsi yang cukup akurat tentang dorongan dasar dari gerakan Islam, yang dibedakan dari ketetapan-ketetapan dan institusi-institusi yang dibangun belakangan. Maka, orang mesti mengikuti apa yang dipaparkan Alquran melalui karier dan perjuangan Muhammad. Metode historis ini akan menyelamatkan kita dari ektravagansa dan kepalsuan penafsiran Alquran kaum modernis. Terlepas dari penerapan makna yang rinci, metode ini juga akan menghasilkan makna yang menyeluruh pesan Alquran dalam suatu cara yang sistemais dan koheren. b. Kemudian orang siap membedakan ketetapan legal Alquran dengan sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan yang menyebabkan terciptanya hukumhukum ini. Di sini, orang akan dihadapkan pada bahaya subjektifitas. Namun ini dapat direduksi hingga tingkat yang paling rendah dengan menggunakan Alquran itu sendiri. Non-Muslim dan juga Muslim sering kali melupakan bahwa Alquran biasanya memberikan alasan bagi pernyataan legal spesifiknya. Kesaksian dua orang wanita sebagai ganti seorang laki-laki, mengapa? -‘supaya wanita satunya dapat mengingatkan yang lainnya jika ia melupakannya’ (QS. Al Baqarah [2]: 282) … c. Sasaran Alquran mestinya dipahami dan ditentukan sembari tetap memberi perhatian penuh pada latar belakang sosiologisnya. Yakni, lingkungan tempat Nabi bergerak dan bekerja. Ini akan mengakhiri penafsiranpenafsiran yang subjektif, baik yang muncul di era pertengahan maupun di era modern … jika orang dibatasi untuk tidak menyertakan obsesi-obsesi pribadinya ke dalam Alquran, maka pendekatan ini akan sangat bermanfaat. Dan, kami yakin pendekatan ini menjadi harapan satu-satunya untuk penafsiran Alquran yang berhasil dewasa ini. Tetapi, dalam pengertian makroskopik, semua penafsiran dan pendekatan pada kebenaran adalah subjektif, dan ini tidak bisa dihilangkan. Setiap pendapat punya titik pandang, dan itu tidak berbahaya. Asalkan titik pandang itu tidak mendistorsi objek pandang dan juga terbuka bagi pandangan orang yang memandang. Perbedaan pendapat yang muncul adalah sehat sepanjang pendapat tersebut masuk akal (dalam Sibawaihi, 2007: 50-52).
Rumusan awal metode memahami Alquran yang dikemukakan Rahman panjang lebar tersebut dapat diringkas menjadi a. Pendekatan historis demi menemukan makna tekstual Alquran, b. Pemisahan antara ketentuan hukum dan sasaran atau tujuan Alquran, c. Memahami dan memastikan sasaran atau tujuan Alquran dengan tetap memperhatikan latar sosiologis pewahyuan Alquran.
93
Menurut Saleh (2007: 174), pada poin kedua atau langkah kedua, yakni pemisahan antara ketentuan hukum dan sasaran atau tujuan Alquran, sebenarnya telah dilakukan terlebih dahulu oleh Ameer Ali. Oleh karenanya, menjadi wajar kiranya ketika Rahman berkali-kali menyatakan bahwa metodologinya tersebut bukanlah sesuatu hal yang baru, melainkan pemutakhiran dari unsur-unsur penafsiran yang pernah ada sebelumnya (Rahman, 2005: 171). Rumusan kedua dari bagian perkembangan pemikiran menuju metodologi memahami Alquran yang lebih komprehensif berupa sebuah gerakan ganda, dapat ditemui melalui tulisannya yang berjudul Ke Arah Perumusan Metodologi Hukum Islam Syaikh Yamani tentang “Kepentingan Umum” dalam Hukum Islam yang ditulisnya pada tahun 1979. Walaupun artikel ini membahas mengenai metode perumusan hukum Islam, pembahasan dalam artikel ini secara eksplisit membahas metode istinbath hukum Islam tersebut yang diambil dari Alquran dan Sunnah Nabi saw. Ia menyebut metodenya tersebut sebagai dua gerakan pemikiran yuristik. Langkah pertama dari metode tersebut adalah mengeneralisasikan suatu pernyataan Alquran yang bersifat khusus. Pada langkah ini, diperlukan pemahaman atas prinsip-prinsip Alquran yang di dalamnya Sunnah merupakan bagian organisnya. Menurutnya, tataran sosial dari aturan-aturan Alquran memiliki latar belakang situasional di mana didalamnya terdapat latar belakang religio-sosial yang sangat jelas dalam politeisme dan disekuilibrium sosialekonomis masyarakat Makkah pada masa awal Islam, aturan-aturan dalam Alquran tidak lahir dalam suatu kondisi yang vakum melainkan selalu muncul
94
atau turun sebagai solusi-solusi dalam masalah aktual yang terjadi ketika itu (Rahman, 1994: 49). Jika diperhatikan kembali metode yang Rahman paparkan dalam artikel Islamic Modernism: Its Scope, Method anad Alternative, maka langkah pertama yang diajukannya ini mirip atau bahkan ringkasan dari ketiga langkah yang terdapat dalam artikel tersebut. Langkah kedua dari gerakan pemikiran yuristik yang diajukan Rahman ialah metode berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Pada tahap ini, generalisasi yang telah didapatkan pada langkah yang pertama kemudian harus diterapkan pada kehidupan masyarakat Muslim pada masa kini. Oleh karenanya, penelitian sosiologis terhadap situasi kontemporer ini akan memberi arah yang tepat tentang tata cara diterapkannya prinsip-prinsip yang telah digali dari Alquran dan Sunnah tersebut harus ditumbuhkan pada masa kini atau kontemporer. Akhirnya, pada tahun pada tahun 1982 melalui bukunya yang berjudul Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (edisi Indonesianya berjudul Islam dan Modernitas: tentang Transormasi Intelektual), Rahman mengemukakan metode tafsir dalam memperoleh pemahaman Alquran, yakni a double movement method (metode sebuah gerakan ganda). Secara garis besar, tidak terdapat perbedaan yang cukup mencolok dengan metode dua gerakan pemikiran yuristik yang telah diuraikan sebelumnya. Namun, yang membedakan di antara metode sebuah gerakan ganda ini dengan metode-metode yang tawarkan sebelumnya, ia secara spesifik tidak mengatakan bahwa dalam metode mutakhirnya ditujukan untuk menghasilkan sebuah penafsiran hukum Islam yang baru, sedangkan pada metode-metode sebelumnya ia secara spesifik atau eksplisit
95
menyebutkan bahwa metode-metode tersebut digunakan untuk penafsiran hukum Islam. Pada gerakan pertama dari metode sebuah gerakan gandanya terdapat dua langkah yang harus ditempuh oleh seorang penafsir Alquran. Kedua langkah tersebut pada dasarnya adalah penjabaran lebih lanjut atas metode-metode yang ia kemukakan sebelumnya. Walaupun secara eksplisit Rahman tidak menyatakannya sebagai metode penafsiran hukum Islam, menurut Mas’adi (1997: 152), metodenya ini sarat sekali dengan kecondongan pada arah tersebut. Untuk memperjelas pemaparan atas metodenya itu, berikut ini adalah gerakan pertama dari metode tafsir Alquran Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan Alquran tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik sinaran situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama adat istiadat, lembagalembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam khususnya di Makkah –dengan tidak mengesampingkan peperangan-peperangan Persia-Byzantium- akan harus dilakukan. Jadi, langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna Alquran sebagai suatu keseluruhan disamping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respons terhadap situasisituasi khusus. Langkah kedua adalah menggeneralisasikan jawabanjawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataanpernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latarbelakang sosiohistoris dan ratio-legis yang sering dinyatakan. Benar, langkah yang pertama –memahami makna dari ayat spesifik- itu sendiri mengimplikasikan langkah yang kedua dan membawa kepadanya. Selama proses ini perhatian harus diberikan kepada arah ajaran Alquran sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya … saya mesti mencatat di sini bahwa (disamping bahasa, tatabahasa, gaya dan lain-lain) suatu kajian tentang pandanganpandangan kaum Muslimin –paling khususnya dari generasi-generasi awal- akan membantu. Tetapi pandangan-pandangan tersebut harus menduduki tempat kedua dalam materi-materi objektif yang digariskan di atas, karena penafsiran-penafsiran historis atas Alquran, walaupun akan
96
menolong, juga harus dinilai dengan pemahaman yang diperoleh dari Alquran sendiri (Rahman, 2005: 7)
Pada langkah pertama dari gerakan pertama ini, Rahman hendak menempatkan wahyu Alquran dalam konteks kesejarahannya atau konteks lingkungan di mana wahyu tersebut turun dan menjadi solusi terhadap pelbagai permasalahan yang dialami masyarakat Arab ketika itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ia hendak membatasi isi pesan dalam Alquran dalam konteks masyarakat Arab ketika itu. Langkah pertama dari sebuah gerakan gandanya ini, menempatkan wahyu sebagai pelbagai respon dari Allah swt. melalui Muhammad saw. atas stimulus-stimulus yang datang dari problem-problem historis masyarakat Arab ketika itu. Dari gerak pertama dalam metode sebuah gerakan gandanya ini, pendekatan Rahman hampir serupa dengan pendekatan historisisme yang kerap kali digunakan orientalis31 dalam mengkaji Islam (baca: Alquran). Pendekatan ini menyatakan bahwa “suatu entitas, baik itu institusi, nilai-nilai maupun agama berasal dari lingkungan fisik, sosio-kultural, dan sosio-religius tempat entitas itu muncul” (Rusmana, 2006: 125). Namun, pendekatan historisisme ini akan nampak sangat berbeda dengan pemikiran Rahman ini jikalau kita mengkajinya dengan seksama. Perbedaan tersebut ialah bahwa Rahman sama sekali tidak menolak adanya wahyu yang ikut membentuk suatu aturan-aturan kongkrit dalam Alquran,
31
Orientalis yang menggunakan metode historisisme dalam mengkaji Islam salah satunya ialah Richard Bell. Melalui pendektan ini ia hendak menunjukan bahwa ajaran Islam dalam Alquran dipengaruhi oleh suasana polemis di kalangan orang-orang Kristen Arab. Selain itu, Bell pun berpendapat bahwa doktrin penolakan Alquran terhadap penyaliban Yesus diambil Muhammad saw. dari salah satu sekte Kristen di Syiria. Selanjutnya lihat Rusmana (2006: 128129).
97
justru ia melakukan metode ini untuk memilah aspek yang sifatnya illahiah dengan entitas yang dibentuk oleh sejarah. Pada langkah kedua, seorang penafsir Alquran harus membuat generalisasi atas solusi-solusi yang diberikan kepada masayarakat Arab ketika itu dengan dilandasi oleh alasan-alasan32 yang terdapat dalam Alquran ketika memberikan solusi-solusi tersebut. Rahman menyadari bahwa langkah kedua ini adalah implikasi dari langkah pertama. Langkah kedua dari gerakan pertama ini merevisi langkah pertama yang membatasi wahyu Alquran dalam konteks kesejarahannya, karena pada langkah kedua ini Rahman hendak mengambil makna moral-sosial yang tidak dibatasi oleh oleh ruang dan waktu. Maksudnya, jika pada langkah pertama ia membatasi wahyu Alquran dalam konteks historis atau sosial tertentu di mana wahyu dinyatakan sebagai solusi-solusi atas problem historis, maka pada langkah kedua ia hendak mengambil makna dari suatu solusi-solusi tersebut yang dinilainya merupakan sesuatu hal yang trans-historis atau melampaui batas kesejarahan pewahyuan33. Jika kita kembali lagi pada metode dua gerakan pemikiran yuristik yang dinyatakan Rahman sebelumnya, maka gerakan pertama dari metode sebuah gerakan ganda ini adalah pemaparan lebih lanjut dan lebih sistematis
dari
gerakan
pertama
dalam
pemikiran
yuristik,
yakni
mengeneralisasikan suatu pernyataan Alquran yang bersifat khusus. Pada gerakan kedua dari metode sebuah gerakan gandanya itu, diarahkan pada penerapan generalisasi yang telah dihasilkan dari langkah pertama ke dalam 32
Rahman menyebut alasan-alasan dari penryataan Alquran ini sebagai ratio-legis. Dalam terminologi tradisional, konsep ini dinyatkan sebagai ‘illat. 33 Bandingkan dengan pedapat sebelumnya, seperti pendapat Haurun Nasution dan Thabathaba’i yang memandang bahwa wahyu Alquran tidak hanya mencakup makna dari suatu pernyataan Alquran saja, tetapi meliputi pernyataan tekstual atau lafadznya juga.
98
konteks masa kini atau kekinian. Rahman memaparkan gerakan keduanya tersebut sebagai berikut … sementara gerakan pertama terjadi dari hal-hal yang spesifik dalam Alquran ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjangnya, yang kedua harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditumbuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang kongkret di masa sekarang (Rahman, 2005: 8).
Gerakan kedua ini befungsi sebagai pengkoreksi atas hasil-hasil yang dilakukan pada gerakan pertama, yakni pada tahap penafsiran dan pemahaman atas wahyu Alquran. Apabila terjadi kegagalan dalam pengaktualisasian pemahaman yang dihasilkan dari gerakan pertama pada masa sekarang, Rahman mengklaim bahwa terdapat kesalahan atau kegagalan dalam memperoleh pemahaman atau menilai masa kini atau situasi masa sekarang ataupun kegagalan dalam memahami pesan Alquran (Rahman, 2005: 8). Menurutnya, tidaklah mungkin jika pada masa lalu berhasil diterapkan, namun pada masa kini tidak dapat diterapkan. Oleh karenanya, ia menyarankan diperlukannya “jihad intelektual”, yang dilakukan dengan cara melakukan usaha terus-menerus dalam memahami makna dari suatu teks atau pernyataan dari masa lampau tersebut (Alquran) yang mempunyai suatu aturan, dan kemudian mengubah aturan tersebut yang disesuaikan pada masa kini atas dasar nilai-nilai yang terkandung dalam teks berserta konteks historisnya. Moosa memandang bahwa metode sebuah gerakan ganda ini terpengaruh oleh tokoh hermeneutika objektif asal Italia, Emilio Betti. Menurutnya, metode Rahman tersebut tersebut adalah ringkasan dari empat kaidah penafsiran yang
99
dikemukakan oleh Betti (2000: 27). Kaidah-kaidah penafsiran tersebut ialah sebagai berikut a. Kaidah mengenai otonomi objek hermeneutik, artinya pelbagai bentuk yang bermakna harus dipahami berdasarkan perkembangan logika mereka sendiri,
hubungan
yang
diharapkan,
kepentingan,
koherensi
dan
kesimpulannya. Pada langkah ini seorang penafsir harus melihat suatu objek yang tercipta dari pengarang dan harus dipandang dari sudut pandang pengarang serta rangsangan-rangsangan yang membentuknya dalam proses-proses kreatif, b. Kaidah mengenai koherensi makna (prinsip totalitas), artinya keseluruhan dan sebagian dalam pelbagai bentuk yang bermakna saling berhubungan. Makna keseluruhannya harus diambil dari unsur-unsur individual, dan unsur individual harus dipahami dengan mengacu pada totalitas, yang menembus makna keseluruhan di mana ia merupakan bagiannya, c. Kaidah mengenai aktualitas pemahaman. Artinya, melacak kembali proses kreatif, merekonstruksinya dalam dirinya sendiri, menerjemahkan kembali pemikiran yang tak berkaitan dengan sebuah “Yang Lain”, sebuah bagian dari masa lalu, sebuah peristiwa yang dapat diingat, yang menjadi aktualitas hidup seseorang, d. Kaidah korespondensi hermeneutik dari makna (ketepatan-makna dalam memahami). Artinya, penafsir harus berusaha membawa aktualitas yang hidup ke dalam harmoni yang paling erat dengan stimulasi yang ia terima
100
dari objek dengan suatu cara sehingga satu sama lain beresonansi secara harmonis (Betti, 2007: 77-121). Walaupun terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kaidah-kaidah penafsiran teks dalam hermeneutika Betti telah diringkas oleh Rahman dalam wujud metode sebuah gerakan ganda, terdapat perbedaan yang cukup sifnifikan antara keduanya. Betti percaya pada makna yang hidup kembali karena penegasan tujuan dalam pikiran penafsir orisinal (Moosa, 2000: 31). Sedangkan dalam metode sebuah gerakan ganda, Rahman menyakini bahwa terdapat kebutuhan dalam mengetahui maksud dalam pikiran penafsir, bahkan menegaskan bahwa konteks sejarah penafsir dengan semua kesulitannya harus diselidiki. Pendapat senada pun dinyatakan Armas ( ___: http://www.hotlinkfiles.com/files/1853009 _n2mqy/Hermeneu tika.pdf, 3/10/2008) bahwa perbedaan antara metode sebuah gerakan ganda dan hermeneutika objektifnya Betti diantaranya ialah dari usaha Rahman yang hendak meluaskan bentuk-bentuk penuh makna tidak hanya terdapat mencakup mental pengarang teks, tetapi juga terdapat pada lingkungan. Begitu pun dengan Suharto yang menyebutkan bahwa Rahman tidak setuju dengan Betti yang mengatakan bahwa makna asli suatu teks itu terletak pada akal pengarang teks, melainkan terletak pada konteks sejarah ketika teks itu ditulis (dalam
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=c
ategory &layout=blog&id=68&Itemid=68, 3/10/2008).